pe.122
DESCRIPTION
pe.122TRANSCRIPT
PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK
KEPENTINGAN UMUM SEJAK BERLAKUNYA KEPPRES NOMOR 55
TAHUN 1993 DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SLEMAN
PE.122
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi
amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan
dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin
meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan
beragam pula kebutuhan penduduk itu.
Termasuk dalam kegiatan pembangunan Nasional itu adalah
pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum
ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya
jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.
Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang
semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti :
jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas
komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya.
Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas,
memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas,
pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi
persoalannya tanah merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak
pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati
dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.
Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan
untuk kepetingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang
ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil”
tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah (pasal
1 Keppres No. 55 tahun 1993).
Kegiatan pengadaan tanah ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan sudah
dikenal sejak zaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings Ordonnatie
(Staatsblad 1920 nomor 574).
Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 16, memberikan
landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti
kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Kemudian dikeluarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1961. Undang-
Undang ini mengartikan kepentingan umum secara luas yaitu :
(1) Kepentingan bangsa dan Negara;
(2) Kepentingan bersama dari rakyat; dan
(3) Kepentingan pembangunan (pasal 1).
Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan kepentingan Umum tidak
hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan Pemerintah tapi juga oleh swasta,
asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum (lihat penjelasan angka (4)
huruf b).
Inpres nomor 9 tahun 1973 beserta lampirannya memberikan pedoman-
pedoman dalam pelaksanaan pencabutan hak dan benda-benda yang ada di
atasnya, juga memberikan arti kepentingan umum secara luas dengan menambah
daftar bidang kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum, namun masih
membuka kemungkinan penafsiran lebih lanjut (Pasal 1 ayat 1 dan 2).
Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tidak memberikan
batasan yang jelas tentang kepentingan umum, dan berdasarkan Permendagri
Nomor 2 tahun 1976 yang dikeluarkan kemudian, ketentuan mengenai acara
pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah menurut Permendagri nonor 15
tahun 1975, diberlakukan juga untuk kepentingan swasta.
Keluarnya Keppres nomor 55 tahun 1993, membawa pengaturan yang
jauh berbeda dengan yang diatur dalam peraturan-peraturan perundangan
sebelunnya, baik tentang pengertian kepentingan umum, proses musyawarah
maupun tentang bentuk dan cara penentuan besarnya ganti kerugian.
Keppres tersebut menganut pendekatan yang sempit dengan memberikan
definisi yang ketat tentang kepentingan umum, diikuti dengan 14 contoh kegiatan
yang tidak membuka penafsiran lebih lanjut lagi1 (Pasal 5(1)).
Keppres ini menentukan tiga kriteria bagi suatu kegiatan untuk dapat
dikategorikan sebagai kepentingan umum yaitu: (1) dilakukan oleh pemerintah;
(2) dimiliki oleh pemerintah serta (3) tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Lebih lanjut ditentukan juga bidang-bidang kegiatan yang masuk kategori
kepentingan umum dengan kemungkinan Presiden menentukan bidang kegiatan
1 Maria SW. Sumardjono, Tinjauan Yuridis Keppres No. 55/1993 Tentang Pengadaan tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum, Permasalahan dan Kebijaksanaan dalam Pemecahannya), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan BPN, Jakarta, 1994, hal. 2
lain di luar yang disebut itu, asal memenuhi tiga kriteria tersebut.
Proses musyawarah juga ditentukan secara tegas yaitu dilakukan secara
langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang
memerlukan tanah, dengan dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan Tanah.
Bentuk dan dasar perhitungan ganti kerugian juga ditentukan secara lebih
tegas dan lebih adil yaitu didasarkan atas nilai nyata dengan memperhatikan nilai
jual obyek pajak yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.
Lebih lanjut Keppres ini menentukan bahwa untuk kegiatan kepentingan
umum yang memerlukan tanah kurang dari 1 (satu) ha, pengadaan tanahnya
dilakukan secara langsung (tanpa melalui Panitia Pengadaan Tanah) oleh instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pedagang hak atas tanah dengan
jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak (Pasal
23).
Berlakunya Keppres ini, maka Permendagri nomor 15 tahun 1975, dan
nomor 2 tahun 1976 serta nonor 2 tahun 1985 yang mengatur tentang pengadaan
tanah untuk kepentingan umum dan swasta dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal
24).
Untuk melaksanakan Keppres tersebut telah dikeluarkan pula Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nonor 1 tahun 1994
tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993.
Keppres Nomor 55 tahun 1993 ini sebagai suatu peraturan yang relatif
baru, maka perlu sekali dilakukan penelitian, sejauh mana Keppres tersebut
dilaksanakan dalam praktek.
Dalam hal ini penulis mengambil Kabupaten Sleman sebagai lokasi
penelitian, karena dari hasil pra penelitian yang penulis lakukan, dan berdasarkan
informasi dari Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman bahwa di Kabupaten
Sleman telah dilakukan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum
berupa sarana tanggul penanggulangan bahaya banjir dan lahar, berdasarkan
Keppres No. 55 tahun 1993 meliputi Kecamatan Ngaglik seluas 2,0513 Ha dan
Kecamatan Pakem seluas 1,6037 Ha. Sehubungan dengan itu pemberian ganti
kerugian kepada para pemilik hak atas tanah yang terkena lokasi pembangunan
kepentingan umun pun kenyataannya belun sesuai dengan Keppres No. 55 Tahun
1993 karena itu perlu dilakukan penelitian, maka penulis ingin mengadakan
penelitian dengan judul : "Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 di
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman."
B. Perumusan Masalah
Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah
Tingkat II Sleman.
b. Bagaimana proses berlangsungnya musyawarah antara instansi pemerintah
yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah ?
c. Apakah bentuk ganti kerugian yang diberikan dan apakah dasar yang
dipakai daIan penghitungan ganti kerugian tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan :
a. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam
membantu kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
b. Untuk mengetahui proses berlangsungnya musyawarah antara instansi
Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah.
c. Untuk mengetahui bentuk ganti kerugian yang diberikan dan dasar
yang dipakai dalam penghitungan ganti kerugian tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
1. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya
dalam bidang hukum agraria.
2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupun
pemerintah, khususnya aparatur pemerintah pada jajaran Badan
Pertanahan Nasional dalan hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.
E. Tinjauan Pustaka
Tanah merupakan modal dasar pembangunan.
"Hampir tak ada kegiatan pembangunan (sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan".2
Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan baik
untuk kepentingan unum maupun kepentingan swasta selalu membutuhkan tanah
sebagai wadah untuk diletakkan pembangunan itu.
Kini pembangunan terus meningkat dan persediaan tanahpun semakin sulit
(terbatas).
Keadaaan seperti ini dapat menimbulkan konflik karena kepentingan umum
dan kepentingan perorangan saling berbenturan.
Kondisi seperti ini diperlukan upaya dan pengaturan yang bijaksana guna
menghindari konflik-konflik yang lebih meresahkan masyarakat banyak.
Agar kepentingan umun tidak terhambat dalam arti dapat dilaksanakan dan
kepentingan perorangan pun tidak diabaikan maka diperlukan adanya musyawarah
antara masing-masing pihak untuk melaksanakan kepentingan umum.
Pembangunan kepentingan umum hanya dapat dilaksanakan jika ada tanah
yang telah tersedia.
Untuk itu perlu melakukan pengadaan tanah (penganbilan) tanah hak
masyarakat.
Proses pengambilan tanah hak masyarakat untuk kepentingan umum ini
sudah dilakukan sejak dahulu (zaman Hindia Belanda) yang dikenal dengan
Onteigenings Ordonnantie (Stb 1920 nomor 574) dengan peraturan pelaksanaannya
2 Pertanahan Dalam Pembangunan Indonesia, Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1982, hal. 165
yaitu Bijblad nomor 11372 yo 12746 mengatur mengenai aparat pembebasan dan
pemberian ganti kerugian atas tanah yang diperlukan.
Tetapi peraturan warisan Hindia Belanda tersebut telah dicabut masing-
masing dengan UU no 20/1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-
benda di atasnya dan Permendagri nomor 15 tahun 1975 tentang ketentuan-
ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.
Sejak berlakunya undang-undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yang disebut UUPA, memberikan dasar hukum bagi
pelaksanaan pembebasan (pengadaan) tanah atau pencabutan hak atas tanah untuk
kepentingan umum.
Dalam Pasal 18 UUPA menentukan bahwa untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan Pasal 18 UUPA ini dikeluarkan Undang-Undang nomor 20
tahun 1961 tentang Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda di atasnya. Di
dalam Pasal 1 menentukan bahwa :
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta
kepentingan bersama dari rakyat demikian pula kepentingan pembangunan, maka
presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat nencabut hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan kepentingan umum pencabutan
hak-hak atas tanah dapat dilakukan tetapi pemberian ganti kerugian juga harus
diberikan kepada bekas pemilik tanah.
Selanjutnya Sudargo Gautama mengatakan bahwa :
Pencabutan hak-hak atas tanah dimungkinkan tetapi ada syarat-syarat yang
perlu dipenuhi terlebih dahulu.
Salah satu syarat yang terpenting adalah bahwa perlu diadakan penggantian
kerugian.3
Undang-undang nomor 20 tahun 1961 ini mengatur dua hal yaitu:
1. Mengenai kepentingan umum
2. Mengenai pencabutan hak atas tanah.
Kegiatan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum selalu
mendesak, maka pengadaan/pengambilan tanah hak masyarakat ini harus
dilakukan guna pembangunan kepentingan umum.
Proses pengambilan tanah hak masyarakat untuk kepentingan umum ini
menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa :
Kepentingan pembangunan yang dengan memanfaatkan tanah-tanah hak perseorangan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara keseluruhan dalam hal ini kepentingan pembangunan itu ditujukan untuk mewujudkan kepentingan umun.4
3 Sudargo Gautana, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, PT. Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 120-121.4 Maria S.W. Sumardjono, Antara Kepentingan Pembangunan dan Keadilan, Forum Diskusi Alternatif, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994, hal. 1.
Kepentingan umum sering dipermasalahkan di masa lalu karena hal itu
dapat diperalat oleh pihak tertentu untuk kepentingan yang bukan termasuk
kepentingan umum.
Ini disebabkan karena rumusan pengertian kepentingan umum yang diatur
dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 itu terlalu luas. Seperti dalam Pasal 1
memberi pengertian kepentingan umum yaitu :
1. Kepentingan bangsa dan negara
2. Kepentingan bersana dari rakyat
3. Kepentingan pembangunan.
Pengertian ini tanpa ada batas yang jelas dan terperinci dengan demikian
kepentingan umum dapat ditafsir secara lain.
Dalam penjelasan umum angka 4 huruf b pun dijelaskan bahwa kegiatan
kepentingan umum tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta, asal usaha itu benar-benar untuk
kepentingan umum.
Inpres nomor 9 Tahun 1973 serta lampirannya dalam Pasal 1 ayat (1) dan
ayat (2) memberikan pedoman-pedoman mengenai pelaksanaan pencabutan hak
atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, juga memberikan makna
kepentingan umum secara luas dan menanbah daftar bidang kegiatan yang bersifat
kepentingan umum, tetapi masih dapat memberi peluang untuk dapat
diinterpretasikan secara lain lagi.
Kemudian dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun
1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.
Ketentuan ini pun tidak memberikan suatu pengertian kepentingan umum secara
jelas tetapi hanya secara luas, bahkan Permendagri ini selain digunakan untuk
pengadaan tanah bagi kepentingan pemerintah, juga dapat digunakan oleh pihak
swasta berdasarkan Permendagri nomor 2 tahun 1976.
Sejalan dengan itu proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak
selamanya berjalan lancar, karena pemberian ganti kerugian kadang-kadang tidak
sesuai dengan harapan masyarakat.
Lebih lanjut menurut Boedi Harsono, bahwa :
Mengenai besarnya ganti kerugian yang harus ditetapkan atas dasar
persetujuan bersama, ada suatu azas yang bersifat universal, yaitu, bahwa dengan
penyerahan tanahnya bekas yang empunya tanah kedudukan ekonomi dan sosial
tidak boleh menjadi mundur.5
kebutuhan akan tanah pun terus meningkat, padahal persediaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan semakin terbatas.
Oleh karena terbatasnya persediaan tanah dan banyak hambatan yang
dialami dalam proses perolehan tanah yang telah dihaki oleh masyarakat untuk
kepentingan umum, pemerintah terus berupaya menyempurnakan perangkat
peraturan perundang-undangan untuk dapat dipakai sebagai dasar hukum bagi
kegiatan pelaksanaan pengadaan tanah.
5 Boedi Harsono, ukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid 1, Djambatan, 1994, hal. 262.
Pada tanggal 17 Juni 1993 telah dikeluarkan Keppres nomor 55 tahun
1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum.
Keppres tersebut mengatur mengenai hal-hal pokok yang berkaitan dengan
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, baik
mengenai pengertian kepentingan umum, proses musyawarah maupun bentuk dan
cara penetapan besarnya ganti kerugian.
Dalam Keppres tersebut kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum
”dibatasi”6 pada tiga kriteria atau unsur yaitu:
1. Pembangunan harus dilakukan oleh Pemerintah.
2. Pembangunan harus dimiliki oleh Pemerintah.
3. Tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum
dilakukan melalui musyawarah (Pasal 9). Ganti kerugian dalam rangka pengadaan
tanah untuk kepentingan pembangunan diberikan juga untuk :
1. Hak atas tanah.
2. Bangunan.
3. Tanaman.
4. Benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Demikian juga ganti kerugian disebutkan dalam pasal 13 dapat berupa :
a. Uang.
6 Maria S.W. Sumardjono, Anatomi Keppres No. 55 Tahun 1993, SKH Kompas, 24 Juli 1993, Hal. 4
b. Tanah pengganti.
c. Pemukiman kembali.
d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian a, b, dan c,
dan
e. atau bentuk lain yang disepakati para pihak.
Selain itu dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 6 ayat (1), dan Panitia Pengadaan tanah dibentuk
di setiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II (Pasal 6 ayat (2))
F. Batasan Istilah
1. Pengadaan Tanah.
Istilah pengadaan tanah berarti mengadakan atau menyediakan
tanah. Dalam pasal 1 ayat (1), Keppres nomor 55 tahun 1993 menentukan
bahwa : yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan
untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada
yang berhak atas tanah tersebut.
2. Pembangunan.
Yang dimaksud dengan pembangunan adalah proses perubahan
atau kegiatan membangun dari suatu keadaan tertentu kepada suatu
keadaan yang dianggap lebih baik.
3. Kepentingan Umum.
Pengertian kepentingan umum sebagaimana tersebut dalam
Keppres nomor 55 tahun 1993 pasal 1 ayat (3) bahwa : yang dimaksud
dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan
masyarakat.
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan tiga kriteria
kepentingan umum yaitu kegiatan pembangunan yang, 1. dilakukan oleh
pemerintah, 2. dimiliki oleh pemerintah, dan 3. tidak digunakan untuk
mencari keuntungan.
