pbl 2 lprn agus

27
Muntah adalah suatu gejala/simptom, bukan penyakit. Gejala ini berupa keluarny lambung (dan usus) melalui mulut dengan paksa atau dengan kekuatan. Muntah merupaka reflek protektif tubuh karena dapat berfungsi melawan toksin yang tidak sengaja ter itu, muntah merupakan usaha mengeluarkan racun dari tubuh dan bisa mengurangi tekan akibat adanya sumbatan atau pembesaran organ yang menyebabkan penekanan pada salura pencernaan. Secara umum muntah terdiri atas tiga fase, yaitu nausea (mual), retchin awal untuk muntah) dan regurgitasi (pengeluaran isi lambung/usus ke mulut). Muntah dapat menyebabkan berbagai hal seperti: 1. Tubuh kekurangan cairan, disebut juga dehidrasi. Pada saat muntah, maka isi p kebanyakan adalah cairan akan keluar, sehingga membuat tubuh kehilangan caira tadinya penting untuk berperan dalam homeostasis. Dehidrasi ini akan berimpli hipovolemik pada tubuh, kulit kering/pecah-pecah, penurunan kesadaran, serta 2. Alkalosis metabolik, akibat kekurangan H+ pada lambung. 3. Kerusakan gigi akibat tergerus asam lambung (perimylolysis). Pada saat muntah lambung akan keluar bersamaan dengan isi perut. Ketika asam lambung keluar da berada di dalam mulut, maka akan merusak email gigi sehingga gigi menjadi rap gampang rusak. 4. Lemahnya perut, gangguan pandangan, pendengaran, dll. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi muntah adalah sebagai berikut: 1. Pemberian cairan (minum) untuk menggantikan cairan yang telah hilang dan menc terjadinya dehidrasi. 2. Mengusahakan agar pasien berdiri tegak agar isi lambung tidak naik ke atas (m gravitasi)/ muntah. 3. Menggunakan obat-obat antimuntah, seperti: A. Prometasine. Golongan antihistamin, bermanfaat untuk segala jenis muntah. sampingnya mengantuk dan gejala ekstra piramidal (distonik, diskinetik ter pada anak dan remaja). B. Domperidone/Butyrophenones. Memiliki efek ringan sedang jika digunakan pada kondisi kemoterapi atau post operasi. Domperidone meningkatkan peristaltik

Upload: m-haris-yoga-iswantoro

Post on 22-Jul-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Muntah adalah suatu gejala/simptom, bukan penyakit. Gejala ini berupa keluarnya isi lambung (dan usus) melalui mulut dengan paksa atau dengan kekuatan. Muntah merupakan reflek protektif tubuh karena dapat berfungsi melawan toksin yang tidak sengaja tertelan. Selain itu, muntah merupakan usaha mengeluarkan racun dari tubuh dan bisa mengurangi tekanan akibat adanya sumbatan atau pembesaran organ yang menyebabkan penekanan pada saluran pencernaan. Secara umum muntah terdiri atas tiga fase, yaitu nausea (mual), retching (maneuver awal untuk muntah) dan regurgitasi (pengeluaran isi lambung/usus ke mulut). Muntah dapat menyebabkan berbagai hal seperti: 1. Tubuh kekurangan cairan, disebut juga dehidrasi. Pada saat muntah, maka isi perut yang kebanyakan adalah cairan akan keluar, sehingga membuat tubuh kehilangan cairan yang tadinya penting untuk berperan dalam homeostasis. Dehidrasi ini akan berimplikasi hipovolemik pada tubuh, kulit kering/pecah-pecah, penurunan kesadaran, serta sianosis. 2. Alkalosis metabolik, akibat kekurangan H+ pada lambung. 3. Kerusakan gigi akibat tergerus asam lambung (perimylolysis). Pada saat muntah, asam lambung akan keluar bersamaan dengan isi perut. Ketika asam lambung keluar dan berada di dalam mulut, maka akan merusak email gigi sehingga gigi menjadi rapuh dan gampang rusak. 4. Lemahnya perut, gangguan pandangan, pendengaran, dll. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi muntah adalah sebagai berikut: 1. Pemberian cairan (minum) untuk menggantikan cairan yang telah hilang dan mencegah terjadinya dehidrasi. 2. Mengusahakan agar pasien berdiri tegak agar isi lambung tidak naik ke atas (melawan gravitasi)/ muntah. 3. Menggunakan obat-obat antimuntah, seperti: A. Prometasine. Golongan antihistamin, bermanfaat untuk segala jenis muntah. Efek sampingnya mengantuk dan gejala ekstra piramidal (distonik, diskinetik terutama pada anak dan remaja). B. Domperidone/Butyrophenones. Memiliki efek ringan sedang jika digunakan pada kondisi kemoterapi atau post operasi. Domperidone meningkatkan peristaltik

esophagus dan tekanan sfingter esophagus bagian distal, meningkatkan motilitas dan peristaltik gaster serta memperbaiki koordinasi gastroduodenal sehingga memfasilitasi pengosongan lambung dan menurunkan waktu transit usus halus. C. Chlorpromazine. Merupakan golongan phenolthiazine yang mempunyai reaksi antikolinergik dan antihistamin. Obat ini mengurangi transisi dopamin ke CTZ dan mengurangi rangsang aferen dari pusat muntah ke usus halus. Efek samping obat ini adalah sedasi, reaksi ekstra piramidal, jaundice dan gangguan darah. D. Metochiopramide. Suatu golongan antagonis dopamin, bekerja pada reseptor dopamin pada CTZ. E. Cisapride. Obat prokinetik baru yang meningkatkan pelepasan asetilkolin pada pleksus mienterikus. Cisapride juga dapat meningkatkan motilitas gastrointestinal, meningkatkan peristaltik dan tekanan sfingter esophagus bagian distal, meningkatkan pengosongan lambung. Kontraindikasi pada kasus hipersensitivitas, perdarahan saluran cerna, obstruksi mekanin dan perforasi saluran cerna. Cisapride juga dikontraindikasikan untuk pasien dengan interval QT memanjang, riwayat aritmia, gagal jantung kongestif, gagal ginjal, gangguan elektrolit serta gagal nafas. F. Ondansetron. Merupakan serotonergis agonis dan antagonis terbaru dengan efek antimuntah yang sangat efektif DAFTAR PUSTAKA Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1996

