patof sylvi

Upload: ryan-gustomo

Post on 07-Mar-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

a

TRANSCRIPT

BAB 55

Gangguan Kejang

MARY CARTER LOMBARDO

I NEUROLOGIK2bagian sembilan GANGGUAN SISI NEUROLOGIK1158bagian sembilan GANGGUAN SIS

1

(jARIS BESAR BABPATOFISIOLOGI, 1158 JENIS KEJANG, 1158 STATUS EPILEPTIKUS, 1161 ALAT DIAGNOSTIK, 1161 TERAPI, 1163

jf ejang adalah masalah neurologik yang relatif fJr^ seringdijumpai.Diperkirakanbahwa 1 dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama nidup mereka. Dua puncak usia untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60 tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun, kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam-basa atau elektrolit. Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit men-dasar yang membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus-obat, ntoksikasi obat, atau ensefalopati hipertensi. Bergan-tung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, atau autonom. Istilah "kejang" bersifat generik, dan dapat digunakan pen-jelasan-penjelasan lain yang spesifik sesuai karak-teristik yang diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. Bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik sering disebut kejang. Kejang konvulsi biasanya menimbulkan kontraksi otot rangka yang hebat dan involunter yang mungkin meluas dari satu bagian tubuh ke seluruh tubuh atau mungkin terjadi secara rnendadak disertai keterlibatan seluruh tubuh. Status epileptikus adalah suatu kejang berkepanjangan atau serangkaian kejang repetitif tanpa pemulihan kesa- daran antariktus.Data mengenai insidensi kejang agak sulit dike-tahui. Diperkirakan bahwa 10/o orang akan mengalami paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka dan sekitar 0,3% sampai 0,5% akan didiag-nosis mengidap epilepsi (didasarkan pada kriteria dua atau lebih kejang spontan/tanpa pemicu). Laporan-laporan spesifik-jenis kelamin mengisyarat-kan angka yang sedikit lebih besar pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Insidensi berda-sarkan usia memperlihatkan pola konsisten berupa angka paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, penurunan pesat menuju usia remaja, dan penda-taran secara bertahap selama usia pertengahan untuk kembali memuncak pada usia setelah 60 tahun. Lebih

dari 75% pasien dengan epilepsi mengalami kejang pertama sebelum usia 20 tahun; apabila kejang pertama terjadi setelah usia 20 tahun, maka gangguan kejang tersebut biasanya sekunder. Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai tipe idiopatik atau simto-matik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya suatu lesi sentral. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, terdapat kelainan serebrum yang mendorong terjadinya respons kejang. Di antara berbagai penyakit yang 1 mungkin menyebabkan epilepsi sekunder adalah cedera kepala (termasuk yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran), gangguan metabolik dan gizi (hipoglikemia, fenilketo-nuria, defisiensi vitamin B6), faktor toksik (intoksikasi alkohol, putus-obat narkotik, uremia), ensefalitis, hipoksia, gangguan sirkulasi, gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hiponatremia dan hipo-kalsemia), dan neoplasma.kan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik menunjang hipo-tesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Beium ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilita-torik; fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.

I NEUROLOGIK1158bagian sembilan GANGGUAN SISI NEUROLOGIK1158bagian sembilan GANGGUAN SIS

PATOFISIOLOGI

JENIS KEJANG

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenic sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yangberikut: Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipo-polarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang meng-ganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Perubahan-perubahan metabolik yang terjadiselama dan segera setelah kejang sebagian disebab-

Masing-masing sentra klinis untuk epilepsi yang besar menggunakan klasifikasi yang paling sesuai dengan tujuan mereka. Tabel 55-1 memperlihatkan klasifikasi (sudah dimodifikasi) yang diadopsi oleh the International League Against Epilepsy. Pemeriksaan elektroensefalografik, MRI, penilaian klinis, dan anamnesis digunakan untuk mengidentifikasi jenis kejang.Kejang diklasifikasikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks (kesadaran berubah tetapi tidak hilang).Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini bergantung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot; sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami gejala-gejala sensorik termasuk baal, sen-sasi seperti ada yang merayap, atau seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa representasi motorik. Gejala autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan daya ingat, disfagia, dan deja vu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial. Kita harus mengamati dengan cermat di mana kejang diI NEUROLOGIK1158bagian sembilan GANGGUAN SISI NEUROLOGIK1158bagian sembilan GANGGUAN SIS

