pemanfaatan kulit pisang kepok fermentasi dalam …
TRANSCRIPT
PEMANFAATAN KULIT PISANG KEPOK FERMENTASI
DALAM RANSUM PELET TERHADAP KECERNAAN
BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK
PADA KELINCI LOKAL JANTAN
SKRIPSI
Oleh :
RAHMAWATI DONGORAN
160306053
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
Universitas Sumatera Utara
PEMANFAATAN KULIT PISANG KEPOK FERMENTASI
DALAM RANSUM PELET TERHADAP KECERNAAN
BAHAN KERING DAN BAHAN ORGANIK
PADA KELINCI LOKAL JANTAN
SKRIPSI
Oleh :
RAHMAWATI DONGORAN
160306053
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di
Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa
segalapernyataan dalam skripsi ”Pemanfaatan Kulit Pisang Kepok Fermentasi
Dalam Ransum Pelet Terhadap Konsumsi Bahan Kering, Konsumsi Bahan
Organik, Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pada Kelinci Jantan
Lokal” adalah benar merupakan gagasan dari hasil penelitian saya sendiri dibawah
arahan komisi pembimbing. Semua data dan sumber informasi yang digunakan
dalam skripsi ini dinyatakan secara jelas dan dicantumkan dengan daftar pustaka
dibagian akhir skripsi serta dapat diperiksa kebenarannya.
Medan, 24 Juni 2021
Rahmawati Dongoran
Universitas Sumatera Utara
i
ABSTRAK
Rahmawati Dongoran 2021 : Pemamfaatan Kulit Pisang Kepok Fermentasi
Dalam Ransum Pellet Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan
Organik pada Kelinci Jantan Lokal. Dibimbing oleh Sayed Umar dan
Armyn Hakim Daulay.
Penilitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis nilai kecernaan
bahan kering dan bahan organik kulit pisang kepok fermentasi dalam ransum
pellet menggunakan probiotik MOL sederhana berbasis kulit pisang kepok
sebagai pakan kelinci lokal. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu
Nutrisi dan Pakan Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara dan Jalan Dr. Hamzah no.6 Kecamatan Medan Baru,
Medan dan dilaksanakan pada Bulan Oktober 2020 sampai Desember 2020.
Penelitian ini menggunakan kelinci jantan lokal jantan sebanyak 27 ekor dengan
rata-rata bobot badan 418-540 gram. Rancangan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan, 3 kelompok
dan setiap perlakuan terdiri dari 3 ekor. Perlakuan terdiri atas P0 (Ransum Pellet
40% kulit Pisang kepok tanpa fermentasi, P1 (Ransum Pellet 40% kulit pisang
kepok fermentasi, P2 (Ransum Pellet 60% kulit pisang kepok fermentasi).
Parameter yang diamati adalah konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik,
kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemamfaatan kulit pisang kepok
fermentasi menggunakan MOL sederhana berbasis kulit pisang kepok
memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai konsumsi bahan
kering (94,17%; 96,12%; 98,89), konsumsi bahan organik (82,77%; 85,83%;
86,58%), kecernaan bahan kering (74,27%; 87,47%; 90,68%) dan memberikan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap nilai kecernaan bahan organik
(77,63%; 84,01%; 91,10%). Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah
penggunaan ransum pellet kulit pisang kepok 60% fermentasi dapat meningkatkan
konsumsi bahan kering, konsumsi bahan organik, kecernaan bahan kering,
kecernaan bahan organik pada kelinci jantan lokal.
Kata kunci : Kulit Pisang Kepok, Fermentasi, Pellet, Kecernaan, Kelinci Jantan
Lokal
Universitas Sumatera Utara
ii
ABSTRACT
Rahmawati Dongoran 2021:Utilization of Fermented Kepok Banana Feel in
Pellet Rations Against Digestibility of Dry Matter and Organic Matter in Local
Male Rabbits. Supervised by Sayed Umar and Armyn Hakim Daulay.
This study aims to determine and analyze the digestibility value of dry
matter and organic matter of fermented Kepok banana peels in pellet rations
using simple MOL probiotics based on Kepok banana peels as feed for local
rabbits. This research was conducted at the Laboratory of Animal Nutrition and
Animal Feed Study Program of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture,
University of North Sumatra and Jalan Dr. Hamzah no.6 Medan Baru District,
Medan and was conducted from October 2020 to December 2020. This study used
27 male local male rabbits with an average body weight of 418 - 540 grams. The
design used in this study was a randomized block design (RBD) with 3 treatments,
3 groups and each treatment consisting of 3 tails. The treatments consisted of P0
(Pellet Ration 40% Kepok Banana peels without fermentation, P1 (Pellet Ration
40% fermented Kepok banana peels, P2 (Pellet Ration 60% fermented Kepok
banana peels). The parameters observed were consumption of dry matter,
consumption of organic matter, digestibility of dry matter and digestibility of
organic matter.
The results of the analysis of variance showed that the utilization of
fermented kepok banana peels using simple MOL based on kepok banana peels
had a very significant effect (P<0.01) on the value of dry matter consumption
(94.17%; 96,12%; 98.89), consumption of organic matter (82.77%; 85.83%;
86.58%), dry matter digestibility (74.27%; 87.47%; 90.68%) and giving effect
very significant (P<0.01) on the digestibility value of organic matter (77.63%;
84.01%; 91.10%). The conclusion of the results of this study is the use of 60%
fermented kepok banana peel pellet ration can increase consumption. dry matter,
consumption of organic matter, digestibility of dry matter, digestibility of organic
matter k in local male rabbits.
Keywords : Kepok Banana Peels, Fermentation, Pellets, Digestibility, Local Male
Rabbit
Universitas Sumatera Utara
iii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1998 di Kota Padang sidimpuan
Kabupaten Tapanuli Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara serta dilahirkan oleh Bapak Ramadhan Dongoran dan Ibu Aslina
Pasaribu.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2010 di SD Negeri
Sigolang, pendidikan menengah pertama diselesaikan di MTS Negeri Saipar
Dolok Hole pada tahun 2013 dan pendidikan menengah atas diselesaikan di MA
Negeri 1 Padang Sidimpuan pada tahun 2016. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian Program Studi Peternakan
Universitas Sumatera Utara melalui jalur masuk Mandiri.
Selama masa perkuliahan, penulis pernah mengikuti lomba Olimpiade
Peternakan Nasional dilaksanakan di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada pada tahun 2018, mengikuti kepanitiaan Hari Susu Nasional (HSN) tahun
2018 serta mengikuti kepanitiaan ASUSCo (Animal Science USU Compitition)
tahun 2019 dan tahun 2020.
Penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran
Pemberdayaan Masyarakat (KKN – PPM) di Kelurahan Perbaungan, Kecamatan
Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara pada bulan
Juli sampai Agustus 2019. Dan Telah melaksanakan Praktek Kerja Lapangan
(PKL) di Jalan Mesjid Gang Kenanga II Kecamatan Tandem Hilir II Kabupaten
Deli Serdang Sumatera Utara pada tahun 2020.
Universitas Sumatera Utara
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmad dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul “Pemanfaatan Kulit Pisang Kepok Fermentasi dalam
Ransum Pelet Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Pada
Kelinci Jantan Lokal”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Prof. Dr. Ir. Sayed Umar, MS dan Ir. Armyn Hakim Daulay, MBA selaku komisi
pembimbing yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini sehingga terlaksana dengan baik dan tepat pada waktunya. Di samping
itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suluruh cavitas akademik di
Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Sumatera Utara.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua yang telah
merawat, mendidik, memberikan semangat serta mendukung penulis dalam segala
hal, baik moral maupun materil.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, untuk itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan
kedepannya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas saran yang
diberikan.
Universitas Sumatera Utara
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ...............................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... ix
PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
Hipotesis Penelitian .................................................................................. 3
Kegunaan Penelitian ................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 4
Kelinci Jantan Lokal ................................................................................. 4
Sistem Saluran Pencernaan Kelinci .......................................................... 6
Kebutuhan Ternak Kelinci ........................................................................ 9
Pisang Kepok (Musa Paradisiaca L,) ....................................................... 10
Mikroorganisme Lokal (MOL) ................................................................. 11
Bahan Penyusun Pellet ............................................................................. 12
Kulit Pisang Kepok ................................................................................... 12
Rumput Odot ............................................................................................ 13
Dedak Padi ................................................................................................ 14
Bungkil Kedelai ........................................................................................ 15
Onggok ..................................................................................................... 16
Bungkil Inti Sawit ..................................................................................... 16
Tepung Tapioka ........................................................................................ 17
Ultra Mineral ............................................................................................ 17
Molases ..................................................................................................... 18
Teknologi Fermentasi ............................................................................... 19
Teknologi Pengolahan Berbentuk Pellet ................................................. 20 Pellet ......................................................................................................... 21
Konsumsi Pakan ................................................................................................ 22
Kecernaan ................................................................................................. 23
Kecernaan Bahan Kering .......................................................................... 25
Kecernaan Bahan Organik ........................................................................ 26
Universitas Sumatera Utara
vi
BAHAN DAN METODE PENELITIAN ......................................................... 29
Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 29
Alat dan Bahan ......................................................................................... 29
Alat .................................................................................................. 29
Bahan ............................................................................................... 29
Metode Penelitian ..................................................................................... 30
Parameter yang Diamati ........................................................................... 32
Kecernan Bahan Kering .................................................................. 32
Kecernaan Bahan Organik .............................................................. 33
Pelaksanaan Penelitian.............................................................................. 33
Persiapan Kandang dan Peralatan ............................................................. 33
Persiapan Kelinci ...................................................................................... 33
Pengacakan Kelinci .................................................................................. 33
Pengolahan Pelet Kulit Pisang Kepok Fermentasi ................................... 34
Pemberian Pakan dan Air Minum ............................................................ 35
Pemberian Obat-obatan ............................................................................ 35
Pengambilan Data ......................................................................................35
Analisis Data ..............................................................................................36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi bahan Kering ............................................................................37
Konsumsi Bahan Organik ..........................................................................39
Kecernaan Bahan Kering pada Kelinci Jantan Lokal ................................41
Kecernaan Bahan Organik pada Kelinci Jantan Lokal ..............................44
Rekapitulasi Hasil Penelitian .....................................................................47
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ................................................................................................51
Saran ..........................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................52
LAMPIRAN ........................................................................................................59
Universitas Sumatera Utara
vii
DAFTAR TABEL
No Hal
1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci ........................................................................... 10
2. Komposisi Kimia Kulit Pisang Kepok ......................................................... 13
3. Kandungan Nutrisi Rumput Gajah Mini ...................................................... 14
4. Kandungan Nutrisi Dedak Padi ................................................................... 15
5. Komposisi Kimia Bungkil Kedelai .............................................................. 16
6. Kandungan Zat Makanan Onggok Berdasarkan Bahan Kering ................... 16
7. Kandungan Nutri pada Bungkil Inti Sawit ................................................... 17
8. Kandungan Nutrisi Pada Molases (%) ......................................................... 18
9. Denah Penelitian .......................................................................................... 30
10. Susunan Bahan Pakan ............................................................................... 32
11. Konsumsi Bahan Kering ............................................................................ 37
12. Konsumsi Bahan Organik .......................................................................... 39
13. Kandungan Kecernaan Bahan Kering pada Kelinci Jantan Lokal ............. 41
14. Kandungan Kecernaan Bahan Organik pada Kelinci Jantan Lokal ........... 44
15. Rekapitulasi Hasil Penelitian ..................................................................... 47
Universitas Sumatera Utara
viii
DAFTAR GAMBAR
No Hal
1. Kelinci .......................................................................................................... 4
2. Saluran Pencernaan Kelinci ......................................................................... 7
3.Morfologi Pisang Kepok ............................................................................... 11
4. Pellet ............................................................................................................. 21
Universitas Sumatera Utara
ix
DAFTAR LAMPIRAN
No Hal
1. Pengolahan kulit pisang kepok ..................................................................... 59
2. Fermentasi kulit pisang kepok ...................................................................... 60
3. Pembuatan pelet ............................................................................................ 61
4. Kecernaan bahan kering pada kelinci jantan lokal ........................................ 62
5. Kecernaan bahan organik pada kelinci jantan lokal ...................................... 63
6. Hasil analisis ragam konsumsi bahan kering ............................................... 64
7. Hasil analisis ragam konsumsi bahan kering ................................................ 66
6. Hasil analisis ragam kecernaan bahan kering ............................................... 68
7. Hasil analisis ragam kecernaan bahan organik ............................................. 70
8. Dokumentasi pelaksanaan penelitian ............................................................ 72
Universitas Sumatera Utara
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produksi pisang di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 7.264.379 ton,
mengalami peningkatan pada tahun 2019 sebesar 7.280,658 ton. Sementara itu
produksi pisang di Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2018 yaitu sebesar
118,648 ton dan ditahun 2019 produksi pisang kepok yaitu sebesar 114.050 ton
(Badan Pusat Statistika, 2019).
Kendala yang dihadapi dari tepung kulit pisang kepok adalah rendahnya
protein dan serat kasar yang cukup tinggi sehingga dalam penggunaan tepung
kulit pisang kepok tidak dapat digunakan sebagai pakan tunggal, dan memerlukan
adanya perlakuan tertentu atau pencampuran dengan bahan lainnya, agar layak
dikonsumsi oleh ternak. Untuk mengatasi harga mahalnya pakan tepung kulit
pisang kepok (Musa Paradisiaca L.) yang merupakan limbah hasil pertanian
dapat dijadikan pakan alternatif berupa pelet.( Ginting dan Krisnan, 2009)
Bioteknologi di bidang peternakan bertujuan untuk memanipulasi
mikroorganisme dalam saluran pencernaan dengan memperbanyak
mikroorganisme yang menguntungkan. Teknologi fermentasi adalah bagian dari
teknologi yaitu memanfaatkan kemampuan mikroorganisme untuk melakukan
transformasi senyawa organik melalui aktivitas metaboliknya ( Dubey, 2007).
Fermentasi merupakan suatu proses terjadinya perubahan kimia pada suatu
substrat organik melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Setelah melalui proses fermentasi menggunakan probiotik, limbah kulit pisang
dapat ditingkatkan nilai gizinya dan layak untuk diberikan kepada ternak
khususnya kelinci (Suprihatin, 2010)
Universitas Sumatera Utara
2
Kelinci mempunyai sistem pencernaan berbeda dibandingkan dengan
hewan lainnya, yaitu dengan saluran pencernaan bagian belakang yang membesar
dan sekum yang berfungsi sebagai tempat proses fermentasi pakan dan dikenal
sebagai hewan pseudo-ruminant, herbivora yang dapat mencerna serat kasar
dalam hijauan. Pencernaan pakan berupa fermentasi yang terjadi di saluran
pencernaan bagian pertama usus besar berlangsung dalam waktu singkat.
Fermentasi digesta tidak dapat berjalan dengan baik dalam waktu tersebut,
sehingga kelinci tidak mampu mencerna pakan berserat kasar tinggi dengan baik
seperti ternak ruminansia lainnya. (Sarwono, 2001).
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian
terkait dengan pemanfaatan kulit pisang kepok fermentasi dalam ransum bentuk
pellet terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik pada kelinci jantan
lokal.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian kulit pisang kepok fermentasi
dalam ransum pellet terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik
pada kelinci jantan lokal.