Pusing adalah rasa berputar yang dirasakan oleh penderita, tanpa disertai rasa nyeri/sakit, hanya rasa berputar saja, yang banyak digambarkan pada penderita sebagai, bila melihat sekelilingnya merasa berputar semua, goyang, terhuyung huyung, bahkan dampak dari ini semua dapat menyebabkan rasa mual hingga muntah dan yang paling parah bisa pingsan beberapa saat dan setelah sadar kembali bisanya penderita berkeringat banyak seperti habis berolah raga (mandi keringat), kadang pada beberapa kasus diikuti rasa mules dan melilit seperti ingin buang air besar. (dr.anugra martyanto 2009)

K e l e l a h a n a d a l a h a n e k a k e a d a a n y a n g d i s e r t a i p e n u r u n a n efisiensi dan keta hanan dalam bekerja, yang dapat disebabkan oleh 1. K e l e l a h a n y a n g s u m b e r u t a m a n y a a d a l a h m a t a ( k e l e l a h a n visual) 2. K e l e l a h a n f i s i k u m u m 3. K e l e l a h a n s y a r a f 4. Kelelahan oleh lingkungan yang monoton 5. Kelelahan oleh lingkungan kronis terus-menerus sebagai (Sumamur, 1999. Kelelahan

1. Apakah definisi CO pada kasus di atas ? a. Karbondioksida 1) Gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat berbahaya. CO ini merupakan unsur utama yang membentuk gas batu bara yang terdapat dalam gas buangan dari mesin bensin dan diesel (Weller, 1997). 2) Gas beracun, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Karena sifatnya yang tidak berbau, CO biasanya bercampur dengan gas-gas lain yang berbau sehingga CO dapat terhirup secara tidak disadari bersamaan dengan terhirupnya gas lain yang berbau (OSHA, 2002) 3) Suatu komponen tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak mempunyai rasa yang terdapat dalam bentuk gas pada suhu di atas 192o C (Ferdiaz, 1992) 4) Gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, diproduksi oleh segala proses pembakaran yang tidak sempurna dari bahan-bahan yang mengandung karbon atau oleh pembakaran di bawah tekanan dan temperatur tinggi seperti yang terjai di dalam mesin (internal combustion engine) (Slamet, 1994).

a. SIFAT CO 1) tidak berbau,tidak berwarna tidak berasa 2) Cair < -129 C 3) Mudah bercampur dengan gas lain 4) Tidak mengiritasi, mudah terbakar, dan sangat beracum

5) Membentuki pigmen kuat dengan pigmen darah200-3000 x lipat 6) Sifat fisika: bobot molekul: 28,01, mencair -191,5 c, titik beku -337F, kelarutan: larut air, metatiol, etanol, organik 7) Kimia-CO2 mudah terbakar 2C+O2 jadi 2CO 2CO+O2 jadi 2CO2 CO2+C jadi 2CO b. SUMBER GAS CO 1) Pembakaran tdk sempurna kendaraan bermotor,industry, dan asap rokok 2) Sumber alami: lautan, oksidasi metal di atmosfer, badai listrik alami Secara alami gas CO terbentuk dari proses meletusnya gunung berapi, proses biologi, dan oksidasi hidrokarbon seperti metana yang berasal dari tanah basah dan kotoran mahluk hidup. Selain itu, secara alami CO juga diemisikan dari laut, vegetasi, dan tanah.

3) Buatan: ken bermotor, BBM, minyak tanah,kompor gas, pemanas air, pemanas ruangan, Secara buatan: kendaraan bermotor, alat pemanas, peralatan yang menggunakan bahan api, berasaskan karbon dan nyala api (seperti tungku kayu), asap dari kereta api, pembakaran gas, asap tembakau. 4) Aantropogenik: pembakaran BB fosil, pembakaran bensin pada otomotify, alat alat pembakaran 5) Mikroorganisme: hyrdospora(Siphonophores) CO berasal dari proses-proses yang artifisial dan 80% diduga berasal dari asap kendaraan bermotor, dengan kepadatan lalu lintas dan kerelasi yang negatif dengan kecepatan angin. Secara alamiah CO diproduksi oleh Hydrozoa (siphonophores), suatu makhlik laut, jga oleh reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam atmosfer (Slamet, 1994).

c. Nilai ambang batas gas CO dalam darah Batas pemaparan karbon monoksida yang diperbolehkan oleh OSHA (Occupational Safety and Health Administration) adalah 35 ppm untuk waktu 8 jam/hari kerja, sedangkan yang diperbolehkan oleh ACGIH TLV-TWV adalah 25 ppm untuk waktu 8 jam (Handayani, 2006).

