papua

31
3-1 RTRW Provinsi Papua Barat L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s BAB 3 PROFIL WILAYAH PROVINSI PAPUA BARAT 3.1 ASPEK FISIK DASAR 3.1.1 Batas Administrasi dan Geografi Provinsi Papua Barat secara definitif dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 yang secara administratif terdiri dari 8 (delapan) kabupaten, 1 (satu) kota, 103 distrik, 48 kelurahan, dan 1.172 kampung (BP3D Provinsi Papua, 2007) dengan luas wilayah secara keseluruhan sebesar 115.363,50 km². Provinsi Papua Barat secara geografis terletak pada 124°-132° Bujur Timur dan 0°-4° Lintang Selatan, tepat berada di bawah garis khatulistiwa dengan ketinggian 0-100 meter dari permukaan laut.

Upload: agustian-surya

Post on 27-Oct-2015

113 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Mengenai kondisi infrastruktur di papua barat

TRANSCRIPT

3-1

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

BAB 3333 PROFIL WILAYAH PROVINSI PAPUA BARAT

3.1 ASPEK FISIK DASAR

3.1.1 Batas Administrasi dan Geografi

Provinsi Papua Barat secara definitif dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 45

Tahun 1999 yang secara administratif terdiri dari 8 (delapan) kabupaten, 1 (satu) kota,

103 distrik, 48 kelurahan, dan 1.172 kampung (BP3D Provinsi Papua, 2007) dengan luas

wilayah secara keseluruhan sebesar 115.363,50 km². Provinsi Papua Barat secara

geografis terletak pada 124°-132° Bujur Timur dan 0°-4° Lintang Selatan, tepat berada di

bawah garis khatulistiwa dengan ketinggian 0-100 meter dari permukaan laut.

3-2

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Gambar 3.1

Batas Wilayah Administratif Provinsi Papua Barat

3-3

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Batas geografis Provinsi Papua Barat adalah:

Sebelah Utara : Samudera Pasifik.

Sebelah Selatan : Laut Banda (Provinsi Maluku).

Sebelah Barat : Laut Seram (Provinsi Maluku).

Sebelah Timur : Provinsi Papua.

Wilayah Provinsi Papua Barat memiliki 9 wilayah pemerintahan daerah yang terdiri dari 8

kabupaten dan 1 kota dengan luas dan perbandingan persentase luas wilayah kota

kabupaten di Provinsi Papua Barat disajikan pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1

Luas Wilayah dan Persentase Menurut Kabupaten/Kota

Provinsi Papua Barat1. Fak-Fak

12%

2. Kaimana

16%

3. Teluk

Wondama

4%6. Sorong

Selatan

7. Sorong

16%

8. Raja

Ampat

10%

9. Kota

Sorong

1%

Sumber: Irian Jaya Barat Dalam Angka Tahun 2006, Hasil Analisis, 2008.

Gambar 3.2

Persentase Luas Wilayah Provinsi Papua Barat Menurut Kabupaten/Kota

No. Kabupaten/Kota Luas Planemetrik (Ha) Persentase (%)

1 Kabupaten Manokwari 1.209.441,68 13

2 Kabupaten Fak-Fak 868.545,06 12

3 Kabupaten Sorong 1.665.656,42 16

4 Kota Sorong 31.735,68 1

5 Kabupaten Sorong Selatan 1.164.732,37 12

6 Kabupaten Raja Ampat 504.725,10 10

7 Kabupaten Teluk Bintuni 2.086.732,12 16

8 Kabupaten Teluk Wondama 503.667,92 4

9 Kabupaten Kaimana 1.829.984,80 16

Total 9.865.221,15 100

3-4

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

3.1.2 Klimatologi

Provinsi Papua Barat terletak tepat di sebelah Selatan garis khatulistiwa sehingga

termasuk dalam wilayah tropika humida. Karena daerahnya yang bergunung-gunung,

maka iklim di Provinsi Papua Barat sangat bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya.

Pola umum iklim dan cuaca sangat dipengaruhi oleh topografinya yang kasar. Suhu

sangat bergantung dari ketinggian, sedangkan ketinggian dan kejajaran barisan

pegunungan mempengaruhi pola angin dan presipitasi dalam setiap daerah.

Iklim di Provinsi Papua Barat memiliki 3 (tiga) pola yaitu pola tunggal (A dan D), pola

berfluktuasi (B), dan pola ganda (C). Pola tunggal A atau pola sederhana (simple wave)

memiliki curah hujan terendah pada bulan Juli/Agustus. Pola tunggal D memiliki curah

hujan tertinggi pada bulan Juli/Agustus. Pola A dan D menunjukkan adanya perbedaan

yang jelas antara jumlah curah hujan pada musim hujan dan musim kemarau. Pada pola

B, perbedaan antara jumlah curahan pada musim hujan dan musim kemarau tidak jelas.

Pada pola ini biasanya curah hujan bulanan tidak teratur atau hampir merata sepanjang

tahun. Pada pola C, dalam setahun terjadi dua kali puncak curahan tertinggi atau dua kali

puncak curahan terendah.

A. Curah Hujan

Musim di Papua Barat dicirikan oleh angin Tenggara yang bertiup sekitar pertengahan

April hingga September dan Muson Barat Laut yang dimulai dalam Bulan Oktober hingga

Maret. Angin Tenggara dan Muson Barat Laut biasanya panas dan mengandung uap air

yang diangkut ketika melewati samudera. Jumlah hujan yang jatuh di setiap tempat di

Papua secara khusus dikendalikan oleh topografi. Musim hujan di setiap daerah

tergantung dari waktu di mana musim ini terpaparkan pada satu atau kedua sistem angin

tersebut. Pada umumnya pegunungan di Kepala Burung, Pantai Utara dan di sebelah

Utara Kordirela mendapatkan hujan terbanyak dari angin Barat Laut dalam Bulan

Oktober hingga Maret, sedangkan dataran rendah di Selatan Kepala Burung dan Jazirah

Onin dan Bomberai serta dataran rendah di Selatan Kordirela mendapatkan hujan

terbanyak antara Bulan April dan September ketika angin bertiup dari arah Tenggara.

Pola umum ini menjadi rumit oleh topografi dan pola angin.

3-5

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Tabel 3.2

Banyaknya Curah Hujan di Provinsi Papua Barat Tahun 2003-2006 (mm)

Kabupaten/Kota 2003 2004 2005 2006 Rataan

Kab. Fak-Fak 3,091 3,586 3,209 3,689 3,394

Kab. Kaimana 2,313 2,133 2,127 - 2,191

Kab. Teluk Wondama - - - - -

Kab. Teluk Bintuni - - - - -

Kab. Manokwari 1,470 1,323 2,600 2,319 1,928

Kab. Sorong Selatan 2.836 2.048 2,357 - 2,414

Kab. Sorong 2,836 2,048 2,357 2,351 2,398

Kab. Raja Ampat 2,836 2.048 2.537 - 2,474

Kota Sorong 2,836 2,047 2,043 2,171 2,274

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam Angka Tahun 2007.

3-6

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Gam

bar

3.3

Peta

Ke

mir

ing

an

Le

ren

g

3-7

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

#

# #

#

#

#

#

#

PETA

DISTRIBUSI CURAH HUJAN

PROPINSI PAPUA BARAT

1500

2500

3500

5000

1000

Batas kabupaten

# Ibukota kabupaten

Curah hujan tahunan (mm)

KETERANGAN

30 0 30 60

Kilometer

N

(1 : 2.200.000)

ManokwariSorong

Waisai

Bintuni

Teminabuan

Kaimana Kota

Rasiei

Fak-Fak

MANOKWARI

SORONG

SORONG SELATAN

RAJA AMPAT

TELUK BINTUNI

TELUK WONDAMA

FAK-FAK

KAIMANASumber:

Hart (1966;1971) dan Haantjens et.al., (1967)

130

130

132

132

134

134

4 4

2 2

0 0

Laboratorium GIS Tanah Fapertek

Universitas Negeri Papua

Berdasarkan jumlah curah hujannya, wilayah Papua Barat memiliki tiga kelas curah

hujan, yaitu kelas III dengan curah hujan antara 2000 s.d. 3000 mm/tahun; kelas IV

dengan curah hujan antara 3000 s.d. 4000 mm/tahun; dan kelas V dengan curah hujan

antara 4000 s.d. 5000 mm/tahun. Hampir seluruh wilayah Papua Barat memiliki kelas

curah hujan tipe III pola C, dengan curah hujan sekitar 2000 s.d. 3000 mm/tahun dan

rata-rata jumlah hari hujan sekitar 180 s.d. 230 hari hujan. Iklim ini meliputi daerah-

daerah yang berkelerengan cukup tinggi mencakup wilayah Kabupaten Sorong,

Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fak-Fak, sebagian

Kaimana, Raja Ampat, dan Kabupaten Teluk Wondama.