2. Untuk mengetahui tingkat kesukaan kelinci terhadap pellet tepung kulit
pisang kepok yang diberikan kemudian diketahui berapa yang terserap
dalam tubuh kelinci.
Universitas Sumatera Utara
3
Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah
1. Pemberian tepung kulit pisang kepok Fermentasi dalam ransum Pellet
dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik kelinci
jantan lokal.
2. Pemberian tepung kulit pisang kepok dalam ransum pellet dengan adanya
perbedaan dosis dapat diketahui berapa yang terserap dalam tubuh kelinci
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah
1. Kegunaan dari pelaksaan penelitian ini yaitu, Bagi akademisi, penelitian
diharapkan sebagai sumber informasi.
2. Bagi peternak, penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi dan
referensi dalam pembuatan pellet sebagai bahan pakan ternak dengan
menggunakan tepung kulit pisang kepok fermentasi.
3. Bagi pemerintah dan pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan sebagai
sumber informasi, referensi dan bahan pertimbangan untuk menekan biaya
pakan untuk ternak kelinci.
Universitas Sumatera Utara
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kelinci Jantan Lokal
Sarwono (2009) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat kelinci lokal
yang ukurannya lebih kecil daripada kelinci impor. Kelinci lokal ini memiliki laju
pertumbuhan yang lambat, bobot dewasa 0,9-1,2 kg. Ciri-ciri kelinci lokal adalah
bentuk dan bobotnya kecil, sekitar 1,5 kg, bulu bervariasi putih, hitam, belang dan
abu-abu. Bulunya yang sangat bagus, corak kombinasi antara putih dan hitam.
Klasifikasi kelinci menurut Damron (2003) adalah sebagai berikut : Phylum :
Chordata, Subphylum : Vertebrata,Class : Mammalia, Order : Lagomorpha,
Family : Leporidae, Genus : Oryctolagus (rabbits), Lepos (hares), Ochotona
(pikas),Sylvilagus (cottontails) Species : cuniculus forma domestica (domestic
rabbit), cuniculus (wild rabbit).
Gambar 1.Kelinci
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020
Kelinci dapat melahirkan empat kali setahun, karena masa buntingnya
hanya 30-35 hari dan sekali melahirkan bisa 6-12 ekor anak. Berdasarkan bobot
tubuh kelinci, Sarwono (2009) menggolongkan kelinci menjadi tiga tipe yaitu: 1.
Kelinci tipe kecil berbobot antara 0,9-2,0 kg, umur 4-6 bulan sudah siap kawin,
umumnya dipelihara untuk ternak hias dan ternak kesayangan seperti varietas
Universitas Sumatera Utara
5
Dutch, Lop Dwarf, Nederland Dwarf, Polish, dan Siamese. 2. Kelinci tipe sedang
berbobot antara 2,0--4,0 kg, umur 7--8 bulan baru bisa dikawinkan, dipelihara
terutama untuk ternak penghasil daging sekaligus kulit bulu seperti varietas
Californian, Carolina, Champagne d’Argent,English Spot, New Zealand, Rex, dan
Simonoire.3. Kelinci tipe berat berbobot 5,0--8,0 kg, umur 10--12 bulan baru
bisadikawinkan, dipelihara untuk ternak penghasil daging sekaligus bulu
sepertivarietas Checkered Giant, Flemish Giant alias Vlaamsereus, dan Giant
Chinchilla.
Kelinci mengkonsumsi hijauan dan pakan konsentrat (Lestari, 2004).
Kelinci mengonsumsi limbah sayuran seperti kangkung, sawi, dan wortel,
kubis/kol. Hijauan untuk pakan kelinci diberikan dalam bentuk segar, kemampuan
kelinci serat kasar dan lemak makin bertambah setelah kelinci berumur 5- 12
minggu. Untuk menunjang produktifitasnya kelinci perlu mendapat konsentrat.
Protein Kasar kelinci 12-18%, tertinggi pada fase menyusui sebesar 18% dan
terendah pada fase dewasa 12%, kebutuhan serat kasar 10-14% (Cheeke, 1987)
Potensi biologis yang paling signifikan dari kelinci adalah kemampuan
reproduksi yang tinggi untuk tumbuh dan berkembang biak dari hijauan, limbah
sayuran, dan hasil produk pakan yang mudah tersedia dan murah di sebagian
besar daerah pedesaan di Indonesia (Raharjo, 2008). Suhu dan kelembaban
lingkungan yang ideal untuk kelinci yaitu antara suhu 16˚ - 22˚C dan kelembapan
60% - 65% (Rajeshwari dan Guru prasad, 2008). Suhu yang panas dengan
kelembaban mendekati 100% dapat menyebabkan masalah serius pada kelinci
(Lebas et al., 1997)
Universitas Sumatera Utara
6
Sistem Saluran Pencernaan Kelinci
Menurut Sarwono (2003) kelinci merupakan jenis ternak pseudoruminant
yaitu jenis herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar secara baik.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa kemampuan kelinci dalam mencerna serat kasar
sangat rendah di karenakan kemungkinan berhubungan dengan waktu transit yang
cepat dari bahan-bahan berserat yang melalui pencernaan. Kelinci memfermentasi
pakan di sekum.
Kelinci termasuk ternak pseudo-ruminant,yaitu herbivora yang tidak dapat
mencerna serat kasar secara baik, kelinci memfermentasi pakan diusu belakang,
fermentasi hanya terjadi di ceacum (bagian pertama usu besar), yang kurang lebih
50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaan. Sekitar umur tiga minggu kelinci
mulai mencerna kembali kotoran lunaknya, langsung dari anus (proses ini disebut
coprophagy) tanpa penguyahan. Kotoran ini terdiri atas konsentrat bakteri yang
dibungkus oleh mucus. Walaupun memiliki ceacum yang besar, kelinci ternyata
tidak mampu mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari pakan sebanyak
yang hijauan dicerna oleh ternak ruminansia murni. Daya cerna kelinci
mengkonsumsi hijauan daun mungkin hanya 10% (Sarwono, 2007)
Partikel berserat mengalami fermentasi atau pencernaan all enzimatis oleh
mikroba di sekum. Terjadi absorpsi air dan zat anorganik di kolon sehingga
terbentuk feses setengah keras. Rektum merupakan bagian akhir dari usus besar
dan fungsinya sebagai tempat menahan feses sebelum dikeluarkan melalui
anus (Murwani, 2009).
Universitas Sumatera Utara
7
Gambar 2. Sistem saluran pencernaan kelinci
Sumber: Lebas et al. 1997
Hindgut fermenters yang terjadi di usus besar (sekum dan kolon) memiliki
populasi mikroba yang melakukan banyak fungsi pencernaan yang sama seperti
pada rumen. Kelemahan hindgut fermenters adalah nutrisi larut seperti gula, asam
amino, vitamin, dan mineral diserap di usus kecil sehingga komposisi bahan yang
masuk ke hindgut kurang menguntungkan bagi pertumbuhan maksimal mikroba
dari pada yang terjadi di rumen, dimana mikroba memiliki semua nutrisi pakan
yang dicerna sebagai substrat yang tersedia. Mikroba dalam hindgut tidak
dikenakan proses pencernaan kecuali dari feses yang dikonsumsi. Perjalanan
melalui hindgut lebih cepat dari pada melalui rumen, yang mengarah pada
efisiensi pencernaan serat yang lebih rendah (Cheeke dan Dierenfeld, 2010).
Hindgut dari kelinci berfungsi secara selektif mengeluarkan serat dan
mempertahankan komponen non serat pakan untuk difermentasi di sekum.
Universitas Sumatera Utara
8
Pemisahan dilakukan oleh aktifitas otot dari proximal colon. Partikel serat
lebih luas dan kurang padat daripada komponen non serat yang cenderung
terpusat di lumen kolon. Cairan dan material yang berukuran kecil cenderung
terpusat pada pinggiran kolon. Setelah colon dikosongkan dari kotoran keras
(hard faecal pellet) yang terutama terdiri dari serat, caecum berkontraksi dan isi
caecal dimampatkan ke dalam proximal colon. Mucin disekresikan oleh sel
goblet,memproduksi material caecal yang ditutupi dengan membran
mucilaginous.
Material ini dikenal dengan caecotropes “feses lunak” yang dikonsumsi
langsung dari anus (Cheeke dan Dierenfeld, 2010). Kelinci menghasilkan dua
jenis kotoran yaitu kotoran keras (fecal pellets) dan kotoran lunak (cecotropes).
Kotoran keras sebagian besar terdiri dari serat yang tidak dapat dicerna,
sedangkan kotoran lunak terdiri dari isi caecal dan dikonsumsi oleh kelinci secara
langsung dari anus, menyediakan protein bakteri dan sintesis vitamin di sekum.
Hal ini dapat menjadi strategi pencernaan kelinci untuk mengkonsumsi
pakanrendah energi tanpa kerugian karena harus mengangkut dalam jumlah besar
serat tidak tercerna dalam usus. Kelinci menghilangkan serat secara cepat dan
lebih berkonsentrasi pada aktivitas pencernaan pada komponen bukan serat (non
fiber) yang lebih bergizi (Cheeke, 2005).
Asam-asam lemak terbang (VFA= Volatil Fatty Acid) hasil fermentasi oleh
mikroba dalam ceacum diperkirakan menyumbang 30% dari kebutuhan energi
untuk pemeliharaan tubuh. Selanjutnya, kelinci mampu mencerna protein pada
tingkat lebih tinggi dari hewan herbivora lain. Hal ini berhubungan dengan sifat-
sifat unik yang dimiliki kelinci yaitu caecotrophy (memakan kotoran sendiri) yang
Universitas Sumatera Utara
9
dimiliki oleh kelinci. Kemampuan kelinci mencerna serat kasar ( ADF = Acid
Detergent Fiber) dan lemak semakin bertambah setelah kelinci berumur 5-12
minggu (Parakkasi, 1999)
Kebutuhan Ternak Kelinci
Pakan bagi ternak sangat besar perananya. Pemberian pakan yang
seimbang diharapkan dapat memberi produksi yang tinggi. Pakan yang diberikan
hendaknya memberi persyaratan kandungan gizi yang lengkap akan sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak kandungan gizi yang diperlukan itu
seperti protein, karbohidrat, mineral, vitamin, digemari ternak dan mudah
dicerna (Anggorodi, 1994).
Pemberian pakan yang baik dapat meningkatkan efesiensi produktivitas,
karena makanan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam dunia usaha
peternakan, oleh karena itu kelinci harus diberi ransum yang memadai sesuai
dengan kebutuhannya (Anggorodi, 1994). Pakan yang tidak memenuhi standart
kebutuhan nutrien pada ternak kelinci terutama energi dan protein menyebabkan
pertumbuhan ternak rendah. Hal ini berdampak kerugian yang berarti pada
peternakan kelinci bahkan menimbulkan rasa frustasi pada peternak dan peternak
berhenti memelihara kelinci. Mastika, (2011) menyatakan bahwa penggunaan
limbah agroindustri sebagai pakan ternak adalah salah satu usaha untuk menekan
biaya produksi. (Nuriyasa et al,. 2018)
Kebutuhan ternak akan zat makanan terdiri dari kebutuhan hidup pokok
dan kebutuhan untuk produksi. Kebutuhan hidup pokok pengertiannya sederhana
yaitu untuk memepertahankan hidup. Ternak yang memperoleh makanan hanya
sekedar cukup untuk memenuhi hidup pokok, bobot badan ternak tersebut tidak
Universitas Sumatera Utara
10
akan naik dan turun. Tetapi jika ternak tersebut memperoleh lebih dari kebutuhan
hidup pokoknya maka sebagian dari kelebihan makanan itu akan dapat dirubah
menjadi bentuk produksi misalnya air susu, pertumbuhan dan reproduksi ini
disebut kebutuhan produksi (Tillman et al., 1991).
Kebutuhan harian zat-zat makanan untuk ternak kelinci dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan kutrisi kelinci
Sumber: NRC (1977)
Menurut Aksi Agraris Kanisius (1980) standar kebutuhan pakan ternak
kelinci pedaging adalah protein 15-19%, serat kasar: 11-14%, lemak: 2,5-4%,
vitamin A: 10.000 IU/kg, kalsium 0,9-1,5%, energi sebesar 2005-2009 Kkal/kg.
Menurut Prawirokusumo (1990) kebutuhan pakan kelinci minimum yaitu protein:
12%, serat kasar: 11% dan lemak 2%, kelinci umur 2-4 bulan mengkonsumsi
pakan dengan kandungan serat kasar diatas 17% akan memperlambat pencapaian
bobot badan
Pisang Kepok (Musa Paradisiaca L,)
Pisang kepok (Musa paradisiaca formatipica) merupakan jenis pisang
olahan yang sering diolah terutama dalam olahan pisang goreng dalam berbagi
Nutrient Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Pertumbuhan Hidup Pokok Bunting Laktasi
Digestible Energy
(kcal/kg) 2500 2100 2500 2500
TDN (%) 65 55 58 70
Serat Kasar (%) 10-12 14 10-12 10-12
Protein Kasar (%) 16 12 15 17
Lemak (%) 2 2 2 2
Ca (%) 0.45 - 0.40 1.75
P (%) 0.55 0.5
Metionin +
Cystine 0.6 0.6
Lysin 0.65 0.75
Universitas Sumatera Utara
11
variasi, sangat cocok diolah menjadi kripik, buah dalam sirup, aneka olahan
tradisional dan teoung. (Prabawati et al., 2008). Sedangkan menurut Satuhu dan
Supriyadi (2008), klalsifikasi taksonomi pisang kepok yang berasal dari india
selatan yang termasuk kedalam family : Musaceae, kelas : Liliopsida, ordo :
Zingiberales, genus :Musa, spesies : Musa pradisiaca L., dan kulit pisang kepok
merupakan hasil persilangan dari pisang liar yang telah mengalami domestikasi
Gambar 3. Morfologi pisang kepok : (a) pohon pisang kepok, (b) batang, (c)
daun, (d) jantung, (e) tandan, (f) buah, (g) daging buah (Sumber:
Ambarita et al, (2015).
Menurut Prabawati et al., (2008), pisang kepok memiliki buah yang sedikit
pipih dan kulit yang tebal, jika sudah matang warna kulit buahnya akan menjadi
kuning. Pisang kepok memiliki banyak jenis, namun yang lebih dikenal adalah
pisang kepok putih dan pisang kepok kuning. Kandungan gizi dalam pisang
kepok yaitu protein, karbohidrat, serat dan mineral seperti kalium, magnesium,
fosfor, besi, natrium dan kalium (Abdillah, 2010), selain itu juga pisang kepok
mengandung berbagai vitamin yang dibutuhkan makhluk hidup seperti vitamin A,
vitamin B, dan vitamin C (Ambarita, 2015).
