pelayanan keagamaan di kab. nunukan: antara mengatasi keruwetan dan keterbatasan dengan menjaga...
DESCRIPTION
AbstrakPelayanan di daerah perbatasan, termasuk dalam konteks pelayanan keagamaan, berhadapan dengan kompleksitas persoalan dalam berbagai hal. Desakan peningkatan pelayanan terjadi sebagai tuntutan demokratisasi maupun sebagai upaya menjaga kedaulatan bangsa (ke-Indonesiaan). Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menemukan problem-problem faktual tentang pelayanan keagamaan di daearh perbatasan terutama mengenai problem yang dihadapi institusi dalam memberikan pelayanan serta bagaimana kebudayaan negara tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan; dan (2) melakukan identifikasi pelayanan keagamaan yang telah dilakukan serta pelayanan yang mungkin dikembangkan dalam rangka pembangunan daerah perbatasan. Dengan pendekatan kualitatif (interview, observasi, diskusi kelompok terarah, maupun penelusuran sejumlah dokumen), studi di Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) pada 20 Maret-3April 2014 menunjukkan sejumlah isu penting pelayanan keagamaan di daerah perbatasan mulai dari persoalan administrasi kependudukan, keterbatasan infrastruktur dan supra struktur pelayanan, serta keterbatasan SDM. Problem berimplikasi pada terhambatnya pelayanan keagamaan seperti perkawinan, pelayanan haji, maupun pembinaan umat. Penyelesaian bersama dengan melibatkan institusi terkait (pusat dan daerah, institusi pemerintah maupun non pemerintah), menjadi keharusan. Selain itu perlu peningkatan kesadaran/keterlibatan warga yang kini tidak lagi diposisikan sebagai penerima layanaan yang pasif serta pengembangan kearifan local dalam mengatasi permasalahan.TRANSCRIPT
1
Pelayanan Keagamaan di Kab. Nunukan: antara Mengatasi Keruwetan
dan Keterbatasan dengan Menjaga Ke-Indonesiaan1
Oleh:
Kustini, Sri Hidayati, Wahidah R. Bulan
Abstrak
Pelayanan di daerah perbatasan, termasuk dalam konteks pelayanan keagamaan, berhadapan dengan
kompleksitas persoalan dalam berbagai hal. Desakan peningkatan pelayanan terjadi sebagai tuntutan
demokratisasi maupun sebagai upaya menjaga kedaulatan bangsa (ke-Indonesiaan). Penelitian ini bertujuan
untuk: (1) Menemukan problem-problem faktual tentang pelayanan keagamaan di daearh perbatasan terutama
mengenai problem yang dihadapi institusi dalam memberikan pelayanan serta bagaimana kebudayaan negara
tetangga berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan; dan (2) melakukan identifikasi pelayanan keagamaan
yang telah dilakukan serta pelayanan yang mungkin dikembangkan dalam rangka pembangunan daerah
perbatasan. Dengan pendekatan kualitatif (interview, observasi, diskusi kelompok terarah, maupun penelusuran
sejumlah dokumen), studi di Kabupaten Nunukan (Kalimantan Utara) pada 20 Maret-3April 2014 menunjukkan
sejumlah isu penting pelayanan keagamaan di daerah perbatasan mulai dari persoalan administrasi
kependudukan, keterbatasan infrastruktur dan supra struktur pelayanan, serta keterbatasan SDM. Problem
berimplikasi pada terhambatnya pelayanan keagamaan seperti perkawinan, pelayanan haji, maupun pembinaan
umat. Penyelesaian bersama dengan melibatkan institusi terkait (pusat dan daerah, institusi pemerintah maupun
non pemerintah), menjadi keharusan. Selain itu perlu peningkatan kesadaran/keterlibatan warga yang kini tidak
lagi diposisikan sebagai penerima layanaan yang pasif serta pengembangan kearifan local dalam mengatasi
permasalahan.
Kata kunci: pelayanan keagamaan, perbatasan, Nunukan, KUA, penyuluh agama.
I. Pendahuluan
Kondisi wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau (besar dan kecil),
menghadapkan pemerintah pada persoalan kompleks dalam pemberian pelayanan maksimal
kepada warga, terutama pada pulau-pulau terluar. Di wilayah darat, Indonesia berbatasan
dengan 3 (tiga) negara, yaitu Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste; sedangkan di
wilayah laut berbatasan dengan 10 negara yaitu Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Republik
Demokratik Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau dan Australia
(Gran Desain Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia
Tahun 2011 – 2025). Karena hal itu bukan saja berhadapan dengan problem ketersediaan
infrastruktur untuk menjangkau daerah tersebut (terutama daerah-daerah terpencil),
mengingat letaknya yang berbatasan dengan teritorial Negara lain, pemerintah juga
dihadapkan pada hadirnya sejumlah persoalan politik yang tidak dapat diabaikan.
Selain itu, meski pembangunan di daerah-daerah perbatasan terus ditingkatkan baik
oleh pemerintah pusat maupun daerah, kawasan perbatasan masih berhadapan dengan
persoalan kemiskinan yang cukup akut yang memosisikannya sebagai daerah tertinggal dan
terpinggirkan. Hal ini belakangan menstimuli peningkatan tuntutan warga atas penyelesaian
permasalahan yang ada, yang mengindikasikan adanya peningkatan ketidak-puasan warga
atas layanan yang diberikan. Selain itu persoalan keamanan tetap mendominasi, baik berupa
tindakan penyelundupan orang dan barang maupun penyebarangan kejahatan lintas Negara
dalam bentuk terorisme, mengingat tingginya intensitas pergerakan orang dan barang di
perbatasan (Moeldoko, 2014).
1 Disampaikan pada Pra Seminar Penelitian Pelayanan Keagamaan bagi Masyarakat Perbatasan yang diselenggarakan pada Rabu, 30 April 2014 oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Jakarta.
2
Dalam kaitannya dengan eksistensi Kementerian Agama, persoalan keagamaan dan
pelayanan agama di daerah perbatasan menjadi hal penting untuk dibahas karena beberapa
alasan. Pertama, sebagai wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, daerah perbatasan
rentan terhadap masuknya ideologi-ideologi asing yang tidak selalu paralel dengan ideologi
bangsa dan negara Indonesia; selain fakta bahwa daerah perbatasan disinyalir menjadi lalu-
lintas persenjataan oleh teroris lintas negara. Kedua, pengembangan SDM agama di daerah
perbatasan relatif lebih rendah dibanding daerah-daerah lain terutama daerah yang letaknya
lebih dekat dengan ibu kota provinsi, yang menuntut inisiatif pemerintah pusat melalui
Kementerian Agama untuk membangun dan mengembangkan pendidikan agama di daerah
perbatasan guna mengejar ketertinggalan. Ketiga, adanya persoalan physical presence atau
kehadiran sarana fisik beserta SDM yang menjadi simbol kualitas pelayanan keagamaan yang
diberikan di wilayah tersebut.
Gambaran realitas mengenai pelayanan keagamaan di Nunukan sebagai salah satu
Kabupaten yang secara geografis daratannya langsung berbatasan dengan Negara Malaysia,
penting diketahui sebagai bahan evaluasi atas layanan yang diberikan. Dengan menghimpun
sejumlah input kondisi teraktual atas kegiatan pelayanan keagamaan yang berlangsung, upaya
perbaikan dan peningkatan kinerja layanan menjadi lebih efektif dan terarah.
II. Tentang Penelitian
A. Disain Penelitian
Penelitian ini bermaksud mengkaji sejauh mana implementasi pelayanan keagamaan
oleh Kantor Kementrian Agama di daerah termasuk unit pelaksana dibawahnya (KUA) di
daerah perbatasan, yang secara spesifik dirumuskan dalam pertanyaan penelitian berikut: (1)
Bagaimana gambaran teraktual pelayanan keagamaan di Kabupaten Nunukan? (2)
Sejauhmana kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan keagamaan yang ideal di daerah
perbatasan?
Sedangkan tujuan penelitian adalah untuk: (1) Menemukan problem-problem faktual
tentang pelayanan keagamaan di daearh perbatasan terutama mengenai problem yang
dihadapi institusi dalam memberikan pelayanan serta bagaimana kebudayaan negara tetangga
berpengaruh terhadap pelayanan yang diberikan; dan (2) melakukan identifikasi pelayanan
keagamaan yang telah dilakukan serta pelayanan yang mungkin dikembangkan dalam rangka
pembangunan daerah perbatasan. Sebagai penelitian kebijakan (policy research) studi tentu
saja diharapkan dapat berkontribusi bagi pengambilan kebijakan Kementerian Agama di
Pusat dan daerah terkait dengan peningkatan pelayanan keagamaan, selain memberi masukan
kebijakan bagi instansi pemerintah terkait seperti pemerintah daerah, Badan Nasional
Pengelola Perbatasan, maupun organisasi non pemerintah yang memiliki kepedulian terhadap
penyelesaian isu-isu daerah perbatasan.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Maret sampai dengan 3 April 2014 di
Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara, terutama Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik,
mengingat dua pulau tersebut cukup besar wilayahnya serta padat penduduk. Selain itu Pulau
Sebatik juga dipilih karena merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia,
sedangkan Pulau Nunukan (Kecamatan Nunukan dan Nunukan Selatan) merupakan temapt
dimana pusat pelayanan (pusat pemerintahan) berada. Guna mendapat gambaran yang utuh
dan lengkap mengenai kondisi diperbatasan juga dilakukan observasi ke wilayah Malaysia
yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu Tawau, Negara Bagian Sabah.
Penelitian dilaksanakan oleh satu tim yang terdiri dari tiga orang peneliti dan satu
orang pembantu peneliti. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti menetapkan teknik
pengumpulan data melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, observasi
3
lapangan, serta kajian dokumen. Secara rutin, masing-masing peneliti mencatat seluruh data
yang diperoleh melalui empat metode tersebut dan dituangkan dalam bentuk log book atau
field note, dengan maksud agar peneliti dapat sesegera mungkin mencatat berbagai hal yang
dilihat dan didengar, meskipun hanya berupa catatan ringkas yang dilengkapi pada malam
hari atau kesempatan lainnya (Bryman, 2004).
Sejumlah pihak telah dipilih sebagai informan kunci antara lain para pejabat
Kementerian Agama di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan serta Kantor
Urusan Agama, pimpinan instansi terkait antara lain Kepala Kantor Imigrasi, Pemerintah
Daerah Kabupaten Nunukan, serta Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Di
samping itu para tokoh agama, pengurus FKUB, pengurus yayasan pendidikan, dan lain-lain.
Sementara observasi lapangan dilakukan secara langsung terhadap berbagai aktivitas
masyarakat, khususnya aktifitas yang terkait dengan substansi penelitian.
B. Definisi Konseptual
Pelayanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaksudkan sebagai usaha
melayani kebutuhan orang lain, sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan
(mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Dalam konteks pelayanan birokrasi, Kep.
MenPAN Nomor 81/Tahun 1993 menyatakan bahwa pelayanan umum adalah segala bentuk
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah/BUMN/BUMD, dalam rangka
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan atau peraturan undang-undang yang berlaku.
Pelayanan keagamaan yang merupakan konsep utama dalam studi ini merupakan
pelayanan yang diberikan oleh Kementerian Agama kepada masyarakat, termasuk kepada
masyarakat Indonesia yang berada di wilayah perbatasan. Secara spesifik pelayanan
dimaksud merujuk pada Keputusan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang visi dan
misi, yang menetapkan bahwa pelaksanaan pelayanan keagamaan oleh Litbang Kemenag
terkait erat dengan tiga dari lima misi yang ditetapkan, yaitu: (1) Meningkatkan kualitas
kehidupan beragama, (2) Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama; dan (3)
Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji.
Merujuk pada Renstra BLD Kemenag RI 2014, arah kebijakan dan strategi
Kementerian Agama 2010-2014 guna pencapaian misi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas kehidupan beragama, dengan sasaran terwujudnya suatu kondisi
keberagamaan masyarakat yang dinamis dan mampu mendukung percepatan
pembangunan nasional, yang ditandai antara lain:
a. Meningkatnya pemahaman dan perilaku keagamaan umat beragama yang
seimbang, moderat dan inklusif.
b. Meningkatnya motivasi dan partisipasi umat beragama dalam pembangunan
nasional.
c. Menurunnya aliran sempalan dan tindakan kekerasan yang mengatas-namakan
agama.
d. Meningkatnya kualitas pribadi umat beragama yang berakhlak mulia dan beretika.
