pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan majelis (ekklesia). dalam sistem ini, semua...

239

Upload: others

Post on 29-Aug-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,
Page 2: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,
Page 3: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,
Page 4: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Dr. Rohidin, S.H., M.Ag.

FH UII Press

Page 5: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Konstruksi Baru Kebebasan Beragama

Menghadirkan Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Negara Hukum Indoneisa

Dr. Rohidin, S.H., M.Ag.

Cetakan Pertama, Maret 2015 Cetakan Kedua, Edisi Revisi September 2019

Cover: -

Layout: M. Hasbi Ashshidiki

x + 228 hlm

Penerbit: FH UII Press

Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta Phone/Fac.: 0274-379178/377043

[email protected]

ISBN: 978-602-1123-05-8

Page 6: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin v

Kata Pengantar

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, buku berjudul Rekonstruksi Konsep Kebebasan

Beragama di Negara Hukum Indonesia dapat diselesaikan

sekalipun masih terdapat banyak kekurangan. Buku ini

merupakan refleksi penulis atas fenomena munculnya ragam

persepsi di kalangan intelektual Muslim terhadap fatwa MUI

terkait dengan aliran sesat keagamaan di Indonesia.

Salah satu ragam persepsi menunjukan bahwa fatwa

tersebut sudah berada di jalur yang benar hingga harus dikawal

sedemikian ketat meskipun sebagiannya berimplikasi pada

tindakan anarkis, persekusi dan intoleransi. Persepsi demikian

didasarkan kepada UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang

Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Sebagian persepsi

masyarakat yang lain menunjukan bahwa fatwa tersebut sudah

berada di jalur yang benar tetapi tidak perlu dikawal sedemikian

ketat, karena fatwa hanya sebatas legal opinion yang

eksistensinya perlu menghargai dissenting opinion. Persepsi

demikian didasarkan pada kenyataan bahwa Negara Hukum

Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler.

Terakhir, persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa fatwa

tersebut sudah melanggar basis-basis nilai universal HAM.

Persepsi demikian didasarkan pada UU No. 12 Tahun 2005

tentang ICCPR, khususnya Pasal 18.

Page 7: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

vi Kata Pengantar

Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka upaya untuk

merekontruksi konsep kebebasan beragama terkait dengan persepsi

intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat

keagamaan di Indonesia berbasis nilai kemanusiaan yang adil dan

beradab, sila kedua Pancasila menjadi sebuah keniscayaan.

Sebab, sebagai masyarakat yang hidup di Negara Hukum

Indonesia, Pancasila harus dijadikan rechtsidee yang mendasari

seperangkat ide, nilai, dan kaidah terpadu dalam menuntun

kehidupan berbangsa dan bernegara. Kaidah-kaidah tersebut

harus bertujuan untuk menjamin integritas bangsa, membangun

demokrasi dalam bingkai nomokrasi, mewujudkan keadilan

sosial, dan menciptakan toleransi beragama yang berkeadaban.

Penulis menyadari atas keterbatasan diri dalam menguasai

ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum yang berkembang

sedemikian pesat, serta ilmu-ilmu sosial dan agama yang

semakin kompleks. Tanpa pertolongan dari Allah SWT., dan

bimbingan dari banyak pihak besar kemungkinan buku ini tidak

akan terwujud.

Penulis berharap buku ini menjadi sumbangsih pemikiran

bagi perbaikan kehidupan bernegara dan bermasyarakat,

utamanya dalam menjaga perdamaian dan saling pemahaman

antar pemeluk agama. Karena beragama adalah fitrah, dan

kedamaian juga adalah fitrah yang harus diperjuangkan. Kepada

siding pembaca, saya haturkan selamat membaca.

Yogyakarta, September 2019

Rohidin

Page 8: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin vii

Daftar Isi

Kata Pengantar ~ v Daftar Isi ~ vii

Bab I : Pendahuluan

A. Potret HAM dalam Lintasan Sejarah dan

Pemikiran ~ 2

B. HAM dalam Konstitusi Negara Hukum

Indonesia ~ 20

1. HAM dalam Periode UUD 1945

(Pemberlakuan I [1945-1949]) ~ 22

2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 (1949-

1950) ~ 29

3. HAM Dalam UUDS 1950 (1950-1959) ~ 32

4. HAM Dalam UUD 1945 (Pemberlakuan II

[1959-Sekarang]) ~ 35

C. Hak Kebebasan Beragama dalam Konstruksi

Regulasi di Negara Hukum Indonesia ~ 37

Page 9: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

viii Daftar Isi

Bab II : Konsep Dasar Kebebasan Beragama

A. Konsep Kebebasan Beragama di Negara

Hukum Indonesia ~ 47

1. Arti dan Cakupan Konsep Kebebasan

Beragama ~ 47

2. Konsep Negara Hukum Pancasila sebagai

Pola Prismatik Berkaitan dengan Kebebasan

Beragama ~ 53

B. Kebebasan Beragama dalam Tinjauan

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ~ 66

1. Arti dan Cakupan Konsep Kemanusiaan ~

66

2. Konsep Kebebasan Beragama Berbasis

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ~ 70

3. Membumikan Civil Society: Menuju

Masyarakat Berkeadilan dan Berkeadaban ~

73

Bab III : Rentang Basis Ideologi Kebebasan

Beragama

A. Ideologi Partikular-Absolut Basis

Pembentukan Persepsi Eksklusif ~ 90

B. Ideologi Universal-Absolut Basis

Pembentukan Persepsi Inklusif-Liberal ~ 95

C. Ideologi Pancasila Sebagai Solusi atas

Disharmoni Persepsi dalam Bingkai

Kebebasan Beragama ~ 100

Page 10: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin ix

Bab IV : Konstruksi Baru Kebebasan Beragama

A. Potret Intoleransi Keagamaan di Indonesia ~

107

B. Relasi Agama dan Negara Perspektif Pancasila

Berkaitan dengan Konsep Kebebasan

Beragama ~ 144

C. Signifikansi Rekonstruksi atas Problematika

Konsep Kebebasan Beragama Berbasis

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam

Bingkai Hukum ~ 149

1. Ambiguitas Produk Regulasi Jaminan

Kebebasan Beragama: Problem Substansi

Hukum ~ 156

2. Kerapuhan Aparatur Penegak Hukum

dalam Mengawal Jaminan Kebebasan

Beragama: Problem Struktur Hukum ~ 170

3. Krisis Kepercayaan dan Minimnya

Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum

Kebebasan Beragama: Problematika

Budaya Hukum ~ 173

D. Proses dan Konstruksi Baru Konsep

Kebebasan Beragama di Negara Hukum

Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang

Adil dan Beradab ~ 181

Bab V : Penutup ~ 193

Daftar Pustaka ~ 215

Page 11: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

x Daftar Isi

Indeks ~ 223

Tentang Penulis ~ 227

Page 12: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 1

Pendahuluan

Sebagai sebuah konsep, HAM telah memiliki akar sejarah

yang panjang, termasuk dalam hal ini adalah ideologi1

universalisme dan partikularisme berkaitan dengan budaya dan

________________________ 1 Terma ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan atau

konsep, sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, atau kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Secara prinsipil terdapat tiga arti utama dari istilah ideologi. Pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Dalam arti ini, ideologi biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Kedua, ideologi dalam arti netral. Dalam pengertian ini, ideologi dipahami sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Ketiga, ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Dalam pengertian ini, ideologi umumnya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan-persoalan moral-etis, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis. Lihat, Jimly Asshiddiqie, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”, Makalah, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 1-2. Telusuri lebih lanjut dalam, Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Jakarta, 1992, hlm. 230. Bandingkan dengan, Martin Hewitt, Welfare, Ideology, and Need: Developing Perspectives on the Welfare State, Harvester Wheatsheaf, Maryland, 1992, hlm. 1 dan 8. Sementara yang dimaksud dengan ideologi dalam buku ini adalah dalam bingkai pengertian pertama, yakni sebagai kesadaran palsu.

Page 13: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

2 Bab I: Pendaduluan

kemanusiaan itu sendiri. Perdebatan dalam rentang pemikiran

HAM ini merupakan salah satu akar perdebatan yang cukup

panjang terkait kebebasan beragama. Oleh karena itu, agar

mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan radikal, dalam bab

awal ini penulis mengajak pembaca untuk menelisik akar

sejarah HAM berkaitan dengan konsep kebebasan beragama.

Bab ini akan dimulai dengan sejarah HAM, HAM di berbagai

konstitusi yang pernah kita gunakan sampai HAM, spesifiknya

hak kebebasan beragama dalam berbagai peraturan yang

pernah ada.

A. Potret HAM dalam Lintasan Sejarah dan Pemikiran

HAM merupakan terjemahan dari istilah

menselijkegrondrechten dalam bahasa Belanda dan fundamental

human rights dalam bahasa Inggris.2 Pengertian mengenai istilah

HAM sangat beragam. Wolhof menjelaskan, ”Manusia

mempunyai hak-hak yang sifatnya kodrat. Hak-hak ini tidak

dapat dicabut oleh siapa pun juga, dan tidak dapat

dipindahtangankan dari manusia satu ke manusia lain.”3

Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa hak asasi ini adalah

sejumlah hak yang mengakar dalam tabiat kodrati setiap pribadi

manusia, justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat

dicabut oleh siapa pun, karena jika dicabut hilanglah

kemanusiaannya itu.4

Selain Wolhof, definisi tentang istilah HAM juga

dikemukakan oleh beberapa pakar sebagai berikut:

________________________ 2 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama: Studi

Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia,UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 15.

3 Ibid, hlm. 16. 4 Harum Pudjiarto, Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis dan Implementasinya

dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1999, hlm. 26.

Page 14: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 3

a. Soetandyo Wignyosoebroto: “HAM adalah hak-hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk yang bersosok biologis sebagai manusia yang memberikan jaminan moral dan legal kepada setiap manusia itu untuk kebebasan dari setiap bentuk penghambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apa pun lainnya yang menyebabkan manusia itu tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah.”5

b. Arief Budiman: “HAM adalah hak kodrati manusia, begitu manusia dilahirkan langsung hak asasi itu melekat pada dirinya sebagai manusia, dalam hal ini HAM berdiri di luar undang-undang yang ada, jadi harus dipisahkan antara hak warga negara dan HAM.”6

c. Majda El Muhtaj: “HAM merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia dan melambangkan kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi intrinsiknya.”7

d. Donelly: “Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang universal, bukan keuntungan, tanggungjawab, keistimewaan, atau beberapa bentuk pemberian lainnya tetapi diberikan sebagai akibat dari martabat seseorang sebagai manusia.”8

e. Franz-Magnis Suseno: “Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia karena ia manusia, berdasarkan harkat yang diterimanya dari Sang Pencipta, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau negara.”9

________________________ 5 Dikutip dari Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, loc.cit. 6 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 25. 7 7Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,

dan Budaya, Rajawali Press, Jakarta, 2008, hlm. 14. 8 Jack Donnelly, “Human Right and Human Dignity: An Anallytic Critique

of Non-Western Conceptions of Human Right”, The American Political Science Review, Vol. 76, No. 2., dalam http://links.jstor.org, (Diakses pada tanggal 20 Desember 2010).

9 Franz Magniz-Suseno, Rechtsstaat, Bukan Machsstaat, dalam Mencari Makna Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 58.

Page 15: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

4 Bab I: Pendaduluan

Mengacu kepada definisi-definisi di atas, Anton Baker,

sebagaimana dikutip Harum Pudjiarto, memberi batasan HAM

sebagai berikut:

“Hak itu ditemukan dalam hakikat manusia, demi kemanusiaannya semua orang satu persatu memilikinya, tidak dapat dicabut oleh siapa pun, bahkan tidak dapat dilepaskan oleh individu itu sendiri, karena hak itu bukan sekadar hak milik saja, tetapi lebih luas dari itu manusia memiliki kesadaran (berkehendak bebas berkesadaran moral). Manusia makhluk ciptaan Tuhan merupakan makhluk ciptaan tertinggi daripada makhluk ciptaan lainnya, yang di dalam hidupnya manusia dikaruniai Tuhan berupa hak hidup yang merupakan hak asasi paling pokok yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan.”10

Konsep HAM secara alamiah bisa berasal dari berbagai

sumber baik berupa ajaran agama, budaya, atau sifat dasar suatu

masyarakat tertentu. Jika merujuk kepada sejarahnya, dapat kita

lihat bahwa HAM internasional banyak dipengaruhi oleh budaya

masyarakat di negara-negara Barat yang lebih mengedepankan

hak-hak sipil dan politik dari individu-individu di dalam suatu

negara. Hak-hak tersebut cenderung membatasi kekuasaan

negara terhadap masyarakatnya; hak individu untuk

berekspresi, beragama, berserikat atau berkumpul, untuk

berafiliasi dengan partai politik tertentu atau ikut serta di dalam

sistem pemerintah, misalnya. Penggunaan kata “asasi” dalam

istilah HAM, sebagaimana diungkapkan oleh Padmo Wahjono,

menimbulkan kesan bahwa hak-hak tersebut termasuk

(kewajiban-kewajiban) bersifat mutlak adanya. Adanya hak-hak

tersebut merupakan identitas yang tidak terpisahkan dari

keberadaan dirinya sebagai manusia.11

________________________ 10 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 26. 11 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 33.

Page 16: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 5

Pada akhirnya, karena sifat HAM adalah universal, maka

hak tersebut tidak saja harus diberikan kepada semua individu,

melainkan juga ada kewajiban universal bagi seluruh individu

untuk memperlakukan dengan baik individu-individu yang

kehilangan haknya. Kewajiban tersebut tidak berdasarkan

kondisi maupun syarat materi lainnya seperti melihat latar

belakang atau ciri fisik seseorang, melainkan harus dilaksanakan

dengan persamaan hak bagi sesama manusia.12

Pemikiran tentang HAM pada dasarnya telah ada sejak era

Yunani kuno. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Solon

sebagai pencetus “konsepsi hak” yang kemudian diadopsi oleh

hukum modern.13 Konsepsi tersebut telah mengakhiri era

aristokratis dengan diserahkannya kekuasaan kepada

sekelompok kecil orang yang kira-kira terdiri dari seribu orang

laki-laki kaya. Solon juga memperkenalkan hak untuk banding

kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua

warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak

untuk memberikan suaranya, tetapi praktik demokrasi ini belum

memasukkan kelompok perempuan, budak, orang asing, dan

orang-orang yang tidak bisa membuktikan dirinya anak warga

negara. Bahkan, perempuan tidak diperbolehkan untuk pergi ke

tempat-tempat umum. Oleh karena itu, keadaan sosio-politik

masyarakat Yunani masa itu belum bisa dikatakan telah

memenuhi standar “demokrasi modern”.14

________________________ 12 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Laksbang

Mediatama, Yogyakarta, 2010. hlm. 80. 13 Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual,

IMR Press, Cianjur, 2010, hlm. 98. 14 Seiring dengan menguatnya individualisme, peran perempuan dan budak

juga membaik. Ajaran kaum Stoik menolak pandangan inferioritas moral dan intelektual kaum perempuan. Kaum Stoik merupakan salah satu kelompok aliran filsafat di era Yunani. Mereka disebut juga dengan Stoicin atau Stoa. Disebut demikian karena pelajaran diberikan di lorong bertonggak dan bertembok (stoa) yang disampaikan oleh Zeno (336-264 SM). Zeno memberi gambaran cukup luas tentang hukum alam yang bersifat universal. Akal merupakan pusat kendali untuk

Page 17: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

6 Bab I: Pendaduluan

Dalam tradisi Yunani, pasca-Alexander the Great,

kaitannya dengan persoalan HAM setidaknya masih ada dua

aliran utama, Stoik dan Epikurean. Kelompok Stoik

menekankan pentingnya kemuliaan (virtue), sebagai tandingan

dari kenikmatan duniawi (hedonis). Ajaran Stoik dapat

dipandang sebagai ajaran yang paling kosmopolitan yang dapat

diterima oleh masyarakat pada masa itu. Zeno sebagai

perintisnya merangkul persaudaraan umat manusia sebagai

ajaran dasarnya. Maka dalam ajaran Stoik semua manusia

dipandang sederajat. Tidak ada batas-batas yang berupa budak,

status sosial, ataupun hal-hal lainnya yang dijadikan sebagai

dasar superioritas satu bangsa terhadap yang lainnya, sehingga

dalam pandangannya manusia dimungkinkan untuk

membentuk kerajaan dunia.15 Menurut aliran filsafat Stoa atau

kelompok Stoik ini, alam semesta diatur oleh logika/ilmu

tentang berpikir (logos/ prinsip rasional), di mana umat manusia

memilikinya. Karena itu, manusia akan menaati hukum alam

dan tidak mungkin melanggarnya, selama ia melakukan

tindakan-tindakan di bawah kontrol akal atau nalar yang berarti

mengikuti kehendak alami.16 Sementara dalam pandangan

kelompok Epikurean berlaku hal sebaliknya. Ajaran kelompok

ini menyatakan bahwa kenikmatan badaniah merupakan tujuan

utama untuk dicapai dalam menjalani kehidupan, kebaikan

bagi masyarakat tidak mendapatkan tempat yang penting,

tetapi kepentingan individu yang harus menjadi prioritas.

Dalam bermasyarakat kepentingan individu dibatasi oleh

undang-undang. Penyusunan undang-undang harus mendapat

________________________

mengungkapkan dan mengetahui segala hal termasuk hukum alam. Lihat, A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/ Aplikasi Hukum (Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 2.

15 Lihat, Ibid., hlm. 102-103. 16 A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 2.

Page 18: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 7

persetujuan tiap individu, sehingga tidak merugikan

kepentingan individu itu sendiri. Konsep persetujuan dan

kesepakatan warga masyarakat yang dikembangkan oleh

Epicurus (341-271 SM) menjadi embrio teori perjanjian

masyarakat selanjutnya.17

Pada era selanjutnya, Romawi sebagai pewaris

kebudayaan Helenisme secara langsung juga menerima konsep

hukum alam sebagai bagian peradabannya. Konsep

philantropia/philantropus Yunani terbawa pula menjadi konsep

humanitas Romana. Konsep humanitas ini kemudian menjadi

payung bagi nilai moral, termasuk aequitas, lenitas, manseutudo,

moderatio, iustitia, fides,dan pietas. Karena hal tersebut bangsa

Romawi dapat menerima moralitas universalisme, selaku cikal

bakal HAM.

Pengaruh tradisi hukum alam ini sangat memengaruhi

konsepsi hukum yang diterapkan di Romawi. Marcus Tullius

Cicero dalam the Laws menyatakan bahwa “Hukum adalah budi

tertinggi, termuat dalam alam, yang memerintah apa yang harus

dilakukan dan yang dilarang. Budi ini, yang tertanam kuat dan

berkembang penuh dalam pikiran manusia, adalah hukum”.

Dalam buku tersebut ia mendasarkan argumennya pada hukum

alam dan hak-hak alamiah manusia. Lebih jauh ia mendukung

akan ide “kesatuan warga negara selayaknya sebuah kota”.

Sumbangan yang cukup menarik berkaitan dengan konsep HAM

diberikan oleh Cicero dalam karyanya de Legibus. Dalam karya

tersebut Cicero berbicara mengenai hubungan antara hukum

alam dan hukum positif, ia berkesimpulan hukum positif harus

________________________ 17 Embrio perjanjian masyarakat tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh

Marsillius (1270-1340), yang menekankan pentingnya peran individu. Kemudian teori ini dikaji dan dikembangkan lagi oleh dua orang filsuf pasca-Renaisans, Thomas Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rousseau (1712-1778). Lihat, A. Masyhur

Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 3-4. Bandingkan dengan Pranoto

Iskandar, Op. Cit., hlm. 102-103.

Page 19: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

8 Bab I: Pendaduluan

didasarkan pada hukum alam. Jadi, ketika hukum positif

bertentangan dengan hukum alam maka yang pertama haruslah

batal. Argumentasi ini memberikan sumbangan yang cukup besar

bagi HAM mengingat pada masa itu HAM identik dengan hak-hak

alamiah.18

Pasca-runtuhnya imperium Romawi Barat, Gereja Kristen

mulai memegang kendali. Meskipun begitu pengaruh dari

Romawi masih berlanjut, seperti dipertahankannya bahasa Latin.

Hal tersebut, secara langsung atau tidak, memberi jalan bagi

diadopsinya tradisi hukum Romawi oleh para rohaniawan

Gereja.19 Dalam tataran praktis penerapan hukum Romawi

dalam bidang perdata, perkawinan, dan pewarisan masih

dipertahankan oleh gereja.

Konversi kepada agama Kristen oleh para penduduk

Romawi memberikan konsekuensi yang cukup luas. Pengaruh

utamanya adalah dikedepankannya konsep moralitas dalam

segala aspek kehidupan. Keyakinan atas moralitas pun

mendapat sambutan dari masyarakat umum yang telah putus

asa terhadap pejabat-pejabat yang dikenal korup. Atas dasar ini

pula Augustinus mendorong pemerintah supaya campur tangan

secara langsung dalam persoalan pemberian sumbangan bagi

kaum miskin karena hanya mendasarkan rasa kasihan dianggap

tidak cukup. Ia juga berpandangan praktik perbudakan adalah

hal yang salah. Gereja kuno juga mengutuk hukuman mati dan

________________________ 18 Ibid., hlm. 106-107. 19 Misal St. Augustine yang melakukan “Kristenisasi” terhadap pemikiran

Plato dalam Republic. Di samping itu, ia juga mengembangkan doktrin “perang adil”, di mana dalam doktrin tersebut dapat dijumpai penekanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Sementara Thomas Aquinas berpendapat bahwa perang yang didasarkan pada nafsu pribadi semata adalah dosa. Di berbagai daerah Jerman, seperti Kerajaan Visigoth dan Burgundi, hukum Romawi masih diterapkan bagi warga non-Jerman. Bahkan Alaric II, Raja Visigoth, mengadopsi Lex Romana Wisighothorum, yang memuat ringkasan dan komentar atas Codex Theodosianus dan berbagai sumber hukum Romawi lainnya. Hal tersebut oleh Zwiegert dan Kort dipandang sebagai sumbangan bagi keberlangsungan hukum Romawi.

Page 20: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 9

tindak penyiksaan dalam proses hukum. Ini sangat tegas

didukung oleh Paus Innocent I.20

Pada abad ke-11 dalam bidang pemikiran hukum terdapat

pertentangan antara kaum Legist dan Kanonist. Kaum Legist

sangat mengagumi hukum-hukum peninggalan Romawi,

sedangkan kaum Kanonist merupakan kelompok yang condong

pada ajaran-ajaran Paus. Pertentangan dua kelompok ini

meliputi masalah besar yakni hubungan antara kekuasaan

duniawi dan Ilahi.21

Pada masa Pemerintahan Papal, bangunan kenegaraan di

Eropa yang didasarkan pada Reformasi Gregorian, khususnya

Diktat Gregori 1075, menjadikan kekuasaan pemerintahan ada

di Gereja. Paus adalah kepala gereja; orang-orang Kristen

lainnya adalah Gereja. Paus memiliki kewenangan penuh

(plenitudo auctoritatis) dan kekuasaan penuh (plenitudo

potestatis). Meskipun pada awalnya kewenangan Paus bersifat

terbatas tetapi sejak Gregori VII, Paus menjadi pembuat hukum

tertinggi, administrator tertinggi, dan hakim tertinggi. Ia dapat

membuat hukum, menerapkan pajak dan menghukum pelaku

kejahatan.22

Pada abad dua belas dan tiga belas mulai terdapat

kecenderungan baru untuk mengganti majelis dengan dewan.