d. Yang mempengaruhi kadar CO di udara Umur karbon monoksida di udara diperkirakan 0,3 tahun. CO akan berubah menjadi CO2 apabila terdapat O2 yang terekxitasi dan bereaksi dengannya. Oxidasi berjalan kurang lebih 0,1% per jam apabila terdapat cukup cahaya matahari. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa menghilangnya Co dari atmosfir berjalan lebih cepat dari pada yang dapat dijelaskan oleh proses oxidasi biasa. Hal ini, antara lain, disebabkan kareba terdapat mikroorganisme dalam tanah yang dapat menghilangkannya. Berbagai jenis fungi seperti Penicillium dan Aspergillus dan mungkin pula berbagai jenis bakteri dapat menghilangkan CO dari udara. Dikatakan bahwa, kadar CO sebesar 120 ppm dapat dihilangkan dalam wakti 3 jam setelah kontak dengan tanah seberat 2,8 kg (Slamet, 1994). Faktor lain yang mempengaruhi kadar CO di udara menurut Wardhana (2001) adalah suhu, angin, kelembaban, sinar matahari dan tekanan udara. Suhutinggi merupakan pemicu terjadinya gas CO karena pada suhu tinggi CO Akan diuraikan menjadi CO dan O. Angin dapat mengurangi konsentrasi CO karenadipindahkan ke tempat

lain. Kelembaban udara yang tinggi dapat melarutkan CO. S e d a n g k a n t e k a n a n u d a r a ya n g t i n g g i d a p a t m e n a h a n p o l u t a n C O p a d a s u a t u daerah, sehingga konsentrasi CO di suatu daerah dapat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar karbon monoksida di udara : 1) Kendaraan bermotor Kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber karbon monoksida terbesar di lingkungan. Semakin banyak kendaraan, semakin banyak pula karbon monoksida

yang terbentuk. Biasanya jumlahnya meningkat pada jam-jam sibuk yaitu pagi dan sore hari. 2) Industri dan pembakaran batu bara Hampir serupa dengan kendaraan bermotor, pabrik dan kegiatan industri jelas menghasilkan banyak sekali karbon monoksida. Begitu pula dengan pembakaranpembakaran, juga yang menimbulkan asap-asap. 3) Kebiasaan merokok Rokok yang mengandung karbon monoksida turut serta menjadi salah satu sumber yang cukup diperhitungkan. Karena dewasa ini semakin banyak orang yang mengkonsumsi rokok, tidak terbatas pada umur ataupun jenis kelamin tertentu saja. 4) Kondisi bangunan Kondisi yang meliputi dan berpengaruh pada kadar karbon monoksida adalah masalah ventilasi dan cerobong asap. Ventilasi yang kurang dan tidak memadai, serta cerobong asap yang kurang tinggi atau belum memenuhi prasyarat rumah sehat pasti akan menimbulkan penimbunan CO di udara. 5) Angin Angin berperan dalam proses dinamika atmosfer, terutama perpindahan polutan dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi angin bisa memindahkan karbon monoksida dan membawanya ke daerah yang berbeda dari asalnya. Jadi jumlah kadar CO di udara juga sangat dipengaruhi oleh kecepatan angin. 6) Kelembaban Udara yang lembab membantu proses pengendapan bahan pencemar.

7) Suhu Suhu tinggi akan membuat konsentrasi pencemar menjadi rendah, sebaliknya suhu yang rendah akan membuat konsentrasi pencemar menjadi semakin tinggi. 8) Pergerakan udara Jika angin aktif dan kuat, maka polutan tidak memiliki cukup waktu untuk mengumpul karena cepat disebarkan. 9) Tanaman hijau

Jumlah tanaman yang ada berpengaruh pada banyak sedikitnya kadar CO di udara. Pada fotosintesis akan menghasilkan O2 dan menyerap CO2. (Firman, 2010).

Faktor resiko terpapar CO dari aspek individunya 1) pemadam kebakaran 2) perokok 3) bayi atau anak-anak dengan masalah kardiovaskular dini 4) pengecat 5) peminum alkohol 6) petugas bengkel yang menyalakan mesin kendaraan yang diservice 7) rumah dengan garasi tidak menggunakan ventilasi

Faktor risiko lingkungan yang bisa menimbulkan keracunan CO adalah: 1) Tempat tinggal: a) Pusat kota b) Gersang tanpa tanaman hijau c) Kawasan industry d) Pinggir jalan raya 2) Tempat kerja a) SPBU b) Terminal: sopir, kondektur, petugas terminal, pedagang c) Rumah makan: koki, pelayan d) Pengisisan tabung gas e) Pabrik: baja, besi, petroleum, kertas, kayu f) Dibidang elektronik: ada pancaran listrik g) Ladang pertanian: pada saat membakar sisa-sisa tanaman panen h) Pemadam kebakaran 3) Peristiwa alam a) Gunung meletus

b) Kebakaran hutan c) Gas alam d) Pancaran listrik dari kilat e) Germinasi (bertunasnya benih/spora tanaman) 4) Kebersihan lingkungan a) Sampah industry b) Sampah rumah tangga c) Sampah pembuangan limbah padat 5) Sarana transportasi Adanya peningkatan jumlah pengguna kendaraan bermotor terutama yang berbahan bakar bensin 6) Atmosfer Kecepatan reaksi yang mengubah CO menjadi CO2 2CO + O2 2CO2 Hanya dapat menghilangkan sekitar 0.1% perjam CO di udara. Kecepatan ini diperkirakan mempunyai umur 3.5 bulan. (Srikandi Fardiaz, 1992)

e. Gejala keracunan Tanda dan gejala Gejala-gejala umum antara lain (Fardiaz, 2006): 1) Rileks 2) Halusinasi 3) Pusing 4) Mual dan muntah 5) Pingsan 6) Rasa lelah 7) Berkeringat banyak 8) Pernafasan meningkat Tipe gejala

1) Gejala akut (waktu singkat): bibir dan kuku kemerahan, sakit kepala, pernafasan pendek dan dangkal, pusing, mual dan pingsan. 2) Gejala kronik (jangka panjang): berhubungan dengan pekerja tertentu misanya pemadam kebakaran yang memiliki faktor resiko penyakit jantung dan infertilitas.

