patofis sylvia

Upload: rizna-pras

Post on 29-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KLASIFIKASI PENYEBAB GAGAL GINJAL KRONIKKlasifikasi PenyakitPenyakit

Penyakit infeksi tubulointerstitialPielonefritis kronik atau refluks nefropati

Penyakit peradanganGlomerulonefritis

Penyakit vaskular hipertensifNefrosklerosis benignaNefrosklerosis maligna

Stenosis arteria renalis

Gangguan jaringan ikatLupus eritematosus sistemik

Poliarteritis nodosa

Sklerosis sistemik progresif

Gangguan kongenital dan herediterPenyakit ginjal polikistik

Asidosis tubulus ginjal

Penyakit metabolikDiabetes melitus

Gout

Hiperparatiroidisme

Amiloidosis

Nefropati toksikPenyalahgunaan analgesik

Nefropati timah

Nefropati obstruktifTraktus urinarius bagian atas: batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal

Traktus urinarius bagian bawah: hipertrofi prostat, struktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.

INFEKSI TRAKTUS URINARIUS, PIELONEFRITIS, DAN NEFROPATI REFLUKSInfeksi traktus urinarius (UTI) sering terjadi dan menyerang manusia tanpa memandang usia, terutama perempuan. UTI bertanggung jawab atas sekitar 7 juta kunjungan pasien kepada dokter setiap tahunnya di Amerika Serikat (Stamn, 1998). Secara mikrobiologi, UTI dinyatakan ada jika terdapat bakteriuria bermakna (ditemukan mikroorganisme patogen 105/ ml pada urine pancaran tengah yang dikumpulkan dengan cara yang benar). Abnormalitas dapat hanya berupa kolonisasi bakteri dari urine (bakteriuria asimtomatik) atau bakteriuria dapat disertai infeksi simtomatik dari struktur-struktur traktus urinarius. UTI umumnya dibagi dalam dua subkategori besar: UTI bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatitis) dan UTI bagian atas (pielonefritis akut). Sistitis akut (infeksi vesika urinaria) dan pielonefritis akut (infeksi pelvis dan interstisium ginjal) adalah infeksi yang paling berperan dalam menimbulkan morbiditas, tetapi jarang berakhir sebagai gagal ginjal progresif. Pielonefritis kronik (PN) adalah cedera ginjal progresif yang menunjukkan pembentukan jaringan parut parenkimal pada pemeriksaan IVP, disebabkan oleh infeksi berulang atau infeksi yang menetap pada ginjal. Akhir-akhir ini, bukti-bukti menunjukkan bahwa pielonefritis kronik terjadi pada pasien UTI yang juga mempunyai kelainan anatomi utama pada saluran kemih, seperti refluks vesikoureter (VUR), obstriksi batu, atau neurogenik vesika urinaria (Kunin, 1997; Rose, Renke, 1994). Diperkirakan bahwa kerusakan ginjal pada pielonefritis kronik yang disebut nefropati refluks, diakibatkan oleh refluks urine terinfeksi ke dalam ureter yang kemudian masuk ke dalam parenkim ginjal (refluks intrarenal). Pielonefritis kronik akibat VUR adalah penyebab utama gagal ginjal tahap akhir pada anak-anak, dan secara teoritis dapat dicegah dengan mengendalikan UTI dan memperbaiki kelainan struktural dan saluran kemih yang menyebabkan obstruksi. Sayangnya, VUR mungkin tidak ditemukan pada masa kanak-kanak, dan kerusakan ginjal yang progresif dapat tidak diketahui sampai timbul gejala dan tanda ERSD pada masa dewasa.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Organisme penyebab infeksi pada saluran kemih yang tersering adalah Escherichia coli, yang menjadi penyebab pada lebih dari 80% kasus. E.coli merupakan penghuni normal pada kolon. Organisme lain yang juga dapat menimbulkan infeksi adalah golongan Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dan Pseudomonas. Organisme gram positif kurang berperan dalam UTI kecuali Staphylococcus saprophyticus, yang menybabkan 10% hingga 15% pada perempuan muda. Pada kebanyakan kasus, organisme tersebut dapat mencapai vesika urinaria melalui uretra. Infeksi dimulai sebagi sistitis, dapat terbatas di vesika urinaria saja atau dapat pula merambat ke atas melalui ureter sampai ke ginjal. Organisme juga dapat sampai di ginjal melalui aliran darah atau aliran getah bening, tetapi cara ini dianggap jarang terjadi. Vesika urinaria dan bagian atas uretra biasanya streril, meskipun bakteri dapat ditemukan di bagian bawah uretra. Tekanan dari aliran urine menyebabkan saluran kemih normal mengeluarkan bakteri yang ada sebelum bakteri tersebut menyerang mukosa. Mekanisme pertahanan lainnya adalah kerja antibakteri yang dimiliki oleh mukosa uretra, sifat bakterisidal dari cairan prostat pada laki-laki, dan sifat fagositik epitel vesika urinaria. Meskipun mugkin terdapat mekanisme pertahanan seperti ini, infeksi tetap mungkin terjadi dan kemungkinan ini berkaitan dengan faktor predisposisi.Faktor Pedisposisi dalam Perkembangan Infeksi Traktus Urinarius dan Pielonefritis Kronik

