patofisiologi anemia def besi

29
Referat PATOFISIOLOGI ANEMIA DEFISIENSI BESI Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klini k Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Oleh: Asifa Ramadhani Sembiring, S.Ked (04054821517020) Pembimbing: dr. Yenny Dian Andayani, Sp.PD-KHOM

Upload: asifa-ramadhani-sembiring

Post on 12-Sep-2015

294 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

jkl

TRANSCRIPT

Referat

PATOFISIOLOGI ANEMIA DEFISIENSI BESI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Oleh:Asifa Ramadhani Sembiring, S.Ked (04054821517020)

Pembimbing: dr. Yenny Dian Andayani, Sp.PD-KHOM

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAMRUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA2015HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul

Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi

Oleh:

Asifa Ramadhani Sembiring, S.Ked (04054821517020)

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 15 Juni- 29 Agustus 2015.

Palembang, Juli 2015

dr. Yenny Dian Andayani, Sp.PD-KHOM

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Yenny Dian Andayani, Sp.PD-KHOM selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Palembang, Juli 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Depan . iHalaman Pengesahan . iiKata Pengantar ... iiiDaftar Isi ivBab 1 Pendahuluan 1Bab 2 Tinjauan Pustaka 3 2.1. Definisi ... 32.2. Epidemiologi ...... 32.3. Faktor Resiko .. 82.4. Diagnosis ......... 92.5. Patofisiologi 102.6. Manifestasi Klinis ... 142.7. Komplikasi .. 152.8. Penatalaksanaan .. 182.9. Pencegahan . 23 Bab 3 Kesimpulan 24Daftar Pustaka ... 25

iv

BAB IPENDAHULUAN

Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa.1 Besi merupakan unsur vital dalam metabolisme manusia, terdapat di dalam semua sel tubuh dan memegang peranan yang paling penting dalam eritropoesis.2 Defisiensi mzat besi merupakan anemia gizi yang paling lazim.3 diperkirakan 10 sampai 20% penduduk di negara-negara maju dan sebanyak 25% sampai 50% di negara-negara berkembang menderita anemia defisiensi zat besi.Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2006). Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2009). Anemia defisiensi besi lebih sering timbul bersama-sama dengan beberapa penyakit, seperti malaria, infeksi parasit, kekurangan gizi dan hemoglobinopati. Diperkirakan 25% dari penduduk dunia atau setara dengan 3,5 milyar orang menderita anemia. Estimasi prevalensi secara global sekitar 51% dimana penyakit ini cenderung berlangsung pada negara yang sedang berkembang daripada negara yang telah maju. Terdapat 36% dari perkiraan populasi 3.800 juta orang di negara yang sedang berkembang menderita anemia jenis ini, sedangkan prevalensi anemia di negara maju hanya sekitar 8% dari perkiraan populasi dari 1.200 juta orang. Tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di negara berkembang mendasari keyakinan bahwa masalah anemia defisiensi besi tidak bisa dianggap tidak penting.Komplikasi dari penyakit ini antara lain berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. Oleh karena itu masalah ini memerlukan cara penanganan dan pencegahan yang tepat. Penanganan dan pencegahan yang tepat hanya dapat dilakukan apabila patofisiologi anemia defisiensi besi diketahui dengan jelas. Dalam makalah ini akan dibahas tentang definisi, etiologi, faktor risiko, diagnosis, patofisiologi serta tatalaksana anemia defisiensi besi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISIAnemia penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun keganasan. Anemia ini umumnya bersifat ringan atau sedang, disertai oleh rasa lelah atau penurunan berat badan.1 Biasanya anemia akan muncul setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 12 bulan. Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolisme besi yaitu adanya hipoferemia sehingga menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih cukup.5

2.2. EPIDEMIOLOGIPrevalensi dan beratnya anemia berhubungan dengan stage penyakit dan kondisi penyakit dasar.7 Prevalensi anemia pada pasien kanker dipengaruhi prosedur terapi dan umur. Suatu studi melaporkan prevalensi tinggi yaitu 77% laki laki tua dan 68% perempuan tua dengan kanker menderita anemia.8 Studi lain menunjukkan anemia terjadi pada 41% pasien tumor solid.9Anemia penyakit kronis bisa terjadi pada usia berapa saja, risiko lebih tinggi terdapat pada dewasa tua karena lebih sering menderita penyakit kronis. Lebih dari 130 juta orang Amerika menderita penyakit kronis.10

