pelayanan keagamaan di kab. nunukan: antara mengatasi keruwetan dan keterbatasan dengan menjaga...

28
1 Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan 1 Oleh: Kustini, Sri Hidayati, Wahidah R. Bulan Abstrak Pelayanan di daerah perbatasan, termasuk dalam konteks pelayanan keagamaan, berhadapan dengan kompleksitas persoalan dalam berbagai hal. Desakan peningkatan pelayanan terjadi sebagai tuntutan demokratisasi maupun sebagai upaya menjaga kedaulatan bangsa (ke-Indonesiaan). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menemukan problem-problem faktual tentang pelayanan keagamaan di daearh perbatasan terutama mengenai problem yang dihadapi institusi dalam memberikan pelayanan serta bagaimana kebudayaan negara tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan; dan (2) melakukan identifikasi pelayanan keagamaan yang telah dilakukan serta pelayanan yang mungkin dikembangkan dalam rangka pembangunan daerah perbatasan. Dengan pendekatan kualitatif (interview, observasi, diskusi kelompok terarah, maupun penelusuran sejumlah dokumen), studi di Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) pada 20 Maret-3April 2014 menunjukkan sejumlah isu penting pelayanan keagamaan di daerah perbatasan mulai dari persoalan administrasi kependudukan, keterbatasan infrastruktur dan supra struktur pelayanan, serta keterbatasan SDM. Problem berimplikasi pada terhambatnya pelayanan keagamaan seperti perkawinan, pelayanan haji, maupun pembinaan umat. Penyelesaian bersama dengan melibatkan institusi terkait (pusat dan daerah, institusi pemerintah maupun non pemerintah), menjadi keharusan. Selain itu perlu peningkatan kesadaran/keterlibatan warga yang kini tidak lagi diposisikan sebagai penerima layanaan yang pasif serta pengembangan kearifan local dalam mengatasi permasalahan. Kata kunci: pelayanan keagamaan, perbatasan, Nunukan, KUA, penyuluh agama. I. Pendahuluan Kondisi wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau (besar dan kecil), menghadapkan pemerintah pada persoalan kompleks dalam pemberian pelayanan maksimal kepada warga, terutama pada pulau-pulau terluar. Di wilayah darat, Indonesia berbatasan dengan 3 (tiga) negara, yaitu Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste; sedangkan di wilayah laut berbatasan dengan 10 negara yaitu Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Republik Demokratik Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau dan Australia (Gran Desain Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia Tahun 2011 2025). Karena hal itu bukan saja berhadapan dengan problem ketersediaan infrastruktur untuk menjangkau daerah tersebut (terutama daerah-daerah terpencil), mengingat letaknya yang berbatasan dengan teritorial Negara lain, pemerintah juga dihadapkan pada hadirnya sejumlah persoalan politik yang tidak dapat diabaikan. Selain itu, meski pembangunan di daerah-daerah perbatasan terus ditingkatkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, kawasan perbatasan masih berhadapan dengan persoalan kemiskinan yang cukup akut yang memosisikannya sebagai daerah tertinggal dan terpinggirkan. Hal ini belakangan menstimuli peningkatan tuntutan warga atas penyelesaian permasalahan yang ada, yang mengindikasikan adanya peningkatan ketidak-puasan warga atas layanan yang diberikan. Selain itu persoalan keamanan tetap mendominasi, baik berupa tindakan penyelundupan orang dan barang maupun penyebarangan kejahatan lintas Negara dalam bentuk terorisme, mengingat tingginya intensitas pergerakan orang dan barang di perbatasan (Moeldoko, 2014). 1 Disampaikan pada Pra Seminar Penelitian Pelayanan Keagamaan bagi Masyarakat Perbatasan yang diselenggarakan pada Rabu, 30 April 2014 oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Jakarta.

Upload: wahidah-r-bulan

Post on 29-Dec-2015

210 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

AbstrakPelayanan di daerah perbatasan, termasuk dalam konteks pelayanan keagamaan, berhadapan dengan kompleksitas persoalan dalam berbagai hal. Desakan peningkatan pelayanan terjadi sebagai tuntutan demokratisasi maupun sebagai upaya menjaga kedaulatan bangsa (ke-Indonesiaan). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menemukan problem-problem faktual tentang pelayanan keagamaan di daearh perbatasan terutama mengenai problem yang dihadapi institusi dalam memberikan pelayanan serta bagaimana kebudayaan negara tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan; dan (2) melakukan identifikasi pelayanan keagamaan yang telah dilakukan serta pelayanan yang mungkin dikembangkan dalam rangka pembangunan daerah perbatasan. Dengan pendekatan kualitatif (interview, observasi, diskusi kelompok terarah, maupun penelusuran sejumlah dokumen), studi di Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) pada 20 Maret-3April 2014 menunjukkan sejumlah isu penting pelayanan keagamaan di daerah perbatasan mulai dari persoalan administrasi kependudukan, keterbatasan infrastruktur dan supra struktur pelayanan, serta keterbatasan SDM. Problem berimplikasi pada terhambatnya pelayanan keagamaan seperti perkawinan, pelayanan haji, maupun pembinaan umat. Penyelesaian bersama dengan melibatkan institusi terkait (pusat dan daerah, institusi pemerintah maupun non pemerintah), menjadi keharusan. Selain itu perlu peningkatan kesadaran/keterlibatan warga yang kini tidak lagi diposisikan sebagai penerima layanaan yang pasif serta pengembangan kearifan local dalam mengatasi permasalahan.

TRANSCRIPT

Page 1: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

1

Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan

dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan1

Oleh:

Kustini, Sri Hidayati, Wahidah R. Bulan

Abstrak

Pelayanan di daerah perbatasan, termasuk dalam konteks pelayanan keagamaan, berhadapan dengan

kompleksitas persoalan dalam berbagai hal. Desakan peningkatan pelayanan terjadi sebagai tuntutan

demokratisasi maupun sebagai upaya menjaga kedaulatan bangsa (ke-Indonesiaan). Penelitian ini bertujuan

untuk: (1) Menemukan problem-problem faktual tentang pelayanan keagamaan di daearh perbatasan terutama

mengenai problem yang dihadapi institusi dalam memberikan pelayanan serta bagaimana kebudayaan negara

tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan; dan (2) melakukan identifikasi pelayanan keagamaan

yang telah dilakukan serta pelayanan yang mungkin dikembangkan dalam rangka pembangunan daerah

perbatasan. Dengan pendekatan kualitatif (interview, observasi, diskusi kelompok terarah, maupun penelusuran

sejumlah dokumen), studi di Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) pada 20 Maret-3April 2014 menunjukkan

sejumlah isu penting pelayanan keagamaan di daerah perbatasan mulai dari persoalan administrasi

kependudukan, keterbatasan infrastruktur dan supra struktur pelayanan, serta keterbatasan SDM. Problem

berimplikasi pada terhambatnya pelayanan keagamaan seperti perkawinan, pelayanan haji, maupun pembinaan

umat. Penyelesaian bersama dengan melibatkan institusi terkait (pusat dan daerah, institusi pemerintah maupun

non pemerintah), menjadi keharusan. Selain itu perlu peningkatan kesadaran/keterlibatan warga yang kini tidak

lagi diposisikan sebagai penerima layanaan yang pasif serta pengembangan kearifan local dalam mengatasi

permasalahan.

Kata kunci: pelayanan keagamaan, perbatasan, Nunukan, KUA, penyuluh agama.

I. Pendahuluan

Kondisi wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau (besar dan kecil),

menghadapkan pemerintah pada persoalan kompleks dalam pemberian pelayanan maksimal

kepada warga, terutama pada pulau-pulau terluar. Di wilayah darat, Indonesia berbatasan

dengan 3 (tiga) negara, yaitu Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste; sedangkan di

wilayah laut berbatasan dengan 10 negara yaitu Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Republik

Demokratik Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau dan Australia

(Gran Desain Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia

Tahun 2011 – 2025). Karena hal itu bukan saja berhadapan dengan problem ketersediaan

infrastruktur untuk menjangkau daerah tersebut (terutama daerah-daerah terpencil),

mengingat letaknya yang berbatasan dengan teritorial Negara lain, pemerintah juga

dihadapkan pada hadirnya sejumlah persoalan politik yang tidak dapat diabaikan.

Selain itu, meski pembangunan di daerah-daerah perbatasan terus ditingkatkan baik

oleh pemerintah pusat maupun daerah, kawasan perbatasan masih berhadapan dengan

persoalan kemiskinan yang cukup akut yang memosisikannya sebagai daerah tertinggal dan

terpinggirkan. Hal ini belakangan menstimuli peningkatan tuntutan warga atas penyelesaian

permasalahan yang ada, yang mengindikasikan adanya peningkatan ketidak-puasan warga

atas layanan yang diberikan. Selain itu persoalan keamanan tetap mendominasi, baik berupa

tindakan penyelundupan orang dan barang maupun penyebarangan kejahatan lintas Negara

dalam bentuk terorisme, mengingat tingginya intensitas pergerakan orang dan barang di

perbatasan (Moeldoko, 2014).

1 Disampaikan pada Pra Seminar Penelitian Pelayanan Keagamaan bagi Masyarakat Perbatasan yang diselenggarakan pada Rabu, 30 April 2014 oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Jakarta.

Page 2: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

2

Dalam kaitannya dengan eksistensi Kementerian Agama, persoalan keagamaan dan

pelayanan agama di daerah perbatasan menjadi hal penting untuk dibahas karena beberapa

alasan. Pertama, sebagai wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, daerah perbatasan

rentan terhadap masuknya ideologi-ideologi asing yang tidak selalu paralel dengan ideologi

bangsa dan negara Indonesia; selain fakta bahwa daerah perbatasan disinyalir menjadi lalu-

lintas persenjataan oleh teroris lintas negara. Kedua, pengembangan SDM agama di daerah

perbatasan relatif lebih rendah dibanding daerah-daerah lain terutama daerah yang letaknya

lebih dekat dengan ibu kota provinsi, yang menuntut inisiatif pemerintah pusat melalui

Kementerian Agama untuk membangun dan mengembangkan pendidikan agama di daerah

perbatasan guna mengejar ketertinggalan. Ketiga, adanya persoalan physical presence atau

kehadiran sarana fisik beserta SDM yang menjadi simbol kualitas pelayanan keagamaan yang

diberikan di wilayah tersebut.

Gambaran realitas mengenai pelayanan keagamaan di Nunukan sebagai salah satu

Kabupaten yang secara geografis daratannya langsung berbatasan dengan Negara Malaysia,

penting diketahui sebagai bahan evaluasi atas layanan yang diberikan. Dengan menghimpun

sejumlah input kondisi teraktual atas kegiatan pelayanan keagamaan yang berlangsung, upaya

perbaikan dan peningkatan kinerja layanan menjadi lebih efektif dan terarah.

II. Tentang Penelitian

A. Disain Penelitian

Penelitian ini bermaksud mengkaji sejauh mana implementasi pelayanan keagamaan

oleh Kantor Kementrian Agama di daerah termasuk unit pelaksana dibawahnya (KUA) di

daerah perbatasan, yang secara spesifik dirumuskan dalam pertanyaan penelitian berikut: (1)

Bagaimana gambaran teraktual pelayanan keagamaan di Kabupaten Nunukan? (2)

Sejauhmana kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan keagamaan yang ideal di daerah

perbatasan?

Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk: (1) Menemukan problem-problem faktual

tentang pelayanan keagamaan di daearh perbatasan terutama mengenai problem yang

dihadapi institusi dalam memberikan pelayanan serta bagaimana kebudayaan negara tetangga

berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan; dan (2) melakukan identifikasi pelayanan

keagamaan yang telah dilakukan serta pelayanan yang mungkin dikembangkan dalam rangka

pembangunan daerah perbatasan. Sebagai penelitian kebijakan (policy research) studi tentu

saja diharapkan dapat berkontribusi bagi pengambilan kebijakan Kementerian Agama di

Pusat dan daerah terkait dengan peningkatan pelayanan keagamaan, selain memberi masukan

kebijakan bagi instansi pemerintah terkait seperti pemerintah daerah, Badan Nasional

Pengelola Perbatasan, maupun organisasi non pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap

penyelesaian isu-isu daerah perbatasan.

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Maret sampai dengan 3 April 2014 di

Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara, terutama Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik,

mengingat dua pulau tersebut cukup besar wilayahnya serta padat penduduk. Selain itu Pulau

Sebatik juga dipilih karena merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia,

sedangkan Pulau Nunukan (Kecamatan Nunukan dan Nunukan Selatan) merupakan temapt

dimana pusat pelayanan (pusat pemerintahan) berada. Guna mendapat gambaran yang utuh

dan lengkap mengenai kondisi diperbatasan juga dilakukan observasi ke wilayah Malaysia

yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu Tawau, Negara Bagian Sabah.

