pemanfaatan lahan kering marginal melalui integrasi tanaman pangan, tanaman pakan, dan ternak...

30
1 PEMANFAATAN LAHAN KERING MARGINAL MELALUI INTEGRASI TANAMAN PANGAN, TANAMAN PAKAN, DAN TERNAK RUMINANSIA Latar Belakang Semakin menyempitnya lahan pertanian subur karena banyak digunakan sebagai pemukiman, perkantoran, maupun fasilitas umum lainnya, menyebabkan perlunya upaya pemanfaatan lahan kering secara lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas lahan kering dipicu pula oleh adanya kondisi gizi buruk di masyarakat, merebaknya penyakit-penyakit seperti busung lapar, polio, deman berdarah dan lain- lain penyakit berbahaya yang disebabkan oleh kondisi tubuh yang melemah akibat kekurangan gizi. Yudo Husodo (2005) dalam Karda dan Spudiati (2012) menyatakan bahwa pengembangan subsektor peternakan memiliki arti penting dipandang dari sudut peningkatan SDM (sumber daya manusia) karena kualitas SDM sangat ditentukan oleh konsumsi protein hewani yang pada gilirannya menentukan kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan bangsa disamping pendidikan dan layanan kesehatan yang baik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa SDM lebih dominan mempengaruhi kemajuan suatu bangsa dibandingkan kekayaan sumber daya alamnya. Sumber pakan dilahan kering cukup beragam dan bervariasi, selain yang bersumber dari lahan penggembalaan atau lahan umum yang selama ini berfungsi sebagai penyuplai HMT. Tanpa adanya upaya-upaya perbaikan dan pelestarian vegetasi maka akan terjadi penurunan kemampuan daya suplainya. Berkaitan dengan bertambahnya populasi ternak tanpa adanya eksplorasi sumber pakan maka akan terjadi kekurangan pakan pada musim kemarau, hal ini yang seringkali terjadi pada daerah lahan kering. Namun bila kita melihat pola usahatani yang ada di suatu wilayah pedesaan memiliki potensi sebagai sumber-sumber

Upload: askari-zakariah

Post on 09-Aug-2015

196 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

1

PEMANFAATAN LAHAN KERING MARGINAL MELALUI INTEGRASI

TANAMAN PANGAN, TANAMAN PAKAN, DAN TERNAK RUMINANSIA

Latar Belakang

Semakin menyempitnya lahan pertanian subur karena banyak

digunakan sebagai pemukiman, perkantoran, maupun fasilitas umum

lainnya, menyebabkan perlunya upaya pemanfaatan lahan kering secara

lebih intensif untuk budi daya tanaman pangan, perkebunan dan tanaman

pakan serta peternakan. Perlunya peningkatan produktivitas lahan kering

dipicu pula oleh adanya kondisi gizi buruk di masyarakat, merebaknya

penyakit-penyakit seperti busung lapar, polio, deman berdarah dan lain-

lain penyakit berbahaya yang disebabkan oleh kondisi tubuh yang

melemah akibat kekurangan gizi.

Yudo Husodo (2005) dalam Karda dan Spudiati (2012) menyatakan

bahwa pengembangan subsektor peternakan memiliki arti penting

dipandang dari sudut peningkatan SDM (sumber daya manusia) karena

kualitas SDM sangat ditentukan oleh konsumsi protein hewani yang pada

gilirannya menentukan kualitas pertumbuhan fisik dan kecerdasan bangsa

disamping pendidikan dan layanan kesehatan yang baik. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa SDM lebih dominan mempengaruhi kemajuan suatu

bangsa dibandingkan kekayaan sumber daya alamnya.

Sumber pakan dilahan kering cukup beragam dan bervariasi, selain

yang bersumber dari lahan penggembalaan atau lahan umum yang

selama ini berfungsi sebagai penyuplai HMT. Tanpa adanya upaya-upaya

perbaikan dan pelestarian vegetasi maka akan terjadi penurunan

kemampuan daya suplainya. Berkaitan dengan bertambahnya populasi

ternak tanpa adanya eksplorasi sumber pakan maka akan terjadi

kekurangan pakan pada musim kemarau, hal ini yang seringkali terjadi

pada daerah lahan kering. Namun bila kita melihat pola usahatani yang

ada di suatu wilayah pedesaan memiliki potensi sebagai sumber-sumber

Page 2: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

2

pakan alternatif. Disamping itu lahan-lahan usahatani masih

memungkinkan untuk ditanami jenis hijauan pakan ternak unggul dengan

kriteria tahan kekeringan, produksi tinggi dan memiliki kandungan nutrisi

yang baik sehingga akan menjamin kontinuitas pakan ternak sepanjang

tahun (Sasongko dkk, 2012). Potensi lahan kering di NTB yang cukup

besar memiliki ekosistem yang rapuh dan mudah terdegradasi apabila

pengelolaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang tepat, topografi

umumnya berbukit dan bergunung, ketersediaan air tanah yang terbatas,

lapisan oleh tanah dangkal, mudah tererosi, teknologi diadopsi dari

teknologi lahan basah yang tidak sesuai untuk lahan kering, infrasturktur

tidak memadai, sumberdaya manusia rendah, kelembagaan sosial

ekonomi lemah (Suwardji dan Tejowulan, 2003 dalam

Sasongko dkk, 2012).

Ada tiga komponen teknologi utama dalam sistem integrasi

tanaman-ternak di lahan kering : (a) teknologi budidaya ternak; (b)

teknologi budidaya tanaman; (c) teknologi pengolahan limbah pertanian

untuk pakan dan pembuatan kompos. Teknologi dalam budidaya ternak

adalah pengandangan ternak dalam pola kelompok, yang dibarengi

dengan penerapan teknologi pemeliharaan ternak, termasuk strategi

pemberian pakan. Teknologi budidaya tanaman yang biasa diusahakan di

lahan kering berupa sistim tumpang sari. Teknologi pengolahan limbah

pertanian sebagai pakan ternak menjadi salah satu kunci keberhasilan

sistem integrasi tanaman-ternak, disamping teknologi pengolahan dan

pemanfaatan kompos untuk meningkatkan kesuburan lahan. Agar

komponen teknologi tersebut dapat diintegrasikan secara sinergis, maka

pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak dilakukan dengan

pendekatan kelembagaan sebab kalau diserahkan kepada petani secara

perorangan tidak akan menguntungkan mengingat penguasaan lahan

yang sempit dan pemilikan ternak yang terbatas (Haryanto et al., 2002

dalam Sukar et al., 2005).

Page 3: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

3

Azas pengolahan lahan kering adalah menciptakan lingkungan

perakaran yang dalam, mempertahankan kemampuan tanah menyimpan

air dan mengedarkan udara. Tindakan terakhir adalah memperkaya tanah

dengan zat hara tersedia untuk akar (Go Ban Hong, 1976 dalam Hasnudi

dan Saleh, 2004). Lingkungan perakaran yang dalam mensyaratkan

pembuangan kelebihan air melalui rembesan dalam dan melalui aliran

permukaan untuk memantapkan zarah-zarah (hara) tanah. Humus

sebagai salah satu hasil perombakan zat organik membentuk zarah

majemuk dan mantap (Hasnudi dan Saleh, 2004).