Gambar 3.4

Distribusi Curah Hujan di Provinsi Papua Barat

Kabupaten Kaimana memiliki kategori iklim pada tipe III B, III C, IV D dengan curah hujan

antara 2000 s.d. 4000 mm/tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada kisaran Bulan Juli

dan Agustus. Sedangkan wilayah Kabupaten Sorong Selatan memiliki dominasi iklim tipe

V D dengan curah hujan sangat tinggi di atas 5000 mm/tahun.

Pola Iklim IV B dengan curah hujan 3000 s.d. 4000 mm/tahun dan berfluktuasi terjadi di

wilayah ibu kota Kabupaten Manokwari. Sedangkan di Kabupaten Raja Ampat cukup

bervariasi, terdapat kategori iklim II B, III C dan IV D. Semua kategori curah hujan

rendah, sedang sampai tinggi menyebar di Kabupaten Raja Ampat ini.

3-8

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Tabel 3.3

Banyaknya Hari Hujan di Provinsi Papua Barat Tahun 2003-2005 (hari)

Kabupaten/Kota 2003 2004 2005 2006 Rataan

Kab. Fak-Fak 210 210 232 228 220

Kab. Kaimana 214 218 208 - 213

Kab. Teluk Wondama - - - - -

Kab. Teluk Bintuni - - - - -

Kab. Manokwari 187 178 203 150 179

Kab. Sorong Selatan - - - - -

Kab. Sorong 185 218 230 156 197

Kab. Raja Ampat 185 - - - 185

Kota Sorong 185 218 230 156 197

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTh 2006.

B. Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban merupakan komponen iklim paling konstan di Pulau Papua. Di

dataran rendah, suhu harian biasanya antara 29 oC sampai 32

oC, sementara di daerah

pegunungan pada 1500-2000 mdpl, 5-10 derajat lebih dingin. Pada malam hari, suhu di

sepanjang pantai 5-8 derajat lebih dingin daripada siang hari, sedangkan di daerah

pegunungan kisarannya lebih lebar. Karakteristik suhu di Pulau Papua tidak

menunjukkan fluktuasi tahunan yang nyata.

Tabel 3.4

Suhu Udara Rata-Rata Menurut Lokasi Stasiun di Provinsi Papua Barat

Tahun 1999-2005 (°C)

Kabupaten/Kota 2003 2004 2005 2006

Kab. Fak-Fak 28,05 23,0 25,7 25,6

Kab. Kaimana 27,2 27,47 27,48 -

Kab. Teluk Wondama - - - -

Kab. Teluk Bintuni - - - -

Kab. Manokwari 27,26 27,28 27,38 27,08

Kab. Sorong Selatan - - - -

Kab. Sorong 27,6 27,6 27,7 27,3

Kab. Raja Ampat 27,6 - - -

Kota Sorong 27,6 27,6 27,7 27,6

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTh 2006

3-9

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Suhu udara rata-rata di wilayah Provinsi Papua Barat berkisar 20,7-28,25 °C dengan

suhu maksimal sebesar 28,25°C terjadi di wilayah Kabupaten Sorong dan Kota Sorong,

dan suhu minimal sebesar 20,7°C berada di Kabupaten Manokwari (data hasil

pencatatan suhu udara pada beberapa stasiun yang berada di kabupaten/kota se-

Provinsi Papua Tahun 2005).

Kelembaban nisbi tinggi dan konstan, berkisar dari 75-80%, dimana daerah dataran

rendah cenderung lebih lembab. Kelembaban udara rata-rata di wilayah Provinsi Papua

Barat berkisar antara 83,6% s.d. 85,2%, kelembaban udara terendah terdapat di Kota

Sorong sedangkan kelembaban tertinggi terdapat di Kabupaten Fak-Fak.

Tutupan awan merupakan unsur penting yang mempengaruhi arus suhu. Papua

merupakan salah satu tempat paling berawan di dunia, terutama di daerah pegunungan

di mana awan cumulus hampir selalu meningkat ke tengah hari. Keadaan ini merupakan

gangguan utama bagi transportasi udara dengan pesawat kecil. Karena berada di

khatulistiwa, waktu siang hari (sekitar 12 jam) adalah konstan dengan variasi tahunan

sekitar 30 menit antara hari terpanjang dan terpendek.

Tabel 3.5

Kelembaban Udara Rata-Rata di Provinsi Papua Barat Tahun 2003-2006 (%)

Kabupaten/Kota 2003 2004 2005 2006

Kab. Fak-Fak 84,9 85,3 85,3 85,3

Kab. Kaimana 85,0 83,92 84,08

Kab. Teluk Wondama

Kab. Teluk Bintuni

Kab. Manokwari 83,50 83,33 83,67 84,17

Kab. Sorong Selatan

Kab. Sorong 83,00 83,00 84,00 83

Kab. Raja Ampat 84,00

Kota Sorong 83,00 83,00 84,00 83

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTh 2007.

Penyinaran matahari rata-rata di wilayah Provinsi Papua Barat berkisar antara 52,36%

s.d. 128,81%, penyinaran matahari terendah terdapat di Kabupaten Kaimana sedangkan

lama penyinaran tertinggi terdapat di Kabupaten Fak-Fak. Dengan kondisi seperti ini di

3-10

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

wilayah Papua Barat memiliki potensi bagi pengembangan komoditi-komoditi pertanian

terutama dikaitkan dengan persentase lama penyinaran.

Berdasarkan uraian karakteristik iklm tersebut, Provinsi Papua Barat yang memiliki

keragaman suhu udara, kelembaban udara yang relatif konstan, penyinaran matahari

yang hampir terus menerus sepanjang tahun, dan curah hujan yang cukup tinggi menjadi

potensi besar bagi pengembangan budidaya tanaman pertanian dan perkebunan

terutama untuk wilayah Kabupaten Manokwari, Kota Sorong, Teluk Bintuni, dan

Kabupaten Sorong Selatan yang mendapatkan potensi tersebut.

3.1.3 Morfologi

3.1.3.1 Ketinggian

Kondisi topografi Provinsi Papua Barat sangat bervariasi membentang mulai dari dataran

rendah, rawa sampai dataran tinggi, dengan tipe tutupan lahan berupa hutan hujan

tropis, padang rumput dan padang alang-alang. Ketinggian wilayah di Provinsi Papua

Barat bervariasi dari 0 s.d > 1000 m, dengan sebaran sebagai berikut:

Tabel 3.6

Penyinaran Matahari Rata-Rata di Provinsi Papua Barat Tahun 2003-2006 (%)

Kabupaten/Kota 2003 2004 2005 2006

Kab. Fak-Fak 126,9 115,05 147,37 125,92

Kab. Kaimana 45,83 58,08 53,17

Kab. Teluk Wondama

Kab. Teluk Bintuni

Kab. Manokwari 63,30 59,70 49,00 54,58

Kab. Sorong Selatan

Kab. Sorong 61,00 62,00 68,90

Kab. Raja Ampat 61,00

Kota Sorong 61,00 62,00 68,90 58

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTahun 2007.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kondisi topografi antar wilayah di Provinsi

Papua Barat cukup bervariasi. Kondisi ini merupakan salah satu elemen yang menjadi

barrier transportasi antar wilayah, terutama transportasi darat, serta dasar bagi kebijakan

pemanfaatan lahan.

