pe.122

172
PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SEJAK BERLAKUNYA KEPPRES NOMOR 55 TAHUN 1993 DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SLEMAN PE.122

Upload: al-liem

Post on 16-Jan-2016

225 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

pe.122

TRANSCRIPT

Page 1: pe.122

PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK

KEPENTINGAN UMUM SEJAK BERLAKUNYA KEPPRES NOMOR 55

TAHUN 1993 DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SLEMAN

PE.122

Page 2: pe.122

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional yang dilaksanakan dalam rangka memenuhi

amanat Pembukaan UUD 45, dari tahun ke tahun terus meningkat. Bersamaan

dengan itu jumlah penduduk terus bertambah, dan sejalan dengan semakin

meningkatnya pembangunan dan hasil-hasilnya, maka semakin meningkat dan

beragam pula kebutuhan penduduk itu.

Termasuk dalam kegiatan pembangunan Nasional itu adalah

pembangunan untuk kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum

ini harus terus diupayakan pelaksanaannya seiring dengan semakin bertambahnya

jumlah penduduk yang disertai dengan semakin meningkatnya kemakmurannya.

Penduduk yang semakin bertambah dengan tingkat kemakmuran yang

semakin baik, tentunya membutuhkan berbagai fasilitas umum seperti :

jaringan/transportasi, fasilitas pendidikan, peribadatan, sarana olah raga, fasilitas

komunikasi, fasilitas keselamatan umum dan sebagainya.

Pembangunan fasilitas-fasilitas umum seperti tersebut di atas,

memerlukan tanah sebagai wadahnya. Dalam hal persediaan tanah masih luas,

pembangunan fasilitas umum tersebut tidak menemui masalah. Tetapi

persoalannya tanah merupakan sumberdaya alam yang sifatnya terbatas, dan tidak

pernah bertambah luasnya. Tanah yang tersedia sudah banyak yang dilekati

dengan hak (tanah hak), dan tanah negara sudah sangat terbatas persediaannya.

Page 3: pe.122

Pada masa sekarang ini adalah sangat sulit melakukan pembangunan

untuk kepetingan umum di atas tanah negara, dan sebagai jalan keluar yang

ditempuh adalah dengan mengambil tanah-tanah hak. Kegiatan “mengambil”

tanah (oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum) inilah yang kemudian disebut dengan pengadaan tanah (pasal

1 Keppres No. 55 tahun 1993).

Kegiatan pengadaan tanah ini sudah sejak lama dilakukan, bahkan sudah

dikenal sejak zaman Hindia Belanda dahulu melalui Onteigenings Ordonnatie

(Staatsblad 1920 nomor 574).

Undang-Undang Pokok Agraria sendiri melalui Pasal 16, memberikan

landasan hukum bagi pengambilan tanah hak ini dengan menentukan : Untuk

kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan

bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti

kerugian yang layak menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.

Kemudian dikeluarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 1961. Undang-

Undang ini mengartikan kepentingan umum secara luas yaitu :

(1) Kepentingan bangsa dan Negara;

(2) Kepentingan bersama dari rakyat; dan

(3) Kepentingan pembangunan (pasal 1).

Selanjutnya menurut Undang-Undang ini kegiatan kepentingan Umum tidak

hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan Pemerintah tapi juga oleh swasta,

asal usaha itu benar-benar untuk kepentingan umum (lihat penjelasan angka (4)

huruf b).

Page 4: pe.122

Inpres nomor 9 tahun 1973 beserta lampirannya memberikan pedoman-

pedoman dalam pelaksanaan pencabutan hak dan benda-benda yang ada di

atasnya, juga memberikan arti kepentingan umum secara luas dengan menambah

daftar bidang kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum, namun masih

membuka kemungkinan penafsiran lebih lanjut (Pasal 1 ayat 1 dan 2).

Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tidak memberikan

batasan yang jelas tentang kepentingan umum, dan berdasarkan Permendagri

Nomor 2 tahun 1976 yang dikeluarkan kemudian, ketentuan mengenai acara

pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah menurut Permendagri nonor 15

tahun 1975, diberlakukan juga untuk kepentingan swasta.

Keluarnya Keppres nomor 55 tahun 1993, membawa pengaturan yang

jauh berbeda dengan yang diatur dalam peraturan-peraturan perundangan

sebelunnya, baik tentang pengertian kepentingan umum, proses musyawarah

maupun tentang bentuk dan cara penentuan besarnya ganti kerugian.

Keppres tersebut menganut pendekatan yang sempit dengan memberikan

definisi yang ketat tentang kepentingan umum, diikuti dengan 14 contoh kegiatan

yang tidak membuka penafsiran lebih lanjut lagi1 (Pasal 5(1)).

Keppres ini menentukan tiga kriteria bagi suatu kegiatan untuk dapat

dikategorikan sebagai kepentingan umum yaitu: (1) dilakukan oleh pemerintah;

(2) dimiliki oleh pemerintah serta (3) tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

Lebih lanjut ditentukan juga bidang-bidang kegiatan yang masuk kategori

kepentingan umum dengan kemungkinan Presiden menentukan bidang kegiatan

1 Maria SW. Sumardjono, Tinjauan Yuridis Keppres No. 55/1993 Tentang Pengadaan tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum, Permasalahan dan Kebijaksanaan dalam Pemecahannya), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan BPN, Jakarta, 1994, hal. 2

Page 5: pe.122

lain di luar yang disebut itu, asal memenuhi tiga kriteria tersebut.

Proses musyawarah juga ditentukan secara tegas yaitu dilakukan secara

langsung antara pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah yang

memerlukan tanah, dengan dipimpin oleh ketua Panitia Pengadaan Tanah.

Bentuk dan dasar perhitungan ganti kerugian juga ditentukan secara lebih

tegas dan lebih adil yaitu didasarkan atas nilai nyata dengan memperhatikan nilai

jual obyek pajak yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.

Lebih lanjut Keppres ini menentukan bahwa untuk kegiatan kepentingan

umum yang memerlukan tanah kurang dari 1 (satu) ha, pengadaan tanahnya

dilakukan secara langsung (tanpa melalui Panitia Pengadaan Tanah) oleh instansi

Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pedagang hak atas tanah dengan

jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak (Pasal

23).

Berlakunya Keppres ini, maka Permendagri nomor 15 tahun 1975, dan

nomor 2 tahun 1976 serta nonor 2 tahun 1985 yang mengatur tentang pengadaan

tanah untuk kepentingan umum dan swasta dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal

24).

Untuk melaksanakan Keppres tersebut telah dikeluarkan pula Peraturan

Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nonor 1 tahun 1994

tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993.

Keppres Nomor 55 tahun 1993 ini sebagai suatu peraturan yang relatif

baru, maka perlu sekali dilakukan penelitian, sejauh mana Keppres tersebut

dilaksanakan dalam praktek.

Page 6: pe.122

Dalam hal ini penulis mengambil Kabupaten Sleman sebagai lokasi

penelitian, karena dari hasil pra penelitian yang penulis lakukan, dan berdasarkan

informasi dari Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman bahwa di Kabupaten

Sleman telah dilakukan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum

berupa sarana tanggul penanggulangan bahaya banjir dan lahar, berdasarkan

Keppres No. 55 tahun 1993 meliputi Kecamatan Ngaglik seluas 2,0513 Ha dan

Kecamatan Pakem seluas 1,6037 Ha. Sehubungan dengan itu pemberian ganti

kerugian kepada para pemilik hak atas tanah yang terkena lokasi pembangunan

kepentingan umun pun kenyataannya belun sesuai dengan Keppres No. 55 Tahun

1993 karena itu perlu dilakukan penelitian, maka penulis ingin mengadakan

penelitian dengan judul : "Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

Untuk Kepentingan Umum Sejak Berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 di

Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman."

B. Perumusan Masalah

Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di Kabupaten Daerah

Tingkat II Sleman.

b. Bagaimana proses berlangsungnya musyawarah antara instansi pemerintah

yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah ?

Page 7: pe.122

c. Apakah bentuk ganti kerugian yang diberikan dan apakah dasar yang

dipakai daIan penghitungan ganti kerugian tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan :

a. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah dalam

membantu kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di

Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.

b. Untuk mengetahui proses berlangsungnya musyawarah antara instansi

Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah.

c. Untuk mengetahui bentuk ganti kerugian yang diberikan dan dasar

yang dipakai dalam penghitungan ganti kerugian tersebut.

D. Kegunaan Penelitian

1. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya

dalam bidang hukum agraria.

2. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupun

pemerintah, khususnya aparatur pemerintah pada jajaran Badan

Pertanahan Nasional dalan hal pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum.

E. Tinjauan Pustaka

Tanah merupakan modal dasar pembangunan.

Page 8: pe.122

"Hampir tak ada kegiatan pembangunan (sektoral) yang tidak memerlukan tanah. Oleh karena itu tanah memegang peranan yang sangat penting, bahkan menentukan berhasil tidaknya suatu pembangunan".2

Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan baik

untuk kepentingan unum maupun kepentingan swasta selalu membutuhkan tanah

sebagai wadah untuk diletakkan pembangunan itu.

Kini pembangunan terus meningkat dan persediaan tanahpun semakin sulit

(terbatas).

Keadaaan seperti ini dapat menimbulkan konflik karena kepentingan umum

dan kepentingan perorangan saling berbenturan.

Kondisi seperti ini diperlukan upaya dan pengaturan yang bijaksana guna

menghindari konflik-konflik yang lebih meresahkan masyarakat banyak.

Agar kepentingan umun tidak terhambat dalam arti dapat dilaksanakan dan

kepentingan perorangan pun tidak diabaikan maka diperlukan adanya musyawarah

antara masing-masing pihak untuk melaksanakan kepentingan umum.

Pembangunan kepentingan umum hanya dapat dilaksanakan jika ada tanah

yang telah tersedia.

Untuk itu perlu melakukan pengadaan tanah (penganbilan) tanah hak

masyarakat.

Proses pengambilan tanah hak masyarakat untuk kepentingan umum ini

sudah dilakukan sejak dahulu (zaman Hindia Belanda) yang dikenal dengan

Onteigenings Ordonnantie (Stb 1920 nomor 574) dengan peraturan pelaksanaannya

2 Pertanahan Dalam Pembangunan Indonesia, Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1982, hal. 165

Page 9: pe.122

yaitu Bijblad nomor 11372 yo 12746 mengatur mengenai aparat pembebasan dan

pemberian ganti kerugian atas tanah yang diperlukan.

Tetapi peraturan warisan Hindia Belanda tersebut telah dicabut masing-

masing dengan UU no 20/1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-

benda di atasnya dan Permendagri nomor 15 tahun 1975 tentang ketentuan-

ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.

Sejak berlakunya undang-undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria yang disebut UUPA, memberikan dasar hukum bagi

pelaksanaan pembebasan (pengadaan) tanah atau pencabutan hak atas tanah untuk

kepentingan umum.

Dalam Pasal 18 UUPA menentukan bahwa untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat,

hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan

menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan Pasal 18 UUPA ini dikeluarkan Undang-Undang nomor 20

tahun 1961 tentang Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda di atasnya. Di

dalam Pasal 1 menentukan bahwa :

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta

kepentingan bersama dari rakyat demikian pula kepentingan pembangunan, maka

presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria,

Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat nencabut hak-hak atas

tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Page 10: pe.122

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan kepentingan umum pencabutan

hak-hak atas tanah dapat dilakukan tetapi pemberian ganti kerugian juga harus

diberikan kepada bekas pemilik tanah.

Selanjutnya Sudargo Gautama mengatakan bahwa :

Pencabutan hak-hak atas tanah dimungkinkan tetapi ada syarat-syarat yang

perlu dipenuhi terlebih dahulu.

Salah satu syarat yang terpenting adalah bahwa perlu diadakan penggantian

kerugian.3

Undang-undang nomor 20 tahun 1961 ini mengatur dua hal yaitu:

1. Mengenai kepentingan umum

2. Mengenai pencabutan hak atas tanah.

Kegiatan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum selalu

mendesak, maka pengadaan/pengambilan tanah hak masyarakat ini harus

dilakukan guna pembangunan kepentingan umum.

Proses pengambilan tanah hak masyarakat untuk kepentingan umum ini

menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa :

Kepentingan pembangunan yang dengan memanfaatkan tanah-tanah hak perseorangan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara keseluruhan dalam hal ini kepentingan pembangunan itu ditujukan untuk mewujudkan kepentingan umun.4

3 Sudargo Gautana, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, PT. Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal. 120-121.4 Maria S.W. Sumardjono, Antara Kepentingan Pembangunan dan Keadilan, Forum Diskusi Alternatif, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994, hal. 1.

Page 11: pe.122

Kepentingan umum sering dipermasalahkan di masa lalu karena hal itu

dapat diperalat oleh pihak tertentu untuk kepentingan yang bukan termasuk

kepentingan umum.

Ini disebabkan karena rumusan pengertian kepentingan umum yang diatur

dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 itu terlalu luas. Seperti dalam Pasal 1

memberi pengertian kepentingan umum yaitu :

1. Kepentingan bangsa dan negara

2. Kepentingan bersana dari rakyat

3. Kepentingan pembangunan.

Pengertian ini tanpa ada batas yang jelas dan terperinci dengan demikian

kepentingan umum dapat ditafsir secara lain.

Dalam penjelasan umum angka 4 huruf b pun dijelaskan bahwa kegiatan

kepentingan umum tidak hanya terbatas pada kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah tetapi juga oleh pihak swasta, asal usaha itu benar-benar untuk

kepentingan umum.

Inpres nomor 9 Tahun 1973 serta lampirannya dalam Pasal 1 ayat (1) dan

ayat (2) memberikan pedoman-pedoman mengenai pelaksanaan pencabutan hak

atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, juga memberikan makna

kepentingan umum secara luas dan menanbah daftar bidang kegiatan yang bersifat

kepentingan umum, tetapi masih dapat memberi peluang untuk dapat

diinterpretasikan secara lain lagi.

Page 12: pe.122

Kemudian dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun

1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.

Ketentuan ini pun tidak memberikan suatu pengertian kepentingan umum secara

jelas tetapi hanya secara luas, bahkan Permendagri ini selain digunakan untuk

pengadaan tanah bagi kepentingan pemerintah, juga dapat digunakan oleh pihak

swasta berdasarkan Permendagri nomor 2 tahun 1976.

Sejalan dengan itu proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak

selamanya berjalan lancar, karena pemberian ganti kerugian kadang-kadang tidak

sesuai dengan harapan masyarakat.

Lebih lanjut menurut Boedi Harsono, bahwa :

Mengenai besarnya ganti kerugian yang harus ditetapkan atas dasar

persetujuan bersama, ada suatu azas yang bersifat universal, yaitu, bahwa dengan

penyerahan tanahnya bekas yang empunya tanah kedudukan ekonomi dan sosial

tidak boleh menjadi mundur.5

kebutuhan akan tanah pun terus meningkat, padahal persediaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan semakin terbatas.

Oleh karena terbatasnya persediaan tanah dan banyak hambatan yang

dialami dalam proses perolehan tanah yang telah dihaki oleh masyarakat untuk

kepentingan umum, pemerintah terus berupaya menyempurnakan perangkat

peraturan perundang-undangan untuk dapat dipakai sebagai dasar hukum bagi

kegiatan pelaksanaan pengadaan tanah.

5 Boedi Harsono, ukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid 1, Djambatan, 1994, hal. 262.

Page 13: pe.122

Pada tanggal 17 Juni 1993 telah dikeluarkan Keppres nomor 55 tahun

1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan

umum.

Keppres tersebut mengatur mengenai hal-hal pokok yang berkaitan dengan

pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, baik

mengenai pengertian kepentingan umum, proses musyawarah maupun bentuk dan

cara penetapan besarnya ganti kerugian.

Dalam Keppres tersebut kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum

”dibatasi”6 pada tiga kriteria atau unsur yaitu:

1. Pembangunan harus dilakukan oleh Pemerintah.

2. Pembangunan harus dimiliki oleh Pemerintah.

3. Tidak digunakan untuk mencari keuntungan.

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum

dilakukan melalui musyawarah (Pasal 9). Ganti kerugian dalam rangka pengadaan

tanah untuk kepentingan pembangunan diberikan juga untuk :

1. Hak atas tanah.

2. Bangunan.

3. Tanaman.

4. Benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Demikian juga ganti kerugian disebutkan dalam pasal 13 dapat berupa :

a. Uang.