Untuk mencapai keberhasilan dalam usaha tani berkelanjutan di

lahan kering diperlukan pengetahuan yang cukup tentang beberapa faktor

yang mendukung peningkatan produksi serta berbagai kendala yang

dapat mempengaruhi degradasi lahan. Hal ini sangat menentukan dalam

pengelolaan lahan dan konservasinya pada dua tipe lahan kering (lahan

kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering) yang agak berbeda

(Sopandie dan Utomo, 1995).

Sumberdaya Lahan Kering dan Permasalahannya

Lahan Kering Beriklim Basah

Berdasarkan kemiringan lereng, lahan kering yang dinilai potensial

untuk pertanian adalah yang berkemiringan <15%, yang luasnya

diperkirakan 34,6 juta ha, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

dan Irian Jaya. Dari luasan tersebut 20,7 juta ha (60%) didominasi oleh

tanam masam podsolik merah kuning yang umumnya tersebar pada

daerah beriklim basah dengan bahan induk yang miskin unsur hara,

dengan produktivitas rendah. Kesuburan tanah sangat tergantung pada

lapisan tanah yang bersifat labil dan cepat menurun, sehingga tanpa

pengolahan bahan organik secara memadai produktivitas lahan akan

cepat menurun (Partohardjono et al., 1993 dalam Sopandie dan

Page 4: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

4

Utomo, 1995). Berdasarkan curah hujan, lahan kering beriklim basah

berada pada wilayah dengan tipe iklim A (9 bulan basah) dan B (7-9 bulan

basah). Umumnya curah hujan pada daerah ini lebih dari 2.200 mm/tahun

dengan distribusi relatif merata dan cukup menunjang untuk bertanam

sepanjang tahun. Kendala yang penting pada lahan kering beriklim basah

adalah pH yang masam, keracunana Al dan Fe, erosi yang tinggi, dan

gangguan penyakit blas (Sopandie dan Utomo, 1995).

Kemasaman merupakan kendala utama di tanah sulfat masam.

Sumber kemasaman ini berasal dari senyawa pirit (FeS2) yang teroksidasi

melepaskan ion-ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh penurunan pH

menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al meningkat

sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk padi tidak dapat

tumbuh secara normal. Pengapuran pada awalnya dianggap mampu

mengatasi permasalahan tersebut, akan tetapi karena tanah sulfat masam

memiliki pH yang berfluktuasi bergantung musim, maka ternyata

pengapuran tersebut tidak efektif. Hal tersebut dicirikan pada tanaman

padi yang mengalami keracunan Al walaupun telah dilakukan pemberian

kapur sebelum penanaman. Akibatnya produksi padi pada tanah sulfat

masam menjadi sangat rendah bahkan sampai tidak menghasilkan

(Ahfyanti dan Dwi, 2008).

Tingginya tingkat kelarutan Al pada tanah-tanah masam dapat

ditanggulangi melalui pemberian kapur (Ca++), namun cara ini

membutuhkan biaya tinggi serta cenderung merusak lingkungan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa batuan kapur alami juga

mengandung logam-logam berat yang dapat membahayakan lingkungan.

Di samping itu pemberian kapur yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan

berkurangnya tingkat ketersediaan hara-hara mikro tanah yang diperlukan

tanaman. Dengan demikian perlu dicarikan alternatif penurunan kadar Al

terlarut ini dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan. Salah

satu cara yang mungkin dapat dikembangkan adalah memanfaatkan

jenis-jenis tumbuhan yang mampu mengakumulasi Al pada jaringannya

Page 5: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

5

tanpa mengakibatkan keracunan unsur ini pada tanaman yang

bersangkutan. Melastoma malabathricum L. adalah salah satu jenis

tumbuhan yang dikenal mampu menyerap Al dalam jumlah yang tinggi

dan tidak menunjukkan gejala keracunan Al. Hasil penelitian

Watanabe et al. (1998) dalam Suhardi (2012) menunjukkan

bahwa Melastoma malabathricum L. mampu mengakumulasi Al pada

daun muda, dewasa, tua dan akar masing-masing sebanyak 8.000, 9.200,

14.400 dan 10.400 ppm Al dengan tidak menunjukkan keracunan Al.

Penurunan kadar Al ini diharapkan pada gilirannya juga akan

meningkatkan ketersediaan P serta memperbaiki efisiensi serapan P oleh

tanaman. Dengan demikian pemanfaatan Melastoma malabathricum L. ini

untuk menurunkan kandungan Al larut serta meningkatkan ketersediaan P

tanah adalah sangat mungkin (Suhardi, 2012).

Keracunan Fe atau bronzing dapat menyebabkan pertumbuhan

padi terhambat, menurunkan produktivitas tanaman dan kematian

tanaman (Jenning et al., 1979 dalam Suhartini, 2004). Penyebab utama

dari keracunan Fe di berbagai daerah dapat beragam, keracunan Fe

dapat terjadi pada keadaan pH rendah, besi terlarut tinggi, kadar kation

rendah, KTK rendah atau kombinasi berbagai faktor tersebut

(Ottow et al., 1982 dalam Suhartini, 2004). Keracunan Fe merupakan

gejala fisiologis yang kompleks yang disebabkan oleh kondisi tanaman

meliputi fisik, hara, fisiologik, dan kondisi tanah yang mengandung Fe

berlebihan (Ottow et al., 1989 dalam Suhartini, 2004). Gejala tanaman

padi keracunan Fe ditandai oleh daun berwarna oranye atau bronzing,

pembungaan terhambat, proses sintesis terhenti, tanaman menjadi kerdil,

bagian akar menebal dan berwarna coklat, kasar, dan pendek. Pada

kondisi yang parah batang dan daun menjadi busuk dan tanaman

akhirnya mati. Tahapan keracunan besi pada padi menurut Ottow et al.

(1989) dalam Suhartini (2004) terdiri atas dua fase. Pertama, fase 7 hari

setelah penggenangan (stress pemindahan bibit). Pada fase ini akar

belum mampu mengoksidasi kelebihan ferro menjadi ferri selama

Page 6: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

6

penggenangan. Dengan kata lain, mekanisme excluding powernya belum

berfungsi. Akibatnya ion ferro yang berlebihan akan banyak terserap oleh

tanaman. Kedua, fase antara primordia dan berbunga yang disebabkan

oleh tidak efektifnya mekanisme akar untuk menolak ferro akibat makin

permeabilitasnya akar tanaman. Namun gejala keracunan Fe dapat

terlihat pada setiap stadia pertumbuhan, dan sebaiknya dievaluasi pada

fase anakan maksimum dan primordia (Van Breeman and Moormann,

1978 dalam Suhartini, 2004). Tanaman yang kekurangan hara makro

akan menunjukkan perubahan drastis dalam metabolisme. Kekurangan K

atau Ca menambah permeabilitas dan kerusakan metabolit. Pada

tanaman yang kekurangan K dan molekul penyusun metabolit tanaman

rendah akan mengalami hambatan dalam menyusun bentuk molekul tinggi

karena beberapa proses sintesis terhenti. Dengan demikian, tanaman

yang kecukupan hara mampu melindungi lapisan akar, permeabilitas akar

terkontrol dan akar tanaman memiliki kapasitas oksidasi yang kuat dan

reduksi besi rendah (Suhartini, 2004). Kombinasi pemupukan N, P, K

dengan pengapuran dan penggunaan bahan organik merupakan teknologi

yang baik untuk menanggulangi keracunan Fe (Kasno, 2009).

