paparan singkat mengenai rudra-siva
TRANSCRIPT
BAB I
RUDRA DAN RUDRA-SIVA
KONSEP RUDRA DALAM KESUSASTRAAN WEDA
Rudra merupakan dewa atmosferis yang relatif minor di dalam Rgveda, kendati
demikian dia menarik secara fisik, dengan hanya terdapat tiga sajak (gita) mengenainya dan
total sekitar duapuluh tujuh referensi sederhana1. Tapi seiring perjalanan waktu dewa minor
ini telah berkembang menjadi dewa Rudra-Siva yang kuat dan agung, yaitu Dewa ketiga dari
Tritunggal Hindu, sebagai hasil penggabungan dengan beberapa sifat-sifat ilahi para dewa
bangsa non-Arya. Konsep Siwa dibangun tidak hanya dari keyakinan Weda dan tradisi
semata, tapi karena kita telah memiliki bentuk dasar dari Siwa trimukha yogisvara pasupati
urdhvalinga dalam peradaban Harappa sebelum Weda. Bagaimanapun, kita disini seharusnya
memeriksa perkembangan konsep Rudra secara bertahap sebagaimana ditemukan dalam
Kesusastraan Weda.
Oleh bagian awal kesusastraan Weda kita mengartikan Samhitas, Brahmanas,
Aranyakas dan Upanisads, berturut-turut diturunkan dibawah Mantra, Vidhi, Arthavada dan
Vedanta. Tahap terakhir dari kesusasatraan Weda ditunjukkan oleh Sutras yang secara
ringkas dan sistematis berkaitan dengan ritual Weda di satu sisi, dan dengan hukum adat di
sisi lainnya.2 Pada bagian ini, pertama kita usulkan untuk mengutip teks-teks dari Rgveda,
dimana kata ‘Rudra’ muncul sebagai nama dewa.
Dalam Rgveda, Rudra digambarkan bengis3 dan bersifat merusak seperti binatang
buas yang mengerikan,4 burung laying-layang,5 babi hutan merah dari langit,6 pembunuh
lembu,7 pembunuh manusia,8 pemilik hewan-hewan kurban,9 ayah dari para Rudra atau para
Marut,10 dan yang memikul anak-anak panah yang gesit11 serta busur yang kuat.12 Walaupun
tidak ada fungsi kosmik yang jelas yang diberikan kepadanya,13 dia, dalam bentuk samar
1 Macdonell, A.A., Vedic Mythology, Strassburg, 1897, p. 74.2 Macdonell, A.A., A History of Sanskrit Kesusastraane, 1967, p. 29.3 II. 33. 9.4 II. 33. 11.5 I. 114. 4.6 I. 114. 5.7 I.114.108 I.114.10.9 I. 43. 4.10 I. 114. II. 33.11 II. 33. 10.12 VII. 46. 1.13 ERE, Vol. II. P. 812.
yang menyerupai manusia, merupakan kekuatan alam yang menakutkan dan memiliki
kekuatan alam yang bersifat menghancurkan—badai, petir, dan api hutan.14 Dalam bagian
Rgveda15 dia juga diidentifikasikan dengan Agni yang memiliki kediaman di langit sebagai
matahari, di udara sebagai petir dan di bumi sebagai api.16 Lidah api yang pecah saat badai
topan yang tidak terkendali, bergemuruh, menyobek langit dan bumi;17 kumpulan awan gelap
menyerbu hanya dengan sekilas pancaran petir dan halilintar pastinya menghasilkan pengaruh
yang menaklukan dan kuat dalam pemikiran bangsa Arya kuno di India atau penyair Weda
yang melihat Rudra sebagai penyebab dari semua kejadian mengerikan dan menakutkan dan
secara alami menghubungkan semua yang mengerikan dan menakutkan pada dia. Banyak
peristiwa dalam hidup manusia yang menyenangi ketakutan dan perasaan takut sebagai dasar
untuk nyanyian pujian yang ditujukan kepada Rudra dalam Rgveda. Tapi manusia tidak
percaya dengan kekuatan jahat yang murni atau dewa yang berhati dengki yang memerintah
alam semesta;18 perlunya, karakter yang diberikan kepada Rudra dalam Rgveda merupakan
yang paling berbeda-beda, seringkali tidak tentu dan dengan kualitas yang cukup
bertentangan,19 dan sejumlah fungsi yang bertentangan secara terus-menerus ditugaskan
kepadanya.
Kita juga memiliki beberapa julukan indah yang diberikan kepada Rudra dalam
Rgveda. Dia yang bermulut adil,20 terlihat muda,21 berkulit kecoklatan,22 mempesona,23
bersinar seperti matahari yang berkilau,24 dihiasi perhiasan emas,25 bijaksana,26 cerdas,27 tidak
terbelenggu,28 terkuat,29 hebat dalam hal nyanyian,30 penguasa obat-obatan penyembuh,31 atau
14 Ibid., Vol. XI. P. 91.15 II. 1.16 Rac, T.A.G., Elements of Hindu Iconography, Madras, 1914, Vol. II. P. 41.17 Menurut Weber (Indische Studien, I 1583, p. 272) Rudra disebut ‘babi hutan merah dari langit’ dalam RV (I. 114. 5) sebagaimana awan badai di berbagai tempat digambarkan dalam gambar yang sama.18 Bhandarkar, R.G., Vaisnavism, Saivism and Minor Religious Systems, Strassburg ed., 1913, p. 102.19 Wilson, H.H., Rig-Veda-Samhita, Vol. II, Poona, 1925, p.v.20 II. 33.21 II. 33. 11.22 II. 33.23 I. 114.24 I. 43. 5.25 II. 33.26 I. 43. 1.27 VII. 46. 1.28 I. 43. 1.29 I. 43. 1.30 I. 43. 4.31 I. 43. 4., Jalasa-bhesaja, II. 33. 7; VII. 35. 6.
sang tabib dari para tabib.32 Dia adalah dewa dengan rambut yang dijalin,33 dibungkus dengan
perhiasan emas,34 duduk di sebuah kereta pertempuran,35 sang penakluk yang tak
tertaklukkan36 dan penguasa alam semesta.37
Benar, Rudra dalam Rgveda digambarkan sebagai kekejaman alam, badai-badai dan
angin berbahaya—satu-satunya dewa yang ditakuti dan dihormati oleh para penyair Weda.
Tapi sisi demi sisi, aspek penyembuh dari kedewaannya ditunjukkan dalam ‘hujan
bermanfaat yang dilepaskan oleh badai’38 yang merupakan keistimewaan penting dari
karakter Rudra dan tanpa sifat-sifat itu dia bisa saja sulit diterima sebagai seorang dewa
dalam agama Rgvedik.39 Dia mengkombinasikan rasa dengki dan kebajikan dalam dirinya
sendiri, kedahsyatan dan ketenangan, kekejaman dan kebaikan. Hal-hal tersebutlah yang
selanjutnya berkembang menjadi Siwa-Rudra. Rudra dalam Rgveda dimohonkan untuk
‘mengendurkan kepalanya’40 dan tidak melakukan kejahatan apapun, dalam amarahnya,
terhadap pemujanya. Para penyair Weda memuji sifat kedengkiannya dengan kata-kata yang
indah untuk mengutuk kemarahannya, memuji secara berlebihan untuk menentramkan
kemarahannya, dan mencoba berbagai cara untuk memberinya keramahan atau keuntungan,
yang mana adalah, Siwa. Mari kita kutip beberapa nyanyian pujian dari Rgveda dalam
konteks ini:
“Kami memohon kepada Rudra,…untuk kesehatan, kekayaan, dan dukungannya.”41
“Kami menghaturkan persembahyangan ini kepada Rudra, yang kuat, yang rambutnya
dijalin, yang menguasai para pahlawan, yang mungkin menjadi berkat bagi manusia dan
binatang, bahwa segalanya dalam desa kami mungkin menjadi makmur dan bebas dari
penyakit.”42
“Ramahlah terhadap kami, O Rudra, dan berikan kami kesenangan, dan kami akan
menghormati anda, penguasa para pahlawan, dengan pemujaan.”43
32 II. 4. 4. 4.33 I. 114. 1. 5.34 II. 33. 9.35 II. 33. 11.36 VII. 46. 1.37 VII. 46. 2.38 Keith, A.B., The Religion and Philosophy of the Veda and Upanisads, Harvard University, 1925, p. 147.39 Loc. cit.40 Sitaramiah, G., ‘Rudra in the Rgveda’ in Quarterly Journal of the Mythic Society, Bangalore, Vol. 32, 1941, October, p. 146.41 I. 43. 4.42 I. 114. 1.43 I. 114. 2.
