pembahasan eudemonisme
DESCRIPTION
Eudemonisme merupakan salah satu filsafat moral. Berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti kebahagiaan. Pandangan ini dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles (384-322 S.M) dalam bukunya Ethika NikomakheiaTRANSCRIPT
1 April 1, 2014
PENGANTAR
1. Plato
Pertanyaan dasar bagi para filosof moral Yunani kuno adalah pertanyaan tentang
hidup yang tepat : Bagaimana sebaiknya orang bijak harus hidup? mereka menjawab : orang
bijak harus hidup sedemikian rupa sehingga ia mencapai yang baik. maka pertanyaan
berikutnya yang muncul dalam logika etika Yunani adalah : Apa itu baik?
Akan tetapi apa arti dari pertanyaan itu menurut Spaemann (1990,18) masalah ini
sudah dirumuskan dengan tepat oleh Plato. "Yang Baik" adalah idea tertinggi. Manusia
mencapai yang baik bagi dirinya apabila ia, dalam theoria, merentangkan diri ke idea tertinggi
itu. Dalam "memandang" itu terletak kebahagiaan manusia. Perlu diketahui pula bahwasanya
bahasa Yunani menyediakan dua kata, yaitu agathon, "yang baik", dan kalon, "yang indah".
Dimana "yang baik" dimaksudkan dalam arti "yang pantas dicari", sedangkan "yang indah"
adalah "yang luhur". Plato ingin memperlihatkan bahwa "yang indah", jadi yang baik pada
dirinya sendiri tanpa kaitan dengan kecenderungan manusia, adalah baik dalam arti
pemenuhan kecenderungan atau kepentingan manusia yang sebenar-benarnya. Karena
dengan memandang baik pada dirinya sendiri, keterarahan inti hakikat manusia - jiwanya,
yang berasal dari alam idea sendiri - sampai pada kebenarannya. Bagi yang mencintai
kebijaksanaan, tak ada perpisahan sama sekali antara yang baik pada dirinya sendiri dan yang
baik baginya, antara khalon dan agathon, antara keutamaan dan kebahagiaan.
2. Aristoteles.
Akan tetapi, kesadaran Plato tidak dipertahankan. Sama dengan seluruh etika
Yunani, Aristoteles berpendapat bahwa hidup yang bijaksana adalah hidup yang
menghasilkan eudaimonia, kebahagiaan. Mengikuti Plato, Aristoteles melihat bahwa
kebahagiaan tercapai apabila manusia merealisasikan dirinya. Akan tetapi, karena paham
Aristoteles tentang manusia lain daripada Plato, etikanya menjadi lain pula. Menurut
Aristoteles, manusia mendua. Ia berpartisipasi pada nous atau logos ilahi. Maka, bagi
Aristoteles pun kebahagiaan tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah theoria, memandang
hal-hal abadi, filsafat. Tetapi manusia bukan hanya makhluk ber-logos. Maka baginya filsafat
hanya dapat menjadi semacam kegiatan hari libur. Kekhasan manusia-yang membedakannya
dari dewa maupun binatang-adalah bahwa dia itu zoon politikon. Artinya, ia makhluk yang
hanya dapat mengembangkan diri melalui praksis, melalui komunikasi dalam lingkungan-
lingkungan sosial manusia di mana yang paling luas adalah polis. Maka kebahagiaan yang
lebih sesuai dengan kondisi manusia terletak dalam praksis, partisipasi komunikatif dalam
urusan bersama polis.
2 April 1, 2014
Akan tetapi, praksis dalam polis itu tidak mampu menghasilkan kebahagiaan yang
sebenarnya, melainkan paling-paling kita hanya dapat mendekatinya. Komunikasi dan
kegiatan politik yang paling berhasilpun tidak pernah sempurna, tidak pernah tanpa kegagalan,
kekecewaan, korban perasaan, dan sebagainya. Kebahagiaan yang kita capai dalam
kehidupan bersama selalu hanya bersifat kurang-lebih. Etika Aristoteles adalah etika seorang
realis : Hidup yang etis menjanjikan yang terbaik yang dapat dicapai manusia dalam hidup ini,
dan yang terbaik itu, apabila orangnya beruntung nasibnya, tidak terlalu buruk
3. Epikuros
Menurut Spaemann, ketajaman pemikiran Epikuros sangat membantu dalam
menentukan status quaestionis (letak persoalan) dasar eudemonisme. Epikuros terkenal
sebagai tokoh hedonisme. Tetapi hedonisme Epikuros adalah hedonisme yang canggih.
