pancasila

39
All About Pancasila Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila. Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia. Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila

Upload: sushinta-feby-astuti

Post on 02-Jan-2016

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Evil Fighter

TRANSCRIPT

All About Pancasila

Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.

Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.

Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.

Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan

segala bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.

Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi luhur. Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat adalah, karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.

Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.

3.1.3   Pengertian Filsafat Pancasila

                   Pancasila dikenal sebagai filosofi Indonesia. Kenyataannya definisi filsafat dalam filsafat Pancasila telah diubah dan diinterpretasi berbeda oleh beberapa filsuf Indonesia. Pancasila dijadikan wacana sejak 1945. Filsafat Pancasila senantiasa diperbarui sesuai dengan “permintaan” rezim yang berkuasa, sehingga Pancasila berbeda dari waktu ke waktu.

     Filsafat Pancasila Asli

                   Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato Sukarno di BPUPKI dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di Eropa, di mana filsafat barat merupakan salah satu materi kuliah mereka. Pancasila terinspirasi konsep humanisme, rasionalisme, universalisme, sosiodemokrasi, sosialisme Jerman, demokrasi parlementer, dan nasionalisme.

     Filsafat Pancasila versi Soekarno

                   Filsafat Pancasila kemudian dikembangkan oleh Sukarno sejak 1955 sampai berakhirnya kekuasaannya (1965). Pada saat itu Sukarno selalu menyatakan bahwa Pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia dan akulturasi budaya India (Hindu-Budha), Barat (Kristen), dan Arab (Islam). Menurut Sukarno “Ketuhanan” adalah asli berasal dari Indonesia, “Keadilan Soasial” terinspirasi dari konsep Ratu Adil. Sukarno tidak pernah menyinggung atau mempropagandakan “Persatuan”.

       Filsafat Pancasila versi Soeharto

                   Oleh Suharto filsafat Pancasila mengalami Indonesiasi. Melalui filsuf-filsuf yang disponsori Depdikbud, semua elemen Barat disingkirkan dan diganti interpretasinya dalam budaya Indonesia, sehingga menghasilkan “Pancasila truly Indonesia”. Semua sila dalam Pancasila adalah asli Indonesia dan Pancasila dijabarkan menjadi lebih rinci (butir-butir Pancasila). Filsuf Indonesia yang bekerja dan mempromosikan bahwa filsafat Pancasila adalah truly Indonesia antara lain Sunoto, R. Parmono, Gerson W. Bawengan, Wasito Poespoprodjo, Burhanuddin Salam, Bambang Daroeso, Paulus Wahana, Azhary, Suhadi, Kaelan, Moertono, Soerjanto Poespowardojo, dan Moerdiono.

                   Berdasarkan penjelasan diatas maka pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.

                   Kalau dibedakan anatara filsafat yang religius dan non religius, maka filsafat Pancasila tergolong filsafat yang religius. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan manusia, termasuk kemampuan berpikirnya.

                   Dan kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis, filsafast Pancasila digolongkandalam arti praktis. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila di dalam mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak hanya bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tidak sekedar untukmemenuhi hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi juga dan terutama hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari

(pandangan hidup, filsafat hidup, way of the life, Weltanschaung dan sebgainya); agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.

                   Selanjutnya filsafat Pancasila mengukur adanya kebenran yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat sebgai berikut:

1.      Kebenaran indra (pengetahuan biasa);

2.      Kebenaran ilmiah (ilmu-ilmu pengetahuan);

3.      Kebenaran filosofis (filsafat);

4.      Kebenaran religius (religi).

                   Untuk lebih meyakinkan bahwa Pancasila itu adalah ajaran filsafat, sebaiknya kita kutip ceramah Mr.Moh Yamin pada Seminar Pancasila di Yogyakarta tahun 1959 yang berjudul “Tinjauan Pancasila Terhadap Revolusi Fungsional”, yang isinya anatara lain sebagai berikut:

                   Tinjauan Pancasila adalah tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat. Marilah kita peringatkan secara ringkas bahwa ajaran Pancasila itu dapat kita tinjau menurut ahli filsafat ulung, yaitu Friedrich Hegel (1770-1831) bapak dari filsafat Evolusi Kebendaan seperti diajarkan oleh Karl Marx (1818-1883) dan menurut tinjauan Evolusi Kehewanan menurut Darwin Haeckel, serta juga bersangkut paut dengan filsafat kerohanian seperti diajarkan oleh Immanuel Kant (1724-1804).

                   Menurut Hegel hakikat filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir dari antitese pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang harmonis. Dan ini adalah tepat. Begitu pula denga ajaran Pancasila suatu sintese negara yang lahir dari antitese.

                   Saya tidak mau menyulap. Ingatlah kalimat pertama dan Mukadimah UUD Republik Indonesia 1945 yang disadurkan tadi dengan bunyi: Bahwa sesungguhanya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu penjajahan harus dihapusakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

                   Kalimat pertama ini adalah sintese yaitu antara penjajahan dan perikemanusiaan dan perikeadilan. Pada saat sintese sudah hilang, maka

lahirlah kemerdekaan. Dan kemerdekaan itu kita susun menurut ajaran falsafah Pancasila yang disebutkan dengan terang dalam Mukadimah Konstitusi R.I. 1950 itu yang berbunyi: Maka dengan ini kami menyusun kemerdekaan kami itu, dalam suatu Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan berdasarkan ajaran Pancasila. Di sini disebut sila yang lima untukmewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan dan perdamaian dunia dan kemerdekaan. Kalimat ini jelas kalimat antitese. Sintese kemerdekaan dengan ajaran Pancasila dan tujuan kejayaan bangsa yang bernama kebahagiaan dan kesejajteraan rakyat. Tidakah ini dengan jelas dan nyata suatu sintese pikiran atas dasar antitese pendapat?

                   Jadi sejajar denga tujuan pikiran Hegel beralasanlah pendapat bahwa ajaran Pancasila itu adalah suatu sistem filosofi, sesuai dengan dialektis Neo-Hegelian.

                   Semua sila itu adalah susunan dalam suatu perumahan pikiran filsafat yang harmonis. Pancasila sebagai hasil penggalian Bung Karno adalah sesuai pula dengan pemandangan tinjauan hidup Neo-Hegelian. 