“Kami memanggilmu untuk menolong kami wahai Rudra yang dahsyat, yang
memenuhi persembahan kami, yang tangkas, yang bijak; semoga dia mendorong jauh
kemarahan para dewa kepada kami; kami meminta kehendak baiknya saja.”44
“Janganlah membunuh yang terbaik atau yang terkecil dari kami, yang sedang tumbuh
atau yang telah tumbuh dewasa, bapak atau ibu kami, dan janganlah menyakiti tubuh kami
sendiri, O Rudra.”45
“O Rudra, janganlah menyakiti sanak keluarga kami, atau pun hidup kami sendiri,
jangan menyakiti lembu kami, atau pun kuda-kuda kami ! Janganlah membunuh orang-orang
kami dalam kemarahanmu : memikul persembahan kepada dewa, kami selalu hanya
memanggilmu.”46
“Biarlah pembunuh-lembumu dan pembunuh manusiamu jauh dari kami, dan biarkan
dukunganmu berada dengan kami, O penguasa para pahlawan ! Ramahlah terhadap kami, dan
berkati kami O dewa, kemudian berikan kami perlindungan lipat ganda.”47
Asal kata dari kata rudra juga sering diragukan sebagaimana dilihat dari artinya. Kata
tersebut diambil dari akar rud (menangis), dan ditafsirkan sebagai ‘raungan’.48 Oleh
Grassmann49 rudra dihubungkan dengan akar kata rud yang mendapat arti terkaan ‘bersinar’,
atau menurut Pischel,50 ‘menjadi merah’. Kita memiliki asal kata lain dimana Rudra
dihubungkan dengan Rodasi, yang berarti Langit dan Bumi,51 yang menyatakan aspek laki-
laki dan perempuan Rudra secara tidak langsung,52 dan konsep dari Rodasi Weda ini akhirnya
menjadi Ardhanarisvara dalam perumusan tulisan Puranic.53 Bukti nyata dari ketidakjelasan
dasar dari Rudra adalah bahwa Sayana54 mengusulkan tidak lebih dari enam asal mula kata.55
44 I. 114. 4.45 I. 114. 7.46 I. 114. 8.47 I. 114. 10.48 Macdonell, A.A., Vedic Mythology, p. 77.49 cf. loc. cit.; Keith, op. cit., 146.50 cf. loc. cit.51 Dikshitar, V.R.R., The Purana Index, Vol. III, Madras, 1955, p. 102.52 Menurut Yaska, Rodasi adalah istri dari Rudra. Lihat Wilson, H.H., Rig-Veda-Samhita, Vol. III, p. 411n. Lihat juga Bhattacharji, S., The Indian Theogony; a comparative study of Indian mythology from the Vedas to the Puranas, Cambridge, 1970, p. 158. Bhattacharji dalam artikelnya ‘Rudra from the Vedas to Mahabharata’ di ABORI, 41 (1960), pp. 85-128, juga membicarakan detail dari konsep Rudra dan nama-nama suamiatau istri Rudra sebagaimana mereka juga muncul dalam tulisan yang asli.53 Agrawala, V.S., Siva-Mahadewa, 1st ed., p. 9.54 cf. Muir, J., Original Sanskrit Texts, Vol. IV, London, 1873, p. 303, n. 9.55 “Rodayati sarvam antakule iti Rudrah | Yadva rut samsarakhyam duhkham | tad dravayaty apagamayati vinasayati iti Rudrah | yadva rutah sabda-rupah upanishadah | tabhir druyate gamyate pratipadyate iti Rudrah | yadva rut sabdatmika vani tat-pratipadyatama-vidyava | tam upasakebhyo rati dadati iti Rudrah | yadva runaddhy avrinoti iti rud andhakaradi | tad drinati vidarayati iti Rudrah | yadva kadachid devasura-sangrame ‘ hny-atmako | Rudro devair nikshiptam dhanam apahritya niragat | asuran jitva devah enam anvishya drishtva ahanam apaharam | tadanim arudat | tasmad Rudrah ity akhyayate ||”
“Dia disebut Rudra (1) karena dia membuat semua orang mengeluarkan air mata
(‘rodayati’) saat penghancuran dunia; atau (2) ‘rut’ berarti penderitaan yang disebut dunia.
Dia membuang jauh-jauh (‘dravayati’), menghilangkan, menghancurkan hal itu: oleh karena
itu dia dinamakan Rudra; atau (3) ‘rut’ dalam arti jamak berarti Upanishad, yang disusun dari
kata-kata: oleh mereka dia dicapai, secara terperinci (‘druyate’): oleh karena itu dia disebut
Rudra; sebagaimana (4) ‘rut’ menandakan bahasa yang disusun dari kata-kata, atau ilmu
pengetahuan dari jiwa yang akan dijelaskan oleh itu: kemudian dia memberi (‘rati’) kepada
pemujanya: karena itu dia dipanggil Rudra; atau (5) akar kata ‘rudh’ yang berarti untuk
menutup, melindungi; dan selanjutnya, ‘rut’ berarti kegelapan, dll.: dia merobek (‘drinati’),
mengoyak-ngoyak: oleh karena itu dia diciptakan sebagai Rudra; atau (6) ketika dalam satu
kesempatan terjadi pertempuran diantara para dewa dan Asuras, Rudra dengan membawa
Agni alami membawa harta berharga yang telah dibuang oleh para dewa dan kemudian pergi.
Tapi para dewa, setelah mengalahkan para Asuras, mencari, menemukan, dan mengambil
harta berharga dari dirinya: kemudian dia mencucurkan air mata (‘arudat’) dan dari sana dia
disebut Rudra.”
Arbman56 melihat dalam Rudra sebuah sifat kedewaan sederhana yang terkenal,
bentuk dasar dari Siwa. Oldenberg57 mencari jejak kealamian Rudra dalam intisarinya
terhadap pegunungan dan hutan dewa. Hilderbrandt58 menemukan dalam dirinya dewa dari
ketakutan iklim tropis. Schroeder59 bersikeras bahwa Rudra tidak lebih dari kenaikan ke
tingkat tinggi dari dewa penguasa jiwa yang telah meninggal. Tapi kerusakan terbesar dari
teori diatas adalah hal tersebut tidak berdasarkan pada karakteristik Rudra yang ditemukan
dalam Weda; sebagaimana Keith60 dengan tepat menunjukkan, mereka terlalu bergantung
pada catatan kealamian Siwa-Rudra.
Rudra dalam Rgvedic masih tetap sama seperti dalam Samaveda, tapi dalam
Yajurveda dia muncul dalam bentuk yang telah berkembang.61 Benar, banyak julukan yang
diberikan kepada Rudra dalam Rgveda muncul disini lagi, sebut saja, ‘coklat’ atau ‘berkulit
kecoklatan’62 ‘sengit’,63 ‘ramah’,64 dewa dengan ‘rambut yang dipilin’65 dll.; tapi di tempat
56 cf. Winternitz, M., A History of Indian Kesusastraane, Vol. I, Calcutta, 1959, p. 66, n. 2.57 cf. loc. cit.; Macdonell, Ved. Myth., p. 77.58 cf. loc. cit.; Vedische Mythologie, II, p. 14ff.59 cf. Keith, op. cit., p. 146; VOJ, IX, pp. 233-52.60 op. cit., p. 147.61 Bhandarkar, R.G., op. cit., 103.62 YV, XVI. 6.63 Ibid., XVI. 40.64 Ibid., XVI. 51.65 Ibid., XVI. 10.
anak muda, tidak dapat disangkal, Rudra yang bermulut adil dalam Rgvedic, kita miliki
dalam Yajurveda sebagai Rudra yang kerdil,66 berpakaian kulit,67 ‘tinggal di pegunungan’,68
‘berumur’,69 ‘bermata seribu’70 dll. Dalam perkataan Muir71 khayalan rsi dari nyanyian pujian
Weda “terjadi keributan dalam penciptaan julukan-julukan tersebut”. Ambika menyebutkan
disini72 untuk pertama kalinya73 dan dijelaskan bukan sebagai istri, tapi sebagai adik
perempuan dari Rudra.
Di Yajurveda, bentuk keuntungan (siva) atau keramahan Rudra dibedakan dari
penampilan mengerikan (rudra) atau kejahatannya dan dua pasang sifat yang saling
bertentangan tersebut dipaksakan disini dalam jalan yang demikian rupa dimana kita
sekarang berada dalam posisi untuk menyimpulkan semua unsur dasar yang menciptakan
kompleksnya cara memuja Siwa-Rudra dari tahap berikutnya dapat ditemukan disini.74
Dalam bagian Satarudriya di Yajurveda,75 dimana Rudra didilibatkan dalam seribu
nama, semua gambaran mengenai dia di awal masa Vedic digambarkan bersama-sama.
Faktanya, Satarudriya menyediakan titik yang baru untuk pengembangan terbaru,
menambahkan berbagai sifat memalukan kepada Rudra, mengenalkan beberapa gabungan
kedengkian dan kegelapan, dan melengkapi peralihan karakter Siwa-Rudra yang menjijikkan
dan menakutkan dalam mitologi Hindu. Dia disini dilukiskan sebagai Pasupati76 (raja dari
semua binatang buas), Nilagriva (berleher biru), Sitikantha (bertenggorokan putih),
Girisaya.77 Jarak Rudra dalam Satarudriya menjadi sangat lebar hingga dia berada dimana-
mana78--di aliran sungai dan jalan, di dalam kolam dan selokan, di dalam danau dan sungai,
di dalam klam dan sumur, di dalam jurang dan pinggiran sungai, di dalam awan dan petir, di
dalam hujan dan banir, di dalam angin dan rumah, di lahan tandus dan jalan rusak, di
kandang sapi dan bangsal ternak, di dalam hati dan pusaan air, dalam semua yang kering dan
hijau, di dalam debu dan kabut, di dalam belukar dan selokan. Dari dewa udara yang kecil
66 Ibid., X. 20 (‘krivi’).67 Ibid., III. 61; XVI. 51.68 Ibid., XVI. 2. 3. 4.69 Ibid., XVI. 36.70 Ibid., XVI. 7.71 op. cit., Vol. IV, p. 402.72 Vaj. Sam., III. 57.73 Muir, J., op. cit., Vol. IV, p. 403.74 Bhattacharji, S., ‘Rudra from the Vedas to the Mahabharata’ in ABORI, Vol. XLI, p. 90.75 Tattiriya Samhita, IV. 5; Vajasaneyl Samhita, XVI.76 Vaj. Sam., XVI. 28.77 Ibid., XVI. 2978 Ibid., XVI. 37-39, 43-45.
dalam Rgveda, sekarang telah menjadi raja dari semua bagian79--dari hutan dan lahan,
pepohonan dan tanaman, makanan dan makhluk hidup. Di dalam sini terdapat alasan yang
membuat dia menjadi raja alam semesta tertinggi yang ada dimana-mana di tingkat
berikutnya.80 Dia dalam nyanyian pujian Satarudriya mengambil hati para dewa dalam
berbagai cara. Salah satu yang dikutip:
79 Ibid., 18.80 Bhandarkar, R.G., op. cit., 106.
“Jangan lukai anak-anak kami, cucu-cucu kami, hidup kami, juga sapi-sapi dan kuda-
kuda kami! Janganlah membunuh wahai ksatria yang cemerlang: dengan persembahan, kami
memanggilmu, Oh Rudra!”81
Demikian Rudra dipandang sebagai semacam ketakutan, sebagai dewa yang
kemurkaannya dikutuk dan yang kebaikannya dipuji.