Mikroorganisme Lokal
Larutan Mikroorganisme Lokal (MOL) terbuat dari bahan-bahan alami,
sebagai media hidup dan berkembangnya mikroorganisme yang berguna untuk
mempercepat penghancuran bahan organik. MOL dapat juga disebut sebagai bio
Universitas Sumatera Utara
12
aktivator yang terdiri dari kumpulan mikroorganisme lokal dengan memanfaatkan
potensi sumber daya alam setempat. MOL dapat berfungsi sebagai perombak
bahan organik dan sebagai pupuk cair melalui proses fermentasi. Faktor utama
penyebab maraknya penggunaan pupuk kimia yaitu mudah ditemui, cepat respon
dan unsur hara lengkap. Jenis mikroorganisme yang telah di identifikasi pada
MOL bonggol pisang antara lain Bacillus sp., Aeromonas sp., Aspergillus nigger,
Azospirillium, Azotobacter. dan mikroba selulolitik. Mikroorganisme Lokal dapat
bersumber dari bermacam-macam bahan lokal, antara lain urin sapi, batang
pisang, daun gamal, buah-buahan, nasi basi, sampah rumah tangga, rebung
bambu, serta rumput gajah dan dapat berperan dalam proses pengelolaan limbah
ternak, baik limbah padat untuk dijadikan kompos, serta limbah cair ternak untuk
dijadikan bio-urine (Sutari, 2010).
MOL adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai
sumber daya lokal. Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro serta
mengandung bakteri yang berpotensi sebagai perombak bahan organik,
perangsang pertumbuhan, dan sebagai agen pengendali hama dan penyakit
tanaman, sehingga MOL dapat digunakan baik sebagai dekomposer, pupuk hayati
maupun pestisida organik terutama sebagai fungisida. Keunggulan penggunaan
MOL adalah dapat diperoleh dengan biaya murah (Purwasasmita, 2009).
Bahan Penyusun Pelet
Kulit Pisang Kepok
Menurut Okorie et al., (2015), kulit pisang merupakan 40% dari total berat
buah pisang. Kulit pisang kepok tersebut dapat dimanfaatkan kembali menjadi
pakan ternak, di ekstrak untuk menghasilkan senyawa-senyawa tertentu yang
Universitas Sumatera Utara
13
bermanfaat, pupuk, atau dibuang menjadi tumpukan limbah padat. Penggunaan
limbah masyarakat sebagai pakan untu ternak diperlukan strategi pengolahan
dengan tujuan memperbaiki kandungan nutrisi yang akan diberikan untuk ternak
baik dengan metode fermentasi.
Terbatasnya pemanfaatan kulit pisang sebagai bahan pakan dikarenakan
kandungan protein kasarnya yang rendah dan tingginya kandungan serat kasar.
Sehingga perlu adanya upaya perbaikan kandungan nutrient, yaitu dengan proses
fermentasi.
Tabel 2. Komposisi kimia kulit pisang kepok
Kandungan Nutrisi (%) Kulit Pisang Kepok
Tanpa Fermentasi
Kulit Pisang Kepok
Fermentasi
Bahan Kering 14,76 19,40
Bahan Organik 84,34 88,45
Protein Kasar 4,52 5,92
Serat Kasar 12,36 10,92
Lemak Kasar 15,58 11,62
Abu 15,66 11,55
Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya 2018
Rumput Gajah Mini
Rumput Odot/Gajah mini merupakan salah satu tanaman yang disukai
ruminansia, cirinya antara lain daun lembut, ruas batang pendek relatif empuk,
tinggi berkisar 50-100 cm. Rumput ini pada awalnya dikembangkan di Florida
Amerika Serikat dengan nama (Pennisetum purpureum cv. Mott). Rumput gajah
mini tumbuh merumpun dengan perakaran serabut yang kompak dan terus
menghasilkan anakan apabila dipangkas secara teratur (Syarifuddin, 2006).
Keunggulan rumput gajah mini antara lain tahan kekeringan, hanya bisa
dipropogasi melalui metode vegetatif, zat gizi yang cukup tinggi dan memiliki
palatabilitas yang tinggi bagi ternak ruminansia (Lasamadi dkk., 2013).
Universitas Sumatera Utara
14
Tabel 3. Kandungan nutrisi rumput gajah mini
Kandungan Persentase (%)
Kadar lemak daun
Kadar lemak batang
Protein kasar daun
Protein kasar Batang
Digestibility Daun
Digestibility Batang
Protein Kasar
2,72
0,91
14,35
8,10
72,68
62,56
14
Sumber: Wildan (2015)
Menurut Widodo (2015) bahwa keunggulan rumput gajah mini yaitu
batang relatif pendek dan empuk, pertumbuhannya relatif cepat, daun lembut dan
tidak berbulu, mampu beradaptasi dengan kondisi lahan, tidak memerlukan
perawatan khusus, dalam satu rumpun terdapat 50-80 batang dan sangat disukai
ternak ruminansia dibandingkan rumput lainnya.
Dedak Padi
Dedak padi merupakan hasil ikutan dari penggilingan padi yang
merupakan sumber vitamin B dan cukup disukai oleh ternak. Persentase
dedak padi dari gabah kering giling sekitar 10-15%, selain dedak padi hasil
sampingan dari penggilingan gabah padi menghasilkan menir 1-17%, sekam 20-
25% dan bekatul 3% (Agus, 2008).
Dedak padi merupakan hasil penggilingan padi yang berasal dari lapisan
luar beras pecah kulit dalam proses penyosohan beras. Proses pengolahan gabah
menjadi beras akan menghasilkan dedak padi sebanyak 10% pecahan-pecahan
beras atau menir sebanyak 17%, tepung beras 3%, sekam 20%, dan berasnya
sendiri 50%. Persentase tersebut sangat bervariasi tergantung pada bervariasi
tergantung pada varietas dan umur padi, derajat penggilingan serta
penyosohannya. Menurut National Research Council (1994) dedak padi
Universitas Sumatera Utara
15
mengandung energi metabolisme sebesar 2980 kkal/kg, protein ksar 12,9%, lemak
13%, serat kasar 11,4%, Ca 0,07%, Mg 0,95% serta kadar air 9% (Dewan
Standarisasi Nasional, 2001). Dedak padi yang berkualitas baik mempunyai ciri
fisik seperti baunya khas, tidak tengik, teksturnya halus, lebih padat dan mudah
digenggam karena mengandung kadar sekam yang rendah, dedak yang seperti ini
mempunyayi nilai nutrisi yang tinggi (Rasyaf, 2002). Anggorodi (1994)
menyatakan bahwa, dedak padi yang berkualitas tinggi mempunyai kandungan
sekam lebih rendah.
Tabel 4. Kandungan nutrisi dedak padi
Nutrisi
Kandungan
1 2 3
Bahan Kering (%) 91,6 - -
Protein Kasar (%) 13,5 13,0 11,10
Serat Kasar (%) 13,0 12,0 11,95
Lemak Kasar (%) 0,6 13,0 11.95
Kalsium (%) 0,1 - -
Sumber : Dalam skripsi lusiyana Wanti Sihite (2014)
Bungkil Kedelai
Bungkil kedelai adalah produk sampingan dari ekstraksi minyak dari
kedelai utuh. Bungkil kedelai mengnadung protein dan energi dalam jumlah
tinggi dan sebagai salah satu suplemen protein utama di Indonesia. Bungkil
kedelai merupakan surnber protein yang baik bagi ternak.
Kandungan protein bungkil kedelai sekitar 44-51% dan merupakan
sumber protein yang amat bagus sebab keseimbangan asam amino yang
terkandung di dalamnya cukup lengkap dan tinggi. Asam amino yang
tidak terkandung dalam protein bungkil kedelai adalah metionin dan sintein, yaitu
asam amino yang biasanya ditambahkan pada pakan campuran jagung dan
Universitas Sumatera Utara
16
kedelai. Tetapi bungkil kedelai memiliki kandungan lisin dan triptofan yang tinggi
sehingga dapat melengkapi defisiensi pada protein jagung dan memberikan
kebutuhan asam amino esensial bagi ternak.
Tabel 5. Komposisi kimia bungkil kedelai
Bahan
Pakan
DM
(%)
CP
(%)
FAT
(%)
CF
(%)
NDF
(%)
ADF
(%)
Ca
(%)
P
(%)
TDN
(%)
Bungkil
Kedelai 48
89 48,0 1,0 3,0 7,1 5,3 0,20 0,65 78,0
100 54,0 1,1 3,4 8,0 6,0 0,22 0,73 87,0
Bungkil
Kedelai 44
89 44,0 1,0 6,0 11,1 8,2 0,30 0,65 75,0
100 49,4 1,1 6,7 12,4 9,2 0,33 0,73 84,0
Bungkil
Kedelai
89 42,0 4,9 6,8 12,4 8,9 0,24 0,62 75,6
100 47,2 5,5 7,7 14,0 10,0 0,27 0,70 85,0
Sumber : Agus (2008)
Onggok
Onggok dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif karena
harganya murah, tersedia dalam jumlah yang cukup, masih mengandung nutrien
yang dibutuhkan ternak. Berdasarkan analisa onggok mengandung protein kasar
2,95%, lemak 0,35%, serat kasar 7,28%, BETN 71,64% (Wahyudi, 2006).
Tabel 6. Kandungan zat makanan onggok berdasarkan bahan kering
Zat Makanan (%) Kandungan
Bahan Kering 86,00
Protein Kasar 1,77
Lemak Kasar 1,48
BETN 89,20
Serat Kasar 6,67
Abu 0,89
TDN 77,24
Sumber : Irawan (2002)
Universitas Sumatera Utara
17
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit adalah merupakan hasil akhir proses ekstrasi minyak
inti sawit. Penggunaannya sebagai pakan ternak telah banyak dilaporkan oleh para
peneliti. (Devendra, 1997).
Pemberian bungkil inti sawit yang optimal adalah 1,5% dari bobot badan
untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan ternak. Pertambahan bobot
badan harian akan semakin besar jika semakin besar persentase bungkil inti sawit
yang diberikan dalam ransum (Silitonga, 1993).
Tabel 7. Kandungan nutri pada bungkil inti sawit
Zat Makanan (%) Kandungan
Bahan Kering 92,6
Protein Kasar 15,4
Lemak Kasar 2,4
Serat Kasar 16,9
TDN 72,00
ME (Kcal/Kg) 2810,00
Sumber : Balai penelitian bioteknologi tanaman pangan bogor (2000)
Tepung Tapioka
Bahan perekat pakan dapat digunakan dalam bahan baku pemprosesan
pembuatan pelet. Bahan perekat pakan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
bahan perekat alami dan buatan. Bahan perekat alami telah banyak digunakan
sebagai bahan perekat untuk berbagai pakan, antara lain tepung tapioka. Tepung
tapioka merupakan bahan baku lokal yang berlimpah, mudah diolah dan harganya
lenh relatif murah. Selain memiliki kandungan amilosa sebesar 17% dan
amilopektin 83% sehingga dapat dijadikan alternatif bahan perekat
alami (Sari et al., 2016).
Universitas Sumatera Utara
18
Ultra Mineral
Mineral merupakan suatu zat yang dibutuhkan tubuh ternak, zat-zat
mineral kurang lebih 3-5 % dari tubuh ternak. Dipasaran banyak dijual berbagai
jenis mineral salah satu contohnya ultra mineral. Mineral adalah nutrisi yang
esensial selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak juga pemasok
kebutuhan mikroba rumen. Tubuh ternak ruminansia terdiri atas mineral kurang
lebih 4%. Dijumpai ada 31 jenis mineral yang terdapat pada tubuh ternak
ruminansia yang dapat diukur tetapi 15 jenis mineral esensial makro seperti Ca, K,
P, Mg, Na, Cl dan S, 4 jenis esensial mikro seperti Cu, Fe, Mn, dan Zn dan 4 jenis
mineral esensial langka seperti I, Mo, Co, Se (Siregar, 2008).
Molases
Molases atau tetes tebu adalah hasil sampingan pengolahan tebu menjadi
molases yang bentuk fisiknya berupa cairan kental dan berwarna hitam
kecoklatan. Walaupun harganya murah, namun kandungan gizi yang berupa
karbohidrat, protein dan mineralnya masih cukup tiggi dan dapat digunakan untuk
pakan ternak walaupun sifatnya sebagai pendukung.
Molases dapat dipergunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan
penggunaan molases untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (48-60%
sebagai gula), kadar mineral cukup dan rasanya disukai ternak. Molases juga
mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak
seperti Cobalt, Boron, Yodium, Tembaga, Magnesium dan seng sedangkan
kelemahannya adalah kadar kalium yang tinggi dapat menyebabkan diare jika
dikonsumsi terlalu banyak (Rangkuti, et al., 1985).
Universitas Sumatera Utara
19
Tabel 8 Kandungan nutisi pada molases (%)
Kandungan Zat Nilai gizi
Bahan Kering 67,5 a
Protein Kasar 3,4 a
Serat Kasar 0,38 a
Lemak Kasar 0,08 a
Kalsium 1,5 a
Fosfor 0,02 a
Total digestible nutriens 56,7 b
Sumber: Laboratorim Ilmu Makanan Ternak, Pogram Studi Peternakan, Fakultas
pertanian, USU Medan (2009)
Teknologi Fermentasi
Fermentasi adalah salah satu teknologi pengolahan bahan pakan secara
biologis yang melibatkan aktifitas mikroorganisme guna memperbaiki nilali gizi
bahan berkualitas rendah. Biasa bahan produk fermentasi relatif bisa bertahan
lama. Fermentasi dapat meningkatkan kualitas kandungan nilai gizi bahan pakan,
karena proses fermentasi terjadi perubahan kimiawi senyawa-senyawa organik
(lemak,serat kasar,karbohidrat,protein dan bahan organik lainnya) baik dalam
keadaan aerob maupun anaerob, melalui enzim yang dihasilkan mikroorganisme
tersebut (Ali et al,2019).
Secara biologis produk fermentasi memiliki kadar nutrisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan asal. Kadar nutrisi yang lebih tinggi disebabkan oleh
sifat mikroba yang mampu memecah molekul komplek menjadi molekul
sederhana sehingga mudah dicerna oleh hewan (Pakungkas, 2011). Fermentasi
dilakukan dengan cara menambahkan bahan mengandung mikroba proteolitik,
lignolitik, selulolitik, lipolitik, dan bersifat fiksasi nitrogen non simbiotik
(contohnya starbio, starbioplus, EM-4, dll) (Yunilas, 2009).
Universitas Sumatera Utara
20
Selama proses fermentasi terjadi, bermacam-macam perubahan komposisi
kimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban, aroma serta
perubahan nilai gizi yang mencakup terjadinya peningkatan protein dan
penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat aktivitas dan
perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi. Melalui fermentasi terjadi
pemecahan substrat oleh enzim–enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat
dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana. Selama
proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang, selain dihasilkan enzim juga
dihasilkan protein ekstra selluler dan protein hasil metabolisme kapang sehingga
terjadi peningkatan kadar protein (Sembiring, 2006).
Teknologi Pengolahan Pakan berbentuk Pelet
Untuk membuat pakan bentuk crumble atau pelet dari pakan bentuk
tepung harus dilakukan proses lebih lanjut. Selain itu juga perlu dilakukan
pengujian kepadatan atau kerekatanya jika mau dibuat pakan bentuk pelet.
Caranya, ambil pakan yang berbentuk secukupnya lalu dijemur. Setelah kering,
kalau pelet yang dihasilkan keras dan tidak mudah pecah berarti baik. Namun jika
pelet kurang keras dan mudah pecah maka dapat diberikan tambahan perakat
sintesis (white pellard) atau tepung tapioka. Penambahan bahan tersebut bertujuan
untuk membantu tingkat kekerasan pelet seperti yang diinginkan.