 

3.2    Fungsi Utama Filsafat Pancasila Bagi Bangsa Dan Negara Indonesia

3.2.1   Filasafat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia

                   Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup (filsafat hidup). Dengan pandangan hidup inilah sesuatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana memecahkan persoalan-persoalan tadi. Tanpa memiliki pandangan hidup maka suatu bangsa akan merasa terombang-ambing dalam menghadapi persoalan-persoalan besar yang pasti akan timbul, baik persoalan-persoalan di dalam masyarakatnya sendiri, maupun persoalan-persoalan besar umat manusia dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa di dunia ini. Dengan pandangan hidup yang jelas sesuatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana ia memecahkan masalah-masalah polotik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin

maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula suatu bangsa akan membangun dirinya.

                   Dalam pergaulan hidup itu terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa, terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnyta pandangan hidup sesuatu bangsa adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya.

                   Kita merasa bersyukur bahwa pendahulu-pendahulu kita, pendiri-pendiri Republik ini dat memuaskan secara jelas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita yang kemudian kita namakan Pancasila. Seperti yang ditujukan dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1979, maka Pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara kita.

                   Disamping itu maka bagi kita Pancasila sekaligus menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia. Pancasila bagi kita merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah beurat/berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Ialah suatu kebudayaan yang mengajarkan bahwa hidup manusia ini akan mencapai kebahagiaan jika kita dapat baik dalam hidup manusia sebagai manusia dengan alam dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriyah dan kebahagiaan rohaniah.

                   Bangsa Indonesia lahir sesudah melampaui perjuangan yang sangat panjang, dengan memberikan segala pengorbanan dan menahan segala macam penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara dan jalan yang ditempuhnya sendiri yang merupakan hasil antara proses sejarah di masa lampau, tantangan perjuangan dan cita-cita hidup di masa datang yang secara keseluruhan membentuk kepribadian sendiri.

                   Sebab itu bnagsa Indonesia lahir dengan kepribadiannya sendiri yang bersamaan lahirnya bangsa dan negara itu, kepribadian itu ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara Pancasila. Karena itulah, Pancasila bukan lahir secara mendadak pada tahun 1945, melainkan telah berjuang, dengan melihat pengalaman bangsa-bangsa lain, dengan diilhami

dengan oleh gagasan-gagasan besar dunia., dengan tetap berakar pada kepribadian bangsa kita dan gagasan besar bangsa kita sendiri.

                   Karena Pancasila sudah merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa Indonesia, maka ia diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal ini tampak dalam sejarah bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang agak berbeda, namun dalam 3 buah UUD yang pernah kita miliki yaitu dalam pembukaan UUD 1945, dalam Mukadimah UUD Sementara Republik Indonesia 1950. Pancasila itu tetap tercantum didalamnya, Pancasila yang lalu dikukuhkan dalam kehidupan konstitusional itu, Pancasila yang selalu menjadi pegangan bersama saat-saat terjadi krisis nasional dan ancaman terhadap eksistensi bangsa kita, merupakan bukti sejarah sebagai dasar kerohanian negar, dikehendaki oleh bangsa Indonesia karena sebenarnya ia telah tertanam dalam kalbunya rakyat. Oleh karena itu, ia juga merupakan dasasr yang mamapu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia.

 

3.2.2   Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

Pancasila yang dikukuhkan dalam sidang I dari BPPK pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun dasar itu haruslah berupa suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya.

Sidang BPPK telah menerima secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dalam keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila tercantum secara resmi dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan uji sepanjang masa.

Peraturan selanjutnya yang disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul sehubungan dengan

penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu disebut peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD.

Oleh karena Pancasila tercantum dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar negara Pancasila). Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber huum (sumber huum formal, undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi, hakim, ilmu pengetahuan hukum).

Di sinilah tampak titik persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.

Adalah suatu hal yang membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang didatangkan dari luar negeri.

Dasar negara kita berakar pada sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu hingga sekarang.

Pancasila mengandung unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan kehidupan bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.

 

3.2.3   Pancasila Sebagai Jiwa Dan Kepribadian Bangsa Indonesia

Menurut Dewan Perancang Nasional, yang dimaksudkan dengan kepribadian Indonesia ialah : Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia, yang membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lainnya. Keseluruhan ciri-ciri khas bangsa Indonesia adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia sepanjang masa.

Garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang ditentukan oleh kehidupan budi bangsa Indonesia dan dipengaruhi oleh tempat, lingkungan dan suasana waktu sepanjang masa. Walaupun bangsa Indonesia sejak dahulu kala bergaul dengan berbagai peradaban kebudayaan bangsa lain (Hindu, Tiongkok, Portugis, Spanyol, Belanda dan lain-lain) namun kepribadian bangsa Indonesia tetap hidup dan berkembang. Mungkin di sana-sini, misalnya di daerah-daerah tertentu atau masyarakat kota kepribadian itu dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur asing, namun pada dasarnya bangsa Indonesia tetap hidup dalam kepribadiannya sendiri. Bangsa Indonesia secara jelas dapat dibedakan dari bangsa-bangsa lain. Apabila kita memperhatikan tiap sila dari Pancasila, maka akan tampak dengan jelas bahwa tiap sila Pancasila itu adalah pencerminan dari bangsa kita.

Demikianlah, maka Pancasila yang kita gali dari bumi Indonsia sendiri merupakan :

a.         Dasar negara kita, Republik Indonesia, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara kita.

b.        Pandangan hidup bangsa Indonesia yang dapat mempersatukan kita serta memberi petunjuk dalam masyarakat kita yang beraneka ragam sifatnya.

c.         Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, karena Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, serta merupakan ciri khas yang dapat membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal, yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi kelima sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

d.        Tujuan yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, yakni suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

e.         Perjanjian luhur rakyat Indonesia yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat Indonesia menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena Pancasila itu telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa.

Oleh karena itu yang penting adalah bagaimana kita memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam segala segi kehidupan. Tanpa ini maka Pancasila hanya akan merupakan rangkaian kata-kata indah yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan perumusan yang beku dan mati, serta tidak mempunyai arti bagi kehidupan bangsa kita.