Tabel berikut ini adalah efek keterpaparan gas karbon monoksida yang lain adalah: Konsentrasi Gejala atau Efek yang Diamati

Semua level Keterpaparan

Terindikasi yang dapat diamati pada bibir dan kuku jari berubah menjadi agak kemerahan

200ppm

Gejala ringan (sakit kepala dan gelisah) setelah beberapa jam terpapar

400ppm

Sakit kepala dan merasa tidak enak badan, gelisah setelah berada 2-3 jam paparan

10002000ppm

Dalam 30 menit akan terjadi palpitasi ringan pada jantung. Dalam 1 jam akan terjadi kecendrungan terjadi sempoyongan. Dalam 2 jam akan terjadi gangguan mental, sakit kepala dan mual

2000-2500 ppm >2500 ppm

Dalam paparan 30 menit akan terjadi pingsan tidak sadarkan diri

berpotensi terjatuh, roboh dan meninggal tanpa disertai gejala awal bila Langsung terpapar pada konsentrasi ini

Catatan

Dapat saja gejalan dengan cepat terjadi bilamana pekerja sedang

melakukan aktivitasnya yang memicu kebutuhan oksigen yang bertambah. Juga seseorang yang memiliki kondisi jantung bermasalah. Keadaan-keadaan demikian bisa mempercepat gejala keracunan gas karbon monoksida. Orang yang

Sumber : (http://xa.yimg.com/kq/groups/1051902/1005055310/name/RacunGasKarbonMonoksi da.pdf

f. Gejala keracunan Tanda dan gejala Gejala-gejala umum antara lain (Fardiaz, 2006): 9) Rileks 10) Halusinasi 11) Pusing 12) Mual dan muntah 13) Pingsan 14) Rasa lelah 15) Berkeringat banyak 16) Pernafasan meningkat Tipe gejala 3) Gejala akut (waktu singkat): bibir dan kuku kemerahan, sakit kepala, pernafasan pendek dan dangkal, pusing, mual dan pingsan. 4) Gejala kronik (jangka panjang): berhubungan dengan pekerja tertentu misanya pemadam kebakaran yang memiliki faktor resiko penyakit jantung dan infertilitas.

Tabel berikut ini adalah efek keterpaparan gas karbon monoksida yang lain adalah: Konsentrasi Gejala atau Efek yang Diamati

Semua level Keterpaparan

Terindikasi yang dapat diamati pada bibir dan kuku jari berubah menjadi agak kemerahan

200ppm

Gejala ringan (sakit kepala dan gelisah) setelah beberapa jam terpapar

400ppm

Sakit kepala dan merasa tidak enak badan, gelisah setelah berada 2-3 jam paparan

10002000ppm

Dalam 30 menit akan terjadi palpitasi ringan pada jantung. Dalam 1 jam akan terjadi kecendrungan terjadi sempoyongan. Dalam 2 jam akan terjadi gangguan mental, sakit kepala dan mual

2000-2500 ppm >2500 ppm

Dalam paparan 30 menit akan terjadi pingsan tidak sadarkan diri

berpotensi terjatuh, roboh dan meninggal tanpa disertai gejala awal bila Langsung terpapar pada konsentrasi ini

Catatan

Dapat saja gejalan dengan cepat terjadi bilamana pekerja sedang melakukan aktivitasnya yang memicu kebutuhan oksigen yang bertambah. Juga seseorang yang memiliki kondisi jantung bermasalah. Keadaan-keadaan demikian bisa mempercepat gejala keracunan gas karbon monoksida. Orang yang

Sumber : (http://xa.yimg.com/kq/groups/1051902/1005055310/name/RacunGasKarbonMonoksida.pdf

g. Penatalaksanaan korban CO Penanganan keracunan CO non Farmako dapat melalui beberapa tahap: 1) Laboratorium Penanganan di laboratorium dapat dengan dua cara: a) Mengukur kadar COHb dalam darah sesegera mungkin untuk dapat menetapkan diagnosis keracunan gas CO. Contoh atau darah sample dapat diambil dari darah arteri atau darah vena yang diukur dengan spektrofotometer (CO-Oximeter) (Wichaksana, 2003) b) Mengukur kadar COHb udara ekspirasi. Kadar COHb dapat diukur dengan cara kromatografi, dimana udara pernafasan ditampung dalam kantong dan kadar CO ditentukan dengan detektor perubahan ionisasi sesudah hidralasi katalik dengan tometane. (Wichaksana, 2003)

2) Tata Laksana a) Sesegera mungkin pindahkan dan jauhkan korban dari sumber pajanan gas CO, kemudian longgarkan pakaian yang dikenakan korban supaya lebih mudah bernafas (Handayani, 2006). b) Pemberian oksigen 100% atau oksigen murni denagn masker karet yang ketat atau endotracheal tube. Pastikan korban harus istirahat, dalam keadaan hangat, dan tenang (Handayani, 2006). c) Melakukan terapi hiperbarik, dengan menggunakan oksigen bertekanan 3 atmosfer (Wichaksana, 2003).

3) Penatalaksanaan keracunan CO secara farmakologi

Prinsip pada pengobatan Sakit Kepala karena intoksikasi CO ialah mengembalikan keadaan agar supply 02 untuk sel-sel jaringan kembali menjadi normal dan cukup, seperti semula. Tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut : a) Yang penting adalah memindahkan penderita kedalam ruangan dengan udara segar. b) Tindakan berikut adalah pemberian oksigen,

Terapi Oksigen Terapi O2 merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam mempertahankan okasigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2 adalah (1) untuk mengatasi keadaan Hipoksemia sesuai dengan hasil Analisa Gas Darah, (2) untuk menurunkan kerja nafas dan meurunkan kerja miokard. Syarat-syarat pemberian O2 meliputi : (1) Konsentrasi O2 udara inspirasi dapat terkontrol, (2) Tidak terjadi penumpukan CO2, (3) mempunyai tahanan jalan nafas yang rendah, (4) efisien dan ekonomis, (5) nyaman untuk pasien. Dalam pemberian terapi O2 perlu diperhatikan Humidification. Hal ini penting diperhatikan oleh karena udara yang normal dihirup telah mengalami humidfikasi sedangkan O2 yang diperoleh dari sumber O2 (Tabung) merupakan udara kering yang belum terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat dapat mencegah komplikasi pada pernafasan.