f TABEL 55-1

Klasifikasi KejangKarakteristikKlasifikasi PARSIALKesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagian lain Parsial Sederhana Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, men-dengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takikardia, bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat) Biasanya berlangsung kurang dari 1 menitParsial Kompleks Dimulai sebagai kejang parsialsederhana; berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju) Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata Biasanya berlangsung 1-3 menitGENERALISATA Hilangnya kesadaran; tidak adaawitan fokal; bilateral dan simetrik; tidak ada auraTonik-KlonikSpasme tonik-klonik otot; inkontinensiaurin dan alvi; menggigit lidah; fase pascaiktusAbsenceSering salah didiagnosis sebagaimelamun Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergelar, atau berkedip secara cepat; tonus postural tidak hilangBerlangsung beberapa detik Mioklonik Kontraksi mirip-syok mendadak yangterbatas di beberapa otot atau tungkai; cenderung singkatAtonikHilangnya secara mendadak tonusotot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks)KlonikGerakan menyentak, repetitif, tajam,lambat, dan tunggal atau multipei di lengan, tungkai, atau torsoTonikPeningkatan mendadak tonus otot(menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas; fleksi lengan dan ekstensi tungkai Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi Dapat menyebabkan henti napasmulai, karena hal ini dapat memberi petunjuk tentang lokasi lesi. Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai hilangnya kesadaran.Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu dikenal sebagai kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus temporalis medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior). Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepu k tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien mungkin mengalami perasaan khayali berkabut seperti mimpi. Pasien tetap sadar selama serangan tetapi umumnya tidak ' mengingat apa yang terjadi. Kejang parsial kon dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami kejang. Kejang ini biasanya muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat beberapa tipe kejang generalisata (lihat Tabel 5-1).Kejang absence (dahulu disebut petit mal) ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jar langsung lebih dari beberapa detik. Sebagai 1 ntoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan pembir^ 1 menatap kosong, atau berkedip-kedip denga; cepat. Pasien mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali sehari. Kejang al hampir selalu terjadi pada anak; awitan . dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serar gan ini mungkin menghilang setelah pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonik-klonik.Kejang tonik-klonik (dahulu disebut grand mal) adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik kemudian kin: inkontinensia urin atau alvi (atau keduanya), disertai disfungsiautonom. Pada fase tonik, otot-oto: kontraksi dan posisi tubuh mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik memper-1160bagian sembilanGANGGUAN SISTEM NEUROLOGIKGangguan Kejang bab 55 3

TABEL 55-2Efek Fisiologik Kejang Awal (Kurang dari 15 Menit)

Lanjut (15-30 Menit)

Berkepanjangan (Lebih dari 1 Jam)4bagian sembilanGANGGUAN SISTEM NEUROLOGIKGangguan Kejang bab 55 1159

Meningkatnya kecepatan denyut jantungMenurunnya tekanan darahHipotensi disertai berkurangnya aliran darahMeningkatnya tekanan darahMenurunnya gula darahserebrum sehingga terjadi hipotensiMeningkatnya kadar glukosaDisritmia serebrumMeningkatnya suhu pusat tubuhEdema paru nonjantungGangguan sawar darah-otak yangMeningkatnya sel darah putihmenyebabkan edema serebrum1160bagian sembilanGANGGUAN SISTEM NEUROLOGIKGangguan Kejang bab 55 5

lihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak. Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah. Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan, agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus. Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya.Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Kejang tonik-klonik yang berkepanjangan menyebabkan efek neurologik dan kardiorespirasi yang berat. Efek dini disebabkan oleh meningkatnya katekolamin dalam sirkulasi. Apabila kejang berlanjut lebih dari 15 menit, maka terjadi deplesi katekolamin yang menyebabkan timbulnya efek sekunder atau lambat. Kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat menyebabkan henti jantung dan napas (Tabel 55-2).Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut mele-wati masa anak dan anak mungkin mengalami kejang nondemam pada kehidupan selanjutnya.Selain jenis-jenis kejang generalisata yang umum ini, sebagian mungkin dapat dianggap sekunder. Cedera kepala tetap merupakan penyebab tersering kejang didapat. Insidensi bervariasi bergantung pada tipe dan keparahan cedera awal. Apapun mekanis-menya, penetrasi dura merupakan faktor risiko yang signifikan untuk timbulnya kejang. Dalam kaitannya dengan patofisiologi kejang, terdapat dua faktor penting yang berperan. Cedera primer terjadi akibat gaya mekanis yang merobek prosesus dendritik, merusak kapiler, dan mengganggu lingkungan ekstrasel. Cedera sekunder ditimbulkan oleh edema serebrum. Penim-bunan produk metabolik toksik dan iskemia akibat hipotensi, hipoksia, dan hiperkarbia ikut berperan menimbulkan edema serebrum. Mekanisme patofisio logik timbulnya kejang setelah trauma kepala adalah iskemia akibat terganggunya aliran darah, efek mekanis dari jaringan parut, destruksi kontrol inhi-bitorik dendrit, gangguan sawar darah-otak, dan perubahan dalam sistem penyangga ion ekstrasel.Terapi profilaktik bagi pasien cedera kepala untuk kejang setelah cedera otak terus menimbulkan kontro-versi. Kejang terjadi paling sering dalam 30 sampai 90 hari pertama setelah cedera kepala. Sebagian besar institusi mengobati secara profilaktis pasien yang dianggap berisiko tinggi. Karakteristik pasien berisiko tinggi adalah skor Glasgow Coma Scale kurang dari 10, adanya perdarahan intrakranium, cedera menem-bus dura, atau fraktur depresi tulang tengkorak, atau kombinasinya. Fenitoin (Dilantin) adalah obat pilihan untuk terapi profilaktik.Kejang dapat terjadi akibat fase akut atau sekuele dari infeksi susunan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit. Perlu dicatat bahwa kejang biasanya merupakan gejala klinis pertama pada abses serebrum. Infeksi merupakan penyebab sekitar 3% kasus epilepsi didapat.Kelainan metabolik, sebagai kelainan yang mendasari kejang, mencakup hiponatremia, hipernatremia, hipoglikemia, keadaan hiperosmolar, hipokalsemia, hipomagnesemia, hipoksia, dan uremia. Gejala neurologik perubahan kadar natrium serum terjadi akibat peningkatan atau penurunan volume cairan intrasel neuron dan berkaitan dengan kadar absolut kurang dari 125 mEq/L atau lebih dari 150 mEq/L tetapi, yang lebih penting, berkorelasi dengan kecepatan terjadinya perubahan tersebut. Kemajuan dalam