Dengan pengertian/batasan istilah tersebut di atas telah menjadi
jelas bahwa yang dimaksud dengan pengadaan tanah untuk pembangunan
kepentingan umum adalah kegiatan mengadakan/menyediakan tanah
untuk membangun kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang
dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk
mencari keuntungan.
G. Cara Penelitian.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu “dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia keadaan atau gejala-gejala lainya.”7
Untuk mengetahui tentang gejala di lapangan dengan didasari judul, latar
belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian
penyusun menggunakan metode kualitatif , Soekanto (dengan mengutip W.I.
Thomas dan F. Znaniecki) :
7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 10
“Metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif analisistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara
tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan
dipelajari sebagai suatu yang utuh”.8
1. Lokasi Penelitian dan Responden.
a. Lokasi Penelitian.
Lokasi penelitian adalah Kecamatan Ngaglik dan
Kecamatan Pakem , Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman. Dua
Kecamatan tersebut dijadikan satu lokasi/proyek yang mana pada
lokasi tersebut terdapat/diadakan pengadaan tanah untuk
pembangunan kepentingan umum dimaksud. Pada dua Kecamatan
itu hanya dijadikan satu lokasi karena lokasi yang terkena kegiatan
pembangunan sarana kepentingan umum dimaksud merupakan
satu kesatuan yang terletak pada batas wilayah dua Kecamatan
tersebut.
b. Responden.
Responden dalan penelitian ini adalah para pemilik tanah
yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Jumlah
responden yang diambil sebagai sampel penelitian adalah 23 orang
yang terdiri dari Kecamatan Ngaglik 20 orang, Kecamatan Pakem
3 orang. Karena jumlah responden relatif sedikit maka diambil
semuanya sebagai sampel.
8 Ibid, hal. 250
Selain itu untuk melengkapi data responden diperlukan
pula informasi dari nara sumber yaitu: Panitia Pengadaan Tanah
khususnya : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman.
Camat/Kepala Wilayah dari Kecamatan letak lokasi sampel.
Kepala Desa/Kelurahan dari Desa/Kelurahan letak lokasi sampel.
Kepala Dinas/Instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
2. Alat Pengumpulan Data.
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data
primer dan data sekunder. Data. Primer adalah data yang diperoleh
langsung dari responden, sedangkan data sekunder antara lain mencakup
dokumen resmi, hasil-hasil penelitian terdahulu, surat-surat dan atau
warkah-warkah yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan kepentingan umum.
a. Data Primer :
Untuk memperoleh data, dilakukan dengan
mempergunakan alat sebagai berikut :
1. Kuesioner yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan yang
sifatnya terbuka dan tertutup atau kombinasi keduanya, yang
ditujukan kepada responden.
2. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab/wawancara
dengan narasumber berdasarkan pedoman wawancara yang
telah dipersiapkan terlebih dahulu.
b. Data Sekunder :
Berupa arsip dan warkah-warkah yang ada di Kantor
Pertanahan Kabupaten Sleman dengan Studi Dokumen.
3. Analisis Data.
Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara
kualitatif berdasarkan metode berpikir dedukatif dan induktif. Metode
dedukatif ialah suatu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat
umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sedangkan metode induktif ialah
suatu cara berpikir yang diawali dari hal-hal yang bersifat khusus ke hal-
hal yang bersifat umum.
BAB II
TINJAUAN TENTANG PENGATURAN PENGADAAN TANAH UNTUK
KEPENTINGAN UMUM
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sudah dikenal sejak masa
pemerintahan Kolonial Belanda dahulu. Istilah pengadaan tanah masa itu lebih dikenal
dengan istilah pencabutan hak (onteigenings). Oleh karena itu uraian tentang pengadaan
tanah untuk kepentingan umum dapat diawali dari nasa sebelum dan sesudah keluarnya
UUPA hingga masa berlakunya Keppres nomor 55 tahun 1993.
A. Masa Sebelum Keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria.
Pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada masa
sebelum keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria dapat ditinjau dari masa
sebelum merdeka (masa kolonial) dan masa sesudah merdeka.
1. Masa Sebelun Merdeka (Masa Kolonial).
Pada masa sebelum merdeka kegiatan menyediakan tanah lebih
dikenal dengan istilah pencabutan hak yang lazim ;disebut onteigenings.
Hal itu diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda sebagai dasar hukum.
Peraturan-peraturan dimaksud Bebagai berikut :
a. Agrarische Wet 1870 (Staatsblad 1870 nomor 55.)
b. Staatsblad 1920 nomor 574 tentang onteigenings ordonnantie.
c. Staatsblad 1947 nomor 96 tentang perubahan atas staatsblad 1920
nomor 574 tentang onteigenings ordonnantie.
d. Bijblad nomor 11372 jo nomor 12746 tentang panitia
pembelian tanah untuk keperluan dinas.
Pengalaman sejarah perjalanan Bangsa Indonesia telah
menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia pernah menjadi Koloni Belanda
selama 350 tahun. Adanya Kolonial Belanda itu berpengaruh sangat besar
terhadap sendi dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia dalam segala
bidang yaitu dalam bidang : politik, budaya, hankam, sosial, dan ekonomi,
termasuk di dalamnya keberadaan hukum agraria Indonesia yang masih
berdasarkan hukum adat pada waktu itu. Demikian pada waktu itu Hukum
Agraria di Indonesia bersifat dualistis, yaitu bahwa di samping hukum
agraria adat, berlaku hukum tanah barat. Hukum tanah adat ialah hukum
atau peraturan yang tidak tertulis, sedangkan hukum barat ialah hukum
atau peraturan-peraturan yang tertulis.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa : “Yang dimaksud dengan
hukum adat ialah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Hukum
adat itu terdiri dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, sedangkan
hukum barat itu terdiri dari peraturan-peraturan yang tertulis.”9
Hukum agraria barat yang berlaku pada masa Kolonial dan yang
terpenting adalah Agrarische wet 1870 yang termuat dalam Staatsblad
1870 nonor 55, yang terdiri dari lima ayat, yang isi lengkapnya sebagai
berikut :
9 Sudikno Mertokusumo, Perundangan Agraria, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 3
1. Menurut ketentuan, yang ditetapkan dengan ordonansi, maka
tanah-tanah diberikan dengan erfpacht, untuk waktu tidak lebih
dari tujuh puluh lima tahun.
2. Gubernur Jenderal harus menjaga jangan sampai setiap
pemberian tanah itu melanggar hak-hak Bangsa Indonesia.
3. Tanah-tanah yang dibuka oleh Bangsa Indonesia untuk
digunakan sendiri atau sebagai tempat penggembalaan umum
atau karena salah satu sebab termasuk tanah desa, tidak dikuasai
Gubernur Jenderal kecuali untuk kepentingan umum dan untuk
tanaman-tanaman yang diperintahkan oleh penguasa menurut
peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan ganti kerugian
yang patut.
4. Tanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dengan hak pakai
perseorangan turun temurun (erfelijk individueel gebruik),
diberikan atas permintaan pemilik yang berhak dengan eigendom
kepadanya dengan pembatasan-pembatasan yang perlu yang
ditetapkan dengan ordonansi dan dinyatakan di dalam surat
eigendom, terhadap kewajiban terhadap negara dan desa dan
wewenang menjual kepada bukan Bangsa Indonesia.
5. Penyewaan atau menyuruh memakai tanah oleh bangsa Indonesia
kepada bukan Bangsa Indonesia berlangsung menurut
ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi.
Agrarische wet atau "Undang-Undang Agraria" 1870 itu kemudian
ditambahkan pada Pasal 62 Regerings Reglement (R.R.) sehingga menjadi
delapan ayat. Kemudian pada tahun 1925 R.R. itu diubah menjadi
“Indische Staatsregeling" (I.S.), dan Pasal 62 R.R. berubah nenjadi Pasal
51 I.S. sedangkan isinya tetap delapan ayat.
Dalam Agrarische wet tampak bahwa dasar pengaturan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum telah diisyaratkan. Hal itu ternyata dalam
ayat (3) Agrarische wet atau ayat (6) (IS), pada isi pokoknya menyebutkan
bahwa : tanah-tanah milik rakyat Indonesia tidak dikuasai oleh Gubernur
Jenderal kecuali untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti
kerugian yang patut.
Maksud yang terkandung dalan Agrarische wet tersebut di atas
adalah memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta asing untuk
berkembang dan memperoleh tanah dan memberi perlindungan terhadap
hak-hak rakyat atas tanah.
Selanjutnya Sudiknomertokusumo menyatakan bahwa : “Maksud
daripada Undang-Undang Agraria tahun 1870 itu pada pokoknya : 10
1. Kemungkinkan perkembangan perusahaan partikelir asing dengan
memberi kesempatan untuk memperoleh tanah yang diperlukan.
2. Melindungi dan memperkuat hak rakyat atas tanah.
Sedangkan isi pokok dari pada Undang-Undang Agraria 1870 ialah
seperti berikut :
10 Ibid, hal. 6.
1. Memungkinkan pemberian hak erfpacht untuk tujuh puluh lima
tahun dan sewa menyewa kepada Bangsa Indonesia.
2. a) pemberian tanah tidak boleh mendesak hak rakyat.
b) bila pemerintah mengambil tanah rakyat harus hanya untuk
kepentingan umum dan untuk tanaman-tanaman yang
diperintahkan oleh penguasa dengan pembayaran kerugian.
c) kepada Bangsa Indonesia diberi kesempatan mendapat hak
tanah dengan hak milik agraria.
d) diadakan peraturan sewa menyewa tanah rakyat Indonesia
kepada orang asing.
Maksud dan isi dari Undang-Undang Agraria 1870 menunjukkan
bahwa hak-hak rakyat atas tanah perlu dihormati. Bila pemerintah
menganbil tanah rakyat asal dengan syarat bahwa harus hanya untuk
kepentingan umum dan dengan pemberian ganti kerugian yang layak
kepada pemiliknya.
Hak-hak rakyat atas tanah menurut hukum adat ialah hak ulayat,
hak milik dan hak komunal, dan Agrarische Eigendom sedangkan hak-hak
atas tanah menurut hukum barat (KUHPerdata Barat) ialah hak eigendom,
hak Erfpacht, dan hak opstal. Hak-hak tersebut yang dimiliki rakyat atas
tanah baik secara perorangan maupun secara berkelompok (komunal) itu
harus dihormati eksistensinya.
Apabila kepentingan umum menghendaki dan persediaan tanah
negara relatif tidak tersedia maka hak-hak atas tanah tersebut hanya dapat
dibeli atau dengan pencabutan hak (onteigenings) dengan pemberian ganti
kerugian yang layak.
Hak barat seperti hak Eigendom adalah hak yang paling luas. Hak
Eigendom tersebut diatur dalam Pasal 570 BW, yang isi pokoknya
menetapkan bahwa hak Eigendom itu adalah suatu hak kebendaan, artinya
orang yang mempunyai Eigendom itu menpunyai wewenang untuk :
a. mempertahankan atau menikmati benda itu sepenuh-penuhnya.
b. menguasai benda itu seluas-luasnya.
Tetapi dengan syarat bahwa :
a. tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang umum.
b. tidak boleh mengganggu hak orang lain, dengan perkecualian
yang ditetapkan secara tegas bahwa untuk kepentingan umum,
pemerintah dapat mengadakan pencabutan hak (onteigenings)
tetapi harus untuk kepentingan umum dan harus
berdasarkan peraturan hukum.
Lebih lanjut Eddy Ruchiyat menyatakan bahwa pencabutan hak
dan syarat-syaratnya yang mengikat pemerintah telah ditetapkan, yaitu :
a. Onteigening itu harus untuk keperluan umum.
b. Yang mempunyai Eigendom harus diberi ganti kerugian yang
layak (pantas)
c. Sub a dan b harus dijelaskan menurut peraturan-peraturan
hukum.11
11 Eddy Ruchiyat , Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni Bandung, 1995, hal. 26
Berarti bahwa hak Eigendom yang merupakan hak kebendaan
yang seluas-luasnya telah mendapat perlindungan hukum. Pelaksanaan
lebih lanjut mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut
dalam Undang-Undang Agraria 1870 baru diatur 50 tahun kemudian yaitu
dalam Staatsblad 1920 nomor 574 yang lebih dikenal dengan istilah
"Onteigenings Ordonnantie" atau peraturan pencabutan hak. Peraturan
tsrsebut mulai berlaku pada tanggal 1 September 1920, yang kemudian
setelah kemerdekaan diubah dan ditambah, yang terakhir dengan
Staatsblad 1947 nomor 96, guna menyesuaikan dengan perubahan
keadaan dan kebutuhan Bangsa Indonesia.
Di dalam Staatsblad 1920 nomor 574 tersebut tidak dijelaskan
mengenai pengertian pecabutan hak atas tanah dimaksud.
Guna kelancaran pelaksanaan pembangunan fasilitas kepentingan
umum maka pencabutan hak tanah harus dilakukan oleh karena tanah
yang tersedia untuk pelaksanaan pembangunan fasilitas kepentingan
umum belum tersedia. Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan
umum dimaksud melibatkan dua pihak.
Pihak-pihak yang terlibat di dalam kegiatan pencabutan tanah
adalah :
1. pemilik tanah (yang empunya tanah).
2. pihak yang membutuhkan tanah.
Pencabutan tanah yang dilakukan berdasarkan staatsblads 1920
nomor 574 itu tidak didasarkan pada azas musyawarah tapi hanya atas
perintah penguasa apabila ada suatu rencana kegiatan yang diperuntukkan
kepentingan umum. Demikian pula kepentingan umum itu bukan untuk
masyarakat luas tetapi untuk kelompok tertentu terutama penguasa yang
juga merangkap pengusaha pada waktu itu.
Selain pencabutan hak dikenal juga pembelian tanah untuk
keperluan dinas diatur dalam Bijblad nomor 11372 jo nomor 12746
(Gouvernents Besluit 1927 nomor 7 jo nonor 23 tahun 1932).
Bijblad tersebut sebagai peraturan pelaksanaan onteigenings
ordonnantie (stb. 1920 nomor 574).
Mengenai kepentingan umum yang disebutkan dalam ayat (3)
Undang-Undang Agraria 1870 dan Onteigenings Ordonnantie 1920 (Stb.
1920 nonor 574) tidak diberikan suatu definisi yang jelas dan pembatasan
secara terperinci dengan tegas tetapi hanya disebutkan secara umum. Hal
ini dapat dimaklumi bahwa tujuan politik agraria barat adalah mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya.
Berdasarkan Staatsblad 1920 nomor 574 tersebut dan berdalih
kepentingan umum rakyat diperdaya dengan cara-cara yang tidak adil dan
manusiawi hanya demi mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi
dan golongan sendiri.