3-11

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Tabel 3.7

Luas Wilayah Menurut Ketinggian dari Permukaan Laut dan Kabupaten/Kota (Ha)

Kelas ketinggian Wilayah

Pengembangan 0-100m >100-500m >500-1000 >1000m

Jumlah

WP MANOKWARI 1.413.366 1.257.691 377.847 741.196 3.790.100

WP SORONG 2.046.200 1.015.250 288.050 518.900 3.868.400

WP FAK-FAK 1.192.132 328.109 284.301 250.058 2.054.600

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTahun 2007.

3.1.3.2 Kelerengan

Tinjauan atas morfologi wilayah didasarkan pada kondisi kelerengan atau kemiringan.

Sebagian besar wilayah Provinsi Papua Barat memiliki kelas lereng > 40% dengan

bentuk wilayah berupa perbukitan. Kondisi tersebut menjadi kendala utama bagi

pemanfaatan lahan baik untuk pengembangan sarana dan prasarana fisik, sistem

transportasi darat maupun bagi pengembangan budidaya pertanian terutama untuk

tanaman pangan. Sehingga, dominasi pemanfaatan lahan diarahkan pada hutan

konservasi disamping untuk mencegah terjadinya bahaya erosi dan longsor.

Gambar 3.5

Kenampakan Elevasi di Provinsi Papua Barat

3-12

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Tabel 3.8

Luas Wilayah Menurut Kelas Lereng/Kemiringan dan Wilayah Pengembangan

Kelas lereng Wilayah

Pengembangan 0-15% >15-40% >40%

Jumlah

WP MANOKWARI 984.998 19.700 448.502 1.453.200

WP SORONG 105.310 158.582 49.108 313.000

WP FAK-FAK 1.434.636 57.500 2.297.964 3.790.100

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTh 2007

3.1.4 Kondisi Geologi

3.1.4.1 Evolusi Tektonik Pulau Papua

Pembentukan Pulau Papua atau Pulau New Guinea telah didiskusikan oleh berbagai ahli

dan diringkas oleh Petocz (1984). Konsep lempeng tektonik yang telah diterima umum

mengganggap, bahwa kerak bumi terbagi dalam tujuh lempeng sangat besar dan

sejumlah lempeng lithosfer kecil lainnya. Setiap lempeng terdiri atas bagian kerak benua

(kontinental) dan kerak samudera (oseanik), yang kesemuanya bergerak relatif terhadap

sesamanya. Bagian Selatan Pulau Papua merupakan tepi Utara dari benua super kuno,

Gondwanaland, yang juga termasuk di dalamnya adalah Antartika, Australia, India,

Amerika Selatan, Selandia Baru dan Kaledonia Baru. Awal terpisahkan benua ini dari

posisi Selatannya terjadi pada masa Kretasius Tengah (kurang lebih 100 juta tahun lalu).

Lempeng Benua India-Australia (atau biasa disebut Lempeng Australia) bergerak ke arah

Utara keluar dari posisi kutubnya dan bertubrukkan dengan Lempeng Samudra Pasifik

yang bergerak ke arah Barat. Pulau Papua merupakan produk pertumbuhan benua yang

dihasilkan dari tubrukan kedua lempeng tersebut, di mana lempeng Pasifik mengalami

subduksi atau tertindih di bawah lempeng Australia. Pada saat dimulainya gerakan ke

Utara dan rotasi dari benua super ini, seluruh Papua dan Australia bagian Utara berada

di bawah permukaan laut. Bagian daratan paling Utara pada Lempeng India-Australia

antara 90-100 juta tahun lalu berada pada 480 Lintang Selatan yang merupakan titik

pertemuan Lempeng India-Australia dan Pasifik. Ketika Lempeng India-Australia dan

Lempeng Pasifik bertemu di sekitar 40 juta tahun lalu, Pulau Papua mulai muncul di

permukaan laut pada sekitar 350 Lintang Selatan. Proses ini berlanjut selama masa

Pleistosen hingga Pulau Papua terbentuk seperti di saat ini.

Dari evolusi tektonik menunjukkan, bahwa geologi Papua sangat kompleks karena

melibatkan interaksi antara dua lempeng tektonik, yaitu Lempeng Australia dan Lempeng

Pasifik. Menurut Sapiie (2000), pada umumnya geologi Papua dapat dibagi ke dalam tiga

provinsi geologi besar, yaitu Provinsi Kontinental, Oseanik, dan Transisi. Setiap provinsi

geologi memiliki karakteristiknya sendiri dalam sejarah stratigrafik, magmatik dan

tektonik. Provinsi Kontinental terdiri atas sedimen yang terpisah dari kraton Australia.

3-13

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Provinsi Oseanik terdiri atas batuan ofiolit (ophiolite rock) dan kompleks volkanik busur-

kepulauan (island-arc volcanics complex) sebagai bagian dari lempeng Pasifik. Provinsi

Transisi adalah suatu zona yang terdiri atas deformasi tinggi dan batuan metamorfik

regional sebagai produk dari interaksi antara kedua lempeng.

Menurut Dow et al. (2005), ciri dominan dari perkembangan geologi Papua merupakan

dikotomi antara sejarah tektonik dari batuan mantap kraton Australia dan Lempeng

Pasifik di satu sisi, dan periode tektonik intens dari zona deformasi di sisi lainnya (New

Guinea Mobile Belt). Dari paparan di sepanjang tepi Utara dan dari eksplorasi permukaan

bawah (sub-surface) di sebelah Selatan, serta pencatatan lengkap sejarah geologi

hingga saat ini menunjukkan, bahwa batuan dari kraton Australia pada sebagian besar

wilayah ini dicirikan oleh sedimentasi palung (shelf sedimentation). Hanya sebagian kecil

yang dipengaruhi oleh proses tektonik dari zaman Paleozoik Awal hingga Tersier Akhir.

Batuan Lempeng Pasifik yang terpaparkan di Papua berumur lebih muda. Terlepas dari

batuan mantel sesar naik yang kemungkinan berumur Mesozoik dan beberapa kerak

Samudera Jurasik, Lempeng Pasifik ini terdiri atas volkanik busur kepulauan dan sub-

ordinat kerak samudera berumur Palaeogen. Batuan lempeng Pasifik pada umumnya

letak datar terpatah hanya oleh beberapa patahan.

3-14

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Gambar 3.6

Setting Tektonik Papua

Setting Tektonik Papua. MTFB = Mamberamo Thrust & Fold Belt; WO = Weyland Overthrust; WT =

Waipona Trough; TAFZ = Tarera-Aiduna Fault Zone; RFZ = Ransiki Fault Zone; LFB = Lengguru

Fault Belt; SFZ = Sorong Fault Zone; YFZ = Yapen Fault Zone; MO = Misool-Onin High. Tanda

panah menunjukkan gerakan relatif antara Lempeng Pasifik dan Australia.

Zona deformasi yang berada di sebelah Timur adalah bagian dari New Guinea Mobile

Belt (Sabuk Mobil New Guinea) dan merupakan campuran dari batuan kraton Australia

dan Lempeng Pasifik. Walaupun pencatatannya terpisah-pisah, terdapat bukti bahwa

batuannya berasal dari tektonik utama pada episode Paleozoik Pertengahan dan

Oligosen maupun episode beku dalam Paleozoik Pertengahan, Triasik, Kretasius, dan

Miosen Pertengahan. Akan tetapi, sebaran paling luas dari aktivitas tektonik dan volkanik

dimulai pada Miosen Akhir dan berlanjut hingga sekarang; ini disebut Melanesian

Orogeny (Dow and Sukamto, 1984).

3-15

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Wilayah Papua Barat sangat berpotensi terhadap gempa tektonik dan kemungkinan

diikuti oleh tsunami. Terdapat sejumlah lipatan dan sesar naik sebagai akibat dari

interaksi (tubrukan) antara kedua lempeng tektonik, seperti Sesar Sorong (SFZ), Sesar

Ransiki (RFZ), Sesar Lungguru (LFZ) dan Sesar Tarera-Aiduna (TAFZ). Kenyataan

menunjukkan pula, bahwa pada tahun 2004 telah terjadi beberapa kali gempa.

