pedoman penetapan remunerasi eksekutif bumn:...
TRANSCRIPT
Pedoman Penetapan Remunerasi Eksekutif BUMN: Masihkah Relevan?
Oleh: Wiratmoko Prasidhanto
Pada akhir Desember 2010, Menteri Negara BUMN menerbitkan Peraturan Nomor
PER-07/MBU/2010. Peraturan tersebut mengatur mengenai pedoman dalam menetapkan
besaran remunerasi bagi eksekutif BUMN. Sebelumnya, penetapan remunerasi mengacu pada
Peraturan Nomor PER-02/MBU/2009 dan PER-03/MBU/2009. Kini, setelah satu setengah tahun
peraturan tersebut diterbitkan, masihkah relevan?
Pendahuluan
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-07/MBU/2010 tentang Pedoman
Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN, atau
singkatnya kita sebut dengan pedoman penetapan remunerasi eksekutif BUMN, merupakan
langkah maju dari Kementerian BUMN. Saat itu, Menteri Negara BUMN dihujani dengan
berbagai pemberitaan mengenai tingginya gaji Direksi BUMN. Salah satu pemicunya adalah
pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menyatakan bahwa gaji presiden lebih
kecil dibandingkan gaji Direktur Utama sebagian BUMN1. Mustafa Abubakar, Menteri Negara
BUMN saat itu, mengatakan bahwa Kementerian BUMN akan mengkaji ulang sistem pemberian
remunerasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris BUMN. Hasilnya, terbitlah PER-07/MBU/2010.
Secara konsep, pemberian remunerasi harus mempertimbangkan 3P, Pay for Position,
Pay for Person, dan Pay for Performance. Konsep ini mengacu pada keseimbangan antara
remunerasi dengan tanggungjawab jabatan, kemampuan individu, dan kinerja individu. Pay for
Position menunjukkan bahwa remunerasi harus seimbang dengan tanggungjawab yang
diamanatkan oleh posisi jabatan. Pay for person menunjukkan bahwa remunerasi harus seimbang
dengan atribut yang dibawa oleh pemangku jabatan. Atribut tersebut dapat terdiri dari tingkat
pendidikan, keterampilan, dan atribut lain yang dipersyaratkan untuk memangku suatu jabatan.
Pay for Performance menitikberatkan pada keseimbangan antara remunerasi dengan pencapaian
target kinerja individu.
Remunerasi eksekutif merupakan bagian penting dalam menjalankan perusahaan,
khususnya di BUMN. Para eksekutif BUMN merupakan agen bagi Negara selaku pemilik
perusahaan. Dengan memberikan remunerasi yang seimbang, maka pemilik perusahaan dapat
menarik talenta-talenta terbaik untuk memimpin perusahaan. Selain itu, remunerasi yang
seimbang juga akan meminimalkan biaya keagenan.
Tulisan ini tidak akan membahas panjang lebar mengenai kesesuaian remunerasi
eksekutif dengan konsep 3P. Penulis meyakini keniscayaan bahwa konsep 3P pasti terpenuhi
dalam konsep tersebut. Alih-alih, tulisan ini akan menguraikan struktur remunerasi eksekutif
BUMN dan evaluasi secara umum terhadap PER-07/MBU/2010. Hasil Evaluasi yang
menunjukkan alasan rasional bahwa pedoman tersebut perlu disesuaikan, disajikan dalam
gambaran besar, bukan berbentuk rumusan yang baru.
1 Disampaikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, pada saat pembukaan acara Indonesia Business-
BUMN Expo & Conference (IBBEX-2010) di Jakarta, Kamis (23 September 2010).
Struktur Remunerasi Eksekutif BUMN
Secara garis besar, pedoman remunerasi eksekutif BUMN mengarahkan BUMN untuk
memberikan remunerasi eksekutif yang bersifat semi-variabel. Terdapat bagian remunerasi yang
bersifat tetap (fixed), yaitu gaji dan tunjangan. Sedangkan bagian lain bersifat variabel, yaitu
tantiem.
Gambar 1. Struktur Remunerasi Eksekutif BUMN
sumber: PER-07/MBU/2010 diolah penulis
Gaji/Honorarium
Komponen yang akan kita lihat pertama adalah komponen yang bersifat tetap yaitu gaji.
Sesuai dengan pasal 4 Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-07/MBU/2010, Anggota
Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas dapat diberikan gaji/honorarium. Besaran
gaji/honorarium yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan keuangan
perusahaan. PER-07/MBU/2010 menentukan bahwa besaran gaji eksekutif BUMN ditentukan
dalam model:
Gambar 2. Determinan Gaji/Honorarium Eksekutif BUMN
sumber: PER-07/MBU/2010 diolah penulis
Gaji/Honorarium
Gaji Dasar
0,6 IP + 0,4 IA
IndeksPendapatan
Indeks Aktiva
Rp 15 juta
Faktor PenyesuaianIndustri
(0 s.d. 400)
Benchmark
Competitiveness
KelangkaanSDM
Faktor Jabatan
Direktur Utama:
100%
Direktur:
90%
Komisaris Utama:
40%
Komisaris:
36%
Faktor Inflasi
+
X
X X X
+ +
Gaji = Gaji Dasar x Faktor Penyesuaian Industri x Faktor Penyesuaian Inflasi x Faktor Jabatan
Dalam menentukan gaji dasar, terdapat satu faktor tetap yaitu nilai dasar yang memiliki
nilai Rp 15 juta. Selanjutnya, faktor penentu remunerasi di dalam gaji dasar adalah besar
kecilnya tanggung jawab yang tergantung pada ukuran perusahaan. PER-07/MBU/2010
menggunakan bauran aktiva dan penjualan untuk menentukan ukuran perusahaan. Bauran
tersebut terdiri dari 40 persen indeks total aktiva perusahaan dan 60 persen indeks pendapatan
perusahaan.
