pandangan roscoe pound dan savigny terhadap politik hukum_sudirman
DESCRIPTION
penerapan hukum di Indonesia, ada yang top down dan ada yang bottom upTRANSCRIPT
PANDANGAN ROSCOE POUND DAN SAVIGNY TERHADAP
POLITIK HUKUM
Oleh : Sudirman Simamora (087005059)
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Medan 2008
Roscoe Pound mengatakan bahwa “law as a tool of social engineering”
maksudnya adalah hukum itu sebuah rekayasa sosial yang memaksa suatu
masyarakat untuk menuju ke arah yang diinginkan oleh penguasa1, sedangkan
Savigny mengatakan bahwa “das Recht wird nicht gemacht, aber ist und wird
dem Volke” maksudnya adalah hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh
bersama masyarakat.2
Latar Belakang
Jika dipandang dari sudut politik hukum, terbentuknya hukum menurut
teori Roscoe Pound adalah datangnya dari atas (pemerintah) atau top down,
hukum direkayasa bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial
sekaligus mengembangkan kerangka agar para ahli lebih memusatkan perhatian
pada hukum dalam law in action dan jangan hanya sebagai law in books dalam
pemenuhan kebutuhan secara maksimal.3
Namun, menurut Savigny Hukum itu lahir dari jiwa rakyat tapi yang telah
disahkan oleh badan yang berdaulat, yang penting hukum itu mengakomodasi 1 Bismar Nasution. Catatan Perkuliahan Teori Hukum. Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara. Medan. 2008. 2 Zulkarnain. Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Mazhab Sejarah. Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Medan. 2003. h. 4. 3 Bismar Nasution. Loc. cit.
1
kepentingan jiwa masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa hukum itu berasal
dari jiwa masyarakat, disebut juga bottom up termasuk juga fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai sarana dalam pembentukan hukum yang
datang dari kepentingan bawah.
Masalah yang Timbul
Adapun permasalahan yang timbul dari penulisan ini, antara lain :
- Apakah ada undang-undang yang pembentukannya memakai dasar teori
Roscoe Pound dan Von Savigny?
Undang-Undang dengan Memakai Teori Roscoe Pound
Di Indonesia teori hukum Roscoe Pound dilakukan sebagai contoh dalam
penerapan law in action adalah tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan yang
dibuat oleh pemerintah (top down) dimana dalam ketentuannya keberpihakan
pemerintah kepada kepentingan penguasa sangat besar misalnya para pekerja
outsourcing pemerintah tidak memikirkan tentang jaminan kesehatan dan hak
pensiun dalam hal ini pemerintah lebih mengutamakan kepentingannya,
pemerintah telah melakukan rekayasa atas hukum untuk kepentingan penguasa.
Contoh lain misalnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
pada Pasal 7 Ayat (1)4 dimana usia seorang wanita dipersyaratkan dengan batasan
umur yaitu baru bisa melaksanakan perkawinan apabila telah mencapai umur 16
(enam belas) tahun, jelas ketentuan ini adalah rekayasa hukum oleh pemerintah,
pembatasan perkawinan itu adalah keinginan pemerintah merekayasa usia
perkawinan filosofinya adalah untuk mengurangi angka kelahiran di indonesia.
4 Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2
Pandangan Politik Hukum tentang Teori Roscoe Pound
Dalam pandangan politik hukum, terbentuknya undang-undang atau
hukum tersebut dikarenakan ada suatu kepentingan negara disebut kepentingan
nasional. Kepentingan nasional lebih diutamakan dibandingkan golongan dan
kelompok tertentu. Kepentingan nasional biasanya untuk memajukan
kesejahteraan masyarakatnya agar menuju kehidupan yang baik. Berbicara
mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka disini
ada suatu pemaksaan bahwa seluruh masyarakat Indonesia harus mengikutinya.
Kepentingannya adalah agar masyarakat tidak kesulitan dalam pemenuhan
kebutuhan biaya hidup keluarga yang berlebihan anggotanya.
Undang-Undang dengan Memakai Teori Von Savigny
Contoh yang dapat dihubungkan dengan teori Von Savigny dalam
perspektif hukum menurut kehendak dari bawah yaitu salah satu program yang
disampaikan oleh Gubernur Sumatera Utara yang dalam visi misinya mengatakan
ada 3 (tiga) konsep dalam mengatasi permasalahan di propinsi Sumatera Utara
yaitu pertama rakyat tidak sakit, kedua rakyat tidak bodoh, ketiga rakyat tidak
miskin.5
Ketiga konsep tersebut seharusnya kalangan DPR tanggap dan bersegera
untuk membuat undang-undang terhadap keinginan Gebernur dimaksud, bila hal
ini dilakukan oleh DPRD maka proses tersebut dikatakan produk hukum dibuat
dan lahir dari bottom up yaitu produk hukum ada atas kepentingan dan
memenuhi tuntutan jiwa rakyat (volkgeist).6
5 Bismar Nasution. Loc. cit. 6 Bismar Nasution. Loc. cit. 7. Bismar Nasution. Loc. cit.
3
Selain dari itu produk hukum yang lahir dari tuntutan jiwa rakyat adalah
undang-undang atau produk hukum yang dibuat oleh Gubernur Sumatera Selatan,
dimana dalam RAPBN telah dimasukkan bahwa untuk anggaran pendidikan
dalam tahun 2009 diusulkan kenaikan sebesar 20 % dan hal tersebut telah
mendapat persetujuan dalam RAPBN 2009.7
Pandangan Politik Hukum tentang Teori Savigny
Jika, hukum berasal dari masyarakat maka hukum tersebut sudah pasti
baik karena masyarakat yang menginginkan jadi hukum dilaksanakan dengan
kehendak sendiri yang berasal dari hati untuk melakukannya, atau bisa disebut
dari dalam ke luar.
Kesimpulan
Dalam penulisan tugas ini, dapat ditarik kesimpulan adalah menurut
Roscoe Pound, hukum berasal dari atas ke bawah (top down). Atas sama dengan
Pemerintah lalu bawah sama dengan masyarakat; sedangkan menurut Von
Savigny, hukum berasal dari bawah ke atas (bottom up). Bawah sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan kata lain sebagai perwakilan rakyat lalu
atas sama dengan Pemerintah yang melegitimasi kemauan masyarakat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Bismar. Catatan Perkuliahan Politik Hukum. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008.
7
4
Siregar, Mahmul. Catatan Perkuliahan Teori Hukum. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2008
Zulkarnain. Kritik Terhadap Pemikiran Hukum Mazhab Sejarah. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan. 2003. h. 4.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
5