Penelitian dilaksanakan oleh satu tim yang terdiri dari tiga orang peneliti dan satu

orang pembantu peneliti. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti menetapkan teknik

pengumpulan data melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, observasi

Page 3: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

3

lapangan, serta kajian dokumen. Secara rutin, masing-masing peneliti mencatat seluruh data

yang diperoleh melalui empat metode tersebut dan dituangkan dalam bentuk log book atau

field note, dengan maksud agar peneliti dapat sesegera mungkin mencatat berbagai hal yang

dilihat dan didengar, meskipun hanya berupa catatan ringkas yang dilengkapi pada malam

hari atau kesempatan lainnya (Bryman, 2004).

Sejumlah pihak telah dipilih sebagai informan kunci antara lain para pejabat

Kementerian Agama di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan serta Kantor

Urusan Agama, pimpinan instansi terkait antara lain Kepala Kantor Imigrasi, Pemerintah

Daerah Kabupaten Nunukan, serta Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Di

samping itu para tokoh agama, pengurus FKUB, pengurus yayasan pendidikan, dan lain-lain.

Sementara observasi lapangan dilakukan secara langsung terhadap berbagai aktivitas

masyarakat, khususnya aktifitas yang terkait dengan substansi penelitian.

B. Definisi Konseptual

Pelayanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaksudkan sebagai usaha

melayani kebutuhan orang lain, sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan

(mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Dalam konteks pelayanan birokrasi, Kep.

MenPAN Nomor 81/Tahun 1993 menyatakan bahwa pelayanan umum adalah segala bentuk

pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah/BUMN/BUMD, dalam rangka

pemenuhan kebutuhan masyarakat dan atau peraturan undang-undang yang berlaku.

Pelayanan keagamaan yang merupakan konsep utama dalam studi ini merupakan

pelayanan yang diberikan oleh Kementerian Agama kepada masyarakat, termasuk kepada

masyarakat Indonesia yang berada di wilayah perbatasan. Secara spesifik pelayanan

dimaksud merujuk pada Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang visi dan

misi, yang menetapkan bahwa pelaksanaan pelayanan keagamaan oleh Litbang Kemenag

terkait erat dengan tiga dari lima misi yang ditetapkan, yaitu: (1) Meningkatkan kualitas

kehidupan beragama, (2) Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama; dan (3)

Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.

Merujuk pada Renstra BLD Kemenag RI 2014, arah kebijakan dan strategi

Kementerian Agama 2010-2014 guna pencapaian misi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan kualitas kehidupan beragama, dengan sasaran terwujudnya suatu kondisi

keberagamaan masyarakat yang dinamis dan mampu mendukung percepatan

pembangunan nasional, yang ditandai antara lain:

a. Meningkatnya pemahaman dan perilaku keagamaan umat beragama yang

seimbang, moderat dan inklusif.

b. Meningkatnya motivasi dan partisipasi umat beragama dalam pembangunan

nasional.

c. Menurunnya aliran sempalan dan tindakan kekerasan yang mengatas-namakan

agama.

d. Meningkatnya kualitas pribadi umat beragama yang berakhlak mulia dan beretika.

Renstra BLD Kementerian Agama RI

e. Meningkatnya harkat dan martabat umat beragama dalam membangun jati diri

bangsa.

f. Meningkatnya peran umat beragama dalam membangun harmoni antar peradaban.

g. Meningkatnya pemberdayaan potensi ekonomi keagamaan.

h. Menguatnya sinergi kebijakan dalam pengelolaan potensi ekonomi keagamaan.

i. Meningkatnya akses umat beragama terhadap sumberdaya ekonomi keagamaan

dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejateraan umat beragama.

Page 4: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

4

j. Meningkatnya peran dan kualitas penyuluh agama.

k. Terselenggaranya pelayanan administrasi keagamaan sesuai dengan SPO (Standar

Prosedur Operasional).

2. Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama, dengan sasaran terwujudnya

kehidupan harmoni intern dan antar umat beragama sebagai pilar kerukunan nasional,

yang ditandai dengan:

a. Meningkatnya dialog dan kerjasama antar umat beragama dalam rangka

memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

b. Meningkatnya peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia Internasional.

c. Meningkatnya harmoni intern dan antar umat beragama.

d. Meningkatkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

e. Berkembangnya pemahaman keagamaan masyarakat berwawasan multikultural,

gender, dan HAM; dan

f. Tersedianya program siaga dini pencegahan konflik umat beragama.

3. Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dengan sasaran tercapainya tingkat

kepuasan jamaah dalam berbagai bidang pelayanan dan pengelolaan dana haji untuk

sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat, yang ditandai dengan:

a. Terwujudnya jemaah haji mandiri

b. Terwujudnya petugas profesional dan dedikatif

c. Terwujudnya standar pelayanan minimal pada seluruh komponen pelayanan haji

d. Terwujudnya sistem informasi yang handal

e. Terwujudnya dukungan manajemen yang menyeluruh dalam penyelenggaraan haji

f. Tersedianya peraturan perundang-undangan yang memadai

g. Meningkatnya pengelolaan dana haji.

Secara lebih spesifik gambaran mengenai pelayanan keagamaan tersebut tercermin

dalam 11 program prioritas Kementrian Agama, yang beberapa diantaranya pelaksanannya

menjadi tanggung-jawab Litbang Kemenag, yaitu:

1. Program Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

2. Program Bimbingan Masyarakat Islam (termasuk ke dalamnya pelayanan

penyelenggaraan pernikahan maupun pelaksanaan ziswaf, sebagai bentuk konkrit

bimbingan kepada masyarakat Islam dalam melaksanakan syariat Islam).

3. Program Bimbingan Masyarakat Kristen

4. Program Bimbingan Masyarakat Katolik

5. Program Bimbingan Masyarakat Hindu

6. Program Bimbingan Masyarakat Buddha

C. Telaah Pustaka

Terdapat sejumlah studi tentang wilayah perbatasan di Indonesia. Satu diantaranya

studi antropologis yang dilakukan Michael Eilenberg dan Reed L. Wadley (2009) terhadap

masyarakat Iban di Kalimantan Barat meyebutkan adanya kaitan erat antara migrasi lintas

batas etnis, identitas, dan kewarganegaraan, dan bagaimana hal-hal tersebut menimbulkan

isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan politik dan ekonomi Indonesia. Perbatasan

sebagai tempat ambigu dimana berbagai orang dan gagasan bertemu menurutnya kerap

memunculkan timbulnya berbagai hal baru (tindakan tidak lazim bahkan ilegal) dan

terjadinya pertukaran sosial budaya yang sangat kompleks meskipun masing-masing Negara

telah berupa melakukan kontrol dan menerapkan sejumlah peraturan yang ketat. Karena itu

belajar dari kasus Iban ia menyarankan, studi-studi perbatasan perlu mendalami aspek historis

Page 5: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

5

dan kultural berbagai aspek pengalaman warga di perbatasan yang menyebabkan munculnya

tindakan-tindakan tersebut. Temuan penting studi Eilenberg dan Wadley menunjukkan bahwa

orang-orang yang tinggal diperbatasan kerap terlibat secara terus-menerus dengan praktek

(illegal) yang melampaui batas teritorial Negara, sebagai upaya mereka untuk dapat

memenuhi kebutuhan ekonomi maupun sebagai konsekuensi logis interaksi sosial yang

terjadi. Terkait dengan hal tersebut maka aspek historis dan kultural di Kabupaten Nunukan

(terutama Pulau Sebatik) dan Tawau perlu dipahami secara benar dalam penelitian yang

dilakukan agar informasi yang diperoleh dapat dilekatkan pada konteks situasional dan

kesejarahan yang tepat.

Studi Eilenberg dan Wadley dikonfirmasi oleh Endang Rudiatin (2012) yang

melakukan studi tentang kegiatan ekonomi di Sebatik Tengah, tepatnya di Desa Aji Kuning.

Praktek-praktek tindakah ilegal bahkan seolah menjadi legal karena banyaknya

penyimpangan yang terjadi terutama terkait dengan pelanggaran kebijakan keluar masuk

orang dan barang di daerah perbatasan. Di Desa Aji Kuning yang merupakan intu gerbang

bagi seluruh daerah di pulai Sebatik menuju Sebatik Malasia dan Ke Tawau, warga dapat

keluar masuk tanpa retribusi. Akibatnya pergerakan barang dan orang sangat intens terjadi

diantaranya karena mudahnya pergerakan orang dan barang tersebut dilakukan. Berbagai

penyelundupan barang terjadi disini mulai dari barang-barang kebutuhan pokok (beberapa

diantaranya barang yang disubsidi oleh pemerintah Malaysia seperti gas, minyak goring, dan

gula sehingga pemerintah Malaysia sesungguhnya dirugikan karena subsidi Negara jatuh

kepada warga Negara lain)2, hasil perkebunan dan hutan seperti kayu gelondongan, hingga

barang terlarang seperti narkoba. Yang menarik, tindakan ilegal tersebut “didiamkan” baik

oleh petugas di Malaysia (Tawau) maupun di Indonesia (Desa Aji Kuning), karena kondisi

simbiosis mutualisme diantara warga di perbatasan tersebut. Pedagang Tawau membutuhkan

konsumen dari Indonesia untuk membeli barang mereka (untuk sembako) dan sebaliknya

penduduk Indonesia membutuhkan barang karena “ketidak-tersediaan” komoditi yang

dibutuhkan di daerahnya. Begitu pula dengan hasil perkebunan. Penduduk Tawau

membutuhkan komoditi dari Indonesia dan penduduk di Sebatik membutuhkan pasar untuk

menjual hasil kebun dan pertanian mereka. Perlindungan petugas karena faktor etnis juga

sangat jelas terlihat. Meski warga Negara Malaysia, penduduk Tawau umumnya berasal dari

etnis Bugis sebagaimana etnis dominan berada di Sebatik. 90% lebih Penduduk Sebatik

berasal dari Bugis yang membenttuk Kesatuan Kerukunan Sulawesi Selatan. Hal itu dapat

terjadi karena etnis Bugislah yang dapat diaktakan membuka dan membangun Pulau Sebatik

sejak tahun 1970, saat pulau itu masih merupakan pulau kosong tidak berpenghuni.

2 Pemenuhan kebutuhan pokok (sembako) warga di Sebatik hampir seluruhnya diperoleh dari Tawau karena kemudahan akses. Dengan Dompeng mesin atau perahu kecil bermesin, hanya diperluakan waktu 15-20 menit menuju Tawau. Bandingkan dengan pergerakan barang dari Indonesia yang berasal dari Surabaya (dibawa dengan kapal yang datang 2 pekan sekali dari Surabaya ke Tarakan). Perjalanan barang tersebut masih harus dilanjutkan dengan menempuh perjalanan laut dengan kapal kecil sejauh 3 (tiga) jam perjalanan menuju Sebatik (Pelabuhan Sungai Nyamuk).

Page 6: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

6

Studi lain yang relevan adalah studi Pusat Penelitian Politik LIPI (P2LP) pada tahun

2013 di Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan. Berbagai persoalan di

perbatasan (kemiskinan, ketidak-mampuan pemerintah pusat dan daerah memenuhi

kebutuhan pokok warga, dan lain-lain), tak dapat dihindarkan memunculkan makna baru atas

kata nasionalisme. Seloroh warga bahwa Garuda di dadaku, ringgit di perutku; setidaknya

menunjukkan hal tersebut. Makna Nasionalisme tidak dapat dilepaskan dari konteks berbagai

latar-belakang persoalan tersebut. Nasiolisme dan makna keindonesiaan menurut studi ini

sangat terkait dengan pemenuhan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang

dirasakan warga.

Studi Moeldoko (2014) tentang Kebijakan dan Scenario Planning Pengelolaan

Kawasan Perbatasan di Indonesia (Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan) menemukan

fakta bahwa pengelolaan kawasan perbatasan sangat problematik dan kerap tidak efektif

sehingga kerap menimbulkan kesenjangan, disharmoni, kevakuman, ketidakkonsistenan,

serta ketidaktepatan perumusan kebijakan. Ketidak-efektifan implementasi kebijakan

dipengaruhi oleh keragaman persepsi, koordinasi, lingkungan dan operasionalisasi yang

kurang terkonsolidasi. Setidaknya terdapat empat driving force yaitu pembangunan ekonomi,

politik, keamanan, dan kesejahteraan, dalam pengelolaan kawasan perbatasan guna

mendorong terjadinya perubahan di wilayah perbatasan.

Dari berbagai penelitian di atas, terlihat bahwa permasalahan di perbatasan

merupakan salah satu topik yang menarik untuk diteliti dari berbagai aspek mulai dari studi

antropologis, ekonomi, maupun studi kebijakan pertahanan dan keamanan. Beberapa studi

yang ada juga menunjukkan bahwa belum dilakukan studi terkait dengan kebijakan

pembangunan bidang agama yang menjadi tugas dan fungsi Kementerian Agama. Dalam

posisi inilah penelitian dilakukan, yaitu untuk mengadirkan data atau informasi terkait dengan

kebijakan maupun implementasi kebijakan pembangunan bidang agama di daerah perbatasan.