Obstruksi aliran urine (misal, batu, penyakit prostat)

Jenis kelamin perempuan

Umur yang lebih tua

Kehamilan

Refluks vesikoureter

Peralatan kedokteran (terutama kateter menetap)

Vesika urinaria neurogenik

Penyalahgunaan analgesik secara kronik

Penyakit ginjal

Penyakit metabolik (diabetes, gout, batu urine)

Obstruksi aliran urine yang terletak di sebelah proksimal dari vesika urinaria dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter. Hal ini saja sudah cukup untuk mengakibatkan atrofi hebat pada parenkim ginjal. Keadaan ini disebut hidronefrosis. Di samping itu, obstruksi yang terjadi di bawah vesika urinaria sering disertai refluks vesikoureter dan infeksi pada ginjal. Penyebab umum obstruksi adalah jaringan parut ginjal atau uretra, batu, neoplasma, hipertrofi prostat (sering ditemukan pada laki-laki dewasa di atas usia 60 tahun), kelainan kongenital pada leher vesika urinaria dan uretra, serta penyempitan uretra.Anak perempuan dan perempuan dewasa mempunyai insidensi UTI dan pielonefritis akut yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki dan laki-laki dewasa, mungkin karena bentuk uretranya yang lebih pendek dan letaknya yang berdekatan dengan anus sehingga mudah terkontaminasi oleh feses. Studi epidemiologi menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna (105 organisme/ ml urine) pada 1% sampai 4% gadis pelajar, 5% sampai 10% pada permpuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan yang usianya telah melebihi 60 tahun (Kunin, 1997). Hanya sedikit dari kasus ini yang memperlihatkan gejala-gejala klinis UTI. Penelitian lanjutan jangka panjang yang dilakukan terhadap gadis usia sekolah menyatakan bahwa gadis yang pernah mengalami bakteriuria bermakna akan lebih mudah terkena UTI berulang pada masa dewasanya, biasanya tidak lama setelah menikah atau selama kehamilan pertama (Kunin, 1997). Walaupun UTI ini bertanggung jawab atas morbiditas yang cukup tinggi, tetapi jarang mengakibatkan pielonefritis kronik dan penyakit ginjal tahap akhir, kecuali pada kasus-kasus yang penyakitnya tidak nyata disertai kerusakan urologik pada masa kanak-kanak biasanya refluks vesikoureter yang berat. Infeksi pada laki-laki jarang ditemukan, dan bila terjadi biasanya disebabkan oleh obstruksi.Telah diketahui sebelumnya bahwa hidroureter dan hidronrfrosis biasanya paling jelas pada ginjal kanan, selalu terjadi selama masa kehamilan dan menetap selama beberapa waktu sesudahnya. Pelebaran ini agaknya sebagian disebabkan oleh relaksasi otot akibat kadar progesterone yang tinggi dan sebagian akibat obstruksi ureter karena uterus yang membesar. Sekitar 5% sampai 7% dari perempuan yang terserang mengalami bakteriuria yang asimtomatik (Whalley, 1967; Norden, Kass, 1968). Dari suatu studi terkontrol, Kass (1960) menemukan bahwa 42% dari kelompok perempuanyang mengalami bakteriuria asimtomatik pada awal kehamilan yang mendapat placebo (n = 48), akan mengalami pielonefritis pada akhir kehamilan atau beberapa minggu postpartum, sedangkan dari kelompok perempuan yang mendapat antibiotic (n = 42), tidak ada yang menderita infeksi asimtomatik. Sistitis dan pielonefritis tidak sering terdapat pada perempuan dengan toksikemia dibandingkan dengan perempuan lain. Meningkatkanya insidensi pada bayi premature dan mortalitas terjadi jika seorang perempuan terkena UTI bagian atas selama kehamilan (Stamn, 1998; Kunin, 1997).Ketika pelvis ginjal mengalami distensi akibat urine yang baru terbentuk, maka otot polos akan berkontraksi, mendorong