Renstra BLD Kementerian Agama RI
e. Meningkatnya harkat dan martabat umat beragama dalam membangun jati diri
bangsa.
f. Meningkatnya peran umat beragama dalam membangun harmoni antar peradaban.
g. Meningkatnya pemberdayaan potensi ekonomi keagamaan.
h. Menguatnya sinergi kebijakan dalam pengelolaan potensi ekonomi keagamaan.
i. Meningkatnya akses umat beragama terhadap sumberdaya ekonomi keagamaan
dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejateraan umat beragama.
4
j. Meningkatnya peran dan kualitas penyuluh agama.
k. Terselenggaranya pelayanan administrasi keagamaan sesuai dengan SPO (Standar
Prosedur Operasional).
2. Peningkatan kualitas kerukunan umat beragama, dengan sasaran terwujudnya
kehidupan harmoni intern dan antar umat beragama sebagai pilar kerukunan nasional,
yang ditandai dengan:
a. Meningkatnya dialog dan kerjasama antar umat beragama dalam rangka
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
b. Meningkatnya peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia Internasional.
c. Meningkatnya harmoni intern dan antar umat beragama.
d. Meningkatkan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
e. Berkembangnya pemahaman keagamaan masyarakat berwawasan multikultural,
gender, dan HAM; dan
f. Tersedianya program siaga dini pencegahan konflik umat beragama.
3. Peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, dengan sasaran tercapainya tingkat
kepuasan jamaah dalam berbagai bidang pelayanan dan pengelolaan dana haji untuk
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat, yang ditandai dengan:
a. Terwujudnya jemaah haji mandiri
b. Terwujudnya petugas profesional dan dedikatif
c. Terwujudnya standar pelayanan minimal pada seluruh komponen pelayanan haji
d. Terwujudnya sistem informasi yang handal
e. Terwujudnya dukungan manajemen yang menyeluruh dalam penyelenggaraan haji
f. Tersedianya peraturan perundang-undangan yang memadai
g. Meningkatnya pengelolaan dana haji.
Secara lebih spesifik gambaran mengenai pelayanan keagamaan tersebut tercermin
dalam 11 program prioritas Kementrian Agama, yang beberapa diantaranya pelaksanannya
menjadi tanggung-jawab Litbang Kemenag, yaitu:
1. Program Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
2. Program Bimbingan Masyarakat Islam (termasuk ke dalamnya pelayanan
penyelenggaraan pernikahan maupun pelaksanaan ziswaf, sebagai bentuk konkrit
bimbingan kepada masyarakat Islam dalam melaksanakan syariat Islam).
3. Program Bimbingan Masyarakat Kristen
4. Program Bimbingan Masyarakat Katolik
5. Program Bimbingan Masyarakat Hindu
6. Program Bimbingan Masyarakat Buddha
C. Telaah Pustaka
Terdapat sejumlah studi tentang wilayah perbatasan di Indonesia. Satu diantaranya
studi antropologis yang dilakukan Michael Eilenberg dan Reed L. Wadley (2009) terhadap
masyarakat Iban di Kalimantan Barat meyebutkan adanya kaitan erat antara migrasi lintas
batas etnis, identitas, dan kewarganegaraan, dan bagaimana hal-hal tersebut menimbulkan
isu-isu kontemporer yang berkaitan dengan politik dan ekonomi Indonesia. Perbatasan
sebagai tempat ambigu dimana berbagai orang dan gagasan bertemu menurutnya kerap
memunculkan timbulnya berbagai hal baru (tindakan tidak lazim bahkan ilegal) dan
terjadinya pertukaran sosial budaya yang sangat kompleks meskipun masing-masing Negara
telah berupa melakukan kontrol dan menerapkan sejumlah peraturan yang ketat. Karena itu
belajar dari kasus Iban ia menyarankan, studi-studi perbatasan perlu mendalami aspek historis
5
dan kultural berbagai aspek pengalaman warga di perbatasan yang menyebabkan munculnya
tindakan-tindakan tersebut. Temuan penting studi Eilenberg dan Wadley menunjukkan bahwa
orang-orang yang tinggal diperbatasan kerap terlibat secara terus-menerus dengan praktek
(illegal) yang melampaui batas teritorial Negara, sebagai upaya mereka untuk dapat
memenuhi kebutuhan ekonomi maupun sebagai konsekuensi logis interaksi sosial yang
terjadi. Terkait dengan hal tersebut maka aspek historis dan kultural di Kabupaten Nunukan
(terutama Pulau Sebatik) dan Tawau perlu dipahami secara benar dalam penelitian yang
dilakukan agar informasi yang diperoleh dapat dilekatkan pada konteks situasional dan
kesejarahan yang tepat.
Studi Eilenberg dan Wadley dikonfirmasi oleh Endang Rudiatin (2012) yang
melakukan studi tentang kegiatan ekonomi di Sebatik Tengah, tepatnya di Desa Aji Kuning.
Praktek-praktek tindakah ilegal bahkan seolah menjadi legal karena banyaknya
penyimpangan yang terjadi terutama terkait dengan pelanggaran kebijakan keluar masuk
orang dan barang di daerah perbatasan. Di Desa Aji Kuning yang merupakan intu gerbang
bagi seluruh daerah di pulai Sebatik menuju Sebatik Malasia dan Ke Tawau, warga dapat
keluar masuk tanpa retribusi. Akibatnya pergerakan barang dan orang sangat intens terjadi
diantaranya karena mudahnya pergerakan orang dan barang tersebut dilakukan. Berbagai
penyelundupan barang terjadi disini mulai dari barang-barang kebutuhan pokok (beberapa
diantaranya barang yang disubsidi oleh pemerintah Malaysia seperti gas, minyak goring, dan
gula sehingga pemerintah Malaysia sesungguhnya dirugikan karena subsidi Negara jatuh
kepada warga Negara lain)2, hasil perkebunan dan hutan seperti kayu gelondongan, hingga
barang terlarang seperti narkoba. Yang menarik, tindakan ilegal tersebut “didiamkan” baik
oleh petugas di Malaysia (Tawau) maupun di Indonesia (Desa Aji Kuning), karena kondisi
simbiosis mutualisme diantara warga di perbatasan tersebut. Pedagang Tawau membutuhkan
konsumen dari Indonesia untuk membeli barang mereka (untuk sembako) dan sebaliknya
penduduk Indonesia membutuhkan barang karena “ketidak-tersediaan” komoditi yang
dibutuhkan di daerahnya. Begitu pula dengan hasil perkebunan. Penduduk Tawau
membutuhkan komoditi dari Indonesia dan penduduk di Sebatik membutuhkan pasar untuk
menjual hasil kebun dan pertanian mereka. Perlindungan petugas karena faktor etnis juga
sangat jelas terlihat. Meski warga Negara Malaysia, penduduk Tawau umumnya berasal dari
etnis Bugis sebagaimana etnis dominan berada di Sebatik. 90% lebih Penduduk Sebatik
berasal dari Bugis yang membenttuk Kesatuan Kerukunan Sulawesi Selatan. Hal itu dapat
terjadi karena etnis Bugislah yang dapat diaktakan membuka dan membangun Pulau Sebatik
sejak tahun 1970, saat pulau itu masih merupakan pulau kosong tidak berpenghuni.
2 Pemenuhan kebutuhan pokok (sembako) warga di Sebatik hampir seluruhnya diperoleh dari Tawau karena kemudahan akses. Dengan Dompeng mesin atau perahu kecil bermesin, hanya diperluakan waktu 15-20 menit menuju Tawau. Bandingkan dengan pergerakan barang dari Indonesia yang berasal dari Surabaya (dibawa dengan kapal yang datang 2 pekan sekali dari Surabaya ke Tarakan). Perjalanan barang tersebut masih harus dilanjutkan dengan menempuh perjalanan laut dengan kapal kecil sejauh 3 (tiga) jam perjalanan menuju Sebatik (Pelabuhan Sungai Nyamuk).
6
Studi lain yang relevan adalah studi Pusat Penelitian Politik LIPI (P2LP) pada tahun
2013 di Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan. Berbagai persoalan di
perbatasan (kemiskinan, ketidak-mampuan pemerintah pusat dan daerah memenuhi
kebutuhan pokok warga, dan lain-lain), tak dapat dihindarkan memunculkan makna baru atas
kata nasionalisme. Seloroh warga bahwa Garuda di dadaku, ringgit di perutku; setidaknya
menunjukkan hal tersebut. Makna Nasionalisme tidak dapat dilepaskan dari konteks berbagai
latar-belakang persoalan tersebut. Nasiolisme dan makna keindonesiaan menurut studi ini
sangat terkait dengan pemenuhan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang
dirasakan warga.
Studi Moeldoko (2014) tentang Kebijakan dan Scenario Planning Pengelolaan
Kawasan Perbatasan di Indonesia (Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan) menemukan
fakta bahwa pengelolaan kawasan perbatasan sangat problematik dan kerap tidak efektif
sehingga kerap menimbulkan kesenjangan, disharmoni, kevakuman, ketidakkonsistenan,
serta ketidaktepatan perumusan kebijakan. Ketidak-efektifan implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh keragaman persepsi, koordinasi, lingkungan dan operasionalisasi yang
kurang terkonsolidasi. Setidaknya terdapat empat driving force yaitu pembangunan ekonomi,
politik, keamanan, dan kesejahteraan, dalam pengelolaan kawasan perbatasan guna
mendorong terjadinya perubahan di wilayah perbatasan.
Dari berbagai penelitian di atas, terlihat bahwa permasalahan di perbatasan
merupakan salah satu topik yang menarik untuk diteliti dari berbagai aspek mulai dari studi
antropologis, ekonomi, maupun studi kebijakan pertahanan dan keamanan. Beberapa studi
yang ada juga menunjukkan bahwa belum dilakukan studi terkait dengan kebijakan
pembangunan bidang agama yang menjadi tugas dan fungsi Kementerian Agama. Dalam
posisi inilah penelitian dilakukan, yaitu untuk mengadirkan data atau informasi terkait dengan
kebijakan maupun implementasi kebijakan pembangunan bidang agama di daerah perbatasan.
Gambar 1. Sembako dari Tawau
Gambar 2. Gas dari Tawau
Gambar 3. Dompeng Mesin
Gambar 1. Sembako dari Tawau
7
III. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN
Kabupaten Nunukan secara geografis terletak antara 115°33’ sampai dengan 118°3’
Bujur Timur dan 3°15'00” sampai dengan 4°24'55” Lintang Utara. Merupakan wilayah paling
utara Provinsi Kalimantan Utara, di sebelah utara berbatasan dengan Negara Malaysia Timur
(Sabah), sebelah Timur dengan Laut Sulawesi, sebelah selatan dengan Kabupaten Bulungan
dan Kabupaten Malinau, sedangkan sebelah Barat dengan Negara Malaysia Timur (Serawak).
Dengan kondisi topografi cukup bervariasi, Kabupaten Nunukan memiliki luas wilayah
14.247,50 km2 yang terdiri dari pulau-pulau (25 pulau).3 Tiga diantaranya cukup besar, yaitu
Pulau Nunukan dengan luas 23.190 km2, Pulau Sebatik 23.790 km2, dan Pulau Sebakung
dengan luas 17.220 km2;4 sementara sisanya merupakan pulau-pulau kecil dengan luas antara
enam ribu km2 hingga 1.500 km2, bahkan terdapat pula pulau dengan ukuran sangat kecil,
yaitu dengan luas kurang dari satu km2 (Pulau Tidong Salong Lumot, Pulau Pelanduk, Pulau
Tembalan) (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Nunukan, Kab. Nunukan Dalam
Angka, 2013).
Tabel 1. Luas Wilayah Kecamatan Kab. Nunukan
Sumber: Daerah Dalam Angka (DDA) 2013,
BPS Kabupaten Nunukan, data diolah.
Kabupaten Nunukan yang memiliki motto “Penekindidebaya" (Membangun Daerah,
berasal dari bahasa Tidung), berdiri sendiri menjadi Kabupaten pada 4 Oktober 1999. Dengan
pertimbangan luas wilayah, perlunya peningkatan pembangunan, serta peningkatan pelayanan
kepada masyarakat; daerah yang pada awalnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten
Bulungan (Kalimantan Utara) tersebut berdasarkan UU No. 47 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten
Kutai Barat dan Kota Bontang; ditetapkan sebagai Kabupaten pemekaran dari Kabupaten
3 Data lainnya menyebut 17. Perbedaan jumlah tersebut dimungkinkan adanya perbedaan penilaian atas pulau-pulau dengan ukuran sangat kecil dan kemungkinan tidak berpenghuni. 4 Data yang diperoleh sayangnya tidak mencantumkan jumlah penduduk untuk tiap pulau. Data yang tersedia
hanya menyandingkan jumlah penduduk dengan wilayah administratif (kecamatan).
