pegadaian syariah

7
PENGATURAN HUKUM JAMINAN A. MENURUT KUH PERDATA Menurut KUH Perdata, gadai adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan kekuasaa atas benda tersebut dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dan pendapatan penjualan benda itu, lebih dulu dari penagih-penagih lainnya (pasal 1150 KUH Perdata). Sifatnya sebagai hak kebendaan (dapat dipertahankan terhadap tiap orang) nampak dari kekuasaan orang yang memegang barang tanggungan untuk meminta dikembalikannya barang yang ditanggungkan apabila barang itu hilang (pasal 1152 ayat 4) dan lebih nyata lagi dari kekuasaannya untuk menjual barang itu dengan tidak usah meminta perantaraan hakim, untuk selanjutnya mengambil pelunasan dari pendapatan penjualan itu dengan mengecualikan orang-orang lain. Hak gadai termasuk sebagai hak accesoir, yaitu hak yang tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok yang berupa perjanjian hutang pitang yang dijamin dengan hak tersebut. Oleh undang-undang hanya ditentukan bahwa orang yang memberi tanggungan cakap bertindak. Penerima gadai tidak bertangungjawab terhadap kemungkinan bahwa penerima gadai tidak berhak/tidak memiliki barang yang digadaikan kepada penerima gadai. Apabila memang terjadi demikian menurut undang-undang hak gadai yang diperjanjikan tetap sah, karena penerima gadai menurut undang- undang berhak menganggap orang itu sebagai pemilik (pasal 1152 ayat 4).

Upload: deijow

Post on 07-Apr-2016

9 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tentang konsep pegadaian syariah

TRANSCRIPT

Page 1: pegadaian syariah

PENGATURAN HUKUM JAMINAN

A. MENURUT KUH PERDATA

Menurut KUH Perdata, gadai adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak

kepunyaan orang lain yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan kekuasaa atas benda

tersebut dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dan pendapatan penjualan

benda itu, lebih dulu dari penagih-penagih lainnya (pasal 1150 KUH Perdata). Sifatnya sebagai

hak kebendaan (dapat dipertahankan terhadap tiap orang) nampak dari kekuasaan orang yang

memegang barang tanggungan untuk meminta dikembalikannya barang yang ditanggungkan

apabila barang itu hilang (pasal 1152 ayat 4) dan lebih nyata lagi dari kekuasaannya untuk

menjual barang itu dengan tidak usah meminta perantaraan hakim, untuk selanjutnya mengambil

pelunasan dari pendapatan penjualan itu dengan mengecualikan orang-orang lain.

Hak gadai termasuk sebagai hak accesoir, yaitu hak yang tergantung dari adanya suatu

perjanjian pokok yang berupa perjanjian hutang pitang yang dijamin dengan hak tersebut. Oleh

undang-undang hanya ditentukan bahwa orang yang memberi tanggungan cakap bertindak.

Penerima gadai tidak bertangungjawab terhadap kemungkinan bahwa penerima gadai tidak

berhak/tidak memiliki barang yang digadaikan kepada penerima gadai. Apabila memang terjadi

demikian menurut undang-undang hak gadai yang diperjanjikan tetap sah, karena penerima gadai

menurut undang-undang berhak menganggap orang itu sebagai pemilik (pasal 1152 ayat 4).

Menurut KUH Perdata, gadai itu dianggap lahir ketika ada penyerahan kekuasaan atas barang

yang dijadikan hak tanggungan itu pada penerima gadai. Penyerahan kekuasaan ini oleh undang-

undang dianggap sebagai syarat mutlak untuk lahirnya suatu gadai. Undang-undang juga

mengizinkan barang tanggungan itu ditaruh dibawah kekuasaan seseorang pihak ketiga atas

persetujuan kedua belah pihak yang berkepentingan. Jadi sebetulnya yang dikehendaki oleh

undang-undang itu adalah ditariknya barang itu dan kekuasaan orang yang memberikan

tanggungan.

Jika disimpulkan, hak-hak seorang penerima gadai adalah sebagai berikut:

1. menahan barang yang dipertanggungkan sampai pada waktu hutang dilunasi, baik

mengenai jumlah pokok maupun bunga.