Indikasi Pemberian O2 Berdasarkan tujuan terapi pemberian O2 yang telah disebutkan, maka adapun indikasi utama pemberian O2 ini adalah sebagai berikut : (1) Klien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah,

(2) Klien dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernafasan serta adanya kerja otot-otot tambahan pernafasan, (3) Klien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.

Berdasarkan indikasi utama diatas maka terapi pemberian O2 dindikasikan kepada klien dengan gejala: (1) sianosis, (2) hipovolemi, (3) perdarahan, (4) anemia berat, (5) keracunan CO, (6) asidosis, (7) selama dan sesudah pembedahan, (8) klien dengan keadaan tidak sadar.

Metode Pemberian O2 Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 teknik, yaitu : (1) Sistem aliran rendah Teknik sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi udara ruangan. Teknik ini menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada tipe pernafasan dengan patokan volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 20 kali permenit. Contoh system aliran rendah ini adal;ah : (1) kataeter naal, (2) kanula nasal, (3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup muka dengan kantong rebreathing, (5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing. Keuntungan dan kerugian dari masing-masing system : (a) Kateter nasal Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu dengan aliran 1 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%. Keuntungan:

Pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap. Kerugian: Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%, teknik memasuk kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi selaput lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt dapat menyebabkan

nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter mudah tersumb at.

(b) Kanula nasal Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan aliran 1 sampai 6 L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal. Keuntungan: Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan kanul disbanding kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan nyaman. Kerugian: Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila klien bernafas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.

(c) Sungkup muka sederhana Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 8 L/mnt dengan konsentrasi O2 40 60%. Keuntungan: Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, system humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol.

Kerugian: Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran rendah.

(d) Sungkup muka dengan kantong rebreathing : Suatu teknik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 80% dengan aliran 8 12 L/mnt Keuntungan: Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput lender Kerugian: Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat.

(e) Sungkup muka dengan kantong non rebreathing Merupakan tehinik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 mencapai 99% dengan aliran 8 12 L/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi. Keuntungan: Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapi 100%, tidak mengeringkan selaput lendir. Kerugianz: Kantong O2 bisa terlipat.

(2) Sistem aliran tinggi Suatu teknik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan teknik ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan teratur. tinggi Adapun

contoh teknik system aliran

yaitu sungkup muka dengan

ventury. Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan

dari tabung akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya udaraluar dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini sekitas 4 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 55%. Keuntungan: Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrl serta tidak terjadi penumpukan CO2 Kerugian: Kerugian system ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup muka yang lain pada aliran rendah.

c) Selain ini hendaknya juga dilakukan usaha yang bersifat supportif yaitu penderita diusahakan agar selalu panas dengan menggunakan selimut dan sebagainya. Agar sama sekali tidak melakukan gerakan/aktifitas fisik, supaya ke butuhan oksigen oleh jaringan jadi seminimal mungkin. d) Pemberian obat simptomatis sebagai pereda nyeri kepala(acethaminofen atau aspirin). e) Tindakan tambahan lain jika pasien sudah mulai stabil yaitu dengan mendinginkan seluruh badan, maka kebutuhan sel-sel jaringan akan oksigen menurun, sehingga sequellae neurologis yang timbul dapat dikurangi seminimal mungkin.

h. Mencegah keracunan Cara pencegahan keracunan karbon monoksida dari edukasi Pencegahan berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi 3 : 1) Pencegahan melalui sumber yang bergerak Pencegahan seperti merawat mesin dengan baik. Melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala dan memasang filter dengan knalpot.

2) Pencegahan melalui sumber yang tidak bergerak Pencegahannya antara lain dengan cara memasangkan scruber pada cerobong asap, merawat mesin industry agar tetap baik dan lakukan pengujian secara berkala dan menggunakan bahan bakar minyak atau batu bara dengan kadar CO rendah. 3) Pencegahan yang dilakukan oleh manusia Apabila kadar CO yang terkandung dalam udara ambient telah melebihi baku mutu (10.000 mikrogram/Nm3) udara dengan rata-rata waktu pengukuran 24 jam) maka untuk mencegah dampak negative, dapat dilakukan upaya-upaya antara lain menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker gas dan menutup atau menghindari (Anonim, 2005) Toksikokinetika CO CO diserap melalui paru dan sebagian besar diikat oleh hemoglobin secara reversible, membentuk karboksi-hemoglobin (COHb). Selebihnya mengikat diri dengan mioglobin dan beberapa protein heme ekstravaskular lain, seperti cytochrome c oxidase dan cytochrome P-450. Afinitas CO terhadap protein heme bervariasi 30 sampai 500 kali afinitas oksigen, tergantung pada protein heme tersebut. Untuk hemoglobin, afinitas CO 208-245 kali afinitas oksigen.CO bukan merupakan racun yang kumulatif. Ikatan Hb dengan CO bersifat reversible dan setelah Hb dilepaskan oleh CO, sel darah merah tidak mengalami kerusakan. Absorbsi atau ekskresi CO ditentukan oleh kadar CO dalam udara lingkungan (ambient air), kadar COHb sebelum pemaparan (kadar COHb inisial), lamanya pemaparan, dan ventilasi paru. Bila orang yang telah mengabsorbsi CO dipindahkan ke udara bersih dan berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50% dalam waktu 4,5 jam. Dalam waktu 6-8 jam darahnya tidak mengandung COHb lagi. Inhalasi oksigen mempercepat ekskresi CO sehingga dalam waktu 30 menit kadar COHb telah berkurang setengahnya dari kadar semula. Umummya kadar COHb akan berkurang 50% bila penderita CO akut dipindahkan ke udara bersih dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8-10% setiap jamnya. Hal ini penting untuk dapat mengerti mengapa kadar COHb dalam darah korban rendah atau negatif pada saat diperiksa, sedangkan korban tempat-tempat yang diduga mengang CO

menunjukkan gejala dan atau kelainan histopatologis yang lazim ditemukan pada keracunan CO akut.