3.1.4.2 Stratigrafi

Dari berbagai publikasi yang dikompilasi Sapiie (2000), menunjukkan bahwa stratigrafi

wilayah Papua Barat terdiri atas: (1). Paleozoic Basement; (2). Sedimentasi Mesozoik

hingga Senosoik; (3). Sedimentasi Senosoil Akhir; (4). Stratigrafi Lempeng Pasifik; dan

(5). Stratigrafi Zone Transisi.

Gambar 3.7

Stratigrafi Pulau Papua (Sapiie, 2000)

1. Paleozoic Basement

Blok terluas dari strata Paleozoik berada di Timur Laut Papua Barat yang dikenal

dengan Kemum High atau formasi Kemoem yang terdiri atas sabak, (slate), filitik

(phylliic) dan sedikit kuartzit (quartzite). Formasi ini tercampur oleh granit-biotit

karboniferus (Melaiurna Granite). Formasi Kemoem ditutupi oleh kelompok Aifam.

Kelompok Aifam digunakan untuk mendeskripsikan batuan sedimen paparan air-

dangkal. Formasi ini diketahui berada di tepi Utara Papua Barat dan terdiri atas tiga

formasi, yaitu formasi Aimau, batu lumpur Aifat dan formasi Ainim. Di daerah Papua

Barat, kelompok ini tidak mengalami metamofosa, namun di Leher Burung terjadi

3-16

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

deformasi kuat dan termetamorfosa. Di daerah Teluk Bintuni, formasi Tipuma ditutupi

oleh kelompok Aifam.

2. Sedimentasi Mesizoik hingga Senosoik

a. Formasi Tipuma

Formasi Tipuma tersebar luas di Papua, mulai dari Papua Barat hingga dekat

perbatasan di sebelah Timur. Formasi ini dicirikan oleh batuan berwarna merah

terang dengan sedikit bercak hijau muda.

b. Formasi Kelompok Kembelangan

Kelompok ini diketahui terbentang mulai dari Papua Barat hingga Arafura

Platform. Bagian atas dari kelompok ini disebut formasi Jass. Kelompok

Kembelangan terdiri atas antar lapis batu debu dan batu lumpur karboniferus

pada lapisan bawah batu pasir kuarsa glaukonitik butiran-halus serta sedikit

shale pada lapisan atas. Kelompok ini berhubungan dengan formasi Waripi dari

kelompok Batuan Gamping New Guinea atau New Guinea Limestone Group

(NGLG).

c. Formasi Batu Gamping New Guinea

Selama masa Cenozoik, kurang lebih pada batas Cretaceous dan Cenozoik,

Pulau New Guinea dicirikan oleh pengendapan (deposisi) karbonat yang dikenal

sebagai Kelompok Batu Gamping New Guinea (NGLG). Kelompok ini berada di

atas Kelompok Kembelangan dan terdiri atas empat formasi, yaitu (1). Formasi

Waripi Paleosen hingga Eosen; (2). Formasi Fumai Eosen; (3) Formasi Sirga

Eosin Awal; (3). Formasi Imskin; dan (4). Formasi Kais Miosen Pertengahan

hingga Oligosen.

3. Sedimentasi Senosoik Akhir

Sedimentasi Senosoik Akhir dalam basement kontinental Australia dicirikan oleh

sekuensi silisiklastik yang tebalnya berkilometer, berada di atas strata karbonat

Miosen Pertengahan. Di Papua dikenal 3 (tiga) formasi utama, dua di antaranya

dijumpai di Papua Barat, yaitu formasi Klasaman dan Steenkool. Formasi Klasaman

dan Steenkool berturut-turut dijumpai di Cekungan Salawati dan Bintuni.

4. Stratigrafi Lempeng Pasifik

Pada umumnya batuan Lempeng Pasifik terdiri atas batuan asal penutup (mantle

derived rock), volkanis pulau-arc (island-arc volcanis) dan sedimen laut-dangkal. Di

Papua, batuan asal penutup banyak dijumpai luas sepanjang sabuk Ophiolite Papua,

Pegunungan Cycloop, Pulau Waigeo, Utara Pegunungan Gauttier dan sepanjang

3-17

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

zona sesar Sorong dan Yapen pada umumnya terbentuk oleh batuan ultramafik,

plutonil basik, dan mutu-tinggi metamorfik. Sedimen dalam Lempeng Pasifik dicirikan

pula oleh karbonat laut-dangkal yang berasal dari pulau-arc. Satuan ini disebut

Formasi Hollandia dan tersebar luas di Waigeo, Biak, Pulau Yapen dan Pegunungan

Cycloop. Umur kelompok ini berkisar dari Miosen Awal hingga Pliosen.

5. Stratigrafi Zone Transisi

Konvergensi antara lempeng Australia dan Pasifik menghasilkan batuan dalam zona

deformasi. Kelompok batuan ini diklasifikasikan sebagai zona transisi atau peralihan,

yang terutama terdiri atas batuan metamorfik. Batuan metamorfik ini membentuk

sabuk kontinyu (>1000 km) dari Papua hingga Papua New Guinea.

Wilayah Papua secara umum terdiri dari dua dataran yaitu “Dataran Grime” dan “Dataran

Sekoli”. Kedua dataran ini menyatu sebagai suatu dataran luas yang membujur ke arah

Barat Daya Danau Sentani. Dataran ini memanjang dari Timur ke arah Barat dengan

lebar bentangan yang hampir sama. Di ujung sebelah Barat, dataran ini membentuk

daerah rawa hingga ke arah pantai.

Wentholt (1939), membagi Dataran Grime ke dalam 6 teras utama. Teras pertama

dimulai dari dataran terendah dan termuda. Daerah teras ini melandai ke arah Barat Laut

dan kemudian ke arah Utara. Di sebelah Tenggara teras terendah ini berakhir dan

berlanjut dengan teras ke-2 yang berada kurang lebih 10 m lebih tinggi. Juga di sini

bentang lahannya tampak seluruhnya datar. Teras ke-3 dan ke-4 menempati sisa

dataran di sebelah Barat Kampung Janim Besar. Teras-teras ini berumur tua dan berada

lebih tinggi serta tampak datar, kedua teras ini melandai ke arah Utara hingga ke arah

Barat Laut, berbatasan dengan teras ke-4, di sebelah Timur Sungai Grime terletak teras

ke-5. Teras ke-5 ini mencakup dari arah Timur hingga arah garis Utara-Selatan melandai

ke arah Utara, dan bergelombang lemah. Teras ke-6, merupakan daerah tertinggi dan

tertua yang mengakhiri teras ke-4 dan ke-5 di sebelah Selatan.

Di batas Utara dari teras ke-5, terdapat Dataran Sekori yang besar. Di Dataran Sekori ini

juga terbentuk teras, namun tidak jelas perkembangannya. Menurut Schroo (1963),

Dataran Grime dan Dataran Sekori merupakan lembah sedimentasi peninggalan zaman

tersier yang terdiri atas sedimen laut (marin) dan kemudian oleh bahan fluviatil. Wentholt

(1939), menyatakan bahwa dataran ini terbentuk pada zaman kwarter. Lebih lanjut

Schroo (1961), menyatakan bahwa adanya ketinggian (elevasi) yang berselang-seling di

seluruh daerah tersebut menyebabkan sungai-sungai memotong sedimen ini. Selama

periode ini dataran banjir terbentuk pada berbagai tingkat, dimana sisa-sisa daripadanya

3-18

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

masih ditemukan sekarang dalam bentuk teras-teras yang luas sebagaimana dijelaskan

sebelumnya.

Zwierzichi (1921) dalam Schroo (1963), menunjukkan bahwa tanah di Dataran Grime dan

Dataran Sekori berasal dari hancuran batuan fluviatil sedimen kwarterner, terumbu koral

terangkat pleistosin, dan sedimen marin neogen. Menurut Wentholt (1939), seluruh lahan

yang berada di sebelah Barat Yanim Besar (Braso) dibentuk oleh Sungai Grime dan

cabang-cabang sungainya, kecuali daerah yang paling Barat oleh Sungai Sarmoai.