6 Maria S.W. Sumardjono, Anatomi Keppres No. 55 Tahun 1993, SKH Kompas, 24 Juli 1993, Hal. 4

Page 14: pe.122

b. Tanah pengganti.

c. Pemukiman kembali.

d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian a, b, dan c,

dan

e. atau bentuk lain yang disepakati para pihak.

Selain itu dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum

dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I (Pasal 6 ayat (1), dan Panitia Pengadaan tanah dibentuk

di setiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II (Pasal 6 ayat (2))

F. Batasan Istilah

1. Pengadaan Tanah.

Istilah pengadaan tanah berarti mengadakan atau menyediakan

tanah. Dalam pasal 1 ayat (1), Keppres nomor 55 tahun 1993 menentukan

bahwa : yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap kegiatan

untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada

yang berhak atas tanah tersebut.

2. Pembangunan.

Yang dimaksud dengan pembangunan adalah proses perubahan

atau kegiatan membangun dari suatu keadaan tertentu kepada suatu

keadaan yang dianggap lebih baik.

3. Kepentingan Umum.

Page 15: pe.122

Pengertian kepentingan umum sebagaimana tersebut dalam

Keppres nomor 55 tahun 1993 pasal 1 ayat (3) bahwa : yang dimaksud

dengan kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan

masyarakat.

Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan tiga kriteria

kepentingan umum yaitu kegiatan pembangunan yang, 1. dilakukan oleh

pemerintah, 2. dimiliki oleh pemerintah, dan 3. tidak digunakan untuk

mencari keuntungan.

Dengan pengertian/batasan istilah tersebut di atas telah menjadi

jelas bahwa yang dimaksud dengan pengadaan tanah untuk pembangunan

kepentingan umum adalah kegiatan mengadakan/menyediakan tanah

untuk membangun kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang

dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk

mencari keuntungan.

G. Cara Penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu “dimaksudkan untuk memberikan

data yang seteliti mungkin tentang manusia keadaan atau gejala-gejala lainya.”7

Untuk mengetahui tentang gejala di lapangan dengan didasari judul, latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian

penyusun menggunakan metode kualitatif , Soekanto (dengan mengutip W.I.

Thomas dan F. Znaniecki) :

7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 10

Page 16: pe.122

“Metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data

deskriptif analisistis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara

tertulis atau lisan, dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan

dipelajari sebagai suatu yang utuh”.8

1. Lokasi Penelitian dan Responden.

a. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian adalah Kecamatan Ngaglik dan

Kecamatan Pakem , Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman. Dua

Kecamatan tersebut dijadikan satu lokasi/proyek yang mana pada

lokasi tersebut terdapat/diadakan pengadaan tanah untuk

pembangunan kepentingan umum dimaksud. Pada dua Kecamatan

itu hanya dijadikan satu lokasi karena lokasi yang terkena kegiatan

pembangunan sarana kepentingan umum dimaksud merupakan

satu kesatuan yang terletak pada batas wilayah dua Kecamatan

tersebut.

b. Responden.

Responden dalan penelitian ini adalah para pemilik tanah

yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Jumlah

responden yang diambil sebagai sampel penelitian adalah 23 orang

yang terdiri dari Kecamatan Ngaglik 20 orang, Kecamatan Pakem

3 orang. Karena jumlah responden relatif sedikit maka diambil

semuanya sebagai sampel.

8 Ibid, hal. 250

Page 17: pe.122

Selain itu untuk melengkapi data responden diperlukan

pula informasi dari nara sumber yaitu: Panitia Pengadaan Tanah

khususnya : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman.

Camat/Kepala Wilayah dari Kecamatan letak lokasi sampel.

Kepala Desa/Kelurahan dari Desa/Kelurahan letak lokasi sampel.

Kepala Dinas/Instansi pemerintah yang memerlukan tanah.

2. Alat Pengumpulan Data.

Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data

primer dan data sekunder. Data. Primer adalah data yang diperoleh

langsung dari responden, sedangkan data sekunder antara lain mencakup

dokumen resmi, hasil-hasil penelitian terdahulu, surat-surat dan atau

warkah-warkah yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan kepentingan umum.

a. Data Primer :

Untuk memperoleh data, dilakukan dengan

mempergunakan alat sebagai berikut :

1. Kuesioner yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan yang

sifatnya terbuka dan tertutup atau kombinasi keduanya, yang

ditujukan kepada responden.

2. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab/wawancara

dengan narasumber berdasarkan pedoman wawancara yang

telah dipersiapkan terlebih dahulu.

Page 18: pe.122

b. Data Sekunder :

Berupa arsip dan warkah-warkah yang ada di Kantor

Pertanahan Kabupaten Sleman dengan Studi Dokumen.

3. Analisis Data.

Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara

kualitatif berdasarkan metode berpikir dedukatif dan induktif. Metode

dedukatif ialah suatu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat

umum ke hal-hal yang bersifat khusus, sedangkan metode induktif ialah

suatu cara berpikir yang diawali dari hal-hal yang bersifat khusus ke hal-

hal yang bersifat umum.

Page 19: pe.122

BAB II

TINJAUAN TENTANG PENGATURAN PENGADAAN TANAH UNTUK

KEPENTINGAN UMUM

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sudah dikenal sejak masa

pemerintahan Kolonial Belanda dahulu. Istilah pengadaan tanah masa itu lebih dikenal

dengan istilah pencabutan hak (onteigenings). Oleh karena itu uraian tentang pengadaan

tanah untuk kepentingan umum dapat diawali dari nasa sebelum dan sesudah keluarnya

UUPA hingga masa berlakunya Keppres nomor 55 tahun 1993.

A. Masa Sebelum Keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria.

Pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada masa

sebelum keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria dapat ditinjau dari masa

sebelum merdeka (masa kolonial) dan masa sesudah merdeka.

1. Masa Sebelun Merdeka (Masa Kolonial).

Pada masa sebelum merdeka kegiatan menyediakan tanah lebih

dikenal dengan istilah pencabutan hak yang lazim ;disebut onteigenings.

Hal itu diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang

dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda sebagai dasar hukum.

Peraturan-peraturan dimaksud Bebagai berikut :

a. Agrarische Wet 1870 (Staatsblad 1870 nomor 55.)

b. Staatsblad 1920 nomor 574 tentang onteigenings ordonnantie.

c. Staatsblad 1947 nomor 96 tentang perubahan atas staatsblad 1920

nomor 574 tentang onteigenings ordonnantie.

Page 20: pe.122

d. Bijblad nomor 11372 jo nomor 12746 tentang panitia

pembelian tanah untuk keperluan dinas.

Pengalaman sejarah perjalanan Bangsa Indonesia telah

menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia pernah menjadi Koloni Belanda

selama 350 tahun. Adanya Kolonial Belanda itu berpengaruh sangat besar

terhadap sendi dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia dalam segala

bidang yaitu dalam bidang : politik, budaya, hankam, sosial, dan ekonomi,

termasuk di dalamnya keberadaan hukum agraria Indonesia yang masih

berdasarkan hukum adat pada waktu itu. Demikian pada waktu itu Hukum

Agraria di Indonesia bersifat dualistis, yaitu bahwa di samping hukum

agraria adat, berlaku hukum tanah barat. Hukum tanah adat ialah hukum

atau peraturan yang tidak tertulis, sedangkan hukum barat ialah hukum

atau peraturan-peraturan yang tertulis.

Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa : “Yang dimaksud dengan

hukum adat ialah adat kebiasaan yang mempunyai akibat hukum. Hukum

adat itu terdiri dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, sedangkan

hukum barat itu terdiri dari peraturan-peraturan yang tertulis.”9

Hukum agraria barat yang berlaku pada masa Kolonial dan yang

terpenting adalah Agrarische wet 1870 yang termuat dalam Staatsblad

1870 nonor 55, yang terdiri dari lima ayat, yang isi lengkapnya sebagai

berikut :

9 Sudikno Mertokusumo, Perundangan Agraria, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 3

Page 21: pe.122

1. Menurut ketentuan, yang ditetapkan dengan ordonansi, maka

tanah-tanah diberikan dengan erfpacht, untuk waktu tidak lebih

dari tujuh puluh lima tahun.

2. Gubernur Jenderal harus menjaga jangan sampai setiap

pemberian tanah itu melanggar hak-hak Bangsa Indonesia.

3. Tanah-tanah yang dibuka oleh Bangsa Indonesia untuk

digunakan sendiri atau sebagai tempat penggembalaan umum

atau karena salah satu sebab termasuk tanah desa, tidak dikuasai

Gubernur Jenderal kecuali untuk kepentingan umum dan untuk

tanaman-tanaman yang diperintahkan oleh penguasa menurut

peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan ganti kerugian

yang patut.

4. Tanah yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dengan hak pakai

perseorangan turun temurun (erfelijk individueel gebruik),

diberikan atas permintaan pemilik yang berhak dengan eigendom

kepadanya dengan pembatasan-pembatasan yang perlu yang

ditetapkan dengan ordonansi dan dinyatakan di dalam surat

eigendom, terhadap kewajiban terhadap negara dan desa dan

wewenang menjual kepada bukan Bangsa Indonesia.

5. Penyewaan atau menyuruh memakai tanah oleh bangsa Indonesia

kepada bukan Bangsa Indonesia berlangsung menurut

ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi.

Page 22: pe.122

Agrarische wet atau "Undang-Undang Agraria" 1870 itu kemudian

ditambahkan pada Pasal 62 Regerings Reglement (R.R.) sehingga menjadi

delapan ayat. Kemudian pada tahun 1925 R.R. itu diubah menjadi

“Indische Staatsregeling" (I.S.), dan Pasal 62 R.R. berubah nenjadi Pasal

51 I.S. sedangkan isinya tetap delapan ayat.

Dalam Agrarische wet tampak bahwa dasar pengaturan pengadaan

tanah untuk kepentingan umum telah diisyaratkan. Hal itu ternyata dalam

ayat (3) Agrarische wet atau ayat (6) (IS), pada isi pokoknya menyebutkan

bahwa : tanah-tanah milik rakyat Indonesia tidak dikuasai oleh Gubernur

Jenderal kecuali untuk kepentingan umum dengan pemberian ganti

kerugian yang patut.

Maksud yang terkandung dalan Agrarische wet tersebut di atas

adalah memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta asing untuk

berkembang dan memperoleh tanah dan memberi perlindungan terhadap

hak-hak rakyat atas tanah.

Selanjutnya Sudiknomertokusumo menyatakan bahwa : “Maksud

daripada Undang-Undang Agraria tahun 1870 itu pada pokoknya : 10

1. Kemungkinkan perkembangan perusahaan partikelir asing dengan

memberi kesempatan untuk memperoleh tanah yang diperlukan.

2. Melindungi dan memperkuat hak rakyat atas tanah.

Sedangkan isi pokok dari pada Undang-Undang Agraria 1870 ialah

seperti berikut :

10 Ibid, hal. 6.

Page 23: pe.122

1. Memungkinkan pemberian hak erfpacht untuk tujuh puluh lima

tahun dan sewa menyewa kepada Bangsa Indonesia.

2. a) pemberian tanah tidak boleh mendesak hak rakyat.

b) bila pemerintah mengambil tanah rakyat harus hanya untuk

kepentingan umum dan untuk tanaman-tanaman yang

diperintahkan oleh penguasa dengan pembayaran kerugian.

c) kepada Bangsa Indonesia diberi kesempatan mendapat hak

tanah dengan hak milik agraria.

d) diadakan peraturan sewa menyewa tanah rakyat Indonesia

kepada orang asing.

Maksud dan isi dari Undang-Undang Agraria 1870 menunjukkan

bahwa hak-hak rakyat atas tanah perlu dihormati. Bila pemerintah

menganbil tanah rakyat asal dengan syarat bahwa harus hanya untuk

kepentingan umum dan dengan pemberian ganti kerugian yang layak

kepada pemiliknya.

Hak-hak rakyat atas tanah menurut hukum adat ialah hak ulayat,

hak milik dan hak komunal, dan Agrarische Eigendom sedangkan hak-hak

atas tanah menurut hukum barat (KUHPerdata Barat) ialah hak eigendom,

hak Erfpacht, dan hak opstal. Hak-hak tersebut yang dimiliki rakyat atas

tanah baik secara perorangan maupun secara berkelompok (komunal) itu

harus dihormati eksistensinya.

Apabila kepentingan umum menghendaki dan persediaan tanah

negara relatif tidak tersedia maka hak-hak atas tanah tersebut hanya dapat

Page 24: pe.122

dibeli atau dengan pencabutan hak (onteigenings) dengan pemberian ganti

kerugian yang layak.

Hak barat seperti hak Eigendom adalah hak yang paling luas. Hak

Eigendom tersebut diatur dalam Pasal 570 BW, yang isi pokoknya

menetapkan bahwa hak Eigendom itu adalah suatu hak kebendaan, artinya

orang yang mempunyai Eigendom itu menpunyai wewenang untuk :

a. mempertahankan atau menikmati benda itu sepenuh-penuhnya.

b. menguasai benda itu seluas-luasnya.

Tetapi dengan syarat bahwa :

a. tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang umum.

b. tidak boleh mengganggu hak orang lain, dengan perkecualian

yang ditetapkan secara tegas bahwa untuk kepentingan umum,

pemerintah dapat mengadakan pencabutan hak (onteigenings)

tetapi harus untuk kepentingan umum dan harus

berdasarkan peraturan hukum.

Lebih lanjut Eddy Ruchiyat menyatakan bahwa pencabutan hak

dan syarat-syaratnya yang mengikat pemerintah telah ditetapkan, yaitu :

a. Onteigening itu harus untuk keperluan umum.

b. Yang mempunyai Eigendom harus diberi ganti kerugian yang

layak (pantas)

c. Sub a dan b harus dijelaskan menurut peraturan-peraturan

hukum.11

11 Eddy Ruchiyat , Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni Bandung, 1995, hal. 26

Page 25: pe.122

Berarti bahwa hak Eigendom yang merupakan hak kebendaan

yang seluas-luasnya telah mendapat perlindungan hukum. Pelaksanaan

lebih lanjut mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut

dalam Undang-Undang Agraria 1870 baru diatur 50 tahun kemudian yaitu

dalam Staatsblad 1920 nomor 574 yang lebih dikenal dengan istilah

"Onteigenings Ordonnantie" atau peraturan pencabutan hak. Peraturan

tsrsebut mulai berlaku pada tanggal 1 September 1920, yang kemudian

setelah kemerdekaan diubah dan ditambah, yang terakhir dengan

Staatsblad 1947 nomor 96, guna menyesuaikan dengan perubahan

keadaan dan kebutuhan Bangsa Indonesia.

Di dalam Staatsblad 1920 nomor 574 tersebut tidak dijelaskan

mengenai pengertian pecabutan hak atas tanah dimaksud.

Guna kelancaran pelaksanaan pembangunan fasilitas kepentingan

umum maka pencabutan hak tanah harus dilakukan oleh karena tanah

yang tersedia untuk pelaksanaan pembangunan fasilitas kepentingan

umum belum tersedia. Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan

umum dimaksud melibatkan dua pihak.

Pihak-pihak yang terlibat di dalam kegiatan pencabutan tanah

adalah :

1. pemilik tanah (yang empunya tanah).

2. pihak yang membutuhkan tanah.

Pencabutan tanah yang dilakukan berdasarkan staatsblads 1920

nomor 574 itu tidak didasarkan pada azas musyawarah tapi hanya atas

Page 26: pe.122

perintah penguasa apabila ada suatu rencana kegiatan yang diperuntukkan

kepentingan umum. Demikian pula kepentingan umum itu bukan untuk

masyarakat luas tetapi untuk kelompok tertentu terutama penguasa yang

juga merangkap pengusaha pada waktu itu.

Selain pencabutan hak dikenal juga pembelian tanah untuk

keperluan dinas diatur dalam Bijblad nomor 11372 jo nomor 12746

(Gouvernents Besluit 1927 nomor 7 jo nonor 23 tahun 1932).