urine menuju ureter. Selanjutnya dilatasi ureter memulai timbulnya gelombang peristaltik, sehingga urine mengalir ke vesika urinaria. Aliran urine ini biasanya hanya berlangsung satu arah yaitu dari pelvis ginjal menuju vesika urinaria, dan aliran balik (refluks) dicegah oleh adanya katup ureterovesikular (berada di tempat implantasi ureter pada vesika urinaria. Kerja katup searah ini sangat penting dalam mencegah terjadinya aliran balik pada saat berkemih ketika tekanan di dalam vesika urinaria meningkat, sebab transmisi tekanan ini dapat langsung merusak ginjal. Refluks vesikoureter (vur) didefinisikan sebagai aliran urine retrograd dari vesika urinaria memasuki ureter terutama sewaktu berkemih. VUR memiliki derajat dari I sampai V. Derajat I menunjukkan refluks yang hanya mencapai ureter bagian bawah. Derajat V menunjukkan refluks masif ke dalam pelvis ginjal dan kaliks. VUR dapat diketahui dengan menyuntikkan bahan kontras ke dalam vesika urinaria melalui kateter sampai vesika urinaria mengalami distensi dan pasien merasa ingin buang air kecil. Kemudian dibuat radiogram serial mulai dari keadaan vesika urinaria yang terdistensi serta pada saat dan setelah pasien berkemih. Seluruh tindakan ini dikenal dengan nama sistouretrografi berkemih. VUR dikaitkan dengan malformasi kongenital dari bagian ureter yang berada di dalam vesika urinaria, obstruksi pada bagian bawah vesika urinaria (leher vesika urinaria atau uretra) dan sistitis. VUR dapat ditemukan pada banyak pasien terutama anak yang menderita UTI rekuren, dan tampaknya merupakan cara organisme memasuki ginjal. Umumnya diakui bahwa aliran balik urine terinfeksi memasuki parenkim ginjal mengakibatkan terjadinya jaringan parut ginjal yang menonjol pada manusia (nefropati refluks). Kesimpulannya, pielonefritis kronik akibat VUR bertanggung jawab atas 20% sampai 30% dari gagal ginjal stadium akhir (ESRF) pada anak (Rose, 1987).Kateterisasi uretra dan ureter serta sistoskopi sering menyebabkan infeksi pada vesika urinaria atau ginjal. Sekitar 2% dari tindakan kateterisasi vesika urinaria mengakibatkan infeksi. Terdapat 98% insidensi infeksi dalam jangka waktu 48 jam pada pemasangan kateter menetap, kecuali bila sangat diperhatikan supaya sistem drainasenya tertutup dengan baik. Bahkan sekalipun sistem itu sudah tertutup dengan baik, urine hanya steril selama 5 sampai 7 hari. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kateterisasi merupakan tindakan yang sedapat mungkin harus dihindari.Vesika urinaria merupakan tempat penampungan urine yang dapat mengembang, juga merupakan tempat urine dikeluarkan dalam interval yang sesuai. Persarafan vesika urinaria terdiri dari satu lengkung refleks yang berada pada tingkat S2 sampai S4 medulla spinalis, fungsinya dipengaruhi oleh sambungan motorik dan sensorik pada pusat yang lebih tinggi di otak. Tindakan berkemih melibatkan kerjasama antara kontraksi otot detrusor (otot polos dinding vesika urinaria), dinding abdomen, dan otot-otot dasar panggul; fiksasi dada dan diafragma; serta relaksasi otot-otot spingter eksternal dan internal. Dengan demikian, ada keterlibatan aktivitas otonom maupun voluntar. Kontraksi otot detrusor adalah suatu refleks (terangsang jika isi vesika urinaria mencapai 300 ml), dan refleks kontraksi ini dapat dihambat atau dipermudah oleh bagian supraspinal dari sistem saraf yang berada di bawah kontrol voluntar. Gangguan pada bagian eferen atau aferen lengkung refleks, atau gangguan pada jalur aferen dan eferen yang