paper kakao uts

Upload: yadauw-wira-buana

Post on 19-Jul-2015

84 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TUGAS PERDAGANGAN INTERNASIONAL Perdagangan Internasional Komoditi Kakao

Oleh: Caecilia Monica Swastika Putri 09/283186/TP/09429

JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

NEGARA PRODUKSI DAN KONSUMSI KAKAO DUNIA

Kakao umumnya dapat tumbuh di Afrika Barat, Amerika Selatan dan Tengah, dan Asia. Negara produsen kakao terbesar dunia adalah Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Nigeria, Brazil, Kamerun, Ecuador dan Malaysia. Negara ini mewakili hampir 90% dari total produksi dunia. Kawasan Amerika Latin dan Karibia memproduksi 80% kakao fine atau flavour. Ekuador memproduksi lebih dari separuh produksi kakao fine atau flavor dunia atau sekitar 60 s/d 70 ribu ton per tahun. Kolumbia, Indonesia, Venezuela dan PNG memproduksi masing-masing sekitar 10 ribu ton. Jamaika, Trinidad dan Tobago, Costa Rica dan Grenada masing-masing memproduksi antara 1 s/d 3 ribu ton per tahun yang juga merupakan penghasil kakao fine atau favour utama di Kawasan Amerika Latin dan Karibia. Pada awal tahun 1970 produksi kakao terbesar berada di Ghana, Nigeria, Pantai Gading dan Brazil. Namun saat ini telah menyebar ke kawasan Pasific dimana negara seperti Indonesia telah menunjukkan tingkat perkembangan produksi yang cukup tinggi. Pada tahun 2008-2011 tiga teratas negara produksi kakao dunia adalah Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia. Walaupun produksi kakao terbesar berasal dari negara berkembang, tetapi konsumen terbesarnya adalah negara industri. Pembeli kakao utama adalah Negara pengolah dan pabrik cokelat. Beberapa perusahaan multi nasional mendominasi baik pengolahan maupun pembuatan cokelat. Jenis kakao utama yang diminati adalah kakao giling. Berikut data negara produksi kakao di dunia yang diperoleh dari ICCO:

Gambar 1. Negara Produksi Kakao Dunia

Untuk negara konsumsi kakao dunia di dominasi oleh negara industri yaitu eropa sebanyak 41,5 % pada tahun 2008/09; 40,6% pada tahun 2009/10; dan 41,2 % pada tahun 2010/11.

Gambar 2. Negara Konsumsi Kakao Dunia

PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR KAKAO DUNIA

Sebagai negara produsen kakao terbesar di dunia, menjadikan Pantai Gading sebagai negara ekaportir kakao terbesar dengan realisasi ekspor sebesar 1,2 juta ton atau setara dengan 21,99% dari total ekspor kakao dunia (rata-rata 2003-2007), yang disusul kemudian oleh Netherlands dengan realisasi ekspor sebesar 703,45 ribu ton (12,89%) dan Ghana sebesar 596,28 ribu ton (10,93%). Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai negara pengekspor kakao terbesar di dunia dengan realisasi ekspor sebesar 459,87 ribu ton (8,43%). Negara berikutnya adalah Nigeria, Kamerun dan Belanda dengan realisasi ekspor masing-masing sebesar 222,57 ribu ton, 139,86 ribu ton dan 122,58 ribu ton. Belanda bukan merupakan negara produsen kakao, namun masuk ke dalam urutan negara pengeskpor terbesar kakao, hal ini mengindikasikan bahwa Belanda melakukan kegiatan re-ekspor untuk komoditas kakao. Negara berikutnya adalah Belgia, Ekuador, Papua Nugini dan Republik Dominika, namun realisasi ekspornya jauh di

bawah negera-negara sebelumnya, yakni masing-masing sebesar 88,60 ribu ton, 64,75 ribu ton, 45,08 ribu ton dan 38,32 ribu.