Para anggota dipilih untuk masa tugas beberapa tahun, tetapi

kemudian terjadi kooptasi yang mengubahnya menjadi

________________________ 20 Ibid., hlm. 111. 21 Ibid., hlm. 114-115. 22 Konstruksi kenegaraan di atas tidak berlaku bagi bangsa Germania.

Bangsa ini memiliki keyakinan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hal yang penting. Ini dibuktikan dengan menjadikan individu sebagai satuan, bukan komunitas. Walaupun kekuasaan negara terpusat sebagai akibat dari pengaruh dari Romawi, mereka memiliki badan-badan perwakilan. Badan-badan perwakilan inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi parlemen Inggris. Raja merupakan hasil dari proses pemilihan dan hukum dipandang sebagai pernyataan kesadaran mereka. Ibid., hlm. 115.

Page 21: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

10 Bab I: Pendaduluan

pemerintahan aristokrat.23 Pada masa ini terdapat pemikir yang

sangat berpengaruh Thomas Aquinas. Dalam teori hukum

kodratinya, Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang

mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian dari hukum Tuhan

yang sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar

manusia.24 Aquinas menyatakan bahwa pada dasarnya manusia

adalah makhluk sosial yang membutuhkan masyarakat agar

dapat memperkembangkan kepribadiannya dengan

mempergunakan rasio yang diberikan oleh alam kepadanya.

Sebagai konsekuensi logis, maka diperlukan kestabilan dalam

masyarakat agar tidak terjadi kekacauan, karena itulah

diperlukan penguasa. Manusia sebagai makhluk sosial harus

hidup bermasyarakat untuk mencapai keinginannya, untuk itu

dibutuhkan pemimpin. Jika pemimpin tersebut tidak mengejar

kepentingan umum maka ia digolongkan zalim. Karena

kezaliman dapat merusak masyarakat, maka rakyat memiliki

hak untuk menurunkannya bersama-sama. Agar tidak menjadi

________________________ 23 Menurut Berman pada akhir abad kesebelas, kedua belas, dan ketiga

belas terdapat sebuah komunitas politik yang memiliki delapan karakteristik. Pertama, Raja tidak lagi sebagai pemimpin spiritual tertinggi, tetapi sebatas sebagai pemimpin sekuler, dalam bidang spiritual ia merupakan bawahan dari Gereja Roma, yang dikepalai oleh Paus. Kedua, Raja tidak lagi hanya sebagai orang pertama di antara orang-orang bijak, para ksatria dan para tuan tanah, tetapi ia memiliki kekuasaan untuk mengatur langsung semua subjeknya yang berada di wilayah kekuasaannya. Ketiga, sebagai penguasa temporal atas subjeknya tugas utama raja adalah menjaga perdamaian dan melakukan keadilan, dalam praktiknya diartikan sebagai untuk mengontrol kekerasan dan mengatur hubungan sebagai akibat dari penguasaan tanah. Keempat, tugas-tugas tersebut dilakukan oleh sekelompok pejabat kerajaan yang profesional bukan lagi berdasarkan keturunan. Kelima, Raja mendapatkan ketegasan akan hak dan kewajibannya untuk membentuk hukum yang dianggap perlu. Keenam, negara-negara kerajaan memiliki hukumnya sendiri sebagaimana negara-negara kota yang dikepalai walikota atau negara eklesiatik yang dikepalai Paus. Ketujuh, secara teori kekuasaan raja dibatasi oleh berbagai komunitas yang ada di kerajaannya. Kedelapan, kerajaan terdiri dari profesional elit bersifat internasional yang pada umumnya memiliki hubungan darah. Ibid., hlm. 116-117.

24 Rhona K. M. Smith (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hlm. 12.

Page 22: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 11

penguasa zalim, maka ia harus seorang hamba Tuhan yang

selalu mengharap anugerah-Nya.25 Sejalan dengan kaum Stoik,

Aquinas percaya bahwa hukum manusia (human law), yang

bertentangan dengan hukum alam (nature law) bukanlah hukum

yang benar.26

Sepanjang sejarah, terutama pada abad ke-17 dan 18,

berbagai pemikiran mengenai HAM merupakan hal yang sangat

menonjol dalam kajian filsafat, namun dalam tataran praktis

dibutuhkan berbagai instrumen untuk memberi kekuatan

hukum. Legitimasi hukum ini berfungsi untuk menjamin

keberadaan hak asasitiap individu, melindunginya dari berbagai

pelanggaran yang mungkin timbul dari individu lainnya atau

bahkan dari pemerintah sendiri. Bermula dari Deklarasi Hari

Kemerdekaan (Declaration of Independence Day) pada tanggal 4 Juli

1776, sebagai buah keberhasilan revolusi di Amerika, HAM

mendapat perhatian serius. Awal revolusi dipicu oleh tingginya

pajak yang dikenakan di Amerika tanpa melibatkan pimpinan di

Amerika. Reaksi tersebut disampaikan sebagai pembenaran teori

kontrak sosial John Locke (1632-1704). Deklarasi yang disusun

oleh Thomas Jefferson tersebut antara lain menyatakan:

“...bahwa manusia diciptakan sama; bahwa penciptanya telah

menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat

dicabut; bahwa di antara hak-hak tersebut adalah hak untuk

hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan; bahwa untuk

menjamin hak-hak tersebut orang-orang mendirikan

pemerintahan....”. Perumusan hak asasi manusia tersebut

kemudian secara resmi menjadi dasar konstitusi negara Amerika

Serikat pada tanggal 4 Maret 1789.27

________________________ 25 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 29. 26 A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 2. 27 Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 132. Lihat, A. Masyhur Effendi dan

Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 40.

Page 23: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

12 Bab I: Pendaduluan

Keberhasilan revolusi Amerika menjadi salah satu pemicu

meletusnya revolusi Prancis. Jika di Amerika revolusi bertujuan

untuk memerdekakan negara dari penjajahan Inggris, di Prancis

revolusi bertujuan untuk menumbangkan orde lama (ancient

regime). Pikiran-pikiran John Locke, Montesqiueu, dan J.J.

Rousseau mewarnai dan mempercepat revolusi tersebut.

Keberhasilan revolusi Prancis tersebut ditandai dengan

diikrarkannya Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warga

Negara (Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen) tahun

1789. Isi deklarasi tersebut antara lain menyatakan,

“Kebahagiaan sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu

yang merupakan produk dari hak-hak manusia yang suci, tidak

dapat dicabut dan kodrati...”. Sasaran setiap asosiasi politik

adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak

dapat dicabut. Hak-hak tersebut adalah kebebasan (liberty),

kepemilikan harta (property), keamanan (safety), dan perlawanan

terhadap penindasan (resistance to oppresion ).28

Sebagaimana tampak dalam uraian di atas, bahwa HAM

pada dasarnya lebih sebagai konsep etika politik modern dengan

gagasan pokok berupa penghargaan dan penghormatan

terhadap manusia. Gagasan ini membawa kepada satu tuntutan

moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan

sesamanya. Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya tuntutan moral

tersebut merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua

agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan

penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan

diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam

rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah

atau “dilemahkan” (al-mustadh`af īn) dari tindakan zalim dan

semena-mena dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu,

________________________ 28 A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 41. Lihat juga,

Majda El Muhtaj, Op. Cit., hlm. 9.

Page 24: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 13

esensi dari konsep HAM adalah penghormatan terhadap

kemanusiaan seseorang tanpa ada diskriminasi berdasarkan

apapun, serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai

makhluk termulia di muka bumi.

Konsep HAM tersebut menempatkan manusia sebagai

subjek, bukan objek dan memandang manusia sebagai makhluk

yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna

kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun

agamanya. Karenanya, sebagai makhluk yang bermartabat,

manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi,

seperti hak hidup, hak berpendapat, hak berkumpul, serta hak

beragama, dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM

mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi

dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip kesetaraan,29

persamaan, dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada

diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap manusia

dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan

dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia,

termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.

Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948

mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau

hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak

masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain,

seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak

akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik,

antara lain memuat hak-hak seperti: hak atas penentuan nasib

sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang

________________________ 29 Prinsip ini oleh Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Pranoto, dinyatakan

sebagai setiap manusia, semenjak ia dilahirkan, memiliki nilai-nilai yang dengan sendirinya memiliki atribut yang berbeda, terpisah dan obyektif setara. Sebagai konsekuensinya, melalui prinsip ini manusia dituntut untuk tidak menyakiti orang lain hanya demi kesenangan pribadi atau kelompoknya sendiri. Lebih lanjut telusuri dalam, Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 68.

Page 25: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

14 Bab I: Pendaduluan

kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan

berpikir, keyakinan, dan beragama, hak yang sama bagi

perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik,

hak seorang untuk diberitahu alasan-alasan pada saat

penangkapan, persamaan hak, dan tanggung jawab antara

suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak

ekonomi, sosial dan budaya, antara lain memuat hak untuk

menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan;

larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender,

dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan

untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk

mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi

buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat

buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas

dari kelaparan.

Berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) regional

maupun internasional memberikan perlindungan dan

pengakuan atas kebebasan beragama tanpa memberi batasan

atas apa yang disebut sebagai agama itu sendiri. Ketiadaan

definisi agama dalam berbagai instrumen HAM ini tidaklah

aneh, karena berbagai konstitusi di negara-negara dunia,

termasuk Indonesia, memuat hak beragama tetapi tiada memberi

batasan pasti apa yang dimaksud dengan agama.

Di dalam hukum internasional modern, DUHAM30 adalah

instrumen internasional hak asasi manusia pertama yang

mengatur tentang kebebasan beragama. Deklarasi tersebut

ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

________________________ 30 DUHAM merupakan pernyataan definitif yang pertama tentang “HAM”

dan yang menyebutkan secara jelas hak- hak itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.

Page 26: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 15

(PBB) melalui resolusi No. 217 A (III) pada 10 Desember 1948.31

Dalam DUHAM sendiri, terdapat empat elemen yang patut

untuk dijadikan sebagai penekanan: (i) difokuskan pada hak; (ii)

pembatasan hanya diberikan pada hak; (iii) keseimbangan antara

hak sipil dan politik di satu pihak dan hak-hak sosial, ekonomi,

dan budaya di pihak lain; (iv) letak tanggungjawab bagi

implementasi ada di tingkat nasional.32

Dalam instrumen internasional, hak kebebasan beragama

diatur pada Pasal 18 DUHAM, yang menyatakan bahwa:

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship, and observance.33

Meskipun hak kebebasan beragama telah diatur

sebagaimana di atas, namun ternyata tidak mudah mengatur hak

tersebut secara komprehensif karena adanya perbedaan

perspektif yang sangat besar dari negara-negara yang

mendukung dan menentang norma kebebasan beragama. Salah

satu permasalahan yang paling krusial adalah adanya anggapan

dari sebagian masyarakat bahwa konsep dasar HAM dan

khususnya hak kebebasan beragama seringkali bertentangan

________________________ 31 United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (Online) dalam

http://www.un.org/en/documents/udhr/, (Diakses pada 23 Desember 2010). Di dalam hierarki hak asasi manusia internasional, kedudukan Majelis Umum adalah sebagai lembaga tertinggi yang membawahi beberapa lembaga lainnya seperti Dewan HAM, dan Komite HAM. Oleh karena itu, Majelis Umum merupakan lembaga internasional yang mempunyai otoritas resmi untuk menginterpretasikan pasal-pasal yang ada dalam DUHAM. Interpretasi atau penjelasan dari lembaga tersebut juga merupakan sumber hukum di dalam hukum internasional yang harus diperhatikan oleh negara-negara di dalam mengimplementasikan norma-norma yang dikandung di dalam deklarasi tersebut. Lihat, Al-Khanif, Op. Cit., hlm. 6.

32 Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 359. 33 Tore Lindholm, et.al (ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A

Deskbook, Leiden: Lorenzen, 2008, hlm. 874.

Page 27: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

16 Bab I: Pendaduluan

dengan hukum suci agama. Tidak jarang anggapan seperti itu

kemudian menjadi pemicu bagi terjadinya pelanggaran

kebebasan beragama yang seringkali berujung pada radikalisme

agama yang terjadi di berbagai negara.

Pro-kontra terhadap keberadaan Pasal 18 di atas,

sebagaimana dilansir Paul Seighart dan dikutip oleh Al-Khanif,

sebenarnya telah ada sejak awal rapat pleno Majelis Umum PBB

pada saat menyusun draft pasal tersebut. Sampai pada saat

ditetapkan, deklarasi tersebut disetujui oleh 48 anggota PBB

dengan tidak ada satu pun negara anggota yang menolak. Akan

tetapi terdapat 8 negara yang memilih abstain, di antaranya

adalah Saudi Arabia. Adapun alasan Saudi Arabia mengambil

opsi abstain adalah karena negara tersebut tidak menyetujui

aturan yang ada dalam Pasal 18 yang mengatur tentang hak

kebebasan beragama.34

Selanjutnya, sebagai upaya untuk lebih mengokohkan

kembali penegakan HAM, rumusan tentang hak kebebasan

beragama sebagaimana tertuang dalam instrumen DUHAM

tersebut dielaborasi dalam ICCPR.35 Jaminan atas hakkebebasan

beragama tersebut ditegaskan, di antaranya dalam Pasal 18

ICCPR yang menyatakan:36

(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun

________________________ 34 Al-Khanif, Op. Cit. 35 ICCPR merupakan salah satu dokumen hukum internasional—bersama

dengan ICESCR dan DUHAM—yang membentuk UUhukum internasional. Di samping itu, ICCPR juga merupakan elaborasi lebih lanjut atas berbagai kebebasan dan hak sipil dan politik yang sebelumnya dimuat dalam DUHAM. Bahkan ada yang berpandangan bahwa ICCPR merupakan pernyataan atas kewajiban HAM dalam Piagam. Lihat, Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 438. Lebih lanjut tentang proses perancangan ICCPR dalam Ibid., hlm. 432-437.

36 http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm#art18 (Diakses pada tanggal 27 Desember 2010).

Page 28: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 17

bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.

(2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

(3) Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

(4) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.

Ketentuan tentang hak dan kebebasan beragama, baik dalam

DUHAM maupun ICCPR, telah menimbulkan beberapa reaksi.

Beberapa negara Islam mengkritik DUHAM, karena dianggap telah

gagal untuk mempertimbangkan konteks agama dan budaya dari

negara-negara Islam. Pada tahun 1982, perwakilan Iran untuk PBB,

Said Rajaie-Khorassani, mengartikulasikan posisi negaranya

mengenai DUHAM, dengan mengatakan bahwa DUHAM

merupakan “pemahaman sekuler tentang tradisi Yudeo-Kristen”,

yang tidak dapat dilaksanakan oleh umat Islam tanpa pelanggaran

terhadap hukum Islam.37

Sementara itu, upaya untuk mendefinisikan kandungan Pasal

18 ICCPR dalam kerangka Pasal 18 DUHAM dengan memasukkan

________________________ 37 Littman, David. “Universal Human Rights and Human Rights in Islam”,

Midstream, February/March 1999, dalam, http://web.archive.org/ web/20060501234759/http://mypage.bluewin.ch/ameland/Islam.html, (Diakses pada tanggal 11 Desember 2010).

Page 29: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

18 Bab I: Pendaduluan

kalimat, “hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau

keyakinan”, menghadapi perbedaan pendapat terutama dari

negara-negara muslim seperti Mesir, Saudi Arabia, Yaman, dan

Afghanistan, yang memaksakan pencoretan tentang penafsiran atas

hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, yang

mencakup kebebasan mengganti agama atau bahkan menganut

pandangan-pandangan ateistik mencuatkan kontroversi.

Perbedaan pandangan tersebut akhirnya menimbulkan suatu

kompromi untuk mengubah bahasanya menjadi, “hak ini harus

mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama

atau kepercayaan atas pilihannya sendiri”, yang lantas diambil

secara bulat tanpa syarat. Rumusan ini didasarkan pada usulan-

usulan yang diajukan oleh perwakilan dari Brazil, Filipina, dan

Inggis.38

Meskipun telah terjadi kesepakatanatas teks tentang

kebebasan beragama dalam Pasal 18 ICCPR, namun penafsiran atas

teks tersebut masih belum menemukan kesamaan pemahaman.

Komite HAM mengindikasikan bahwa kebebasan “untuk

menganut atau menerima” mencakup kebebasan “untuk

mengganti agama atau kepercayaannya yang sedang dianut

dengan yang lain atau menganut pandangan-pandangan ateistik,

sebagaimana juga mencakup kebebasan mempertahankan agama

atau kepercayaan seseorang”.39 Penafsiran Komite HAM tersebut

tentu saja, berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh negara-

negara Muslim.

Sebagai kritik atas dominasi HAM Barat yang dianggap

tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam, sekaligus sebagai

alternatif pandangantentanghakkebebasan beragama, negara-

negara Muslim yang tergabung dalam OKI pada 5 Oktober 1990

________________________ 38 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum

Islam,terj. Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2003, hlm. 121-122.

39 Ibid., hlm. 122.

Page 30: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 19

mengikrarkan Deklarasi Kairo, sebuah deklarasi tentang

kemanusiaan yang sesuai dengan syariah Islam. Kemudian

pada 30 Juni 2000, negara-negara Muslim yang menjadi anggota

OKIsecara resmi memutuskan untuk mendukung Deklarasi

Kairo tentang HAM dalam Islam, sebuah dokumen alternatif

yang mengatakan orang memiliki “kebebasan dan hak untuk

hidup yang bermartabat sesuai dengan syariah Islam”.40

Deklarasi Kairo tahun 1990 tersebut memuat 24 pasal tentang

HAM yang dirumuskan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.

Dalam penerapan dan realitasnya, Deklarasi Kairo memiliki

beberapa persamaan dengan pernyataan DUHAM yang

dideklarasikan PBB pada tahun 1948.41

Kebebasan untuk mewujudkan satu agama atau

kepercayaan dapat tunduk hanya pada pembatasan seperti yang

ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan untuk melindungi

keselamatan masyarakat, ketertiban, kesehatan, atau moral atau

hak-hak mendasar dan kebebasan orang lain. Hal tersebut sejalan

dengan argumen para sarjana Muslim kontemporer dan

beberapa negara Muslim, bahwa yang dilarang oleh hukum

Islam bukanlah pindahnya seseorang dari agama itu semata-

mata, melainkan penampakannya dalam bentuk yang

mengancam keamanan publik, moral masyarakat, dan kebebasan

orang lain. Hal tersebut sejalan dengan pengaturan pelaksanaan

HAM sebagaimana yang tercantum dalam DUHAM Pasal 29

ayat (2) yang menyatakan:42

“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”

________________________ 40 http://en.wikipedia.org/wiki/UDHR, (Diakses pada tanggal 23

Desember 2010). 41 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op. Cit., hlm. 261. 42 Tore Lindholm, et.al (ed.), Op. Cit., hlm. 875.

Page 31: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

20 Bab I: Pendaduluan

B. HAM dalam Konstitusi Negara Hukum Indonesia

Dalam memahami hakikat konstitusi terdapat dua

pandangan, yaitu pandangan normatif yuridis dan pandangan

sosiologis empiris. Pandangan sosiologis empiris beranggapan

bahwa konstitusi tidak terbatas pada norma hukum dasar yang

tertulis dalam satu kitab, melainkan juga tersebar dalam praktik

atau konvensi ketatanegaraan. Sedangkan menurut pandangan

normatif yuridis, konstitusi sama dengan UUD, yaitu kumpulan

dari norma-norma hukum dasar yang tertulis dan terangkum

dalam satu kitab.43

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum

atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai

bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Hal

tersebut diperlukan oleh rakyat agar kepentingan mereka

bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui

pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.

Secara substantif, konsensus yang diwujudkan dalam konstitusi

meliputi tiga hal:44

1. Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama. 2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan

pemerintahan atau penyelenggaraan negara. 3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan

prosedur-prosedur ketatanegaraan.

Konstitusi yang berlaku dalam Negara Hukum Indonesia

saat ini adalah UUD 1945. Sebagai hukum dasar tertulis, UUD

1945 berisikan norma-norma, aturan-aturan atau ketentuan-

________________________ 43 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak

Asasi Manusia: Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 33.

44 Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional dalam Pluralisme Indonesia dalam, Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Publikasi SETARA Institute, Jakarta, 2009, hlm, 47.

Page 32: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 21

ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati yang bersifat

mengikat, baik bagi pemerintah maupun bagi setiap warga

negara Indonesia di mana pun ia berada.45 Dalam perjalanan

sejarah ketatanegaraan, Republik Indonesia telah memiliki tiga

UUD dengan empat kali masa berlaku, yaitu:46

(1) UUD 1945, pertama kali berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949,

(2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat, mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950,

(3) UUDS 1950, mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959, dan

(4) UUD 1945, berlaku untuk kedua kalinya sejak tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang.

Keempat konstitusi tersebut memiliki karakteristik yang

berbeda-beda, karena kemunculannya memang dipengaruhi

oleh konteks yang berbeda. Sebagai konsekuensinya, maka

secara konseptual juga terjadi perbedaan rumusan materi

tentang HAM yang dimuat oleh UUD 1945, Konstitusi RIS

maupun UUDS 1950. Bahkan UUD 1945 yang berlaku pertama

kali dengan UUD 1945 yang berlaku saat ini juga terdapat

perbedaan yang disebabkan oleh adanya empat kali perubahan,

terhitung sejak tahun 1999 sampai 2002.

Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan

arti penting bagi terciptanya paradigma negara hukum, sebagai

hasil dari proses dialektika demokrasi. Konstitusi sebagai

perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kehendak rakyat

harus mampu memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup

berikut HAM secara nyata. Oleh sebab itu, jaminan konstitusi

________________________ 45 Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 130. 46 Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam

Perspektif Hukum & Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 41-42.

Page 33: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

22 Bab I: Pendaduluan

terhadap HAM merupakan bukti dari hakikat, kedudukan dan

fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.47

1. HAM dalam Periode UUD 1945 (Pemberlakuan I [1945-

1949])

Diskursus mengenai HAM dalam sejarah Indonesia telah

mencuat sejak proses pembentukan negara Indonesia sedang

gencar-gencarnya diperjuangkan. Perdebatan ini terekam jelas

dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang membahas

draftKonstitusi Negara Indonesia yang akan dibentuk.48 UUD

1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh

BPUPKI. Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang

bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia, yang kemudian

dikenal dengan UUD 1945. Para tokoh perumus konstitusi

tersebut adalah Radjiman Wedyodiningrat, Ki Bagus Hadi

Koesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran

Suryo Hamidjojo, Soetardjo Kartomihardjo, Soepomo, Abdul

Kadir, Mohammad Amir (Sumatera), Abdul Abbas (Sumatera),

Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi),

Latuharhary, Pudja (Bali), A.H. Hamidan (Kalimantan), R.P.

Soeroso, Abdul Wachid Hasyim, dan Mohammad Hassan

(Sumatera).49

Moh. Hatta dalam pembicaraan mengenai dasar negara

dalam sidang kedua BPUPKI mengusulkan supaya UUD yang

________________________ 47 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD

1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 94.

48 BPUPKI atau Dokuritzu Zyunbi Tjoosakai merupakan badan bentukan Jepang yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat yang kemudian setelah dibubarkan dibentuk kepanitiaan yang bernama PPKI atau Dokuritzu Zyunbi Iinkai dengan diketuai oleh Soekarno. Lihat, Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 116-117.

49 A. Ubaidillah (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm. 86.

Page 34: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 23

akan dibuat juga memuat tentang adanya jaminan terhadap

perlindungan hak asasi manusia. Usul tersebut disetujui oleh

Muh. Yamin. Berbeda dengan mereka, Soekarno dan Soepomo

menolak usul tersebut dengan alasan bahwa anggota BPUPKI

telah sepakat mengenai asas kekeluargaan yang dianut di dalam

negara yang akan dibentuk. Penolakan Soekarno dan Soepomo

tersebut didasarkan pada pandangan mereka tentang dasar

negara—dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische

Grondslag” dan Soepomo memakai istilah “Staatsidee”—yang

tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan kapitalisme.

Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga

negara berasal dari revolusi Prancis yang merupakan basis dari

paham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan

lahirnya imperialisme dan peperangan antar-manusia.

Pandangan ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno dalam

sidang kedua BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945,50 sebagai

berikut:51

“…saya minta dan menangis kepada Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya buanglah sama sekali paham individualisme itu. Janganlah dimasukkan dalam UUD kita yang dinamakan ‘rights of citizens’ yang sebagai dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya…”.

“….buat apa kita membikin grondwet. Apa gunanya grondwet yang ada berisi, ‘droits e el homme et du citoyen’, itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang miskin yang hendak mati. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham-paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-

________________________ 50 Rhona K. M. Smith, (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII,

Yogyakarta, 2010, hlm. 238. 51 Dikutip dari Pidato Soekarno pada tanggal 15 Juli 1945 di depan

BPUPKI berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM. AB. Kusuma dalam RM. AB. Kusuma (penghimpun), Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fak. Hukum UI, Jakarta, 2004, hlm. 352.

Page 35: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

24 Bab I: Pendaduluan

royong, dan keadilan sosial, nyahkan tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.

Sementara itu, Soepomo dengan semangat yang sama,

menolak dimasukkannya hak-hak warga negara dalam UUD

dengan mendasarkan pada pandangannya mengenai ide negara

integralistik (staatside integralistik), yang menurutnya sesuai

dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia.52 Menurut paham

tersebut, negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya,

sehingga tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat

dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain adalah

bagian organik dari staat. Berdasarkan dari hal tersebut, maka

hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara

integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada

negara.53 Lebih lanjut Soepomo menyatakan:

“Dalam sistem kekeluargaan sikap warga negara bukan sikap yang selalu bertanya: ‘Apakah hak-hak saya, akan tetapi sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar, ialah negara Indonesia ini. Bagaimanakah kedudukan saya sebagai anggota keluarga darah (familie) dan sebagai anggota kekeluargaan daerah, misalnya sebagai anggota desa, daerah, negara, Asia Timur Raya dan Dunia itu?’. Inilah pikiran yang harus diinsyafkan oleh kita semua”.

Pandangan Soekarno dan Soepomo tersebut ditentang oleh

Moh. Hatta. Penolakan Hatta ini didasari oleh kekhawatiran jika

tidak ada hak tersebut dalam UUD akan menjadikan negara yang

baru dibentuk menjadi negara kekuasaan. Dalam sidang BPUPKI

tersebut secara tegas Hatta menyatakan:

________________________ 52 Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 129. 53 Rhona K. M. Smith (dkk.), Op. Cit., hlm. 239.

Page 36: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 25

“Memang kita harus menentang individualisme... Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi suatu hal yang saya khawatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kapada rakyat dalam UUD yang mengenai hak mengeluarkan suara...

Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan.”

Senada dengan pendapat Moh. Hatta, Muhammad Yamin

bersikukuh memperjuangkan agar hak dan kebebasan warga

negara dimasukkan secara jelas dalam UUD. Dalam

pendapatnya Yamin mengatakan:

“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam UUD seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya... Saya hanya meminta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menantikan hak daripada republik; misalnya mengenai yang tertuju kepada warga negara yang akan mendapat hak, juga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini.”

Pendapat Moh. Hatta dan Muhammad Yamin tersebut juga

didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang

mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan untuk

drukpers dan onschendbaarheid van woorden (pers cetak dan

kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Mereka sangat

menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang terjadi di

Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang

Page 37: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

26 Bab I: Pendaduluan

mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga

negara.54

Perdebatan-perdebatan di antara para founding fathers

Negara Indonesia di atas masih diwarnai konsepsi dikotomi

budaya Barat dan Timur. Dikotomi tentang konsep negara,

antara negara berdasarkan kontrak sosial dan negara

berdasarkan kekeluargaan.55 Akhirnya, setelah melalui

perdebatan panjang, pada tanggal 16 Juli 1945 persidangan

dalam BPUPKI menghasilkan kompromi sehingga beberapa

ketentuan tentang hak diterima untuk dimasukkan dalam

UUD.UUD RI yang telah dirancang oleh BPUPKI tersebut,

dengan beberapa perubahan dan tambahan, akhirnya disahkan

dalam sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.56

UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada dasarnya hanya

bersifat sementara, sebagaimana tercantum dalam ayat (2)

Aturan Tambahan yang menyatakan: “Dalam enam bulan

setelah Majelis Permusyaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu

bersidang untuk menetapkan UUD”. Pada waktu itu para

penyusun UUD 1945 memperkirakan sebelum HUT RI Ke-1,

sudah dapat tersusun UUD permanen yang dibuat oleh MPR

hasil Pemilihan Umum. Namun situasi politik nasional ternyata

lebih terfokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan, maka

rencana tersebut belum sempat terlaksana.57

________________________ 54 Ibid., hlm. 240. 55 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 276. 56 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 276. Lihat juga, Muhammad

Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 76-77. Ketika disahkan oleh PPKI, UUD 1945 baru meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh, sedangkan Penjelasan baru dicantumkan, setelah naskah resminya dimuat dan disiarkan dalam Berita Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946. Lihat, Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 129.

57 Baca, Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983.

Page 38: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 27

Dalam UUD 1945, meskipun dianggap telah memasukkan

rumusan tentang hak, namun istilah HAM tidak dicantumkan

secara eksplisit, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun

Penjelasannya. Menurut Mahfud MD, UUD 1945 hanya sebatas

membahas mengenai hak asasi warga, padahal antara hak asasi

manusia dan hak asasi warga negara jelas berbeda. HAM

berdasarkan pada paham bahwa secara kodrati manusia, di

manapun, mempunyai hak-hak bawaan yang tidak dapat

dipindahkan, diambil, atau dialihkan, sedangkan hak asasi

warga negara hanya mungkin diperoleh ketika seseorang

memiliki status sebagai warga negara.58 Sejalan dengan

pandangan tersebut Bambang Sutiyoso juga menyatakan

analisisnya bahwa dalam UUD 1945 hanya ditemukan

pencantuman dengan tegas tentang hak dan kewajiban warga

negara dan hak-hak DPR.59 Penggunaan konsep hak warga

negara (right of citizens) bukan HAM (human rights) tersebut

mengandung pengertian bahwa secara implisit paham natural

rights yang menyatakan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki

manusia karena ia lahir sebagai manusia tidak diakui. Sebagai

konsekuensi dari konsep tersebut maka negara diposisikan

sebagai regulator of rights, bukan sebagai guardian of human rights

sebagaimana diposisikan oleh sistem Perlindungan HAM.60

Jaminan dan perlindungan atas hak asasi bagi warga

negara ditegaskandalam UUD 1945 akhirnya tertuang pada

Pasal 27, 28, 29 ayat (2), 30 ayat (1), 31 ayat (1), dan Pasal 34.

Hak-hak yang dirumuskan dalam UUD 1945 tentang hak atas

________________________ 58 Mahfud MD, “Undang-undang Politik, Keormasan dan Instrumentasi di

Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.

59 Bambang Sutiyoso, “Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia”, dalam UNISIA, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.

60 Rhona K. M. Smith (dkk.), Op. Cit., hlm. 240.

Page 39: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

28 Bab I: Pendaduluan

persamaan di muka hukum (rights of legal equality) adalah

sebagai berikut:

Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”61

Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”62

Pasal 28 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 30 ayat (1) : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.

Pasal 31 ayat (1) : Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.

Pasal 34 : Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Tidak dicantumkannya rumusan tentang HAM secara

tegas dalam UUD 1945 memang telah memicu timbulnya

________________________ 61 Ayat ini menunjukkan adanya pengakuan dan jaminan atas persamaan

hak semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality), tanpa membedakan ras, suku, golongan, agama, atau pun bentuk diskriminasi lainnya.

62 Ayat ini menunjukkan adanya pengakuan dan jaminan terhadap martabat manusia (human dignity).

Page 40: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 29

berbagai interpretasi terhadap kualitas muatan dan jaminan

UUD 1945 atas HAM. Meskipun begitu, menurut Majda, ada hal

yang patut untuk mendapatkan apresiasi positif, yaitu

keberhasilan founding fathers Negara Indonesia dalam

memformulasikan sebuah tatanan kehidupan nasional dalam

jangka waktu yang sangat terbatas dikarenakan kejaran waktu

agar UUD dapat selesai sebagai syarat minimal berdirinya

sebuah negara. Pada masa itu, UUD 1945 telah dapat

dikategorikan sebagai konstitusi modern yang di dalamnya

mengatur perihal lembaga-lembaga kenegaraan berikut

mekanisme ketatanegaraan, serta jaminan atas hak, jauh

sebelum masyarakat internasional merumuskan HAM dalam

DUHAM pada forum PBB, 10 Desember 1948.63

2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 (1949-1950)

Kondisi sosial politik yang belum kondusif pasca-

proklamasi, dalam tataran implementatif, berakibat UUD 1945

pada masa permulaan diberlakukannya tidak berjalan efektif.

Pada masa itu serangkaian perjuangan fisik maupun diplomatis

menjadi fokus tindakan maupun pemikiran bangsa Indonesia

sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi NKRI. Era

1945-1949, yang dalam istilah Arthur dikatakan sebagai

establishment of a federal form government.64 Kekalahan Jepang atas

Sekutu memberikan implikasi politik bagi Indonesia. Belanda

dengan segala cara berupaya menancapkan kembali politik

kolonialismenya di Indonesia. Bahkan ancaman atas kedaulatan

negara Indonesia tersebut tidak hanya dari rongrongan

Pemerintah Belanda, namun juga dari tindakan-tindakan

separatis dari dalam negeri yang muncul secara sporadis.

________________________ 63 Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 100-101. 64 Ibid., hlm. 72.

Page 41: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

30 Bab I: Pendaduluan

Konfrontasi yang berkepanjangan antara Indonesia dan

Belanda tersebut akhirnya membuat Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) turun tangan. PBB mendesak kedua belah pihak

agar menyelesaikan konflik tersebut melalui jalan damai

dengan melibatkan pihak ketiga yakni BFO (Byeenkomst voor

Federal Overleg), sebuah ikatan negara-negara bagian bentukan

Belanda. Sebagai upaya untuk mewujudkan resolusi PBB

tersebut, pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November

1949 dilaksanakan konferensi di Den Haag, Belanda, yang

dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB

menghasilkan tiga keputusan mendasar. Pertama, pembentukan

Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Kedua, penyerahan

kedaulatan kepada RIS. Ketiga, pembentukan UNI-RIS-

Belanda.65

Sebagai dasar berdirinya RIS hasil KMB, delegasi RI

bersama dengan BFO merancang sebuah UUD yang diberi

nama Konstitusi RIS. Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.17

pagi, di hadapan ketiga delegasi Ratu Juliana menandatangani

Akta Penyerahan Kedaulatan. Peristiwa tersebut membawa

konsekuensi pada berlakunya semua persetujuan hasil KMB

dan berlakunya Konstitusi RIS 1949. Dengan berdirinya RIS,

maka posisi RI hanya sebagai salah satu “Negara Bagian” dalam

RIS, dengan wilayah kekuasaan sebagaimana yang disepakati

dalam Perjanjian Renville. Demikian juga dengan berlakunya

Konstitusi RIS, maka UUD 1945 hanya berlaku dalam Negara

Bagian RI. Secara anatomik, Konstitusi RIS tersusun atas dua

bagian, yakni Pembukaan dan Batang Tubuh yang memuat 6

bab dan 197 pasal, jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan

UUD 1945. Konstitusi tersebut sebenarnya hanya dimaksudkan

untuk bersifat sementara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal

186 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi)

________________________ 65 Ibid., hlm. 74.

Page 42: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 31

bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya

menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat”.66

Menariknya, Konstitusi RIS memberi penekanan yang

signifikan tentang HAM. Dalam Konstitusi RIS butir-butir

HAM tidak hanya disebut secara eksplisit, tetapi cakupannya

juga lebih luas jika dibandingkan dengan UUD 1945. Ada 35

pasal (Pasal 7 hingga Pasal 41) yang memberi jaminan

konstitusional atas HAM. Rumusan tentang HAM dalam

konstitusi tersebut diatur dalam bagian tersendiri, yakni Bab I,

Bagian 5 Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia,

tercantum dalam 27 pasal. Bahkan Konstitusi RIS juga mengatur

tentang kewajiban asasi negara dalam hubungannya dengan

penegakan HAM, yakni pada Bab I, Bagian 6 Asas-asas Dasar,

yang terbentang pada 8 pasal.67 Rumusan HAM tersebut

ditempatkan mendahului bagian-bagian lain yang mengatur

lembaga negara dan kewenangannya. Hal tersebut

menunjukkan bahwa dimensi HAM dalam Konstitusi RIS lebih

diutamakan daripada kekuasaan negara.

Konstruk HAM dalam tubuh konstitusi RIS yang

tercantum dalam bagian 5 Hak dan Kebebasan Dasar Manusia

tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:

“Penekanan terhadap penegakan dan jaminan atas HAM dalam Konstitusi RIS secara historis sangat dipengaruhi oleh DUHAM, yang diikrarkan pada 10 Desember 1948. Diseminasi HAM versi PBB tersebut dalam konteks internasional pada waktu itu sangat mempengaruhi konstitusi-konstitusi negara di dunia, termasuk Konstitusi RIS.68

________________________ 66 Lihat, Ibid., hlm. 74-75. 67 Ibid., hlm. 102. 68 Ibid., hlm. 102.

Page 43: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

32 Bab I: Pendaduluan

3. HAM Dalam UUDS 1950 (1950-1959)

Konstitusi RIS yang dinyatakan berlaku pada 27

Desember 1949 ternyata tidak berusia panjang. Momentum

peringatan Hari Ulang Tahun Ke-5 RI, 17 Agustus 1950

menandakan sebuah era baru bagi iklim ketatanegaraan

Indonesia. Pada saat itu Konstitusi RIS dengan segala

konsekuensinya berubah menjadi UUDS 1950.UUDS 1950

merupakan bukti historis kembalinya Indonesia kepada bentuk

NKRI. Perubahan dari Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950

dilatarbelakangi oleh desakan rakyat yang menghendaki negara

kesatuan. Bentuk negara serikat di mana wilayah-wilayah

Indonesia berada dalam negara-negara bagian ternyata telah

mengakibatkan disharmoni di kalangan masyarakat. Bahkan

tidak jarang era Pemerintahan Federal Indonesia telah

menciptakan revolusi fisik di beberapa wilayah Indonesia.69

Kembalinya bentuk negara kesatuan tersebut juga tidak lepas

dari upaya golongan unitaris yang menghendaki Indonesia

menjadi negara kesatuan kembali dengan menyarankan kepada

negara-negara bagian agar mau bergabung dengan RI yang

berkedudukan di Yogyakarta. Usaha tersebut berhasil, terbukti

mulai bulan Mei 1950 anggota RIS tinggal tiga negara bagian

yaitu RI, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia

Timur.70

________________________ 69 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia,

Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia Jakarta, Jakarta, 1983, hlm. 82. Bandingkan dengan, Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 76.

70 Upaya penggabungan negara-negara bagian tersebut sebenarnya harus dilakukan dengan UU Federal, sesuai dengan konstitusi RIS, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 44; “Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, demikian pula masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh sesuatu daerah ... menurut aturan-aturan yang ditetapka dengan UU Federal .... Kenyataannya, penggabungan tersebut tidak berdasarkan UU Federal. Maka, penggabungan tersebut disahkan dengan UU Darurat No. 11 tahun 1950 yang dikeluarkan dengan berlandaskan pada Pasal 139 KRIS yang menyatakan; (1)

Page 44: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 33

Keputusan beralihnya Konstitusi RIS kepada UUDS 1950

terjadi sesudah diadakan perundingan antara Pemerintah

Negara Bagian RI dengan Pemerintah Pusat Federal yang telah

diberikan kuasa oleh Negara Bagian Indonesia Timur dan

Sumatera Timur.71 Dalam perundingan tersebut disepakati

sebuah alternatif sebagai dasar untuk menuju NKRI, yaitu pasal-

pasal dalam Konstitusi RIS yang bersifat federalis dihilangkan

dan diganti dengan pasal-pasal yang bersifat kesatuan.

Kemudian pada tanggal 19 Mei 1950, berhasil ditandatangani

Piagam Persetujuan yang secara pokok memuat pernyataan

bahwa dalam waktu yang sesingkat-singkatnya bersama-sama

melaksanakan Negara Kesatuan, sebagai jelmaan dari RI

berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.72

Berkaitan dengan persetujuan tersebut maka diperlukan

perubahan atau penggantian Konstitusi RIS. Meskipun

Konstitusi RIS tersebut bersifat sementara, namun belum

dimungkinkan untuk melakukan “penggantian”, karena sesuai

dengan Pasal 186 Konstitusi RIS, penetapan sebuah konstitusi

sebagai pengganti Konstitusi RIS hanya bisa dilakukan

olehKonstituante (sidang pembuat undang-undang) bersama

pemerintah, sedangkan Konstituante sendiri harus dipilih

rakyat melalui pemilihan umum yang tentunya akan memakan

waktu lama. Sehubungan dengan itu maka dilakukan

________________________

Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggungjawab sendiri menetapkan UU Darurat... (2) UU Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa UU Federasi...Lihat, B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 64.

71 Dalam bagian “Menimbang” UUDS 1950 tercantum penjelasan penggantian Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 berdasarkan pertimbangan: Ini adalah kehendak rakyat dan dilaksanakan kehendak rakyat ini, adalah, setelah terlebih dahulu dilakukan pembicaraan di antara pemerintah Negara RI dengan Pemerintah Negara RIS yang mewakili Negara-negara Bagian Indonesia Timur dan Sumatera Timur. Dan pembicaraan-pembicaraan ini menghasilkan suatu persetujuan pendapat mengenai penggantian UUD Konstitusi 1949 dengan UUDS RI No. 7 Tahun 1950. Ramdlon Naning, Op. Cit., hlm. 82.

72 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 65.

Page 45: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

34 Bab I: Pendaduluan

“perubahan” Konstitusi RIS. Perubahan konstitusi ini dapat

dilakukan dengan lebih cepat, karena cukup dilakukan dengan

UU Federal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 190

Konstitusi RIS. Berpijak pada hal tersebut diterbitkanlah UU

Federal No. 7 Tahun 1950, tentang Perubahan Konstitusi

Sementara RIS menjadi UUDS RI. Perubahan konstitusi ini pada

intinya hanyalah penggantian sebagian pasal-pasal di

dalamnya.73

Menurut catatan Mahfud MD, dilihat dari sudut bentuk,

UUDS 1950 merupakan bagian dari UU Federal No. 7 Tahun 1950

Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia

Serikat menjadi UUDS RI.74 Dengan demikian fungsi UU No. 7

Tahun 1950 hanya memberlakukan UUDS, atau lebih tegasnya

hanya mengubah Konstitusi RIS menjadi UUDS, sehingga ketika

UUDS 1950 berlaku maka tugas UU No. 7 Tahun 1950 telah

selesai.

Secara anatomik, UUD 1950 terdiri atas 6 Bab dan 146

pasal. Sebagaimana telah ditegaskan diatas UUDS 1950

merupakan perubahan dari Konstitusi RIS 1949, maka perihal

HAM secara umum juga memiliki kesamaan meskipun terdapat

perbedaan-perbedaan yang prinsipil. Menurut Soepomo,

sebagaimana dikutip oleh Majda, setidaknya terdapat tiga

perbedaan mendasar antara UUDS 1950 dengan Konstitusi RIS

1949 dalam penegasan tentang HAM. Pertama, pernyataan

meliputi kebebasan bertukar agama dan keyakinan sebagaimana

tercantum dalam Pasal 18 Konstitusi RIS 1949 tidak lagi

ditegaskan dalam UUDS 1950. Kedua, hak berdemonstrasi dan

hak mogok kerja yang tidak terdapat pada Konstitusi RIS 1949

diatur dalam Pasal 21 UUDS 1950. Ketiga, pengadopsian dasar

________________________ 73 Ibid., hlm. 65-66. 74 Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 77.

Page 46: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 35

perekonomian pada Pasal 33 UUD 1945 dalam Pasal 38 UUDS

1950.75

UUDS 1950 tidak hanya memberi penegasan mengenai

hak-hak asasi secara individu, tetapi juga memberi penekanan

kepada fungsi dan manfaat sosial. Hal tersebut tampak dalam

penjelasan tentang hak milik dalam Pasal 26 ayat (3) yang secara

eksplisit menyatakan, “hak milik itu adalah fungsi sosial”.76

4. HAM Dalam UUD 1945 (Pemberlakuan II [1959-

Sekarang])

Keberadaan UUDS 1950 dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia ternyata juga tidak berusia panjang. Dekrit

Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 menyatakan UUDS 1950

sudah tidak efektif lagi dan beralih kembali kepada

pemberlakuan UUD 1945. Kenyataan ini berimplikasi kepada

materi muatan konstitusi itu sendiri. Sehingga apa yang pernah

dimuat dalam UUD 1945 pada awal berlakunya dinyatakan

berlaku kembali.

Berdasarkan hasil pemilu 1955, sebenarnya Konstituante

diberi kewenangan untuk melakukan penyusunan UUD yang

tepat bagi Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Bab V

Pasal 134 UUDS 1950. Namun selama persidangan Majelis

Konstituante sejak tanggal 10 November 1956 hingga 2 Juni

1959, telah terjadi perdebatan sengit dalam tiga agenda sidang,

yakni: dasar negara (1957), HAM (1958), dan pemberlakuan

kembali UUD 1945. Ide tentang pemberlakuan kembali UUD

1945 muncul mengingat UUDS 1950 menganut sistem

pemerintahan liberal, supaya diperoleh kembali pemerintahan

dalam bentuk negara kesatuan, maka UUD 1945 menjadi

________________________ 75 Ibid., hlm. 107-108. 76 Ibid., hlm. 109.

Page 47: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

36 Bab I: Pendaduluan

pilihan terbaik. Meskipun begitu, kemunculan ide ini

mengundang reaksi di kalangan Majelis Konstituante.77

Sementara itu, di luar Konstituante, Presiden Soekarno

melalui Rapat Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959 di

Bogor telah mengambil keputusan dengan suara bulat mengenai

pelaksanaan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) di bawah

Soekarno dengan menegaskan kembali ke UUD 1945. Keputusan

Dewan Menteri ini merupakan langkah awal pemberlakuan

kembali UUD 1945. UUD 1945 dalam keputusan tersebut

dipertahankan sebagai keseluruhan, sedangkan mengenai

perubahannya dikembalikan pada Pasal 37 UUD 1945.78

Keadaan ini diperkeruh dengan suasana perpolitikan yang

semakin mengkhawatirkan. Berbagai pemberontakan sebagai

artikulasi politik yang tidak terakomodasi bermunculan. Atas

dasar kondisi tersebut maka Presiden Soekarno menyatakan

negara dalam keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg) dan

kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang

menyatakan:79

a. Pembubaran Konstituante. b. Pemberlakuan kembali UUD 1945. c. Penarikan kembali UUDS 1950 dan dalam waktu

sesingkat-singkatnya mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945.