Bijblad tersebut sebagai peraturan pelaksanaan onteigenings

ordonnantie (stb. 1920 nomor 574).

Mengenai kepentingan umum yang disebutkan dalam ayat (3)

Undang-Undang Agraria 1870 dan Onteigenings Ordonnantie 1920 (Stb.

1920 nonor 574) tidak diberikan suatu definisi yang jelas dan pembatasan

secara terperinci dengan tegas tetapi hanya disebutkan secara umum. Hal

ini dapat dimaklumi bahwa tujuan politik agraria barat adalah mencari

keuntungan yang sebesar-besarnya.

Berdasarkan Staatsblad 1920 nomor 574 tersebut dan berdalih

kepentingan umum rakyat diperdaya dengan cara-cara yang tidak adil dan

manusiawi hanya demi mengeruk keuntungan untuk kepentingan pribadi

dan golongan sendiri.

Tujuan politik hukum agraria barat yang sangat bertentangan

dengan realita kehidupan Bangsa Indonesia pada waktu Itu, menurut Iman

Soetiknjo bahwa :

“Sebab dasar dari pada politik agraria kolonial adalah prinsip dagang, yaitu nendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga

Page 27: pe.122

yang serendah mungkin, untuk kemudian dijual dengan harga yang setinggi mungkin. Tujuannya tidak lain dari mencari keuntungan sebesar mungkin, bagi diri penguasa kolonial yang merangkap menjadi pengusaha.”12

Jadi jelas bahwa kepentingan umum bukan nenjadi tujuan

pencabutan tanah pada waktu itu melainkan kepentingan pribadi dan

golongan yang diutamakan.

2. Masa Sesudah Merdeka

Masa sesudah merdeka pengaturan pencabutan hak belum dapat

diatur dengan peraturan perundang-undangan secara khusus. Karena

situasi politik dalam negeri yang masih dalam proses peralihan kedaulatan

sebagai negara merdeka (RI). Karena itu peraturan perundang-undangan

yang mengatur soal pencabutan hak masih mengacu pada peraturan

perundang-undangan Kolonial Belanda. Kecuali Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum

pencabutan tanah pada masa itu adalah sebagai berikut :

a. Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.

b. Pasal 26 KRIS jo pasal 27 UUDS 1950.

c. Agrarische Wet 1870 (Staatsblad 1870 noaor 55).

d. Staatsblad 1920 nomor 574 tentang onteigenings ordonnantie.

e. Bijblad nomor 11372 jo nomor 12746 mengenai panitia

penbelian tanah untuk keperluan dinas.

12 Iman Soetikno, Politik Agraria Nasional, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 1994, hal. 1-2

Page 28: pe.122

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bangsa Indonesia

memproklamirkan kemerdekaannya. Sehari setelah itu maka pada, tanggal

18 Agustus 1945 ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

1945). Kemerdekaan tersebut berarti dalam segala bidang kehidupan

negara, falsafah yang menjadi dasar tujuan yang hendak dicapai, termasuk

Juga dasar dan tujuan politik agraria sudah berbeda. Artinya dasar dari

tujuan negara dan juga dasar dan tujuan politik agraria Indonesia tidak

sama dengan dasar tujuan politik agraria Pemerintah Belanda, tetapi

sudah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Konkritnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum, atau

pencabutan hak (onteigenings) pada masa setelah kemerdekaan

pengaturannya tidak dijumpai dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Walaupun demikian dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang

Dasar 1945 mengatakan bahwa : “segala badan negara dan peraturan yang

ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut

undang-undang ini.” Atas dasar Pasal II Aturan peralihan Undang-Undang

Dasar 1945 tersebut maka semua peraturan perundang-undangan termasuk

juga peraturan perundang-undangan agraria peninggalan Pemerintah

Belanda masih tetap berlaku di wilayah negara Republik Indonesia,

sebelum ada peraturan baru yang menggantinya. Karena itu maka

staatsblad 1920 nomor 574 tentang onteigenings ordonnantie atau

peraturan pencabutan hak atas tanah dengan peraturan pelaksanaannya

yaitu Bijblad nomor 11372 yo nomor 12746 mengenai panitia pembelian

Page 29: pe.122

tanah untuk keperluan dinas dan pemberian ganti kerugian atas tanah yang

diperlukan masih tetap berlaku di Indonesia.

Jika ditinjau lebih lanjut tentang pengaturan pencabutan hak atas

tanah dalam empat Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di

Republik Indonesia masing-masing :

1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) berlaku 18-8-1945 s/d 27-

12-1949 (kurun waktu I);

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) berlaku 27

Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950;

3. Undang-Undang Dasar Semntara (UUDS 1950) berlaku 17

Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959;

4. Undang-Undang Dasar 1945 (berdasarkan Dekrit Presiden 5

Juli 1959) berlaku 5 Juli 1959 s/d sekarang (kurun waktu II);

maka pengaturan mengenai pencabutan hak atas tanah dapat dijumpai

dalam dua Undang-Undang Dasar yang tersebut pada nomor 2 (dua) dan 3

(tiga) di atas yaitu KRIS dan UUDS 1950. Dalam Pasal 26 KRIS atau juga

Pasal 27 UDDS 1950 mengatakan bahwa : "Pencabutan Hak Milik

(onteigening) untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak

dibolehkan kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan-aturan

Undang-Undang." Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal tersebut berarti

bahwa peraturan dasar yang diperlukan untuk dapat dipakai sebagai dasar

hukum bagi syahnya suatu perbuatan pencabutan hak milik/pengadaan

Page 30: pe.122

tanah, yaitu yang dirumuskan dalam suatu Undang-Undang secara yuridis

formil sudah terpenuhi.

Dalam ketentuan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada unsur-

unsur yang perlu diperhatikan yaitu kepentinga umum menghendaki

pencabutan hak, pencabutan harus disertai ganti kerugian, perbuatan

pencabutan hak harus dengan undang-undang.

Hal tersebut menurut pendapat Marmin M. Roosadijo bahwa :

Dari ketentuan pasal tersebut di atas, dapatlah kita temukan 3 (tiga) unsur

pokok13 yaitu :

a. Kepentingan umum membutuhkan diadakannya pencabutan

hak milik itu.

b. Terhadap pencabutan hak milik ini harus disertai dengan

pemberian ganti kerugian kepada yang berhak.

c. Tindakan tersebut harus didasarkan atas ketentuan Undang-undang

yang mengaturnya.

Unsur-unsur pokok tersebut satu diantaranya yang terpenting ialah

pencabutan hak untuk kepentingan umum harus didasarkan undang-

undang yang mengaturnya.

B. Setelah Keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria

Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok graria yang disebut Undang-undang Pokok Agraria

13 Marmin M. Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1979, hal. 10

Page 31: pe.122

atau disingkat UUPA, maka masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum

mulai mendapat perhatian dan pengaturan, sesuai dengan hukum agraria nasional.

Berdasarkan UUPA itu maka Agrarische Wet (Staatsblad 1870 nomor 55) dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku lagi di wilayah RI. Kecuali Staatsblad 1920 nomor

574 dengan Bijblad nomor 11372 jo 12746, tetap berlaku sesuai ketentuan

Peraturan Peralihan UUPA pasal 58 menyebutkan, selama peraturan pelaksanaan

UUPA belum ada maka peraturan-peraturan yang ada masih tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.

Di dalam Pasal 18 UUPA, disebutkan sebagai berikut : untuk kepentingan

umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari

rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang

layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Ketentuan tersebut pada satu pihak memberikan landasan hukum bagi

penguasa untuk dapat nenperoleh tanah yang diperlukannya guna

menyelengarakan kepentingan umum. Pada lain pihak ketentuan itu

memberikan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah terhadap

tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Pencabutan hak untuk kepentingan

umum dimungkinkan, tetapi dengan syarat-syarat tertentu, yaitu selain yang

ditetapkan dalam pasal 18 tersebut di atas juga dalam suatu undang-undang

yang akan mengatur cara-cara melakukan pencabutan hak. Ketentuan pasal 18

UUPA itu pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari azas dalam pasal 6

UUPA yaitu semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Page 32: pe.122

Berdasarkan pada ketentuan pasal 18 itu maka pencabutan tanah untuk

kepentingan umum mulai diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan

baik berupa undang-undang, maupun berupa Peraturan Pemerintah (PP),

Keputusan Presiden (Keppres), dan Peraturan Menteri.

Untuk itu maka pengaturannya dapat ditinjau dari berbagai Peraturan

Perundang-undangan tersebut sebagai berikut :

1. Menurut undang-undang nomor 20 tahun 1961

a. Pengertian Pencabutan hak atas tanah.

Undang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan

hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya adalah

sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUPA.

Di dalam Pasal 1 Undang-undang nomor 20 tahun 1961 jo

Pasal 18 UUPA disebutkan bahwa : Untuk kepentingan umum,

termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan

bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan penbangunan,

maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar

Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang

bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda

yang ada di atasnya.

Berdasarkan rumusan dalam Pasal 1 tersebut di atas maka

pencabutan hak tersebut dilakukan untuk menyelenggarakan

kepentingan umum. Undang-undang nonor 20 tahun 1991 tidak

Page 33: pe.122

memberikan pengertian mengenai pencabutan hak atas tanah

secara baku. Namun hal itu oleh Boedi Harsono dijelaskan bahwa :

“Pencabutan hak nenurut UUPA adalah pengambilan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh negara secara paksa yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran iu lalai dalam memenuhi kewajiban hukum.”14

Pencabutan hak itu dilakukan karena keterbatasan

persediaan tanah untuk pembangunan, maka untuk

memperolehnya perlu mengambil alih tanah hak rakyat dengan

memberi ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah itu.

b. Dasar Hukum Pencabutan Hak Atas Tanah.

Sejak diundangkan undang-undang nomor 20 tahun 1961

maka statsblad 1920 nomor 574 tentang Onteigenings Ordonnantie

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi kecuali Bijblad nomor

11372 jo nomor 12746 mengenai Panitia Pembelian Tanah untuk

keperluan dinas masih tetap berlaku.

Peraturan-peraturan mengenai pencabutan hak atas tanah

adalah :

1) UUPA khususnya pasal 18 berbunyi, untuk kepentingan

umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta

kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat

14 Boedi Harsono, Hukum Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Jilid II, Djambatan Jakarta, 1971, hal. 221.

Page 34: pe.122

dicabut, dengan memberikan ganti kerugian yang layak dan

menurut cara yang diatur dengan undang-undang.

2) Undang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang

pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang

ada di atasnya.

3) Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1973 tentang acara

penetapan ganti kerugian oleh Pengadilan Tinggi sehubungan

dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang

ada di atasnya.

4) Instruksi Presiden nomor 9 tahun 1973 tentang pedoman-

pedoman pelaksanaan pencabutan hak atas tanah dan

benda-benda yang ada di atasnya.

Untuk melaksanakan undang-undang nomor 20 tahun 1961

maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor

39 tahun 1973, guna menjamin hak para pemegang hak atas tanah

yang dicabut agar dapat mengajukan banding kepada Pengadilan

Tinggi setempat jika ganti rugi yang diberikan itu dirasa kurang

layak.

Selain itu Instruksi Presiden nomor 9 tahun 1973 mengenai

pedoman-pedoman pelaksanaan pencabutan hak atas tanah untuk

pembangunan kepentingan umum.

Berdasarkan rumusan tersebut dalan pasal 1 Undang-

undang nomor 20 tahun 1961 jo pasal 18 UUPA maka pencabutan

Page 35: pe.122

hak atas tanah hanya dapat dilaksanakan kalau pembangunan

kepentingan umum itu dalan keadaan yang sangat memaksa dan

merupakan jalan terakhir. Apabila dalam keadaan biasa maka

undang-undang nomor 20 tahun 1961 tidak dapat diterapkan, tetapi

ditempuh jalan yang lain. Dalam Pasal 10 undang-undang nomor

20 tahun 1961 menyebutkan bahwa jika dapat dicapai persetujuan

jual beli atau tukar menukar, maka penyelesaian itulah yang

ditempuh, walaupun sudah ada surat keputusan pencabutan hak.

Berdasarkan Pasal 10 undang-undang nomor 20 tahun 1981

tersebut pemerintah mengeluarkan 3 (tiga) Permendagri masing-

masing :

1) Permendagri nomor 15 tahun 1975 tentang ketentuan-

ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.

2) Permendagri nomor 2 tahun 1976 tentang penggunaan

acara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah

bagi pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.

3) Permendagri nomor 2 tahun 1985 tentang pengadaan

tanah untuk keperluan proyek pembangunan di wilayah

Kecamatan.

Berdasarkan 3 (tiga) Permendagri tersebut pemenuhan

kebutuhan tanah untuk pembangunan kepentingan umum dan

swasta dapat dilaksanakan dengan cara pembebasan hak atas

tanah.

Page 36: pe.122

Dalan perkembangan selanjutnya 3 (tiga) Permendagri

tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

pembangunan maka pemerintah telah mengeluarkan Keppres

nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum.

Berlakunya Keppres nomor 55 tahun 1993 tersebut maka 3

(tiga) Permendagri tersebut di atas dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku lagi.

c. Tata Cara Pencabutan Hak Atas Tanah.

Di dalam undang-undang nomor 20 tahun 1961 disebutkan

ada dua cara pencabutan hak atas tanah, yaitu cara biasa dan cara

dalam keadaan yang mendesak (darurat).

Selanjutnya Boedi Harsono menjelaskan bahwa : "Undang-

undang nonor 20 tahun 1961 memuat dua macam acara

pencabutan hak yaitu acara biasa dan acara untuk keadaan yang

sangat mendesak, yang memerlukan penguasaan tanah dan/atau

benda yang bersangkutan dengan segera.15

Pencabutan hak atas tanah akan dilakukan secara sepihak

oleh pihak penguasa (pemerintah), untuk segera menguasai tanah

guna terselenggaranya kepentingan umum dengan cara-cara

tersebut.

1) Cara Biasa.

15 Boedi Harsono, Ibid, hal. 222

Page 37: pe.122

Dalam acara biasa ini pihak yang berkepentingan

mengajukan permohonan dengan perantaraan Menteri Agraria,

melalui Kepala Inspeksi Agraria (sekarang : Kepala Kantor

Wilayah BPN) setempat.

Permohonan tersebut harus dilampirkan hasil taksiran ganti

kerugian dari panitia penaksir serta pertimbangan dari Bupati

Kepala daerah setempat mengenai segala akibat pencabutan hak

atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya yang akan

dialami oleh pemilik hak atas tanah yang dicabut.

Kemudian permohonan tersebut diteruskan oleh Kepala

Inspeksi Agraria (Kepala Kantor Wilayah BPN) kepada Menteri

Agraria untuk selanjutnya Menteri Agraria mengajukannya

kepada Presiden untuk mendapat keputusan pencabutan hak atas

tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Pihak yang

membutuhkan tanah baru dapat menguasai tanah tersebut setelah

ada Keputusan Presiden tentang pencabutan hak atas tanah dan

benda-benda yang ada di atasnya dan sudah dilakukan

pembayaran ganti kerugiannya. Setelah tanah dikuasai

berdasarkan Keputusan Presiden dimaksud oleh pemohon maka

tanah itu segera menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh

negara, untuk segera diberikan kepada yang berkepentingan

dengan suatu status hak yang sesuai. Apabila tanah dan benda-

benda yang ada di atasnya yang haknya telah dicabut itu tidak

Page 38: pe.122

dimanfaatkan sesuai dengan rencana peruntukannya maka tanah

dan benda-benda yang ada di atasnya dikembalikan kepada

pemiliknya semula sebagai prioritas utama.

2) Cara Darurat.

Dalam keadaan yang mendesak seperti terjadi wabah

penyakit, bencana alam, maka permohonan pencabutan tanah

dilakukan melalui acara khusus yang lebih cepat. Agar segera

dapat menguasai tanah dan benda-benda yang ada di atasnya

untuk pembangunan kepentingan umum maka seterimanya

permohonan pencabutan hak atas tanah dari pihak yang

memerlukan tanah, Kepala Inspeksi Agraria (Kepala Kantor

Wilayah BPN) mengajukan permohonan pencabutan hak atas

tanah kepada Menteri Agraria tanpa dilampiri dengan taksiran

ganti kerugian dan pertimbangan dari Kepala Daerah setempat.