2.2.2. Toksikodinamika CO CO bereaksi dengan Fe dari porfirin dan karena itu CO bersaing dengan oksigen dalam mengikat protein heme yaitu hemoglobin, mioglobin, sitokrom oksidase (sitokroma, a3) dan sitokrom P-450, peroksidase dan katalase. Yang terpenting adalah reaksi CO dengan Hb dan sitokrom a3. dengan diikatnya Hb menjadi COHb mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga darah berkurang kemampuan untuk mengangkut oksigen. Selain itu adanya COHb dalam darah akan menghambat disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan mengalami hipoksia. Reaksi CO dengan sitokrom a3 yang merupakan link yang penting dalam sistem enzim pernafasan sel dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Untuk menentukan kadar CO dalam darah digunakan rumus Henderson dan Haggard. Rumusnya adalah sebagai berikut: Lama paparan (dalam jam) x Konsentrasi CO di udara (dalam ppm) Konsentrasi CO dalam udara lingkungan dan lamanya inhalasi/paparan menentukan kecepatan timbulnya gejala-gejala atau kematian. 50 ppm (0,005%) adalah TLV (Threshold Limit Value) gas CO, yaitu konsentrasi CO dalam udara lingkungan yang dianggap aman pada inhalasi selama 8 jam setiap hari dan 5 hari setiap minggu untuk jumlah tahun yang tidak terbatas. Pada 200 ppm (0,02 %) inhalasi 1-3 jam akan mengakibatkan kadar COHb mencapai 15 20 % saturasi dan gejala keracunan CO mulai timbul. Pada 1000 ppm (0,1 %), inhalasi 3 jam dapat menyebabkan kematian. Sedangkan pada 3000 ppm (0,3%), inhalasi 2 jam sudah dapat menyebabkan kematian. Pada 10.000 ppm (1%), inhalasi 15 menit dapat menyebabkan kehilangan kesadaran dengan COHb 50% saturasi, sedangkan inhalasi 20 menit menyebabkan kematian dengan 80% saturasi. Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi toksisitas CO yaitu aktivitas fisik dan penyakit yang menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan seperti arteriosklerosis pembuluh dara otak dan jantung, emfisema paru, asma bronchial, TBC paru dan penyakit metabolik serta obat-obatan yang menyebabkan depresi susunan saraf pusat, contohnya alkohol, barbiturat dan morfin.

2.4. Pengaruh keracunan CO pada jantung 2.4.1. Pengaruh terhadap fisiologi jantung

Selain dikarenakan efek dari ikatan karboksihemoglobin yang menyebabkan hipoksia organ termasuk jantung, gas CO yang berada di jaringan ekstravaskuler (10-15%) akan mengikat mioglobin, sitokrom P 450 dan enzim sitokrom oksidase a3 mitokondria miokardium menyebabkan hasil oksidasi mitokondria berupa ATP (Adenosin Tri Posfat) berkurang. ATP merupakan bahan sangat penting bagi aktivitas neuron dan miokardium, sehingga daya kontraktil miokardium menurun, terjadi hipotensi, aritmia ventrikuler dan dapat terjadi mati mendadak (sudden death). Pada keadaan normal, miokardium menghasilkan asam piruvat dan asam laktat sebagai hasil oksidasi sirkulasi koroner. Bila kadar COHb mencapai 10%, miokardium gagal melepas kedua asam ini karena daya kontraktil menurun, sebagai akibat gangguan produksi ATP, terjadi asidosis laktat. Selain mekanisme utamanya dalam menyebabkan hipoksia, CO secara tidak langsung menghasilkan radikal-radikal bebas oksigen, yang dapat mengoksidasi asam nukleat sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.

2.4.2. Pengaruh pada otot jantung 2.4.2.1. Cedera sel Cedera sel akan terjadi ketika sel mengalami stres fisiologis atau rangsang patologis. Dalam batas tertentu cedera bersifat reversible, dan sel dapat kembali ke kondisi semula. Namun pada stres yang berat atau menetap, terjadi cedera irreversible dan sel yang terkena mati. Sebagian besar penyebab cedera sel antara lain hipoksia, bahan kimia, agen infeksius, reaksi imunologi, defek genetik, ketidakseimbangan nutrisi, agen fisik, dan penuaan. Hipoksia atau defisiensi oksigen, merupakan penyebab cedera sel tersering dan terpenting, serta menyebabkan kematian. Hipoksia harus dibedakan dengan iskemia, yang merupakan terhentinya suplai darah dalam jaringan akibat gangguan aliran darah arteri atau berkurangnya drainase vena. Defisiensi oksigen juga dapat disebabkan oleh oksigenasi darah yang tidak adekuat, salah satu contohnya adalah pada keracunan CO. Ketidakmampuan mengkompensasi perubahan yang terjadi menyebabkan kematian sel. Adapun dua pola dasar kematian sel yaitu nekrosis dan apoptosis. Kematian sel atau jaringan pada organisme hidup disebut nekrosis yang merupakan merupakan pola kematian sel yang utama. Umumnya perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrotik melibatkan sitoplasma sel, namun intilah yang paling jelas menunjukkan perubahan perubahan kematian sel. Biasanya inti sel yang mati akan melisut, memadat, batasnya tidak teratur, dan berwarna basofilik dengan zat warna

Hematoksilin-Eosin (HE). Kondisi inti seperti ini disebut piknotik. Selanjutnya inti sel dapat hancur dan meninggalkan pecahan-pecahan kromatin yang tersebar di dalam sel. Proses ini disebut karioreksis. Akhirnya, pada beberapa keadaan, kromatin inti sel menjadi lisis dan tampak memudar pada pengecatan HE. Kondisi ini disebut kariolisis. Akibat nekrosis yang paling nyata adalah hilangnya fungsi daerah yang mati tersebut.