Gambar 3. Negara pengekspor kakao terbesar dunia (rata-rata 2003 2007)

Seperti telah diulas di atas, ternyata Belanda melakukan kegiatan re-ekspor komoditas kakao. Hal ini jelas terlihat dari realisasi impor kakao Belanda sebesar 776,17 ribu ton (rata-rata 2003-2007) sehingga menempati urutan pertama negara pengimpor kakao terbesar dunia. Negara pengimpor lainnya didominasi oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat di urutan ke-2 dengan realisasi impor sebesar 710,53 ribu ton, Malaysia sebesar 493,59 ribu ton, Jerman sebesar 425,26 ribu ton, Perancis sebesar 365,24 ribu ton, Belgia sebesar 330,52 ribu ton dan Inggris sebesar 218,32 ribu ton. Sedangkan, Federasi Rusian Spanyol dan Kanada, termasuk negara pengimpor kakao berikutnya tetapi tidak terlalu besar yakni masing-masing hanya dibawah 150 ribu.

Gambar 4. Negara importir kakao terbesar dunia, rata-rata 2003 2007

PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KAKAO DUNIA Selama periode tahun 1961 2008, total luas areal kakao dunia relatif berfluktuatif tapi cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 1,43%. Peningkatan luas areal kakao ini merupakan kontribusi peningkatan luas areal di beberapa negara sentra.

Gambar 5. Perkembangan luas areal dan produksi kakao dunia, 1961-2008

Berdasarkan data rata-rata luas areal TM tahun 2004 - 2008, Pantai Gading merupakan negara dengan luas areal kakao terbesar di dunia dengan luas areal mencapai 2,14 juta ha atau berkontribusi sebesar 25,28% dari total luas areal kakao dunia, disusul kemudian oleh Ghana dan Nigeria dengan luas areal TM masing-masing sebesar 1,78 juta ha (21,00%) dan 1,09 juta ha (12,89%). Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai negara dengan luas areal kakao sebesar 1,03 juta ha atau berkontribusi sebesar 12,22%. Negara berikutnya adalah Brazil, Kamerun dan Ekuador dengan luas areal TM kakao masing-masing sebesar 639 ribu ha, 480 ribu ha dan 355 ribu ha. Sementara 3 negara terakhir adalah Republik Dominika, Papua New Guinea dan Togo, dengan realisasi luas areal TM-nya jauh dibandingkan dengan negara sebelumnya, yakni di bawah 150 ribu ha.

Gambar 6. Negara dengan luas areal kakao terbesar di dunia (rata-rata 2004-2008)

Seiring dengan peningkatan luas areal TM maka produksi kakao dunia juga terus mengalami peningkatan dari tahun 1961-2008 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 3,15%. Pada tahun 2008, tingkat produksi kakao dunia lebih dari 4,3 juta ton. Pantai Gading yang memiliki luas areal kakao terbesar di dunia juga sebagai negara produsen kakao terbesar, dengan tingkat produksi rata-rata 2004-2008 mencapai 1,38 juta ton atau berkontribusi sebesar 33,14% dari total produksi kakao dunia. Walaupun Indonesia berada pada posisi ke-4 dari sisi luas areal, namun tingkat produksinya berada pada posisi ke-2 yakni sebesar 717 ribu ton (atau 17,25%). Hal ini disebabkan tingginya tingkat pencapaian produktivitas kakao Indonesia. Negara produsen

kakao terbesar berikutnya adalah Ghana dan Nigeria dengan tingkat produksi masing-masing sebesar 705 ribu ton (16,95%) dan 468 ribu ton (11,24%). Kemudian disusul oleh Brazil dan Kamerun dengan tingkat produksi masing-masing sebesar 205 ribu ton (4,94%) dan 175 ribu ton (4,21%). Negara produsen berikutnya yakni, Ekuador, Togo, Papua New Guinea dan Rep. Dominika, dan mempunyai tingkat produksi jauh di bawah tingkat produksi negara sebelumnya yakni di bawah 100 ribu ton

Gambar 7. Negara produsen kakao terbesar di dunia (rata-rata 2004-2008)