menghubungkan batang otak daerah sakral dengan pusat mekanisme penghambatan atau perangsangan dapat mengacaukan proses berkemih normal; keadaan ini disebut vesika urinaria neurogenik. Lapides (1976) menemukan lima tipe disfungsi vesika urinaria neurogenik, setiap tipe berkaitan dengan lesi saraf tertentu: (1) vesika urinaria neirogenik tak terhambat, (2) vesika urinaria neurogenik refleks, (3) vesika urinaria neurogenik otonom, (4) vesika urinaria neurogenik paralitik sensorik, dan (5) vesika urinaria neurogenik paralitik motorik.Vesika urinaria neurogenik tak terhambat melibatkan defek pada jaras pengatur dari korteks. Keadaan ini sering ditemukan pada pasien yang memiliki lesi pada korteks serebri, seperti gangguan pembuluh darah otak, atau pada pasien yang memiliki lesi-lesi batang otak tersebar yang mengenai jaras pengatur dari korteks, seperti pada sklerosis multipel. Vesika urinaria tak terhambat ini menyerupai vesika urinaria pada bayi. Pasien sadar akan adanya rasa ingin berkemih tapi tidak dapat menundanya walaupun keadaannya tidak tepat. Disfungsi vesika urinaria tipe tak terhambat ini merupakan tipe yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik. Pada anak-anak, disfungsi upper motor neuron (UMN) bermanifestasi sebagai diuresis diurnal dan nokturnal yang menetap sesudah usia 2 sampai 3 tahun. Disfungsi vesika urinaria yang tak terhambat dapat dihubungkan dengan UTI rekuren, terutama pada gadis muda. Pasien mungkin dapat menahan keluarnya urine dengan sengaja dengan mengkonstraksikan otot lurik di sekitar uretra, tetapi tidak mampu mengendalikan kontraksi vesika urinaria yang tak terhambat. Peningkatan tekanan dalam vesika urinaria mengakibatkan terjadinya iskemia dinding vesika urinaria dan penurunan kekebalan pada jaringan setempat, sehingga memudahkan terjadinya infeksi.Vesika urinaria neurogenik refleks disebabkan oleh putusnya lengkung refleks sakral dari pusat yang lebih tinggi, seperti pada cedera batang otak atau cedera transversal di atas tingkat S2. Semua sensasi vesika urinaria hilang dan pengosongan terjadi secara refleks bila tekanan di dalam vesika urinaria meningkat di atas batas tertentu. Pengosongan vesika urinari atidak dapat tuntas karena kurangnya input motorik dari pusat yang lebih tinggi, dan karena terjadinya refluks vsikoureter akibat tekanan dalam vesika urinaria yang tinggi. VUR maupun urine residu dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya sistitis dan pielonefritis pada pasien cedera batang otak. Vesika urinaria neurogenik otonom terjadi akibat kerusakan pada kedua jaras lengkung refleks vesika urinaria, seperti pada lesi sakral atau kauda ekuina (contohnya, luka tembakan, operasi reseksi abdominal-perineal, neoplasia dan anomali kongenital seperti spina bifida dan mielomeningokel). Pasien dengan lesi tipe ini tidak dapat merasakan penuhnya vesika urinaria dan juga tidak dapat memulai berkemih dengan pola normal. Namun, mereka dapat belajar berkemih dengan meninggikan tekanan secara voluntar (mengedan) dan menekan bagian atas suprapubik dengan tangan (perasat Cred).Vesika urinaria neurogenik paralitik sensorik disebabkan oleh adanya lesi pada bagian sensorik lengkung refleks vesika urinaria seperti pada pasien neuropati diabetik atau sklerosis multipel. Timbul kehilangan sensasi vesika urinaria secara bertahap, jarang buang air kecil, dan distensi berlebihan. Distensi berlebihan menyebabkan otot vesika urinaria kehilangan tonus sehingga pengosongan tidak sempurna dan terdapat sisa urine.