Tujuan politik hukum agraria barat yang sangat bertentangan
dengan realita kehidupan Bangsa Indonesia pada waktu Itu, menurut Iman
Soetiknjo bahwa :
“Sebab dasar dari pada politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu nendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga
yang serendah mungkin, untuk kemudian dijual dengan harga yang setinggi mungkin. Tujuannya tidak lain dari mencari keuntungan sebesar mungkin, bagi diri penguasa kolonial yang merangkap menjadi pengusaha.”12
Jadi jelas bahwa kepentingan umum bukan nenjadi tujuan
pencabutan tanah pada waktu itu melainkan kepentingan pribadi dan
golongan yang diutamakan.
2. Masa Sesudah Merdeka
Masa sesudah merdeka pengaturan pencabutan hak belum dapat
diatur dengan peraturan perundang-undangan secara khusus. Karena
situasi politik dalam negeri yang masih dalam proses peralihan kedaulatan
sebagai negara merdeka (RI). Karena itu peraturan perundang-undangan
yang mengatur soal pencabutan hak masih mengacu pada peraturan
perundang-undangan Kolonial Belanda. Kecuali Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
pencabutan tanah pada masa itu adalah sebagai berikut :
a. Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.
b. Pasal 26 KRIS jo pasal 27 UUDS 1950.
c. Agrarische Wet 1870 (Staatsblad 1870 noaor 55).
d. Staatsblad 1920 nomor 574 tentang onteigenings ordonnantie.
e. Bijblad nomor 11372 jo nomor 12746 mengenai panitia
penbelian tanah untuk keperluan dinas.
12 Iman Soetikno, Politik Agraria Nasional, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 1-2
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Sehari setelah itu maka pada, tanggal
18 Agustus 1945 ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945). Kemerdekaan tersebut berarti dalam segala bidang kehidupan
negara, falsafah yang menjadi dasar tujuan yang hendak dicapai, termasuk
Juga dasar dan tujuan politik agraria sudah berbeda. Artinya dasar dari
tujuan negara dan juga dasar dan tujuan politik agraria Indonesia tidak
sama dengan dasar tujuan politik agraria Pemerintah Belanda, tetapi
sudah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Konkritnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum, atau
pencabutan hak (onteigenings) pada masa setelah kemerdekaan
pengaturannya tidak dijumpai dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Walaupun demikian dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 mengatakan bahwa : “segala badan negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang ini.” Atas dasar Pasal II Aturan peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 tersebut maka semua peraturan perundang-undangan termasuk
juga peraturan perundang-undangan agraria peninggalan Pemerintah
Belanda masih tetap berlaku di wilayah negara Republik Indonesia,
sebelum ada peraturan baru yang menggantinya. Karena itu maka
staatsblad 1920 nomor 574 tentang onteigenings ordonnantie atau
peraturan pencabutan hak atas tanah dengan peraturan pelaksanaannya
yaitu Bijblad nomor 11372 yo nomor 12746 mengenai panitia pembelian
tanah untuk keperluan dinas dan pemberian ganti kerugian atas tanah yang
diperlukan masih tetap berlaku di Indonesia.
Jika ditinjau lebih lanjut tentang pengaturan pencabutan hak atas
tanah dalam empat Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di
Republik Indonesia masing-masing :
1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) berlaku 18-8-1945 s/d 27-
12-1949 (kurun waktu I);
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) berlaku 27
Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950;
3. Undang-Undang Dasar Semntara (UUDS 1950) berlaku 17
Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959;
4. Undang-Undang Dasar 1945 (berdasarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959) berlaku 5 Juli 1959 s/d sekarang (kurun waktu II);
maka pengaturan mengenai pencabutan hak atas tanah dapat dijumpai
dalam dua Undang-Undang Dasar yang tersebut pada nomor 2 (dua) dan 3
(tiga) di atas yaitu KRIS dan UUDS 1950. Dalam Pasal 26 KRIS atau juga
Pasal 27 UDDS 1950 mengatakan bahwa : "Pencabutan Hak Milik
(onteigening) untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak
dibolehkan kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan
Undang-Undang." Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut berarti
bahwa peraturan dasar yang diperlukan untuk dapat dipakai sebagai dasar
hukum bagi syahnya suatu perbuatan pencabutan hak milik/pengadaan
tanah, yaitu yang dirumuskan dalam suatu Undang-Undang secara yuridis
formil sudah terpenuhi.
Dalam ketentuan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada unsur-
unsur yang perlu diperhatikan yaitu kepentinga umum menghendaki
pencabutan hak, pencabutan harus disertai ganti kerugian, perbuatan
pencabutan hak harus dengan undang-undang.
Hal tersebut menurut pendapat Marmin M. Roosadijo bahwa :
Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapatlah kita temukan 3 (tiga) unsur
pokok13 yaitu :
a. Kepentingan umum membutuhkan diadakannya pencabutan
hak milik itu.
b. Terhadap pencabutan hak milik ini harus disertai dengan
pemberian ganti kerugian kepada yang berhak.
c. Tindakan tersebut harus didasarkan atas ketentuan Undang-undang
yang mengaturnya.
Unsur-unsur pokok tersebut satu diantaranya yang terpenting ialah
pencabutan hak untuk kepentingan umum harus didasarkan undang-
undang yang mengaturnya.
B. Setelah Keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria
Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok graria yang disebut Undang-undang Pokok Agraria
13 Marmin M. Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1979, hal. 10
atau disingkat UUPA, maka masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum
mulai mendapat perhatian dan pengaturan, sesuai dengan hukum agraria nasional.
Berdasarkan UUPA itu maka Agrarische Wet (Staatsblad 1870 nomor 55) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi di wilayah RI. Kecuali Staatsblad 1920 nomor
574 dengan Bijblad nomor 11372 jo 12746, tetap berlaku sesuai ketentuan
Peraturan Peralihan UUPA pasal 58 menyebutkan, selama peraturan pelaksanaan
UUPA belum ada maka peraturan-peraturan yang ada masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.
Di dalam Pasal 18 UUPA, disebutkan sebagai berikut : untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Ketentuan tersebut pada satu pihak memberikan landasan hukum bagi
penguasa untuk dapat nenperoleh tanah yang diperlukannya guna
menyelengarakan kepentingan umum. Pada lain pihak ketentuan itu
memberikan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah terhadap
tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Pencabutan hak untuk kepentingan
umum dimungkinkan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu, yaitu selain yang
ditetapkan dalam pasal 18 tersebut di atas juga dalam suatu undang-undang
yang akan mengatur cara-cara melakukan pencabutan hak. Ketentuan pasal 18
UUPA itu pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari azas dalam pasal 6
UUPA yaitu semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Berdasarkan pada ketentuan pasal 18 itu maka pencabutan tanah untuk
kepentingan umum mulai diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan
baik berupa undang-undang, maupun berupa Peraturan Pemerintah (PP),
Keputusan Presiden (Keppres), dan Peraturan Menteri.
Untuk itu maka pengaturannya dapat ditinjau dari berbagai Peraturan
Perundang-undangan tersebut sebagai berikut :
1. Menurut undang-undang nomor 20 tahun 1961
a. Pengertian Pencabutan hak atas tanah.
Undang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan
hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya adalah
sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUPA.
Di dalam Pasal 1 Undang-undang nomor 20 tahun 1961 jo
Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa : Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan penbangunan,
maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar
Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang
bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda
yang ada di atasnya.
Berdasarkan rumusan dalam Pasal 1 tersebut di atas maka
pencabutan hak tersebut dilakukan untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Undang-undang nonor 20 tahun 1991 tidak
memberikan pengertian mengenai pencabutan hak atas tanah
secara baku. Namun hal itu oleh Boedi Harsono dijelaskan bahwa :
“Pencabutan hak nenurut UUPA adalah pengambilan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran iu lalai dalam memenuhi kewajiban hukum.”14
Pencabutan hak itu dilakukan karena keterbatasan
persediaan tanah untuk pembangunan, maka untuk
memperolehnya perlu mengambil alih tanah hak rakyat dengan
memberi ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah itu.
b. Dasar Hukum Pencabutan Hak Atas Tanah.
Sejak diundangkan undang-undang nomor 20 tahun 1961
maka statsblad 1920 nomor 574 tentang Onteigenings Ordonnantie
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi kecuali Bijblad nomor
11372 jo nomor 12746 mengenai Panitia Pembelian Tanah untuk
keperluan dinas masih tetap berlaku.
Peraturan-peraturan mengenai pencabutan hak atas tanah
adalah :
1) UUPA khususnya pasal 18 berbunyi, untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat
14 Boedi Harsono, Hukum Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Jilid II, Djambatan Jakarta, 1971, hal. 221.
dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
2) Undang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang
pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang
ada di atasnya.
3) Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1973 tentang acara
penetapan ganti kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan
dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang
ada di atasnya.
4) Instruksi Presiden nomor 9 tahun 1973 tentang pedoman-
pedoman pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dan
benda-benda yang ada di atasnya.
Untuk melaksanakan undang-undang nomor 20 tahun 1961
maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor
39 tahun 1973, guna menjamin hak para pemegang hak atas tanah
yang dicabut agar dapat mengajukan banding kepada Pengadilan
Tinggi setempat jika ganti rugi yang diberikan itu dirasa kurang
layak.
Selain itu Instruksi Presiden nomor 9 tahun 1973 mengenai
pedoman-pedoman pelaksanaan pencabutan hak atas tanah untuk
pembangunan kepentingan umum.
Berdasarkan rumusan tersebut dalan pasal 1 Undang-
undang nomor 20 tahun 1961 jo pasal 18 UUPA maka pencabutan
hak atas tanah hanya dapat dilaksanakan kalau pembangunan
kepentingan umum itu dalan keadaan yang sangat memaksa dan
merupakan jalan terakhir. Apabila dalam keadaan biasa maka
undang-undang nomor 20 tahun 1961 tidak dapat diterapkan, tetapi
ditempuh jalan yang lain. Dalam Pasal 10 undang-undang nomor
20 tahun 1961 menyebutkan bahwa jika dapat dicapai persetujuan
jual beli atau tukar menukar, maka penyelesaian itulah yang
ditempuh, walaupun sudah ada surat keputusan pencabutan hak.
Berdasarkan Pasal 10 undang-undang nomor 20 tahun 1981
tersebut pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) Permendagri masing-
masing :
1) Permendagri nomor 15 tahun 1975 tentang ketentuan-
ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.
2) Permendagri nomor 2 tahun 1976 tentang penggunaan
acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah
bagi pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.
3) Permendagri nomor 2 tahun 1985 tentang pengadaan
tanah untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah
Kecamatan.
Berdasarkan 3 (tiga) Permendagri tersebut pemenuhan
kebutuhan tanah untuk pembangunan kepentingan umum dan
swasta dapat dilaksanakan dengan cara pembebasan hak atas
tanah.
Dalan perkembangan selanjutnya 3 (tiga) Permendagri
tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
pembangunan maka pemerintah telah mengeluarkan Keppres
nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.
Berlakunya Keppres nomor 55 tahun 1993 tersebut maka 3
(tiga) Permendagri tersebut di atas dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi.
c. Tata Cara Pencabutan Hak Atas Tanah.
Di dalam undang-undang nomor 20 tahun 1961 disebutkan
ada dua cara pencabutan hak atas tanah, yaitu cara biasa dan cara
dalam keadaan yang mendesak (darurat).
Selanjutnya Boedi Harsono menjelaskan bahwa : "Undang-
undang nonor 20 tahun 1961 memuat dua macam acara
pencabutan hak yaitu acara biasa dan acara untuk keadaan yang
sangat mendesak, yang memerlukan penguasaan tanah dan/atau
benda yang bersangkutan dengan segera.15
Pencabutan hak atas tanah akan dilakukan secara sepihak
oleh pihak penguasa (pemerintah), untuk segera menguasai tanah
guna terselenggaranya kepentingan umum dengan cara-cara
tersebut.
1) Cara Biasa.
15 Boedi Harsono, Ibid, hal. 222
Dalam acara biasa ini pihak yang berkepentingan
mengajukan permohonan dengan perantaraan Menteri Agraria,
melalui Kepala Inspeksi Agraria (sekarang : Kepala Kantor
Wilayah BPN) setempat.
Permohonan tersebut harus dilampirkan hasil taksiran ganti
kerugian dari panitia penaksir serta pertimbangan dari Bupati
Kepala daerah setempat mengenai segala akibat pencabutan hak
atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya yang akan
dialami oleh pemilik hak atas tanah yang dicabut.
Kemudian permohonan tersebut diteruskan oleh Kepala
Inspeksi Agraria (Kepala Kantor Wilayah BPN) kepada Menteri
Agraria untuk selanjutnya Menteri Agraria mengajukannya
kepada Presiden untuk mendapat keputusan pencabutan hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Pihak yang
membutuhkan tanah baru dapat menguasai tanah tersebut setelah
ada Keputusan Presiden tentang pencabutan hak atas tanah dan
benda-benda yang ada di atasnya dan sudah dilakukan
pembayaran ganti kerugiannya. Setelah tanah dikuasai
berdasarkan Keputusan Presiden dimaksud oleh pemohon maka
tanah itu segera menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh
negara, untuk segera diberikan kepada yang berkepentingan
dengan suatu status hak yang sesuai. Apabila tanah dan benda-
benda yang ada di atasnya yang haknya telah dicabut itu tidak
dimanfaatkan sesuai dengan rencana peruntukannya maka tanah
dan benda-benda yang ada di atasnya dikembalikan kepada
pemiliknya semula sebagai prioritas utama.
2) Cara Darurat.
Dalam keadaan yang mendesak seperti terjadi wabah
penyakit, bencana alam, maka permohonan pencabutan tanah
dilakukan melalui acara khusus yang lebih cepat. Agar segera
dapat menguasai tanah dan benda-benda yang ada di atasnya
untuk pembangunan kepentingan umum maka seterimanya
permohonan pencabutan hak atas tanah dari pihak yang
memerlukan tanah, Kepala Inspeksi Agraria (Kepala Kantor
Wilayah BPN) mengajukan permohonan pencabutan hak atas
tanah kepada Menteri Agraria tanpa dilampiri dengan taksiran
ganti kerugian dan pertimbangan dari Kepala Daerah setempat.
Menteri Agraria kemudian dapat langsung memberikan
persetujuan atas permohonan/usulan tersebut untuk segera
menguasai tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, walaupun
belum ada Keputusan Presiden mengenai pencabutan hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atasnya dan ganti kerugiannya
belun dibayar. Maksudnya agar pihak yang memerlukan tanah
dapat menguasai tanah dengan segera dan dapat melaksanakan
kegiatan pembangunan fasilitas kepentingan umum yang sangat
mendesak dan tidak dapat dipindahkan ke lokasi yang lain.
d. Kepentingan Umum.
Di dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 tidak
menyebutkan secara jelas dan terperinci mengenai apa yang
dimaksudkan dengan kepentingan umum itu. Maksudnya Undang-
Undang tersebut tidak memberikan suatu definisi atau pengertian
kepentingan umum itu secara baku, tetapi hanya nengartikan
kepentingan umum itu secara luas.