Kedua sungai tersebut membawa bahan-bahan yang sama. Sumbangan cabang-cabang

sungai yang berasal dari pinggiran pegunungan Utara relatif kecil, namun setempat-

setempat saja. Lahan yang berada di sebelah Timur Yanim Besar seluruhnya terbentuk

dari material yang berasal dari pinggiran Utara daerah pegunungan Selatan.

Berdasarkan stratigrafi ini dapat disimpulkan bahwa wilayah Papua Barat terdiri dari

empat ragam formasi batuan utama yaitu batu gamping atau dolomit, batuan beku atau

malihan, batuan sedimen lepas (kerikil, pasir lanau), dan batuan sedimen padu (tak

terbedakan). Hal ini dapat dipahami karena secara regional, wilayah Papua Barat terdiri

dari dua lempeng, yaitu Lempeng Benua Australia di bagian Selatan dan Lempeng

Samudera Pasifik di bagian Utara. Sedangkan diantara kedua lempeng adalah Lajur

Sesar Anjak dan Lipatan Pegunungan Tengah atau “New Guinea Mobile Belt” (Dow,

1977). Lempeng Benua Australia tersusun oleh batuan sedimen klastik, yang berumur

Mesozoikum yang disebut sebagai Kelompok Kembelangan; Batu Gamping yang

berumur eosin-Miosen Tengah, yang disebut sebagai Kelompok Batu Gamping New

Guinea; dan Batuan Sedimen Klastik Plio-plistosen.

Lempeng Samudera Pasifik terdiri dari batuan ultramafik dan batuan busur gunung api

Paleogen, sedangkan di Pegunungan Tengah terdiri dari beberapa batuan, yaitu: 1) di

bagian Selatan terdiri dari batuan sedimen yang berumur Mesozoikum sampai tersier

yang tersesarkan dan terlipatkan; dan 2) di bagian Utara terdiri dari Batuan Malihan

Darewo yang berumur Oligosen (Dow, 1977), Batuan Ultrabasa disebut sebagai ofiolit,

yang berumur Mesozoikum (Dow drr.,1984).

Tektonik Papua Barat diawali pada Permo-Trias, yang disebut sebagai Orogenesa

Tasman. Pada saat itu Papua-Papua New Guinea mulai melepaskan diri dari Benua

Australia, bergerak ke arah Utara, kemudian berbenturan dengan Lempeng Samudera

Pasifik pada Orogenesa Melanisia yang mengakibatkan sesar anjak miring ke Utara dan

terbentuknya Pegunungan Tengah, sedangkan pada Plistosin terjadi pensesaran anjak

miring ke Selatan di bagian Utara.

3-19

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

3.1.5 Karakteristik Tanah

Pada umumnya, tanah bertekstur berat, yaitu berkisar dari lempung liat berdebu hingga

liat berdebu. Kadar liat yang tinggi dapat menyebabkan akar tanaman sulit berkembang.

Selain itu, berdampak pula terhadap rendahnya kapasitas infiltrasi (perembesan) tanah

sehingga menyebabkan penggenangan air di permukaan tanah terutama di musim

penghujan. Hal ini sudah barang tentu akan mengganggu pertumbuhan tanaman.

Jenis Tanah

Pada umumnya terdapat lima faktor yang mempengaruhi pembentuan tanah, yaitu faktor

Iklim, relief atau topografi, organisme atau vegetasi, bahan induk, dan waktu. Pengaruh

secara simultan dari kelima faktor pembentukan tanah tersebut menghasilkan jenis-jenis

tanah dan penyebarannya, seperti terlihat pada Peta 2.3 (Petocz, 1984) Terdapat tujuh

Satuan Peta Tanah (SPT) yang dimodifikasikan Petocz (1984) dari Brookfield dan Hart

(1971).

1. Litosol dan Regosol (Entisol)

Asosiasi jenis tanah ini dijumpai di daerah pegunungan tinggi yang kasar

topografinya (2000-4500 mdpl) pada kordirela Tengah (pegunungan tengah) dan

Kepala Burung hingga Leher Burung sebelah Utara. Profil tanah pada umumnya

dangkal karena ketidakstabilan lereng, walaupun dijumpai pula tanah-tanah bersolum

dalam yang relatif stabil dan berdrainase baik pada puncak-puncak bukit dan lereng

bagian atas. Tanah Regosol biasanya mengandung liat dan fragmen batuan lapuk,

terutama pada lereng tidak stabil, sedangkan tanah Litosol berada pada lereng-

lereng batuan terjal. Berdasarkan klasifikasi tanah dari Pusat Penelitian Tanah Bogor

(PPT)(1978/1982) dan FAO/UNESCO (1974), kedua tanah ini diklasifikasikan

sebagai Litosol, sedangkan menurut sistem klasifikasi USDA Soil Taxonomy

(1975/1998), Litosol dan Regosol sepadan dengan Entisol (Lithic Subgroup).

2. Tanah Podzolik (Ultisol)

Jenis tanah ini berkembang dari bahan induk masam di lereng pegunungan pada

elevasi tinggi. Tanah ini dijumpai sedikit di wilayah pegunungan Kepala Burung dan

terutama di Selatan Kordirela (Pegunungan Tengah). Sedangkan jenis tanah

Podzolik dataran rendah, pada umumnya adalah hidro-podzolik yang berkembang

pada kondisi drainase buruk pada dataran dan kipas aluvial Pleistosen. Jenis tanah

ini dijumpai di Jazirah Bomberai, Selatan Kepala Burung dan di Utara depresi Meer

Vlakte (Lakes-Plain). Tanah ini biasanya berasosiasi dengan tanah Podzol

(Spodosol) yang dicirikan oleh horison spodik. Horison permukaan mengalami

pelindian hebat yang menghasilkan horison pencucian yang miskin hara dan (Petocz,

1984) berpasir, sedangkan horison penimbunan kaya akan besi dan humus yang

3-20

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

disebut horison spodik. Menurut klasifikasi PPT (1978/1982) Podzolik sepadan

dengan Podsolik atau Kambisol (Podsolik Coklat), sedangkan menurut

FAO/UNESCO (1974), sama dengan Podsolik. Berdasarkan klasifikasi USDA Soil

Taxonomy (19975/1998), tanah Podzolik sepadan dengan Ultisol.

3. Tanah Brown Forest (Inceptisol)

Tanah ini berada pada perbukitan dan lereng pegunungan rendah pada sabuk Utara

Papua dari bahan induk basik dan batuan kalkareus (kapur) dengan curah hujan

sedang. Di Papua Barat, tanah ini dijumpai di Pegunungan Wondiwoi, Arfak dan

Tamrau. Pada altitut tinggi dimana curah hujannya tinggi, tanah ini menjadi

meningkat kemasamannya. Sering pula dijumpai berasosiasi dengan Regosol.

Menurut klasifikasi PPT (1978/1982) dan FAO/UNESCO (1974), tanah Brown Forest

sama dengan Kambisol, sedangkan menurut Soil Taxonomy (19975/1998), sepadan

dengan Inceptisol.

4. Latosol (Ultisol) dan Lateritik (Oksisol)

Latosol adalah tanah yang mengalami pelapukan sangat tinggi, terutama di daerah

dengan ketinggian rendah dimana dijumpai pula berasosiasi kelompok Lateritik.

Lateritik berkembang pada kondisi yang sama dengan Latosol, namun dengan

pengaruh hidromorfik karena berasosiasi dengan fluktuasi permukaan air tanah.

Selain dijumpai luas di daerah Selatan Papua, Latosol juga dijumpai tersebar di

Selatan Kepala Burung hingga ke Leher Burung sebelah Utara dan Selatan serta di

Kepulauan Raja Ampat. Latosol sepadan dengan Kambisol, Latosol, Lateritik (PPT,

1978/1982), Cambisol, Nitosol, Ferrasol (UNESCO, 1974) dan Iceptisol, Ultisol,

oxisol (USDA Soil Taxonomy, 1975/1998).