Gambar 1. Sembako dari Tawau

Gambar 2. Gas dari Tawau

Gambar 3. Dompeng Mesin

Gambar 1. Sembako dari Tawau

Page 7: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

7

III. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN

Kabupaten Nunukan secara geografis terletak antara 115°33’ sampai dengan 118°3’

Bujur Timur dan 3°15'00” sampai dengan 4°24'55” Lintang Utara. Merupakan wilayah paling

utara Provinsi Kalimantan Utara, di sebelah utara berbatasan dengan Negara Malaysia Timur

(Sabah), sebelah Timur dengan Laut Sulawesi, sebelah selatan dengan Kabupaten Bulungan

dan Kabupaten Malinau, sedangkan sebelah Barat dengan Negara Malaysia Timur (Serawak).

Dengan kondisi topografi cukup bervariasi, Kabupaten Nunukan memiliki luas wilayah

14.247,50 km2 yang terdiri dari pulau-pulau (25 pulau).3 Tiga diantaranya cukup besar, yaitu

Pulau Nunukan dengan luas 23.190 km2, Pulau Sebatik 23.790 km2, dan Pulau Sebakung

dengan luas 17.220 km2;4 sementara sisanya merupakan pulau-pulau kecil dengan luas antara

enam ribu km2 hingga 1.500 km2, bahkan terdapat pula pulau dengan ukuran sangat kecil,

yaitu dengan luas kurang dari satu km2 (Pulau Tidong Salong Lumot, Pulau Pelanduk, Pulau

Tembalan) (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nunukan, Kab. Nunukan Dalam

Angka, 2013).

Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan Kab. Nunukan

Sumber: Daerah Dalam Angka (DDA) 2013,

BPS Kabupaten Nunukan, data diolah.

Kabupaten Nunukan yang memiliki motto “Penekindidebaya" (Membangun Daerah,

berasal dari bahasa Tidung), berdiri sendiri menjadi Kabupaten pada 4 Oktober 1999. Dengan

pertimbangan luas wilayah, perlunya peningkatan pembangunan, serta peningkatan pelayanan

kepada masyarakat; daerah yang pada awalnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten

Bulungan (Kalimantan Utara) tersebut berdasarkan UU No. 47 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten

Kutai Barat dan Kota Bontang; ditetapkan sebagai Kabupaten pemekaran dari Kabupaten

3 Data lainnya menyebut 17. Perbedaan jumlah tersebut dimungkinkan adanya perbedaan penilaian atas pulau-pulau dengan ukuran sangat kecil dan kemungkinan tidak berpenghuni. 4 Data yang diperoleh sayangnya tidak mencantumkan jumlah penduduk untuk tiap pulau. Data yang tersedia

hanya menyandingkan jumlah penduduk dengan wilayah administratif (kecamatan).

No Kecamatan Luas Wilayah (km2)

1 Krayan 1.834,74

2 Krayan Selatan 1.757,66

3 Lumbis 290,23

4 Lumbis Ogong 3.357,01

5 Sembakung 2.042,66

6 Nunukan 564,50

7 Sei Menggaris 850,48

8 Nunukan Selatan 181,77

9 Sebuku 1.608,48

10 Tulin Onsoi 1.513,36

11 Sebatik 51,07

12 Sebatik Timur 39,17

13 Sebatik Tengah 47,71

14 Sebatik Utara 15,39

15 Sebatik Barat 93,27

Jumlah/Total 14.247,50

Page 8: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

8

Bulungan bersama dengan Kabupaten Malinau. Pada awal pembentukannya hanya terdiri

dari 5 (lima) kecamatan (Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik, dan Krayan), Nunukan kini

terbagi menjadi 15 Kecamatan dan masuk menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Utara

(mulai tahun 2012) setelah pemekran Provinsi Kalimantan Timur menjadi Provinsi

Kalimantan Timur dan Utara.

Tabel 2 Kepadatan Penduduk, Sex Ratio, dan Distribusi Penduduk Kecamatan Tahun 2012

Kecamatan Jumlah

Penduduk

Kepadatan

Penduduk

Sex

Ratio

Distribusi

Penduduk

Krayan 7.321 3,99 116,41 4,48

Krayan Selatan 2.247 1,28 111,78 1,38

Lumbis 5.074 17,48 110,28 3,11

Lumbis Ogong 5.393 1,61 104,75 3,30

Sembakung 8.759 4,29 109,30 5,36

Nunukan 55.853 98,94 112,83 34,18

Sei Menggaris 8.216 9,66 126,02 5,03

Nunukan Selatan 16.273 89,53 119,94 9,96

Sebuku 10.759 6,69 121,24 6,58

Tulin Onsoi 7.076 4,63 135,79 4,33

Sebatik 4.455 87,23 116,79 2,73

Sebatik Timur 12.009 306,59 104,93 7,35

Sebatik Tengah 7.035 147,45 112,92 4,31

Sebatik Utara 5.417 351,98 104,03 3,32

Sebatik Barat 7.515 80,57 115,51 4,60

Jumlah 163.402

Sumber: Daerah Dalam Angka, BPS Kabupaten Nunukan, 2013

Sebagai daerah lintas batas, Nunukan memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup

tinggi dengan jumlah penduduk mencapai 163.402 jiwa (tabel 1) dengan distribusi penduduk

cenderung tidak merata. Penduduk umumnya berada di Pulau Nunukan sebagai pusat

pemerintahan (Ibukota Kabupaten) dengan rata-rata kepadatan penduduk mencapai 34,18

km2, sementara kepadatan penduduk di kecamatan lain di bawah 10 km2 (lihat tabel 2).

Sebelum kebijakan pengembangan wilayah dilakukan, penumpukan penduduk bahkan

terkonsentrasi secara ekstrim di Kecamatan Nunukan. Setelah kantor-kantor pemerintahan

dipindahkan ke Kecamatan Nunukan Selatan, barulah penduduk mulai terdistribusi ke selatan

(Kecamatan Nunukan Selatan dan Kecamatan Sebuku).

Dengan memperhatikan distribusi penduduk tersebut, tampak adanya kebutuhan

pelayanan yang berbeda antara satu kecamatan (pulau) dengan kecamatan (pulau) lainnya.

Kebutuhan layanan yang cukup tinggi berada di Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan,

Sebatik Timur, dan Sebuku; sementara kebutuhan layanan tidak terlalu tinggi terdapat pada

Kecamatan Krayan Selatan dan Sebatik (Induk). Hal ini berimplikasi pada perlunya

Page 9: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

9

pengalokasian SDM aparatur birokrasi Kementrian Agama di Kab. Nunukan pada daerah-

daerah dimaksud, guna memenuhi kebutuhan yang ada.

Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk Nunukan umumnya memiliki tingkat

pendidikan relatif rendah. Menurut data BPS Kab. Nunukan, penduduk Nunukan yang

terbanyak tidak punya ijasah SD (46.583), diikuti dengan penduduk tamat SD berjumlah

30.645, tamat SLTP 23.314, tamat SLTA 22.077 dan sedikit saja yang dapat melanjutkan

pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dapat dilihat pada table 3. Hal

tersebut sejalan dengan data Susenas tahun 2008 yang menunjukkan bahwa rata-rata lama

sekolah penduduk di Kab. Nunukan mencapat 7,42 tahun pada 2010 dan meningkat sedikit

saja menjadi 7,5 tahun pada 2012. Ini berarti bahwa rata-rata lama sekolah penduduk di

Nunukan hingga kelas 7 lebih lima bulan (SLTP kelas 1 menuju kelas 2)

Tabel 3 Penduduk Kab. Nunukan Usia 10 Tahun ke Atas

Menurut Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan

(Tahun 2012)

Jenjang Pendidikan 2012

Tidak punya Ijasah SD 46.583

SD 30.645

SLTP 23.314

SLTA 22.077

Diploma 2.038

Sarjana 3.316

Sumber: http://nunukankab.bps.go.id, data diolah

Tingkat kesejahteraan masyarakat Nunukan juga belum terlalu baik. Kemampuan

daya beli masyarakat pada tahun 2012 berada pada kisaran Rp. 646.550,-, relatif tidak banyak

berubah dalam kurun waktu lima tahun kebelakang, yaitu Rp. 633.260,- pada tahun 2008.

Kemampuan daya beli tersebut menjadi lebih rendah mengingat harga-harga barang

konsumsi di Nunukan relatif lebih mahal dibanding dengan harga-harga konsumsi di Pulau

Jawa karena persoalan besarnya biaya distribusi barang.

Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat ini juga dapat dilihat dari

Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Penduduk miskin di Nunukan pada tahun

2011 relatif masih tinggi, yaitu mencapai mencapai 30 % atau 11.180 kepala keluarga, atau

54.404 jiwa (www.tribunnews.com). Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di

Kab. Nunukan ini selaras dengan Studi Sutaat (2006) di Sebatik Barat, yang mencoba

mendiagnosa permasalahan sosial di Sebatik Barat. Studi Sutaat menunjukkan bahwa

program pembangunan belum banyak menyentuh Sebatik Barat, yang menjadikan wilayah

tersebut jauh tertinggal dibanding wilayah lainnya. Akses penduduk pada pendidikan yang

lebih tinggi menurut masih sangat terbatas, yang disebabkan oleh problem keterbatasan

infrastruktur. Masalah-masalah kesejahteraan sosial seperti fakir miskin, perumahan tidak

layak huni, keterlantaran, dan keluarga rentan karenanya banyak terjadi, yang umumnya

bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah, antara lain masalah.

Lalu apa pekerjaan utama penduduk Nunukan? Berdasarkan data Pemkab. Nunukan

tahun 2005, mayoritas penduduk Nunukan bekerja pada sektor pertambangan dan penggalian

(minyak dan gas bumi, terutama karena keberadaan PT Perkasa Equatorial Sembakung Ltd,

yaitu mencapai 62,44%), disusul dengan sektor pertanian (termasuk perikanan serta

perkebunan dan kehutanan yang mencapai 38,25%); serta perdagangan, hotel dan restoran

(9,65%). Jenis pekerjaan tersebut tidaklah sama untuk tiap kecamatan, karena untuk Pulau

Page 10: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

10

Nunukan sebagian besar bekerja disektor perdagangan dan jasa yang ditandai dengan

banyaknya masyarakat yang berdagang bahan-bahan makanan dan kuliner (uniknya juga

terdapat sejumlah warga Negara Malaysia yang menetap dan berdagang di Pulau Nunukan);

sedangkan di Pulau Sebatik penduduk umumnya bekerja sebagai nelayan, selain mulai

berkembang usaha budi daya rumput laut dan peternakan sarang burung walet.

Sedangkan mengenai etnis yang tinggal di Kabupaten Nunukan, terdapat setidaknya

19 suku/etnis. Yang cukup dominan adalah suku Bugis (Bugis Bone, Bugis Wajo, Bugis

Makasar, Sinjai, dan Sopeng), suku Dayak (Dayak Tidung, Dayak Lun Dayeh, Dayak Sa’ban,

dan Punan), selain terdapat suku Jawa (yang terbanyak dari Jawa Timur), Madura, dan Timor

(NTT maupun NTB). Meski terdapat keragaman etnis, heterogenitas tidak terlihat di seluruh

pulau karena suku-suku tersebut umumnya mengelompok di pulau-pulau tertentu. Sebagai

contoh untuk Pulau Sebatik dan Pulau Nunukan etnis mayoritas adalah suku Bugis (mencapai

90% di Pulau Sebatik sementara di Pulau Nunukan mencapai 80%), sedangkan di Pulau

Krayan, Sebuku, dan Lumbis, umumnya dihuni oleh suku Dayak.

IV. Kehidupan Beragama dan Pelayanan Keagamaan di Kabupaten Nunukan

A. Kehidupan Beragama Masyarakat

Masyarakat Nunukan dikenal sebagai masyarakat yang religius meskipun perilaku

yang bertentangan dengan ajaran agama diakui masih tetap ada (Profil Kabupaten Nunukan,

2012). Dilihat dari agama yang dipeluk, penduduk Kabupaten Nunukan sebagian besar

beragama Islam. Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan mencatat, penduduk

Kabupaten Nunukan pada tahun 2012 berjumlah 163.123 jiwa, terdiri atas penduduk

beragama Islam 106.406 (65,6%.), Kristen 43.955 (27%), Katolik 11.506 (7%), Hindu 104

(0,06%), dan Buddha 152 (0,09%). Meski dalam catatan administratif Kantor Kementeria

Agama tidak tercatat ada pemeluk yang beragama Khonghucu, data yang diperoleh di

lapangan, yaitu informasi dari tokoh agama Buddha serta pengurus FKUB, terdapat pemeluk

agama Khonghucu meski jumlahnya tidak banyak. Keragaman enam agama itu juga terlihat

dari komposisi kepengurusan FKUB yang terdiri dari perwakilan enam agama.