Pelet kelinci sampai saat ini masih menjadi masalah bagi peternak kelinci.
pasalnya, sampai sekarang belum ada pabrik khusus yang menyediakan pellet
kelinci. Kalau ada, hanya pabrikan skala kecil di daerah tertentu yang dikenal
sebagai sentra produksi kelinci seperti di Lembang, Bogor, Klaten dan Malang.
Padahal pelet ini sangat penting bagi para peternak, khususnya ketika musim
Universitas Sumatera Utara
21
kemarau tiba, dimana rumput berkualitas sulit didapatkan. pelet khusus untuk
kelinci sangat penting, karena dengan begitu seorang peternak bisa menimbun
untuk jangka waktu lama ini membuat arus khas keuangan untuk biaya ternak
juga bisa diatur lebih mudah. Saat kelinci terjual, secara otomatis sebagian dari
uangnya digunakan peternak untuk kepentingan kandang dan memebeli pakan
kelinci hingga sebulan penuh (Prawirokusumo, 1990).
Pellet
Pellet adalah ransum yang dibuat dengan menggiling bahan, mencampur,
memadatkan dan mengeraskan ransum sampai keluar dari mesin pencetak melalui
proses mekanik (Ensminger,1990). Jahan et al, (2006) menyatakan bahwa Pellet
merupakan hasil modifikasi dari mash yang dihasilkan dari pengepresan, sehingga
pelet menjadi lebih keras.
Mcelhiney (1994) menyatakan bahwa pellet merupakan hasil proses
pengolahan bahan baku ransum secara mekanik yang didukung oleh faktor kadar
air, panas dan tekanan, selain itu dua faktor yang mempengaruhi ketahanan serta
kualitas fisik pellet adalah karakteristik dan ukuran partikel bahan. Thomas dan
Van der Poel (1996) menyatakan bahwa pellet yang berkualitas harus mempunyai
nutrisi tinggi misalnya meningkatkan konsumsi ransum dan mungkin
meningkatkan nutrisi.
Balagopalan et al.(1998) melaporkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas fisik pellet adalah: kandungan pati, lemak, serat kasar, kadar air dan
ukuran partikel bahan pakan yang menyusun ransum. Ciptadi dan Nasution (1979)
menyatakan bahwa kandungan pati yang terdapat dalam ransum merupakan bahan
perekat pellet alami yang asal pakan.
Universitas Sumatera Utara
22
Gambar 4. Pellet
Sumber: Dokumentasi Pribadi 2020
Pakan pelet mempunyai beberapa keuntungan diantaranya meningkatkan
kepadatan pakan, mengurangi debu pada pakan, mengurangi volume saat
penyimpanan dan transportasi, serta meningkatkan konsumsi pakan dan mencegah
hewan memilih bahan pakan yang disukai sehingga hewan tersebut dapat
mengonsumsi pakan campuran secara keseluruhan (Cheeke,2005). Mc Ellhiney
(1994) menyatakan bahwa pellet merupakan hasil proses pengolahan bahan baku
ransum secara mekanik yang didukung oleh faktor kadar air, panas dan tekanan.
Menurut Pathak (1997) tujuan dari pembuatan pelet adalah untuk
mencegah ternak memilih pakan yang diberikan, mengurangi sifat berdebu pakan,
meningkatkan palatabilitas pakan, mengurangi pakan yang terbuang, mengurangi
sifat voluminous pakan dan untuk mempermudah penanganan pada saat
penyimpanan dan transportasi. Pemberian pakan bentuk pelet dapat meningkatkan
performa dan konversi pakan ternak bila dibandingkan dengan bentuk mask
(hardness) dan daya tahan pellet dipengaruhi oleh penambahan panas yang
dipengaruhi sifat fisik dan kimia bahan pakan (thomas dan van der poel,1997).
McNitt et al.(2000) menyatakan bahwa kelinci lebih menyukai pakan dalam
bentuk pellet dari pada pakan dalam bentuk mask. Kelinci yang sudah disapih
akan membuang sejumlah besar pakan pellet jika ukurannya terlalu besar, mereka
Universitas Sumatera Utara
23
akan mengambil satu gigitan pellet dan membiarkan sisanya jatuh melalui
kandang.
Konsumsi Pakan
Konsumsi pakan merupakan banyaknya jumlah pakan yang dihabiskan
oleh ternak. Konsumsi pakan adalah total jumlah pakan yang dimakan ternak atau
kelompok ternak dalam periode waktu tertentu. Konsumsi bahan kering dalam BK
pada kelinci adalah 50-60 gram/ekor/hari, sedangkan konsumsi pakan kelinci
dewasa dengan bobot badan berkisar 2-4 kg rata-rata konsumsinya 120-180
gram/ekor/hari (Syarifudin,2010)
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor ternak
itu sendiri (berat badan, status fisiologi, potensi genetik, tingkat produksi, dan
kesehatan ternak). Kedua, faktor pakan yang diberikan (bentuk dan sifat,
komposisi nutrien, frekuensi pemberian, keseimbangan nutrien, dan antinutrisi).
Ketiga, faktor lain (suhu dan kelembaban, curah hujan, lama siang dan malam).
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, selera, status fisiologi ternak,
konsentrasi nutrien pakan, bentuk pakan dan bobot ternak. Konsumsi pakan juga
dipengaruhi oleh ukuran partikel pakan. Ukuran partikel yang kecil dapat
menaikkan konsumsi pakan (Ningsih, 2016).
Pakan yang berkualitas rendah dan banyak mengandung serat kasar
mengakibatkan jalannya pakan akan lebih lambat sehingga ruang dalam saluran
pencernaan cepat penuh (Purwasasmita,2009). Menurut Syarifuddi (2010) Faktor
yang mempengaruhi konsumsi pakan adalah nutrien yang terkandung dalam
bahan pakan. Menurut Simanjuntak (2015), tingginya konsumsi ransum
dikarenakan sifat fisik dari pakan, yang dicerminkan dari organ oleptiknya seperti
Universitas Sumatera Utara
24
(rasa, aroma, dan tekstur). Adanya proses fermentasi yang dapat menambah rasa
dan aroma mengakibatkan palatabilitas pakan menjadi tinggi.
Kecernaan
Kecernaan adalah selisih antara zat makanan yang dikonsumsi dengan di
ekskresikan dalam feses dan dianggap terserap dalam saluran cerna. Jadi
kecernaan merupakan pencerminan dari jumlah nutrisi dalam bahan pakan yang
dapat dimanfaatkan oleh ternak. Tinggi rendahnyakecernaan bahan pakan itu
mengandung zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran
pencernaan ( Ismail, 2011)
Nilai kecernaan pakan mencerminkan tingkat nilai nutrien yang dapat
dimanfaatkan oleh tubuh ternak yang digunakan untuk produksi baik kebutuhan
hidup pokok maupun kenaikan bobot badan. Nilai kecernaan pakan yang semakin
tinggi berarti pakan perlakuan yang dapat dimanfaatkan ternak semakin tinggi.
Kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi pakan, jumlah pakan yang
diberikan, Bentuk pakan dan kandungan serat kasar pada pakan yang diberikan
pada ternak (Tillman et al., 1998).
Kecernaan bahan pakan memiliki hubungan negatif dengan kandungan
serat kasar dari bahan pakan tersebut. Semakin rendah serat kasar maka semakin
tinggi kecernaan ransum. Kecernaan serat kasar tergantung pada kandungan serat
kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang dikonsumsi. Kadar serat kasar
terlalu tinggi dapat mengganggu pencernaan zat lain. Daya cerna serat kasar
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar serat dalam pakan, komposisi
penyusun serat kasar dan aktifitas mikroorganisme (Maynard et al., 2005).
Universitas Sumatera Utara
25
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya cerna bahan pakan adalah suhu,
laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik dari pakan, komposisi
ransum dan pengaruh perbandingan dengan zat-zat lainnya, komposisi kimia
bahan, daya cerna semua protein kasar, penyiapan pakan (pemotongan,
penggilingan, pemasakan, dan lain-lain), jenis ternak, umur ternak, dan jumlah
ransum (Tillman et al., 1991).
Kecernaan bahan pakan memiliki hubungan negatif dengan
kandunganserat kasar dari bahan pakan tersebut. Semakin rendah serat kasar maka
semakin tinggi kecernaan ransum. Kecernaan serat kasar tergantung pada
kandungan serat kasar dalam ransum dan jumlah serat kasar yang dikonsumsi.
Kadar serat kasar terlalu tinggi dapat mengganggu pencernaan zat lain. Daya
cerna serat kasar dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kadar serat dalam
pakan, komposisi penyusun serat kasar yang terdapat dalam ransum dan aktivitas
mikroorganisme (Maynard et al., 2005).
Kecernaan Bahan Kering
Kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan,
karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang
berbeda-beda. Kecernaan bahan organik merupakan faktor yang penting yang
dapat menentukan nilai pakan. Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba
rumen dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi ransum,
sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan (Basri, 2014).
Menurut Fathul dan Wajizah (2010), bahan kering pakan masih
mengandung abu, sedangkan bahan organik tidak mengandung abu, sehingga
Universitas Sumatera Utara
26
bahan tanpa kandungan abu relatif lebih mudah dicerna. Kandungan abu
memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering ransum.
Kualitas dan kuantitas bahan kering tersebut harus diketahui untuk
meningkatkan kecernaan bahan pakan tersebut. Pada kondisi normal, konsumsi
bahan kering dijadikan ukuran konsumsi ternak, konsumsi bahan kering
tergantung dari banyaknya faktor, diantaranya adalah kecrnaan bahan kering
pakan, kandungan energi metabolisme pakan dan kandungan serat kasar pakan.
Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang
diserap tubuh yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik
dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi
dan jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan bahan kering ( Ridjhan, 1980).
Menurut Nuriyasa (2012) mendapat rata-rata kecernaan bahan kering kelinci
jantan lokal adalah 68,52%. Perbedaan ini disebabkan oleh karena perbedaan
bahan pakan yang dipakai untuk menyusun ransum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan kering adalah suhu,
laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik dari pakan, komposisi
ransum, dan pengaruh dari perbandingan dengan zat lainnya dari bahan pakan
tersebut (Anggorodi, 1994)
Kecernaan Bahan Organik
Bahan organik merupakan bagian terbesar nutrien yang dibutuhkan oleh
ternak. Kualitas bahan kering yang dimakan oleh ternak tidak saja tergantung dari
mutu bahan makanan yang dimakan, tetapi juga tergantung ukuran ternak yang
memakan bahan makanan tersebut. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh laju
pencernaan dan tergantung pada bobot badan ternak dan kualitas pakan. Salah
Universitas Sumatera Utara
27
satu sifat limbah organik yang berkualitas rendah adalah tingginya kandungan
lignoselulosa yang sulit dicerna ruminansia. Tingginya serat kasar dalam pakan
merupakan faktor yang mempengaruhi pembatas lamanya waktu pencernaan
sehingga akan mempengaruhi laju pencernaan dan akhirnya menurunkan
konsumsi pakan (Ali, 2008)
Sutardi et al., (2001) menyatakan bahwa bahan organik berkaitan erat
dengan bahan kering karena bahan organik merupakan bagian terbesar dari bahan
kering. Tinggi rendahnya konsumsi bahan organik akan dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya konsumsi bahan kering. Peningkatan konsumsi pakan bagi ternak
selaras dengan meningkatnya kualitas dan kecernaan pakan yang diberikan,
sedangkan kecernaan pakan tergantung dari kandungan serat yang tidak mampu di
mamfaatkan ternak. Hal ini disebabkan karena sebagian besar komponen bahan
kering terdiri dari komponen bahan organik, perbedaan keduanya terletak pada
kandungan abunya (Murni,2012).
Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi
kecernaan zat-zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat,
protein, lemak, dan vitamin. Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan
tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses
pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah larut. Faktor yang
mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan
mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan
kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan
organik ( Ismail, 2011)
Universitas Sumatera Utara
28
Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi
kecernaan zat -zat makanan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat,
protein, lemak, dan vitamin. Bahan - bahan organik yang terdapat dalam pakan
tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh karena itu diperlukan adanya proses
pemecahan zat - zat tersebut menjadi zat - zat yang mudah larut. Faktor yang
mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan
mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan
kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan
organik (Ningsih, 2016).
Konsumsi bahan organik pada ternak berbanding lurus dengan konsumsi
bahan kering dari ternak tersebut. Zat-zat nutrien yang terkandung dalam bahan
organik merupakan komponen penyusun bahan kering (Chotimah,2012).
Universitas Sumatera Utara
29
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan
Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
dan Jalan Dr. Hamzah No. 6 Kecamatan Medan Baru, Medan, Provinsi Sumatera
Utara dilaksanakan pada Bulan Oktober 2020 sampai Desember 2020.
Alat dan Bahan
Alat
Adapun alat yang digunakan antara lain: kandang individual 27 unit dan
perlengkapannya, tempat minum 27 unit, tempat pakan 27 unit, timbangan digital
untuk menimbang pakan yang diberikan, sisa pakan dan feses, timbangan bobot
badan dengan masing-masing kapastitas 5kg dan kepekaan 1g, alat tulis,
penggaris, grinder untuk menghaluskan bahan pakan, mesin pelet untuk
membentuk pelet, alat pembersih kandang, alat penerang kandang, thermometer
untuk mengetahui suhu kandang, pisau untuk mencacah kulit pisang kepok, terpal
plastik untuk mencampur dan menjemur bahan pakan, silo dapat berupa tong
plastik,Jaring untuk menampung feses, plastik 1 kg untuk tempat feses untuk
dibawa ke laboratorium,masker, sarung tangan, nampan, cawan porselin, oven
1050Cuntuk mengeringkan bahan pakan dan alat tulis untuk menulis data selama
penelitian, deksikator, tanur kapasitas 6000 C.
Bahan
Bahan yang digunakan yaitu kelinci peranakan jantan lokal sebanyak 27
ekor. Fermentasi perlakuan terdiri atas kulit pisang kapok, dedak padi, dan
Mikroorganisme lokal(MOL) sebagai aktifator. Pelet perlakuan terdiri atas kulit
Universitas Sumatera Utara
30
pisang kepok yang di fermentasi dan tidak difermentasi, dedak padi, Rumput odot,
tepung tapioca, bungkil inti sawit, bungkil kedelai, onggok, premix, dan molases.