bidang resusitasi jantung-paru (RJP) ikut memberi kon-tribusi dalam meningkatkan insidensi kesintasan pasien yang mengalami hipoksia serebrum dan se-kuelenya, ensefalopati anoksik, sehingga kelainan ini semakin sering menyebabkan gangguan kejang didapat.Tumor otak adalah kausa lain kejang didapat, terutama pada pasien berusia antara 35 sampai 55 tahun. Kejang dapat merupakan gejala pada tumor otak tertentu, khususnya meningioma, glioblastoma, dan astrositoma. Apakah suatu neoplasma otak menimbulkan kejang bergantung pada jenis, kecepatan pertumbuhan, dan lokasi neoplasma tersebui. Tumor yang terletak supratentorium dan mengenai korteks kemungkinan besar menyebabkan kejang. Insidensi tertinggi terjadi pada tumor yang terletak di sepan-jang sulkus sentralis disertai keterlibatan daerah motorik. Semakin jauh tumor dari bagian ini, semakin kecil kemungkinannya menyebabkan kejang.Insufisiensi serebrovaskular arteriosklerotik dan infark serebrum merupakan kausa utama kejang pada pasien dengan penyakit vaskular, dan hal ini tampaknya meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah populasi orang berusia lanjut. Infark besar dan infark dalam yang meluas ke struktur-struktur subkorteks lebih besar kemungkinannya menimbulkan kejang berulang.Berbagai bahan toksik dan obat dapat menyebabkan kejang. Pada beberapa obat, kejang merupakan manifestasi efek toksik. Obat yang berpotensi menimbulkan kejang adalah aminofilin, obat antidiabetes, lido-kain, fenotiazin, fisostigmin, dan trisiklik. Penyalah-gunaan zat seperti alkohol dan kokain juga dapat menyebabkan kejang.

STATUS EPILEPTIKUSTerdapat dua jenis status epileptikus: status epileptikus konvulsif dan status epileptikus nonkonvulsif. Kejang tonik-klonik pada status epileptikus konvulsif menandakan keberlanjutan aktivitas kejang. Hal ini tidak terjadi pada status epileptikus nonkonvulsif. Para pasien ini mungkin membentuk sampai 10% dari semua pasien status epileptikus yang dirawat di unit perawatan intensif. Tidak ada tanda klinis kejang yang menandai status epileptikus tipe ini, tetapi pasien tetap tumpul atau tidak sadar selama lebih dari 30 menit setelah kejang tonik-klonik yang nyata telah berhenti. Keadaan komatosa ini sering disangka disebabkan oleh efek sedatif obat-obat yang diberikan selama keadaan kejang. Satu-satunya alat untuk mendiagnosis status epileptikus nonkonvulsif adalah elektroensefalogram. Karena sering salah di-diagnosis, maka angka kematian sangat tinggi. Kematian disebabkan oleh dekompensasi dan kolapsnya fungsi kardiovaskular sehingga terjadi disritmia letal dan memburuknya fungsi otonom. Pada status epileptikus, baik konvulsif maupun nonkonvulsif, tujuan pengobatan adalah menghentikan secepatnya aktivitas kejang. Diperlukan penatalaksanaan yang agresif. Obat yang sering digunakan adalah golongan benzodiazepin, fosfenitoin (yang dapat diberikan tanpa mempertimbangkan kadar fenitoin serum), dan fenobarbital. The American Academy of Neurology merekomendasikan bahwa semua pasien status epileptikus juga mendapat tiamin (vitamin B^ dan dekstrosa 50%. Semua pasien dengan kejang yang rekalsitran memerlukan intubasi dan bantuan pernapasan. Apabila semua tindakan gagal, maka dokter dapat mempertimbangkan sedasi dalam dengan infus midazolam (Versed) atau koma barbiturat.

ALAT DIAGNOSTIK

Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan aktivitas kejang yang kontinu atau intermiten yang berlangsung selama 20 menit atau lebih saat pasien kehi-langan kesadarannya. Status epileptikus harus di-anggap sebagai kedaruratan neurologik. Dapat terjadi kerusakan saraf yang bermakna akibat aktivitas listrik abnormal yangberkelanjutan. Angka kematian untuk status epileptikus tetap tinggi, sekitar 22% sampai 25%, walaupun dengan terapi obat secara agresif. Aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 60 menit dan usia lanjut adalah faktor yang berperan memperburuk prognosis. Kematian pada status epileptikus disebabkan oleh hiperpireksia dan obstruksi ventilasi, aspirasi muntahan, dan kegagalan mekanisme kompensasi dan regulatorik.Aktivitas listrik korteks memiliki voltase yang sangat rendah; pada elektroensefalograf aktivitas ini diper-kuat dan direkam. Rekaman yang dihasilkan disebut elektroensefalogram (EEG).Gelombang otak bersifat individual dan bervariasi sesuai aktivitas (misalnya, aktivitas mental yang intensif = amplitudo rendah, frekuensi tinggi; tidur gelombang-lambat = frekuensi rendah, amplitudo meningkat). Spikes (tonjolan) menandakan fokus iritatif. Gelombang otak melambat akibat hipoksia, anestesia, sedativa, kadar karbon dioksida (COz) yan^ rendah, tidur nyenyak, dan relaksasi; gelombang ini mengalami percepatan apabila kadar C02 meningkat, terjadi stimulasi sensorik, anestesia ringan, dan obat seperti metilprednisolon (Medrol).

