bab vii paradoks dan manajemen...

28
261 Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitas Melalui hasil studi dokumen film Indonesia, wawancara dengan kurang lebih duapuluh (20) pembuat film, duaratus limapuluh tiga (253) penonton, dua (2) pengusaha bioskop dan tiga (3) wakil pemerintah; peneliti akhirnya sampai pada pemahaman dan interpretasi atas temuan-temuan di sepanjang penelitian. Interpretasi tersebut membawa peneliti pada gagasan-gagasan baru tentang apa yang terjadi dengan film Indonesia. Hasil penelitian mengungkapkan pengetahuan tentang proses produksi film Indonesia, apresiasi penonton terhadap film tanah air, serta posisi-kontribusi dari pengusaha bioskop dan pemerintah. Pengetahuan baru yang penulis dapatkan itu, tidak semuanya memiliki relasi langsung dengan pertanyaan besar di awal penelitian serta kerangka awal pemahaman terhadap film Indonesia. Peneliti menemukan munculnya situasi-situasi paradoks yang dihadapi selama proses pembuatan film, apresiasi oleh penonton, pendapat ekshibitor serta peran pemerintah. Oleh karena itu, untuk menambah pemahaman tentang film Indonesia dan situasi-situasi paradoksal atas kreativitas yang terjadi di dalamnya, peneliti kembali mencari literatur tambahan untuk memahami lebih lanjut catatan-catatan interpretasi yang telah ada di Bab tiga sampai enam. Berikut ini adalah catatan penulis dari tambahan literatur tentang paradoks dan manajemen kreativitas dalam bisnis/industri perfilman. Paradoks Kreativitas Kreativitas yang sudah dikenal sebagai ―divergent, impulsive, and messy‖ (lihat Bab dua), rupanya memiliki paradoks-paradoks di dalamnya. Kreativitas yang melekat dan dimiliki oleh (setiap) individu

Upload: lexuyen

Post on 16-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

261

Bab VII

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

Melalui hasil studi dokumen film Indonesia, wawancara

dengan kurang lebih duapuluh (20) pembuat film, duaratus limapuluh

tiga (253) penonton, dua (2) pengusaha bioskop dan tiga (3) wakil

pemerintah; peneliti akhirnya sampai pada pemahaman dan

interpretasi atas temuan-temuan di sepanjang penelitian. Interpretasi

tersebut membawa peneliti pada gagasan-gagasan baru tentang apa

yang terjadi dengan film Indonesia. Hasil penelitian mengungkapkan

pengetahuan tentang proses produksi film Indonesia, apresiasi

penonton terhadap film tanah air, serta posisi-kontribusi dari

pengusaha bioskop dan pemerintah.

Pengetahuan baru yang penulis dapatkan itu, tidak semuanya

memiliki relasi langsung dengan pertanyaan besar di awal penelitian

serta kerangka awal pemahaman terhadap film Indonesia. Peneliti

menemukan munculnya situasi-situasi paradoks yang dihadapi selama

proses pembuatan film, apresiasi oleh penonton, pendapat ekshibitor

serta peran pemerintah. Oleh karena itu, untuk menambah

pemahaman tentang film Indonesia dan situasi-situasi paradoksal atas

kreativitas yang terjadi di dalamnya, peneliti kembali mencari literatur

tambahan untuk memahami lebih lanjut catatan-catatan interpretasi

yang telah ada di Bab tiga sampai enam. Berikut ini adalah catatan

penulis dari tambahan literatur tentang paradoks dan manajemen

kreativitas dalam bisnis/industri perfilman.

Paradoks Kreativitas

Kreativitas yang sudah dikenal sebagai ―divergent, impulsive, and messy‖ (lihat Bab dua), rupanya memiliki paradoks-paradoks di

dalamnya. Kreativitas yang melekat dan dimiliki oleh (setiap) individu

Page 2: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

262

membuatnya menjadi seorang yang ―jenius‖, bisa menciptakan sesuatu

yang baru, yang bermanfaat atau tidak bermanfaat bagi lingkungan

sekitarnya.

Kreativitas memiliki sifat menuntut hadirnya situasi yang

bersifat ―bebas‖, tidak dibatasi, dan fleksibilitas tinggi --karenanya

harus didukung sumber daya yang memadai. Namun dalam bisnis,

kreativitas diletakkan pada posisi yang harus bisa dilihat dan

dikendalikan dan dimonitoring. Ini adalah situasi yang disebut

paradoks.

Paradoks digambarkan sebagai situasi dilematis, polaritas, dan

bersaingnya nilai-nilai atau kontradiksi, yang seolah menghilangkan

apa yang disebut normal. Paradoks bisa jadi sulit dimengerti dan

dijelaskan. Paradoks kerap didefinisikan sebagai tegangan-tegangan

yang muncul dalam lingkup organisasi dan strategi, misalnya control versus empowerment, centralized versus decentralized, work versus home. Paradoks bisa berupa masalah-masalah tak terpecahkan, siklus

yang tak berhenti atau berulang, polarisasi (mempertentangkan)

individu ke dalam grup-grup. Mengelola paradoks berarti membangun

pola pikir di luar (mengatasi) logika. Memahami paradoks akan

memudahkan organisasi untuk mengatasi dan mengelolanya untuk

kinerja yang kebih baik.

Filosofi paradoks tertuang dalam manajemen dualitas yang

berakar pada konsep ―Yin-Yang‖ dalam filosofi Cina klasik.Filosofi ini

berasal dari dua buku tua Cina yaitu I Cing dan Tao De Ching. Filosofi

tersebut didasarkan pada premis bahwa segala sesuatu di dunia

mengandung dua eleman bertentangan, yang terpisah, berlawanan dan

saling melengkapi. Simbol ―Yin-Yang‖ berfungsi sebagai pengingat

bahwa paradoks itu sesungguhnya saling terkait dan saling tergantung.

Sering juga simbol ―Yin-Yang‖ dipandang sebagai penunjuk kesatuan

dalam kebertentangan atau keberlawanan, keseimbangan, dan

kesetimbangan. Namun ada variasi dalam simbol ―Yin-Yang‖. Proporsi

Yin-yang bisa bervariasi secara lebar, saling berinteraksi satu sama lain,

dan bekerja sama secara dinamis. Filososfi kuno ini mengingatkan kita

Page 3: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

263

bahwa tekanan-tekanan paradoks itu tidak hanya bertentangan tapi

juga bekerja sama satu dengan yang lainnya.

Dengan memadukan filosofi Barat dan Timur, organisasi dapat

menemukan solusi efektif dan trasformatif dalam menangani

kebutuhan-kebutuhan yang kompleks dan saling paradoks. Sebagai

contoh, ketika sebuah bisnis menghadapi paradoks antara

bertransformasi untuk masa depan, dengan mengamankan posisi pasar

hari ini, memimpin perubahan memerlukan sebuah perangkat-alat

yang baru. Kebangkrutan tingkat tinggi beberapa perusahaan seperti

Blockbuster Video dan Borders Bookstore, menggarisbawahi bahwa

ekonomi yang lambat memberi hanya sedikit ruang bagi model bisnis

yang sudah ketinggalan (Leslie, J.B., et.al, 2011).