B-Complex , vitamin, air minum diberikan secara ad libitum, dan rodalon untuk
desinfektan.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan secara eksperimental dengan menggunakan
rancangan acak lengkap (RAK) yang terdiri atas 3 perlakuan dengan 3 kelompok
dan setiap kelompok terdiri atas 3 ekor kelinci. Adapun perlakuan yang diberikan
sebagai berikut:
P0 : 40% kulit pisang kepok tanpa fermentasi pada ransum pellet
P1 : 40% kulit pisang kepok fermentasi pada ransum pellet
P2 : 60% kulit pisang kepok fermentasi pada ransum pellet
Susunan Perlakuan Penelitian
Perlakuan Kelompok
1 2 3
0
P0U1 P0U6 P0U7
P0U2 P0U5 P0U9
P0U3 P0U4 P0U8
1
P1U3 P1U6 P1U8
P1U2 P1U4 P1U9
P1U1 P1U5 P1U7
2
P2U1 P2U5 P2U9
P2U3 P2U4 P2U7
P2U2 P2U6 P2U8
Sedangkan jumlah ulangan diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
(t-1)(n-1) ≥15
(3-1)(n-1) ≥15
2n-2 ≥15
2n ≥15+2
n ≥9
Universitas Sumatera Utara
31
Model matematik percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
(RAK) adalah:
Yij = µ + αi + ɛij
Keterangan:
Yij = Hasil pengamatan untuk perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Nilai tengah umum
αi = Pengaruh perlakuan ke-i
ɛij = Efek galat percobaan pada pelakuan ke-i, ulangan ke-j
Tabel 10. Susunan ransum perlakuan penelitian (pengacakan perlakuan dan
ulangan)
Bahan pakan Perlakuan (%)
P0 P1 P2
Kulit Pisang Kepok
Tanpa Fermentasi 40,00 0 0
Kulit Pisang
Kepok Fermentasi
40,00 60,00
Rumput Odot Dedak Padi
2,00 5,00
2,00 5,00
0,50 1,00
Bungkil Inti Sawit 2,00 5,00 1,00
Bungkil Kedelai
Tepung Ikan
Tepung Tapioka
23,00 2 2,00
15,00 2
2,00
13,00 2
2,00
Onggok 20,00 25,00 16,50
Molasses 2,00 2,00 2,00 Ultra Mineral 2,00 2,00 2,00
Total 100 100 100
PK (%) 16,30 16,47 16,71 SK (%) 12,56 12,36 12,20
LK (%) 5,77 5,90 6,10
ABU (%) 10,33 10,43 10,56
BETN (%) 54,94 54,84 54,43
TDN (%) 69,285 70,180 70,953
Universitas Sumatera Utara
32
Parameter yang Diamati
Kecernan Bahan Kering
Kecernaan bahan kering yaitu selisih antara bahan kering pakan yang
diberikan dan bahan kering yang tertinggal dalam kotoran. Pengukuran Kecernaan
bahan kering (KCBK) berdasarkan rumus Tillman, etal. (1991) dilakukan dengan
rumus :
KCBK (%) =
x 100 %
Kecernaan Bahan Organik
Kecernaan bahan organik merupakan persentase silisih konsumsi bahan
organik pakan yang diberikan dan bahan organik feses per konsmsi bahan organik
pakan yang diberikan.Pengukuran Kecernaan bahan organik (KCBO) berdasarkan
rumus Tillman, et al. (1991) dilakukan dengan rumus :
KCBO (%)=
x 100
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Kandang dan Peralatan
Kandang dan semua peralatan dibersihkan dan dicuci, kemudian dilakukan
penyemprotan dengan Rodhalon (dosis 10 ml/2,5 liter air) pada lantai dan dinding
kandang sebelum proses pemeliharaan.
Persiapan Kelinci
Ternak kelinci yang digunakan adalah ternak kelinci jantan lokal sebanyak
27 ekor dengan rata-rata 479 – 36,60 g.
Universitas Sumatera Utara
33
Pengacakan Kelinci
Penempatan kelinci dilakukan dengan sistem acak kelompok dengan K1 =
418 g, K2 = 459 g, dan K3 = 500 g dengan jarak 40 sebelum dimasukkan kedalam
kandang.
Pengolahan Pelet Kulit Pisang Kepok Fermentasi
Pembuatan Mikroorganisme Lokal
1. Disiapkan jerigen berkapasitas 5 liter, dimasukkan 1,5 kg kulit pisang
kepok yang telah dicacah
2. Ditambahkan dedak padi 3% dari 1,5 kg kulit pisang kepok, urea 1% dari
1,5 kg kulit pisang kepok, gula merah 1,5% dari 1,5% dari 1,5 kg kulit
pisang kepok, dan molases 1,5% dari 1,5 kg kulit pisang kepok.
3. Ditambahkan 1,6 liter air kelapa dan 1,6 liter air cucian beras.
4. Diaduk secara merata dan dimasukkan salah satu ujung selang kedalam
jerigen dan satu ujungnya lagi dimasukkan kedalam botol berisi air dan
difermentasi (30 hari).
Proses Fermentasi Kulit Pisang Kepok dan Pembuatan Pelet
1. Disiapkan plastik polyetilene berkapasitas 1 kg sebagai wadah fermentasi
dan kulit pisang kepok telah dicacah dan di grinder.
2. Ditimbang 1 kg kulit pisang kepok ditambahkan dedak halus 3% dari 1 kg
kulit pisang kepok, molases 2% dari 1 kg kulit pisang kepok dan air. 2%
dari 1 kg kulit pisang kepok dan mol 5% dari 1 kg kulit pisang kepok.
3. Dimasukkan kedalam plastik, diikat menggunakan karet gelang dan di
fermentasi selama 3 hari.
Universitas Sumatera Utara
34
4. Proses pemeletan kulit pisang kepok yaitu sebagai berikut: fermentasi
tepung kulit pisang kepok dicampur dengan bahan seperti dedak padi,
tepung ikan, tepung rumput odot, bungkil inti sawit, bungkil kedelai,
tepung tapioka, molases, munyak, dan onggok, kemudian diaduk sampai
rata lalu setelah kemungkinan bisa terbentuk lalu masukan kedalam mesin
pencetak pelet, setelah jadi pelet tersebut dimauskkan kedalam oven
dengan kapasitas 600C sampai pelet tersebut kering agar tidak tumbuh
jamur.
Pemberian Pakan dan Air Minum
Pakan yang diberikan adalah pelet kulit pisang kepok fermentasi sebanyak
10% dari bobot badan. Pakan diberikan pada pagi hari pukul 08.00 WIB dan sore
hari pada pukul 16.00 WIB. Sisa pakan ditimbang pada waktu pagi hari keesokan
harinya sesaat sebelum ternak diberi makan kembali untuk mengetahui konsumsi
ternak tersebut. Sebelum dilaksanakan penelitian, diberikan waktu beradaptasi
selama 2 minggu sedikit demi sedikit. Pemberian air minum diberikan secara ad
libitum.
Pemberian Obat-obatan dan Vitamin
Sebelum pelaksanaan penelitian terlebih dahulu kelinci diberikan obat
cacing dengan dosis 1 tablet/50 berat badan untuk menghilangkan parasit dalam
saluran pencernaan. Sedangkan obat-obatan lain diberikan berdasarkan kebutuhan
bila ternak sakit.
Pengambilan Data
Pelaksanaan penelitian terdiri dari dua tahap yaitu tahap pendahuluan dan
tahap koleksi data. Tahap pendahuluan meliputi adaptasi kelinci terhadap pakan
Universitas Sumatera Utara
35
perlakuan dan keadaan lingkungan(kandang). Pada tahap koleksi data, pakan
diberikan dua kali pada pagi hari antara pukul 08.00-08.30 WIB dan siang hari
14.00-17.00 WIB. Ransum diberikan sebanyak 10% bobot badan. Kemudian
minggu terahir masa penelitian dilakukan pengamatan atau pengambilan data.
Pengambilan data dilakukan dengan metode koleksi feses total. Koleksi feses
dilakukan dengan mengumpulkan feses yang dihasilkan dalam 24 jam setiap ekor
kelinci selama 7 hari. Feses yang dikumpulkan ditimbang basah dan dikeringkan
dengan sinar matahari sampai feses dalam keadaan kandungan airnya berkurang
agar tidak menyebabkan bertumbuhnya jamur kemudian dimasukan ke refrezeer,
kegiatan ini berlanjut sampai pangambilan data hari ke-7, setelah semua
terkumpul dan semua feses digabungkan (dicampur) setelah bercampur, kemudian
diambil sampel 10g setiap perlakuan untuk di uji kandungan bahan kering dan
bahan organiknya Kegiatan koleksi data yaitu menimbang bobot badan kelinci,
dilakukan setiap satu minggu sekali, mencatat konsumsi pakan dan menimbang
pakan yang tersisa selama 24 jam kemudian menimbang feses yang dikeluarkan
kelinci.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK). Apabila diperoleh hasil berpengaruh sangat nyata atau nyata ,
maka dilanjutkan uji jarak berganda Duncan’s (Duncan’s Multiple Range Test).
Universitas Sumatera Utara
36
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi bahan kering kelinci jantan lokal dihitung berdasarkan
kandungan bahan kering yang terkandung di dalam pakan. Pengambilan data
konsumsi bahan kering diambil selama tujuh hari terahir masa pemeliharan kelinci
jantan lokal. Data rataan konsumsi bahan kering jantan lokal dilihat pada Tabel 11
berikut ini:
Tabel 11. Konsumsi bahan kering pada kelinci jantan lokal
Perlakuan
Kelompok
Total Rata-rata 1 2 3
P0 95,55 90,68 96,28 282,51 94,17b
P1 98,41 95,85 95,91 290,17 96,12a
P2 100,12 99,12 97,43 296,67 98,89a
Rata-rata 294,08 285,65 289,62
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P< 0,01);
Tabel 11 menunjukkan rataan konsumsi bahan kering pakan kelinci jantan
lokal berkisar antara 94,17 – 98,89 gram/ekor/hari dimana rataan terendah
diperoleh pada perlakuan P0 yaitu sebesar 94,17 gram/ekor/hari dan rataan
tertinggi diperoleh pada perlakuan P2 yaitu sebesar 98,89 gram/ekor/hari. Hasil
analisis keragaman menunjukkan pemberian berbagai level tepung kulit pisang
kepok fermentasi pada ternak kelinci jantan lokal memberikan pengaruh yang
sangat nyata (P< 0,01) terhadap konsumsi bahan kering.
Rataan konsumsi bahan kering pada perlakuan P2 nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan P1, P1 nyata lebih tinggi dari perlakuan P0
dimana P0 ini sendiri tanpa proses fermentasi. Proses fermentasi dalam pakan
mempengaruhi kualitas pakan baik rasa dan aroma sehingga dapat meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
37
palatabilitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ningsih (2016), yang menyatakan
bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur
lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan. Adanya proses
fermentasi juga mengakibatkan konsumsi bahan kering juga meningkat karena
proses fermentasi mampu mengubah senyawa-senyawa kompleks manjadi
sederhana sehingga pakan akan lebih mudah dicerna. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Roningsih (2013), yang menyatakan fermentasi merupakan aktifitas
mikroorganisme baik aerob maupun anaerob yang mampu mengubah senyawa-
senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa sederhana sehingga keberhasilan
fermentasi tergantung pada aktifitas mikroorganisme, sementara setiap
mikroorganisme masing-masing memiliki syarat hidup seperti pH tertentu, suhu
tertentu dan sebagainya. Produk fermentasi selain menghasilkan bio-massa dapat
meningkatkan atau menurunkan komponen kimia tertentu. Bahan pakan yang
mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrien yang lebih tinggi dari
bahan asalnya, selain itu mikroba bersifat memecah komponen-komponen yang
kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna.
Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh kandungan serat kasar
pakan. Kandungan serat kasar untuk masing-masing ransum perlakuan dari P0,P1
dan P2 yaitu 12,56% ; 12,36% ; 12,20%. Kandungan serat kasar masing-masing
ransum perlakuan menujukkan konsumsi bahan kering yang cenderung menurun
karena adanya pemberian pakan fermentasi menggunakan probiotik MOL.
Menurut Purwasasmita (2009) menyatakan bahwa pakan yang berkualitas rendah
Universitas Sumatera Utara
38
dan banyak mengandung serat kasar mengakibatkan jalannya pakan akan lebih
lambat sehingga ruang dalam saluran pencernaan cepat penuh.
Konsumsi Bahan Organik
Konsumsi bahan organik kelinci jantan lokal dihitung berdasarkan
kandungan bahan organik yang terkandung dalam pakan. Pengambilan data
konsumsi bahan organik diambil selama tujuh hari terahir masa pemedliharaan
kelinci jantan lokal. Data rataan konsumsi bahan organik kelinci jantan lokal
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Konsumsi bahan organik pada kelinci jantan lokal
Perlakuan
Kelompok
Total Rata-rata 1 2 3
P0 83,97 79,71 84,62 248,30 82,77b
P1 86,29 84,41 86,78 257,48 85,83a
P2 88,06 85,97 85,70 259,73 86,58a
Rata-rata 258,32 250,09 257,10
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01);
Tabel 12 menunjukkan rataan konsumsi bahan organik kelinci jantan lokal
bahan organik berkisar antara 82,77 – 86,58 gram/ekor/hari dimana rataaan
terendah diperoleh dari perlakuan P0 yaitu sebesar 82,77 gram/ekor/hari dan
rataan tertinggi diperoleh dari perlakuan P2 yaitu sebesar 86,58 gram/ekor/hari.
Penambahan tepung kulit pisang kepok fermentasi pada P1 dan P2 memberikan
pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) lebih meningkatkan konsumsi bahan
organik pada ternak kelinci.
Rataan konsumsi bahan organik P2 nyata lebih tinggi dibanding dengan
perlakuan P1, P1 nyata lebih tinggi dari perlakuan P0 dimana P0 tersebut tanpa
fermentasi. Peningkatan bahan organik pada masing-masing ransum perlakuan
Universitas Sumatera Utara
39
disebabkan oleh keberhasilan pada saat fermentasi tepung kulit pisang kepok
sehingga kandungan bahan oragniknya meningkat dari 82,77% menjadi 86,58%.
Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi dengan MOL kulit pisang kepok dapat
meningkatkan nilai gizi tepung kulit pisang kepok sebagai bahan pakan ternak.
Menurut Rosningsih (2013) menyatakan bahwa bahan-bahan yang mengalami
fermentasi mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan-bahan asalnya.
Adanya proses fermentasi menggunakan MOL juga dapat meningkatkan pakan
hal ini dikarenakan proses fermentasi dapat mengubah rasa dan aroma yang lebih
disukai oleh ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Simanjuntak (2015), yang
menyatakan bahwa tingginya konsumsi ransum dikarenakan sifat fisik dari
pakan, yang dicerminkan dari organoleptinya seperti (ras,aroma dan tekstur).
Adanya proses fermentasi yang dapat menambah rasa dan aroma mengakibatkan
palatabilitas pakan menjadi tinggi.
Tingkat konsumsi bahan organik sejalan dengan konsumsi bahan kering,
apabila konsumsi bahan kering tinggi maka konsumsi bahan organik juga tinggi
dan sebaliknya jika konsumsi bahan kering rendah maka konsumsi bahan organik
juga akan rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chotimah (2002), yang
menyatakan bahwa konsumsi bahan organik pada ternak berbanding lurus dengan
konsumsi bahan kering dari ternak tersebut. Zat-zat nutrien yang terkandung
dalam bahan organik merupakan komponen penyusun bahan kering. Hal ini sesuai
dengan pendapat Syarifuddin (2010), bahwa suatu faktor yang mempengaruhi
konsumsi pakan adalah nutrien yang terknadung dalam bahan pakan. Konsumsi
bahan kering memiliki korelasi positif dengan konsumsi bahan organiknya.