2. mengambil pelunasan dari pendapat penjualan barang yang diga— daikan, apabila orang

yang berhutang tidak menepati kewajibannya. Penjualan dapat dilakukan sendiri maupun

dengan perantaraan hakim. Oleh hakim dapat ditetapkan bahwa barang itu menjadi milik

Page 2: pegadaian syariah

orang yang menghutangkan sebagai pelunasan hutang seluruhya atau hanya untuk

sebagian saja.

3. minta ganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang tanggungan.

4. menggadaikan lagi barang tanggungan, apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan seperti

halnya dengan penggadaian surat-surat obligasi.

Sebaliknya, seorang pemegang gadai juga memikul kewajiban-kewajiban sebagai berikut:

1. bertanggung jawab terhadap hilangnya atau kemunduran harga barang tanggungan, jika

itu disebabkan karena kelalaiannya.

2. memberitahukan pada orang yang berhutang apabila hendak menjual barang

tanggungannya.

3. memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualannya, dan setelah mengambil

pelunasan hutangnya harus menyerahkan kelebihannya pada yang berhutang

4. mengembalikan barang tanggungan apabila hutang pokok, bunga dan biaya untuk

menyelamatkan barang tanggungan telah di bayar lunas

B. Uu No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia Sebagai Jaminan

Berdasarkan PP No. 103 tahun 2000 tentang PERUM Pegadaian dalam Pasal 8, disebutkan

bah PERUM Pegadaian selain menyelenggarakan usaha penyaluran uang pinjaman atas dasar

hukum gadai, juga menyelenggarakan usaha penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan

fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam mulia, unit toko emas dan

industri perhiasan emas serta usaha-usaha yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan

Perusahaan, dengan persetujuan Menteri Keuangan.

Jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia Sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu

bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam

transaksi pinjaman-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan

cepat, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Lembaga Jaminan Fidusia

memungkinkan kepada para pemberi fidusia untuk menguasai benda yang dijaminkan, untuk

melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan fidusia.

Pada awalnya, benda yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang

berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, benda yang

Page 3: pegadaian syariah

menjadi objek fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda

tak bergerak.

Seperti telah dijelaskan bahwa jaminan fidusia memberikan kemudahan bagi para pihak yang

menggunakannya, khususnya bagi pemberi fidusia. Namun karena jaminan fidusia tidak

didaftarkan, hal ini dirasakan kurang menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia.

Pemberi fidusia mungkin saja menjaminkan benda yang telah dibebani dengan fidusia kepada

pihak lain tanpa sepengetahuan penerima fidusia. Sebelum Undang-undang Fidusia dibentuk,

pada umumnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri

dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, piutang, peralatan mesin, dan

kendaraan bermotor. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus ber-

kembang, maka menurut Undang-undang ini objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang

luas yaitu benda bergerak yang berwujud maupun tak berwujud, dan benda tak bergerak yang

tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dltentukan dalam undang-undang

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas

dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut

dalam penguasaan pemilik benda. Sedangkan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda

bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya

bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-

undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Selanjutnya dalam Pasal 5 menentukan

bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa

Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia Dan yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib

didaftarkan pada Pandaftaran Fidusia. Dalam Pasal 17 ditegaskan bahwa pemberi fidusia

dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang

sudah terdaftar. Jika pemberi fidusia tidak mampu melunasi utangnya maka pemberi wajib

menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi

jaminan fidusia.

C. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn

Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, menentukan bahwa pinjaman

dengan menggadaikan barang sebagai barang jaminan hutang dalam

Page 4: pegadaian syariah

bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai

semua hutang Rahin(yang menyerahkan barang) dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada perinsipnya, Marhun tidak

boleh dimanfaatkanole Murtahin kecuali seijin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai

Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar mengganti biaya pemeliharaan dan

perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun

dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan

tetap menjadi kewajiban Rahin.

4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan

jumlah pinjaman.

5. Penjualan Marhun

a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera

melunasi hutangnya.

b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka Marhun dijual

paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai dengan syariah.

c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya Pemelilharaan

dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi

kewajiban Rahin

6. Jlka salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di

antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase

Muamalah Indonesia (BAMUI) setelah tldak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.