Contoh perusahaan-perusahaan yang gagal itu memberi

pelajaran, karena tak sanggup beradaptasi dengan laju pesaing-pesaing

digital seperti Amazon, Google, Netflix dan sebagainya, perusahaan-

perusahaan tersebut hancur di tahap awal. Ini menjadi pelajaran bagi

semua. Abad digital bergerak pada fase yang sangat cepat, dan secara

cepat mengubah pemenang menjadi pihak yang kalah. Perusahaan-

perusahaan yang sukses di bidang percetakan, media, dan periklanan,

software dan industri-industri lain, merasakan tekanan ini hari ini dan

terus mencari cara untuk memberi respon. Mereka berusaha mencari

keunggulan dalam model-model bisnis digital dalam bisnis-bisnis baru

dan tetap berada sekangkah di depan ancaman. Mengubahnya menjadi

peluang bagi pertumbuhan masa depan. Logika ini sangat benar,

meskipun ada persoalan. Borders membuat investasi yang sangat besar

dalam penjualan buku online dan bacaan digital, sementara Polaraid,

penemu fotografi cepat menciptakan kamera megapiksel pertama di

dunia tahun 1990-an. Industri jam di Swiss telah melihat jam quarts pertama di dunia tahun 1969. Masing-masing perusahaan ini bangkrut

dalam inovasi yang diciptakannya atau yang di dalamnya mereka telah

berinvestasi. Kegagalan bukan terletak pada ide, tapi pada eksekusi.

Mereka bergerak terlalu lambat untuk menangkap peluang, dan

meremehkan skala perubahan yang diharuskan.

Page 4: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

264

Paradoks suksesnya adalah, di satu sisi seharusnya inovasi

membuat penciptanya berada di sisi terbaik untuk memimpin pasar

pada gelombang inovasi berikutnya, namun pada kenyataanya, justru

hal itu yang membuat mereka terpaku di masa lalu. Walaupun

perusahaan ini sadar bahwa pasar sedang berubah, dan oleh karenanya

tercipta peluang-peluang baru, mereka gagal mengeksekusi dan

menangkap peluangnya (Binns, A., and Smith, W., 2011). Sementara

lingkungan organisasi menjadi lebih global, dinamis dan kompetitif,

tuntutan-tuntutan yang saling berkontradiksi pun makin mengemuka.

Untuk memahami dan menjelaskan tegangan atau konflik yang

demikian, para akademisi dan praktisi makin memakai ―lensa paradoks‖

(Smith, W.K., and Lewis, M.W., 2010).

Banyak akademisi tertarik untuk meningkatkan kreativitas

dengan alasan yang baik, namun pertanyaan tentang cara

melakukannya menjadi sulit oleh adanya paradoks kreativitas.

Bagaimana memajukan kreativitas itu dipersulit oleh paradoks

kreativitas; temuan-temuan yang saling kontradiktif namun pada saat

yang sama betul (pemikiran konvergen menghambat kreativitas tetapi

juga diperlukan). Paradoks-paradoks seperti ini bisa dijinakkan dengan

membagi kreativitas dengan tujuh fase yang bergantung pada proses

kognitif yang berbeda-beda (pemikiran divergen vs konvergen) dan

properti/ciri pribadi (keterbukaan vs kompulsif) difasilitasi oleh kondisi

lingkungan yang berbeda (toleransi terhadap kesalahan dengan

tuntutan untuk akurat) mengarah pada jenis produk yang bermacam-

macam atau berbeda (sesuatu yang radikal vs yang novel yang biasanya

terkait kerangka pemikiran klasik).

Empat faktor ―P‖ dalam kreativitas (person, process, product, dan place) untuk dipetakan ke dalam fase-fase tadi, menjadi sebuah

tantangan namun sekaligus memberikan analisis tentang metodenya

dan bagaimana aktivitas tersebut diterapkan pada pembelajaran.

Seorang pemimpin yang memahami tentang proses ini akan bertanya

pada dirinya sendiri: ―Bagaimana saya akan:

1. Meneguhkan kebutuhan pengakuan dan identitas tiap-tiap

orang tetapi juga mengarahkannya pada kebutuhan kolektif?

Page 5: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

265

2. Mendorong tim untuk mendukung satu sama lain, sementara

pada saat yang sama menantang satu dengan yang lain melalui

debat yang berkualitas.

3. Memajukan eksperimen, pembelajaran berkelanjutan, dan

kinerja yang tinggi?

4. Menentukan bagaimana struktur –aturan, hierarki,

perencanaan, dan sejenisnya—menyediakan batasan yang perlu

tanpa mematikan improvisasi?

5. Memadukan kesabaran dan rasa mendesak?

6. Menyeimbangkan inisiatif dari bawah dengan intervensi dari

atas?‖

Ketika diperhadapkan pada tantangan untuk membebaskan

inovasi dalam organisasi, banyak pemimpin gagal. Beberapa mencoba

menolong timnya untuk sukses dengan memberi kebebasan yang tak

terbatas, hanya untuk menemukan bahwa mereka sudah menciptakan

kekacauan dan kinerja yang tidak tinggi. Yang lain mencoba untuk

memajukan kreativitas karyawan mereka melalui program-program

dan aktivitas yang sudah ditentukan, yang biasanya hanya

menghasilkan hasil yang tidak istimewa (Hill, L.A., et.al., 2014).

Setelah mempelajari atau meneliti beberapa ahli yang dapat

dipercaya dalam memajukan inovasi organisasi, Linda Hill et. al. (2014)

berhasil mengidentifikasi inti dari kesulitannya. Pada inti memajukan

inovasi ada tegangan yang fundamental, atau yang disebut paradoks,

melekat pada peran pemimpin: para pemimpin perlu melepas atau

membebaskan talenta karyawan, tetapi juga memadukan talenta-

talenta yang bervariasi itu untuk mendapatkan hasil yang berguna dan

kohesif. Ini bisa tidak mungkin, tetapi bukti mendukung bahwa

keduanya itu penting. Peran seorang pemimpin dalam organisasi

menjadi sangat penting.

Ide dan kemungkinan bertumbuh melalui pelepasan, sementara

pemaduan bertujuan untuk memastikan bahwa usaha kolektif tiap-tiap

orang menghasilkan solusi yang bisa dikerjakan. Untuk berhasil perlu

kemampuan mengelola tegangan antara mode-mode yang terpisah ini

Page 6: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

266

dengan menyadari kapan masing-masing itu cocok atau tepat dan

dengan memadukannya di dalam siklus yang tidak pernah berakhir.

Bill Coughran, ketika masih menjadi SVP Engineering di grup

infrastruktur Google, membuat definisi yang baik tentang mengelola

tegangan-tegangan tersebut, sebagai berikut:

―Managing tensions in the organization is an ongoing issue...you don‘t want an organization that just salutes and does what you say. You want an organization that argues with you. And so you want to nurture the bottoms-up, but you‘ve got to be careful you don‘t just degenerate into chaos‖ (Hill, L.A., et.al., 2014).

