pelaksanaan pengembalian barang bukti …lib.unnes.ac.id/18420/1/8150408033.pdf · telah memperoleh...
TRANSCRIPT
i
PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH
JAKSA DALAM PERKARA PIDANA
(Studi kasus di Kejaksaan Negeri Semarang)
SKRIPSI
untuk memperoleh gelar sarjana Ilmu Hukum
Pada Universitas Negeri Semerang.
Oleh :
LAISIANA IRVIANTI
8150408033
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
ii
iii
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH
JAKSA DALAM PERKARA PIDANA (Studi pada kasus di Kejaksaan Negeri Semarang)”
yang ditulis oleh Laisiana Irvianti, NIM 8150408033 telah dipertahankan di hadapan sidang
Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang pada tanggal 11 Maret
2013
Panitia:
Ketua Sekretaris
Drs. Sartono Sahlan, M.H Drs. Suhadi, S,H.,M.Si
NIP.195808251982031003 NIP. 196711161993091001
Penguji Utama
Indung Wijayanto,S.H.,M.H
NIP. 198207132008121002
Dosen Pembimbing I
Dr.Indah Sri Utari, S.H, M.Hum.
NIP. 196401132003122001
Dosen Pembimbing II
Cahya Wulandari,S.H., M.Hum.
NIP. 198402242008122001
Ketua
Drs. Sartono Sahlan, M.H
NIP.195808251982031003
Sekretaris
Drs. Suhadi, S,H.,M.Si
NIP. 196711161993091001
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Moto:
Kegagalan bukan akhir dari segalanya tetapi awal kita untuk menuju
keberhasilan selama kita berusaha untuk memperbaiki kegagalan itu.
Persembahan:
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
kepada ALLAH SWT
kepada kedua orang tua saya, H.Muhammad Zuhri dan
Hj. Sri Rejeki.
kepada adik-adikku, Rizqi Amalia Sari, H.Muhammad
Tarech Aziz (Alm), Muhammad Naufal Pahlevi.
kepada Nenek dan kakek, H. Hasan Bisri(Alm), Hj. Siti
Khotijah(Alm), Watin (Alm), Mimbariyah(Alm).
Almamater UNNES 2008
Untuk Keluarga besar.
Kepada teman-teman semuanya.
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, atas segala rahmat dan karunianya
yang memberikan kesehatan dan hikmat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara
pidana di wilayah hukum pengadilan semarang”, disusun untuk memperoleh gelar Sarjana
hukum, Fakultas hukum Universitas Negeri Semarang.
Proses penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan
dorongan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1 ALLAH SWT, bersyukur atas semua limpahan rahmat hidayah kepada penulis atas
kelimpahan nikmat yang di berikan.
2 Prof. Dr. H Sudijono Sastroatmodjo M.Si. Selaku Rektor Universitas Negeri Semarang, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada Program Studi
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.
3 Drs. Sartono Sahlan, M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang,
4 Selaku penguji utama yang telah banyak memberikan dukungan dan arahan kepada penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
5 Dr.Indah Sri Utari, S.H, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang bersedia meluangkan
banyak waktu di tengah kesibukannya untuk memberikan saran, masukan dan bimbingan
kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.
vii
6 Cahya Wulandari, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan saran, inspirasi, dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
7 Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan
banyak ilmunya kepada penulis sehingga penulis mendapatkan pengetahuaan yang berguna
dan bermanfaat untuk penulis.
8 Ucapan terimakasih kepada Bapak Hardi selaku Jaksa bagian barang bukti di Kejaksaan
Negeri Semarang.
9 Ucapan terimakasih kepada Ibu Kartika selaku Jaksa bagian barang bukti di Kejaksaan
Negeri Semarang.
10 Ucapan terimaksih kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia R.I di Semarang.
11 Ucapan terimakasih kepada Kepala RUPBASAN (Rumah Penyimpanan Barang Sitaan
Negara)
12 Teristimewa saya sampaikan terima kasih kepada papa dan mama yang telah banyak
memberi kasih sayang, dukungan baik moril maupun materil, nasehat, dan doa sehingga
perkuliahan dan penyusunan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik.
13 Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada adik-adik saya (sari, aziz, naufal) yang telah
memberi semangat, dorongan dan motivasi kepada penulis.
14 Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Zamasyari (Eko Prasetyo) yang telah
memberi semangat, dorongan dan motivasi kepada penulis.
15 Keluarga besar penulis yang selalu member doa dan semangat untuk menyelesaikan skripsi
ini.
viii
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memenuhi persyaratan di dalam
menyelesaikan pendidikan sarjana dan bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa Universitas
Negeri Semarang khususnya dan masyarakat pada umumnya.
ix
ABSTRAK
Laisiana Irvianti, 2013. PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH
JAKSA DALAM PERKARA PIDANA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI
SEMARANG (Studi kasus di Kejaksaan Negeri Semarang). Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I, Dr.Indah Sri Utari, S.H, M.Hum.
Pembimbing II: Cahya Wulandari, S.H, M.Hum.
Kata Kunci: barang bukti; perkara pidana; jaksa.
Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan hakim yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu didasarkan atas kutipan
putusan hakim. Selain itu jaksa sebagai penuntut umum pada setiap kejaksaan juga pempunyai
tugas melaksanakan penetapan hakim pidana. Bagian paling terpenting dari tiap-tiap pidana
adalah persoalan mengenai pembuktian.
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai bagaimana pelaksanaan
pengembalian barang bukti setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap khususnya terhadap barang bukti? Serta kendala dalam pelaksanaan pengembalian
barang bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap?.
Dalam penulisan skripi ini, penulis memilih metode pendekatan yuridis sosiologis dengan
pengumpulan data sebagai berikut: studi kepustakaan, studi dokumen, dan wawancara.
Hasil penelitian pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana
di wilayah hukum pengadilan negeri semarang adalah Perkara yang sudah mendapatkan putusan
inkracht setelah itu hakim membuat surat petikan putusan, petikan putusan keluar 1 (satu)
minggu setelah putusan inkracht. Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa
bisa langsung membuat berita acara pelaksanaan penetapa hakim (BA–6) dan membuat berita
acara pengambilan barang bukti (BA–20). Setelah itu (BA-6) dan (BA–20) diberikan kepada
orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan yang ditetapkan oleh
hakim. Karena (BA–6) dan (BA–20) untuk mengambil barang bukti yang di sebutkan dalam isi
petikan putusan di Kejaksaan atau di RUPBASAN.
Simpulan pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana di wilayah
Pengadilan Negeri Semarang adalah Perkara yang sudah mendapatkan putusan inkracht, jaksa harus
segera mengembalikan barang bukti kepada orang yang disebutkan dalan isi petikan putusan.
Sesuai dengan undang-undang yang mengatur pelaksanaan pengembalian barang bukti. Kendala
dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah tidak
adanya undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang jangka waktu pengambilan barang
bukti oleh orang yang berhak menerima barang bukti. Saran yang ditawarkan oleh peneliti dalam
pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana di adalah Penambahan
dan pembaharuan sarana prasarana untuk meminimalisir terjadinya penumpukan barang bukti di
RUPBASAN.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ ii
PENGESAHAN .......................................................................................................... iii
PERNYATAAN.......................................................................................................... iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi
ABSTRAK .................................................................................................................. ix
DAFTAR ISI............................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Identifikasi masalah ............................................................................................... 4
1.3 Pembatasan masalah .............................................................................................. 4
1.4 Rumusan masalah .................................................................................................. 5
1.5 Tujuan penelitian ................................................................................................... 5
1.6 Manfaat penelitian ................................................................................................. 5
xi
1.7 Sistematika penulisan skripsi ................................................................................. 6
1.7.1 Bagian awal skripsi .......................................................................................... 6
1.7.2 Bagian pokok skripsi........................................................................................ 6
1.7.3 Bagian akhir skripsi ......................................................................................... 8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian terdahulu ............................................................................................... 9
2.2 Barang bukti dalam proses peradilan pidana ......................................................... 9
2.2.1 pengertian dan fungsi barang bukti dalam proses peradilan pidana ................ 9
2.2.2 Hubungan barang bukti dengan alat bukti ....................................................... 11
2.2.3 Macam-macam putusan yang berkenaan dengan barang bukti ....................... 15
2.3 Pihak yang bertanggungjawab atas barang bukti dalam upaya hukum biasa dan
luar Biasa ............................................................................................................... 19
2.4 Tata cara pelaksanaan putusan pengadilan ............................................................ 22
2.4.1 Terhadap terdakwa yang dikenakan pidana ..................................................... 22
2.4.2 Terhadap barang bukti ..................................................................................... 24
xii
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Metode pendekatan ................................................................................................ 32
3.2 Spesefikasi penelitian............................................................................................. 32
3.3 Lokasi penelitian .................................................................................................... 32
3.4 Sumber data penelitian ........................................................................................... 33
3.4.1 Data primer sebagai data utama ....................................................................... 33
3.4.2 Data sekunder sebagai data pendukung ........................................................... 34
3.5 Metode pengumpulan data ..................................................................................... 36
3.5.1 Studi kepustakaan ............................................................................................ 36
3.5.2 Dokumentasi .................................................................................................... 37
3.5.3 Wawancara ....................................................................................................... 37
3.6 Metode analisis data ............................................................................................... 38
3.7 Keabsahan data ...................................................................................................... 41
BAB 4 ISI DAN PEMBAHASAN
4.1 Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana ........... 48
4.2 Kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya
putusan hakim yang memperoleh kekuatan hukum tetap ...................................... 57
xiii
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 75
5.2 Saran ...................................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 78
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.05-UM.01.06 Tahun 1983
Lampiran 2. Peraturan Pemerintah Nomor: 27 Tahun 1983
Lampiran 3. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.03
Tahun 1985
Lampiran 4. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-PR.07.01
Tahun 1983
Lampiran 5. Surat berita acara pelaksanaan penetapan hakim (BA- 6)
Lampiran 6. Surat berita acara pengembalian barang bukti
Lampiran 7. Surat PENETAPAN
Lampiran 8. Surat petikan putusan
Lampiran 9. Surat pengantar penitipan barang
Lampiran 10. Surat pengembalian barang bukti
Lampiran 11. Instrumen Penelitian
Lampiran 12. Formulir Usulan Topik Skripsi
Lampiran 13. Formulir usulan Pembimbing
Lampiran 14. Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing
xv
Lampiran 15. Kartu Bimbingan Skripsi
Lampiran 16. Surat izin untuk penelitian di Kejaksaan Negeri Semarang
Lampiran 17. Surat izin untuk penelitian di RUPBASAN Semarang
Lampiran 18. Surat izin sudah melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri Semarang
Lampiran 19. Surat berita penelitian/penilaian Basan Baran
Lampiran 20. Surat berita acara serah terima Basan/Baran
Lampiran 21. Surat lampiran berita acara penelitian/penilaian Basan Baran
Lampiran 22. Berita acara penyerahan/pengembalian Basan Baran kepada yang berhak
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jaksa pada setiap kejaksaan mempunyai tugas pelaksanaan eksekusi putusan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan untuk kepentingan itu
didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat keterangan
pengganti kutipan putusan hakim. Selain itu jaksa sebagai penuntut umum pada setiap
kejaksaan juga pempunyai tugas melaksanakan penetapan hakim pidana. Tugas
melaksanakan eksekusi putusan hakim sebagai tahap terakhir perkara pidana
dimaksudkan menjalankan pekerjaan melaksanakan putusan hakim dalam arti terbatas
hanya untuk tugas eksekusi saja oleh Jaksa. Putusan hakim dapat ditetapkan dari berbagai
jenis pidana yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan
selanjutnya pelaksanaan putusan berbagai jenis pidana tersebut diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan pidana.
Bagian paling terpenting dari tiap-tiap pidana adalah persoalan mengenai
pembuktian, karena dari jawaban soal inilah tergantung apakah tertuduh akan dinyatakan
bersalah atau dibebaskan. Untuk kepentingan pembuktian tersebut maka kehadiran
benda-benda yang tersangkut dalam tindak pidana, sangat diperlukan. Benda- benda
dimaksud lazim dikenal dengan istilah barang bukti. Yang dimaksud barang bukti atau
corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai
peranan yang sangat penting dalam proses pidana, namun apabila kita simak dan
perhatikan satu per satu peraturan perundang-undangan bernafaskan pidana (undang-
undang pokok, undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya) tidak ada satu
2
pasalpun yang memberikan definisi atau pengertian mengenai barang bukti. Akan tetapi
apabila dikaitkan pasal demi pasal yang ada hubungannya yang ada masalah barang bukti
maka secara implisit (tersirat) akan dapat dipahami apa sebenarnya barang bukti itu.
Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini
mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara
tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan
kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara
itu masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa disidang
pengadilandasar pengembalian barang tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari
nafkah atau sebagai sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP
dengan tegas menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang
tersebut dapat dihadapkan di pengadilan dalam keadaan utuh.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain
berdasarkan Undang-Undang. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara
Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Apabila terhadap barang bukti tersebut dijatuhkan putusan dimusnahkan atau
dijual lelang untuk negara, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 39 KUHP hanya terbatas
3
pada barang-barang yang telah disita saja. Apabila terhadap barang bukti tersebut
dijatuhkan putusan dikembalikan kepada orang yang paling berhak, maka Jaksa selaku
pelaksana putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus segara
mengembalikannya.
Namun kenyataannya didalam praktek proses pengembalian barang bukti tersebut
menemui hambatan atau kendala, sehingga pelaksanaan pengembalian barang bukti tidak
bisa segera dilaksanakan (memakan waktu yang lama). Bedasarkan uraian diatas maka
penulis memilih judul "PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH
JAKSA DALAM PERKARA PIDANA " (Studi di Kejaksaan Negeri Semarang).