Vesika urinaria neurogenik paralitik motorik disebabkan oleh adanya gangguan pada bagian motorik lengkung refleks vesika urinaria yang sering berkaitan dengan poliomielitis, tumor, atau trauma. Sensasi penuhnya vesika urinaria tidak terganggu, tetapi pasien memiliki ketidakmampuan total atau parsial dalam memulai proses berkemih. Dapat terjadi nyeri akibat distensi berlebihan, yang membutuhkan kateterisasi dan drainase.

Mekanisme patognik yang menjadi faktor predisposisi terjadinya UTI pada disfungsi vesika urinaria neurogenik adalah iskemia dinding vesika urinaria akibat distensi berlebihan yan mengurangi resistensi terhadap invasi bakteri; sisa urine yang menjadi media pertumbuhan bakteri; dan VUR yang disertai peningkatan tekanan intravesikular. Pemakaian kateter dan drainase urine merupakan faktor predisposisi tambahan.Penyalahgunaan obat analgesik dalam jangka lama dapat menyebabkan nefritis interstitial kronik, keadaan ini mungkin sulit dibedakan dari pielonefritis kronik. Selain itu, UTI rekuren sering terjadi pada nefropati analgesik. Berbagai penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan pielonefritis. Yang terakhir, gangguan metabolik seperti diabetes, gout, dan batu ginjal seringkali dipersulit oleh infeksi ginjal.

PIELONEFRITIS AKUT

Gambaran klinis pielonefritis akut biasanya khas. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah perempuan. Demam timbul mendadak, menggigil, malaise, nyeri punggung, nyeri tekan darah kostovertebral, leukositosis, piuria, dan bakteriuria. Gejala dan tanda biasanya didahului oleh disuria, urgensi, dan sering berkemih yang menunjukkan bahwa infeksi dimulai pada bagian bawah traktus urinarius. Adanya silinder leukosit membuktikan bahwa infeksi terjadi di ginjal.

Ginjal membengkak dan tampak adanya abses kecil dalam jumlah banyak di permukaan ginjal tersebut. Pada potongan melintang, abses tampak sebagai goresan-goresan abu-abu kekuningan di bagian piramid dan korteks. Secara mikroskopik tampak leukosit polimorfonuklear (PMN) dalam jumlah banyak di sekitar daerah tubulus dan dalam interstitium di sekitar tubulus. Segmen-segmen tuulus hancur dan leukosit dikeluarkan ke dalam urine dalam bentuk silinder.