5. Rendzina (Molisol)

Pembentukan tanah ini dikendalikan kuat oleh bahan induk. Rendzina berbatu

dangkal terdapat pada perbukitan batu gamping dan di sepanjang daerah pantai

pada platform koral terangkat yang umumnya bercirikan karst. Tanah ini berkembang

baik pada perbukitan antara Teluk Etna dan Arguni, Pegunungan Kumawa dan Arfak

dan di Barat Daya Pegunungan Tamrau. Rendzina dijumpai pula pada terumbu koral

terangkat barusan muda. Rendzina dicirikan oleh horison permukaan lembab coklat

tua, berada di atas bahan berpasir coklat kelabu tua yang berangsur ke dalam bahan

koral. Rendzina sepadan dengan Rendzina (PPT, 1978/1982), Rendzina (UNESCO,

1974) dan Rendoll (USDA Soil Taxonomy, 1975/1998).

3-21

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

6. Aluvial dan Gambut

Pada umumnya jenis tanah ini dijumpai pada semua ketinggian, baik di daerah kering

maupun basah. Di daerah kering, dengan tekstur tanahnya kasar dan berdrainase

baik dijumpai di dataran landai, dataran banjir mapan, dan kipas aluvial, sedangkan,

di daerah basah dengan drainase jelek dijumpai di dataran banjir atau rawa dari

aluvium atau gambut. Tanah dengan tekstur halus dan gleisasi kuat akibat drainase

jelek selama musim hujan cenderung bereaksi sangat alkalin, berada di dekat pantai

dan sungai yang dipengaruhi pasang surut, namun semakin menjauhi pantai semakin

meningkat kemasaman tanahnya. Tanah gambut dataran rendah dijumpai luas di

Utara dan Selatan Teluk Bintuni, serta gambut pegunungan dalam luasan yang kecil

berada di sekitar Danau Anggi Gita dan Anggi Giji. Tanah Aluvial sepadan dengan

tanah Aluvial (PPT, 1978/1982), Fluvisol (UNESCO,1974) dan Entisol, Inseptisol

(USDA Soil Taxonomy, 1975/1998). Tanah gambut menurut USDA Soil Taxonomy

(1975/1998), sepadan dengan Histosol.

7. Tanah Salin

Tanah salin atau tanah garaman (salty soils) biasanya bertekstur halus, berdrainase

jelek karena dipengaruhi pasang surutnya air laut, serta bahan liat marin termasuk di

dalamnya. Vegetasi khas dari tanah ini adalah mangrove dan nipah. Tanah salin

berkembang baik di sepanjang Pantai Selatan mulai dari Pulau Kimaam hingga Teluk

Etna dan di Selatan Kepala Burung dan Teluk Bintuni. Tanah ini menunjang

pertumbuhan habitat mangrove terluas di Indonesia. Tanah Saline menurut USDA

Soil Taxonomy (1975/1998), sepadan dengan Entisol (Sulfaquent) dan Inseptisol

(sulfaquept).

Persebaran jenis-jenis tanah di Provinsi Papua Barat dapat dilihat di bawah ini:

A. Tekstur Tanah

Pada umumnya, tanah bertekstur berat, yaitu berkisar dari lempung liat berdebu hingga

liat berdebu. Kadar liat yang tinggi dapat menyebabkan akar tanaman sulit berkembang.

Selain itu, berdampak pula terhadap rendahnya kapasitas infiltrasi (perembesan) tanah

sehingga menyebabkan penggenangan air di permukaan tanah terutama di musim

penghujanan. Hal ini sudah barang tentu akan mengganggu pertumbuhan tanaman.

Untuk tujuan penanaman kakao, maka drainase permukaan maupun drainase internal

sangat perlu diperhatikan, jika ingin memperoleh pertumbuhan dan produksi kakao yang

baik. Untuk menanggulangi drainase yang jelek, maka perlu dibuatkan selokan-selokan

drainase berukuran kecil hingga sedang serta cukup dalam agar kelebihan air dapat

dikeluarkan, sehingga tanahnya selalu dalam keadaan kering (lembab) dan tidak jenuh

3-22

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

air. Selain itu, agar pertumbuhan akar tanaman kakao tidak terhalang oleh lapisan liat

yang kompak, maka perlu digali lubang tanaman yang cukup besar dan dalam.

#

# #

#

#

#

#

#

00

22

44

134

134

132

132

130

130

Petocz (1984) dari Brookfield dan Hart (1971)

Sumber:KAIMANA

FAK-FAK

TELUK WONDAMA

TELUK BINTUNI

RAJA AMPAT

SORONG SELATAN

SORONG

MANOKWARI

Fak-Fak

Rasiei

Kaimana Kota

Teminabuan

Bintuni

Waisai

SorongManokwari

30 0 30 60

Kilometer

N

(1 : 2.200.000)

batas kabupaten

# Ibukota kabupaten

Jenis-jenis tanah

KETERANGAN

Aluvial dan Gambut

Brown Forest (Inceptisol)

Latosol (Ultisol) dan Lateritik (Oksisol)

Litosol dan Regosol (Entisol)

Podzolik (Ultisol)

Rendzina (Molisol)

Tanah Salin

PETAJENIS - JENIS TANAH

DI PROPINSI PAPUA BARAT

Laboratorium GIS Tanah FapertekUniversitas Negeri Papua

Gambar 3.8

Jenis-Jenis Tanah dan Penyebarannya

B. Reaksi Tanah

Pada umumnya, tanah bereaksi alkali hingga sangat alkali dengan kisaran pH rata-rata

7,0-7,8. Semakin dalam tanahnya semakin tinggi reaksi tanah, bahkan tidak jarang

mencapai pH=8,0 atau lebih. Tingginya pH tanah ini disebabkan karena tingginya kadar

kalsium tanah (kapur) yang terbawa bersama bahan endapan sungai yang berasal dari

pegunungan dan perbukitan kapur di sekitarnya. Reaksi tanah demikian menyebabkan

sebagian besar unsur-unsur hara makro (N, P, K) dan mikro (Fe, Zn, Mn, B, Cu) berada

dalam keadaan tidak tersedia bagi tanaman. Apabila reaksi tanah mencapai pH=8,0 atau

lebih akan menyebabkan tanaman sulit menyerap fosfat dan unsur-unsur mikro.

Pada saat penelitian dijumpai pertanaman kacang tanah milik masyarakat di Kampung

Pobaim yang menunjukkan gejala kekuningan pada daun-daun muda. Gejala kekuningan

ini diduga kuat karena kahat akan beberapa unsur mikro. Gejala klorosis ini diistilahkan

sebagai “Klorosis Terimbaskan Kapur” (Lime Induced-Chlorosis), suatu gejala kekahatan

hara yang biasanya muncul di tanah-tanah berkapur.

3-23

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

C. Kation-Kation Tersedia

Kation tersedia yang diukur adalah Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Kalium (K). Kadar

Ca dan Mg tersedia pada umumnya sedang hingga sangat tinggi. Hal ini mengisyaratkan

bahwa kebutuhan tanaman akan Ca dan Mg cukup memadai sehingga tidak perlu diberi

pupuk dengan kedua unsur tersebut. Pada kadar Ca yang sangat tinggi seperti dijumpai

di beberapa tempat justru mengganggu pertumbuhan tanaman. Sebaliknya, K tersedia

tergolong rendah hingga sangat rendah sehingga pemupukan K sangat diperlukan agar

mendapatkan produksi tanaman yang baik. Dalam hal tanaman tahunan seperti kakao,

maka pemupukan kalium setidaknya dilakukan setiap tahun. Hasil analisis mineral tanah

juga mencerminkan rendahnya kadar K tanah. Mineral tanah penyumbang kalium dari

jenis kalium-veldspat yang telah hancur menunjukkan status kalium tanah yang jelek.