No Kecamatan Luas Wilayah (km2)
1 Krayan 1.834,74
2 Krayan Selatan 1.757,66
3 Lumbis 290,23
4 Lumbis Ogong 3.357,01
5 Sembakung 2.042,66
6 Nunukan 564,50
7 Sei Menggaris 850,48
8 Nunukan Selatan 181,77
9 Sebuku 1.608,48
10 Tulin Onsoi 1.513,36
11 Sebatik 51,07
12 Sebatik Timur 39,17
13 Sebatik Tengah 47,71
14 Sebatik Utara 15,39
15 Sebatik Barat 93,27
Jumlah/Total 14.247,50
8
Bulungan bersama dengan Kabupaten Malinau. Pada awal pembentukannya hanya terdiri
dari 5 (lima) kecamatan (Lumbis, Sembakung, Nunukan, Sebatik, dan Krayan), Nunukan kini
terbagi menjadi 15 Kecamatan dan masuk menjadi bagian dari Provinsi Kalimantan Utara
(mulai tahun 2012) setelah pemekran Provinsi Kalimantan Timur menjadi Provinsi
Kalimantan Timur dan Utara.
Tabel 2 Kepadatan Penduduk, Sex Ratio, dan Distribusi Penduduk Kecamatan Tahun 2012
Kecamatan Jumlah
Penduduk
Kepadatan
Penduduk
Sex
Ratio
Distribusi
Penduduk
Krayan 7.321 3,99 116,41 4,48
Krayan Selatan 2.247 1,28 111,78 1,38
Lumbis 5.074 17,48 110,28 3,11
Lumbis Ogong 5.393 1,61 104,75 3,30
Sembakung 8.759 4,29 109,30 5,36
Nunukan 55.853 98,94 112,83 34,18
Sei Menggaris 8.216 9,66 126,02 5,03
Nunukan Selatan 16.273 89,53 119,94 9,96
Sebuku 10.759 6,69 121,24 6,58
Tulin Onsoi 7.076 4,63 135,79 4,33
Sebatik 4.455 87,23 116,79 2,73
Sebatik Timur 12.009 306,59 104,93 7,35
Sebatik Tengah 7.035 147,45 112,92 4,31
Sebatik Utara 5.417 351,98 104,03 3,32
Sebatik Barat 7.515 80,57 115,51 4,60
Jumlah 163.402
Sumber: Daerah Dalam Angka, BPS Kabupaten Nunukan, 2013
Sebagai daerah lintas batas, Nunukan memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup
tinggi dengan jumlah penduduk mencapai 163.402 jiwa (tabel 1) dengan distribusi penduduk
cenderung tidak merata. Penduduk umumnya berada di Pulau Nunukan sebagai pusat
pemerintahan (Ibukota Kabupaten) dengan rata-rata kepadatan penduduk mencapai 34,18
km2, sementara kepadatan penduduk di kecamatan lain di bawah 10 km2 (lihat tabel 2).
Sebelum kebijakan pengembangan wilayah dilakukan, penumpukan penduduk bahkan
terkonsentrasi secara ekstrim di Kecamatan Nunukan. Setelah kantor-kantor pemerintahan
dipindahkan ke Kecamatan Nunukan Selatan, barulah penduduk mulai terdistribusi ke selatan
(Kecamatan Nunukan Selatan dan Kecamatan Sebuku).
Dengan memperhatikan distribusi penduduk tersebut, tampak adanya kebutuhan
pelayanan yang berbeda antara satu kecamatan (pulau) dengan kecamatan (pulau) lainnya.
Kebutuhan layanan yang cukup tinggi berada di Kecamatan Nunukan, Nunukan Selatan,
Sebatik Timur, dan Sebuku; sementara kebutuhan layanan tidak terlalu tinggi terdapat pada
Kecamatan Krayan Selatan dan Sebatik (Induk). Hal ini berimplikasi pada perlunya
9
pengalokasian SDM aparatur birokrasi Kementrian Agama di Kab. Nunukan pada daerah-
daerah dimaksud, guna memenuhi kebutuhan yang ada.
Berdasarkan tingkat pendidikan, penduduk Nunukan umumnya memiliki tingkat
pendidikan relatif rendah. Menurut data BPS Kab. Nunukan, penduduk Nunukan yang
terbanyak tidak punya ijasah SD (46.583), diikuti dengan penduduk tamat SD berjumlah
30.645, tamat SLTP 23.314, tamat SLTA 22.077 dan sedikit saja yang dapat melanjutkan
pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi sebagaimana dapat dilihat pada table 3. Hal
tersebut sejalan dengan data Susenas tahun 2008 yang menunjukkan bahwa rata-rata lama
sekolah penduduk di Kab. Nunukan mencapat 7,42 tahun pada 2010 dan meningkat sedikit
saja menjadi 7,5 tahun pada 2012. Ini berarti bahwa rata-rata lama sekolah penduduk di
Nunukan hingga kelas 7 lebih lima bulan (SLTP kelas 1 menuju kelas 2)
Tabel 3 Penduduk Kab. Nunukan Usia 10 Tahun ke Atas
Menurut Pendidikan Terakhir yang Ditamatkan
(Tahun 2012)
Jenjang Pendidikan 2012
Tidak punya Ijasah SD 46.583
SD 30.645
SLTP 23.314
SLTA 22.077
Diploma 2.038
Sarjana 3.316
Sumber: http://nunukankab.bps.go.id, data diolah
Tingkat kesejahteraan masyarakat Nunukan juga belum terlalu baik. Kemampuan
daya beli masyarakat pada tahun 2012 berada pada kisaran Rp. 646.550,-, relatif tidak banyak
berubah dalam kurun waktu lima tahun kebelakang, yaitu Rp. 633.260,- pada tahun 2008.
Kemampuan daya beli tersebut menjadi lebih rendah mengingat harga-harga barang
konsumsi di Nunukan relatif lebih mahal dibanding dengan harga-harga konsumsi di Pulau
Jawa karena persoalan besarnya biaya distribusi barang.
Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat ini juga dapat dilihat dari
Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS). Penduduk miskin di Nunukan pada tahun
2011 relatif masih tinggi, yaitu mencapai mencapai 30 % atau 11.180 kepala keluarga, atau
54.404 jiwa (www.tribunnews.com). Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di
Kab. Nunukan ini selaras dengan Studi Sutaat (2006) di Sebatik Barat, yang mencoba
mendiagnosa permasalahan sosial di Sebatik Barat. Studi Sutaat menunjukkan bahwa
program pembangunan belum banyak menyentuh Sebatik Barat, yang menjadikan wilayah
tersebut jauh tertinggal dibanding wilayah lainnya. Akses penduduk pada pendidikan yang
lebih tinggi menurut masih sangat terbatas, yang disebabkan oleh problem keterbatasan
infrastruktur. Masalah-masalah kesejahteraan sosial seperti fakir miskin, perumahan tidak
layak huni, keterlantaran, dan keluarga rentan karenanya banyak terjadi, yang umumnya
bersumber dari kondisi ekonomi penduduk yang rendah, antara lain masalah.
Lalu apa pekerjaan utama penduduk Nunukan? Berdasarkan data Pemkab. Nunukan
tahun 2005, mayoritas penduduk Nunukan bekerja pada sektor pertambangan dan penggalian
(minyak dan gas bumi, terutama karena keberadaan PT Perkasa Equatorial Sembakung Ltd,
yaitu mencapai 62,44%), disusul dengan sektor pertanian (termasuk perikanan serta
perkebunan dan kehutanan yang mencapai 38,25%); serta perdagangan, hotel dan restoran
(9,65%). Jenis pekerjaan tersebut tidaklah sama untuk tiap kecamatan, karena untuk Pulau
10
Nunukan sebagian besar bekerja disektor perdagangan dan jasa yang ditandai dengan
banyaknya masyarakat yang berdagang bahan-bahan makanan dan kuliner (uniknya juga
terdapat sejumlah warga Negara Malaysia yang menetap dan berdagang di Pulau Nunukan);
sedangkan di Pulau Sebatik penduduk umumnya bekerja sebagai nelayan, selain mulai
berkembang usaha budi daya rumput laut dan peternakan sarang burung walet.
Sedangkan mengenai etnis yang tinggal di Kabupaten Nunukan, terdapat setidaknya
19 suku/etnis. Yang cukup dominan adalah suku Bugis (Bugis Bone, Bugis Wajo, Bugis
Makasar, Sinjai, dan Sopeng), suku Dayak (Dayak Tidung, Dayak Lun Dayeh, Dayak Sa’ban,
dan Punan), selain terdapat suku Jawa (yang terbanyak dari Jawa Timur), Madura, dan Timor
(NTT maupun NTB). Meski terdapat keragaman etnis, heterogenitas tidak terlihat di seluruh
pulau karena suku-suku tersebut umumnya mengelompok di pulau-pulau tertentu. Sebagai
contoh untuk Pulau Sebatik dan Pulau Nunukan etnis mayoritas adalah suku Bugis (mencapai
90% di Pulau Sebatik sementara di Pulau Nunukan mencapai 80%), sedangkan di Pulau
Krayan, Sebuku, dan Lumbis, umumnya dihuni oleh suku Dayak.
IV. Kehidupan Beragama dan Pelayanan Keagamaan di Kabupaten Nunukan
A. Kehidupan Beragama Masyarakat
Masyarakat Nunukan dikenal sebagai masyarakat yang religius meskipun perilaku
yang bertentangan dengan ajaran agama diakui masih tetap ada (Profil Kabupaten Nunukan,
2012). Dilihat dari agama yang dipeluk, penduduk Kabupaten Nunukan sebagian besar
beragama Islam. Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan mencatat, penduduk
Kabupaten Nunukan pada tahun 2012 berjumlah 163.123 jiwa, terdiri atas penduduk
beragama Islam 106.406 (65,6%.), Kristen 43.955 (27%), Katolik 11.506 (7%), Hindu 104
(0,06%), dan Buddha 152 (0,09%). Meski dalam catatan administratif Kantor Kementeria
Agama tidak tercatat ada pemeluk yang beragama Khonghucu, data yang diperoleh di
lapangan, yaitu informasi dari tokoh agama Buddha serta pengurus FKUB, terdapat pemeluk
agama Khonghucu meski jumlahnya tidak banyak. Keragaman enam agama itu juga terlihat
dari komposisi kepengurusan FKUB yang terdiri dari perwakilan enam agama.
Informasi penting lainnya, hampir tidak ditemukan penganut agama atau kepercayaan
lokal. Penduduk asli di Kabupaten Nunukan yaitu suku Dayak Tidung pada waktu lalu sering
melakukan upacara adat berupa pemberian semacam sesajen yang dilakukan oleh perorangan
dengan cara mengirim doa melalui pemberian sesajen hewan potong yang dilabuh di tengah
laut dan dekat dengan tempat tinggalnya (Sutaat, 2006). Namun sekarang tradisi itu sulit
ditemukan lagi, dan ketika menyebut suku (Dayak) Tidung sebagai penduduk asli di
Kecamatan Nunukan, hampir selalu identik dengan penganut agama Islam. Meski secara
umum Islam merupakan agama mayoritas dipeluk masyarakat Nunukan, tetapi ada wilayah
atau kecamatan tertentu yang mayorias beragama Kristen yaitu Kecamatan Lumbis dan
Kecamatan Krayan.
Jika saat ini kehidupan keagamaan terlihat dalam kondisi rukun, tentu bukanlah
sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Ada banyak usaha yang telah dan terus dilestarikan
untuk memelihara kerukunan misalnya melalui kearifan lokal. Salah satu kearifan lokal yang
masih terus berjalan adalah tradisi hajatan atau syukuran yang melibatkan semua unsur umat
beragama. Untuk itu ada tempat khusus memasak makanan bagi masyarakat muslim dan
masyarakat lainnya. Bahkan meski yang menyelenggarakan hajatan itu orang Kristen
misalnya, karena disadari tamu yang datang mayoritas Islam, maka yang memasakpun orang
Islam. FKUB Kabupaten Nunukan menjadi unsur yang cukup dominan untuk menciptakan
kerukunan. Salah satu kegiatan atual yang diadakan FKUB, yaitu pelaksanaan doa bersama
dengan melibatkan tokoh-tokoh agama dari seluruh agama yang ada, selain melibatkan partai
11
politik dan KPU sebagai penyelenggara. Kegiatan yang dilaksanakan apda 13 Maret 2014
lalu dilakukan mengingat sebelumnya sempat terjadi konflik kecil yang dipicu karena
kepentingan politik yang berbeda melakukan doa bersama mengadapi pemilihan umum
dengan dukungan dari Pemerintah Daerah khususnya Badan Kesatuan Bangsa dan Politik.