Faktor penentu gaji/honorarium berikutnya adalah faktor penyesuaian industri. PER-
07/MBU/2010 secara eksplisit menyatakan bahwa besaran faktor penyesuaian industri
mempertimbangkan beberapa hal berikut: (1) benchmark dengan sektor industri yang sejenis,
(2) competitiveness, dan (3) kelangkaan sumber daya manusia. Penyesuaian diberikan apabila:
1. peningkatan kompleksitas pengelolaan perusahaan dan peningkatan tingkat persaingan di
industri bersangkutan.
2. peningkatan capaian kinerja yang signifikan dibandingkan dengan industri atau dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya.
3. peningkatan penghasilan pada perusahaan sejenis dan/atau yang memiliki kompleksitas yang
setara .
4. peningkatan tantangan dan/atau penugasan-penugasan spesifik yang diberikan kepada
eksekutif pada perusahaan yang bersangkutan, yang memerlukan perhatian dan tanggung
jawab yang melebihi kondisi sebelumnya.
Faktor selanjutnya sebagai penentu gaji/honorarium adalah faktor jabatan. Pedoman
penetapan remunerasi eksekutif membagi faktor jabatan menjadi empat kelompok, yaitu Direktur
Utama, Direksi, Komisaris Utama, dan Komisaris. Besaran untuk masing-masing kelompok
ditetapkan 100:90:40:36 untuk Direktur Utama, Direksi, Komisaris Utama, dan Komisaris.
Faktor terakhir dari penentu gaji/honorarium eksekutif BUMN adalah penyesuaian
inflasi. Pedoman penetapan remunerasi eksekutif BUMN menetapkan faktor penyesuaian inflasi
sebesar 50% dari realisasi inflasi tahun sebelumnya yang dipergunakan dalam rangka
penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat.
Tunjangan dan Fasilitas
Selain gaji/honorarium, Direksi, Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas dapat diberikan
tunjangan dan fasilitas. Sesuai dengan Pedoman penetapan remunerasi eksekutif BUMN,
pemberian tunjangan dan fasilitas disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan keuangan
perusahaan. Pemberian tunjangan dan fasilitas juga tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Tunjangan yang dapat diberikan kepada Direksi tidak sama dengan Dewan
Komisaris/Pengawas. Tunjangan Hari Raya (THR), tunjangan komunikasi, santunan purna
jabatan, dan tunjangan pakaian dapat diberikan baik kepada Direksi dan Dewan
Komisaris/Pengawas. Sedangkan tunjangan cuti tahunan, tunjangan cuti besar, tunjangan
perumahan, dan tunjangan biaya utilitas hanya dapat diberikan kepada Direksi. Sebaliknya,
tunjangan transportasi hanya dapat diberikan kepada Dewan Komisaris/Pengawas.
Begitu juga halnya dengan fasilitas. Terdapat perbedaan dalam fasilitas yang diperoleh
antara Direksi dengan Dewan Komisaris/pengawas. Fasilitas yang dapat diberikan baik kepada
Direksi maupun Dewan Komisaris/Pengawas adalah kendaraan dinas (bersifat substitusi dengan
tunjangan transportasi), fasilitas kesehatan, dan keanggotaan dalam perkumpulan profesi.
Selain itu, BUMN wajib memberikan fasilitas bantuan hukum berupa pengacara dan
konsultan hukum, apabila Direksi dan/atau Dewan Komisaris/Pengawas dalam hat terjadi
tindakan/perbuatan untuk dan atas nama jabatannya yang berkaitan dengan maksud dan tujuan
serta kegiatan usaha perusahaan. Fasilitas bantuan hukum tidak dapat diberikan jika Direksi
dan/atau Dewan Komisaris/Pengawas menjadi saksi, tersangka atau terdakwa karena proses
pidana yang dilaporkan oleh BUMN yang bersangkutan, Negara (Negara sebagai Badan Hukum
atau Lembaga Negara atau Lembaga Pemerintah), atau pihak tertentu yang ditetapkan oleh
RUPS/Menteri.
Sedangkan fasilitas khusus, yang hanya diberikan kepada Direksi, berupa fasilitas rumah
jabatan (substitusi dengan tunjangan perumahan), keanggotaan dalam club (maksimal 2 club),
serta biaya representasi dalam hal Direksi mewakili perusahaan (diberikan secara at cost).
Tantiem dan Insentif Kinerja
Dalam pedoman penetapan remunerasi eksekutif, bagian remunerasi yang bersifat
variabel adalah tantiem dan insentif kerja. Umumnya, tantiem diberikan kepada eksekutif
BUMN, apabila perusahaan yang mereka kelola dan awasi memberikan keuntungan pada tahun
tersebut. Namun demikian, perusahaan Perseroan dan Perum yang mengalami kerugian atau
akumulasi rugi dapat memberikan tantiem dan/atau insentif kepada eksekutif selama telah
dianggarkan di dalam RKAP.