2.3. ETIOLOGIPenyebab anemia pada penyakit kronik belum diketahui dengan pasti. Secara garis besar, penyakit yang mendasari (underlying disease) timbulnya anemia pada penyakit kronik adalah infeksi kronik, inflamasi kronik dan neoplasma ganas.3,5Anemia penyakit kronis banyak dihubungkan dengan berbagai macam penyakit infeksi kronis, seperti tuberculosis, abses paru, endocarditis bakterialis, osteomyelitis, infeksi jamur kronis, dan HIV/AIDS. Anemia terjadi sekitar 1-2 bulan setelah infeksi terjadi.5 Inflamasi kronik, seperti artritis rheumatoid, enteritis, colitis ulseratif, dan lupus. Penyakit kolagen dan artritis rheumatoid merupakan penyebab tersering. Inflammatory bowel disease (IBD) termasuk Crohns disease, juga dapat menyebabkan defesiensi besi akibat absorpsi zat besi yang tidak baik dikarenakan gangguan dan perdarahan pada traktus gastrointestinal.11 Keganasan (neoplasma), seperti limfoma dan sarcoma. Anemia pada keganasan ini disebut cancer-related anemia.4Anemia pada penyakit kronis disebabkan eritrosit tidak berfungsi secara normal, sehingga eritrosit tidak mampu menyerap dan menggunakan besi secara efisien. Akibatnya, tubuh tidak dapat memberikan respon terhadap erythropoietin (EPO), hormon yang diproduksi oleh ginjal yang bertugas menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Seiring berjalannya waktu, keabnormalan fungsi tersebut menyebabkan rendahnya jumlah sel darah merah di dalam tubuh. 4