B. Institusi Pelayanan Keagamaan:
1. Kantor Kementrian Agama Kabupaten Nunukan
Kantor Kementerian Agama Nunukan baru memiliki gedung sendiri pada tahun 2006,
yang berlokasi di Jalan Ujang Dewa No. 163 Nunukan Selatan. Sebelumnya, pada
awal berdiri (tahun 2002), Kantor Kementerian Agama di Kabupaten Nunukan
menyewa gedung di Jalan Iskandar Muda Nunukan Barat hingga 2004 dan pindah ke
Jalan Sanusi Blok tiga pada tahun 2004 –2006.
Gambar 4. Kantor Kemenag Nunukan
Dalam menjalankan tupoksinya, Kepala Kantor Kementerian agama Kabupaten
Nunukan dibantu oleh tujuh seksi, yaitu Seksi Tata Usaha, Seksi URAIS dan Haji,
Seksi Pendis, Seksi Bimas, Seksi Penyelenggara Syariah, serta Seksi Penyelenggara
Kristen ( PMA No. 13 Tahun 2012) dengan total PNS berjumlah 84 pada tahun 2012
dan berkurang menjadi 83 pada tahun 2013. Berdasarkan golongan mayoritas (78
pada tahun 2012 dan 74 pada tahun 2013) berada pada Golongan III, sementara
golongan II hanya 4 orang (tahun 2012) dan 3 orang pada tahun 2013 sedangkan
golongan IV meningkat dari 2 orang (tahun 2012) menjadi 5 orang. Dari total jumlah
PNS tersebut, hanya terdapat 8 orang penyuluh agama (7 penyuluh agama Islam dan 1
penyuluh Kristen), satu orang penghulu (sudah mendapat SK) dan 2 orang calon
penghulu, serta terdapat 28 orang guru agama Islam serta 9 orang guru agama Kristen.
Berdasarkan tingkat pendidikan, PNS Kemenag Kab. Nunukan umumnya
berpendidikan tinggi (lulus S1), yaitu 79 orang pada tahun 2012 dan 77 orang pada
tahun 2013, sedangkan yang berpendidikan SLTA hanya 3 orang (tidak ada perbedaan
antara tahun 2012 dengan tahun 2013). Selain itu terdapat pula PNS dengan
pendidikan S2, yaitu satu orang pada tahun 2012 meningkat menjadi 2 orang pada
tahun 2013. Sedangkan berdasarkan usia, PNS Kemenag Kab. Nunukan yang berusia
40 tahun ke atas cukup banyak (38 orang pada tahun 2012 dan 40 orang pada tahun
2013), perlu mendapat perhatian terutama mempersiapkan penggantinya manakala
yang bersangkutan memasuki usia pensiun.
12
2. Kantor Urusan Agama (KUA)
Sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 517 Tahun 2001
tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, tugas KUA adalah
melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten dan Kota
dibidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan, dengan fungsi sebagai
berikut: (1) Menyelenggarakan statsistik dan dokumentasi, (2) Menyelenggarakan
surat menyurat, kearsipan, pengetikan, dan rumah tangga KUA Kecamatan; dan (3)
Melaksanakan pencatatan nikah, rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, wakaf,
baitul maal dan ibadah sosial, kependudukan dan pengembangan keluarga sakinah
sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tupoksi tersebut pelaksanaannya sedikit mengalami hambatan mengingat Kantor
Kementerian Agama Kab. Nunukan baru memiliki tujuh Kantor Urusan Agama
(KUA) yang melayani 15 Kecamatan yang ada (setelah pemekaran pada tahun 2012).
Dengan demikian terdapat satu KUA yang membawahi satu atau dua kecamatan
lainnya, yang menyebabkan upaya optimalisasi pemberian layanan belum dapat
dilakukan (lihat table 4).
Tabel 4 Daftar KUA di Kab. Nunukan dan Wilayah Kerjanya
No Domisili KUA Wilayah kerja (kecamatan) Jumlah PNS
1. Kecamatan Nunukan Nunukan, Nunukan Selatan, dan Sei Menggaris 5
2. Kecamatan Sebatik Barat Sebatik Barat 4
3. Kecamatan Sebatik/Sebatik Induk Sebatik Timur, Sebatik Utara, dan Sebatik tengah 5
4. Kecamatan Sebuku Sebuku 3
5. Kecamatan Sembakung Sembakung 2
6. Kecamatan Lumbis Lumbis 2
7. Kecamatan Krayan Krayan, Krayan Selatan 1
Sumber: Profil dan Data Kemenag Kabupaten Nunukan 2013
Terkait dengan hal tersebut, Kasie Bimas Islam berpandangan bahwa kondisi masih
bisa ditangani mengingat peristiwa pernikahan ditiap kecamatan tidaklah sama.
Sebagai contoh jumlah N di Krayan pada tahun 2013 hanya 3, yaitu satu kali pada
bulan Juni dan dua kali pada bulan Desember. Begitu pula peristiwa pernikahan yang
terjadi di Lumbis, pada tahun 2013 hanya ada 10 pernikahan, yaitu 3 pada Januari,
masing-masing satu pernikahan pada Maret April, serta November, dan dua kali pada
bulan Mei dan September. Adapun total jumlah pernikahan di Kabupaten Nunukan
pada tahun 2013, keseluruhannya berjumlah 1.140 dengan jumlah N terbanyak di
Kecamatan Nunukan (523 pernikahan),5 Sebatik Induk meliputi Sebatik Utara,
Tengah, dan Timur sejumlah 289, Sebatik Barat 89, Sebuku 154, Sembakung 72,
Lumbis 10, serta Krayan 3. Dengan demikian, meskipun terdapat satu KUA yang
membawahi dua, bahkan tiga kecamatan; beban kerja KUA tersebut menurutnya
masih dalam batas kewajaran. Meski demikian BIMAS Islam mengajukan
penambahan 5 (lima) KUA sejak dua tahun lalu guna mengatasi keadaan, namun
belum mendapat respon hingga kini.
5 Tingginya jumlah peristiwa nikah dipicu oleh adanya program pemerintah daerah yang menganggarkan dari APBD bantuan pendanaan untuk isbat nikah. Program yang digulirkan sebagai bentuk penunaian janji kampanye ini menyediakan bantuan pendanaan kepada 1500 pasangan, yang sudah dianggarkan pada tahun 2013 namun pelaksanaannya baru akan dilakukan pada tahun 2014 mengingat keterbatasan waktu. Pada tahun 2013 hanya berhasil dilakukan identifikasi warga yang membutuhkan bantuan untuk pelaksanaan isbat nikah.
13
Selain problem terbatasnya KUA, sebagai mana dapat dilihat pada tabel 4, jumlah
SDM birokrasi yang bertugas di KUA masih jauh dari kebutuhan. Hanya terdapat 1
(satu) orang penghulu (sudah memiliki SK) dan 2 (dua) orang calon penghulu di Kab.
Nunukan. Jumlah tersebut tentu sangat minim mengingat luasnya wilayah yang harus
dilayani dan jauh (serta sulitnya) menjangkau satu kecamatan dari kecamatan lainnya.
Jumlah SDM birokrasi juga sangat terbatas. Di Krayan bahkan hanya ada satu orang
PNS yang harus mengerjakan seluruh pekerjaan, selain juga melayani kebutuhan
layanan keagamaan Kecamatan Krayan Selatan. Kesenjangan pemenuhan kebutuhan
SDM akan makin dirasakan mengingat akses dari satu wilayah ke wilayah lain tidak
mudah dijangkau. Untuk menjangkau Krayan Selatan misalnya, petugas harus
menempuh perjalanan dengan berjalan kaki hingga 12 jam. Begitu pula dengan
prasarana yang tersedia. KUA Krayan Selatan dan Sebuku misalnya, belum masuk
listrik. Informasi dari Kantor Kabupaten hanya dapat dikirimkan melalui teleks ke
Kantor Kecamatan sehingga kerap mengalami keterlambatan.
Tabel 5 Jumlah Pemeluk Agama berdasarkan KUA Tahun 2012
No Domisili KUA Islam Kristen Katolik Hindu Budha Jumlah
1. Kecamatan Nunukan 56.695 16.784 4.500 104 152 78.235
2. Kecamatan Sebatik Barat 14.255 50 570 14.875
3. Kecamatan Sebatik 23.593 80 1.110 24.783
4. Kecamatan Sebuku 5.920 3.580 1.175 10.675
5. Kecamatan Sembakung 4.484 3.690 1.165 9.339
6. Kecamatan Lumbis 1.232 7.306 2.884 11.422
7. Kecamatan Krayan 227 12.465 102 12.794
JUMLAH 106.406 43.955 11.506 104 152 162.123
Untuk mengatasi kebutuhan tenaga penghulu, Kantor Kemenag Kab. Nunukan
mengambil kebijakan melakukan rekrutmen tenaga P3N. P3N pada awalnya diambil
dari tokoh agama serta imam masjid. Akan tetapi belakangan rekrutmen hanya dari
imam masjid, dengan pertimbangan para imam masjid mendapat dana insentif dari
Pemkab. Kebijakan tesebut “terpaksa” diambil untuk mengatasi persoalan tidak
tersedianya dana khusus dari anggaran Kementerian untuk upah/insentif mereka.
Pemenuhan kebutuhan pembiayaan (insentif) untuk P3N sebelumnya tidak menjadi
persoalan karena terdapat bantuan dana dari pemda untuk mereka. Akan tetapi setelah
adanya peringatan dari pemeriksa keuangan (BPK dan KPK) kepada pemda yang
menyatakan bahwa pemberian dana kepada instansi vertikal dapat dikategorikan
sebagai temuan penyimpangan keuangan (korupsi), sejak tahun 2012 bantuan tersebut
dihentikan. Sebagai solusi KUA diperkenankan oleh Kantor Kemenag menarik
pungutan dari calon pengantin, meski dengan catatan hanya dapat dilakukan untuk
pernikahan yang dilaksanakan di luar kantor dan di luar waktu kerja. Catatan n
lainnya, nominal pungutan tidak ditetapkan sebagai tarif akan tetapi atas dasar
kerelaan dari pihak pemberi (Wawancara dengan Bimas Islam, Drs. Muh. Tahir, 21
Maret 2014).
Berdasarkan observasi di lapangan, meski terdapat kebijakan larangan meminta
“bayaran” dalam pelayanan pernikahan dari Kantor Kemenag Kab. Nunukan
(larangan sayangnya tidak dalam bentuk tertulis), fakta dilapangan menunjukkan
adanya penetapan tarif atas layanan pernikahan. Di KUA Sebatik Timur misalnya,
biaya per-N ditetapkan sebesar Rp. 300.000 dengan perincian Rp. 150.000 untuk
transport/honor P3N, Rp. 30.000 disetor ke kas KUA, Rp. 50.000 untuk transport dua
orang saksi, dan Rp. 70.000 untuk honor pegawai honorer KUA. Biaya tersebut
diberikan catin (calon pengantin) pada saat datang ke KUA untuk mendaftar.
14
Tindakan menetapkan tarif tersebut tidak dapat dihindarkan mengingat tidak tersedia
anggaran untuk upah penghulu terutama yang direkrut dari unsur imam masjid (P3N),
sementara P3N dalam praktek beban kerjanya relatif sedikit saja lebih ringan
dibandingkan beban kerja penghulu (KUA). Karena hal tersebut kebijakan penetapan
tarif akhirnya diberlakukan dan selama ini menurut penuturan pihak KUA kebijakan
tersebut dapat diterima masyarakat (tidak ada keluhan berarti).
Problem lain yang dihadapi KUA sebagaimana diungkap Kabid Bimas Islam yang
pernah menjadi Kepala KUA di Krayan selama 5 (lima) tahun, terkait dengan wilayah
layanan yang cukup sulit dijangkau, terutama di Kecamatan Krayan yang wilayahnya
hanya bisa dijangkau dengan menggunakan pesawat terbang. Selain biaya tiket cukup
mahal (hampir satu setengah juta), juga harus menunggu lama untuk mendapatkan
tiket (sebulan sebelum keberangkatan). Problem lain biaya hidup di Krayan sangat
tinggi sementara tunjangan dan honor yang diterima petugas sama antara satu daerah
dengan daerah lain. “Kalau tidak benar-benar ingin mengabdi, tidak akan sanggup.