Makna kepentingan umum yang dimaksud dalam
Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 ialah:
1. Kepentingan bangsa dan negara,
2. Kepentingan bersama dari rakyat, dan
3. Kepentingan pembangunan (Pasal 1).
Kepentingan umum yang kegiatannya selain dilakukan
oleh pemerintah, juga dilakukan oleh swasta, asal saja usaha itu
benar-benar untuk menunjang kepentingan umum.
Dalam melaksanakan undang-undang pencabutan hak atas
tanah tersebut oleh pemerintah dikeluarkan instruksi presiden
(Inpres) nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-pedoman
Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda
yang ada di Atasnya. Dalam Inpres tersebut juga mengartikan
kepentingan umum itu secara kombinasi antara pengertian
kepentingan umum secara luas dan sempit, dan ditambah dengan
suatu daftar kegiatan yang berisi 13 jenis bidang kegiatan yang
tergolong kepentingan umum. Kombinasi pengertian kepentingan
umum dimaksud sebagai yang disebutkan di dalam Pasal 1 dan 2
lampiran Inpres itu ialah pengertian kepentingan umum dalam arti
luas dan dalam arti sempit.
Inpres nomor 9 Tahun 1973 menyebutkan bahwa : Suatu
kegiatan pembangunan yang bersifat kepentingan umum apabila
kegiatan itu menyangkut:
a. Kepentingan bangsa dan negara,
b. Kepentingan masyarakat luas,
c. Kepentingan bersama atau rakyat banyak,
d. Kepentingan pembangunan (Pasal 1 ayat (1).
Yang tersebut di atas itu yang disebut kepentingan
umum dalam arti luas.
Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa
bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat.
kepentingan umum sebagai tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) di atas
meliputi 13 bidang kegiatan yaitu bidang :
a. Pertanahan;
b. Pekerjaan umum;
c. Perlengkapan umum;
d. Jasa umum;
e. Keagamaan;
f. llmu pengetahuan dan seni budaya;
g. Kesehatan;
h. Olah raga;
i. Kesehatan umum terhadap bencana alam;
j. Kesejahteraan Sosial;
k. Makam/Kuburan;
l. Pariwisata dan rekreasi;
m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan umum.
Hal ini pun masih memberikan peluang untuk dapat
menginterpretasikan kepentingan umum itu secara luas lagi.
Karena tidak ada pembatasannya yang tegas.
Selanjutnya Maria S.W. Soemardjono mengatakan bahwa :
“... Dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 1961 digunakan pendekatan yang luas tentang pengertian kepentingan umum dan dalam Inpres nomor 9 tahun 1973 digunakan kombinasi antara pendekatan luas dan sempit dengan menyebut daftar kegiatan yang masih membuka peluang untuk menafsirkan secara luas”16
Jadi Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 dan Inpres
nomor 9 Tahun 1973 itu tidak memberikan suatu batasan tentang
pengertian kepentingan umum itu dengan tegas dan jelas, sehingga
16 Maria S.W. Sumardjono, injauan Yuridis Keppres, Op. Cit., hal. 3
masih membuka peluang bagi orang untuk menafsirkan secara lain
dari yang sesungguhnya. Maksudnya kepentingan umum itu dapat
saja disalah artikan oleh pihak-pihak tertentu untuk berdalih dalam
pengambilan tanah hak masyarakat, kemudian digunakan untuk
kepentingan yang tidak tergolong dalam kepentingan umum yang
sebenarnya.
Pengambilan tanah hak masyarakat dengan dalih
kepentingan umum oleh pihak tertentu ini, pada akhirnya kegiatan
kepentingan umum itu dapat dilakukan dan dimiliki oleh bukan
pemerintah dan bukan untuk tidak mencari keuntungan. Yang
demikian ini manfaat dari kepentingan umum dimaksud tidak
dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tetapi hanya
mencari keuntungannya sendiri.
Dalam memberikan interpretasi yang luas seperti itu dapat
mengaburkan makna kepentingan umum yang sesungguhnya.
e. Ganti Kerugian.
Mengenai ganti kerugian ini oleh Undang-undang Pokok
Agraria melalui Pasal 18 telah memberikan landasan hukumnya.
Di dalam Pasal 18 UUPA itu terkandung pokok pikiran
bahwa untuk kepentingan umum maka hak-hak atas tanah dapat
dicabut asal harus dengan memberikan ganti kerugian yang layak
dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Berdasarkan isi pokok Pasal 18 UUPA itu terlihat adanya
dua syarat dalam melakukan pencabutan hak atas tanah untuk
kepentingan umum yaitu :
a. Pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik hak
atas tanah itu harus layak/sepadan.
b. Harus dengan cara yang diatur dengan undang-undang.
Untuk memenuhi syarat-syarat itu maka pemerintah telah
mengeluarkan undang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang
pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di
atasnya dan Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1973 jo Inpres
nomor 9 tahun 1973 sebagai Peraturan Pelaksanaannya.
Di dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 1961 tersebut
tidak mengatur pengertian ganti kerugian secara baku, kecuali
dalam penjelasannya menjelaskan bahwa ganti kerugian yang
layak itu didasarkan pada nilai nyata atau sebenarnya dari tanah
atau benda yang bersangkutan, dan harga yang didasarkan pada
nilai nyata atau sebenarnya itu tidak mesti sama dengan harga
umum, karena harga umum dapat merupakan harga "catut", tetapi
sebaliknya harga tersebut tidak pula berarti harga yang murah.
Ganti kerugian ditetapkan oleh pemerintah atas usul panitia
penaksir yang terdiri dari pejabat ahli yang bidang pekerjaannya
berkaitan dengan masalah tersebut.
Pemberian jumlah/besarnya ganti kerugian merupakan
suatu substansi dari musyawarah yang tidak dapat dihindari
(mutlak perlu ada). Maka pembayarannya dilakukan secara tunai
dan langsung kepada pihak yang berhak menerimanya. Karena hak
dari pihak yang empunya tanah dan benda yang ada di atasnya
sudah dicabut, dan ini berarti mereka telah kehilangan baik mata
pencaharian maupun sumber penghasilan (kehilangan sumber
hidup).
Karena itu sebagai wujud penghormatan dan pengakuan
terhadap hak milik pihak yang empunya tanah dan benda yang ada
di atasnya yang telah dicabut adalah pemberian ganti kerugian
kepada yang berhak menerimanya. Hal ini lebih lanjut Maria S.W.
Sumardjono mengatakan bahwa :
“Penghargaan terhadap hak atas tanah yang diambil untuk kepentingan pembangunan itu antara lain diwujudkan dalam pemberian ganti kerugian. Diakui bahwa dalam kenyataannya, salah satu hal yang paling rumit dalam setiap proses pengambilan hak atas tanah adalah masalah penentuan besarnya ganti kerugian”17
Pemberian ganti kerugian yang layak kepada yang
empunya hak atas tanah yang telah dicabat berarti yang
bersangkutan dapat mempertahankan atau memajukan kehidupan
ekonominya. Dalam keputusan presiden itu diberi hak untuk
mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi setempat, yang
wilayah hukumnya meliputi tempat letak tanah yang hak-hak
17 Maria S.W. Sumardjono, Antara Kepentingan, Op.Cit., hal. 3
atasnya dicabut, agar Pengadilan Tinggi itulah yang menetapkan
jumlah ganti kerugiannya dan sekaligus memutuskan soal itu
dalam tingkat pertama dan terakhir. Acara penetapan ganti
kerugian oleh Pengadilan Tinggi itu diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan
Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang
Ada di Atasnya. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut
ditentukan bahwa pihak yang empunya hak atas tanah dan benda di
atasnya yang dicabut tidak dapat menerima jumlah ganti kerugian
yang ditetapkan dalam keputusan presiden karena dianggap kurang
layak maka dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi,
yang wilayah hukumnya meliputi tempat letak tanah dan benda-
benda yang haknya dicabut. Walaupun demikian permintaan
mengajukan banding ini tidak mempengaruhi pengambilan dan
penguasaan tanah dan benda-benda yang ada di atasnya yang
haknya dicabut oleh pihak yang memerlukan tanah. Kecuali
jumlah dan besarnya ganti kerugian itu yang akan dipertimbangkan
melalui pertimbangan hukum oleh Pengadilan Tinggi setempat.
Sedangkan proses pencabutan hak dan penguasaan atas tanah tetap
berlangsung. Undang-undang nomor 20 Tahun 1961 menentukan
bahwa sementara mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi
setempat karena sengketa mengenai pencabutan hak atas tanah itu
tetapi tidak menunda jalannya pencabutan hak dan penguasaannya.
2. Menurut Peraturan Menteri Dalan Negeri Nomor 15 Tahun
1975.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 15
Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara
Pembebasan Tanah, merupakan salah satu peraturan pelaksanaan
UUPA 30 undang-undang nomor 20 tahun 1961, dalam rangka
upaya menyediakan tanah untuk pembangunan fasilitas
kepentingan umum.
Sejak berlakunya Permendagri tersebut maka Bijblad
nomor 11372 jo 12746 tentang panitia pembelian tanah untuk
keperluan dinas, yang masih berlaku waktu itu dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
a. Pengertian Pembebasan Tanah.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Permendagri nomor 15
Tahun 1975 dirumuskan mengenai pengertian pembebasan
tanah. Disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan
pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang
semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas
tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.
Dalam rumusan pengertian tersebut di atas terdapat
hubungan hukum antara dua pihak yaitu :
1. Pihak penguasa (yang memerlukan tanah), yang
melakukan pengambilan tanah seseorang maka
disebut pembebasan tanah. Dalam hal ini
pemerintah membebaskan tanah yang bersangkutan
dari hak dan kekuasaan pemegangnya dengan
memberikan ganti kerugian, agar pengambil
alihan tanah hak itu benar-benar bebas dari hak
dan kekuasaan pemegangnya.
2. Pihak pemegang (yang memiliki hak atas tanah),
yaitu pemegang hak atas tanah secara sukarela
melepaskan haknya setelah ia menerima ganti rugi
yang layak atas tanahnya tersebut yang telah
disepakati bersama dalam musyawarah.
b. Dasar Hukum Pembebasan Tanah.
1. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
2. Undang-undang nomor 20 tahun 1991 tentang
pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada
di atasnya.
Di dalam Permendagri tersebut digunakan istilah
pembebasan tanah. Padahal istilah tersebut tidak terdapat
dalam UUPA dan Undang-undang nomor 20 tahun 1961
sebagai Peraturan dasar untuk pembebasan tanah.
Tetapi kalau ditinjau lebih lanjut dalam UUPA dan
undang-undang nomor 20 tahun 1961 maka akan didapati
Pasal-pasal yang dapat diinterpretasikan untuk dipakai
sebagai dasar pelaksanaan pembebasan tanah. Pasal-pasal
dimaksud yaitu Pasal 27, 34, 40 UUPA mengenai hapusnya
hak-hak atas tanah, dan Pasal 10 Undang-undang nomor 20
Tahun 1961 mengenai persetujuan jual beli atau tukar
menukar.
C. Tata Cara Pembebasan Tanah
Pembebasan tanah menurut ketentuan Permendagri
nomor 15 tahun 1975 dilaksanakan melalui Panitia
pembebasan Tanah.
Panitia pembebasan tanah adalah suatu panitia yang
dibentuk Gubernur untuk tiap Kabupaten/Kotamadya
Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Susunan
keanggotaan panitia dimaksud terdiri atas :
1. Kepala Sub Direktorat Agraria
Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua rnerangkap
anggota.
2. Pejabat Kantor Pemerintahan Daerah sebagai
anggota.
3. Kepala Kantor Ireda/Ipeda sebagai anggota.
4. Pejabat yang ditunjuk oleh Instansi yang
memerlukan tanah sebagai anggota.
5. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II
atau Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II
sebagai anggota.
6. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai
anggota.
7. Kepala Desa yang bersangkutan sebagai anggota.
8. Seorang pejabat Kantor Sub. Direktorat Agraria
sebagai Sekretaris bukan anggota.
Panitia tersebut mempunyai tugas sebagai berikut :
1. Mengadakan penelitian setenpat tentang keadaan tanah,
tanam tumbuh dan bangunan.
2. Mengadakan perundingan dengan pemegang hak atas
tanah dan bangunan/tanaman.
3. Menaksir besarnya ganti rugi.
4. Membuat berita acara pembebasan disertai
fatwa/pertimbangannya.
5. Menyaksikan pelaksanaannya pembayaran ganti
rugi.
Panitia tersebut bekerja atas permintaan dari
instansi yang memerlukan tanah. Instansi itu berkewajiban :
1. Mengajukan permohonan pembebasan hak atas
tanah kepada Gubernur Kepala Daerah disertai
dengan tujuan penggunaan tanahnya.
2. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan
keterangan tentang :
a). Status tanahnya.
b). Gambar situasinya
c). Maksud dan tujuan pembebasan hak atas
tanah dan penggunaan selanjutnya.
d). Kesediaan untuk memberikan ganti kerugian
kepada yang berhak atas tanah.
d. Azas Musyawarah.
Panitia Pembebasan Tanah yang keanggotaannya
terdiri dari 7 orang anggota dan ditambah seorang
sekretaris bukan anggota mempunyai tugas mengadakan
musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan
bangunan atau tanaman di atasnya, Hal yang
dimusyawarahkan adalah jumlah (besarnya) ganti kerugian
yang merupakan substansi dari musyawarah.
Dalam pelaksanaan musyawarah dimaksud
diupayakan agar mencapai kata sepakat diantara para
anggota panitia dengan memperhatikan kehendak dari para
pemegang hak atas tanah.
Ketentuan tersebut tampak bahwa musyawarah itu
dilakukan diantara para anggota panitia pembebasan tanah
saja, dan lebih cenderung/berpihak kepada instansi
pemerintah. Sedangkan pihak pemilik hak atas tanah
kurang terwakili. Hasil musyawarah Panitia Pembebasan
Tanah itu dituangkan dalam bentuk Keputusan Panitia dan
disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah dan
para pemilik hak atas tanah untuk diketahui dan
dipertimbangkan bisa diterima untuk dilaksanakan atau
ditolak.
e. Ganti Kerugian
Jumlah / besarnya ganti kerugian ditetapkan dalam
musyawarah dan dengan kesepakatan antara masing-
masing pihak.
Ganti kerugian dapat berupa :
a. Tanah-tanah yang telah dilengkapi sesuatu hak
berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1960
b. Tanah-tanah dari masyarakat hukum adat.
Selain tanah-tanah tersebut diatas termasuk pula tanaman-
tanaman dan bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
3. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun
1985.
Upaya menyediakan tanah yang berskala kecil untuk
pembangunan kepentingan umum di wilayah kecamatan
menurut Permendagri ini disebut pengadaan tanah.
a. Pengertian Pengadaan Tanah.
Di dalam pasal 1c disebutkan bahwa yang
dimaksudkan dengan pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah.
Ini berarti upaya memperoleh tanah hak masyarakat
untuk pembangunan kepentingan umum karena tanah
negara yang tersedia relatif tidak ada/terbatas.
b. Tata Cara Pengadaan Tanah.