TABEL 55-36bagian sembilan GANGGUAN SISTEM NEUROLOGIK1162bagian sembilan GANGGUAN SISTEM NEUROLOGIK

Dosis/Kadar Darah300-400 mg/hariKadar terapetik: 10-20 ug/mlFosfenitoin (Cerebyx) Status epileptikus15-20 mgPE/kgObat Farmakologik untuk Terapi Kejang Obat PemakaianKarbamazepin (Tegretol)Fenobarbital (Luminal) Diazepam (Vaiium)Fenitoin (Dilantin) Kejang generalisata (tonik-klonik)Kejang parsial kompleksKejang generalisata (tonik-klonik)Generalisata (tonik-klonik)Lorazepam (Ativan) Midazolam (Versed)Status epileptikus

Status epileptikusInfus (hanya pasien dengan intubasi dan ventilator)Klonazepam (Klonopin)Etosuksimid (Zarontin)Asam valproat(Depakote,Depakene) Felbamat (Feibatol)

Status epileptikus (masih dalam penelitian)

Mioklonik

Absence

Kejang generalisata(tonik-klonik), mioklonik,absence, parsial Sindrom Lennox-Gabapentin (Neurontin)Lamotrigin (Lamictal)Gastaut, kejangparsial Kejang parsial [Catalan.juga digunakan padasindrom-sindrom nyeri) Kejang parsial, sindromKejang parsial (Catatan. juga digunakan pada sindrom-sindrom nyeri)Kejang parsialLennox-Gastaut

Okskarbazepin (Trileptal) *Kejang parsial Kejang parsialTiagabin (Gabitril) Topiramat (Topamax)

Zonisamid (Zonegran)

600-1600 mg/hariKadar terapetik: 4-12 ug/ml90-180 mg/hari Kadar terapetik: 20-40 ug/ml Dewasa: 5-10 mg (sampai 30 mg)Anak: 1 mg setiap 2-5 menit sampai dosis total 10 mgDewasa: 2-10 mgAnak: 0,1 mg/kg, dosis maksimum 4 mgDiinfuskan secara lambat dengan menggunakan pompa infus sampai hasil tercapai

Dewasa: 1,5-20,0 mg/hariAnak: 0,01-0,02 mg/kg/hariKadar terapetik: 0,02-0,10 ug/mlDewasa: 20-40 mg/kg/hariAnak: 20 mg/kg/hariKadar terapetik: 40-90 ug/ml750-3000 mg/hariKadar terapetik: 50-150 ug/mlDewasa: 1,2 g/hari Digunakan dalam terapipolifarmakologik Dewasa: 900-1800 mg/hari Kadar terapetik: beium diketahuiDewasa: 100-500 mg/hari Anak: 15 mg/kg/hari Digunakan dalam terapipolifarmakologik Kadar terapetik: beium diketahui Dewasa: 1200-2400 mg/hari Kadar terapetik: beium diketahuiDewasa/anak: 4-56 mg/hari Kadar terapetik: beium diketahuiDewasa: 400 mg/hariKadar terapetik: beium diketahui100-400 mg/hariKadar terapetik: 20 ug/ml

Efek SimpangHirsutisme, hipertrofi gusi, distres lambung, penglihatan kabur, vertigo, hiperglikemia, anemia makrositik (pada pemakaian jangka panjang)Kadar toksik 30-50 ug/ml ,Diskrasia darah, hipotensi, nefritis, fibrilasi ventrikelDepresi sumsum tulang, distres lambung, sedasi, penglihatan kabur, konstipasi, ruam kulitSedasi, distres lambungSedasi, depresi jantung dan pernapasan

Pusing bergoyang, mengantuk, takikardia, hipotensiHipotensi, apnea, bronkospasme, laringospasme

Mengantuk, kebingungan, nyeri kepala, vertigo, sinkopMual, muntah, penurunan berat badan, konstipasi, diare, gangguan tidur, diskrasia darahMual, hepatotoksisitas

Gangguan Gl, anoreksia, penurunan berat, nyeri kepala, insomnia, hepatotoksisitasLeukopenia, mulut kering, penglihatan kabur, mialgia, penambahan berat, kelelahanHepatotoksisitas, ruam, sindrom Stevens-Johnson, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur

Gangguan Gl, sedasi, diplopia, hiponatremia, ruam kulitMulut kering, pusing bergoyang, sedasi, langkah terhuyung, nyeri kepala, eksaserbasi kejang generalisataFaringitis, insomnia, penurunan berat badan, konstipasi, mulut kering, sedasi, anoreksiaDewasa (>16 tahun): Somnolensi, ataksia, kelelahan, anoreksia, pusing, batu ginjal, leukopenia