Mengenai atribut Rudra yang bersifat merugikan dalam nyanyian Satarudriya,82 Ia
disebut sebagai raja pengembara dan pencuri, pengelana yang berkeliaran, suka tipu muslihat,
raja para pencuri, perampok, penjarah dan pemotong leher, serta dalam kekuatan Yama
(dewa kematian). Walaupun juru tafsir biasanya memberi ucapan maaf bahwa Rudra dalam
suatu kelakar dianggap sebagai sosok pencuri83 dan lain-lain, namun berbagai julukan yang
ada di sini, berkisar tentang pembahasan Rudra-Siva pasca-Vedik yang bersifat bengis,
mengerikan, kotor dan menjijikkan.84
Diantara beberapa julukan yang sopan yang diberikan kepada Rudra dalam Yayur
Weda, julukan Bhava85 yang terkemuka. ‘Bhava’ dijelaskan dalam berbagai cara, terkadang
sebagai ‘Yang Ada’ atau ‘Yang Abadi’, terkadang sebagai ‘Pencipta’, kebalikan dari ‘sarva’,
‘pemanah’, ‘penghancur’.86 Istilah Bhava, menurut Weber,87 telah terbentuk dengan
pandangan untuk menenangkan dewa yang mengerikan dengan memberikan nama yang
indah (yang menyenangkan). Dalam Satarudriya, rahmat dicari dari aspek Tuhan ayng murah
hati: “Penghormatan untuk yang baik hati dan ramah! Penghormatan untuk yang tentram dan
menyenangkan! Penghormatan untuk yang penyayang dan maha penyayang.”88
Dalam Rig Weda, Rudra adalah ayah dari para Marut atau Rudra, namun ia tidak
pernah bergaul, seperti Indra, dengan memanfaatkan perang para Rudra.89 Satarudriya
memberikan penghormatan kepada kemajemukan para Rudra,90 sebagai ganapati, atau
81 SBE, Vol. XLIII, hal. 151 (Vaj. Sam., XVI. 16)82 Vaj. Sam., XVI. 19-21Terjemahan bebas untuk keseluruhan sloka Saturudriya, Lihat Sivaramamurti, C., Saturudriya: Vibhuti dari Ikonografi Siva, New Delhi, 1976. Hal. 13-3283 Muir, J., OST, Vol. IV, hal. 327, n. 60.84 Maedonell, A.A., Ved. Myth., hal. 76.85 Vaj. Sam., XVI. 18, 28.86 Muir, J., OST, IV, hal. 328, n. 61; ERE, XI, hal. 90.87 Ind. Stud., II., hal. 37, diambil dari. OST, IV, hal. 328.88 Vaj. Sam., XVI. 41.89 Maedonell, A.A., Ved. Myth., hal. 74.90 Vaj. Sam., XVI. 53-66.
pemimpin para kepala suku hingga pemimpin tukang kayu, pengrajin tembikar, pandai besi,
nelayan, pemburu,91 non-Vedik serta para Nisada yang tergolong suku-suku hutan proto-
Australoid.92 Dengan demikian, Rudra disini muncul sebagai pemimpin pasukan, memanggil
para gana dan para pramatha nya, makhluk-makhluk golongan terendah, namun serupa
dengan dirinya sendiri; dan terkadang sekumpulan para Rudra telah dicampur dalam konsepsi
satu Rudra.93 Ia juga muncul sebagai perwakilan dari golongan masyarakat tertentu dan
pengikut dari profesi yang berbeda, dimana mereka menemukan sosok dewa mereka masing-
masing pada diri Rudra. Hal ini mungkin sering terjadi bahwa dewa-dewa tertentu yang
mereka puja diidentifikasikan dengan dewa Rudra milik bangsa Arya. Dalam wujud
absolutnya, Rudra dikatakan sebagai ‘yang tunggal’ dalam Weda, walaupun dalam bentuk
yang ada (terlihat) Ia dikatakan ‘sebelas’.94 Gambaran awal dari Ekadasa Rudra dalam
kelompok ini ditemukan di depan gua Varaha di Udayagiri dekat Bhilsa, cukup menarik,
dimana kesebelasnya berhubungan dengan lingga (bersifat ithyphallic) di alam.95 Angka
‘sebelas’ nampaknya telah memperoleh kesucian itu sendiri. Dengan berlalunya waktu,
‘sebelas’ menjadi ‘seribu seratus’ (11-100) dan Siwa merupakan wujud terbaiknya.96
Rudra diangkat ke tingkat yang lebih tinggi dalam Atharwa Weda97 yang mewakili
suatu tahap transisi antara konsepsi Rudra dalam Rig Weda dan filsafat sistematis dari
Saivisme dalam Svetasvatara Upanisad. Agama Atharvaveda adalah sebuah campuran dari
impian orang Arya dan non-Arya.98 Sementara Rig Weda mencatat konflik antara sifat baik
(svitnya) orang Arya dan orang pribumi yang berkulit hitam, tanpa hidung (anasa) yang
disebut Dasa atau Dasyu,99 Atharvaveda bersabda kepada periode kita disaat konflik sedikit
banyaknya diselesaikan dan keduanya sedang mencoba hidup dalam harmoni dengan saling
memberi dan menerima.100 Sebagai akibat dari campuran darah orang Arya dan non-Arya ke
tingkat yang sangat dipertimbangkan, jiwa adaptasi, sihir, ilmu gaib, yang Rig Weda lakukan
91 Vaj. Sam., XVI. 27.92 Sircar, D.C., ‘The Sakta Pithas’ dalam JRASB, Vol. XIV, No. 1, 1948. Hal. 102. Penyebutan berbagai kasta mengindikasikan bahwa politik dan sistem kasta India sudah berkembang sepenuhnya.
93 ERE. Vol. II, hal. 812.94 Hopkins, E.W., Epic Mythology, 1968, hal. 172.95 Banerjea, J.N., Pauranic and Tu______ Religion, 1966, hal. 67.96 Hopkins, E.W., Epic Mythology, hal. 173.Kata Krsna: “Dalam wujud Rudra, Aku-lah Samkara” konteks ini penting dalam Bhagavadgitha.97 Pada awalnya Atharvaveda tidak begitu dipandang sebagai bagian dari Veda. RV, SV, YV merupakan Traividya. Nama tua AV adalah Atharvangirasah, yaitu, atharvan (kekuatan suci membawa kebahagiaan) dan angiras (perseteruan atau ilmu hitam).98 Radhakrishnan, S., Indian Philosophy, Vol. I, 1958, hal. 120.99 Macdonell and Keith, Vedic Index, Vol. I, 1958, hal. 356.100 Radhakrisnan, S., op cit., p. 118
baik mendorong maupun mengakui, merambat menjadi agama Atharvaveda. Sebenarnya,
Atharvaveda merupakan sebuah kumpulan dari mantra-mantra terkenal saat ini diantara
masyarakat,101 yang karena ketidakberdayaan mereka melawan kekuatan bencana alam besar
melihat dunia aneh yang penuh dengan setan dan orang kerdil, iblis yang memberengut,
kematian dan penyakit.
Dengan latar belakang ini, menjadi mudah untuk mengerti buku XV Smahita, dimana
para Brahmana dibayangkan sebagai Vratya dan Rudra dimuliakan sebagai Eka-vratya,
vratya dengan keunggulan tertinggi, dan julukan ini mencirikan suatu sikap yang sangat
menarik, perkumpulan dari unsur-unsur dalam sifat gabungannya, tidak berasal dari
permintaan Vedik ortodoks.102 Atharvaveda103 berkata tentang sebelas pelayan Eka-vratya
sebagai Bhava dalam tempat menengah daerah timur, Sarva daeran selatan, Pasupati daerah
barat, Ugra daerah utara, Rudra di daerah yang lebih rendah, Mahadewa di daerah yang lebih
tinggi dan Isana di seluruh daerah menengah. Walaupun mereka muncul sebagai sebelas
dewa yang berbeda, namun mereka bersatu dan dianggap sebagai manifestasi yang berbeda
dari Eka-vratya104 yang dilambangkan menggemari sura105 yang kuat dan dibawa menuju
hubungan yang sangat khusus ke pumscalt atau perempuan sundal dan magadha.106 Karena
ketidakjelasan buku vratya, makna yang pantas untuk istilah magadha ini tidaklah jelas, dan
para sarjana107 membedakannya pada pokok ini. D.R. Bhandarkar108 mengemukakan teori
bahwa Maghada, berhubungan dengan Eka-vratya, adalah seorang pendeta suku Magadha
yang bermigrasi dari Sakadvipa ke India. Selanjutnya, pemuja vratya yang kemudian
berkembang menjadi Saivism, semula berasal dari lembah Indus dengan imigrasi Magadhas
ke India.109
101 Macdonell, History of Sanskrit Literature, 1965, p. 156102 Banerjea, J.N., The Development of Hindu Iconography, 1956, hal. 448n.103 XV.5. 1 - 7104 Bhandarkar, D.R., Some Aspects of Ancient Indian Culture, Madras, p.41.105 AV, XV, 9. 2.106 Ibid., XV, 2. 1-4107 Telah diterjemahkan secara umum oleh seorang penyair. Lihat Bhandarkar, D.R., OP.CIT., HAL. 47 Magadha dari buku Vratya adalah sebuah guru ajarana sesat. Dikutip dari. Weber A. The History of Indian Literature, Varanasi , 1961, hal.112 Sedang menguji untuk menghubungkan Magadha ini dengan Magadha, Bihar selatan, yang dikenal sebagai Kikata pada jaman Rig Weda dan Pracya pada jaman Brahmana. Lihat Bhandarkar, D.R., op.cit., hal. 47. Magadha – dijelaskan oleh Sayana sebagai Magadhadesotpanno brahmacari – yang diperkenalkan oleh Sutrakara to TS, VII. 5.9.4, berkaitan dengan pumscali; lihat Weber, Ind.St., XII, hal.330; dikutip dari Weber, Hist.of Ind. Lit., hal 112, n. 126.108 Op. cit., hal.48.109Sangat disetujui dengan bukti bahwa gabungan Siwa, Maruts telah disebut Saka dalam dua Rks (V.30.10 dan VI.1.9.4).