Pengadaan tanah untuk proyek-proyek
pembangunan dilakukan oleh pimpinan proyek instansi
yang bersangkutan tanpa bantuan panitia dengan cara :
1. Memberitahukan kepada camat mengenai letak dan
luas tanah yang diperlukan.
2. Kalau dipandang perlu camat meminta bantuan dari
Dinas/Instansi Teknis yang bersangkutan sesuai
jenjang hierarki.
c. Syarat-syarat Pengadaan Tanah.
1. Luas tanah tidak lebih dari 5 (lima) ha.
2. Lokasi, letak dan luas tanah dimaksud harus
disesuaikan dengan rencana penggunaan tanah
dan pembangunan pemerintah daerah.
3. Harga tanah harus memadai, artinya paling
menguntungkan negara.
Hal tersebut pada point tiga juga dapat menjadi kendala
dalam pengadaan tanah.
d. Musyawarah.
1. Proses musyawarah ini dilakukan secara
langsung antara pemimpin proyek dengan yang
berhak atas tanah.
2. Hal yang dimusyawarahkan adalah mengenai
bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah.
3. Besarnya ganti kerugian ditetapkan berdasarkan
harga dasar sesuai Permendagri nomor 1 tahun
1975.
4. Kalau telah tercapai kesepakatan mengenai ganti
rugi para pihak wajib laporkan kepada camat
setempat.
5. Kalau tidak ada kesepakatan maka pemimpin
proyek segera mencari lokasi lain sebagai
pengganti.
6. Dalam mencari lokasi lain sebagai pengganti maka
dalam waktu 3 (tiga) hari pemimpin proyek wajib
lapor kepada camat setempat.
e. Ganti Kerugian.
Setelah tercapai kata sepakat antara para pihak
mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian maka
pembayarannya dapat dilakukan secara langsung oleh
pemimpin proyek kepada yang berhak atas tanah dengan
disaksikan oleh camat.
Bersamaan dengan itu dilakukan pula
penyerahan/pelepasan hak atas tanah dengan disaksikan
oleh camat setempat.
4. Menurut Keppres Nomor 55 Tahun 1993
Pada tanggal 17 Juni 1993 telah dikeluarkan Keppres
nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ini
merupakan suatu perubahan dalam bidang Pertanahan Nasional.
Sejak saat itu semua kegiatan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum dilakukan berdasarkan Keppres tersebut.
Untuk melaksanakan Keppres itu telah dikeluarkan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun
1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres Nomor 55 Tahun
1993.
Berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tersebut maka
tiga Permendagri yang sebelumnya dipakai sebagai dasar hukum
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta, masing-
masing :
a. Permendagri nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-
ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
b. Permendagri nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara
Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi
Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta.
c. Permendagri nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara
Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di
Wilayah Kecamatan dinyatakan tidak berlaku lagi.
a. Pengertian Pengadaan Tanah
Di dalam Pasal 1 angka 1 Keppres Nomor 55 Tahun 1993
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Berdasarkan rumusan tersebut di atas berarti bahwa adanya
keterbatasan persediaan tanah untuk pembangunan kepentingan
umum, maka perlu mengadakan pengambil alihan tanah hak
masyarakat; dengan memberikan ganti kerugian kepada yang
berhak atas tanah itu. Maksudnya istilah pengadaan tanah muncul
karena pengambilalihan tanah yang sudah dilekati sesuatu hak
seseorang atau badan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan
tanah untuk pembangunan kepentingan umum.
Dalam konsideran bagian menimbang huruf b dan Pasal 3
Keppres nomor 55 tahun 1993 disebutkan bahwa pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan
terhadap hak atas tanah.
Ini berarti bahwa kegiatan pengadaan tanah harus
memperhatikan asas fungsi sosial dari hak atas tanah itu, sehingga
pengambilalihan tanah hak masyarakat dan diperuntukkan bagi
kepentingan umum, tetapi selain itu kepentingan pihak yang
empunya hubungan hukum dengan tanah tersebut juga harus
dihormati.
Wujud dari prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah
adalah pemberian ganti kerugian yang layak kepada pemilik hak
atas tanah.
b. Tata Cara Pengadaan Tanah.
Tata cara pengadaan tanah untuk pembangunan
kepentingan umum dilakukan sebagai berikut :
1. Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah
mengajukan permohonan penetapan lokasi
pembangunan kepentingan umum dimaksud kepada
Bupati/Walikotamadya setempat.
2. Apabila tanah/lokasi yang diperlukan terletak di 2 (dua)
wilayah kabupaten/kotamadya atau lebih maka
permohonan diajukan kepada Gubernur melalui Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.
3. Permohonan harus dilengkapi dengan keterangan
mengenai :
a. lokasi tanah yang diperlukan;
b. luas dan gambar kasar tanah yang
diperlukan;
c. penggunaan tanah pada saat permohonan
diajukan;
d. uraian rencana proyek yang akan dibangun,
disertai keterangan mengenai aspek
pembiayaan, lamanya pelaksanaan pembangunan.
4. Setelah menerima permohonan tersebut
Bupati/Walikotamadya memerintahkan kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya untuk
mengadakan koordinasi dengan Kepala Dinas Instansi yang
terkait untuk mengadakan penelitian mengenai kesesuaian
peruntukan tanah yang dimohon dengan rencana Tata
Ruang Wilayah/kota yang telah ada. Demikian juga letak
tanah/lokasi yang termasuk kewenangan Gubernur.
Gubernur memerintahkan Kepala Kantor Wilayah BPN
Propinsi untuk mengadakan koordinasi dengan Kepala
Dinas Instansi yang terkait untuk melakukan penelitian
mengenai kesesuaian peruntukan tanah yang dimohon
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah/Kota yang telah ada.
5. Apabila rencana penggunaan tanahnya sudah sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayahnya maka
Bupati/Walikotamadya atau Gubernur memberikan
persetujuan penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum yang dipersiapkan oleh Kepala Kantor
Wilayah BPN Propinsi atau Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya setempat, untuk melaksanakan
pengadaan tanah.
c. Kepentingan Umun.
1. Pengertian.
Sebelum berlakunya Keppres nomor 55 Tahun 1993
belum ada suatu definisi kepentingan umum yang diatur
secara baku.
Dalam UUPA dan Undang-undang nomor 20 Tahun
1961 disebutkan tentang pengertian kepentingan umum
secara luas. Demikian pula dalam Inpres nomor 9 Tahun
1973 memberikan pengertian kepentingan umum itu secara
kombinasi antara pengertian yang luas dan sempit dengan
menyebutkan lagi satu daftar bidang-bidang kegiatan yang
masih membuka peluang untuk dapat diintepretasikan
secara luas lagi. Oleh karena dalam Peraturan-Peraturan
tersebut di atas tidak disebutkan secara tegas dan jelas
definisi dan kriteria kepentingan umum seperti yang dianut
oleh Keppres nomor 55 Tahun 1993.
Keppres nomor 55 Tahun 1993 memberikan definisi
secara ketat, tegas dan jelas tentang pengertian kepentingan
umum. Pasal 1 angka 3 (tiga) Keppres itu menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
2. Bidang-Bidang.
Dalam Pasal 5 angka 1 Keppres nomor 55 Tahun
1993 disebutkan pula bahwa pembangunan fasilitas
kepentingan umum meliputi bidang-bidang sebagai
berikut :
1. Jalan umum, saluran pembuangan air;
2. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan
lainnya termasuk saluran irigasi;
3. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan
masyarakat;
4. Pelabuhan, atau Bandar udara, atau
Terminal.
5. Peribadatan;
6. Pendidikan atau sekolahan;
7. Pasar umum atau pasar Inpres;
8. Fasilitas pemakaman umum;
9. Fasilitas keselamatan umum seperti antara
lain tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar, dan lain-lain bencana;
10. Pos dan Telekomunikasi;
11. Sarana olah raga;
12. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta
sarana pendukungnya;
13. Kantor Pemerintah;
14. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia.
Tidak termasuk dalam daftar di atas bukan tergolong
kepentingan umum. Tetapi bidang kepentingan umum tidak
hanya terbatas pada yang tersebut dalam daftar itu.
d. Panitia Pengadaan Tanah (Panitia)
1. Pengertian .
Yang dimaksud dengan Panitia Pengadaan Tanah adalah
panitia yang dibentuk untuk membantu pengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum, (Pasal
1 angka 4 Keppres nomor 55 tahun 1993).
Panitia tersebut dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I di setiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
II.
2. Susunan Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah
Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II terdiri dari :
a. Bupati/Walikota Daerah Tingkat II sebagai ketua
merangkap anggota.
b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
sebagai wakil Ketua merangkap anggota.
c. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
sebagai anggota.
d. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan sebagai
anggota.
e. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab di bidang pertanian sebagai
anggota.
f. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana
rencana dan pelaksanaan pembangunan akan
berlangsung sebagai anggota.
g. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang di
mana rencana pelaksanaan pembangunan akan
berlangsung, sebagai anggota.
h. Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang
Pemerintahan atau Kepala Bagian Pemerintahan pada
Kantor Bupati/Walikotamadya, sebagai sekretaris I
bukan anggota.
i. Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya, sebagai sekretaris II bukan
anggota.
Apabila pengadaan tanah yang lokasinya terletak di dua
wilayah kabupaten/kotamadya atau lebih dilakukan dengan
bantuan Panitia Tingkat Propinsi yang diketuai atau
dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang
bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh
mungkin mewakili Instansi-instansi yang terkait di Tingkat
Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Susunan Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah di
Tingkat Propinsi adalah sebagai berikut :
a. Gubernur atau Pejabat. yang ditunjuk, sebagai
ketua merangkap anggota.
b. Kepala Kantor wilayah Badan Pertanahan
Propinsi, sebagai wakil ketua merangkap
anggota.
c. Kepala Kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak,
sebagai anggota.
d. Kepala Instansi Pemerintah Daerah Tingkat I yang
bertanggung jawab di bidang bangunan, sebagai
anggota.
e. Kepala Instansi Pemerintah Daerah Tingkat I yang
bertanggung jawab di bidang Pertanian, sebagai
anggota.
f. Kepala Instansi pemerintah lainnya di Daerah
Tingkat I yang dianggap perlu sebagai anggota.
g. Kepala Biro Tata Pemerintahan, sebagai sekretaris I
bukan anggota.
h. Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah pada Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi
sebagai sekretaris II bukan anggota.
Panitia Pengadaan Tanah (Panitia) baik di tingkat
Kabupaten/Kotamadya maupun ditingkat Propinsi
ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah
setempat.
3. Tugas-Tugas Panitia Pengadaan Tanah
Panitia Pengadaan Tanah bertugas :
a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas
tanah, bangunan tanaman dan benda-
benda yang kaitannya dengan tanah yang hak
atas tanahnya akan dilepaskan atau
diserahkan.
b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum
tanah yang hak atasnya akan dilepaskan dan
dokumen yang mendukungnya.
c. Menaksir dan mengusulkan dan mengusulkan
besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya
akan dilepaskan atau diserahkan.
d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan
kepada pemegang hak atas tanah mengenai
rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.
e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang
hak atas tanah dan instansi pemerintah yang
memerlukan tanah dalam rangka menetapkan
bentuk dan atau besarnya ganti kerugian.
f. Membuat berita acara pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah.
e. Azas Musyawarah
1. Pengertian.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan
melalui musyawarah.
Dalam Pasal 1 angka 5 Keppres nomor 55
Tahun 1993 menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan musyawarah adalah proses atau kegiatan
saling mendengar dengan sikap saling menerima
pendapat dan keinginan yang di dasarkan atas
kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah
dan pihak yang memerlukan tanah, untuk
memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan
besarnya ganti kerugian.
Jadi tidak membedakan status para pihak
tetapi semuanya berstatus sama (sederajat). Keppres
nomor 55 Tahun 1993 secara tegas dan jelas
menyebutkan bahwa musyawarah dilakukan secara
langsung antara pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dan instansi pemerintah yang
memerlukan tanah.
Musyawarah tersebut dilakukan di tempat
yang ditentukan dalam surat undangan dan dipimpin
oleh ketua Panitia (Pasal 10 dan Pasal 11 Keppres
nomor 55 Tahun 1993).
Apabila ketua panitia berhalangan hadir
maka musyawarah dipimpin oleh wakil ketua
panitia (Pasal 14 ayat (2) PMNA/Ka.BPN Nomor 1
Tahun 1994).
2. Proses Musyawarah.
Setelah mengadakan penyuluhan dan
penetapan batas lokasi tanah yang dimohon, panitia
mengundang instansi pemerintah yang memerlukan
tanah dan pemegang hak atas tanah dan pemilik
bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang
terkait dengan tanah yang bersangkutan untuk
mengadakan musyawarah.
Materi pokok yang dimusyawarahkan adalah
menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian
atas tanah yang telah ditetapkan batas-batasnya itu.
Panitia memberikan penjelasan kepada
kedua belah pihak sebagai bahan musyawarah untuk
mufakat terutama mengenai ganti kerugian.
Dalam menetapkan bentuk dan besarnya
ganti kerugian barus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
a. Nilai tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek
Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP) tahun
terakhir untuk tanah itu.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga
tanah yaitu :
1. lokasi tanah;
2. jenis hak atas tanah;
3. Status penguasaan tanah;
4. peruntukan tanah;
5. kesesuaian penggunaan tanah dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);
6. prasarana yang tersedia;
7. fasilitas dan utilitas;
8. lingkungan; dan
9. Lain-lain yang menpengaruhi tanah.
f. Ganti Kerugian Kepada Bekas Pemilik Hak Atas
Tanah.
1. Pengertian.
Dalam Pasal 1 angka 7 Keppres Homor 55
Tahun 1993 dirumuskan bahwa yang dimaksudkan
dengan ganti kerugian adalah penggantian nilai
tanah berikut bangunan tanaman dan/atau benda-
benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
Dalam rumusan tersebut istilah penggantian
nilai tanah dapat berarti bahwa ganti kerugian
adalah imbalan yang diberikan kepada pemegang
hak atas tanah dan benda-benda lain yang ada di
atasnya yang telah diserahkan atau dilepaskan.
Dikatakan imbalan, maka prinsipnya
pemberian ganti kerugian itu harus seimbang
dengan nilai tanah yang telah diserahkan atau
dilepaskan kepada instansi yang memerlukan.
Jelasnya jumlah ganti kerugian yang
diterima pemilik hak atas tanah minimal harus
seimbang atau sama dengan tanah itu. Dalam
peraturan perundang-undangan dinyatakan bahwa
salah satu prinsip yang menjadi ukuran
keseimbangan adalah ganti kerugian yang diberikan
itu harus sebagai ganti kerugian atau imbalan yang
layak. Harus tidak menjadikan pemegang hak atas
tanah mengalami kemunduran sosial atau tingkat
ekonominya.
