paradigma utopianisme

10
BANDUNG KOTA KEMBANG DAN PERWUJUDAN KONSEP “GARDEN CITYBandung, sebuah kota yang penuh sanjungan. Kota di pegunungan setinggi 700 m di atas permukaan laut ini ternyata sejak zaman dahulu menyimpan begitu banyak obsesi. Berkembang dari suatu tatar perkebunan di abad 19, Bandung berhasil dikembangkan oleh para perancang negeri Belanda ke arah masa keemasannya yang disebut-sebut sebagai Paris van Java. Nama Bandung sendiri diambil dari nama sebuah Kampung, Banong, tempat di mana Dr. Andries de Wilde, salah seorang tuan tanah pelopor, mendirikan villa tempat kediamannya. Setelah mendapatkan statusnya sebagai gemeente, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan suatu rencana yang sangat muluk, bahkan untuk ukuran saat itu yaitu mewujudkan Bandung menjadi kota ideal di alam tropis dengan tiga ide dasar rancangan kota: 1. Membenahi wajah kota menjadi prototipe Kolonial-stad. 2. Menata dan menghijaukan kota dalam rangka mewujudkan konsep “Kota Taman”. 3. Menyiapkan kota Bandung sebagai ibukota Nusantara. Sampai sejauh ini kajian Sejarah menunjukkan bahwa hanya poin pertama dari tiga ide dasar pengembangan tersebut yang berhasil diwujudkan. Ide ketiga lenyap begitu saja. Namun ide kedua cukup menarik untuk dibahas karena sempat digarap secara cukup intensif dan hampir-hampir menemui keberhasilan. Sekelumit Sejarah Konsep Garden City Konsep Garden City sebenarnya lahir hampir bersamaan dengan Art Noveau, bahkan Art Noveau diyakini sebagai pelapang jalan bagi konsep Garden City. Diawali dengan keadaan di Amerika Serikat dan daratan Eropa yang mengalami lonjakan jumlah penduduk pada sekitar awal abad ke 20, khususnya di daerah perkotaannya. Beberapa faktor pendorong layak dikedepankan untuk menjelaskan fenomena ini, diataranya adalah perbaikan gizi dan kesehatan. Perkembangan serta penemuan obat-obatan baru

Upload: haris-tric

Post on 14-Aug-2015

112 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Paradigma Utopianisme

BANDUNG KOTA KEMBANGDAN PERWUJUDAN KONSEP “GARDEN CITY”

Bandung, sebuah kota yang penuh sanjungan. Kota di pegunungan setinggi 700 m di atas permukaan laut ini ternyata sejak zaman dahulu menyimpan begitu banyak obsesi. Berkembang dari suatu tatar perkebunan di abad 19, Bandung berhasil dikembangkan oleh para perancang negeri Belanda ke arah masa keemasannya yang disebut-sebut sebagai Paris van Java. Nama Bandung sendiri diambil dari nama sebuah Kampung, Banong, tempat di mana Dr. Andries de Wilde, salah seorang tuan tanah pelopor, mendirikan villa tempat kediamannya.

Setelah mendapatkan statusnya sebagai gemeente, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan suatu rencana yang sangat muluk, bahkan untuk ukuran saat itu yaitu mewujudkan Bandung menjadi kota ideal di alam tropis dengan tiga ide dasar rancangan kota:

1.        Membenahi wajah kota menjadi prototipe Kolonial-stad.2.        Menata dan menghijaukan kota dalam rangka mewujudkan konsep

“Kota Taman”.3.        Menyiapkan kota Bandung sebagai ibukota Nusantara.

Sampai sejauh ini kajian Sejarah menunjukkan bahwa hanya poin pertama dari tiga ide dasar pengembangan tersebut yang berhasil diwujudkan. Ide ketiga lenyap begitu saja. Namun ide kedua cukup menarik untuk dibahas karena sempat digarap secara cukup intensif dan hampir-hampir menemui keberhasilan.

 Sekelumit Sejarah Konsep Garden City

Konsep Garden City sebenarnya lahir hampir bersamaan dengan Art Noveau, bahkan Art Noveau diyakini sebagai pelapang jalan bagi konsep Garden City. Diawali dengan keadaan di Amerika Serikat dan daratan Eropa yang mengalami lonjakan jumlah penduduk pada sekitar awal abad ke 20, khususnya di daerah perkotaannya.

