pembahasan skenario 1

12
A. SYOK Definisi Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel (Purwadianto dan Sampurna, 2000). Klasifikasi Secara klinis, syok dibagi atas dua golongan besar (Purwadianto dan Sampurna, 2000): 1. Syok Hipovolemik, yaitu syok dengan volume plasma berkurang. a. Kehilangan plasama keluar tubuh, yaitu perdarahan gastroenteritis, renal (diabetes melitus, diabetes insipidus), kulit (luka bakar, keringat berlebihan). b. Kehilangan cairan didalam ruang tubuh, yaitu patah tulang panggul atau iga, asites, ileus obstruktif, hemotoraaks, hemoperitoneum. 2. Syok Normovolemik, yaitu syok dengan volume plasma normal. a. Kardiogenik (koroner/non koroner), yaitu infark jantung, payah jantung, aritmi. b. Obstruksi aliran darah, yaitu emboli paru, tension pneumothorax, tamponade jantung, aneurisma aorta dissecans, intrakardiak (milksoma ball-valve thrombus). c. Neurogenik, yaitu trauma/nyeri hebat (dislokasi sendi panggul, diatasi serviks uteri yang terlampau cepat, tarikan pada funikulus spermatikus, kandung empedu atau kardia lambung), obat-obatan (anestetik,

Upload: irene-alodia-ardiani

Post on 31-Jul-2015

69 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: pembahasan skenario 1

A.   SYOK

Definisi

Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel (Purwadianto dan Sampurna, 2000).

Klasifikasi

Secara klinis, syok dibagi atas dua golongan besar (Purwadianto dan Sampurna, 2000):

1.    Syok Hipovolemik, yaitu syok dengan volume plasma berkurang.

a.    Kehilangan plasama keluar tubuh, yaitu perdarahan gastroenteritis, renal (diabetes melitus, diabetes insipidus), kulit (luka bakar, keringat berlebihan).

b.    Kehilangan cairan didalam ruang tubuh, yaitu patah tulang panggul atau iga, asites, ileus obstruktif, hemotoraaks, hemoperitoneum.

2.    Syok Normovolemik, yaitu syok dengan volume plasma normal.

a.    Kardiogenik (koroner/non koroner), yaitu infark jantung, payah jantung, aritmi.

b.    Obstruksi aliran darah, yaitu emboli paru, tension pneumothorax, tamponade jantung, aneurisma aorta dissecans, intrakardiak (milksoma ball-valve thrombus).

c.     Neurogenik, yaitu trauma/nyeri hebat (dislokasi sendi panggul, diatasi serviks uteri yang terlampau cepat, tarikan pada funikulus spermatikus, kandung empedu atau kardia lambung), obat-obatan (anestetik, barbiturat, fenotiazin), hipotensi ortostatik, lesi sumsum tulang.

d.    Lain-lain, seperti infeksi/sepsis (syok septik), anafilaktik, kegagalan endokrin (miksedema, Addison), anoksi.

Gejala dan Tanda

Secara umum didapatkan gambaran kegagalan perfusi jaringan yang terjadi melaluisalah satu mekanisme dibawah ini (Purwadianto dan Sampurna, 2000):

1.       Berkurangnya volume sirkulasi (syok hipovolemik).

2.       Kegagalan daya pompa jantung (syok kardiogenik).

Page 2: pembahasan skenario 1

3.       Perubahan resistensi pembuluh darah perifer - penurunan tonus vasomotor (syok anafilaktik, neurogenik dan kegagalan endokrin) atau peninggalan resistensi (syok septik, obstruksi aliran darah).

Gejala yang tampak pada keadaan syok pada berbagai sistem organ (Purwadianto dan Sampurna, 2000):

1.       Sistem jantung dan pembuluh darah:

-       Hipotensi, sitolik < 90 mm Hg atau turun ≥ 30 mHg dari semula.

-       Takikardi, denyut nadi > 100/menit, kecil, lemah/tak teraba.

-       Penurunan aliran darah koroner

-       Penurunan aliran darah kulit, sianotik, dingin dan basah; pengisian kapiler yang lambat.

2.       Sistem saluran napas:

Hiperventilasi akibat anoksi jaringan, penurunan venous serta peninggian physiological dead space dalam paru.

3.       Sistem saraf pusat:

Akibat hipoksi terjadi peninggian permeabilitas kapiler yang menyebabkan edema serebri dengan gejala penurunan kesadaran.

4.       Sistem saluran kemih:

Oliguri (diuresis <30 ml/jam), dapat berlanjut mejadi anuri, uremi akibat payah ginjal akut.