2. Yang Berhak Atas Ganti Kerugian.
Pemberian ganti kerugian merupakan wujud
dari prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
Ganti kerugian yang diatur dalam Keppres nomor
55 tahun 1993 jo PMNA/Ka.BPN nomor 1 tahun
1994 terdapat kemajuan dari peraturan perundangan
yang mengatur sebelumnya. Dalam Pasal 13
Keppres nomor 55 tahun 1993 disebutkan bentuk
ganti kerugian dapat berupa :
1. uang;
2. tanah pengganti;
3. pemukiman kembali;
4. gabungan dari 1,2 dan 3 di atas;
5. bentuk lain yang disepakati kedua belah
pihak yang bersangkutan.
Kalau tanah itu tanah yang dikuasai dengan
hak ulayat, diberikan ganti kerugian dalam bentuk
pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang
dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.
Ganti kerugian dalam rangka pengadaan
tanah tersebut diberikan untuk :
1. hak atas tanah,
2. bangunan;
3. tanaman;
4. benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah.
Apabila tanah tersebut dikuasai tanpa
sesuatu hak sebagai yang diatur dalam undang-
undang nomor 51/Prp/Tahun 1960 tentang larangan
pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau
kuasanya maka kepada pemakai tanah itu diberikan
uang santunan.
3. Cara Pembayaran Ganti Kerugian.
Pemberian ganti dilakukan secara langsung
oleh instansi yang memerlukan tanah kepada
pemilik hak atas tanah atau ahli warisnya, dan
Nadzir bagi tanah wakaf. Instansi yang memerlukan
tanah diharuskan membuat daftar nominatif
pemberian ganti kerugian berdasarkan hasil
inventarisasi yang telah dirumuskan panitia dan
telah disetujui kedua belah pihak yang
bersangkutan. Kemudian melakukan pembayaran
dalam bentuk uang secara langsung kepada para
pemegang hak atas tanah yang berhak menerimanya
di lokasi yang ditentukan panitia, dengan disaksikan
oleh minimal 3 (tiga) orang anggota panitia, dan
dibuktikan dengan tanda penerimaan.
Pemberian ganti kerugian selain berupa
uang dituangkan dalam berita acara pemberian ganti
kerugian yang ditandantangani oleh penerima ganti
kerugian yang bersangkutan dan ketua atau wakil
ketua serta minimal 2 (dua) orang anggota panitia.
Untuk tanah wakaf pemberian ganti
kerugian dilakukan melalui Nadzir yang
bersangkutan dan untuk tanah ulayat dilakukan
dalam bentuk prasarana dan sarana untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Dalam
pemberian ganti kerugian atas tanah yang dimiliki
oleh beberapa orang, sedangkan satu orang atau
lebih dari rnereka tidak dapat ditemukan maka ganti
kerugian yang menjadi hak mereka tersebut dapat
dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri setempat oleh
instansi yang memerlukan tanah. Bersamaan
pemberian ganti kerugian dibuat surat pernyataan
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang
ditandatangani oleh pemegang hak atas tanah dan
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya
serta disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang anggota panitia.
Pemegang hak atas tanah wajib
menyerahkan sertipikat dan atau surat-surat tanah
yang berkaitan dengan tanah tersebut kepada
panitia. Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya mencatat hapusnya hak atas
tanah yang telah dilepaskan/diserahkan tersebut
pada buku tanah dan sertipikat.
Apabila tanah yang dilepaskan/diserahkan
itu tanah yang belum bersertipikat maka penyerahan
tersebut harus disaksikan oleh Camat dan Kepala
Desa/Lurah setempat, dan pada asli surat-surat
tanah yang bersangkutan harus dicatat bahwa tanah
tersebut telah diserahkan atau dilepaskan haknya.
Asli surat-surat dan dokumentasi pengadaan tanah
diserahkan kepada instansi yang memerlukan, dan
instansi yang bersangkutan wajib mengajukan
permohonan sesuatu hak atas tanah untuk
memperoleh sertipikat sesuai yang diatur dalam
UUPA atas nama instansi induknya.
g. Dasar Penghitungan Ganti Kerugian.
Mengenai ganti kerugian kepada pemegang
hak atas tanah menurut Keppres Nomor 55. Tahun
1993 adalah ditetapkan dalam musyawarah.
Dalam pasal 16 Keppres nomor 55 Tahun
1993 menyatakan bentuk dan besarnya ganti
kerugian ditetapkan dalam musyawarah.
Untuk dasar penghitungan ganti kerugian
diatur lebih jelas dan tegas dalam Keppres No 55
Tahun 1993 dan PMNA/Ka. BPN Nomor 1 Tahun
1994.
Pasal 15 Keppres No 55 Tahun 1993
dinyatakan bahwa dasar penghitungan ganti
kerugian ditetapkan atas dasar :
1. Harga tanah yang didasarkan atas nilai
nyata, atau sebenarnya dengan
memperhatikan nilai jual obyek pajak
bumi dan bangunan yang terakhir.
2. Nilai jual bangunan ditaksir oleh
instansi
pemerintah daerah yang bertanggung
jawab di bidang bangunan.
3. Nilai jual tanaman ditaksir oleh instansi
pemerintah daerah yang bertanggung
jawab di bidang pertanian.
Lebih lanjut dalam Pasal 17 PMNA/Ka.BPN
Nomor 1 Tahun 1994 disebutkan taksiran nilai
tanah menurut jenis hak atas tanah dan status
penguasaan tanah sebagai berikut :
1. Hak Milik
a. Yang sudah bersertipikat dinilai
100% (seratus persen).
b. Yang belum bersertipikat dinilai
90% (sembilan puluh persen).
2. Hak Guna Usaha
a. Yang masih berlaku dan masih
diusahakan dengan baik (kriteria kelas I,
II, III) dinilai 80% (delapan puluh
persen)
b. Yang sudah berakhir tetapi masih
diusahakan dengan baik (kriteria kelas
I, II, III) dinilai 60% (Enam puluh
persen).
c. Yang masih berlaku dan yang sudah
berakhir tetapi tidak diusahakan
dengan baik (kriteria kelas IV, V) tidak
diberi ganti kerugian.
d. Ganti kerugian tanah perkebunan
ditaksir oleh instansi pemerintah daerah
yang bertanggung jawab di bidang
perkebunan, dengan memperhatikan
faktor investasi, kondisi kebun dan
produktivitas tanaman.
3. Hak Guna Bangunan
a. Yang masih berlaku dinilai 80%
(delapan puluh persen).
b. Yang sudah berakhir dinilai 60% (enam
puluh persen), tetapi hak itu berakhirnya
belum lewat 1 (satu) tahun atau
pemegang hak sementara mengajukan
perpanjangan/pembaharuan hak.
4. Hak Pakai
a. Yang jangka waktunya tidak dibatasi
dinilai 100% (seratus persen).
b. Yang jangka waktunya dibatasi (10
tahun) dinilai 70% (tujuh puluh persen).
c. Yang sudah berakhir dinilai 50% (lima
puluh persen) tetapi bekas pemegang
hak harus sudah mengajukan hak
perpanjangan/pembaharuan hak
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah haknya berakhir.
4. Tanah Wakaf, dinilai 100% (seratus
persen) dengan ketentuan ganti kerugian
diberikan dalam bentuk tanah, bangunan
dan perlengkapan yang diperlukan.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENGADAAN TANAH BAGI
PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SEJAK
BERLAKUNYA KEPPRES NOMOR 55 TAHUN 1993 DI KABUPATEN DAERAH
TINGKAT II SLEMAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman
1. Letak Geografis
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman merupakan salah satu dari
lima Daerah Tingkat II di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
yang terletak di bagian utara pada koordinat antara: 7° 34' 51" ___ 7°
47’03” dan 107° 15' 03" ____ 100° 29" 30" Bujur Timur dengan batas-
batas:
Sebelah Utara : dengan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II
Magelang dan Kabupaten Daerah Tingkat II
Boyolali, Jawa Tengah.
Sebelah Selatan : dengan kabupaten Daerah Tingkat II Bantu1 dan
Kotamadya Yogyakarta.
Sebelah Timur : dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Klaten, Jawa
Tengah.
Sebelah Barat : dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang,
Jawa Tengah.
2. Keadaan Wilayah.
Keadaan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman sangat
bervariasi dengan ketinggian antara. 100 sampai 2500 meter di atas
permukaan laut.
Puncak yang tertinggi di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman
adalah puncak gunung Merapi.
Pada puncak Gunung Merapi itu pula menjadi batas wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang dan Kabupaten Daerah Tingkat II
Boyolali, Propinsi Jawa Tengah.
Di bagian utara wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman
membentang ke arah selatan adalah merupakan daerah perbukitan Turgo
dan Plawangan. Daerah ini merupakan bagian dari kawasan wisata
Kaliurang.
Daerah ini tergolong cukup sulit untuk dilalui karena banyaknya
lereng yang terjal.
Di wilayah bagian utara ini hanya cocok untuk kegiatan pertanian
lahan kering (tegalan) dan permukiman, karena sebagian besar tanah
merupakan tanah kering dan curah hujan yang bervariasi, yaitu antara
April sampai Oktober musim kemarau dan Oktober sampai April musim
hujan.
Di wilayah bagian selatan adalah merupakan dataran rendah yang
subur dan cocok untuk daerah pertanian. Kabupaten Daerah Tingkat II
Sleman terdapat cukup banyak sungai dan anak sungai yang sebagian
mengalir sepanjang tahun. Sungai-sungai yang mengalir dari utara ke arah
selatan adalah sungai Krasak, Kuning, Boyong, Gendol dan Bedok,
Sungai yang terpanjang di Kabupaten Daerah Tingkat II. Sleman adalah
Bedok sepanjang 35 km dan yang terpendek adalah Bening sepanjang 7
km, keduanya mengalir sepanjang tahun.
Secara administratif Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman terdiri
atas 3 (tiga) wilayah Pembantu Bupati (TUTI), 17 Kecamatan, 86 Desa,
1212 Dusun, dengan luas wilayah secara keseluruhan adalah 57482 Ha
atau 574,82 km.
Kecamatan yang paling luas wilayahnya adalah Kecamatan
Cangkringan seluas 4799 Ha (8,35%). Sedangkan yang paling kecil
luasnya adalah Kecamatan Berbah seluas 2299 Ha (4,02%).
Kecamatan yang jumlah desanya terbanyak adalah Kecamatan
Tempel membawahi 8 (delapan) desa dan yang paling sedikit adalah
Kecamatan Depok membawahi 3 (tiga) desa. Perinciannya dapat dilihat
pada tabel berikut ini :
TABEL 1 : PEMBAGIAN WILAYAH ADMINISTRATIF DAN LUASNYA KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SLEMAN
No.Pembantu
BupatiKecamatan
Banyaknya Luas(Ha)
PresentaseDesa Dusun
I Wilayah Barat 1. Moyudan 4 65 2762 4,802. Minggir 5 66 2727 4,743. Sayegan 5 67 2663 4,634. Godean 7 77 2684 4,675. Gamping 5 59 2925 5,09
II Wilayah Tengah 1. Mlati 5 74 2852 4,962. Sleman 5 83 3132 5,453. Tempel 8 96 3249 5,654. Turi 4 54 4309 7,505. Pakem 5 61 4384 7,636. Ngaglik 6 67 3852 6,70
III Wilayah Timur 1. Depok 3 58 3555 6,702. Berbah 4 58 2299 4,023. Prambanan 6 66 4135 7,194. Kalasan 4 60 3584 6,235. Ngemplak 5 82 3571 6,216. Cangkringan 5 73 4799 8,35
Jumlah 17 86 1212 57482 100,00Sumber data : Kantor Statistik Kabupaten Sleman, Tahun 1995
3. Penggunaan Tanah.
Yang dimaksud dengan penggunaan tanah adalah penggunaan untuk
segala kegiatan pada suatu waktu tertentu baik untuk pertanian maupun untuk non
pertanian. Penggunaan tanah merupakan proses yang selalu dinamis dan dapat
mencerminkan aktivitas penduduk suatu wilayah/daerah tertentu.
Selain itu penggunaan tanah merupakan salah satu faktor utama aktivitas
ekonomi penduduk untuk menunjang dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Beragam penggunaan tanah di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman
seperti ditampilkan dalam tabel berikut ini :
TABEL 2 : KLASIFIKASI JENIS PENGGUNAAH TANAH DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SLEMAN
No. Urut Jenis Penggunaan Tanah Luas (Ha)
1. Pekarangan 17.999 2. Sawah 25.589
3. Tegalan 5.276
4. Hutan 1.335
5. Semak belukar 54
6. Tanah Tandus 113
7. Lain-lain (sungai, jalan, makam dan kepentingan umum lainnya.
7.116
Jumlah 57.462
Sumber data : Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, Tahun 1995.
Data dalam tabel 2 tersebut di atas menunjukkan bahwa mayoritas penggunaan
tanah di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman adalah untuk usaha pertanian, seluas
30.765 Ha atau 53,52% dari luas wilayah seluruhnya 57,482 Ha. Luas 30.765 Ha tersebut
di atas penggunaannya meliputi : Sawah, Tegalan. Keadaan komposisi demikian
menunjukkan bahwa Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman tergolong daerah yang bersifat
agraris.
Bahwa dari luas wilayah 57.482 Ha, itu tidak terdapat tanah kosong. Hal ini
menunjukkan bahwa tanah di wilayah di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman
seluruhnya sudah dikuasai atau dimiliki baik secara perorangan maupun badan hukum
tertentu.
Berikut ini ditampilkan pula luas tanah menurut status pemilikannya dirinci
perkecamatan dalam tabel berikut :
TABEL 3 : LUAS TANAH MENURUT STATUS PEMILIKAN
DIRINCI PERKECAMATAN KABUPATEH DAERAH
TINGKAT II SLEMAN
No. Urut Kecamatan
Status pemilikan Negara/Kepentingan Umum lain
JumlahRakyat Desa Kehutanan
1. Moyudan 2.341 150 - 271 2.762
2. Minggir 2.316 132 - 279 2.727
3. Sayegan 2.254 125 - 255 2.663
4. Godean 2.273 127 - 284 2.684
5. Gamping 2.514 176 108 127 2.925
6. Mlati 2.405 128 - 319 2.852
7. Depok 2.505 150 - 900 3.555
8. Berbah 1.838 115 - 346 2.299
9. Prambanan 3.492 210 - 433 4.135
10. Kalasan 3.035 132 - 417 3.584
11. Ngemplak 3.100 130 - 341 3.571
12. Ngaglik 3.242 152 - 458 3.852
13. Sleman 2.560 146 - 426 3.132
14. Tempel 2.719 210 - 320 3.249
15. Turi 3.534 215 - 560 4.309
16. Pakem 1.886 250 1.743 1.134 4.384
17. Cangkringan 3.337 265 - 1.197 4.799
Jumlah 44.751 2.813 1.851 8.067 57.482
Sumber data : Kantor Statistik Kabupaten Sleman, Tahun 1995.