Charpentier110 berpendapat bahwa para vratya merupakan penyembah Rudra-Siva
pertama. Dalam yayur weda111 para vratya termasuk dalam daftar korban pada Purusamedha
(‘perngorbanan manusia’), namun tidak ada penjelasan lebih lanjut atas nama yang
diberikan.112 Para vratya merupakan sebuah kelompok etnis non-pemujaan (dengan memberi
kurban)113 yang tidak jelas___ apakah orang Arya,114 baik golongan rendah atau tidak
berpengetahuan, atau non-Arya115___ termasuk gerombolan keliling (vrata)116 dan merupakan
penelan racun.117 Roth118 berpendapat bahwa pendeta vratya dalam Atharvaveda sebagai
sebuah yang mengidealisasikan gelandangan saleh atau fakir miskin (parivrajaka) yang
merupakan dermawan masyrakat. Rasa hormat yang luar biasa dibayar kepada vratya dalam
Weda ini baik menunjukkan bahwa mereka sendiri melalui utusan mereka, menyusun kidung
ini setelah memperoleh kejayaan atas Arya, atau menunjukkan “spiritual yang tinggi dari
kebudayaan Arya yang menghaluskan sifat cabul dan menjijikkan dari pemuja vratya
sebelum diserap menjadi Brahmanisme dan berkembang menjadi Saivisme.119
Bhawa dan Sarwa120 – dua bentuk termasyur dari mata seribu.121 Rudra dimohon
dengan sangat oleh kekuatan cosmogonik mereka untuk memberikan perlindungan terhadap
malapetaka,122 dan dengan spesialisasi Atharvanic yang terkenal, untuk menghancurkan
penyihir yang menyiapkan sebuah mantra atau memanipulasi akar (tanaman) melawan para
pemujanya. Dalam syair yang lain123 Bhawa dikatakan menguasai langit dan bumi, dan
mengisi atmosfer luas. Dalam Atharwa weda, petunjuk dibuat untuk memberikan
kesembuhan Rudra dan Ia dimohon, dalam berbagai aspek untuk tidak menyerang pemujanya
110 WZKM, 23, hal. 151ff.; dikutip dari Winternitz, op.cit., Vol.I, hal. 135n; JRAS, 1913, hal.155.111 Vaj.Sam., XXX. 8; Taitt. Brah., III.1.5,1.
112 Macdonnel and Keith, Vedic Index, Vol. II, 1958. hal.342.113 Untuk Vratyas, lihat juga Mayrhofer, M., Etymological Sanskrit Dictionary, vol. III, Heidelberg, 1976, s.v. ‘Vratah’; J.C Heesterman, ‘Vratya and Sacrifice’ in …., 6 (1962), hal.18; Walker, B., Hindu World, Vol II, London, 1968, p. 583.114 Menurut Wisnu-sutra (SBE, Vol.VII, hal.115) anak-anak muda tergolong ke tiga kasta – yaitu, Brahmana, Ksatriya dan Waisya, - yang tidak diawali pada waktu yang tepat, dikeluarkan dari inisiasi dan dihukum oleh kelahiran kedua yang disebut vratyas.115 Dikutip dari Pancavimsa Brahmana, XVI. 1-4.Roth, Whitney, Bloomfield, Chanda dan R.R. Bhagavat menganggap vratyas sebagai non-Arya.116Whitney, Translation of the AV, 770ff.117 Chaudhuri, R., ‘The Cult of the Vratyas’ in IHQ, vol. 38, 1958, hal. 267.118 The St. Petersburg Dictionary, s.v.119 Bhandarkar, D.R., op.cit., hal. 48.120 Venkataramanayya (Rudra-Siva, hal. 33) telah mencoba untuk menunjukkan bahwa Sarva semula merupakan Dewa Iran dan Bhava seorang Dewa dari daerah terdekat, suatu tempat di utara diluar wilayah Arya melewati Munjavat. Tapi teori masih memerlukan banyak pembenaran.121 AV.,XI. 2.3.122 Ibid., IV. 28.123 Ibid., XI.2.27.
dengan langit api, ataupun mengkontaminasi dengan demam, batuk atau racun124 dan
menyebabkan petir turun ke suatu tempat.125 Rudra pada Yayur atau Atharwa weda bukanlah
Brahmanik, bukanlah dewa dari para pendeta dan ritual tertib, tapi merupakan orang-orang
dan tempat asli pre-Arya. Walaupun seorang penghancur, Ia tidak menentang pencipta,
apakah Ia dikenal sebagai Tuhan dan hukum dari mahluk hidup.126
Sekarang kita memasuki bagian kedua kesusastraan Vedic yaitu Brahmana. Jaman
Brahmana, seperti yang Aufrecht127 amati merupakan saat “polytehisme lama dalam keadaan
menurun dan kepercayaan baru yang menunjukkan dirinya sendiri pada sejarah keagamaan
India sebagai Saivisme memperoleh alasan.” Sebenarnya, kita melihat kekuatan Rudra dalam
Brahmana pada puncaknya,128 karena para dewa takut kepadanya. Pokok utama dari spekulasi
teosofi dalam Brahmana mengelilingi Prajapati, namun Ia bukan dewa rakyat seperti Rudra
dan ini ditunjukkan oleh perhatian yang diabdikan kepadanya dalam Aitareya Kausltaki dan
Satapatha Brahmana. Brahmana menambahkan beberapa cerita mengenai kelahiran Rudra.
Menurut Aitareya Brahmana,129 untuk menghukum Prajapati yang melakukan
hubungan intim dengan putrinya sendiri, para dewa keluar dari wujud mereka yang paling
menakutkan, menciptakan suatu Ilahi yang disebut Bhutavat (yaitu Rudra), yang menembus
dewa para dewa dengan demikian menyatakan penghinaan moral. Setelah menembus
penjelmaan dari dosa Prajapati, Rudra dalam Aitareya Brahmana, meminta dan memperoleh
anugerah yang untuk selanjutnya menjadi penguasa dari daerah Prajapati atas seluruh ternak.
Tandya130 dan Satapatha131 Brahmana memberikan versi lain dari legenda ini tentang
cinta terlarang Prajapati kepada putrinya, yang seperti Muir132 kemukakan, mungkin
mengacu pada kepada beberapa fenomena atmosfir. Bagi Hillebrandt juga, cerita ini memiliki
beberapa arti astronomi.133
124 Walaupun Rudra disini (AV., XI.2) mengancam manusia dengan racun, ia dikabarkan seakan-akan meminumnya sendiri di suatu tempat. Dikutip dari SBE, XLIII, hal. 621.125 AV, XI.2.22 dan 26.126 Eliot, C., Hinduism and Buddhism, Vol.II, London, 1957, hal. 142.127 Dikutip dari Keith, A.B., Rgveda Brahmanas, hal. 26.128 Keith, A.B., Religion and Philosophy of the Veda and Upanisads, Harvard University, 1925, p. 144.129 III.33.1.130VIII.2.10.131 I.1.7.4.1; II.1.2.9.132 OST, IV, hal. 45; I.hal.107.133 ____ di sisi lain, dengan apa Prajapati ditembus, menjadi konstelasi yang disebut ‘anak panah bercabang tiga [kemungkinan sabuk Orion]’. dikutip dari SBE, XII, hal. 284n.
Menurut cerita lain dalam Aitareya Brahmana134 Rudra muncul pada tempat
persembahan dengan berpakaian hitam dan menyatakan bahwa segala yang ada di
sekelilingnya merupakan miliknya. Aitareya135 juga memberikan tanda lainnya akan
keagungan Rudra ketika ditetapkan bahwa penyebutan nama harus diubah dari bentuk yang
muncul di Rgveda untuk menghindari penyebutan nama secara langsung dari dewa yang
mengerikan ini dengan hanya menyebut beliau dengan sebutan “dewa di sini” dan hal yang
sama juga tampak pada Satapatha Brahmana136 dan di tempat lainnya. Hal ini, sebagaimana
disebutkan Keith137, merupakan suatu bukti terdahulu yang jelas akan konsepsi Rudra sejak
zaman Rgveda.
