paradoks odysseus

Upload: sri-nawatmi

Post on 14-Jul-2015

77 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PARADOKS ODYSSEUS:RASIONALITAS ILMU PENGETAHUAN YANG IRRASIONALAgung Nusantara C5B008001

Ketika rasional menjadi kata yang paling diinginkan oleh para pengembang ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah ilmu ekonomi, maka sangat ironis, jika tujuan yang mengarah ke fully-rationality tersebut, yang mengarah juga pada obyektivity dan neutrality, justru menapaki jalan yang irrasional. Rasionalitas pengingkaran sifat rasional ini menjadi semakin kuat tatkala agenda-agenda non akademik (politis) tumbuh bersama teori ekonomi. Akankah ilmu ekonomi masih bertahan sebagai ilmu yang rasional?

Kisah OdysseusOdysseus (odyssey, roman= Ullyses) adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang sangat terkenal. Namanya dikisahkan dalam puisi epik Homerus, Illiad, dan dia adalah raja Ithaca, sipenakluk Troya melalui episode The Trojan War. Bagi para pemikir barat, Odysseus identik dengan abad pencerahan dalam ilmu pengetahuan. Seorang tokoh yang dengan kemampuan akal-pikiran dan keteguhan hati yang luar biasa mampu menaklukkan, bukan hanya lawan politiknya yang berwujud manusia, namun juga para dewa. Kemampuannya inilah yang mengantarkannya kembal ke negaranya Ithaca, untuk bertemu dengan isterinya Penelope. Kisah petualangan akademik Odysseus diawali setelah penaklukkannya terhadap negara Troya. Setelah dengan kecerdikan dan keteguhan hatinya mampu menghancurkan Troya, pahlawan Yunani ini disembunyikan disebuah pulau yang sepi, pulau Cicones, oleh dewi Athena dan tinggal bersama bidadari bernama Calypso. Tanpa disadari oleh Odysseus, isterinya, Penelope, yang ditinggal di Ithaca sedang

1

menghadapi masalah dengan sorang pria yang ingin mnyuntingnya. Setiap hari Penelope berdoa pada para dewa untuk membawa kembali Odysseus ke Ithaca. Akhirnya Penelope menyuruh anak tunggalnya Telemachus untuk mencari bapaknya, Odysseus. Namun upaya pencarian odysseus tidak munjukkan hasil. Akhirnya para dewa menginformasikan berita tersebut pada Caypso untuk disampaikan pada Odysseus. Mendengar berita kesedihan anak dan isterinya tersebut Odysseus bergegas pulang menuju Ithaca. Disinilah awal petualangan Odysseus dalam memperoleh pencerahannya dimulai. Disepanjang jalan pulang, terdapat banyak rintangan yang dihadapi oleh Odysseus untuk menggagalkan usahanya sampai di Ithaca. Beberapa rintangan tersebut diantaranya adalah raksasa Polyphemus, raja angin Aeolus, hingga adik Zeus sendiri Poseidon, sipenguasa lautan. Semua rintangan berhasil diatasi dengan mengerahkan segala kemampuan fisik dan akalnya. Karena alasan inilah Odysseus dianggap oleh dunia barat memiliki pencerahan dengan penaklukan yang dilakukannya.

Enlightment: Kesadaran yang RancuEnlightment atau pencerahan memiliki pengertian dasar menuju ke keutuhan pemahaman pada kemanusiaan maupun kehidupan. Sehingga dengan pemahaman tersebut manusia dapat mengatasi alam dan kehidupan untuk menuju pada kemulian. Pertanyaan utamanya adalah, apakah dunia barat telah memilih tokoh yang tepat, Odysseus, sebagai penerima pencerahan?. Kritik inilah yang disampaikan oleh para pemikir Frankfurt terhadap para pemikir Positivistik maupun Neo-Positivistik. Tokoh utama kelompok Frankfurt adalah Horkheimer. Horkheimer juga menokohkan Odysseus, namun tidak dalam konteks pemikir Positivistik. Namun Horkheimer