1.2. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka dapat diidentifikasikan masalah yang
ditemukan yaitu:
1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti setelah adanya putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti
2. Kendala bagi Jaksa dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti
3. Prosedur yang perlukan dalam pengambilan barang bukti
4. Tenggang waktu yang diperlukan dalam penyimpanan barang bukti di RUPBASAN
5. Cara mengatasi barang bukti yang mudah rusak, rapuh, atau sulit dalam
pemeliharaannya
6. Orang-orang yang berhak menerima barang bukti
1.3 Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya permasalahan dalam proses penegakan hukum pidana maka dalam
penelitian ini dilakukan pembatasan masalah yaitu:
4
1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti
2. kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita setelah adanya
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada dua masalah yang diteliti dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan pengembalian barang bukti setelah adanya putusan hakim
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti ?
2. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita
setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ?
1.5 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan putusan hakim yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap khususnya terhadap barang bukti.
2. Untuk mengetahui kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang bukti yang disita
setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu :
5
1.6.1 Manfaat teoritis:
a. Menambah pengetahuan bagi masyarakat umumnya dan bagi mahasiswa fakultas
hukum atau kalangan akademisi fakultas hukum khususnya terhadap proses
pengembalian barang bukti.
b. Dapat dijadikan acuan atau referensi untuk penelitian berikutnya.
1.6.2 Manfaat praktis:
a. Dapat mengetahui mekanisme untuk memperoleh informasi mengenai pelaksanaan
proses pengembalian barang bukti.
b. Dapat mengetahui mekanisme dalam proses pelaksanaan pengembalian barang bukti.
1.7 Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan kemudahan dalam memahami skripsi serta memberikan
gambaran yang menyeluruh secara garis besar, sistematika skripsi dibagi menjadi tiga
bagian. Adapun sistematikanya adalah :
1.7.1 Bagian Awal Skripsi
Bagian awal skripsi terdiri atas sampul, lembar judul, persetujuan pembimbing,
lembar pengesahan, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, prakata, lembar
abstrak, daftar isi, daftar lampiran.
1.7.2 Bagian Pokok Skripsi
Bagian pokok skripsi terdiri atas bab pendahuluan, teori yang digunakan untuk
landasan penelitian, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan penutup.
Bab 1 Pendahuluan
Pada bab ini penulis menguraikan latar belakang, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan, manfaat, penegasan istilah dan sistematika penulisan.
6
Bab 2 Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang diharapkan mampu
menjembatani atau mempermudah dalam memperoleh hasil penelitian, dijelaskan
mengenai macam-macam pidana, pengertian bentuk dan isi putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, dan fungsi barang bukti.
Bab 3 Metode Penelitian
Metodologi Penelitian, berisi tentang metode pendekatan, spesifikasi penelitian,
lokasi penelitian, sumber data penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis
data, dan keabsahan data.
Bab 4 Hasil Penelitian
Berisi tentang hasil Penelitian dan pembahasan. Bab ini menguraikan tentang
hasil penelitian dan pembahasan yang menghubungkan fakta atau data yang diperoleh
dari hasil penelitian pustaka dan penelitian lapangan (empiris). Bab ini menguraikan
mengenai pelaksanaan putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
khususnya terhadap barang bukti dan kendala dalam pelaksanaan pengembalian barang
bukti yang disita setelah adanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Bab 5 Penutup
Pada bagian ini merupakan bab terakhir yang berisi simpulan dan saran dari
pembahasan yang diuraikan.
7
1.7.3 Bagian Akhir Skripsi
Bagian akhir dari skripsi ini terdiri dari daftar pustaka dan lampiran. Isi daftar
pustaka merupakan keterangan sumber literatur yang digunakan dalam penyusunan
skripsi. Lampiran dipakai untuk mendapatkan data dan keterangan yang melengkapi
uraian skripsi.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi terdahulu yang berjudul “Benda Sitaan Negara Sebagai
barang Bukti Dalam Perkara Pidana di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Rembang”
yang di buat oleh Dedy Prabowo dari Universitas Negeri Semarang dalam skripsinya
membedah mengenai Benda Sitaan Negara Sebagai barang Bukti Dalam Perkara Pidana.
Di dalam skripsi tersebut berisi mengenai pengelolaan benda sitaan, Tanggung jawab
benda sitaan, arti penting benda sitaan. Dari hasil skripsi di atas menunjukan bahwa
skripsi yang dibuat oleh penulis tidaklah sama. Karena penulis menfokuskan tentang
pelaksanaan dan kendalanya dalam pengembalian barang bukti oleh Jaksa Penuntut
Umum dalam perkara pidana.
2.2 Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana
2.2.1 Pengertian dan Fungsi Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana
Menurut istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana
delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang
diapakai untuk melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik,
misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi maka rumah
pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik. (Hamzah,1986:100).
Disamping itu ada pula barang yang bukan termasuk obyek, alat atau hasil delik,
tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan
9
langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian yang dipakai oleh korban saat ia
dianiaya atau dibunuh.
Pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa tiadak
seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila kerena alat pembuktian yang sah
menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggung jawab, telah
bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.
Ketentuan tersebut diatas ditegaskan lagi dalam Pasal 183 KUHAP yang
menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali seseorang
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 KUHAP
menujukkan bahwa Negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif,
dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti
yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang
dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika Hakim tidak
yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas.
Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tercantum
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas
kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, maka disinilah
10
letak pentingnya barang bukti tersebut. Meskipun barang bukti mempunyai peranan
penting dalam perkara pidana bukan berarti bahwa kehadiran barang bukti itu mutlak
harus ada dalam perkara pidana, sebab adapula tindak pidana tanpa adanya barang bukti
misalnya penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP). Dalam hal demikian hakim
melakukan pemeriksaan tanpa barang bukti.
2.2.2 Hubungan Barang Bukti dengan Alat Bukti
Sebagaimana telah disebut bahwa alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,
Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut
tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, tidak tampak adanya
hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa
untuk menentukan pidana kepada terdakwa, harus:
a. Kesalahanya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
b. Dan atas dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh
keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukanya.
Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti di
persidangan, yaitu sebagai berikut:
a. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang
bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu
dengan memperhatikan ketentuan sebagai mana yang dimaksud dalam
Pasal 45 KUHAP.
b. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang
kepada saksi
c. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang
membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada
terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya
tentang hal itu.(Afiah 1988:19)
11
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas tampak bahwa dalam proses pidana,
kehadiran barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menetukan
kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani/ periksa. Barang bukti dan alat
bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan.
Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk
alat pembuktian.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak
menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam
pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian
tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat
diperlukan. Benda-benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”.Barang bukti atau
corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai
peranan yang sangat penting dalam proses pidana.
Selain itu didalam Hetterzine in landcsh regerment(HIR) juga terdapat perihal
barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat ataupun
12
orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian
selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu
kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal
42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag diantaranya:
a. Barang yang menjadi sarana tindak pidana (corpora delicti)
b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta
delicti)
d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk membuatkan atau
meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
Penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP menyebutkan :
“Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran Kehakiman disebut keterangan ahli,
sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman
disebut keterangn”. Memperhatikan Pasal 133 KUHAP beserta penjelasannya maka dapat
disimpulkan bahwa: Keterangan mengenai barang bukti (tubuh manusia yang masih
hidup atau pun mati) yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman, adalah menjadi alat
bukti yang sah sebagai keterangan ahli sebagai mana dimaksud dalam Pasal 184
KUHAP.
Terkait dengan Pasal 120, Pasal 184 serta Pasal 186 KUHAP, terlihat bahwa hasil
pemeriksaan oleh ahlinya disebut Expertise adalah hasil pemeriksaan sesuatu yang
dilakukan oleh seseorang ahli (expert) yang disampaikan kepada hakim untuk menjadi
bahan pertimbangan pemutusan suatu perkara (Yan Pramadya Puspa, 235;2008).
Misalnya hasil pemeriksaan terhadap bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia (darah,
13
air mani, rambut, dsb) atau hasil pemeriksaan benda-benda tertentu (serbuk, senjata api,
uang palsu, dsb) apabila diberikan secara lisan disidang pengadilan, maka akan menjadi
keterangan ahli sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Sedangkan keterangan
yang diberikan oleh seorang ahli (bukan ahli kedokteran kehakiman) jika diberikan
secara tertulis, maka akan menjadi surat keterangan dari seorang ahli (Pasal 184 ayat (1)
c jo Pasal 187 c KUHAP).
Dengan demikian barang bukti itu sangat penting arti dan perananya dalam
mendukung upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat
membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya
Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan/ menghadapkan
barang bukti selengkap-lengkapnya disidang pengadilan.
2.2.3 Macam-macam Putusan yang Berkenaan dengan Barang Bukti
Selain mencantumkan tindakan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dan ongkos
perkara putusan hakim harus memuat pula tentang status benda sitaan yang dijadikan
barang bukti dalam perkara tersebut, kecuali dalam perkara tersebut tidak ada barang
buktinya. Mengenai macam-macam putusan yang berkenaan dengan barang bukti dapat
kita ketahui dari Pasal 46 ayat (2) KUHAP dan Pasal 194 ayat (1) KUHAP.
Pasal 46 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut: Apabila perkara
sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut,
kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara,
untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat
dipergunakan lagi atau jika benda dirusakkan sampai tidak dapat
dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai
barang bukti dalam perkara lain. .(Afiah 1988:198)
14
Pasal 194 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa : Dalam hal
putusan pemidanaan, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan
kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya
tercantum dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan
Undang-Undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan
negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan
lagi.(Afiah 1988:198)
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa putusan hakim yang
berkenaan dengan barang bukti adalah sebagai berikut:
1. Dikembalikan kepada pihak yang paling berhak.
Pada hakekatnya, apabila perkara sudah diputus maka benda yang disita untuk
dijadikan barang bukti dalam persidangan dikembalikan kepada orang atau mereka
yang berhak sebagai mana dimaksud dalam putusan hakim. Undang-undang tidak
menyebutkan siapa yang dimaksud dengan yang berhak tersebut. Dengan demikian
kepada siapa barang bukti tersebut dikembalikan diserahkan kepada hakim yang
bersangkutan setelah mendengar keterangan para saksi dan terdakwa, baik mengenai
perkaranya maupun yang menyangkut barang bukti dalam pemeriksaan sidang di
pengadilan (Afiah,1988: 199 ).
Afiah (1988:200-203) yang disebut orang yang berhak menerima barang
bukti anatara lain :
a. Orang atau mereka dari siapa barang tersebut disita, yaitu orang atau
mereka yang memegang atau menguasai barang itu pada waktu
penyidik melakukan penyitaan dimana barang itu pada waktu
penyidik melakukan penyitaan dimana dalam pemeriksaan di
persidangan memang dialah yang berhak atas barang tersebut.
b. Pemilik yang sebenarnya, sewaktu disita benda yang dijadikan
barang bukti tidak dalam kekuasaanorang tersebut. Namun, dalam
pemeriksaan ternyata benda tersebut adalah miliknya yang dalam
perkara itu bertindak sebagai saksi korban. Hal ini sering terjadi
dalam perkara kejahatan terhadap harta benda.
15
c. Ahli waris, dalam hal yang berhak atas barang bukti tersebut sudah
meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan, maka berkenaan
dengan barang bukti tersebut putusan hakim menetapkan bahwa
barang bukti dikembalikan kepada ahli waris atau keluarganya.
d. Pemegang hak terakhir, barang bukti dapat pula dikembalikan
kepada pemegang hak terakhir atas benda tersebut asalkan dapat
dibuktikan bahwa ia secara sah benar-benar mempunyai hak atas
benda tersebut.
2. Dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak.
Putusan hakim yang berbunyi bahwa barang bukti dirampas untuk
kepentingan negara biasanya ditemui dalam perkara tindak pidana ekonomi,
penyelundupan senjata api, bahan peledak, narkotika. Barang tesebut dijual lelang
kemudian hasil lelang menjadi milik negara. Akan tetapi ada pula barang rampasan
negara yang tidak dapat dijual lelang yaitu barang yang bersifat terlarang atau
dilarang untuk diedarkan, karena benda tersebut tidak boleh dimiliki oleh umum.
Menurut Pasal 45 ayat (4) KUHAP dan penjelasannya, “benda tersebut harus
diserahkan kepada departemen yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”. Misalnya bahan peledak amunisi atau senjata api diserahkan kepada
Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Barang yang dapat dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak
dapat dipergunakan lagi biasanya benda tersebut merupakan alat untuk melakukan
kejahatan misalnya golok untuk menganiaya korban atau linggis yang dipakai untuk
membongkar rumah orang lain.
3. Barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain
Afiah (1998:207) Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan
seperti tersebut diatas :
16
a. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara pertama
sudah diputus oleh hakim sedangkan barang buktinya masih
diperlukan untuk pembuktian perkara yang kedua.
b. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa
diperiksa secara terpisah atau perkaranya displitsing. Terdakwa
pertama sudah diputus sedangkan barang buktinya masih diperlukan
untuk pembuktian terdakwa yang lain.
c. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih dari satu
orang (sipil dan ABRI). Terdakwa Sipil sudah diputus oleh
pengadilan, sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk
perkara yang terdakwanya ABRI.
2.3 Pihak yang Bertanggungjawab Atas Barang Bukti dalam Upaya Hukum Biasa Dan
Luar Biasa.
Afiah (1998:208), dalam bukunya Barang Bukti Dalam Proses Pidana menjelaskan
bahwa KUHAP membagi upaya hukum menjadi 2 bagian yaitu:
1. Upaya hukum biasa terdiri dari:
a. Banding;
b. Kasasi.
2. Upaya hukum luar biasa terdiri dari:
a. Kasasi demi kepentingan hukum;
b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Dengan adanya permintaan pemeriksaan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi,
sesuai dengan kewenangan masing-masing yang telah ditentukan oleh Undang-undang,
maka tanggungjawab yuridis atas segala sesuatu yang berkenaan dengan perkara tersebut
akan beralih. Yaitu, dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah
Agung yang memeriksa perkara tersebut.
