pemaknaan hidup mantan tahanan politik 1965 skripsi …repository.unika.ac.id/13097/1/08.40.0038...
TRANSCRIPT
-
i
PEMAKNAAN HIDUP MANTAN TAHANAN POLITIK 1965
SKRIPSI
RIAN ADHIVIRA PRABOWO
08.40.0038
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2016
-
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Skripsi Fakultas
Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi
Pada Tanggal
25 Juli 2016
Mengesahkan
Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
Dekan,
( Dr. M. Sih Setija Utami, M. Kes )
Dewan Penguji
1. Drs. M. Suharsono, M.Si _______________
2. Drs. HM. Edy Widiyatmadi, M.Si _______________
3. Drs. Emmanuela Hadriami, M.Si _______________
-
iv
Motto:
Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-
undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada:
keadilan. Larasati ingin menghibur orang sakit itu. Orang ini telah jatuh di
medan perjuangan- dia tidak bakal menyaksikan kemenangan. Mungkin
beranak, mungkin beristri. Mungkin juga tidak sama sekali. Namun ia
berjuang. Dan dengan sakitnya ini, setengah sadar pula barangkali, bahkan
dalam mimpinya, mungkin ia tetap berjuang, tetap melawan.
(Larasati, Pramoedya Ananta Toer)
-
v
Halaman Persembahan
Beberapa kali terlintas tanya, untuk apa semua ini?
-
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Skripsi ini dibuat dengan susah payah setelah melalui belasan
semester menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang. Namun, dalam rentang belasan semester tersebut,
baru pada saat menginjak semester kelima saya mulai berkenalan dengan
topik peristiwa 1965, yang tentu saja, membuat tidur tak nyenyak. Sejak
kecil saya –kita- diajarkan perihal budi pekerti, diajarkan menghormati
sesama, baik melalui dongeng maupun kurikulum pendidikan sedari
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Namun, bagaimana dapat ajaran
budipekerti yang “seolah” terkandung dari pertiwi dalam nilai-nilai yang –
mengikuti Soekarno- “digali” kemudian turut pula menjadi sumber
legitimasi atas pembantaian besar-besaran, pembunuhan, penyiksaan,
pemerkosaan, yang barang tentu tidaklah manusiawi. Pertanyaanya,
bagaimana bisa dua ajaran yang saling bertolak belakang berjalan ko-eksis
satu sama lain?
Keprihatinan tersebut diperburuk setelah membaca beberapa refleksi
dari para akademisi Jerman pasca-Auswich seperti Fromm, Arendt, Jaspers,
Frankl, dan lain sebagainya. Dalam literatur tersebut, terlihat bagaimana
konstruksi seperti “cinta”, “politik”, “kebebasan”, “rasa bersalah” dan
“makna” mengacu pada pengalaman yang menggetirkan; ketika
kemanusiaan nyaris ambruk dalam uap kamar-kamar gas. Sayangnya
kemewahan tersebut tidak kita temukan disini. Bahkan pasca reformasi,
hanya sedikit literatur konseptual para akademisi yang mengacu pada
-
vii
pengalaman riil 1965. Sependek pengalaman saya, universitas, yang konon
merupakan ruang terbuka dan bebas, justru malu-malu dan banyak yang
takut untuk mendiskusikanya. Maka tak mengherankan bahwa Komunisme,
bersama dengan agama, menjadi dua isu yang paling banyak dijual, yang
sayangnya, banal.
Sebaliknya, apa yang muncul dipermukaan adalah; pemberangusan
buku-buku kiri, pemukulan dari perkumpulan tapol 65, pembatalan
Undang-Undang Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi, dan yang paling
parah, pengembalian berkas Komnas HAM atas peristiwa 1965 sebagai
Pelanggaran Berat HAM oleh Kejaksaan Agung. Angin segar yang dibawa
Gus Dur melalui permintaan maafnya juga seperti hilang ditelan angin lalu.
Sementara carut-marut dan ketakutan berjalan terus, usia para korban juga
semakin lapuk. Tak sedikit yang meninggal, juga dalam bungkam karena
belum sempat menyuarakan penderitaanya. Diskusi-diskusi dibubarkan.
Militer menunjukan tanda-tanda kembali lagi ke jalan. Dan para fasis
kembali bergerilya, mengenang-ngenang kejayaan lamanya. Orde Baru
seperti film murahan yang hendak dibikin sekuelnya, dan sayangnya, dia
masih laku di pasaran.