Upaya atau teknologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi

masalah keracunan Fe pada tanaman padi adalah dengan penggunaan

asam humat yang diperoleh dari berbagai jenis bahan organik dan

pengelolaan air. Pengendalian keracunan Fe dengan pengelolaan air

dapat terjadi melalui pencucian Fe larut dan oksidasi besi larut (Fe2+)

menjadi besi tidak larut (Fe3+). Denganpengelolaan air secara terus

menerus selama pertumbuhan tanaman padi diharapkan dapat menekan

bahaya keracunan Fe. Pengaturan drainase dapat menurunkan kadar

Fe2+ dan Mn2+ di tanah, meningkatkan serapan hara makro dan

menurunkan kadar Fe dan Mn di tanaman. Namun interval drainase yang

tepat belum ditemukan, untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.

Asam humat memiliki peranan besar dalam memperbaiki tingkat

kesuburan tanah baik secara kimia, fisika maupun biologi. Asam humat

Page 7: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

7

dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas memegang air

tanah dan kapasitas tukar kation tanah serta dapat menurunkan kelarutan

unsur yang dapat meracun seperti Fe dan Al melalui pembentukan

senyawa metal organo komplek atau khelat. Asam humat dapat diekstrak

dari sisa-sisa tanaman, pupuk organik, dan berbagai jenis bahan organik

yang telah didekomposisikan seperti tanah gambut, jerami padi, pupuk

kandang, sampah kota, dan alang-alang (Anonimous, 2011).

Lahan Kering Beriklim Kering

Lahan kering beriklim kering banyak dijumpai di wilayah timur

Indonesia (Nusa Tenggara, Timor Timur, Sulawesi, dan Maluku). Dari

segi kimia tanah relatif lebih baik dibandingkan dengan lahan kering

beriklim basah, karena pH mendekati netral dan pelindiannya terbatas,

sehingga relatif kaya unsur-unsur basa seperti K, Ca, dan Mg. Curah

hujan yang rendah dan umumnya juga bersifat eratik merupakan kendala

utama bagi pengembangan tanaman pangan (Partohardjo et al., 1993

dalam Soepandi dan Utomo, 1995). Lahan kering beriklim kering dicirikan

dengan curah hujan rendah 1.000-1.500 mm/tahun selama 3-4 bulan

dengan distribusi tidak teratur. Fluktuasi curah hujan sangat tinggi, pada

suatu saat bisa mencapai 100 mm per hari atau bisa berhenti sama sekali

selama 2-3 minggu.

Pengelolaan Lahan dan Teknik Konservasi

Degradasi lahan diartikan sebagai suatu penurunan produksi lahan,

baik kualitatif maupun kuantitatif, sebagai akibat berbagai proses seperti

erosi, salinasi, pencucian hara tanaman, pengrusakan struktur tanah dan

polusi. Di lahan kering beriklim basah yang topografinya bervariasi dari

datar sampai bergunung, erosi telah merupakan salah satu penyebab

degradasi lahan yang dominan. Selanjutnya, pencucian (leaching),

Page 8: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

8

akumulasi unsur-unsur beracun (toxic) dan polusi yang diakibatkan

pemberian pestisida yang tidak terkendali dapat menyebabkan degradasi

lahan. Pada lahan kering beriklim kering, sering terjadi pembukaan lahan

di daerah hulu DAS yang tidak terkendali menyebabkan erosi dan

rusaknya fungsi hidrologi. Sebenarnya penyebab degradasi lahan yang

mendasar adalah kesalahan dalam pengelolaan.

Untuk mencapai keberhasilan usaha tani berkelanjutan di lahan

kering perlu memperhatikan beberapa faktor yang mendukung

peningkatan produksi serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses

degradasi lahan. Peningkatan produksi di lahan kering dapat dicapai

melalui cara budidaya tanaman yang tepat seperti : diversifikasi tanaman

(multiple cropping), penggunaan varietas unggul, pengolahan tanah yang

tepat, pola tanam sesuai ekosistem, pemupukan, pengelolaan air,

pengendalian hama terpadu, pengendalian gulma, serta upaya konservasi

tanah dan air.

Diversifikasi Tanaman

Diversifikasi tanaman merupakan salah satu strategi penting dalam

usahatani pada lahan kering. Kombinasi berbagai komoditas tanaman

pangan, tanaman tahunan dan pemeliharaan ternak dinilai dapat

menjamin produktifitas dan keberlanjutan usaha tani.

Pada lahan kering masam (lahan kering beriklim basah),

kandungan bahan organik pada podsolik merah kuning dapat

dipertahankan dengan menerapkan daur ulang, yaitu pemanfaatan pupuk

kandang dan limbah pertanian (Partohadjono et al., 1993 dalam Soepandi

dan Utomo, 1995). Budidaya lorong (alley cropping) dengan

menggunakan leguminosa sebagai tanaman pagar (misalnya lamtoro)

dinilai mampu meningkatkan keberadaan bahan organik tanah. Pada

lahan kering di daerah beriklim kering, pengembangan usaha tani

diarahkan untuk memanfaatkan lahan datar di pelembahan, dengan

Page 9: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

9

kendala populasi gulma yang tinggi. Pada kondisi demikian tampaknya

sistem tumpang sari dan introduksi tanaman tahunan cukup memberikan

harapan.

Keberhasilan dari pola pertanaman multiple cropping ini tampaknya

dikaitkan pada dua keuntungan, yaitu pemanfaatan ruang kosong secara

optimal dan cepatnya penutupan tanah oleh vegetasi yang memperkecil

laju erosi.

Pola Tanam Berdasarkan Ekosistem

Dengan adanya perbedaan karakteristik ekosistem antara lahan

kering beriklim basah dengan lahan kering beriklim kering, maka pola

tanam tentunya akan berbeda. Pada lahan kering beriklim basah, curah

hujan merata sepanjang tahun, maka dapat dipilih komoditi tanaman sela

yang dapat menutup tanah sepanjang tahun seperti jagung dan kacang-

kacangan. Urutan penanamannya diatur secara tumpang sari.