Definisi mengenai inovasi –menciptakan sesuatu yang baru dan

berguna—mencerminkan paradoks ini. Mudah untuk memikirkan

banyak ide, tapi jauh lebih sulit memadukan ide-ide tersebut menjadi

sesuatu yang baru dan menyelesaikan masalah. Untuk memahami lebih

baik paradoks sentral dari ―melepas‖ dan ―memadukan‖ ini, dan

implikasinya dalam memimpin inovasi,sebuah literatur memecahnya

menjadi enam paradoks yang akan ditemui oleh setiap orang dalam

organisasi, yang diilustrasikan pada Gambar 7.1.

Sumber: Hill, L., et.al., 2010

Gambar 7.1. Situasi Paradoksal dalam Proses Kreatif

Posisi sebelah kanan di setiap waktu akan bergantung pada

kondisi spesifik situasi saat ini, goal-nya akan selalu untuk

memanfaatkan situasi apapun untuk memampukan atau

memberdayakan kolaborasi eksperimen, dan integrasi yang diperlukan

untuk inovasi. Pemimpin yang cenderung di posisi ―harness‖ tidak

akan pernah sempurna melepas irisan-irisan kejeniusan pada

Page 7: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

267

karyawannya; sementara yang ada pada sisi ―unleash‖ akan senantiasa

berhadapan dengan kekacauan dan tidak pernah menyelesaikan

masalah bagi kebaikan bersama.

Jenis kepemimpinan seperti ini tidaklah mudah, khususnya

bagi yang terbiasa dengan gaya top-down, atau yang memandang

konflik dan kehilangan kontrol itu sebagai situasi yang tidak

menyenangkan. Bahkan pemimpin-pemimpin inovastif yang mumpuni

juga menyadari betapa sulit untuk mendukung sisi yang satu dari

paradoks tersebut daripada sisi yang lain. Tugas untuk menciptakan

hal-hal yang baru dan berguna mengharuskan para pemimpin untuk

tiada henti mendefinisikan ulang kebutuhan organisasinya,

memodifikasikannya, dan menyesuaikan perilaku karyawannya.

Pemimpin organisasi harus mengembangkan kemampuan

memimpin dari tempat yang tepat pada tiap skala untuk moment dan

situasinya. Terlebih lagi, inovasi sejati itu pada hakekatnya sulit karena

prosesnya tidak teratur dan penuh tegangan. Setiap orang yang terlibat

harus terus-menerus bergumul dengan tegangan tersebut dan tekanan

yang dimunculkannya. Situasi paradoks itu tak akan pernah hilang –

ada di inti proses inovasi. Jadi, paradoks tersebut hanya bisa dikelola,

namun tidak pernah bisa diselesaikan dengan baik. Memahami

paradoks dan alasan kemunculannya mungkin menolong, tapi tidak

membuatnya mudah untuk ditangani. Itulah mengapa inovasi

organisasi itu mensyaratkan baik kerelaan maupun kemampuan orang-

orang di dalam organisasi.

Siapapun yang berharap untuk berinovasi harus mampu

berkolaborasi, bereksperimen, dan memadukan solusi-solusi yang

mungkin. Orang tersebut harus memiliki kemampuan untuk

menjalankan aktivitas-aktivitas tersebut dengan produktif. Dengan

adanya hambatan-hambatan inovasi, para pemimpin dan pengikutnya

harus rela bekerja keras untuk mencapai inovasi yang diinginkan.

Organisasi yang berhasil, mengembangkan kesadaran yang dalam

tentang komunitas dan menolong masing-masing anggota untuk

melewati dan mengalami tegangan atau tekanan tersebut, dan

Page 8: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

268

mencegah organisasi tercerai-berai karena tekanan-tekanan yang

bertentangan tersebut.

Paradoks-paradoks tersebut menolong menjelaskan mengapa

memimpin inovasi itu mensyaratkan lebih dari sekedar kepemimpinan

konvensional yang penuh perintah dan kendali. Ini adalah cara

berpikir yang berbeda mengenai peran kepemimpinan. Andrew

Stanton, pemenang Academy Award untuk sutradara film ―Finding Nemo‖ belajar dari mentornya, John Lasseter sebagai berikut:

What I realized. . .is, ‗Fine, I‘m not an auteur. I need to write with other people, I need people to work against. It‘s not about self-exploration – it‘s not about me – it‘s about making the best movie possible.‘ And as soon as I admitted that, it was amazing how the crew morale pivoted and suddenly everyone had my back. If you own the fact that you don‘t know what you‘re doing, then you‘re still taking charge, you‘re still being a director…. I learned that from John [Lasseter] on ‗Toy Story‘ – every time he got confessional and said, ‗Guys, I think I‘m just spinning my wheels,‘ we‘d rise up and solve the problem for him (Hill, L.A., et.al., 2014).

John Lasseter telah memberikan contoh bagaimana mengelola

kreativitas dalam pembuatan film ―Toy Story‖. Ia tidak segan-segan

membagikan kebingungan atau kehabisan idenya dengan tim, sehingga

yang terjadi kemudian adalah kerja sama yang baik dalam

mengeksplorasi dan mengelaborasikan ide-ide kreatif bersama.

Banyak pemimpin dalam organisasi perlu memikirkan ulang

apa yang mereka lakukan jika mereka menginginkan inovasi yang lebih

inovatif. Diperlukan seorang pemimpin yang kuat untuk melepas dan

memadukan inovasi. Kekuatan ini ada di dalam mengelola paradoks

ketimbang mengendalikan nasib.

Pengelolaan Kreativitas oleh Pembuat Film

Peneliti melihat selama Pasca Reformasi, masih ada pemain-

pemain lama yang bertahan terus untuk membuat film dan mendapat

apresiasi cukup baik dari penonton –sekalipun banyak pemain baru

Page 9: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

269

muncul. Pembuat film yang merupakan pemain lama dan mereka yang

baru muncul di era tahun 2000-an, mengelola kreativitasnya, serta

paradoks yang muncul di dalamnya, dalam memproduksi film dengan

berbagai cara. Beberapa cara yang digunakan tersebut penulis catat

sebagai berikut:

a. Membuat film yang diadaptasi dari novel yang sudah laris

duluan (punya fan-base).

Cara ini sebenarnya meniru konsep di negara lain, seperti

misalnya film ―Harry Potter‖, film ―Twilight‖ yang memiliki

tiga sekuel, film ―Maze Runner‖, dan yang terakhir cukup laris

juga adalah film ―Mockingjay‖. Di Indonesia, mulai sekitar

tahun 2008 film ―Laskar Pelangi‖ dan ―Ayat-ayat Cinta‖ laris

dijual di bioskop. Keduanya diadaptasi dari novel yang berjudul

sama. Film lain yang menyusul sesudah itu pada tahun 2010-

2015 adalah film ―5 CM‖, film ―Tenggelamnya Kapal Van Der

Wick‖, film ―Habibie Ainun‖, ―99 Cahaya di Langit Eropa‖, dan

―Supernova‖. Seluruh film tersebut cukup laku di pasar layar

lebar.

b. Membuat sekuel atas film yang sudah laris duluan.