Epikuros sangat sadar bahwa mencari kenikmatan sebanyak-banyaknya tidak menghasilkan
eudaimonia. Dalam menikmati perlu tahu diri. Maka, yang lebih penting daripada mencari
kenikmatan adalah menghindari perasaan sakit. Cita-cita Epikureanisme adalah apathia,
keadaan dimana kita tidak menderita. Da satu hal yang sangat penting baik dalam menikmati
apa yang dapat dinikmati, maupun dalam mengusahakan apathia : Kenikmatan maupun
kebebasan dari penderitaan tidak mungkin apabila kita mengizinkan faktor waktu masuk ke
dalam kesadaran. Kenikmatan hanya dapat dinikmati sesaat, dan hanya kalau kita melupakan
masa lampau (dimana banyak hal yang membuat kita sedih) serta tidak memikirkan masa
depan (dimana banyak hal yang membuat kita takut). Berpeganglah pada saat sekarang,
itulah patokan Epikuros. Hedonisme konsekuen hanya mungkin apabila kita secara knsekuen
menjadi orang yang ahistoris, yang hidup semata-mata untuk sesaat itu, dengan
mengecualikan segala refleksi atas hidup kita (1990,45).
4. Stoa
Stoa - yang etikanya sangat berpengaruh di dunia Barat - mengambil sikap yang
berkebalikan. Bertolak dari pengertian bahwa manusia adalah makhluk dalam waktu, ia sadar
bahwa kenikmatan sesaat tidak menjamin kebahagiaan. Menurut Stoa, manusia itu bahagia
apabila kehidupannya berhasil, dan kehidupannya berhasill apabila ia dapat mempertahankan
diri. Tetapi mempertahankan diri oleh Stoa tidak diartikan secara naturalistik, sebagai survival
manusia individual. Karena manusia pun merupakan unsur dalam tatanan semesta itu.
Manusia makin beridentifikasi dengan keseluruhan, makin ia mencapai autarkia, kemandirian,
dimana ia tidak dapat mengalami sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya.
Semuanya sesuai dengan kehendak manusia karena ia menyesuaikan diri dengan semuanya.
Cita-cita ini adalah ataraxia, ketakterkejutan. Dalam atarxia itu manusia bahasia, dan ia
3 April 1, 2014
bahagia apabila apapun yang dialaminya itu sesuai dengan kehendaknya. Stoa juga tidak
tanggung-tanggung dalam kesimpulannya : Stoa tahu bahwa ada hal-hal yang tidak dapat kita
setujui, yang tidak dapat kita asimilasikan secara "stoikal", maka jalan keluar terakhir untuk
mempertahankan autarkia atau ataraxia adalah bunuh diri. Bunuh diri termasuk opsi rasional
terakhir dalam etika Stoa (dan sekurang-kurangya tiga tokoh Stoa : Zenon, Kleanthes dan
Seneca, memang melakukan bunuh diri) (1990,60).
PEMBAHASAN
1. Sekilas tentang Aristoteles
Aristoteles lahir di Stagira putra Nikomakhus, seorang tabib yang bekerja sebagai
tabib pribadi raja Amyntas III dari Makedonia pada tahun 384 SM. Ia pergi ke Athena pada
tahun 367 SM demi keamanan dan untuk belajar, mengingat Amyntas dibunuh tahun 369 SM
dan Nikomakhus juga wafat. Ia belajar kepada Plato selama 20 tahun. Pada tahun 348/347
SM Aristoteles meninggalkan Athena menuju Atarneus karena alasan adanya sentimen anti-
Makedonia karena dikuasainya Olynthus, sebuah kota yang bersekutu dengan Athena. 347-
345 SM ia bergabung dengan Erastus dan Koriskus dengan perlindungan penguasa Hermias.
Mereka ditempatkan di Assos dan Aristoteles menikah dengan Pythias, salah seorang
kemenakan Hermias. Tahun 345/344 SM ia pindah Mytilene di Lesbos kemudian pindah ke
Makedonia (343/2 SM). Ia menjadi pendidik Iskandar Agung muda putra raja Philippus dari
Makedonia. Ia kembali ke Athena pada tahun 335 SM dan membangun sekolah namanya
Lykaion. Sepeninggal Iskandar Agung, Aristoteles meninggalkan Athena dan pergi ke Kalkis
di Euboea. Hal ini dikarenakan pemberontakan orang Athena terhadap makedonia. Aristoteles
difitnah menyebarkan ateisme. Pada tahun 322 SM Aristoteles wafat di Kalkis.
