patologi birokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan okjen
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PATOLOGI BIROKRASI DALAM PELAKSANAAN PEMERINTAHAN [email protected]
BIROKRASIJUDUL
PATOLOGI BIROKRASI DALAM PELAKSANAAN PEMERINTAHAN
http://ojen.webs.com/
DI SUSUN OLEH:
NAMA : OKJEN M. KANSIL NIM : 100811149
PAPER
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2013
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rakmatnya kepada saya, sehingga saya dapat menyeslesaikan tugas Paper Birokrasi dengan
judul “Patologi Birokrasi Dalam Pelaksanaan Pemerintahan “.Penulisan ini dimaksudkan
untuk melengkapi tugas – tugas yang sudah di berikan kepada saya .
Tugas ini banyak kendala yang dihadapi terutama terbatasnya literatur dan sumber –
sumber penunjang lainnya.Namun dengan tekat yang kuat serta dorongan yang berasar dari
berbagai pihak, maka penulisan tugas ini dapat diselesaikan. Sebagai manusia biasa yang
tidak luput dari pada kekhilafan dan kesalahan, saya mengharapakan keritik dan saran dari
semua pembaca yang sifatnya membangun demi untuk melengkapi dan menyempurnakan
karya tulis ini
Penulis
OkjenM. Kansil100811149
iDAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………………… iDaftar Isi…………………………………………………………………………… iiBAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang…………………………………………………………………….. 1 - 2
B. RumusanMasalah………………………………………………………………… 3
C. TujuanPenulisan………………………………………………………………..… 3
D. ManfaatPenulisan……………………………………………………………… 3
BAB III PEMBAHASAN
A. Konsep Birokrasi….…………………………………………………………… 4-6
B. Ciri-Ciri Birokrasi Menurut Max Weber ……………………………………… 7
C. Pengertian Birokrasi…………………………………………………………… 6 -
10
D. Pengertian Patologi Birokrasi ………………………………………………… 10
E. Jenis Patologi Birokrasi Pada Aparatur Birokrasi ……………………………. 11
F. Data Kasus ……………………………………………………………………. 11
G. Akibat Patologi Birokrasi ………………………………………………….. 12
H. Cara Mengatasi Patologi Birokrasi ………………………………………… 12
I. Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Patologi Birokrasi …………….. 13 –
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………………………… 15
B. Saran ………………………………………………………………………… 16
DAFTAR PUSTAKALampiran
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar BelakangBirokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan, permasalahan yang ada
pun masih sama dari zaman dahulu. Saat ini pemerintah baik pusat maupun daerah
menghabiskan lebih dari setengah anggarannya untuk birokrasi.Pengeluaran ini tidak diikuti
dengan kinerja birorasi yang optimal. Di Negara dan pemerintahan manapun, para anggota
birokrasi disebut sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Dengan predikat demikian,
mereka diharapkan dan dituntut menampilkan perilaku yang sesuai dengan peranannya selaku
abdi tersebut. Keseluruhan perilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan kepada
seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian
tugas, sudah barang tentu terdapat bagian masyarakat yang menjadi “clientele” suatu instansi
tertentu. Sebagai prinsip dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh birokrasi
kepada para masyarakat harus bersifat adil, cepat, ramah dan tanpa diskriminasi. Karena itu,
ungkapan yang mengatakan bahwa para pegawai negeri adalah untuk melayani dan bukan
untuk dilayani, hendaknya terwujud dalam praktik administrasi pemerintahan sehari-hari,
sebab apabila tidak ada, ungkapan tersebut hanya akan menjadi slogan
tanpa makna.
Dengan kata lain, teramat penting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi
menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan peranannya selaku abdi negara dan abdi
masyarakat.
Dari segi inilah, penting dipahami patologi birokrasi yang ber-sumber dari keperilakuan.
Pemahaman perilaku dalam kaitannya dengan patologi birokrasi, mutlak perlu disoroti dari
sudut pandang etos kerja dan kultur organisasi yang berlaku dalam suatu birokrasi tertentu.