Cara ini sudah dipraktekkan sebelumnya dalam industri

sinetron di televisi swasta Indonesia dan hasilnya lumayan

berhasil. Film-film yang terbukti laris dengan cara ini, mulai

dari film ―Catatan Si Boy‖ yang dibuat sekuelnya sampai lima

kali di tahun 1980-1990. Kemudian film ―Get Married‖

produksi ―Starvision‖ yang juga dibuat sekuelnya sampai yang

kelima. Film sekuel lain adalah film ―Sang Pemimpi‖ yang

dibuat setelah film ―Laskar Pelangi‖, dan sama-sama mendapat

apresiasi yang cukup baik dari penonton. Film yang dirilis

belakangan namun laris di pasar internasional adalah film laga

berjudul ―The Raid‖ dan sekuelnya ―Berandal‖. Film ini tercatat

memenangkan berbagai penghargaan di luar negeri –di

antaranya Toronto International Film dan Dublin Film

Page 10: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

270

Festival-- dan masuk box-office di Amerika Serikat dan

mendapat total penjualan tiket lebih dari satu juta dolar.

c. Membuat film dengan ide cerita (tema) yang sedang laris.

Contoh tema yang sedang laris saat ini, misalnya tema tentang

percintaan remaja, agama dan masalah-masalah dalam studi

atau karir. Satu genre baru yang muncul Sesudah Reformasi

adalah drama romantis dari kalangan remaja. Bisa dipastikan

bahwa para penonton di Indonesia sebagian besar terdiri dari

para remaja di sekolah menengah dan mahasiswa. Mereka ini

sebelumnya tidak tergolong penonton film Indonesia di era

sebelum reformasi11, akan tetapi Sesudah Reformasi, kaum

remaja mendapati bahwa tontonan di televisi kurang variatif

dan terkesan monoton (hanya berisi sinetron untuk ibu-ibu

dan pembantu rumah tangga, atau tayangan musik dan video

klip saja) akhirnya kaum remaja pindah mencari tontonan di

tempat lain yaitu di bioskop. Film seperti ―Ada Apa Dengan

Cinta‖ (AADC) menjadi film pertama yang laris dan ditunggu-

tunggu kelanjutannya oleh para remaja. Temanya sekarang

sudah lebih variatif, tidak lagi sekedar percintaan dan konflik

antarremaja saja, namun melebar ke arah keyakinan (agama)

dan studi di luar negeri. Saat ini tema-tema tersebut terbukti

paling disukai dan laris di pasar.

d. Film yang tidak terlalu rumit gaya ceritanya (ringan).

Para penonton film ―Guru Besar Tjokroaminoto‖ mengeluhkan

rumitnya penceritaan di sepanjang film dan lamanya durasi (2

jam 20 menit). Bagi orang dewasa dan orangtua, film karya

Garin Nugroho yang diproduseri Christine Hakim tersebut

sangat menarik dan bagus dari segi artistik. Setting jaman dulu

11 Penonton di era sebelum reformasi mayoritas terdiri dari orang tua, ibu-ibu dan bapak-bapak, serta sebagian kecil dari anak-anak dan remaja. Penulis lahir di era Orde Baru dengan terbatasnya jumlah bioskop di dalam negeri. Di sekitar tahun 1970-1980an misalnya, di Bandung hanya ada tiga bioskop yaitu Bandung Theatre, Vanda Theatre, dan Majestic. Di tahun 1990an muncul Palaguna Theatre. Penonton lebih banyak dari kalangan orang tua atau anak muda yang sudah kuliah dan bekerja.

Page 11: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

271

yang sesuai, akting para pemain jempolan, dan bahasa seni

Garin yang sangat kentara dalam dialog-dialognya membuat

film tersebut sarat makna dan pesan-pesan. Seperti menonton

sejarah bangsa tanpa harus baca buku sejarah. Namun ternyata,

untuk para remaja (yang ternyata jumlahnya menempati

urutan cukup besar dari total penonton) film tersebut masih

terlalu rumit dan monoton. Mereka sulit untuk cepat mengerti

dan merasakan keindahan dari film tersebut.

e. Film dengan tema yang tidak biasa namun kosmopolitan.

Masyarakat kita tampaknya masih terpesona dengan gaya

kosmopolitan ala film-film luar (Hollywood). Oleh karenanya,

film-film dengan tema ―gay‖ atau ―gigolo‖ yang dibuat oleh Nia

Dinata tampaknya cukup laris diminati. Fim-film yang

termasuk ke dalam tema yang tidak biasa tersebut contohnya

film ―Arisan‖, film ―Quickie Express‖ dan film ―Mereka Bilang

Saya Monyet‖ karya Djenar Maesa Ayu.

Beberapa contoh di atas mengungkapkan fenomena yang

diderita oleh kebanyakan film Indonesia, artistik dan inovatif namun

tidak laku di pasar dalam negeri. Film-film Garin sudah terbukti

banyak mendapat penghargaan dari berbagai festival film di luar

negeri, namun sampai saat ini film-filmnya tidak menghasilkan

penjualan yang bagus dan memberikan manfaat ekonomi bagi

pembuatnya.

Riwayat perjalanan industri film Indonesia selama lebih dari

seratus tahun telah memasuki babak baru yang ditandai oleh

munculnya generasi baru pembuat film yang berasal dari orang-orang

muda dengan latar belakang beragam. Kesamaan mereka ada dalam hal

kreatifitas dan keberanian untuk bereksplorasi, menghasilkan karya-

karya berprestasi, yang berbeda dari mainstream sebelumnya. Generasi

yang baru ini tidak lantas menghilangkan pemain-pemain lama.

Beberapa pemain lama seperti rumah produksiStarvision dengan Chand

Parwez sebagai produser, atau Soraya Intercine Film dengan Sunil

Soraya (anak dari Ram Soraya) sebagai produser. Chand Parwez dan

Page 12: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

272

Ram Soraya, keduanya merupakan pemain lama. Ram Soraya

sebelumnya telah memproduseri beberapa film ―Warkop‖ bersama

Ram Punjabi. Film-film produksi mereka berada di puncak tangga

layar lebar di era Pasca Reformasi, misalnya ―Ayat-ayat Cinta‖, ―Get

Married‖, ―Tenggelamnya Kapal Van Der Wick‖, ―Single‖ dan lain-lain.

Film-film ini termasuk film-film yang laris dan dikemas secara inovatif.

Apresiasi penonton lokal saat ini sudah makin baik, terbukti

dari hasil pendapatan beberapa film yang luar biasa seperti apresiasi

untuk film ―Habibie dan Ainun‖, ―The Raid‖ dan ―Berandal‖, ―Laskar

Pelangi‖ dan ―Sang Pemimpi‖, ―Ayat-ayat Cinta‖, dan yang terakhir

―Surga Yang Tak Dirindukan‖. Paradoks kreativitas yang muncul dalam

industri film menjadi sebuah tantangan untuk munculnya ide-ide baru

yang lebih kreatif dan inovatif dari sebelumnya. Bagaimana

memadukan pengetahuan tentang seni-budaya dengan manajamen dan

bisnis menjadi sebuah kreatifitas baru di masa depan yang layak untuk

diusahakan dan diperjuangkan.