Data tabel 3 tersebut di atas ternyata sebagian dari luas wilayah Kabupaten
Daerah Tingkat II Sleman sudah dikuasai/dimiliki oleh rakyat sebagai tempat usaha
maupun sebagai tempat permukiman seluas 44.751 Ha atau 77,85% dari luas wilayah
seluruh 57.482 Ha. Selanjutnya yang dikuasai oleh negara seluas 8.067 Ha atau 14,03%,
dimiliki desa seluas 2.813 Ha atau 4,89% dan kehutanan seluas 1,851 Ha atau 3,22%.
Menurut keterangan dari seorang pejabat di Kantor Pertanahan Kabupaten
Sleman, bahwa tanah yang dikuasai oleh Negara adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh
Dinas/Instansi Pemerintah dan kepentingan umum seperti jalan, sungai, makam, Dam dan
kepentingan umum lainnya.
B. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
1. Pelaksanaan Tugas Panitia
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
Berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 jo PMNA/Ka. BPN
Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maka pengadaan tanah berskala
besar diperlukan bantuan Panitia Pengadaan Tanah. Karena itu Gubernur
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta telah membentuk Panitia Pengadaan
Tanah di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Surat
Keputusan Nomor 57/PAN/KPTS/1994 tanggal 27 Oktober 1994 tentang
Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Atas dasar Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta
tersebut oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman telah dikeluarkan
Keputusan Nomor 1la/Kep.KDH/95 tanggal 13 Januari 1995 tentang
Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II
Sleman. Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman
terdiri dari :
1. Panitia Pengadaan Tanah yang menyangkut tanah milik
perorangan.
2. Panitia Pengadaan tanah yang menyangkut tanah
milik desa.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang menyangkut
tanah milik desa harus diikutsertakan Panitia Pengawas dari Unsur
Instansi terkait pada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang
ditetapkan dalam keputusan Gubernur mengenai Pembentukan Panitia
tersebut di atas.
Susunan keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Daerah
Tingkat II Sleman adalah sebagai berikut :
a. Panitia Pengadaan Tanah yang menyangkut tanah milik perorangan
terdiri dari :
1. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman sebagai
ketua merangkap anggota;
2. Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Sleman sebagai
wakil ketua merangkap anggota;
3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan sebagai anggota;
4. Kepala Dinas PU. atau Kepala Dinas Pertanian
sebagai anggota.
5. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di
mana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan
berlangsung sebagai anggota;
6. Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Tata Praja atau
Kepala Bagian Tata Pemerintahan pada Kantor
Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman sebagai Sekretaris I
bukan anggota;
7. Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Sleman sebagai Sekretaris II bukan anggota.
b. Panitia Pengadaan Tanah yang menyangkut tanah milik
desa/kalurahan terdiri dari :
1. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman sebagai
Ketua merangkap anggota;
2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman
sebagai Wakil Ketua merangkap anggota;
3. Kepala. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan sebagai anggota;
4. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Kepala Dinas
Pertanian sebagai anggota;
5. Kepala Bagian Pemerintahan Desa pada Kantor
Pemerintahan Daerah Kabupaten Sleman sebagai
anggota;
6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di
mana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan
berlangsung sebagai anggota;
7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi
bidang tanah di mana rencana dan pelaksanaan
pembangunan akan berlangsung sebagai anggota;
8. Kepala Seksi Hak-Hak atas tanah pada Kantor
Pertanahan Kabupaten Sleman sebagai sekretaris
bukan anggota.
Susunan keanggotaan Panitia Kabupaten Daerah Tingkat II
Sleman bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum yang
menyangkut tanah milik baik perorangan maupun milik desa pada
prinsipnya sama. Kecuali Panitia yang menyangkut tanah milik
desa hanya terdiri dari 1 (satu) orang sekretaris saja.
Kemudian ditambah lagi dengan Panitia pengawas yang
susunan keanggotaannya sebagai berikut :
1. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
Pelindung;
2. Sekretaris Wilayah Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai Penasehat; Asisten I (Bidang
Ketataprajaan) sebagai Ketua merangkap anggota;
3. Kepala Inspektorat Wilayah Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai Wakil Ketua merangkap
anggota.
4. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
anggota;
5. Kepala Biro Tata pemerintahan Setwilda Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai anggota;
6. Kepala Biro Pemerintahan Desa pada Setwilda
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai
anggota;
8. Kepala Bidang Hak-Hak Atas Tanah pada Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai sekretaris merangkap
anggota.
Adanya panitia pengawasan dalam pengadaan
tanah yang menyangkut tanah milik desa tersebut
dapat memberikan pengawasan terhadap peralihan tanah
milik desa yang dialihfungsikan itu dapat berjalan
secara tertib, terkendali dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman, dengan mengambil lokasi
sampel di Kecamatan Ngaglik dan Pakem bahwa instansi
pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal Pengairan, Proyek Pengendalian Banjir Lahar
Gunung Merapi, atau yang lebih dikenal dengan "Proyek Gunung
Merapi" Yogyakarta telah melakukan pengadaan tanah untuk
pembangunan kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II
Sleman.
Kepentingan Umum itu berupa pembangunan Dam/sarana
tanggul penanggulangan bahaya banjir dan lahar Merapi. Kegiatan
pengadaan tanah tersebut seluas 3,6550 ha meliputi Kecamatan
Ngaglik seluas 2,0513 ha dan Kecamatan Pakem seluas 1,6037 ha.
Prosedur pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan
sebagai berikut : Instansi pemerintah yang memerlukan tanah
(Proyek Gunung Merapi) mengajukan permohonan ijin
prinsip/penetapan lokasi kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Sleman untuk memperoleh persetujuan. Surat permohonan
tertanggal 11 April 1995, Nomor TN . 01.02.Aa.12.02/40 tentang
permohonan ijin penetapan lokasi dan pembebasan tanah untuk
pembuatan Dam Penahan Sedimen, Dam Konsolidasi dan
Tanggul. Dalam surat permohonan tersebut diuraikan pula
keterangan mengenai :
a. Lokasi tanah yang diperlukan.
b. Penggunaan tanah pada saat permohonan diajukan.
c. Uraian rencana proyek yang akan dibangun.
d. Luas dan gambar kasar lokasi tanah yang dimaksud.
Berdasarkan surat permohonan tersebut Bupati Kepala
Daerah Tingkat II Sleman mengeluarkan surat persetujuan Nomor
508/01584/Ta./Pem/1995, tanggal 2 Mei 1995 tentang Persetujuan
penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, kepada
instansi Pemerintah (Proyek Gunung Merapi) untuk melakukan
pengadaan tanah. Berdasarkan permohonan Pemimpin Proyek
Gunung Merapi kepada Gubernur DIY, tanggal 28 Maret 1995 No.
TN.01.02.Aa.12.02/645 maka Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta pun memberikan ijin lokasi atas tanah Kas Desa di
Desa Hargobinangun, Candibinangun, dan Purwobinangun,
Kecamatan Pakem kepada instansi pemerintah (Proyek Gunung
Merapi) untuk pengadaan tanah tersebut bagi pelaksanaan
pembangunan kepentingan umum dimaksud. Ijin Gubernur
tersebut dituangkan dalam Keputusan Nomor 52/12/KPTS/1995,
tanggal 23 Agustus 1995 tentang Pemberian ijin lokasi dan
Pembebasan tanah Kas Desa untuk tnembangun Dam Penahan
Sedimen Penanggulangan banjir Lahar Gunung Merapi.
Karena tanah kas desa adalah aset pemerintah desa, yang
sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku
pengalihan tanah itu harus mendapat ijin terlebih dahulu dari
Gubernur Kepala Daerah, sehingga administrasi pengalihan tanah
kas desa itu menjadi jelas dan tertib.
Sehubungan dengan itu Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Sleman memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Sleman selaku wakil ketua panitia untuk mengkoordinasikan
dengan dinas instansi yang terkait untuk bersama-sama melakukan
penelitian ke lokasi tanah dimaksud, yang terletak masing-masing :
a. Di Kecamatan Ngaglik.
Luas tanah : 2,0513 Ha. Jenis tanah : Sawah, Status
pemilikian : Tanah hak milik, Jumlah pemilik : 20 (dua
puluh) orang.
b. Di Kecamatan Pakem.
Luas tanah : 1,6037 Ha. Jenis tanah : sawah,
Status pemilikan : Tanah Kas Desa;
Jumlah pemilik : 3 (tiga) orang;
mengenai kesesuaian rencana peruntukan tanah yang dimohon
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ada.
Menurut keterangan dari seorang Pejabat Ditjen Pengairan
(Proyek Gunung Merapi) bahwa setelah memperoleh persetujuan
ijin prinsip/penetapan lokasi dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Sleman maka berdasarkan surat persetujuan tersebut, instansi
pemerintah (Proyek Gunung Merapi) mengajukan permohonan
pengadaan tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Sleman untuk melakukan pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan kepentingan umum dimaksud
Petugas-petugas khusus yang ditugaskan terdiri dari :
1) Petugas Pertanahan Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
Bertugas melakukan pengukuran dan pemetaan,
penyelidikan riwayat penguasaan dan penggunaan tanah,
guna mengetahui luas, status pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan.
2) Petugas Kantor Dinas Pertanian Kabupaten
Daerah Tingkat II Sleman. Bertugas melakukan pendataan
terhadap jenis tanaman yang terkena pembangunan
kepentingan umum guna mengetahui pemilik, jenis, umur
dan koordinasi tanaman di lokasi tanah yang bersangkutan.
Petugas-petugas tersebut di atas adalah merupakan satu tim
dan melaksanakan tugasnya secara serentak, di bawah koordinasi
dari panitia.
Petugas Dinas Pertanian kabupaten Sleman telah berhasil
menginventarisir berbagai tanam tumbuh yang ada di atas lokasi
tanah yang terkena pembangunan kepentingan umum. Hasil kerja
itu seperti : Jumlah, jenis, umur, pemilik dan kondisi tanaman yang
ada di lokasi masing-masing di Kecamatan Ngaglik dan Pakem.
Laporan hasil inventarisasi tim terpadu tersebut di atas
ditandatangani masing-masing petugas yang melaksanakan tugas
dan dilegalisir oleh atasannya dan pimpinan instansi yang
bersangkutan dan selanjutnya diserahkan kepada panitia. Laporan
hasil inventarisasi itu oleh panitia diumumkan di Kantor
Pertanahan Kabupaten Sleman, Kecamatan Ngaglik dan Pakem
serta Desa Sardonoharjo, Hargobinangun ,Candibinangun dan
Purwobinangun , selama 1 (satu) bulan.Menurut keterangan
seorang pejabat Kantor Pertanahan kabupaten Sleman bahwa
pengumuman hasil inventarisasi tersebut dengan maksud agar
memberikan kesempatan kepada rnasyarakat luas yang merasa
sebagai pemilik hak atas tanah-tanah yang bersangkutan dapat
mengajukan keberatannya secara tertulis dengan bukti-bukti yang
berkaitan dengan tanah itu kepada panitia guna diadakan
perubahan-perubahan seperlunya. Namun selama pengumuman
berlangsung tidak ada pihak lain yang merasa berkeberatan atas
lokasi tanah yang terkena proyek Gunung Merapi.
2. Proses Berlangsungnya Musyawarah Antara Instansi
Pemerintah Yang Memerlukan Tanah Dengan Pemegang Hak
Atas Tanah.
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum di Kabupaten Sleman dilakukan melalui
musyawarah. Kegiatan musyawarah antara instansi pemerintah
(Proyek Gunung Merapi) dan para pemegang hak atas tanah
dipimpin oleh Wakil Ketua Panitia Kabupaten Sleman.
Proses berlangsungnya musyawarah sebagai berikut :
Setelah panitia bersama instansi pemerintah melakukan
penyuluhan kepada para pemegang hak atas tanah yang terkena
pembangunan kepentingan umum, dan para pemilik hak atas tanah
sudah menerima baik rencana pembangunan dimaksud, maka
panitia mengundang lagi instansi pemerintah (Proyek Gunung
Merapi) dan pemegang hak atas tanah itu untuk melakukan
musyawarah. Tempat dilangsungkannya musyawarah ditentukan
oleh panitia dalam surat undangan.
Kegiatan musyawarah dilakukan di 2 (dua) tempat yaitu :
1. Di Kantor Kepala Desa Sardonoharjo, Kecamatan
Ngaglik.
2. Di Kantor Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.
Dalam kegiatan musyawarah antara kedua belah pihak
yang berkepentingan yang dipimpin oleh wakil ketua panitia itu
dihadiri langsung oleh para pemegang hak atas tanah. Menurut
keterangan dari para pemegang hak milik atas tanah (23 orang
responden) demikian pula para nara sumber bahwa para pemilik
tanah secara langsung mengikuti musyawarah dengan instansi
pemerintah (Pimpinan proyek Gunung Merapi). Musyawarah
tersebut dilakukan 2 (dua) kali dan menghasiIkan kesepakatan
diantara para pihak yang bermusyawarah, yaitu bersedia menye-
rahkan hak atas tanahnya kepada instansi pemerintah (Proyek
Gunung Merapi), guna pelaksanaan pembangunan kepentingan
umum dengan menerima ganti kerugian dari pihak Proyek Gunung
Merapi sebagai imbalannya.
Mengenai ganti kerugian yang dimusyawarahkan harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Nilai tanah berdasarkan nilai nyata atau sebenarnya
dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Bumi dan Bangunan tahun terakhir untuk tanah yang
terkena proyek Gunung Merapi.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah :
1. Lokasi tanah;
2. Jenis hak atas tanah;
3. Status penguasaan tanah;
4. Peruntukan tanah;
5. Kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW);
6. Prasarana yang tersedia;
7. Fasilitas dan utilitas;
8. Lingkungan;
9. Lain-lain yang mempengaruhi harga tanah.
c. Nilai taksiran tanaman/bangunan.
Hal-hal tersebut di atas yang dijelaskan Panitia kepada para
pihak untuk dimusyawarahkan, sedangkan bentuk dan jumlah ganti
kerugian adalah merupakan kehendak dan kewenangan dari para
pihak yang bersangkutan untuk dimusyawarahkan. Faktor-faktor
tersebut di atas, pada saat penulis melakukan penelitian ternyata
bahwa :
1. Lokasi tanah : terletak di pinggir sungai;
2. Jenis hak atas tanah : Hak milik adat (belum bersertipikat)
3. Status penguasaan tanah : pemilik;
4. Peruntukan : tanah pertanian;
5. Prasarana yang tersedia : berupa listrik.
Kedudukan para pihak yang bermusyawarah adalah sama
atau sejajar tanpa ada perbedaan. Musyawarah berlangsung secara
kekeluargaan untuk saling mendengar dan menerima pendapat.