17
Demikian pula halnya dengan barang bukti, berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan
ayat (2) jo Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 27 Tahun 1983 tanggung jawab
yuridis ada pada pejabat yang memeriksa perkara tersebut. Jadi dalam tingkat
pemeriksaan banding tangungjawab yuridis atas benda sitaan ada pada Hakim Pengadilan
Tinggi. Sedangkan tanggung jawab yuridis atas barang bukti apabila perkara tersebut
dalam tingkat kasasi ada pada hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkara
tersebut.
Demikian halnya dengan pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dan
peninjauan kembali putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tangung
jawab yuridis atas benda sitaan tersebut ada pada hakim Mahkamah Agung yang
memeriksa perkaranya, sedangkan tanggung jawab administrasi dan fisik atas benda
tersebut terletak pada Kepala RUPBASAN ( Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara).
Surat Keputusan Jaksa Agung RI yang berlaku di Indonesia adalah Surat Keputusan
Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-132/J.A/l 1/1994 tanggal 7 November
1994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung R.I Nomor: KEP.120/J.A/12/1992
tanggal 31 Desember 1992 tentang Adminstrasi Perkara Tindak Pidana.
Menurut Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia bahwa yang dimaksud dengan
administrasi perkara tindak Pidana adalah:
Bagian dari administrasi umum Kejaksaan yang meliputi segala kegiatan
administrasi yang mengelola perkara tindak pidana umum dan perkara
tindak pidana khusus mengenai: perkara, tahan, benda sitaan, barang
bukti, barang rampasan, barang temuan dan hasil dirias, baik secara
teknis yuridis merupakan bagian tak terpisahkan dari berkas perkara
maupun hanya merupakan pencatatan proses penanganan berbentuk
surat-surat, register dan laporan sesuai dengan bentuk dan kode yang
ditentukan.
18
Proses pemeriksaan barang bukti pada kejaksaan dilakukan sebagai berikut: Jaksa
Penuntut Umum mencocokkan barang-barang tersebut dengan yang tercantum dalam
daftar barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara dengan disaksikan oleh
Penyidik dan tersangka.
Menurut Instruksi Jaksa Agung Rl. Nomor: 1NS-006/J.A/7/1986 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Teknik Yustisial Perkara Pidana Umum, penelitian
mengenai barang bukti tersebut meliputi:
a. Jenis / macamnya
b. Jumlah. Kesatuannya
c. Mutu/kadarnya
Penelitian dilakukan dengan bantuan tenaga ahli atau laboratorium. Seperti yang
diperlukan untuk mengetahui tentang mutu/kadar logam mulia, narkotika, obat-obatan
dan barang bukti lain yang bersifat khusus. Pelaksanaan penelitian tersangka dan barang
bukti tersebut masing- masing dibuatkan Berita Acara dengan menggunakan formulir
BA-18 dan ditandatangani oleh Penuntut umum dan Penyidik yang menyaksikan acara
itu. Barang sitaan yang dibuka dilakukan pembungkusan dan penyegelan kembali, semua
benda sitaan yang diserahkan kepada Penuntut Umum diberi Label Barang Bukti
Kejaksaan (B-10), yang mencantumkan keterangan sebagai berikut:
a. Nomor register barang bukti
b. Nomor register perkara
c. Nama tersangka
d. Tanggal berita acara penelitian tersebut.
19
2.4 Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana, barang
bukti dan putusan ganti kerugian. Maka yang akan diuraikan hanya mengenai
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
berkenaan dengan barang bukti.
2.4.1 Terhadap Terdakwa yang Dikenakan Pidana.
Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana barang
bukti dan putusan ganti kerugian. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap terhadap terpidana tentunya tergantung pada amar putusannya,
masing- masing sebagai berikut:
a. Pidana mati: pelaksanaannya tidak dilakukan dimuka umum dan menurut ketentuan
Undang-Undang (Pasal 271 KUHAP) Pidana penjara/kurungan: pelaksanaan
pidananya itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan
terlebih dahulu. Jadi dilaksanakan secara berkesinambungan diantara pidana yang
satu dengan yang lain (Pasal 272 KUHAP)
b. Pidana denda: kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar
denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika
dilunasi (Pasal 273 ayat (1) KUHAP) jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut
dapat diperpanjang paling lama satu bulan (Pasal 273 ayat (2) KUHAP)
c. Pidana bersyarat: pelaksanaanya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan
yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-Undang (Pasal 276 KHUAP)
Setelah melaksanakan putusan pengadilan tersebut Jaksa membuat dan
menandatangani berita acara pelaksanaan putusan pengadilan dan menurut Pasal 278
20
KUHAP tembusanya dikirimkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan terpidana,
serta Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dan selanjutnya panitera mencatatnya dalam
register pengawasan dan pengamatan.
Berdasarkan Pasal 277 jo Pasal 280 KUHAP hakim pengawas dan pengamat pada
Pengadilan Negeri yang bersangkutan melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
pelaksanaan putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan
guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
2.4.2 Terhadap Barang Bukti
Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini
mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara
tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan
kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara
tersebut masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa disidang
pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari
nafkah atau sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP dengan tegas
menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut
dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh.
Penyerahan barang bukti berdasarkan Pasal 194 ayat (2) KUHAP, khususnya
terhadap barang bukti yang dapat diangkut atau dibawa kepersidangan. Penyerahan
barang bukti tersebut tanpa melalui jaksa karena pengertiannya, penyerahan barang bukti
itu merupakan tindakan hakim. Dengan kata lain karena bertanggung jawab secara
yuridis atas benda sitaan/ barang bukti tersebut, adalah hakim dengan demikian hakim
21
berwenang menyerahkan barang bukti tersebut kepada dari siapa benda tersebut disita
atau kepada orang yang berhak.
Penyerahan barang bukti tersebut harus dengan berita acara, sebagai bukti otentik
bahwa barang bukti sudah diserahkan, apabila benda tersebut berada atau disimpan di
RUPBASAN. Dalam hal ini, kita berpedoman pada Pasal 10 Peraturan Menteri
Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983, bahwa
pengeluaran benda tersebut harus berdasarkan putusan pengadilan. Dalam pengeluaran
benda sitaan/ barang bukti tersebut, petugas RUPBASAN harus:
a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan.
b. Membuat berita acara yang tembusannya harus disampaikan kepada instansi yang
menyita.
c. Mencatat dan mencoret benda sitaan negara tersebut dari daftar yang tersedia.
Sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap:
Berdasarkan Pasal 194 ayat (3) KUHAP, perintah penyerahan barang bukti dilakukan
tanpa disertai dengan syarat apapun. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk berdasarkan
surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan segera melaksanakan
pengembalian barang bukti.
Apabila RUPBASAN belum terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang
bersangkutan melaksanakan pengembalian benda tersebut dengan membuat berita
acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, yang
menerima barang bukti dan para saksi yang menyaksikan acara pelaksanaan
pengembalian barang bukti.
22
Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan
tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya
dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung
mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam
putusan pengadilan tersebut, jika ia hadir dalam persidangan itu, pengembalian barang
bukti tersebut dilakukan dengan berita acara. Selanjutnya dalam Pasal 39 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut:
(1) Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan
untuk melakukan kejahatan dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau
karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal-hal
yang ditentukan dalam undang-undang.
(3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Apabila kita melihat ketentuan Pasal 191 KUHAP maka yaitu:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu
tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),
terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk
dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah,
terdakwa perlu ditahan.
Dan bunyi Pasal 193 KUHAP yaitu:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhkan pidana.
(2) a.Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan,
dalat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila
23
dipenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP dan terdapat alas an cukup
untuk itu.
b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan
putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan
atau membebaskannya, apabila terdapat alas an cukup untuk itu.
Bahwa putusan bebas apabila ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang
dinilai oleh majelis Hakim yang bersangkutan:
a. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif. Dari
hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan
kesalahan terdakwa dan sekaligus pula kesalahan terdakwa yang tidak cukup
terbukti tadi tidak diyakini oleh hakim.
b. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja. Sedangkan menurut
ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang
terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Dalam hal putusan yang mengandung pembebasan terdakwa, maka terdakwa
yang berada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga,
kecuali ada alasan lain yang sah misalnya terdakwa masih tersangkut perkara lain.
a. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan : "Jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum".
Terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan:
24
1. Apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik dinilai
dari segi pembuktian menurut Undang-undang maupun dari segi pembuktian
menurut Undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang
diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang terbukti tadi tidak
merupakan tindak pidana, tegasnya perbuatan yang didakwakan dan telah terbukti
tadi tidak diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana tetapi mungkin
masuk dalam ruang lingkup hukum perdata, hukum asuransi, hukum adat, atau
hukum dagang.
2. Adanya keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat
dihukum. Misalnya:
a. Terdakwa sakit atau cacat jiwanya (Pasal 44 KUHP)
b. Keadaan memaksa / Overmacht (Pasal 48 KUHP)
c. Pembelaan terpaksa / Noodweer (Pasal 49 KUHP)
d. Melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang (Pasal
50 KUHP)
e. Melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang (Pasal 51 KUHP).
Terhadap putusan bebas dan putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan
hukum menurut Pasal 67 KUHAP tidak dapat dimintakan banding.
Mengenai apa yang dimaksud dengan putusan hakim yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Undang-Undang. Dalam
Instruksi Jaksa Agung RI nomer: INS-006/J.A/7/1986, disebutkan bahwa putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap yaitu jika setelah putusan pengadilan diucapkan
25
/diberitahukan secara sah menurut hukum, terdakwa dan Penuntut Umum menerima
putusan atau tenggang waktu berpikir dilampaui dan tidak digunakan upaya hukum.
Didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan -
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 33 ayat (4), mengatur juga tentang
pelaksanaan putusan hakim yang didasarkan pada keadilan dan perikemanusiaan. Hal
ini mengandung arti, bahwa dalam pelaksanaan tersebut tidak boleh merugikan
terpidana yang harus menjalani pidanannya baik yang berupa kerugian materiil
maupun moril.
Kerugian materiil dimaksud antara lain pemakaian barang-barang milik
terpidana yang dipergunakan sebagai barang bukti yang kemudian tidak dikembalikan
sedangkan kerugian moril antara lain berupa penyiksaan atau penganiayaan terhadap
diri terpidana selama ia menjalani pidananya.
Berkaitan dengan pelaksanaan putusan hakim bahwa: Pelaksanaan
putusan hakim tersebut panitera mengirimkan salinan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Kejaksaan Negeri,
kemudian Kepala kejaksaan Negeri menunjuk satu atau beberapa
orang Jaksa untuk melaksanakan eksekusi, biasanya pelaksanaan
cukup didiposisikan kepada kepala Seksi (sesuai pembidangannya)
kemudian kepala seksi meneliti amar putusan yang akan
dilaksanakan, setelah itu menyiapkan surat perintah pelaksanaan
putusan hakim dilengkapi dengan laporan putusan hakim dan
putusannya ditentukan rentutnya dan bukti pelaksanaan putusan hakim
berkenaan dengan pidana, barang bukti dan biaya perkara
(Marpaung,1992:493).
26
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian adalah “Usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran
suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah” (Soetrisno
Hadi,1993:4). Sedangkan “metodologi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”.
Metodologi penelitian dapat diartikan, “sebagai suatu cara atau jalan yang harus digunakan untuk
tujuan menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan”
(Soekanto,1986: 5).
Metode pada hakikatnya merupakan prosedur dalam memecahkan suatu masalah dan untuk
mendapatkan pengetahuan secara ilmiah, kerja seorang ilmuwan akan berbeda dengan kerja
seorang awam. Seorang ilmuwan selalu menempatkan logika serta menghindarkan diri dari
pertimbangan subyektif. Sebaliknya bagi awam, kerja memecahkan masalah lebih dilandasi oleh
campuran pandangan perorangan ataupun dengan apa yang dianggap sebagai masuk akal oleh
banyak orang (Sunggono, 2006:43).
Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses
penelitian. Sedangkan penelitian itu sendiri diartikan sebagai sebagai upaya dalam bidang Ilmu
Pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar,
hati-hati dan sistematis untuk mewujudkan kebenaran (Mardalis,2004:24).
Metode penelitian digunakan penulis dengan maksud untuk memperoleh data yang lengkap
dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun metode penelitian yang akan penulis
gunakan adalah Metode Kualitatif dengan pendekatan Yuridis sosiologis. Metode ini didasarkan
pada hal-hal sebagai berikut:
27
3.1 Metode pendekatan
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode deskriptif
dengan pendekatan yuridis sosiologis.Yuridis sosiologis merupakan ”suatu pendekatan
selain menggunakan asas dan prinsip hukum dalam meninjau, melihat dan menganalisa
masalah yang terjadi” (Soekanto,1997:10).
3.2 Spesifikasi penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu “melukiskan atau
menggambarkan gejala atau peristiwa hukum dengan tepat dan jelas”
(Soemitro,1983:11). Deskriptif digunakan untuk memberikan data seteliti mungkin
tentang keadaan atau gejala-gejala lainnya. Dengan demikian deskriptif mempunyai
tujuan untuk melukiskan atau memberikan gambaran tentang dasar-dasar penegak hukum
dalam melaksanakan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam kasus pidana.
3.3 Lokasi Penelitian
Untuk menunjang informasi tentang “Pelaksanaan pengembalian barang bukti
oleh jaksa dalam perkara pidana”, maka penulis memilih melakukan penelitian langsung
ke Kejaksaan Negeri Semarang, dan RUPBASAN Semarang.