Apabila Pancasila tidak menyentuh kehidupan nyata, tidak kita rasakan wujudnya dalam kehidupan sehari-hari, maka lambat laun kehidupannya akan kabur dan kesetiaan kita kepada Pancasila akan luntur. Mungkin Pancasila akan hanya tertinggal dalam buku-buku sejarah Indonesia. Apabila ini terjadi maka segala dosa dan noda akan melekat pada kita yang hidup di masa kini, pada generasi yang telah begitu banyak berkorban untuk menegakkan dan membela Pancasila.

Akhirnya perlu juga ditegaskan, bahwa apabila dibicarakan mengenai Pancasila, maka yang kita maksud adalah Pancasila yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu :

1.      Ketuhanan Yang Maha Esa.

2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.      Persatuan Indonesia.

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawratan / perwakilan.

5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang kita gunakan, sebab rumusan yang demikian itulah yang ditetapkan oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Seperti yang telah ditunjukkan oleh Ketetapan MPR                         No. XI/MPR/1978, Pancasila itu merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima silanya. Dikatakan sebagai kesatuan yang bulat dan utuh, karena masing-masing sila dari Pancasila itu tidak dapat dipahami dan diberi arti secara sendiri-sendiri, terpisah dari keseluruhan sila-sila lainnya. Memahami atau memberi arti setiap sila-sila secara terpisah dari sila-sila lainnya akan mendatangkan pengertian yang keliru tentang Pancasila.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:

1. Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.

Pancasila dan piagam jakarta

PIAGAM JAKARTA 22 JUNI 1945 Endang Saifuddin Andari Pustaka, Perpustakaan Salman ITB, Bandung, 1981, XXVI � 238 hal, indeks DEKRIT 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945,menegaskan: "Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut." Mengapa dalam Dekrit Presiden atas nama rakyat Indonesia itu terkandung pernyataan demikian? Buku-buku sarjana Barat mengenai revolusi 1945 umumnya 'lupa' mengupas Piagam Jakarta. Kita sia-sia mencarinya dalam buku Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, atau karya George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia. Barangkali yang pertama kali membahasnya agak mendalam adalah Bernard Johan Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague, 1971). Itulah buku Endang Saifuddin Anshari, yang merupakan tesis MA-nya di Universitas McGill Montreal (Kanada), patut disambut gembira. Diberi kata pengantar oleh Saifuddin Zuhri, Hamka dan Mohamad Roem, buku ini berisi tinjauan historis-analitis mengenai Piagam Jakarta, mulai dari perumusannya (1945) sampai pada pembahasan piagam tersebut dalam Konstituante (1959), yang bermuara pada Dekrit Presiden. Kompromitis Pengarang memulai uraiannya dengan tinjauan selintas pergerakan kemerdekaan. Indonesia sejak awal abad ke-20, yang menunjukkan bipolarisasi pergerakan nasionalis 'sekular' berdasarkan Kebangsaan, dan pergerakan nasionalis 'islami' berdasarkan Islam. Kedua paham ini mewarnai Sidang I Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Persiapan Kemerdekaan), 29 Mei - 1 Juni 1945. Sidang tersebut beracara tunggal. menentukan dasar negara Indonesia. Anggota Badan Penyelidik terbagi menjadi dua kelompok: yang menghendaki 'negara Islam' dan yang menghendaki 'bukan negara Islam'. Pada hari terakhir Sidang (1 Juni), Sukarno sebagai anggota Badan Penyelidik mengajukan usul lima dasar negara yang dinamainya Pancasila: Kebangsaan, Internasionalisme, Mufakat (Demokrasi), Kesejahteraan Sosial dan Ketuhanan. Sukarno menegaskan, dengan sila Demokrasi, hukum-hukum Islam dapat

diundangkan melalui badan perwakilan rakyat. Ternyata pidato Sukarno yang kompromistis itu dapat meneduhkan pertentangan yang mulai menajam. Terbentuklah Panitia Sembilan untuk menyusun Pembukaan UUD--terdiri dari lima nasionalis sekular (Sukarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Subardjo dan Muhammad Yamin), serta empat nasionalis 'islami' (Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim dan Wahid Hasjim). Dalam Pembukaan UUD yang mereka susun pada 22 Juni 1945, yang dikenal sebagai Piagam Jakarta, Pancasila dirumuskan sebagai berikut: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya Kemanusiaan yang adil dan beradabi Persatuan Indonesiai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembukaan UUD (Piagam Jakarta) ini diterima bulat oleh Badan Penyelidik dalam Sidang 11 (10 - 16 Juli 1945), setelah melalui perdebatan sengit. Sidang 11 itu pun berhasil menyusun batangtubuh UUD. Pada 7 Agustus 1945 terbentuklah Dokuritsu Junbi linkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan). Sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, mereka bersidang untuk mengesahkan UUD hasil susunan Badan Penyelidik. Berdasarkan usul seorang perwira angkatan laut Jepang kepada Hatta (dalam buku Sekitar Proklamasi, Hatta mengatakan perwira itu mengaku membawa suara umat Kristen di Indonesia Timur), ternyata sidang Panitia Persiapan 18 Agustus 1945 itu mencoret kalimat-kalimat dalam UUD yang berisi kata-kata 'Islam'. Sila pertama Pancasila diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua sampai sila kelima tidak mengalami perubahan. Hari itu juga UUD disahkan, dan dikenal sebagai Undang-Undang Dasar 1945. Tapi UUD 1945 hanya bertahan empat tahun. Pada 1949 kita memakai UUD RIS (Republik Indonesia Serikat). Setahun kemudian berlaku UUD Sementara 1950. Maka pada 1955 diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR (29 September) dan anggota Konstituante (15 Desember). Konstituante bertugas menyusun UUD permanen. Pemungutan Suara Dalam sidang-sidang Konstituante yang berlangsung sejak pelantikan anggotanya pada 10 November 1956, fraksi-fraksi Islam (Masyumi, NU, PSII, Perti, PPTI, AKUI, Gerpis dan Penyaluran) memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Menurut mereka, Pancasila harus hidup dalam asuhan dan rawatan Islam. Sebab jika tidak demikian, Pancasila akan ditelan komunisme. Namun fraksi-fraksi lainnya berkeberatan. Sidang-sidang menjadi berlarut-larut. Pada 19 Februari 1959 Dewan Menteri (Kabinet) yang dipimpin Perdana Menteri H. Djuanda memutuskan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Keputusan itu diajukan ke DPR 2 Maret. Dan pada 22 April, Presiden Sukarno di depan Sidang Konstituante memohon agar