2.4.2.2. Cedera sel otot jantung Sejauh ini, belum dapat ditemukan bukti secara histologi bahwa CO mempunyai efek toksik secara langsung terhadap jaringan. Lesi yang terjadi khususnya karena keracunan kronik dalam waktu yang lama , dianggap sebagai akibat dari hipoksia atau berhubungan dengan gangguan sirkulasi dan kondisi syok atau bisa diartikan lesi-lesi tersebut terjadi sebagai akibat kondisi hipoksia, yang bisa saja penyebabnya adalah selain keracunan CO. Pada otot jantung, Korb (1962) dan David (1962) berhasil mengidentifikasi adanya nekrobiosis kecil yang berbatas tegas dan nekrosis serat otot jantung bahkan setelah keracunan CO akut dengan menggunakan mikroskop elektron dan fluoresen. Dengan mikroskop elektron, lesi pertama terlihat pada mitokondria. Zat fuchsinophilic dalam sarkoplasma sel otot jantung dan infark miokard yang teratur terlihat pada monyet setelah keracunan CO akut. Dalam literatur lama, dilaporkan juga terdapat pendarahan, infiltrasi lemak, dan nekrosis otot jantung. Dalam sumber yang lain juga disebutkan bahwa efek gas CO pada tingkat miokardium, CO berikatan dengan mioglobin dan mengganggu transport oksigen ke mitokondria otot. Dan pada tingkat seluler, dapat ditemukan pembengkakan mitokondria, hilangnya pembatas membran, nekrosis miofibril, pemisahan diskus interkalatus, peningkatan droplet lemak, dan edema arteri-arteri kecil. Nekrosis koagulatif dan infiltrasi lemak yang bersifat diffuse pada myocyte ditemukan pada pemeriksaan histologi. Penemuan ini menunjukkan adanya anoksi miokard sekunder akibat paparan CO. 2.4.2.3. Temuan makroskopis Pada miokardium dapat ditemukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di muskulus papilaris ventrikel kiri, kadang-kadang juga terdapat pada otot ventrikel, terutama di subperikardial dan subendokardial. Pada penampang memenjang, tampak pada bagian ujung m.papillaris bercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti kipas berjalan dari tempat insertio tendinosa ke dalam otot.

2.1 Pengertian Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah metalprotein pengangkut oksigen yang mengandung besi dalam sel merah dalam darah mamalia dan hewan lainnya. Molekul hemoglobin terdiri dari globin,

apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi (Wikipedia, 2007). Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Memiliki afinitas (daya gabung) terhadap oksigen dan dengan oksigen itu membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah. Dengan melalui fungsi ini maka oksigen dibawa dari paru-paru ke jaringan-jaringan (Evelyn, 2009). Hemoglobin merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Hemoglobin adalah kompleks protein-pigmen yang mengandung zat besi. Kompleks tersebut berwarna merah dan terdapat didalam eritrosit. Sebuah molekul hemoglobin memiliki empat gugus haeme yang mengandung besi fero dan empat rantai globin (Brooker, 2001). Hemoglobin adalah suatu senyawa protein dengan Fe yang dinamakan conjugated protein. Sebagai intinya Fe dan dengan rangka protoperphyrin dan globin (tetra phirin) menyebabkan warna darah merah karena Fe ini. Eryt Hb berikatan dengan karbondioksida menjadi karboxy hemoglobin dan warnanya merah tua. Darah arteri mengandung oksigen dan darah vena mengandung karbondioksida (Depkes RI dalam Widayanti, 2008). Menurut William, Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk bulat yang terdiri dari 4 subunit. Setiap subunit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengandung besi. Polipeptida itu secara kolektif disebut sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin (Shinta, 2005).

2.1.1 Kadar Hemoglobin (Hb) Kadar hemoglobin ialah ukuran pigmenrespiratorik dalam butiran-butiran darah merah (Costill, 1998). Jumlah hemoglobin dalam darah normal adalah kira-kira 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut 100 persen (Evelyn, 2009). Batas normal nilai hemoglobin untuk seseorang sukar ditentukan karena kadar hemoglobin bervariasi diantara setiap suku bangsa. Namun WHO telah menetapkan batas kadar hemoglobin normal berdasarkan umur dan jenis kelamin (WHO dalam Arisman, 2002). Tabel 2.1.1 Batas Kadar Batas Nilai Hemoglobin (gr/dl)

Hemoglobin Kelompok Umur Anak 6 bulan - 6 tahun Anak 6 tahun - 14 tahun Pria dewasa Ibu hamil Wanita dewasa 11,0 12,0 13,0 11,0 12,0

Sumber : WHO dalam arisman 2002

Tabel 2.1.2 Batas Normal Kadar Hemoglobin Setiap kelompok Umur Kelompok

Umur

Hb (gr/100ml)

Anak

1. 6 bulan sampai 6 tahun 2. 6-14 tahun

11 12

1. Laki-laki Dewasa 2. Wanita 3. Wanita hamil 13 12 11 Sumber : Depkes RI, 1999 (Zarianis, 2006)

2.1.2 Struktur Hemoglobin (Hb) Pada pusat molekul terdiri dari cincin heterosiklik yang dikenal dengan porfirin yang menahan satu atom besi, atom besi ini merupakan situs/lokal ikatan oksigen. Porfirin yang mengandung besi disebut heme. Nama hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin, globin sebagai istilah generik untuk protein globular. Ada beberapa protein mengandung heme dan hemoglobin

adalah yang paling dikenal dan banyak dipelajari. Pada manusia dewasa, hemoglobin berupa tetramer (mengandung 4 submit protein), yang terdiri dari dari masing-masing dua sub unit alfa dan beta yang terikat secara non kovalen. Sub unitnya mirip secara struktural dan berukuran hampir sama. Tiap sub unit memiliki berat molekul kurang lebih 16.000 Dalton, sehingga berat molekul total tetramernya menjadi 64.000 Dalton. Tiap sub unit hemoglobin mengandung satu heme, sehingga secara keseluruhan hemoglobin memiliki kapasitas empat molekul oksigen (Wikipedia, 2007).