Beberapa faktor pendorong layak dikedepankan untuk menjelaskan fenomena ini, diataranya adalah perbaikan gizi dan kesehatan. Perkembangan serta penemuan obat-obatan baru membuat usia harapan hidup menjadi meningkat. Selain itu terjadi juga perubahan komposisi alokasi penduduk di desa dan kota akibat “mesinisasi” yang terjadi dengan begitu marak menggantikan craftmanship. Mesin biasanya dibangun dan diposisikan bukan khusus di daerah yang kaya sumber daya manusia, melainkan di tempat yang kaya sumber daya alam pendukung kerja atau bahan baku produksi. Setelah itu tenaga kerjalah yang didatangkan untuk menjalankan mesin tersebut. Fenomena ini memungkinkan terjadinya sentra-sentra kepadatan penduduk yang baru yang sebelumnya belum pernah tercipta.

Data statistik menunjukkan, pada tahun 1801 penduduk Inggris Raya hanya sekitar 9 juta jiwa dengan 80% hidup di pedesaan, berkembang menjadi 36 juta pada tahun 1911 dengan presentasi yang sangat bertolak belakang, 72% hidup di perkotaan. Keadaan seperti ini terjadi juga hampir di seluruh Eropa termasuk Jerman dan Prancis, sementara di Amerika Serikat 20% penduduk hidup di Perkotaan pada tahun 1860, berkembang menjadi 46% di tahun 1910.

Page 2: Paradigma Utopianisme

Perkembangan yang kurang seimbang ini mengakibatkan pertumbuhan kota mulai menjadi tidak sehat. Bangunan-bangunan tumbuh dengan kurang teratur dan sulit dikontrol, kota mulai kekurangan ruang-ruang interaksi antar penghuninya dan kehidupan menjadi semakin dingin serta egoistis.

Gejala-gejala ini direkam oleh Sir Ebenezer Howard, seorang stenografer Inggris yang memikirkan untuk merancang suatu bentuk kehidupan yang lebih baik yang dapat diperoleh masyarakat di masa-masa yang sulit tersebut. Dalam bukunya Garden Cities of Tomorrow tahun 1898 ia mengemukakan konsep idealnya mengenai kota masa depan, berupa sebuah “kota taman”. Kota taman tersebut nantinya dapat menampung 32.000 jiwa yang berdiam dalam rumah-rumah bergaya pedesaan, ruang-ruang terbuka dengan ditanami pohon-pohonan, fasilitas perbelanjaan, serta taman kota indoor berupa sebuah rumah kaca raksasa sebagai pusat interaksi masyarakat.

Unit kota taman ini nantinya akan dirangkai (linked) dengan suatu kota induk yang lebih besar dengan populasi penduduk dapat mencapai lebih dari 58.000 jiwa. Namun demikian aspek “manusia” di dalam kota taman itu sendiri tetap harus dijaga baik, di antaranya dengan tidak mengizinkan terjadinya infiltrasi dari jalan arteri dan rel kereta api. 

Howard aktif mempromosikan idenya tersebut dan di pihak lain memperoleh banyak dukungan. Salah satu di antaranya adalah dari Camillo Sitte, perancang kota, yang dalam bukunya Der Stadte-Bau Nach Seinen Kunstlerischen Grundsatzen menggambarkan mengenai berbagai rancangan bentuk jalan dan ruang terbuka di abad pertangahan yang dapat dijadikan contoh bagi konsep kota taman.

Pada tahun 1899 didirikanlah Asosiasi Kota Taman dan puncak keberhasilan kampanye Howard dicapai di tahun 1903 di mana konsep kota taman pertama kali diterapkan dalam perwujudan nyata, pembangunan kota Letchworth di dekat london oleh Barry Parker dan Raymond Unwin. Pembangunan Letchworth kemudian disusul oleh Richard Riemerschmid yang membangun kota Helerau dekat Dresden, Jerman tahun 1909. Tahun 1919 Louis de Soissons membangun Welwyn di dekat London dan mulai dari sini konsep tersebut semakin populer hingga tersebar ke seluruh dunia.