Konstituante memutuskan berlakunya kembali UUD 1945. Fraksi-fraksi Islam menyetujui--dengan usul, agar pada kalimat 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dalam Pembukaan dan Pasal 29 UUD, ditambahkan kalimat 'dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Pemungutan suara mengenai usul ini berlangsung pada Sidang Konstituante 29 Mei dengan hasil: 201 anggota setuju, 265 menolak. Kemudian pada 30 Mei, 1 Juni dan 2 Juni diadakan pemungutan suara mengenai usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tanpa penambahan seperti yang diusulkan fraksi Islam. Hasilnya, pada hari pertama 269 setuju, 199 menolak. Hari kedua, 264 setuju, 204 menolak. Dan hari ketiga, 263 setuju, 203 menolak. Tapi baik usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945, maupun usul penambahan dari fraksi Islam, tidak diterima Konstituante. Kedua usul tidak berhasil meraih dua pertiga suara anggota yang hadir (Pasal 137 UUDS 1950. Akibat kemacetan Konstituante itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit (Keputusan Presiden RI No. 150 tahun 1959) yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta. Soalnya Piagam Jakarta dan UUD 1945 merupakan suatu rangkaian kesatuan. Keputusan ini diterima secara aklamasi oleh DPR (44% anggotanya adalah fraksi-fraksi Islam termasuk Masyumi) pada 22 Juli 1959. Kekuatan hukum Dekrit 5 Juli 1959 serta hubungan UUD 1945 dengan Piagam Jakarta, dipertegas dalam Memorandum DPRR 9 Juni 1966. Dan kemudian ditetapkan menjadi Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, 5 Juli 1966. Ketetapan MPR(S) itu pun menegaskan bahwa UUD 1945 tidak boleh diubah, sekalipun oleh MPR hasil pemilihan umum. Membaca buku Endang Saifuddin Anshari ini, kita memperoleh kesan bahwa pengarang hendak menekankan bahwa Piagam Jakarta merupakan jiwa UUD 1945. Sila 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dijiwai oleh 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Tentang umat Islam berkewajiban menjalankan syari'at Islam, hal itu tak perludipersoalkan. Masalahnya, seberapa jauh Pemerintah merasa terlibat untuk melaksanakan syari'at Islam itu bagi pemeluk-pemeluknya. Itulah sebabnya pengarang menekankan bahwa "seyogyanyalah Hukum Islam dijadikan --sekurang-kurangnya salah satu--sumber ' perujukan (referensi) dalam pembentukan dan pembinaan Hukum Nasional" (hal. 219). Kita boleh berbeda pendapat dengan pengarang mengenai masalah ini. Namun ada baiknya kita merenungkan pernyataan Bung Hatta tentang kejadian 18 Agustus 1945: "Pada waktu itu kami dapat menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya', dan menggntinya dengan 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Dalam Negara Indonesia

yang memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syari'at Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat dimajukan sebagai Rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia" (Sekitar Proklamasi, Jakarta, 1969, hal. 58. Sudah tentu yang dimaksudkan Bung Hatta dengan "kami" adalah anggota Panitia Persiapan yang mengesahkan UUD 1945 pada tanggal tersebut. Bagaimanapun, Piagam Jakarta tak dapat dipisahkan dari UUD 1945. Jika kita berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan Pancasila adalah dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, janganlah lupa bahwa Pembukaan UUD 1945 itu berasal dari Piagam Jakarta. Bahkan sebenarnya yang pantas dijuluki Hari Lahir Pancasila adalah 22 Juni 1945. Sebab, pada hari itulah Pancasila sebagai dasar negara patama kali dirumuskan. Tiga putih tahun kemudian, 1975, atas anjuran Presiden Suharto, terbentuklah Panitia Pancasila terdiri dari lima orang: Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan A.G. Pringgodigdo (Panitia Lima). Mereka dianggap dapat memberikan pengertian sesuai dengan alam pikirari dan semangat lahir batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Hasil pemikiran Panitia Lima telah dibukukan dengan judul Uraian Pancasila (Jakarta, 1977). Dalam kata pengantar buku itu, Panitia Lima menegaskan "Sebetulnya Panitia itu harus terdiri dari bekas Panitia Sembilan yang menandatangani perumusan Pembukaan UUD 1945 yang kemudian disebut Piagam Jakarta". Nia K. Sholihat Irfan

Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang kelak menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya2. Kemanusiaan yang adil dan beradab3. Persatuan Indonesia4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

1. Sila ketuhana yang maha esa

 

Inti sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah kesesuaian sifat-sifat dan hakikat Negara dengan hakikat Tuhan. Kesesuaian itu dalam arti kesesuaian sebab-akibat. Maka dalam segala aspek penyelenggaraan Negara Indonesia harus sesuai dengan hakikat nila-nilai yang berasal dari tuhan, yaitu nila-nilai agama. Telah dijelaskan di muka bahwa pendukung pokok dalam penyelenggaraan Negara adalah manusia, sedangkan hakikat kedudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan. Dalam pengertian ini hubungan antara manusia dengan tuhan juga memiliki hubungan sebab-akibat. Tuhan adalah sebagai sebab yang pertama atau kausa prima, maka segala sesuatu termasuk manusia adalah merupakan ciptaan tuhan (Notonagoro)

 

Hubungan manusia dengan tuhan, yang menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban manusia sebagai makhluk tuhan terkandung dalam nilai-nilai agama. Maka menjadi suatu kewajiban manusia sebagai makhluk tuhan, untuk merealisasikan nilai-nilai agama yang hakikatnya berupa nila-nilai kebaikan, kebenaran dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Disisi lain Negara adalah suatu lembaga kemanusiaan suatu lembaga kemasyarakatan yang anggota-anggotanya terdiri atas manusia, diadakan oleh manusia untuk manusia, bertujuan untuk melindungi dan mensejahterakan manusia sebagai warganya. Maka Negara berkewajiban untuk merealisasikan kebaikan, kebenaran, kesejahteraan, keadilan perdamaian untuk seluruh warganya.