Informasi penting lainnya, hampir tidak ditemukan penganut agama atau kepercayaan

lokal. Penduduk asli di Kabupaten Nunukan yaitu suku Dayak Tidung pada waktu lalu sering

melakukan upacara adat berupa pemberian semacam sesajen yang dilakukan oleh perorangan

dengan cara mengirim doa melalui pemberian sesajen hewan potong yang dilabuh di tengah

laut dan dekat dengan tempat tinggalnya (Sutaat, 2006). Namun sekarang tradisi itu sulit

ditemukan lagi, dan ketika menyebut suku (Dayak) Tidung sebagai penduduk asli di

Kecamatan Nunukan, hampir selalu identik dengan penganut agama Islam. Meski secara

umum Islam merupakan agama mayoritas dipeluk masyarakat Nunukan, tetapi ada wilayah

atau kecamatan tertentu yang mayorias beragama Kristen yaitu Kecamatan Lumbis dan

Kecamatan Krayan.

Jika saat ini kehidupan keagamaan terlihat dalam kondisi rukun, tentu bukanlah

sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Ada banyak usaha yang telah dan terus dilestarikan

untuk memelihara kerukunan misalnya melalui kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal yang

masih terus berjalan adalah tradisi hajatan atau syukuran yang melibatkan semua unsur umat

beragama. Untuk itu ada tempat khusus memasak makanan bagi masyarakat muslim dan

masyarakat lainnya. Bahkan meski yang menyelenggarakan hajatan itu orang Kristen

misalnya, karena disadari tamu yang datang mayoritas Islam, maka yang memasakpun orang

Islam. FKUB Kabupaten Nunukan menjadi unsur yang cukup dominan untuk menciptakan

kerukunan. Salah satu kegiatan atual yang diadakan FKUB, yaitu pelaksanaan doa bersama

dengan melibatkan tokoh-tokoh agama dari seluruh agama yang ada, selain melibatkan partai

Page 11: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

11

politik dan KPU sebagai penyelenggara. Kegiatan yang dilaksanakan apda 13 Maret 2014

lalu dilakukan mengingat sebelumnya sempat terjadi konflik kecil yang dipicu karena

kepentingan politik yang berbeda melakukan doa bersama mengadapi pemilihan umum

dengan dukungan dari Pemerintah Daerah khususnya Badan Kesatuan Bangsa dan Politik.

B. Institusi Pelayanan Keagamaan:

1. Kantor Kementrian Agama Kabupaten Nunukan

Kantor Kementerian Agama Nunukan baru memiliki gedung sendiri pada tahun 2006,

yang berlokasi di Jalan Ujang Dewa No. 163 Nunukan Selatan. Sebelumnya, pada

awal berdiri (tahun 2002), Kantor Kementerian Agama di Kabupaten Nunukan

menyewa gedung di Jalan Iskandar Muda Nunukan Barat hingga 2004 dan pindah ke

Jalan Sanusi Blok tiga pada tahun 2004 –2006.

Gambar 4. Kantor Kemenag Nunukan

Dalam menjalankan tupoksinya, Kepala Kantor Kementerian agama Kabupaten

Nunukan dibantu oleh tujuh seksi, yaitu Seksi Tata Usaha, Seksi URAIS dan Haji,

Seksi Pendis, Seksi Bimas, Seksi Penyelenggara Syariah, serta Seksi Penyelenggara

Kristen ( PMA No. 13 Tahun 2012) dengan total PNS berjumlah 84 pada tahun 2012

dan berkurang menjadi 83 pada tahun 2013. Berdasarkan golongan mayoritas (78

pada tahun 2012 dan 74 pada tahun 2013) berada pada Golongan III, sementara

golongan II hanya 4 orang (tahun 2012) dan 3 orang pada tahun 2013 sedangkan

golongan IV meningkat dari 2 orang (tahun 2012) menjadi 5 orang. Dari total jumlah

PNS tersebut, hanya terdapat 8 orang penyuluh agama (7 penyuluh agama Islam dan 1

penyuluh Kristen), satu orang penghulu (sudah mendapat SK) dan 2 orang calon

penghulu, serta terdapat 28 orang guru agama Islam serta 9 orang guru agama Kristen.

Berdasarkan tingkat pendidikan, PNS Kemenag Kab. Nunukan umumnya

berpendidikan tinggi (lulus S1), yaitu 79 orang pada tahun 2012 dan 77 orang pada

tahun 2013, sedangkan yang berpendidikan SLTA hanya 3 orang (tidak ada perbedaan

antara tahun 2012 dengan tahun 2013). Selain itu terdapat pula PNS dengan

pendidikan S2, yaitu satu orang pada tahun 2012 meningkat menjadi 2 orang pada

tahun 2013. Sedangkan berdasarkan usia, PNS Kemenag Kab. Nunukan yang berusia

40 tahun ke atas cukup banyak (38 orang pada tahun 2012 dan 40 orang pada tahun

2013), perlu mendapat perhatian terutama mempersiapkan penggantinya manakala

yang bersangkutan memasuki usia pensiun.

Page 12: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

12

2. Kantor Urusan Agama (KUA)

Sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001

tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, tugas KUA adalah

melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota

dibidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan, dengan fungsi sebagai

berikut: (1) Menyelenggarakan statsistik dan dokumentasi, (2) Menyelenggarakan

surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; dan (3)

Melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf,

baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah

sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tupoksi tersebut pelaksanaannya sedikit mengalami hambatan mengingat Kantor

Kementerian Agama Kab. Nunukan baru memiliki tujuh Kantor Urusan Agama

(KUA) yang melayani 15 Kecamatan yang ada (setelah pemekaran pada tahun 2012).

Dengan demikian terdapat satu KUA yang membawahi satu atau dua kecamatan

lainnya, yang menyebabkan upaya optimalisasi pemberian layanan belum dapat

dilakukan (lihat table 4).

Tabel 4 Daftar KUA di Kab. Nunukan dan Wilayah Kerjanya

No Domisili KUA Wilayah kerja (kecamatan) Jumlah PNS

1. Kecamatan Nunukan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sei Menggaris 5

2. Kecamatan Sebatik Barat Sebatik Barat 4

3. Kecamatan Sebatik/Sebatik Induk Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik tengah 5

4. Kecamatan Sebuku Sebuku 3

5. Kecamatan Sembakung Sembakung 2

6. Kecamatan Lumbis Lumbis 2

7. Kecamatan Krayan Krayan, Krayan Selatan 1

Sumber: Profil dan Data Kemenag Kabupaten Nunukan 2013

Terkait dengan hal tersebut, Kasie Bimas Islam berpandangan bahwa kondisi masih

bisa ditangani mengingat peristiwa pernikahan ditiap kecamatan tidaklah sama.

Sebagai contoh jumlah N di Krayan pada tahun 2013 hanya 3, yaitu satu kali pada

bulan Juni dan dua kali pada bulan Desember. Begitu pula peristiwa pernikahan yang

terjadi di Lumbis, pada tahun 2013 hanya ada 10 pernikahan, yaitu 3 pada Januari,

masing-masing satu pernikahan pada Maret April, serta November, dan dua kali pada

bulan Mei dan September. Adapun total jumlah pernikahan di Kabupaten Nunukan

pada tahun 2013, keseluruhannya berjumlah 1.140 dengan jumlah N terbanyak di

Kecamatan Nunukan (523 pernikahan),5 Sebatik Induk meliputi Sebatik Utara,

Tengah, dan Timur sejumlah 289, Sebatik Barat 89, Sebuku 154, Sembakung 72,

Lumbis 10, serta Krayan 3. Dengan demikian, meskipun terdapat satu KUA yang

membawahi dua, bahkan tiga kecamatan; beban kerja KUA tersebut menurutnya

masih dalam batas kewajaran. Meski demikian BIMAS Islam mengajukan

penambahan 5 (lima) KUA sejak dua tahun lalu guna mengatasi keadaan, namun

belum mendapat respon hingga kini.

5 Tingginya jumlah peristiwa nikah dipicu oleh adanya program pemerintah daerah yang menganggarkan dari APBD bantuan pendanaan untuk isbat nikah. Program yang digulirkan sebagai bentuk penunaian janji kampanye ini menyediakan bantuan pendanaan kepada 1500 pasangan, yang sudah dianggarkan pada tahun 2013 namun pelaksanaannya baru akan dilakukan pada tahun 2014 mengingat keterbatasan waktu. Pada tahun 2013 hanya berhasil dilakukan identifikasi warga yang membutuhkan bantuan untuk pelaksanaan isbat nikah.

Page 13: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

13

Selain problem terbatasnya KUA, sebagai mana dapat dilihat pada tabel 4, jumlah

SDM birokrasi yang bertugas di KUA masih jauh dari kebutuhan. Hanya terdapat 1

(satu) orang penghulu (sudah memiliki SK) dan 2 (dua) orang calon penghulu di Kab.

Nunukan. Jumlah tersebut tentu sangat minim mengingat luasnya wilayah yang harus

dilayani dan jauh (serta sulitnya) menjangkau satu kecamatan dari kecamatan lainnya.

Jumlah SDM birokrasi juga sangat terbatas. Di Krayan bahkan hanya ada satu orang

PNS yang harus mengerjakan seluruh pekerjaan, selain juga melayani kebutuhan

layanan keagamaan Kecamatan Krayan Selatan. Kesenjangan pemenuhan kebutuhan

SDM akan makin dirasakan mengingat akses dari satu wilayah ke wilayah lain tidak

mudah dijangkau. Untuk menjangkau Krayan Selatan misalnya, petugas harus

menempuh perjalanan dengan berjalan kaki hingga 12 jam. Begitu pula dengan

prasarana yang tersedia. KUA Krayan Selatan dan Sebuku misalnya, belum masuk

listrik. Informasi dari Kantor Kabupaten hanya dapat dikirimkan melalui teleks ke

Kantor Kecamatan sehingga kerap mengalami keterlambatan.

Tabel 5 Jumlah Pemeluk Agama berdasarkan KUA Tahun 2012

No Domisili KUA Islam Kristen Katolik Hindu Budha Jumlah

1. Kecamatan Nunukan 56.695 16.784 4.500 104 152 78.235

2. Kecamatan Sebatik Barat 14.255 50 570 14.875

3. Kecamatan Sebatik 23.593 80 1.110 24.783

4. Kecamatan Sebuku 5.920 3.580 1.175 10.675

5. Kecamatan Sembakung 4.484 3.690 1.165 9.339

6. Kecamatan Lumbis 1.232 7.306 2.884 11.422

7. Kecamatan Krayan 227 12.465 102 12.794

JUMLAH 106.406 43.955 11.506 104 152 162.123

Untuk mengatasi kebutuhan tenaga penghulu, Kantor Kemenag Kab. Nunukan

mengambil kebijakan melakukan rekrutmen tenaga P3N. P3N pada awalnya diambil

dari tokoh agama serta imam masjid. Akan tetapi belakangan rekrutmen hanya dari

imam masjid, dengan pertimbangan para imam masjid mendapat dana insentif dari

Pemkab. Kebijakan tesebut “terpaksa” diambil untuk mengatasi persoalan tidak

tersedianya dana khusus dari anggaran Kementerian untuk upah/insentif mereka.

Pemenuhan kebutuhan pembiayaan (insentif) untuk P3N sebelumnya tidak menjadi

persoalan karena terdapat bantuan dana dari pemda untuk mereka. Akan tetapi setelah

adanya peringatan dari pemeriksa keuangan (BPK dan KPK) kepada pemda yang

menyatakan bahwa pemberian dana kepada instansi vertikal dapat dikategorikan

sebagai temuan penyimpangan keuangan (korupsi), sejak tahun 2012 bantuan tersebut

dihentikan. Sebagai solusi KUA diperkenankan oleh Kantor Kemenag menarik

pungutan dari calon pengantin, meski dengan catatan hanya dapat dilakukan untuk

pernikahan yang dilaksanakan di luar kantor dan di luar waktu kerja. Catatan n

lainnya, nominal pungutan tidak ditetapkan sebagai tarif akan tetapi atas dasar

kerelaan dari pihak pemberi (Wawancara dengan Bimas Islam, Drs. Muh. Tahir, 21

Maret 2014).

Berdasarkan observasi di lapangan, meski terdapat kebijakan larangan meminta

“bayaran” dalam pelayanan pernikahan dari Kantor Kemenag Kab. Nunukan

(larangan sayangnya tidak dalam bentuk tertulis), fakta dilapangan menunjukkan

adanya penetapan tarif atas layanan pernikahan. Di KUA Sebatik Timur misalnya,

biaya per-N ditetapkan sebesar Rp. 300.000 dengan perincian Rp. 150.000 untuk

transport/honor P3N, Rp. 30.000 disetor ke kas KUA, Rp. 50.000 untuk transport dua

orang saksi, dan Rp. 70.000 untuk honor pegawai honorer KUA. Biaya tersebut

diberikan catin (calon pengantin) pada saat datang ke KUA untuk mendaftar.