Mari kita beralih ke Satapatha Brahmana yang merupakan bagian Yajurveda, dimana
Brahmana ini, selain Rgveda, merupakan karya terpenting dari keseluruhan kesusastraan
Veda.138
Dalam Satapatha139 dan Kausltaki140 Brahmanas, Kumara (yaitu Rudra sendiri)
digambarkan sebagai putra dari Usas dan Prajapati. Segera setelah dilahirkan bayi itu
meratap. Ayahnya bertanya kenapa dia meratap. Dia menjawab, ‘Saya tidak terlepas dari
(waspada terhadap) hal-hal buruk; Tidak ada nama yang diberikan pada saya: berikanlah saya
nama’.141 Prajapati memberinya delapan nama satu per satu, tujuh diantarnya sama dengan
nama-nama yang disebutkan dalam Atharvaveda dan yang kedelapan adalah Asani. Dari
kedelapan nama itu Rudra, Sarva, Ugra, dan Asani merupakan penggambaran dari aspeknya
yang menyeramkan, empat lainnya yaitu Bhava, Pasupati, Mahadeva, dan Isana menunjukkan
aspeknya yang menenangkan.142 Karena kutipan-kutipan pendek tersebut merupakan bagian
yang di satu sisi menunjukkan kecenderungan ke arah penyamaan dan pencampuran dewa-
dewa vedik yang jelas bersifat lokal, yang semula berbeda antara satu dengan lainnya, dan di
134 V. 14; dikutip dari AY, II. 27.6; XI. 2.13.135 III. 33; III. 34.7.136 I. 7. 4. 3.137 Rel and Philo of the V. and. U., hal. 145.138 Macdonell, A.A., A History of Sanskrit Kesusastraane, hal. 180. The ‘Brahmana of the hundred paths’, disebut demikian karena berisi seratus adhyayas atau ‘pelajaran’.139 VI. 1. 3. 7-8.140 VI. 1. 9.141 SB, VI. 1. 3. 9.142 Banerjea, J.N., Pauranic and Tantric Rel., hal. 67.
sisi lain, asal mula pemikiran atau konsepsi Rudra-Siva dalam sistem panteistik zaman pasca
veda,143 mari kita menceritakan kisah sebagaimana ditemukan dalam sataphata brahmana. 144
Prajapati berkata padanya, ‘Engkau adalah Rudra’. Dan karena Prajapati memberinya
nama itu, munculah Agni (api), karena Rudra adalah Agni: karena dia menangis (rud) maka
dia disebut Rudra. Dia berkata, ‘tentunya aku lebih kuat dari itu: berikan aku sebuah nama
lagi!’
Prajapati berkata padanya. ‘Engkau adalah Sarva’. Dan karena Prajapati memberinya
nama itu, munculah air, karena Sarva adalah air. Rudra berkata, ‘Tentunya aku lebih kuat dari
itu: berikan aku nama lagi!’
Prajapati berkata padanya, ‘Engkau adalah Pasupati.’ Dan karena dia memberinya
nama itu, terciptalah tumbuh-tumbuhan, karena Pasupati adalah tumbuh-tunbuhan: oeleh
sebab itu ketika ternak (pasu) memperoleh tumbuhan maka mereka menentukan sang tuan
(pati). Rudra berkata, ‘Tentunya aku lebih kuat dari itu: berikan aku nama lagi!’
Prajapati berkata padanya, ‘Engkau adalah Ugra.’ Dan karena dia memberinya nama
itu, Vayu (angin) sesuai dengan yang semacam itu, sebab Ugra adalah Vayu: karena ketika
dia berhembus dengan kuat, mereka berkata ‘Ugra sedang berhembus’. Rudra berkata,
‘Tentunya aku lebih kuat dari itu: berikan aku nama lagi!’
Dia berkata padanya, ‘Engkau adalah Asani’. Dan karena Prajapati memberinya nama
itu, munculah halilintar karena Asani berarti Halilintar: oleh sebab itu mereka berkata pada
orang yang tersambar halilintar, ‘Asani telah memukulnyanya’. Rudra berkata, ‘tentunya Aku
lebih hebat dari itu: berikan Aku nama lagi!’
Prajapati berkata padanya, ‘Engkau adalah Mahah Devah (Dewa yang Agung)’. Dan
karena Prajapati memberinya nama itu, munculah bulan, karena bulan adalah Prajapati, dan
Prajapati adalah Dewa Agung. Rudra berkata, ‘tentunya Aku lebih hebat dari itu: berikan aku
nama lagi!’.
Prajapati berkata padanya, ‘Engkau adalah Isana. Dan karena Prajapati memberinya
nama itu, munculah Matahari, sebab Isana adalah Matahari. Semenjak itu Matahari
memerintah semuanya. Rudra berkata, ‘Begitu hebatnya Aku: jangan berikan nama lain lagi
pada-Ku (setelah nama-nama tadi – red)!’145
143 SBE, Vol. XII, hal. 201n.144 VI. I. 3.145 SBE, Vol. XLI. Hal. 159-160.
Kisah yang sama muncul dengan agak sedikit berbeda di dalam Sankhayana146 dan
Kausltaki147 Brahmanas. Kutipan dari Satapatha Brahmana tampaknya merupakan sumber
dari kisah lahirnya Rudra yang ditulis dalam Markandeya dan Wisnu Purana. Satapatha
Brahmana148 juga memberikan versi lain tentang kelahiran Rudra.
Posisi Rudra yang terisolir akibat karakteristiknya yang luar biasa, ditekankan oleh
sebuah mitos dalam Brahmana149 yang sama, sesuai dengan kisah itu Rudra tetap tertinggal
ketika dewa-dewa lain mencapai surga dengan melakukan ritual. Rudra berteriak keras: ‘Aku
ditinggal: mereka menampik-Ku dari api suci kurban!’
Kami memiliki beberapa poin menarik dalam Satapatha Brahmana.
Rudra, dalam Satapatha Brahmana,150 menerima sesajen (penghormatan) di
perempatan jalan, karena perempatan dikenal sebagai tempat perburuan kesukaannya. Apa
pun yang terluka dalam persembahan, menjadi miliknya.151 Utara adalah wilayahnya152 dan
tikus mondok153 adalah hewannya (korban). Dalam Brahmana yang sama disebutkan bahwa
dia juga diminta untuk pergi ke Munjavat dengan membawa busur yang tidak dibentangkan
dan dalam kondisi tertutup.154
Ambika, yang pertama kali muncul dalam Vajasaneyl Samhita155 sebagai saudari
Rudra, masih tetap disebutkan sebagai saudari Rudra dalam Satapatha Brahmana156 , dimana
dikatakan: “Ambika memang merupakan nama saudari Rudra; dan bagian ini merupakan
miliknya bersama-sama dengan saudarinya; dan karena bagian itu merupakan milik Rudra
bersama seorang wanita (strl) maka dari itu (persembahan/sesajen ini) disebut
Tryambakah.”157 Ambika diberikan cirri-ciri yang sama dalam Taittiriya Brahmana,158
dimana dia muncul sebagai sarat (musim gugur) dan membantu Rudra ketika dia (Rudra)
146 VI. 1. Ff.147 VI. 1. 9.148 IX. 1. 1. 6.
149 SB, I. 7. 3. 1.150 II. 6. 2. 7.151 I. 7. 4. 9.152 V. 4. 2. 10; I. 7. 3. 20.153 II. 6. 2. 10 Menurut Taitt. Brah. (I. 1. 3. 3), Agni pada suatu ketika menyembunyikan dirinya dari para dewa dan mengambil wujud tikus tanah, menggali ke dalam bumi: sehingga terciptalah bukit tikus, yang memiliki beberapa sifat-sifat Agni. SBE, Vol. XII, hal. 278-79, catatan 3154 SB, II. 6. 2. 17.155 III. 57. Es ate Rudra bhagah saha svaras Ambikaya156 II. 6. 2. 9.157 SBE, XII, hal. 440.158 I.6, 10, 4-5
melaksanakan tugas sebagai pembunuh. Sebetulnya, sarat (musim gugur) telah dipandang
sebagai musim yang paling berbahaya dalam setahun sejak zaman Vedik awal.159
Akhirnya Satapatha Brahmana160 menguraikan kepada kita melalui informasi berikut:
Dari tempat pelaksanaan kurban, mereka (pemberi persembahan dan pendeta)
kemudian kembali tanpa melihat kebelakang. Setelah kembali, mereka menyentuh air: karena
mereka telah melakukan upacara yang berhubungan dengan Rudra, dan air merupakan sarana
pemurnian/penyucian. Berdasarkan aturan umum yang diberikan dalam Katyayana Srauta
Sutra,161 tindakan penyucian yang sama harus dilakukan kapanpun, selama pelaksanaan
upacara, doa-doa atau mantra-mantra berkenaan dengan kurban/persembahan telah
digunakan, yang ditujukan kepada, atau diarahkan untuk melawan Rudra, Raksasa, Asura,
dan Mane.
Faktor penting dalam proses perkembangan Rudra adalah identifikasinya dengan
Agni dalam kesusastraane Veda dan identifikasi ini member banyak kontribusi terhadap
transformasi karakternya sebagai Rudra-Siva.