Pengolahan Tanah

Dengan ciri lapisan bahan organik yang tipis pada kebanyakan

lahan kering, maka yang diperlukan ialah tindakan yang sekecil mungkin

yang menyebabkan gangguan di permukaan tanah. Teknik tanpa olah

tanah (TOT) atau pengolahan tanah minimum diikuti dengan perlakuan

herbisida yang terkendali serta pemberian mulsa dapat dilakukan pada

lahan kering. Pemberian pupuk N yang memadai dapat membantu dalam

mempercepat dekomposisi gulma yang mati oleh herbisida. Herbisida

yang diberikan harus selektif, dimana kehidupan mikroorganisme tanah

yang berguna tetap terpelihara kelestariannya. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa pemberian herbisida glisofat pada teknik TOT tidak

mengganggu perkembangan organisme tanah.

Page 10: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

10

Pemberian Mulsa

Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa cukup efektif untuk

mempertahankan kadar bahan organik tanah dan produktivitas lahan

(Kurnia dan Suwardjo, 1989 dalam Soepandi dan Utomo, 1995). Selain

sisa tanaman, bahan mulsa dapat diperoleh dengan sistem tanaman

lorong dengan tanaman legum yang dipangkas secara berkala. Efektifitas

penggunaan mulsa dalam mengurangi erosi masih terlihat pada lahan

dengan kemiringan sampai 15%.

Pemupukan

Pemberian pupuk perlu disesuai dengan kesuburan tanah. Pupuk

urea, TSP, dan KCl diberikan untuk meningkatkan kesuburan tanah.

Konservasi Lahan

Karena besarnya variasi lingkungan lahan kering, maka teknologi

yang diperlukan juga bervariasi sesuai kondisi setempat. Pada lahan

dengan kemiringan lebih dari 15%, pembuatan teras (bangku, kredit, atau

gulud) dengan penanaman rumput perlu dipertimbangkan. Pada

pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bertujuan optimal

sebaiknya dikaitkan dengan beberapa upaya pokok antara lain : (a)

pengolahan lahan yang berlandaskan kaidah konservasi tanah dan air

dalam arti luas, (b) pendayagunaan sumberdaya air dan iklim secara

optimal, (c) pengelolaan vegetasi hutan, pangan dan pakan, (d)

pembinaan sumber daya manusia secara bijaksana, dan (e) pemilihan

komoditi sesuai agroekologi (Abas et al., 1989 dalam Soepandi dan

Utomo, 1995).

Konservasi air dapat ditentukan melalui cara-cara yang dapat

mengendalikan evaporasim transpirasi, dan aliran permukaan. Pada

Page 11: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

11

lahan kering, teknik konservasi air yang penting meliputi : pengendalian

aliran permukaan, penyadapan/pemanenan air, meningkatkan kapasitas

infiltrasi tanah, pengolahan tanah minimum dan beberapa upaya

pengelolaan air tanah. Pada hakekatnya beberapa tindakan konservasi

tanah adalah merupakan tindakan konservasi air.

Tanaman Pakan Penambat Nitrogen

Hampir tidak ada tanaman dapat bertumbuh tanpa adanya nitrogen

(N) dan kebanyakan tanah di daerah tropis telah diketahui memiliki

cadangan N rendah. Namun, tidak demikian halnya dengan tanaman

penambat N, mereka semata-mata tidak tergantung dengan cadangan N

dalam tanah tetapi mereka mampu menambatnya melalui simbiosis

dengan mikroba tanah. Oleh karena itu beberapa spesies tanaman

penambat N menjadi penting bagi kelangsungan hidup keluarga pedesaan

di daerah tropis sebagai penyedia berbagai produk dan jasa.

Roshetko (2001) dalam Karda dan Spudiati (2012) melaporkan berbagai

fungsi tanaman penambat N antara lain sebagai sumber kayu api dan

arang, pakan, penyubur tanah, kayu bangunan dan sebagai pangan untuk

manusia.

Dengan demikian tanaman panambat N sangat ideal digunakan

sebagai tanaman integrasi dalam sistem pertanian terpadu. Hal ini

disebabkan oleh beberapa sifat-sifat yang menguntungkan seperti

1) memiliki tajuk kecil dan tipis sehingga rawang sinar matahari, 2) mampu

bertunas kembali dengan cepat setelah pemangkasan, 3) memiliki sistem

perakaran yang dalam dengan sedikit percabangan akar lateral dekat

permukaan tanah agar tidak bersaing dengan akar tanaman pertanian,

4) guguran daun dapat terdekomposisi dalam jumlah tertentu yang dapat

menghasilkan unsur hara pada saat unsur hara tersebut diperlukan dalam

daur tanaman pertanian, 5) mampu mengikat N dari udara dan juga dapat

menghasilkan kayu, pakan ternak, obat-obtan dan hasil-hasil lainnya,

Page 12: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

12

6) dapat tumbuh dengan baik pada lahan dengan keterbatasan-

keterbatasan tertentu seperti keasaman tanah, kekeringan,

penggenangan air, angin keras, hama serangga dan lain-lain (Lahjie, 2001

dalam Karda dan Spudiati, 2012).

Integrasi Tanaman Kelapa dan Tanaman Penambat N

Keberhasilan tumpang sari pada perkebunan kelapa telah

dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti Opio (1986) di Samoa Barat dan

Liyanage (1984) di Sri Lanka disitasi oleh Roshetko (2001) dalam Karda

dan Spudiati (2012) yaitu berupa peningkatan buah kelapa sehingga

pendapatan menjadi dua kali lipat dari hasil kelapa. Tanaman tumpang

sari yang diusahakan adalah cengkeh, lada hitam, coklat, kopi dan

tanaman semusim lainnya.

Dengan semakin diperlukan peningkatan produksi dan pengelolaan

lahan secara berkelanjutan, maka integrasi tanaman pakan penambat N

ke dalam perkebunan kelapa menjadi makin popular karena tanaman

pakan dapat menambah N ke dalam tanah perkebunan kelapa yang pada

umumnya miskin N, terutama pada daerah-daerah pantai dimana

tanahnya didominasi oleh bahan karang yang miskin unsur hara. Pada

saat yang sama tanaman pakan dapat menyediakan hasil-hasil berupa

kayu api dan pakan bergizi tinggi sebagai pakan tambahan pakan basal

sehingga dapat menurunkan tekanan penggembalaan. Tanaman

penambat N yang dipercaya baik pada saat ini digunakan sebagai

tanaman tumpang sari kelapa adalah lamtoro gung (Leucaena

leucocephala) dan gamal (Gliricidia sepium).

Tiga sistem integrasi tanaman pakan ke dalam perkebunan kelapa

akan diuraikan yang dipersiapkan dari buku Agroforestry Species and

Technologies oleh Roshetko (2001 dalam Karda dan Spudiati 2012).

1. Kelapa, coklat dan gamal. Pada sistem ini, gamal menyediakan

naungan kepada tanaman coklat, terutama pada perkebunan kelapa

Page 13: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

13

yang baru dibentuk dimana kelapa yang masih muda usianya tidak

menyediakan naungan secara mencukupi untuk tanaman coklat.

Gamal ditanam dari potongan batang dengan jarak tanam 3 x 3 atau 6

x 6 m. Bilamana gamal dipandang telah cukup menyediakan naungan,

maka coklat dapat ditanam di bawahnya dengan jarak tanam 2 x 2 m.