Medan sulit, orang Islam sedikit, sudah itu harga semua mahal. Kalau gula disini bisa
12 ribu atau lebih-lebih sedikit, disana bisa sampai Rp. 50.000. Begitu juga bahan-
bahan kebutuhan pokok yang lain. Padahal gaji kita sama...” Terkait hal itu ia
mengusulkan perlunya kebijakan khusus (termasuk soal anggaran) untuk
meningkatkan layanan keagamaan di daerah-daerah sulit (terpencil) seperti Krayan.
Terkait dengan kantor KUA, ketujuh KUA sudah memiliki kantor sendiri. Status
tanah umumnya bersumber dari hibah, kecuali KUA Kecamatan Nunukan yang status
tanahnya milik pemda dengan luas tanah yang paling kecil 600m2 (KUA Sembakung)
hingga yang paling luas, 10.000m2, seperti KUA Sebuku. Meski sudah memiliki
kantor sendiri, beberapa KUA merupakan bangunan tua. Sebagai contoh KUA
Nunukan dibangun pada tahun 1978, KUA Sembakung tahun 1982, KUA Lumbis
tahun 1984, dan KUA Krayan tahun 1999; hanya KUA Sebuku dan Sebatik Barat
yang relatif baru dibangun, yaitu tahun 2010 (Sebuku) dan tahun 2011 tahun 2011.
KUA Sebatik Timur yang terletak kira-kira 500m dari jalan utama, tepatnya di Jl.
Gembira RT13 Dusun Rawa Indah, Desa Bukit Aru Indah, Kecamatan Sebatik Timur;
meski dibangun tahun 2006; namun sesuai dengan nama dusun dimana KUA berada,
kantor KUA berada di tengah rawa. Jika hujan jalan di depan KUA becek berlumpur
tanah liat.
Gambar 5. KUA Sebatik Timur
Begitu pula dengan luas bangunan. KUA yang ada umumnya hanya memiliki luas
80m2 (KUA Nunukan, Sembakung, dan Lumbis), KUA Krayan sedikit lebih luas
yaitu 96m2, begitu pula dengan KUA Sebatik (120m2), KUA Sebuku 156m2, dan
15
sebatik Barat 156m2. Meski cukup luas, berdasarkan observasi di KUA Sebatik,
kondisi masih jauh dari ideal. Bagnunan terdiri dari Ruang kepala KUA, loket
pendaftaran (sekretariat), ruang bendahara merangkap ruang BP4, dan ruang staf yang
sekaligus digunakan untuk pelaksanaan akad nikah apabila pernikahan dilaksanakan
di kantor. Ruang untuk pelaksanaan akad nikah hanya dibatasi gorden, ketika tidak
digunakan untuk akad nikah, ruangan dibiarkan terbuka untuk staf.
C. Pelayanan Keagamaan di Nunukan
1. Perkawinan
Secara umum prosedur pernikahan di Kabupaten Nunukan tidak berbeda jauh berbeda
dengan prosedur yang umumnya dilakukan di KUA-KUA di daerah lain. Dimulai
dengan pemberitahuan dari calon pengantin kepada PPN yang mewilayahi tempat
akan dilangsungkannya akad nikah, sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum akad
nikah dilangsungkan. Pemberitahuan kehendak nikah tersesbut dilakukan dengan
mengisi form berisi data tentang nama kedua calon mempelai, hari dan tanggal
pelaksanaan akad nikah, data mahar/maskawin dan tempat pelaksanaan upacara akad
nikah (di Balai Nikah/Kantor atau di rumah calon mempelai, masjid gedung dll), yang
dapat dilakukan oleh calon mempelai, wali (orang tua) atau pihak yang mewakili
calon pengantin. Adapun sejumlah surat yang diperlukan sebagai persyaratan adalah:
foto copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) calon penganten (catin); surat pernyataan
belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai minimal
Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui RT, RW dan Lurah setempat; surat keterangan
untuk nikah dari kelurahan setempat (Model N1, N2, N4, diisi baik oleh calon suami
maupun calon istri, pas photo catin ukuran, serta surat talak/akta cerai dari Pengadilan
Agama jika satatus catin duda/janda, dan surat kematian jika duda/janda karena
pasangan meninggal dunia. Bagi catin laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun
atau catin perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun, serta laki-laki yang mau
berpoligami, harus ada izin/dispensasi dari Pengadilan Agama. Selain itu diperlukan
surat izin Orang Tua (Model N5) bagi catin yang umurnya kurang dari 21 tahun baik
catin laki-laki/perempuan.
Persoalan yang cukup mencolok dalam layanan pernikahan di Kabupaten Nunukan
terkait dengan problem administrasi kependudukan yang menyebabkan calon
pengantin tidak mampun memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan seperti
tidak mempunyai KTP, KTP sudah tidak berlaku, atau tidak dapat memperlihatkan
akta cerai untuk mengurus pernikahan karena pernikahan sebelumnya dilakukan
secara siri, tidak dapat menunjukkan bukti administratif bahwa catin berstatus
gadis/bujang. Kasus-kasus ini sangat banyak ditemui karena pernikahan siri masih
dijadikan sebagai pilihan oleh kebanyakan warga baik karena pemahanan agama yang
sempit maupun karena problem rendahnya pengetahuan dan kesadaran mengenai
pentingnya administrasi kependudukan. Sosialisasi mengenai pentingnya administrasi
kependudukan kepada masyarakat, tidak hanya menggunakan pendekatan
administratif akan tetapi juga melalui pendekatan agama dengan melibatkan pihak-
pihak yang relevan, karenanya menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan guna
mengurai masalah yang ada.catin
Problem lain terkait dengan permohonan layanan pernikahan antar Negara (WNI
dengan warga Negara Malaysia), yang pengadministrasiannya lebih rumit
(pemberkasan kembali N1 sampai dengan N4 harus melalui kantor konsulat di
Jakarta) serta biaya pemberkasan sangat mahal (bias mencapai 2 juta rupiah). Problem
semakin kompleks ketika catin baik dari WNI maupun warga Negara Malaysia
16
memiliki problem administrasi (tidak mempunyai paspor karena ditahan oleh majikan,
data/nama pada dokumen paspor berbeda dengan dokumen lainnya seperti KTP, dan
lain-lain). Jika tidak diantisipasi, mengingat kuantitas permohonan terus meningkat,
bagi catin yang tidak mampu memenuhi tuntutan administrative, dapat menstimuli
terjadinya pernikahan siri. Hal ini tentu harus dihindari, karena akan semakin
menambah panjang daftar pernikahan siri terjadi dimasyarakat.
Permohonan pelaksanaan pernikahan antara sesama WNI yang tinggal (bekerja) di
wilayah pelayanan Malaysia, juga menjadi persoalan lain yang banyak muncul.
Problem administrasi masih cukup menonjol terjadi terkait hal tersebut, baik berupa
kasus tidak punya kartu identitas (KTP/paspor) karena berbagai penyebab (hilang,
sudah tidak berlaku, diambil majikan, dan lain-lain), identitas yang berbeda-beda dan
ada pula yang palsu, selain persoalan tidak mempunyai surat nikah atau surat cerai
karena sebelumnya nikah siri, atau kasus berupa ketidak-mampuan menunjukkan
bukti bahwa status masih gadis/lajang. Ketidak-mampuan menunjukkan dokumen
pendukung tersebut berimplikasi pada penolakan permohonan oleh pihak terkait, yang
berimplikasi tidak dapat diselenggarakannya pernikahan. Terjadinya pernikahan siri
(nikah kampong untuk istilah yang biasa digunakan di Tawau) karena hal tersebut
tidak dapat dihindarikan yang dikemudian hari memunculkan aneka permasalahan
administratif lainnnya yang memberatkan catin.
Terkait hal tersebut diusulkan agar konsulat Indonesia di Tawau tidak hanya memberi
pelayanan berupa pengurusan paspor, akan tetapi juga memberikan pelayanan
pernikahan dengan menempatkan petugas pencatat pernikahan (P3N) mengingat
banyaknya peristiwa nikah antar warga Negara terjadi di daerah perbatasan di Kab.
Nunukan. Banyaknya pernikahan antara WNI dengan warga Negara Malaysia tersebut
terjadi karena mayoritas penduduk Tawau, meski telah menjadi Warga Negara
Malaysia, berasal dari etnis Bugis dan ada pula dari etnis Dayak Tidung.
Persoalan lain terkait dengan budaya penetapan mahar yang tinggi pada masyarakat
Bugis yang menjadi etnis mayoritas di Pulau Nunukan maupun Sebatik, yang muncul
sebagai kasus cukup aktual dengan muncul dalam kolom-kolom pemberitaan media
lokal. Hal tersebut senada dengan temuan studi Hederiya (2006) yang menunjukkan
bahwa faktor tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang relatif rendah, serta
pemahaman agama yang kurang; menjadi penyebab mengapa tradisi penetapan mahar
yang tinggi dalam perkawinan banyak dipraktekkan. Selain praktek penetapan mahar
yang tinggi, budaya mengadakan pesta pernikahan secara besar-besaran juga menjadi
kebiasaan lain yang cukup banyak terjadi. Akibatnya banyak terjadi kasus gagalnya
pernikahan diselenggarakan karena tidak tercapainya kesepakatan mengenai mahar
dan pembiayaan pelaksanaan pernikahan.
Kasus kurangnya buku nikah terutama karena peningkatan peristiwa nikah melalui
proses isbath nikah setelah program pemda digulirkan, juga terjadi diantaranya di
Sebatik Barat (wawancara dengan Kepala KUA Sebatik Barat pada 26 Maret 2014).
Selain itu terdapat pula kasus nikah di bawah umur karena pihak perempuan telah
hamil lebih dahulu.
Terkait hal tersebut, pemberian bimbingan persiapan pernikahan kepada
remaja/pemuda dalam memasuki gerbang pernikahan, merupakan bentuk layanan
yang perlu diperhatikan pemenuhannya. Bukan hanya berupa suscatin yang kerap kali
pelaksanaannya lebih mengedepankan aspek administratif (dilaksanakan menjelang
nikah), akan tetapi berupa bimbingan lebih substantif guna mempersiapkan para
pemuda memasuki jenjang pernikahan secara komprehensif (kesiapan pemahaman,
17
metnalitas, serta ekonomi). Pembekalan pernikahan tersebut perlu menajdi prioritas
mengingat piramida penduduk Kabupaten Nunukan merupakan piramida ekspansif,
yaitu didominasi penduduk usia muda (produktif) dengan tingkat kelahiran cukup
tinggi (Gambar 1), tampak adanya kebutuhan pelayanan keagamaan yang cukup
tinggi dari kelompok usia tersebut, seperti pelayanan persiapan (suscatin) dan
pelaksanaan pernikahan serta bimbingan agama kepada kelompok muda.
Gambar 6. Piramida Penduduk Kab. Nunukan Tahun 2013
Sumber: BPS Kabupaten Nunukan, 2013
2. Pelayanan Haji
Pelayanan pendaftaran haji di Kantor Kementerian Agama Nunukan dilaksanakan
oleh Kasi URAIS Haji dan Umrah setiap hari pada jam kerja, yaitu Senin – Kamis
jam 08.00–16.00 WITA dan Jum’at jam 08.00 – 16.30 WITA. Petugas yang khusus
melayani pendaftaran terdiri 2 orang, yaitu seksi pendaftaran dan operator siskohaj.
Prosedur pelayanan haji & umrah di Kantor Kementerian Agama Nunukan sama
dengan prosedur di daerah-daerah lain di Indonesia, yaitu sesuai dengan Peraturan
Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2010 tentang prosedur pendaftaran haji, yaitu sebagai
berikut:
1. Sebelum mendaftar ke Kantor Kemenag, calon jamaah harus membuka rekening
haji di bank yang telah ditunjuk pemerintah dengan dana setoran awal sebesar Rp.
25 juta
2. Jamaah mendaftar ke kankemenag dengan membawa persyaratan sbb: KTP, KK,
Surat keterangan sehat dari puskesmas, fotocopy ijazah/akte lahir/akte nikah, pas
photo, foto copy buku rekening.
3. Entri Data, foto dan scan sidik 10 jari
4. Calon jamaah mendapatkan SPPH (Surat Pendaftaran Pergi Haji)
5. Calon Jemaah haji kembali ke bank dengan membawa SPPH, Bank menyetor dana
pendaftaran haji ke rekening Haji kemenag RI.