________________________ 77 Ibid., hlm. 80. 78 Keputusan Dewan Menteri ini menjadi alat mobilisasi kekuatan di luar

Konstituante, sehingga persidangan dalam Majelis Konstituante menjadi tidak kondusif. Bahkan tekanan secara politik dilakukan oleh kekuatan Angkatan Darat yang mendesak secepatnya untuk kembali kepada UUD 1945. Hal tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah yang seharusnya tidak boleh terjadi.Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang terpusat di tangan Soekarno mengakibatkan lemahnya kontrol atas pemerintahan. Hal tersebut membuatPemerintahan Indonesia mengalami suasana tidak kondusif dan memprihatinkan yang berpuncakpada peristiwa Gerakan 30 September 1965. Lihat, Ibid., hlm. 81.

79 Ibid., hlm. 82.

Page 48: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 37

Sejak diberlakukannya UUD 1945 setelah Dekrit Presiden

1959, praktis secara yuridis UUD 1945 belum pernah mengalami

perubahan. Meskipun begitu, dalam praktik kenegaraan

sebenarnya sudah mengalami perubahan berulangkali, walapun

hanya dalam tataran penafsiran. Pelaksanaan UUD 1945 secara

murni dan konsekuen, baik dalam era Demokrasi Terpimpin dan

Demokrasi Pancasila (Orde Baru) ternyata hanya merupakan

retorika politik dari pemegang kekuasaan masing-masing era

tersebut.80

Materi HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan

apapun meskipun diakui sangat ringkas. Sisi fleksibilitas UUD

1945 mengakibatkan fleksibel pula arah penegakan HAM di

Indonesia. Jika konfigurasi politik demokratis maka HAM akan

mendapatkan tempat dan implementasi yang relatif

proporsional, tetapi jika konfigurasi politik berada di bawah

payung otoritarian maka HAM akan mendapat perlakuan yang

buruk.81

C. Hak Kebebasan Beragama dalam Konstruksi Regulasi

di Negara Hukum Indonesia

Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama

di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-

aturan normatif tidak serta-merta indah pula dalam

kenyataannya. Ada sebagian warga negara Indonesia yang

merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk agama dan

berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang

“diakui” pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar

________________________ 80 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 278. 81 Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 112.

Page 49: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

38 Bab I: Pendaduluan

agama yang “diakui” itu maka ada efek yang dapat mengurangi

hak-hak sipil warga negara.

Prinsip kebebasan beragama di Indonesia di samping

mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, juga

mengacu kepada konstitusi dan sejumlah undang-undang

lainnya yang berkaitan dengan penjaminan HAM. Di

antaranya, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang

Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan

UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional

tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh

warga negara tanpa kecuali. Kovenan tersebut ditandatangani

oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005

melalui UU No. 11 Tahun 2005. Penandatanganan ini menjadi

salah satu langkah awal yang diambil oleh pemerintah dalam

menegakkan hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya,

termasuk kebebasan beragama di Indonesia.

Jaminan konstitusional terkait hak kebebasan beragama

pertama-tama dapat dilihat dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD

1945 yang menyatakan bahwa:

1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Secara eksplisit, pasal ini mengikuti prinsip-prinsip

universal hak asasi manusia dalam soal kebebasan sipil (civil

Page 50: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 39

liberties). Jaminan kebebasan beragama adalah sebuah

keniscayaan, namun Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 membatasi hak

tersebut dengan menetapkan: “Negara berdasar atas Ketuhanan

Yang Maha Esa.” Implikasi dari ayat ini adalah bahwa agama dan

kepercayaan yang tidak ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak

dijamin haknya oleh negara. Dengan kata lain, negara tidak

menganggap seseorang sebagai warga negara bila ia “tidak ber-

Ketuhanan Yang Maha Esa” dan karena itu ia tidak memperoleh

perlindungan negara.82

Senada dengan pasal tersebut, Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) melalui ketetapannya No. VII/MPR/1998

tentang Piagam Hak Asasi Manusia Pasal 13 juga menegaskan

bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Penjaminan yang sama juga dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2)

yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”

Keberadaan kedua pasal tersebut (Pasal 28E dan Pasal 29), tidak

saja menjadi konstruksi legal yang memberikan perlindungan

konstitusional bagi warga negara untuk mempraktikkan

kebebasan beragama dan keyakinan, namun juga memberi

pengakuan sosiologis atas fakta keberagamaan dan

kebhinekaan yang telah lama tumbuh dan berkembang serta

menjadi modal sosial terbentuknya bangsa Indonesia.83

________________________ 82 Rocky Gerung “Agama dan Negara” dalam Ahmad Suaedy (dkk.),

Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Publikasi Setara Institute, Jakarta, 2009, hlm. 186.

83 M. Atho Muzhar berpendapat bahwa kebebasan beragama yang diatur dalam kedua pasal tersebut bukanlah kemerdekaan yang tidak ada batasnya. Hak-hak asasi manusia dalam beragama dan dalam hal-hal lainnya bukanlah cek kosong yang dapat diisi dengan apa saja atau dengan common sense, melainkan senantiasa dibatasi oleh kewajiban menghormati hak orang lain dan karena itu dapat dibatasi oleh undang-undang. Lihat, Ahmad Suaedy (dkk.), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi

Page 51: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

40 Bab I: Pendaduluan

Selanjutnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM

memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan

merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam

Pasal 22 ditegaskan:

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Dari pasal tersebut jelas bahwa negara (baca: Pemerintah)

adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk

menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang

menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa

diskriminasi. Dalam Pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan

bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,

atau pengucilan yang langsung maupun tidak didasarkan pada

pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok,

golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,

keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan,

atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan

hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik

individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,

hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.

Kebijakan tentang jaminan kebebasan beragama juga terdapat

dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18, yang

berbunyi:

________________________

Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, The WAHID Institute, Jakarta, 2009, hlm. 43-44.

Page 52: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 41

1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Hak ini menyangkut kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadat, ketaatan pengamalan dan pengajaran.

2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

Sementara terkait dengan persoalan penyalahgunaan atau

penodaan agama, pemerintah mengaturnya dalam UU No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau

Penodaan Agama. Pada Penjelasan Pasal 1 UU tersebut

disebutkan bahwa: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk

Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan

Konghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah

perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini

adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk

Indonesia, maka selain mendapatkan jaminan seperti yang

tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, mereka juga

mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang

diberikan oleh pasal ini.”84

Jika ditelusuri lebih lanjut, aspek-aspek yang dibatasi

dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 1/PNPS/1965

masih sangat luas, tidak saja mencakup kebebasan eksternal,85

________________________ 84 Siti Musdah Mulia “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di

Era Reformasi” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta, 2009, hlm. 341.

85 Kebebasan ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki kebebasan, secara individu maupun dalam masyarakat, secara publik maupun pribadi, untuk memanifestasikan agama dan kepercayaannya dalam pengajaran, pengamalan, dan peribadatannya.

Page 53: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

42 Bab I: Pendaduluan

tetapi juga kebebasan internal.86 Ketentuan semacam ini oleh

sebagian kalangan dirasa bertentangan dengan peraturan-

peraturan yang lain seperti Pasal 28E, Pasal 28I UUD 1945, Pasal

4 UU No. 39/1999 dan Pasal 18 Kovenan Hak Sipil Politik yang

menganut pemisahan antara kebebasan internal dan eksternal.

Dalam konteks inilah dapat kita lihat bahwa problematika

mendasar tentang persoalan kebebasan beragama ini adalah

terkait dengan masih adanya ketidakharmonisan antara satu

peraturan dengan peraturan yang lainnya sehingga melahirkan

ketidakpastian hukum bagi warga negara.

Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama

tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi

pembedaan status hukum tentang agama yang diakui

melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang

banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh undang-

undang itu sendiri yang menyatakan bahwa: “Ini tidak berarti

bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto,

Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh

seperti yang diberikan Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan

adanya…”. Karenanya, menjadi satu keharusan bagi setiap

agama, keyakinan, dan kepercayaan apapun yang hidup di

negeri ini untuk mendapatkan perlakuan yang setara tanpa

melihat ada tidaknya pengakuan legal dari negara tentang

keberadaannya.

Mengacu kepada dokumen HAM internasional, konstitusi,

dan sejumlah undang-undang sebagaimana telah disebutkan di

atas, maka bagi Musdah kebebasan beragama harus dimaknai

sebagai berikut:87

________________________ 86 Kebebasan pada level ini ingin menegaskan bahwa setiap orang

mempunyai hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.

87 Ibid., hlm. 6-8.

Page 54: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 43

1. Kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadat menurut agama dan keyakinan masing-masing.

2. Kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.

3. Kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.

4. Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan anak (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global.

5. Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah.

Page 55: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

44 Bab I: Pendaduluan

Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan karakter warga negara yang baik.

6. Kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.

7. Kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad, atau berdosa;atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagaipaham sesat.

8. Kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh memihak kelompok keagamaan tertentu dan mendiskriminasikelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama

Page 56: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 45

induk dan agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.

Dalam kenyataannya, “potret buram” perjalanan terkait

implementasi jaminan hak kebebasan beragama dalam

konstruksi peraturan perundangan di Indonesia ternyata juga

tidak luput dari sorotan Komite Anti Penyiksaan PBB. Salah

satu keprihatinan yang menjadi sorotan Komite Anti

Penyiksaan PBB atas laporan pelaksanaan Pasal 19 Tentang

Konvensi Anti Penyiksaan oleh Pemerintah Indonesia adalah

terkait dengan isu agama “resmi” dan ”tidak resmi”. Dalam hal

ini, Komite melihat adanya pembedaan serius—sebagaimana

termuat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan—

antara Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu

dengan agama dan aliran kepercayaan lainnya. Dalam

menghadapi kondisi tersebut, Komite selanjutnya

merekomendasikan agar Negara Pihak memperlakukan dengan

sama semua agama dan kepercayaan, menghargai kebebasan

berpikir, keyakinan, dan beragama berbagai kelompok etnis

minoritas dan/atau masyarakat indigeneous (indigeneous peoples).

Komite ini juga merekomendasikan agar kolom agama dalam

KTP dan Akte Kelahiran dihapuskan.

Menindaklanjuti hal ini, Dewan HAM PBB (Human Rights

Council) di Geneva mengeluarkan laporan tertanggal 16 Februari

2009 bertajuk Report of the Special Rapporteur on Freedom on Religion

or Belief yang memuat komentar Asma Jahangir berjudul

“Promotion and Protection of all Human Rights, Civil, Political,

Economic, Social and Cultural Rights, Including the Rights to

Development.” Dalam komentarnya, Asma mengingatkan

kembali akan kewajiban negara Indonesia untuk melindungi dan

Page 57: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

46 Bab I: Pendaduluan

menjamin kelompok minoritas apapun yang hidup di wilayah

yurisdiksinya. Dia mengingatkan akan kandungan Pasal 18 ayat

(2) ICCPR yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dipaksa

sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau

menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan

pilihannya.”88

Dari pasal-pasal yang mengatur tentang kebebasan

beragama di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa meski

secara konstitusi jaminan atas kebebasan beragama dan

berkeyakinan cukup kuat, namun pada tingkat implementasi

masih terdapat ragam kelemahan. Bahkan ada kesan, paradigma

dan perspektif pemerintah dalam melihat agama dan segala

keragamannya tidak berubah. Keragaman masih dianggap

sebagai ancaman daripada kekayaan. Watak negara yang ingin

sepenuhnya menguasai segi-segi kehidupan dalam masyarakat,

terutama keyakinan, sebagai ciri negara otoriter juga belum

sepenuhnya hilang.

________________________ 88 Ahmad Suaedy (dkk.), Op. Cit., hlm. 8-9.

Page 58: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 47

Konsep Dasar Kebebasan Beragama

A. Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia

1. Arti dan Cakupan Konsep Kebebasan Beragama

Istilah kebebasan beragama merupakan frasa yang

tersusun dari dua kata “kebebasan” dan “beragama”. Secara

etimologi kebebasan berakar dari kata bebas, yang berarti lepas

sama sekali (tidak terhalang dan terganggu sehingga boleh

bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa).Selain itu, bebas

juga memiliki arti lepas dari kewajiban, tuntutan, tidak terikat

atau terbatas oleh aturan-aturan, dan merdeka.1 Sedangkan

secara terminologis, Isaiah Berlin membagi kebebasan dalam

bentuk positif dan negatif. Kebebasan dalam bentuk positif berarti

‘apa atau siapa’, yang bertindak sebagai sumber hukum yang bisa

menentukan seseorang untuk menjadi, melakukan, atau

mendapatkan suatu kebebasan, sementara dalam bentuk negatif

bersinggungan dengan ruang lingkup di mana seseorang harus

dihormati atau dilindungi untuk menjadi atau melakukan sesuatu

________________________ 1 Dendy Sugono (red.), Kamus Bahasa Indonesia, Depdiknas, Jakarta, 2008.,

hlm. 153.

Page 59: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

48 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari

pihak lain.2

Dalam Kamus Hukum Black’s, kebebasan diartikan sebagai

sebuah kemerdekaan dari beragam bentuk larangan, kecuali

larangan yang telah diatur di dalam undang-undang.3 Pengertian

kebebasan yang diutarakan dalam kamus tersebut merupakan

kebebasan dalam bentuknya yang positif. Sesuai dengan pengertian

tersebut, kebebasan manusia tidak bersifat absolut, tetapi dibatasi

oleh peraturan hukum. Kebebasan dalam bentuk positif merupakan

kebebasan dalam sebuah bingkai aturan, sehingga dalam tataran

praktis setiap manusia mempunyai hak untuk melakukan ataupun

tidak melakukan sesuatu, selama hal tersebut tidak menyalahi

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Lain halnya dalam

bentuk negatif, yang mana kebebasan tersebut bersinggungan

dengan ruang lingkup, di mana seseorang harus dihormati dan

dilindungi untuk menjadi atau melakukan sesuatu seperti yang

dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain.4

Kebebasan dalam bentuk negatif ini dapat dilihat dalam kamus

John Kersey, yang mengartikan kebebasan sebagai kemerdekaan

meninggalkan atau bebas meninggalkan. Jadi, manusia bebas untuk

tidak melakukan atau meninggalkan suatu hal.5

Sedangkan kata kedua (beragama) memiliki akar kata yang

berupa agama. Banyak istilah yang digunakan untuk kata agama,

sesuai dengan tradisi bahasa yang digunakan, seperti religion

________________________ 2 Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty”, dalam David Miller (ed.),

Liberty, Oxford University Press, Oxford, 1991, hlm. 34. 3 Henry Campbell (ed.), Black’s Law Dictionary: Definition of The Terms and

Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern,West Publishing Co, St. Paul, 1990, hlm. 918.

4 Baca, Isaiah Berlin, “Two Concept of Liberty”, Loc. Cit. 5 Telusuri selengkapnya dalam, Jay Newman, On Religious Freedom, (E-Book),

University of Ottawa Press, hlm. 18, dalam http://books.google. co.uk/books/id=ZNvhUJhkEaYC&pg=PA18&dq=religious+liberty+definition&sig=v_ONZVSgZrVp1jV39xYlnKXaNJk (Diakses pada tanggal 12 Desember 2010).

Page 60: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 49

dalam masyarakat yang memiliki tradisi bahasa Inggris atau juga

al-dīn dalam masyarakat dengan tradisi bahasa Arab. Baik istilah

agama, religion, maupun al-dīn, secara umum memiliki

kesepadanan makna. Secara lexical meaning agama berarti ajaran,

sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada

Tuhan Yang Maha Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang

bertalian dengan pergaulan antarmanusia dan manusia beserta

lingkungan dengan kepercayaannya. Sehingga, beragama,

sebagai bentuk kata kerjanya, berarti menganut (memeluk)

agama, mematuhi segala ajaran agama, dan taat kepada agama.6

Meskipun demikian, bagi kalangan tertentu agama merupakan

objek dari HAM yang paling sulit untuk didefinisikan, karena

agama memiliki arti yang berbeda untuk tujuan yang berbeda.7

Bahkan, beberapa instrumen internasional, seperti ICCPR, hanya

merumuskan tentang kebebasan beragama tanpa mendefinisikan

istilah agama itu sendiri.

Setiap agama memiliki pengertian sendiri tentang agama

dan unsur-unsur yang ada dalam agama tersebut. Selama ini

belum ada keseragaman tentang definisi agama dari para

pemeluk agama. Setiap pemeluk agama mempunyai keyakinan

dan cara memanifestasikan keyakinan tersebut secara berbeda-

beda. Namun demikian, terdapat acuan yang bisa digunakan

untuk mengidentifikasi sesuatu sebagai agama, yaitu dengan

mengkaji aspek-aspek metafisiknya. Pertama, adanya

kepercayaan terhadap Tuhan. Kedua, agama secara psikologis

memengaruhi pemahaman manusia yang mempercayainya.

Ketiga, agama merupakan kekuatan budaya dan sosial dari

simbol-simbol yang melekat padanya.8 Meskipun pembahasan

mengenai definisi agama belum final, bukan berarti konsep

________________________ 6 Dendy Sugono (red.), Op. Cit., hlm. 17. 7 Timothy Macklem, ”Faith as a Secular Value”, McGill Law Journal,

February 2000, hlm. 10. 8 Ibid., hlm. 106.

Page 61: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

50 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

tentang kebebasan beragama tidak bisa dirumuskan dan

dijalankan.

Berdasarkan definisi John Kersey di atas, jika kebebasan

dikaitkan dengan konteks kehidupan beragama, maka kebebasan

beragama mengandung pengertian bahwa setiap individu

memiliki kebebasan untuk memeluk maupun tidak memeluk

suatu agama. Sejalan dengan pengertian ini, Al Khanif

menyatakan bahwa:

“Pengertian kebebasan beragama mencakup hak untuk mempunyai atau menetapkan suatu agama atau kepercayaan, di mana hak tersebut adalah hak untuk meyakini atau tidak meyakini sama sekali suatu agama, baik yang bersifat theistik maupun yang non-theistik, dan untuk memanifestasikan bentuk-bentuk ritual keagamaan baik sendiri-sendiri maupun di masyarakat dan di tempat umum atau pribadi seperti yang diatur di dalam hak asasi manusia internasional.”9

Jika konsep kebebasan beragama secara umum

dihubungkan dengan konsep kebebasan dalam kamus Black’s—

sebagaimana terurai di atas—maka kebebasan beragama tidak

bersifat mutlak, tetapi terdapat batas-batas tertentu yang

ditetapkan oleh pemerintah melalui konstitusi sebagai upaya

untuk melindungi hak-hak warga negara lainnya, menjaga

ketertiban umum, dan menjaga kedaulatan negara.

Secara substansial, tidak jarang agama atau kepercayaan

cenderung menjadi konglomerasi dari berbagai nilai-nilai, klaim,

dan hak. Kebebasan beragama itu sendiri memiliki beberapa

dimensi. Sebuah agama tidak hanya menyangkut kepercayaan

seseorang, akan tetapi terkait juga dengan pengajaran, nilai,

kepercayaan, dan beribadat yang sama hubungannya dengan

manifestasi dari nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan

________________________ 9 Al Khanif, Op. Cit., hlm. 108.

Page 62: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 51

masyarakat. Terdapat kecenderungan yang kuat di antara berbagai

agama untuk memasukkan ajaran dan aturannya menuju sebuah

ketundukan yang sempurna, dan dalam prosesnya, mereka kadang

memengaruhi banyak aspek dari kehidupan manusia, termasuk

sistem kekerabatan, pernikahan, hubungan keluarga, pengawasan

anak, keturunan, aturan publik, makanan dan pola diet, serta

kebebasan berekspresi dan berserikat.

Salah satu kesulitan dari ajaran agama atau kepercayaan

adalah munculnya monopoli tentang kebenaran yang mutlak.

Agama dan kepercayaan cenderung kaku dan para pengikutnya

tidak mampu mentolelir terhadap kompetisi nilai-nilai dan filosofi

agama lain. Sebagaimana dikemukakan Macaulay, tindakan

intoleransi ini dapat menggiring pengikutnya pada sebuah

anggapan bahwa; “Aku yang benar dan kamu yang salah. Jika

kamu kuat, maka kamu harus mentolelir aku dan seperti itulah

kewajibanmu untuk mentolelir kebenaran. Tetapi jika aku kuat,

maka aku akan menghukummu sebab seperti itulah kewajibanku

untuk menghukummu”. Intinya, bagi penganutnya, agama adalah

moralitas itu sendiri dan pondasi dasar yang bersifat

transendental yang lebih tegas dalam hal kewajiban daripada rival

sekuler, atau ajaran agama-agama lain.10

Berkaitan dengan hal itu, muncul tiga pandangan yang

berupa; pertama, universal absolut. Menurut pandangan ini,

HAM merupakan nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan

dalam dokumen-dokumen HAM internasional, ICCPR misalnya.

Sementara itu, profil sosial budaya yang melekat pada masing-

masing bangsa tidak diperhitungkan, seperti yang tercantum

dalam Summary of Bangkok NGO Declaration, yang di antaranya

menyebutkan bahwa; “As human rights are of universal concern and

are universal in value, the advocacy of human rights can not be

________________________ 10 Javaid Rehman, “Accommodating Religious Identities in an Islamic State:

International Law, Freedom of Religion and the Rights of Religious Minorities” dalam International Journal on Minority and Group Rights 7: 2000, hlm. 147-148.

Page 63: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

52 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

considered to be an encroachment upon national sovereignity”.

Rumusan tersebut menyatakan bahwa kedudukan HAM sebagai

persoalan dan memiliki nilai universal, di samping

pembelaannya. Sehingga, tidak dapat dianggap sebagai

pelanggaran atas kedaulatan nasional suatu bangsa.11 Maka,

berdasarkan pada pandangan ini hak kebebasan beragama

seperti yang telah ditetapkan dalam ICCPR juga berlaku secara

mutlak tanpa mempertimbangkan sosio-kulturalsuatu negara.

Kedua, universal relatif. Konsep ini berpandangan bahwa

HAM merupakan persoalan universal. Namun demikian,

pengecualian dan pembatasan—sebagimana terdapat dalam

DUHAM dan ICCPR—yang didasarkan atas asas-asas hukum

nasional tetap diakui keberadaannya. Pandangan ini selaras

dengan Pasal 29, ayat (2) dalam DUHAM, yaitu:

“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order, and the general welfare in a democratic society”. Artinya, batasan-batasan tersebut sangat ditentukan oleh hukum yang bertujuan untuk melindungi dan mengapresiasi hak-hak dan kebebasan orang lain, di samping pemenuhan aspek, moral, norma, dan kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, partikular. Bagian ini terbagi dalam dua bentuk,

yakni absolut dan relatif. Partikular-absolut berpandangan

bahwa HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa

memberi alasan kuat, khususnya dalam melakukan penolakan

tehadap berlakunya dokumen-dokumen internasional.

Pandangan ini kerap menimbulkan kesan chauvinist. Sementara

partikular-relatif berpandangan bahwa konsep HAM, di

________________________ 11 A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi HAM dan Proses Dinamika

Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 78.

Page 64: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 53

samping dilihat sebagai masalah universal, juga merupakan

masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumen-

dokumen HAM internasional harus diselaraskan, diserasikan,

dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan budaya bangsa

masing-masing. Pandangan ini tidak hanya menjadikan

kekhususan pada masing-masing bangsa untuk bersikap

defensif, tetapi di lain pihak juga aktif mencari perumusan dan

pembenaran (vindication) terhadap karakteristik HAM yang

dianutnya. Pandangan ini tampak terlihat dalam The Jakarta

Message, Butir 18, yang di antaranya berbunyi:

“We reaffirm that basic human rights and fundamental freedom are of universal validity... No country however, should use its power to dictate its concept of democracy and human rights or to impose conditionalities on others. In the promotion and the protection of these rights and freedoms, we emphasize the interrelatedness of the various categories, call for the balanced relationship between individual and community rights, uphold the competence and responsibility of national government in their implementation.”