Lapisan-lapisan superfisial korteks bertanggung jawab menghasilkan aktivitas listrik yang terekam pada EEG. Massa dendrit yang membentuk suatu jaringan padat diperkirakan merupakan sumbernya. Serebelum juga memiliki jaringan serupa, dan pola serupa juga dapat direkam dari bagian ini.EEG harus digunakan bersama dengan evaluasi klinis yang cermat. EEG adalah suatu rekaman fisiologik dan tidak membedakan satu entitas dari entitas lain; sebagai contoh, EEG tidak dapat membedakan tumor dari trombosis. Sepuluh persen pasien dengan kejang memperlihatkan EEG yang normal. Selain itu, rekaman yang abnormal tidak selalu bersifat diagnostik. Pada kenyataannya, bahkan pada pasien yang didiagnosis mengidap epilepsi, aktivitas kejang sering nonklinis.EEG hanyalah suatu pemeriksaan, bukan penentu diagnosis pasti. Interpretasi gambaran EEG harus dilakukan dengan hati-hati. Sebagai contoh, elek-troda kulit kepala mungkin sering tidak dapat merekam aktivitas listrik dari aspek inferior lobus frontalis dan temporalis serta oksipitalis.Pada sebagian pasien, digunakan teknik-teknik pengaktivan tertentu, seperti hiperventilasi atau stimulasi cahaya berkedip-kedip, untuk memicu munculnya pola listrik abnormal. Bahkan setelah pemeriksaan EEG berulang, hasil tetap negatif pada hampir 20% pasien. EEG yang normal sering dijumpai pada anak dengan kejang tonik-klonik.Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pe-mantauan video-EEG secara simultan, yang mengait-kan temuan EEG dengan serangan. Pasien dipantau 24 jam dengan radiotelemetri. Elektroda ditanam dan dihubungkan ke suatu alat telemetri yang dipasang di kepala pasien. Rekaman EEG digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah otak spesifik yang terlibat dalam lepas muatan abnormal, dan data ini dikorelasikan dengan rekaman video. Pemeriksaan lain mencakup pencitraan saraf dengan CT scan dan MRI untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI lebih disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya tumor kecil, malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus temporalis. Sklerosis temporal mesial, suatu kelainan yang sering menjadi penyebab epilepsi temporalis, dapat terlihat dengan MRI tetapi tidak dengan CT scan.

TERAPI

Penatalaksanaan primer untuk pasien kejang adalah terapi obat untuk mencegah timbulnya kejang atau untuk mengurangi frekuensinya sehingga pasien dapat hidup normal. Sekitar 70% sampai 80% pasien memperoleh manfaat dari pemberian obat antikejang. Obat yang dipilih ditentukan oleh jenis kejang dan profil efek samping. Dosis disesuaikan secara individual. Tabel 55-3 mencantumkan sebagian dari obat yang sering digunakan untuk mengobati epilepsi serta efek sampingnya.Perlu diingat bahwa tidak semua pasien kejang memerlukan terapi obat dan pemilihan pemakaian obat didasarkan oleh banyak faktor. Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab oleh dokter adalah sebagai berikut: Apakah ini suatu kejang saja? Apakah penyebab kejang adalah suatu penyakit yang reversibel (misalnya, ketidakseimbangan elektrolit, peningkatan osmolalitas serum, hipoglikemia Apakah kejang ini berkaitan dengan pemakaian atau penyalahgunaan alkohol? Apakah pasien hamil dan penyebab kejangnya mungkin adalah eklam; Secara umum pasien harus mengalami paling sed dua kali kejang sebelum diagnosis epilepsi dipert bangkan. Kejang harus dibedakan dari keadaan-keadaan lain yang mirip dengannya. Keadaan keadaan tersebut mencakup nyeri kepala migren, stroke, vertigo, gangguan tidur, dan pseudokejang.Dahulu, pasien biasanya diberi kombinasi ob-berdasarkan anggapan bahwa dosis dapat lebr rendah sehingga insidensi efek samping dapa' dikurangi. Saat ini, yang lebih disukai adalah pendekatan monofarmakologik, yang meminimalkan jumlah obat yang digunakan serta efek samping dan efek sinergistiknya. Dokter umumnya melakukandi 1 kali percobaan dengan satu obat sebelum menambah-kan obat lain (terapi kombinasi).Terdapat kontroversi klinis mengenai pemberian obat secara rutin untuk epilepsi pada anak. Anak yang mengalami kejang pertama kali umumnya tidak diterapi secara farmakologis. Anak dengan kejang beberapa kali atau ringan mungkin tidak memerlukan obat. Sebagian ahli neurologi anak berpendapai bahwa obat hanya bersifat paliatif dan bahwa sebagian besar anak dengan kejang seyogyan hanya mendapat obat antiepilepsi apabila dampak kejang melebihi efek samping obat.Apapun pendekatan yang digunakan, penilaiar, klinis secara cermat dan pemantauan berkala kadar obat merupakan hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien. Dengan menilai kadar obat kita dapat menyesuaikan dosis obat dengan kebutuhan pasien. Pasien memetabolisme obat dengan kecepatan berbeda-beda. Faktor-faktor seperti kadar protein serum dan kemampuan enzim-enzim hati untuk menguraikan obat secara hayati memengaruhi kebutuhan obat dan kadar obat dalam serum.Gangguan Kejang bab 55 1163Gangguan Kejang bab 55 7