Menteri Agraria kemudian dapat langsung memberikan

persetujuan atas permohonan/usulan tersebut untuk segera

menguasai tanah dan benda-benda yang ada di atasnya, walaupun

belum ada Keputusan Presiden mengenai pencabutan hak atas

tanah dan benda-benda yang ada di atasnya dan ganti kerugiannya

belun dibayar. Maksudnya agar pihak yang memerlukan tanah

dapat menguasai tanah dengan segera dan dapat melaksanakan

Page 39: pe.122

kegiatan pembangunan fasilitas kepentingan umum yang sangat

mendesak dan tidak dapat dipindahkan ke lokasi yang lain.

d. Kepentingan Umum.

Di dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 tidak

menyebutkan secara jelas dan terperinci mengenai apa yang

dimaksudkan dengan kepentingan umum itu. Maksudnya Undang-

Undang tersebut tidak memberikan suatu definisi atau pengertian

kepentingan umum itu secara baku, tetapi hanya nengartikan

kepentingan umum itu secara luas.

Makna kepentingan umum yang dimaksud dalam

Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 ialah:

1. Kepentingan bangsa dan negara,

2. Kepentingan bersama dari rakyat, dan

3. Kepentingan pembangunan (Pasal 1).

Kepentingan umum yang kegiatannya selain dilakukan

oleh pemerintah, juga dilakukan oleh swasta, asal saja usaha itu

benar-benar untuk menunjang kepentingan umum.

Dalam melaksanakan undang-undang pencabutan hak atas

tanah tersebut oleh pemerintah dikeluarkan instruksi presiden

(Inpres) nomor 9 Tahun 1973 tentang Pedoman-pedoman

Pelaksanaan Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda

yang ada di Atasnya. Dalam Inpres tersebut juga mengartikan

Page 40: pe.122

kepentingan umum itu secara kombinasi antara pengertian

kepentingan umum secara luas dan sempit, dan ditambah dengan

suatu daftar kegiatan yang berisi 13 jenis bidang kegiatan yang

tergolong kepentingan umum. Kombinasi pengertian kepentingan

umum dimaksud sebagai yang disebutkan di dalam Pasal 1 dan 2

lampiran Inpres itu ialah pengertian kepentingan umum dalam arti

luas dan dalam arti sempit.

Inpres nomor 9 Tahun 1973 menyebutkan bahwa : Suatu

kegiatan pembangunan yang bersifat kepentingan umum apabila

kegiatan itu menyangkut:

a. Kepentingan bangsa dan negara,

b. Kepentingan masyarakat luas,

c. Kepentingan bersama atau rakyat banyak,

d. Kepentingan pembangunan (Pasal 1 ayat (1).

Yang tersebut di atas itu yang disebut kepentingan

umum dalam arti luas.

Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa

bentuk-bentuk kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat.

kepentingan umum sebagai tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) di atas

meliputi 13 bidang kegiatan yaitu bidang :

a. Pertanahan;

b. Pekerjaan umum;

c. Perlengkapan umum;

Page 41: pe.122

d. Jasa umum;

e. Keagamaan;

f. llmu pengetahuan dan seni budaya;

g. Kesehatan;

h. Olah raga;

i. Kesehatan umum terhadap bencana alam;

j. Kesejahteraan Sosial;

k. Makam/Kuburan;

l. Pariwisata dan rekreasi;

m. Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi

kesejahteraan umum.

Hal ini pun masih memberikan peluang untuk dapat

menginterpretasikan kepentingan umum itu secara luas lagi.

Karena tidak ada pembatasannya yang tegas.

Selanjutnya Maria S.W. Soemardjono mengatakan bahwa :

“... Dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 1961 digunakan pendekatan yang luas tentang pengertian kepentingan umum dan dalam Inpres nomor 9 tahun 1973 digunakan kombinasi antara pendekatan luas dan sempit dengan menyebut daftar kegiatan yang masih membuka peluang untuk menafsirkan secara luas”16

Jadi Undang-Undang nomor 20 tahun 1961 dan Inpres

nomor 9 Tahun 1973 itu tidak memberikan suatu batasan tentang

pengertian kepentingan umum itu dengan tegas dan jelas, sehingga

16 Maria S.W. Sumardjono, injauan Yuridis Keppres, Op. Cit., hal. 3

Page 42: pe.122

masih membuka peluang bagi orang untuk menafsirkan secara lain

dari yang sesungguhnya. Maksudnya kepentingan umum itu dapat

saja disalah artikan oleh pihak-pihak tertentu untuk berdalih dalam

pengambilan tanah hak masyarakat, kemudian digunakan untuk

kepentingan yang tidak tergolong dalam kepentingan umum yang

sebenarnya.

Pengambilan tanah hak masyarakat dengan dalih

kepentingan umum oleh pihak tertentu ini, pada akhirnya kegiatan

kepentingan umum itu dapat dilakukan dan dimiliki oleh bukan

pemerintah dan bukan untuk tidak mencari keuntungan. Yang

demikian ini manfaat dari kepentingan umum dimaksud tidak

dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, tetapi hanya

mencari keuntungannya sendiri.

Dalam memberikan interpretasi yang luas seperti itu dapat

mengaburkan makna kepentingan umum yang sesungguhnya.

e. Ganti Kerugian.

Mengenai ganti kerugian ini oleh Undang-undang Pokok

Agraria melalui Pasal 18 telah memberikan landasan hukumnya.

Di dalam Pasal 18 UUPA itu terkandung pokok pikiran

bahwa untuk kepentingan umum maka hak-hak atas tanah dapat

dicabut asal harus dengan memberikan ganti kerugian yang layak

dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Page 43: pe.122

Berdasarkan isi pokok Pasal 18 UUPA itu terlihat adanya

dua syarat dalam melakukan pencabutan hak atas tanah untuk

kepentingan umum yaitu :

a. Pemberian ganti kerugian kepada bekas pemilik hak

atas tanah itu harus layak/sepadan.

b. Harus dengan cara yang diatur dengan undang-undang.

Untuk memenuhi syarat-syarat itu maka pemerintah telah

mengeluarkan undang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang

pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di

atasnya dan Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 1973 jo Inpres

nomor 9 tahun 1973 sebagai Peraturan Pelaksanaannya.

Di dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 1961 tersebut

tidak mengatur pengertian ganti kerugian secara baku, kecuali

dalam penjelasannya menjelaskan bahwa ganti kerugian yang

layak itu didasarkan pada nilai nyata atau sebenarnya dari tanah

atau benda yang bersangkutan, dan harga yang didasarkan pada

nilai nyata atau sebenarnya itu tidak mesti sama dengan harga

umum, karena harga umum dapat merupakan harga "catut", tetapi

sebaliknya harga tersebut tidak pula berarti harga yang murah.

Ganti kerugian ditetapkan oleh pemerintah atas usul panitia

penaksir yang terdiri dari pejabat ahli yang bidang pekerjaannya

berkaitan dengan masalah tersebut.

Page 44: pe.122

Pemberian jumlah/besarnya ganti kerugian merupakan

suatu substansi dari musyawarah yang tidak dapat dihindari

(mutlak perlu ada). Maka pembayarannya dilakukan secara tunai

dan langsung kepada pihak yang berhak menerimanya. Karena hak

dari pihak yang empunya tanah dan benda yang ada di atasnya

sudah dicabut, dan ini berarti mereka telah kehilangan baik mata

pencaharian maupun sumber penghasilan (kehilangan sumber

hidup).

Karena itu sebagai wujud penghormatan dan pengakuan

terhadap hak milik pihak yang empunya tanah dan benda yang ada

di atasnya yang telah dicabut adalah pemberian ganti kerugian

kepada yang berhak menerimanya. Hal ini lebih lanjut Maria S.W.

Sumardjono mengatakan bahwa :

“Penghargaan terhadap hak atas tanah yang diambil untuk kepentingan pembangunan itu antara lain diwujudkan dalam pemberian ganti kerugian. Diakui bahwa dalam kenyataannya, salah satu hal yang paling rumit dalam setiap proses pengambilan hak atas tanah adalah masalah penentuan besarnya ganti kerugian”17

Pemberian ganti kerugian yang layak kepada yang

empunya hak atas tanah yang telah dicabat berarti yang

bersangkutan dapat mempertahankan atau memajukan kehidupan

ekonominya. Dalam keputusan presiden itu diberi hak untuk

mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi setempat, yang

wilayah hukumnya meliputi tempat letak tanah yang hak-hak

17 Maria S.W. Sumardjono, Antara Kepentingan, Op.Cit., hal. 3

Page 45: pe.122

atasnya dicabut, agar Pengadilan Tinggi itulah yang menetapkan

jumlah ganti kerugiannya dan sekaligus memutuskan soal itu

dalam tingkat pertama dan terakhir. Acara penetapan ganti

kerugian oleh Pengadilan Tinggi itu diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintah nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara

Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan

Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang

Ada di Atasnya. Di dalam Peraturan Pemerintah tersebut

ditentukan bahwa pihak yang empunya hak atas tanah dan benda di

atasnya yang dicabut tidak dapat menerima jumlah ganti kerugian

yang ditetapkan dalam keputusan presiden karena dianggap kurang

layak maka dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi,

yang wilayah hukumnya meliputi tempat letak tanah dan benda-

benda yang haknya dicabut. Walaupun demikian permintaan

mengajukan banding ini tidak mempengaruhi pengambilan dan

penguasaan tanah dan benda-benda yang ada di atasnya yang

haknya dicabut oleh pihak yang memerlukan tanah. Kecuali

jumlah dan besarnya ganti kerugian itu yang akan dipertimbangkan

melalui pertimbangan hukum oleh Pengadilan Tinggi setempat.

Sedangkan proses pencabutan hak dan penguasaan atas tanah tetap

berlangsung. Undang-undang nomor 20 Tahun 1961 menentukan

bahwa sementara mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi

Page 46: pe.122

setempat karena sengketa mengenai pencabutan hak atas tanah itu

tetapi tidak menunda jalannya pencabutan hak dan penguasaannya.

2. Menurut Peraturan Menteri Dalan Negeri Nomor 15 Tahun

1975.

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 15

Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara

Pembebasan Tanah, merupakan salah satu peraturan pelaksanaan

UUPA 30 undang-undang nomor 20 tahun 1961, dalam rangka

upaya menyediakan tanah untuk pembangunan fasilitas

kepentingan umum.

Sejak berlakunya Permendagri tersebut maka Bijblad

nomor 11372 jo 12746 tentang panitia pembelian tanah untuk

keperluan dinas, yang masih berlaku waktu itu dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku lagi.

a. Pengertian Pembebasan Tanah.

Di dalam Pasal 1 ayat (1) Permendagri nomor 15

Tahun 1975 dirumuskan mengenai pengertian pembebasan

tanah. Disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan

pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang

semula terdapat di antara pemegang hak/penguasa atas

tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi.

Page 47: pe.122

Dalam rumusan pengertian tersebut di atas terdapat

hubungan hukum antara dua pihak yaitu :

1. Pihak penguasa (yang memerlukan tanah), yang

melakukan pengambilan tanah seseorang maka

disebut pembebasan tanah. Dalam hal ini

pemerintah membebaskan tanah yang bersangkutan

dari hak dan kekuasaan pemegangnya dengan

memberikan ganti kerugian, agar pengambil

alihan tanah hak itu benar-benar bebas dari hak

dan kekuasaan pemegangnya.

2. Pihak pemegang (yang memiliki hak atas tanah),

yaitu pemegang hak atas tanah secara sukarela

melepaskan haknya setelah ia menerima ganti rugi

yang layak atas tanahnya tersebut yang telah

disepakati bersama dalam musyawarah.

b. Dasar Hukum Pembebasan Tanah.

1. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

2. Undang-undang nomor 20 tahun 1991 tentang

pencabutan hak atas tanah dan benda-benda yang ada

di atasnya.

Page 48: pe.122

Di dalam Permendagri tersebut digunakan istilah

pembebasan tanah. Padahal istilah tersebut tidak terdapat

dalam UUPA dan Undang-undang nomor 20 tahun 1961

sebagai Peraturan dasar untuk pembebasan tanah.

Tetapi kalau ditinjau lebih lanjut dalam UUPA dan

undang-undang nomor 20 tahun 1961 maka akan didapati

Pasal-pasal yang dapat diinterpretasikan untuk dipakai

sebagai dasar pelaksanaan pembebasan tanah. Pasal-pasal

dimaksud yaitu Pasal 27, 34, 40 UUPA mengenai hapusnya

hak-hak atas tanah, dan Pasal 10 Undang-undang nomor 20

Tahun 1961 mengenai persetujuan jual beli atau tukar

menukar.

C. Tata Cara Pembebasan Tanah

Pembebasan tanah menurut ketentuan Permendagri

nomor 15 tahun 1975 dilaksanakan melalui Panitia

pembebasan Tanah.

Panitia pembebasan tanah adalah suatu panitia yang

dibentuk Gubernur untuk tiap Kabupaten/Kotamadya

Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Susunan

keanggotaan panitia dimaksud terdiri atas :

Page 49: pe.122

1. Kepala Sub Direktorat Agraria

Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua rnerangkap

anggota.

2. Pejabat Kantor Pemerintahan Daerah sebagai

anggota.

3. Kepala Kantor Ireda/Ipeda sebagai anggota.

4. Pejabat yang ditunjuk oleh Instansi yang

memerlukan tanah sebagai anggota.

5. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II

atau Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II

sebagai anggota.

6. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai

anggota.

7. Kepala Desa yang bersangkutan sebagai anggota.

8. Seorang pejabat Kantor Sub. Direktorat Agraria

sebagai Sekretaris bukan anggota.

Panitia tersebut mempunyai tugas sebagai berikut :

1. Mengadakan penelitian setenpat tentang keadaan tanah,

tanam tumbuh dan bangunan.

2. Mengadakan perundingan dengan pemegang hak atas

tanah dan bangunan/tanaman.

3. Menaksir besarnya ganti rugi.

Page 50: pe.122

4. Membuat berita acara pembebasan disertai

fatwa/pertimbangannya.

5. Menyaksikan pelaksanaannya pembayaran ganti

rugi.

Panitia tersebut bekerja atas permintaan dari

instansi yang memerlukan tanah. Instansi itu berkewajiban :

1. Mengajukan permohonan pembebasan hak atas

tanah kepada Gubernur Kepala Daerah disertai

dengan tujuan penggunaan tanahnya.

2. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan

keterangan tentang :

a). Status tanahnya.

b). Gambar situasinya

c). Maksud dan tujuan pembebasan hak atas

tanah dan penggunaan selanjutnya.

d). Kesediaan untuk memberikan ganti kerugian

kepada yang berhak atas tanah.

d. Azas Musyawarah.

Panitia Pembebasan Tanah yang keanggotaannya

terdiri dari 7 orang anggota dan ditambah seorang

sekretaris bukan anggota mempunyai tugas mengadakan

musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan

Page 51: pe.122

bangunan atau tanaman di atasnya, Hal yang

dimusyawarahkan adalah jumlah (besarnya) ganti kerugian

yang merupakan substansi dari musyawarah.

Dalam pelaksanaan musyawarah dimaksud

diupayakan agar mencapai kata sepakat diantara para

anggota panitia dengan memperhatikan kehendak dari para

pemegang hak atas tanah.

Ketentuan tersebut tampak bahwa musyawarah itu

dilakukan diantara para anggota panitia pembebasan tanah

saja, dan lebih cenderung/berpihak kepada instansi

pemerintah. Sedangkan pihak pemilik hak atas tanah

kurang terwakili. Hasil musyawarah Panitia Pembebasan

Tanah itu dituangkan dalam bentuk Keputusan Panitia dan

disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah dan

para pemilik hak atas tanah untuk diketahui dan

dipertimbangkan bisa diterima untuk dilaksanakan atau

ditolak.

e. Ganti Kerugian

Jumlah / besarnya ganti kerugian ditetapkan dalam

musyawarah dan dengan kesepakatan antara masing-

masing pihak.