HAM dan kebebasan dasar manusia bersifat universal. Meski

demikian, suatu negara tidak diperbolehkan untuk melakukan

intervensi terhadap negara lain dalam dua persoalan tersebut.

Dalam hal ini, keseimbangan peran tiga elemen suatu negara, yakni

hak individu, masyarakat, dan negara, sangat dibutuhkan.

2. Konsep Negara Hukum Pancasila sebagai Pola Prismatik Berkaitan dengan Kebebasan Beragama

Istilah negara secara lexical meaning berarti organisasi

dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang

sah dan ditaati oleh rakyat. Ia juga bisa didefinisikan

dengankelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah

tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik, mempunyai

kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan

Page 65: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

54 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

nasionalnya.12 Sementara hukum dapat dipahami sebagai

seperangkat peraturan yang dibuat oleh penguasa atau adat yang

berlaku bagi semua orang dalam suatu masyarakat (negara). Ia

juga bisa diartikan denganundang-undang atau peraturan untuk

mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, di samping juga

bisa diartikan dengan patokan (kaidah atau ketentuan) mengenai

suatu peristiwa yang tertentu.13

Penyebutan negara hukum untuk RI selama ini telah

populer di masyarakat Indonesia. Namun demikian, secara

konseptual istilah negara hukum masih menuai kontroversi yang

belum berakhir. Secara umum, istilah tersebut dianggap

terjemahan dari dua istilah, yakni; rechtsstaat dan the rule of law.

Kedua istilah tersebut secara konseptual kerap dikaitkan dengan

konsep perlindungan hukum, karena keduanya tidak terlepas

dari gagasan untuk memberi pengakuan dan perlindungan

terhadap HAM. Akan tetapi, secara mendasar

keduanyamempunyai latar belakang dan pelembagaan yang

berbeda, meskipun secara esensial sama-sama menginginkan

perlindungan bagi HAM melalui lembaga peradilan yang bebas

dan independen.

Rechtsstaat merupakan konsep negara modern yang

populer di Eropa sejak abad XIX dan kemudian menyebar ke

seluruh dunia. Istilah tersebut dikampanyekan oleh beberapa

tokoh terkemuka, seperti Immanuel Kant, Paul Laband, Julius

Stahl, dan Fitche. Konsep tersebut lahir dari suatu perjuangan

menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Konsep

tersebut banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang

bertumpu pada sistem civil law atau modern roman law, yang

memiliki karakteristik administratif. Menurut Stahl,

sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, elemen penting yang

________________________ 12 Dendy Sugono (red.), Op. Cit., hlm. 1069 13 Ibid., hlm. 559.

Page 66: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 55

dicakup oleh konsep tersebut berupa (1) perlindungan HAM, (2)

pembagian kekuasaan, (3) pemerintahan berdasarkan undang-

undang, dan peradilan tata usaha negara.14 Mengenai istilah the

rule of law mulai poluler dengan terbitnya sebuah buku dari

Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the

Study of the Law of the Constitution.15 Konsep tersebut banyak

dikembangkan di negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon

yang bertumpu pada sistem common law, yang memiliki

karakteristik judicial. Unsur-unsur penting yang dimiliki oleh

konsep tersebut menurut Dicey, sebagaimana dikutip Jimly

Asshiddiqie, adalah (1) supremacy of law, (2) equality before the law,

dan (3) due process of law.16

________________________ 14 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,

Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 148. Dalam perkembangannya, konsep rechtsstaat mengalami transformasi dari bentuk klasik ke bentuk modern. Berdasarkan sifatnya, konsep rechtsstaat klasik disebut dengan “Klassiek liberale en democratischerechtsstaat”, yang sering disingkat dengan “Democratische Rechtsstaat”. Konsep klasik ini menurut S.W. Couwenberg dalam karyanya Westers Staatsrecht als Emancipatieproces memiliki lima asas dan prinsip-prinsip dasar yang meliputi sepuluh bidang. Lima asas tersebut berupa: asas hak-hak politik, asas mayoritas, asas perwakilan, asas pertanggungjawaban, dan asas publik. Sedangkan 10 prinsip tersebut adalah (1) pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan, pemisahan antara hukum publik dan hukum privat, (2) pemisahan antara negara dengan gereja, adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil, (4) persamaan terhadap undang-undang, (5) adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasar sistem hukum, (6) pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dan sistem “chek and balances”, (7) asas legalitas, (8) ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak memihak dan netral, (9) prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip-prinsip tersebut diletakkan dengan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis; dan (10)prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun vertikal (sistem federasi maupun disentralisasi). Lihat, Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dan Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 74-77.

15 Ibid., hlm. 72. 16 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 148.

Page 67: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

56 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

Jika dilihat dari ciri-cirinya, kedua konsep tersebut

memiliki persamaan dan perbedaan yang cukup mendasar.

Persamaannya, kedua konsep tersebut menitikberatkan pada

upaya memberikan perlindungan pada hak asasi manusia,

sehingga untuk mencapai hal tersebut harus diadakan

pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara. Dengan

cara ini pelanggaran atas hak asasi manusia dapat

diminimalisasi, dan bahkan dicegah. Adapun perbedaan kedua

konsep tersebut terlihat pada pelembagaan dunia peradilannya,

di mana keduanya menawarkan lingkungan yang berbeda. Pada

konsep rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang

merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri,

sedangkan pada konsep the rule of law tidak terdapat lembaga

peradilan administrasi, sebagai lingkungan yang berdiri sendiri.

Di dalam konsep tersebut semua orang dianggap memiliki

kedudukan yang setara di depan hukum, sehingga bagi warga

negara maupun bagi pemerintah harus disediakan peradilan

yang sama.

Dilihat dari ciri-ciri tersebut, terlihat jelas betapa peranan

pemerintah hanya sedikit, karena dalam konsep tersebut

terdapat dalil “pemerintahan yang paling sedikit yang paling

baik”. Karena sifatnya yang pasif dan tunduk pada kemauan

rakyat yang liberalistik itulah, negara hanya diposisikan sebagai

nachtwachterstaat (negara penjaga malam). Sebagai nachtwachter,

pemerintah memiliki ruang gerak yang sangat sempit tidak

hanya di wilayah politik, tetapi juga pada sektor ekonomi,

dengan dalil laisses faire, laissez aller (keadaan ekonomi negara

akan sehat jika setiap manusia dibiarkan mengurus kepentingan

ekonominya masing-masing).

Konsep negara hukum (formal) tersebut secara perlahan

mendapatkan gugatan menjelang pertengahan abad XX,

tepatnya setelah Perang Dunia. Beberapa faktor yang

menyebabkannya menurut Miriam Budihadjo, sebagaimana

Page 68: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 57

dikutip Mahfud MD, antara lain adalah ekses-ekses dalam

industrialisasi dan sisitem kapitalis, tersebarnya paham

sosialisme yang menginginkan pembagian kekuasaan secara

merata serta kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa17

Konsep yang memasung peran pemerintah dalam mengatur

persoalan sosial-ekonomi rakyatnya bergeser pada konsep baru

bahwa negara harus bertanggungjawab atas kesejahteraan

rakyatnya. Oleh karena itu, pemerintah harus bersifat aktif dan

tidak boleh diposisikan sebagai nachtwachter dalam membangun

dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan mengatur

sektor tatanan sosial dan perekonomian. Demokrasi, dalam

konsep baru ini, diperluas agar dapat menjangkau dimensi

ekonomi dengan sistem, yang dapat menguasai kekuatan-

kekuatan ekonomi dan berusaha memperkecil perbedaan sosial

dan ekonomi, terutama kemampuan dalam mengatasi

ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan warga

negaranya. Konsep baru tersebut dikenal dengan istilah

welfaartsstaat (negara hukum material), yang kemudian dikenal

dengan verzorgingsstaat.18

________________________ 17 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media,

Yogyakarta, 1999, hlm. 25. 18 Welfaartsstaat dan verzorgingsstaat merupakan konsep-konsep sosiologi dan

ilmu politik. Pada masa Kabinet Loebers, di Belanda konsep verzorgingsstaat dirasakan terlalu mahal untuk dilaksanakan, sehingga ia menjalankan kosep warborgstaat. Dengan konsep tersebut, pemerintah menyediakan minimum warborg dan kekurangannya diserahkan kepada rakyat untuk mengusahakannya secara individu melalui asuransi partikelir. Dalam konsep yuridis, A.M. Denner, sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon, berpendapat bahwa sosiale rechtsstaat lebih baik daripada istilah welfaartsstaat. Akan tetapi, S.W. Couwenberg berpandangan jika sosiale rechtsstaat merupakan varian dari liberal-democratischerechtsstaat. Varian tersebut di antaranya adalah (1) interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari wet dan wetgeving, (2) kebebasan dan persamaan, yang dalam konsep klasik bersifat formal-yuridis, dalam konsep sosiale rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam kehidupan masyarakat, bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara individu yang satu dengan yang lain.

Page 69: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

58 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

Dengan meluasnya kampanye dan mulai diterimanya

konsep baru tersebut, ciri-ciri negara hukum yang digagas oleh

Stahl dan Dicey di atas kemudian ditinjau kembali sehingga

dapat menggambarkan peranan aktif pemerintah dalam rangka

mensejahterakan rakyatnya. Dalam sebuah konferensi yang

digelar di Bangkok pada tahun 1965, International Commmision

Jurist menekankan bahwa di samping hak-hak politik bagi

rakyat, harus diakui pula adanya hak-hak sosial-ekonomi,

sehingga standarisasi dasar sosial-ekonomi perlu dibentuk.

Dalam kesempatan itu pula, komisi tersebut merumuskan unsur-

unsur pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law,

yaitu:19

a. Perlindungan konstitusional. Artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.

b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. c. Pemilihan umum yang bebas. d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat. e. Kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi. f. Pendidikan kewarganegaraan.

________________________

Hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural mendapat perhatian utama, (3) legitimasi kekuasaan politik tidak lagi merupakan masalah pokok, tetapi kekuasaan ekonomi dalam masyarakat kapitalis yang liberal dan kaitan antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik, (4) kepentingan umum sebagai asas hukum publik, tidak lagi diartikan sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga ketertiban atau kepentingan kaum borjuis sebagai kepentingan negara sebagai basis masyarakat dari hukum liberal, (5) watak undang-undang, yang dalam konsep klasik bersifat restriktif, confirmerend, dan stabiliserend, mulai luntur karena fungsi wetgeving hanyalah sebagai formeel-juridische basis van een sosial-georenteerd overheidsbeleid. Dengan demikian, undang-undang dengan watak ratio scripta direduksi menjadi een juridis instrument ter realisering van dit beleid. Lihat,Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 77-78.

19 Lihat, Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 26. dan Sri Sumantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1989, hlm. 12-13. Lihat uraian aslinya dalam, South-East Asian and Pasific Conference of Jurist, Bangkok, Februari, 15-19, 1965, The Dynamic Aspect of the Rule of Law in the Modern Age, International Commission of Jurist, 1965, hlm. 30-50.

Page 70: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 59

Berdasarkan berbagai prinsip negara hukum yang telah

dikemukakan di atas serta melihat kecenderungan

perkembangan negara hukum modern yang melahirkan prinsip-

prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum, Jimly

Asshiddiqie merumuskan dua belas prinsip pokok, sebagai pilar-

pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum. Kedua

belas prinsip tersebut adalah:20

a. Supermasi hukum (supremacy of law). b. Persamaan dalam hukum (equality before the law). c. Asas legalitas (due process of law). d. Pembatasan kekuasaan. e. Organ-organ penunjang yang independen. f. Peradilan bebas dan tidak memihak. g. Peradilan tata usaha negara. h. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). i. Perlindungan hak asasi manusia. j. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat). k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara

(welfare rechtsstaat). l. Transparansi dan kontrol sosial.

Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, gagasan

mendasar tentang pembentukan negara adalah

konstitusionalisme dan paham negara hukum. Adanya

konstitusi merupakan konsekuensi dari penerimaan atas konsep

negara hukum. Maka, ketika para pendiri Negara Indonesia

bermusyawarah guna menyusun sebuah konstitusi berarti secara

sadar mereka telah memilih konsep negara hukum. Hal tersebut

dilakukan karena adanya konstitusi berfungsi membatasi secara

hukum kekuasaan pemerintah, sehingga penggunaannya tidak

melanggar hak asasi manusia dan tidak melampaui batas-batas

kewenangan yang diberikan di dalam konstitusi tersebut. Naskah

UUD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI secara

________________________ 20 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 150.

Page 71: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

60 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

umum menjelaskan dengan mengatakan bahwa Indonesia Negara

berdasar atas hukum (rechtsstaat). Akan tetapi, UUD 1945 tidak

memuat pernyataan yang jelas tentang konsep negara hukum yang

mana, yang dianut di Indonesia, bahkan istilahnya pun tidak

disebut secara eksplisit, baik di dalam Pembukaan maupun Batang

Tubuhnya. Konsep yang kemudian muncul di negara ini adalah

Negara Hukum Pancasila.

Jika ditelusuri dari latar belakang sejarahnya, baik konsep

the rule of law maupun konsep rechtsstaat lahir dari suatu usaha

atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa. Berbeda

dengan Negara RI, sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas

menentang segala bentuk kesewenangan dan absolutisme. Oleh

karenanya, jiwa dan Negara Hukum Pancasila seyogianya

tidaklah begitu saja mengalihkan konsep the rule of law ataupun

konsep rechtsstaat. Terlebih lagi jika dilihat melalui kandungan

UUD 1945 tentang HAM, di mana dalam proses pembuatannya

didasarkan pada konsepsi negara hukum itu sendiri yang

berintikan pada perlindungan HAM yang harus dikawal oleh

adanya lembaga peradilan yang bebas. Artinya, pemilihan atas

konsepsi negara hukum disebabkan oleh pilihan lebih dahulu

pada pengakuan dan perlindungan HAM. Perdebatan antara

Soekarno-Soepomo, di satu sisi, dan Hatta-Yamin, di sisi yang

lain, dalam proses pembuatannya pada akhirnya menghasilkan

kompromi dengan dimuatnya secara terbatas ketentuan-

ketentuan tentang HAM pada Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31.21

Masuknya pasal-pasal tersebut memperlihatkan bahwa konsepsi

negara hukum dari tradisi Anglo Saxon yang berinisial rule of law

tersebut inheren di dalam UUD 1945, misalnya pada Pasal 7 yang

menentukan bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di depan

hukum dan pemerintahan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan

________________________ 21 Lihat cuplikan perdebatan tersebut dalam, Moh. Mahfud MD, Op. Cit.,

hlm. 135-136.

Page 72: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 61

terlihat penggunaan istilah dalam bingkai rechtsstaat dan

pelembagaan dunia peradilan administrasi negara sebagai

cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang

bersumber dari tradisi Eropa Kontinental. Selain itu, ketentuan

tersebut juga menciptakan pemahaman bahwa konsepsi Negara

Hukum Pancasila berakar pada individualisme yang lebih

mengutamakan hak sipil dan politik, sebagaimana yang dikenal

dalam konsep negara hukum formal yang berakar pada legisme.

Namun demikan, pada saat yang bersamaan tampak ciri-ciri

negara hukum material yang sangat kental mewarnai UUD 1945.

Adanya tujuan negara yang dengan tegas mengharuskan

pembangunan ‘kesejahteraan umum’ dan menjadikan ‘keadilan

sosial’ sebagai salah satu prinsip kehidupan bernegara tidak

dapat memberi kesimpulan selain penegasan bahwa Indonesia

menganut konsep negara hukum material yang tidak hanya

bertugas menegakkan hukum, melainkan juga bertugas

menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila.22

Kaitannya dengan ambiguitas tersebut, Sjahran Basah

mengatakan bahwa mengingat Pancasila telah dijabarkan di

dalam beberapa pasal Batang Tubuh UUD 1945, seperti Pasal 27,

28, 29, 30, dan 34, maka di Negara Hukum Indonesia terdapat hak

dan kewajiban asasi manusia, hak perorangan yang bukan hanya

harus diperhatikan, tetapi juga harus ditegakkan dengan

mengingat kepentingan umum, menghormati hak orang lain,

mengindahkan kepentingan keselamatan bangsa, serta moral

umum dan ketahanan nasional berdasarkan undang-undang.

________________________ 22 Lihat, Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dielaborasikan pada

Batang Tubuh, seperti tergambar pada Pasal 22, Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 34. Pada Pasal 22 mempertegas adanya pengaruh konsep negara hukum material yang berintikan pada pembangunan kesejahteraan umum sebagai tugas pemerintah. Pada Pasal 33 ayat (2) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan Pasal 34 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Page 73: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

62 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

Konsepsi yang demikian tersebut, hak perorangan menjadi

diakui, dijamin, dan dilindungi namun dibatasi oleh dua hal,

yakni fungsi sosial, yang dianggap melekat pada hak milik; dan

corak masyarakat Indonesia, yang membebankan manusia

perorangan Indonesia dengan berbagai kewajiban terhadap

keluarga masyarakat, dan sesamanya.23 Sementara menurut

Philipus M. Hadjon, Negara Hukum Pancasila memiliki ciri-ciri

sebagai berikut:24

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.

b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir.

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

Dari empat ciri tersebut, lanjut Hadjon, perlindungan

hukum bagi masyarakat terhadap pemerintah seyogianya

diarahkan kepada:25

a. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa; dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum yang preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan hukum yang represif.

b. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa hukum antara pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah.

c. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remidium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan haruslah mencerminkan suasana damai dan tenteram—terutama melalui hukum acaranya.

________________________ 23 Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di

Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 149. 24 Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di

Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 149. 25 Ibid., hlm. 90.

Page 74: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 63

Dari penjelasan-penjelasan tersebut, kita bisa mengambil

kesimpulan bahwa konsep Negara Hukum Pancasila, yang

menjadi dasar hukum Negara Indonesia, merupakan konsep

sintesis dari berbagai konsep yang berbeda tradisi hukumnya.

Secara substantif, konsepsi sintesis Negara Hukum

Pancasila mewakili semangat demokrasi dan hukum yang

berakar pada budaya bangsa Indonesia. Istilah tersebut dipakai

guna mengakomodasi berbagai karakter dan nilai yang tumbuh

di Indonesia, seperti kekeluargaan, keseimbangan, musyawarah,

dan keserasian. Karena hukum diformulasikan dalam rangka

menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat, maka hukum

harus sesuai dengan hukum dan akar budaya masyarakat

Indonesia.26

Nilai-nilai khas tersebutlah yang membedakan sistem

hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya sehingga

muncul istilah hukum Pancasila yang jika dikaitkan dengan

literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai

sosial, disebut sebagai pilihan nilai prismatik yang karenanya

dalam konteks hukum dapat disebut sebagai hukum prismatik.27

________________________ 26 Satjipto Rahardjo, “Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia”, dalam

Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 10. 27 Istilah konsep hukum prismatik yang digagas oleh Mahfud MD dalam

memahami konsepsi Negara Hukum Pancasila, sebenarnya diilhami oleh teori optik garapan Fred W. Riggs. Teori tersebut mengiaskan pesan sebagai cahaya yang masuk ke prisma (segi tiga). Selain sebagai pemantul cahaya, prisma juga memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Dalam teori tersebut, Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian: tradisional, prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurutnya, model masyarakat tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut pandang kekeramatan, supranatural, pandangannya hirarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacara-upacara. Adapun masyarakat modern (memencar), dalam pandangan Riggs, merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas masyarakat demikian bisa diidentifikasi melalui organisasi, seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, dan Persis. Sedangkan masyarakat prismatik, oleh Riggs diletakkan di antara dua model masyarakat sebelumnya, di mana pluralitas

Page 75: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

64 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

Konsep ini menurut Riggs, sebagaimana dikutip oleh Mahfud

MD, merupakan kombinasi atas nilai sosial paguyuban dan nilai

sosial patembayan.28 Dua nilai sosial ini saling memengaruhi

warga masyarakat, yakni kalau nilai sosial paguyuban lebih

menekankan pada kepentingan bersama dan nilai sosial

patembayan lebih menekankan kepada kepentingan dan

kebebasan individu.29 Nilai prismatik diletakkan sebagai dasar

________________________

budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan memantulkan pesan dari bentuk memusat menuju memencar. Masyarakat jenis demikian, dalam penilaian Riggs tidak lagi mempertontonkan perilaku secara dikotomis. Relevansi istilah teori optik ini dengan konsep Negara Hukum Pancasila adalah terletak pada varian masyarakat prismatik. Sebagaimana telah dijelaskan, Riggs memosisikan varian masyarakat prismatik di antara masyarakat tradisional dan modern, sementara konsep hukum prismatik merupakan kombinasi atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial petembayan. Lihat, Moh. Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 23.

Senada dengan teori masyarakat prismatik ini, H.L.A. Hart menteorikan bahwa masyarakat itu terdiri atas tatanan yang Primary rules of obligation dan Secondary rules of obligation. Lihat, H.L.A. Hart, The Concept of Law, Oxford University Press, London, 1972, hlm.89-96. Bandingkandengan, Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, t.t., hlm. 43-45. Masyarakat yang berada pada peringkat primary rules of obligation ditandai dengan kondisi seperti berikut: (1) komunitas kecil, (2) didasarkan pada ikatan kekerabatan, (3) memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan (4) berada di tengah-tengah lingkungan yang stabil. Dalam kondisi seperti itu masyarakatnya tidak mengenal peraturan terperinci, hanya mengenal standar tingkah laku, dan tidak ada diferensiasi dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Penyelesaian sengketa pada masyarakat semacam ini relatif masih sangat sederhana. Hal itu disebabkan masyarakatnya berupa komunitas kecil yang didasarkan atas kekerabatan, sehingga mekanisme kontrol sosial yang ada telah dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Sedangkan pada masyarakat dengan peringkat secondary rules of obligation, masyarakatnya mempunyai kehidupan terbuka, luas, dan kompleks. Kondisi tersebut menandai lahirnya dunia hukum dan ditinggalkannya dunia pra-hukum, bersamaan dengan munculnya tiga macam kaidah, yaitu: (1) rules of recognition, (2) rules of change, dan (3) rules of adjudication. Masing-masing kaidah (rules) tersebut memegang otoritas untuk menentukan apa yang merupakan hukum, bagaimana mengubahnya, dan bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Lihat, Esmi Warassih Pujirahayu, “Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum”; dalam Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1995, hlm. 20.

28 Ibid., hlm. 20. 29 Ankie M. Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat sedang Berkembang, Rajawali Press,

Jakarta, 1985, hlm. 87.

Page 76: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 65

untuk membangun hukum yang penjabarannya dapat

disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan sosio-kultural

masyarakat yang bersangkutan.30

Ragaan. 2.1. Konsep Masyarakat Prismatik.

Sumber: Dielaborasi dari Fred W. Riggs

Menurut Mahfudz MD., setidaknya ada empat hal supaya

prismatika hukum dapat diwujudkan. Pertama, Pancasila

memadukan unsur yang baik dari paham individualisme dan

kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi

mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat

padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk

sosial. Kedua, Pancasila mengintegrasikan negara hukum yang

menekankan pada civil law, dan kepastian hukum serta konsepsi

negara hukum the rule of law, yang menekankan pada common law,

dan rasa keadilan. Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai

alat pembaharuan masyarakat (law, as tool of social engineering)

sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup dalam

________________________ 30 Ibid., hlm. 176.

Masyarakat Prinsmatik (Hukum Prismatik)

Masyarakat Tradisional

(Hukum Tradisional)

Masyarakat Modern (Hukum Modern)

Page 77: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

66 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

masyarakat (living law). Keempat, Pancasila menganut paham

religious nation state, tidak menganut atau mengendalikan suatu

agama tertentu (karena bukan negara agama), tetapi juga bukan

tanpa agama (karena bukan negara sekuler). Di sini negara harus

melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa

diskriminasi berdasarkan pertimbangan mayoritas dan

minoritas.31 Konsep Negara Hukum Pancasila yang bersifat

prismatik inilah yang bisa dijadikan titik tolak pemikiran dalam

merekonstruksi hukum kebebasan beragama di Indonesia.