Gamal sebaiknya dipangkas secara teratur sampai setinggi 2-3 m

untuk menyeragamkan tajuk, penghasil pupuk hijau dan kayu api.

2. Kelapa, gamal dan sapi. Pada sistem ini gamal ditanam dibawah

pohon kelapa yang telah dewasa baik di daerah basah maupun kering.

Potongan batang sepanjang 1,5 m dengan diameter 2,5 cm ditanam

dengan jarak tanam 2,0 x 0,9 m dalam dua barisan tanaman disela-

sela tanaman kelapa. Pemangkasan gamal dilaksanakan setelah

tanaman berumur satu tahun setinggi 1 m dan setelah itu setiap enam

bulan. Hasil pangkasan dapat digunakan sebagai pupuk hijau atau

sebagai pakan sapi. Bila digunakan sebagai pupuk hijau maka

dilaporkan dapat meningkatkan berat buah kelapa secara significan.

Denikian pula bila digunakan sebagai pakan tambahan untuk sapi

(50%/50%) gamal dan rumput cori (Brachiaria miliformis) dapat

menghasilkan tambahan berat badan sapi 700 gr/ekor/hari.

3. Kelapa, lamtoro dan pastura. Pada sistem ini sering kali lamtoro

ditanam ke dalam pastura dibawah pohon kelapa untuk menambah

gizi padangan bila dilakungan penggembalaan. Lamtoro ditanam

dalam dua barisan secara rapat (jarak tanam 0,5 x 0,5 m). Untuk

memperoleh hasil yang memuaskan disarankan agar penggembalaan

dilakukan secara berrotasi sehingga dapat memberikan kesempatan

bagi pertumbuhan kembali lamtoro secara baik.

Managemen Tanaman Kelapa

1. Jarak tanam dan pengaturan penanaman. Jarak tanam yang

direkomendasikan agar diperoleh produksi pastura dan kelapa yang

Page 14: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

14

optimal adalah 10 x 10 m pada lahan datar dan 9 x 9 m pada lahan

miring dengan pengaturan penanaman bersegitiga dibandingkan

bersegiempat.

2. Pemupukan. Pemberian pupuk potas (potassium muriate) dengan

jalan membuat lubang disekitar pangkal batang setiap tanaman kelapa

telah pula direkomendasikan.

3. Siklus pertumbuhan dan penggembalaan.

Fase I, 0-5 tahun penggembalaan sapi dihindarkan agar tidak

merusak tanaman kelapa yang masih muda. Karena banyak tersedia

sinar matahari maka dapat ditanami tanaman yang memerlukan sinar

matahari bayak seperti cabai, kol, dan ketela pohon dan pakan ternak

yang dipotong dan dibawa ke kandang.

Fase II, 5-20 tahun, produksi pastura rendah karena naungan pohon

kelapa semakin meningkat, maka penanaman tanaman yang tahan

naungan dapat disarankan seperti coklat.

Fase III, 20 tahun hingga penggantian pohon kelapa merupakan

waktu ideal untuk penggembalaan.

Untuk pengembangan lebih lanjut perlu penelitian integrasi

tanaman pakan dan ternak dengan perkebunan mangga, pisang, jambu

mete untuk meningkatkan pendapatan petani lahan kering, terutama

sebelum tanaman buah-buahan berproduksi menyangkut jarak tanam

yang ideal serta pendapatan total dibandingkan dengan pertanaman

monokultur. Di Kapet Bima dilaporkan tersedia lahan seluas 205.194 ha

untuk penanaman jambu mete (Ichsan, 2001 dalam Karda dan Spudiati,

2012) yang perlu diintegrasikan dengan tanaman pakan dan ternak untuk

meningkatkan pendapatan petani.

Bank Pakan pada Lahan Kering/Lahan Tidur

Bank pakan biasanya terdiri dari tanaman pohon atau semak dari

jenis leguminosa yang dikelola secara intensif. Menurut para akhli, bank

Page 15: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

15

pakan bertujuan untuk menjembatani kekurangan pakan pada saat musim

kemarau yang terjadi setiap tahun. Pada umumnya ditanam melalui biji

pada lahan yang telah dipersiapkan dengan baik. Meskipun demikian

bank pakan dapat juga dibuat melalui penanaman tanaman muda atau

stek tetapi karena diperlukan dalam jumlah banyak maka cara ini tidak

praktis. Bilamana menggunakan stek jarak tanam yang disarankan adalah

50 x 50 cm atau 1 x 1 m. Stek gamal (Gliricidia sepium ) biasanya

digunakan dalam bank pakan. Bank pakan biasanya dibuat dalam dua

barisan tanaman dengan jarak barisan 50 cm dan jarak antara dua

barisan satu dengan dua barisan yang lainnya adalah 1-1,5 m. Rumput-

rumputan biasanya dibiarkan tumbuh diantara dua barisan satu dengan

yang lainnya.

Managemen Bank Pakan

1. Pemberantasan gulma. Karena pertumbuhan fase awal dari bank

pakan lambat maka diperlukan pemberantasan gulma setiap 2-4

minggu sampai tanaman berumur 6 bulan pada saat mana tanaman

telah memiliki tajuk sedemikian rupa sehingga dapat menekan

pertumbuhan gulma.

2. Umur pemanenan pertama. Tergantung dari kondisi lingkungan dan

pertumbuhan bank pakan maka pemanenan pertama dapat dilakukan

pada umur tanaman 9-21 bulan.

3. Tinggi pemotongan. Standar tinggi pemotongan yang disarankan

adalah 50-150 cm agar produksi optimal, pertumbuhan kembali dan

kelangsunagn hidup tanaman dapat dipertahankan. Perkecualian pada

tanaman turi sebaiknya yang dipangkas adalah percabangan lateral

dan hindari pemotongan batang utama sampai setinggi kurang dari

150 cm.agar tanaman tidak mati. Namun. pada tanaman lamtoro yang

telah berumur 2-3 tahun disarankan bahwa tanaman harus dipangkas

Page 16: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

16

sampai tinggi 25 cm untuk menghilangkan bagian-bagian kayu yang

telah mati dan merangsang pertumbuhan daun muda.

4. Frekuensi pemangkasan. Standar frekuensi pemangkasan adalah 6-

12 minggu. Lebih jarang dipotong maka produksi pakan meningkat

namun proporsi kayu berukuran kecil meningkat. Lebih sering

dipangkas menurunkan total produksi pakan namun kualitas dan

palatabilitas pakan meningkat.

5. Pengelolaan saat musim kering. Enam sampai delapan mingu

sebelum mulai musim kemarau maka tanaman sebaiknya dipangkas

setinggi standar pemotongan sehingga daun yang baru tumbuh

selama beberapa minggu akan dapat tersedia pada saat dibutuhkan

sekali. Bilamana perioda musim panasnya panjang dan meliputi bank

pakan yang luas maka pemangkasan sebelum datangnya musim

panas dapat dilaksanakan secara bertahap dan kelebihan hasil dapat

diawetkan dan disimpan.