Ganti kerugian dapat berupa :

Page 52: pe.122

a. Tanah-tanah yang telah dilengkapi sesuatu hak

berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1960

b. Tanah-tanah dari masyarakat hukum adat.

Selain tanah-tanah tersebut diatas termasuk pula tanaman-

tanaman dan bangunan-bangunan yang ada diatasnya.

3. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun

1985.

Upaya menyediakan tanah yang berskala kecil untuk

pembangunan kepentingan umum di wilayah kecamatan

menurut Permendagri ini disebut pengadaan tanah.

a. Pengertian Pengadaan Tanah.

Di dalam pasal 1c disebutkan bahwa yang

dimaksudkan dengan pengadaan tanah adalah setiap

kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara

memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah.

Ini berarti upaya memperoleh tanah hak masyarakat

untuk pembangunan kepentingan umum karena tanah

negara yang tersedia relatif tidak ada/terbatas.

b. Tata Cara Pengadaan Tanah.

Pengadaan tanah untuk proyek-proyek

pembangunan dilakukan oleh pimpinan proyek instansi

yang bersangkutan tanpa bantuan panitia dengan cara :

Page 53: pe.122

1. Memberitahukan kepada camat mengenai letak dan

luas tanah yang diperlukan.

2. Kalau dipandang perlu camat meminta bantuan dari

Dinas/Instansi Teknis yang bersangkutan sesuai

jenjang hierarki.

c. Syarat-syarat Pengadaan Tanah.

1. Luas tanah tidak lebih dari 5 (lima) ha.

2. Lokasi, letak dan luas tanah dimaksud harus

disesuaikan dengan rencana penggunaan tanah

dan pembangunan pemerintah daerah.

3. Harga tanah harus memadai, artinya paling

menguntungkan negara.

Hal tersebut pada point tiga juga dapat menjadi kendala

dalam pengadaan tanah.

d. Musyawarah.

1. Proses musyawarah ini dilakukan secara

langsung antara pemimpin proyek dengan yang

berhak atas tanah.

2. Hal yang dimusyawarahkan adalah mengenai

bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah.

3. Besarnya ganti kerugian ditetapkan berdasarkan

harga dasar sesuai Permendagri nomor 1 tahun

1975.

Page 54: pe.122

4. Kalau telah tercapai kesepakatan mengenai ganti

rugi para pihak wajib laporkan kepada camat

setempat.

5. Kalau tidak ada kesepakatan maka pemimpin

proyek segera mencari lokasi lain sebagai

pengganti.

6. Dalam mencari lokasi lain sebagai pengganti maka

dalam waktu 3 (tiga) hari pemimpin proyek wajib

lapor kepada camat setempat.

e. Ganti Kerugian.

Setelah tercapai kata sepakat antara para pihak

mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian maka

pembayarannya dapat dilakukan secara langsung oleh

pemimpin proyek kepada yang berhak atas tanah dengan

disaksikan oleh camat.

Bersamaan dengan itu dilakukan pula

penyerahan/pelepasan hak atas tanah dengan disaksikan

oleh camat setempat.

4. Menurut Keppres Nomor 55 Tahun 1993

Pada tanggal 17 Juni 1993 telah dikeluarkan Keppres

nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Page 55: pe.122

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Ini

merupakan suatu perubahan dalam bidang Pertanahan Nasional.

Sejak saat itu semua kegiatan pengadaan tanah untuk

kepentingan umum dilakukan berdasarkan Keppres tersebut.

Untuk melaksanakan Keppres itu telah dikeluarkan

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun

1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres Nomor 55 Tahun

1993.

Berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tersebut maka

tiga Permendagri yang sebelumnya dipakai sebagai dasar hukum

pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan swasta, masing-

masing :

a. Permendagri nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-

ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

b. Permendagri nomor 2 Tahun 1976 tentang Penggunaan Acara

Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi

Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta.

c. Permendagri nomor 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara

Pengadaan Tanah Untuk Keperluan Proyek Pembangunan di

Wilayah Kecamatan dinyatakan tidak berlaku lagi.

a. Pengertian Pengadaan Tanah

Page 56: pe.122

Di dalam Pasal 1 angka 1 Keppres Nomor 55 Tahun 1993

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah

setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan

ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.

Berdasarkan rumusan tersebut di atas berarti bahwa adanya

keterbatasan persediaan tanah untuk pembangunan kepentingan

umum, maka perlu mengadakan pengambil alihan tanah hak

masyarakat; dengan memberikan ganti kerugian kepada yang

berhak atas tanah itu. Maksudnya istilah pengadaan tanah muncul

karena pengambilalihan tanah yang sudah dilekati sesuatu hak

seseorang atau badan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan

tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

Dalam konsideran bagian menimbang huruf b dan Pasal 3

Keppres nomor 55 tahun 1993 disebutkan bahwa pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan

terhadap hak atas tanah.

Ini berarti bahwa kegiatan pengadaan tanah harus

memperhatikan asas fungsi sosial dari hak atas tanah itu, sehingga

pengambilalihan tanah hak masyarakat dan diperuntukkan bagi

kepentingan umum, tetapi selain itu kepentingan pihak yang

empunya hubungan hukum dengan tanah tersebut juga harus

dihormati.

Page 57: pe.122

Wujud dari prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah

adalah pemberian ganti kerugian yang layak kepada pemilik hak

atas tanah.

b. Tata Cara Pengadaan Tanah.

Tata cara pengadaan tanah untuk pembangunan

kepentingan umum dilakukan sebagai berikut :

1. Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah

mengajukan permohonan penetapan lokasi

pembangunan kepentingan umum dimaksud kepada

Bupati/Walikotamadya setempat.

2. Apabila tanah/lokasi yang diperlukan terletak di 2 (dua)

wilayah kabupaten/kotamadya atau lebih maka

permohonan diajukan kepada Gubernur melalui Kepala

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi.

3. Permohonan harus dilengkapi dengan keterangan

mengenai :

a. lokasi tanah yang diperlukan;

b. luas dan gambar kasar tanah yang

diperlukan;

c. penggunaan tanah pada saat permohonan

diajukan;

Page 58: pe.122

d. uraian rencana proyek yang akan dibangun,

disertai keterangan mengenai aspek

pembiayaan, lamanya pelaksanaan pembangunan.

4. Setelah menerima permohonan tersebut

Bupati/Walikotamadya memerintahkan kepada Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya untuk

mengadakan koordinasi dengan Kepala Dinas Instansi yang

terkait untuk mengadakan penelitian mengenai kesesuaian

peruntukan tanah yang dimohon dengan rencana Tata

Ruang Wilayah/kota yang telah ada. Demikian juga letak

tanah/lokasi yang termasuk kewenangan Gubernur.

Gubernur memerintahkan Kepala Kantor Wilayah BPN

Propinsi untuk mengadakan koordinasi dengan Kepala

Dinas Instansi yang terkait untuk melakukan penelitian

mengenai kesesuaian peruntukan tanah yang dimohon

dengan Rencana Tata Ruang Wilayah/Kota yang telah ada.

5. Apabila rencana penggunaan tanahnya sudah sesuai dengan

Rencana Tata Ruang Wilayahnya maka

Bupati/Walikotamadya atau Gubernur memberikan

persetujuan penetapan lokasi pembangunan untuk

kepentingan umum yang dipersiapkan oleh Kepala Kantor

Wilayah BPN Propinsi atau Kepala Kantor Pertanahan

Page 59: pe.122

Kabupaten/Kotamadya setempat, untuk melaksanakan

pengadaan tanah.

c. Kepentingan Umun.

1. Pengertian.

Sebelum berlakunya Keppres nomor 55 Tahun 1993

belum ada suatu definisi kepentingan umum yang diatur

secara baku.

Dalam UUPA dan Undang-undang nomor 20 Tahun

1961 disebutkan tentang pengertian kepentingan umum

secara luas. Demikian pula dalam Inpres nomor 9 Tahun

1973 memberikan pengertian kepentingan umum itu secara

kombinasi antara pengertian yang luas dan sempit dengan

menyebutkan lagi satu daftar bidang-bidang kegiatan yang

masih membuka peluang untuk dapat diintepretasikan

secara luas lagi. Oleh karena dalam Peraturan-Peraturan

tersebut di atas tidak disebutkan secara tegas dan jelas

definisi dan kriteria kepentingan umum seperti yang dianut

oleh Keppres nomor 55 Tahun 1993.

Keppres nomor 55 Tahun 1993 memberikan definisi

secara ketat, tegas dan jelas tentang pengertian kepentingan

umum. Pasal 1 angka 3 (tiga) Keppres itu menyebutkan

Page 60: pe.122

bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah

kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

2. Bidang-Bidang.

Dalam Pasal 5 angka 1 Keppres nomor 55 Tahun

1993 disebutkan pula bahwa pembangunan fasilitas

kepentingan umum meliputi bidang-bidang sebagai

berikut :

1. Jalan umum, saluran pembuangan air;

2. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan

lainnya termasuk saluran irigasi;

3. Rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan

masyarakat;

4. Pelabuhan, atau Bandar udara, atau

Terminal.

5. Peribadatan;

6. Pendidikan atau sekolahan;

7. Pasar umum atau pasar Inpres;

8. Fasilitas pemakaman umum;

9. Fasilitas keselamatan umum seperti antara

lain tanggul penanggulangan bahaya banjir,

lahar, dan lain-lain bencana;

10. Pos dan Telekomunikasi;

Page 61: pe.122

11. Sarana olah raga;

12. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta

sarana pendukungnya;

13. Kantor Pemerintah;

14. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik

Indonesia.

Tidak termasuk dalam daftar di atas bukan tergolong

kepentingan umum. Tetapi bidang kepentingan umum tidak

hanya terbatas pada yang tersebut dalam daftar itu.

d. Panitia Pengadaan Tanah (Panitia)

1. Pengertian .

Yang dimaksud dengan Panitia Pengadaan Tanah adalah

panitia yang dibentuk untuk membantu pengadaan tanah

bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum, (Pasal

1 angka 4 Keppres nomor 55 tahun 1993).

Panitia tersebut dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah

Tingkat I di setiap Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat

II.

2. Susunan Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah

Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah

Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II terdiri dari :

Page 62: pe.122

a. Bupati/Walikota Daerah Tingkat II sebagai ketua

merangkap anggota.

b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya

sebagai wakil Ketua merangkap anggota.

c. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

sebagai anggota.

d. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang

bertanggung jawab di bidang bangunan sebagai

anggota.

e. Kepala Instansi Pemerintah Daerah yang

bertanggung jawab di bidang pertanian sebagai

anggota.

f. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah dimana

rencana dan pelaksanaan pembangunan akan

berlangsung sebagai anggota.

g. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi bidang di

mana rencana pelaksanaan pembangunan akan

berlangsung, sebagai anggota.

h. Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang

Pemerintahan atau Kepala Bagian Pemerintahan pada

Kantor Bupati/Walikotamadya, sebagai sekretaris I

bukan anggota.

Page 63: pe.122

i. Kepala Seksi pada Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya, sebagai sekretaris II bukan

anggota.

Apabila pengadaan tanah yang lokasinya terletak di dua

wilayah kabupaten/kotamadya atau lebih dilakukan dengan

bantuan Panitia Tingkat Propinsi yang diketuai atau

dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang

bersangkutan, yang susunan keanggotaannya sejauh

mungkin mewakili Instansi-instansi yang terkait di Tingkat

Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

Susunan Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah di

Tingkat Propinsi adalah sebagai berikut :

a. Gubernur atau Pejabat. yang ditunjuk, sebagai

ketua merangkap anggota.

b. Kepala Kantor wilayah Badan Pertanahan

Propinsi, sebagai wakil ketua merangkap

anggota.

c. Kepala Kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak,

sebagai anggota.

d. Kepala Instansi Pemerintah Daerah Tingkat I yang

bertanggung jawab di bidang bangunan, sebagai

anggota.

Page 64: pe.122

e. Kepala Instansi Pemerintah Daerah Tingkat I yang

bertanggung jawab di bidang Pertanian, sebagai

anggota.

f. Kepala Instansi pemerintah lainnya di Daerah

Tingkat I yang dianggap perlu sebagai anggota.

g. Kepala Biro Tata Pemerintahan, sebagai sekretaris I

bukan anggota.

h. Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah pada Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi

sebagai sekretaris II bukan anggota.

Panitia Pengadaan Tanah (Panitia) baik di tingkat

Kabupaten/Kotamadya maupun ditingkat Propinsi

ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah

setempat.

3. Tugas-Tugas Panitia Pengadaan Tanah

Panitia Pengadaan Tanah bertugas :

a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi atas

tanah, bangunan tanaman dan benda-

benda yang kaitannya dengan tanah yang hak

atas tanahnya akan dilepaskan atau

diserahkan.

Page 65: pe.122

b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum

tanah yang hak atasnya akan dilepaskan dan

dokumen yang mendukungnya.

c. Menaksir dan mengusulkan dan mengusulkan

besarnya ganti kerugian atas tanah yang hak atasnya

akan dilepaskan atau diserahkan.

d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan

kepada pemegang hak atas tanah mengenai

rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut.

e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang

hak atas tanah dan instansi pemerintah yang

memerlukan tanah dalam rangka menetapkan

bentuk dan atau besarnya ganti kerugian.

f. Membuat berita acara pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah.

e. Azas Musyawarah

1. Pengertian.

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan

melalui musyawarah.

Dalam Pasal 1 angka 5 Keppres nomor 55

Tahun 1993 menyatakan bahwa yang dimaksud

Page 66: pe.122

dengan musyawarah adalah proses atau kegiatan

saling mendengar dengan sikap saling menerima

pendapat dan keinginan yang di dasarkan atas

kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah

dan pihak yang memerlukan tanah, untuk

memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan

besarnya ganti kerugian.

Jadi tidak membedakan status para pihak

tetapi semuanya berstatus sama (sederajat). Keppres

nomor 55 Tahun 1993 secara tegas dan jelas

menyebutkan bahwa musyawarah dilakukan secara

langsung antara pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan dan instansi pemerintah yang

memerlukan tanah.

Musyawarah tersebut dilakukan di tempat

yang ditentukan dalam surat undangan dan dipimpin

oleh ketua Panitia (Pasal 10 dan Pasal 11 Keppres

nomor 55 Tahun 1993).

Apabila ketua panitia berhalangan hadir

maka musyawarah dipimpin oleh wakil ketua

panitia (Pasal 14 ayat (2) PMNA/Ka.BPN Nomor 1

Tahun 1994).

Page 67: pe.122

2. Proses Musyawarah.

Setelah mengadakan penyuluhan dan

penetapan batas lokasi tanah yang dimohon, panitia

mengundang instansi pemerintah yang memerlukan

tanah dan pemegang hak atas tanah dan pemilik

bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang

terkait dengan tanah yang bersangkutan untuk

mengadakan musyawarah.

Materi pokok yang dimusyawarahkan adalah

menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian

atas tanah yang telah ditetapkan batas-batasnya itu.

Panitia memberikan penjelasan kepada

kedua belah pihak sebagai bahan musyawarah untuk

mufakat terutama mengenai ganti kerugian.

Dalam menetapkan bentuk dan besarnya

ganti kerugian barus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut :

a. Nilai tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek

Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP) tahun

terakhir untuk tanah itu.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga

tanah yaitu :

1. lokasi tanah;

Page 68: pe.122

2. jenis hak atas tanah;

3. Status penguasaan tanah;

4. peruntukan tanah;

5. kesesuaian penggunaan tanah dengan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);

6. prasarana yang tersedia;

7. fasilitas dan utilitas;

8. lingkungan; dan

9. Lain-lain yang menpengaruhi tanah.

f. Ganti Kerugian Kepada Bekas Pemilik Hak Atas

Tanah.

1. Pengertian.

Dalam Pasal 1 angka 7 Keppres Homor 55

Tahun 1993 dirumuskan bahwa yang dimaksudkan

dengan ganti kerugian adalah penggantian nilai

tanah berikut bangunan tanaman dan/atau benda-

benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.