B. Kebebasan Beragama dalam Tinjauan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

1. Arti dan Cakupan Konsep Kemanusiaan

Istilah kemanusiaan (humanity) berasal dari kata dasar

manusia, yang diartikan dengan makhluk yang berakal budi.

Secara lexical meaning kata kemanusiaandiartikan dengan: sifat-

sifat manusia, secara manusia, sebagai manusia, dan

perikemanusiaan, segala sesuatu yang layak bagi manusia.32

Definisi tersebut menurut Noor Ms. Bakry mengikuti analisis

logis, yang memasukkan manusia dalam kelompok jenis hewan,

yaitu organisme yang berindra, sedang ciri pembeda bagi

manusia untuk membedakan hewan yang lain, karena manusia

mempunyai akal budi yang dapat mengatasi perjuangan

hidupnya.33 Dari kata manusia muncul istilah kemanusiaan,

yang dapat diartikan sebagai bentuk kesadaran, sikap, dan

perbuatan yang selaras dengan nilai-nilai kehidupan universal.

Nilai-nilai ini dapat berupa pertimbangan-pertimbangan tentang

________________________ 31 Mahfud MD, “Mimpi Demokrasi dari Bung Karno”, Jawa Pos,

27September 2006. 32 Dendy Sugono (red.), Op. Cit., hlm. 987. 33 Noor Ms. Bakry, Orientasi Filsafat Pancasila, Liberti, Yogyakarta, 2001,

hlm. 102.

Page 78: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 67

baik-buruk secara naluriah yang tertanam dalam hati nurani

manusia.

Lebih spesifik, Driyarkara mendefinisikan konsep

kemanusiaan sebagai pandangan atau sikap hidup yang

mengakui bahwa manusia itu merupakan makhluk yang

tersendiri secara spesifik, secara khusus, karena manusia

memiliki struktur tersendiri, mempunyai tendensi-tendensi

tersendiri serta sikap dan hubungannya terhadap dunia dan

sesamanya yang tersendiri pula. Karenanya, cara hidup, cara

berbahagia, caranya bekerja sama yang melekat pada diri

manusia mempunyai ciri-ciri yang khas, dan tidak terdapat di

luar lingkungan manusia.34

Hal demikian tersebut secara teknis diatur oleh sumber

daya kejiwaan, yaitu: akal, rasa, dan kehendak. Akal terfokus

pada kebenaran, rasa terfokus pada keindahan, dan kehendak

terfokus pada kebaikan. Ketiganya saling memengaruhi,

sehingga berbasis pada keterpaduan tiga elemen tersebut,

manusia dapat mengerti nilai-nilai hidup manusiawi yang sesuai

dengan ide kemanusiaannya.

Secara praktis konsep kemanusiaan dipahami bahwa setiap

manusia memiliki hak yang asasi untuk mendapat penghidupan

sedemikian rupa, sehingga ia bebas dari kesengsaraan,

kekangan, dan paksaan. Setiap manusia harus mempunyai

mental yang mengakui hak-hak itu. Karenanya, konsep

kemanusiaan memiliki tuntutan berupa usaha bersama untuk

menyelenggarakan kepentingan bersama dengan saling

menghormati hak-hak insani, dengan saling menghormati

kebebasan manusia. Kepentingan bersama tersebut sekaligus

mengindikasikan pengertian bahwa kekuasaan negara adalah

________________________ 34 A. Sudiarja (ed.), Karya Lengkap Driyakara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang

Terlibat Penuh dengan Perjuangan Bangsanya, Kompas Media Nusantara, Gramedia Pustaka Utama, Kanisius, dan Ordo Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Yogyakarta, 2006, hlm. 708-709.

Page 79: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

68 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

untuk kepentingan warga negaranya. Bagi Driyakara,

pemerintah yang merepresi kemanusiaan adalah pemerintah

yang inhuman. Pemerintah diberi kekuasaan menyelenggarakan

tata tertib umum, supaya menciptakan kondisi-kondisi yang

diperlukan untuk berbagai macam usaha manusia.35

Sebagai sebuah organisme, secara hakikat manusia

memiliki unsur-unsur monodualis sebagai berikut:36

a. Susunan Kodrat Manusia

Pada hakikatnya manusia tersusun dari jiwa dan raga.

Keduanya berkait berkelindan satu sama lain, tanpa raga

bukanlah manusia, demikian juga tanpa jiwa. Jiwa manusia ini

tersusun atas sumber daya akal, rasa, dan kehendak,

sementara raga manusia tersusun atas: zat benda mati, zat

nabati, dan zat hewani. Apabila dalam kehidupannya

manusia hanya mementingkan aspek kejiwaannya saja, maka

akan sulit baginya untuk mencapai kebahagiaan duniawi

yang bersifat jasmani. Hal senada juga berlaku pada saat

manusia hanya mementingkan aspek raganya saja, maka akan

sulit baginya untuk mencapai kebahagiaan rohani. Artinya,

keseimbangan keduanya merupakan harga mati dalam

kehidupannya. Berkaitan dengan statusnya sebagai warga

Negara Indonesia, keseimbangan tersebut merupakan salah

satu dasar filsafat Pancasila. Sehingga, tujuan negara yang

berdasarkan Pancasila adalah untuk mewujudkan masyarakat

adil dan makmur sejahtera, baik lahir maupun batin.

b. Sifat Kodrat Manusia

Pada hakikatnya manusia memiliki dua sifat mendasar

berupa individu dan sosial. Hal ini dapat terlihat pada

________________________ 35 Ibid., hlm. 712. 36 Disarikan dari: Noor Ms. Bakry, op Cit., hlm. 16-19. dan Kaelan, Filsafat

Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa , Paradigma, Yogyakarta, 2002, hlm. 162-167.

Page 80: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 69

inkonsistensi dominasi sifat tersebut dalam sikap dan

perbuatannya sehari-hari, sewaktu-waktu sifat individualnya

yang lebih mendominasi dan sewaktu-waktu sifat sosialnya

yang lebih dominan. Dua sifat kodrati ini merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai unsur kodrat

manusia. Jika dalam kehidupannya manusia selalu

didominasi oleh sifat individu saja, maka ia akan terlihat

individualis atau liberalis. Demikian juga sebaliknya, jika

dalam kehidupannya manusia hanya didominasi oleh sifat

sosial saja, maka ia akan terlihat sosialis atau kolektif. Artinya,

dalam pola hidup yang manusiawi keseimbangan keduanya

adalah harga mati.Berkaitan dengan statusnya sebagai warga

Negara Indonesia, keseimbangan tersebut merupakan salah

satu dasar filsafat Pancasila. Sehingga, tujuan negara yang

berdasarkan Pancasila adalah untuk mewujudkan masyarakat

yang penuh kebahagiaan dengan basis relasi manusia dengan

masyarakatnya yang selaras, serasi, dan seimbang,

masyarakat yang berpaham kebersamaan dan kekeluargaan.

c. Kedudukan Kodrat Manusia

Pada hakikatnya manusia berkedudukan sebagai

pribadi mandiri dan juga sebagai makhluk Tuhan. Hal

tersebut tampak bahwa manusia adalah pribadi berdiri

sendiri yang mampu untuk berkreasi dan bertanggungjawab

atas perbuatannya sendiri dan juga menyadari dirinya sebagai

makhluk Tuhan. Dua hal ini tidak dapat dimungkiri karena

memang demikian kenyataanya. Jika dalam kehidupannya

manusia, baik secara pribadi maupun bersama-sama, selalu

menampakkan dirinya sebagai pribadi yang berdiri sendiri

terlepas dari pengaruh Tuhan, maka kelompok manusia yang

seperti ini hanya tampak mengandalkan kemampuan

akalnya, sehingga manajemen kehidupan bersamanya diatur

atas dasar pola pemikirannya sendiri tanpa adanya pengaruh

Page 81: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

70 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

dari ajaran Tuhan. Hal senada juga terjadi, jika manusia dalam

kehidupannya, baik secara pribadi maupun bersama, selalu

menampakkan sebagai makhluk Tuhan tanpa memerhatikan

manusia sebagai pribadi yang mandiri, maka kelompok

manusia yang seperti ini dalam kehidupan bersamanya selalu

mengandalkan ajaran dari Tuhan dengan tafsiran yang

dangkal tanpa menggunakan pertimbangan akal budi.

Artinya, keseimbangan akan dua kesadaran tersebut adalah

harga mati bagi manusia dalam menjalani hidup. Berkaitan

dengan warga Negara Indonesia, keseimbangan dua unsur ini

merupakan salah satu filsafat dasar Pancasila. Hal tersebut

tampak jelas pada lima pasalnya.

2. Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa

kebebasan beragama di Indonesia secara yuridis-normatif telah

diatur secara mapan melalui sila pertama Pancasila sebagai

kerangka dasarnya. Namun demikian, kebebasan tersebut bukan

berarti bebas tanpa batas hingga membentur hak dan kebebasan

orang lain. Dengan kata lain, hukum kebebasan beragama di

Indonesia didasarkan pada sila kedua, yakni kemanusiaan yang

adil dan beradab. Unsur yang terkandung dalam sila tersebut

adalah berupa: adil dan beradab serta keadilan dan keadaban.37

Sebagai pribadi yang mandiri, hubungan manusia antar-

sesama secara individu, dengan masyarakat secara komunal,

dengan negara secara administratif, dan dengan setiap manusia

secara universal, mempunyai hak dan kewajiban. Secara praktis,

hubungan keduanya seimbang, di mana tidak ada penekanan

kepentingan atas salah satu dari dua hal tersebut. Hak-hak yang

________________________ 37 Noor MS Bakry, Pancasila: YuridisKenegaraan, Liberty, Yogyakarta, 1985,

hlm. 46.

Page 82: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 71

dimiliki setiap individu manusia dalam bernegara dan

bermasyarakat di antaranya adalah: hak untuk hidup, hak untuk

memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang

layak, hak perlindungan atas kesehatan, hak jaminan sosial di

hari tua, dan hak beragama dan (ber)-keyakinan. Hak-hak

tersebut wajib dihormati dan diselenggarakan oleh pemerintah

dan oleh masing-masing manusia dengan tetap memerhatikan

statusnya sebagai makhluk sosial. Jika pelaksanaan hak-hak

tersebut hanya terbatas pada pemenuhan dirinya sebagai

makhluk individu belaka, maka yang akan terjadi adalah

seseorang cenderungmerugikan kepentingan manusia yang lain,

baik disadari ataupun tidak. Meskipun demikian, kepemilikan

hak-hak tersebut tidak berarti secara mutlak ia bebas untuk

melaksanakan haknya, melainkan dibatasi oleh adanya

kewajiban terhadap sesama manusia, masyarakat, maupun

negara. Artinya, kata adil dalam sila kedua dari Pancasila

tersebut dipahami sebagai bentuk kewajiban bagi pemerintah

maupun manusia, secara individu maupun komunal masyarakat

dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh

setiap manusia agar dapat hidup layak sebagaimana manusia

seutuhnya.

Hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang

dimiliki oleh setiap manusia tidak boleh dirampas oleh pihak

lain. Karena itu, pemaksaan untuk mengikuti kehendak pihak

lain dengan menggunakan kekerasan tidak dapat ditoleransi,

karena secara mendasar pemaksaan secara kekerasan atas

manusia merupakan suatu bentuk pembudakan. Karenanya,

pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk memenuhi apa

yang menjadi hak setiap manusia. Pemenuhan kewajiban

tersebut, baik terhadap lingkungan masyarakatnya maupun

terhadap pemerintah dan negaranya, sebagai konsekuensi logis

atas statusnya sebagai makhluk sosial.

Page 83: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

72 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

Ketentuan yang berlaku dengan pengertian sila kedua di

atas, sebagaimana telah dilansir sebelumnya, adalah bahwa

setiap manusia diakui memiliki derajat yang sama, hak dan

kewajiban, dan selaras dengan prinsip keadilan. Karenanya, apa

yang telah menjadi hak setiap manusia, terlebih persoalan

keberagamaan yang menjadi fokus buku ini, secara individu

adalah objek penghormatan bagi siapa pun. Penghormatan di

sini mesti diimbangi pula dengan pemenuhan kewajiban oleh

setiap pribadi manusia terhadap lingkungannya, karena manusia

tidak hanya mempunyai pengertian sebagai makhluk individu

saja tetapi juga sebagai makhluk sosial. Namun demikian,

pengertian perikemanusiaan atau internasionalisme di atas juga

mesti diimbangi dengan kesadaran bahwa manusia yang

merupakan satu umat itu, duduk di berbagai bagian dari muka

bumi yang satu sama berbeda dalam keadaan tanah dan

iklimnya, dan lain-lain, sehingga perbedaan sifat dalam diri

masing-masing manusia adalah keniscayaan. Perikemanusiaan

atau internasionalisme dalam konteks Indonesia di sini sudah

barang tentu terkait erat dengan kultur masyarakatnya.

Dengan melihat konteks masyarakatnya yang terumuskan

dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika”, sila pertama dan kedua

dalam Pancasila sebagai dasar negara, dan status religious nation

state yang berbasis pada hukum, maka konsep kebebasan

beragama di Indonesia dapat dirumuskan dengan pola jaminan

perlindungan atas hak kebebasan berkeyakinan dan beragama

serta keyakinan dan agama itu sendiri yang berbasis pada nilai

kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun demikian, untuk

menuju masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban tersebut

diperlukan pembumian konsep civil society dalamkehidupan

berbangsa dan bernegara. Tanpa basis itu, kiranya mustahil bagi

bangsa Indonesia untuk menjadi masyarakat yang bebas

beragama dengan basis keadilan dan berkedaban.

Page 84: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 73

3. Membumikan Civil Society: Menuju Masyarakat Berkeadilan dan Berkeadaban

a. Tinjauan Umum tentang Konsep Civil Society

Sebagai sebuah wacana kontemporer, hingga saat ini

belum ada satu kesepakatan mengenai rumusan teoretis dan

konsep yang baku tentang civil society, sebab dalam

mendefinisikan terma civil society sangat bergantung pada

kondisi sosio-kultural suatu bangsa di mana konsep tersebut

akan diterapkan. Sebagai titik tolak, maka di sini penulis

kemukakan beberapa definisi civil society dari berbagai pakar

di berbagai negara yang menganalisis dan mengkaji fenomena

tersebut.38

Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau

dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur

dan Uni Sovyet. Ia mengatakan yang dimaksud dengan civil

societyadalah suatu masyarakat yang berkembang dari

sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan

perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama

lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini

timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil

komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang

menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Oleh

karenanya, yang dimaksud civil society adalah sebuah ruang

yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara.

Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan negara dalam

civil society ini diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya,

yakni individulisme, pasar (market) dan pluralisme. Batasan

________________________ 38 Dalam konteks Indonesia, konsep civil society ini mengalami penerjemahan

yang berbeda-beda dan dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat warga, dan civil society itu sendiri. Lebih lanjut lihat dalam, A. Ubaidillah (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm. 138-141.

Page 85: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

74 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

yang dikemukakan oleh Rau ini menekankan pada adanya

ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan

integritas sistem nilai yang harus ada dalam civil society, yakni

individulisme, pasar (market), dan pluralisme.

Kedua, definisi yang digambarkan oleh Han-Sung Joo

dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan

bahwa civil society merupakan sebuah kerangka hukum yang

melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu,

perkumpulan sukarela terbesar dari sebuah negara, suatu

ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik,

gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan

independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-

norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidarlitas

yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok

inti dalam civil society ini. Konsep yang dikemukakan oleh

Han ini menekankan pada adanya ruang publik (public sphere)

serta mengandung empat ciri dan prasyarat bagi terbentuknya

civil society, yaitu (1) diakui dan dilindunginya hak-hak

individu dan kemerdekaan berserikat serta mandiri dari

negara, (2) adanya ruang publik yang memberikan kebebasan

bagi siapa pun dalam mengartikulasikan isu-isu politik, (3)

terdapat gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasar

pada nilai-nilai budaya tertentu, dan (4) terdapat kelompok

inti di antara kelompok pertengahan yang mengakar dalam

masyarakat yang menggerakkan masyarakat dan melakukan

modernisasi sosial-ekonomi.

Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk,

masih dalam konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa

yang dimaksud dengan civil society adalah suatu satuan yang

terdiri atas kelompok-kelompok yang secara mandiri

menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat

yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan

satuan dasar dari (re)-produksi dan masyarakat politik yang

Page 86: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 75

mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik

guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan

kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip

pluralisme dan pengelolaan yang mandiri. Definisi ini

menekankan pada adanya organisasi-organisasi

kemasyarakatan yang relatif memosisikan secara otonom dari

pengaruh dan kekuasaan negara. Eksistensi organisasi-

organisasi ini mensyaratkan adanya ruang publik (public

sphere) yang memungkinkan untuk memperjuangkan

kepentingan-kepentingan tertentu.

Berbagai batasan dalam memahami terma civil society di

atas, jelas merupakan suatu analisis dari kajian kontekstual

terhadap performa yang diinginkan dalam mewujudkan civil

society. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan penekanan

(aksentuasi) dalam mensyaratkan idealisme civil society. Akan

tetapi, dari ketiga batasan di atas secara global dapat ditarik

benang merah bahwa yang dimaksud dengan civil society

adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang

berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara,

memiliki ruang publik (public sphere) dalam mengemukakan

pendapat, serta adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang

dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.

Dengan kata lain, meskipun belum dapat dikatakan telah

terjadi semacam pembakuan konseptual hingga saat ini,

setidaknya ada beberapa esensi dari makna civil society tersebut.

Pertama, adanya individu dan kelompok-kelompok mandiri

dalam masyarakat (politik, ekonomi, dan kultur). Kemandirian

ini diukur terutama ketika mereka berhadapan dengan kekuatan

negara. Kedua, adanya ruang publik bebas sebagai tempat

wacana dan kiprah politik bagi warga negara. Ruang publik

inilah yang menjamin proses pengambilan keputusan berjalan

secara demokratis. Ketiga, kemampuan masyarakat untuk

mengimbangi kekuatan negara, kendati tidak melenyapkannya

Page 87: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

76 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

secara total. Negara, bagaimanapun juga tetap diperlukan

kehadirannya sebagai pengawas dan pelerai konflik, terutama

dalam proses distribusi sumber daya, di samping penjamin

keamanan internal dan perlindungan eksternal.39

Adanya fakta keragaman pada aspek pemahaman

tentang makna civil society tersebut bukan saja disebabkan

karena teori tentang civil society terus mengalami

perkembangan, namun juga karena konteks di mana teori-

teori itu dikembangkan mengalami banyak perubahan.

Perdebatan mengenai civil society yang terjadi akhir-akhir ini,

sebagian besar muncul dari perbedaan perspektif teoretis

yang digunakan serta kemampuan dalam melakukan

kontekstualisasi dalam ruang sejarah dan masyarakat

tertentu. Tokoh-tokoh seperti Ernest Gellner, Norberto

Bobbio, dan Serif Mardin, merupakan sebagian nama dari

para pakar yang telah menunjukkan beberapa kesulitan dan

problematika penerapan konsep civil society dalam beragam

konteks masyarakat. Kendati demikian, kesulitan-kesulitan

dan problematika tersebut tidak serta-merta harus

diterjemahkan dengan tertutupnya kemungkinan.40

Konsep civil society sendiri telah mengalami perubahan

pemahaman selama lebih dari dua abad terakhir, mulai dari

era pencerahan ketika konsep itu dipergunakan oleh para

filsuf politik hingga akhir abad kedua puluh ketika konsep

________________________ 39 Muhammad A.S. Hikam, Islam: Demokratisasi & Pemberdayaan Civil Society,

Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000, hlm. x. 40 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hefner, bahwa upaya untuk

melaksanakan gagasan dan kiprah civil society bukanlah hal yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh sebuah “insting peradaban lama.” Justru sebaliknya, ia ditentukan oleh budaya dan lembaga yang senantiasa membutuhkan perubahan-perubahan dan ia masih berada dalam jangkauan manusia untuk melakukannya. Lihat, Robert Hefner, “A Muslim Civil Society?: Indonesian Reflections on the

Conditions of its Possibility”, dalam R. Hefner (ed.), History and Civility: The History and Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, Transaction Press, New Brunswiek, 1998, hlm. 286.

Page 88: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 77

tersebut “ditemukan” kembali oleh para aktivis pro-

demokrasi. Dalam rentang waktu tersebut, setidaknya konsep

civil society telah dipergunakan dalam beberapa pengertian,

yaitu: (1) sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat, (2)

sebagai sistem kenegaraan, (3) sebagai sebuah elemen ideologi

kelas dominan, dan (4) sebagai kekuatan penyeimbang dari

tegaknya sebuah negara.

b. Karakteristik Civil Society

1) Free Public Sphere Free public sphere adalah adanya ruang publik yang

bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat.

Pada ruang yang bebas, individu dalam posisinya yang

setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan

praksis politik tanpa mengalami distorsi dan

kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh

Hannah Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan

bahwa ruang publik secara teoretis bisa diartikan sebagai

wilayah, di mana masyarakat sebagai warga negara

memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik.

Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka

setiap menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul,

serta memublikasikan informasi kepada publik.

Sebagai prasyarat untuk mengembangkan dan

mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan

masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu

bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan

adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan civil society,

maka akan memungkinkan terganggunya aspirasi

masyarakat yang berkenaan dengan kepentingan umum

oleh penguasa yang tiran dan otoriter.

Page 89: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

78 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

2) Demokrasi Demokrasi merupakan satu entitas yang menjadi

penegak implementasi civil society dalam kehidupan. Salah

satu asumsi yang dapat dikemukakan adalah bahwa setiap

warga negara memiliki kebebasan penuh untuk

menjalankan aktivitas kesehariannya termasuk dalam

berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu sebuah sikap

demokratis dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak

mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Dengan kata

lain, demokrasi bahkan merupakan salah satu syarat

mutlak bagi penegakan civil society. Penegakan demokrasi

di sini mencakup berbagai bentuk aspek kehidupan seperti

politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan

sebagainya.

Sedikit bergeser ke wilayah wacana demokrasi dalam

konteks Islam, menarik jika kita membaca pemikiran

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang demokrasi.

Baginya, konsep demokrasi adalah konsekuensi logis yang

dianggapnya sebagai salah satu dimensi dalam ajaran

Islam. Menurut Gus Dur, terdapat beberapa alasan

mengapa Islam dikatakan sebagai agama demokrasi.

Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian

agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang

kelas. Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan

(amruhum syūrā bainahum). Artinya, adanya tradisi bersama

dalam membahas dan mengajukan pemikiran secara

terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan.

Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki

kehidupan.41

________________________ 41 Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, PT Remaja Rosdakarya,

Bandung, 1999, hlm. 85. Meski banyak orang mengatakan bahwa ia adalah seorang yang inkonsisten karena sering membuat manuver dan ide-ide yang membingungkan dan dianggap menyesatkan umatnya, namun justru keinginannya

Page 90: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 79

Masih dalam konteks demokrasi, prisma pemikiran

Gus Dur yang lain juga terkait pembelaan terhadap

minoritas. Undang-undang menjamin akan perlakuan

yang sama terhadap warga masyarakat terkait kebebasan

berpendapat, hak mendapatkan keamanan, serta hak

memilih dan berpindah agama, di mana Muslim yang

mayoritas harus dapat melindungi mereka yang minoritas.