Kondisi iklim dan penggunaan teknologi sangat berpengaruh terhadap pencapaian produktivitas tanaman. Pantai Gading sebagai negara dengan luas areal kakao terbesar di dunia tidak dibarengi dengan pencapaian besaran produktivitas tanaman kakaonya, karena tidak termasuk dalam sepuluh negara dengan produktivitas terbesar di dunia. Demikian pula pencapaian produktivitas negara produsen terbesar kakao lainnya juga relatif rendah, karena negara-negara dengan produktivitas kakao terbesar bukan ditempati oleh negara produsen kakao. Indonesia menempati urutan ke-10 sebagai negara dengan produktivitas kakao terbesar dunia yakni sebesar 0,71 ton/ha

Gambar 8. Negara dengan produktivitas kakao terbesar dunia (rata-rata 2004-2008)

PERKEMBANGAN HARGA PRODUSEN KAKAO DUNIA

Selama periode tahun 1991-2007, perkembangan harga biji kakao kering dunia cukup berfluktuatif namun mempunyai kecenderungan mengalami sedikit peningkatan sebesar 4,24%. Penurunan harga kakao cukup besar terjadi pada tahun 1999 hingga sebesar 15,50% dibandingkan periode tahun sebelumnya.

Gambar 9. Perkembangan harga produsen biji kakao kering dunia, 1991-2007

Harga biji kakao kering sangat bervariasi antar satu negara dengan negara lainnya. Perbedaan harga biji kakao kering ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kualitas, ukuran, kebersihan produk, dll. Pada umumnya, harga biji kakao kering cukup tinggi terjadi bukan di negara sentra produsen kakao. Harga rata-rata kakao di tingkat produsen selama periode tahun 2003 2007 tertinggi terjadi di Trinidad dan Tobago sebesar US$ 3.854,68 per ton, disusul kemudian di Cuba sebesar US$ 3.759 per ton, Suriname sebesar US$ 3.476,77 per ton, Saint Lucia sebesar US$ 2.508,6 per ton, Panama sebesar US$ 2.325,22 per ton, Belize sebesar US$ 2.301,16 per ton, Togo sebesar US$ 2.115,66 per ton, Cameroon sebesar US$ 1.894,28 per ton, Equatorial Guinea sebesar US$ 1.865,66 per ton dan Colombia sebesar US$ 1.705,60 per ton.

Gambar 10. Negara dengan harga produsen kakao terbesar dunia, (rata-rata 2003-2007)

KEBIJAKAN UNI EROPA UNTUK KOMODITI KAKAO A. Akses Pasar

Hambatan Tariff 1. UE menerapkan tarif ekalasi untuk kakao dan produk kakao. Tarif bea masuk untuk

kakao impor ke Uni Eropa tergantung kepada jenis olahannya. Bea masuk tersebut untuk kakao di UE juga diterapkan berdasarkan tarif yang berlaku umum (Most Favour Nations) dan tarif preferensi berdasarkan skema General System of Preferences (GSP). Indonesia merupakan negara penerima fasilitas GSP dari UE. 2. Tarif bea masuk biji kakao atau kakao yang belum diolah adalah sebagai berikut: (a)Tarif

bea masuk (berdasarkan Most Favour Nation/MFN) untuk cocoa beans (HS 1801) dan cocoa shells, husk, skins and other waste telah dibebaskan (0%). (b)Tarif beamasuk (MFN) untuk Cocoa shells, husks, skins and other cocoa waste (HS. 1802) telahdibebaskan (0 %). Tarif bea masuk kakao yang telah diolah bervariasi tergantung padajenis olahannya dan dapat dijelaskan sebagai berikut:Tariff bea masuk (MFN) untuk cocoa paste, wheter or not defatted (HS 1803) sebesar 9,6% dan berdasarkan regulasitahun 2001 nomor 25011 tentang General System of Preference (GSP) negara-negarabeneficiaries dikenakan tariff bea masuk 6,1% atau dikurangi 3,5% dari tarif MFN. 3. Tarif bea masuk (MFN) untuk cocoa butter, fat and oil (HS. 1804) sebesar 7,7% danbagi