Dalam rumusan tersebut istilah penggantian

nilai tanah dapat berarti bahwa ganti kerugian

adalah imbalan yang diberikan kepada pemegang

Page 69: pe.122

hak atas tanah dan benda-benda lain yang ada di

atasnya yang telah diserahkan atau dilepaskan.

Dikatakan imbalan, maka prinsipnya

pemberian ganti kerugian itu harus seimbang

dengan nilai tanah yang telah diserahkan atau

dilepaskan kepada instansi yang memerlukan.

Jelasnya jumlah ganti kerugian yang

diterima pemilik hak atas tanah minimal harus

seimbang atau sama dengan tanah itu. Dalam

peraturan perundang-undangan dinyatakan bahwa

salah satu prinsip yang menjadi ukuran

keseimbangan adalah ganti kerugian yang diberikan

itu harus sebagai ganti kerugian atau imbalan yang

layak. Harus tidak menjadikan pemegang hak atas

tanah mengalami kemunduran sosial atau tingkat

ekonominya.

2. Yang Berhak Atas Ganti Kerugian.

Pemberian ganti kerugian merupakan wujud

dari prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.

Ganti kerugian yang diatur dalam Keppres nomor

55 tahun 1993 jo PMNA/Ka.BPN nomor 1 tahun

1994 terdapat kemajuan dari peraturan perundangan

yang mengatur sebelumnya. Dalam Pasal 13

Page 70: pe.122

Keppres nomor 55 tahun 1993 disebutkan bentuk

ganti kerugian dapat berupa :

1. uang;

2. tanah pengganti;

3. pemukiman kembali;

4. gabungan dari 1,2 dan 3 di atas;

5. bentuk lain yang disepakati kedua belah

pihak yang bersangkutan.

Kalau tanah itu tanah yang dikuasai dengan

hak ulayat, diberikan ganti kerugian dalam bentuk

pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang

dapat dimanfaatkan masyarakat setempat.

Ganti kerugian dalam rangka pengadaan

tanah tersebut diberikan untuk :

1. hak atas tanah,

2. bangunan;

3. tanaman;

4. benda-benda lain yang berkaitan dengan

tanah.

Apabila tanah tersebut dikuasai tanpa

sesuatu hak sebagai yang diatur dalam undang-

undang nomor 51/Prp/Tahun 1960 tentang larangan

pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau

Page 71: pe.122

kuasanya maka kepada pemakai tanah itu diberikan

uang santunan.

3. Cara Pembayaran Ganti Kerugian.

Pemberian ganti dilakukan secara langsung

oleh instansi yang memerlukan tanah kepada

pemilik hak atas tanah atau ahli warisnya, dan

Nadzir bagi tanah wakaf. Instansi yang memerlukan

tanah diharuskan membuat daftar nominatif

pemberian ganti kerugian berdasarkan hasil

inventarisasi yang telah dirumuskan panitia dan

telah disetujui kedua belah pihak yang

bersangkutan. Kemudian melakukan pembayaran

dalam bentuk uang secara langsung kepada para

pemegang hak atas tanah yang berhak menerimanya

di lokasi yang ditentukan panitia, dengan disaksikan

oleh minimal 3 (tiga) orang anggota panitia, dan

dibuktikan dengan tanda penerimaan.

Pemberian ganti kerugian selain berupa

uang dituangkan dalam berita acara pemberian ganti

kerugian yang ditandantangani oleh penerima ganti

kerugian yang bersangkutan dan ketua atau wakil

ketua serta minimal 2 (dua) orang anggota panitia.

Page 72: pe.122

Untuk tanah wakaf pemberian ganti

kerugian dilakukan melalui Nadzir yang

bersangkutan dan untuk tanah ulayat dilakukan

dalam bentuk prasarana dan sarana untuk

dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Dalam

pemberian ganti kerugian atas tanah yang dimiliki

oleh beberapa orang, sedangkan satu orang atau

lebih dari rnereka tidak dapat ditemukan maka ganti

kerugian yang menjadi hak mereka tersebut dapat

dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri setempat oleh

instansi yang memerlukan tanah. Bersamaan

pemberian ganti kerugian dibuat surat pernyataan

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang

ditandatangani oleh pemegang hak atas tanah dan

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya

serta disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)

orang anggota panitia.

Pemegang hak atas tanah wajib

menyerahkan sertipikat dan atau surat-surat tanah

yang berkaitan dengan tanah tersebut kepada

panitia. Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya mencatat hapusnya hak atas

Page 73: pe.122

tanah yang telah dilepaskan/diserahkan tersebut

pada buku tanah dan sertipikat.

Apabila tanah yang dilepaskan/diserahkan

itu tanah yang belum bersertipikat maka penyerahan

tersebut harus disaksikan oleh Camat dan Kepala

Desa/Lurah setempat, dan pada asli surat-surat

tanah yang bersangkutan harus dicatat bahwa tanah

tersebut telah diserahkan atau dilepaskan haknya.

Asli surat-surat dan dokumentasi pengadaan tanah

diserahkan kepada instansi yang memerlukan, dan

instansi yang bersangkutan wajib mengajukan

permohonan sesuatu hak atas tanah untuk

memperoleh sertipikat sesuai yang diatur dalam

UUPA atas nama instansi induknya.

g. Dasar Penghitungan Ganti Kerugian.

Mengenai ganti kerugian kepada pemegang

hak atas tanah menurut Keppres Nomor 55. Tahun

1993 adalah ditetapkan dalam musyawarah.

Dalam pasal 16 Keppres nomor 55 Tahun

1993 menyatakan bentuk dan besarnya ganti

kerugian ditetapkan dalam musyawarah.

Untuk dasar penghitungan ganti kerugian

diatur lebih jelas dan tegas dalam Keppres No 55

Page 74: pe.122

Tahun 1993 dan PMNA/Ka. BPN Nomor 1 Tahun

1994.

Pasal 15 Keppres No 55 Tahun 1993

dinyatakan bahwa dasar penghitungan ganti

kerugian ditetapkan atas dasar :

1. Harga tanah yang didasarkan atas nilai

nyata, atau sebenarnya dengan

memperhatikan nilai jual obyek pajak

bumi dan bangunan yang terakhir.

2. Nilai jual bangunan ditaksir oleh

instansi

pemerintah daerah yang bertanggung

jawab di bidang bangunan.

3. Nilai jual tanaman ditaksir oleh instansi

pemerintah daerah yang bertanggung

jawab di bidang pertanian.

Lebih lanjut dalam Pasal 17 PMNA/Ka.BPN

Nomor 1 Tahun 1994 disebutkan taksiran nilai

tanah menurut jenis hak atas tanah dan status

penguasaan tanah sebagai berikut :

1. Hak Milik

a. Yang sudah bersertipikat dinilai

100% (seratus persen).

Page 75: pe.122

b. Yang belum bersertipikat dinilai

90% (sembilan puluh persen).

2. Hak Guna Usaha

a. Yang masih berlaku dan masih

diusahakan dengan baik (kriteria kelas I,

II, III) dinilai 80% (delapan puluh

persen)

b. Yang sudah berakhir tetapi masih

diusahakan dengan baik (kriteria kelas

I, II, III) dinilai 60% (Enam puluh

persen).

c. Yang masih berlaku dan yang sudah

berakhir tetapi tidak diusahakan

dengan baik (kriteria kelas IV, V) tidak

diberi ganti kerugian.

d. Ganti kerugian tanah perkebunan

ditaksir oleh instansi pemerintah daerah

yang bertanggung jawab di bidang

perkebunan, dengan memperhatikan

faktor investasi, kondisi kebun dan

produktivitas tanaman.

3. Hak Guna Bangunan

Page 76: pe.122

a. Yang masih berlaku dinilai 80%

(delapan puluh persen).

b. Yang sudah berakhir dinilai 60% (enam

puluh persen), tetapi hak itu berakhirnya

belum lewat 1 (satu) tahun atau

pemegang hak sementara mengajukan

perpanjangan/pembaharuan hak.

4. Hak Pakai

a. Yang jangka waktunya tidak dibatasi

dinilai 100% (seratus persen).

b. Yang jangka waktunya dibatasi (10

tahun) dinilai 70% (tujuh puluh persen).

c. Yang sudah berakhir dinilai 50% (lima

puluh persen) tetapi bekas pemegang

hak harus sudah mengajukan hak

perpanjangan/pembaharuan hak

selambat-lambatnya 1 (satu) tahun

setelah haknya berakhir.

4. Tanah Wakaf, dinilai 100% (seratus

persen) dengan ketentuan ganti kerugian

diberikan dalam bentuk tanah, bangunan

dan perlengkapan yang diperlukan.

Page 77: pe.122

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN PENGADAAN TANAH BAGI

PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM SEJAK

BERLAKUNYA KEPPRES NOMOR 55 TAHUN 1993 DI KABUPATEN DAERAH

TINGKAT II SLEMAN

A. Gambaran Umum Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman

1. Letak Geografis

Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman merupakan salah satu dari

lima Daerah Tingkat II di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,

yang terletak di bagian utara pada koordinat antara: 7° 34' 51" ___ 7°

47’03” dan 107° 15' 03" ____ 100° 29" 30" Bujur Timur dengan batas-

batas:

Sebelah Utara : dengan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II

Magelang dan Kabupaten Daerah Tingkat II

Boyolali, Jawa Tengah.

Sebelah Selatan : dengan kabupaten Daerah Tingkat II Bantu1 dan

Kotamadya Yogyakarta.

Sebelah Timur : dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Klaten, Jawa

Tengah.

Sebelah Barat : dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang,

Jawa Tengah.

2. Keadaan Wilayah.

Page 78: pe.122

Keadaan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman sangat

bervariasi dengan ketinggian antara. 100 sampai 2500 meter di atas

permukaan laut.

Puncak yang tertinggi di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman

adalah puncak gunung Merapi.

Pada puncak Gunung Merapi itu pula menjadi batas wilayah

Kabupaten Daerah Tingkat II Magelang dan Kabupaten Daerah Tingkat II

Boyolali, Propinsi Jawa Tengah.

Di bagian utara wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman

membentang ke arah selatan adalah merupakan daerah perbukitan Turgo

dan Plawangan. Daerah ini merupakan bagian dari kawasan wisata

Kaliurang.

Daerah ini tergolong cukup sulit untuk dilalui karena banyaknya

lereng yang terjal.

Di wilayah bagian utara ini hanya cocok untuk kegiatan pertanian

lahan kering (tegalan) dan permukiman, karena sebagian besar tanah

merupakan tanah kering dan curah hujan yang bervariasi, yaitu antara

April sampai Oktober musim kemarau dan Oktober sampai April musim

hujan.

Di wilayah bagian selatan adalah merupakan dataran rendah yang

subur dan cocok untuk daerah pertanian. Kabupaten Daerah Tingkat II

Sleman terdapat cukup banyak sungai dan anak sungai yang sebagian

mengalir sepanjang tahun. Sungai-sungai yang mengalir dari utara ke arah

Page 79: pe.122

selatan adalah sungai Krasak, Kuning, Boyong, Gendol dan Bedok,

Sungai yang terpanjang di Kabupaten Daerah Tingkat II. Sleman adalah

Bedok sepanjang 35 km dan yang terpendek adalah Bening sepanjang 7

km, keduanya mengalir sepanjang tahun.

Secara administratif Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman terdiri

atas 3 (tiga) wilayah Pembantu Bupati (TUTI), 17 Kecamatan, 86 Desa,

1212 Dusun, dengan luas wilayah secara keseluruhan adalah 57482 Ha

atau 574,82 km.

Kecamatan yang paling luas wilayahnya adalah Kecamatan

Cangkringan seluas 4799 Ha (8,35%). Sedangkan yang paling kecil

luasnya adalah Kecamatan Berbah seluas 2299 Ha (4,02%).

Kecamatan yang jumlah desanya terbanyak adalah Kecamatan

Tempel membawahi 8 (delapan) desa dan yang paling sedikit adalah

Kecamatan Depok membawahi 3 (tiga) desa. Perinciannya dapat dilihat

pada tabel berikut ini :

Page 80: pe.122

TABEL 1 : PEMBAGIAN WILAYAH ADMINISTRATIF DAN LUASNYA KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SLEMAN

No.Pembantu

BupatiKecamatan

Banyaknya Luas(Ha)

PresentaseDesa Dusun

I Wilayah Barat 1. Moyudan 4 65 2762 4,802. Minggir 5 66 2727 4,743. Sayegan 5 67 2663 4,634. Godean 7 77 2684 4,675. Gamping 5 59 2925 5,09

II Wilayah Tengah 1. Mlati 5 74 2852 4,962. Sleman 5 83 3132 5,453. Tempel 8 96 3249 5,654. Turi 4 54 4309 7,505. Pakem 5 61 4384 7,636. Ngaglik 6 67 3852 6,70

III Wilayah Timur 1. Depok 3 58 3555 6,702. Berbah 4 58 2299 4,023. Prambanan 6 66 4135 7,194. Kalasan 4 60 3584 6,235. Ngemplak 5 82 3571 6,216. Cangkringan 5 73 4799 8,35

Jumlah 17 86 1212 57482 100,00Sumber data : Kantor Statistik Kabupaten Sleman, Tahun 1995

Page 81: pe.122

3. Penggunaan Tanah.

Yang dimaksud dengan penggunaan tanah adalah penggunaan untuk

segala kegiatan pada suatu waktu tertentu baik untuk pertanian maupun untuk non

pertanian. Penggunaan tanah merupakan proses yang selalu dinamis dan dapat

mencerminkan aktivitas penduduk suatu wilayah/daerah tertentu.

Selain itu penggunaan tanah merupakan salah satu faktor utama aktivitas

ekonomi penduduk untuk menunjang dan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat.

Beragam penggunaan tanah di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman

seperti ditampilkan dalam tabel berikut ini :

Page 82: pe.122

TABEL 2 : KLASIFIKASI JENIS PENGGUNAAH TANAH DI KABUPATEN DAERAH TINGKAT II SLEMAN

No. Urut Jenis Penggunaan Tanah Luas (Ha)

1. Pekarangan 17.999 2. Sawah 25.589

3. Tegalan 5.276

4. Hutan 1.335

5. Semak belukar 54

6. Tanah Tandus 113

7. Lain-lain (sungai, jalan, makam dan kepentingan umum lainnya.

7.116

Jumlah 57.462

Sumber data : Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, Tahun 1995.

Page 83: pe.122

Data dalam tabel 2 tersebut di atas menunjukkan bahwa mayoritas penggunaan

tanah di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman adalah untuk usaha pertanian, seluas

30.765 Ha atau 53,52% dari luas wilayah seluruhnya 57,482 Ha. Luas 30.765 Ha tersebut

di atas penggunaannya meliputi : Sawah, Tegalan. Keadaan komposisi demikian

menunjukkan bahwa Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman tergolong daerah yang bersifat

agraris.

Bahwa dari luas wilayah 57.482 Ha, itu tidak terdapat tanah kosong. Hal ini

menunjukkan bahwa tanah di wilayah di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman

seluruhnya sudah dikuasai atau dimiliki baik secara perorangan maupun badan hukum

tertentu.

Berikut ini ditampilkan pula luas tanah menurut status pemilikannya dirinci

perkecamatan dalam tabel berikut :

Page 84: pe.122

TABEL 3 : LUAS TANAH MENURUT STATUS PEMILIKAN

DIRINCI PERKECAMATAN KABUPATEH DAERAH

TINGKAT II SLEMAN

No. Urut Kecamatan

Status pemilikan Negara/Kepentingan Umum lain

JumlahRakyat Desa Kehutanan

1. Moyudan 2.341 150 - 271 2.762

2. Minggir 2.316 132 - 279 2.727

3. Sayegan 2.254 125 - 255 2.663

4. Godean 2.273 127 - 284 2.684

5. Gamping 2.514 176 108 127 2.925

6. Mlati 2.405 128 - 319 2.852

7. Depok 2.505 150 - 900 3.555

8. Berbah 1.838 115 - 346 2.299

9. Prambanan 3.492 210 - 433 4.135

10. Kalasan 3.035 132 - 417 3.584

11. Ngemplak 3.100 130 - 341 3.571

12. Ngaglik 3.242 152 - 458 3.852

13. Sleman 2.560 146 - 426 3.132

14. Tempel 2.719 210 - 320 3.249

15. Turi 3.534 215 - 560 4.309

16. Pakem 1.886 250 1.743 1.134 4.384

17. Cangkringan 3.337 265 - 1.197 4.799

Jumlah 44.751 2.813 1.851 8.067 57.482

Sumber data : Kantor Statistik Kabupaten Sleman, Tahun 1995.