Page 14: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

14

Tindakan menetapkan tarif tersebut tidak dapat dihindarkan mengingat tidak tersedia

anggaran untuk upah penghulu terutama yang direkrut dari unsur imam masjid (P3N),

sementara P3N dalam praktek beban kerjanya relatif sedikit saja lebih ringan

dibandingkan beban kerja penghulu (KUA). Karena hal tersebut kebijakan penetapan

tarif akhirnya diberlakukan dan selama ini menurut penuturan pihak KUA kebijakan

tersebut dapat diterima masyarakat (tidak ada keluhan berarti).

Problem lain yang dihadapi KUA sebagaimana diungkap Kabid Bimas Islam yang

pernah menjadi Kepala KUA di Krayan selama 5 (lima) tahun, terkait dengan wilayah

layanan yang cukup sulit dijangkau, terutama di Kecamatan Krayan yang wilayahnya

hanya bisa dijangkau dengan menggunakan pesawat terbang. Selain biaya tiket cukup

mahal (hampir satu setengah juta), juga harus menunggu lama untuk mendapatkan

tiket (sebulan sebelum keberangkatan). Problem lain biaya hidup di Krayan sangat

tinggi sementara tunjangan dan honor yang diterima petugas sama antara satu daerah

dengan daerah lain. “Kalau tidak benar-benar ingin mengabdi, tidak akan sanggup.

Medan sulit, orang Islam sedikit, sudah itu harga semua mahal. Kalau gula disini bisa

12 ribu atau lebih-lebih sedikit, disana bisa sampai Rp. 50.000. Begitu juga bahan-

bahan kebutuhan pokok yang lain. Padahal gaji kita sama...” Terkait hal itu ia

mengusulkan perlunya kebijakan khusus (termasuk soal anggaran) untuk

meningkatkan layanan keagamaan di daerah-daerah sulit (terpencil) seperti Krayan.

Terkait dengan kantor KUA, ketujuh KUA sudah memiliki kantor sendiri. Status

tanah umumnya bersumber dari hibah, kecuali KUA Kecamatan Nunukan yang status

tanahnya milik pemda dengan luas tanah yang paling kecil 600m2 (KUA Sembakung)

hingga yang paling luas, 10.000m2, seperti KUA Sebuku. Meski sudah memiliki

kantor sendiri, beberapa KUA merupakan bangunan tua. Sebagai contoh KUA

Nunukan dibangun pada tahun 1978, KUA Sembakung tahun 1982, KUA Lumbis

tahun 1984, dan KUA Krayan tahun 1999; hanya KUA Sebuku dan Sebatik Barat

yang relatif baru dibangun, yaitu tahun 2010 (Sebuku) dan tahun 2011 tahun 2011.

KUA Sebatik Timur yang terletak kira-kira 500m dari jalan utama, tepatnya di Jl.

Gembira RT13 Dusun Rawa Indah, Desa Bukit Aru Indah, Kecamatan Sebatik Timur;

meski dibangun tahun 2006; namun sesuai dengan nama dusun dimana KUA berada,

kantor KUA berada di tengah rawa. Jika hujan jalan di depan KUA becek berlumpur

tanah liat.

Gambar 5. KUA Sebatik Timur

Begitu pula dengan luas bangunan. KUA yang ada umumnya hanya memiliki luas

80m2 (KUA Nunukan, Sembakung, dan Lumbis), KUA Krayan sedikit lebih luas

yaitu 96m2, begitu pula dengan KUA Sebatik (120m2), KUA Sebuku 156m2, dan

Page 15: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

15

sebatik Barat 156m2. Meski cukup luas, berdasarkan observasi di KUA Sebatik,

kondisi masih jauh dari ideal. Bagnunan terdiri dari Ruang kepala KUA, loket

pendaftaran (sekretariat), ruang bendahara merangkap ruang BP4, dan ruang staf yang

sekaligus digunakan untuk pelaksanaan akad nikah apabila pernikahan dilaksanakan

di kantor. Ruang untuk pelaksanaan akad nikah hanya dibatasi gorden, ketika tidak

digunakan untuk akad nikah, ruangan dibiarkan terbuka untuk staf.

C. Pelayanan Keagamaan di Nunukan

1. Perkawinan

Secara umum prosedur pernikahan di Kabupaten Nunukan tidak berbeda jauh berbeda

dengan prosedur yang umumnya dilakukan di KUA-KUA di daerah lain. Dimulai

dengan pemberitahuan dari calon pengantin kepada PPN yang mewilayahi tempat

akan dilangsungkannya akad nikah, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad

nikah dilangsungkan. Pemberitahuan kehendak nikah tersesbut dilakukan dengan

mengisi form berisi data tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal

pelaksanaan akad nikah, data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad

nikah (di Balai Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll), yang

dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali (orang tua) atau pihak yang mewakili

calon pengantin. Adapun sejumlah surat yang diperlukan sebagai persyaratan adalah:

foto copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) calon penganten (catin); surat pernyataan

belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai minimal

Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah setempat; surat keterangan

untuk nikah dari kelurahan setempat (Model N1, N2, N4, diisi baik oleh calon suami

maupun calon istri, pas photo catin ukuran, serta surat talak/akta cerai dari Pengadilan

Agama jika satatus catin duda/janda, dan surat kematian jika duda/janda karena

pasangan meninggal dunia. Bagi catin laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun

atau catin perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun, serta laki-laki yang mau

berpoligami, harus ada izin/dispensasi dari Pengadilan Agama. Selain itu diperlukan

surat izin Orang Tua (Model N5) bagi catin yang umurnya kurang dari 21 tahun baik

catin laki-laki/perempuan.

Persoalan yang cukup mencolok dalam layanan pernikahan di Kabupaten Nunukan

terkait dengan problem administrasi kependudukan yang menyebabkan calon

pengantin tidak mampun memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan seperti

tidak mempunyai KTP, KTP sudah tidak berlaku, atau tidak dapat memperlihatkan

akta cerai untuk mengurus pernikahan karena pernikahan sebelumnya dilakukan

secara siri, tidak dapat menunjukkan bukti administratif bahwa catin berstatus

gadis/bujang. Kasus-kasus ini sangat banyak ditemui karena pernikahan siri masih

dijadikan sebagai pilihan oleh kebanyakan warga baik karena pemahanan agama yang

sempit maupun karena problem rendahnya pengetahuan dan kesadaran mengenai

pentingnya administrasi kependudukan. Sosialisasi mengenai pentingnya administrasi

kependudukan kepada masyarakat, tidak hanya menggunakan pendekatan

administratif akan tetapi juga melalui pendekatan agama dengan melibatkan pihak-

pihak yang relevan, karenanya menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan guna

mengurai masalah yang ada.catin

Problem lain terkait dengan permohonan layanan pernikahan antar Negara (WNI

dengan warga Negara Malaysia), yang pengadministrasiannya lebih rumit

(pemberkasan kembali N1 sampai dengan N4 harus melalui kantor konsulat di

Jakarta) serta biaya pemberkasan sangat mahal (bias mencapai 2 juta rupiah). Problem

semakin kompleks ketika catin baik dari WNI maupun warga Negara Malaysia

Page 16: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

16

memiliki problem administrasi (tidak mempunyai paspor karena ditahan oleh majikan,

data/nama pada dokumen paspor berbeda dengan dokumen lainnya seperti KTP, dan

lain-lain). Jika tidak diantisipasi, mengingat kuantitas permohonan terus meningkat,

bagi catin yang tidak mampu memenuhi tuntutan administrative, dapat menstimuli

terjadinya pernikahan siri. Hal ini tentu harus dihindari, karena akan semakin

menambah panjang daftar pernikahan siri terjadi dimasyarakat.

Permohonan pelaksanaan pernikahan antara sesama WNI yang tinggal (bekerja) di

wilayah pelayanan Malaysia, juga menjadi persoalan lain yang banyak muncul.

Problem administrasi masih cukup menonjol terjadi terkait hal tersebut, baik berupa

kasus tidak punya kartu identitas (KTP/paspor) karena berbagai penyebab (hilang,

sudah tidak berlaku, diambil majikan, dan lain-lain), identitas yang berbeda-beda dan

ada pula yang palsu, selain persoalan tidak mempunyai surat nikah atau surat cerai

karena sebelumnya nikah siri, atau kasus berupa ketidak-mampuan menunjukkan

bukti bahwa status masih gadis/lajang. Ketidak-mampuan menunjukkan dokumen

pendukung tersebut berimplikasi pada penolakan permohonan oleh pihak terkait, yang

berimplikasi tidak dapat diselenggarakannya pernikahan. Terjadinya pernikahan siri

(nikah kampong untuk istilah yang biasa digunakan di Tawau) karena hal tersebut

tidak dapat dihindarikan yang dikemudian hari memunculkan aneka permasalahan

administratif lainnnya yang memberatkan catin.

Terkait hal tersebut diusulkan agar konsulat Indonesia di Tawau tidak hanya memberi

pelayanan berupa pengurusan paspor, akan tetapi juga memberikan pelayanan

pernikahan dengan menempatkan petugas pencatat pernikahan (P3N) mengingat

banyaknya peristiwa nikah antar warga Negara terjadi di daerah perbatasan di Kab.

Nunukan. Banyaknya pernikahan antara WNI dengan warga Negara Malaysia tersebut

terjadi karena mayoritas penduduk Tawau, meski telah menjadi Warga Negara

Malaysia, berasal dari etnis Bugis dan ada pula dari etnis Dayak Tidung.

Persoalan lain terkait dengan budaya penetapan mahar yang tinggi pada masyarakat

Bugis yang menjadi etnis mayoritas di Pulau Nunukan maupun Sebatik, yang muncul

sebagai kasus cukup aktual dengan muncul dalam kolom-kolom pemberitaan media

lokal. Hal tersebut senada dengan temuan studi Hederiya (2006) yang menunjukkan

bahwa faktor tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang relatif rendah, serta

pemahaman agama yang kurang; menjadi penyebab mengapa tradisi penetapan mahar

yang tinggi dalam perkawinan banyak dipraktekkan. Selain praktek penetapan mahar

yang tinggi, budaya mengadakan pesta pernikahan secara besar-besaran juga menjadi

kebiasaan lain yang cukup banyak terjadi. Akibatnya banyak terjadi kasus gagalnya

pernikahan diselenggarakan karena tidak tercapainya kesepakatan mengenai mahar

dan pembiayaan pelaksanaan pernikahan.

Kasus kurangnya buku nikah terutama karena peningkatan peristiwa nikah melalui

proses isbath nikah setelah program pemda digulirkan, juga terjadi diantaranya di

Sebatik Barat (wawancara dengan Kepala KUA Sebatik Barat pada 26 Maret 2014).

Selain itu terdapat pula kasus nikah di bawah umur karena pihak perempuan telah

hamil lebih dahulu.

Terkait hal tersebut, pemberian bimbingan persiapan pernikahan kepada

remaja/pemuda dalam memasuki gerbang pernikahan, merupakan bentuk layanan

yang perlu diperhatikan pemenuhannya. Bukan hanya berupa suscatin yang kerap kali

pelaksanaannya lebih mengedepankan aspek administratif (dilaksanakan menjelang

nikah), akan tetapi berupa bimbingan lebih substantif guna mempersiapkan para

pemuda memasuki jenjang pernikahan secara komprehensif (kesiapan pemahaman,

Page 17: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

17

metnalitas, serta ekonomi). Pembekalan pernikahan tersebut perlu menajdi prioritas

mengingat piramida penduduk Kabupaten Nunukan merupakan piramida ekspansif,

yaitu didominasi penduduk usia muda (produktif) dengan tingkat kelahiran cukup

tinggi (Gambar 1), tampak adanya kebutuhan pelayanan keagamaan yang cukup

tinggi dari kelompok usia tersebut, seperti pelayanan persiapan (suscatin) dan

pelaksanaan pernikahan serta bimbingan agama kepada kelompok muda.

Gambar 6. Piramida Penduduk Kab. Nunukan Tahun 2013

Sumber: BPS Kabupaten Nunukan, 2013

2. Pelayanan Haji

Pelayanan pendaftaran haji di Kantor Kementerian Agama Nunukan dilaksanakan

oleh Kasi URAIS Haji dan Umrah setiap hari pada jam kerja, yaitu Senin – Kamis

jam 08.00–16.00 WITA dan Jum’at jam 08.00 – 16.30 WITA. Petugas yang khusus

melayani pendaftaran terdiri 2 orang, yaitu seksi pendaftaran dan operator siskohaj.

Prosedur pelayanan haji & umrah di Kantor Kementerian Agama Nunukan sama

dengan prosedur di daerah-daerah lain di Indonesia, yaitu sesuai dengan Peraturan

Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2010 tentang prosedur pendaftaran haji, yaitu sebagai

berikut:

1. Sebelum mendaftar ke Kantor Kemenag, calon jamaah harus membuka rekening

haji di bank yang telah ditunjuk pemerintah dengan dana setoran awal sebesar Rp.