3.4 Sumber data Penelitian
”Sumber data penelitian adalah sumber dari mana data dapat diperoleh”
(Meloeng,2000:114). Sumber data merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam
setiap penelitian ilmiah, agar diperoleh data yang lengkap, benar, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
28
3.4.1 Data Primer sebagai data utama
Penelitian hukum untuk keperluan hukum diperlukan keberadaan bahan hukum non
hukum dapat membantu berupa: ”wawancara untuk mengumpulkan bahan-bahan non
hukum, maka digunakan teknik alat dan teknik pengumpulan data tertentu”
(Marzuki,2006:16). ”Penelitian disamping perlu menggunakan metode yang tepat juga
perlu memiliki teknik dan alat pengumpul data yang relevan agar memungkinkan
diperoleh data yang objektif” (Rachman,1997:77). “Sumber data primer diperoleh dari
hasil penelitian dilapangan secara langsung dengan pihak -pihak yang mengetahui persis
masalah yang akan dibahas” (Arikunto,2002:107).
Jadi data primer diperoleh dari data di lapangan atau dari penelitian di masyarakat,
disamping informan dan responden, juga berupa data-data hasil penelitian yang diperoleh
dari lapangan, yaitu data-data hasil penelitian dari Kejaksaan Negeri Semarang, serta
tokoh akademisi yang terkait dengan permasalahan penelitian ini. Pendekatan sosiologis
berarti “penelitian ini akan mengidentifikasi hukum dan efektifitas hukum”
(Soekanto,1986: 51). Artinya penelitian ini adalah kajian untuk melihat realitas sosial
atau kenyataan yang hidup dalam masyarakat dari sudut pandang hukum, di mana hukum
mengatur ketentuan mengenai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan pendekatan secara yuridis berarti “penelitian ini mencakup penelitian
terhadap azas-aza shukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum,
dan perbandingan hukum” (Soekanto,1986: 51).
3.4.2 Data Sekunder sebagai data pendukung
Sumber data sekunder yaitu “sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data” ( Sugiyono, 2007:225). MenurutArikunto (2002:107) bahwa “untuk
29
memperoleh sumber data sekunder penulis menggunakan teknik dokumentasi.
Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis yang berupa
buku, sumber arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi”.
”Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum,dan komentar-komentar hukum atas
pengadilan” (Marzuki, 2006:95).Data sekunder adalah ”data dari penelitian kepustakaan
dimana dalam data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum, yaitu bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yaitu sebagai berikut:”
(Marzuki, 2006:95).
a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat. Berupa
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan
yang dibahas, yaitu meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana.
2. Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
4. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-558/A/J.A/12/2003.
Tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor:
KEP-225/A/J.A/2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik
30
Indonesia, Nomor: KEP-115/A/J.A/10/1999 Tentang Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
5. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomer: KEP-132/J.A/111994
tentang Perubahan Keputusan Jaksa "Agung R.I Nomor: KEP-120/J.A/12/1992
tanggal 31 Desember 1992 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.
6. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-033/JA/3/1993. tentang
Eksaminasi Perkara.
b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan
hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku literatur, hasil karya
sarjana meliputi skripsi, tesis dan desertasi serta literatur lain seperti website-website
tentang pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana.
c. Bahan hukum tersier, adalah bahan hukum sebagai pelengkap kedua bahan hukum
sebelumnya, yaitu berupa:
1. Kamus Hukum;
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3.5 Metode pengumpulan data
Untuk memperoleh data penelitian, akan dilakukan dengan menggunakan beberapa
teknik sebagai berikut :
3.5.1 Studi Kepustakaan
Penelitian pustaka (library research), melalui penelitian ini penulis berusaha
mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar, serta beberapa peraturan perundang-
undangan yang ada hubungannya dengan materi skripsi, selanjutnya mengutip dan
31
menerjemahkan bagian-bagian tertentu yang mempunyai kaitan dengan materi skripsi
(Rachman, 1997:77).
Studi kepustakaan adalah penelaahan bahan-bahan kepustakaan, dengan cara
membaca dan mencatat literatur-literatur terkait. Studi kepustakaan digunakan untuk
memperoleh data sekunder yaitu dengan membaca dan mencermati aturan-aturan hukum,
dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, serta mempelajari literatur-literatur
lainnya yang kemudian berdasarkan studi pustaka tersebut selanjutnya dapat diperoleh
aturan-aturan hukum yang sesuai dalam mengatur permasalahan yang sedang di teliti.
(Rachman,1997:77)
Untuk keperluan analisis kualitatif, peneliti akan mengambil beberapa contoh
pelaksanaan pengambilan barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana dan kemudian
dianalisis dengan data sekunder yang telah di peroleh dari studi kepustakaan serta buku-
buku yang berkaitan dengan objek penelitian. Sehingga dari analisis tersebut dapat
diperoleh kesimpulan atas permasalahan yang sedang diteliti.
3.5.2 Dokumentasi
Dokumentasi yaitu metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal–hal
atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat,
legger, agenda dan lain sebagainya (Arikunto,1998: 236).
Dokumentasi dilakukan dengan cara mencatat dokumen atau arsip-arsip yang
berkaitan dan dibutuhkan pada penelitian ini serta bertujuan untuk mencocokan dan
melengkapi data primer, dalam hal ini adalah yang berkaitan dengan pelaksanaan
pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana.
32
3.5.3 Wawancara
“Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan
yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang mewawancarai
dan jawaban diberikan oleh yang diwawancara” (Fathoni, 2006 : 105).
Wawancara ini diadakan secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait dan
berwenang memberikan informasi yakni jaksa yang khususnya di Kejaksaan Negeri
Semarang dalam penentuan pelaksanaan pengembalian barang bukti, serta para petugas
RUPBASAN yang berkompeten untuk menyampaikan informasi yang diperlukan
kepada peneliti.
3.6 Metode Analisis Data
Dalam melakukan penelitian hukum dilakukan langkah-langkah seperti:
mengidentifikasi masalah fakta-fakta hukum dan hal-hal yang tidak relevan terhadap isu
hukum yang hendak dipecahkan; menyimpulkan bahan-bahan hukum yang mempunyai
relevansi dengan bahan-bahan non hukum, melakukan telaah atas isu hukum yang di
kumpulkan: menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum
dan memberi perskripsi berdasarkan argumentasi yang dibangun dalam kesimpulan
(Marzuki, 2006:171).
Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan data, maka diadakan suatu analisis
data untuk mengolah data yang ada. Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan
mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat di
temukan tema dan di temukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data
(Moleong, 2002:103).
33
Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam
pola,kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2000:103).
Menurut Milles dan Huberman dalam Rachman (1999:120). Tahapan analisis data
adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Peneliti mencatat semua data secara objektif dan apa adanya sesuai dengan hasil
observasi dan wawancara di lapangan.
2. Reduksi Data
Yaitu memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Dimana reduksi
data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi. Data-data yang telah
direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan
mempermudah peneliti untuk mencarinya sewaktu - waktu diperlukan.
3. Penyajian Data
Penyajian data berupa sekumpulan informasi yang telah tersusun yang member
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
4. Penarikan Kesimpulan atauVerifikasi
Sejak semula peneliti berusaha mencari makna dari data yang di peroleh. Untuk itu,
peneliti berusaha mencari pula, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang
sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Verifikasi dapat dilakukan dengan singkat
yaitu dengan cara mengumpulkan data baru. Dalam pengambilan keputusan,
34
didasarkan pada reduksi data dan penyajian data yang merupakan jawaban atas
masalah yang diangkat dalam penelitian.
Tahap ananalisis data kualitatif diatas dapat dilihat dalam gambar dibawah ini: Bagan 5
(lima) : Analisis Data Kualitatif
Sumber: Milles dan Huberman dalam Rachman (1999:120)
Keempat komponen tersebut saling mempengaruhi dan terkait. Pertama-tama
peneliti melakukan penelitian dilapangan dengan menggunakan wawancara atau
observasi yang disebut tahap pengumpulan data. Karena data yang di kumpulkan banyak
maka diadakan reduksi data, setelah direduksi kemudian diadakan sajian data, selain itu
pengumpulan data juga di gunakan untuk penyajian data, selain itu pengumpulan data
juga di gunakan untuk penyajian data. Apabila ketiga tahapan tersebut selesai dilakukan,
maka diambil kesimpulan.
Pengumpulan
Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan
kesimpulan/
verifikasi
35
3.7 Keabsahan Data
“Pemeriksaan keabsahan data ini diterapkan dalam rangka membuktikan kebenaran
temuan hasil penelitian dengan kenyataan dilapangan.” (Moleong,2000:75), untuk
memeriksa keabsahan data pada penelitian kualitatif antara lain digunakan taraf
kepercayaan data (credibility). Teknik yang digunakan untuk melacak credibility dalam
penelitian ini adalah teknik tringulasi (triangulation).
“Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang
lain diluar data ini”(Moleong,2000:178). Proses pemeriksaan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan mengecek dan membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil
observasi dan data pelengkap lainnya.
Triangulasi yang digunakan antara lain sebagai berikut :
1. Triangulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek baik kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang berbeda dalam metode
kualitatif.
2. Memanfaatkan pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat
kepercayaan data dari pemanfaatan pengamat akan membantu mengurangi bias dalam
pengumpulan data.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi sumber. Menurut
Patton dalam bukunya (Moleong,2000:178). Triangulasi dengan sumber dapat ditempuh
dengan jalan sebagai berikut:
1. Membandingkan data hasilpengamatandenganhasilwawancara.
2. Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
36
3. Membandingkan apa yang dikatakan oleh seseorang sewaktu diteliti dengan
sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan, orang berada,
pejabat pemerintah.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Bagan triangulasi pada pengujian validitas data dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagan 4 (empat) : Triangulasi Data
(Sumber: Moleong, 2000:178)
Berdasarkan pendapat Moleong diatas, maka penulis melakukan perbandingan data
yang telah diperoleh. Yaitu data-data sekunder hasil kajian pustaka akan dibandingkan
dengan data-data primer yang diperoleh di fakta-fakta yang ditemui lapangan. Sehingga
kebenaran dari data yang diperoleh dapat dipercaya dan meyakinkan.
Peneliti melakukan validasi sendiri dengan memperhatikan hal-hal, diantaranya:
a. Pemahaman peneliti terhadap metode penelitian kualitatif;
b. Kesiapan peneliti untuk memasuki obyek penelitian secara akademik maupun
logistik.
Teknik yang berbeda
Waktu yang berbeda
Data Sama Data valid
Sumber yang berbeda
37
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kejaksaan Negeri Semarang dan RUPBASAN (Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara)
Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara,
khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan
hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan
Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan,
dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak
hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah
dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004). Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa
Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi
pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga
38
mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran
strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan
menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta
juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga
Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan
atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana
(executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki
peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili
Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara
Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai
Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain
berdasarkan Undang-Undang.
Kejaksaan negeri adalah lembaga kejaksaan yang berkedudukan di
ibukota kabupaten/ kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan kabupaten/
kota. Kejaksaan Agung, kejaksaan tinggi (berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi), dan kejaksaan negeri merupakan kekuasaan
negara khususnya di bidang penuntutan, di mana semuanya merupakan satu kesatuan
yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Kejaksaan negeri dipimpin oleh kepala
kejaksaan negeri, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di
daerah hukumnya. Kejaksaan negeri dibentuk dengan keputusan presiden atas
usul Jaksa Agung. Dalam hal tertentu di daerah hukum kejaksaan negeri dapat dibentuk
39
cabang kejaksaan negeri, yang dibentuk dengan keputusan Jaksa Agung. Gedung
Kejaksaan Negeri Semarang terletak di Jl. Abdul Rahman Saleh No. 5-9 Semarang,
Jawa Tengah.
Dalam penanganan terdakwa, setelah berkas dari pihak penyidik (P-21)
dinyatakan lengkap oleh jaksa, masih ada tahap berikutnya dan tahapan itu terdiri dari:
1. Berkas yang telah dinyatakan P-21 oleh jaksa.
2. Bawa Barang Bukti.
3. Dihadirkan tersangka tetapi setelah pemeriksaan, tersangka dititipkan ke Rutan.
Setelah selesai, barulah jaksa membuat surat dakwaan dan segera dilimpahkan ke
Pengadilan Negeri. Waktu pada saat dilimpahkan ke PN itu waktunya sekitar 2 minggu.
Pengadilan Negeri menerima surat dakwaan yang diserahkan ke Panitera dan membuat
jadwal untuk membuat hari sidang. Setelah penetapan hari sidang dari Pengadilan
Negeri disampaikan kepada Jaksa, dan Jaksa menyampaikan kepada terdakwa.
Setelah melakukan penyitaan atas benda yang bersangkutan dalam tindak
pidana,maka benda tersebut harus diamankan oleh penyidik dengan menempatkannya
dalam suatu tempat yang khusus yaitu menyimpan benda-benda sitaan Negara. Pasal 44
ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa benda sitaan disimpan dalam rumah penyitaan
benda sitaan Negara. Dengan berlakunya KUHAP, timbul suatu lembaga baru yang
dikena nama RUPBASAN ( Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara), yaitu tempat
penyimpanan benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan ( pasal 1
butir 3 PP No. 27 tahun 1983).
Tugas RUPBASAN adalah Melakukan Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang
Rampasan Negara. Fungsi RUPBASAN yaitu sebagai berikut:
40
berita acara
pelaksanaan
penetapa
hakim (BA–6)
dan membuat
berita acara
pengambilan
barang bukti (
BA – 20 ) Orang yang dijelaskan
dalam isi petikan putusan
RUPBASAN
a) Melakukan pengadministrasian benda sitaan dan barang rampasan Negara;
b) Melakukan pemeliharaan dan mutasi benda sitaan dan barang rampasan Negara;
c) Melakukan pengamanan dan pengelolaan RUPBASAN
4.1 Pelaksanaan Pengembalian Barang Bukti Oleh Jaksa Dalam Perkara Pidana
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kejaksaan Negeri Semarang, bahwa
pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah sebagai
berikut:
HAKIM Surat Petikan Jaksa
Putusan inkracht
(putusan yang sudah
mendapatkan kekuatan
hukum tetap)
Bagan.1 .Mekanisme pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana
Dari keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang
bukti yang menjelaskan tentang pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam
perkara pidana adalah seperti bagan mekanisme pengembalian barang bukti oleh jaksa
dalam perkara pidana tersebut dan penjelasan dari bagan mekanisme pengembalian barang
bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah:
41
“Perkara yang sudah mendapatkan putusan inkracht (putusan yang
sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap) lalu hakim menbuat surat
petikan putusan, petikan putusan keluar 1 (satu) minggu setelah putusan
inkracht (putusan yang sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap).