2

menempatkan Odysseus sebagai lambang manusia yang menderita ketegangan dialektik (Sindhunata, 1983:141). Ketegangan dialektik tersebut tercermin dari usaha rasional Odysseus dalam mengalahkan rintangan dan mitos-mitos yang menyelimuti dirinya. Namun kemenangan terhadap rintangan alam ini harus dibayar dengan keharusan dia untuk mengingkari eksistensi dia sebagai manusia rasional. Upaya irasional ini di tempuh oleh Odysseus ketika berhadapan dengan para dewa, terutama Poseidon, yang mengharuskan Odysseus untuk menjadi pengemis hingga sampai di Ithaca. Pembunuhan karakter Odysseus yang rasional ini diterimanya sebagai bagian dari penyelematan dirinya agar sampai di Ithaca. Sebagaimana diceritakan oleh Horkheimer, ketika Odysseus berhadapan dengan Poseidon, dewa laut. Odysseus harus membodohkan dirinya bahkan sampai pada meniadakan kemanusiaannya dihadapan Poseidon. Kebebasan Odysseus harus dibayar dengan pengingkaran dirinya sebagai manusia, yang oleh dunia barat dianggap sebagai upaya rasional, namun dalam pandangan Horkheimer justru merupakan pengingkaran rasionalitas yang dimiliki oleh Odysseus. Menurut Horkheimer, Odysseus tidak lebih dari kisah tentang kegagalan manusia untuk mempertahankan rasionalitas yang dimilikinya dalam mencapai tujuan hidup. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pencerahan sebagaimana yang dipahami oleh dunia barat, bahwa pemahaman terhadap kehidupan harus dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang rasional, dengan menokohkan Odysseus, menjadi kotradiktif. Pengingkaran terhadap rasionalitas diri, penghinaan diri sendiri hanya untuk mencapai tujuan hidup yang dilakukan oleh Odysseus bukanlah cerminan penggunaan rasionalitas.

3

Ilmu Ekonomi: Kerancuan BerlanjutJika diamati, ada beberapa pemikiran ilmu ekonomi tentang pembangunan yang relatif banyak penganutnya, misalnya: teori Stage of Growth dari Rostow, teori Big-Push dari Rosenstein-Rodan, Balanced Growth dari Ragnar Nurkse, kalangan fiskalis maupun monetaris. Pemikiran-pemikran mereka dikatakan sebagai pemikiran yang obyektif, netral, apalagi dengan menggunakan pendekatan sebagaimana pendekatan ilmu alam, seperti matematika dan statistika. Rasionalitas yang dibangun oleh teori tersebut nampaknya sangat terjaga dengan penggunaan alat-alat matematika dan statistika. Sehingga ada anggapan netralitas dan obyektifitasnya dapat terjaga, dapat diandalkan dengan pendekatan yang rasional. Namun demikian, muncul pertanyaan penting, sebenarnya apa yang dimaknai dengan menuju pemahaman yang utuh pada kemanusiaan dan kehidupan? Bukankah arah pemahaman terhadap kehidupan yang didapatkan dalam masa pencerahan tersebut tidak lebih dari penerapan nuansa etnosentris. Seolah-olah kehidupan yang baik adalah kehidupan sebagaimana yang dipikirkan oleh pemikir barat tersebut dan hal itu cocok juga bila diterapkan bagi kehidupan dunia timur. Sudah banyak kritik dilontarkan pada teori ekonomi, baik kritik terhadap rasionalitasnya, netralitasnya maupun obyektifitasnya. Ada sebuah kesimpulan umum bahwa teori-teori barat tidak pernah mau memahami aspek kehidupan dibumi belahan lain yang sangat mungkin berbeda dari yang mereka pikirkan. Bahkan dalam ilmu ekonomi mikro perilaku dikatakan bahwa: some people some cases have some present bias (Rubinstein, 2005). Ditambah lagi, pemikiran Peth (2005), bahwa kecenderungan formal economics tidak lagi dapat memenuhi rasa ingin tahu masyarakat. Mereka memerlukan sebuah penjelasan yang persuasive, dalam bentuk retorika. Yang penting bukan perdebatan pada tataran benar atau salah tapi