Ketika saya akhirnya memperoleh kesempatan untuk bertemu
dengan para korban maupun keluarga yang tersisa, berbagai macam rasa
baik marah, sedih, malu bercampur aduk jadi satu. Kisah seorang anak yang
tak tahu rimba kemana bapaknya, kepalanya di-jenggungi oleh gurunya
sembari dikatai “dasar anak tapol!” tanpa tahu apa arti sesungguhnya.
Menjelang dewasa barulah ia mengetahui bahwa bapak dan ibunya turut
-
viii
menjadi korban. Sang ayah tak kembali, bahkan dalam bentuk jasad
sekalipun. Ada cerita dimana seorang ibu harus membohongi anaknya
puluhan tahun lamanya tentang makam sang ayah, bahwa ayahnya
meninggal karena kanker paru-paru sepulang sekolah dari luar negeri. Baru
pada saat menginjak usia empatpuluhan, pada saat berita penemuan mayat
65 ditengah pedalaman hutan mencuat, rahasia itu terbongkar. Ada cerita
janda terlunta-lunta bersama dengan putrinya, yang masih berusia tiga
tahun dengan pakaian yang melekat sebagai satu-satunya harta. Adapula
kisah anak yang selalu menunggu pesawat terbang lewat atas rumahnya,
menanti ayahnya pulang karena ia diceritai bahwa ayahnya tengah dalam
perjalanan terbang, tapi tak pernah jelas kapan pulangnya. Sedikit kisah itu
adalah cerita dari mereka yang ditinggalkan, sedangkan kisah mengenai
bagaimana penyintas selamat dan memaknai hidupnya saya tampilkan
dalam skripsi ini.
Meskipun seadanya, tentu skripsi ini tak bisa selesai dengan tenaga
saya seorang. Untuk itu saya banyak berterima kasih terutama pada segenap
keluarga korban 1965, baik para penyintas, keluarga, maupun mereka yang
hilang dan tak pernah pulang. Terutama kepada para subyek yang telah
bersedia membuka luka lama mereka. Saya tahu, itu tak mudah, bahkan
untuk saya sendiri yang sekedar mendengar dan mencatat. Pengalaman
mereka melampaui perbendaharaan kosakata saya untuk melukiskanya. Edy
Widiyatmadi. yang bersedia membimbing saya, juga Emmanuela Hadriami
sebagai dosen wali yang baik, yang sabar, dan yang sealu saya repotkan.
Dan tentu saja terimakasih pula kepada seluruh keluarga besar Universitas
Katolik Soegijapranata yang tak mungkin saya sebut satu-persatu.
-
ix
Secara khusus,terimakasih saya haturkan pada komunitas diskusi
yang mau menerima tulisan maupun pendapat saya disertai dengan
pergulatan yang menyenangkan. Ditempat sebagaiman disebutkan berikut
ini, adalah tempat proses belajar dan bersahabat yang
sesungguhnya.Kepada Gunawan Budi Susanto, yang lebih akrab dipanggil
Kang Putu, seorang pengajar yang selalu berapi-api, selalu agitatif, berbagai
wejangan dalam “sekolah menulis” miliknya maupun perjumpaan-
perjumpaan yang lain selalu membuat hati berkobar. Sosok guru yang
sesungguhnya, dan entahlah, bisakah saya ini menjadi seperti dirinya?
Tentu, meskipun saya yakin dia akan memaki saya karena menggunakan
boso kromo –yang selalu ditentangnya karena feodal-, ijinkan saya
mengucapkanya disini sebagai bentuk penghormatan paling tinggi, Kang,
matur sembah nuwun, hormat kawula marang panjenengan ingsun mpun
diparingi ilmu, ngangsu kawruh.
Kepada Setya Indra Arifin, Unu Herlambang, Syukron Salam,
Awaludin Marwan, Said Muhtar, kawan-kawan Satjipto Rahardjo Institute
dan Komunitas Tjipian sebagai partner berdebat yang tangguh. Terkhusus
untuk mas Luluk, percayalah, suatu saat aku akan melampauimu. Rashid
Ridha Saragih, Doni Nur Hidayat, Fajar Ahmad, Samuel Bona, Gerry
Pindonta dan keluarga Komunitas Diskusi Payung lain, ruang yang mau
menampung saya untuk mendiskusikan apa saja. Juga tak ketinggalan
teman-teman Komunitas Rumah Buku Simpul Semarang yang selalu
menyambut lalu lintas pikiran dengan tangan terbuka, menyediakan ruang
menumpang. Otnil Prawiro dan Hishom Prastyo, dan rekan-rekan dari
-
x
GMNI yang betah berlama-lama berbincang tentang Negara, meski
entahlah, setelah itu mau apa.