Petikan putusan tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa langsung
membuat berita acara pelaksanaan penetapan hakim ( BA - 6 ) dan
membuat berita acara pengambilan barang bukti ( BA - 20 ). Setelah itu
berita acara pelaksanaan penetapan hakim ( BA - 6 ) dan membuat
berita acara pengambilan barang bukti ( BA - 20 ) diberikan kepada
orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan
yang ditetapkan oleh hakim. Karena berita acara pelaksanaan penetapa
hakim ( BA - 6 ) dan membuat berita acara pengambilan barang bukti (
BA - 20 ) untuk mengambil barang bukti yang di sebutkan dalam isi
petikan putusan di Kejaksaan atau di RUPBASAN (rumah penyimpanan
benda sitaan negara)".
(Wawancara dengan Hardi, SH sebagai jaksa bagian barang bukti, 26
November 2012, Pukul 13.00 wib).
Jadi yang diterangkan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti sudah
sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 46 ayat (2) KUHAP
yaitu apabila perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut,
kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk
dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika
benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Mengenai pengembalian barang bukti yang diatur dalam Pasal 46
KUHAP yaitu menyatakan bahwa :
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau
kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau
kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau
ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau
perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda
diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana.
42
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang
disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim
benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda
tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu:
f. Keterangan saksi
g. Keterangan ahli
h. Surat
i. Petunjuk
j. Keterangan terdakwa
Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk
alat pembuktian.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak
menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam
pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian
tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat
diperlukan. Benda-benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”.Barang bukti atau
corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai
peranan yang sangat penting dalam proses pidana.
Selain itu didalam Hetterzine in landcsh regerment(HIR) juga terdapat perihal
barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat ataupun
orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian
selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu
43
kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal
42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag diantaranya:
e. Barang yang menjadi sarana tindak pidana (corpora delicti)
f. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti)
g. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana (instrumenta
delicti)
h. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk membuatkan atau
meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti).
Apabila benda tersebut adalah surat maka diperlukan untuk pemeriksaan surat,
sebagaimana yang diatur Pasal 47 KUHAP dan Pasal 48 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
Pasal 47 KUHAP antara lain menyebutkan:
1) Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat lain yang
dikirim melalui kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan jika benda tersebut
dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai hubungan dengan
perkara pidana yang sedang diperiksa, dengan izin khusus yang
diberikan untuk itu dari ketua pengadilan negeri.
2) Untuk kepentingan tersebut. penyidik dapat meminta kepada kepala
kantor pos dan telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan
komunikasi atau pengangkutan lain untuk menyerahkan kepadanya
surat yang dimaksud dan untuk itu harus diberikan surat tanda
penerimaan.
Pasal 48 KUHAP mengatur bahwa:
1) Apabila sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada
hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut
dilampirkan pada berkas perkara.
2) Apabila sesudah diperiksa ternyata surat itu tidak ada hubungannya
dengan perkara tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan
kembali kepada kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau
perusahaan komunikasi atau pengangkutan lain setelah dibubuhi cap
yang berbunyi "telah dibuka oleh penyidik" dengan dibubuhi
tanggal, tanda tangan beserta identitas penyidik.
3) Penyidik dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas
kekuatan sumpah jabatan isi surat yang dikembalikan itu.
44
Hal ini mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal
perkara tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga
dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum
tetap, baik perkara tersebut masih di tingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah di
persidang pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan
untuk mencari nafkah atau sebagai sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat
(3) KUHAP yaitu menyatakan bahwa :
(3) Perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai suatu syarat apapun
kecuali dalam hal putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam pengembalian barang bukti sebelum mendapatkan putusan kekuatan
hukum tetap tidak menyebutkan syarat-syarat pengembalian benda sitaan yang dapat
dipinjam-pakaikan kepada orang atau mereka dari mana benda tersebut disita atau
kepada mereka yang paling berhak, namun dalam praktek pelaksanaan, pejabat yang
bertanggungjawab secara yuridis atas benda sitaan tersebut memberikan syarat-syarat
tertentu yang harus dipatuhi oleh si penerima barang bukti tersebut. Adapun syarat yang
harus dipenuhi oleh si pemohon atau orang yang berhak menerima barang bukti sesuai
isi petikan putusan adalah sebagai berikut :
a. Bersedia menghadapkan barang bukti itu apabila sewaktu-waktu diperlukan kembali
untuk kepentingan pembuktian.
b. Bersedia menjaga keutuhan barang bukti tersebut, artinya bahwa barang bukti
tersebut tidak akan dirubah atau rusak atau dipendah-tangankan kepada orang lain.
c. Bersedia barang bukti tersebut ditarik kembali dan bersedia dituntut menurut hukum
yang berlaku apabila tidak menepati janji sebagai mana tersebut.
45
Pada umumnya benda sitaan yang dipinjam-pakaikan adalah benda yang
merupakan objek kejahatan, misalnya : mobil, sepeda motor, emas, TV, video, radio dan
lain-lain. Benda yang tidak dapat dipinjam-pakaikan antara lain :
a. Benda tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan, misalnya : pisau,
linggis, dan alat-alat lainnya. Kecuali jika jelas bahwa benda tersebut adalah milik
suatu instansi, misalnya pistol yang dipakai untuk membunuh adalah milik
Departemen Hankam, maka pistol tersebut dapat dikembalikan pada instansi yang
bersangkutan.
b. Benda tersebut merupakan hasil perbuatan jahat terdakwa, misalnya uang palsu,
emas palsu dan lain-lain.
c. Benda terlarang, misalnya : ganja, heroin, obat-obatan dan lain-lain.
d. Benda yang kepemilikannya kurang jelas atau saling kait mengkait antar pelapor
dengan orang lain.
Dalam hal barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain, maka putusan
pengadilan yang berkenaan dengan barang bukti tersebut menyatakan bahwa: barang
bukti masih dikuasai jaksa, karena masih diperlukan dalam perkara lain atau barang
bukti dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum karena masih diperlukan dalam
perkara lain. Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan seperti berikut:
d. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara pertama sudah diputus
oleh hakim sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian perkara
yang kedua.
46
e. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa diperiksa secara
terpisah atau perkaranya displitsing. Terdakwa pertama sudah diputus sedangkan
barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian terdakwa yang lain.
f. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih dari satu orang (sipil dan
ABRI). Terdakwa Sipil sudah diputus oleh pengadilan, sedangkan barang buktinya
masih diperlukan untuk perkara yang terdakwanya ABRI.
Mengenai permintaan pengeluaran benda sitaan untuk kepentingan penyidikan
dan penuntutan tidak ditentukan jangka waktu kapan surat tersebut harus diajukan.
Sedangkan permintaan pengeluaran benda sitaan untuk keperluan sidang pengadilan,
menurut Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor M.05-UM.01.06
Tahun 1983, surat tersebut harus sudah diterima oleh Kepala RUPBASAN selambat-
lambatnya 1 X 24 jam sebelum hari sidang. Ketentuan ini adalah untuk mencegah
adanya permintaan pengeluaran benda sitaan yang bersifat mendesak atau terburu-buru,
dan pada saat sidang dimulai barang bukti yang diperlukan sudah siap untuk dihadapkan
ke persidangan. Untuk mengeluarkan benda sitaan guna keperluan sidang pengadilan,
petugas RUPBASAN harus:
a. Meneliti surat permintaan pengeluaran benda sitaan negara
b. Membuat berita acara serah terima dan menyampaikannya kepada instansi yang
menyita
c. Mencatat lama peminjaman benda sitaan negara, dalam register yang tersedia
Benda sitaan negara hanya digunakan untuk keperluan barang bukti dalam
pemeriksaan pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Apabila digunakan untuk kepentingan lain tentunya tindakan tersebut tidak
47
dibenarkan. Surat penyerahan benda sitaan tersebut dilampirkan pula dengan surat
perintah penyitaan, berita acara penyitaan dan atau berita acara penyisihan. Sedangkan
benda sitaan yang akan diserahkan kepada RUPBASAN (Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara), harus sudah diberi label, dilak, distempel, sehingga mudah untuk
mencocokkannya dengan surat penyerahannya, dan disamping itu tidak tertukar dengan
benda lain dan mudah ditemukan bila suatu saat diperlukan. Dijelaskan dalam Pasal 27
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana yaitu:
(1) Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan
untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan
hakim;
(2) Dalam hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN, maka cara
penyimpanan benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala
RUPBASAN;
(3) Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin
keselamatan dan keamanannya;
Menurut beberapa keterangan yang diperoleh dari ibu Kartika selaku jaksa bagian
barang bukti, bahwa:
“Prosedur yang diperlukan dalam pengambilan barang bukti yaitu orang
yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan untuk mengambil
surat pengantar dan surat pengambilan barang bukti untuk ditunjukkan
kepada pihak RUPBASAN. Baru orang yang disebutkan dalam isi
petikan putusan bisa mengambil barang bukti tersebut ke RUPBASAN
(Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara)”.
Keterangan yang diberikan ibu Kartika selaku Jaksa Bagian Barang Bukti yaitu
sudah sesuai dengam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 28 ayat (2) yaitu Pengeluaran barang
rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
48
hukum tetap, dilakukan atas permintaan jaksa secara tertulis. Menjelaskan mengenai
pengeluaran barang bukti dari RUPBASAN yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, yang dilakukan atas permintaan jaksa secara tertulis. Syarat pengambilan barang
bukti dari RUPBASAN, jaksa harus membuat Surat Berita Acara Pengambilan Barang
Bukti (BA-20) dan Surat Pengantar Pengambilan Barang Bukti. Seperti yang dijelaskan
oleh ibu Kartika selaku Jaksa Bagian Barang Bukti.
4.2 Kendala dalam Pelaksanaan Pengembalian Barang Bukti yang Disita Setelah
Adanya Putusan Hakim yang Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap.
Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang
bukti mengenai kendala yang dihadapi oleh jaksa dalam pengembalian barang bukti
adalah:
“orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan
tidak mau mengambil barang bukti tersebut, dan orang yang sudah
disebutkan dalam isi petikan putusan lama dalam pengambilan barang
bukti tersebut. Jadi barang bukti yang tidak diambil atau pengambilanya
terlalu lama mengakibatkan RUPBASAN menjadi penuh.”
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 28 Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor: M.04-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah
Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yaitu RUPBASAN
mempunyai tugas melakukan penyimpanan benda sitaan negara dan barang rampasan
negara. Pasal 29 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.04-
PR.07.03 Tahun 1985 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara yaitu untuk menyelenggarakan tugas tersebut
pada Pasal 28, RUPBASAN mempunyai fungsi:
a. Melakukan pengadministrasian benda sitaan dan barang rampasan
negara.
49
b. Melakukan pemeliharaan dan mutasi benda sitaan dan barang
rampasan negara
c. Melakukan pengamanan dan pengelolaan RUPBASAN.
d. Melakukan urusan surat menyurat dan kearsipan.
Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa
bagian barang bukti mengenai langkah yang diambil jika ada kendala
dalam pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana yaitu
“jaksa membuat surat panggilan kepada pihak yang sudah disebutkan
dalam isi petikan putusan untuk mengambil barang bukti yang
disebutkan dalam isi petikan putusan.”
Benda-benda sitaan yang akan disimpan di RUPBASAN(Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan Negara) itu tidak dilengkapi dengan surat penyitaan dan atau tidak cocok
dengan jumlah atau jenis benda yang tercantum dalam berita acara penyitaan, maka
petugas RUPBASAN dilarang untuk menerima benda sitaan tersebut. Untuk lebih jelas
siapa yang menyerahkan dan menyimpan benda sitaan tersebut, maka selain pejabat
yang bertanggung jawab secara yuridis, tugas RUPBASAN yang menerima benda sitaan
pun harus menandatangani surat penyerahan benda sitaan tersebut. Dijelaskan dalam
Pasal 27 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu Kepala
RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang
bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang
dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan
tersebut.
Menurut jaksa Hardi SH, sebagai jaksa bagian barang bukti
tenggang waktu yang diperlukan penyimpanan barang bukti di
RUPBASAN yaitu “berdasarkan putusan dari pengadilan semakin lama
perkara mendapatkan putusan inkracht ( putusan yang sudah
mendapatkan kekuatan hukum tetap) maka semakin lama juga tenggang
waktu yang diperlukan dalam penyimpanan barang bukti di
RUPBASAN. Dalam penyimpanan barang bukti disimpan di
RUPBASAN (rumah penyimpanan benda sitaan negara) yang sudah
50
sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dalam Pasal
44 ayat (1) KUHAP yaitu Benda sitaan disimpan dalam rumah
penyimpanan benda sitaan negara.”
Berdasarkan putusan pengadilan serta surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri,
jaksa yang bersangkutan mengajukan permintaan kepada RUPBASAN agar
mengeluarkan benda sitaan/ barang bukti yang dimaksud. Selanjutnya menurut Pasal 8
ayat (1) Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.05.UM.01.06 Tahun 1983, pihak
RUPBASAN melakukan hal- hal sebagai berikut:
a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan.
b. Membuat berita acara serah terima yang tembusannya harus dismpaikan kepada
instansi yang menyita.
c. Mencatat dan mencoret benda sitaan tersebut dari daftar yang tersedia.