Lebih jauh, ia mengatakan:42

“…merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang tidak akan pernah tercapai.”

Dalam konteks ke-Indonesia-an yang pluralis,

hendaknya Islam tidak ditempatkan sebagai ideologi

alternatif seperti memosisikan syariah berhadapan dengan

kedaulatan rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi bisa

dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip

universalnya, seperti persamaan, keadilan, musyawarah,

kebebasan, dan rule of law. Dari sini, dapat dibaca bahwa

pemikiran demokrasi Gus Dur menunjukkan bahwa ia

telah menerima konsep demokrasi liberal atau parlementer

dan secara tegas menolak pemikiran atau “kedaulatan

________________________

menampilkan nilai-nilai Islam dalam segi kehidupan masyarakat Indonesia yang plural menunjukkan bahwa ia sangat konsisten. Hal ini terlihat dari perjuangan dan komitmennya dalam menyuarakan demokrasi, penegakan hak asasi manusia (pembelaan terhadap kaum minoritas, termasuk pembelaan terhadap perempuan), serta keadilan bagi setiap warga tanpa membedakan identitas serta latar belakang ideologi.

42 Abdurrahman Wahid, “Agama dan Demokrasi”, dalam A. Gaffar Karim,

Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia,LKiS, Yogyakarta, 1995, hlm. 111.

Page 91: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

80 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

Tuhan” atau pemikiran yang berusaha mengawinkan

kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat, seperti yang

dirumuskan oleh Ḍiyā’ al-Dīn Ra’is:43

“Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok dengan hati nurani. Saya tidak memperdulikan kutipan dari Injil atau Bhagawad Gita, kalau benar maka harus kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat-ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi, soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, tetapi sudah pemikiran.”

Kedaulatan ada di tangan rakyat, ini merupakan kata

kunci dari “demokrasi”. Rakyat yang menentukan arah

dan haluan negara menuju masa depan dalam kehidupan

yang adil dan beradab demi kesejahteraan bangsa dan

negara. Mereka akan menentukan masa depan bangsa ini.

Singkatnya, rakyat menginginkan keadilan, kesejahteraan

hidup lahir maupun batin, baik secara material maupun

spiritual.

3) Toleransi Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan

dalam civil society untuk menunjukkan sikap saling

menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan

orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya

kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan

menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh

kelompok masyarakat lain yang berbeda. Toleransi

menurut Nurcholish Madjid merupakan persolan ajaran

dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi

________________________ 43 Dikutip dari, Ibid., hlm. 115.

Page 92: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 81

menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang enak,

antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil

itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari

pelaksanaan ajaran yang benar.

Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa

masyarakat madani (civil society) lebih dari sekadar

gerakan-gerakan pro-demokrasi. Masyarakat madani juga

mengacu pada kehidupan yang berkualitas dan tamaddan

(civility). Sipilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan

individu-individu untuk menerima pandangan-

pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.

4) Pluralisme Sebagai sebuah prasyarat penegakan civil society,

maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan

menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai

dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan

sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan

menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi

harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima

kenyataan pluralisme itu dengan penilaian positif sebagai

bentuk rahmat Tuhan.

Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme ini

merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani

(civil society). Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati

kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine

engagement of diversities with in the bonds of civility). Bahkan

pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat

manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan

pengimbangan (check andbalance). Dengan demikian

pluralisme di sini dapat kita pahami sebagai pandangan

yang menghargai kemajemukan serta menghormati pihak

lain (other), membuka diri terhadap warna-warni

Page 93: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

82 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

keyakinan, kerelaan untuk berbagi (sharing), serta

keterbukaan untuk saling belajar (inklusivisme). Lebih lanjut

Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian

kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang

majemuk, yakni masyarakat yang tidak monopolitik. Jadi,

tidak ada masyarakat yang tunggal, monopolitik, yang

sama dan sebagun dalam segala segi.

5) Keadilan Sosial (Social Justice) Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan

keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap

hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup

seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak

adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek

kehidupan pada satu kelompok masyarakat.Seluruh

masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh

kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah

(penguasa).

Selain kelima karakteristik sebagaimana telah

dikemukakan di atas, masih ada satu elemen penting yang

dari awal juga harus menjadi dasar pemikiran, yaitu

adanya pengakuan terhadap hak-hak kemanusiaan. Tanpa

didasari oleh elemen pengakuan ini, niscaya kelima

karakteristik di atas akan sulit—untuk tidak mengatakan

mustahil—untuk dapat terlaksana.44

________________________ 44 Sebagaimana kita pahami bersama, istilah kemanusiaan (humanity) berasal

dari kata dasar manusia, yang diartikan dengan makhluk yang berakal budi. Dalam kamus kata tersebutdiartikan dengan: sifat-sifat manusia, secara manusia, sebagai manusia, dan perikemanusian, segala sesuatu yang layak bagi manusia. Lihat, Dendi Sugono (red.), Op. Cit., hlm. 987. Sementara Driyarkara mendefinisikan konsep kemanusiaan sebagai pandangan atau sikap hidup yang mengakui bahwa manusia itu merupakan makhluk yang tersendiri secara sepesifik, secara khusus, karenamanusia memiliki struktur tersendiri, mempunyai tendensi-tendensi tersendiri serta sikap dan hubungannya terhadap dunia dan sesamanya yang tersendiri pula. Karenanya, cara hidup, cara berbahagia, caranya bekerja sama yang

Page 94: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 83

c. Pilar-Pilar Penegak Civil Society

Yang dimaksud dengan pilar penegak civil society adalah

institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang

berfungsi mengkritik kebijakan-kebijakan pihak penguasa

yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi

masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan civil society,

pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi

terwujudnya kekuatan masyarakat. Pilar-pilar tersebut antara

lain adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers,

supremasi hukum, perguruan tinggi dan partai politik.

1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM adalah institusi sosial yang dibentuk oleh

swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah

membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan

masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM dalam konteks

civil society juga bertugas mengadakan empowering

(pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal

yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti

advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program

pembangunan masyarakat.

2) Pers Pers merupakan institusi yang penting dalam

penegakan civil society.Pers punya kemampuan untuk

mengkritik dan menjadi bagian dari social control yang

dapat menganalisis serta memublikasikan berbagai

kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga

negaranya. Hal tersebut pada akhirnya mengarah pada

adanya independensi pers serta mampu menyajikan berita

secara objektif dan transparan.

________________________

melekat pada diri manusia mempunyai ciri-ciri yang khas, dan tidak terdapat di luar lingkungan manusia. A. Sudiarja (ed.), Op. Cit., hlm. 708-709.

Page 95: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

84 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

Sebagaimana diketahui, lewat pers—terlepas dari

berbagai kelebihan dan kekurangannya—kita dapat

mengetahui berbagai informasi lebih cepat. Maka tidak

berlebihan kiranya jika kemudian Ilham Prisgunanto

mengatakan bahwa pers adalah tonggak kekuatan kelima

bagi suatu bangsa, sebab tanpa pers negara menjadi tidak

transparan dan rakyat akan buta dengan kinerja

pemerintah.45 Lebih dari itu, pers, sebagaimana ditulis

Yenrizal dan Rus’an Rusli, diyakini bisa masuk ke dalam

semua ruang yang selama ini tertutup rapat tak terjamah

(untouchable)46 dan juga memiliki tanggungjawab dan

keberpihakan kepada suara kebenaran masyarakat (social

responsibility). Selain itu, pada tataran ideal, pers juga

memiliki peran sebagai kontrol sosial, yaitu dengan

memberitakan hal-hal yang sifatnya pengawasan agar

pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Sehingga

dengan sendirinya, pers mampu membentuk opini publik

serta mampu memberikan tekanan terhadap pihak-pihak

yang berbuat kesalahan.

Menurut Burhan Bungin, dalam menjalankan

paradigmanya sebagai institusi pelopor perubahan, pers

memiliki peran:47

a) Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu sebagai media edukasi.

b) Sebagai media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat.

________________________ 45 Ilham Prisgunanto, Praktik Ilmu Komunikasi dalam Kehidupan Sehari-hari,

Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 11. 46 Yenrizal dan Rus’an Rusli, “Keberpihakan Media dan Mafia Korupsi”

dalam Suyitno (ed), Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih Antikorupsi, Gama Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 234.

47 Lihat, Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 85-86.

Page 96: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 85

c) Sebagai media hiburan sekaligus institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan serta katalisator perkembangan kebudayaan.

3) Supremasi Hukum Setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi

pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk

kepada (aturan) hukum. Hal tersebut berarti bahwa

perjuangan untuk mewujudkan hak dan kebebasan antar-

warga negara dan antar-warga negara dengan

pemerintahan haruslah dilakukan dengan cara-cara yang

tinggi. Selain itu, supremasi hukum juga memberikan

jaminan dan perlindungan dari segala bentuk penindasan

individu dan kelompok yang melanggar norma-norma

hukum serta segala bentuk penindasan hak asasi manusia,

sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.

4) Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi (PT) merupakan bagian dari

kekuatan sosial dan masyarakat dan mengkritik berbagai

kebijakan pemerintah. Dengan catatan, gerak yang

dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur

yang benar dan memosisikan diri pada rel dan realitas yang

betul-betul objektif dan menyatakan kepentingan

masyarakat (public). Sebagai bagian dari pilar civil society

maka PT memiliki tugas utama mencari dan menciptakan

ide-ide alternatif dan konstruksi untuk dapat menjawab

problematika yang dihadapi oleh masyarakat. Di sisi lain,

PT memiliki “Tri Dharma PT”, yang harus dapat

diimplementasikan berdasarkan kebutuhan masyarakat

(public).

Menurut Riswanda Immawan, PT memiliki tiga

peran yang strategis dalam mewujudkan civil society.

Pertama, pemihakan yang tegas pada prinsip

Page 97: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

86 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang

demokratis. Kedua, membangun political safety net, yakni

dengan menggambarkan dan memublikasikan informasi

secara objektif dan tidak manipulatif. Political safety net ini

setidaknya dapat mencerahkan masyarakat dalam

memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi. Ketiga,

melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara

yang santun, saling menghormati, demokratis, serta

meninggalkan cara-cara yang agitatif dan anarkis.

5) Partai Politik Partai Politik (parpol) merupakan wahana bagi

warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi

politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politik dan rawan

akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai

sebuah tempat ekspresi politik warganegara, maka parpol

menjadi prasyarat bagi tegaknya civil society. Berkaitan

dengan upaya penguatan civil society di Indonesia, maka

Muslim sebagai pihak mayoritas menjadi sangat penting

untuk dipertimbangkan. Upaya penguatan civil society di

Indonesia tidak bisa mengabaikan pentingnya faktor umat

Islam. Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, bisa dikatakan

bahwa keberadaan Muslim merupakan basis perubahan

politik dan sosial di Indonesia. Mereka memiliki potensi

yang sangat besar dalam menentukan format dan

kehidupan politik Indonesia. Begitu pula dalam upaya

penguatan civil society, Muslim menduduki posisi terdepan

yang bisa diharapkan menjadi pengimbang dari kekuatan

negara yang cenderung dominatif. Dengan ungkapan lain,

Muslim Indonesia memiliki prasyarat—setidaknya secara

kuantitatif—bagi pertumbuhan dan penguatan civil society

di Indonesia.

Page 98: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 87

Dalam hal ini, menurut Dawam Raharjo ada tiga

strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai

strategi dalam memberdayakan civil society di Indonesia.

Pertama, strategi yang lebih mementingkan integrasi

nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa

sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam

masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan

bernegara yang kuat. Saat ini yang diperlukan adalah

stabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena

pembangunan membutuhkan resiko politik yang minim.

Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih

diutamakan dari demokrasi. Kedua, strategi yang lebih

mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.

Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun

demokrasi tidak perlu menunggu rampungnya tahap

pembangunan ekonomi. Ketiga, strategi yang memilih

membangun civil society sebagai basis yang kuat ke arah

demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan

terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan

begitu, strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan

penyadaran politik, terutama pada golongan menengah

yang makin luas.48

Ketiga model strategi pemberdayaan civil society

tersebut di atas dipertegas oleh Hikam bahwa di era transisi

ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan

dengan cara memahami target-target grup yang paling

strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang

tepat dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu, maka

keterlibatan kaum cendekiawan, LSM, ormas sosial dan

keagamaan serta mahasiswa adalah mutlak adanya, karena

________________________ 48 Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani: Demokrasi, Kemajuan dan

Keadilan.” Makalah dalam seminar “Strategi Penguatan Civil Society di Indonesia,” 23-25 Oktober 1998 di Bogor.

Page 99: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

88 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama

merekalah yang memiliki kemampuan dan sekaligus aktor

pemberdayaan tersebut.49

Penanaman pola hidup berbasis civil society ini

menjadi penting dalam kehidupan beragama di Indonesia

karena di dalamnya sarat dengan masyarakat yang penuh

dengan sikap toleran dan berkeadilan. Bahkan, dengan

membuminya konsep tersebut, bisa jadi Indonesia tidak

membutuhkan lagi bentuk regulasi tentang kehidupan

beragama. Sebaliknya, dengan bentuk regulasi semapan

apapun jika civil society tidak tertanam dalam sendi-sendi

kehidupan berbangsa dan bernegara maka jaminan

kehidupan beragama hanya akan menjadi mimpi belaka.

Namun demikian, untuk menuju kehidupan yang berbasis

civil society, baik sistem, aparatur pemerintah, maupun

masyarakat harus sama-sama menopangnya dengan

penuh kesungguhan. Dengan tanpa kebersamaan tiga

elemen tersebut sangat sulit kiranya civil society akan

membumi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

________________________ 49 A. Ubaidillah (dkk.), Op. Cit., hlm. 157.

Page 100: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 89

Rentang Basis Ideologi Kebebasan

Beragama

Sebagai bagian dari HAM, kebebasan beragama tidak bisa

dilepaskan dari pertarungan beberapa ideologi. Dalam rentang

sejarah perdebatan HAM terdapat setidaknya dua basis ideologi

dalam memandang universalitas HAM dan kebebasan beragama.

Dua basis ideologi ini berada pada dua titik ekstrem yang saling

bertolak belakang. Titik ekstrem pertama adalah ideologi

partikular-absolut yang memahami HAM dan juga kebebasan

beragama bersifat partikular secara absolut. Kebebasan beragama di

satu tempat tidak bisa diterapkan di tempat yang lain. Dengan kata

lain, tidak ada kebebasan agama yang benar-benar bebas dan

berlaku untuk setiap tempat, kondisi, dan masa.

Titik ekstrem kedua adalah ideologi universal absolut yang

memahami HAM dan kebebasan beragama berlaku secara

universal penuh. Ideologi ini memahami bahwa sebagai hak dasar

yang melekat pada diri manusia semenjak lahir di dunia, kebebasan

beragama tidak mengenal batasan apa pun dan pembatasan oleh

siapa pun. Ideologi ini mengambil posisi berlawanan penuh

terhadap ideologi pertama tadi. Nah, di antara dua titik ekstrem ini

penulis akan berupaya menghadirkan jalan tengah. Untuk konteks

Page 101: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

90 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

Indonesia, penulis menawarkan ideologi Pancasila untuk

menghadirkan titik tengah.

A. Ideologi Partikular-Absolut Basis Pembentukan Persepsi Eksklusif

Pandangan partikularisme menyangkut HAM

dilatarbelakangi bahwa setiap bangsa memiliki latar belakang

ideologi, sosial, dan budaya masing-masing yang sudah barang

tentu memiliki perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa yang

lain.1 Dengan kerangka berfikir semacam itu, maka untuk

memberlakukan universalisme HAM kepada seluruh lapisan

bangsa adalah mustahil. Terlebih lagi, universalisme HAM tersebut

tidak lain merupakan produk budaya Barat yang sudah barang

tentu mengandung banyak perbedaan dengan budaya Timur, yang

nota bene banyak didiami dan dianut oleh negera-negara

berkembang.

Sistem kebersamaan (communal), yang telah lama ada dan

menjadi warisan dari generasi awal mereka merupakan prinsip

fundamental dan sistem masyarakat Timur. Hal ini sudah barang

tentu bertentangan dengan cara pandang masyarakat Barat yang

cenderung berbasis pada prinsip individualistik. Bagi

masyarakat Timur, prinsip keadilan sosial dibentuk bukan

berdasarkan HAM yang setara, melainkan status sosial yang

tidak setara dan gabungan “privilese” dengan tanggung jawab,

bahkan kelompok partikularisme mengatakan bahwa

keberadaan masyarakat tradisional adalah untuk menentang

universalisme HAM yang sudah menjadi asumsi.2

________________________ 1 Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat: Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum,

Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 115. 2 Rhoda E. Howard, HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,

terj.Nugraha Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000, hlm. 105.

Page 102: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 91

Penolakan masyarakat tradisional terhadap individualisme

ini menyatukan mereka ke dalam misi bersama untuk menghadapi

resiko kehancuran budayanya. Pada saat masyarakat yang

merupakan bagian dari budaya-budaya yang diromantisasi ini

dianggap bukan sebagai individu yang riil—yang memiliki

kebutuhan, keinginan, dan nafsu—melainkan sebagai benda

pameran antropologi yang hidup, maka HAM bisa terlewatkan

begitu saja. Secara definitif, masyarakat tradisional adalah alamiah

dan tidak mungkin memiliki keinginan yang terkonstruksi secara

sosial dalam hal HAM seperti yang dimiliki masyarakat Barat,

sebagai masyarakat yang dianggap beradab dan tetap terisolasi.

Masyarakat tradisional tidak bisa perpikir abstrak, keluar dari

lingkungannya untuk meninjau hakikat kehidupan sosial atau etika

kelompoknya. Dengan demikian, memasukkan pandangan ideal

HAM, bahkan ke dalam wacana lisan dengan masyarakat

tradisional, adalah tindakan imperialis, menimbulkan proses

perubahan sosial yang akan merusak tatanan sosial pribumi.3

Masyarakat Barat sendiri pada mulanya adalah masyarakat

“tradisional”. Mereka telah mengalami proses perubahan sosial

selama berabad-abad, bukan merupakan konsekuensi dari

penegakan HAM bercorak indivisualistik secara tiba-tiba.

Masyarakat tradisional yang masih ada dianggap sebagai asal-usul

manusia modern. Masyarakat Barat memerlukan masyarakat

tradisional, bahkan ketika organisasi sosial mereka

mengeksploitasi, atau kejam terhadap banyak anggotanya agar

mereka bisa menikmati kemurnian masa lalu yang penuh dengan

mitos. Integralistik organis masyarakat tradisional, kesatuannya

dengan alam, tekanan terhadap pilihan individu mendorong

keinginan Barat akan dunia khalayan yang lebih bersahaja.

Masyarakat tradisional adalah komunitarian terbaik, yang tidak

dicemari oleh individualisme. Dalam masyarakat mereka, tidak

________________________ 3 Ibid., hlm. 109.

Page 103: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

92 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

seorang pun mempertanyakan aturan; setiap orang, bahkan yang

paling rendah, hidup harmonis dengan yang lain dan dengan

penguasa.4

Para kritikus universalisme HAM dari kelompok partikularis

mencari dunia yang tidak ada lagi. Kalau pun pernah ada, hal itu

tidak lebih sebagai suatu dunia komunitas, dunia individu-individu

yang bersatu dalam kelompok dan dunia yang terpadu dan

menyatu dengan alam. Pembelaan kelompok partikularis terhadap

budaya-budaya pribumi yang menentang HAM, yang telah

mengalami proses universalisasi hingga pada tingkat tertentu,

merupakan konsekuensi dari rasa khawatir mereka bahwa

universalisme HAM akan mendorong munculnya dunia sosial

yang terindividualisasi, atomistis, dan kompetitif. Kelompok

partikularis mengidealisasikan komunitas Dunia Ketiga yang

memberi teladan bagi budaya Barat tentang masyarakat tradisional

yang aman dan tenteram dan telah hilang darinya, sekalipun Dunia

Ketiga memperlihatkan banyak pelanggaran HAM pada awal

modernisasi.5

Cara hidup tradisional mengisyaratkan jiwa cemas orang

Barat mengingatkan mereka pada asal-usul kolektif asli yang

merupakan asal-muasal mereka. Individu-individu yang hidup

dalam masyarakat tradisional, pra-kapitalis komunitarian, seperti

orang-orang yang diminta Levi-Straus untuk tinggal di hutan, tidak

diperbolehkan berubah atau berpikir tentang apa yang mereka

inginkan dalam kehidupan. Sudah barang tentu jika mereka tidak

diperbolehkan menolak impian utopia dengan mengadopsi ide-ide

Barat.6 Suku-suku masyarakat tradisional di Dunia Ketiga kini tidak

diperbolehkan tertarik mengadopsi atau mendukung pandangan-

pandangan individualis tentang otonomi pribadi atau HAM.

Mereka yang berbuat demikian segera disingkirkan karena

________________________ 4 Ibid., hlm. 109-110. 5 Ibid., hlm. 110. 6 Ibid., hlm. 110-111.

Page 104: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 93

dianggap berubah “menjadi Barat”, yaitu tidak asli, merusak peran

psikologis yang mereka jalankan untuk orang Barat. Penting bagi

kita untuk menyadari bahwa gagasan Barat tentang HAM sejauh

yang dinyatakan oleh elit-elit politik Dunia Ketiga, mencerminkan

“westernisasi” elit ini.7 Oleh karena itu, meskipun masyarakat Barat

menghargai kebebasan intelektual dalam tradisi mereka, mereka

menolak hal itu bagi kaum intelektual dari tradisi lain; kaum

intelektual dari tradisi lain dianggap sebagai teladan konservatif,

bukan penentang radikal nilai-nilai budaya mereka sendiri.8

Dengan demikian, kelompok partikularisme absolut memandang

HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan

alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan

terhadap berlakunya dokumen-dokumen/instrument-instrumen

hukum internasional berkaitan dengan HAM, sehingga banyak

kalangan berpendapat bahwa pandangan ini bersifat chauvinis,

egois, defensif, dan pasif tentang HAM.

Cara pandang di atas kemudian melahirkan kelompok

yang memiliki persepsi eksklusif terhadap HAM. Kelompok ini

memandang bahwa HAM tidak bisa digunakan untuk

menjustifikasi adanya kebebasan beragama. Amirsyah, seorang

anggota MUI misalnya, berpendapat bahwa HAM tidak boleh

merusak kedaulatan suatu agama, sebab jika atas nama HAM

kemudian merusak nilai-nilai agama, jelas hal itu tidak benar.9

Senada dengan Amirsyah adalah pernyataan Jainal Abidin,

________________________ 7 Penyeragaman cara pandang berdasarkan Komentar Umum (General

Common) dari PBB atau bahkan penuntutan penggunaan paradigma yang biasa dipakai kaum liberal (baca: universal-absolut) untuk membatasi atau mengukur hak kebebasan yang ada di Negara Hukum Indonesia pada dasarnya merupakan bentuk intervensi (intoleransi) luar atau Barat juga. Simak pertanyaan Munarman, sebagai Pihak Terkait dari Pemerintah, terhadap Siti Juhro dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada hari Rabu 17 Maret 2010 di Gedung MK Jakarta.

8 Ibid., hlm. 111. 9 Wawancara dengan Amirsyah, anggota MUI pada tanggal 1 Februari

2010.

Page 105: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

94 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

Pengurus MUI D.I. Yogyakarta,menurutnya HAM harus dipahami

sebagai produk budaya, karena ia tidak bisa dilepaskan dari nilai-

nilai filosofis-sosiologis masyarakat pencetusnya. HAM Barat,

lanjut Jainal, dibangun atas dasar filsafat individualistik-sekuler,

sementara Islam berangkat dari wahyu. Karena perbedaan itulah,

maka HAM di Barat dan Timur, termasuk Indonesia, itu berbeda.