25 juta

2. Jamaah mendaftar ke kankemenag dengan membawa persyaratan sbb: KTP, KK,

Surat keterangan sehat dari puskesmas, fotocopy ijazah/akte lahir/akte nikah, pas

photo, foto copy buku rekening.

3. Entri Data, foto dan scan sidik 10 jari

4. Calon jamaah mendapatkan SPPH (Surat Pendaftaran Pergi Haji)

5. Calon Jemaah haji kembali ke bank dengan membawa SPPH, Bank menyetor dana

pendaftaran haji ke rekening Haji kemenag RI.

6. Calon Jemaah haji kembali ke kankemenag dan mendapatkan daftar tunggu.

Problem pelayanan haji yang terjadi terkait dengan jauhnya lokasi tempat tinggal

calon dengan Kantor Kemenag, bahkan terdapat wilayah yang membutuhkan jarak

tempuh sangat jauh serta harus menggunakan pesawat untuk sampai ke Kantor

Kemenag. Meski pendaftaran dapat dilakukan secara online, belum semua daerah

(kecamatan) tersedia akses internet. Sebagai contoh Kecamatan Krayan bahkan belum

masuk listrik. Kalaupun terdapat akses internet, seringnya terjadi pemadaman listrik

Page 18: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

18

menjadi kendala yang cukup serius sehingga pendaftaran secara online tidak selalu

dapat dilakukan.

Untuk membantu jama’ah haji, Kantor Kemenag menetapkan agar jama’ah haji yang

temapt tinggalnya di luar Pulau Nunukan, sebelum datang mendaftar ke Kantor

Kementerin Agama terlebih dahulu diharuskan datang ke KUA untuk mendapatkan

informasi dan bimbingan langsung pemberkasan pendaftaran haji. Jika berkas calon

jama’ah haji dinyatakan telah lengkap, barulah pihak KUA menghubungi petugas di

Kantor Kemenag untuk menanyakan kesiapan waktu pendaftaran, baik dengan sistem

online maupun offline. Apabila petugas di Kemenag Kab. Nunukan menyatakan siap,

barulah calon jamaah diminta datang Kantor Kemenag untuk mendaftar, sehingga

calon jama’ah tidak perlu bolak-balik karena persoalan persyaratan yang tidak

lengkap (wawancara dengan Kasi Haji dan Umroh Kemenag Kab. Nunukan pada 21

Maret 2014).

Permasalahan lain yang banyak ditemui, terkait dengan perbedaan nama calon

jama’ah pada dokumen identitas (Paspor, KTP, dan buku nikah). Perbedaan nama

calon di paspor dengan nama di KTP yang paling menyolok terjadi bukan karena

kesalahan administrasi, akan tetapi karena calon jama’ah haji yang juga bekerja

sebagai TKI di Tawau, Malaysia; pada saat pergantian paspor menukar namanya

dengan nama lain agar dapat terus bekerja. Hal tersebut dilakukan karena adanya

aturan pemerintah Malaysia bahwa TKI hanya boleh bekerja di Malaysia selama-

lamanya lima tahun, sementara para TKI ada kebutuhan untuk terus bekerja mencari

nafkah selain bahwa Pergantian nama ini kerap kali dilakukan atas sepengetahuan

(saran) majikan yang masih menginginkan TKI tersebut bekerja di temaptnya, namun

menjadi persoalan serius ketika yang bersangkutan hendak menunaikan ibadah haji.

Untuk mengatasi permasalahan yang jumlahnya cukup banyak tersebut, pihak KUA

mengingatkan calon haji yang mempunyai banyak nama untuk mengingat nama yang

harus digunakan dalam pengurusan haji (sesuai dengan dokumen yang masih berlaku

yang dimiliki calon jama’ah): “Nanti, kalau bapak/ibu ditanya nama, sebut nama yang

sesuai di buku tabungan bapak/ibu ya?” Upaya lain dilakukan oleh Camat Sebatik,

yang sbelum kebijakan pemberlakuan E-KTP mengeluarkan kebijakan pembuatan

KTP khusus untuk haji. KTP digunakan untuk membuka rekening tabungan haji,

pendaftaran haji, dan pembuatan paspor. Setelah haji ditunaikan KTP tidak berlaku

lagi. Akan tetapi bagi mereka yang mendaftar secara online, kebijakan tersebut

tentunya tidak dapat dilakukan. Selain itu setelah pemberlakuan E-KTP, kebijakan

KTP khusus untuk haji tidak lagi dilakukan.

Selain persoalan perbedaan nama di paspor karena alasan seperti dijelaskan,

perbedaan identitas (nama) karena kesalahan administrasi juga banyak ditemui.

Diantaranya berupa perbedaan nama di KTP dengan paspor yang disebabkan faktor

pendidikan calon jama’ah haji, rendahnya pengetahuan dan kesadaran mengenai

administrasi kependudukan, dan lain-lain.

Problem lain yang juga terjadi, terkait dengan ditahannya paspor calon jama’ah haji

oleh majikan. Kasus penahanan paspor oleh majikan banyak terjadi sebagai cara

majikan untuk “memaksa” TKI agar tidak menentang atau tidak melakukan sesuatu

yang tidak diinginkan majikan seperti melarikan diri, mengadu kepada pihak

kepolisian atau petugas, dan lain-lain. Persoalan ini biasanya diatasi dengan membuat

Page 19: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

19

kembali paspor, meski calon jama’ah haji terpaksa mengeluarkan biaya tambahan

karena hal tersebut.

3. Pelayanan Agama Islam

Pelaksanan kegiatan pembinaan ke-Islaman umat juga masih belum maksimal karena

terkendala minimnya tenaga penyuluh agama yang ada, yaitu hanya terdapat 7 orang.

Akibatnya kebutuhan bimbingan agama belum sepenuhnya dapat dilakukan dan baru

terbatas pada bimbingan pada kegiatan-kegiatan seremonial (pelaksanaan hari besar

Islam).

Bimbingan kepada kelompok muda sebagai kelompok usia terbesar di Kab. Nunukan,

perlu mendapatkan prioritas. Fenomena banyaknya anak muda terjerat kasus narkoba

di Kab. Nunukan sebagaimana disampaikan pihak Kasatreskrim, perlu mendapat

perhatian Kantor Kemenag. Sebagai daerah perlintasan yang menyebabkan lalu lintas

barang baik yang legal maupun ilegal sangat tinggi. Salah satunya narkoba, yang

bukan lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi (melalui jalur tikus), akan tetapi

melalui jalur yang sangat terbuka, sebagaimana diungkap dalam kegiatan FGD oleh

salah seorang informan yang menyebutkan bahwa narkoba di Nunukan

didistribusikan lewat “jalur gajah” saking terbukanya. Persoalan kemiskinan

menyebab praktek jual-beli narkoba menjadi problem cukup serius di Kab. Nunukan.

Kasus-kasus peredaran narkoba yang ditemui mengindikasikan hal tersebut, dengan

ditemuinya kasus-kasus keterlibatan perempuan dan remaja dalam transaksi narkoba.

Pemberian bimbingin keagamaan kepada pemuda dalam upaya membentengi mereka

dari serbuan budaya kota yang merusak (minum-minuman keras, pergaulan bebas),

juga merupakan bentuk bimbingan keagamaan lainnnya yang dapat dilakukan. Makin

meningkatnya kehidupan malam di Nunukan (di Sebatik biasa terjadi ditempat-tempat

karaoke), membutuhkan keterlibatan Kementrian Agama dalam menanggulanginya.

Sebagai gambaran pada tahun 2013 terdapat kasus cukup banyak menyangkut kasus

anak berurusan dengan hokum (41 kasus), baik berupa kasus narkoba, pencurian,

pelecehan seksual, dan lain-lain; dimana anak-anak tidak hanya menjadi korban, akan

tetapi juga sebagai pelaku.

Kebutuhan pembinaan ke-Islaman yang lain disampaikan oleh Kasatreskrim, Polres

Nunukan; yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan tenaga pembina keagamaan

kepada tahanan yang berjumlah hampir 300 orang. Pembinaan agama ini penting

sebagai bagian dari proses rehabilitasi, melengkapi pendekatan hukuman (efek jera)

yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan serta pembinaan ketrampilan. Lebih dari

itu pembinaan keagamaan bahkan dinilai oleh mereka lebih efektif dalam merecovery

mental para narapidana, dan karenanya sangat diharapka dapat dilakukan kerjasama

terkait hal tersebut dengan pihak Kementrian Agama. Untuk pembinaan agama

Kristen selama ini sudah berjalan, meskipun tidak melalui jalur Kementrian Agama

Kabupaten Nunukan akan tetapi melalui gereja.

4. Pelayanan Agama Kristen

Umat Kristen di Kabupaten Nunukan tercatat sebanyak 43.955 jiwa atau sekitar 27%

dari seluruh penduduk Kabupaten Nunukan. Meski umat Kristen ini hampir ada di

seluruh kecamatan, tetapi terkonsentrasi di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Lumbis dan

Kecamatan Krayan. Di dua kecamatan tersebut agama Kristen merupakan agama

mayoritas penduduk.

Page 20: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

20

Sesuai dengan tipologi Kantor Kementerian Agama tingkat kabupaten yaitu IIIB,

pemberian pelayanan agamaterhadap umat Kristen hanya dilakukan oleh pejabat

Penyelenggara Kristen, yaitu Marjusrina Jon, S. PAK. Tugas Penyelenggara Kristen

adalah melakukan pelayanan dan bimbingan di bidang kurikulum, ketenagaan, sarana

kelembagaan, ketata-usahaan serta supervisi dan evaluasi pada pendidikan agama

Kristen pada sekolah umum tingkat dasar dan menengah serta sekolah luar biasa (lihat

Profil dan Data Kemenag Kabupaten Nunukan, 2013).

Dilihat dari tugas pokok tersebut, Penyelenggara Kristen lebih terfokus di bidang

pendidikan. Sementara untuk kehidupan beragama umat Kristen pada umumnya

relatif kurang. Lebih dari itu, kurangnya pelayanan terhadap umat Kristen juga terjadi

karena tidak ada staf yang membantu tugas Penyelenggara Kristen. Karna itu tidaklah

berlebihan ketika Penyelenggara Kristen mengatakan bahwa pelayanan untuk umat

Kristen belum maksimal. Misalnya, Penyelenggara Kristen belum punya data tentang

berapa jumlah induk organisasi gerja yang terdaftar. Menurut Bu Rina ada sekitar 27

induk organisasi Kristen. Namun demikian, tidak ada data yang pasti. Tidak ada

mekanisme yang ketat yang mengharuskan setiap induk organisasi gereja mendaftar

di Kementerian Agama. Menurut Bu Rina, salah satu hal yang terjadi adalah karena

masyarakat tidak/belum memahami tentang eksistensi Kementerian Agama. Dalam

hal penyebutan nomenklatur saja misalnya, belum banyak tahu bahwa sekarang sudah

berubah menjadi Kementerian Agama. Umat masih enyebut Departemen Agama.

Bagi umat Kristen, eksistensi Kementerian Agama tampaknya belum banyak dikenal.

”Mereka menyangka bahwa tugas Kementerian Agama itu hanya terkait dengan:

nikah, haji, dan doa. Karena itulah mereka tidak paham harus mendaftar dsb. Untuk

tertib administrasi, kami telah membuat chek list yang dikirimkan ke gereja-gereja.

Chek list itu berisi daftar syarat adminsitratif yang harus dipenuhi jika sebuah gereja

ingin mendaftarkan ke Kemenag”(Wawancara dengan Penyelenggara Kristen, 21

Maret 2014).

Sampai saat ini induk gereja yang secara administratif sudah terdaftar di Kantor

Kementerian Agama ada 19 gereja. Sebagian besar gereja itu mengajukan surat

keterangan terdaftar dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

bantuan dari Pemerindah Daerah Kabupaten Nunukan (bagian Kesra). Sebagian kecil

memang mendaftarkan sebagai respon atas chek list yang disampaikan Kementerian

Agama melalui Penyelenggara Kristen.

5. Pelayanan Agama Katholik

Umat beragama Katholik di Kabupaten Nunukan berjumlah 11.506 atau sekitar 7%

dari seluruh penduduk Kabupaten Nunukan. Namun demikian, data itu tidak selalu

selaras dengan data yang dimiliki gereja Katolik. Kesulitan mendata umat Katolik

antara lain karena mereka mayoritas pendatang dari Nusa Tenggara Timur dan hanya

beberapa bulan saja di Nunukan untuk kemudian berangkat ke Tawau atau Kinibalu.

Pada tahun 2013 gereja mendata sekitar 7.000 – 8.000 jemaat.