Apabila RUPBASAN belum terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang
bersangkutan melaksanakan pengembalian benda tersebut dengan membuat berita
acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, yang
menerima barang bukti dan para saksi yang menyaksikan acara pelaksanaan
pengembalian barang bukti.
Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan
tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya
biasanya dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum
langsung mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya
tercantum dalam putusan pengadilan tersebut, jika ia hadir dalam persidangan itu,
pengembalian barang bukti tersebut dilakukan dengan berita acara.
Tenggang waktu yang diperlukan oleh jaksa dalam penyimpanan barang
bukti yaitu “berdasarkan putusan pengadilan. Setelah adanya putusan
51
inkracht ( keputusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap) jaksa
langsung menjalankan tugas untuk mengembalikan barang bukti ke
orang yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan.
Jaksa akan diberikan petikan putusan lalu membuat berita acara
pelaksanaan penetapan hakim (BA - 6) dan membuat berita acara
pengambilan barang bukti (BA - 20).”
Menurut keterangan yang diperoleh dari bapak Hardi, SH, selaku jaksa bagian
barang bukti:
1. “Cara mengatasi barang bukti yang mudah rusak, rapuh atau sulit
pemeliharanya yaitu pihak kejaksaan dan pihak RUPBASAN tidak
melakukan pemeliharaan yang lebih. Pihak kejaksaan dan pihak
RUPBASAN cuma menjaga menyimpannya saja sampai
dikembalikan kepada pihak yang disebutkan dalam isi petikan
putusan, karena tidak ada biaya dan tenaga untuk perawatan barang
bukti yang mudah rusak, rapuh atau sulit pemeliharanya.”
Keterangan yang diberikan oleh bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti
yang menerangkan tentang cara mengatasi barang bukti yang mudah rusak, rapuh
atau sulit pemeliharanya, sudah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Pasal 44 ayat (2) yaitu: penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya dan tanggungjawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang
sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut
dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Dan Pasal 45 ayat (1) KUHAP
yaitu : dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan
pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap
atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh
mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan
sebagai berikut:
52
a. Apabila tersangka masih ada ditangan penyidik atau penuntut umum, benda
tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut
umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya.
b. Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda tersebut dapat
diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang
menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.
2. “Orang yang berhak menerima barang bukti tersebut menolak
menerima barang bukti maka jaksa akan membuat surat panggilan
terhadap orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan putusan
untuk mengambil barang bukti yang sudah disebutkan dalam isi
petikan putusan. Jangka waktu pengambilan barang bukti kurang
lebih 2 (dua) tahun kalau tetap tidak diambil barang bukti tersebut
maka jaksa akan membuat surat keterangan kalau barang bukti tidak
diambil akan dibuang atau dimusnahkan dan orang yang disebutkan
dalam isi petikan putusan harus menandatangani, sebagai bukti kalau
barang bukti itu akan dibuang atau dimusnahkan.”
Proses pemeriksaan barang bukti pada kejaksaan dilakukan sebagai berikut: Jaksa
Penuntut Umum mencocokan barang-barang tersebut dengan yang tercantum dalam
daftar barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara dengan disaksikan oleh
penyidik dan tersangka. Menurut Instruksi Jaksa Agung RI. Nomor: INS-
006/J.A/7/1986 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Teknik Yudisial Perkara
Pidana Umum, penelitian mengenai barang bukti tersebut meliputi:
a. Jenis/macamnya, contoh: jenis/macam dari barang bukti yang disita
oleh jaksa dari terdakwa atau pemiliknya, seperti: motor (mereknya),
rumah, mobil (mereknya), surat/dokumen, alat-alat yang
dipergunakan dalam melakukan tindak pidana.
b. Jumlah/kesatuannya, yaitu jumlah/banyaknya dari barang bukti yang
yang disita dari terdakwa atau pemilik barang bukti.
c. Mutu/kadarnya, yaitu mutu /kadar dari barang bukti tersebut seperti
ganja yang disita dari terdakwa sebanyak 3kg.
Keterangan yang diberikan oleh bapak Hardi selaku bagian barang bukti
mengenai penjelasan tentang jangka waktu pengambilan barang bukti tidak sesuai
53
dengan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor : INS 006/JA/7/86 Tanggal 15 Juli 1986,
apabila pemilik atau orang yang berhak atas barang bukti tidak datang walaupun telah
dipanggil secara sah menurut hukum, dalam waktu 6 (enam) bulan, baik melalui surat
panggilan dalam mass media, maka barang bukti tersebut dapat dijual lelang melalui
Kantor Lelang Negara (Instruksi presiden Nomor : 9 Tahun 1970 Tanggal 21 Mei
1970).
Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa bagian barang
bukti menangani barang bukti yang berbentuk makhluk hidup dan jumlahnya tidak
sedikit adalah:
1. “Jaksa akan membuat surat berita acara penitipan kepada orang yang
disebutkan dalam isi petikan putusan karena jaksa tidak bisa untuk
memelihara hewan yang jumlahnya banyak, jadi jaksa membuat
surat berita acara penitipan barang kepada orang yang disebutkan
dalam isi petikan putusan. Karena takut kalau hewan tersebut sakit
atau meninggal.”
2. “Jaksa sebelum menitipkan barang bukti kepada orang yang
disebutkan dalam isi petikan putusan, jaksa mengambil foto dari
barang bukti tersebut terlebih dahulu. Untuk menggantikan barang
bukti yang berbentuk hewan yang jumlahnya tidak sedikit karena
tidak semua hewan tersebut bisa dihadapkan di persidangan.”
3. “Jaksa juga mengambil sempel seperti bulu dari hewan tersebut yang
menjadi barang bukti.”
Keterangan yang dijelaskan oleh bapak Hardi selaku jaksa bagian barang butkti
sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 42 ayat (1)
yaitu: penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang
dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan
dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
Barang bukti itu sangat penting arti dan peranannya dalam mendukung upaya
bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum
54
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat membentuk dan
menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya Jaksa Penuntut
Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan atau menghadapkan barang bukti
selengkap-lengkapnya di sidang pengadilan.
Dalam Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti
dipersidangan yaitu Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala
barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan
memperhatikan ketentuan sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 45 KUHAP yaitu:
(1) dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau
yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan
sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan
memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan
benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan
persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai
berikut:
a. Apabila tersangka masih ada ditangan penyidik atau penuntut
umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan
oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh
tersangka atau kuasanya.
b. Apabila perkara sudah ada ditangan pengadilan, maka benda
tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum
atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan
oleh terdakwa atau kuasanya.
(2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai
sebagai barang bukti.
(3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan
sebagaian kecil dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan,
tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk
dimusnahkan.
Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi. Apabila
dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau
55
memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya
minta keterangan seperlunya tentang hal itu.
“Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Hardi selaku jaksa
bagian barang bukti mengenai barang buktinya berbentuk makhluk
hidup yang jumlahnya banyak dan tidak bisa dihadapkan kedepan
sidang pengadilan, jadi jaksa hanya mengambil sampel seperti foto, bulu
dari makhluk hidup tersebut. Barang bukti yang berbentuk makhluk
hidup dan jumlahnya tidak sedikit tersebut dititipkan kepada orang yang
disebutkan dalam isi petikan putusan, dan jaksa langsung membuat surat
berita acara penititan barang bukti. Pihak kejaksaan tidak bisa
menyimpan barang bukti yg berbentuk makhluk hidup dan jumlahnya
tidak sedikit di RUPBASAN (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara) karena takut terjadi jika ada yang mati atau sakit, jadi lebih baik
dititipkan kepada orang yang sudah terdapat dalam isi petikan putusan.”
Dari keterangan yang diterangkan oleh bapak Hardi selaku jaksa bagian barang
bukti sudah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 42 ayat
(1) yaitu: penyidik berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda
yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan
pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda
penerimaan. Dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 Tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 27 ayat (4) yaitu Kepala
RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang
bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang
dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan
tersebut.
Setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, berdasarkan Pasal
194 ayat (3) KUHAP, perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai dengan
syarat apapun. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk berdasarkan surat perintah Kepala
Kejaksaan Negeri yang bersangkutan segera melaksanakan pengembalian barang bukti.
56
Berdasarkan putusan pengadilan serta surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri,
jaksa yang bersangkutan mengajukan permintaan kepada RUPBASAN agar
mengeluarkan benda sitaan/ barang bukti yang dimaksud. Selanjutnya menurut Pasal 8
ayat (1) Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.05-UM.01.06 Tahun 1983, pihak
RUPBASAN melakukan hal- hal sebagai berikut:
a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan.
b. Membuat berita acara serah terima yang tembusannya harus disampaikan kepada
instansi yang menyita.
c. Mencatat dan mencoret benda sitaan tersebut dari daftar yang tersedia.
Apabila RUPBASAN (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara) belum
terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang bersangkutan melaksanakan pengembalian
benda tersebut dengan membuat berita acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa
Penuntut Umum yang bersangkutan, yang menerima barang bukti dan para saksi yang
menyaksikan acara pelaksanaan pengembalian barang bukti. Selanjutnya Jaksa Penuntut
Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Kejaksaan
Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya dalam acara atau perkara singkat,
setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung mengembalikan bukti tersebut
kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam putusn pengadilan tersebut,
jika orang yang berhak yang namanya tercantum dalam putusan pengadilan hadir dalam
persidangan itu maka pengembalian barang bukti tersebut dilakukan dengan berita
acara.
57
Menurut beberapa keterangan yang diperoleh dari ibu Kartika selaku jaksa bagian
barang bukti:
“Pelaksanaan pemusnahan barang bukti yang dirampas untuk
dimusnahkan yaitu jaksa membuat surat berita acara pemusnahan harus
ada instansi yang terkait seperti polisi, dinas kesehatan, jaksa, wartawan
dan lain-lain. Dalam pelaksanaan pemusnahan barang bukti yang
dirampas untuk Negara, tidak ada kendala dalam pelaksanaan
pemusnahan barang bukti yang dirampas untuk Negara.”
Putusan hakim yang berbunyi bahwa barang bukti dirampas untuk kepentingan
negara biasanya ditemui dalam perkara tindak pidana ekonomi, penyelundupan senjata
api, bahan peledak, narkotika. Barang tersebut dijual lelang kemudian hasil lelang
menjadi milik negara. Akan tetapi ada pula barang rampasan negara yang tidak dapat
dijual lelang yaitu barang yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, karena
benda tersebut tidak boleh dimiliki oleh umum.
Menurut Pasal 45 ayat (4) KUHAP dan penjelasannya, “benda tersebut harus
diserahkan kepada departemen yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku”. Misalnya bahan peledak amunisi atau senjata api diserahkan kepada
Departemen Pertahanan dan Keamanan. Barang yang dapat dirampas untuk
dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi biasanya benda
tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan misalnya golok untuk menganiaya
korban atau linggis yang dipakai untuk membongkar rumah orang lain.
Penjelasan mengenai Pasal 45 ayat (4) KUHAP diatas sudah sesuai dengan isi
Pasal 45 ayat (4) KUHAP yaitu: benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk
diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas
untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
58
Menurut beberapa keterangan yang diperoleh dari ibu Kartika selaku
jaksa bagian barang bukti mengenai jangka waktu yang diberikan untuk
barang bukti yang harus berdasarkan putusan hakim yang sifatnya
inkracht dimusnahkan yaitu “tidak bisa langsung dilaksanakan
pemusnahan setiap perkara, karena Kejaksaan Negeri Semarang
melaksanakan pemusnahan barang bukti dilaksanakan 2 - 4 (dua sampai
empat) kali dalam satu tahun. Orang yang berhak menerima barang
bukti adalah orang yang disebutkan dalam isi petikan putusan.”
Putusan hakim yang berkenaan dengan barang bukti adalah sebagai berikut:
Dikembalikan kepada pihak yang paling berhak. Pada hakekatnya, apabila perkara
sudah diputus maka benda yang disita untuk dijadikan barang bukti dalam persidangan
dikembalikan kepada orang atau mereka yang berhak sebagai mana dimaksud dalam
putusan hakim. Undang-undang tidak menyebutkan siapa yang dimaksud dengan yang
berhak tersebut. Dengan demikian kepada siapa barang bukti tersebut dikembalikan
diserahkan kepada hakim yang bersangkutan setelah mendengar keterangan para saksi
dan terdakwa, baik mengenai perkaranya maupun yang menyangkut barang bukti
dalam pemeriksaan sidang di pengadilan.
Putusan Hakim yang berkenaan dengan barang bukti yang harus dikembalikan
kepada pihak yang paling berhak, sudah sesuai dengan Pasal 46 KUHAP yaitu:
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau
kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau
kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau
ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau
perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu
diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan
penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang
disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim
benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan
untuk melakukan suatu tindak pidana.
59
Orang yang berhak menerima barang bukti antara lain :
e. Orang atau mereka dari siapa barang tersebut disita, yaitu orang atau mereka yang
memegang atau menguasai barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan
dimana barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana dalam
pemeriksaan di persidangan memang dialah yang berhak atas barang tersebut.
f. Pemilik yang sebenarnya, sewaktu disita benda yang dijadikan barang bukti tidak
dalam kekuasaan orang tersebut. Namun, dalam pemeriksaan ternyata benda tersebut
adalah miliknya yang dalam perkara itu bertindak sebagai saksi korban. Hal ini sering
terjadi dalam perkara kejahatan terhadap harta benda.
g. Ahli waris, dalam hal yang berhak atas barang bukti tersebut sudah meninggal dunia
sebelum putusan dijatuhkan, maka berkenaan dengan barang bukti tersebut putusan
hakim menetapkan bahwa barang bukti dikembalikan kepada ahli waris atau
keluarganya.
h. Pemegang hak terakhir, barang bukti dapat pula dikembalikan kepada pemegang hak
terakhir atas benda tersebut asalkan dapat dibuktikan bahwa ia secara sah benar-benar
mempunyai hak atas benda tersebut.