2.1.3 Guna Hemoglobin (Hb) Hemoglobin di dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk dikeluarkan dari tubuh.Mioglobin berperan sebagai reservoir oksigen : menerima, menyimpan dan melepas oksigen di dalam sel-sel otot. Sebanyak kurang lebih 80% besi tubuh berada di dalam hemoglobin (Sunita, 2001). Menurut Depkes RI adapun guna hemoglobin antara lain : 1. Mengatur pertukaran oksigen dengan karbondioksida di dalam jaringan-jaringan tubuh. 2. Mengambil oksigen dari paru-paru kemudian dibawa ke seluruh jaringan-jaringan tubuh untuk dipakai sebagai bahan bakar. 3. Membawa karbondioksida dari jaringan-jaringan tubuh sebagai hasil metabolisme ke paruparu untuk di buang, untuk mengetahui apakah seseorang itu kekurangan darah atau tidak, dapat diketahui dengan pengukuran kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin dari normal berarti kekurangan darah yang disebut anemia (Widayanti, 2008).

2.1.4 Faktor-Faktor Mempengaruhi Kadar Hemoglobin Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kadar hemoglobin adalah : 1. Kecukupan Besi dalam Tubuh Menurut Parakkasi, Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin, sehingga anemia gizi besi akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil dan kandungan hemoglobin yang rendah. Besi juga merupakan mikronutrien essensil dalam memproduksi hemoglobin yang berfungsi mengantar oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, untuk dieksresikan ke dalam udara pernafasan, sitokrom, dan komponen lain pada sistem enzim

pernafasan seperti sitokrom oksidase, katalase, dan peroksidase. Besi berperan dalam sintesis hemoglobin dalam sel darah merah dan mioglobin dalam sel otot. Kandungan 0,004 % berat tubuh (60-70%) terdapat dalam hemoglobin yang disimpan sebagai ferritin di dalam hati, hemosiderin di dalam limpa dan sumsum tulang (Zarianis, 2006). Kurang lebih 4% besi di dalam tubuh berada sebagai mioglobin dan senyawa-senyawa besi sebagai enzim oksidatif seperti sitokrom dan flavoprotein. Walaupun jumlahnya sangat kecil namun mempunyai peranan yang sangat penting. Mioglobin ikut dalam transportasi oksigen menerobos sel sel membran masuk kedalam sel-sel otot. Sitokrom, flavoprotein, dan senyawasenyawa mitokondria yang mengandung besi lainnya, memegang peranan penting dalam proses oksidasi menghasilkan Adenosin Tri Phosphat (ATP) yang merupakan molekul berenergi tinggi. Sehingga apabila tubuh mengalami anemia gizi besi maka terjadi penurunan kemampuan bekerja. Pada anak sekolah berdampak pada peningkatan absen sekolah dan penurunan prestasi belajar (WHO dalam Zarianis, 2006). Menurut Kartono J dan Soekatri M, Kecukupan besi yang direkomendasikan adalah jumlah minimum besi yang berasal dari makanan yang dapat menyediakan cukup besi untuk setiap individu yang sehat pada 95% populasi, sehingga dapat terhindar kemungkinan anemia kekurangan besi (Zarianis, 2006). 2. Metabolisme Besi dalam Tubuh Menurut Wirakusumah, Besi yang terdapat di dalam tubuh orang dewasa sehat berjumlah lebih dari 4 gram. Besi tersebut berada di dalam sel-sel darah merah atau hemoglobin (lebih dari 2,5 g), myoglobin (150 mg), phorphyrin cytochrome, hati, limpa sumsum tulang (> 200-1500 mg). Ada dua bagian besi dalam tubuh, yaitu bagian fungsional yang dipakai untuk keperluan metabolik dan bagian yang merupakan cadangan. Hemoglobin, mioglobin, sitokrom, serta enzim hem dan nonhem adalah bentuk besi fungsional dan berjumlah antara 25-55 mg/kg berat badan. Sedangkan besi cadangan apabila dibutuhkan untuk fungsi-fungsi fisiologis dan jumlahnya 5-25 mg/kg berat badan. Ferritin dan hemosiderin adalah bentuk besi cadangan yang biasanya terdapat dalam hati, limpa dan sumsum tulang. Metabolisme besi dalam tubuh terdiri dari proses absorpsi, pengangkutan, pemanfaatan, penyimpanan dan pengeluaran (Zarianis, 2006).

Daftar Pustaka

1. DR.P.V. Chadha, Karbon Monoksida, Ilmu Forensik dan Toksikologi, Edisi 5 , Penerbit Widya Medika Jakarta, 1995. 2. Homan CS, Brogan GX. Carbon Monoxide Poisoning dalam : Viccellio P (Editor). Handbook of Medical Toxicology, First edition, Little Brown and Co, Boston.1993 3. InfoPOM Badan POM Volume 5 No. 1 Januari 2004, Keracunan Yang Disebabkan Gas Karbon Monoksida, Jakarta, 2004. 4. Olson, KR, Cargbon Monoxide, Poisoning & Drug Overdose, Fourth edition, Mc. Graw Hill, Singapore, 2004. 5. Sentra Informasi Keracunan Badan POM, Pedoman Penatalaksanaan Keracunan Untuk Rumah Sakit, Karbon Monoksida, Jakarta, 2001.