 Penerapan Konsep Kota Taman di dalam Pembangunan Kota Bandung.

Meroketnya angka pertumbuhan penduduk dengan perubahan komposisi dan alokasi penduduk yang begitu drastis akibat arus urbanisasi tidak hanya terjadi di Inggris saja melainkan juga di sebagian besar daratan Eropa, tidak terkecuali negeri Belanda. Lonjakan jumlah penduduk terjadi dua kali lipat antara 1875 dan 1900. Dalam kurun 20 tahun berikut jumlah tersebut bertambah lagi 50%. Kenaikan jumlah penduduk yang begitu drastis dalam kurun 45 tahun memusingkan pemerintah Belanda.

Tahun 1901 dibuatlah “Undang-Undang Perumahan” yang mengatur bahwa kota-kota dengan populasi di atas 10.000 jiwa harus membuat dan menerbitkan suatu bentuk rancangan mengenai pengembangannnya di masa depan. Rancangan ini harus dapat mengontrol pertumbuhan bangunan dan aktifitasnya

Page 3: Paradigma Utopianisme

yang diatur oleh suatu komisi evaluasi estetis dengan tidak melupakan pengadaan perumahan bagi masyarakat kelas menengah dan pekerja.

Arsitek-arsitek terbaik Belanda turun menggarap proyek ini, namun yang paling terkenal adalah sang master builder Hendrik Petrus Berlage, yang menangani proyek pengembangan area selatan Amsterdam tahun 1915. Berlage tampil dengan idenya membuat suatu keseragaman dalam konsep penataan jalan, dengan diselingi ruang-ruang terbuka yang ditanami bunga sebagai latar depan, yang kemudian dijadikan area perumahan. Konsep Berlage diadopsi oleh murid-murid Amsterdam School dan menjalar ke area lainnya. Agaknya, konsep ini juga sampai ke daerah jajahan Belanda seperti Indonesia.

Seperti diketahui bahwa terdapat suatu cita-cita untuk mengembangkan kota mungil di pegunungan, Bandung, menjadi suatu bentuk pemukiman ideal yang kelak direncanakan untuk menjadi ibukota Hindia Belanda. Pemikiran tersebut bertitik tolak dari aspek keamanan, yang mana letak kota di pegunungan jauh lebih aman dari serangan musuh ketimbang Batavia dan Semarang misalnya, yang terletak di daerah pantai. Pertimbangan lainnya adalah iklim, dengan suhu rata-rata 22,5oC (saat itu), curah hujan 1961 mm dan lama hujan 143,9 hari/tahun keadaan ini dianggap lebih cocok untuk orang Eropa ketimbang Batavia yang suhunya dapat mencapai 32oC.

Kota yang ramah, adalah kota yang sanggup memuaskan kebutuhan dasar penduduknya. Pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dilakukan dengan menyediakan elemen lingkungan yang spesifik. Abraham Maslow dan Peggy Peterson merumuskan salah satu kebutuhan dasar tersebut yaitu bentuk aktualisasi diri, kebutuhan untuk mengenali dan dikenali. Taman adalah suatu bentuk sarana yang cocok untuk hal ini (A Visual Approach to Park Design-Albert Rutledge, hal 61). Pemikiran yang sama juga dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga Bandung, dalam konsep pembangunannya sebagai kota taman akan memiliki banyak taman kota. Pada tahun 1885 didirikanlah Pieters Park di Jalan Merdeka, depan SD Banjarsari, dengan Ahli Botani R. Teuscher sebagai perancangnya. Pembangunan taman ini kemudian disusul oleh taman-taman kota yang lain seperti taman Maluku (Molukken Park), Taman Ganeca (Ijzerman Park) dan Taman Nusantara (Insulinde Park). Keempat taman ini sangat dijaga kelestariannya sampai-sampai untuk pengairannya digalilah kanal dari sungai Cikapayang.