Rukardi Ahmadi, Yunantyo Adi, dan kawan-kawan dari Komunitas
Pegiat Sejarah juga Donny Danardono dari PMLP UNIKA, yang kala itu
meski ditengah kesibukan, mau mempertemukan saya dengan para korban
1965. Ditengah pembuatan skripsi ini, satu orang guru sekaligus sahabat
meninggalkan saya untuk selama-lamanya, Mohammad Farid, seorang
pejuang HAM hingga nafas terakhirnya. Walaupun baru sebentar
mengenalnya, namun nasihatnya terus membekas, bagaimana ia
mengatakan soal “situasi-batas”, situasi dimana garis batas antara “ada” dan
“tidak ada” begitu rancu, yang pada ruang itulah subyektivitas manusia
dipertaruhkan dalam setiap situasi terberi adalah petuah yang berharga pada
tulisan skripsi ini. Kemudian, meski tak mengenal secara langsung, namun
skripsi ini juga tidak bisa diselesaikan bila bukan karena asupan buku-buku
maupun jurnal yang tak ternilai harganya dari laman http://gen.lib.rus.ec
kepada para pengurus laman tersebut, terimakasih.
Kepada kedua orang tua saya, Wistiani dan Riskiyana, yang mau
bersabar menerima anaknya meski tak kunjung lulus, serta selalu
mempertanyakan agar saya lekas pulang karena pulang terlalu larut tidaklah
baik untuk kesehatan. Kepada adik-adik saya, Rani dan Risa, yang
seringkali marah karena saya curi makananya. Terakhir meski yang bukan
paling akhir, kepada Bella Perdana, terima-kasih karena selain tak jemu
mengingatkan saya agar tak telat makan, juga dengan jelita tak jemu-jemu
selalu sabar menanti saya.
-
xi
Tadinya saya juga akan mengucapkan syukur kepada Tuhan, akan
tetapi masih pantaskah rasanya mengucap syukur kepada yang di atas,
sementara di bawah, namanya sering digunakan untuk membenarkan
kebiadaban. Untuk itu agak susah rasanya untuk bersaing dengan
menggunakan cara yang sama. Panjatan harapan barangkali bukan
diarahkan keatas, melainkan lebih tepat diarahkan kebawah. Atau
barangkali, Tuhan itu sendiri adalah horizon, yang ada namun selalu
menjauh ketika hendak digapai, yang alih-alih sunyi, lebih sering muncul
dalam bunyi bising para fanatiknya yang, sekali lagi, banal.
Satu masalah lagi yang cukup rumit adalah dilema etis, apakah
dengan ini saya juga telah menjadi penindas para korban? Dengan
menukarkan kisah pilu mereka demi sejumput gelar. Barangkali hanya
waktu yang bisa menjawab. Akhirnya, skripsi ini barangkali hanya akan
menjadi tumpukan kertas berdebu dalam ruang arsip yang dingin dan gelap.
Namun dalam gelap itu setidaknya kita masih bisa berharap bahwa ada
temaram diseberang jalan, sembari meminjam ucapan Pramoedya dalam
salah satu wawancaranya; bahwa “sayaingin melihat -kebencian- semua ini
berakhir.”
Semarang, 2016.