Dewasa ini, Berbagai keluhan dan kritikan mengenai kinerja birokrasi memang bukan hal
baru lagi, karena sudah ada sejak zaman dulu. Birokrasi lebih menunjukkan kondisi empirik
yang sangat buruk, negatif atau sebagai suatu penyakit (bureau patology), seperti
Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan
tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity),
ketimbang citra yang baik atau rasional (bureau rationality), seperti yang dikandung
misalnya, dalam birokrasi Hegelian dan Weberian.
Persoalan patologi atau penyakit birokrasi bersumber dari rekruitmen dan penempatan
birokrat yang tidak berdasarkan merit system (berdasarkan jenjang karir). Selain itu
keterlibatan birokrasi dalam politik dianggap sebagai hal yang harus diwaspadai karena
birokrasi bukanlah institusi atau lembaga yang bisa mewakilkan kepentingan kelompok atau
golongan tertentu. Secara makro atau nasional persoalan birokrasi di Indonesia lebih di
dominasi karena kurangnya pemisahan atau segresi yang jelas antara kepentingan politik dan
administrasi.
Citra buruk tersebut semakin diperparah dengan isu yang sering muncul ke permukaan, yang
berhubungan dengan kedudukan dan kewenangan pejabat publik, yakni korupsi dengan
beranekaragam bentuknya, serta lambatnya pelayanan, dan diikuti dengan prosedur yang
berbelit-belit.
Keseluruhan kondisi empirik yang terjadi secara akumulatif telah meruntuhkan konsep
birokrasi Hegelian dan Weberian yang menfungsikan birokasi untuk mengkoordinasikan
unsure – unsure dalam proses pemerintahan. Birokrasi, dalam keadaan demikian, hanya
berfungsi sebagai pengendali, penegak disiplin, dan penyelenggara pemerintahan dengan
kekuasaan yang sangat
besar, tetapi sangat mengabaikan fungsi pelayanan masyarakat.
Buruk serta tidak transparannya kinerja birokrasi bisa mendorong masyarakat untuk mencari
''jalan pintas'' dengan suap atau berkolusi dengan para pejabat dalam rekrutmen pegawai atau
untuk memperoleh pelayanan yang cepat. Situasi seperti ini pada gilirannya seringkali
mendorong para pejabat untuk mencari ''kesempatan'' dalam ''kesempitan'' agar mereka dapat
menciptakan rente dari pelayanan berikutnya.
Atas dasar tersebut diatas maka Penulis membuat makalah yang berjudul Patologi Birokrasi
Dalam Pelaksanaan Pemerintahan karena perilaku aparatur ini. [email protected]
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa definisi dari patologi birokrasi ?
2. Apa saja jenis patologi birokrasi yang ditimbulkan oleh prilaku aparat pemerintah
3. Apa saja akibat yang di timbulkan dari Patologi yang terjadi?
4. Apa solusi yang konkrit dalam menangani Patologi Birokrasi yang dilakukan
aparat
pemerintah?
C. TujuanPenulisan
Sesuai dengan rumusan masalah penulisan, maka tujuan penulisan ini adalah :
a. Untuk mengetahui atau membuktikakan apakah kinerja birokrat sesuai dengan apa
yang dinginkan oleh masyarakat.
b. Untuk mengetahui hubungan dan besar pengaruh dari birokrat pemerintah terhadap
pelayanan publik
D. Manfaat Penulisan
Secara teoritis kiranya hasil penulisan ini dapat menjadi input atau sebagai bahan
masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu – ilmu sosial dalam memperkaya konsep –
konsep atau teori – teori yang berhubungan dengan patologi birokrasi
BAB IIPEMBAHASAN
A. Konsep Birokrasi
De Gournay dalam Albrow ( 1989 : 2), salah seorang perintis studi birokrasi pada
tahun 1764 di Perancis menemukan sebuah penyakit pemerintahan yang disebut”
Buruemania” , untuk menyebutkan bentuk pemerintahan yang banyak di keluhkan dimana
para pejabat juru tulis, sekertaris, para inspektur dan manajer diangkat bukan menguntukan
kepentingan umum. Akan tetapi lebih mengutamakan kepentingan pribadi, dan atau golongan
Sejak itu istilah birokrasi mulai diperkenakan, dalam perbendaharaan bahasa pada
abad ke 18 sudah mulai istilah” bureau” yang diserap dari konsep Yunani tentang
pemerintahan yang diartikaan : meja tulis, tempat para pekerja bekerja, dan ditambahkan arti
aturan. Albrow ( 1989 : 3), menjelaskan istilah ini kemudian mengalami transliterasi sebagai
mana istilah democracy, sehingga menjadi” bureaucracy” . kata ini dengan cepat di teria
dalam pembendaharaan politi internasional, dan menjadi Bureucratie ( Prancis) Bureukratie
( Jerman), Burocrazia(Italia), dan Bureucracy (Inggris). Kata ini dalam kamus mengartikan
sebagai kekuasaan pejabat dalam pemerintahan.