Pusat pelayanan umat Katolik terletak di Gereja Katolik yang beralamat di Jalan

Tawakkal Nunukan. Gereja tersebut berada di bawah Yayasan Mardi Wiyata yang

sekaligus mengelola Sekolah Menengah Pertama Katolik Frateran Santo Gabriel,

dengan Sekolah Menengah Atas Katolik Frateran Santo Gabriel. Untuk melayani

gereja, beberapa orang Pastor di gereja itu antara lain Pastor Antonio Razzolli

seorang berkebangsaan Itali yang sudah bertahun-tahun mengabdi di gereja.

Page 21: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

21

Persoalan besar yang dihadapi terkait dengan pelayanan terhadap umat Katolik adalah

masalah perkawinan. Sebagian masyarakat Katolik lebih mengutamakan hokum adat

ketika menikah, sehingga hokum gereja dan aturan pemerintah dianggap bukan yang

utama. Mereka menikah di kampong halamannya yaitu di NTT atau di Tanah Toraja,

tanpa surat pengesahan dari gereja. Mereka kemudian merantau ke Nunukan dan

sebagian ada yang melanjutkan ke Tawau atau Sabah. Mereka baru merasakan

pentingnya punya akta nikah ketika anak-anak mau sekolah atau pengurusan

administrasi lainnya. Karenaitu pembinaan yang dilakukan gereja saat ini lebih

difokuskan pada generasi muda, anak usia dini. Beberapa kelompok binaan itu

tergabung dalam Remaka (Remaja Katolik), OMK (Orang Muda Katolik), dan WK

(Wanita Katolik).

Struktur Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan belum bisa mengakomodir

pejabat yang melayani umat Katolik. Sejauh ini hanya ada satu Penyuluh Agama

Katolik (David) yang berstatus Pegawan Negeri. Penyuluh inilah yang seringkali

menjadi mediator antara Kementerian Agama dengan pimpinan gereja Katolik

maupun umat secara umum. Dalam tugas kesehariannya, secara administrtatif

penyuluh agama Katolik ini bertanggung jawab terhadap Kepala Kantor Kementerian

Agama Kabupaten Nunukan. Untuk ruang kerjanya, David diberi meja staf yang ada

diruangan Penyelenggara Kristen. Penyelenggara Kristen yang memang tidak punya

staf sering kali meminta bantuan ke David untuk menyelesaikan beberapa keiatannya.

6. Pelayanan Umat Hindu, Buddha dan Khonghucu

Secara struktural ketiga komunitas agama itu tidak tercantum dalam tugas dan fungsi

Kementerian Agama. Dengan kata lain tidak terdapat pejabat Kementerian Agama

Kabupaten Nunukan yang secara khusus menangani umat beragama tersebut. Namun

demikian, bukan berarti tidak ada umatnya. Dalam kepengurusan FKUB periode 2013

– 2016 tercantum nama I Made Wirama, S.Pd. (Hindu), Hardani S. Ag. (Buddha),

dan Susanto (Khonghucu). Dengan demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa FKUB

menjadi penampung aspirasi umat beragama tanpa memandang jumlah umat tersebut.

Ketiga komunitas agama itu terkonsentrasi di Kecamatan Nunukan sebagai ibu kota,

sementara hanya sebagian kecil saja berada di Kecamatan lain,

Umat Hindu di Kecamatan Nunukan berjumlah 65 orang terdiri atas 29 perempuan

dan 36 laki-laki. Perbedaan jumlah umat Hindu antara laki-laki dan perempuan terjadi

karena banyak umat Hindu yang datang ke Nunukan dalam rangka tugas dan datang

sendiri tanpa keluarganya. Beberapa pejabat di Kabupaten Nunukan ini beragama

Hindu antara lain Kepala Kantor Imigrasi, Kepala Bea Cukai, Polres, Biro Pusat

Statistik dll. Dengan demikian, umat Hindu disini meski sedikit termasuk kelompok

masyarakat menengah dan berada di lingkungan birokrat.

Terkait dengan kebutuhan akan rumah ibadat, tokoh agama Hindu mengatakan:

Kami punya prinsip membuat jauh lebih mudah daripada memelihara. Karena itu

sampai saat ini kami belum punya pura. Umat Hindu disini juga banyak yang tidak

menetap. Kebanyakan dari mereka adalah pegawai atau pejabat yang ditugaskan

sehingga ketika masa tugas selesai, mereka pun meninggalkan Nunukan. Karena itu

pernah kami mengajukan permohonan pendirian rumah ibadat. Sudah disusun

panitia pendirian rumah ibadat, tapi beberapa orang yang tercantum dalam susunan

panitia itu pindah. Kami akhirnya ragu untuk mengajukan itu.

Dalam menjalankan ajaran agama, kami berpegang pada prinsip: desa, kala, dan

patra. Desa adalah tempat, jadi kami selalu menyesuaikan dengan tempat dimana

Page 22: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

22

kami berada. Kemudian kala adalah waktu, artinya kami dalam merantau berhitung

waktu. Kemudian patra yaitu keadaan. Apapun yang kami lakukan, harus tergantung

pada kondisi desa, kala, dan patra (Wawancara dengan I Made Wirama, S. Pd, 29

Maret 2014).

Umat Buddha di Kabupaten Nunukan didominasi oleh kaum muda. Menurut

penuturan seorang tokoh agama Buddha (Hardani, etnis Jawa), sebelum terbitnya

peraturan terkait pelayanan agama Khonghucu tahun 2006, penganut agama Buddha

diperkirakan antara 80 sampai 90 Kepala Keluarga. Tapi sekarang hanya berkisar 40

sampai 50 Kepala Keluarga, Selebihnya menyatakan sebagai penganut Khoghucu

khususnya dari kelompok tua yang masih memegang teguh tradisi Tionghoa. Hardani

melihat bahwa Khonghucu lebih identik dengan budaya Tionghoa daripada

dipandang sebagai agama. Ada semacam prinsip bahwa penganut Khonghucu pasti

keturunan Tionghoa, Tetapi tidak semua keturunan Tionghoa beragama Khonghucu

karena ada juga yang beragama Buddha. Dengan kata lain penganut agama Buddha

lebih heterogen karena ada yang berasal dari etnis Tiongoa, ada juga dari etnis Jawa.

Meski umat Khonghucu tidak terlalu banyak jumlahnya, mereka mengaku telah

memiliki bangunan untuk beribadat yang cukup megah dan terpampang di depannya

tulisan: “Rumah Ibadah Tri Dharma, San Kong Nunukan”. Di dinding bagian depan

rumah ibadat itu tertulis semacam prasasti: Telah diresmikan Kelenteng Tri Dharma

San Sen Kong, pada hari Minggu, tanggal 9 Maret 2008, oleh Bupati Nunukan H.

Abdul Hafid Achmad.

Tampaknya potensi perdebatan dan konflik yang terjadi di beberapa daeah di

Indonesia terkait perbedaan pemaknaan rumah ibadat untuk umat Buddha dan

Khonghucu juga terdapat di Kabupaten Nunukan. Jika dilihat dari istilah Tri Dharma,

maka semestinya rumah ibadat itu bisa digunakan oleh umat Buddha juga

Khonghucu, dan Tao jika memang ada pengautnya. Tapi di sisi lain juga disebut

kelenteng yang identik dengan umat Khonghucu. Tidak mau terlibat dalam konflik

berkepanjangan, umat Buddha sudah menyediakan tanah yang rencananya akan

didirikan vihara. Sementera untuk saat ini umat Buddha beribadat di gedung serba

guna yang ada di lingkungan kelenteng dengan menyewa sebuah ruangan di lantai 2.

D. Lembaga Mitra Pelayanan Keagamaan

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Kantor Kementerian Agama di Kabupaten

Nunukan tidak bekerja sendiri. Kompleksnya permasalahan yang dihadapi serta terbatasnya

sumber daya manusia maupun sumber daya finansial yang dimiliki sebagaimana diuraikan di

atas, menjadi titik tolak pentingnya menjalin kerjasama dengan berbagai mitra baik dari

kalangan pemerintah maupun lembaga non pemerintah termasuk organisasi kemasyarakatan

bercirikan agama.

Terdapat beberapa lembaga yang telah menjalin kejasama dengan Kantor

Kementerian Agama, yaitu sebagai berikut:

1. Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB)

Dasar pembentukan FKUB adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan

Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat

Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan Bersama

itu disahkan tanggal 21 Maret 2006. Tidak lama setelah Peraturan Bersama itu

disahkan, tokoh masyarakat setempat didampingi beberapa segera mendirikan FKUB

pada akhir tahun 2006. Sampai saat ini FKUB tetap eksis dan perannya dirasakan

Page 23: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

23

efektif bagi peningkatan kerukunan umat beragama. Di samping itu bagi penganut

agama lain yang secara kelembagaan tidak tercakup dalam struktur Kantor

Kementerian Agama Kabupaten Nunukan, maka FKUB dapat dijadikan media untuk

menyalrkan aspirasinya. Hal itu diakui oleh tokoh agama Kristen, Katolik, Hindu,

Buddha, dan Khonghucu bahwa FKUB merupakan sarana mereka menyalurkan

aspirasinya.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Bersama tersebut bahwa komposisi

keanggotaan FKUB ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama

setempat dgn keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yg ada. Karena

itu FKUB telah berhasil menyatukan tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,

Buddha, dan Khonghucu. Secara berkala FKUB melakukan pertemuan baik ketika

ada masalah maupun dianggap tidak ada masalah. Inilah kelebihan FKUB karena bisa

merangkul semua kelompok agama bahkan yang secara struktural kelompok agama

yang tidak terwakili di Kementerian Agama yaitu Hindu, Buddha, dan Khonghucu.

Kelancaran kegiatan FKUB juga didukung oleh perhatian dari Pemerintah terkait

dengan pendanaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Bersama Pasal 26

bahwa anggaran FKUB di kabupaten/kota didanai dari dan atas beban Anggaran

Pendapatan Daerah setempat. Untuk itu secara rutin Bupati Nunukan menyiapkan

anggaran untuk FKUB. Pada tahun 2013 anggaran FKUB antara lain diberikan dalam

bentuk pemberian honor 17 orang pengurus FKUB yang jumlah keseluruhan Rp.

41.000.000,- (Lihat Keputusan Bupati Nunukan Nomor 188.45/56/II/2013 tentang

Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Nunukan Periode tahun

2013 – 2016).

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan.

Bagian Kesejahteraan Rakyat yang berada di bawah Sekda, dalam hal ini Sub Bagian

Keagamaan, merupakan mitra utama Kementrian Agama Kab. Nunukan yang banyak

memberikan support. Dukungan utama berupa pemberian bantuan pembangunan

rumah ibadah, baik pembangunan masjid, gereja, bahkan klenteng. Sebagai contoh

pada tahun 2013 Pemkab. Nunukan memberikan bantuan pembangunan rumah ibadah

kepada 26 masjid, 38 gereja, 2 musholla, 1 klenteng, 9 TPA (total 76 paket bantuan).

Nominal bervariasi, dari kisaran 5 juta hingga lebih dari nominal tersebut. Bantuan

pembangunan rumah ibadah ini kontinyu dilakukan, karena sekaligus merupakan

program unggulan bupati terpilih yang dikenal dengan 14 program Gerbang Emas

Kabupaten Nunukan (program ke-enam).

Selain bantuan pembiayaan (anggaran) bagi pembangunan rumah ibadah, bantuan lain

yang diberikan Pemkab. Nunukan berupa pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan

isbat nikah kepada 1500 pasangan catin.

Gambar 8. Klenteng San Sen Kong Gambar 7. Salah satu gereja dipusat kota

Nunukan

Page 24: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

24

Disdukcapil merupkan institusi OPD (organisasi Perangkat Daerah) yang perlu

diperhatikan untuk dijadikan sebagai mitra mengingat banyaknya problem

kependudukan yang dihadapi dalam pelayanan keagamaan yang dilakukan Kemenag

Kab. Nunukan. Badan pemberdayaan perempuan dan anak terutama dalam konteks

melindungi moralitas perempuan dan anak, merupakan OPD lain yang relevan.

3. Badan Pertanahan Nasional

Sertifikasi tanah wakaf merupakan salah satu program penting yag bisa diperankan

oleh Badan Pertanahan Nasional ini. Menurut penuturan Kepala Kantor Kementerian

Agama Kabupaten Nunukan, program sertifikasi tanah wakaf belum berjalan

memadai meskipun Kementerian Agama sudah mengajukan persyaratan administratif.

Tampaknya perlu ada kesempatan untuk duduk bersama antara pejabat Kementerian

Agama dengan pejabat di Lingkungan Badan Petanahan Nasional sehingga diketahui

problem dan solusinya.