Menurut keterangan dari pejabat Ditjen Pengairan (Proyek Gunung
Merapi) bahwa para pemegang hak diberi kesempatan untuk secara
bebas mengemukakan pikiran dan pendapat berupa pertanyaan
usul saran mengenai pengadaan tanah dan pemberian ganti
kerugiannya. Para pemegang hak atas tanah mengusulkan agar
penetapan besarnya ganti kerugian didasarkan pada harta pasaran
umum setempat yaitu Rp 15.000,00 sampai Rp. 20.000,00
permeter persegi. . Sebaliknya pihak instansi pemerintah (Proyek
Gunung Merapi) memberikan tanggapan atas usul saran dan
pendapat para pemegang hak atas tanah yang terkena lokasi
pembangunan kepentingan umum. Pemberian tanggapan itu pada.
dasarnya mengenai jumlah ganti kerugian dengan pertimbangan
atas kemampuan dana yang tersedia., demikian juga arti
pentingnya pembangunan fasilitas kepentingan umum bagi
masyarakat luas baik disekitar lokasi pembangunan itu maupun
masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.. Demikian pula menurut
keterangan yang diperoleh dari pemilik hak atas tanah yang diteliti
sebanyak 23 orang responden atau 100% menyatakan bahwa.
musyawarah dilakukan tanpa ada unsur pemaksaan dari pihak
manapun. Karena itu para pemilik hak atas tanah yang
bersangkutan tidak berkeberatan bila tanahnya diambil oleh
instansi pemerintah untuk kepentingan umum asal pemberian ganti
kerugian dimusyawarahkan. Mengenai penetapan jumlah ganti
kerugian yang dimusyawarahkan itu para pemegang hak atas tanah
menghendaki didasarkan pada nilai nyata atau sebenarnya yaitu
harga pasaran setempat. Harga pasaran umum di lokasi itu sebesar
Rp 15.000,00 sampai Rp. 20.000,00 permeter persegi. Menurut
keterangan dari nara sumber (Pejabat Ditjen Pengairan) Kabupaten
Sleman bahwa dasar penetapan ganti kerugian didasarkan pada
harga pasaran (umum) setempat. Tetapi karena permintaan
terlampau tinggi maka dasar penetapan jumlah ganti kerugian
didasarkan dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
Bumi dan Bangunan tahun terakhir untuk tanah yang bersangkutan
dengan pertimbangan terhadap dana yang tersedia (pada Proyek
Gunung Merapi ). Musyawarah yang dilakukan oleh kedua belah
pihak itu berhasil menetapkan harga tanah sebesar 3.500,00 (Tiga
ribu lima ratus rupiah) permeter persegi untuk tanah kas desa dan
Rp 6.500,00 (enam ribu lima ratus rupiah) permeter persegi untuk
tanah milik perorangan sesuai dengan letak lokasi, status hak atas
tanah dan kelas tanah tersebut.
Penetapan besarnya ganti kerugian tersebut di atas diterima
oleh para pemilik hak atas tanah yang terkena pembangunan
kepentingan umum. Hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap
23 responden sebagai pemilik hak atas tanah yang terkena
pembangunan kepentingan umum diperoleh keterangan mengenai
sikap mereka terhadap pengadaan tanah dimaksud bahwa secara
umum kehadiran pembangunan fasilitas kepentingan umum itu
diterima dengan baik.
Para responden tersebut di atas menyatakan menerima
dengan sukarela atas hasil musyawarah.
Setelah musyawarah antara kedua belah pihak sepakat
menetapkan besar dan bentuknya ganti kerugian maka panitia
menuangkan hasil musyawarah tersebut dalam Keputusan Panitia
tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian sesuai kesepakatan
tersebut. Kemudian keputusan panitia tersebut disampaikan kepada
kedua belah pihak untuk dilaksanakan.
3. Bentuk Ganti Kerugian Yang Diberikan Dan Dasar Yang
Dipakai Dalam Penghitungan Ganti Kerugian Tersebut.
a. Bentuk Ganti Kerugian Yang Diberikan.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan
dalam rangka pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk Dam/pengendali banjir lahar Merapi di
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman ternyata bahwa
bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh instansi
pemerintah yang memerlukan tanah (Proyek Gunung
Merapi) kepada para pemegang hak atas tanah itu berupa
uang saja.
Cara pembayaran ganti kerugian kepada para
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sebagai
berikut :
Berdasarkan Keputusan Panitia tentang hasil
musyawarah maka instansi pemerintah (Proyek Gunung
Merapi) membuat daftar nominatif pemberian ganti
kerugian sesuai hasil inventarisasi dari Tim terpadu yang
ditugaskan Panitia. Kemudian mengundang para pemilik
hak atas tanah yang bersangkutan untuk hadir di Kantor
Kepala desa Sardonoharjo. guna menerima pembayaran
ganti kerugian. Menurut keterangan yang penulis peroleh
selama melakukan penelitian di Kabupaten Daerah Tingkat
II Sleman, baik dari instansi Pemerintah (Proyek Gunung
Merapi) maupun dari para pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan bahwa pembayaran ganti kerugian dilakukan
secara langsung kepada dan diterima oleh para pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan.
Pemegang hak atas tanah yang telah meninggal
dunia maka ahli warisnya harus menunjukkan surat
keterangan kematian yang diketahui oleh Kepala Desa dan
Kepala Kecamatan, serta menunjukkan identitas diri berupa
Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari ahli waris yang
bersangkutan. Pihak instansi pemerintah (Proyek Gunung
Merapi) menjelaskan bahwa pemberian ganti kerugian
kepada pemegang hak atas tanah yang berhak itu sebanyak
23 orang (100%) dibayar lunas dan diterima secara
langsung oleh yang bersangkutan. Jadi tidak ada yang
berkeberatan atas pembayaran ganti kerugian itu dan
dikonsinyasikan pada pihak ketiga.
Kemudian dari para pemegang hak atas tanah
sebanyak 23 orang (100%) menyatakan bahwa telah
menerima pembayaran ganti kerugian dari pihak instansi
Pemerintah (Proyek Gunung Merapi) dengan baik dan
penuh tanpa ada pemotongan. Ganti kerugian secara
keseluruhan dalam bentuk uang. Ganti kerugian tersebut
diberikan untuk tanah dan tanaman saja. Karena di atas
tanah yang dibangun Dam/Pengendali banjir lahar Merapi
tidak terdapat bangunan atau benda lain selain tanaman.
Pemberian ganti kerugian itu disaksikan pula oleh
anggota-anggota Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten
Daerah Tingkat II Sleman. Untuk tanah Kas Desa di
Kecamatan Pakem, pemberian ganti kerugian selain
disaksikan oleh anggota-anggota Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman sebagai Panitia
Pelaksana, juga disaksikan oleh anggota-anggota Panitia
Pengawas. Pembayaran ganti kerugian dalam bentuk uang
kepada pemegang hak atas tanah yang terkena
pembangunan Dam/Pengendali banjir lahar Merapi di
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman tersebut di atas
dibuktikan dengan tanda penerimaan.
Bukti tanda penerimaan tersebut disatukan dengan
berita acara sidang Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten
Daerah Tingkat II Sleman untuk masing-masing di :
1. Kecamatan Ngaglik, dengan :
a. Nomor 12a/Pemb/BPN/1995, tanggal 31-8-
1995.
b. Nomor 16/Pemb/BPN/l995, tanggal 16-11-1995
2. Kecamatan Pakem, dengan:
a. Nomor 18/Pemb/BPN/1995, tanggal 27-11-
1995.
b. Nomor 19/Pemb/BPN/1995, tanggal 27-12-
1995.
c. Nomor 20/Pemb/BPN/1995, tanggal 27-12-
1995.
Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian
tersebut di atas dibuat juga surat Pernyataan Penerimaan
Ganti Rugi dan Pelepasan Hak Atas Tanah dari para
pemegang hak atas tanah yang terkena lokasi pembangunan
Dam/Pengendali banjir lahar Merapi. Pernyataan pelepasan
Hak Atas Tanah dari para pemegang Hak Atas Tanah yang
bersangkutan kepada instansi pemerintah (Proyek Gunung
Merapi) tersebut selain ditandatangani oleh kedua belah
pihak, ditandatangani juga oleh semua anggota Panitia
termasuk anggota Panitia Pengawas. Pada saat yang sama
itu pula asli surat-surat yang berkaitan dengan tanah yang
bersangkutan oleh pemegangnya diserahkan kepada
Panitia. Selesainya berita acara penyerahan hak atas tanah
tersebut dibuat maka Instansi Pemerintah (Ditjen
Pengairan/Proyek Gunung Merapi) berkenan mengajukan
permohonan sesuatu hak atas tanah untuk memperoleh
sertifikat atas nama instansi induknya yaitu Departemen
Pekerjaan Umum sesuai dengan hak-hak atas tanah yang
diatur dalam UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960).
b. Dasar Yang Dipakai Dalam Penghitungan Ganti
Kerugian Tersebut.
Dasar penghitungan ganti kerugian atas tanah yang
terkena proyek Gunung Merapi didasasarkan atas nilai jual
obyek Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir sesuai
kesepakatan dalam musyawarah. Nilai jual obyek pajak
adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan
harga dengan obyek lain yang sejenis atau nilai perolehan
baru, atau nilai jual obyek pajak pengganti (Pasal 1
Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan). Untuk mengetahui NJOP harus
menetapkan klasifikasi tanah terlebih dahulu. Karena NJOP
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti :
1. Lokasi tanah : terletak pada pinggir sungai, jauh dari
jalan raya.
2. Jenis hak atas tanah: hak milik adat (belum
bersertifikat).
3. Status pemilikan tanah : pemilik.
4. Peruntukan tanah : pertanian.
5. Prasarana yang tersedia : listrik.
6. Kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana
Tata Ruang wilayah (RTRW).
7. Fasilitas dan utilitas.
8. Lingkungan.
9. Lain-lain yang mempengaruhi harga tanah.
Menurut keterangan yang diperoleh dari salah
seorang anggota Panitia Kabupaten Sleman selama
melakukan penelitian bahwa untuk menentukan "yang
menjadi dasar" yang dipakai dalam penghitungan ganti
kerugian permeter persegi atas tanah adalah
mengklasifikasikan klas tanah terlebih dahulu berdasarkan
faktor-faktor pengaruh tersebut di atas, atau dengan kata
lain untuk pelaksanaan penilaian tanah sebelumnya harus
dibuat nilai areal tanah yang disebut Zona Nilai Tanah
(Zonita) atau ZNT sebagai acuan untuk tanah dan Daftar
Biaya Komponen Bangunan (DBKB) untuk menilai
bangunan selanjutnya dilakukan perbandingan dan
penyesuaian terhadap faktor-faktor tertentu yang
distandardisasikan. Atas dasar klasifikasi itu maka dapat
diketahui harga atau nilai jual objek Pajak Bumi dan
Bangunan permeter persegi pada lokasi proyek Gunung
Merapi sesuai standar yang berlaku sebagai acuan.
Penetapan klas dan standar nilai jual objek pajak itu
menunjukkan lokasi proyek Gunung Merapi berada pada
klas terendah yaitu klas 40 dan 39 dengan penggolongan
nilai jual bumi masing-masing Rp. 2.900,00 sampai dengan
Rp. 4.100,00 dan Rp. 4.100 sampai dengan Rp. 5.900,00,
maka masing-masing klas itu ditentukan nilai jual objek
Pajak Bumi dan Bangunan perjneter persegi adalah Rp.
3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah) dan Rp. 6.500,00
(Enam ribu lima ratus rupiah). Demikian maka cara
penghitungannya adalah jumlah luas tanah dalam meter
persegi (M2) dikalikan dengan harga satuan per meter
persegi. Harga satuan yang disepakati bersama dalam
musyawarah adalah Rp 3.500,00 (tiga ribu lima ratus
rupiah) untuk kas desa dan Rp. 6.500,00 (enam ribu lima
ratus rupiah) untuk tanah milik perorangan, sedangkan
ganti kerugian untuk tanaman penghitungannya didasarkan
pada standar yang ada pada Dinas Pertanian dan Tanaman
Pangan Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman. Ternyata
penghitungan ganti kerugian berdasarkan NJOP itu cukup
baik sesuai dengan letak dan kondisi setempat dan tidak
merugikan para pemegang hak atas tanah yang terkena
proyek Gunung Merapi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu dan hasil penelitian
serta pembahasan tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan
pembangunan kepentingan umum (proyek-proyek Gunung Merapi) di
Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman ternyata berjalan secara baik dan
efektif serta lebih maju dari sebelumnya yang hanya berkesan
mengutamakan formalitas dari realitas. Karena para pemegang hak atas
tanah yang terkena proyek Gunung Merapi dilibatkan secara langsung di
dalam proses pengambilan keputusan.
2. Bahwa proses berlangsungnya musyawarah antara instansi
pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah
berlangsung secara kekeluargaan dan persamaan hak dan kedudukan
tanpa ada intimidasi. Kedudukan kedua belah pihak adalah sejajar dan
saling berbicara, mendengar untuk menerima usul saran dan pendapat.
3. Bahwa bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas
tanah dan tanaman adalah berupa uang, dan dalam penghitungan
ganti kerugian didasarkan atas dasar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Bumi dan Bangunan tahun terakhir, sehingga pemberian ganti kerugian
itu dianggap cukup baik dan tidak merugikan bekas pemegang hak atas
tanah yang terkena proyek Gunung Merapi
B. SARAN-SARAN
1. Disarankan agar Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman, khususnya
Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman berkewajiban
memasyarakatkan Keppres Nomor 55 tahun 1993 melalui
pembinaan penyuluhan hukum, khususnya hukum pertanahan
(Agraria) baik kepada aparat pemerintah kecamatan,
desa/kalurahan, maupun tokoh dan masyarakat secara intensif
sehingga pelaksanaannya lebih baik lagi di masa yang akan
datang.
2. Sistem pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum
yang dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman dengan
sukses itu dapat dicontoh oleh daerah-daerah lain baik di
Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya maupun
di luar Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Keppres nomor 55 tahun 1993 pada masa yang akan datang
sebaiknya ditingkatkan menjadi undang-undang atau Peraturan
Pemerintah guna memenuhi amanat UUPA dan dinamika
pembangunan dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid I, Djambatan, 1994
_____________, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid II, Djambatan, 1971
_____________, Kasus-kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan, Makalah Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Pemecahannya), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta 1994
Departemen Dalam Negeri, Pertanahan Dalam Pembangunan Indonesia, Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1982.
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni Bandung, 1995.
I. Soegiarto, Kebijaksanaan Umum Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Makalah Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Pemecahannya), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti Dengan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1994.
Iman Soetiknyo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakartra, 1994.
Maria S.W. Sumardjono, Tinjauan Yuridis Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Pelaksanaannya, Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum, Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Pemecahannya ), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti Dengan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1994.
____________, Antara Kepentingan Pembangunan dan Keadilan Forum Diskusi Alternatif, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994.
____________, Anatomi Keppres Nomor 55 Tahun 1993, SKH Kompas, 24-7-1993.
____________, Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah, Jurusan Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982.
_____________, Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah, SKH Kompas, 24-3-1994.
Marmin Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1979.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, 1986.
Sudikno Mertokusumo, Perundang-Undangan Agraria, Liberty, Yogyakarta, 1988