Universitas Sumatera Utara
40
Kecernaan Bahan Kering pada Kelinci Jantan Lokal
Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat pakan yang
diserap oleh tubuh yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik
dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi
dan jumlah yang diekresikan dibagi jumlah bahan kering yang dikonsumsi adalah
kecernaan bahan kering. Afriyanti et al.,(2008) menyatakan bahwa kecernaan
bahan kering merupakan salah satu indikator untuk menentukan kualitas ransum.
Semakin tinggi kecernaan bahan kering maka semakin tinggi peluang nutrisi yang
akan bisa dimamfaatkan ternak untuk pertumbuhannya. Kecernaan bahan kering
menggunakantepung kulit pisang kepok fermentasi dalamransum pellet pada
kelinci jantan lokal dapat dilihat pada Tabel 13 berikut ini:
Tabel 13. Kandungan kecernaan bahan kering pada kelinci jantan lokal
Perlakuan Kelompok
Total Rata-rata 1 2 3
P0 74,38 75,16 73,27 222,81 74,27c
P1 82,95 83,16 81,31 247,41 82,47b
P2 91,07 91,38 89,65 272,09 90,69a
Rata-rata 248,40 249,70 244,23
Keterangan: Superskripsi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01);
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian pakan fermentasi
kulit pisang kepok dalam ransum pellet terhadap kelinci jantan lokal berpengaruh
sangat nyata (P< 0,01) terhadap kecernaan bahan kering kelinci jantan lokal.
Berdasarkan hasil penelitian adapun kisaran rata-rata kecernaan bahan kering
kelinci jantan lokal pada kulit pisang yang difermentasi menggunakan mol yaitu
74,27 gram – 90,69 gram. Kelinci yang diberikan ransum P2 menghasilkan
kecernaan bahan kering ransum 90,69 lebih tinggi dari perlakuan P0 dan P1. Hal
ini disebabkan adanya hubungan antara kandungan serat kasar ransum dengan
Universitas Sumatera Utara
41
bahan kering ransum yang akan berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering
kelinci.Menurut Nuriyasa et al, (2019) menyatakan bahwa kandungan serat kasar
ransum paling rendah sehingga konsumsi bahan kering lebih tinggi. Diketahui
bahan kering ransum P2 87,66% dan kecernaan bahan kering P2 90,68% sehingga
bahan kering yang diserap tubuh kelinci 10,8%.Menurut NRC, (1977)
menyatakan bahwa kelinci memiliki kebutuhan bahan kering untuk hidup pokok
berkisar 3-4% sedangkan untuk kebutuhan pertumbuhan berkisar 5-8%.
Kecernaan bahan kering ransum pada kelinci jantan lokal yang diberi
ransum kulit pisang fermentasi dalam ransum pellet berkisar antara 74,27%
sampai 90,69%. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil pada
penelitian Nuriyasa (2012) mendapat rata-rata kecernaan bahan kering kelinci
lokal yang menggunakan limbah kopi terfermentasi adalah 68,52%..Adapun
perbedaan kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh perbedaan komposisi ransum
yang digunakan untuk pakan kelinci. Menurut Tilman et all, (1986) menyatakan
bahwa kecernaan bahan kering ransum dipengaruhi oleh komposisi bahan
penyusun dalam bentuk fisik ransum.
Adapun perbedaan kandungan kercernaan kelinci yang diberi ransum kulit
pisang kepok fermentasi dalam bentuk pellet diduga karena ransum yang
diberikan terlebih dahulu difermentasi sehingga akan menghasilkan kandungan
nutrisi yang lebih baik dari sebelum difermentasi hal ini disebabkan karena
adanya aktivitas mikroba didalam fermentasi anaerob yang dapat merombak
menjadi molekul sederhana. Diketahui bahwa fermentasi suatu bahan dapat
mempengaruhi warna dan aroma serta ternak juga akan menjadi lebih suka.
Menurut Rosningsih, (2013) menyatakan bahwa bahan-bahan yang mengalami
Universitas Sumatera Utara
42
fermentasi mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan asalnya. Adanya
proses fermentasi menggunakan MOL juga dapat meningkatkan konsumsi pakan
hal ini dikarenakan proses fermentasi dapat mengubah rasa dan aroma yang lebih
disukai ternak. Menurut Simanjuntak, (2015) menyatakan bahwa tinggi rendahnya
ransum dikarenakan oleh sifat fisik pakan yang dicerminkan dari organoleptiknya
seperti (rasa, aroma dan tekstrur). Adanya proses fermentasi yang dapat
menambah rasa dan aroma mengakibatkan palatabilitas pakan menjadi tinggi.
Berdasaran hasil penelitian rata-rata kecernaan bahan kering pada kelinci
jantan lokal yaitu berkisar 74,27 – 90,69%. Rohimah (2012) menyatakan bahwa
kecernaan bahan kering kelinci yang diberi ransum komplit berbentuk pellet
adalah sebesar 47%.Hal ini diduga karena adanya sifat coprophagy pada ternak
kelinci dan tidak dilakukannya pencegahan coprophagy pada penelitian ini yang
mengakibatkan daya cerna menjadi tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
syarifuddin (2010), dimana kemampuan kelinci mencerna serat kasar (ADF= Acid
Detergent Fiber) dan lemak semakin bertambah setelah kelinci berumur 5-12
minggu. Pencegahan coprophagy pada kelinci umur 6-8 minggu menyebabkan
penurunan pertumbuhan dan penurunan kemampuan daya cerna protein dari 77%
menjadi 60%. Pembuangan ceacum melalui pembelahan menghasilkan
pembesaran colon (usus besar). Komposisi kotoran lunak yang dikeluarkan sangat
berbeda dari kotoran keras yang dikeluarkan. Menurut Prasetiya (2010) sifat
coprophagy memungkinkan kelinci memamfaatkan secara penuh pencernaan
bakteri disaluran bagian bawah, yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi
protein bakteri yang berkualitas tinggi, mensintesisi vitamin B dan mencegah
selulosa atau serat menjadi energi yang berguna.
Universitas Sumatera Utara
43
Kecernaan Bahan Organik pada Kelinci Jantan Lokal
Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi
kecernaan zat-zat pakan berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat,
protein,lemak dan vitamin. Selisih jumlah bahan organik yang dikonsumsi dan
jumlah yang dieksresikan dibagi oleh jumlah bahan organik yang dikonsumsi
adalah kecernaan bahan organik.Kecernaan bahan kering menggunakan
fermentasi mol kulit pisang kepok dalam bentuk pellet pada kelinci jantan lokal
dapat dilihat pada Tabel 14 berikut ini:
Tabel 14. Kandungan kecernaan bahan organik pada kelinci jantan lokal
Perlakuan Kelompok
Total Rata-rata 1 2 3
P0 77,695 78,80 76,40 232,895 77,63c
P1 84,355 84,59 83,085 252,03 84,01b
P2 91,77 91,69 89,895 273,355 91,11a
Keterangan: Superskripsi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan
pengaruh sangat nyata (P< 0,01);
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian pakan fermentasi
kulit pisang kepok dalam ransum pellet terhadap kelinci jantan lokal berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) terhadap kecernaan bahan organik kelinci jantan lokal.
Berdasarkan hasil penelitian adapun kisaran rata-rata kecernaan bahan organik
kelinci jantan lokal terhadap tepung kulit pisang kepok yang difermentasi
menggunakan mol yaitu 77,63% - 91,11% dimana rata-rata terendah diperoleh
dari perlakuan P0 yaitu sebesar 77,63% dan rata-rata tertinggi diperoleh dari
perlakuan P2 yaitu sebesar 91,11%. Hasil analisis keragaman kecernaan bahan
organik selama penelitian menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01)
terhadap kecernaan bahan organik kelinci jantan lokal. Peningkatan kecernaan
bahan kering selalu diiringi dengan meningkatnya kecernaan bahan organik. Hasil
Universitas Sumatera Utara
44
penelitian menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik yang diperoleh sejalan
dengan hasil kecernaan bahan kering. Sutardi (1980) menyatakan bahwa
peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan meningkatnya kecernaan
bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan
organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan
bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi rendahnya bahan organik
Hal ini berarti penambahan pakan sumber protein dapat mengubah
kandungan bahan organik yang terdapat pada ransum berbasis kulit pisang kepok,
sehingga kecernaan bahan organik kelinci jantan lokal mengalami kenaikan.
Tingkat kecernaan bahan organik relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat
kecernaan bahan kering pada setiap perlakuan. Hal ini disebabkan pada bahan
kering masih mengandung abu, sedangkkan bahan organik tidak mengandung
abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif lebih mudah dicerna didalam
tubuh ternak. Fathul dan Wajifah (2010) menyatakan bahwa bahan organik
merupakan bagian dari bahan kering, sehingga apabila bahan kering meningkat
bahan organik juga meningkat begitu pula sebaliknya, oleh karena itu, hal tersebut
juga akan berlaku pada nilai kecernaannya apabila kecernaan bahan kering
meningkat tertu kecernaan bahan organik juga meningkat, kandungan abu dapat
memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering. Purnomo (2006)
menyatakan bahwa tinggi rendahnya nilai kecernaan bahan kering pakan akan
berpengaruh terhadap terhadap tingkat kecernaan bahan organiknya.
Adapun Kecernaan bahan organik pada perlakuan P2 91,11%
menunjukkan nilai kecernaan bahan organik lebih tinggi dibanding dengan P0
77,63% dan P1 84,01%, dikarenakan adanya proses fermentasi dengan
Universitas Sumatera Utara
45
menggunakan MOL berbasis kulit pisang kepok mengalami peningkatan bahan
organik disebabkan oleh adanya peningkatan biomassa dari aktifitas
mikroorganisme selama proses fermentasi yang memiliki kemampuan dalam
mendegradasi serat sehingga kecernaannya meningkat. Rosningsih (2013)
menyatakan bahwa produk fermentasi selain menghasilkan biomassa dapat
meningkatkan atau menurunkan komponen kimia tertentu, tergantung
kemampuan. Bahan pakan yang mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai
nutrien yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya, selain itu mikroba bersifat
memecah komponen-komponen yang kompleks menjadi komponen yang lebih
sederhana sehingga mudah dicerna di dalam tubuh ternak, apabila suatau pakan
itu mudah dicerna tubuh ternak maka sistem kecernaannya meningkat. Menurut
Tazzoli et al., (2009) menayatakan bahwa fermentasi dapat memecah bahan-
bahan yang sulit dicerna seperti selulosa, hemiselulosa dan polimer-polimernya
menjadi bahan-bahan yang mudah dicerna seperti gula sederhana dan turunannya.
Nilai gizi suatu bahan pakan selain ditentukakn oleh lengkapnya zat-zat yang
terkkandung di dalam juga sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya daya cerna
dan energi bahan pakan tersebut ( de Blas et al., 2010)
Kecernaan bahan organik kelinci jantan lokal yang diberi tepung kulit
pisang kepok fermentasi lebih tinggi dibandingkan kecernaan bahan kering kelinci
jantan lokal yang diberi tepung kulit pisang kepok fermentasi. Hal ini karena
selama fermentasi terjadi peningkatan kadar bahan organik. Bahan organik terdiri
dari protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan BETN. Sehingga semakin tinggi
bahan organik pada tepung kulit pisang kepok fermentasi maka nilai
kecernaannya juga akan semakin tinggi. Arora (1989) menyatakan bahwa faktor-
Universitas Sumatera Utara
46
faktor yang mempengaruhi daya cerna diantaranya adalah konsumsi, bentuk fisik
bahan pakan dan laju penjalanan melalui alat pencernaan. Tilman, et al., (1998)
bahwa daya cerna pakan berhubungan erat dengan komposisi kimianya dan serat
kasar mempunyai pengaruh terbesar. Kecernaan bahan kering dapat dipengaruhi
bahan organik dimana kecernaan bahan organik menggambarkan ketersediaan
nutrien dari pakan.
Rekapitulasi Hasil Penelitian
Untuk mengetahui hasil penelitian terhadap kecernaan bahan kering dan
kecernaan bahan organik maka dilakukan rekapitulasi hasil penelitian yang dapat
dilihat pada Tabel 13.
Tabel 15. Rekapitulasi hasil penelitian
Perlakuan
Parameter
Konsumsi BK Konsumsi BO Kecernaan BK Kecernaan BO
P0 94,17 82,77 74,27 77,63
P1 96,12 85,83 82,47 84,01
P2 98,89 86,58 90,69 91,11
Rata-rata 289,18 255,18 247,43 252,75
Keterangan : Super skripsi pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh sangat
nyata (P<0,05)., Pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
sangat nyata (P<0,01).,
Tabel 15 menunjukkan pemamfaatan pakan perlakuan tepung kulit pisang
kepok fermentasi dengan MOL berbasis kulit pisang kepok memberi pengaruh
yang sangat nyata pada konsumsi bahan kering, konsumsi bahan oragnik,
kecernaan bahan kering dan mendapat hasil yang berpengaruh sangat nyata pada
kecernaan bahan organik.
Rataan konsumsi bahan kering pada perlakuan P2 nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan P1, P1 nyata lebih tinggi dari perlakuan P0
dimana P0 ini sendiri tanpa proses fermentasi. Proses fermentasi dalam pakan
Universitas Sumatera Utara
47
mempengaruhi kualitas pakan baik rasa dan aroma sehingga dapat meningkatkan
palatabilitas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ningsih (2016), yang menyatakan
bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adlah
palatabilitas ransum, bentuk fisik ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur
lingkungan, keseimbangan hormonal dan fase pertumbuhan. Adanya proses
fermentasi juga mengakibatkan konsumsi bahan kering juga meningkat karena
proses fermentasi mampu mengubah senyawa-senyawa kompleks manjadi
sederhana sehingga pakan akan lebih mudah dicerna. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Roningsih (2013), yang menyatakan fermentasi merupakan aktifitas
mikroorganisme baik aerob maupun anaerob yang mampu mengubah senyawa-
senyawa kompleks menjadi senyawa-senyawa sederhana sehingga keberhasilan
fermentasi tergantung pada aktifitas mikroorganisme, sementara setiap
mikroorganisme masing-masing memiliki syarat hidup seperti pH tertentu, suhu
tertentu dan sebagainya. Produk fermentasi selain menghasilkan bio-massa dapat
meningkatkan atau menurunkan komponen kimia tertentu. Bahan pakan yang
mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrien yang lebih tinggi dari
bahan asalnya, selain itu mikroba bersifat memecah komponen-komponen yang
kompleks menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna.
Rataan konsumsi bahan organik P2 nyata lebih tinggi dibanding dengan
perlakuan P1, P1 nyata lebih tinggi dari perlakuan P0 dimana P0 tersebut tanpa
fermentasi. Peningkatan bahan organik pada masing-masing ransum perlakuan
disebabkan oleh keberhasilan pada saat fermentasi tepung kulit pisang kepok
sehingga kandungan bahan oragniknya meningkat dari 82,77% menjadi 86,58%.
Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi dengan MOL kulit pisang kepok dapat
Universitas Sumatera Utara
48
meningkatkan nilai gizi tepung kulit pisang kepok sebagai bahan pakan ternak.
Menurut Rosningsih (2013) menyatakan bahwa bahan-bahan yang mengalami
fermentasi mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan-bahan asalnya.