TABEL 55-4

Terapi Bedah untuk Gangguan Kejang

Prosedur BedahKomentar

LesionektomiPengangkatan lesi spesifik

Hasil baik

Reseksi temporalisPengangkatan lobus temporalis,

mencakup pengangkatan

hipokampus dan amigdala

Apabila dilakukan pada hemisfer

yang dominan, akan terjadi

defisit bicara yang temporer

Hasil baik sampai sangat baik

Reseksi ekstra-Sebagian besar mengenai lobus

ternporalisfrontalis; reseksi parietalis dan

oksipitalis jarang dilakukan

Lebih dari separuh pasien membaik

HemisferektomiDigunakan pada epilepsy

Rasmussen

Hasil baik sampai sangat baik

Hasil lebih baik pada pasien yang

lebih muda

Dahulu, diet dan pembedahan juga merupakan pengobatan untuk kejang, dan metode-metode ini saat ini kadang-kadang masih digunakan. Diet ketogenik populer pada tahun 1920an. Variasi dari diet ketogenik, diet trigliserida rantai-sedang diperkenalkan pada awal tahun 1970an. Diet rendah karbohidrat tinggi lemak mengubah kimia tubuh dengan meng-hasilkan keton. Keadaan asidosis yang terjadi tampaknya memiliki efek antikeiang pada sebagian anak dengan kejang mioklonik.Asetazolamid (Diamox), yang digunakan bersama dengan obat antikejang, menimbulkan asidosis relatif yang serupa dengan yang ditimbulkan oleh diet ketogenik. Keadaan ini tampaknya menciptakan suatu lingkungan yang mengurangi kemungkinan aktivitas kejang. Keadaan dehidrasi juga tampaknya mengurangi aktivitas kejang, demikian juga aktivitas fisik (mungkin berkaitan dengan pembentukan asam laktat).Sekitar 20% sampai 30% pasien dengan kejang refrakter terhadap penatalaksanaan medis. Sebagian dari pasien ini merupakan kandidat untuk terapi bedah dalam usaha untuk lebih dapat mengendali-kan aktivitas kejang dan, pada beberapa kasus, meng-hilangkannya sama sekali. Intervensi bedah bukan untuk semua pasien dan sebagian besar fasilitas bedah saraf memiliki kriteria seleksi pasien yang ketat. Pasien dengan gangguan kejang parsial paling cocok untuk terapi bedah. Walaupun angka keber-hasilkan bervariasi, dan hasil mungkin memerlukan waktu sampai 2 tahun, namun 60% pasien mengalami eliminasi total atas kejangnya dan 20% pasien mengalami pengurangan 90% frekuensi kejang.Evaluasi diagnostik kandidat potensial dilakukan untuk menentukan lokasi fokus kejang dan menentukan keamanan tindakan reseksi bagian otak yang terkena. Yang termasuk dalam evaluasi prabedah yang ekstensif adalah pemindaian dengan CT, MR], positron emission tomography (PET), dan single-photon emission computerized tomography (SPECT). Pemetaan fungsi korteks sangat penting untuk menjamin hasil yang optimal. Selain uji-uji diagnostik yang khusus tersebut, evaluasi juga mencakup evaluasi EEG, uji neuropsikologik, dan penilaian psikososial. Pasien seyogyanya adalah kandidat yang memiliki motivasi untuk rehabilitasi dan memiliki harapan yang realis-tik atas tindakan pembedahannya. Tindakan bedah diagnostik dapat dilakukan apabila uji-uji diagnostik noninvasif tidak memberi kesimpulan yang jelas.Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat jaringan otak sesedikit mungkin sehingga aktivitas kejang akan tereliminasi atau berkurang secara bermakna. Tabel 55-4 meringkaskan sebagian dari pilihan bedah yang tersedia.Pilihan lain yang sedang diteliti adalah pemakaian stimulator saraf vagus. Pada teknik ini, dilakukan implantasi suatu prostesis neurosibernetik di sekitar saraf vagus kiri. Dipostulasikan bahwa stimulasi saraf vagus akan menyebabkan desinkronisasi aktivitas listrik otak, yaitu timbul efek antiepileptik. Beberapa dari alat ini sudah digunakan, dan hasilnya kurang dari ideal, dengan kurang dari 50% pasien yang mengalami pengurangan aktivitas kejang.Memelihara kepatenan jalan napas dan mencegah cedera merupakan dua tujuan penting dalam me-rawat orang yang mengalami kejang. Mempertahan-kan pasien dalam posisi berbaring menyamping mengurangi risiko aspirasi isi lambung dan air liur serta mencegah lidah menyumbat jalan napas. Melindungi kepala sewaktu kejang dan menyingkir-kan semua benda yang dapat membahayakan dapat mencegah cedera.Pentingnya pendekatan holistik dalam penatalaksanaan pasien dengan kejang tidak dapat diabai-kan. Pasien dan keluarganya perlu memahami regimen obat dan dosis serta efek sampingnya, perawatan orang yang sedang mengalami kejang secara benar, dan sikap masyarakat terhadap pengidap kejang.8bagian sembilan GANGGUAN SISTEM NEUROLOGIK1164bagian sembilan GANGGUAN SISTEM NEUROLOGIK