Satu contoh menarik untuk didiskusikan adalah film-film karya

Mira Lesmana. Penulis berpendapat bahwa Mira Lesmana adalah film maker yang muncul di era Reformasi, yang berbeda dan turut

mengubah industri perfilman nasional melalui karya-karyanya. Mira

termasuk seorang pembuat film yang berhasil dari segi artistik dan

market, penulis menganggapnya telah berhasil mengelola inovasi

dengan baik dalam sebuah film. Ambil contoh beberapa filmnya seperti

―Laskar Pelangi‖ dan ―Ada Apa Dengan Cinta (AADC)‖ pertama dan

kedua, Mira telah berkolaborasi dengan Riri Riza dan kawan-

kawannya dengan baik. Selain membawa perubahan dan inovasi dalam

bentuk ide cerita, pemilihan pemain, teknik penyutradaraan dan aspek

produksi film yang lain; Mira juga telah membuat inovasi dalam

strategi pemasaran dan cara berpromosi. Saat ini bisa kita lihat di

televisi, iklan Aqua yang menghadirkan sosok ―Cinta‖ sebagai pemeran

utama film ―Ada Apa Dengan Cinta‖ telah dimunculkan kembali untuk

mengembalikan ingatan penonton terhadap film ―AADC‖ empatbelas

tahun lalu! Mira dan Riri juga cukup aktif dan gencar bercerita tentang

pembuatan film ―AADC 2‖ di beberapa media sosial seperti Twitter dan

Page 13: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

273

Instagram. Cara-cara berpromosi seperti ini terbukti efektif untuk

menarik minat penonton menyaksikan film-film mereka. Beberapa

sayembara juga dilakukan untuk penonton mulai merencanakan tidak

lupa menyaksikan ―AADC 2‖ di bulan April 2016. Sungguh sebuah

langkah dan teknik berpromosi yang baik. Terbukti film ―AADC 2‖

mampu memperoleh penonton sebanyak 3,6 juta orang selama lima

minggu penayangan!

Pemetaan Kreativitas

Pengelolaan kreativitas (dan paradoks) yang terjadi di

dalamnya, oleh para pembuat film, serta hasil temuan-temuan

sebelumnya, mendorong penulis untuk memetakan lebih lanjut proses

pengelolaan kreativitas tersebut ke dalam kerangka literatur tentang

hal tersebut yang telah penulis ketahui. Duapuluh (20) film hasil karya

beberapa movie-maker dipilih sebagai representasi. Beberapa

pertanyaan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan adalah

pertanyaan-pertanyaan yang ditawarkan oleh Smith, W.K, dan Lewis,

M.W. (2010) sebagai berikut:

1. Apakah proses pengelolaan kreativitas telah meneguhkan

kebutuhan pengakuan dan identitas tiap-tiap orang tetapi juga

mengarahkannya pada kebutuhan kolektif?

2. Mendorong tim untuk mendukung satu sama lain, sementara

pada saat yang sama menantang satu dengan yang lain melalui

debat yang berkualitas?

3. Memajukan eksperimen, pembelajaran berkelanjutan, dan

kinerja yang tinggi?

4. Menentukan bagaimana struktur –aturan, hierarki,

perencanaan, dan sejenisnya—menyediakan batasan yang perlu

tanpa mematikan improvisasi?

5. Memadukan kesabaran dan rasa mendesak?

6. Menyeimbangkan inisiatif dari bawah dengan intervensi dari

atas?

Page 14: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

274

Di samping pertanyaan-pertanyaan tersebut, peneliti juga

menggunakan beberapa definisi kreativitas seperti yang dijelaskan

berikut ini. Kreatif yang didefinisikan sebagai ide-ide yang bersifat

baru atau memiliki keutamaan (novelty), orisinal, dan bermanfaat

(memberi pesan-pesan yang baik, bermakna), digunakan untuk meng-

analisis beberapa film Pasca Reformasi yang dibuat oleh beberapa

movie-maker di bawah ini. Definisi baru atau novel, dilekatkan pada

film dengan ide cerita atau cara menuangkan cerita yang berbeda,

berasal atau diadopsi dari cerita novel tapi harus mengandung ide-ide

kebaruan. Definisi orisinal, diartikan sebagai ide-ide baru yang belum

pernah ada sebelumnya, murni kreativitas pembuatnya. Ini bisa

dilekatkan pada ide cerita, latar (setting), dialog-dialog, ilustrasi musik,

dan sebagainya.Penulis bertukar pendapat dengan beberapa pakar serta

pengamat film dan budaya di Bandung mengenai analisis dan pemetaan

ini.

Hasil analisis dan pemetaan duapuluh film Pasca Reformasi,

berdasarkan diskusi dengan tiga pakar, tampak pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1. Analisis Kreativitas Film-film Pasca Reformasi

No Judul Film Produser/ Sutradara

Jumlah Penon-

ton

Baru Novel

ty

Orisi-nal

Bernilai (Value)

1 Puisi Tak Terkuburkan

Garin Nugroho --- √ √ √

2 Petualangan Sherina

Mira Lesmana 1.400.000

√ √ √

3 Denias: Senandung di Atas Awan

Nia Zulkarnaen dkk

200.000

√ √ √

4 Jelangkung Jose Purnomo 1.300.000

√ -- --

5 Virgin (Ketika Keperawanan Dipertanyakan)

Hanny R, Saputra, Chand Parwez Servia, dkk

1.100.0

00

--

--

6 Tabula Rasa Sheila Timothy 27.829 √ √ √

7 Get Married Chand Parwez S.

1.389.454

√ -- --

8 Si Jago Merah Chand Parwez S.

44.684 -- √ --

9 Kuntilanak 2 Raam Punjabi, 1.200.0 -- -- --

Page 15: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

275

No Judul Film Produser/ Sutradara

Jumlah Penon-

ton

Baru Novel

ty

Orisi-nal

Bernilai (Value)

Rizal Mantovani

00

10 Bulan Terbelah di Langit Amerika

Rizal Mantovani

838.383 -- √ --

11 Sang Pemimpi (LP 2)

Mira Lesmana 1.742.242

√ -- √

12 Penghuni Lain Roman Malik 16.045 -- -- --

13 Sokola Rimba Mira Lesmana / Riri Riza

39.443

√ √ √

14 Lima Elang Santy Harmayn, Salman Aristo/ Rudy Soejarwo

121.764 √ √ √

15 Siti Ifa Isfansyah 9.030 √ √ √

16 Miracles: Jatuh dari Surga

Ichwan Persada

8.207 √ √ --

17 The Raid Ario Sagantoro / Gareth Evans

759.895 √ √ √

18 Habibie dan Ainun Damoo Punjabi dan Manoj Punjabi / Faozan Rizal

4.488.8

89

√ √ √

19 5CM Sunil dan Ram Soraya, Rizal M.

2.392.210

-- -- --

20 Aach... Aku Jatuh Cinta

Raam Punjabi, Garin Nugroho

20.757 √ √ --

Relasi Kreativitas dengan Penetrasi Pasar

Keduapuluh fim di Tabel 7.1. dilihat kesesuiannya dengan

kriteria ―kreatif‖ menurut para ahli serta menjawab atau tidak

menjawab pertanyaan 1-6 tentang pengelolaan kreativitas. Film-film

tersebut telah diobservasi langsung dengan cara ditonton, bertanya

pada yang pernah menonton, atau dibaca sinopsisnya,untuk kemudian

didiskusikan.