Kriteria dalam pemberian tantiem adalah pencapaian Key Performance Indicator (KPI)
dan Tingkat Kesehatan Perusahaan (TKP). Tantiem diberikan jika capaian KPI diatas 70 persen
dan TKP diatas 70. Dalam hal TKP dibawah 70, maka tantiem dapat diberikan sepanjang nilai
TKP tersebut berada di atas target TKP di dalam RKAP, dan capaian KPI di atas 70 persen.
Komposisi besaran tantiem secara individu bagi eksekutif, diatur sebagaimana halnya faktor
jabatan pada penentuan gaji/honorarium eksekutif.
Evaluasi Rumusan Remunerasi Eksekutif
Seperti halnya uraian anatomi dari remunerasi eksekutif BUMN, evaluasi terhadap
rumusan remunerasi eksekutif akan disajikan berdasarkan kelompok penghasilan. Penyajian ini
dimaksudkan agar pembaca lebih mudah dalam memahami pedoman penetapan remunerasi
eksekutif BUMN. Namun demikian, tulisan ini tidak akan mengevaluasi seluruh komponen
remunerasi. Makna filosofis di balik rumusan penetapan gaji/honorarium adalah hal yang penting
untuk diungkapkan. Sebaliknya, pemberian tunjangan lebih bersifat normatif. Sedangkan dalam
pemberian tantiem, pedoman ini tidak menetapkan perhitungan baku. Sebagaimana diuraikan
sebelumnya pada bagian struktur remunerasi eksekutif, faktor penentu gaji/honorarium eksekutif
BUMN terdiri dari gaji dasar, faktor penyesuaian industri, faktor jabatan, dan faktor penyesuaian
inflasi.
Gaji/Honorarium Dasar
Merunut dari pedoman penetapan remunerasi eksekutif BUMN yang pernah ada, skema
penentuan indeks total aktiva, indeks pendapatan, dan nilai dasar untuk menentukan gaji dasar
telah digunakan sejak tahun 20024. Penggunaan indeks total aktiva, indeks pendapatan, dan nilai
dasar telah diatur di dalam Surat Sekretaris Kementerian Negara BUMN Nomor: S-
326/S.MBU/2002 tanggal 31 Mei 2002. Surat ini ditujukan kepada para Deputi teknis di
lingkungan Kementerian Negara BUMN. Surat tersebut diterbitkan karena adanya kesadaran,
bahwa pedoman penetapan remunerasi yang ditetapkan pada tahun 1990 (dua belas tahun
sebelum diterbitkannya surat ini) sudah tidak relevan dengan kondisi saat itu (tahun 2002).
Dasar dari masuknya indeks aktiva dan indeks pendapatan sebagai determinan gaji dasar
adalah, bahwa aktiva dan pendapatan merupakan parameter ukuran perusahaan. Penggunaan
nilai aktiva dan pendapatan sebagai ukuran perusahaan merupakan hal yang diterima seccara
umum. Dalam kaitannya dengan para eksekutif BUMN, semakin besar ukuran perusahaan maka
tanggung jawab eksekutif BUMN juga semakin besar. Seiring dengan hal itu, semakin tinggi
indeks aktiva dan indeks pendapatan, maka gaji dasar yang diterima juga semakin besar.
Satu hal yang menjadi ganjalan adalah penentuan bauran indeks dasar yang terdiri dari 60
persen indeks pendapatan dan 40 persen indeks total aktiva. Umumnya pemilihan parameter
ukuran perusahaan cukup memilih satu dari dua parameter tersebut.
Alasan pertama adalah, pendapatan perusahaan dipengaruhi oleh aktiva yang dimiliki
perusahaan. Pada perusahaan dengan karakteristik seperti perusahaan perdagangan, pendapatan
dipengaruhi oleh modal kerja (persediaan barang dagang) perusahaan. Begitu juga dengan
perusahaan lain dengan karakteristik yang serupa dengan perusahaan perdagangan, pendapatan
dipengaruhi oleh modal kerja yang dimiliki. Sedangkan pada perusahaan yang bergerak di
bidang infrastruktur, pendapatan perusahaan lebih dipengaruhi oleh aktiva tetap yang dimiliki.
Lain halnya dengan perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, pendapatan dipengaruhi
oleh kemampuan mengoptimalkan kapasitas produksi. Ini berarti terdapat interaksi yang intensif
antara aktiva tetap sebagai faktor pengolah dengan modal kerja (aktiva lancar) sebagai input.
Alasan kedua adalah, nilai aktiva relatif lebih stabil dibandingkan dengan nilai kapitalisasi pasar
atau penjualan (Wuryatiningsih, 2002 dalam Sudarmadji dan Sularto, 2007). Sehingga nilai
aktiva lebih tepat dipilih menjadi ukuran perusahaan.
Rendahnya tingkat perputaran aktiva (asset turnover) BUMN di masa itu, diduga menjadi
alasan digunakannya bauran aktiva tetap dan pendapatan dalam penentuan gaji dasar. Sedangkan
komposisi 60 persen untuk pendapatan dan 40 persen untuk aktiva menunjukkan bahwa
4 Indeks Pendapatan dan Indeks Aktiva juga telah digunakan sebelum tahun 2002. Pada periode tersebut, pedoman
penetapan penghasilan diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Namun demikian, besaran konversi indeks pendapatan
dan indeks aktiva tidak sama dengan besaran konversi pada PER-07/MBU/2010. Salah satu contoh penggunaan
Indeks Aktiva dan Indeks Pendapatan pada periode tersebut adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
189/KMK.01/2000 tentang Penetapan Penghasilan dan Pemberian Fasilitas, Uang Jasa Akhir Masa Jabatan Serta
Jasa Produksi/Bonus Bagi Badan Usaha Milik Negara Yang Berbentuk Perusahaan Umum.
tanggungjawab eksekutif BUMN untuk memperoleh pendapatan lebih besar daripada menjaga
asset perusahaan.