4

kemampuan pemikir teoritik untuk menyampaikan pemikiran dengan menggunakan bahasa yang persuasif (Snowdon, Vane, Wynarczyk, 1994:25-26). Dengan kata lain, rasionalitas, obyektifitas, dan netralitas adalah sesuatu yang semu yang berimpit dengan irrasionalitas, subyektifitas, dan non-netralitas. Sudah jamak rasanya, modernisasi kehidupan dan kemajuan kehidupan dilatar belakangi oleh promosi nilai-nilai budaya barat untuk diterpkan di dunia ketiga, bahkan jika mungkin seluruh alam semesta. Atau mungkin justru terdapat agenda tersembunyi dalam rangka hegemoni barat terhadap seluruh kehidupan manusia, dengan kedok kemakmuran bangsa-bangsa. Hegemoni tersebut pada akhirnya sebagai upaya yang sistematis dalam rangka eksploitasi sumber-sumber yang ada di dunia ketiga khususnya. Misalnya, teori kolonial diperkenalkan sebagai teori yang apologetik, atau teori yang selalu mencari dalih untuk membenarkan penjajahan, penindasan, dan sejenisnya. Teori-teori tersebut juga bernuansa teknokratik, yang lebih

mengedepankan pembangunan dari atas. Dan bagi beberapa teori makro yang mutakhir, terdapat kesan pengembvangan teorinya terlalu platonik, artinya terlalu berkembang ke arah yang tidak jelas, tidak realistis, yang secara empiris dinegara sedang berkembang tidak dapat dibuktikan sebagai kejadian yang bersifat umum. Kecenderungan-kecenderungan tersebut, apologetik, teknokratik, maupun platonik mengarah pada penggunaan alat-alat ilmu alam, metode kuantitatif, pada semua aspek bahasan ekonomi (dimanapun, kapanpun) sekalipun banyak masalah pokok yang tidak dapat diungkapkan oleh alat analisis tersebut.

5

PenutupSejarah pengetahuan yang dimiliki manusia menunjukkan bahwa sumber pengembangan pengetahuan manusia dapat ditelusuri melalui dua jalur: (1) Pengetahuan rasionalitas: pengetahuan rasionalitas merupakan bentuk pengetahuan yang kebenarannya telah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak membutuhkan pembuktian. Misalnya prinsip non-kontradiktif, yaitu pembenaran dan penyangkalan tidak mungkin terjadi sekaligus. Disamping itu terdapat pula prinsip sebab-akibat dan prinsip sebagian adalah bagian dari keseluruhan. (2) Pengamatan empiris: pengetahuan empirik dapat diperoleh melalui data dan pengamatan inderawi. Ilmu pengetahuan bertumpu pada dua dasar tersebut. Dan pada saat yang sama ilmu pengetahuan mendeklarasikan diri sebagai sumber kebenaran sekalipun mereka memahami bahwa kebenaran itu tidak dapat mereka temukan secara utuh. Bagian terakhir dari kalimat sebelumnya dapat dianggap sebagai bagian dari penyangkalan. Sayangnya penyangkalan tersebut, yang sebenarnya tindakan yang penuh kearifan timur, tidak banyak dikutip dalam pemikiran positivistik, yang cenderung membangun monopoli kebenaran sebagai hasil dari, semata-mata hasil dari, pengamatan inderawi dan rasionalitas. Sekalipun bangun rasionalitas positivisti gugur dengan sendirinya ketika prinsip non-kontradiktif diterapkan. Perceraian antara filsafat dan ilmu pengetahuan nampaknya menjadi ciri utama peradaban barat yang mendominasi pemikiran ilmu pengetahuan (Yuliar, 2005). Sehingga sains menjadi penguasa tunggal penjelas fenomena, baik fenomena alam maupun fenomena sosial. Penegakan monopoli kebenaran ini akan menjadi

6

sebuah krisis pemikiran yang akan berdampak pada validitas ilmu pengetahuan itu sendiri

7

KEPUSTAKAAN

Boettke, P.J. et.al., 2007. Where Economics and Philosophy Meet. Hausman, D.M., 2008. The Philosophy of Economics: An Anthology. Cambridge University Press. Heriyanto, H., 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. TERAJU. Peth, E., 2005. Introduction to Rhetorical Economics. European Integration Studies, Miskokc, Volume 4 No.1: 109-114 Rubinstein, A., 2005. Discussion of Behavioral Economics.School of Economics Tel Aviv University. Sindhunata, 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Penerbit Gramedia. Snowdon, B., H. Vane, and P. Wynarczyk, 1994. A Modern Guide to Macroeconomics: An Introduction to Competing Schools of Thought. Edward Elgar. Yuliar, S., 2005. Perceraian Sains dan Filsafat: Bencana Intelektual di Zaman Modern.

8