Selain Indra, Agni merupakan dewa-dewa dalam Veda yang paling sering dipanggil,
memperoleh pujian sekitar seperlima dari syair-syair Regveda dan disebut Rudra dalam
sejumlah syair tersebut.162 Pernyataan dan identifikasi lengkap yang mendasar mengenai
Rudra dan Agni yang mana pertama kali hanya ditemukan secara tidak sengaja dalam
Regveda163 telah tersebar luas di seluruh kesusastraane Veda dan sekarang ini Rudra tidak
saja berbagi nama Agni tapi juga ciri-ciri dari sifat Agni. Dalam derak nyala api, untuk
menempatkan seluruh ide dalam kata-kata Weber,164 orang-orang zaman Veda mendengar
kembali suara badai yang tengah murka, bahwa pada saat mengalami keganasan yang
pertama, mereka kemudian menyaksikan sekali lagi amarah yang bersifat menghancurkan.
Muir165 berpikir bahwa dalam Regveda kedua dewa tersebut tidak sepenuhnya
diperkenalkan sebagai julukan khusus Rudra, ini membuktikan bahwa secara umum Rudra
dibedakan dari Agni oleh pemuja sebelumnya. Namun, Satarudriya menyatakan paduan yang
sempurna dari kedua dewa penghancur tersebut (badai dan api); dan julukan-julukan yang
159 RV, I. 72. 3; II. 27. 10. AV, I. 10. 2; II. 13. 3. Vaj. Sam., XXV. 22.160 II. 6. 2. 18.
161 I. 10. 14.162 RV. I. 27. 10; II. 1. 6; III. 2. 5; VIII. 72. 3.163 Keith, A.B., Rel. and Philo of the V. and U., hal. 144.164 Ind. Stud., ii, hal. 20; dikutip dari Muir, OST, Vol. IV, hal. 397165 Op. cit., vol. IV, hal. 404.
ditujukan kepada Rudra membawa kita kembali sebagian kepadanya dan sebagian lagi
kepada Agni.166 Julukan-julukan Rudra yaitu Nilagriva, Sitikantha, Hiranyabahu, Vilohita,
Sahasraksa, dan Pasupati – yang sudah muncul dalam Yajurveda bagian Saturudriya – adalah
api, dan menunjukkan sejumlah wujud dewa api yang tergabung dalam Rudra167.
R.G.Bhandarkar168 berpikir bahwa julukan Kapardin atau ‘pemilik rambut kusut’,
kemungkinan disebabkan karena dia serupa dengan Agni, asap dari api menyerupai rambut
kusut.
Kita telah melihat bahwa Sayana memberikan enam penjelasan nama ‘Rudra’, dimana
yang terakhir adalah sebagai berikut: “Ketika pada suatu kesempatan terjadi pertempuran
antara para dewa dan asura, Rudra yang memiliki sifat Agni membawa keluar harta yang
telah dibuang oleh para dewa dan pergi. Namun para dewa, setelah mengalahkan para Asura,
mencarinya, melihatnya, dan mengambil harta itu darinya (Rudra): kemudian dia menangis
(arudat) dan sejak itu dia disebut Rudra.”169 Kita juga telah melihat bagaimana Prajapati
memberinya nama Rudra dalam Satapatha Brahmana170, karena Rudra adalah Agni dank
arena dia menangis (rud) maka disebutlah dia Rudra. Sebuah kisah, seperti yang diceritakan
dalam Sayana, juga diceritakan dalam Taittiriya Samhita171.
Pada awal Yajurveda, Bhava dan Sarva muncul sebagai nama Rudra, dan dalam
kesusastraane klasik mereka sinonim yang umum untuk Siva. Dalam Satapatha Brahmana172,
Agni dinyatakan sebagai nama maskulin (santa) Rudra yang oleh orang-orang Timur
dipanggil Sarva dan orang-orang Bahlika173 menyebutnya Bhava. Brahmana174 ini juga
menyampaikan etimologi Saturudriya yang fantastis, seolah-olah itu merupakan santa
(pendamai) dan rudriya, alih-alih ‘sesuatu yang berhubungan dengan seratus Rudra’. Kami
memiliki beberapa rujukan lainnya dalam Satapatha Brahmana dimana Rudra adalah api
yang baru dinyalakan175 atau Agni diciptakan sebagai Rudra berkepala seratus.176
Dengan demikian kita melihat bagaimana dalam Brahmana-Brahmana tersebut
seluruh pemikiran-pemikiran itu sudah dalam proses pengembangan yang mencapai
166 Weber, Ind. Stud., ii, hal. 20; dikutip dari Muir, op cit., IV, hal. 397.167 ERE, vol. II, hal. 81. 2.168 Op. cit., hal. 103169 OST, IV, hal. 303.170 VI. 1. 3. 10.171 I. 5. 1. 1.172 I. 7. 3. 8.173 Penduduk Balkh saat ini di Afghanistan.174 SB, IX. I. 1. 2 dan 7175 Ibid., II. 3. 2. 9.176 Ibid., IX. 2. 3. 32.
pengembangan penuh dalam kesusastraane Veda berikutnya. Aranyakas, digubah oleh
Vanaprastha dan yatis di rumah hutan mereka, mencoba di tingkat penafsiran alegoris tentang
pentingnya inti dari upacara-upacara yang rumit itu bagi masyarakat awam yang tidak
sanggup melangsungkan upacara mahal tersebut.177 Tapi pendekatan intelektual terhadap
masalah-masalah keagamaan ini mencapai puncaknya dalam Upanisad yang ditentukan
sebagai Vedanta, puncak Veda-Veda.178
Pada zaman Upanisad, ketika keyakinan Regveda kuno akan keberadaan berbagai
dewa dengan karakter henoteistik atau katenoteistik tergantikan oleh keyakinan terhadap
Brahman (Tuhan) yang bersifat umum, ketika upacara-upacara kurban dan pengetahuan
spekulatif menjadi penting, kami memiliki beberapa Upanisad metris yang secara kronologis
muncul belakangan berdasarkan tanggal, dimana panteisme dari Brhadaranyaka, Aitareya,
Chandogya, dll. dilengkapi oleh teisme, dan konsep satu Tuhan diberi banyak nama telah
diwujudkan dengan jelas.179 Svetasvatara merupakan salah satu dari Upanisad metris – yang
disebut oleh Deussen180 sebagai monumen teisme, -- dimana Brahman sesekali
diidentifikasikan dengan Rudra.
R.G. Bhandarkar181 berpendapat bahwa Upanisad ini ‘bukanlah sebuah buku ulasan
mengenai golongan kepercayaan tertentu’. Dengan rasa hormat pada sang sejarawan, kami
memberanikan diri mengutip beberapa tulisan pendek dari Svetasvatara Upanisad yang
dengan gamblang menunjukkan kultus Rudra sebagai semacam dewa sektarian.
Dalam salah satu tulisan182 Rudra diwujudkan sebagai Mahesvara (Dewa Agung) di
antara para dewa (Isvara) dan sebagai dewa tertinggi di antara para dewa.
Pada tulisan yang lain183 Rudra disebutkan sebagai yang menciptakan Brahman dan
mengirimkan Veda kepadanya.
177 Banerjea, J. N., PTR, hal. 4178 Upanisad dalam karya Keith (Religion and Philosophy of the Veda and Upanisads, Vol. II, hal. 497), “merupakan hasil dari refleksi orang-orang berdarah campuran. Jika kita ingin, kita bisa menyebut Upanisad sebagai karya pemikiran orang-orang Aryo-Dravida.”
179 Banerjea, J. N., PTR, hal. 5-6.180 Radhakrishnan, S. Indian Philosophy, Vol. I. 1958, hal. 511.181 Op. cit., hal. 110.182 SU, VI. 7. Tam isvaranam paramam Mahesvaram Tam devatanam paramam ca daivatam183 SU, VI. 18. Yo Brahmanam vidudhati purvam Yo vai vedamsca prahinoti tasmai
Pada bagian ketiga kami menemukan hal berikut: “Dia, sang pencipta dan pendukung
para dewa, Rudra, peramal Agung, dewa dari semuanya, dia yang melahirkan Hiranyagarbha,
semoga dia memberkati kita dengan pikiran-pikiran baik.”184
Dalam tulisan yang keempat disebutkan bahwa “seluruh semesta ini dipenuhi oleh
orang ini (purusa), dimana tiada hal lain yang lebih unggul.”185
Lagi-lagi Rudra disebutkan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur, ketika
Upanisad ini menyebutkan bahwa “Hanya ada satu Rudra, tidak ada duanya, beliau yang
mengatur seluruh dunia ini dengan kekuatannya. Beliau berdiri di belakang semua orang, dan
setelah mencipta seluruh dunia ini, beliau, sang pelindung, menggulungnya di akhir
perjalanan waktu.”186
Sesungguhnya, konsep Brahman-Atman dalam Upanisad terkadang disebut Deva,
‘suatu nama umum yang bersifat non-sektarian’.187 Namun belakangan, Hiuen Tsang188
menyebut Siva dengan sebutan Deva atau Isvara-Deva. Julukan Devavrata yang ditujukan
untuk Gondophares pada mata uangnya bisa jadi suatu tanda; kemungkinan deva yang
disebut di sini tidak sekedar berarti ‘dewa’ melainkan dewa Siwa. Karya-karya penganut
Budha sebelumnya, seperti Chullavagga dan Samyuttanikaya menyebut Siva sebagai Deva
atau Devaputra.189 Dalam tulisan di Niddesa,190 kami tidak menemukan kata Siva melainkan
Deva bersamaan dengan kata Vasudeva, Baladeva, dan yang lainnya, dan dapat diduga
bahwa Deva dan pemuja Dwva yang dimaksud adalah Siva dan para pengikutnya.
Svetasvatara Upanisad juga menggunakan sebutan Deva untuk menyebut Rudra.