6. Calon Jemaah haji kembali ke kankemenag dan mendapatkan daftar tunggu.
Problem pelayanan haji yang terjadi terkait dengan jauhnya lokasi tempat tinggal
calon dengan Kantor Kemenag, bahkan terdapat wilayah yang membutuhkan jarak
tempuh sangat jauh serta harus menggunakan pesawat untuk sampai ke Kantor
Kemenag. Meski pendaftaran dapat dilakukan secara online, belum semua daerah
(kecamatan) tersedia akses internet. Sebagai contoh Kecamatan Krayan bahkan belum
masuk listrik. Kalaupun terdapat akses internet, seringnya terjadi pemadaman listrik
18
menjadi kendala yang cukup serius sehingga pendaftaran secara online tidak selalu
dapat dilakukan.
Untuk membantu jama’ah haji, Kantor Kemenag menetapkan agar jama’ah haji yang
temapt tinggalnya di luar Pulau Nunukan, sebelum datang mendaftar ke Kantor
Kementerin Agama terlebih dahulu diharuskan datang ke KUA untuk mendapatkan
informasi dan bimbingan langsung pemberkasan pendaftaran haji. Jika berkas calon
jama’ah haji dinyatakan telah lengkap, barulah pihak KUA menghubungi petugas di
Kantor Kemenag untuk menanyakan kesiapan waktu pendaftaran, baik dengan sistem
online maupun offline. Apabila petugas di Kemenag Kab. Nunukan menyatakan siap,
barulah calon jamaah diminta datang Kantor Kemenag untuk mendaftar, sehingga
calon jama’ah tidak perlu bolak-balik karena persoalan persyaratan yang tidak
lengkap (wawancara dengan Kasi Haji dan Umroh Kemenag Kab. Nunukan pada 21
Maret 2014).
Permasalahan lain yang banyak ditemui, terkait dengan perbedaan nama calon
jama’ah pada dokumen identitas (Paspor, KTP, dan buku nikah). Perbedaan nama
calon di paspor dengan nama di KTP yang paling menyolok terjadi bukan karena
kesalahan administrasi, akan tetapi karena calon jama’ah haji yang juga bekerja
sebagai TKI di Tawau, Malaysia; pada saat pergantian paspor menukar namanya
dengan nama lain agar dapat terus bekerja. Hal tersebut dilakukan karena adanya
aturan pemerintah Malaysia bahwa TKI hanya boleh bekerja di Malaysia selama-
lamanya lima tahun, sementara para TKI ada kebutuhan untuk terus bekerja mencari
nafkah selain bahwa Pergantian nama ini kerap kali dilakukan atas sepengetahuan
(saran) majikan yang masih menginginkan TKI tersebut bekerja di temaptnya, namun
menjadi persoalan serius ketika yang bersangkutan hendak menunaikan ibadah haji.
Untuk mengatasi permasalahan yang jumlahnya cukup banyak tersebut, pihak KUA
mengingatkan calon haji yang mempunyai banyak nama untuk mengingat nama yang
harus digunakan dalam pengurusan haji (sesuai dengan dokumen yang masih berlaku
yang dimiliki calon jama’ah): “Nanti, kalau bapak/ibu ditanya nama, sebut nama yang
sesuai di buku tabungan bapak/ibu ya?” Upaya lain dilakukan oleh Camat Sebatik,
yang sbelum kebijakan pemberlakuan E-KTP mengeluarkan kebijakan pembuatan
KTP khusus untuk haji. KTP digunakan untuk membuka rekening tabungan haji,
pendaftaran haji, dan pembuatan paspor. Setelah haji ditunaikan KTP tidak berlaku
lagi. Akan tetapi bagi mereka yang mendaftar secara online, kebijakan tersebut
tentunya tidak dapat dilakukan. Selain itu setelah pemberlakuan E-KTP, kebijakan
KTP khusus untuk haji tidak lagi dilakukan.
Selain persoalan perbedaan nama di paspor karena alasan seperti dijelaskan,
perbedaan identitas (nama) karena kesalahan administrasi juga banyak ditemui.
Diantaranya berupa perbedaan nama di KTP dengan paspor yang disebabkan faktor
pendidikan calon jama’ah haji, rendahnya pengetahuan dan kesadaran mengenai
administrasi kependudukan, dan lain-lain.
Problem lain yang juga terjadi, terkait dengan ditahannya paspor calon jama’ah haji
oleh majikan. Kasus penahanan paspor oleh majikan banyak terjadi sebagai cara
majikan untuk “memaksa” TKI agar tidak menentang atau tidak melakukan sesuatu
yang tidak diinginkan majikan seperti melarikan diri, mengadu kepada pihak
kepolisian atau petugas, dan lain-lain. Persoalan ini biasanya diatasi dengan membuat
19
kembali paspor, meski calon jama’ah haji terpaksa mengeluarkan biaya tambahan
karena hal tersebut.
3. Pelayanan Agama Islam
Pelaksanan kegiatan pembinaan ke-Islaman umat juga masih belum maksimal karena
terkendala minimnya tenaga penyuluh agama yang ada, yaitu hanya terdapat 7 orang.
Akibatnya kebutuhan bimbingan agama belum sepenuhnya dapat dilakukan dan baru
terbatas pada bimbingan pada kegiatan-kegiatan seremonial (pelaksanaan hari besar
Islam).
Bimbingan kepada kelompok muda sebagai kelompok usia terbesar di Kab. Nunukan,
perlu mendapatkan prioritas. Fenomena banyaknya anak muda terjerat kasus narkoba
di Kab. Nunukan sebagaimana disampaikan pihak Kasatreskrim, perlu mendapat
perhatian Kantor Kemenag. Sebagai daerah perlintasan yang menyebabkan lalu lintas
barang baik yang legal maupun ilegal sangat tinggi. Salah satunya narkoba, yang
bukan lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi (melalui jalur tikus), akan tetapi
melalui jalur yang sangat terbuka, sebagaimana diungkap dalam kegiatan FGD oleh
salah seorang informan yang menyebutkan bahwa narkoba di Nunukan
didistribusikan lewat “jalur gajah” saking terbukanya. Persoalan kemiskinan
menyebab praktek jual-beli narkoba menjadi problem cukup serius di Kab. Nunukan.
Kasus-kasus peredaran narkoba yang ditemui mengindikasikan hal tersebut, dengan
ditemuinya kasus-kasus keterlibatan perempuan dan remaja dalam transaksi narkoba.
Pemberian bimbingin keagamaan kepada pemuda dalam upaya membentengi mereka
dari serbuan budaya kota yang merusak (minum-minuman keras, pergaulan bebas),
juga merupakan bentuk bimbingan keagamaan lainnnya yang dapat dilakukan. Makin
meningkatnya kehidupan malam di Nunukan (di Sebatik biasa terjadi ditempat-tempat
karaoke), membutuhkan keterlibatan Kementrian Agama dalam menanggulanginya.
Sebagai gambaran pada tahun 2013 terdapat kasus cukup banyak menyangkut kasus
anak berurusan dengan hokum (41 kasus), baik berupa kasus narkoba, pencurian,
pelecehan seksual, dan lain-lain; dimana anak-anak tidak hanya menjadi korban, akan
tetapi juga sebagai pelaku.
Kebutuhan pembinaan ke-Islaman yang lain disampaikan oleh Kasatreskrim, Polres
Nunukan; yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan tenaga pembina keagamaan
kepada tahanan yang berjumlah hampir 300 orang. Pembinaan agama ini penting
sebagai bagian dari proses rehabilitasi, melengkapi pendekatan hukuman (efek jera)
yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan serta pembinaan ketrampilan. Lebih dari
itu pembinaan keagamaan bahkan dinilai oleh mereka lebih efektif dalam merecovery
mental para narapidana, dan karenanya sangat diharapka dapat dilakukan kerjasama
terkait hal tersebut dengan pihak Kementrian Agama. Untuk pembinaan agama
Kristen selama ini sudah berjalan, meskipun tidak melalui jalur Kementrian Agama
Kabupaten Nunukan akan tetapi melalui gereja.
4. Pelayanan Agama Kristen
Umat Kristen di Kabupaten Nunukan tercatat sebanyak 43.955 jiwa atau sekitar 27%
dari seluruh penduduk Kabupaten Nunukan. Meski umat Kristen ini hampir ada di
seluruh kecamatan, tetapi terkonsentrasi di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Lumbis dan
Kecamatan Krayan. Di dua kecamatan tersebut agama Kristen merupakan agama
mayoritas penduduk.
20
Sesuai dengan tipologi Kantor Kementerian Agama tingkat kabupaten yaitu IIIB,
pemberian pelayanan agamaterhadap umat Kristen hanya dilakukan oleh pejabat
Penyelenggara Kristen, yaitu Marjusrina Jon, S. PAK. Tugas Penyelenggara Kristen
adalah melakukan pelayanan dan bimbingan di bidang kurikulum, ketenagaan, sarana
kelembagaan, ketata-usahaan serta supervisi dan evaluasi pada pendidikan agama
Kristen pada sekolah umum tingkat dasar dan menengah serta sekolah luar biasa (lihat
Profil dan Data Kemenag Kabupaten Nunukan, 2013).
Dilihat dari tugas pokok tersebut, Penyelenggara Kristen lebih terfokus di bidang
pendidikan. Sementara untuk kehidupan beragama umat Kristen pada umumnya
relatif kurang. Lebih dari itu, kurangnya pelayanan terhadap umat Kristen juga terjadi
karena tidak ada staf yang membantu tugas Penyelenggara Kristen. Karna itu tidaklah
berlebihan ketika Penyelenggara Kristen mengatakan bahwa pelayanan untuk umat
Kristen belum maksimal. Misalnya, Penyelenggara Kristen belum punya data tentang
berapa jumlah induk organisasi gerja yang terdaftar. Menurut Bu Rina ada sekitar 27
induk organisasi Kristen. Namun demikian, tidak ada data yang pasti. Tidak ada
mekanisme yang ketat yang mengharuskan setiap induk organisasi gereja mendaftar
di Kementerian Agama. Menurut Bu Rina, salah satu hal yang terjadi adalah karena
masyarakat tidak/belum memahami tentang eksistensi Kementerian Agama. Dalam
hal penyebutan nomenklatur saja misalnya, belum banyak tahu bahwa sekarang sudah
berubah menjadi Kementerian Agama. Umat masih enyebut Departemen Agama.
Bagi umat Kristen, eksistensi Kementerian Agama tampaknya belum banyak dikenal.
”Mereka menyangka bahwa tugas Kementerian Agama itu hanya terkait dengan:
nikah, haji, dan doa. Karena itulah mereka tidak paham harus mendaftar dsb. Untuk
tertib administrasi, kami telah membuat chek list yang dikirimkan ke gereja-gereja.
Chek list itu berisi daftar syarat adminsitratif yang harus dipenuhi jika sebuah gereja
ingin mendaftarkan ke Kemenag”(Wawancara dengan Penyelenggara Kristen, 21
Maret 2014).
Sampai saat ini induk gereja yang secara administratif sudah terdaftar di Kantor
Kementerian Agama ada 19 gereja. Sebagian besar gereja itu mengajukan surat
keterangan terdaftar dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
bantuan dari Pemerindah Daerah Kabupaten Nunukan (bagian Kesra). Sebagian kecil
memang mendaftarkan sebagai respon atas chek list yang disampaikan Kementerian
Agama melalui Penyelenggara Kristen.
5. Pelayanan Agama Katholik
Umat beragama Katholik di Kabupaten Nunukan berjumlah 11.506 atau sekitar 7%
dari seluruh penduduk Kabupaten Nunukan. Namun demikian, data itu tidak selalu
selaras dengan data yang dimiliki gereja Katolik. Kesulitan mendata umat Katolik
antara lain karena mereka mayoritas pendatang dari Nusa Tenggara Timur dan hanya
beberapa bulan saja di Nunukan untuk kemudian berangkat ke Tawau atau Kinibalu.
Pada tahun 2013 gereja mendata sekitar 7.000 – 8.000 jemaat.
Pusat pelayanan umat Katolik terletak di Gereja Katolik yang beralamat di Jalan
Tawakkal Nunukan. Gereja tersebut berada di bawah Yayasan Mardi Wiyata yang
sekaligus mengelola Sekolah Menengah Pertama Katolik Frateran Santo Gabriel,
dengan Sekolah Menengah Atas Katolik Frateran Santo Gabriel. Untuk melayani
gereja, beberapa orang Pastor di gereja itu antara lain Pastor Antonio Razzolli
seorang berkebangsaan Itali yang sudah bertahun-tahun mengabdi di gereja.