Demi “menghidupkan” kota, pemerintah sendiri sibuk mempromosikan Bandung sebagai tempat kediaman yang nyaman. Diciptakanlah semboyan “Komt Te Bandung, Blijft Te Bandung, Bouwt Te Bandung” (Datanglah ke Bandung, Tinggalah di Bandung dan Membangunlah di Bandung). Iklan ini aktif dipromosikan di media masa Batavia oleh Prof Voronoff dari dari perusahaan tanah kotapraja. Suatu promosi yang cukup efektif dilihat dari hasilnya, yaitu naiknya jumlah penduduk Bandung dari 166.800 jiwa pada tahun 1930 menjadi 229.918 pada tahun 1940. Jumlah yang cukup mendekati ideal pada saat itu.  Ide pengembangan Bandung sebagai kota taman mendapat angin segar dengan kedatangan planolog ternama Ir. Thomas Karsten ke Bandung pada akhir dekade 20-an. Karsten kemudian membuat suatu rancangan yang terkenal

Page 4: Paradigma Utopianisme

dengan sebutan “Karsten Plan” yang mensyaratkan perluasan kota bagi penambahan sarana-sarana yang spesifik demi perwujudan konsep Tuin-stad.

Wujud dari rencana ini adalah dalam waktu 25 tahun, luas wilayah Bandung yang pada tahun 1930 hanya 2.853 ha. akan ditingkatkan menjadi 12.758 ha. dengan jumlah penduduk 750.000 jiwa.

Pada saat itu, wajah kota Bandung sangat keeropa-eropaan, dan Karsten Plan tersebut dibuat dengan sangat mengacu kepada kepentingan bangsa Eropa. Sebagai perbandingan saja, komposisi penduduk Bandung pada tahun 1936 adalah 12% orang Eropa sementara pribumi 77%. Penduduk Eropa ini tinggal di daerah pusat kota, dengan luas daerah residensialnya mencapai 52% dari keseluruhan luas wilayah kota. Sisa 48% wilayah yang di pinggiran didiami oleh penduduk pribumi dan 10% pedagang Cina.

Walaupun sangat jelas keberpihakannya kepada kaum Eropa, namun dari sinilah berangkatnya suatu konsep kota yang dipenuhi oleh banyak taman-taman sebagai perwujudan ruang terbuka kota yang merupakan komponen utama kota taman. Plan ini sempat dijalankan secara bertahap beberapa lama dan hasilnya dapat dilihat di daerah residensial Bandung bagian utara, Dago, kompleks perkantoran seputar Gedung Sate, perumahan Cihapit dan sekitarnya. Tidak kurang dari sang Master Builder Hendrik Petrus Berlage mengucapkan pujiannya dalam pidatonya di Congres Internationaux d’Architecture Moderne, Swiss 1928.

Sayangnya, untuk mewujudkan keseluruhan plan tersebut membutuhkan dana yang sangat besar, sementara pihak pemerintah Belanda mulai memikirkan aksi-aksi Jepang menjelang pecah perang dunia II sehingga melakukan pemotongan anggaran di mana-mana.

Pembangunan Bandung sebagai Garden City akhirnya mandeg sama sekali di tahun 1942 kala Belanda takluk di tangan Jepang. Ironisnya, ahli perancangan kota Ir. Thomas Karsten ikut diciduk dan meninggal di dalam kamp tawanan perang Jepang di Cimahi.

 Aktualisasi Konsep Kota Taman Bagi Bandung di Awal Abad 21.

Pertanyaan yang tertinggal dari penelusuran sejarah masa lalu adalah: masih relevankah konsep-konsep utopia di atas, setelah masa enam puluh tahun terlewati. Keadaan Bandung sekarang bisa dikatakan kurang lebih mirip dengan yang dihadapi Inggris pada jaman Sir Ebenezer Howard, hanya saja mungkin dalam skala dan penyebab yang sedikit berbeda. Urbanisasi awalnya selain dipicu pertumbuhan ekonomi, juga oleh eksodus besar-besaran warga selatan pada masa pemberontakan DI/TII. Urbanisasi ini menimbulkan kantong-kantong pemukiman yang kurang sedap dipandang, yang pada akhirnya memunculkan permasalahannya sendiri. Sama seperti yang dilakukan oleh Ebenezer Howard, kita kemudian mulai berpikir untuk kembali kepada konsep kota taman, dan karena pemikiran tersebut pernah ada, orang kemudian mulai membuka lagi konsep-konsep tua yang pernah digariskan oleh Thomas Karsten dan Thomas Nix, berupa suatu kota yang indah, dengan berlapis-lapis jalur hijau mengelilingi beberapa sub-centre kota.