4. Pengadilan Agama

Banyaknya kasus pernikahan tidak tercatat di Kabupaten Nunukan mengharuskan

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan untuk bekerja sama dengan

Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya, terutama terkait dengan pelaksanaan

isbat nikah. Penyelesaian permasalahan tersebut menjadi kebutuhan mendesak warga

mengingat implikasinya yang luas kepada kehidupan warga seperti pengurusan paspor

(mengingat banyaknya warga yang menjadi TKI) dan pengurusan akte kelahiran anak

baik untuk mendapatkan bantuan pendidikan maupun kesehatan atau sekedar untuk

memasuki dunia pendidikan dan lain-lain. Hal ini terindikasi dari animo masyarakat

yang cukup tinggi merespon program pemerintah daerah yang memberikan bantuan

pendanaan untuk penyelenggaraan isbat nikah kepada 1500 pasangan. Data di KUA

Nunukan setidaknya menunjukkan hal tersebut. Terjadi lonjakan permohonan isbat

nikah di Kecamatan Nunukan. Pada tahun 2014 ini, hingga bulan Maret terdaftar

permohonan isbat nikah yang diajukan oleh 314 pasangan dan pada tahun 2013

(ketika program digulirkan oleh pemda), yaitu sebanyak 163. Bandingkan dengan

permohonan isbat nikah pada tahun sebelumnya (sebelum ada program bantuan dana

dari pemda), yang hanya berjumlah 57 permohonan.

5. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil

Pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha , dan

Khonghucu menjadi bagian penting yang bisa dilakukan oleh Dinas Kependudukan

dan Catatan Sipil. Terkait dengan penyebutan identitas agama dalam KTP sejauh ini

telah sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminisrasi

Kependudukan. Tidak ada KTP yang identitas agamnya dikosongkan (-) karena tidak

ada masyarakat yang mengaku beragama lain selain 6 agama yang disebut dalam UU

itu.

6. Kantor Imigrasi Kabupaten Nunukan

Mobilitas masyarakat di daerah perbatasan yang seringkali mengaburkan idntitas

administratif, misalnya karena KTP ganda, menjadi hal yang mengharuskan adanya

kerjasama antara Kantor Kementerian Agama dengan Kantor Imigrasi di Kabupaten

Nunukan. Pelayanan haji merupakan hal utama yang memerlukan kerjasama antara

Kantor Imigrasi dengan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan.

Page 25: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

25

Di luar lembaga tersebut terdapat sejumlah lembaga berafiliasi agama maupun tidak,

secara langsung maupun tidak langsung ikut berperan melaksanakan tugas dan fungsi

Kementerian Agama di Kabupaten Nunukan. Lembaga dimaksud adalah Al-Khoirot,

Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah, Pusat Penanganan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak (P2TP2A), Kepolisian (dalam hal ini dengan Kasatreskrim), ormas

perempuan seperti Aisyiah, Fatayat, Muslimat, dan Gabungan Organisasi Wanita. Dengan

P2TP2A dan Kasatreskrim Kantor Kementerian Agama Kab. Nunukan perlu bekerjasama

mengingat kedua lembaga tersebut ikut menangani permasalahan kasus pernikahan terutama

pada kasus kriminalitas dalam pernikahan (KDRT, ditinggal suami tanpa kabar dan

pemberian nafkah untuk kurun waktu yang lama, pernikahan di bawah umur, praktek

poligami yang tidak sesuai dengan hukum, dan lain-lain).

Sebagai contoh P2TP2A pada tahun 2012 pernah menangani kasus KDRT yang

dialami seorang PNS di Kantor Imigrasi, seadngkan pada tahun 2013 menangani kasus

KDRT yang dilakukan seorang ayah kepada istri dan 12 anaknya yang seluruhnya perempuan

hingga sang anak hamil. Kasus tersebut berbuntut panjang dan melibatkan banyak pihak

seperti kepolisian dan Dinas Sosial, hingga akhirnya korban berhasil dipulangkan ke

Sulawesi. Begitu pula dengan kepolisian. Selain kasus kriminal dalam perkawinan, kasus

trafficking dan narkoba merupakan kasusk lain yang perlu mendapat perhatian dan

keterlibatan Kementerian Agama dalam penyelesaiannya.

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Upaya pemberian pelayanan keagamaan secara maksimal kepada masyarakat di

wilayah perbatasan oleh Kementrian agama, menghadapi sejumlah persoalan. Satu isu yang

cukup menonjol terkait dengan ketidak-mampuan warga memenuhi syarat administrasi

karena problem administrasi kependudukan yang dihadapi, terutama pada pelayanan

pernikahan dan haji). Bentuk permasalahan administrasi dimaksud dapat berupa warga tidak

mempunyai KTP, perbedaan identitas dalam dokumen kependudukan, tidak memiliki paspor

atau paspor dalam kondisi bermasalah, dan lain-lain.

Persoalan ketidak-mampuan warga memenuhi persyaratan administrasi guna

mendapatkan layanan keagamaan tersebut dalam beberapa kasus tidak selalu didekati dengan

pendekatan prosedural formal, akan tetapi dengan mencari upaya penyelesaian (melakukan

inovasi lokal) yang mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Tindakan tersebut terpaksa

diambil, mengingat problem ketidak-mampuan masyarakat memenuhi persyaratan

administrasi permohonan layanan yang diajukan, jika tidak dicarikan solusinya, pada sisi lain

dapat memicu terjadinya ekses negative. Pada kasus pelayanan pernikahan misalnya, dapat

meningkatkan praktek kawin siri dan dapat pula menyebabkan terjadinya hubungan diluar

nikah (perzinahan) lantaran pasangan tersebut terhalang untuk dapat menikah. Pada mereka

yang memutuskan melakukan nikah siri, persoalan tidak berhenti sampai disitu, akan tetapi

berkembang pada munculnya problem lain dimasa dating seperti tidak bisa melakukan

perceraian, tidak bisa melakukan pernikahan kembali jika dibutuhkan, tidak dapat membuat

KK dan akte kelahiran, problem warisan, dan lain-lain).

Praktek pernikahan siri yang banyak terjadi di Nunukan karenanya harus dilihat

dalam konteks yang lebih komprehensif, terjadi bukan hanya karena pemahaman agama yang

sempit yang memandang bahwa pernikahan sudah memadai jika dinyatakan sah secara

agama serta pengetahuan masyarakat yang terbatas tentang perlunya mematuhi administrasi

kependudukan, akan tetapi juga terjadi sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi

Page 26: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

26

(mensahkan pernikahan secara agama meskipun tidak dapat disahkan secara hokum Negara).

Cara tersebut tentu saja bukan merupakan solusi tepat karena menimbulkan sejumlah

implikasi negatif dikemudian hari. Jika tidak segera diatasi, problem akan seperti lingkaran

setan karena pelanggaran yang satu berimplikasi pada munculnya bentuk pelanggaran

lainnya. “Pemutihan” praktek nikah siri melalui isbat nikah “massal” yang difasilitasi

pembiayaannya oleh pemda (inovasi local) di Kabupaten Nunukan karenanya merupakan

solusi tepat guna memutus mata rantai persoalan, yang dapat direplikasi dalam mengatasi

persoalan serupa ditempat lain meski pada kasus Kabupaten Nunukan, inovasi local tersebut

inisiatif pelaksanaannya sepenuhnya dari pemda yang mencoba merespon kebutuhan

masyarakat sementara pihak Kementerian Agama lebih sebagai pihak yang menerima

manfaat. Peran aktif Kemenag dimasa datang karenanya perlu dikembangkan, guna

mendorong capaian yang lebih maksimal.

Untuk layanan haji, inovasi local dilakukan dengan memfungsikan KUA sebagai

pihak yang bertugas mensortir kelengkapan dokumen pada tahap awal, bahkan sekaligus

memberikan bimbingan dan bantuan kepada masyarakat sebagai calhaj. Inovasi tersebut tentu

saja sangat membantu masyarakat sebagai pihak yang dilayani, karena tidak perlu

mengeluarkan anggaran cukup besar untuk transportasi bolak-balik mengunjungi Kantor

Kemenang, selain proses menjadi lebih mudah dan cepat.

Problem keterbatasan SDM birokrasi (penghulu, penyuluh agama, maupun jumlah

SDM PNS), menyebabkan berbagai pelayanan keagamaan yang dibutuhkan masyarakat

belum dapat terpenuhi secara maksimal. Problem minimnya sarana dan prasarana termasuk

ketersediaan jaringan listrik (dalam konteks pelayanan haji berimplikasi pada pelaksanaan

layanan pendaftaran secara online), masih menjadi kendala yang cukup dirasakan dan yang

mempengaruhi proses pemberian layanan yang diberikan.

Belum dipahaminya tupoksi Kementerian Agama oleh masyarakat (terutama pemeluk

agama diluar Islam termasuk oleh institusi pemerintah daerah atau OPD), menyebabkan

masyarakat (dan juga OPD), belum memanfaatkan layanan Kementrian Agama bagi

pemenuhan kebutuhan (atau penyelesaian masalah mereka) secara maksimal dan demikian

pula dengan pemda. Pemda belum menjadikan Kemenag sebagai mitra strategis dalam

pelaksanaan tupoksi mereka guna membangun daerah.

FKUB di Kabupaten Nunukan dalam konteks itu telah berhasil menjadi pihak yang

sangat efektif berperan sebagai focal point bagi Kemenerian Agama dalam menjalankan

peran dan fungsinya membangun masyarakat dalam bidang keagamaan, begitu pula dengan

KUA yang dalam praktek difungsikan untuk aneka urusan yang bukan menjadi tupoksinya.

B. Rekomendasi

1. Kompleksnya permasalahan sosial keagamaan yang dihadapi di Kabupaten

Nunukan mengidealkan pejabat Kementerian Agama sebagai sosok yang

cerdas dan mampu mencari peluang kerjasama serta mengembangkan

kemitraan dengan sebanyak mungkin pihak.

2. Mengingat kasus-kasus yang muncul dalam pemberian layanan banyak berkaitan

dengan problem administrasi kependudukan (terutama untuk layanan pernikahan

dan haji), perlu bersinergi dengan kementerian terkait guna mendorong akselerasi

penuntasan persoalan tersebut. Diantaranya dengan melakukan sosialisasi

pentingnya pencatatan pernikahan (administrasi pernikahan) secara masif

dan intensif baik dengan menggunakan pendekatan keagamaan (melibatkan para

penyuluh agama, FKUB, para imam masjid, selain institusi Kantor Kementerian

Page 27: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

27

Agama di daerah) maupun pendekatan administratif (melibatkan pemerintah

daerah dalam hal ini disdukcapil).

3. Perlunya penguatan fungsi KUA dengan penambahan jumlah SDM, sarana

prasarana, serta anggaran (biaya operasional), mengingat fungsi KUA di daerah

perbatasan (dan daerah terpencil) lebih dari sekedar melaksanakan tupoksinya

yang utama, akan tetapi sekaligus menjadi perpanjangan Kementerian Agama

mengingat lokasinya yang lebih dekat dengan masyarakat.

4. Penguatan keberadaan P3N dalam membantu pelaksanaan tupoksi KUA baik

terkait dengan anggaran maupun pengembangan peran dan fungsinya kearah yang

lebih strategis.

5. Lebih memaksimalkan peran penyuluh dalam menjaga moralitas ummat dan

tidak terbatas pada kegiatan-kegaitan ceremonial formal semata.

6. Perlunya sosialisasi mengenai tupoksi Kementerian Agama kepada masyarakat

dan lembaga kemasyarakat serta lembaga pemerintahan termasuk kepolisian

dengan melibatkan seluruh stakeholder dan mitra kerja mengingat Kementerian

Agama ditingkat masyarakat kerap dipersepsikan hanya bertanggung-jawab

mengurus haji dan persoalan umat Islam.

Page 28: Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan

28

DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (2011). Grand Design

Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia Tahun

2011 – 2025.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan (2012). Profil Kabupaten Nunukan 2012.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan (2013). Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten

Nunukan 2013.

Bryman, Alan. (2004) Social researsch methods (2nd ed). Oxford University Press. USA.

Eilenberg, Michael and Wadley, Reed (2009). “Borderland Livelihood Strategies: The socio-

Economic Significance of Ethnicity in Cross-border Labour Migration, West

Kalimantan, Indonesia”. Dalam Asia Pacific Viewpoint, Vol. 50, No. 1, April 2009

pp58–73.

Rudiatin, Endang. (2012). Integrasi Ekonomi LokalL Suatu Kajian Mengenai Ekonomi

Masyarakat Aji Kuning Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Timur, Perbatasan

Indonesia-Sabah, Malaysia.

Kantor Kementerian Agama Kabupate Nunukan, ( 2013). Profil dan data.

Moeldoko. (2014). Kebijakan dan scenario planning pengelolaan kawasan perbatasan di

Indonesia (Studi kasus perbatasan darat di Kalimantan). Disertasi pada Program

Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Sutaat. (2006). Diagnosa permasalahan sosial di Sebatik Barat Kabupaten Nunukan.

Puslitbang Kesejahteraan Sosial. Departemen Sosial Republik Indonesia.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8

Tahun2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala dalam

Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pedirian

Rumah Ibadat.