Hasil dari analisis dan pemetaan, dilanjutkan kepada pencarian

relasi film tersebut dengan kriteria tingkat kreativitasnya (level of creativity) dan tingkat kemampuan penetrasi pasarnya (level of

Page 16: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

276

marketability). Peneliti mencari data tambahan berupa jumlah

perolehan pendapatan atas film yang berasal dari tiket yang terjual.

Analisis dan pemetaan ini, didefinisikan sebagai relasi tingkat

kreativitas dan tingkat kemampuan penetrasi pasar dari sebuah film.

Berikut ini adalah hasil analisis dan pemetaan keduapuluh film

representatif Pasca Reformasi, dalam relasinya dengan tingkat

kreativitas dan kemampuan penetrasi pasar, seperti tampak pada

Gambar 7.2.

Gambar 7.2. Relasi Kreativitas dengan Penetrasi Pasar

Penjelasan atas masing-masing kuadran (K.1 sampai K.4)

diuraikan sebagai berikut:

Kuadran 1 (K.1):

Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini

adalah jenis film yang dinilai cukup tinggi kreativitasnya,

namun tidak atau belum memperoleh apresiasi yang baik dari

penonton. Film-film tersebut adalah: ―Puisi Tak Terkuburkan‖,

―Denias: Senandung di Atas Awan‖, ―Tabula Rasa‖, ―Sokola

Rimba‖, ―Lima Elang‖, ―Miracles: Jatuh dari Surga‖, :Aach.. Aku

Jatuh Cinta‖.

Pada saat didiskusikan, film-film tersebut dinilai tidak

memenuhi selera penonton karena, (i) sulit dicerna (terutama

Page 17: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

277

film garapan Garin Nugroho, sekalipun sudah berkolaborasi

dengan Raam Punjabi di film nomor 20) penonton kita lebih

suka film yang ―ringan‖, (ii) tidak menggunakan aktor/aktris

terkenal, dan (iii) terlalu biasa untuk penonton remaja yang

butuh hiburan happy ending gaya Hollywood.

Kuadran 2 (K.2):

Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini

adalah jenis film yang dinilai cukup baik, bahkan ada yang

sangat baik, kemampuan penetrasi pasarnya. Namun, tidak

semua dari film-film itu memiliki tingkat kreativitas yang

tinggi. Film-film tersebut adalah: ―Petualangan Sherina‖,

―Jelangkung‖, ―Get Married‖, ―Bulan Terbelah di Amerika‖,

―Sang Pemimpi‖, ―The Raid‖, dan ―Habibie Ainun‖.

Penulis menonton semua film-film tersebut, kecuali film

―Jelangkung‖. Ketika mendiskusikannya dengan sesama

penonton, penulis sepakat bahwa film-film tersebut rata-rata

memenuhi kriteria kreativitas yaitu, (i) tampak adanya ide-ide

baru (keutamaan), (ii) ada orisinalitas, dan (iii) memiliki nilai-

nilai yang bermanfaat (menyampaikan pesan yang sarat makna)

kepada penonton.

Kuadran 3 (K.3):

Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini

adalah jenis film yang dinilai kurang kreatif dan tidak (belum)

memiliki kemampuan untuk penetrasi pasar. Film-film yang

masuk ke dalam kategori ini adalah : ―Si Jago Merah‖, dan

―Penghuni Lain‖. Penulis melihat bahwa kolaborasi Chand

Parwez dengan Iqbal Rais sebagai sutradara kurang

memberikan hasil yang optimal. Tidak seperti film-film

produksi ―Starvision‖ yang lain –yang mulai berkualitas dan

kreatif—di film ini ide cerita tentang anak-anak kos yang

kesulitan bayar uang kuliah dan uang kos tidak tersampaikan

dengan baik. Padahal film itu sudah menggunakan aktor-aktor

terkenal seperti Ringgo Agus di periode tersebut. Sayang, ide

Page 18: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

278

cerita dan penyyutradaraan kurang digarap dengan baik. Film

kedua yaitu ―Penghuni Lain‖ yang digarap oleh Roman Malik,

merupakan film horor –yang mengikuti trend film horor lain

pada saat ini—yang juga kurang menarik. Alasan penonton

yang pada saat itu turut menyaksikan pemutarannya di bioskop

adalah karena aktor/aktrisnya kurang terkenal (Febi Febiola

mungkin sudah tidak seterkenal dulu) dan ceritanya memang

kurang menarik.

Kuadran 4 (K.4):

Film-film Indonesia yang termasuk ke dalam kuadran ini

adalah jenis film yang dinilai sedang-sedang saja kreativitasnya,

namun memiliki kemampuan penetrasi pasar yang cukup baik.

Film-film tersebut adalah: ―Virgin: Ketika Keperawanan

Dipertanyakan‖, ―Kuntilanank 2‖, dan ―5 CM‖. Film ―Virgin:

Ketika...‖ dinilai memiliki tingkat kreativitas yang cukup,

karena sekalipun film-film yang serupa dengan cerita ini sudah

ada sebelumnya, namun film ―Virgin...‖ berhasil menyajikan

sesuatu yang lain kepada penonton khususnya yang berusia

remaja. Penceritaan dalam film ini disampaikan dengan cukup

baik. Selain itu, aktor/aktris yang memainkan peran-peran di

dalamnya, adalah para model yang sudah terkenal dan mereka

berhasil membawakan peran masing-masing dengan baik

sehingga memperoleh nominasi di Festival Film Bandung dan

Festival Film Indonesia.

Menurut peneliti,movie-maker yang sudah bisa mengelola

paradoks kreativitasnya dengan baik yang dibuktikan dengan

tercapainya tingkat kreativitas yang tinggi sekaligus perolehan apresiasi

dari penonton yang juga tinggi (dianggap mampu melakukan penetrasi

pasar). Ada tiga movie-maker yang berhasil mengelola paradoks

kreativitas tanpa mengorbankan kreativitas, dan tetap melakukan

strategi untuk masuk ke dalam pasar, seperti gambar di atas. Movie-maker terpilih tersebut adalah Chand Parwez, Mira Lesmana, dan Joko

Anwar, seperti tampak pada Tabel 7.2.

Page 19: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

279

Tab

el 7

.2. M

anaj

emen

Bis

nis

Fil

m B

eror

ien

tasi

Kre

ativ

itas

Page 20: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

280

Hasil rangkuman pada Tabel 7.2 tersebut dituangkan ke dalam

kriteria (faktor-faktor) yang harus ada dalam sebuah manajemen bisnis

perfilman di Indonesia seperti tampak pada Gambar 7.3 dan 7.4.