D. Fosfor Tanah

Kadar fosfat tersedia tergolong agak tinggi hingga sangat tinggi. Hampir semua contoh

tanah menunjukkan adanya mineral primer apatit penyumbang fosfat yang tergolong

sporadis (<1%) hingga beberapa persen saja. Dari pengalaman membuktikan bahwa

walaupun jumlahnya sangat sedikit atau sporadis (<1%), nilai fosfat tersedia biasanya

tinggi. Dengan demikian unsur hara fosfor dianggap cukup bagi kebutuhan tanaman,

sehingga pemupukan P tidak diperlukan selama beberapa waktu tanam.

E. Fosfat dan Kalium Total

Kadar fosfat dan kalium total mencerminkan cadangan hara tersebut dalam tanah. Pada

umumnya, kadar fosfat total berkisar dari sedang hingga tinggi sehingga tidak

mengkhawatirkan. Tampaknya kandungan fosfat total dan fosfat tersedia berkorelasi

positif sehingga memperkuat dugaan bahwa kadar fosfat cukup bagi kebutuhan tanaman.

Kadar kalium total berkisar dari agak rendah hingga sedang. Ini berarti bahwa cadangan

kalium tanah tidak memadai bagi suatu usaha pertanian, sehingga diperlukan

pemupukan untuk mempertahankan kadar kalium tanah.

F. Bahan Organik Tanah

Kadar karbon (C) organik tanah mencerminkan kadar bahan organik tanah. Bahan

organik sangat penting karena berpengaruh terhadap perbaikan sifat fisika dan kimia

tanah. Bahan organik membantu granulasi dan penstabilan agregat tanah sehingga

memperbaiki retensi air tanah, meningkatkan laju infiltrasi dan kapasitas memegang air.

Selain itu, bahan organik meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK), yang berarti pula

meningkatkan kemampuan menyerap kation unsur hara makro dan mikro sebagai

sumber hara. Tidak kalah pentingnya adalah dengan adanya bahan organik akan sangat

berdaya terhadap biologi tanah.

3-24

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Pada umumnya kadar C organik tanah tergolong rendah. Hal ini mengisyaratkan bahwa

peningkatan dan perlindungan bahan organik tanah sangat penting dilakukan. Untuk

menanggulangi kekurangan bahan organik dapat dilakukan dengan pemberian pupuk

kandang, kompos, dan menanam penutup tanah (seperti pueraria javanica atau

calopogonium mucunoides) terutama pada pertanaman kakao.

3.1.6 Hidrologi

Wilayah Provinsi Papua Barat dilewati beberapa sungai yang tersebar di beberapa

wilayah kabupaten/kota. Dari sungai besar di Papua Barat sebagian besar mengalir di

Wilayah Pengembangan Sorong. Sungai-sungai tersebut menjadi sebuah sistem daerah

aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun. Potensi sumberdaya sungai terbesar di

Papua Barat disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.9

Nama, Panjang, Lebar, dan Kecepatan Arus Sungai Menurut Kabupaten/Kota

Wilayah Pengembangan

Nama Sungai

Panjang

(Km)

Lebar

(m)

Kecepatan

(Km/jam)

WP

MANOKWARI

Laore 163 80-350 1,26

Beraur 360 60-700 2,95

Kaibus 200 80-2.700 3,06

Kais 184 80-350 1,26

Kamundan 425 140-1200 2,7

Aifat 174 40--250 2,88

Karaora 230 40-1300 2,88

Minika 225 40-2.200 0,9

Remu 17 30-40 0,9

Sebak 267 50-125 2,52

WP

SORONG

Seramuk 229 45-1250 3,06

Umbawa 280 20-25 0,9

Uta 246 50-570 0,9

Warsamsan 320 40-700 1,62

WP

FAK-FAK

Muturi 428 200-800 2,7

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTahun 2007.

Sungai-sungai besar hingga kecil yang berasal dari wilayah pegunungan di bagian

tengah Kepala Burung yang mengalir ke arah dataran rendah (berawa) dan bermuara di

Teluk Bintuni. Selain itu, terdapat pula sejumlah sungai yang mengalir ke arah Selatan

dan bermuara di Pantai Selatan dan Pantai Utara. Beberapa sungai besar yang

bermuara di Teluk Bintuni adalah Sungai Arandai, Wiryagar, Kalitami, Seganoi, Kais,

3-25

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Kamundan, Teminabuan, Sermuk, Maambar, Woronggei dan Sanindar. Selain sungai

juga dijumpai danau di daerah pegunungan, yaitu Danau Anggi Giji dan Anggi Gita serta

Danau Ayamaru.

Di Provinsi Papua Barat terdapat beberapa sungai yang membentuk beberapa Daerah

Aliran Sungai (DAS). Sebagian besar Daerah Aliran Sungai yang terbentuk adalah pada

kabupaten-kabupaten di Wilayah Pengembangan Sorong. Sungai-sungai yang termasuk

dalam kategori terpanjang adalah Sungai Kamundan (425 km), Sungai Beraur (360 km),

dan Sungai Warsamsan (320 km), sedangkan sungai-sungai yang termasuk kategori

terlebar adalah Sungai Kaibus (80-2700 m), Sungai Minika (40-2200 m), Sungai Karabra

(40-1300 m), Sungai Seramuk (45-1250 m), dan Sungai Kamundan (140-1200 m).

Sungai-sungai ini sebagian besar terletak di kabupaten-kabupaten di Wilayah

Pengembangan Sorong.

Berdasarkan data-data pada tabel di atas, beberapa sungai yang memiliki kecepatan

arus paling deras antara lain adalah Sungai Seramuk (3,06 km/jam), Sungai Kaibus (3,06

km/jam), Sungai Beraur (2,95 km/jam), Sungai Aifat (2,88 km/jam), dan Sungai Karabra

(2,88 km/jam). Sungai-sungai tersebut juga terletak pada Wilayah Pengembangan

Sorong.

3-26

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Gam

bar

3.9

Peta

Hid

rolo

gi

3-27

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

3.1.7 Karakteristik Hidro-Oseanografi

A. Aspek Fisik Perairan

Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari (pasut tunggal atau diurnal tide) atau

dua kali sehari (pasut ganda atau semi diurnal tide), sedangkan pasut yang berperilaku di

antara keduanya disebut sebagai pasut campuran. Kisaran pasang surut (tidal range)

adalah perbedaan tinggi muka air pada saat pasang maksimum dengan tinggi muka air

pada saat surut minimum yang juga dipengaruhi oleh geometrik wilayah yang

bersangkutan. Kisaran pasang surut di perairan Papua mencapai 3-6 meter, dengan tipe

pasut ganda campuran.

Gelombang laut terbentuk karena adanya proses alih energi dari angin ke permukaan

laut, atau pada saat-saat tertentu disebabkan oleh gempa di dasar laut. Gelombang ini

merambat ke segala arah dengan membawa energi yang kemudian dilepaskan ke pantai

dalam bentuk hempasan ombak.

Pengamatan gelombang di perairan Papua relatif masih belum banyak dilakukan. Namun

demikian sesungguhnya terdapat hubungan antara angin musim dan pola gerakan

gelombang. Hasil penelitian Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan

Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tanggal 30 Juni-6 Juli 2005

menunjukkan bahwa tinggi gelombang di wilayah kajian berkisar antara 0,2-1,2 m.

Gelombang yang datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai (nearshore

current) yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi ataupun abrasi di pantai. Pola

arus pantai ini terutama ditentukan oleh besarnya sudut yang dibentuk antara gelombang

yang datang dengan garis pantai. Jika sudut datang cukup besar, maka akan terbentuk

arus menyusur pantai (longshore current) yang disebabkan oleh perbedaan tekanan

hidrostatik. Selain gelombang, pasang surut juga merupakan parameter oseanografi lain

yang penting sebagai pembangkit arus di pantai. Arus yang disebabkan oleh pasut ini

dipengaruhi oleh dasar perairan. Arus pasang surut yang terkuat akan ditemui di dekat

permukaan dan akan menurun kecepatannya semakin mendekati dasar perairan.