Dalam penelitian terdahulu, Prasidhanto (2011)5 menemukan bukti empiris bahwa ukuran
perusahaan dan jumlah SDM secara signifikan berpengaruh pada remunerasi eksekutif di
perusahaan yang tercatat di BEI tahun 2010. Baik aktiva maupun pendapatan dapat menjadi
proxy dari ukuran perusahaan. Namun demikian, ketika aktiva dan pendapatan digunakan
bersama-sama sebagai prediktor remunerasi, terjadi multikolinearitas. Hal ini secara tidak
langsung mendukung penggunaan indeks tunggal dalam perhitungan remunerasi eksekutif.
Faktor selanjutnya dari pembentuk gaji dasar adalah nilai dasar. Pedoman penetapan
remunerasi eksekutif BUMN tahun 2010 menetapkan nilai dasar sebesar Rp 15 juta. Nilai dasar
tersebut menunjukkan bahwa, setiap orang yang memenuhi kriteria umum sebagai eksekutif
BUMN, membawa atribut-atribut tertentu yang berupa tingkat pendidikan, keahlian,
keterampilan, pengetahuan, dan atribut umum lainnya, memiiliki nilai sebesar Rp 15 juta.
Besaran ini masih sama dengan penetapan pada tahun 20096 dan naik 50 persen dibandingkan
penetapan tahun 20027. Perubahan nilai dasar dari Rp 10 juta menjadi Rp 15 juta dalam rentang
waktu tahun 2002-2009, menunjukkan adanya penyesuaian nilai riil mata uang. Meskipun tidak
sepenuhnya mengikuti laju inflasi tahunan selama periode tahun 2002-2009, namun dapat
dipastikan penyesuaian terhadap besaran nilai dasar tersebut berdasarkan asumsi inflasi.
Jika perubahan nilai dasar pada tahun 2009 dapat diidentifikasi dengan mudah sebagai
penyesuaian asumsi inflasi, sebaliknya dengan penetapan pada tahun 2002. Bukan hal mudah
untuk meraba pertimbangan penetapan nilai dasar sebesar Rp 10 juta. Dugaan awal, nilai dasar
tersebut ditetapkan dengan membandingkan remunerasi pada perusahaan dengan ukuran pasar
yang sebanding. Namun dugaan tersebut tidak dapat dibuktikan, karena ketidaktersediaan data
yang mendukung. Dugaan lain, penetapan nilai dasar tersebut bersifat arbitratif antara pemegang
saham dengan eksekutif BUMN. Dikarenakan keterbatasan data, tulisan ini tidak akan menguji
kedua dugaan tersebut.
Faktor kedua dari pembentuk gaji/honorarium setelah gaji/honorarium dasar adalah
faktor penyesuaian industri. Istilah faktor penyesuaian industri pertama kali muncul pada
pedoman penetapan remunerasi eksekutif tahun 2009. Meskipun menggunakan istilah yang
sama, ternyata terdapat perbedaan pengaturan penyesuaian industri pada masing-masing
pedoman.
Tabel 1. Pengaturan Faktor Penyesuaian Industri
PER-02/MBU/2009 PER-03/MBU/2009 PER-07/MBU/2010 1. Maksimal 400%
2. Ditetapkan RUPS/Menteri
1. Maksimal 200%
2. Ditetapkan RUPS/Menteri atas
1. Maksimal 400%
2. Ditetapkan RUPS/Menteri atas
5 Prasidhanto, Wiratmoko. 2011. Faktor yang memengaruhi remunerasi eksekutif perusahaan : Studi empiris
perusahaan terbuka yang terdaftar Pada bursa efek indonesia tahun 2010. Jurnal Riset Kementerian BUMN Edisi
II, Desember 2011, halaman 18. 6 PER-02/MBU/2009 merupakan Peraturan Menteri Negara BUMN pertama yang mengatur penetapan penghasilan
bagi Direksi dan Dewan Komisaris/Pengawas BUMN. Pada tahun yang sama, Peraturan ini direvisi di dalam PER-
03/MBU/2009 7 S-326/MBU/2002 menetapkan nilai dasar untuk perhitungan gaji dasar sebesar Rp 10 juta.