Menurut beberapa keterangan yang diperoleh dari ibu Kartika selaku jaksa bagian
barang bukti mengenai pelaksanaan penyerahan barang bukti ke RUPBASAN dan
pengambilan barang bukti oleh jaksa dari RUPBASAN yaitu syarat - syaratnya adalah :
1. “Syarat penyerahan barang bukti oleh jaksa ke RUPBASAN :
a. Harus ada surat perintah kepala kejaksaan.
b. Berita acara penyitaan dari polisi (dikeluarkan oleh penyidik).
c. Surat ijin sita (dikeluarkan oleh pengadilan).
d. Berita acara penitipan (BA - 17) (dikeluarkan oleh kejaksaan).”
2. “Syarat pengambilan barang bukti dari RUPBASAN adalah:
a. Berita acara pengambilan barang bukti (BA - 20).
60
b. Surat pengantar pengambilan barang bukti.”
Menurut penjelasan dari bapak Hardi selaku jaksa bagian barang bukti yang telah
menjelaskan tentang struktur format dari surat-surat yang diperlukan dalam pelaksanaan
pengembalian barang bukti oleh jaksa, sebagai berikut:
a. Format Surat Berita Acara Pelaksanaan Penetapan Hakim (BA-6)
yaitu :
1. Kepala surat.
2. Hari, tanggal, bulan, tahun.
3. Identitas dari Jaksa Penuntut Umum yaitu nama Jaksa Penuntut
Umum, pangkat / NIP, jabatan.
4. Nomor Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Semarang.
5. Tanggal Penetapan Hakim dan Nomor Penetapan Hakim.
6. Identitas terdakwa yaitu nama, alamat.
7. Jumlah dan jenis barang bukti.
8. Penutup Surat Berita Acara Pelaksanaan Penetapan Hakim.
9. Tanda tangan orang yang menerima barang bukti di sebelah kiri
bawah.
10. Tanda tangan Jaksa Penuntut Umum disebelah kanan bawah.
b. Format Surat Berita Acara Pengembalian Barang Bukti (BA-20)
yaitu :
1. Kepala surat.
2. Hari, tanggal, tahun, dan tempat kejaksaan yang mengeluarkan
surat Berita Acara Pengambilan Barang Bukti.
3. Identitas Jaksa Penuntut Umum yaitu nama, pangkat / NIP,
jabatan.
4. Isi Surat Berita Acara Pengembalian Barang Bukti yaitu
berdasarkan: nomor surat perintah Kepala Kejaksaan Negeri
Semarang, nama Terpidana, Pasal yang dikenakan untuk
terdakwa, dan pernyataan bahwa barang bukti tersebut tidak
diperlukan lagi untuk kepentingan penuntutan / perkaranya
dihentikan penuntutannya / dikesampingkan untuk kepentingan
umum / untuk dilaksanakan putusan PN / PT serta nomor surat
putusan pengadilan.
5. Barang bukti apa saja yang telah dikembalikan kepada orang
yang berhak menerimanya / pemiliknya.
6. Identitas orang yang berhak menerima barang bukti atau
pemiliknya yaitu nama, pekerjaan, alamat.
7. Penutut surat Berita Acara Pengembalian Barang Bukti.
8. Tanda tangan yang orang mengambil atau orang yang berhak
menerima barang bukti tersebut di sebelah kiri surat Berita Acara
Pengembalian Barang Bukti.
61
9. Tanda tangan saksi-saksi sebelah kiri di bawah tanda tangan
orang yang mengambil barang bukti.
10. Tanda tangan yang mengembalikan barang bukti yaitu Jaksa
Penuntut Umum.
c. Format Surat Penetapan yaitu :
1. Kepala surat yaitu nomor surat penetapan.
2. Majelis hakim pada pengadilan negeri yang membacakan surat
Penetapan Ketua Pengadilan ketua pengadilan Negeri Semarang
dan surat Pelimpahan perkara dari Kejaksaan Negeri Semrang
yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum.
3. Isi penetapan.
4. Tanda tangan panitera di sebelah kiri bawah dari surat
Penetapan.
5. Catatan yaitu nama Hakim Ketua Majelis, nama Panitera
Pengganti, nama Jaksa Penuntut Umum yang terletak di kiri
bawah tanda tangan dari tanda tangan panitera.
6. Tanggal penetapan di kanan bawah surat penetapan.
7. Tanda tangn hakim ketua majelis di bawah tanggal penetapan
kanan bawah surat Penetapan.
d. Format Petikan Putusan yaitu :
1. Nomor surat petikan putusan.
2. Identitas terdakwa yaitu nama lengkap, tempat lahir, umur /
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama,
pekerjaan, pendidikan.
3. Tanggal terdakwa berada dalam tahanan.
4. Isi dari mengadili yaitu menyatakan terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, dan
menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, memerintahkan
agar barang bukti dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak,
membebankan kepada para terdakwa untuk membayar biaya
perkara masing-masing 1.000 ( seribu rupiah).
5. Penutup Petikan Putusan.
6. Tanda tangan hakim-hakim anggota di kiri bawah penutup
petikan putusan.
7. Tanda tangan hakim ketua majelis di kanan bawah penutup
petikan putusan.
8. Tanda tangan panitera pengganti di tengah bawah tanda tangan
hakim-hakim anggota dan hakim ketua majelis.
9. Catatan dari surat petikan putusan di bawah tanda tangan
panitera pengganti.
10. Tanda tangan patenitera di kiri bawah kiri.
11. Tanda tangan wakil panitera kanan bawah.
e. Format surat pengantar penitipan barang yaitu :
1. Kepala surat yaitu kop surat, tanggal surat, alamat surat.
2. Isi surat pengantar penitipan barang di RUPBASAN.
3. Tanda tangan Kepala Kejaksaan Negeri Semarang
62
f. Format surat pengambilan barang bukti yaitu :
1. Kepala surat yaitu kop surat, nomor surat, sifat surat, lampiran,
perihal surat, tanggal surat, alamat surat.
2. Isi surat mengenai pengambilan barang bukti guna pelaksanaan
eksekusi.
3. Salam penutup surat.
4. Tanda tangan dan nama terang Kepala kejaksaan Negeri
Semarang di kanan bawah surat.
5. Tembusan surat di kiri bawah tanda tangan dan nama terang
Kepala kejaksaan Negeri Semarang.
63
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab 4 dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana adalah
sebagai berikut: Perkara yang sudah mendapatkan putusan inkracht (putusan yang
sudah mendapatkan kekuatan hukum tetap) lalu hakim membuat surat petikan putusan,
petikan putusan keluar 1 (satu) minggu setelah putusan inkracht. Petikan putusan
tersebut lalu diberikan kepada jaksa agar jaksa langsung membuat berita acara
pelaksanaan penetapa hakim ( BA – 6 ) dan membuat berita acara pengambilan barang
bukti ( BA – 20 ). Setelah itu berita acara pelaksanaan penetapa hakim ( BA – 6 ) dan
membuat berita acara pengambilan barang bukti ( BA – 20 ) diberikan kepada orang
yang sudah disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan yang ditetapkan oleh
hakim. Karena berita acara pelaksanaan penetapa hakim ( BA – 6 ) dan membuat berita
acara pengambilan barang bukti ( BA – 20 ) untuk mengambil barang bukti yang di
sebutkan dalam isi petikan putusan di Kejaksaan atau di RUPBASAN.
2. Kendala dalam pengembalian barang bukti oleh jaksa adalah apabila orang yang sudah
disebutkan atau dijelaskan dalam isi petikan putusan tidak mau mengambil barang
bukti. Sehingga barang bukti yang tidak diambil atau pengambilanya terlalu lama
mengakibatkan RUPBASAN menjadi penuh. Karena tidak ada Peraturan atau undang-
undang yang mengatur tentang jangka waktu dalam pengambilan barang bukti, pihak
kejaksaan hanya memberi jangka waktu kepada orang yang sudah disebutkan dalam isi
64
petikan putusan untuk mengambil barang bukti. Terkadang Orang yang berhak
menerima barang bukti tersebut menolak menerima barang bukti maka jaksa akan
membuat surat panggilan terhadap orang yang sudah disebutkan dalam isi petikan
putusan untuk mengambil barang bukti yang sudah disebutkan dalam isi petikan
putusan. Jangka waktu pengambilan barang bukti kurang lebih 2 (dua) tahun kalau
tetap tidak diambil barang bukti tersebut maka jaksa akan membuat surat keterangan
kalau barang bukti tidak diambil akan dibuang atau dimusnahkan dan orang yang
disebutkan dalam isi petikan putusan harus menandatangani, sebagai bukti kalau
barang bukti itu akan dibuang atau dimusnahkan.
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis kemukakan berdasarkan hasil pembahasan ini adalah
sebagai berikut :
1. Penambahan dan pembaharuan sarana prasarana untuk meminimalisir terjadinya
penumpukan barang bukti di RUPBASAN. Meningkatkan kualitas dari para aparat
penegak hukum serta agar barang bukti tidak menumpuk di kejaksaan, yang seharusnya
barang bukti harus ditempatkan di RUPBASAN bukan di Kejaksaan.
2. Dibuatkan undang – undang yang mengatur mengenai jangka waktu dalam
pengambilan barang bukti.
65
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku:
Afiah, Ratna nurul.1988. Barang Bukti Dalam Proses Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
Hamzah, Andi. 1993.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Arikha Media Cipta.
Marpaung, Leden. 1992. Proses Penangangan perkara Pidana, Bagian Kedua. Jakarta: Sinar
Grafika.
Moeljatno. 1990.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Bumi Aksara, Jakarta: Bumi
Perkasa.
Moeljatno. 1987.Azas-azas Hukum Pidana.Jakarta: Bina Aksara
Moleong, Lexy J. 1988. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung.
Prakoso, Djoko. 1985. Eksistensi Jaksa di Tengah-tengah Masyarakat. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Pramadya Puspa, Yan. Kamus Hukum Edisi Lengkap bahasa Belanda Indonesia Inggris.
Semarang: Aneka Ilmu.
Pramadya Puspa, Yan. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia , Jakarta: Akamedika
Presido.
.1990. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
. 1986. Kamus Hukum. Jakarta:Ghalia Indonesia.
66
Soesilo, R. 1985. Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar -Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Panitera.
Soemitro, Hanitijo, Ronny. 1994. Metodologi penelitian Hukum dan Jurimetr. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 13-14.
Sudarto. 1990. Hukim Pidana I (cetakan ke II), Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum
UNDIP.
Yahya Harahap, M. 1986. Perubahan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II . Jakarta :
Pustaka Kartini.
Dari Internet
www.Kejaksaan.go.id/uplimg/file/KEP 013.Kepja558-2003.doc.
Keputusan Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-558/A/J.A/12/2003
Tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, Nomor: KEP-
225/A/J.A/2003 Tentang Perubahan Atas Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia,
Nomor: KEP-115/A/J.A/10/1999 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
Republik Indonesia.
www.Kejaksaan.go.id/uplimg/file/KEP-132-JA-11-1994
tgl 7 November 1994_2.pdf
Nomer : KEP-132/J.A/111994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa "Agung R.I Nomor:
KEP-120/J.A/12/1992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Administrasi Perkara Tindak
Pidana.
http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_27_1983.htm
67
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&sqi=2&ved=0CDsQFj
AC&url=http%3A%2F%2Fwww.ditjenpas.go.id%2Fpdf%2Fkepmen%2FKepmenkeh19
85-OrtaRutanRupbasan.pdf&ei=gPcIUbDRDpHirAfzjYGYCg&usg=AFQjCNGmB-
3hjws27yDnOxTYLmRKve-HdA&bvm=bv.41642243,d.bmk
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CDkQFjAB&url=http%3A
%2F%2Fwww.kemenkumham.go.id%2Fattachments%2Farticle%2F147%2FM.01.PR.07
.04_TAHUN_2004.pdf&ei=YPgIUfizGIvirAeM0IGQDg&usg=AFQjCNGZ-
I_lAXhdZsz0ohJGlNftavHAhA&bvm=bv.41642243,d.bmk
Dari Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 01 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 08 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Berita Acara Pelaksanaan Penetapan Hakim (BA-6)
Berita Acara Pengambilan barang bukti (BA-20)
Penetapan Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor: 739/Pen.Pid/2012/PN.Smg
Penetapan Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor: 41/ X/ Pen.Pid/ 2012 jo No.739/ Pid.B/
2012/ PN.Smg/ PN.Smg
Petikan Putusan Pengadilan Negeri Semarang dengan Nomor: 741/ Pid.B/ 2012/ PN.Smg.
Surat Pengantar untuk Kepala Rupbasan Semarang dari Kejaksaan Negeri Semarang dengan
Nomor: TAR-156/0.3.10/Epp.2/08/2012
Lampiran Penitipan Barang Bukti
Surat Pengambilan Barang Bukti Untuk Rupbasan dengan Nomor: B-3916/ O.3.10/ Epp.3/ 11/
2012.
68
LAMPIRAN
69
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1983
TENTANG
PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
Bahwa perlu diadakan peraturan pelaksanaan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
70
1. KUHAP adalah singkatan dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 285 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
2. Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan;
3. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara selanjutnya disebut RUPBASAN adalah tempat benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan;
4. Benda sitaan adalah benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan;
5. Menteri adalah Menteri Kehakiman.
BAB II
SYARAT KEPANGKATAN DAN PENGANGKATAN PENYIDIK
Pasal 2
(1) Penyidik adalah:
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan 11/b) atau yang disamakan dengan itu.