Bank pakan mungkin lebih sulit diadopsi oleh petani pada lahan

kering dan lahan tidur lainnya, dibandingkan integrasi tanaman pakan

pada lahan perkebunan seperti disebutkan diatas. Oleh karena itu

disarankan pada lahan-lahan demikian integrasi tanaman pakan dan

ternak dengan tanaman perkebunan yang relatif tahan kekeringan seperti

mangga, jambu mete dan tanaman industri seperi jarak dapat

dilaksanakan. Bank pakan mungkin lebih cocok bagi peternakan sekala

menengah dan komersial dibandingkan peternakan subsisten.

Sistim Pemberian Pakan

Setelah tersedia hijauan secara mencukupi baik melalui integrasi

tanaman pakan dengan tanaman perkebunan maupun melalui bank pakan

maka penggunaannya ditujukan sebagai pakan tambahan yang bernilai

gizi tinggi terhadap pakan basal yang kualitasnya relatif rendah dengan

level pemberian berkisar dari 30 sampai 50% bahan kering. Penggunaan

Page 17: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

17

daun-daunan legum pohon atau semak sebagai suplemen sangat penting

baik pada waktu musim hujan dimana ransum ternak terdiri dari

rerumputan yang masih hijau maupun pada waktu musim kemarua

dimana ransum basal ternak terdiri dari rerumputan yang sudah

mongering/limbah pertanian.

Rumput muda yang masih hijau meskipun memiliki kadar N relatif

tinggi namun karena memiliki kelarutan N dalam rumen sangat tinggi

maka proporsi bypass proteinnya rendah. Untuk menurunkan kelarutan N

rumput dalam rumen maka diperlukan proteksi, dimana proteksi dapat

dilakukan secara alami oleh tanin yang ada pada daun-daun legum pohon

atau semak tadi. Para akhli melaporkan bahwa legum pohon atau semak

memiliki kadar tanin lebih tinggi dibandingkan legum yang tumbuh rendah.

Diperlukan paling sedikit kadar tanin 4% dari bahan kering legum pohon

atau semak agar terbentuk bypass protein yang optimal pada usus halus

ternak ruminansia. Legum tumbuh rendah pada umumnya mengandung

tanin kurang dari 3% dari bahan keringnya. Bypass protein sangat

dibutuhkan bagi ternak yang bertumbuh cepat dan saat laktasi.

Penanganan Pasca Panen

Penanganan pasca panen sangat dibutuhkan terutama saat

produksi melimpah untuk menjamin adanya nilai tambah bagi petani.

Sebagai contoh pada saat pucak produksi rambutan, mangga, pisang,

nangka dan lain-lain, harga sangat rendah sehingga petani merugi. Oleh

karena itu penanganan pasca panen tidak kalah pentingnya dibandingkan

dengan kegiatan produksi lainnya dalam meningkatkan pendapatan

petani.

Page 18: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

18

Sistem Integrasi Kelapa-Jagung-Sapi

Setiap 1 ha lahan kelapa dengan jarak tanam 9 x 9 m2 terdapat

sekitar 123 pohon. Dari luas tersebut terdapat paling sedikit sekitar 90%-

nya atau 9.000 m2 dapat ditanami jagung setelah dikoreksi dengan luas

lahan yang tergunakan untuk setiap pohon kelapa yaitu lingkaran

sekeliling tegakan pohon kelapa dengan luas sekitar 3,14 m2. Dengan

demikian jumlah populasi tanam jagung yang direkomendasikan adalah

66.000 rumpun per ha (Puslitbangtan, 2007 dalam Paat, 2012), maka

pada lahan perkebunan kelapa hanya dapat ditanaman 59.400 rumpun

atau 90%-nya. Jerami jagung merupakan stok pakan sapi, namun karena

ketersediaannya hanya tertumpuk pada saat panen maka Rumput Raja

(Pennisetum sp) dibudidayakan pada sisi luar lahan sebagai sumber

pakan harian yang juga berfungsi pagar hidup.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pada musim kemarau yang

agak ekstrim di perkebunan kelapa Desa Tawaang Kabupaten Minsel

(Tabel 1), produktivitas jagung komposit varietas Lamuru diperoleh 2,73

t/ha (Paat dkk, 2005 dalam Paat 2012) dengan bahan kering jerami 12,59

t/ha, sedangkan jagung QPM varietas Srikandi Kuning sebesar 3,45 t /ha

Page 19: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

19

(Malia dkk, 2006dalam Paat 2012). Pada perkebunan kelapa di Pandu

Kabupaten Minut pada musim hujan diperoleh produktivitas jagung

Srikandi Kuning sebesar 4,90 t/ha dengan bobot bahan kering jerami

10,48 t/ha (Paat dkk, 2006 dalam Paat 2012). Adanya budidaya jagung di

lahan kelapa kenyataannya berpengaruh positif pada produksi kelapa.

Produktivitas kelapa di Desa Tawaang meningkat dari 6 menjadi 12 butir

per tandan pada integrasi kelapa dengan jagung Srikandi kuning (Malia

dkk, 2006). Hal yang sama terjadi pada integrasi kelapa dengan jagung

Lamuru di Pandu Kabupaten Minahasa Utara terjadi peningkatan produksi

kelapa dari 5 sebelum integrasi menjadi 9 butir per tandan setelah

integrasi (Paat dkk, 2006 dalam Paat 2012).

Peningkatan produktivitas kelapa pada pertanian integrasi ini

sangat mungkin disebabkan pengaruh pengolahan lahan 2 kali bajak dan

penyiangan jagung 1 kali cangkul dan pembumbunan telah

menggemburkan tanah dan memberantas gulma. Selain itu pemupukan

berimbang tanaman jagung secara otomatis juga dapat diserap oleh akar

kelapa yang umumnya berakar panjang. Di sisi lain relatif rendahnya

produktivitas jagung sebagaimana yang dipaparkan di atas disebabkan

terjadinya persaingan penggunaan hara dan pupuk antara tanaman

jagung dan tanaman kelapa yang ditanami pada lahan yang sama. Hasil

kumulatif per tahun bahan kering rumput raja sebagai pakan sapi pada sisi

luar lahan (0,1 ha) adalah 9,60 ton per ha. Dengan demikian hasil

perhitungan potensi daya tampung (carrying capacity) ternak sapi untuk 1

ha yang bersumber dari jerami jagung dan rumput raja, secara kumulatif

adalah sekitar 20,08 t untuk jagung Srikandi Kuning dengan rumput raja,

atau 22,19 ton untuk Lamuru dengan rumput raja. Dengan demikian jika

kebutuhan seekor sapi sekitar 4 ton per Unit Ternak per tahun maka daya

tampung (carrying capacity) adalah 5-6 Unit Ternak.