Gambar 7.3. Proses Produksi Film Indonesia (Sumber : Manurung, E.M., 2016)

Sumber : Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.4. Model Pengelolaan Kreativitas yang Baik pada Bisnis Film Indonesia

(K-2)

DEVELOPMENT: Membangun Ide

PRE-PRODUKSI:

Konfirmasi Ide, Riset, Seleksi Kru

PRODUKSI: Syuting di lokasi, proses sinematografi

POST-PRODUKSI: editing di laboratorium

PEMASARAN

dan DISTRIBUSI

FILM INDONESIA

UNGGUL DAN KOMPETITIF

IDE CERITA BARU

RISET YANG

MEMADAI

SKRIP MENARIK

PEMILIHAN AKTOR YANG

SESUAI

SINEMA-TOGRAFI

MEMUAS-KAN

STRATEGI PEMA-SARAN

INOVATIF

E

K

S

H

I

B

I

S

I

Page 21: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

281

Sejak awal proses pembangunan (development) ide cerita,

penulisan skrip, pemilihan sutradara, sampai proses berlangsungnya

syuting (pemililhan lokasi, aktor/aktris, kru dll.) di tahap produksi, sang

produser perlu untuk terus mendorong timnya dan menghidupkan

suasana yang memungkinkan timbulnya ide-ide kratif yang selalu baru

dan mutakhir. Jangan terjebak trend (kondisi pasar) masa kini sehingga

kreativitas terlupakan. Kreativitas pribadi harus didorong untuk terus

muncul, dan didiskusikan dalam kelompok.

Penulisan skrip yang kurang baik, atau pemilihan tokoh (aktor,

aktris) yang kurang menjiwai perannya, tidak bisa melakukan penokohan

dengan baik misalnya, akan membuat gagalnya produksi film unggul

Indonesia. Itu sebabnya, saat ini banyak produser yang menuangkan ide

cerita berdasarkan novel yang sudah laris, ada fan-base-nya. Aspek

sinematografi seperti tempat atau lokasi pembuatan film, pengambilan

gambar, pengaturan cahaya, dan suara, harus dibuat maksimal. Film yang

bagus/unggul adalah film yang tidak akan dilupakan begitu saja oleh

penontonnya. Film itu harus dikemas apik dan menarik supaya yang

menonton puas. Apalagi masyarakat Indonesia sudah terbiasa dan dimanja

dengan film-film Hollywood yang relatif sangat maju secara teknologi,

karenanya sinematografi yang memuaskan adalah syarat yang tidak bisa

ditawar-tawar lagi. Proses editing film di laboratorium menjadi syarat

yang cukup menentukan.

Di tahap pasca produksi, editing film di laboratorium dan proses

distribusi serta pemasarannya wajib dicermati dan dilakukan terobosan-

terobosan terbaru untuk mengundang jumlah penonton lebih banyak lagi

di penayangan film tersebut kelak di layar lebar.

Strategi pemasaran film masa kini haruslah benar-benar dicermati

dan direncanakan dengan baik, jauh-jauh hari, persiapannya harus benar-

benar matang. Film ―Ada Apa dengan Cinta 2‖ merupakan contoh

pemasaran yang baik. Mira Lesmana sang produser dan Riri Riza sang

sutradara, kerap menceritakan proses pembuatan film tersebut di media

sosial mereka (seperti twitter dan instagram), sehingga calon-calon

penonton yang membaca menjadi tertarik untuk menonton film tersebut.

Page 22: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

282

Ditambah lagi dengan kuis dan hadiah menarik bagi para

followers yang bisa menebak jalan cerita atau apapun yang ditanyakan

tentang film tersebut. Tampaknya Mira dan Riri tahu betul siapa sasaran

calon penonton film ―AADC 2‖ dan bagaimana terus menarik mereka

untuk menanti-nantikan dan menyambut peluncuran film ―AADC 2‖ di

bioskop dengan antusias. Gaya berpromosi dengan bahasa yang ringan ala

remaja, serta soal-soal kuis yang mengedepankan nuansa cinta dan

romantisme tokoh-tokoh utama di ―AADC 2‖, tampaknya sangat pas

dengan penonton yang disasar. Belum lagi, ketika para pemain ―AADC 2‖

road show ke beberapa kota dan mendatangi langsung para penggemarnya

di bioskop, membuat penonton lain atau penonton yang sama ingin terus

menonton dan menonton lagi. Strategi yang diterapkan Mira Lesmana dan

kawan-kawan ini merupakan contoh strategi pemasaran film yang sangat

pas untuk masa kini.

Contoh strategi pemasaran lain yang juga baik adalah strategi

yang diterapkan oleh Falcon Pictures untuk film ―My Stupid Boss‖ yang

baru-baru ini tayang di layar lebar. Hampir setiap hari masyarakat

Indonesia melihat promosinya di televisi, media sosial,cinema XXI, baliho

dan sebagainya. Promosi di televisi juga menggunakan berbagai cara,

bukan hanya dalam bentuk kuis seperti yang biasa dilakukan, tapi juga

masuk ke beberapa infotainment yang bukan sekedar acara gosip, seperti

―Hitam Putih‖ dan tayangan-tayangan berita. Di beberapa tayangan berita

publikasi penayangan film ―My Stupid Boss‖ di bioskop juga didukung

oleh Bapak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta.

Promosi film ―My Stupid Boss‖ terkesan ―gila-gilaan‖, ini tidak

mengherankan karena di saat yang sama film tersebut bersaing dengan

―AADC 2‖ dan film Hollywood ―X-Men: Apocalypse‖.

Ibu Catherine Keng, Corporate Secretary ―Grup XXI‖ mendukung

cara berpromosi seperti itu dan mengatakan bahwa sudah saatnya film

Indonesia dikemas dengan baik dari sisi produksi maupun pemasarannya.

Meskipun harus mengeluarkan biaya pemasaran yang cukup tinggi,

namun Falcon Pictures berhasil mendapatkan keuntungan yang cukup

banyak dari perolehan jumlah tiket terjual sebanyak 2.687.000 penonton.

Page 23: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

283

Selain melakukan interpretasi terhadap kuadran dua (K.2) dan

menuangkannya ke dalam sebuah model manajemen (pengelolaan)

kreativitas yang baik dalam industri/bisnis film Indonesia yang tampak

pada Gambar 7.4, peneliti juga menelusuri alasan-alasan di balik

munculnya pemetaan film-film yang menurut peneliti kurang baik

pengelolaan paradoks kreativitasnya, yaitu yang muncul pada kuadran

satu, tiga, dan empat. Hasil analisis dituangkan pada Gambar 7.5., 7.6., dan

7.7.