(2) Dalam hal di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, maka Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua Polisi, karena jabatannya adalah penyidik;
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(4) Wewenang penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b diangkat oleh Menteri atas usul dari Departemen yang membawahkan pegawai negeri tersebut. Menteri sebelum melaksanakan pengangkatan terlebih dulu mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia;
(6) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
71
Pasal 3
(1) Penyidik pembantu adalah:
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan 11/a) atau yang disamakan dengan itu.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing;
(3) Wewenang pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
PAKAIAN ATRIBUT DAN PERANGKAT KELENGKAPAN PERSIDANGAN
Pasal 4
(1) Selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut umum, panitera dan penasihat hukum, menggunakan pakaian sebagaimana diatur dalam pasal ini;
(2) Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim, penuntut umum dan penasihat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam;
(3) Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef;
(4) Pakaian bagi panitera dalam persidangan adalah jas berwarna hitam, kemeja putih dan dasi hitam;
(5) Hal yang berhubungan dengan ukuran dan warna dari simare dan bef sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) serta kelengkapan pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Menteri;
(6) Selain memakai pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hakim dan penuntut umum memakai atribut;
(7) Atribut sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 5
Ketentuan mengenai pakaian dan atribut dalam sidang bagi hakim agung dan panitera pada Mahkamah
Agung, diatur tersendiri oleh Mahkamah Agung.
72
Pasal 6
Ketentuan mengenai pakaian dalam sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak
berlaku bagi pemeriksaan peradilan anak.
BAB IV
GANTI KERUGIAN
Pasal 7
(1) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap;
(2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat pemberitahuan penetapan praperadilan.
Pasal 8
(1) Ganti kerugian dapat diberikan atas dasar pertimbangan hakim;
(2) Dalam hal hakim mengabulkan atau menolak tuntutan ganti kerugian, maka alasan pemberian atau penolakan tuntutan ganti kerugian dicantumkan dalam penetapan.
Pasal 9
(1) Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);
(2) Apabila penangkapan, penahanan dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).
73
Pasal 10
(1) Petikan penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 (tiga) hari setelah penetapan diucapkan;
(2) Salinan penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada penuntut umum, penyidik dan Direktorat Jenderal Anggaran dalam hal ini Kantor Perbendaharaan Negara setempat.
Pasal 11
(1) Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
(2) Tata cara pembayaran ganti kerugian diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
BAB V
REHABILITASI
Pasal 12
Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka,
keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan
kepada pemohon.
Pasal 13
(1) Petikan penetapan praperadilan mengenai rehabilitasi disampaikan oleh panitera kepada pemohon;
(2) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada penyidik dan penuntut umum yang menangani perkara tersebut;
(3) Salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada instansi tempat bekerja yang bersangkutan dan kepada Ketua Rukun Warga di tempat tinggal yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Amar putusan dari pengadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut:
"Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya".
74
(2) Amar penetapan dari praperadilan mengenai rehabilitasi berbunyi sebagai berikut:
"Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya".
Pasal 15
Isi putusan atau penetapan rehabilitasi diumumkan oleh penitera dengan menempatkannya pada papan
pengumuman pengadilan.
BAB VI
PRAPERADILAN PADA KONEKSITAS
Pasal 16
Praperadilan dalam tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 KUHAP
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi masing-masing peradilan.
BAB VII
PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA TERTENTU
Pasal 17
Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan
pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
75
BAB VIII
RUMAH TAHANAN NEGARA
Pasal 18
(1) Di tiap Ibukota Kabupaten atau Kotamadya dibentuk RUTAN oleh Menteri;
(2) Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk atau menunjuk RUTAN di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang dari RUTAN;
(3) Kepala Cabang RUTAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Di dalam RUTAN ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung;
(2) Tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tingkat pemeriksaan;
(3) Untuk keperluan administrasi tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dibuat daftar tahanan sesuai dengan tingkat pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan penggolongan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2);
(4) Kepala RUTAN tidak boleh menerima tahanan dalam RUTAN, jika tidak disertai surat penahanan yang sah dikeluarkan pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
(5) Kepala RUTAN tiap bulan membuat daftar mengenai tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan disampaikan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan tembusan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan;
(6) Kepala RUTAN memberitahukan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan mengenai tahanan yang hampir habis masa penahanan atau perpanjangan penahanannya;
(7) Kepala RUTAN demi hukum mengeluarkan tahanan yang telah habis masa penahanan atau perpanjangan penahanannya;
(8) Dalam hal tertentu tahanan dapat diberi izin meninggalkan RUTAN untuk sementara dan untuk keperluan ini harus ada izin dari pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu;
(9) Pada RUTAN ditugaskan dokter yang ditunjuk oleh Menteri, guna memelihara dan merawat kesehatan tahanan;
(10) Tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) selama berada di luar RUTAN dikawal dan dijaga oleh petugas Kepolisian.
76
Pasal 20
(1) Izin kunjungan bagi penasihat hukum, keluarga dan lain-lainnya diberikan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas tahanan itu, sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
(2) Pengaturan mengenai hari, waktu kunjungan, dan persyaratan lainnya, ditetapkan oleh Kepala RUTAN;
(3) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hakim pengadilan tinggi dan hakim agung, wewenang pemberian izin kunjungan dilimpahkan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya terdapat RUTAN tempat tersangka atau terdakwa ditahan.
Pasal 21
(1) RUTAN dikelola oleh Departemen Kehakiman;
(2) Tanggung jawab juridis atas tahanan ada pada pejabat yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
(3) Tanggung jawab secara fisik atas tahanan ada pada Kepala RUTAN;
(4) Tanggung jawab atas perawatan kesehatan tahanan ada pada dokter yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 22
(1) RUTAN dipimpin oleh Kepala RUTAN yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri;
(2) Dalam melakukan tugasnya Kepala RUTAN dibantu oleh Wakil Kepala.
Pasal 23
(1) Kepala RUTAN mengatur tata tertib RUTAN berdasarkan pedoman yang ditentukan oleh Menteri;
(2) Kepala RUTAN tiap tahun membuat laporan kepada Menteri mengenai tahanan yang di bawah pengawasannya;
(3) Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 24
Struktur organisasi, tugas dan wewenang RUTAN diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 25
77
(1) Pejabat dan pegawai RUTAN dalam melakukan tugasnya memakai pakaian dinas seragam;
(2) Bentuk dan warna pakaian dinas seragam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta perlengkapannya diatur lebih lanjut oleh Menteri;
(3) Pejabat atau pegawai tertentu RUTAN dalam melakukan tugasnya dapat dipersenjatai dengan senjata api laras panjang atau senjata api genggam atas izin Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
BAB IX
RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA
Pasal 26
(1) Di tiap Ibukota Kabupaten/Kotamadya dibentuk RUPBASAN oleh Menteri;
(2) Apabila dipandang perlu Menteri dapat membentuk RUPBASAN di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang RUPBASAN;
(3) Kepala Cabang RUPBASAN diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Pasal 27
(4) Di dalam RUPBASAN ditempatkan benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim;
(5) Dalam. hal benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mungkin dapat disimpan dalam RUPBASAN, maka cara penyimpanan benda sitaan tersebut diserahkan kepada Kepala RUPBASAN;
(6) Benda sitaan disimpan di tempat RUPBASAN untuk menjamin keselamatan dan keamanannya;
(7) Kepala RUPBASAN tidak boleh menerima benda yang harus disimpan untuk keperluan barang bukti dalam pemeriksaan, jika tidak disertai surat penyerahan yang sah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut.
Pasal 28
(1) Penggunaan benda sitaan bagi keperluan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan, harus ada surat permintaan dari pejabat yang bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut;
(2) Pengeluaran barang rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan atas permintaan jaksa secara tertulis;
(3) kepala RUPBASAN menyaksikan pemusnahan barang rampasan yang dilakukan oleh jaksa.
78
Pasal 29
Kepala RUPBASAN setiap triwulan membuat laporan tentang benda sitaan yang disampaikan kepada
Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan tembusan kepada pejabat yang
bertanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan
kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan.
Pasal 30
(1) RUPBASAN dikelola oleh Departemen Kehakiman;
(2) Tanggung jawab secara juridis atas benda sitaan tersebut, ada pada pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
(3) Tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan tersebut ada pada Kepala RUPBASAN.
Pasal 31
(1) RUPBASAN dipimpin oleh Kepala RUPBASAN yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri;
(2) Dalam melakukan tugasnya Kepala RUPBASAN dibantu oleh Wakil Kepala
Pasal 32
(1) Di samping tanggung jawab secara fisik atas benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) Kepala RUPBASAN bertanggung jawab atas administrasi benda sitaan;
(2) Kepala RUPBASAN tiap tahun membuat laporan kepada Menteri mengenai benda sitaan;
(3) Tembusan laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 33
Struktur organisasi, tugas dan wewenang RUPBASAN diatur lebih lanjut oleh Menteri.
79
Pasal 34
(1) Pejabat dan pegawai RUPBASAN dalam melakukan tugasnya memakai pakaian dinas seragam;
(2) Bentuk dan warna pakaian dinas seragam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta perlengkapannya diatur lebih lanjut oleh Menteri;
(3) Pejabat atau pegawai tertentu RUPBASAN dalam melakukan tugasnya dapat dipersenjatai dengan senjata api laras panjang atau senjata api genggam atas izin Menteri atau pejabat yang ditunjuknya.
BAB X
JAMINAN PENANGGUHAN PENAHANAN
Pasal 35
(1) Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di kepaniteraan pengadilan negeri;
(2) Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara dan disetor ke Kas Negara.
Pasal 36
(1) Dalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan;
(2) Uang yang dimaksud dalam ayat (1) harus disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri;
(3) Apabila penjamin tidak dapat membayar sejumlah uang yang dimaksud ayat (1) jurusita menyita barang miliknya untuk dijual lelang dan hasilnya disetor ke Kas Negara melalui panitera pengadilan negeri.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
(1) Sebelum penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyidik pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diangkat berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, penyidik dan penyidik
80
pembantu yang ada tetap menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan pengangkatan sebelumnya;
(2) Dua tahun setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, pengangkatan dan kepangkatan penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 38
(1) Sebelum terbentuknya RUTAN berdasar Peraturan Pemerintah ini Menteri menetapkan lembaga pemasyarakatan tertentu sebagai RUTAN;
(2) Menteri dapat menetapkan tempat tahanan yang terdapat dalam jajaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan dan tempat lainnya sebagai cabang RUTAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
(3) Kepala cabang RUTAN sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberi laporan bulanan tentang tahanan kepada Kepala RUTAN yang daerah hukumnya meliputi cabang RUTAN tersebut.
Pasal 39
(1) Sebelum terbentuknya RUPBASAN berdasar Peraturan Pemerintah ini, penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor Kejaksaan Negeri, di kantor Pengadilan Negeri dan tempat-tempat lain sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP;
(2) Pengelolaan dan biaya penyimpanan benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan dibebankan pada masing-masing instansi yang bersangkutan;
(3) Pejabat yang bertanggung jawab atas penyimpanan benda sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
81
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Agustus 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 Agustus 1983
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO, SH
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
Instrumen Penelitian
PELAKSANAAN PENGEMBALIAN BARANG BUKTI OLEH JAKSA DALAM
PERKARA PIDANA
(Studi kasus pada Kejaksaan Negeri Semarang)
Daftar pertanyaan :
1. Bagaimana pelaksanaan pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam perkara pidana?
2. Langkah apa yang diambil jika ada kendala dalam pengembalian barang bukti oleh jaksa
dalam perkara pidana?
3. Berapa tenggang waktu dalam penyimpanan barang bukti di RUPBASAN?
4. Berapa tenggang waktu yang diperlukan oleh jaksa dalam penyimpanan barang bukti?
5. Bagaimana cara mengatasi barang bukti yang mudah rusak,rapuh atau pemeliharaannya
sulit?
6. Bagaimana jika orang yang berhak menerima barang bukti tersebut menolak
menerimanya?
7. Apa yang dilakukan oleh jaksa apabila orang yang berhak menerima barang bukti tidak
mau menerimanya?
8. Terus berapa jangka waktu yang diberikan dalam penyimpanan barang bukti tersebut?
9. Bagaimana jika barang bukti tidak bisa dihadapkan di depan pengadilan sedangkan
hakim membutuhkan barang bukti tersebut? Bagaimana cara mengatasinya?
10. Bagaimana mengatasi jika barang bukti tersebut berbentuk makhluk hidup dan jumlahnya
tidak sedikit?
11. Prosedur apa saja yang diperlukan dalam pengembalian barang bukti oleh jaksa dalam
perkara pidana ?
12. Surat-surat apa saja yang diperlukan dalam pengembalian barang bukti?
13. pasal 46 (2) KUHAP,menyatakan bahwa:
Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut,kecuali jika
menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk Negara, untuk dimusnahkan atau untuk
98
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih
diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Bagaimana pelaksanaan dalam pemusnahan barang bukti yang dirampas untuk Negara
yang diatur dalam pasal 46 (2) KUHAP?
14. Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pemusnahan barang bukti yang dirampas
untuk negara?
15. Berapa jangka waktu yang diberikan untuk barang bukti yang harus berdasarkan putusan
hakim yang sifatnya inkracht dimusnahkan ?
16. Bagaimana pelaksanaan pengembalian barang bukti jika putusan hakim berupa putusan
bebas?
17. Bagaimana pelaksanaan pengembalian barang bukti jika putusan hakim berupa putusan
lepas?
18. Apa saja putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berkenaan dengan barang bukti?
19. Siapa yang berhak menerima barang bukti?
20. Bagaimana proses pemeriksaan barang bukti oleh jaksa?
21. Bilamana barang bukti dikembalikan sebelum perkara belum mendapat putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap?
22. Bagai mana pelaksanaan penyerahan barang bukti oleh jaksa kepada RUPBASAN?
23. Bagaimana pelaksanaan pengambilan barang bukti oleh jaksa dari RUPBASAN?
99
100
101
102
103
104
105
106