PER-02/MBU/2009 PER-03/MBU/2009 PER-07/MBU/2010 3. Pertimbangan:
a. Benchmark
b. Competitiveness
c. Kelangkaan SDM
usulan Direksi
3. Pertimbangan:
a. Benchmark
b. Competitiveness
c. Kelangkaan SDM 4. Untuk FPI di atas 150%, usulan
Direksi harus didukung dengan
data:
a. Peningkatan kompleksitas
usaha dan tingkat persaingan
di industri bersangkutan
b. Peningkatan pencapaian
kinerja yang signifikan
dibandingkan dengan industri
atau tahun-tahun sebelumnya
c. Peningkatan penghasilan pada perusahaan sejenis
dan/atau yang memiliki
kompleksitas yang setara
d. Peningkatan tantangan
dan/atau penugasan spesifik
yang diberikan kepada
eksekutif yang memerlukan
perhatian dan tanggungjawab
yang melebihi kondisi
sebelumnya.
usulan Direksi
3. Pertimbangan:
a. Benchmark
b. Competitiveness
c. Kelangkaan SDM 4. Usulan Direksi harus didukung
dengan data:
a. Peningkatan kompleksitas
usaha dan tingkat persaingan
di industri bersangkutan
b. Peningkatan pencapaian
kinerja yang signifikan
dibandingkan dengan industri
atau tahun-tahun sebelumnya
c. Peningkatan penghasilan
pada perusahaan sejenis dan/atau yang memiliki
kompleksitas yang setara
d. Peningkatan tantangan
dan/atau penugasan spesifik
yang diberikan kepada
eksekutif yang memerlukan
perhatian dan tanggungjawab
yang melebihi kondisi
sebelumnya.
e. Rekomendasi/tanggapan
tertulis dari Dewan
Komisaris
Tabel 1 menunjukkan, bahwa meskipun menggunakan istilah yang sama, namun
interpretasi yang dibawa oleh masing-masing pedoman ternyata berbeda. Merujuk tabel tersebut,
interpretasi faktor penyesuaian industri untuk masing-masing pedoman disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Interpretasi Faktor Penyesuaian Industri
PER-02/MBU/2009 PER-03/MBU/2009 PER-07/MBU/2010
Pada perusahaan dengan ukuran
yang sama, tingkat kesulitan
menjalankan perusahaan berbeda
untuk industri yang berbeda.
Perbedaan tingkat kesulitan
tersebut, tidak diakomodasi dalam
persyaratan jabatan Direksi
(tercermin dalam nilai dasar yang
sama yaitu Rp 15 juta) sehingga
dibutuhkan adanya premi bagi
eksekutif pada industri dengan
tingkat kesulitan yang tinggi (dari
sisi benchmark, competitiveness,
dan kelangkaan SDM).
Premi diberikan maksimal 400%
Pada perusahaan dengan ukuran
yang sama, tingkat kesulitan
menjalankan perusahaan berbeda
untuk industri yang berbeda.
Dalam industri yang sama,
tanggung jawab eksekutif dapat
berbeda karena adanya penugasan
tertentu atau peningkatan kinerja
perusahaan.
Perbedaan tingkat kesulitan dan
tanggung jawab tersebut, tidak
diakomodasi dalam persyaratan
jabatan Direksi (tercermin dalam
nilai dasar yang sama yaitu Rp 15
juta) sehingga dibutuhkan adanya
Pada perusahaan dengan ukuran
yang sama, tingkat kesulitan
menjalankan perusahaan berbeda
satu sama lain baik dalam satu
industri maupun tidak.
Perbedaan tingkat kesulitan
disebabkan adanya perbedaan
tanggung jawab eksekutif karena
penugasan tertentu atau
peningkatan kinerja perusahaan.
Perbedaan tingkat kesulitan dan
tanggung jawab tersebut, tidak
diakomodasi dalam persyaratan
jabatan Direksi (tercermin dalam
nilai dasar yang sama yaitu Rp 15
Peraga 1. Perubahan Paradigma
Faktor Penyesuaian Industri
Paradigma yang menyatakan bahwa tingkat kesulitan
eksekutif BUMN dalam menjalankan perusahaan, berbeda antara
satu industri dengan yang lainnya, pertama kali dituangkan di
dalam PER-02/MBU/2009. Perbedaan tingkat kesulitan tersebut
disebabkan adanya perbedaan kompleksitas usaha dan tingkat
persaingan usaha, serta adanya kelangkaan SDM pada sektor
industri yang berbeda. Perbedaan tersebut harus dibuktikan
melalui benchmarking pada sektor industri sejenis. Rentang
perbedaan tersebut sangat tinggi, tercermin dari nilai FPI
maksimal sebesar 400%.
Setelah diubah terakhir dengan PER-07/MBU/2010,
pengaturan FPI tidak lagi secara eksplisit menyatakan bahwa
perbedaan sektor industri berpengaruh pada remunerasi.
Sebaliknya, secara implisit peraturan ini menyatakan bahwa FPI
diberikan pada perusahaan yang menjalankan penugasan
dan/atau mencapai suatu tingkatan kinerja tertentu.
Meskipun paradigma di dalam peraturan telah berubah, tidak
demikian halnya dengan paradigma pengambil keputusan di
Kementerian BUMN. Dalam kesempatan diskusi formal atau
non formal, paradigma adanya superioritas antara satu sektor
dengan sektor lainnya masih dipegang teguh.
PER-02/MBU/2009 PER-03/MBU/2009 PER-07/MBU/2010
premi bagi eksekutif.
Premi sampai dengan 150%
diberikan untuk sektor industri
dengan tingkat kesulitan yang
tinggi (dari sisi benchmark,
competitiveness, dan kelangkaan
SDM).
Premi tambahan sebesar 50%
diberikan untuk peningkatan
tanggungjawab/capaian kinerja.
juta) sehingga dibutuhkan adanya
premi bagi eksekutif.
Premi sebesar 400% diberikan
untuk peningkatan tanggungjawab
dan/atau capaian kinerja (dilihat
dari sisi benchmark,
competitiveness, dan kelangkaan
SDM).