Hasil kajian introduksi sapi betina produktif sebanyak 12 ekor pada

satu kelompok tani pada sistem integrasi kelapa – jagung – sapi

menunjukkan bahwa jumlah populasi pada setahun kemudian mencapai

Page 20: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

20

23 ekor. Ini berarti bahwa dari 12 ekor yang dipelihara sudah terdapat 11

ekor yang beranak (Tabel 2). Tenaga kerja ternak digunakan untuk

mengolah lahan pertanian dan transportasi hasil pertanian menggunakan

gerobak. Rata-rata hari kerja ternak per bulan adalah sekitar 15 hari.

Harga upah tenaga kerja ternak sapi dan operator bervariasi tergantung

jenis pekerjaan, untuk mengolah lahan Rp.75.000,- per hari sedangkan

untuk transportasi umumnya masih lebih besar karena bersifat borongan.

Penggunaan ternak sebagai tenaga kerja mengolah lahan dan

transportasi sarana dan hasil pertanian ternyata belum berpengaruh

terhadap vertilitas dan reproduktivitas sapi betina produktif. Ketersediaan

pakan yang surplus yang bersumber dari rumput raja yang dipotong

secara rotasi pada tiap hari dan jerami jagung yang tersedia berlimpah di

waktu panen, tentu saja membuat kondisi ternak tetap bertahan.

Akumulasi jumlah kotoran satu ekor sapi yang dapat dibuat kompos

adalah sekitar 1 ton bobot kering, lebih sedikit dari potensinya sebesar 2

ton, hal ini disebabkan ternak sapi umumnya berada dikandang hanya

pada malam hari, sedangkan pada siang hari umunya ternak pekerjakan.

Dengan demikian jenis pemeliharaan adalah semi intensif, hanya pada

hari-hari kerja ternak keluar kandang hampir sepanjang hari sedangkan

pada malam hari dikandangkan. Pada hari-hari istirahatsiang dan malam

ternak dipelihara secara intensif dalan kandang.

Sistim integrasi tanaman jagung-kacang tanah-ternak pada lahan

kering di Bali juga dapat digunakan sebagai salah satu cara mengatasi

kekurangan pakan ternak pada musim kering dengan memanfaatkan

limbah hasil pertanian tersebut. Penanaman jagung dengan kualitas

unggul (Arjuna, Bisma, Hibrida CPI-1) pada lahan kering memberikan

hasil yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lokal

(Adijaya dkk, 2012).

Page 21: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

21

Penanaman kacang tanah varietas unggul (Kijang dan Kelinci) juga

dapat dijadikan sebagai pola integrasi ternak-tanaman di lahan kering di

Bali dimana kacang tanah varietas unggul menghasilkan produksi yang

lebih baik dibandingkan varietas lokal (Adijaya dkk, 2012).

Page 22: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

22

Usaha ternak sapi di Sulawesi Utara masih bersifat tradisional dan

merupakan usaha sambilan. Upaya untuk meningkatkan manfaat ternak

sapi adalah mengusahakannya secara terpadu dengan tanaman atau

dikenal dengan sistem integrasi tanaman-ternak. Sistem ini memberikan

keuntungan kepada petani-peternak karena : 1) pupuk kompos dari

kotoran ternak sapi dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai

sumber pendapatan, 2) ternak dapat dimanfaatkan sebagai tenaga kerja

dan juga sumber pendapatan bila disewa oleh petani lain yang tidak

memiliki ternak sapi, 3) limbah jagung bermanfaat sebagai pakan

sehingga mengurangi biaya penyediaan pakan, dan 4) lahan di antara

pohon kelapa dapat ditanami hijauan berupa rumput Brachiaria brizanta

dan leguminosa Arachis pintoi untuk meningkatkan kesuburan tanah,

sumber pakan yang berkualitas, dan sumber pendapatan bisa dijual

(Elly dkk, 2008).

Inovasi Sistem Integrasi Kelapa-Vanili-Kambing

Pada dasarnya perkebunan kelapa monokultur terdapat surplus

lahan sebesar 8500 – 9500 m2 per ha. Pada model ini terdapat surplus

pakan ternak berupa daun gamal dari pohon gamal yang digunakan untuk

tiang panjatan vanili. Pada frekuensi pemangkasan ranting gamal 3 bulan

dapat menghasilkan daun gamal antara antara 2 – 5 kg bobot segar

Page 23: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

23

per pohon. Jika rata-rata jumlah konsumsi hijauan pakan segar per ekor

kambing kacang dewasa adalah 1 – 2 kg, maka setiap satu pohon gamal

pada frekuensi panen 3 bulan dapat mensuplai daun gamal untuk

kebutuhan sehari 1 – 2 ekor. Dengan jarak tanam vanili di lapangan yang

umumnya 1,5 x 1,25 m (Tjahjadi, 1989) maka populasi gamal dan vanili

pada lahan kelapa 1 ha dapat mencapai 4.000 pohon maka secara

potensi, kambing yang dapat dipelihara adalah sekitar 45 ekor dengan

pakan non stop, yang diperoleh dari hasil bagi antara 4.000 pohon dengan

90 hari.

Hasil kajian Malia dkk (2005) dan Paat dkk (2006) dalam Paat

(2012) menunjukkan bahwa akumulasi produktivitas kopra per tahun

tanpa pemupukan adalah 1000 kg/ha. Pada kasus lahan kelapa yang

vanilinya dipupuk dengan pupuk kandang 10 t/5 ha dan urea 75,00 kg ha

akumulasi hasil kopra meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 2000 kg/ha.

Hasil kopra varietas Kelapa Dalam dengan pemupukan dapat mencapai

2,45 t/ha/tahun (Badan Litang Pertanian, 2003 dalam Paat 2012).

Produktivitas vanili segar per tahun tanpa pupuk adalah 2000 kg/ha (Paat

dkk, 2006 dalam Paat 2012). Produktivitas vanili bobot segar per tahun

dengan pupuk kandang 10 t/ha dan urea 75,00 kg/ ha adalah sekitar

3000-4000 kg. Sementara itu 1 ha lahan terdapat 1.650 pohon gamal,

baik sebagai panjatan vanili maupun sebagai pagar hidup yang ditanam di

ke empat sisi batas lahan. Produktivitas daun gamal bobot segar per

pohon per 3 bulan panen bervariasi antara 2,1 – 6,0 kg, tergantung umur

gamal. Produktivitas daun gamal segar pada umur pohon 1 ; 2 ; dan 3

tahun menghasilkan berturut-turut 2,11; 3,50 ; dan 8,08 kg per pohon

pada interval panen 90 hari. Akan tetapi dengan berlakunya manajemen

pemangkasan mengikuti jadual bergilir pengaturan sulur vanili yang juga

setiap 90 hari sebanyak sekitar 3 cabang maka produksi daun gamal

menjadi hanya sekitar separuhnya yaitu berkisar antara 1,5 – 4,5 kg.

Produktivitas kayu bakar dari ranting gamal bobot segar per pohon

per 3 bulan panen bervariasi antara 4,6 – 10,3 kg, tergantung umur gamal.