- Definisi Birokrasi
Weber dalam H. G. Surie (1987 : 99 ), menyebutkan definisi birokrasi adalah sebagai
suatu daftar atau sejumlah daftar ciri – ciri yang sifat peentingnya yang relatif secara
hubungan satu sama yang lain telah banyak menimbulkan perdebatan. Paling
mencolokdiantara ciri – ciri ini ialah bidang – bidang kompetensi yang jelas batasannya,
pelaksanaan tugas – tugas resmi secara terus menerus. Suatu hilarki pengendalian yang
teratur dimana kemungkinan untuk naik pangkat memungkinkan dibuatnya suatu karier;
pengangkatan dan kenaikan pangkat berdasarkan criteria kemampuan ( termasuk ijazah –
ijazah pendidikan, ujian khusus dan prestasi dalam pekerjaan ), pembuatan keputusan yang
didasarkan atas catatan – catatan tertulis , gaji tetap, pemisahan jabatan dari hak milik pribadi
jabatan, dan suatu gaya pengembalian keputusan yang terdiri atas , penerapan atauran -
aturan umum pada kasus – kasus individual.
B. Ciri-Ciri Birokrasi Menurut Max Weber
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bureau + cracy), diartikan sebagai sesuatu
organisasi yang memiliki rantai komandogn bentuk piramida, dimana lebih bayak orang
berada ditingkat bawah dari pada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya
administratif maupun militer.
pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya dideskripsikan degan
jelas dalam organigram. organisasi ini pun memiliki aturan & prosedur ketat sehingga
cenderung kurang fleksibel. ciri lainnya adalah biasanya terdapat bayak formulir yang harus
dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus dilakukan sesuai dgn hirarki kekuasaan.
Ciri-ciri birokrasi menurut Max Weber
1. Pegawai negeri menerima gaji tetap sesuai degan pangkat atau kedudukannya.
2. Pekerjaan merupakan karir yang terbatas, atau pada pokoknya, pekerjaannya sebagai
pegawai negeri.
3. Para pejabat tidak memiliki kantor sendiri.
4. Para pejabat sebagai subjek ukt mengontrol dan mendisiplinkan.
5. Promosi didasarkan pada pertimbangan kemampuan yang melebihi rata-rata.
6. Jabatan administratif yang terorganisasi/tersusun secara hirarkis.
7. Setiap jabatan mempunyai wilayah kompetensinya sendiri
8. Pegawai negeri ditentukan, tidak dipilih, berdasarkan pada kualifikasi teknik yang
ditunjukan dengan ijazah atau ujian. [email protected]
C. Pengertian Birokrasi
Konsep-konsep birokrasi secara awal lekat dengan stempel “tak efektif”, “lambat”,
“kaku”, bahkan “menyebalkan.” Stempel-stempel seperti ini pada satu sisi menemui sejumlah
kebenarannya pada fakta lapangan. Namun, sebagian lain merupakan stereotipe yang
sesungguhnya masih dapat diperdebatkan keabsahannya.
Pada materi ini, kita akan kembali kepada tema awal maksud dari gagasan birokrasi. Konsep
birokrasi yang dikaji pada materi ini mengikut pada dua teoretisi yang cukup berpengaruh di
bidang ini.Pertama adalah konsep birokrasi yang disodorkan Max Weber.Kedua adalah
konsep birokrasi yang disodorkan oleh Martin Albrow. Potret Indonesia
Birokrasi ialah alat kekuasaan bagi yang menguasainya, dimana para pejabatnya
secara bersama-sama berkepentingan dalam kontinuitasnya Weber memandang birokrasi
sebagai arti umum, luas, serta merupakan tipe birokrasi yang rasional. Weber berpendapat
bahwa tidak mungkin kita memahami setiap gejala kehidupan yang ada secara keseluruhan,
sebab yang mampu kita lakukan hanyalah memahami sebagian dari gejala tersebut. Satu hal
yang penting ialah memahami mengapa birokrasi itu bisa diterapkan dalam kondisi organisasi
negara tertentu.