Jika interpretasi ini dianut, maka
untuk seluruh perusahaan dalam
sektor industri yang sama,
seharusnya memiliki besaran
faktor penyesuaian yang sama.
Jika interpretasi ini dianut, maka
untuk seluruh perusahaan dalam
sektor industri yang sama,
memiliki besaran faktor
penyesuaian yang sama kecuali
pada perusahaan dengan
tambahan tanggung jawab
dan/atau capaian kinerja yang
signifikan.
Jika interpretasi ini dianut, maka
seluruh perusahaan memiliki
besaran faktor penyesuaian
yang sama kecuali pada
perusahaan dengan tambahan
tanggung jawab dan/atau
capaian kinerja yang signifikan.
Tabel 2 menunjukkan berubahnya cara memandang pengaruh sektor industri terhadap
remunerasi yang diberikan. Kolom pertama menunjukkan bahwa perbedaan sektor industri
berpengaruh pada remunerasi,
kolom kedua masih menyatakan
adanya pengaruh sektor industri
terhadap remunerasi (meskipun
dalam tingkatan yang lebih kecil),
kolom ketiga mereduksi adanya
pengaruh sektor industri pada
remunerasi.
Dengan demikian,
meskipun pedoman penetapan
remunerasi eksekutif tahun 2010
menamakan faktor penyesuaian
industri, tetapi faktor ini bukan
merupakan faktor pembeda yang
diukur semata-mata berdasarkan
jenis industri. Sebaliknya, faktor
ini merupakan insentif bagi
eksekutif BUMN untuk
meningkatkan peringkat di industrinya.
Meskipun tidak sama persis, penetapan penyesuaian berdasarkan individu perusahaan
sebelumnya dilakukan pada tahun 2002. Dalam pedoman penetapan eksekutif BUMN di tahun
tersebut, faktor penyesuaian ditetapkan untuk masing-masing perusahaan dengan rentang 100%
s.d. 130%. Dari 154 perusahaan yang tersebar di 13 sektor yang ditetapkan, 145 perusahaan
merupakan BUMN, sedangkan 7 perusahaan merupakan anak perusahaan holding pupuk dan
semen. Dalam penetapan tersebut, tiga BUMN holding tidak ditetapkan secara langsung besaran
penyesuaiannya. Tiga BUMN tersebut adalah PT RNI, PT PUSRI, dan PT Semen Gresik Tbk.
Sebaran jumlah BUMN berdasarkan besaran faktor penyesuaian dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Sebaran Jumlah Perusahaan Berdasarkan
Faktor Penyesuaian Tahun 2002
Pada tahun 2002, sebagian
besar perusahaan memiliki nilai
faktor penyesuaian 110%. Hanya
17 dari 154 perusahaan yang
memiliki nilai faktor penyesuaian
100%. Ketujuh belas perusahaan
tersebut tidak berada di dalam satu
sektor, melainkan tersebar di dalam
tujuh sektor. Rentang tertinggi
berada di sektor perhubungan. Di
dalam sektor tersebut, 6 perusahaan
memiliki faktor penyesuaian 100%, sedangkan 1 perusahaan memiliki faktor penyesuaian 130%.
Tujuh belas perusahaan yang lain dalam sektor perhubungan, tersebar masing-masing 5
perusahaan 105%, 1 perusahaan 110%, 3 perusahaan 115%, 7 perusahaan 120% dan
1 perusahaan 125%. Sektor yang paling homogen adalah sektor perkebunan, dimana 14
perusahaan seluruhnya memiliki faktor penyesuaian 115%.
Berdasarkan uraian-uraian pada paragraf di atas, dua catatan kecil yang perlu
diperhatikan dari faktor penyesuaian industri ini. Pertama adalah keterkaitan antara sektor
industri dengan remunerasi. Kedua adalah keterkaitan gaji dengan capaian kinerja masa lalu.
Pertama, pandangan bahwa remunerasi eksekutif dipengaruhi perbedaan sektor industri,
tidak terbukti secara empiris9. Perbedaan remunerasi pada pekerja di satu sektor industri dengan
sektor yang lain memang dapat terjadi. Desain pekerjaan pada satu sektor tentu berbeda dengan
sektor yang lain, sehingga jenis jabatan, jenjang, tanggung jawab, wewenang dan kualifikasi
jabatan akan berbeda. Perbedaan itulah yang menyebabkan perbedaan remunerasi antar sektor
industri. Dibandingkan dengan para pekerja tersebut, tanggung jawab utama dari para eksekutif
adalah meningkatkan nilai bagi pemegang saham. Dalam operasionalisasinya, para eksekutif
lebih banyak berkutat pada penetapan strategi dan hal-hal strategis lainnya. Pekerjaan ini sangat
9 Prasidhanto (2011) tidak menemukan adanya perbedaan remunerasi eksekutif berdasarkan sektor industri pada
perusahaan yang tercatat di BEI pada tahun 2011.
1721
45
32
20
106
3
0
10
20
30
40
50
Asumsi dasar:
- seluruh faktor kecuali Faktor Penyesuaian Inflasi dianggap tetap.
- realisasi inflasi tahun 2012-2015 sama dengan target inflasi.