negara-negara yang memperoleh fasilitas GSP dikenakan tariff bea masuk sebesar 4,2%. Tariff bea masuk (MFN) untuk cocoa powder, not containing added sugar or other sweetening matter (1805) sebesar 8% dan bagi negara yang memperoleh fasilitasGSP dikenakan tariff bea masuk sebesar 2,8%. Tarif bea masuk (MFN) untuk chocolate and other food preparations containing cocoa baik dalam bentuk cocoapowder, containing added sugar or other sweetening matter (HS. 180610) sebesar 8,3% dan negara yang memperoleh fasilitas GSP sebesar 4,8%. Tarif bea masuk (MFN)untuk chocolate and other food preparations containing cocoa (HS. 1806) sebesar 8,3% dan negara yang memperoleh fasilitas GSP sebesar 4,8%. 4. Di samping perlakuan tariff berdasarkan MFN dan GSP, UE juga memberikanperlakuan

tariff yang berbeda kepada negara-negara yang memiliki perjanjianperdagangan bebas dan negara yang tergabung di dalam African, Carribean, Pacific(ACP) countries. Contoh perlakuan tarif yang berbeda tersebut terlihat dari adanyakerjasama perdagangan bebas (Free Trade Agreement) dengan beberapa negara Eropa seperti Norwegia dan Swiss. Tariff bea masuk untuk kedua negara tersebut adalah nolpersen. 5. UE juga memberikan preferensi tarif melalui skema GSP. Perlakuan istimewa

denganmemberikan pembebasan tariff bea masuk melalui skema Everything But Arms (EBA)kepada negara dikawasan Afrika, Karibia dan Pacifik juga menjadi masalah serius bagiekspor kakao Indonesia. Walaupun biji kakao telah dibebaskan pajak bea masuknya ke 10 UE, namun untuk beberapa produk yang berasal kakao masih dikenakan tariff yang cukup tinggi. Sehingga walaupun produk ini dimasukkan dalam daftar produk yang memperoleh fasilitas GSP yaitu mendapat pengurangan pajak bea masuk 3,5%, tetapi tetap menjadi ganjalan

dalam persaingan dengan negara produsen kakao yangmemperoleh fasilitas melalui skema EBA ataupun melalui FTA.

Hambatan Non Tariff 6. Eksportir kakao yang ingin memasuki pasar UE harus memperhatikan

berbagaipersyaratan ditetapkan oleh mitra dagang dan pemerintah UE. Persyaratan tersebutmeliputi standar mutu yang biasanya juga dikaitkan dengan persyaratan

lingkungan,kesehatan, keamanan, perburuhan dan etika bisnis. Beberapa regulasi yang diterapkanoleh UE walaupun berlaku untuk semua negara, namun dirasakan menjadi hambatanyang serius bila tidak ditangani dengan sungguh-sungguh. 7. Regulasi European Communities (EC) No. 178/2002 mengenai prinsip umum

danpersyaratan pangan. Walaupun bukan merupakan Undang-Undang dan hanyamerupakan regulasi namun biasanya mengikat seluruh negara anggota UE. Sehinggaeksportir negara ketiga harus menyesuaikan persyaratan pangan yang telah ditetapkanoleh UE agar dapat memasuki pasar. 8. Directive 93/43/EEC yang berlaku efektif mulai 1 Januari 1996 yaitu ketentuan

umummengenai higienis. Directive ini mengatur bahwa setiap perusahaan bergerak di bidangmakanan, keamananpangan dalam dan melaksanakan setiap menjamin kegiatannya prosedur harus mematuhi ketentuan pangan yang

dilaksanakannya

keamanan

ditetapkan.Aktivitas perusahaan tersebut harus didasarkan pada sistem Hazard Analysis CriticalControl Point (HACCP). Berdasarkan Directive tersebut, setiap perusahaan

bidangmakanan (pengolah, kemasan, pengangkutan, distributor atau pedagang) di UE secarahukum terikat kepada sistem HACCP atau dengan kata lain seluruh mata rantai baik dari budidaya sampai ketangan konsumen menjadi tanggung jawab dari perusahaanmakanan tersebut. HCCP perlu diketahui oleh eksportir karena importir UE terikatsecara hukum terhadap dampak produk yang dipasarkan di UE. Konsekuensinya,industri makanan UE akan enggan melakukan bisnis dengan perusahaan pengolahanmakanan di negara lain yang tidak melaksanakan ketentuan HACCP. Pelaksanaanketentuan tersebut akan menyebabkan munculnya tambahan biaya, untuk mengikutiketentuan UE disamping terdapatnya resiko penolakan akibat tidak lolosnya darilembaga pengawas.