E. coli merupakan organisme penyebab infeksi yang paling sering ditemukan pada pielonefritis akut tanpa komplikasi. Dari seluruh pasien infeksi ini, 90% diantaranya berespons terhadap terapi antibiotika dan 10% sisanya dapat mengalami infeksi akut berulang atau bakteriuria asimtomatik yang menetap. Bila pielonefritis akut mengalami komplikasi obstruksi, maka bakteriuria rekuren atau menetap ditemukan pada 50% sampai 80% pasien dalam waktu 2 tahun. Tidak diketahui dengan pasti jumlah pasien yang akan mengalami kerusakan ginjal yang nyata atau berapa lama proses itu akan berlangsung. Pengobatan ditujukan pada terapi antibakteri yang tepat, koreksi faktor predisposisi dan tidak lanjut jangka panjang yang dilakukan seksama, dengan biakan urine dalam selang waktu tertentu untuk memastikan urine steril.PIELONEFRITIS KRONIK

Identifikasi dan penyebab pielonefritis kronik masih kontroversial. Masalah utama dalam identifikasi adalah banyaknya daerah peradangan dan penyakit iskemik ginjal lain yang menghasilkan daerah fokal segmental yang tidak dapat dibedakan dengan yang dihasilkan oleh infeksi bakteri. Misalnya, gangguan nonbakteri seperti nefrosklerosis arteriolar dan nefropati toksik yang disebabkan oleh penyalahgunaan analgesik, pajanan timbal, dan obat-obat tertentu yang menyebabkan kerusakan tubulointerstitial yang mirip dengan yang disebabkan oleh pielonefritis kronik. Saat ini sudah jelas bahwa hanya sebagian kecil dari lesi-lesi semacam ini yang disebabkan infeksi. Diagnosis pielonefritis kronik dulu hampir selalu dipakai bila ditemukan kelainan tubulointerstitial ini. Pengertian tentang derajat VUR yang berat dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut pada ginjal, atrofi, dan dilatasi kaliks (nefropati refluks), yang lazim didiagnosis sebagai pielonefritis kronik, sekarang ini sudah diterima dengan baik. Mekanisme penyebab jaringan parut diyakini merupakan gabungan dari efek: (1) VUR, (2) refluks intrarenal, dan (3) infeksi (Kunin, 1997; Tolkoff-Rubin, 2000; Rose, Renke, 1994). Keparahan VUR merupakan satu satunya faktor penentu terpenting dari kerusakan ginjal. Banyak bukti yang menyokong pendapat bahwa keterlibatan ginjal pada nefropati refluks terjadi pada masa awal kanak-kanak sebelum usia 5 sampai 6 tahun, karena pembentukan jaringan parut yang baru jarang terjadi setelah usia ini. Penjelasan dari pengamatan ini adalah bahwa refluks intrarenal terhenti sewaktu anak menjadi lebih besar (kemungkinan besar karena perkambangan ginjal), walaupun demikian VUR dapat terus berlanjut.Pada orang dewasa, VUR dan nefropati refluks dapat berkaitan dengan gangguan obstruktif dan neurologik yang menyebabkan sumbatan pada drainase urine (seperti batu ginjal atau vesika urinaria neurogenik akibat diabetes atau cedera batang otak). Namun, sebagian besar orang dewasa yang memiliki jaringan parut pada ginjal akibat pielonefritis kronik mendapat lesi-lesi ini pada awal masa kanak-kanaknya. Bukti-bukti yang menyokong mekanisme refluks-infeksi ini berasal dar percobaan pada hewan dan pengamatan pada manusia dengan hasil sebagai berikut: 85% sampai 100% anak-anak dan 50% orang dewasa dengan jaringan parut ginjal menderita VUR, serta 50% anak-anak dan 5% samapi 23% orang dewasa dengan UTI berulang juga menderita VUR(Tolkoff-Rubin, 2000).Meskipun kenyataannya nefropati refluks yang mulai terjadi pada masa kanak-kanak dapat menjelaskan pembentukan jaringan parut dan kerusakan ginjal pada banyak pasien, masih sulit menjelaskan bagaimana perjalanan kerusakan ginjal progresif karena pada sejumlah orang dewasa dengan pielonefritis tahap akhir tidak terdapat refluks maupun UTI. Beberapa pasien bahkan tidak mengingat sama sekali pernah mengalami UTI berulang. Teori paling populer untuk