21
Persoalan besar yang dihadapi terkait dengan pelayanan terhadap umat Katolik adalah
masalah perkawinan. Sebagian masyarakat Katolik lebih mengutamakan hokum adat
ketika menikah, sehingga hokum gereja dan aturan pemerintah dianggap bukan yang
utama. Mereka menikah di kampong halamannya yaitu di NTT atau di Tanah Toraja,
tanpa surat pengesahan dari gereja. Mereka kemudian merantau ke Nunukan dan
sebagian ada yang melanjutkan ke Tawau atau Sabah. Mereka baru merasakan
pentingnya punya akta nikah ketika anak-anak mau sekolah atau pengurusan
administrasi lainnya. Karenaitu pembinaan yang dilakukan gereja saat ini lebih
difokuskan pada generasi muda, anak usia dini. Beberapa kelompok binaan itu
tergabung dalam Remaka (Remaja Katolik), OMK (Orang Muda Katolik), dan WK
(Wanita Katolik).
Struktur Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan belum bisa mengakomodir
pejabat yang melayani umat Katolik. Sejauh ini hanya ada satu Penyuluh Agama
Katolik (David) yang berstatus Pegawan Negeri. Penyuluh inilah yang seringkali
menjadi mediator antara Kementerian Agama dengan pimpinan gereja Katolik
maupun umat secara umum. Dalam tugas kesehariannya, secara administrtatif
penyuluh agama Katolik ini bertanggung jawab terhadap Kepala Kantor Kementerian
Agama Kabupaten Nunukan. Untuk ruang kerjanya, David diberi meja staf yang ada
diruangan Penyelenggara Kristen. Penyelenggara Kristen yang memang tidak punya
staf sering kali meminta bantuan ke David untuk menyelesaikan beberapa keiatannya.
6. Pelayanan Umat Hindu, Buddha dan Khonghucu
Secara struktural ketiga komunitas agama itu tidak tercantum dalam tugas dan fungsi
Kementerian Agama. Dengan kata lain tidak terdapat pejabat Kementerian Agama
Kabupaten Nunukan yang secara khusus menangani umat beragama tersebut. Namun
demikian, bukan berarti tidak ada umatnya. Dalam kepengurusan FKUB periode 2013
– 2016 tercantum nama I Made Wirama, S.Pd. (Hindu), Hardani S. Ag. (Buddha),
dan Susanto (Khonghucu). Dengan demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa FKUB
menjadi penampung aspirasi umat beragama tanpa memandang jumlah umat tersebut.
Ketiga komunitas agama itu terkonsentrasi di Kecamatan Nunukan sebagai ibu kota,
sementara hanya sebagian kecil saja berada di Kecamatan lain,
Umat Hindu di Kecamatan Nunukan berjumlah 65 orang terdiri atas 29 perempuan
dan 36 laki-laki. Perbedaan jumlah umat Hindu antara laki-laki dan perempuan terjadi
karena banyak umat Hindu yang datang ke Nunukan dalam rangka tugas dan datang
sendiri tanpa keluarganya. Beberapa pejabat di Kabupaten Nunukan ini beragama
Hindu antara lain Kepala Kantor Imigrasi, Kepala Bea Cukai, Polres, Biro Pusat
Statistik dll. Dengan demikian, umat Hindu disini meski sedikit termasuk kelompok
masyarakat menengah dan berada di lingkungan birokrat.
Terkait dengan kebutuhan akan rumah ibadat, tokoh agama Hindu mengatakan:
Kami punya prinsip membuat jauh lebih mudah daripada memelihara. Karena itu
sampai saat ini kami belum punya pura. Umat Hindu disini juga banyak yang tidak
menetap. Kebanyakan dari mereka adalah pegawai atau pejabat yang ditugaskan
sehingga ketika masa tugas selesai, mereka pun meninggalkan Nunukan. Karena itu
pernah kami mengajukan permohonan pendirian rumah ibadat. Sudah disusun
panitia pendirian rumah ibadat, tapi beberapa orang yang tercantum dalam susunan
panitia itu pindah. Kami akhirnya ragu untuk mengajukan itu.
Dalam menjalankan ajaran agama, kami berpegang pada prinsip: desa, kala, dan
patra. Desa adalah tempat, jadi kami selalu menyesuaikan dengan tempat dimana
22
kami berada. Kemudian kala adalah waktu, artinya kami dalam merantau berhitung
waktu. Kemudian patra yaitu keadaan. Apapun yang kami lakukan, harus tergantung
pada kondisi desa, kala, dan patra (Wawancara dengan I Made Wirama, S. Pd, 29
Maret 2014).
Umat Buddha di Kabupaten Nunukan didominasi oleh kaum muda. Menurut
penuturan seorang tokoh agama Buddha (Hardani, etnis Jawa), sebelum terbitnya
peraturan terkait pelayanan agama Khonghucu tahun 2006, penganut agama Buddha
diperkirakan antara 80 sampai 90 Kepala Keluarga. Tapi sekarang hanya berkisar 40
sampai 50 Kepala Keluarga, Selebihnya menyatakan sebagai penganut Khoghucu
khususnya dari kelompok tua yang masih memegang teguh tradisi Tionghoa. Hardani
melihat bahwa Khonghucu lebih identik dengan budaya Tionghoa daripada
dipandang sebagai agama. Ada semacam prinsip bahwa penganut Khonghucu pasti
keturunan Tionghoa, Tetapi tidak semua keturunan Tionghoa beragama Khonghucu
karena ada juga yang beragama Buddha. Dengan kata lain penganut agama Buddha
lebih heterogen karena ada yang berasal dari etnis Tiongoa, ada juga dari etnis Jawa.
Meski umat Khonghucu tidak terlalu banyak jumlahnya, mereka mengaku telah
memiliki bangunan untuk beribadat yang cukup megah dan terpampang di depannya
tulisan: “Rumah Ibadah Tri Dharma, San Kong Nunukan”. Di dinding bagian depan
rumah ibadat itu tertulis semacam prasasti: Telah diresmikan Kelenteng Tri Dharma
San Sen Kong, pada hari Minggu, tanggal 9 Maret 2008, oleh Bupati Nunukan H.
Abdul Hafid Achmad.
Tampaknya potensi perdebatan dan konflik yang terjadi di beberapa daeah di
Indonesia terkait perbedaan pemaknaan rumah ibadat untuk umat Buddha dan
Khonghucu juga terdapat di Kabupaten Nunukan. Jika dilihat dari istilah Tri Dharma,
maka semestinya rumah ibadat itu bisa digunakan oleh umat Buddha juga
Khonghucu, dan Tao jika memang ada pengautnya. Tapi di sisi lain juga disebut
kelenteng yang identik dengan umat Khonghucu. Tidak mau terlibat dalam konflik
berkepanjangan, umat Buddha sudah menyediakan tanah yang rencananya akan
didirikan vihara. Sementera untuk saat ini umat Buddha beribadat di gedung serba
guna yang ada di lingkungan kelenteng dengan menyewa sebuah ruangan di lantai 2.
D. Lembaga Mitra Pelayanan Keagamaan
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Kantor Kementerian Agama di Kabupaten
Nunukan tidak bekerja sendiri. Kompleksnya permasalahan yang dihadapi serta terbatasnya
sumber daya manusia maupun sumber daya finansial yang dimiliki sebagaimana diuraikan di
atas, menjadi titik tolak pentingnya menjalin kerjasama dengan berbagai mitra baik dari
kalangan pemerintah maupun lembaga non pemerintah termasuk organisasi kemasyarakatan
bercirikan agama.
Terdapat beberapa lembaga yang telah menjalin kejasama dengan Kantor
Kementerian Agama, yaitu sebagai berikut:
1. Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB)
Dasar pembentukan FKUB adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan
Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan Bersama
itu disahkan tanggal 21 Maret 2006. Tidak lama setelah Peraturan Bersama itu
disahkan, tokoh masyarakat setempat didampingi beberapa segera mendirikan FKUB
pada akhir tahun 2006. Sampai saat ini FKUB tetap eksis dan perannya dirasakan
23
efektif bagi peningkatan kerukunan umat beragama. Di samping itu bagi penganut
agama lain yang secara kelembagaan tidak tercakup dalam struktur Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Nunukan, maka FKUB dapat dijadikan media untuk
menyalrkan aspirasinya. Hal itu diakui oleh tokoh agama Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Khonghucu bahwa FKUB merupakan sarana mereka menyalurkan
aspirasinya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Peraturan Bersama tersebut bahwa komposisi
keanggotaan FKUB ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama
setempat dgn keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yg ada. Karena
itu FKUB telah berhasil menyatukan tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Khonghucu. Secara berkala FKUB melakukan pertemuan baik ketika
ada masalah maupun dianggap tidak ada masalah. Inilah kelebihan FKUB karena bisa
merangkul semua kelompok agama bahkan yang secara struktural kelompok agama
yang tidak terwakili di Kementerian Agama yaitu Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Kelancaran kegiatan FKUB juga didukung oleh perhatian dari Pemerintah terkait
dengan pendanaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Bersama Pasal 26
bahwa anggaran FKUB di kabupaten/kota didanai dari dan atas beban Anggaran
Pendapatan Daerah setempat. Untuk itu secara rutin Bupati Nunukan menyiapkan
anggaran untuk FKUB. Pada tahun 2013 anggaran FKUB antara lain diberikan dalam
bentuk pemberian honor 17 orang pengurus FKUB yang jumlah keseluruhan Rp.
41.000.000,- (Lihat Keputusan Bupati Nunukan Nomor 188.45/56/II/2013 tentang
Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Nunukan Periode tahun
2013 – 2016).
2. Pemerintah Daerah Kabupaten Nunukan.
Bagian Kesejahteraan Rakyat yang berada di bawah Sekda, dalam hal ini Sub Bagian
Keagamaan, merupakan mitra utama Kementrian Agama Kab. Nunukan yang banyak
memberikan support. Dukungan utama berupa pemberian bantuan pembangunan
rumah ibadah, baik pembangunan masjid, gereja, bahkan klenteng. Sebagai contoh
pada tahun 2013 Pemkab. Nunukan memberikan bantuan pembangunan rumah ibadah
kepada 26 masjid, 38 gereja, 2 musholla, 1 klenteng, 9 TPA (total 76 paket bantuan).
Nominal bervariasi, dari kisaran 5 juta hingga lebih dari nominal tersebut. Bantuan
pembangunan rumah ibadah ini kontinyu dilakukan, karena sekaligus merupakan
program unggulan bupati terpilih yang dikenal dengan 14 program Gerbang Emas
Kabupaten Nunukan (program ke-enam).
Selain bantuan pembiayaan (anggaran) bagi pembangunan rumah ibadah, bantuan lain
yang diberikan Pemkab. Nunukan berupa pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan
isbat nikah kepada 1500 pasangan catin.
Gambar 8. Klenteng San Sen Kong Gambar 7. Salah satu gereja dipusat kota
Nunukan
24
Disdukcapil merupkan institusi OPD (organisasi Perangkat Daerah) yang perlu
diperhatikan untuk dijadikan sebagai mitra mengingat banyaknya problem
kependudukan yang dihadapi dalam pelayanan keagamaan yang dilakukan Kemenag
Kab. Nunukan. Badan pemberdayaan perempuan dan anak terutama dalam konteks
melindungi moralitas perempuan dan anak, merupakan OPD lain yang relevan.
3. Badan Pertanahan Nasional
Sertifikasi tanah wakaf merupakan salah satu program penting yag bisa diperankan
oleh Badan Pertanahan Nasional ini. Menurut penuturan Kepala Kantor Kementerian
Agama Kabupaten Nunukan, program sertifikasi tanah wakaf belum berjalan
memadai meskipun Kementerian Agama sudah mengajukan persyaratan administratif.
Tampaknya perlu ada kesempatan untuk duduk bersama antara pejabat Kementerian
Agama dengan pejabat di Lingkungan Badan Petanahan Nasional sehingga diketahui
problem dan solusinya.