 

Maka dapatlah disimpulkan bahwa Negara adalah sebagai akibat dari manusia, karena Negara adalah lembaga masyarakat dan masyarakat adalah terdiri atas manusia-manusi adapun keberadaan nilai-nilai yang berasal dari tuhan. Jadi hubungan Negara dengan tuhan memiliki hubungan

kesesuaian dalam arti sebab akibat yang tidak langsung, yaitu Negara sebagai akibat langsung dari manusia dan manusia sebagai akibat adanya tuhan. Maka sudah menjadi suatu keharusan bagi Negara untuk merealisasikan nilai-nilai agama yang berasal dari tuhan.

 

Jadi hubungan antara Negara dengan landasan sila pertama, yaitu ini sila ketuhanan yang mahaesa adalah berupa hubungan yang bersifat mutlak dan tidak langsung. Hal ini sesuai dengan asal mula bahan pancasila yaitu berupa nilai-nilai agama , nilai-nilai kebudayaan, yang telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala yang konsekuensinya harus direalisasikan dalam setiap aspek penyelenggaraan Negara

 

2. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab

 

Inti sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah landasan manusia. Maka konsekuensinya dalam setiap aspek penyelengaraan Negara antara lain hakikat Negara, bentuk Negara, tujuan Negara , kekuasaan Negara, moral Negara dan para penyelenggara Negara dan lain-lainnya harus sesuai dengan sifat-sifat dan hakikat manusia. Hal ini dapat dipahami karena Negara adalah lembaga masyarakat yang terdiri atas manusia-manusia, dibentuk oleh anusia untuk memanusia dan mempunyai suatu tujuan bersama untuk manusia pula. Maka segala aspek penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan hakikat dan sifat-sifat manusia Indonesia yang monopluralis , terutama dalam pengertian yang lebih sentral pendukung pokok Negara berdasarkan sifat kodrat manusia monodualis yaitu manusia sebagai individu dan makhluk social.

 

Oleh karena itu dalam kaitannya dengan hakikat Negara harus sesuai dengan hakikat sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu

dan makhluk social. Maka bentuk dan sifat Negara Indonesia bukanlah Negara individualis yang hanya menekankan sifat makhluk individu, namaun juga bukan Negara klass yang hanya menekankan sifat mahluk social , yang berarti manusia hanya berarti bila ia dalam masyarakat secara keseluruhan . maka sifat dan hakikat Negara Indonesia adalah monodualis yaitu baik sifat kodrat individu maupun makhluk social secara serasi, harmonis dan seimbang. Selain itu hakikat dan sifat Negara Indonesia bukan hanya menekan kan segi kerja jasmani belaka, atau juga bukan hanya menekankan segi rohani nya saja, namun sifat Negara harus sesuai dengan kedua sifat tersebut yaitu baik kerja jasmani maupun kejiwaan secara serasi dan seimbang, karena dalam praktek pelaksanaannya hakikat dan sifat Negara harus sesuai dengan hakikat kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk berdiri seniri dan makhluk Tuhan.

 

3. Sila persatuan Indonesia

 

Inti sila persatuan Indonesia yaitu hakikat dan sifat Negara dengan hakikat dan sifat-sifat satu. Kesesuaian ini meliputi sifat-sifat dan keadaan Negara Indonesia yang pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh, setiap bagiannya tidak berdiri sendiri-sendiri. Jadi Negara merupakan suatu kesatuan yang utuh , setiap bagiannya tidak berdiri sendiri-sendiri. Jadi Negara Indonesia ini merupakan suatu kesatuan yang mutlak tidak terbagi-bagi , merupakan suatu Negara yang mempunyai eksistensi sendiri, yang mempunyai bentuk dan susunan sendiri. Mempunyai suatu sifat-sifat dankeadaan sendiri. Kesuaian Negara dengan hakikat satu tersebut meliputi semua unsur-unsur kenegaraan baik yang bersifat jasmaniah maupun rohania, baik yang bersifat kebendaan maupun kejiwaan. Hal itu antara lain meliputi rakyat yang senantiasa merupakan suatu kesatuan bangsa Indonesia, wilayah yaitu satu tumpah darah Indonesia, pemerintah yaitu satu pemerintahan Indonesia yang tidak bergantung pada Negara lain, satu bahasa yaitu bahasa nasional indoneisa,satu nasib dalam sejarah, satu jiwa atau satu asas kerokhanian pancasila. Kesatuan dan persatuan Negara, bangsa dan wilayah Indonesia tersebut, membuat Negara dan

bangsa indoneisa mempunyai keberadaan sendiri di antara Negara-negara lain di dunia ini

 

Dalam kaitannya dengan sila persatuan Indonesia ini segala aspek penyelenggaraan Negara secara mutlak harus sesuai dengan sifat-sifat dan hakikat satu. Oleh karena itu dalamn realisasi penyelenggaraan negaranya, baik bentuk Negara, penguasa Negara, lembaga Negara, tertib hukum, rakyat dan lain sebagainya harus sesuai dengan hakikat satu serta konsekuensinya harus senantiasa merealisakan kesatuan dan persatuan. Dalam pelaksanaannya realisasi persatuan dan kesatuan ini bukan hanya sekedarberkaitan dengan hal persatuannya namun juga senantiasa bersifat dinamis yaitu harus sebagaimana telah dipahami bahwa Negara pada hakekatnya berkembang secara dinamis sejalan dengan perkembangan zaman, waktu dan keadaan.

 

4. Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

 

Inti sila keempat adalah kesesuaian sifat-sifat dan hakikat Negara dengan sifat-sifat dan hakikat rakyat. Dalam kaitannya dengan sila keempat ini, maka segala aspek penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan sifat-sifat dan hakekat rakyat, yang merupakan suatu keseluruhan penjumlahan semua warga Negara yaitu Negara Indonesia. Maka dalam penyelenggaraan Negara bukanlah terletak pada suatu orang dan semua golongan satu buat semua, semua buat satu. Dalam hal ini Negara berdasarkan atas hakikat rakyat , tidak pada golongan atau individu. Negara berdasarkan atas permusyawaratan dan kerjasama dan berdasarkan atas kekuasaan rakyat. Negara pada hakikatnya didukung oleh rakyat oleh rakyat itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan. Negara dilakukan untuk kepentingan seluruh rakyat , atau dengan lain perkataan kebahagian seluruh rakyat dijamain oleh Negara.