Dalam Svetasvatara Upanisad, Rudra diberkati dengan sejumlah nama, seperti
Hara,191 Mahadeva,192 Isa,193 Isana,194 Mahesvara,195 dan Bhagavata.196 Weber197 sudah lama
184 Ibid., III. 4; IV. 12185 Ibid., III. 9.186 Ibid., III. 2. Eko hi Rudro na dvitlyaya tasthurya iman lkunisata isanibhih | Pratyan janamstishthate sanchukopantakale samstjya visva bhuvanani gopta |187 Bhandarkar, R.G., op. cit., hal. 110.188 Walters, On Yuan Chwang; 1, hal. 214. Di luar gerbang barat kota Pushkalavati terdapat kuil Deva dan gambar keajaiban-kerja Deva.” Kata ‘Deva’ di sini mengacu pada Siva.189 Banerjea, J. N., PTR, hal. 70.190 Dikutip dari Bhandarkar, R. G., op.cit., hal. 3; Banerjea, J. N., PTR, hal. 70.191 I. 10.192 III. 12.193 III. 17; III. 20194 III. 15.195 IV. 7.196 III. 11.197 Ind. Stud., ii. Hal. 302; dikutip dari Banerjea, DHI, hal. 448.
mengatakan bahwa julukan seperti Mahadeva dan Isana, cukup menunjukkan keunggulan
dewa ini bila dibandingan dengan dewa-dewa lainnya, mengindikasikan suatu pemujaan yang
bersifat sektarian; akan tetapi pengamatan ini terlalu jauh jangkauannya. Kata Siva, dalam
syair Veda,198 lebih banyak digunakan sebagai suatu sifat dan dihubungkan atau dilekatkan
pada lebih dari satu dewa. Dalam Svetasvatara Upanisad,199 nama Siva, muncul dalam
sejumlah tulisan pendek, utamanya sebagai sesuatu yang menerangkan Rudra, dan proses
pengubahan ‘kata sifat’ menjadi ‘kata benda’ untuk menamai kultus dewa telah dimulai
dalam kesusastraane Veda. Di sinilah Beliau yang Agung – Sang Mayin – beserta Maya200
sebagai Prakrti-nya (alam) dan dimohonankan menjadi (makhluk hidup – red) lelaki maupun
perempuan201. Kata linga juga digunakan dalam satu sloka,202 tapi kemungkinan dalam bahasa
Nyaya.203 Namun, R.G.Bhandarkar,204 tidak memungkiri kemungkinan bahwa ketika
Svetasvatara Upanisad berbicara tentang dewa Isana sebagai pemimpin setiap yoni,205 dan
tentang Beliau sebagai pemimpin dari semua wujud dan yoni,206 “sebuah referensi akan bukti
fisik digabungnya Linga dan Yoni bersama-sama, mungkin berarti melambangkan doktrin
filosofis para dewa dalam memimpin segala hal yang merupakan penyebab kegiatan.”
Mengenai julukan lain dalam Upanisad ini yang diaanggap berasal dari Rudra, dapat
diketahui sebagai berikut: Beliau merupakan penghuni gunung,207 dewa yang berstana di
gunung,208 ‘berkepala seribu’, ‘bermata seribu’,209 yang hidup sendiri, terpancang seperti
pohon di langit (sthanu),’210 dan memerintah semua makhluk ‘berkaki dua dan berkaki
empat’.211
Svatasvatara Upanisad menyatakan bahwa realitas Tuhan atau dewa tidak dapat
dibuktikan dengan logika; hal ini hanya bisa direalisasikan dengan keyakinan, kasih, bahkti,
198 RV, X. 124. 2.199 SU, III. 11; V. 14. Jnatva sivam sarvabhutesu gudham—IV. 16.200 Ibid., IV. 10. Mayantu prakrtim vidyan mayinantu Mahesvaram201 Ibid., IV. 3.202 Ibid., IV. 9.203 Radhakrishnan, S., op. cit., hal. 511.204 Op. cit., hal. 114n.205 SU., IV. 11.206 Ibid., V. 2.207 Ibid., III. 5.208 Ibid., III. 6.209 Ibid., III. 14.210 Ibid., III. 9. For Sthanu, the Pillar, lihat juga Kramtisch, S., The Presence of Siva, Princeton Univ. Press., 1981, hal. 117-122.211 Ibid., IV. 13.
meditasi, dan Yoga.212 Terdapat bukti dalam Upanisad ini bahwa Svatesvatara, sang penulis
bijak, sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada Rudra sebagaimana yang dilakukan Arjuna
kepada Krsna.213 R.G. Bhandarkar214 betul-betul mengamati bahwa Svetasvatara Upanisad
berpijak pada ajaran bhakti dan menuangkan kasihnya pada Rudra-Siva’. Sesekali kami perlu
memperhatikan bahwa akar dari Yoga dan Bhakti dapat ditelusuri melalui kepercayaan dan
latihan (spiritual) penduduk India sebelum masuknya bangsa Arya.215 Kelompok besar
masyarakat non-Arya tampaknya merupakan orang-orang yang percaya pada jenis agama
tertentu yang betul-betul berbeda dari agama yang dianut oleh golongan Indo-Arya yang
lebih tinggi sebagaimana ditemukan dalam Regveda dan kitab-kitab Samhita serta
Brahmana-Brahmana sebelumnya. Oleh sebab itu, Svetasvatara Upanisad menjelaskan
kontribusi golongan non-Arya terhadap perkembangan Bhakti,216 dan pengaruh Siva, yang
dipuja oleh masyarakat pra-Arya, terhadap Rudra dalam Veda.
Kita juga harus mengacu dalam hal ini pada dua stempel terkenal Lembah Indus yang
menggambarkan proto-Siva dalam sikap badan seorang Mahayogi disertai dua manusia yang
berlutut di kanan-kirinya dengan tangan terangkat, melakukan doa.217 Sircar218 mengatakan
bahwa keberadaan golongan pengikut sektarian proto-Siva di awal peradaban Mohenjodaro
dibuktikan dengan adanya gambar manusia berlutut tersebut.
Namun, setelah Svetasvatara Upanisad, pemikiran teistik Saivisme lebih jauh
berkembang dalam Atharvasiras Upanisad, sebuah karya sastra sektarian berikutnya. Di sini
Rudra tidak saja diidentifikasikan dengan dewa-dewa lainnya tapi juga digambarkan sebagai
dewa yang jauh melampau dewa-dewa tersebut baik secara individu maupun bersama-
sama.219 Para dewa bertanya pada Rudra tentang siapa dirinya. Rudra menjawab: “Beliau
(Tuhan – red) sendiri baik di masa lampau, sekarang, atau yang akan datang, dan tiada yang
lain. Beliau berada di seluruh bagian.”220 Untuk mencapai pengetahuan sejati tentang Rudra,
seseorang harus makan makanan secukupnya (tidak berlebihan baik dalam jumlah maupun
rasa – red), meninggalkan ketamakan (lobha) dan amarah (krodha), melakukan meditasi
(dhyana), menyediakan waktu untuk membaca atau mendengarkan (sravana) ayat-ayat suci
212 Ibid., III. 20; I. 10; IV. 4-6;213 Banerjea, J. N., PTR, hal. 69.214 Op.cit., hal. 110.215 Marshall, J., MIC, Vol. I. hal. 54.216 Sircar, D. C., Studies in the Religious Life of Ancient and Medieval India, 1971, hal. 13n. 217 Marshall, J., op. cit., Vol. I. hal. 54, 68ff.; Vol. III Pls. cxvi, 29 dan cxviii, 11. 218 Studies in the Rel. Life., hal. 11.219 Banerjea, J. N., PTR, hal. 69.220 Dikutip dari Bhandarkar, R. G., op.cit., hal. 111.
yang telah ditentukan, berpikir (manana) mengenai makna kesejatian mereka, berusaha
memenuhi sumpah (vrata) Pasupata dan dengan demikian menjadi Paramahamsa atau
menjadi bhakta yang berpikiran tunggal’.221
Pasupatavrata disebutkan dalam Atharvasiras Upanisad karena berisi pengotoran
tubuh orang yang diinisiasi dengan abu disertai dengan gumaman mantra yang
diperhitungkan untuk melakukan pembebasan diri dari rintangan hidup.222 Ungkapan
Pasupasa-vimoksana—salah satu vidhi mendasar atau karakteristik ajaran Pasupata di
kemudian hari—dimaksudkan bahwa dengan melakukan vrata ini, ikatan (duniawi – red)
(pasa) dari pemuja Rudra-Siva akan terlepas dan terbebas dari belenggu menuju kesadaran
diri sejati.223 Siva-bhagavatas dari Patanjali Mahabhasya224 rupanya merupakan pengikut
Pasupata-Vrata yang disebutkan dalam Atharvasiras Upanishad.