Aristoteles merupakan filsuf yang mencari kebenaran di dalam alam ini. Hal inilah
yang membedakannya dari gurunya Plato. Aristoteles tidak sependapat dengan gagasan Plato
tentang adanya dunia idea yang sempurna dan tak berubah. Memang Plato berhasil
menjawab kebingungan mengenai hubungan antara dunia yang berubah dan dunia yang tak
berubah, namun ia jatuh pada penempatan dunia idea sebagai yang dunia “real” atau
sebenarnya. Ajaran Plato tentang dunia idea merupakan interpretasi yang salah terhadap
kenyataan bahwa manusia dapat membentuk konsep-konsep universal tentang hal-hal
empiris. Dengan kemampuan akal budi manusia membentuk abstraksi dari realitas empiris.
Aristoteles menginsafi bahwa manusia memiliki kemampuan bawaan, bukan pengetahuan
bawaan yang dipikirkan dalam filsafat Plato. Kemampuan bawaan itu menerima aktualisasinya
dengan pengalaman inderawi. Orang melihat kucing satu dan kucing yang lain, yang berbeda.
Kemudian manusia menyusun kategori-kategori tentang kucing.
4 April 1, 2014
2. Eudemonisme
Eudemonisme berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti kebahagiaan. Pandangan
ini berasal dari filsuf terbesar Yunani, Aristoteles (384-322 s.M). Dalam bukunya, Ethika
Nikomakheia, ia mulai dengan menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia
mengejar suatu tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai
sesuatu yang baik bagi kita. Seringkali kita mencari suatu tujuan untuk mencapai suatu tujuan
lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan
kesehatan. Timbul pertanyaan apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan
bukan karena sesuatu yang lain lagi: apakah ada kebaikan terakhir yang tidak dicari demi
sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles, semua orang akan menyetujui bahwa tujuan
tertinggi ini - dalam terminologi modern kita bisa mengatakan : “makna terakhir hidup manusia
- adalah kebahagiaan (eudaimonia)”. Tapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan
sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memerlukan semua kesulitan, karena
dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan
bahwa kesenangan adalah kebahagiaan, ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan
adalah inti kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik sebagai
kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan bahwa semua hal itu tidak bisa diterima sebagai
tujuan terakhir. Kekayaan misalnya paling-paling bisa dianggap tujuan untuk mencapai suatu
tujuan lain. Karena itu masih tetap muncul pertanyaan: Apa itu kebahagiaan?.Dimana dan
bagimana mencapai kebahagiaan?
3. Menuju Eudemonisme - Apa itu Kebahagiaan?
Dalam menjawab pertanyaan ini berbeda antara pemikiran Plato dan Aristoteles (idea
dan empiris), di mana Plato meletakan pencapaian kebahagiaan itu di dunia idea dan dengan
cara kembalinya atau menyatunya manusia dengan idea. Sedangkan Aristoteles
meletakkannya di dunia “ini” dan dengan cara mengembangkan potensi (hakikat) manusia
dalam sebuah polis. Aristoteles menjelaskan “Bila kita menyatakan bahwa fungsi manusia
adalah suatu bentuk kehidupan tertentu, dan mendefinisikan bentuk kehidupan itu sebagai
penggunaan daya kemampuan dan aktivitas jiwa dalam kaitannya dengan prinsip rasional,
dan mengatakan bahwa fungsi dari seseorang yang baik adalah melakukan aktivitas-aktivitas
ini dengan baik dan benar, dan bila suatu fungsi dilaksanakan dengan baik apabila ia
dilaksanakan sesuai dengan kesempurnaannya masing-masing – dari premis-premis ini
dapatlah dikatakan bahwa - Kebaikan manusia adalah pelaksanaan secara aktif kemampuan-
kemampuan jiwanya sesuai dengan kesempurnaan atau kebajikan, atau bila ada beberapa
5 April 1, 2014
kesempurnaan atau kebajikan manusia, sesuai dengan yang terbaik dan yang paling
sempurna di antara semuanya”. Kebahagiaan terdapat dalam kegiatan kita di mana dengan
aktif kita mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam manusia. Potensi-potensi yang
dikembangkan harusnya adalah potensi khas (yang hanya dimiliki oleh manusia) manusia.