Adanya proses fermentasi menggunakan MOL juga dapat meningkatkan pakan
hal ini dikarenakan proses fermentasi dapat mengubah rasa dan aroma yang lebih
disukai oleh ternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Simanjuntak (2015), yang
menyatakan bahwa tingginya konsumsi ransum dikarenakan sifat fisik dari
pakan, yang dicerminkan dari organoleptinya seperti (ras,aroma dan tekstur).
Adanya proses fermentasi yang dapat menambah rasa dan aroma mengakibatkan
palatabilitas pakan menjadi tinggi.
Pemberian tepung kulit pisang kepok fermentasi pada pakan memberikan
pengaruh sanngat nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan kering kelinci lokal
jantan. Kecernaan bahan kering kelinci lokal jantan yang diberi tepung kulit
pisang kepok fermentasi dalam ransum pellet lebih tinggi dibandingkan dengan
kecernaan bahan kering kelinci yang diberi tepung kulit pisang kepok tanpa
fermentasi dalam ransum pellet. Rataan kecernaaan bahan kering pada setiap
perlakuan yaitu P0 74,27 %, P1 82,47 %, dan P2 90,69 %.Hal ini disebabkan
adanya hubungan antara kandungan serat kasar ransum dengan bahan kering
ransum yang akan berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering kelinci. Menurut
Nuriyasa et al, (2019) menyatakan bahwa kandungan serat kasar ransum paling
rendah sehingga konsumsi bahan kering lebih tinggi. Diketahui bahan kering
ransum P2 87,66% dan kecernaan bahan kering P2 90,69% sehingga bahan kering
yang diserap tubuh kelinci 10,8%
Universitas Sumatera Utara
49
Pemberian tepung kulit pisang kepok fermentasi pada pakan memberikan
pengaruh sangat nyata (P <0,01) terhadap kecernaan bahan organik kelinci lokal
jantan. Kecernaan bahan organik kelinci lokal jantan yang diberi tepung kulit
pisang kepok fermentasi dalam ransum pellet lebih tinggi dibandingkan dengan
kecernaan kelinci lokal jantan yang diberi tepung kulit pisang kepok tanpa
fermentasi dalam ransum pellet. Rataaan kecernaan bahan orgtanik pada setiap
perlakuan yaitu P0 77,63%, P1 84,01%, dan P2 91,11%.Hal ini disebabkan pada
bahan kering masih mengandung abu, sedangkkan bahan organik tidak
mengandung abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu relatif lebih mudah
dicerna didalam tubuh ternak. Fathul dan Wajifah (2010) menyatakan bahwa
bahan organik merupakan bagian dari bahan kering, sehingga apabila bahan
kering meningkat bahan organik juga meningkat begitu pula sebaliknya, oleh
karena itu, hal tersebut juga akan berlaku pada nilai kecernaannya apabila
kecernaan bahan kering meningkat tertu kecernaan bahan organik juga meningkat,
kandungan abu dapat memperlambat atau menghambat tercernanya bahan kering
Universitas Sumatera Utara
50
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa penggunaan tepung
kulit pisang kepok fermentasi 60% dalam ransum pellet dapat meningkatkan,
kecernaan bahan kering 90,69%, kecernaan bahan organik 91,11% pada kelinci
jantan lokal. penambahan pakan sumber protein dapat mengubah kandungan
bahan organik yang terdapat pada ransum berbasis kulit pisang kepok, sehingga
kecernaan bahan organik kelinci jantan lokal mengalami kenaikan. Tingkat
kecernaan bahan organik relatif lebih tinggi dibandingkan tingkat kecernaan
bahan kering.
Saran
Disarankan untuk menggunakan tepung kulit pisang kepok 60% fermentasi
dengan MOL dosis 5% dan lama fermentasi 3 hari dalam ransum pellet untuk
meningkatkan daya cerna kelinci jantan lokal.
Universitas Sumatera Utara
51
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah. 2010. Kandungan Pisang dan Mamfaatnya. Bogor: Insitut Pertanian
Bogor.
Afriyanti, M., 2008. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum yang diberi
kursin biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) pada ternak sapi dan kerbau.
Skripsi Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor, Bogor.
Agus, A. 2008. Panduan Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Ardana Media.
Yogyakarta.
Aksi Agraris Kanisius. 1980. Pemeliharaan kelinci. Kanisius. Yogyakarta.
Ali N., Agustina., dan Dahniar. 2019. Pemberian Dedak Yang Difermentasi
Dengan Em4 Sebagai Pakan Ayam Broiler. Jurnal Ilmu Pertanian Vol 4
No 1.
Ambarita M.D.Y. Bayu E.S, dan Setiado H. 2015. Identification of Morphological
Characteristic Of Banana ( Musa spp). In Deli Serdang Distric. Jurnal
Agroteknologi 4(1) : 1911-1924.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia. Jakarta.
Arora S., 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan. Judul asli:
Microbial Digestion in Ruminants. Penerjemah: Muwarni R. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2019. Produksi Tanaman Pisang Seluruh Provinsi. Diakses
dari www.bps.go.id pada tanggal 17 Februari 2021.
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan Bogor. 2000. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian.
Basri. 2014. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Komplit
dengan kandungan Protein Berbeda Pada Kambing Merica Jantan. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Universitas Hasanuddin. Makasar.
Behnke, K. C. 2001. Processing Factors Influencing Pelet Quality. Feed Tech. 5
(4): University Press, Sydney.
Blummel, M., H. Steingass and K. Becle. 1997 The relationship between in vitro gas gas production, in vitro microbial biomass yield and 15N incorporated
and its implication for thepridiction of voluntary feed intakenof
roughages. Br.J.Nutr. 77: 911-912.
Universitas Sumatera Utara
52
Balagopalan . C., G. Padmaja, S.K. Nanda and S.N. Moorthy. 1988. Cassava in
Food , Feed and Industry. CRC. Press. Florida.
Ciptadi, W. dan Z. Nasution. 1979. Dedak Padi dan Manfaatnya. Departemen
Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Cheeke, P. R. & E. S. Dierenfeld. 2005. Comparative Animal Nutrition and
Metabolism. CABI Publishing, Wallingford, U.K.
Chotimah, D. C. 2012. Kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar
ransum yang mengandung ampas teh pada kelinci persilangan lepas sapih.
Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Devendra, C., 1997. Utilization of Feedings Tuff from The Oil Palm. Feedings
Tuff for Livestock in South Asia, Serdang, Maylasia.
De Blas, C. And J. Wiseman. 2010. Nutrition of the rabbit. 2nd Edition.CAB
International. London.
Damron, W. S. 2003. Introduction to Animal Science: Global, Biological, Social,
and Industry Perspectives. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey.
El- Raffa, A.M. 2004. Rabbit Production In Hot Climates. 8 Word Rabbit
Congres.
Ensminger, M. E. 1990. Animal Science. 8 th ed. Interstate Publisher, Inc.
Danville, Illinois.
Fathul, F dan S. Wajizah. 2010. Penambahan Mikromineral Mn dan Cu dalam
Ransum Terhadap Aktivitas Biofermentasi Rumen Domba Secara In Vitro.
JITV 15 (1) 9-15
Ghafur, A, M. 2009. Nilai Kecernaan In Vivo Ransum Kelinci New Zealand
White Jantan yang Menggunakan Bagasse Fermentasi. Jurusan Ilmu
Peternakan. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Ginting dan Krisna. 2009. Petunjuk Teknis Teknologi Pemanfaatan Pakan
Berbahan Limbah Holtikultura untuk Ternak Kambing. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Departemen Peternakan. Bogor
Hustamin R. 2007. Panduan Memelihara Kelinci Hias. Jakarta: Agro Media
Pustaka.
Irawan, B. 2002. Suplemen Zn dan Cu organik pada ransum berbasis agroindustri
untuk pemacu pertumbuhan domba. Tesis Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Universitas Sumatera Utara
53
Ismail,R.,2011. Kecernaan In Vitro, http/rismanismail2.wordpress.com
/2011/05/22/nilai-kecernaanprat 4/more-310.( 13 februari 2013).
Jahan, M. S., M. Asaduzzaman and A, K, Sarkar. 2006. Performance of Broiler
Fed on Mash, Pellet and Crumble. Int. J. Poultry Sci. 5(3): 265-270.
Kamal, M. 1994. Nutrisi Ternak 1. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta.
Kartadisastra, H. R., 1997. Ternak Kelinci. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Koni, T. 2013. Pemamfaatan Limbah Kulit Pisang Lilin ( Musa Paradisiaca)
Sebagai Pakan Alternatif Ayam Pedaging ( Gallus-gallus Domesticus).
JITV,18(2) 153-157.
Laboratorim Ilmu Makanan Ternak, Pogram Studi Peternakan, Fakultas
pertanian, USU Medan (2009)
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Brawijaya (2018)
Lestari, C.M.S. 2004. Penampilan Produksi Kelinci Lokal Menggunakan Pakan
Pellet Dengan Berbagai Aras Kulit Biji Kedelai. Pros. Seminar Nasional
Teknologi dan Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian.
Lebas, F., P. Coudert, D. de Rochambeau, & R. G. Thebault. 1997. The Rabbit
Husbandry, Health and Production. Food and Agriculture Organization of
The United Nations, Rome.
Lasamadi RD, Malalantang SS, Rustandi, Anis SD. 2013. Pertumbuhan dan
Perkembangan Rumput Gajah Dwarf (Pennisetum purpureum cv. Mott)
yang diberi Pupuk Organik Hasil Fermentasi EM4. Zootek J. 32:158-171.
McNitt, J. I., N.M Patton., S.D. Lukefahr,& P. R. Cheeke. 2000. Rabbit
Production: 8th Ed. Interstate Publishers, Inc. Danville, Illinois.
Mcelhiney, R. R. 1994. Feed Manufacturing Technology IV. American Feed
Industry Association. Inc. Arlington, Virginia.
Murwani, R. 2009. Sistem Pencernaan Dan Metabolisme Nutrien Pada
Monogastrik. Modul Perkuliahan. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro, Semarang.
Murni, R, Akmal, Okrisandi, Y. 2012. Pemamfaatan Kulit Buah Kakao yang
Difermentasi dengan Kapang Phanerochaeta Chrysosporium sebagai
Pengganti Hijauan dalam Ransum Ternak Kambing. Agrinak. 2.(1) : 6-10.
Universitas Sumatera Utara
54
Maynard, L.A. Loosil., J.K. Hintz, H.F and Warner, R.G. , 2005. Animal
Nutrition. (7th Edition) McGraw-Hill Book Company. New York, USA.
National Research Council.1994. Nutrient Requirement Of Poultry. Ninth Revised
Edition Nasional Academy Press. Washington, D.C., USA.
National Research Countil (NRC). 1977. Nutrient Requirement of Warmwater
Fish. National Academy of Sciences, Washington D. C.
Nuriyasa, I. M. Mastika. I.M. Intan WYK. 2018. Pengaruh Penggunaan Kulit
Kopi Terfermentasi dengan Aras berbeda dalam Ransum terhadap
Pertumbuhan Ayam Buras Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Nuriyasa, I. M. dan A. W. PUGER. 2019. Kecernaan Ransum pada Kelinci Betina
Lokal yang Diberi Ransum Menggunakan Ampas Tahu Terfermentasi
dengan Aras Berbeda. Fakultas Peternakan Universitas Udayana.
Ningsih, R. 2016. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Basal
Campuran Gamal dan Lamtoro dengan Suplemen Multi Nutrisi Pada
Kambing Peranakan etawa. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas
Hasanuddin. Makasar.
Okorie, D. O., C. Eleazu,O., dan P. Nwosu, . 2015. Nutrient and Heavy Metal
Composition Of Plantain (Musa paradisiaca) and Banana (Musa
paradisiaca) Peels Jounal of nutrition & Food Sciences. 5(370) : 1-3.
Pathak. 1997. Texbook of Feed Processing Technology. New Delhi Vikas
Publishing House PUT. Ltd.
Pamungkas, Z. 2011. Produk Fermentasi Meningkatkan Kadar Nutrisi, Ed. 1,
Buku Biru,Yogyakarta.
Pamungkas, W. 2011. Teknologi Fermentasi, Alternative Solusi Dalam Upaya
Pemanfaatan Bahan Pakan Lokal, Media Akuakultur, 06, 01
Parakarsi. A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. UI. Press.
Jakarta.
Prabawati, S., Suyanti., dan D. A. Setyabudi. 2008. Teknologi Pascapanen dan
Teknik Pengolahan Pisang. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. 68 hlm.
Prawirokusumo, S. 1990. Ilmu Gizi Komparatif. BPEE. Yogyakarta
Putra, I.G.M. dan N.S. Budiasana, 2006. Kelinci Hias. Penebar Swadaya, Jakarta
Purwasasmita, M. 2009. Mikroorganisme Lokal Sebagai Pemicu Siklus
Kehidupan dalam Bioreaktor Tanaman. Seminar Nasional Teknik Kimia
Indonesia. 19 –20 Oktober 2009.
Universitas Sumatera Utara
55
Purnomo, H. 2006. Pengaruh Pemberian Urea Molases Blok (UMB) sebagai
Suplemen terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum
Kambing Jantan. Skripsi S1, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta
Rangkuti, M. A. Musufie, P. Sitorus, I. P. Kompiang, N. Kusuma Wardani dan A.
Roesjat. 1985. Procceding. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk
Pakan Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan
Penelitian danPengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Rasyaf, M.2002. Teknologi Fermentasi Industri. Penerbit Arcan. Jakarta
Raharjo, Y. C. 2008. Potential and prospect of small and medium scale rabbit
industry in Indonesia. Proceedings: International Conference on Rabbit
Production 24-25th July 2007. Indonesian Centre for Animal Research and
Development Agency of Agricultural Research and Development
Department of Agriculture. Bogor. Page:116-124.
Rajeshwari, Y. B. & R. Guruprasad. 2008. Environment-It’s Role in Rabbit
Management. Proceedings: International Conference on Rabbit Production
24-25th July 2007. Indonesian Centre for Animal Research and
Development Agency of Agricultural Research and Development
Department of Agriculture. Bogor. Page:116-124.
Rasyaf,M. 1992. Memasarkan Hasil Peternakan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rohimah.2012. Kecernaan Nutrien pada Kelinci Peranakan New Zealand White
Jantan yang Diberi Pellet Ransum Komplit Mengandung Indigofera
zollingeriana dan Leucaena leucocephala. Skripsi. Fakultas peternakan,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rosningsih,S., 2013. Pengaruh Lama Fermentasi Dengan EM4 Terhadap
Kandungan Nutrien Ekskreta Layer. Buletin Pertanian dan Peternakan.
Fakultas Pertanian Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.1 (2):62-69
Saono, S. 1976. Metabolisme dari fermentasi. Ceramah Ilmiah Proceeding
Lokakarya Bahan Pangan Berprotein Tinggi. LKN-LIPI, Bandung. Hal 5-
7.
Sari, Y,I. 2016. Kajian Penambahan Tepung Tapioka Sebagai Binder Dalam
Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Ikan Nila. Jurusan Budidaya
Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Sarwono, B. 2001. Kelinci Potong dan Kelinci Hias. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Satuhu dan Supriyadi 2008. Pisang, Budidaya, Pengelolahan dan Prospek Pasar,
Jakarta: Penebar Swadaya.