Gambar 7.5. Model Pengelolaan Kreatifitas K-1 (Sumber : Manurung, E.M., 2016)

FILM INDONESIA

KREATIF NAMUN KURANG

KOMPETITIF

IDE CERITA BARU

RISET YANG MEMADAI

SKRIP YANG BAIK

SINEMATOGRAFI

MEMUAS-KAN

Page 24: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

284

Sumber : Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.6. Model Pengelolaan Kreatifitas K-3

Sumber : Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.7. Model Pengelolaan Kreatifitas K-4 ()

FILM INDONESIA YANG TIDAK

UNGGUL DAN TIDAK KOMPETITIF

IDE CERITA MENIRU YANG

SUDAH ADA

FILM INDONESIA

YANG KURANG KREATIF

NAMUN LAKU (KOMPETITIF)

PEMILIHAN AKTOR YANG

SESUAI

SINEMATO-GRAFI

MEMUASKAN

STRATEGI PEMASARAN

INOVATIF

Page 25: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

285

Film yang merupakan produk budaya sekaligus industri kreatif,

harus dikelola sesuai dengan masanya. Pengelolaan film di masa kini, era

Pasca Reformasi, tidak bisa disamakan dengan masa lalu. Produk budaya

seperti film, harus mampu dilihat dari perspektif manajemen kontemporer

juga.Kreatifitas sebagai modal utama, harus senantiasa dipertahankan dan

didorong terus-menerus ke arah timbulnya inovasi, terobosan-terobosan

yang baru. Dari segi proses produksinya maupun distribusi dan

pemasarannya. Inovasi tidak berhenti di proses produksi dan penceritaan

sebuah film saja, namun juga masuk/harus sampai ke lini berikutnya yaitu

lini distribusi dan promosi. Sejumlah anggaran harus dipikirkan oleh pihak

produser dan timnya.

Produk budaya tetap mengedepankan kreatifitas dan inovasinya,

tanpa mengabaikan aspek ekonominya. Aspek ekonomi dikelola dengan

cara menata-ulang fungsi-fungsi yang belum lengkap saat ini, yaitu

distribusi dan pemasaran. Strategi pemasaran juga menjadi hal yang tidak

boleh luput dari rencana kegiatan dan anggaran produksi film di

Indonesia. Inovasi-inovasi yang dilakukan oleh movie-maker memang

sudah mulai nampak, seperti yang telah dilakukan Mira Lesmana dan

kawan-kawan. Namun demikian, karena berlangsung secara beragam,

terpisah dan sendiri-sendiri, dirasakan kebutuhan yang cukup penting

juga tentang ekonomi pasar dan manajemen budaya bagi para movie-maker.

Membicarakan film kini, tak lagi sebatas produk budaya yang sarat

makna dan kreatifitas, namun juga harus bisa memberikan keuntungan

secara material/ekonomi. Dengan demikian, industri film Indonesia di

masa depan dapat memberikan harapan yang semakin menjanjikan bagi

para pembuat dan penikmatnya. Para film maker harus banyak belajar

tentang target pasar, siapa penonton yang dia sasar untuk menyaksikan

filmnya? Harus bagaimana ia dan timnya meramu film mereka supaya

berhasil dan memuaskan bagi penonton? Perlu effort dan kerelaan untuk

belajar dalam tim secara terus-menerus bagi insan perfilman untuk

meresapi pengelolaan film sebagai produk budaya sekaligus benda

ekonomi, supaya makin dihasilkan karya-karya yang unggul dan

berkualitas sekaligus laku di pasar nasional.

Page 26: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

286

Manajemen Bisnis Film Berorientasi Kreativitas

Sebagai sebuah industri yang unik, penuh dinamika dan sangat

lentur, perlakuan atas film akan berbeda dari industri manufaktur yang

lain. Film yang merupakan industri kreatif akan memerlukan proses bisnis

dan manajemen bisnis yang berbeda pula. Tidak seperti industri

manufaktur klasik lain yang menekankan biaya dan efisiensi, proses bisnis

film yang berorientasi pada kreativitas dan berinovasi dalam pasar akan

memerlukan pendekatan atau model proses bisnis tersendiri.

Manajemen bisnis proses (BPM) merupakan salah satu

pendekatan untuk menganalisis dan meningkatkan keberhasilan proses

bisnis. BPM bukan hanya digunakan untuk meningkatkan kinerja dan

mengurangi biaya namun juga memfasilitasi hambatan timbulnya resiko

dan pengelolaan pengetahuan. Banyak perusahaan tanpa disadari telah

mengurangi atau bahkan membunuh kreativitas dan inovasi demi (atas

nama) pengurangan biaya atau efisiensi. Seidel dan Rosemann (2008)

melakukan sejumlah studi kasus pada beberapa industri kreatif –seperti

film, visual effects production, dan sebagainya. Melalui kerangka awal

yang penulis peroleh (di Bab dua) tentang bisnis berorientasi kreativitas,

ditemukan bahwa faktor-faktor yang dibutuhkan untuk meminimalisir

resiko kreatif –yang belum dijelaskan Seidel dkk di Gambar 2.1.— belum

menggali lebih lanjut tentang pengelolaan paradoks kreativitas. Untuk

menyempurnakan kerangka Seidel dkk, peneliti telah mengembangkan

kerangka proses bisnis yang berorientasi pada kreativitas tersebut,

menyesuaikan dengan paradoks kreativitas yang senantiasa muncul, dan

menyempurnakannya seperti yang ditampilkan di Gambar 7.9. Kerangka

awal dari Seidel dkk ditunjukkan kembali di Gambar 7.8.

Page 27: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas

287

Gambar 7.8. Tahapan Orientasi Kreativitas BPM oleh Seidel, S., Roseman,

M.(2008).

Sumber: Manurung, E.M., 2016

Gambar 7.9. Model Pengelolaan Paradoks Kreativitas dalam Bisnis

Pada kerangka model pengelolaan kreativitas dalam bisnis di

Gambar 7.9, penulis mengusulkan faktor-faktor yang harus ada dalam diri

Orientasi Kreativitas Pada Bisnis

Meningkatkan Kinerja Tanpa

Mengorbankan Kreativitas

Mengelola Resiko

Menjadi Kreatif

Mendukung Alokasi

Sumber Daya yang Fleksibel

Menjaga dan Meningkatkan Kreativitas

Menjaga Proses Kreatif,

Melakukan Kontrol

Kebebasan Kreativitas

Mengelola Paradoks

Kreativitas Dalam Bisnis

Pemimpin memberi

kebebasan dan fleksibilitas

terhadap ide-ide kreatif

Pemimpin memberi ruang berdiskusi-

argumentasi- bernegosiasi pada anggota tim sambil mengarahkan terus

pada tujuan

Alokasi Sumber Daya yang Fleksibel

Menetapkan pasar yang dituju,

menyesuaikan dengan perilaku

konsumen

Page 28: Bab VII Paradoks dan Manajemen Kreativitasrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13097/9/D_902011106_VII.pdf · Borders membuat investasi yang sangat besar ... namun pertanyaan tentang

Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia

288

seorang pemimpin (dalam hal industri film adalah produser) untuk dapat

mengarahkan proses kreatif kepada tujuan yang diinginkan. Ide-ide kreatif

di awal sangat mungkin berubah, namun tujuan yang ingin dicapai yakni

benang merah penceritaan dan pesan yang ingin disampaikan oleh sebuah

film akan tetap sama. Oleh karenanya penulis berpendapat peran seorang

pemimpin dalam memelihara fleksibilitas terhadap ide-ide kreatif dan

memberikan ruang untuk berdiskusi (argumentasi) dan bernegosiasi

adalah sangat penting. Model pengelolaan paradoks kreativitas ini dibuat

untuk mencapai tujuan bisnis atau industri perfilman di Indonesia, yang

menjadi contoh kasus dalam penelitian disertasi ini, yaitu film Indonesia

yang unggul dan kompetitif (diapresiasi oleh penonton di Indonesia).