Aktivitas yang membawa kepada kebahagiaan ialah aktivitas yang khusus dan mengakibatkan
kesempurnaannya. Sesuatu mencapai kesempurnaan bukan hanya karena ia memiliki potensi
saja namun karena potensi itu telah mencapai aktualisasinya. Kebahagiaan harus disamakan
dengan suatu aktivitas, bukan hanya dengan potensialitas saja. Yang khas manusia ialah akal
budi , rasio. Jadi kebahagiaan itu ada dalam kegiatan yang menggiatkan, yang dengannya
menjadi berkembangnya, bagian jiwa kita yang berakal budi. Jiwa adalah aktus pertama yang
menyebabkan tubuh menjadi tubuh yang hidup. Dalam kebahagiaan itu, harusnya, terjadi pula
perasaan senang (pleasure) atau perasaan bahagia yang subyektif. Memang tidak dapat
disamakan kebahagiaan dengan kesenangan, namun itu merupakan unsur yang mengikuti.
Merasa senang dalam kebahagiaan, yakni dalam pengaktualisasian potensi manusiawi.
Manusia dapat bahagia bukan dengan jalan pasif, melainkan aktif dan yang harus diaktifkan
adalah kemampuan khas manusia, akal budi.
Apakah kita akan bahagia? Aristoteles menjawab “itu tergantung dari pola hidup yang
dijalani”. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa ada tiga pola hidup manusia yakni pola hidup
mengejar nikmat, pola hidup politis (hidup aktif dengan berpartisipasi dalam kehidupan polis –
praxis) dan pola hidup kontemplatif (filosof – theoria). Aristoteles mengakui dua pola hidup
terakhir sebagai pola hidup yang mengarahkan manusia kepada kebahagiaan, tujuan akhir.
Aristoteles tidak menolak perasaan nikmat sabagai tujuan, namun itu tidak dapat dikatakan
sebagai tujuan terakhir. Dengan kata lain manusia akan mencapai kebahagiaan dalam hidup
“politis” (sosial-etis) dan dalam filsafat. Praxis adalah kehidupan etis yang terwujud melalui
partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Memang praxis adalah segala tindakan yang
dilakukan demi dirinya sendiri. Namun praxis yang terpenting adalah partisipasi dalam
kehidupan komunitas. Karena manusia adalah mahkluk sosial (zoon politikon), ia dapat
menemukan dirinya dan menggiatkan potensinya dalam masyarakat. Tindakan-tindakan itu
dilakukan dalam struktur masyarakat demi kehidupan yang baik. Theoria merupakan tindakan
yang berupaya memandang realitas-realitas rohani yang dimungkin hanya dengan
menggunakan bagian manusia yang roh. Manusia adalah zoon logon echon. Maka
kebahagiaan tercapai apabila manusia menggiatkan akal budi baik secara murni dalam
kontemplasi filosofis dan dengan secara aktif melibatkan diri dalam kehidupan komunitas.
Berarti ada dua aktivitas, yang dipandang oleh Aristoteles, yang dalam aktivitasnya
menggiatkan akal budinya.
Karena yang ditekankan mengenai tindakan atau kegiatan manusia maka mau tidak
mau harus berbicara pula tentang keutamaan. Agar manusia sungguh-sungguh bahagia
6 April 1, 2014
bukan hanya sekedar melakukan aktivitas belaka, namun juga seturut dengan keutamaan.
Yang bukan hanya dilakukan beberapa saat saja namun dalam jangka waktu yang panjang
(dalam pengalaman). Aristoteles menegaskan bahwa keutamaan-keutamaan bisa rusak
karena sikap-sikap ekstrem. Ekstrem pertama ialah sikap berlebihan dan ekstrem satunya
sikap yang kurang. Misalnya tentang kebenarian. Sebuah keberanian merupakan jalan tengah
antara takut dan nekad. Takut merupakan kekurangan keberanian sedangkan nekat (terlalu
berani) sehingga melakukan apapun yang tidak dipikirkan dengan seksama. Pandangannya
disebut “jalan tengah” (the golden mean). Selanjutnya ia menjelaskan mengenai keutamaan,
dalam hal memiliki keutamaan dengan melakukan tuntutan keutamaan, terdapat “lingkaran
setan”. Lingkaran setan dalam artian bahwa tidak dapat diandaikan mana yang lebih dulu
antara memiliki keutamaan itu ataukah melakukan sesuai dengan keutamaan. Misalnya
dengan analogi tentang ayam dan telur. Manakah yang lebih dulu antara ayam dan telur?