Dengan demikian tipe ideal memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita
mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting yang membedakan antara kondisi
organisasi tertentu dengan lainnya
Menurut weber, proses semacam ini bukan menunjukkan objektivitas dari esensi
birokrasi, dan bukan pula mampu menghasilkan suatu deskripsi yang benar dari konsep
birokrasi secara keseluruhan, tetapi hanya sebagai suatu konstruksi yang bisa menjawab suatu
masalah tertentu pada kondisi waktu dan tempat tertentu. Menurut weber tpe ideal birokrasi
yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut :
1. Pejabat secara rasional bebas, tetapi dibatasi oleh jabatannya
2. Jabatan disusun oleh tingkat hierarki dari atas ke bawah dan kesamping dengan
konsekuensinya berupa perbedaan kekuasaan.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda
satu sama lain
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun.
7. Terdapat struktur pengembangan karieryang jelas
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya untuk
kepentingan pribadi
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin. (Weber, 1978 dan Albrow, 1970)
Dalam pemerintahan, kekuasaan publik dijalankan oleh pejabat pemerintah/para birokrat
yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan peranan dan fungsinya dalam sistem birokrasi
negara dan harus mampu mengendalika
Max Weber on Bureaucracy
Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi
(asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”.Kata “bureau” berasal dari Perancis
yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi
kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan lewat meja atau
kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta.Pada pucuk kekuasaan
organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis,
dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.
Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan
makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang
seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya
birokrasi-patrimonial.Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu
birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional.Banyak pengangkatan pejabat
yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti.Akibatnya banyak pekerjaan negara yang
“salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu,
Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah
birokrasi.
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas
legal dapat diselenggarakan, yaitu:
tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya,
yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan
pengaduan (complaint);
aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara
legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan
kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk
aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut
dapat dikatakan bercorak legal-rasional.Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf)
di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-
rasional adalah sebagai berikut:
para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas
impersonal sesuai dengan jabatan mereka; terdapat hirarki jabatan yang jelas;
fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas; para pejabat diangkat berdasarkan suatu
kontrak;
para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu
diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian; para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga
dilengkapi hak-hak pensiun.
Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati
posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta
menurut pertimbangan keunggulan (superior);
pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber
yang tersedia di pos terbut, dan; pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang
seragam.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin (superordinat)
mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat).Sistem birokrasi menekankan pada aspek
“disiplin.”Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai sistem legal-rasional.Legal
oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak oleh siapa pun juga.Rasional
artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-akibatnya.
Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas subordinat.Kontrol
ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan absolut di tangan
superordinat.Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional melainkan sesuai
keinginan pemimpin belaka. Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan
yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut:
Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu
keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan
sendiri.Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap
fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran
negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden.Pemisahan kekuasaan,
menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu
membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara
yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia)
“kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan
menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama
pelaksanaan tugas tersebut.
Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung
jawab kepada suatu majelis.Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif
Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR.Ini
berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara
keseluruhan.
Representasi.Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili
para pemilihnya.Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam
mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi.Ini akibat pengertian tak langsung bahwa
anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Hingga kini, pengertian orang mengenai birokrasi sangat dipengaruhi oleh pandangan-
pandangan Max Weber di atas.Dengan modifikasi dan penolakan di sana-sini atas pandangan
Weber, analisis birokrasi mereka lakukan.
D. Pengertian Patologi Birokrasi.
Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David Osborne, JW Schoorl)
Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau penyimpangan yang dilakukan
pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka melayani publik, melaksanakan tugas, dan
menjalankan program pembangunan.
Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-
kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi birokrasi digambarkan oleh Victor
A Thompson seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-
rutinitas dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-
hak dari otoritas dan status.
Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat
perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang
menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal
E. Jenis Patologi Birokrasi Pada Aparatur Birokrasi
Terdapat lima jenis patologi birokarasi yang dikenal, yaitu:
1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Diantara
patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenag dan jabatan, menerima
suap,arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme.
2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para
petugas
pelaksana birokrasi. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan
ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas
diri,bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan.
3. Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan
peraturan perundang-undangan. Diantara patologi jenis ini antara lain, menerima suap,
korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran.
4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat
disfungsional. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenang-wenang,
konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin.
5. Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan
pemerintahan. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi
tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif.
F. Data Kasus
Dari kasus di lapangan yang ada, dapat dilihat bahwa hal tersebut juga menunjukkan
adanya patologi dalam birokrasi khususnya di daerah Kabupaten Bengkalis. Yaitu:
Terkait beberapa isu penyakit di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Bengkalis dapat
dilihat beberapa diantaranya masuk dalam kategori patologi birokrasi Patologi yang timbul
karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Misalnya dalam hal kurang disiplin, ini
terbukti dengan adanya para PNS yang tertangkap sedang berada di warung kopi pada saat
jam kerja. tentunya kejadian ini bisa di temui pada saat terjadi Razia. Seperti yang di lihat
dari “TribunPekanbaru.com” terbukti bahwa Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)
Riau, Nizhamul, Kamis (22/03/2012)pagi, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah
melakukan Razia Terhadap PNS, dan mereka menemukan atau sudah mendata ada 49 PNS
yang tertangkap tangan sedang nongkrong di Kedai kopi pada saat jam kerja.
Melihat situasi yang ada, penyakit tersebut terlihat bahwa masalahnya adalah pada
kredibilitas terhadap kinerja yang rendah.
G. Akibat Patologi Birokrasi.
Ironis memang jika ternyata masih banyak anggota PNS yang tidak taat pada disiplin,
padahal. Tentunya mereka tahu akan Peraturan dan Undang-Undang yang berlaku. Dan dari
beberapa patologi yang terjadi pada PNS yang ada di Kabupaten Bengkalis, maka hal itu
memiliki dampak, yaitu antara lain:
• Merugikan birokrasi sendiri (krisis kepercayaan, delegitimasi sosial, dll), masyarakat,
stakeholder, bangsa dan negara.
• Menghambat tercapainya kemajuan, modernisasi, dan kesejahteraan.
• Memicu kerawanan sosial dan perubahan sistem secara evolusi dan revolusi.
Ketidakefektifan satu saja dari asas-asas umum penyelenggaraan negara akan memeberikan
dampak yang signifikan dalam hal penjabaran fungsi pelayanan masyarakat. Selain itu sangat
mungkin hal ini akan menjangkiti efektifitas asas-asas lainnya.
Dalam upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut langkah-langkah prefentif yang
dapat dilakukan antara lain:
1. Pemantapan paradigma secara menyeluruh bahwa fungsi utama birokrat adalah
pelayanan masyarakat.
2. Diketatkannya standar untuk menjadi seorang birokrat, terutama dalam penguasaan
keterampilan teknologi seperti komputer.
3. Pengenalan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran ketika masa rekruitmen baru, bila
perlu
diberikan contoh nyata
H. Cara Mengatasi Patologi Birokrasi
Ada penyakit ada pula obatnya. Untuk mengatasi Patologi Birokrasi, seyogyanya seluruh
lapisan masyarakat saling bahu-membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses
pemerintahan bersama dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan
menjadi obat yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung.
Hal ini dikarenakan setiap elemen baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan
pihak swasta memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam berjalannya pemerintahan yang
baik.
I. Solusi Yang Ditawarkan Untuk Mengatasi Patologi Birokrasi Yaitu :
Pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi
bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu
saja, bukan hanya mengganti papan nama di depan kantor saja, atau bukan hanya mengurangi
atau merampingkan birokrasi saja, tetapi juga melakukan reformasi pada hal yang tidak kasat
mata seperti upgrading kualitas birokrat, sekolah moral, dan merubah cara pandang birokrat
terhadap dirinya dan institusi bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan
bukan untuk mencari keuntungan.
Kedua, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan
hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-
penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah
jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak
sebanding dengan apa yang telah diperbuat.
Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara
1. Kepemimpinan yang adil dan kuat
2. Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik
3. Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan
dalam birokrasi.
Ketiga, ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya rasa
bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin berani untuk
menyeleweng dari hal yang semestinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas
merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-
Governmentdiharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat
akuntabilitas para birokrat
Keempat, hal yang masih ada hubungannya denga ketiga faktor di atas, yakni dengan
menegakkan Good Governance. Meskipun konsep governance masih belum jelas dan masih
menjadi perdebatan, namun akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah
membuat beberapa kalangan menekan untuk segera diterapkannya good governance concep
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara umum, Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat
perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang
menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal.
2. Terdapat lima jenis patologi birokarasi yang dikenal, yaitu:
• Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat.
• Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para
Petugas pelaksana birokrasi.
• Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hukum dan
peraturan perundang-undangan.
• Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat
disfungsional.
• Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan
pemerintahan.
3. Dari beberapa patologi yang terjadi pada PNS yang ada di Kabupaten Bengkalis, maka
hal itu berdampak pada:
• Merugikan birokrasi sendiri (krisis kepercayaan, delegitimasi sosial, dll), masyarakat,
stakeholder, bangsa dan negara.
• Menghambat tercapainya kemajuan, modernisasi, dan kesejahteraan.
• Memicu kerawanan sosial dan perubahan sistem secara evolusi dan revolusi.
4. Dalam upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut langkah-langkah prefentif yang
dapat dilakukan antara lain:
• Pemantapan paradigma secara menyeluruh bahwa fungsi utama birokrat adalah
pelayanan masyarakat.
• Diketatkannya standar untuk menjadi seorang birokrat, terutama dalam penguasaan
keterampilan teknologi seperti komputer.
• Pengenalan sanksi tegas bagi setiap pelanggaran ketika masa rekruitmen baru, bila
perlu diberikan contoh nyata.
B. Saran
1. Patologi Birokrasi harus diobati dengan Aturan, System dan Komitmen pengelolaan yang
berorientasi "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah,
bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan
hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang
dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat.
2. Penguatan kelembagaan untuk meningkatkan pengelolaan kualitas pelayanan pubik ini
ditujukan pada pelayanan publik dengan model satu pintu dan pelayanan yang berbasis pada
pelayanan administrasi dokumen.
3. Peningkatan kualitas pelayanan publik diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral
yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya.
4. Selain kepemimpinan dan tim yang tangguh, peningkatan pelayanan publik juga dipengaruhi
oleh aspek kejelasan dan kepastian proses pelayanan seperti prosedur (mekanisme), biaya,
hasil yang diperoleh dan waktu.
5. Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan
yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi
kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus
dimiliki terlebih dahulu
Penulis menyadari bahwa materi yang penulis jelaskan masih terdapat banyak kekurangan.
Sehingga untuk mengetahui lebih luas tentang kasus Patologi Birokrasi, pembaca dapat
memperoleh dari berbagai sumber lainnya, seperti buku, referensi, ataupun internet.
DAFTAR PUSTAKA
Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung: PT.
Reflika Aditama, 2008
Harbani Pasolong. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta
Keban, Yeremias T Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik Konsep, Teori dan Isu
edisi
kedua Gava Media Yogyakarta 2008
Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Penerbit Raja Grafindo. Jakarta.
Sondang P. Siagian, Patologi Birokrasi Analisis Identifikasi dan terapinya, (Jakarta;Ghalia
Indonesia, 1994), hal.35-81, dikutip oleh Safri Nugraha, dkk.
Lampiran :
http://makalahme02.blogspot.com/2013/03/patologi-birokrasi-di-kabupaten.html#_
http://takedaoz.blogspot.com/2011/10/konsep-birokrasi-menurut-max-weber.html
http://itjen-depdagri.go.id/article-24-birokrasi.html Diunduh pada 04 Juni 2013 Pukul 16 : 06
http://bkd.purworejokab.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=2&Itemi
=3 Diunduh pada 04 Juni 2013 Pukul 16 : 06
http://pipingnoviati.wordpress.com/2011/12/22/patologi-birokrasi-di-indonesia-2/
http://www.adipanca.net/2012/06/mengatasi-patologi-
birokrasi.html [email protected]