Maka diasumsikan:
IA = 60
IP = 60
FPI = 100%
Faktor Jabatan = 100%
Inflasi2010 = 6,96%
Inflasi2011 = 3,79%
Inflasi2012 = 4,5%
Inflasi2013 = 4,5%
Inflasi2014 = 4,5%
Inflasi2015 = 4%
berbeda dengan para pekerja yang lebih banyak menjalankan pekerjaan yang bersifat teknis dan
spesialis. Karena sifatnya tersebut, kualifikasi untuk para eksekutif lebih umum dibandingkan
kualifikasi untuk para pekerja. Besarnya tanggung jawab para eksekutif pun lebih tepat diukur
dari ukuran perusahaan dan rentang kendali.
Kedua, memasukkan komponen insentif kinerja di dalam gaji/honorium merupakan hal
yang tidak lazim. Sejak peraturan PER-03/MBU/2009 diterbitkan, fungsi insentif kinerja masuk
ke dalam faktor penyesuaian industri. Langkah ini mungkin kreatif, tetapi nilai inovasinya perlu
dipertanyakan. Berbicara mengenai capaian kinerja bukanlah hal yang tepat pada saat
membicarakan gaji. Capaian kinerja lebih tepat dibicarakan ketika membicarakan insentif
kinerja, baik disebut sebagai insentif, bonus ataupun tantiem.
Faktor Penyesuaian Inflasi
Faktor terakhir dari penentu gaji/honorarium eksekutif BUMN adalah penyesuaian
inflasi. Inflasi10
, secara sederhana, dapat diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus menerus. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi
adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan
pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.
Faktor penyesuaian inflasi seringkali masuk sebagai faktor penentu remunerasi.
Tujuannya adalah, agar nilai riil rupiah dari remunerasi yang diterima tidak tergerus oleh inflasi.
Tujuan tersebut akan diuji dengan menggunakan simulasi terhadap faktor penyesuaian inflasi.
Simulasi dilakukan dengan menggunakan tabel 3. Simulasi ini bertujuan untuk melihat, apakah
dengan rumusan yang ada, remunerasi yang diterima terlindung dari inflasi.
Tabel 3. Target dan Realisasi Inflasi Tahun 2010-2015
Tahun Target Inflasi Realisasi Inflasi
(% yoy)
2010 5+1% 6,96
2011 5+1% 3,79
2012 4.5+1% -
2013* 4.5+1% -
2014* 4.5+1% -
2015* 4+1% -
*) berdasarkan PMK No.66/PMK.011/2012 tanggal 30 April 2012.
sumber: situs www.bi.go.id
Target inflasi di dalam tabel 3, dimasukkan kedalam asumsi simulasi pada peraga 2 sebagai
berikut.
Peraga 2. Asumsi Simulasi Faktor Penyesuaian Inflasi
10 Pengertian inflasi diambil dari situs www.bi.go.id
dengan menggunakan asumsi pada peraga 2 tersebut, maka gaji sebelum faktor penyesuaian
inflasi dapat dihitung sebagai berikut:
Gaji Dasar = {[0,6 x IP + 0,4 x IA]/100 } x Rp 15 Juta
= Rp 9 juta
Gaji sebelum penyesuaian inflasi = Gaji Dasar x FPI x Faktor Jabatan
= Rp 9 Juta x 100% x 100%
= Rp 9 Juta
Selanjutnya, perhitungan gaji yang diterima pada tahun 2011-2015, mempergunakan tiga
skenario perhitungan penyesuaian inflasi:
a. Berdasarkan PER-07/MBU/2010:
b. Berdasarkan Nilai Konstan 2010:
Perhitungan inflasi berdasarkan nilai konstan 2010 didasarkan pada pertimbangan, bahwa
nilai remunerasi yang diterima oleh eksekutif perlu disesuaikan dengan kenaikan harga-harga
secara umum pada setiap tahunnya. Inflasi tahun 2010 mencerminkan kenaikan harga secara
umum pada tahun 2010 dibandingkan tahun 2009, sedangkan inflasi tahun 2011
mencerminkan kenaikan harga secara umum pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010, dan
seterusnya.
c. Berdasarkan Nilai Konstan 2010 (disesuaikan):
Perhitungan inflasi berdasarkan nilai konstan 2010 yang disesuaikan merupakan
penggabungan dari PER-07/MBU/2010 dengan penyesuaian berdasarkan nilai konstan 2010.
Hasil simulasi perhitungan gaji selama periode 2011-2016, dengan perhitungan
penyesuaian inflasi sesuai tiga skenario di atas, ditunjukkan pada gambar 5 dan tabel 4.
Penyesuaian Inflasi = 1+(Inflasi tahun sebelumnya/2)
Penyesuaian Inflasi2010+n = [1+(Inflasi2010)] x [1+(Inflasi2010+1)] x...x[1+(Inflasi2010+n)]
n period
Penyesuaian Inflasi2010+n = [1+(Inflasi2010/2)]
x [1+(Inflasi2010+1/2)]
x [1+(Inflasi2010+2/2)]
.
. n period
.
x [1+(Inflasi2010+n/2)]
Gambar 5. Simulasi Penyesuaian Inflasi Tabel 4. Simulasi Penyesuaian Inflasi
Gaji 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Berdasarkan Pedoman
9,31 9,17 9,20 9,20 9,20 9,18
Berdasarkan Nilai Konstan 2010
9,31 9,96 10,34 10,80 11,29 11,80
Berdasarkan Nilai Konstan 2010 (disesuaikan)
9,31 9,49 9,70 9,92 10,14 10,35
Dari simulasi tersebut, terlihat bahwa terdapat kesenjangan yang semakin lebar antara
penetapan penyesuaian inflasi berdasarkan PER-07/MBU/2010 dengan nilai konstan 2010 (baik
yang disesuaikan maupun yang tidak disesuaikan).