2.4. PATOFISIOLOGIZat besi masuk ke dalam tubuh melalui absropsi sumber makanan di duodenum. Zat besi yang beredar lalu diikat oleh transferrin dan dihantarkan ke sumsum tulang untuk eritropoeisis. Eritrosit tua difagosit oleh makrofag retikuloendotelial untuk didaur ulang kandungan zat besi dan dihantarkan ke dalam sirkulasi. Penyimpanan dan pengeluaran zat besi juga terjadi di dalam hepatosit. Kerusakan enterosit dan perdarahan adalah satu-satunya cara untuk mengeluarkan zat besi dari dalam tubuh. Rata-rata, 1-2 mg zat besi diserap dalam sehari, dan berat tersebut setara dengan jumlah kehilangan zat besi yang dikeluarkan oleh sel epitel pada sepanjang traktus gastrointestinal dan kehilangan darah saat siklus menstruasi pada wanita. Kebanyakan jumlah besi yang dibutuhkan untuk eritropoeisis 20-25 mg/d, yang didapatkan dari perombakan sel darah merah tua. Jumlah zat besi yang terikat pada transferrin dalam sirkulasi lebih sedikit yaitu 3 mg, dan oleh karena itu harus diserahkan dalam setiap beberapa jam untuk memastikan suplai besi yang adekuat selama eritropoeisis. Eksresi zat besi bukan merupakan proses yang diatur, dan tidak ada mekanisme pengeluaran banyak zat besi dalam tubuh secara fisiologi, bahkan dalam kondisi kelebihan zat besi yang parah sekalipun. Keseimbangan jumlah zat besi diatur oleh tubuh secara ketat dengan menyeimbangkan penyerapan dari makanan dan pengeluaran zat besi dari tempat penyimpanan di retikuloendotelial dan hepatosit.6Disregulasi Hemostasis BesiCiri khas anemia pada penyakit kronik adalah gangguan hemostasis besi yaitu meningkatnya uptake dan retensi besi dalam sel-sel retikuloendotelial. Ini menimbulkan perpindahan besi dari sirkulasi ke dalam tempat penyimpanan besi tubuh di dalam sistem retikuloendotelial sehingga penyediaan besi untuk sel progenitor erythroid di sumsum tulang untuk proses eritropoesis akan berkurang dan terjadi eritropoesis dengan restriksi besi.3,5Sekuestrasi besi merupakan penyebab yang paling sering ditemui. Namun, supresi produksi eritopoietin, hambatan progenitor erythroid dan pemendekan masa hidup eritrosit dapat terjadi dan terlibat dalam menurunkan konsentrasi hemoglobin. Sekuestrasi besi dalam makrofag merupakan tanda penting dari anemia penyakit kronis yang dapat memberikan keuntungan bagi tubuh pejamu. Zat besi merupakan nutrisi esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Zat besi mendukung proses infeksi dan memfasilitasi pertumbuhan sel ganas.12 Dengan penambahan zat besi, sifat antimikroba yang dimiliki oleh sel plasma menjadi lemah, sedangkan hambatan pada pertumbuhan bakteri terjadi pada kondisi tubuh kekurangan zat besi.12-14 Hipoferemia dipikirkan menjadi salah satu strategi melawan mikroorganisme di dalam tubuh (antimikroba). Cara ini dapat dijelaskan pada pasien dengan -thalassemia mayor dimana terjadi peningkatan angka infeksi akibat zat besi yang berlebihan di dalam tubuh.15Zat besi bebas di dalam tubuh bersifat toksik dan konsentrasinya di dalam tubuh diregulasi secara ketat. Ketika terjadi penigkatan stress oksidatif yang ditandai dengan inflamasi, supresi reaksi fenton (produksi rekasi katalisasi radikal bebas hidroksil oleh zat besi) dengan cara sequestrasi zat besi sangat penting dalam menekan produksi stress oksidatif.4Anemia pada penyakit kronik adalah immune driven, dimana sitokin dan sel- sel retikuloendotelial menginduksi perubahan homeostasis besi, proliferasi sel progenitor erythroid, gangguan produksi eritropoietin oleh ginjal, berkurangnya umur eritrosit, yang semuanya berkontribusi pada patogenesis terjadinya anemia pada penyakit kronik.4 Karena dipengaruhi berbagai penyakit dasar maka menjadi sulit untuk menentukan salah satu mekanisme yang paling bertanggung jawab dalam terjadinya anemia pada penyakit kronik.16,17 Anemia pada penyakit kronik adalah bagian dari sindrom stres hematologi yang diinduksi oleh lepasnya berbagai macam sitokin sebagai respon injuri seluler yang disebabkan oleh nyeri, keganasan dan peradangan.18,19Selama proses respon imun yang terjadi akibat infeksi dan inflamasi kronik, sel imun menghasilkan protein yang disebut sitokin. Sitokin membantu menyembuhkan tubuh dan mempertahankan kondisi melawan infeksi. Namun, sitokin juga berefek pada fungsi normal tubuh. Pada anemia penyakit kronis, sitokin mempengaruhi kemampuan tubuh dalam menyerap dan menggunakan zat besi. Sitokin juga mempengaruhi produksi dan aktivitas EPO.18 Pada inflamasi kronik, pengambilan zat besi oleh makrofag lebih dominan terjadi pada saat fagositosis 20 dan perpindahan ferrous iron (Fe2+) oleh protein divalent metal transporter 1 (DMT1) secara transmembrane. Interferon-, lipopolisakarida, dan TNF- melakukan upregulasi ekspresi DMT1, sehingga terjadi peningkatan pengambilan besi ke dalam makrofag yang aktif.22 Stimulus proinflamasi ini juga menstimulasi retensi zat besi di dalam makrofag dengan menurunkan regulasi ekspresi ferroportin, sehingga terjadi blok pada pengeluaran zat besi dari sel-sel tersebut.22 Ferroportin merupakan sebuah transmembran pembawa zat besi yang bertanggung jawab dalam mememindahkan Fe2+ yang telah diabsorbsi dari enterosit duodenum ke dalam sirkulasi.23 Selain itu, sitokin antiinflamasi seperti IL-10 dapat menyebabkan anemia akibat stimulasi penyerapan besi yang dimediasi transferrin oleh makrofag dan stimulasi translasional ekspresi ferritin.24Hepsidin, sebuah protein pengatur regulasi zat besi fase akut yang terdiri dari 25 asam amino, juga terlibat dalam menghubungkan respon imun terhadap hemostasis besi pada anemia penyakit kronis. Hepsidin menginduksi lipopolisakarida dan IL-6 dan kerjanya sendiri dihambat oleh TNF-.25 Hepsidin yang berlebihan menyebabkan defesiensi zat besi yang berat pada tubuh.26 Proses inflamasi pada tikus, kekurangan protein hepsidin tidak menyebabkan terjadinya hipoferemia, penelitian menunjukkan bahwa hepsidin secara terpusat, terlibat dalam pengalihan lalu lintas besi melalui penurunan absorbsi besi di duodenum dan memblokir pelepasan besi dari makrofag yang terjadi pada anemia penyakit kronis.25-27 Baru ini telah diidentifikasi sebuah gen, hemojuvelin, mungkin bekerja sama dengan hepsidin dalam menginduksi perubahan tersebut.29 Dengan demikian, gangguan hemostasis zat besi dengan keterbatasan ketersediaan zat besi untuk sel progenitor erythroid muncul untuk merusak proliferasi sel-sel tersebut dengan respon negatif terhadap biosintesis heme. Gangguan Proliferasi Sel Progenitor ErythroidPada pasien anemia penyakit kronis, terdapat gangguan pada proliferasi dan diferensiasi sel prekusor erythroid; erythroid burst-forming units dan erythroid colony-forming units. Hal ini juga dihubungkan dengan hambatan efek interferon , , , TNF- , dan IL-1, yang mempengaruhi pertumbuhan erythroid burst-forming units dan erythroid colony-forming units.30 Interferon- merupakan inhibitor yang paling mempengaruhi konsentrasi hemoglobin dan jumlah retikulosit. Mekanisme yang mendasari mungkin melibatkan sitokin yang menginduksi apoptosis, yang muncul sebagian, dan dihubungkan dengan pembentukan ceramide, menurunkan reseptor EPO pada pada sel progenitor, gangguan pembentukan dan aktivitas EPO, dan pengurangan faktor prohematopoietin lainnya, seperti faktor stem cell.30,31,32 Selain itu, sitokin mengerahkan efek toksik langsung pada sel progenitor dengan menginduksi pembentukan radikal bebas seperti nitrit oksida atau anion superoksida.33 Gangguan Respon Eritropoietin (EPO)Eritropoietin mengatur proliferasi sel erythroid secara terpusat. Ekspresi eritropoietin dipengaruhi oleh oksigenisasi jaringan dan hemoglobin di dalam darah, dan terdapat hubungan semilogaritma antara respon eritropoietin (log) dengan derajat anemia (linier). Sitokin IL-1 dan TNF- secara langsung menghambat eritropoietin.34 Hal ini disebabkan pembentukan oksigen reaktif yang mempengaruhi afinitas pengikatan EPO sehingga menginduksi faktor transkripsi dan merusak sel yang memproduksi EPO. Lipopolisakarida juga menyebakan penurunan EPO mRNA dalam ginjal dan penurunan level sirkulasi EPO.35Respon sel progenitor erythroid terhadap EPO muncul akibat hubungan keparahan penyakit kronik yang mendasari dan jumlah sitokin inflamasi yang dihasilkan dalam sirkulasi, karena kehadiran interferon atau TNF- , yang jumlahnya lebih besar dibandingkan EPO dibutuhkan dalam pembentukan erythroid colony-forming units.34 Setelah terikat ke reseptor, EPO menstimulasi anggota sinyal jalur transduksi dan kemudian mengaktifkan mitogen dan tirosin kinase fosforilasi, proses yang dipengaruhi oleh sitokin inflamasi dan peraturan umpan-negatif.35 Respon terhadap EPO lebih jauh turun akibat hambatan efek sitokin proinflamasi mendekati proliferasi sel progenitor erythroid, menurunkan regulasi reseptor EPO, dan penghambatan ketersediaan zat besi yang berkontribusi pada proliferasi sel dan sintesin hemoglobin. Pada akhirnya, terjadilah peningkatan eritrofagositosis selama inflamasi menyebabkan pemendekan masa hidup eritrosit, disertai perusakan pada eritrosit yang dimediasi oleh sitokin dan radikal bebas. 34