v^ONSEP KUNCIGangguan Kejang bab 551165Gangguan Kejang bab 559

Kejang adalah suatu kejadian paroksismal yang disebabkan oleh lepas muatan hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron SSP. Manifestasi kejang adalah kombinasi beragam dari perubahan tingkat kesadaran, serta gangguan fungsi motorik, sensorik, atau autonom, bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini. Istilah kejang perlu secara cermat dibedakan dari epilepsi. Epilepsi menerangkan suatu penyakit pada seseorang yang mengalami kejang rekuren nonmetabolik yang disebabkan oleh suatu proses kronik yang mendasarinya. Kejang adalah suatu masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Sekitar 10% populasi akan mengalami paling sedikit satu kali kejang seumur hidup mereka, dengan insidensi paling tinggi terjadi pada masa anak-anak dini dan lanjut usia (setelah usia 60 tahun), dan 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosis mengidap epilepsi (berdasar-kan kriteria dua kali atau lebih kejang tanpa pemicu). Epilepsi dapat diklasifikasikan sebagai idiopatik atau simtomatik. Pada epilepsi idiopatik atau esensial, tidak dapat dibuktikan adanya lesi sentral. Pada epilepsi simtomatik atau sekunder, suatu kelainan otak menyebabkan timbulnya respons kejang. Penyaklt-penyakit yang berkaitan dengan epilepsi sekunder adalah cedera kepala, gangguan metabolisme dan gizi (hipoglikemia, fenilketonuria, defisiensi vitamin B6), faktor toksik (uremia, intoksikasi alkohol, putus-obat narkotik), ensefalitis, stroke, hipoksia atau neoplasma otak, dan gangguan elektrolit, terutama hiponatremia dan hipokalsemia. Karakteristik utama yang membedakan berbagai kategori kejang adalah apakah kejang bersifat parsial (kesadaran utuh) atau generalisata (kesadaran hilang). Kejang parsial terjadi di dalam daerah otak tertentu dan biasanya berkaitan dengan kelainan struktural otak. Kejang parsial sederhana menyebabkan gejala motorik, sensorik, autonomik, atau psikik tanpa adanya perubahan kesadaran yang nyata saat kejang, dan biasanya berlangsung kurang dari 1 menit. Gejala bergantung pada lokasi neuron hiperaktif di otak. Kejang parsial kompleks ditandai dengan aktivitas kejang fokal dan perubahan kesadaran yang mengganggu kemampuan pasien memper-tahankan kontak dengan lingkungannya. Gejala bervariasi tetapi biasanya mencakup perilaku tidak bertujuan, seperti menarik-narik baju, bertepuk tangan, mengecap-ngecapkan bibir, atau gerakan mengunyah, yang berlangsung 1 sampai 3 menit. Pasien sadar tetapi tidak dapat mengingat tindakannya sewaktu kejang. Fokus kejang jenis ini umumnya terletak di lobus temporalis medial atau frontalis inferior. Kejang generalisata melibatkan daerah yang luas di otak secara simultan dan simetris bilateral. Kejang ini biasanya timbul tanpa didahului oleh aura, dan pasien tidak sadar dan tidak mengeta-hui keadaan sekelilingnya saat kejang. Terdapat beberapa tipe kejang generalisata. Kejang absence (petit mal) ditandai dengan hilangnya kesadaran secara mendadak, singkat, dan tanpa kehilangan kontrol postur dan biasanya berlangsung beberapa detik. Manifestasi yang sering dijumpai adalah tatapan yang kosong dan mata berkedip-kedip cepat disertai pemulihan kesadaran secara cepat dan tanpa kebingungan pascaiktus. Kejang absence sering secara salah dianggap sebagai melamun. Kejang absence hampir seialu berawal pada masa anak-anak dan mungkin menghilang saat remaja atau digantikan oleh kejang jenis lain, terutama tonik-klonik. Kejang motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kontraksi otot tonik-klonik sering disebut konvulsi. Kejang tonik-klonik generalisata (grand mal) berasal dari kedua hemisfer serebrum secara simultan dan merupakan kejang epilepsi yang klasik. Kejang ini biasanya diawali dengan tangisan keras yang disebabkan oleh udara secara cepat keluar dari paru melewati pita suara Pasien jatuh, kehilangan kesadaran. Tubuh menjadi kaku (fase tonik) dan kemudian berselang seling antara serangan spasme otot (fase tonik) dan relaksasi (fase klonik). Kontraksi otot rahanc dapat menyebabkan pasien menggigit lidah sendiri, dan pasien mungkin mengalami inkontinensia urin dan alvi. Respirasi terganggu dan sekresi dapat berkumpul di orofaring sehingga terjadi obstruksi parsial jalan napas. Kejann berlangsung 3 sampai 5 menit dan diikuti olel, periode pascaiktus berupa kehilangan kesadaran yang dapat berlangsung sampai 30 menit. Saai tersadar, pasien biasanya kebingungan dan tidc.k mengingat kejadian kejangnya. Efek fisiologik kejang tonik-klonik bergantung pada lama kejang berlangsung. Efek dini (taki-kardia, hiperpireksia, hipertensi, dan hipergii kemia) disebabkan oleh dibebaskannya katekolamin. Kejang lama (>30 menit) menyebab1 deplesi katekolamin serta hipotensi, hipoglikemia, disritmia, menurunnya perfusi otak dan edei serebrum, dan mungkin henti napas atau jantu Status epileptikus mengacu kepada aktivitas kejang yang kontinu atau intermiten yang berlangsung 20 menit atau lebih, saat pasien tidak mengalami pemulihan kesadaran. Status epileptikus adalah kedaruratan medis karena dapat terjadi disfungsi kardiorespirasi, hipertermia, kerusakan saraf ireversibel, dan kematian akibat kejang berkepanjangan. Srafus epileptikus konvulsif generalisata mudah dikenali apabila pasien mengalami konvulsi, tetapi apabila pasien tetap tidak sadar lebih dari 30 menit setelah serangan kejang, maka mungkin terjadi status epileptikus nonkonvulsif. Pada kasus ini, EEG mungkin merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosis. Langkah pertama dalam penatalak-sanaan status epileptikus adalah mengatasi semua masalah kardiorespirasi atau hipertermia dan segera memulai terapi obat antikejang untuk menghentikan aktivitas kejang. Golongan benzodiazepin (misalnya, Ativan, Valium) dan fosfenitoin sering digunakan untuk mengobati status epileptikus. Tiamin dan dekstrosa 50% juga dianjurkan. Kejang demam yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang demam sederhana tidak berkaitan dengan peningkatan risiko terjadi-nya epilepsi. Pada beberapa kasus, pasien yang memiliki riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarganya berisiko lebih besar mengalami kejang nondemam pada usia selanjutnya. Alat diagnostik yang digunakan untuk meng-evaluasi kejang adalah EEG, pemindaian dengan CT, dan MRI. Baku emas untuk diagnosis epilepsi adalah pemantauan EEG-video secara simultan. Banyak keadaan yang dapat mirip dengan kejang' dan diagnosis bandingnya mencakup sinkop, serangan migren, serangan iskemik sesaat, stroke, dan gangguan metabolisme, misalnya pingsan akibat alkohol, delirium tremens, hipoksia atau hipoglikemia, dan kejang psikogenik atau pseudokejang.