Dengan melakukan apa yang dituntut oleh keutamaan kita semakin memiliki keutamaan itu,
dan dengan memiliki keutamaan kita semakin mampu untuk bertindak sesuai dengan tuntutan
keutamaan. Misalnya tentang berbuat adil. Untuk menjadi adil orang harus bertindak dengan
adil, untuk bertindak adil ia harus sudah mesti adil. Hal ini menampakan bahwa kita (manusia)
punya bakat atau potensi alami untuk menjadi adil, sehingga untuk menjadi semakin adil
dengan jalan bertindak terus dengan adil. Orang bertindak adil bukan hanya dilihat dari
tindakannya yang adil namun juga dilakukan dengan sikap batin (motivasi) yang adil pula. Jadi
keutamaan bukanlah suatu emosi atau kemampuan melakukan sesuatu namun merupakan
sikap batin tetap atau disposisi. Ada dua akibat dari keutamaan yakni manusianya sendiri
menjadi baik sekaligus dapat bertindak dengan baik pula. Jadi keutamaan adalah jalan tengah
(mesotes). Jadi keutamaan-keutamaan dipahami sebagi sikap seimbang dan justru karena
itu menunjukan kematangan pada kekuatan perkembangan pribadi.
Menurut Aristoteles ada dua macam keutamaan, yakni keutamaan intelektual (aretai
dianoetikai) dan keutamaan etis (aretai etikai). Keutamaan moral (etis) merupakan suatu sikap
watak yang memampukan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrem yang
berlawanan. Hal ini tidak hanya sekali-sekali saja dilakukan namun dalam sikap hidup terus
menerus yang tetap untuk memlakukan jalan tengah. Takaran untuk menentukan jalan tengah
bagi tiap orang adalah subyektif, tidak dapat dibagi sesuai dengan aturan masing-masing.
Misalnya tentang murah hati, orang yang ekonomi lemah memberi sedekah sejumlah seribu
rupiah bagi orang minta-minta, bagi orang kaya member dengan jumlah seribu rupiah bisa
dikatakan sebagai kikir. Rasio yang menentukan pertengahan tersebut (dalam hal praktis).
Aristoteles membedakan lima keutamaan intelektual yakni akal budi (nous), kebijaksanaan
teoretis (sophia), kebijaksanaan praktis (phronesis), pengetahuan ilmiah (episteme), dan
keterampilan (techne). Keutamaan yang mengajarkan bagaimana bertindak dengan baik
adalah phronesis bukan Sophia. Aristoteles mendefinisikan phronesis sebagai disposisi atau
7 April 1, 2014
sikap tetap dalam bertindak sesuai dengan pengertian benar mengenai manusia dan apa yang
baik baginya. Phronesis tidak dapat diajarkan, melainkan tumbuh dari pengalaman da
kebiasaan untuk bertindak etis. Keutamaan moral yang sejati selalu disertai dengan
kebijaksanaan praktis. Hal ini memperlihatkan bahwa kebijaksanaan tidak pernah dapat
sempurna. Hal ini didasarkan pada situasi keberadaan manusia yang senantiasa ada dalam
keserbaberubahan. Ini benar, bagaimana mungkin hal itu dipikirkan atau dipertimbangkan
secara bijaksana bila semuanya sama dan telah tetap? Tidak perlu ada kebijaksanaan. Lalu
dimana dan bagaimana menemukan atau menggali kebijaksanaan? Di dalam dan melalui
pengalaman. Etika yang ditawarkan nampak bahwa Aristoteles tidak mengemukakan
serangkaian kaidah pasti, seperti ilmu eksak, melainkan lebih sebagai “kompas” yang
menunjukan arah-arah yang ada, untuk kita berjalan sesuai dengan arah dan tujuan kita.