Arus adalah gerakan air yang mengakibatkan perpindahan horisontal dan vertikal masa

air oleh perbedaan enerji potensial. Keadaan arus laut umumnya terjadi akibat pengaruh

beberapa gaya yang bersamaan yang terdiri dari arus tetap, arus periodik, (pasut) dan

arus angin. Bishop (1984) menyatakan bahwa gaya yang berperan dalam sirkulasi masa

air adalah gaya gradient tekanan, gaya coriolis, gaya gravitasi, gaya gesekan, dan gaya

3-28

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

sentrifugal. Pola arus perairan Papua menurut P30-LIPI Ambon tahun 1992 bahwa pola

arus dipengaruhi oleh pasang surut, dimana kecepatan arus rata-rata pada waktu pasang

dan surut 7-8 cm/det di daerah pesisirnya, dan waktu pasang 11 cm/det. Keadaan ini

dipengaruhi oleh keadaan rataan dan sedimentasi di pesisir pantai.

Upwelling adalah menaiknya massa air laut dari lapisan bawah permukaan (dari

kedalaman (150-250 m) karena proses fisik perairan. Karena massa air bawah

permukaan pada umumnya lebih kaya zat hara dibandingkan dengan lapisan

permukaannya, maka menaiknya massa air tersebut akan menyuburkan kawasan

permukaannya. Di perairan Papua, upwelling terjadi di Laut Arafura (Wyrtki, 1958). Air

naik di laut tersebut terjadi pada Musim Timur, dimulai sekitar Bulan Mei sampai kira-kira

Bulan September. Karena pada saat tersebut angin Musim Timur mendorong keluar air

permukaan Laut Arafuru dengan laju yang lebih besar daripada yang dapat diimbangi

oleh air permukaan sekitarnya, akibatnya air yang berada di lapisan bawahnya terangkat

naik untuk mengisi kekosongan tersebut. Air yang naik ini bersumber dari kedalaman

sekitar 125-300 m yang menyusup dari Lautan Pasifik. Kecepatan naiknya tampaknya

kecil, diperkirakan 0,0006 cm/detik. Tetapi ini mempunyai arti besar, karena dengan

adanya volume air yang terangkat di daerah ini bisa mencapai 2 juta m3

/detik. Akibat dari

naiknya massa air ini adalah suhu permukaan menjadi lebih rendah, yaitu C lebih rendah

dari Musim Barat, sedangkan salinitas lebih tinggi 1 per mil. Demikian pula kandungan

fosfat dan nitrat masing-masing naik dua kali lipat.

Gambar 3.10

Ketinggian Gelombang Laut

3-29

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

B. Aspek Kimia Perairan

Perairan di Papua sangat dipengaruhi oleh dua musim, yaitu: (a) Musim Barat, dan (b)

Musim Timur. Musim Barat puncaknya terjadi pada Bulan Februari, sedangkan Musim

Timur puncaknya terjadi pada Bulan Agustus. Sifat fisik, kimia, dan biologi perairan pada

kedua musim tersebut penyebaran kisaran nilainya disajikan dalam tabel 2.1. Dari tabel

aspek fisik dan kimia adalah suatu proses yang dinamis dan sangat tergantung pada

musim. Pada saat Musim Barat suhu permukaan laut cenderung lebih panas bila

dibanding dengan pada Musim Timur. Dinginnya suhu permukaan di Musim Timur

tersebut cenderung membuat perairan cenderung lebih subur yaitu dengan adanya

peningkatan fitoplankton dan zooplankton.

Wilayah perairan Selatan Papua merupakan perairan yang memiliki karakteristik massa

air yang agak berbeda dengan perairan wilayah Indonesia lain. Hal ini disebabkan oleh

letak geografis perairan tersebut yang berdekatan dan lebih terbuka dengan Laut Banda,

Laut Timor dan Samudera Hindia. Pada Musim Timur kondisi oseanografis perairan ini

banyak dipengaruhi oleh massa air dari Laut Banda (Wyrtki, 1961; Tchernia, 1980). Hal

ini berpengaruh besar terhadap sebaran klorofil-a dan nutruen serta ikan-ikan pelagis di

wilayah tersebut sehingga perairan ini juga dikenal sebagai salah satu daerah

penangkapan ikan dan udang, terutama ikan-ikan pelagis. Sedangkan kadar oksigen

terlarut (DO) di Perairan Utara dan Selatan berkisar antara 2,12-4.51 ml/l dengan rata-

rata 3.17 ml/l, kandungan konsentrasi fosfat berkisar antara 0.02-3.39 µg-A/l dengan

rata-rata 1.53 µg-A/l. Kadar konsentrasi nitrat berkisar antara 0.19 µg-A/l sampai 40,94

µg-A/ serta kadar konsentrasi silikat yang terukur berkisar antara 0.83 - 91.34 µg-A/l.

Tabel 3.10

Kisaran Nilai Kondisi Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan Papua

No. Parameter Musim Barat

(Februari) Musim Timur

(Agustus)

1 Suhu (o

C) 28,8-30,0 26,0-26,8

2 Salinitas (ppm) 31,0-34,0 30,0-34,0

3 Oksigen (cm3/cm

2) 3,5-4,5 4,0-4,25

4 Fosfat (µm) 0,1-0,5 0,1-0,5

5 Nitrat (µm) 0,5-1,5 1,0-1,5

6 Silikat (µm) 2,5-7,5 2,5-7,5

7 Klorofil a (mg/m3) Gb 0,5-2,0 0,5-2,0

8 Fito Plankton (cell/dm3) 200-1.800 200-3.000

9 Zoo Plankton (cm3/cm

2) 5-10 10-40

10 Larva Krustasea (Jumlah/m2) 500-1.000 500-1.000

Sumber: Netherlands Journal of Sea Research 25 (4): 431-447 (1990), Hasil Interpretasi ETM7,

dan Hasil Analisis.

3-30

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

3.1.8 Ketersediaan Lahan

Ketersediaan tanah atau lahan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Guna Lahan

sebagai suatu rencana dasar memberikan gambaran potensi lahan dan arahan bagi

kawasan yang dapat dikembangkan/dibudidayakan atau karena limitasinya tidak dapat

dikembangkan sama sekali berdasarkan faktor-faktor fisik dasar. Penggunaan lahan

sekarang (eksisting) memberi gambaran sejauh mana jenis dan tingkat pemanfaatan

lahan yang telah dilakukan baik yang bersifat budidaya maupun bukan budidaya.

Ketersediaan tanah pada dasarnya tidak dilepaskan dengan status atau penguasaannya

sekarang. Status tanah sekarang pada dasarnya sangat menentukan mudah dan dapat

tidaknya suatu bidang tanah dikuasai atau dialihkan penguasaannya oleh pihak ketiga

untuk kegiatan tertentu. Dalam hal ini, di wilayah Papua Barat perlu diperhatikan adanya

berbagai jenis status (penguasaan) tanah sebagai berikut:

a. Tanah negara bebas.

b. Tanah negara yang dibebani, di dalamnya termasuk:

• Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan HPHH.

• Hutan Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA).

• Hutan Suaka Alam (HSA).

• Hutan Lindung.

• Hutan Produksi.

• Kontrak Karya.

• Kuasa Pertambangan.

c. Tanah negara yang telah diperuntukkan.

d. Tanah negara yang dikuasai penduduk.

e. Tanah negara yang dikuasai instansi.

f. Hak Milik Adat.

g. Hak Guna Usaha.

h. Hak Pakai.

i. Hak Pengelolaan.

j. Hak Guna Bangunan.

k. Hak Milik.

Permasalahan yang mencolok adalah sering terjadi ketidaksesuaian antara arahan

rencana tata ruang pada suatu lokasi dengan status atau penguasaan tanahnya

sekarang terutama untuk tanah negara yang dibebani, yang pada umumnya mencakup

areal yang sangat luas seperti HPH, konsesi, kuasa pertambangan, kontrak karya.

Misalnya, pada kasus TGHK yang tumpang tindih dengan kuasa pertambangan atau Hak

3-31

RTRW Provinsi Papua Barat

L a p o r a n F a k t a A n a l i s i s

Penguasaan Hutan (HPH). Hal ini dapat menjadi masalah jika dikaitkan dengan fungsi

kawasan yang ingin dipertahankan (misalnya fungsi hidro orologis).