5.       Perubahan biokimiawi; terutama pada syok yang lama dan berat.

-          Asidosis metabolik akibat anoksi jaringan dan gangguan fungsi ginjal.

-          Hiponatremi dan hiperkalemi .

-          Hiperglikemi.

Menurut beratnya gejala, dapat dibedakan empat stadium syok; pembagian ini terutama berlaku untuk syok hipovelemik dan berhubungan dengan jumlah plasma yang hilang (Purwadianto dan Sampurna, 2000):

Stadium Plasma yang Gejala

Page 3: pembahasan skenario 1

hilang

1.    Presyok

(compensated)

10-15%

± 750 ml

Pusing, takikardi ringan, sistolik 90-100 mmHg

2.    Ringan

(compensated)

20-25%

1000-1200 ml

Gelisah, keringat dingin, haus, dieresis berkurang, takikardi >100/menit, sistolik 80-90 mmHg

3.    Sedang (reversibel)

30-35%

1500-1750 ml

Gelisah, pucat, dingin, oliguri, takikardi >100/menit, sistolik 70-80 mmHg

4.    Berat (ireversibel)

35-50%

1750-2250 ml

Pucat, sianotik, dingin, takipnea, anuri, kolaps pembuluh darah, takikardi/tak teraba lagi, sistolik 0-40 mmHg

B.    SYOK ANAFILAKTIK

Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi obat, yang dapat berupa reaksi anafilaktik dan reaksi anafilaktoid. Reaksi anafilaktik adalah gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi. Sedangkan reaksi anafilaktoid tidak melalui reaksi imunologik, namun karena gejala dan pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka reaksi anafilaktoid juga disebut sebagai anafilaksis (Rengganis et al., 2007).

Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Anafilaksis yang berat dapat pula terjadi tanpa hipotensi, dimana obstruksi saluran napas menjadi gejala utamanya. Kematian karena anafilaksis sebesar dua pertiganya disebabkan oleh obstruksi saluran napas (terutama pada usia muda) dan sisanya oleh kolaps kardiovaskular (terutama usia lanjut) (Rengganis et al., 2007).

Ciri khas anafilaksis yang pertama adalah gejala yang timbul beberapa detik hingga beberapa menit setelah terpajan alergen atau faktor pencetus non alergen seperti zat kimia, obat, atau kegiatan jasmani. Ciri kedua, anafilaksis merupakan reaksi sistemik sehingga melibatkan multiorgan yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak (Rengganis et al., 2007).

Page 4: pembahasan skenario 1

Syok anafilaktik biasanya terjadi setelah penyuntikan serum atau obat terhadap penderita yang sensitif; selain tanda-tanda syok terdapat juga spasme bronkioli yang menyebabkan asfiksi dan sianosis. Juga sering didahului dengan rasa nyeri kepala, gangguan penglihatan, urtikaria dan edema wajah, dan mual-mual (Purwadianto dan Sampurna, 2000).

Mekanisme dan Penyebab Anafilaksis Karena Obat

Melalui mekanisme IgE dan non IgE, serta berbagai penyebab selain obat, seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara panas, air dingin, bahkan sebagian tidak diketahui. Mekanisme dan obat pencetus anafilaksis (Rengganis et al., 2007):

1.       Anafilaktik (melalui IgE)

-          Antibiotik (penisilin, sefalosporin)

-          Ekstrak alergen (bisa tawon, polen)

-          Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)

-          Enzim (kemopapain, tripsin)

-          Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)

-          Protein manusia (insulin, vasopressin, serum)

2.       Anafilaktoid (tidak melalui IgE)

-          Zat penglepas histamine secara langsung

a.    Obat (opiat, vankomisin, kurare)

b.    Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)

c.     Obat lain (dekstran, fluoresens)

-          Aktivasi komplemen

a.       Protein manusia (immunoglobulin dan produk darah lainnya)

b.      Bahan dialisis

-          Modulasi metabolisme asam arachidonat

a.       Asan asetilsalisilat

b.      Antiinflamasi nonsteroid

Page 5: pembahasan skenario 1

Manifestasi Klinis Alergi Obat

Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai dengan IV) (Djauzi et al., 2007):

1.       Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat)

Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk, yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatnya permeabilitas kapiler, serta hipersekresi kelenjar mukus. 1) Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang disertai juga kejang laring. Bila disertai edema laring menjadi keadaan gawat karena pasien tidak dapat atau sulit bernapas, 2) Urtikaria, 3) Angiodema, 4) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin (Djauzi et al., 2007).

Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Reaksi mengenai beberapa organ dan bersifat membahayakan, dengan penyebab yang tersering adalah penisilin (Djauzi et al., 2007).