Aristoteles membahas kurang lebih sebelas keutamaan, yakni keberanian, penguasaan diri,
kemurahan hati, kebesaran hati budi luhur, harga diri, sikap lemah lembut, kejujuran,
keberadaban, keadilan dan persahabatn. "Dan kebahagiaan dianggap bergantung pada
kegiatan bersantai (leisure); karena kita bersibuk-sibuk supaya kita dapat bersantai, dan
berperang agar kita hidup dalam damai."
4. Menuju Eudemonisme - Aktualisasi
Bedasarkan uraian etika Aristoteles di mana ia melihat apa yang baik bagi manusia
dengan cara menarik jawabannya dari awal (asas hakiki) manusia yang menghubungkannya
dengan tujuan hakiki manusia. Dalam pandangan Aristoteles terkesan bahwa ia menaruh
pandangan “emas” terhadap manusia. Manusia memiliki apa yang disebut potensi-potensi
yang berbeda dengan mahkluk hidup lainnya. Apa yang sesuai atau baik bagi manusia ialah
“mengembangkan” apa yang menjadi asas hakiki manusia. Penjelasan dengan membedakan
ini penting, namun ada konsekuensi negatif pula, karena dengan demikian manusia akan
sadar dan terangsang untuk mencari dirinya dan mengembangkannya. Pendekatan ini
menunjukan bahwa Aristoteles berpijak di bumi ini.
Eudemonisme juga mengajarkan pula tentang pola hidup manusiawi yang
sederhana. Pola hidup yang berbeda dengan mahkluk hidup yang lain, yang khas dari
manusia. Penekanan keperbedaan ini bukan hanya pada arah individual namun juga pada
arah kolektifitas. Manusia merupakan mahkluk individu sekaligus mahkluk sosial. Memang hal
ini tidak secara eksplisit digambarkan dalam etika Aristoteles, namun kita dapat melihatnya
dari gagasannya tentang pencapaian kebahagiaan melalui dua aras yakni melalui theoria dan
praxis. Yang pertama tentunya dilakukan secara individu dan yang kedua dilakukan dalam
kehidupan masyarakat. Manusia tidak dapat menemukan dirinya hanya dengan “menyendiri”.
Dan juga manusia tidak dapat menenmukan dirinya hanya dalam “masyarakat”. Keduanya
8 April 1, 2014
merupakan potensi yang ada dalam manusia. Bila manusia ingin menggiatkan potensi yang
utuh manusiawi, harusnya menyentuh dalam dua aras ini, individu sekaligus komunal.
Suatu hal yang realistis bila kita memikirkan apa itu kebahagiaan. Berkaca dari
aristoteles kebahagiaan bukan hanya berkaitan dengan perasaan senang saja. Kebahagiaan
sebagai manusia dapat diidekati dengan cara mengaktualisasikan diri dengan baik. Melakukan
yang baik dengan keutamaan-keutamaan, baik keutamaan moral (etis) maupun keutamaan
intelektual. Menuju aktualisasi potensi manusia sama dengan menuju kebahagiaan ala
Aristoteles.
5. Tinjauan terkait Eudemonisme
Pemikiran Aristoteles tentang etika tentu lebih kompleks dan berisi daripada yang
sempat diuraikan di atas. Kami terutama menguraikan pemikirannya tentang keutamaan dan
itupun hanya secara singkat. Memang benar, pemikiran tentang keutamaan adalah bagian
paling menarik dalam etikanya. Tapi ajarannya mempunyai kelemahan juga. Salah satu
kelemahan adalah bahwa daftar keutamaan yang disebut olehnya tidak merupakan hasil
pemikiran Aristoteles saja tapi mencerminkan pandangan etis dari masyarakat Yunani pada
waktu itu dan lebih khusus lagi mencerminkan golongan atas dalam masyarakat Athena
tempat Aristoteles hidup. Dan ternyata tidak bisa diharapkan juga ia akan menyajikan daftar
keutamaan yang berlaku selalu dan dimana-mana. Pasti ada sejumlah keutamaan yang
berlaku agak umum. Tapi di samping itu setiap kebudayaan dan setiap periode sejarah akan
memiliki keutamaan-keutamaan sendiri, yang belum tentu sama dalam kebudayaan atau
periode sejarah lain. Kerendahan hati, misalnya, merupakan keutamaan yang berasal dari
tradisi lain dan belum bisa diharapkan dalam pembahasan Aristoteles. Suka bekerja keras
merupakan contoh lain tentang keutamaan yang tidak mungkin ditemukan pada Aristoteles.