Masihkah konsep tersebut dapat diwujudkan, meneruskan impian Karsten dkk pada dekade 30-an? Jika melihat kondisi sekarang, konsep ini agaknya (secara

Page 5: Paradigma Utopianisme

objektif) sukar untuk diterapkan. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa pemikiran:

·         Cita-cita Karsten untuk memperluas wilayah Bandung menjadi 12.758 ha. memang sudah tercapai, yang mana saat ini luasnya bahkan telah melampaui 17.000 ha. Akan tetapi jumlah penduduk yang disyaratkan oleh Karsten sebanyak 750.000 jiwa juga sudah sangat jauh terlampaui, saat ini penduduk Bandung di pusat kota saja diperkirakan mencapai 2 juta jiwa. Dengan demikian rasio perbandingannya sudah tidak cocok lagi.

·         Dengan kepadatan penduduk yang begitu tingginya (150 jiwa/ha pada tahun 1981-Bapeda Kodya Bandung) yang bahkan telah melampaui Jakarta (76 jiwa/ha) maka luas ruangan optimum sebagai syarat utama untuk Garden City akan sukar dicapai. Konsep vertikalisasi sedikit bisa mengatasi hal ini namun seperti penelitian yang dilakukan di Semarang tahun 1976 tentang pembangunan secara vertikal yang dikedepankan Ir Heinz Frick dalam salah satu bukunya, masyarakat Indonesia kurang dapat lepas dari kedekatannya akan tanah. Sehingga jika pola hidup ini masih belum berubah, pemaksaannya hanya akan menimbulkan bentuk kekumuhan baru. Jelas akibat semacam ini kurang layak untuk terjadi di dalam suatu kota taman yang ideal.

·         Konsep awal dari kota taman Sir Ebenezer Howard adalah mencipta suatu kota yang kecil dan nyaman, kemudian menciptakan akses ke suatu kota induk yang lebih besar. Pada masa lalu, Bandung memenuhi syarat sebagai kota kecil tersebut, dengan Jakarta (Batavia) berperan sebagai kota induknya. Saat ini Bandung sendiri sudah berkembang ke arah metropolitan seperti Jakarta sehingga tidak cocok lagi dengan konsep awal kota taman tahun 1898.

Kesulitan-kesulitan di atas, untungnya tidak membuat orang-orang yang perduli dengan kota Bandung mundur begitu saja. Jika demikian, apakah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki wajah Bandung kita, dalam kaitannya dengan konsep kota taman Karsten di atas? Beberapa pemikiran kemudian menjadi layak untuk dikedepankan, yang pada intinya sebenarnya masih berbasis pada pemikiran-pemikiran Thomas Karsten dan Thomas Nix;

·         Penerapan revitalisasi kota secara radikal, dengan model Napoleon III-Paris 1853. Untuk zaman yang sudah begitu modern dan kompleks seperti saat ini, model Napoleon ini bisa kita kesampingkan.

·         Masih dengan model Howard, akan tetapi bukan dilakukan terhadap Bandung melainkan kota-kota kecil di sekitar Bandung yang masih memungkinkan untuk dikembangkan dengan tetap mempunyai link, dan Bandung berperan sebagai kota induknya.

·         Membuat sub-centre-sub-centre dan menyebarkannya ke pelosok-pelosok Bandung yang belum berkembang pesat (daerah Selatan khususnya) dan membangun jalur hijau (green belt) sebagai penghubung antar sub centre tadi. Dengan melakukan hal ini berarti kita masih sangat berpijak pada rencana-rencana Karsten dan Nix.

Page 6: Paradigma Utopianisme

·         Pengembangan dari detil-detil di atas adalah membangun kota-kota satelit. Kevin Lynch mengemukakan suatu jumlah ideal 10.000 penduduk untuk suatu kompleks perumahan yang besar, yang dikelilingi fasilitas penunjang memadai untuk membentuk suatu kota kecil dengan link kepada kota induknya. Saat ini konsep-konsep ini sudah mulai terlihat digunakan, namun hanya satu dua yang menerapkannya secara lumayan berhasil. Salah satunya adalah Batununggal Real Estat di antara Jalan Soekarno Hatta dan Jalan Tol Padalarang Cileunyi (masih dalam pengembangan).