Page 24: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

24

Pengamatan pada umur 1 ; 2 ; dan 3 tahun menghasilkan berturut-turut

4,66 ; 7,42 ; dan 10,30 kg batang gamal segar per pohon pada interval

panen 90 hari. Akan tetapi dengan berlakunya manajemen pemangkasan

mengikuti jadual pengaturan sulur vanili yang juga setiap 90 hari sebanyak

sekitar 3 cabang maka produksi batang gamal menjadi hanya sekitar

separuhnya yaitu berkisar antara 2 - 5 kg. Jika rata-rata produksi kayu

gamal adalah 3,5 kg per pohon per 90 hari maka potensi produksi per

tahun adalah 23.100 ton bobot segar per tahun.

Hasil kajian introduksi terbatas 20 ekor Kambing Kacang dewasa

pada sekelompok tani di desa Tokin yang terletak di sentra produksi

“Kelapa – Vanili” Sulut. Ternak betina dipelihara oleh 9 petani masing-

masing 2 ekor, sedangkan ternak pejantan dipelihara kolektif. Introduksi

terbatas ini dilakukan karena ternak kambing masih merupakan komoditas

introduksi. Dalam sejarah sebelumnya memang tidak pernah ada orang

yang memasukkan dan memelihara kambing di wilayah tersebut.

Performan ternak kambing secara ekterior nampak kondisi badan berisi

cenderung gemuk, dan bulu relatif mengkilap. Hal ini berbeda

dibandingkan kondisi ternak saat introduksi yaitu badan cenderung kurus

dan berbulu kusut.

Tabel 3 menyajikan data kinerja produksi kambing yang

diintegrasikan pada SITT “Kelapa – Vanili”. Relatif rendahnya

pertambahan bobot badan disebabkan hijauan yang diberikan tidak

disuplemen dengan pakan penguat sebagai sumber energi. Pertambahan

bobot badan kambing dengan tambahan suplemen blok dalam pakan

memberikan pertambahan bobot badan 76,8 g/ekor/hari (Prabowo dkk,

2004 dalam Paat 2012). Produksi kumulatif kotoran ternak yang berhasil

dikumpulkan mencapai sekitar 2 ton segar per tahun per 2 ekor. Pada

sistem ini, kambing dapat menghasilkan kotoran sekitar 2,88 kg/hari

(Mathius, 2003 dalam Paat 2012) atau sekitar 1 ton/ekor/tahun.

Page 25: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

25

Kesimpulan

1. Pemberdayaan lahan marginal memerlukan tindakan yang nyata dan

segera sebagai wujud nyata ekstensifikasi pertanian berkenaan

dengan semakin menyusutnya luas lahan pertanian subur akibat

dijadikan pemukiman, perkantoran dan fasilitas umum lainnya.

Pemberdayaan dapat diupayakan melalui integrasi tanaman pakan

dan ternak dengan perkebunan lahan kering maupun pembentukan

bank pakan pada lahan tidur atau lahan tidur sementara melalui

pendekatan partisipasi aktif petani.

2. Sistem integrasi tanaman – ternak, baik tanaman perkebunan maupun

tanaman pangan merupakan salah satu alternatif potensial, yang

dapat memecahkan permasalahan pada usahatani perkebunan,

tanaman pangan, bahkan permasalahan peternakan itu sendiri.

Page 26: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

26

3. Usahatani terpadu menghasilkan berlimpah limbah pertanian dan

biomasa tanaman yang secara langsung atau melalui proses

pengolahan menjadi pakan ternak yang murah.

Page 27: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

27

DAFTAR PUSTAKA

Adijaya, I.N., Suprapto, I.M.R. Yasa, dan P. Suratmini. 2012.

Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Lahan Kering bali Utara melalui Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. ntb.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 Mei 2012.

Ahfyanti dan W.W. Dwi. 2008. Pemilihan Bahan Amelioran Untuk

Mengatasi Keracunan Aluminium Pada Tanaman Padi di Tanah Sulfat Masam. http://repository.ipb.ac.id diakses tanggal 28 Mei 2012.

Anonimous. 2011. Upaya Pengendalian Keracunan Besi (Fe) dengan

Asam Humat dan Pengelolaan Air Untuk Meningkatkan Produktifitas Tanah Sawah Bukaan Baru. http://www.hydro.co.id diakses tanggal 28 Mei 2012.

Elly, F.H., B.M. Sinaga, S.U. Kuntjoro, dan N. Kusnadi. 2008.

Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui Integrasi Sapi-Tanaman di Sulawesi Utara. Jurnal Litbang Pertanian, 27 (2).

Hasnudi dan E. Saleh. 2004. Rencana Pemanfaatan Lahan Kering untuk

Pengembangan Usaha Peternakan Ruminansia dan Usaha Tani Terpadu di Indonesia. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Karda, I.W. dan Spudiati. 2012. Meningkatkan Produktifitas Lahan

Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pakan dan Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. ntb.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 Mei 2012.

Kasno, A. 2009. Keracunan Besi Sawah Bukaan Baru dan

Penanggulangannya. http://pustaka.litbang.deptan.go.id akses tanggal 28 Mei 2012.

Paat, P.C. 2012. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak pada Lahan

Kering Berbasis Kelapa di Sulawesi Utara. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. sulut.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 Mei 2012.

Page 28: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

28

Paat, P.C. 2012. Analisis Potensi Sumber Daya Pakan dan Kebutuhan Inovasi Ternak Ruminansia di Kabupaten Minahasa Tenggara Sulawesi Utara. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Program Pembangunan Pertanian Provinsi Sulawesi Utara. sulut.litbang.deptan.go.id diakses tanggal 1 Mei 2012.

Sasongko, W.R., Y.G. Bulu, dan A. Surahman. 2012. Pola Pemeliharaan

Ternak Sapi Bali di Lahan Kering Dataran Rendah Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. www.infodiknas.com diakses tanggal 1 Mei 2012.

Sopandie, D., dan I. H. Utomo. 1995. Pengelolaan Lahan dan Teknik

Konservasi di Lahan Kering. Makalah Penunjang Diskusi Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Bogor, 27 September 1995.

Suhardi. 2012. Peran Tumbuhan Akumulator Alumunium (Melastoma

malabathricum L.) terhadap Ketersediaan P pada Tanah Ultisol. Program Studi Tanah Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UNIB. http://www.himita.freehomepage.com diakses tanggal 28 Mei 2012.

Suhartini, T. 2004. Perbaikan Varietas Padi untuk Lahan Keracunan Fe.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor. Buletin Plasma Nutfah Vol.10 No.1.

Sukar, W.I. Werdhani, dan Soeharsono. 2005. Sistem Integrasi

Tanaman-Ternak di Lahan Kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta.

Page 29: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

29

TUGAS MAKALAH BUDIDAYA HIJAUAN PAKAN DAN PASTURA

(PTN 6201)

Oleh :

Firman Nasiu

11/324748/PPT/00795

FAKULTAS PETERNAKAN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS GAJAH MADA

YOGYAKARTA

2012

Page 30: Pemanfaatan Lahan Kering Marginal Melalui Integrasi Tanaman Pangan, Tanaman Pakan, Dan Ternak Ruminansiax

30