Malah ia memandang rendah pekerjaan fisik, sesuai dengan pandangan Yunani pada waktu
itu.
Keberatan lain menyangkut pemikiran Aristoteles tentang keutamaan sebagai jalan
tengah antara sua ekstrem. Aristoteles menjelaskan hal itu dengan sebuah analisis bagus dan
tajam tentang keberanian, misalnya. Tapi soalnya adalah apakah keutamaan selalu
merupakan jalan tengah antara “kurang’ dan “terlalu banyak”. Aristoteles sendiri mengalami
kesulitan dengan keutamaan seperti pengendalian diri. Perbuatan seperti makan terlalu
banyak, jelas bertentangan dengan keutamaan pengendalian diri. Tapi jika orang makan
kurang daripada apa yang dianggap perlu , apakah perbuatannya melanggar keutamaan itu
juga ? rupanya sulit mengatakan demikian. Perbuatan seperti berpuasa justru dianggap suatu
perbuatan terpuji dan pelaksanaan keutamaan pengendalian diri. Aristoteles sendiri mengakui
9 April 1, 2014
bahwa praktis tidak ada manusia yang tak acuh terhadap makanan, sehingga segi “kurang” di
sini sulit ditunjukkan.
Tadi sudah dijelaskan bahwa pemikiran Aristoteles diwarnai suasana eliter karena
terutama mencerminkan golongan atas dalam mesyarakat Yunani waktu itu. Bisa ditambah
lagi bahwa pada Aristoteles kita sama sekali belum melihat paham hak manusia, apalagi
persamaan hak semua manusia. Malah ia membenarkan secara rasional lembaga
perbudakan, karena ia berpendapat bahwa beberapa manusia menurut kodratnya adalah
budak. Suatu pandangan menurut orang modern justru tidak etis. Tapi keberatan ini tidak perlu
terlalu ditekankan, karena kita tidak bisa mengkritik seseorang karena dia anak dari
zamannya. Kita tidak bisa menghukum filsuf Yunani kuno ini, karena belum termasuk zaman
modern.
Etika Aristoteles dan khususnya ajarannya tentang keutamaan tidak begitu berguna
untuk memecahkan dilemma-dilema moral besar yang kita hadapi sekarang ini. Pemikirannya
tidak membantu banyak dalam mencari jalan keluar bagi masalah-masalah moral penting di
zaman kita, seperti misalnya risiko penggunaan tenaga nuklir, reproduksi artificial, percobaan
medis dengan embrio dan sebagainya. Disini kita membutuhkan pertimbangan –pertimbangan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pandangan Aristoteles tentang keutamaan lebih cocok
untuk menilai kadar moral seseorang berdasarkan perbuatan-perbuatannya, termasuk juga
hidup moralnya sebagai keseluruhan.
KESIMPULAN
Eudemonisme adalah salah satu filsafat moral yang menganut tentang kebahagiaan.
Aristoteles menulis panjang lebar tentang hidup baik dan kebahagiaan dan menegaskan
bahwa hidup yang paling baik dan paling bahagia adalah hidup dengan penalaran dan
perbuatan penuh kebajikan. Aristoteles menegaskan dan kita juga menekankan bahwa hidup yang baik adalah
hidup yang bahagia, dan kegembiraan meliputi kepuasan pribadi. Tetapi kegembiraan dan
kepuasan keinginan khusus seseorang belum merupakan kebahagiaan, seperti yang kita
temukan dengan mudah oleh Socrates dan Aristoteles sebagai menyerah kepada keinginan
yang kita ketahui salah atau buruk bagi kita. Memuaskan keinginan kita langsung tidak sama dengan kepuasan diri. Kebahagiaan
menuntut pemikiran yang panjang/hati-hati/teliti- pandangan yang jauh tentang kegembiraan
pribadi- dan bukan sekedar keegoisan. Dan sebaliknya pemikiran yang teliti mencakup
pertimbangan-pertimbangan yang kiranya tidak ada dalam kepentingan diri kita sama sekali.
Kepuasan diri itu mempunyai banyak tingkatan dan ada batasannya juga. Kepuasan diri tidak
selalu ada dalam hidup yang baik.