Universitas Sumatera Utara
56
Sembiring, I. M. Jacob, dan R. Sitinjak. 2006. Pemanfaatan Hasil Sampingan
Perkebunan Dalam Konsentrat Terhadap Persentase Bobot Non-Karkas
dan Income Feed Cost Kambing Kacang Selama Penggemukan. Jurnal
Agribisnis Peternakan, Vol. 2, No. 2 Agustus.
Sihite, L.W. 2014. Pemamfaatan Eceng Gondok Fermentasi Terhadap Karkas dan
Non Karkas Domba Lokal Jantan Lepas Sapih. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Silitonga, S., 1993. Penggunaan Inti Kelapa Sawit dalam Ransum Domba. Vol 7.
No. 1, Badan Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
Siregar, S.B. 2008. Penggemukan Sapi. Penerbit Swadaya: Jakarta.
Simanjuntak, S. 2015. Fermentasi Hasil Samping Industri dan Perkebunan Kelapa
Sawit dengan Probiotik Lokal terhadap Performance Domba. Jurnal
Peternakan Integratif Vol. 4. No, 1 Desember 2015 : 83-95
Sriharti., Salim, T. 2008. Pemamfaatan Limbah Kulit Pisang untuk Pembuatan
Pupuk Kompos Menggunakan Pupuk Kompos Rotary Drum. Prosising
Seminar Nasional Bidang Teknik Kimia dan Tekstil. Yogyakarta.
Suprihatin. 2010. Teknologi fermentasi. Surabaya: UNESA Press.
Susanti, Lina. 2006. Perbedaan Penggunaan Jenis Kulit Pisang Terhadap Kualitas
Nata dengan Membandingkan Kulit Pisang Raja Nangka, Ambon
Kuning dan Kepok Putih Sebagai Bahan Baku. Tugas Akhir.
Semarang: UNNES.
Sutari, N. W. S. 2010. Uji Berbagai Jenis Pupuk Cair Biourine terhadap
Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.).
Agritrop : Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian (Journal On Agricultural Sciences)
edisi desember 2010. Vol.29.
Sutardi, T. 1980. Landasar Ilmu Nutrisi Jilid 1. Departemen Ilmu Makanan
Ternak. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Sarwono, B. 2003. Kelinci Potong dan Hias. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Syarifuddin NA. 2006. Nilai Gizi Rumput Gajah Sebelum dan Setelah Enzilase
Berbagai Umur Pemotongan. Produksi Ternak, Fakultas Pertanian.
Lampung (ID): UNILAM.
Syarifuddi,I,A. 2010. Penggunaan Tepung Kulit Buah Kakao Fermentasi dalam
Ransum terhadap Kecernaan Bahan kering dan Kecernaan Bahan Organik
Kelinci New Zealand White Jantan. Skripsi Fakultas Peternakan.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Universitas Sumatera Utara
57
Tillman, A. D. H. Hartadi, S Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S.
Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
Universty Press, Yogyakarta.
Tilman, A.D. H. Hartadi, S. Reksohadiprojo,S. Prawirokusumodan S.
Lendosoekodjo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.Tim Karya Tani Mandiri. 2009. Budidaya
Ternak Panduan Kelinci. CV Nuansa Aulia, Bandung.
Thomas, M and A. F. B. Van der Poel. 1996. Physical Quality of Pelleted Animal
Feed Contribution of Processes and its Condition. J.Animal Feed Science
and Technology. 64(2): 173-192.
Thomas, M., & A. F. B. Van der Poel. 1997. Physical quality of peleted animal
feed 2. Contribution of processes and its conditions. Animal Feed Science
and Technology. 61 (1): 89-109.
Tazzoli M, Carraro L, Trocino A, Majolini D, Xiccato G. 2009. Replacing Star
with Digestible Fiber in Growing Rabbit Feeding. J Anim Sci. 8 suppl.
3:148-250.
Wahyudi, M. 2006. Proses Pembuatan dan Analisis Mutu Yogurt. Buletin Teknik
Pertanian. 11(1) : 12-16.
Widodo, K. 2015. Rumput Gajah Mini (Pennisetum purpureum cv. Mott). [ serial
online]. www. Facebook.com/paguyubanpeternaksapinusantara. 22(4).
Wildan, A. 2015.Rumput odot (Pennisetum purpureum cv. Mott).
http://www.kampungternak.com/2015/01/rumput-odot-pennisetum-
purpureum-cv-mott.html. (diakses 6 april 2016)
Yunilas. 2009. Bioteknologi Jerami Padi Melalui Fermentasi Sebagai Bahan
Pakan Ternak Ruminansia. Medan: USU Repository.
Universitas Sumatera Utara
58
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengolahan kulit pisang kepok
Pengambilan Kulit Pisang Kepok
Dipisahkan kulit pisang dari bonggol menggunakan
pisau
Dijemur Kulit pisang hingga kering dibawah
sinar matahari
Dilakukan penggilingan kulit pisang yang sudah
kering dengan cover
Tepung Kulit Pisang
Universitas Sumatera Utara
59
Lampiran 2. Fermentasi kulit pisang kepok
Disiapkan plastik polyethylene berkapasitas 1 kg sebagai wadah
fermentasi, dan kulit pisang kepok yang telah dicacah
danddikeringkan Ditimbang 1 kg kulit pisang kepok tiap perlakuan dan
ditambahkan dosis perlakuan (5%) dan diaduk hingga merata
Ditambahkan dedak halus 3%, molases 2%, dan air
Dimasukkan ke dalam plastik, diikat menggunakan karet gelang,
dan difermentasi sesuai perlakuan lama fermentasi ( 3 hari)
Dibuka plastik dan diambil kulit pisang kepok fermentasi
kemudian dianalisis parameternya
Universitas Sumatera Utara
60
Lampiran 3. Pembuatan pelet
Disiapkan bahan pakan berupa kulit pisang kepok yang telah
difermentasi, hijauan, dedak padi, bungkil kedelai,bungkil inti
sawit, onggok
Dikeringkan bahan pakan didalam oven, kemudian dihaluskan
dengan menggunakan grinder menjadi bentuk tepung
Diayak bahan pakan yang sudah dihaluskan, lalu dicampurkan
lagi agar lebih merata
Ditunggu hingga campuran agak mengering, kemudian digiling
dan dicetak menjadi pellet
Dikeringkan pellet, kemudian dianalisis parameternya
Universitas Sumatera Utara
61
Lampiran 4. Kecernaan bahan kering pada kelinci jantan lokal
Perlakuan
Konsumsi BK% BK Ekskreta %
BK Pakan
Lab
Berat
Pakan
BK Ekskreta
Lab
Berat
Ekskreta KCBK
P0U1 85,26 107 68,70 32 75,90218814
P0U2 85,26 105 67,50 36 72,85613753
P0U3 85,26 105 67,30 34 74,44008802
P0U4 85,26 108 67,30 33 75,88096541
P0U5 85,26 104 69,50 38 70,2155398
P0U6 85,26 107 69,70 31 76,31543755
P1U1 87,42 108 72,60 21 83,85190269
P1U2 87,42 106 72,30 23 82,05475195
P1U3 87,42 108 70,50 22 83,57228196
P1U4 87,42 107 73,40 22 82,73668636
P1U5 87,42 110 73,60 24 81,63099769
P1U6 87,42 109 72,50 25 80,97867723
P2U1 87,66 114 74,22 11 91,83027727
P2U2 87,66 114 75,28 13 90,20697992
P2U3 87,66 114 78,80 11 91,32613647
P2U4 87,66 115 78,60 11 91,42338482
P2U5 87,66 110 76,50 13 89,68639164
P2U6 87,66 111 77,80 13 89,60562205
Perlakuan Kelompok
Total Rata-rata 1 2 3
P0 74,38 75,16 73,27 222,81 74,27c
P1 82,95 83,155 81,305 247,41 82,47b
P2 91,065 91,375 89,65 272,09 90,69a
Universitas Sumatera Utara
62
Lampiran 5. Kecernaan bahan organik pada kelinci jantan lokal
Perlakuan
Konsumsi BO% BO Ekskreta %
BO Pakan
Lab
Berat
Pakan BO Ekskreta Lab Berat Ekskreta KCBO
P0U1 77,10 107 54,40 32 79,47411862
P0U2 77,10 105 54,15 36 75,91995553
P0U3 77,10 105 53,01 34 77,73652029
P0U4 77,10 108 50,80 33 79,85741605
P0U5 77,10 104 55,04 38 73,91599322
P0U6 77,10 107 56,20 31 78,8816563
P1U1 76,99 108 57,40 21 85,5031678
P1U2 76,99 106 59,55 23 83,21038998
P1U3 76,99 108 57,90 22 84,68055014
P1U4 76,99 107 58,05 22 84,49731911
P1U5 76,99 110 58,30 24 83,47837381
P1U6 76,99 109 58,15 25 82,68570564
P2U1 74,93 114 57,97 11 92,53490392
P2U2 74,93 114 59,08 13 91,00868413
P2U3 74,93 114 63,60 11 91,84853231
P2U4 74,93 115 66,38 11 91,52623608
P2U5 74,93 110 64,20 13 89,8741856
P2U6 74,93 111 64,50 13 89,91851855
Perlakuan Kelompok
Total Rata-rata 1 2 3
P0 77,695 78,80 76,40 232,895 77,63c
P1 84,355 84,59 83,085 252,03 84,01b
P2 91,77 91,69 89,895 273,355 91,11a
Universitas Sumatera Utara
63
Lampiran 6. Hasil analisis ragam konsumsi bahan kering
The SAS System 20:13 Thursday, March 21, 2021 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
kelompok 3 1 2 3
perlakuan 3 0 1 2
Number of Observations Read 9
Number of Observations Used 9
The SAS System 20:13 Thursday, March 21, 2021 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: bahankering
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 45.34984444 11.33746111 3.10 0.1497
Error 4 14.64557778 3.66139444
Corrected Total 8 59.99542222
R-Square Coeff Var Root MSE bahankering Mean
0.755888 1.980939 1.913477 96.59444
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 2 11.85748889 5.92874444 1.62 0.3054
perlakuan 2 33.49235556 16.74617778 4.57 0.0926
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 2 11.85748889 5.92874444 1.62 0.3054
Universitas Sumatera Utara
64
perlakuan 2 33.49235556 16.74617778 4.57 0.0926
The SAS System 20:13 Thursday, March 21, 2021 3
The GLM Procedure
t Tests (LSD) for bahankering
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 4
Error Mean Square 3.661394
Critical Value of t 2.77645
Least Significant Difference 4.3378
Means with the same letter are not significantly different.
t Grouping Mean N perlakuan
A 98.890 3 2
A 96.723 3 1
B 94.170 3 0
Universitas Sumatera Utara
65
Lampiran 7. Hasil analisis ragam konsumsi bahan kering
The SAS System 20:38 Thursday, March 21, 2021 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
kelompok 3 1 2 3
perlakuan 3 0 1 2
Number of Observations Read 9
Number of Observations Used 9
The SAS System 20:38 Thursday, March 21, 2021 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: bahanorganik
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 37.59346667 9.39836667 4.98 0.0744
Error 4 7.54213333 1.88553333
Corrected Total 8 45.13560000
R-Square Coeff Var Root MSE bahanorganik Mean
0.832901 1.614391 1.373147 85.05667
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 2 13.15126667 6.57563333 3.49 0.1328
perlakuan 2 24.44220000 12.22110000 6.48 0.0556
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 2 13.15126667 6.57563333 3.49 0.1328
Universitas Sumatera Utara
66
perlakuan 2 24.44220000 12.22110000 6.48 0.0556
The SAS System 20:38 Thursday, March 21, 2021 3
The GLM Procedure
t Tests (LSD) for bahanorganik
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 4
Error Mean Square 1.885533
Critical Value of t 2.77645
Least Significant Difference 3.1129
Means with the same letter are not significantly different.
t Grouping Mean N perlakuan
A 86.577 3 2
A 85.827 3 1
B 82.767 3 0
Universitas Sumatera Utara
67
Lampiran 8. Hasil analisis ragam kecernaan bahan kering
The SAS System 21:29 Thursday, March 3, 2021 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
kelompok 3 1 2 3
perlakuan 3 0 1 2
Number of Observations Read 9
Number of Observations Used 9
The SAS System 21:29 Thursday, March 3, 2021 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: bahankering
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 410.1903278 102.5475819 3552.63 <.0001
Error 4 0.1154611 0.0288653
Corrected Total 8 410.3057889
R-Square Coeff Var Root MSE bahankering Mean
0.999719 0.205989 0.169898 82.47889
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 2 5.4369056 2.7184528 94.18 0.0004
perlakuan 2 404.7534222 202.3767111 7011.08 <.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 2 5.4369056 2.7184528 94.18 0.0004
perlakuan 2 404.7534222 202.3767111 7011.08 <.0001
Universitas Sumatera Utara
68
The SAS System 21:29 Thursday, March 3, 2021 3
The GLM Procedure
t Tests (LSD) for bahankering
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise
error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 4
Error Mean Square 0.028865
Critical Value of t 2.77645
Least Significant Difference 0.3852
Means with the same letter are not significantly different.
t Grouping Mean N perlakuan
A 90.6967 3 2
B 82.4700 3 1
C 74.2700 3 0
Universitas Sumatera Utara
69
Lampiran 9. Hasil analisis ragam kecernaan bahan organik
The SAS System 22:15 Thursday, March 3, 2021 1
The GLM Procedure
Class Level Information
Class Levels Values
kelompok 3 1 2 3
perlakuan 3 0 1 2
Number of Observations Read 9
Number of Observations Used 9
The SAS System 22:15 Thursday, March 3, 2021 2
The GLM Procedure
Dependent Variable: bahanorganik
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 279.0785167 69.7696292 595.96 <.0001
Error 4 0.4682833 0.1170708
Corrected Total 8 279.5468000
R-Square Coeff Var Root MSE bahanorganik Mean
0.998325 0.406104 0.342156 84.25333
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 2 5.9768000 2.9884000 25.53 0.0053
perlakuan 2 273.1017167 136.5508583 1166.40 <.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
kelompok 2 5.9768000 2.9884000 25.53 0.0053
perlakuan 2 273.1017167 136.5508583 1166.40 <.0001
Universitas Sumatera Utara
70
The SAS System 22:15 Thursday, March 3, 2021 3
The GLM Procedure
t Tests (LSD) for bahanorganik
NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise
error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 4
Error Mean Square 0.117071
Critical Value of t 2.77645
Least Significant Difference 0.7757
Means with the same letter are not significantly different.
t Grouping Mean N perlakuan
A 91.1183 3 2
B 84.0100 3 1
C 77.6317 3 0
Universitas Sumatera Utara
71
Lampiran 10. Dokumentasi pelaksanaan penelitian
Gambar 1. Proses pencacahan kulit pisang kepok
Gambar 2. Proses fermentasi tepung kulit pisang kepok
Universitas Sumatera Utara
72
Gambar 3. Pencetakan Pellet dan Pellet jadi
Gambar 4. Pemasukan kelinci
Gambar 5. Penyuntikan kelinci dengan B-complex
Universitas Sumatera Utara
73
Gambar 6. Pengmbilan data
Gambar 7. Analisis laboratorium
Universitas Sumatera Utara
74
Gambar 8. Supervisi Dosen
Universitas Sumatera Utara