Dengan perpaduan keempat point di atas, sangat mungkin akan membawa pengaruh yang baik kepada wajah kota Bandung yang semakin lusuh ini. Memang sangat sulit membayangkan bahwa perwujudannya akan seperti apa yang dicita-citakan oleh para arsitek pelopor pendahulu kita, namun setidak-tidaknya kita dapat mewujudkan argumen dasar dari Sir Ebenezer Howard dengan konsep Kota Taman-nya: menciptakan mutu kehidupan yang lebih baik.

Konsep Kota Bogor yakni “Kota dalam Taman”.

Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor merencanakan akan menata kembali taman- taman Kota yang kini sudah mulai gersang.dan bahkan sudah banyak yang berubah fungsi. “Rencana penataan taman–taman Kota itu akan dilaksanakan mulai tahun 2005 mendatang. “ jelas  Walikota Bogor H. Diani Budiarto  kepada para wartawan di Bogor akhir –pekan lalu.

Diani mengakui bahwa  dari kenyataan taman–taman Kota yang terlihat di Kota Bogor sekarang ini memang banyak yang sudah tidak asri lagi terutama taman–taman pulau seperti di Air Mancur pertigaan  Jalan Sudirman, dan didepan Mall Ekalokasari Jalan Raya Tajur. masih ada tanah kosong disitu akan di buat, walaupun di lokasi itu sudah ada jalur hijau, tetapi tamannya  tidak ada, serta dilokasi-lokasi lainnya di wilayah Kota Bogor, “Untuk tahun 2004 ini kita baru merencanakan desain program. Jadi, pada tahun 2005 nanti harus sudah memulai dengan  action, “ujarnya.

Lebih lanjut Diani menjelaskan pengalamannya mengenai pertamanan setelah melakukan kunjungan kerja ke Rebuplik Rakyat Cina (RRC) selama lebih dari sepekan. “Ada 4 Kota yang saya kunjungi dan saya lihat khususnya dari segi pertamanan  yaitu Kota  Chiamen, Khwanjo, Shianghai, dan Beijing, ucap Diani.

Kalau dilihat secara menyeluruh masalah konservasi lingkungan di Cina ternyata sudah sangat membudaya dan sudah punya komitmen Nasional. Perhatian Pemerintah setempat kepada lingkungan bukan hanya soal taman, tapi juga masalah Kebersihan  yakni “Clean and Green “ ( bersih dan hijau), Kita

Page 7: Paradigma Utopianisme

lihat disana semua bersih baik itu jalan, sungai , pemukiman sehingga terlihat di jalan – jalan  hijau dan nampak asri.

Jika dibandingkan dengan Kota Bogor sangat jauh berbeda. Kalau disana ada yang disebut taman jalur dan ada semacam taman spot. Taman jalur itu seluruh jalur–jalur seperti taman, Sedangkan taman spot, disana dibuatkan spot – spot tertentu yang disulap menjadi taman.. “Ini semua  terkait dengan kebijakan secara Nasional Pemerintah setempat, karena ada aspek–aspek hukum yang mendukung dalam penataan Kotanya, “katanya.

Kalau diperbandingan dengan Bogor, padahal  kita mencanangkan Kota dalam Taman tetapi lahan yang ditata untuk menjadi taman di Kota Bogor sudah sangat terbatas. Coba kita lihat dari jalan sudah tidak sudah tidak ada lagi “antara” dengan bangunan. Kalaupun masih tersisa itu hanya trotoar  “Kalau kita ingin seperti di Cina perlu membebaskan beberapa lahan, “ ungkapnya. 

Tetapi, kita tidak melihat dari  kesulitannya, namun, yang terpenting apa yang bisa dilakukan dan yang bisa di buat sesuai dengan Konsep Kota Bogor yakni  “Kota dalam Taman”. Selain itu di perlukan adalah keseimbangan ekosistim antara jalur hijau dengan lahan yang tersedia.  Nanti kita akan hitung berapa lahan jalur hijau yang ada, perlu ditambah atau tidak. Kalaupun memang perlu  adanya  penambahan kita akan segera menambah  dan melakukan penyulaman –penyulaman di berbagai sudut Kota, “ tambahnya