Pengaruh Laktoferin pada Anemia Defesiensi BesiLaktoferin adalah protein pengikat zat besi dalam susu dan konsentrasinya cukup tinggi pada hampir keseluruhan sekresi tubuh. Namun konsentrasinya dalam plasma cenderung lebih rendah. Laktoferin disintesis dan disimpan di dalam granul spesifik neutrophil dan dikeluarkan selama fagositosis. Konsentrasi laktoferin cukup tinggi ditemukan saat proses inflamasi.6Pengeluaran laktoferin dari neutrophil distimulasi oleh IL-1, yang disintesis dan disekresi oleh monosit dan makrofag. Laktoferin memiliki kesamaan struktur dengan transferrin, protein pengangkut zat besi utama di dalam plasma, dengan kemiripan ukuran, bentuk dan afinitasnya dalam mengikat zat besi. Namun, secara struktural dan imunologi, laktoferin memiliki sedikit perbedaan dengan transferrin karena laktoferin memiliki afinitas 260 kali lebih besar terhadap zat besi dibandingkan transferrin. Selain itu, laktoferin tidak membawa zat besi yang telah diikatnya ke sel prekusor erythroid. Laktoferin membawa kembali zat besi ke makrofag di dalam sistem retikuloentolial, dimana zat besi dimasukkan ke dalam bentuk penyimpanan besi intraselular. Oleh karena itu, laktoferin seringkali berkompetisi dengan transferrin dalam mengikat besi dan dapat menyingkirkan zat besi dari transferrin. Dengan demikian, transferrin dan laktoferin memiliki efek antibacterial dengan pengikatan ke zat besi bebas dan membawanya ke kompartemen intraseluler, dimana zat besi tersebut tidak bisa diutiliasi oleh mikroorganisme. Konsentrasi laktoferin yang tinggi di dalam susu ASI dipercaya memiliki efek antibacterial berdasarkan mekanisme tersebut. Dengan demikian, akan terlihat bahwa mekanisme untuk menyerap zat besi telah berevolusi sebagai bagian dari respon host terhadap infeksi dan, jika kronis, dapat hal tersebut dapat menyebabkan anaemia.6