Page 85: pe.122

Data tabel 3 tersebut di atas ternyata sebagian dari luas wilayah Kabupaten

Daerah Tingkat II Sleman sudah dikuasai/dimiliki oleh rakyat sebagai tempat usaha

maupun sebagai tempat permukiman seluas 44.751 Ha atau 77,85% dari luas wilayah

seluruh 57.482 Ha. Selanjutnya yang dikuasai oleh negara seluas 8.067 Ha atau 14,03%,

dimiliki desa seluas 2.813 Ha atau 4,89% dan kehutanan seluas 1,851 Ha atau 3,22%.

Menurut keterangan dari seorang pejabat di Kantor Pertanahan Kabupaten

Sleman, bahwa tanah yang dikuasai oleh Negara adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh

Dinas/Instansi Pemerintah dan kepentingan umum seperti jalan, sungai, makam, Dam dan

kepentingan umum lainnya.

B. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan

Umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.

1. Pelaksanaan Tugas Panitia

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Kepentingan Umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.

Berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 jo PMNA/Ka. BPN

Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maka pengadaan tanah berskala

besar diperlukan bantuan Panitia Pengadaan Tanah. Karena itu Gubernur

Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta telah membentuk Panitia Pengadaan

Tanah di wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Surat

Keputusan Nomor 57/PAN/KPTS/1994 tanggal 27 Oktober 1994 tentang

Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk

Page 86: pe.122

Kepentingan Umum di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Atas dasar Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta

tersebut oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman telah dikeluarkan

Keputusan Nomor 1la/Kep.KDH/95 tanggal 13 Januari 1995 tentang

Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum di Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II

Sleman. Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman

terdiri dari :

1. Panitia Pengadaan Tanah yang menyangkut tanah milik

perorangan.

2. Panitia Pengadaan tanah yang menyangkut tanah

milik desa.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang menyangkut

tanah milik desa harus diikutsertakan Panitia Pengawas dari Unsur

Instansi terkait pada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang

ditetapkan dalam keputusan Gubernur mengenai Pembentukan Panitia

tersebut di atas.

Susunan keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Daerah

Tingkat II Sleman adalah sebagai berikut :

a. Panitia Pengadaan Tanah yang menyangkut tanah milik perorangan

terdiri dari :

Page 87: pe.122

1. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman sebagai

ketua merangkap anggota;

2. Kepala Kantor Pertanahan kabupaten Sleman sebagai

wakil ketua merangkap anggota;

3. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan

Bangunan sebagai anggota;

4. Kepala Dinas PU. atau Kepala Dinas Pertanian

sebagai anggota.

5. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di

mana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan

berlangsung sebagai anggota;

6. Asisten Sekretaris Wilayah Daerah Bidang Tata Praja atau

Kepala Bagian Tata Pemerintahan pada Kantor

Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman sebagai Sekretaris I

bukan anggota;

7. Kepala Seksi Hak-Hak Atas Tanah pada Kantor Pertanahan

Kabupaten Sleman sebagai Sekretaris II bukan anggota.

b. Panitia Pengadaan Tanah yang menyangkut tanah milik

desa/kalurahan terdiri dari :

Page 88: pe.122

1. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sleman sebagai

Ketua merangkap anggota;

2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman

sebagai Wakil Ketua merangkap anggota;

3. Kepala. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan

Bangunan sebagai anggota;

4. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Kepala Dinas

Pertanian sebagai anggota;

5. Kepala Bagian Pemerintahan Desa pada Kantor

Pemerintahan Daerah Kabupaten Sleman sebagai

anggota;

6. Camat yang wilayahnya meliputi bidang tanah di

mana rencana dan pelaksanaan pembangunan akan

berlangsung sebagai anggota;

7. Lurah/Kepala Desa yang wilayahnya meliputi

bidang tanah di mana rencana dan pelaksanaan

pembangunan akan berlangsung sebagai anggota;

8. Kepala Seksi Hak-Hak atas tanah pada Kantor

Pertanahan Kabupaten Sleman sebagai sekretaris

bukan anggota.

Page 89: pe.122

Susunan keanggotaan Panitia Kabupaten Daerah Tingkat II

Sleman bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum yang

menyangkut tanah milik baik perorangan maupun milik desa pada

prinsipnya sama. Kecuali Panitia yang menyangkut tanah milik

desa hanya terdiri dari 1 (satu) orang sekretaris saja.

Kemudian ditambah lagi dengan Panitia pengawas yang

susunan keanggotaannya sebagai berikut :

1. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai

Pelindung;

2. Sekretaris Wilayah Daerah Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta sebagai Penasehat; Asisten I (Bidang

Ketataprajaan) sebagai Ketua merangkap anggota;

3. Kepala Inspektorat Wilayah Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta sebagai Wakil Ketua merangkap

anggota.

4. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai

anggota;

5. Kepala Biro Tata pemerintahan Setwilda Propinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai anggota;

Page 90: pe.122

6. Kepala Biro Pemerintahan Desa pada Setwilda

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai

anggota;

8. Kepala Bidang Hak-Hak Atas Tanah pada Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta sebagai sekretaris merangkap

anggota.

Adanya panitia pengawasan dalam pengadaan

tanah yang menyangkut tanah milik desa tersebut

dapat memberikan pengawasan terhadap peralihan tanah

milik desa yang dialihfungsikan itu dapat berjalan

secara tertib, terkendali dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di

Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman, dengan mengambil lokasi

sampel di Kecamatan Ngaglik dan Pakem bahwa instansi

pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum,

Direktorat Jenderal Pengairan, Proyek Pengendalian Banjir Lahar

Gunung Merapi, atau yang lebih dikenal dengan "Proyek Gunung

Merapi" Yogyakarta telah melakukan pengadaan tanah untuk

pembangunan kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II

Sleman.

Page 91: pe.122

Kepentingan Umum itu berupa pembangunan Dam/sarana

tanggul penanggulangan bahaya banjir dan lahar Merapi. Kegiatan

pengadaan tanah tersebut seluas 3,6550 ha meliputi Kecamatan

Ngaglik seluas 2,0513 ha dan Kecamatan Pakem seluas 1,6037 ha.

Prosedur pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan

sebagai berikut : Instansi pemerintah yang memerlukan tanah

(Proyek Gunung Merapi) mengajukan permohonan ijin

prinsip/penetapan lokasi kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Sleman untuk memperoleh persetujuan. Surat permohonan

tertanggal 11 April 1995, Nomor TN . 01.02.Aa.12.02/40 tentang

permohonan ijin penetapan lokasi dan pembebasan tanah untuk

pembuatan Dam Penahan Sedimen, Dam Konsolidasi dan

Tanggul. Dalam surat permohonan tersebut diuraikan pula

keterangan mengenai :

a. Lokasi tanah yang diperlukan.

b. Penggunaan tanah pada saat permohonan diajukan.

c. Uraian rencana proyek yang akan dibangun.

d. Luas dan gambar kasar lokasi tanah yang dimaksud.

Berdasarkan surat permohonan tersebut Bupati Kepala

Daerah Tingkat II Sleman mengeluarkan surat persetujuan Nomor

508/01584/Ta./Pem/1995, tanggal 2 Mei 1995 tentang Persetujuan

Page 92: pe.122

penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, kepada

instansi Pemerintah (Proyek Gunung Merapi) untuk melakukan

pengadaan tanah. Berdasarkan permohonan Pemimpin Proyek

Gunung Merapi kepada Gubernur DIY, tanggal 28 Maret 1995 No.

TN.01.02.Aa.12.02/645 maka Gubernur Kepala Daerah Istimewa

Yogyakarta pun memberikan ijin lokasi atas tanah Kas Desa di

Desa Hargobinangun, Candibinangun, dan Purwobinangun,

Kecamatan Pakem kepada instansi pemerintah (Proyek Gunung

Merapi) untuk pengadaan tanah tersebut bagi pelaksanaan

pembangunan kepentingan umum dimaksud. Ijin Gubernur

tersebut dituangkan dalam Keputusan Nomor 52/12/KPTS/1995,

tanggal 23 Agustus 1995 tentang Pemberian ijin lokasi dan

Pembebasan tanah Kas Desa untuk tnembangun Dam Penahan

Sedimen Penanggulangan banjir Lahar Gunung Merapi.

Karena tanah kas desa adalah aset pemerintah desa, yang

sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku

pengalihan tanah itu harus mendapat ijin terlebih dahulu dari

Gubernur Kepala Daerah, sehingga administrasi pengalihan tanah

kas desa itu menjadi jelas dan tertib.

Sehubungan dengan itu Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Sleman memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten

Sleman selaku wakil ketua panitia untuk mengkoordinasikan

dengan dinas instansi yang terkait untuk bersama-sama melakukan

Page 93: pe.122

penelitian ke lokasi tanah dimaksud, yang terletak masing-masing :

a. Di Kecamatan Ngaglik.

Luas tanah : 2,0513 Ha. Jenis tanah : Sawah, Status

pemilikian : Tanah hak milik, Jumlah pemilik : 20 (dua

puluh) orang.

b. Di Kecamatan Pakem.

Luas tanah : 1,6037 Ha. Jenis tanah : sawah,

Status pemilikan : Tanah Kas Desa;

Jumlah pemilik : 3 (tiga) orang;

mengenai kesesuaian rencana peruntukan tanah yang dimohon

dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ada.

Menurut keterangan dari seorang Pejabat Ditjen Pengairan

(Proyek Gunung Merapi) bahwa setelah memperoleh persetujuan

ijin prinsip/penetapan lokasi dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Sleman maka berdasarkan surat persetujuan tersebut, instansi

pemerintah (Proyek Gunung Merapi) mengajukan permohonan

pengadaan tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten

Sleman untuk melakukan pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan kepentingan umum dimaksud

Petugas-petugas khusus yang ditugaskan terdiri dari :

Page 94: pe.122

1) Petugas Pertanahan Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.

Bertugas melakukan pengukuran dan pemetaan,

penyelidikan riwayat penguasaan dan penggunaan tanah,

guna mengetahui luas, status pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan.

2) Petugas Kantor Dinas Pertanian Kabupaten

Daerah Tingkat II Sleman. Bertugas melakukan pendataan

terhadap jenis tanaman yang terkena pembangunan

kepentingan umum guna mengetahui pemilik, jenis, umur

dan koordinasi tanaman di lokasi tanah yang bersangkutan.

Petugas-petugas tersebut di atas adalah merupakan satu tim

dan melaksanakan tugasnya secara serentak, di bawah koordinasi

dari panitia.

Petugas Dinas Pertanian kabupaten Sleman telah berhasil

menginventarisir berbagai tanam tumbuh yang ada di atas lokasi

tanah yang terkena pembangunan kepentingan umum. Hasil kerja

itu seperti : Jumlah, jenis, umur, pemilik dan kondisi tanaman yang

ada di lokasi masing-masing di Kecamatan Ngaglik dan Pakem.

Laporan hasil inventarisasi tim terpadu tersebut di atas

ditandatangani masing-masing petugas yang melaksanakan tugas

dan dilegalisir oleh atasannya dan pimpinan instansi yang

bersangkutan dan selanjutnya diserahkan kepada panitia. Laporan

Page 95: pe.122

hasil inventarisasi itu oleh panitia diumumkan di Kantor

Pertanahan Kabupaten Sleman, Kecamatan Ngaglik dan Pakem

serta Desa Sardonoharjo, Hargobinangun ,Candibinangun dan

Purwobinangun , selama 1 (satu) bulan.Menurut keterangan

seorang pejabat Kantor Pertanahan kabupaten Sleman bahwa

pengumuman hasil inventarisasi tersebut dengan maksud agar

memberikan kesempatan kepada rnasyarakat luas yang merasa

sebagai pemilik hak atas tanah-tanah yang bersangkutan dapat

mengajukan keberatannya secara tertulis dengan bukti-bukti yang

berkaitan dengan tanah itu kepada panitia guna diadakan

perubahan-perubahan seperlunya. Namun selama pengumuman

berlangsung tidak ada pihak lain yang merasa berkeberatan atas

lokasi tanah yang terkena proyek Gunung Merapi.

2. Proses Berlangsungnya Musyawarah Antara Instansi

Pemerintah Yang Memerlukan Tanah Dengan Pemegang Hak

Atas Tanah.

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum di Kabupaten Sleman dilakukan melalui

musyawarah. Kegiatan musyawarah antara instansi pemerintah

(Proyek Gunung Merapi) dan para pemegang hak atas tanah

dipimpin oleh Wakil Ketua Panitia Kabupaten Sleman.

Page 96: pe.122

Proses berlangsungnya musyawarah sebagai berikut :

Setelah panitia bersama instansi pemerintah melakukan

penyuluhan kepada para pemegang hak atas tanah yang terkena

pembangunan kepentingan umum, dan para pemilik hak atas tanah

sudah menerima baik rencana pembangunan dimaksud, maka

panitia mengundang lagi instansi pemerintah (Proyek Gunung

Merapi) dan pemegang hak atas tanah itu untuk melakukan

musyawarah. Tempat dilangsungkannya musyawarah ditentukan

oleh panitia dalam surat undangan.

Kegiatan musyawarah dilakukan di 2 (dua) tempat yaitu :

1. Di Kantor Kepala Desa Sardonoharjo, Kecamatan

Ngaglik.

2. Di Kantor Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman.

Dalam kegiatan musyawarah antara kedua belah pihak

yang berkepentingan yang dipimpin oleh wakil ketua panitia itu

dihadiri langsung oleh para pemegang hak atas tanah. Menurut

keterangan dari para pemegang hak milik atas tanah (23 orang

responden) demikian pula para nara sumber bahwa para pemilik

tanah secara langsung mengikuti musyawarah dengan instansi

pemerintah (Pimpinan proyek Gunung Merapi). Musyawarah

tersebut dilakukan 2 (dua) kali dan menghasiIkan kesepakatan

diantara para pihak yang bermusyawarah, yaitu bersedia menye-

Page 97: pe.122

rahkan hak atas tanahnya kepada instansi pemerintah (Proyek

Gunung Merapi), guna pelaksanaan pembangunan kepentingan

umum dengan menerima ganti kerugian dari pihak Proyek Gunung

Merapi sebagai imbalannya.

Mengenai ganti kerugian yang dimusyawarahkan harus

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Nilai tanah berdasarkan nilai nyata atau sebenarnya

dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Bumi dan Bangunan tahun terakhir untuk tanah yang

terkena proyek Gunung Merapi.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah :

1. Lokasi tanah;

2. Jenis hak atas tanah;

3. Status penguasaan tanah;

4. Peruntukan tanah;

5. Kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah (RTRW);

6. Prasarana yang tersedia;

7. Fasilitas dan utilitas;

8. Lingkungan;

Page 98: pe.122

9. Lain-lain yang mempengaruhi harga tanah.

c. Nilai taksiran tanaman/bangunan.

Hal-hal tersebut di atas yang dijelaskan Panitia kepada para

pihak untuk dimusyawarahkan, sedangkan bentuk dan jumlah ganti

kerugian adalah merupakan kehendak dan kewenangan dari para

pihak yang bersangkutan untuk dimusyawarahkan. Faktor-faktor

tersebut di atas, pada saat penulis melakukan penelitian ternyata

bahwa :

1. Lokasi tanah : terletak di pinggir sungai;

2. Jenis hak atas tanah : Hak milik adat (belum bersertipikat)

3. Status penguasaan tanah : pemilik;

4. Peruntukan : tanah pertanian;

5. Prasarana yang tersedia : berupa listrik.

Kedudukan para pihak yang bermusyawarah adalah sama

atau sejajar tanpa ada perbedaan. Musyawarah berlangsung secara

kekeluargaan untuk saling mendengar dan menerima pendapat.