4. Pengadilan Agama
Banyaknya kasus pernikahan tidak tercatat di Kabupaten Nunukan mengharuskan
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan untuk bekerja sama dengan
Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya, terutama terkait dengan pelaksanaan
isbat nikah. Penyelesaian permasalahan tersebut menjadi kebutuhan mendesak warga
mengingat implikasinya yang luas kepada kehidupan warga seperti pengurusan paspor
(mengingat banyaknya warga yang menjadi TKI) dan pengurusan akte kelahiran anak
baik untuk mendapatkan bantuan pendidikan maupun kesehatan atau sekedar untuk
memasuki dunia pendidikan dan lain-lain. Hal ini terindikasi dari animo masyarakat
yang cukup tinggi merespon program pemerintah daerah yang memberikan bantuan
pendanaan untuk penyelenggaraan isbat nikah kepada 1500 pasangan. Data di KUA
Nunukan setidaknya menunjukkan hal tersebut. Terjadi lonjakan permohonan isbat
nikah di Kecamatan Nunukan. Pada tahun 2014 ini, hingga bulan Maret terdaftar
permohonan isbat nikah yang diajukan oleh 314 pasangan dan pada tahun 2013
(ketika program digulirkan oleh pemda), yaitu sebanyak 163. Bandingkan dengan
permohonan isbat nikah pada tahun sebelumnya (sebelum ada program bantuan dana
dari pemda), yang hanya berjumlah 57 permohonan.
5. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Pencatatan perkawinan bagi pemeluk agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha , dan
Khonghucu menjadi bagian penting yang bisa dilakukan oleh Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil. Terkait dengan penyebutan identitas agama dalam KTP sejauh ini
telah sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminisrasi
Kependudukan. Tidak ada KTP yang identitas agamnya dikosongkan (-) karena tidak
ada masyarakat yang mengaku beragama lain selain 6 agama yang disebut dalam UU
itu.
6. Kantor Imigrasi Kabupaten Nunukan
Mobilitas masyarakat di daerah perbatasan yang seringkali mengaburkan idntitas
administratif, misalnya karena KTP ganda, menjadi hal yang mengharuskan adanya
kerjasama antara Kantor Kementerian Agama dengan Kantor Imigrasi di Kabupaten
Nunukan. Pelayanan haji merupakan hal utama yang memerlukan kerjasama antara
Kantor Imigrasi dengan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Nunukan.
25
Di luar lembaga tersebut terdapat sejumlah lembaga berafiliasi agama maupun tidak,
secara langsung maupun tidak langsung ikut berperan melaksanakan tugas dan fungsi
Kementerian Agama di Kabupaten Nunukan. Lembaga dimaksud adalah Al-Khoirot,
Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah, Pusat Penanganan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A), Kepolisian (dalam hal ini dengan Kasatreskrim), ormas
perempuan seperti Aisyiah, Fatayat, Muslimat, dan Gabungan Organisasi Wanita. Dengan
P2TP2A dan Kasatreskrim Kantor Kementerian Agama Kab. Nunukan perlu bekerjasama
mengingat kedua lembaga tersebut ikut menangani permasalahan kasus pernikahan terutama
pada kasus kriminalitas dalam pernikahan (KDRT, ditinggal suami tanpa kabar dan
pemberian nafkah untuk kurun waktu yang lama, pernikahan di bawah umur, praktek
poligami yang tidak sesuai dengan hukum, dan lain-lain).
Sebagai contoh P2TP2A pada tahun 2012 pernah menangani kasus KDRT yang
dialami seorang PNS di Kantor Imigrasi, seadngkan pada tahun 2013 menangani kasus
KDRT yang dilakukan seorang ayah kepada istri dan 12 anaknya yang seluruhnya perempuan
hingga sang anak hamil. Kasus tersebut berbuntut panjang dan melibatkan banyak pihak
seperti kepolisian dan Dinas Sosial, hingga akhirnya korban berhasil dipulangkan ke
Sulawesi. Begitu pula dengan kepolisian. Selain kasus kriminal dalam perkawinan, kasus
trafficking dan narkoba merupakan kasusk lain yang perlu mendapat perhatian dan
keterlibatan Kementerian Agama dalam penyelesaiannya.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Upaya pemberian pelayanan keagamaan secara maksimal kepada masyarakat di
wilayah perbatasan oleh Kementrian agama, menghadapi sejumlah persoalan. Satu isu yang
cukup menonjol terkait dengan ketidak-mampuan warga memenuhi syarat administrasi
karena problem administrasi kependudukan yang dihadapi, terutama pada pelayanan
pernikahan dan haji). Bentuk permasalahan administrasi dimaksud dapat berupa warga tidak
mempunyai KTP, perbedaan identitas dalam dokumen kependudukan, tidak memiliki paspor
atau paspor dalam kondisi bermasalah, dan lain-lain.
Persoalan ketidak-mampuan warga memenuhi persyaratan administrasi guna
mendapatkan layanan keagamaan tersebut dalam beberapa kasus tidak selalu didekati dengan
pendekatan prosedural formal, akan tetapi dengan mencari upaya penyelesaian (melakukan
inovasi lokal) yang mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Tindakan tersebut terpaksa
diambil, mengingat problem ketidak-mampuan masyarakat memenuhi persyaratan
administrasi permohonan layanan yang diajukan, jika tidak dicarikan solusinya, pada sisi lain
dapat memicu terjadinya ekses negative. Pada kasus pelayanan pernikahan misalnya, dapat
meningkatkan praktek kawin siri dan dapat pula menyebabkan terjadinya hubungan diluar
nikah (perzinahan) lantaran pasangan tersebut terhalang untuk dapat menikah. Pada mereka
yang memutuskan melakukan nikah siri, persoalan tidak berhenti sampai disitu, akan tetapi
berkembang pada munculnya problem lain dimasa dating seperti tidak bisa melakukan
perceraian, tidak bisa melakukan pernikahan kembali jika dibutuhkan, tidak dapat membuat
KK dan akte kelahiran, problem warisan, dan lain-lain).
Praktek pernikahan siri yang banyak terjadi di Nunukan karenanya harus dilihat
dalam konteks yang lebih komprehensif, terjadi bukan hanya karena pemahaman agama yang
sempit yang memandang bahwa pernikahan sudah memadai jika dinyatakan sah secara
agama serta pengetahuan masyarakat yang terbatas tentang perlunya mematuhi administrasi
kependudukan, akan tetapi juga terjadi sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi
26
(mensahkan pernikahan secara agama meskipun tidak dapat disahkan secara hokum Negara).
Cara tersebut tentu saja bukan merupakan solusi tepat karena menimbulkan sejumlah
implikasi negatif dikemudian hari. Jika tidak segera diatasi, problem akan seperti lingkaran
setan karena pelanggaran yang satu berimplikasi pada munculnya bentuk pelanggaran
lainnya. “Pemutihan” praktek nikah siri melalui isbat nikah “massal” yang difasilitasi
pembiayaannya oleh pemda (inovasi local) di Kabupaten Nunukan karenanya merupakan
solusi tepat guna memutus mata rantai persoalan, yang dapat direplikasi dalam mengatasi
persoalan serupa ditempat lain meski pada kasus Kabupaten Nunukan, inovasi local tersebut
inisiatif pelaksanaannya sepenuhnya dari pemda yang mencoba merespon kebutuhan
masyarakat sementara pihak Kementerian Agama lebih sebagai pihak yang menerima
manfaat. Peran aktif Kemenag dimasa datang karenanya perlu dikembangkan, guna
mendorong capaian yang lebih maksimal.
Untuk layanan haji, inovasi local dilakukan dengan memfungsikan KUA sebagai
pihak yang bertugas mensortir kelengkapan dokumen pada tahap awal, bahkan sekaligus
memberikan bimbingan dan bantuan kepada masyarakat sebagai calhaj. Inovasi tersebut tentu
saja sangat membantu masyarakat sebagai pihak yang dilayani, karena tidak perlu
mengeluarkan anggaran cukup besar untuk transportasi bolak-balik mengunjungi Kantor
Kemenang, selain proses menjadi lebih mudah dan cepat.
Problem keterbatasan SDM birokrasi (penghulu, penyuluh agama, maupun jumlah
SDM PNS), menyebabkan berbagai pelayanan keagamaan yang dibutuhkan masyarakat
belum dapat terpenuhi secara maksimal. Problem minimnya sarana dan prasarana termasuk
ketersediaan jaringan listrik (dalam konteks pelayanan haji berimplikasi pada pelaksanaan
layanan pendaftaran secara online), masih menjadi kendala yang cukup dirasakan dan yang
mempengaruhi proses pemberian layanan yang diberikan.
Belum dipahaminya tupoksi Kementerian Agama oleh masyarakat (terutama pemeluk
agama diluar Islam termasuk oleh institusi pemerintah daerah atau OPD), menyebabkan
masyarakat (dan juga OPD), belum memanfaatkan layanan Kementrian Agama bagi
pemenuhan kebutuhan (atau penyelesaian masalah mereka) secara maksimal dan demikian
pula dengan pemda. Pemda belum menjadikan Kemenag sebagai mitra strategis dalam
pelaksanaan tupoksi mereka guna membangun daerah.
FKUB di Kabupaten Nunukan dalam konteks itu telah berhasil menjadi pihak yang
sangat efektif berperan sebagai focal point bagi Kemenerian Agama dalam menjalankan
peran dan fungsinya membangun masyarakat dalam bidang keagamaan, begitu pula dengan
KUA yang dalam praktek difungsikan untuk aneka urusan yang bukan menjadi tupoksinya.
B. Rekomendasi
1. Kompleksnya permasalahan sosial keagamaan yang dihadapi di Kabupaten
Nunukan mengidealkan pejabat Kementerian Agama sebagai sosok yang
cerdas dan mampu mencari peluang kerjasama serta mengembangkan
kemitraan dengan sebanyak mungkin pihak.
2. Mengingat kasus-kasus yang muncul dalam pemberian layanan banyak berkaitan
dengan problem administrasi kependudukan (terutama untuk layanan pernikahan
dan haji), perlu bersinergi dengan kementerian terkait guna mendorong akselerasi
penuntasan persoalan tersebut. Diantaranya dengan melakukan sosialisasi
pentingnya pencatatan pernikahan (administrasi pernikahan) secara masif
dan intensif baik dengan menggunakan pendekatan keagamaan (melibatkan para
penyuluh agama, FKUB, para imam masjid, selain institusi Kantor Kementerian
27
Agama di daerah) maupun pendekatan administratif (melibatkan pemerintah
daerah dalam hal ini disdukcapil).
3. Perlunya penguatan fungsi KUA dengan penambahan jumlah SDM, sarana
prasarana, serta anggaran (biaya operasional), mengingat fungsi KUA di daerah
perbatasan (dan daerah terpencil) lebih dari sekedar melaksanakan tupoksinya
yang utama, akan tetapi sekaligus menjadi perpanjangan Kementerian Agama
mengingat lokasinya yang lebih dekat dengan masyarakat.
4. Penguatan keberadaan P3N dalam membantu pelaksanaan tupoksi KUA baik
terkait dengan anggaran maupun pengembangan peran dan fungsinya kearah yang
lebih strategis.
5. Lebih memaksimalkan peran penyuluh dalam menjaga moralitas ummat dan
tidak terbatas pada kegiatan-kegaitan ceremonial formal semata.
6. Perlunya sosialisasi mengenai tupoksi Kementerian Agama kepada masyarakat
dan lembaga kemasyarakat serta lembaga pemerintahan termasuk kepolisian
dengan melibatkan seluruh stakeholder dan mitra kerja mengingat Kementerian
Agama ditingkat masyarakat kerap dipersepsikan hanya bertanggung-jawab
mengurus haji dan persoalan umat Islam.
28
DAFTAR PUSTAKA
Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia (2011). Grand Design
Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia Tahun
2011 – 2025.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan (2012). Profil Kabupaten Nunukan 2012.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan (2013). Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten
Nunukan 2013.
Bryman, Alan. (2004) Social researsch methods (2nd ed). Oxford University Press. USA.
Eilenberg, Michael and Wadley, Reed (2009). “Borderland Livelihood Strategies: The socio-
Economic Significance of Ethnicity in Cross-border Labour Migration, West
Kalimantan, Indonesia”. Dalam Asia Pacific Viewpoint, Vol. 50, No. 1, April 2009
pp58–73.
Rudiatin, Endang. (2012). Integrasi Ekonomi LokalL Suatu Kajian Mengenai Ekonomi
Masyarakat Aji Kuning Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Timur, Perbatasan
Indonesia-Sabah, Malaysia.
Kantor Kementerian Agama Kabupate Nunukan, ( 2013). Profil dan data.
Moeldoko. (2014). Kebijakan dan scenario planning pengelolaan kawasan perbatasan di
Indonesia (Studi kasus perbatasan darat di Kalimantan). Disertasi pada Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Sutaat. (2006). Diagnosa permasalahan sosial di Sebatik Barat Kabupaten Nunukan.
Puslitbang Kesejahteraan Sosial. Departemen Sosial Republik Indonesia.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8
Tahun2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan FKUB, dan Pedirian
Rumah Ibadat.