Rian Adhivira Prabowo
-
xii
PEMAKNAAN HIDUP MANTAN TAHANAN POLITIK 1965
Rian Adhivira Prabowo
08.40.0038
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan hidup pada mantan tahanan
politik 1965. Pada masa itu, terjadi kekacauan politik antar fraksi militer yang
berujung pada jatuhnya Presiden Soekarno, pembunuhan setidaknya ratusan ribu
orang, dan penahanan paksa terhadap lebih dari satu juta lainya. Setelah itu,
selama Orde Baru di bawah Soeharto, melalui tuduhan sebagai seorang
pemberontak, memberlakukan diskriminasi terhadap mantan tahanan politik
maupun keluarganya. Makna Hidup, adalah alasan, suatu kenapa dalam menjalani
hidup yang penuh. Makna Hidup berkaitan dengan kebebasan, dimana dalam
suatu pemaknaan, kebebasan sudah diandaikan berada bersamanya. Suatu
pemaknaan juga mengandung intensi, atau keterarahan akan makna, yaitu
bagaimana suatu makna tersebut diarahkan, yang dalam hal ini menunjukan
keterikatan antara diri dengan yang-lain. Metode dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif, melalui wawancara mendalam yang dilakukan kepada tiga
subyek laki-laki berusia diatas 75 tahun yang pernah ditahan dengan tuduhan
keterlibatan politik tahun 1965. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa
bahkan setelah melalui ketidakadilan pada masa lalunya, pemaknaan hidup dari
kontemplasi perjalanan hidup para subyek sebagai suatu yang bersifat personal
dan mengarah pada yang-lain, tetaplah mungkin, tentu dengan corak yang unik
pada masing-masing subyek.
Kata kunci: makna hidup, usia lanjut, mantan tahanan politik
-
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
HALAMAN PERSYARATAN MEMPEROLEH GELAR SARJANA…..ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… iii
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………….. iv
HALAMAN MOTTO …………………………………………………….. v
UCAPAN TERIMAKASIH ……………………………………………… vi
ABSTRAK ………………………………………………………………. xii
DAFTAR ISI …………………………………………………………… xiii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………….…….... 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Tujuan ……………………………….……………………………... 12
C. Manfaat …………………………………………………..………… 13
1. Manfaat Teoritis ………………………………………………… 13
2. Manfaat Praktis …………………………………..……...……… 13
BAB IITINJAUAN PUSTAKA …………………………………............. 14
A. Psikologi Eksistensial Sebagai Lanskap Teoritik Penelitian…...…. 14
B.Makna Hidup ……………………………………………...……….. 22
C. Hidup Bersama dan Keterarahan pada Yang-Lain ………………... 27
D. Tahanan Politik 1965 …………………………………………..…..31
E. Alur Berpikir Penelitian ……………………………………...….....34
-
xiv
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……………………………….. 38
A. Metode Penelitian Kualitatif …………………………………….... 38
B. Subyek Penelitian ………………………………………………… 38
C. Metode Pengumpulan dan Keabsahan Data ……………………… 39
BAB IVPELAKSANAAN PENELITIAN ……………………................47
A. Tentang Posisi Peneliti ……………………………………………. 47
B. Tentang Pertanyaan Wawancara …………………………………... 50
C. Hasil Pengumpulan Data………………...…………………………. 51
1. Subyek 1…………………………………....……………………51
a. Pendekatan ………………………………………………….. 51
b. Ringkasan Hidup …………………………………………… 53
c. Analisa ……………………………………………………… 68
d. Rangkuman …………………………………………………. 88
2. Subyek 2 …………..……………………………………………. 90
a. Pendekatan ………………………………………………….. 90
b. Ringkasan Hidup …………………………………………… 90
c. Analisa …………………………………………………….. 101
d. Rangkuman ………………………………………………... 115
3. Subyek 3 ………………………………………………………. 117
a. Pendekatan ………………………………………………… 117
b. Ringkasan Hidup ………………………………………….. 118
c. Analisa …………………………………………………….. 126
-
xv
d. Rangkuman ………………………………………………... 142
BAB V PEMBAHASAN ………………………………………………. 143
A.Proses Pencapaian Makna Hidup …………………………………. 143
B. Subyektivitas Penggalian Makna ………………………………… 149
C. Ruang Diskusi Lebih Jauh ……………………………………….. 157
BAB VI PENUTUP.……………….........................................................162
A. Kesimpulan ..…………................................................................... 162
B. Saran..……...….…………………………………………………... 165
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..……… 168
Lampiran …...…………..………………….…………………...…….… 175
-
xvi
DAFTAR BAGAN
BAGAN 1. BAGAN METODE NARATIF ………………………………… 36
BAGAN 2. BAGAN TEORITIK ……………………………………………. 44
BAGAN 3. BAGAN PEMAKNAAN MENURUT PAUL TP. WONG ……... 154
BAGAN4. BAGAN OLAHAN ……………………………………………..... 154
-
xvii
LAMPIRAN
Verbatim Subjek 1 …………………………………………………………… 175
Verbatim Subjek 2 …………………………………………………………… 227
Verbatim Subjek 3 …………………………………………………………… 279