Menurut keterangan dari pejabat Ditjen Pengairan (Proyek Gunung

Merapi) bahwa para pemegang hak diberi kesempatan untuk secara

bebas mengemukakan pikiran dan pendapat berupa pertanyaan

usul saran mengenai pengadaan tanah dan pemberian ganti

kerugiannya. Para pemegang hak atas tanah mengusulkan agar

Page 99: pe.122

penetapan besarnya ganti kerugian didasarkan pada harta pasaran

umum setempat yaitu Rp 15.000,00 sampai Rp. 20.000,00

permeter persegi. . Sebaliknya pihak instansi pemerintah (Proyek

Gunung Merapi) memberikan tanggapan atas usul saran dan

pendapat para pemegang hak atas tanah yang terkena lokasi

pembangunan kepentingan umum. Pemberian tanggapan itu pada.

dasarnya mengenai jumlah ganti kerugian dengan pertimbangan

atas kemampuan dana yang tersedia., demikian juga arti

pentingnya pembangunan fasilitas kepentingan umum bagi

masyarakat luas baik disekitar lokasi pembangunan itu maupun

masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.. Demikian pula menurut

keterangan yang diperoleh dari pemilik hak atas tanah yang diteliti

sebanyak 23 orang responden atau 100% menyatakan bahwa.

musyawarah dilakukan tanpa ada unsur pemaksaan dari pihak

manapun. Karena itu para pemilik hak atas tanah yang

bersangkutan tidak berkeberatan bila tanahnya diambil oleh

instansi pemerintah untuk kepentingan umum asal pemberian ganti

kerugian dimusyawarahkan. Mengenai penetapan jumlah ganti

kerugian yang dimusyawarahkan itu para pemegang hak atas tanah

menghendaki didasarkan pada nilai nyata atau sebenarnya yaitu

harga pasaran setempat. Harga pasaran umum di lokasi itu sebesar

Rp 15.000,00 sampai Rp. 20.000,00 permeter persegi. Menurut

keterangan dari nara sumber (Pejabat Ditjen Pengairan) Kabupaten

Page 100: pe.122

Sleman bahwa dasar penetapan ganti kerugian didasarkan pada

harga pasaran (umum) setempat. Tetapi karena permintaan

terlampau tinggi maka dasar penetapan jumlah ganti kerugian

didasarkan dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)

Bumi dan Bangunan tahun terakhir untuk tanah yang bersangkutan

dengan pertimbangan terhadap dana yang tersedia (pada Proyek

Gunung Merapi ). Musyawarah yang dilakukan oleh kedua belah

pihak itu berhasil menetapkan harga tanah sebesar 3.500,00 (Tiga

ribu lima ratus rupiah) permeter persegi untuk tanah kas desa dan

Rp 6.500,00 (enam ribu lima ratus rupiah) permeter persegi untuk

tanah milik perorangan sesuai dengan letak lokasi, status hak atas

tanah dan kelas tanah tersebut.

Penetapan besarnya ganti kerugian tersebut di atas diterima

oleh para pemilik hak atas tanah yang terkena pembangunan

kepentingan umum. Hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap

23 responden sebagai pemilik hak atas tanah yang terkena

pembangunan kepentingan umum diperoleh keterangan mengenai

sikap mereka terhadap pengadaan tanah dimaksud bahwa secara

umum kehadiran pembangunan fasilitas kepentingan umum itu

diterima dengan baik.

Para responden tersebut di atas menyatakan menerima

dengan sukarela atas hasil musyawarah.

Page 101: pe.122

Setelah musyawarah antara kedua belah pihak sepakat

menetapkan besar dan bentuknya ganti kerugian maka panitia

menuangkan hasil musyawarah tersebut dalam Keputusan Panitia

tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian sesuai kesepakatan

tersebut. Kemudian keputusan panitia tersebut disampaikan kepada

kedua belah pihak untuk dilaksanakan.

3. Bentuk Ganti Kerugian Yang Diberikan Dan Dasar Yang

Dipakai Dalam Penghitungan Ganti Kerugian Tersebut.

a. Bentuk Ganti Kerugian Yang Diberikan.

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan

dalam rangka pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk Dam/pengendali banjir lahar Merapi di

Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman ternyata bahwa

bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh instansi

pemerintah yang memerlukan tanah (Proyek Gunung

Merapi) kepada para pemegang hak atas tanah itu berupa

uang saja.

Cara pembayaran ganti kerugian kepada para

pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sebagai

berikut :

Berdasarkan Keputusan Panitia tentang hasil

musyawarah maka instansi pemerintah (Proyek Gunung

Page 102: pe.122

Merapi) membuat daftar nominatif pemberian ganti

kerugian sesuai hasil inventarisasi dari Tim terpadu yang

ditugaskan Panitia. Kemudian mengundang para pemilik

hak atas tanah yang bersangkutan untuk hadir di Kantor

Kepala desa Sardonoharjo. guna menerima pembayaran

ganti kerugian. Menurut keterangan yang penulis peroleh

selama melakukan penelitian di Kabupaten Daerah Tingkat

II Sleman, baik dari instansi Pemerintah (Proyek Gunung

Merapi) maupun dari para pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan bahwa pembayaran ganti kerugian dilakukan

secara langsung kepada dan diterima oleh para pemegang

hak atas tanah yang bersangkutan.

Pemegang hak atas tanah yang telah meninggal

dunia maka ahli warisnya harus menunjukkan surat

keterangan kematian yang diketahui oleh Kepala Desa dan

Kepala Kecamatan, serta menunjukkan identitas diri berupa

Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari ahli waris yang

bersangkutan. Pihak instansi pemerintah (Proyek Gunung

Merapi) menjelaskan bahwa pemberian ganti kerugian

kepada pemegang hak atas tanah yang berhak itu sebanyak

23 orang (100%) dibayar lunas dan diterima secara

langsung oleh yang bersangkutan. Jadi tidak ada yang

Page 103: pe.122

berkeberatan atas pembayaran ganti kerugian itu dan

dikonsinyasikan pada pihak ketiga.

Kemudian dari para pemegang hak atas tanah

sebanyak 23 orang (100%) menyatakan bahwa telah

menerima pembayaran ganti kerugian dari pihak instansi

Pemerintah (Proyek Gunung Merapi) dengan baik dan

penuh tanpa ada pemotongan. Ganti kerugian secara

keseluruhan dalam bentuk uang. Ganti kerugian tersebut

diberikan untuk tanah dan tanaman saja. Karena di atas

tanah yang dibangun Dam/Pengendali banjir lahar Merapi

tidak terdapat bangunan atau benda lain selain tanaman.

Pemberian ganti kerugian itu disaksikan pula oleh

anggota-anggota Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten

Daerah Tingkat II Sleman. Untuk tanah Kas Desa di

Kecamatan Pakem, pemberian ganti kerugian selain

disaksikan oleh anggota-anggota Panitia Pengadaan Tanah

Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman sebagai Panitia

Pelaksana, juga disaksikan oleh anggota-anggota Panitia

Pengawas. Pembayaran ganti kerugian dalam bentuk uang

kepada pemegang hak atas tanah yang terkena

pembangunan Dam/Pengendali banjir lahar Merapi di

Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman tersebut di atas

dibuktikan dengan tanda penerimaan.

Page 104: pe.122

Bukti tanda penerimaan tersebut disatukan dengan

berita acara sidang Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten

Daerah Tingkat II Sleman untuk masing-masing di :

1. Kecamatan Ngaglik, dengan :

a. Nomor 12a/Pemb/BPN/1995, tanggal 31-8-

1995.

b. Nomor 16/Pemb/BPN/l995, tanggal 16-11-1995

2. Kecamatan Pakem, dengan:

a. Nomor 18/Pemb/BPN/1995, tanggal 27-11-

1995.

b. Nomor 19/Pemb/BPN/1995, tanggal 27-12-

1995.

c. Nomor 20/Pemb/BPN/1995, tanggal 27-12-

1995.

Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian

tersebut di atas dibuat juga surat Pernyataan Penerimaan

Ganti Rugi dan Pelepasan Hak Atas Tanah dari para

pemegang hak atas tanah yang terkena lokasi pembangunan

Dam/Pengendali banjir lahar Merapi. Pernyataan pelepasan

Hak Atas Tanah dari para pemegang Hak Atas Tanah yang

bersangkutan kepada instansi pemerintah (Proyek Gunung

Page 105: pe.122

Merapi) tersebut selain ditandatangani oleh kedua belah

pihak, ditandatangani juga oleh semua anggota Panitia

termasuk anggota Panitia Pengawas. Pada saat yang sama

itu pula asli surat-surat yang berkaitan dengan tanah yang

bersangkutan oleh pemegangnya diserahkan kepada

Panitia. Selesainya berita acara penyerahan hak atas tanah

tersebut dibuat maka Instansi Pemerintah (Ditjen

Pengairan/Proyek Gunung Merapi) berkenan mengajukan

permohonan sesuatu hak atas tanah untuk memperoleh

sertifikat atas nama instansi induknya yaitu Departemen

Pekerjaan Umum sesuai dengan hak-hak atas tanah yang

diatur dalam UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960).

b. Dasar Yang Dipakai Dalam Penghitungan Ganti

Kerugian Tersebut.

Dasar penghitungan ganti kerugian atas tanah yang

terkena proyek Gunung Merapi didasasarkan atas nilai jual

obyek Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir sesuai

kesepakatan dalam musyawarah. Nilai jual obyek pajak

adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli

yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat

transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan

harga dengan obyek lain yang sejenis atau nilai perolehan

baru, atau nilai jual obyek pajak pengganti (Pasal 1

Page 106: pe.122

Undang-Undang nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi

dan Bangunan). Untuk mengetahui NJOP harus

menetapkan klasifikasi tanah terlebih dahulu. Karena NJOP

sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti :

1. Lokasi tanah : terletak pada pinggir sungai, jauh dari

jalan raya.

2. Jenis hak atas tanah: hak milik adat (belum

bersertifikat).

3. Status pemilikan tanah : pemilik.

4. Peruntukan tanah : pertanian.

5. Prasarana yang tersedia : listrik.

6. Kesesuaian penggunaan tanah dengan Rencana

Tata Ruang wilayah (RTRW).

7. Fasilitas dan utilitas.

8. Lingkungan.

9. Lain-lain yang mempengaruhi harga tanah.

Menurut keterangan yang diperoleh dari salah

seorang anggota Panitia Kabupaten Sleman selama

melakukan penelitian bahwa untuk menentukan "yang

menjadi dasar" yang dipakai dalam penghitungan ganti

Page 107: pe.122

kerugian permeter persegi atas tanah adalah

mengklasifikasikan klas tanah terlebih dahulu berdasarkan

faktor-faktor pengaruh tersebut di atas, atau dengan kata

lain untuk pelaksanaan penilaian tanah sebelumnya harus

dibuat nilai areal tanah yang disebut Zona Nilai Tanah

(Zonita) atau ZNT sebagai acuan untuk tanah dan Daftar

Biaya Komponen Bangunan (DBKB) untuk menilai

bangunan selanjutnya dilakukan perbandingan dan

penyesuaian terhadap faktor-faktor tertentu yang

distandardisasikan. Atas dasar klasifikasi itu maka dapat

diketahui harga atau nilai jual objek Pajak Bumi dan

Bangunan permeter persegi pada lokasi proyek Gunung

Merapi sesuai standar yang berlaku sebagai acuan.

Penetapan klas dan standar nilai jual objek pajak itu

menunjukkan lokasi proyek Gunung Merapi berada pada

klas terendah yaitu klas 40 dan 39 dengan penggolongan

nilai jual bumi masing-masing Rp. 2.900,00 sampai dengan

Rp. 4.100,00 dan Rp. 4.100 sampai dengan Rp. 5.900,00,

maka masing-masing klas itu ditentukan nilai jual objek

Pajak Bumi dan Bangunan perjneter persegi adalah Rp.

3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah) dan Rp. 6.500,00

(Enam ribu lima ratus rupiah). Demikian maka cara

penghitungannya adalah jumlah luas tanah dalam meter

Page 108: pe.122

persegi (M2) dikalikan dengan harga satuan per meter

persegi. Harga satuan yang disepakati bersama dalam

musyawarah adalah Rp 3.500,00 (tiga ribu lima ratus

rupiah) untuk kas desa dan Rp. 6.500,00 (enam ribu lima

ratus rupiah) untuk tanah milik perorangan, sedangkan

ganti kerugian untuk tanaman penghitungannya didasarkan

pada standar yang ada pada Dinas Pertanian dan Tanaman

Pangan Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman. Ternyata

penghitungan ganti kerugian berdasarkan NJOP itu cukup

baik sesuai dengan letak dan kondisi setempat dan tidak

merugikan para pemegang hak atas tanah yang terkena

proyek Gunung Merapi.

Page 109: pe.122

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu dan hasil penelitian

serta pembahasan tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum di Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman, dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Pelaksanaan tugas Panitia Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan

pembangunan kepentingan umum (proyek-proyek Gunung Merapi) di

Kabupaten Daerah Tingkat II Sleman ternyata berjalan secara baik dan

efektif serta lebih maju dari sebelumnya yang hanya berkesan

mengutamakan formalitas dari realitas. Karena para pemegang hak atas

tanah yang terkena proyek Gunung Merapi dilibatkan secara langsung di

dalam proses pengambilan keputusan.

2. Bahwa proses berlangsungnya musyawarah antara instansi

pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah

berlangsung secara kekeluargaan dan persamaan hak dan kedudukan

tanpa ada intimidasi. Kedudukan kedua belah pihak adalah sejajar dan

saling berbicara, mendengar untuk menerima usul saran dan pendapat.

3. Bahwa bentuk ganti kerugian yang diberikan kepada pemilik hak atas

tanah dan tanaman adalah berupa uang, dan dalam penghitungan

ganti kerugian didasarkan atas dasar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Page 110: pe.122

Bumi dan Bangunan tahun terakhir, sehingga pemberian ganti kerugian

itu dianggap cukup baik dan tidak merugikan bekas pemegang hak atas

tanah yang terkena proyek Gunung Merapi

B. SARAN-SARAN

1. Disarankan agar Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman, khususnya

Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman berkewajiban

memasyarakatkan Keppres Nomor 55 tahun 1993 melalui

pembinaan penyuluhan hukum, khususnya hukum pertanahan

(Agraria) baik kepada aparat pemerintah kecamatan,

desa/kalurahan, maupun tokoh dan masyarakat secara intensif

sehingga pelaksanaannya lebih baik lagi di masa yang akan

datang.

2. Sistem pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum

yang dilakukan Pemerintah Daerah Tingkat II Sleman dengan

sukses itu dapat dicontoh oleh daerah-daerah lain baik di

Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya maupun

di luar Daerah Istimewa Yogyakarta.

3. Keppres nomor 55 tahun 1993 pada masa yang akan datang

sebaiknya ditingkatkan menjadi undang-undang atau Peraturan

Pemerintah guna memenuhi amanat UUPA dan dinamika

pembangunan dan masyarakat.

Page 111: pe.122

DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid I, Djambatan, 1994

_____________, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Penyusunan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional, Jilid II, Djambatan, 1971

_____________, Kasus-kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan, Makalah Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Pemecahannya), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti dengan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta 1994

Departemen Dalam Negeri, Pertanahan Dalam Pembangunan Indonesia, Departemen Penerangan Republik Indonesia, 1982.

Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Alumni Bandung, 1995.

I. Soegiarto, Kebijaksanaan Umum Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Makalah Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Pemecahannya), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti Dengan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1994.

Iman Soetiknyo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press, Yogyakartra, 1994.

Maria S.W. Sumardjono, Tinjauan Yuridis Keppres Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Pelaksanaannya, Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (Konsepsi Hukum, Permasalahan dan Kebijaksanaan Dalam Pemecahannya ), Kerja sama Fakultas Hukum Universitas Trisakti Dengan Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1994.

____________, Antara Kepentingan Pembangunan dan Keadilan Forum Diskusi Alternatif, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1994.

____________, Anatomi Keppres Nomor 55 Tahun 1993, SKH Kompas, 24-7-1993.

____________, Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah, Jurusan Hukum Agraria, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982.

Page 112: pe.122

_____________, Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah, SKH Kompas, 24-3-1994.

Marmin Roosadijo, Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1979.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, 1986.

Sudikno Mertokusumo, Perundang-Undangan Agraria, Liberty, Yogyakarta, 1988