Rencana pengobatan untuk gangguan kejang" harus disesuaikan secara individual, karena beragamnya jenis dan kausa kejang, serta perbedaan dalam efektivitas dan toksisitas obat-obat antiepilepsi. Apabila satu-satunya penyebab dari kejang adalah gangguan metabolisme, misalnya kelainan glukosa atau elektrolit serum, maka terapi ditujukan untuk memulihkan gangguan metabolisme dan mencegah kekambuhannya. Pemberian obat antiepilepsi adalah terapi utama bagi sebagian besar pengidap epilepsi. Tujuan keseluruhannya adalah untuk mencegah kejang tanpa menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, dan sebaiknya menggunakan satu obat sehingga pasien mudah mengikuti dan melaksanakan pengobatannya. Klasifikasi kejang merupakan unsur penting dalam merancang terapi, karena sebagian obat antiepilepsi memiliki aktivitas yang berbeda untuk jenis kejang yang berbeda. Ketidakpatuhan dan menghentikan terapi obai antiepilepsi secara mendadak dapat memicu kejang. Reseksi lobus temporalis atau bagian otak lainnya secara bedah dapat dilakukan pada sekelom-pok pasien tertentu dengan kejang yang refrakter (tidak dapat dikendalikan dengan obat) setelah evaluasi prabedah yang teliti. Memelihara jalan napas dan mencegah cedera adaiah dua tujuan utama dalam merawat pasien yang sedang mengalami kejang. Mempertahan-kan pasien pada posisi berbaring di sisi tubuh akan mengurangi risiko aspirasi isi lambung dan air liur serta mencegah lidah menutupi jalan napas. Benda-benda yang dapat menyebabkan cedera harus disingkirkan dari tempat tidur. Awitan, durasi, dan penjelasan kejang (misalnya, tingkat kesadaran, aktivitas motorik) harus secara cermat dicatat.10bagian sembilan GANGGUAN SISTEM NEUROLOGIK1166bagian sembilan GANGGUAN SISTEM NEUROLOGIK

CPERTANYAAN

Beberapa contoh pertanyaan untuk bab ini tercantum di sini. Kunjungi http://www.mosby.com/MERLIN/PriceWilson/ untuk pertanyaan tambahan.

Jawablahpertanyaan-pertanyaan berikut ini pada selembar kertas terpisah.1. Definisikan epilepsi2. Berapa insidensi epilepsi pada populasi umum di Amerika.Serikat? Berapa insidensi untuk keturunan dari pengidap epilepsi?3. Penyakit-penyakit apa yang dapat menyebabkan kejang?

4. Tuliskan daftar bagian otak yang berkaitan dengan lesi yang kemungkinan besar bersifat epileptogenik5. Jelaskan faktor-faktor yang berperan penting dalam memicu kejang

6. Jelaskan perubahan metabolik yang dapat terjadi sewaktu dan segera setelah suatu kejang7. Bahas perbedaan klinis antara status epileptikus konvulsif dan nonkonvulsif.