Pada tipe I ini terjadi beberapa fase, yaitu: a) Fase sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE. b) Fase aktivasi, yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi. c) Fase efektor, yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat penglepasan mediator (Djauzi et al., 2007).

2.       Tipe II

Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi akibat pembentukan IgM/IgG oleh pajanan antigen, yang kemudian dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktivasi komplemen melalui reseptor komplemen (Djauzi et al., 2007).

Manifestasi klinis reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini (Djauzi et al., 2007).

3.       Tipe III

Page 6: pembahasan skenario 1

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bilaa kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan adalah IgM dan IgG. Kompleks ini mengaktifkan pertahanan tubuh dengan penglepasan komplemen (Djauzi et al., 2007).

Manifestasi klinis reaksi tipe III dapat berupa: 1) Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme, dan lain-lain. Gejala tersebut sering disertai dengan pruritus. 2) Demam, 3) Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi, 4) Limfadenopati, 5) Lain-lain (Djauzi et al., 2007):

-          Kejang perut, mual

-          Neuritis optik

-          Glomerulonefritis

-          Sindrom lupus eritematosus sistemik

-          Gejala vaskulitis lain

Gejala timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam 1-5 hari (Djauzi et al., 2007).

4.       Tipe IV

Reaksi tipe IV atau disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi, yang berperan adalah respon sel T yang telah disensitisasi oleh antigen tertentu (Djauzi et al., 2007).

Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity): 1) Cutaneous Basophil Hypersensitivity, 2) Hipersensitivitas kontak, 3) Reaksi tuberculin, 4) Reaksi granuloma (Djauzi et al., 2007).

Manifestasi klinis reaksi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrate paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomyelitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat. Kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal. Bila pasien telah sensitif, gejala dapat timbul 18-24 jam setelah obat dioleskan (Djauzi et al., 2007).

Diagnosis

Page 7: pembahasan skenario 1

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang timbul, dapat ringan seperti pruritus, urtikaria, sampai gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Terkadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal (Rengganis et al., 2007).

Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran dikelompokkan sebagai berikut (Rengganis et al., 2007):

Sistem Gejala dan Tanda

Umum

Prodromal

Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum.

Pernapasan

Hidung

Laring

Lidah

Bronkus

Hidung gatal, bersin, dan tersumbat.

Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.

Edema

Batuk, sesak, mengi, spasme

Kardiovaskuler Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG: gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.

Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi.

Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka, atau ekstremitas.

Mata Gatal, lakrimasi

Susunan saraf pusat

Gelisah, kejang

Penatalaksanaan

-          Hentikan kontak dengan alergen.

-          Perhatikan tanda vital dan jalan napas; bila perlu dilakukan resusitasi dan pemberian oksigen.

Page 8: pembahasan skenario 1

-          Epinefrin 1/1000, 0,5-1 ml subkutan/intramuscular, daapat diulang 5-10 menit kemudian.

-          Dapat diberikan pula antihistamin berupa difenhidramin 10-20 mg intravena, kortikosteroid berupa hidrokortison 100-250 mg intravena lambat (dalam 30 detik), dan aminofilin 250-500 mg intravena lambat, bila spasme bronkioli nyata (Purwadianto dan Sampurna, 2000).

C.    PENISILIN

Penisilin merupakan antibiotik golongan betalaktam, dengan mekanisme menghambat sintesis mukopeptida yang diperlukan untuk pembentukan dinding sel bakteri. Beberapa penisilin akan berkurang aktivitas antimikrobanya dalam suasana asam sehingga penisilin kelompok ini harus diberikan secara parenteral (Istiantoro dan Gan, 2007).

Efek Samping

Reaksi alergi merupakan bentuk efek samping tersering yang dijumpai pada golongan penisilin G khususnya merupakan salah satu obat yang tersering menimbulkan reaksi alergi. Terjadinya reaksi alergi didahului oleh adanya sensitisasi. Namun mereka yang belum pernah diobati dengan penisilin dapat juga mengalami reaksi alergi. Dalam hal ini diduga sensitisasi terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh penisilin (misalnya makanan asal hewan atau jamur) (Istiantoro dan Gan, 2007).

D.   xx

DAFTAR PUSTAKA

Djauzi S., Sundaru H., Mahdi D., Sukmana N. 2007. Alergi Obat. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 251-4

Istiantoro Y.H. dan Gan V.H.S. 2007. Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya. Dalam Gunawan S.G. Farmakologi dan Terapi Ed.5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pp: 664; 670-1

Page 9: pembahasan skenario 1

Purwadianto A., Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina Aksara. Pp: 47-9; 56-7

Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 190-2