 

Dalam praktek pelaksanaannya pengertian kerakyatan bukan hanya sekedar berkaitan dengan pengertian rakyata secara kongkrit saja namun mengandung suatu asas kerokhanian , mengandung cita-cita kefilsafatan. Maka pengertian kesesuaian dengan hakikat rakyat tersebut, juga menentukan sifat dan keadaan Negara, yaitu untuk keperluan seluruh rakyat . maka bentuk dan sifat-sifat Negara mengandung pengertian suatu cita-cita kefilsafatan yang demokrasi yang didalam pelaksanaannya meliputi demokrasi politik dan demokrasi politik dan demokrasi si=osial ekonomi.

 

Telah dijelaskan di muka bahwa pendukung pokok Negara adalah manusia yang bersifat monodualis sedangkan rakyat pada hakikatnya terdiri atas manusia-manusai. Oleh karena itu kesesuaian Negara dengan hakikat rakyat ini berkaitan dengan sifat Negara kita, yaitu Negara demokrasi monodualis, yang berarti demokrasi yang sesuai dengan sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk social dalam suatu kesatuan dwitunggal, dalam keseimbangan dinamis yang selalu sesuai dengan situasi, kondisi dan keadaan zaman. Dalam pelaksanaannya demokrasi monodualis ini juga bersifat kekeluargaan yaitu prinsip hidup bersama yang bersifat kekeluargaan.

 

5. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

 

Inti sila kelima yaitu “keadilan” yang mengandung makna sifat-sifat dan keadaan Negara Indonesia harus sesuai dengan hakikat adil, yaitu pemenuhan hak dan wajib pada kodrat manusia hakikat keadilan ini berkaitan dengan hidup manusia , yaitu hubungan keadilan antara manusia satu dengan lainnya, dalam hubungan hidup manusia dengan tuhannya, dan dalam hubungan hidup manusia dengan dirinya sendiri (Notonegoro). Keadilan ini sesuai dengan makna yang terkandung dalam pengertian sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya hakikat adil sebagaimana yang terkandung dalam sila kedua ini terjelma dalam sila kelima, yaitu memberikan

kepada siapapun juga apa yang telah menjadi haknya oleh karena itu inti sila keadilan sosial adalah memenuhi hakikat adil.

 

Realisasi keadilan dalam praktek kenegaraan secara konkrit keadilan sosial ini mengandung cita-cita kefilsafatan yang bersumber pada sifat kodrat manusia monodualis , yaitu sifat kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Hal ini menyangkut realisasi keadilan dalam kaitannya dengan Negara Indonesia sendiri (dalam lingkup nasional) maupun dalam hubungan Negara Indonesia dengan Negara lain (lingkup internasional)

 

Dalam lingkup nasional realisasi keadilan diwujudkan dalam tiga segi (keadilan segitiga) yaitu:

1. Keadilan distributif, yaitu hubungan keadilan antara Negara dengan warganya. Negara wajib memenuhi keadilan terhadap warganya yaitu wajib membagi-bagikan terhadap warganya apa yang telah menjadi haknya.

2. Keadilan bertaat (legal), yaitu hubungan keadilan antara warga Negara terhadap Negara. Jadi dalam pengertian keadilan legal ini negaralah yang wajib memenuhi keadilan terhadap negaranya.

3. Keadilan komulatif, yaitu keadilan antara warga Negara yang satu dengan yang lainnya, atau dengan perkataan lain hubungan keadilan antara warga Negara.

Selain itu secara kejiwaan cita-cita keadilan tersebut juga meliputi seluruh unsur manusia, jadi juga bersifat monopluralis . sudah menjadi bawaan hakikatnya hakikat mutlak manusia untuk memenuhi kepentingan hidupnya baik yang ketubuhan maupun yang kejiwaan, baik dari dirinya sendiri-sendiri maupun dari orang lain, semua itu dalam realisasi hubungan kemanusiaan selengkapnya yaitu hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lainnya dan hubungan manusia dengan Tuhannya.

Pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun KaisarHirohito dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) oleh pemerintah Jepang sebagai upaya pelaksanaan janji merekatentang kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuaioleh Radjiman Widjodiningrat. Pada hari terakhir sidang pertama BPUPKI padatanggal 1 Juni 1945, Soekarno, salah seorang anggota, menyampaikan usulanfundamen filsafat negara, yang dikenal dengan Pancasila.

Keterangan Soekarno tentang Pancasila dalam sidang itu menunjukkan denganjelas bahwa ia sendiri mengakui adanya ketergantungan dengan orang lain,baik orang Indonesia maupun orang asing, seperti Peri Kebangsaan, PeriKemanusiaan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pertanyaan yang penting ialah darisumber manakah Soekarno mengangkat prinsip Ketuhanan, yang akhirnya dikenalsebagai Ketuhanan Yang Mahaesa. Pengertian Ketuhanan, pada dasarnya,berlatarbelakang muslim, walaupun tidak selalu tidak diterima oleh golonganbukan muslim. Prinsip Ketuhanan setidaknya diilhami oleh uraian dari parapemimpin Islam yang berbicara mendahului Soekarno dalam sidang itu.

Dalam sidang itu ada dua paham yang terlihat. Kedua paham itu ialah yangmenganjurkan agar Indonesia didirikan sebagai negara Islam dan anjuranlainnya, seperti Hatta, yaitu negara persatuan nasional yang memisahkanunsur negara dan agama. Dengan kata lain bukan negara Islam. Ternyata didalam Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang disusun oleh Yamin tidakmemuat satupun pidato para anggota nasionalis Islam. Yang dimuat hanyalahtiga, yaitu (1) pidato Soekarno, (2) pidato Yamin, dan (3) pidato Soepomo.

BPUPKI juga berhasil merumuskan dan bentuk pemerintahan melalui pemungutansuara. Ada 45 suara pemilih dasar negara adalah kebangsaan, sedang 15 suaramemilih Islam sebagai dasar negara. Setelah sidang pertama berakhirdibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang, yang laludikenal dengan nama Panitia Sembilan. Melalui perbincangan yang serius

akhirnya Panitia Sembilan berhasil mencapai suatu kesepakatan antara Islamdan Nasionalis. Pada tanggal 10 Juli 1945 Soekarno menyampaikan pidatonyapada sidang BPUPKI.