Tahap selanjutnya dalam kesusastraan Veda diwakili oleh Sutra. Dengan memperluas
penyelidikan kita terhadap cabang kesusastraan Veda ini, diketahui bahwa Rudra masih
dipandang sebagai dewa hebat yang tidak ramah (menakutkan), yang harus dijauhi. Kitab
Asvalayana Grhyasutra225, Sankhayana Grhyasutra226, Paraskara Grhyasutra227, dan
Grhyasutra dalam Hiranyakesin228 menggambarkan sulagava atau lembu panggang sebagai
persembahan kepada Rudra dengan detail. Beberapa karakter dari agama semula dari bangsa
Non-Arya mengarah pada tatanan Siva yang dikemudian hari dibuktikan oleh fakta bahwa
upacara ini dilakukan di luar wilayah desa dan sisa-sisa dari upacara tersebut tidak boleh
dibawa masuk desa, karena ‘dewa ini (Rudra) akan membahayakan manusia.229 Selain itu,
warna merah pada sang dewa diinterpretasikan sebagai warna darah dan api.230 Dalam ritual,
Rudra ditandai dengan sangat jelas dari dewa-dewa lainnya. Gobhila Grhyasutra231
mengharuskan bahwa di akhir pemujaan, para pemuja harus memercikkan air menggunakan
segenggam rumput ke dalam api sembari mengucap mantra: ‘Engkau yang merupakan dewa
221 Dikutip dari. Ibid, hal. 112.222 ‘Abu adalah api, abu adalah angin, abu adalah air, abu adalah bumi, ether adalah abu, segalanya merupakan abu, pikiran, mata, dan indera-indera yang lain merupakan abu’.—dikutip dari Banerjea, J. N., PTR, hal. 70; Bhandarkar, R. G., op. cit., hal. 112.223 Radhakrishnan, S., Indian Philosophy., Vol I, 1958, hal. 448; Banerjea, J. N., DHI, hal. 451.224 Komentar dalam Sutra Panini, V. 2. 76.225 IV. 8.226 III. 11.227 III. 8.228 II. 3. 8.229 AGS, IV. 8. 32.230 Keith, A. B., Rel. and Philo. Of the V and U., hal. 145.231 I. 8. 28.
ternak, Oh Rudra, Engkau yang berjalan dengan berbagai ternak, dewa yang gagah perkasa:
Jangan sakiti ternak-ternak kami; kami mempersembahkan ini pada-Mu.’
Kita telah mengetahui dari Satapatha Brahmana,232 bahwa Rudra distanakan di Utara,
semntara dewa-dewa lain distanakan di Timur, tempat terbitnya sang Surya. Menurut
Apastamba Dharmasutra,233 setiap makanan yang tersisa setelah makan, diletakkan di Utara,
untuk dipersembahkan pada Rudra. Sankhayana Gryyasutra234 mengharuskan orang sakit
untuk memuja Rudra, dan penyucian, dengan cara menyentuh air, perlu dilakukan setelah
melakukan puja atau memberi persembahan kepada Rudra. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun pada periode Sutra, Rudra kemungkinan tidak persis berada di dalam panteon
ortodoks, namun rupanya akibat hubungannya dengan adat dan dewa-dewa golongan Non-
Arya, Rudra masih diterima oleh sebagian orang meskipun sebagian lainnya menolak.
Asvalayana Grhyasutra235 menyebutkan dua belas nama Rudra, yaitu Hara, Mrda,
Sarva, Siva, Bhava, Mahadeva, Ugra, Bhima, Pasupati, Sankara, dan Isana. Di dalam
Apastamba236 dan Hiranyakesin237 Grhyasutra, dia disebut Ksetrapati. Dalam Hiranyakesin238
sebuah mantra diucapkan untuk pasangan (istri) Rudra, Sarva, Isana, Pasupati, Ugra, dan
Bhima; dan Rudra juga dimohonkan untuk melawan iblis jahat dan para musuh: “Rudra
dengan rambut bergelombang berwarna hitam! Wahai Pahlawan! Dalam setiap pertempuran,
kalahkan musuh-musuh saya seperti pohon yang ditumbangkan oleh petir.”239
Paraskara Grhyasutra240 memberi petunjuk untuk melakukan pemujaan terhadap
Rudra saat hendak memalang jalan setapak karena beliau berdiam di tempat itu, saat hendak
menyebrang perempatan jalan karena beliau berada di sana, pada saat berenang
menyeberangi sungai atau saat naik kapal laut karena beliau tinggal dalam air, pada saat
memasuki hutan sebab beliau tinggal dalam hutan, saat mendaki gunung karena beliau
menguasai pegunungan, pada saat melewati tanah kuburan karena beliau tinggal di antara
para leluhur, atau saat melewati kandang sapi karena beliau tinggal di antara tumpukan
kotoran sapid an saat melewati tempat lainnya karena Rudra adalah alam semesta ini sendiri’.
Hiranyakesi-grhyasutra241 juga memberi petunjuk untuk memuja Rudra sembari mengucap
232 SBE, Vol. XII, hal. 438; Vol. XLIII, hal. 158; Vol. XLIV, hal. 488.233 II. 24. 23.234 I. 10. 9; V. 6. 1-2235 IV. 8. 19.236 VII. 20. 12-18.237 II. 3. 9. 7-12.238 II. 3. 9. 7-12.239 Ibid., I. 4, 15. 6.240 III. 15. 7-16241 I. 5. 16. 8-13.
mantra tertentu ketika seseorang hendak melewati perempatan jalan atau melewati tumpukan
kotoran ternak, ketika ular merayap, karena beliau tinggal di antara para naga (ular), atau
ketika seseorang mendekati tempat yang indah, tempat pemujaan, atau pohon tua, sebab
Rudra menempati tempat-tempat tersebut. Hal ini menyiratkan bahwa dalam Grhyasutra
pemujaan terhadap Rudra dalam setiap langkah kehidupan sangatlah penting; karena Rudra
hanya melindungi manusia dari rasa takut dan mara bahaya—yang mana bersumber dari
Rudra sendiri—yang mengancam kehidupan setiap saat. Kecenderungan untuk menerima
dewa ini dengan menekankan pada aspek kemurah-hatiannya berlanjut dalam Sutra-Sutra ini.
“Di sini terdapat alasan-alasannya”, pada kata-kata Bhandarkar,242 “yang membuat dia lantas
dianggap sebagai dewa tertinggi alam semesta dengan mengesampingkan dewa-dewa lainnya
kecuali Wisnu.”
Menutup survei kesusastraan Veda yang berkenaan dengan Rudra, pada akhirya kami
melihat fakta bahwa esensi Rudra—dalam pemikiran-pemikiran para penyair Veda—
merupakan ‘kekuatan dari sesuatu yang tidak terpelihara, sesuatu yang tidak terkalahkan,
sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang tak dapat dipercaya dan tak dapat diramalkan’,243--oleh
sebab itu lebih banyak hal yang ditakuti dari Rudra. Perasaan takut inilah yang menjadi
landasan.244 Pemujaan yang dilakukan terhadap Rudra seperti yang digambarkan dalam
kesusastraane Veda tidaklah dilakukan dengan tulus melainkan bersifat utilitarian (memiliki
maksud untuk memperoleh manfaat tertentu). Epos-Epos serta Purana Rudra-Siva
menunjukkan campuran atau sinkretisme245 terhadap lebih dari satu dewa. Hal ini bukanlah
pengembangan dewa-dewa Veda perlahan-lahan berdasarkan garis keturunan yang dicatat
dalam RegVeda, melainkan metamorphosis dari dewa-dewa bangsa Arya menjadi dewa yang
memiliki ciri-ciri bangsa Arya maupun non-Arya. Dewa atmosforik dalam Regveda akhirnya
menjadi dewa dengan berbagai tugas. Sesungguhnya, sifat Rudra yang tersebar di seluruh
dunia membuatnya mampu menyerap dewa-dewa lokal. Konsepsi Siva yang bertolak
belakang dari Rudra, sebagian berasal dari suatu usaha peredaan amarah dengan memberi
242 Op. cit., hal. 106.243 Gonda, J., Visnuism dan Sivaism, London, 1970, hal. 5.244 Bhandarkar, R. G., op. cit., hal. 106.245 Keith, Rel. & Philo. of the V dan Up., hal. 148
sanjungan246 dan sebagian lagi mungkin berasal dari penggabungannya dengan pemimpin
para dewa dari bangsa Pra-Arya secara perlahan-lahan.
(ii) IDENTIFIKASI RUDRA DAN SIVA
Di antara Kesusastraan Veda dan naskah-naskah Epos dan Puranik yang terkait
dengan Rudra, terdapat perbedaan besar yang mengetengahi. Apa yang sebelumnya hanya
merupakan sebuah sketsa dalam kesusastraan Veda telah menjadi menjadi suatu dimensi baru
dan diungkapkan secara detail. Pada sosok Rudra-Siva yang mengambil wujud, atribut dna
julukan tertentu tercurah dalam jumlah yang berlebihan.1 Hubungan yang tepat antara Rudra
dan Siva belum bisa ditelusuri dengan memuaskan. Pengenalan akan suatu wujud keilahian
yang sama sekali baru dari utara telah dipikirkan. Sesosok dewa popular di kalangan
masyarakat Pra-Arya juga diduga telah ditanamkan pada agama kuno dengan
menyamakannya dengan Rudra;2 dan lagi-lagi penyampuran beberapa sifat-sifat Agni dengan
Rudra diduga telah menciptakan pengembangan baru. Barth3 menganggap Rudra dalam
Regveda sebagai yang utama dan sungguh-sungguh murah hati, dan dia menyimpulkan
bahwa aspek atas sifat-sifatnya yang menakutkan tidak begitu menonjol sampai kita tiba pada
pembahasan Atharva, ketika kultusnya telah bersatu dengan kultus Siva.
246 Sircar, D. C.., The Skata-Phitas, hal. 102. Berdasarkan pada naskah Sansekerta asli. Stella Kramrisch (The Presence of Siva, Princeton University Press, 1981) mempertimbangkan ilmu metafisika, ontology dan mitos RUdra dan Siva dari Veda hingga Purana pada karya monumentalnya di atas. Mengenai lahirnya Rudra, lihat hal. 93-116. Lihat juga Bhattacharji, S., The Indian Theogony: a comparative study of Indian mythology from the Vedas to the Puranas, Cambridge, 1970.
1. Eliot, C., Hinduism dan Buddhism, Vol. II, London, 1957, hal. 145.2. Whitney, W. D., dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. III, 1853, hal. 318f.3. The Religions of India, London, 1882, hal. 160-63.