Pada gambar 1 bagian A, invasi mikororganisme, kehadiran sel neoplasma atau proses autoimun mengaktivasi sel T (CD3+) dan monosit. Sel tersebut kemudian mengaktivasi mekanisme imun, dengan memproduksi sitokin seperti interferon- (dari sel T) dan tumor necrosis factor (TNF-), interleukin-1, interleukin-6, dan interleukin-10 (dari monosit atau makrofag). Pada bagian B, interleukin-6 dan lipopolisakarida menstimulasi ekspresi protein fase akut hepatik, hepsidin, yang menghambat absorpsi zat besi di duodenum. Pada bagian C, interferon-, lipopolisakarida, atau keduanya meningkatkan ekspresi divalent metal transporter 1 pada makrofag dan menstimulasi pengambilan ferrous iron (Fe2+). Sitokin antiinflamasi IL-10 meregulasi ekspresi reseptor transferin dan meningkatkan pengambilan transferrin bound yang dimediasi oleh reseptor transferrin ke dalam monosit. Selain itu, makrofag yang aktif memfagositis dan menurunkan eritrosit yang sudah tua untuk proses daur ulang zat besi, sebuah proses yang diinduksi oleh TNF- melalui perusakan membran eritrosit dan stimulasi proses fagositosis. Interferon- dan lipopolisakarida menurunkan regulasi ekspresi dari macrophage iron transporter ferroportin 1, sehingga terjadilah hambatan pengeluaran zat besi dari makrofag (sekuestrasi besi). Proses ini juga dipengaruhi oleh hepsidin. Pada saat yang sama, TNF-, IL-1, IL-6 dan IL-10 menginduksi ekspresi ferritin dan menstimulasi penyimpanan dan retensi zat besi di dalam makrofag. Singkatnya, mekanisme ini menyebabkan penurunan konsentrasi zat besi di dalam sirkulasi dan terjadilah keterbatasan zat besi untuk sel erythroid. Pada bagian D, TNF- dan Interferon- menghambat produksi erythropoietin di ginjal. Pada bagian E, TNF-, Interferon- dan interleukin-1 secara langsung menghambat diferensiasi dan proliferasi sel progenitor erythroid. Sehingga, terjadilah keterbatasan zat besi dan penurunan aktivitas biologis yang menyebabkan hambatan pada proses erythropoiesis dan berkembanglah menjadi anemia.3