Soekarno juga menyampaikan rancangan preambule UUD hasil rapat PanitiaSembilan. Dalam rancangan preambule tersebut muncullah kalimat yang sampaisaat ini tetap menjadi persengketaan ...Ketuhanan, dengan menjalankansyariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rancangan preambule ituditandatangani oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta.Oleh karena itu rancangan preambule itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Perjalanan Piagam Jakarta Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Sehari setelahpidato Soekarno, yakni pada tanggal 11 Juli 1945, seorang Protestan anggotaBPUPKI, Latuharhary, langsung menyatakan keberatan atas tujuh kata dibelakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta. Agus Salim melihatnya secaranetral, walaupun ia lebih condong mendukung Piagam Jakarta. Namun beberapaorang anggota BPUPKI berkeberatan, termasuk Wongsonegoro dan HoeseinDjajadiningrat.

Sidang pada hari itu seolah-olah berakhir dengan kesepakatan menerimarancangan preambule hasil kerja Panitia Sembilan. Kemudian Soekarnomembentuk panitia kecil untuk merancang UUD, yang mesti bekerja pada tanggal12 Juli 1945. Dua pasal rancangan pertama UUD yang paut dengan pokok bahasanini ialah pasal 4 dan pasal 28 . Pasal 4:2 berbunyi Yang dapat menjadiPresiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli, sedang pasal 28berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamaapapun dan untuk beribadat menurut agama masing-masing.

Abdul Wahid Hasjim mengajukan dua usulan. Pertama, pasal 4:2 tersebutditambah dengan anak kalimat yang beragama Islam. Kedua, pasal 28 diubah

isinya menjadi Agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaanorang-orang yang beragama lain untuk Agus Salim tidak sependapatdengannya, namun Hasjim mendapat dukungan dari Sukiman. Soekarno selalumemposisikan diri bahwa rancangan preambule adalah hasil kompromi dua pihak,yaitu Nasionalis dan Islam. Padahal tak kurang tokoh Muhammadyah, seperti KiBagus Hadikusumo, yang didukung oleh Kyai Ahmad Sanusi, tidak menyetujuitujuh kata anak kalimat Ketuhanan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 04:00 naskah baru pernyataan kemerdekaandirumuskan dalam suatu pertemuan di rumah Maeda, seorang perwira AngkatanLaut Jepang. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno dan Hatta memproklamasikankemerdekaan Indonesia pada hari itu pukul 10:00 di Jalan Pegangsaan TimurNo. 56. Keesokan harinya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) yang diketuai Soekarno dengan wakilnya Hatta untuk menetapkan UUD.Ternyata sebelum waktu penetapan Hatta menyampaikan empat usulan perubahanrancangan UUD yang sudah ditetapkan oleh BPUPKI. Usulan tersebut sebagaiberikut:

1. Kata Mukhadimah diganti dengan kata Pembukaan.

2. Kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagipemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan yang Mahaesa.

3. Mencoret kata-kata dan beragama Islam pada pasal 6:1 yang berbunyiPresiden ialah orang Indonesia Asli dan beragama Islam.

4. Sejalan dengan usulan kedua, maka pasal 29 pun berubah.

Usulan perubahan diterima bulat oleh PPKI. Soekarno juga menekankan bahwaUUD 1945 tersebut hanyalah sementara, yang akan diubah oleh MPR setelahIndonesia dalam suasana lebih tenteram.

Ada alasan kuat mengapa Hatta mengajukan empat usulan perubahan. Dalam bukukarya Hatta dengan judul Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yangdikutip oleh Anshari (1981), Hatta mengatakan bahwa ia didatangi olehseorang perwira Jepang, yang ia sendiri lupa namanya, pada tanggal 17Agustus 1945 petang. Perwira itu membawa pesan bahwa bahwa orang Kristen dikawasan Kaigun sangat berkeberatan atas tujuh kata dalam Pembukaan UUD.Walaupun mereka mengakui bahwa tujuh kata itu tidak mengikat mereka, namunmereka memandang hal itu sebagai diskriminasi terhadap golongan minoritas.

Hatta sendiri sudah menjelaskan kepada perwira tersebut bahwa ketetapanrancangan UUD merupakan hasil kesepakatan dua pihak, Islam dan Nasionalis.Perwira tersebut meyakinkan Hatta bahwa wilayah Indonesia bagian Timur akanmenolak bergabung ke dalam negara persatuan Indonesia. Hatta akhirnya lebihmemilih persatuan ketimbang perpecahan dan menerima keberatan orang Kristen.Tentu saja ketetapan PPKI tersebut membuat sakit hati pihak Islam. Akantetapi mereka tidak dapat menolaknya, karena suasana waktu itu sangatdarurat. Mereka masih berpengharapan akan memasukkan misi mereka di masayang akan datang.

Piagam Jakarta sebagai Sumber Konflik````````````````````````````````````````````````Pihak Islam fundamentalis tidak menyerah. Mereka masih melihat peluangperubahan UUD 1945 seperti yang dikatakan Soekarno pada sidang PPKI.Sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 15 Desember 1955,diadakanlah Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk diKonstituante, sebuah lembaga pembuat UUD sebagai pengganti UUD 1945.Presiden Soekarno melantik anggota-anggota Konstituante pada tanggal 10November 1956. Partai-partai Islam meraih 230 kursi, sedang partai lainnya(Nasionalis, Kristen, Sosialis, dan Komunis) meraih 286 kursi.

Pada sidang Konstituante terjadilah perdebatan yang berlarut-larut tentangdasar negara. Para wakil partai-partai Islam tetap memegang Pancasilasebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta. Para wakil-wakil lainnyamenyetujui kembali kepada UUD 1945. Namun demikian kedua pokok masalah itumenemui jalan buntu, karena tidak dapat diputuskan dengan suarasekurang-kurangnya dua pertiga anggota Konstituante. Menghadapi suasanakritis ini Presiden Soekarno turun tangan. Pada tanggal 5 Juli iamengeluarkan dekrit, yang salah satu isinya ialah pemberlakuan lagi UUD 1945dan pembubaran Konstituante.

Bagi sebagian orang Islam Dekrit Presiden mengandung pengertian hidupnyakembali Piagam Jakarta. Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan Piagam Jakartamerupakan rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Usaha-usaha untuk memasukkankembali Piagam Jakarta ke dalam agenda nasional terus berlangsung sampaiakhirnya diredam oleh pemerintah Orde Baru lewat Tap MPR no. II/MPR/1978.