menjelaskan gagal ginjal progresif yang terjadi pada pasien dengan refluks yang sudah dikoreksi dan dengan urine steril adalah teori hemodinamik intrarenal atau hipotesis hiperfiltrasi (Rose, Rennke, 1994). Menurut teori ini, infeksi awal penyebab kerusakan nefron mengakibatkan kompensasi peningkatan tekanan kapiler glomerulus (Pgc) dan hiperperfusi pada sisa nefron yang masih relatif normal. Tampaknya hipertensi intraglomerulus ini menimbulkan cedera glomerulus yang diperantarai keadaan hemodinamik ini didukung oleh semakin banyaknya bukti dari penelitian pada hewan maupun manusia. Bukti dari percobaan menunjukkan bahwa pengendalian hipertensi sistemik terutama dengan pemberian obat-obat penghambat enzim konversi angiostensin (ACE) seperti kaptopril atau enapril maleat memperlambat penurunan GFR pada banyak pasien gagal ginjal. Obat-obatan ini menurunkan Pgc dengan melawan kerja angiostensin II dan dilatasi arteriol eferen. Penurunan Pgc juga terjadi jika makanan berprotein dibatasi hanya 20 sampai 30 g/hari, dilengkapi dengan asam amino dan analog ketonya. Penelitian pembatasan protein majemuk menunjukkan suatu perlambatan yang jelas (75% sampai 90%) atau penghentian dari penurunan GFR pada banyak pasien, walaupun mekanisme bagaimana pengaruh asupan protein terhadap GFR masih belum jelas. Lebih lanjut, pengaruh ini dapat ditimbulkan pada berbagai penyakit ginjal kronik termasuk pielonefritis kronik dan glumerulonefritis kronik.Berbeda dengan pielonefritis akut, gambaran klinis pielonefritis kronik sangat tidak jelas. Diagnosis biasanya ditegakkan apabilapasien memperlihatkan gejala insufisiensi ginjal kronik atau hipertensi, atau temuan proteinuria saat pemeriksaan rutin. Pada beberapa kasus memang dapat ditemukan riwayat UTI sejak masa kanak-kanak. Anamnesis yang diteliti pada beberapa kasus lain, mungkin dapat menemukan adanya riwayat disuria, sering kencing atau kadang-kadang nyeri pada selangkangan yang tidak jelas. Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala sampai penyakit mencapai tahap lanjut. Beberapa temuan khas pada pielonefritis kronik adalah bakteriuria intermiten dan leukosit, atau adanya silinder leukosit dalam urine. Proteinuria biasanya minimal. Pielonefritis kronik terutama merupakan penyakit interstitial medula sehingga kemampuan ginjal untuk memekatkan urine sudah mengalami kemunduran GFR yang bermakna. Akibatnya, poliuria, nokturia dan urine berberat jenis rendah merupakan gejala dini yang menonjol. Banyak pasien cenderung kehilangan garam melalui urine. Sekitar separuh kasus memperlihatkan gejala hipertensi. Pielonefritis kronik lanjut sering memperlihatkan gejala azotemia, meskipun perkembangan sampai menjadi gagal ginjal biasanya bersifat progresif lambat.Pemeriksaan IVP memperlihatkan pembengkakan tabuh (clubbing) pada kaliks, korteks menipis dan ginjal kecil, bentuknya tidak teratur dan biasanya tidak simetris. Permukaan ginjal tampak bergranula kasar dengan lekukan-lekukan berbentuk huruf U, jaringan parut subkapsular, dan pelvis yang fibrosis dan berdilatasi serta kaliks terlihat pada penampang melintang. Pemeriksaan mikroskopik potongan jaringan memperlihatkan perubahan-perubahan parenkim yang khas: banyak sel radang kronik terdiri dari sel-sel plasma dan limfosit (berupa titik-titik berwarna gelap), tersebar di seluruh interstitium. Ketiga glomerulus tetap utuh dan dikelilingi oleh banyak tubulus kecil dan telah mengalami atrofi atau dilatasi. Tampak pula fibrosis interstitial di dekat glomerulus. Tampak pula daerah-daerah luas yang mengalami tiroidisasi (tampak seperti jaringan tiroid), terdiri dari tubulus-tubulus yang mengalami dilatasi dibatasi oleh sel-sel epitel gepeng dan terisi silinder seperti kaca. GLUMERULONEFRITIS

Glumerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dengan glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan / atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal kronik. Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richhard Bright pada tahun 1827 (penyakit Bright), sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi (sebagian besar tidak diketahui), meskipun respons imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.Pada beberapa tahun terakhir, pengetahuan tentang perubahan patologik penyakit ginjal telah berkembang pesat melalui pemeriksaan biopsi ginjal dengan mikroskop cahaya, imunofluorensi, dan mikroskopik elektron. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka timbul kategori-kategori baru karena bertambahnya kemampuan untuk mendefinisikan sifat alamiah lesi ginjal. Berbagai usaha telah dilakukan untuk memisahkan dan memilah berbagai jenis glumerulonefritis dengan menghubungkan gambaran histologis dan klinisnya. Sayangnya, berbagai kategori tersebut tidak eksklusif. Dapat dimengerti mengapa ciri-ciri tersebut tumpang tindih karena ginjal hanya mempunyai respons fungsional dan morfologik yang terbatas. Kebingungan semakin bertambah karena berbagai gangguan sistemik dan metabolik yang menyerang ginjal dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada glomerulus yang tidak dapat dibedakan dengan glumerulonefritis primer.KLASIFIKASI GLOMERULONEFRITIS

KlasifikasiKeterangan

DISTRIBUSI

Difus

Fokal

LokalMengenai semua glomerulus; bentuk yang paling sering terjadi menyebabkan gagal ginjal kronik

Hanya sebagian glomerulus yang abnormal

Hanya sebagian rumbai glomerulus yang abnormal, misalnya satu simpai kapiler

BENTUK KLINIS GLOMERULONEFRITIS DIFUS

Akut

Subakut

KronikJenis gangguan klasik dan jinak, yang hampir selalu diawali oleh infeksi streptokokus dan disertai dengan endapan kompleks imun pada membrana basalis glomerulus (GBM) dan perubahan proliferatif seluler

Bentuk glomerulonefritis yang progresif cepat, ditandai dengan perubahan-perubahan prolloferatif seluler nyata yang merusak glomerulus sehingga dapat mengakibatkan kematian karena uremia dalam jangka waktu beberapa bulan sejak timbulnya penyakit

Glomerulonefritis progresif lambat yang berjalan menuju perubahan sklerotik dan obliteratif pada glomerulus; ginjal mengisut dan kecil; kematian akibat uremia; seluruh perjalanan penyakit berlangsung 2 sampai 40 tahun.

MEKANISME KEKEBALAN PATOGENIK DAN POLA IMUNOFLUORESENSI

Kompleks imun, granularNefrotoksik (anti-GBM), linearAntibodi (Ab) terhadap antigen (Ag) nonglomerular eksogen maupun endogen berperan dalam pembentukan kompleks Ab-Ag dalam sirkulasi secara pasif terperangkap dalam GBM. Fiksasi komplemen dan pelepasan mediator imunologik mengakibatkan cedera glomerulus; terdapat deposit sepanjang permukaan epitel yang tampaknya memiliki pola granular atau berbungkah seperti yang terlihat pada pemeriksaan mikroskop imunofluorensi. Jenis ini menyertai GN pascastreptokokus, GN membranosa idiopatik, GN penyakit serum, endokarditis bakterial subakut, malaria dan purpura anafilaktoid.Bentuk antibodi yang bereaksi dengan MBG pasien sendiri sebagai antigennya (anti-MBG atau antibodi antiginjal). Penyakit autoimun sejati berbeda dengan GN kompleks imun, yaitu MBG hanya berperan sebagai seperti pendamping yan tak berdosa; endapan imun terletak pada subendotel dan mengakibatkan gambaran linier seperti pita pada mikroskop imunofluorensi; disertai GN progresif cepat (RPGN) dan sindrom Goodpasture.

GAMBARAN HISTOLOGIK

SINDROM KLINIS