2.5. MANIFESTASI KLINISAnemia penyakit kronis berkembang secara lambat dan biasanya ringan yang dapat menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak bergejala. Gejala anemia biasanya disertai dengan gejala penyakit yang mendasarinya. Gejala anemia yang dapat dirasakan adalah lelah, lemah, pucat, nadi cepat, sesak napas, dan intoleransi aktivitas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan konjuntiva palpebra pucat.35

2.6. DIAGNOSISDiagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan, antara lain dari:11. Tanda dan gejala klinis anemia yang dapat dijumpai, misalnya muka pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lainlain.2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain:a. Anemianya ringan sampai dengan sedang dengan hemoglobin sekitar 711 gr/dL.b. Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga pasien anemia penyakit kronik.c. Volume korpuskuler ratarata (MCV: Mean Corpuscular Volume): normal atau menurun sedikit (= 80 fl).d. Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL).e. Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun (< 250 mg/dL).f. Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (100 ng/mL).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin), namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur selsel sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih sering dilakukan pada pasien pasien anemia defisiensi besi.112.7. PENATALAKSANAANTidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit kronik, kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang mendasarinya. Biasanya apabila penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka anemianya juga akan membaik. Pemberian obatobat hematinik seperti besi, asam folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya. Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain:1,11,351. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasienpasien anemia penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat dimulai dari 50100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV) atau subcutan (SC). Bila dalam 23 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga tidak ada respons, maka pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari kemungkinan penyebab yang lain, seperti anemia defisiensi besi. Namun ada pula yang menganjurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.00020.000 Unit, 3x seminggu.322. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya telah memberikan keluhan atau gejala atau terdapat gangguan hermodinamik. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena anemianya jarang sampai berat.3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejalagejala polimialgia akan segera hilang dengan cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segera dihentikan.4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.

BAB IIIKESIMPULAN

Anemia adalah sebuah kondisi saat seseorang memiliki jumlah sel darah merah atau hemoglobin di dalam sel darah merah yang lebih rendah dibandingkan nilai normal, yang menyebabkan sel-sel tubuh tidak mendapatkan oksigen dan nytrisi yang cukup.Anemia penyakit kronis adalah satu tipe anemia yang biasanya terjadi akibat penyakit yang berlangsung lama (kronis). infeksi, cancer, dan penyakit-penyakit inflamasi. Anemia ini sangat mirip dengan anemia defisiensi besi tetapi pada anemia ini terjadi sekuestrasi besi di dalam makrofag sistem RES karena inflamasi. Sekuestrasi ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme dependen besi atau untuk memperkuat aspek imunitas pejamuAnemia penyakit kronis adalah tipe anemia yang berkembang dengan lambat, karena biasanya ringan, mungkin sedikit atau bahkan tanpa gejala. Kadang-kadang, anemia penyakit kronis dapat menyebabkan lelah, lemah, kuli pucat, aritmia, sesak napas, dan intoleransi aktivitas. Untuk mendiagnosis anemia penyakit kronis, seorang praktisi kesehatan harus memeriksa hitung darah lengkap (CBC). Anemia penyakit kronis seringkali ditatalaksana tidak terpisahkan dengan penyakit yang mendasari. Dengan memahami secara jelas mengenai anemia penyakit kronis, diharapkan setiap praktisi kesehatan lebih waspada akan terjadinya anemia penyakit kronis pada penderita dengan infeksi kronis, inflamasi kronis, dan keganasan, serta dapat melakukan tatalaksana yang tepat sehingga perburukan penyakit akibat anemia dapat dicegah dan prognosis pasien pun dapat menjadi lebih baik.

2