Setelah berakhirnya era Orde Baru dimulailah era reformasi. Keterbukaan inimembuat orang-orang seperti kuda lepas kendali. Sepertinya orang bebasberbicara apa saja. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh partai-partai Islamuntuk meniupkan isu Piagam Jakarta ke dalam agenda sidang MPR hasil Pemilu1999. Dua partai yang ngotot sejak November 1999 untuk membahas Piagam

Jakarta adalah PPP dan PBB. Meskipun pada Sidang Tahunan (ST) MPR tahun 2000usulan mereka tidak ditanggapi, mereka tetap bersemangat memasukkannya kedalam agenda ST MPR tahun 2001.

Dampak Pemberlakuan Piagam Jakarta terhadap Hubungan Antarumat BeragamaSeperti ditulis di atas bahwa Piagam Jakarta kembali marak setelahberakhirnya era Orde Baru. Sejak itu lahirlah partai-partai berasaskanIslam. Selain itu banyak ormas yang keras memperjuangkan aspirasi Islam.Tidak itu saja, ada juga kelompok yang ingin mendirikan negara Islam, walaujumlahnya kecil.Piagam Jakarta dianggap sebagai jaminan konstitusi bagi umat Islam untukdapat dengan leluasa mengatur umatnya sendiri agar lebih taat beragama.Persoalannya tidaklah sesederhana itu. Banyak masalah yang akan mengganjal,yang bukan saja berpautan dengan kenyataan kemajemukan masyarakat Indonesia,tetapi juga adanya keanekaan pemahaman dalam umat Islam sendiri khususnyayang berpautan dengan bentuk nasabah (relationship) agama dan negara.

Dalam ST MPR 2001 Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke dalam agenda. Kebiasaansebagian kecil partai Islam untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam ST MPRjustru dalam aras tertentu tidak mendewasakan kehidupan demokrasi diIndonesia. Di kalangan Nadhlatul Ulama (NU) permasalahan ideologis bangsasudah ada kata akhir seperti yang pernah dikatakan oleh K.H. Achmad Siddiq,tetapi bagi sebagian kecil umat Islam permasalahan tersebut belum dianggapselesai.

Tidak ada yang baru dari perdebatan tentang nasabah agama dan negara. Dapatdikatakan semua yang ada merupakan pengulangan agenda lama yang tidak pernah

sampai pada kata sepakat dengan ketulusan hati. Perdebatan ini menjadi tidakprogresif, karena umat Islam garis keras tidak mau berpikir bagaimanamengatur negara yang majemuk ini dengan menempatkan semua anasirnya padaposisi yang sama. Alasan klasik yang dilontarkan selalu saja tentangmayoritas sehingga merasa lebih berhak untuk mengatur negara ini.

Ketidakpahaman nasabah agama dan negara tidak pernah akan mencair, jikaseluruh umat beragama masih berpikir egois dan melalaikan perasaan penganutagama lain dan kepentingan bangsa secara serbacakup (comprehensive).Semestinya agama merupakan urusan pribadi manusia dengan Allahnya. Baiknegara maupun perorangan tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikutiatau menaati agamanya. Memang keruwetan nasabah agama dan negara acapkalimelekat pada Islam, karena Islam tidak sepenuhnya dipisahkan dengan masalahkenegaraan. Yang patut menjadi introspeksi bagi umat Islam adalah Islamtanpa negara bukanlah Islam yang tidak lengkap.

Persengketaan Piagam Jakarta, yang ditambah dengan munculnya gerakan atasnama Islam untuk mendirikan agama Islam, oleh kalangan umat lainnya,khususnya Kristen, acapkali diungkit-ungkit sebagai bahaya laten. Tentunyaini membuka luka lama hubungan antarumat beragama, khususnya umat Islam danKristen. Hal ini makin diperuncing dengan sikap triumfalistik orang Kristengaris keras dalam penginjilan.

Pemberlakuan Piagam Jakarta tidaklah sama dengan Piagam Madinah yang dibuattahun 622. Ada perbedaan hakiki pada hasil yang dicapainya. Perbedaantersebut terjadi karena perumusan yang berbeda antara Piagam Madinah danPiagam Jakarta. Piagam Madinah tidak ada tekanan kewajiban dalam hal

menganut atau melaksanakan agama masing-masing. Dengan demikian PiagamMadinah telah melahirkan persatuan. Kebalikannya dengan Piagam Jakarta yangmelahirkan ancaman perpecahan. Pencatuman tujuh kata dalam Piagam Jakartamerupakan sikap tidak peduli atas perintah Allah yang berdampak melampauiambang batas kebenaran.

Bagi pemeluk agama bukan Islam penempatan tujuh kata dalam Piagam Jakartamerupakan pilihan yang salah. Jika ketujuh kata itu dimasukkan ke dalamnya,maka negara dibebani dengan tugas khusus terhadap pemeluk salah satu agamasaja. Negara menjadi tidak netral lagi dan mengancam kesatuan bangsa. LogikaPancasila sebagai pemersatu bangsa dan logika Sumpah Pemuda sebagai rumusandasar bagi gerakan kebangsaan Indonesia menuntut sendiri agar tujuh katadalam Piagam Jakarta mesti dihilangkan.

Sila pertama memberikan wewenang bagi kelompok agama agar mereka sendirimengusahakan sesuai dengan pemahaman mereka sendiri agar para pemeluknyamenjalankan etika dan ajarannya. Istilah Ketuhanan yang Mahaesa merupakansuatu prinsip tentang Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Teologilah yangdapat menjelaskan dan menakrifkan tentang apa yang dimaksudkan denganketuhanan itu secara nyata. Rumusan sila pertama yang sekarang ini sudahmemberikan ruang yang luas agar agama-agama yang diakui dapat menguraikandan mengembangkan pemahaman mereka sendiri mengenai Tuhan itu.

Kesimpulan```````````````

Pembangunan ketaatan beragama lewat daya paksa hukum negara mengandungkonsekuensi berisiko tinggi atas rasa tauhid dalam masyarakat. Hal ini dapatterjadi, karena rasa takut terhadap negara akan melampaui rasa takut kepadaAllah yang Esa, yang tentunya dapat membangkitkan peluang kemusyrikan dankemunafikan.**