9.

Council Regulation (EEC) 2029/91 yaitu regulasi UE untuk produksi makanan

organicdan labeling. Regulasi ini mensyaratkan prinsip-prinsip produksi produk organik ditingkat petani, juga mengatur mengenai pengolahan, impor dan pemberian label suatuproduk organik untuk dapat dipasarkan di UE. Disamping itu di dalam regulasi inidipersayaratkan juga langkah-langkah pengawasan. 10. Council Regulation amandemen No. 1804/1999 mengenai ketentuan organik

danmodifikasi genetik mensyaratkan bahwa Genetically Modified Organisms (GMOs) danproduk ikutannya tidak dapat menggunakan label seperti produk organic lainnya.Berdasarkan regulasi ini, maka produk organic yang menggunakan GMOs dan inginmemasuki pasar UE akan diperlakukan berbeda dengan produk organic. 11. Council Regulation (EC) No 1154/98 yang mengatur pemberian insentif khusus produk

industri dan pertanian dari negara ketiga yang masuk ke pasar UE apabila telahmelaksanaan hak asasi manusia dan melakukan perlindungan lingkungan. Kebijakan 11tersebut diatas, meskipun merupakan kebijakan diluar perdagangan namun terkaitdengan perdagangan atau biasa disebut Trade Related Measures juga sering menjadihambatan ekspor ke pasar UE. Kebijakan tersebut antara lain berkaitan dengan isulingkungan dan sosial. Isu lingkungan dan sosial ini memainkan peran penting dalamkeberhasilan penetrasi pasar ke UE. Disamping pemerintah UE, pihak lain sepertiperhimpunan konsumen juga memberikan perhatian serius untuk masalah ini. Beberapaperhimpunan konsumen di UE yang memberikan perhatian serius atas

masalahllingkungan dan sosial antara lain Skandinavia, Jerman, Belanda dan Inggris. 12. Regulation (EC) No 850/2004 mengatur larangan memproduksi atau memasukkan

ataumenggunakan produk terkait dengan persistent organic pollutants ke pasar UE.berdasarkan ketentuan ini maka produk organic yang masuk ke UE akan mendapatpengawasan dari lembaga terkait di UE. Kebijakan ini dapat karena sesuai denganketentuan perdagangan dunia yang memperbolehkan suatu negara menerapkan laranganimpor bila produk yang akan masuk tersebut dapat mengancam kehidupan di negaratersebut. 13. Directive 94/62/EC mengatur Limbah Kemasan. Dalam upaya untuk

melindungilingkungan dari limbah kemasan, UE menetapkan berbagai persyaratan kemasan yangdapat memasuki pasar UE seperti kemasan tersebut harus dapat didaur ulang, tidak mengandung substansi yang berbahaya seperti logam berat, kemasan tersebut harusaman, bersih dan diterima masyarakat.

14.

Directive

2001/95/EC

mengenai

ketentuan

umum

keamanan

pangan.

Dalam

upayamelindungi konsumen dari produk yang beredar di pasar, UE menerbitkan ketentuanumum keamanan pangan yang pada intinya mensyaratkan bahwa produk yang masuk kepasar UE

harus : sesuai dengan persyaratan yang terdapat didalam ketentuan ini;konsumen harus diberitahukan resiko yang mungkin terjadi apabila mengkonsumsiproduk tersebut, untuk dapat memasuki pasar UE maka produk tersebut harus terlebihdahulu melewati pengawasan dari lembaga berwenang.

15.

Directive 2000/36/EC

mengatur

mengenai

kakao

dan produk cokelat

untuk

konsumsimanusia. Dalam directive tersebut disebutkan bahwa mulai tanggal 3 Agustus 2003,penggunaan sampai 5% lemak sayur bukan kakao sebagai pengganti cocoa butter dalamcokelat diijinkan menggunakan label cokelat. Namun demikian harus dituliskankandungan lemak sayur yang ditambahkan pada cocoa butter tersebut. Ketentuan iniakan merugikan produsen cocoa butter karena akan mengurangi permintaan kakao