Sebagai contoh, remunerasi tahun 2012 yang memperhitungkan inflasi tahun 2011, nilai
remunerasi setelah penyesuaian inflasi berdasarkan PER-07/MBU/2010 justru menurun. Inflasi
tahun 2011 sebesar 3,79 persen berarti secara umum harga pada akhir tahun 2011 naik 3,79
persen dibandingkan akhir tahun 2010. Sedangkan pada akhir tahun 2010 sendiri, secara umum
harga naik 6,96 persen dibandingkan awal tahun 2010. Kondisi ini tidak ditangkap oleh PER-
07/MBU/2010.
Simpulan dan Saran
Berdasarkan paparan pada dua bagian di atas, terdapat beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan.
1. Struktur perhitungan gaji/honorarium eksekutif BUMN berdasarkan PER-07/MBU/2010
tidak jauh berbeda dengan S-326/MBU/2002. Keduanya menggunakan faktor ukuran
perusahaan yang diwakili oleh total aktiva dan total pendapatan perusahaan dengan
komposisi 60:40. Faktor jabatan dengan komposisi 100:90:40:36 juga dipertahankan oleh
PER-07/MBU/2010.
2. Filosofi faktor penyesuaian industri yang diangkat pertama kali dalam PER-02/MBU/2009,
sebagai faktor pembeda antar industri, tidak lagi diterapkan di dalam PER-07/MBU/2010.
Sebagai gantinya, meskipun disebut sebagai faktor penyesuaian industri, penyesuaian
dilakukan pada tingkatan perusahaan berdasarkan usulan Direksi.
3. Rumusan faktor penyesuaian inflasi tidak dapat diaplikasikan sebagaimana mestinya.
4. Penghitungan gaji/honorarium dalam PER-07/MBU/2010 menggunakan rumus yang terlalu
kompleks. Akibatnya, ukuran yang dimasukkan terlalu banyak dan ada yang tidak sesuai
dengan kaidah penetapan gaji/honorarium sebagai faktor remunerasi yang bersifat tetap.
Terhadap hal-hal tersebut, pedoman penetapan remunerasi eksekutif BUMN perlu disesuaikan
dengan beberapa catatan:
8.00
9.00
10.00
11.00
12.00
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Re
mu
ne
rasi
(Rp
Ju
ta)
Tahun
1. Menyederhanakan perhitungan gaji/honorarium, terutama pada penentuan ukuran
perusahaan. Sebaiknya penentuan ukuran perusahaan menggunakan indikator tunggal
berbasis aktiva perusahaan.
2. Memasukkan unsur rentang kendali di dalam perhitungan gaji.
3. Meninjau kembali asumsi adanya pengaruh sektor industri kepada remunerasi yang
diberikan.
4. Tidak memasukkan faktor yang terkait dengan kinerja ke dalam gaji/honorarium eksekutif.
Imbalan atas kinerja merupakan faktor variabel, sehingga lebih tepat digunakan sebagai
faktor penentu tantiem perusahaan.
5. Meninjau kembali perlu atau tidaknya penyesuaian terhadap faktor inflasi.
Referensi
Cahyono, Moh. Nurhadi. dan Judisiawan, Fajar.2011. Menilik Alat Ukur Kinerja BUMN. Jurnal
Riset Kementerian Badan Usaha Milik Negara edisi II. Jakarta: Kementerian Badan
Usaha Milik Negara.
Graham, Michael Dennis., Roth, Tomas. A., Dugan, Dawn. 2008. Effective Executive
Compensation : Creating A Total Rewards Strategy For Executives.New York: American
Management Association.
Jensen, M. C. and K. J. Murphy. 1990. Performance Pay and Top-Management Incentives. The
Journal of Political Economy, Vol. 98, pp. 225-264, 1990.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara. 2009. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor PER-02/MBU/2009 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi,
Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara. 2009. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor PER-03/MBU/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara
Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/2009 Tentang Pedoman Penetapan
Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara. 2010. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor PER-07/MBU/2010 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi,
Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN.
Margaret L. Williams, Michael A. McDaniel, Lucy R. Ford. 2007. Understanding Multiple
Dimensions of Compensation Satisfaction. Journal of Business and Psychology, Vol. 21,
No. 3 (Mar., 2007). Springer. url: http://www.jstor.org/stable/30221746 diakses pada 3
Januari 2012 14:37.
Mercer. 2009. Pay For Results : Aligning Executive Compensation With Business Performance.
New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
Prasidhanto, Wiratmoko.2011. Faktor Yang Memengaruhi Remunerasi Eksekutif Perusahaan :
Studi Empiris Perusahaan Terbuka Yang Terdaftar Pada Bursa Efek Indonesia Tahun
2010. Jurnal Riset Kementerian Badan Usaha Milik Negara edisi II. Jakarta :
Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Sudarmadji, Ardi Murdoko dan Sularto, Lana. 2007. Pengaruh Ukuran Perusahaan,
Profitabilitas, Leverage, dan Tipe Kepemilikan Perusahaan Terhadap Luas Voluntary
Disclosure Laporan Keuangan Tahunan. Jurnal PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra,
Arsitek, dan Sipil). Jakarta: Universitas Gunadarma.
Situs Bank Indonesia, www.bi.go.id
Situs Mercer Internasional, www.mercer.com