Berkaitan dengan fatwa MUI, menurut Jainal tidak bisa atas dasar

HAM kemudian merusak nilai-nilai agama. Apa yang terjadi pada

kasus Ahmadiyah, sesungguhnya Ahmadiyah-lah yang melanggar

HAM, bukan MUI-nya, karena dalam ajaran Ahmadiyah sendiri

banyak yang mendeskriditkan kelompok Sunnī, istilah-istilah kafir

misalnya.10

Lebih tegas dari Jainal adalah pernyataan Sobri Lubis, Sekjen

FPI, baginya mereka (baca: Ahmadiyah) telah halal darahnya (baca:

boleh dibunuh), karena telah merusak akidah Islam yang benar.

“Persetan kitab HAM, tai kucing kitab HAM”, tegas Lubis saat

mengaitkan kasus Ahmadiyah dengan persoalan HAM.11

Mendekati Jainal dan Lubis adalah pernyataan Adian Husaini,

baginya dunia Islam tidak menjadikan DUHAM sebagai “kitab

suci”, dan tidak bersedia begitu saja mengadopsi sepenuhnya pasal-

pasal dalam DUHAM. Bahkan, seseorang yang mempercayai

piagam ini, bagi Adian, sesungguhnya telah meletakkannya di atas

al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Dengan demikian,

sesungguhnya mereka telah menjadikan teks piagam lebih tinggi

kedudukannya dari teks kitab suci umat Islam.12 Artinya, nilai-nilai

agama sebagai sesuatu yang bersifat partikular-absolut lebih

dijunjung daripada universalisme individu manusia berkaitan

________________________ 10 Wawancara dengan Jainal Abidin, Pengurus MUI Daerah Istimewa

Yogyakarta, pada hari Kamis, 18 Agustus 2011. 11 Ungkapan ini disampaikan oleh Sobri Lubis dalam sebuah Tabligh Akbar

di Kota Bogor pada tanggal 14 Februari 2008. 12 Adian Husaini, Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas & Tidak

Kontroversial, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2005, hlm. 84.

Page 106: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 95

dengan HAM. Oleh karena itu, bagi mereka, apa yang dilakukan

MUI, sudah berada di jalur yang tepat.

Jika kita bertolak dari teori persepsi Blumer, dapat

dipahami bahwa persepsi eksklusif terhadap fatwa MUI tentang

aliran sesat berkaitan dengan konsep kebebasan beragama

terkonstruk sebagai pengaruh dari penggunaan ideologi

partikular-absolut dalam memandang HAM. Sehingga sangat

wajar jika agama, sebagai bagian dari partikularisme, lebih

dijunjung daripada universalisme yang cenderung

individualistik. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan

ideologi partikular-absolut berkaitan dengan HAM ini tampak

kurang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan

beradab. Konstruksi demikian tampak bersifat theosentris,

dengan tanpa melihat unsur kemanusiaan sebagai realitas psikis

dari pemeluk agama itu sendiri.

B. Ideologi Universal-Absolut Basis Pembentukan Persepsi Inklusif-Liberal

Asal mula dan perkembangan HAM tidak dapat

terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral.13

________________________ 13 Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang

bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal-muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan-tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benar-­benar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga. Dasar dari doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami yang

Page 107: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

96 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

Sejarah perkembangan filosofis HAM dapat dijelaskan dalam

sejumlah doktrin moral khusus yang, meskipun tidak

mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh, tetap

menjadi pra-syarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal

tersebut mencakup suatu pandangan moral dan keadilan yang

berasal dari sejumlah domain pra-sosial, yang menyajikan dasar

untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan yang

“benar” dan yang “konvensional”. Prasyarat yang penting bagi

pembelaan hak asasi manusia di antaranya adalah konsep

individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa

pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan adil

bagi setiap individu secara rasional.

Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial

yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dimungkiri, dan

diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.14 Dalam model

________________________

didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan tertentu yang bersifat fundamental. Penikmatan kita atas kepentingan mendasar tersebut dijamin oleh hak-hak alamiah yang kita miliki. Hukum alam ini seharusnya menjadi dasar dari sistem sosial-politik yang dibentuk kemudian. Oleh sebab itu, hak alamiah diperlukan sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat maupun negara. Dengan demikian hak alamiah adalah valid tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis atau dewan mana pun. Pendukung pendapat ini adalah filsuf abad ke-17, John Locke, yang menyampaikan argumennya dalam karyanya, Two Treaties of Government (1688). Intisari pandangan Locke adalah pengakuan bahwa seorang individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah dari pengakuan politis yang diberikan negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki secara terpisah dan dimiliki lebih dahulu dari pembentukan komunitas politik mana pun, Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa tujuan utama pelantikan pejabat politis di suatu negara berdaulat seharusnya adalah untuk melindungi hak-hak alamiah mendasar individu. Bagi Locke, perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah individu merupakan justifikasi tunggal dalam pembentukan pemerintahan. Hak alamiah untuk hidup, kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan jurisdiksi negara. Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah masyarakatnya, bukan untuk melayani monarki atau sistem. Lihat, Knut D. Asplund (dkk.) (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hlm. 19-20.

14 Ibid., hlm. 20.

Page 108: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 97

partikularisme, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam

hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan

memilih, dan persamaan. Perihal yang diakui adalah bahwa

kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah

diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan

konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme

budaya. Namun demikian, negara-negara tersebut mengacuhkan

fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation state dari Barat

dan tujuan moderenisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran

secara ekonomi.

Pemahaman HAM dari sudut pandang univeralisme lebih

dilatarbelakangi oleh terbentuknya instrumen-instrumen hukum

internasional berkaitan dengan HAM. Secara mendasar hak

fundamental manusia terletak pada dua hal. Pertama, hak asasi

manusia (human rights), yaitu hak yang melekat pada manusia dan

secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. Hal ini erat kaitannya

dengan eksistensi hidup manusia, bersifat statis dan utama, tidak

dapat dicabut, tidak tergantung dengan ada atau tidaknya orang

lain di sekitarnya. Wujud hak ini di antaranya berupa: kebebasan

batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi, kebebasan

untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, dan emansipasi

wanita. Kedua, hak undang-undang (legal rights), yaitu hak yang

diberikan undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia.

Oleh karena diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas

tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan.

Barangsiapa yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang,

maka kepadanya dapat dikenakan sanksi yang ditentukan oleh

pembentuk undang-undang.15

Sebagai instrumen perundang-undangan, HAM kemudian

dipositifk-an kaidah-kaidahnya dan disosialisasikan kepada

________________________ 15 I Gede Arya B. Wiranta, “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas Quo Vadis”,

dalam Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Jakarta, 2005, hlm. 229.

Page 109: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

98 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

masyarakat agar masyarakat mengetahui dan berupaya untuk

mengembangkan sarana--sarana pendukung agar apa yang

terkandung dalam HAM dapat ditaati. Hal demikian membawa

dampak pada perundang-undangan HAM yang dapat berlaku

secara efektif, untuk itu diperlukan adanya upaya--upaya

pencanangan perundang-undangan HAM dengan baik,

pelaksana dalam menunaikan tugasnya dapat searah dan senafas

dengan bunyi serta penafsiran yang telah disepakati, penegak

HAM harus menuntut para pelanggarnya.16

Cara pandang di atas sampai pada tataran tertentu menjadi

basis bagi terbentuknya persepsi kelompok inklusif-liberal.

Betapa tidak, bagi mereka perbedaan penafsiran dalam bingkai

keagamaan adalah suatu keniscayaan. Otoritas tafsir tidak hanya

dimiliki oleh seseorang atau lembaga tertentu, oleh karena itu

kebenaran tafsir bersifat relatif dan tidak pernah serta tidak akan

________________________ 16 G.G. Howards dan Rummers, Law It’s Nature and Limits, New Jeresey

Prestic Hall, 1999, hlm. 4647. Instrumen-instrumen hukum intemasional menyangkut HAM adalah sebagai berikut: The Universal Declaration of Human Rights, 1948 (DUHAM); The International Covenant on Civil and Political Rights, 1966 (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); The International on Economic, Social and Cultural Rights,1966 (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya); The Optional Protocol on Civil and Political Rights, 1967 (Protokol Tambahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); The International Convention on the Prevention and Punishment of the Crime Genocide, 1948 (Konvensi Internasional tentang Pencegahan dari Pemberian Hukuman Kejahatan Genosida); The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1969 (Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial); The International Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women, 1981 (Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan); The International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Bermartabat); The International Convention on the Rights on the Child, 1989 (Konvensi Internasional Tentang Hak Anak); The International Convention Relating to the Status of Refuges, 1951 (Konvensi Internasional yang Berhubungan dengan Status Pengungsi); dan The International Protocol Relating to the Status of Refuges,1967 (Protokol Internasional yang Berhubungan dengan Status Pengungsi).

Page 110: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 99

pernah ada tafsir tunggal. Pemahaman ahli ilmu tafsir dan

keislaman selalu beragam, bahkan bisa jadi saling bertentangan.

Dalam keadaan seperti ini justru, Nabi Muhammad saw.,

menggambarkan sebagai situasi yang penuh rahmat, dengan

catatan setiap pihak bersedia untuk berdialog dan membangun

toleransi keagamaan bagi kemuliaan kemanusiaan, bukan

mengubah keyakinan dengan cara klaim-klaim sepihak seperti

sekarang ini.17

Lebih dari itu, fatwa MUI tentang aliran sesat kegamaan,

bagi mereka, telah melanggar basis-basis moral Islam universal

serta bertentangan dengan HAM, khususnya hak dan kebebasan

beragama. Kebebasan beragama yang bersifat bebas tanpa batas,

bagi mereka, hanya ada pada forum internum, sementara

kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk

memanifestasikan agama atau keyakinannya digolongkan dalam

kebebasan bertindak (freedom to act).18 Kebebasan beragama

dalam bentuk ini dapat dibatasi dan diatur hanya berdasarkan

undang-undang.

Artinya, nilai-nilai universalisme berkaitan dengan HAM,

khususnya dalam hal beragama, menjadi titik tolak

pembentukan persepsi mereka. Individu manusia menjadi

prioritas utama mereka dalam memandang fatwa berkaitan

dengan kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM. Pola

pikir semacam ini sudah barang tentu sangat antroposentris,

bahkan unsur-unsur teosentris dalam agama menjadi kabur.

Dengan demikian, unsur-unsur partikular yang terdapat dalam

setiap agama tidak mereka indahkan. Akibatnya, pandangan

mereka berkaitan dengan kebebasan beragama justru tercerabut

dari nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia yang terakumulasi

________________________ 17 Wawancara dengan Munir Mulkhan pada tanggal 4 Mei 2010. Telusuri

lebih lanjut dalam “Kala Fatwa jadi Penjara”, hlm. 169. 18 Wawancara dengan Hanick, Aktivis ICRP, pada tanggal 2 Februari 2010

di Jakarta.

Page 111: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

100 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

dalam konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dengan basis

kemanusiaan yang adil dan beradab.

C. Ideologi Pancasila Sebagai Solusi atas Disharmoni Persepsi dalam Bingkai Kebebasan Beragama

Perdebatan tentang HAM, baik yang bersifat universal

maupun partikular (cultural relativism), sudah lama berlangsung,

dan sudah barang tentu jika kedua pandangan tersebut

disatukan merupakan hal yang sangat sulit, sebab masing-

masing berdiri pada posisinya. Perdebatan keduanya tidak akan

berakhir jika masing-masing pandangan berakar pada titik tolak

yang berbeda, terutama dalam hal ideologi dan sosial-budaya

dari sistem masyarakat yang berbeda.

Pandangan universalitas HAM didasari dari pandangan

yang bersifat individual, terutama adanya tuntutan kebebasan

individu (warga negara) yang muncul dari sistem masyarakat

yang liberal. Hal ini dapat dibuktikan dari perjalanan panjang

sejarah HAM di Barat, baik yang terjadi di Inggris, Amerika,

maupun Prancis, yang pada waktu itu menuntut adanya

pembatasan kekuasaan bagi penguasa (Raja). Tuntutan kebebasan

dan perlunya pembatasan kekuasaan bagi penguasa pada waktu

itu, dengan perjalanan yang panjang membuat masyarakat Barat

meracik konsep HAM tersebut ke dalam aturan-aturan yang lebih

terkodifikasi dan tertulis. Seperti lahirnya Piagam Magna Charta,

Deklarasi Virginia, Deklarasi Independen, Bill of Rights, dan

Declaration des Droits del’homme et du Citoyen. Piagam-piagam

tentang HAM ini dijadikan dasar tentang adanya tuntutan tentang

kebebasan dari warga negara dan adanya pembatasan bagi

penguasa terutama dalam menjalankan sistem pemerintahan. Baru

pada abad ke-19, setelah berakhirnya Perang Dunia II, masyarakat

internasional terhentak untuk kembali secara bersama--sama

merumuskan konsepsi-konsepsi dasar HAM ini dalam bentuk

Page 112: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 101

aturan yang bersifat hukum internasional yang akan diberlakukan

ke seluruh bangsa dan negara yang ada di dunia ini. Keinginan ini

dilakukan mengingat sebagai akibat dari adanya Perang Dunia II

tersebut, di mana banyaknya korban umat manusia serta hancurnya

peradaban mereka, sehingga perlu dibangun secara bersama

peradaban umat manusia tersebut dengan tetap menghormati

harkat martabat manusia (dignity). Akhirnya, pada tahun 1948

dirumuskanlah konsepsi HAM tersebut dalam sebuah deklarasi

sebagaimana yang dikenal dengan UDHR, yang kemudian diikuti

dengan aturan-aturan hukum internasional yang lain, yaitu: ICCPR,

ICESCR (1966), serta Protokol Tambahan ICCPR (1967).

Keseluruhan instrumen hukum internasional ini sudah menjadi

bagian hukum positif internasional yang akan diberlakukan secara

universal dan mengikat bagi bangsa-bangsa dan negara-negara

yang telah meratifikasinya.

Mereka yang berpaham partikularisme (cultural relativism)

menyangkut HAM tentunya sangat sulit menerima paham

universal HAM produk Barat tersebut. Hal ini terjadi karena

HAM Barat tersebut tidak sesuai dengan paham ketimuran,

terutama bagi negara-negara berkembang. HAM yang ada dan

lahir di Barat tidak sama dengan HAM yang ada di Timur. Sebab

masyarakat Timur selalu mengedepankan kepentingan

kebersamaan (sense communal), sehingga berbeda dengan

masyarakat Barat yang mengedepankan kepentingan individu.

Dalam pandangan ketimuran,prinsip keadilan sosial bukan

berdasarkan HAM yang setara, melainkan status sosial yang

tidak setara dan gabungan privilese dengan tanggung jawab.

Sehingga masyarakat ketimuran menentang universalitas HAM

sebagaimana yang dimiliki Barat.

Berkaitan dengan disharmoni di atas—dalam konteks

kebebasan beragama—penggunaan ideologi Pancasila dapat

dijadikan sebagai solusinya. Hal demikian dianggap relevan

mengingat nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,

Page 113: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

102 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

sebagai representasi dari budaya bangsa, terkandung di

dalamnya. Unsur yang terkandung dalam sila kedua dari

Pancasila tersebut adalah berupa: adil dan beradab serta keadilan

dan keadaban. Hal demikian dapat disederhanakan dalam

ragaan sebagai berikut:

Ragaan 3.1. Penggunaan Ideologi Pancasila sebagai Solusi atas Disharmoni

Persepsi dalam Bingkai Kebebasan Beragama

HAM Universalisme Universalisme Partikularisme

Universal - Absolut Universal - Relatif Universal-Absolut

Antroposentris

Individualisme

Theo - Antroposentris

Humanistik

PANCASILA

Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Nilai

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Fatwa MUI

Persepsi Eksklusif Persepsi Inklusif-Moderat Persepsi Inklusif-Liberal

Page 114: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 103

Pancasila, bagi Kaelan, merupakan ruh dari budaya bangsa.

Berkaitan dengan fatwa dan kebebasan beragama, sebagai bagian

dari HAM, Pancasila memuat unsur-unsur theo-antroposentris. Di

samping Pancasila menjamin hak-hak individu, Pancasila juga

melindungi agama itu sendiri. Artinya, warga negara berhak dan

bebas dalam hal memeluk keyakinan atau agama, tanpa adanya

intervensi, tetapi ia juga harus menghormati keberadaan keyakinan

atau agama lain, tegas Kaelan.19

Sebagai individu yang mandiri, relasi antar sesama manusia

secara individu, dalam bingkai masyarakat secara komunal, dengan

negara secara administratif, dan dengan antar manusia secara

universal, mempunyai hak dan kewajiban. Hubungan keduanya

secara praktis seimbang, di mana tidak ada intervensi apapun atas

salah satu dari dua hal tersebut. Hak-hak yang dimiliki setiap

personal manusia dalam bernegara dan bermasyarakat, tarmasuk

hak beragama dan berkeyakinan, wajib dijamin, dihormati, dan

diselenggarakan oleh pemerintah dan oleh setiap personal manusia

dengan tetap memerhatikan statusnya sebagai makhluk sosial. Jika

pemenuhan hak-hak tersebut hanya terbatas pada dirinya, sebagai

makhluk individu belaka, maka yang terjadi adalah kecenderungan

untuk merugikan kepentingan manusia lain, disadari ataupun

tidak. Meskipun demikian, pemenuhan hak-hak tersebut tidak

berarti secara mutlak ia bebas untuk melaksanakan haknya,

melainkan dibatasi oleh adanya kewajiban terhadap sesama

manusia, masyarakat, maupun negara. Artinya, kata adil dalam sila

kedua dari Pancasila tersebut dipahami sebagai bentuk kewajiban

bagi pemerintah maupun manusia, secara individu maupun

komunal masyarakat dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak

yang dimiliki oleh setiap manusia agar dapat hidup layak

sebagaimana manusia seutuhnya.

________________________ 19 Wawancara pada tanggal 22 Agustus 2011 di UGM Yogyakarta.

Page 115: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

104 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

Pemahaman tersebut memiliki konsekuensi logis bahwa

penghormatan atas setiap pribadi manusia merupakan

kewajiban tersendiri bagi seseorang, sebagai pribadi, kelompok

masyarakat, maupun bagi pemerintah. Hak dan kebebasan

beragama dan berkeyakinan yang dimiliki oleh setiap manusia

tidak boleh dirampas oleh pihak lain. Karena itu, pemaksaan

untuk mengikuti kehendak pihak lain secara kekerasan tidak

dapat ditoleransi, karena secara mendasar pemaksaan dengan

kekerasan atas manusia merupakan suatu bentuk pembudakan.

Pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk memenuhi apa

yang menjadi hak setiap manusia. Pemenuhan kewajiban

tersebut, baik terhadap lingkungan masyarakatnya maupun

terhadap pemerintah dan negaranya, adalah konsekuensi logis

atas statusnya sebagai makhluk sosial.

Ketentuan yang berlaku dengan pengertian sila kedua di

atas, sebagaimana telah dilansir sebelumnya, adalah bahwa

setiap manusia diakui memiliki derajat yang sama, hak dan

kewajiban, dan selaras dengan prinsip keadilan. Karenanya, apa

yang telah menjadi hak setiap manusia, terlebih persoalan

keberagamaan, secara individu adalah objek penghormatan bagi

siapa pun. Penghormatan di sini mesti diimbangi pula dengan

pemenuhan kewajiban oleh setiap pribadi manusia terhadap

lingkungannya, karena manusia tidak hanya mempunyai

pengertian sebagai makhluk individu saja tetapi juga sebagai

makhluksosial. Namun demikian, pengertian perikemanusiaan

atau internasionalisme di atas juga mesti diimbangi dengan

kesadaran bahwa manusia yang merupakan satu umat itu,

duduk di berbagai bagian dari muka bumi yang satu sama

berbeda dalam keadaan tanah dan iklimnya, dan lain-lain,

sehingga perbedaan sifat dalam diri masing-masing manusia

adalah keniscayaan. Perikemanusiaan atau internasionalisme

dalam konteks Indonesia di sini sudah barang tentu terkait erat

dengan kultur masyarakatnya.

Page 116: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 105

Model demikiantampaknya menjadi basis ideologi dari

terbentuknya persepsi inklusif-moderat. Sehubungan dengan

itu, Kaelan mengungkapkan bahwa berkaitan dengan fatwa

tentang aliran sesat, MUI memang memiliki hak untuk

melakukan penilaian. Jika ada suatu kelompok yang melakukan

penodaan terhadap agama maka negara harus menghukumnya,

karena penodaan terhadap agama memang diatur dalam

perundang-undangan. Namun demikian, tegas Kaelan, tidak

serta-merta fatwa MUI menjadi landasannya, karena fatwa hanya

bersifat legal opinion, bahkan, dalam kasus Ahmadiyah misalnya,

MUI harus berhati-hati. Lebih-lebih jika MUI membiarkan

fatwanya dipersepsikan (pen.mewujud) dalam bentuk tindakan

anarkis.20

Sejalan dengan Kaelan adalah Wawan, baginya dalam

sejarah perjalanan Islam, kelompok mainstream selalu memiliki

otoritas untuk menilai sebuah ajaran itu menyimpang atau tidak.

Asalkan argumentasinya jelas, hal itu tidak masalah. Justru

menjadi masalah ketika sudah disesatkan lantas hak-hak sipil

mereka dibatasi atau bahkan dilanggar. Sehingga, ragam

persekusi fisik yang timbul sebagai akibat dari fatwa, tandas

Wawan, harus benar-benar dicegah, baik oleh MUI sendiri, lebih-

lebih oleh negara, sebagai pelindung agama dan kelompok

keagamaan.21

HAM dalam perspektif Pancasila, dengan demikian, di

samping mengamini nilai-nilai universal juga menghormati

keberadaan nilai-nilai partikular yang dimiliki oleh setiap

bangsa. Artinya, HAM dalam perspektif Pancasila sejalan

dengan pandangan universalisme-relatif. Pandangan ini

meyakini bahwa persoalan HAM merupakan perihal universal,

namun menyangkut pula tentang pengecualian (exeptions) yang

________________________ 20 Ibid. 21 Wawancara pada tanggal 10 Agustus 2010 di Sleman Yogyakarta.

Page 117: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

106 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama

didasarkan atas asas-asas hukum internasional untuk tetap

diakui keberadaannya.

Page 118: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 107

Konstruksi Baru Kebebasan

Beragama

Problem intoleransi dalam ranah keagamaan di Indonesia

bisa dikatakan cukup marak. Hal ini tampak dalam berbagai aksi

yang terjadi mulai dari bersifat lunak hingga menggunakan

kekerasan fisik. Menaggapi berbagai kejadian ini sikap

masyarakat, pemerintah, pemuka agama, elit politik, dan aparat

penegak hukum ternyata tidak satu visi. Mereka justru terbelah

ke dalam dua kubu yang saling bertolak belakang bahkan

cenderung berseteru. Fakta menunjukkanbahwa tak jarang

tindak intoleransi satu pihak memicu tindak intoleransi pihak

lain dalam skala yang lebih luas. Sebab itulah, kita perlu

menghadirkan konstruksi baru kebebasan beragama yang bisa

menjembatani dua kubu tersebut sekaligus sesuai dengan

Pancasila sebagai norma dasar Negara Hukum Indonesia.

A. Potret Intoleransi Keagamaan di Indonesia

Dilihat dari perspektif agama, Indonesia merupakan

negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Selain Islam,

afiliasi keberagamaan masyarakat terbagi ke dalam lima agama

Page 119: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

108 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

lain: Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun

demikian, secara ideologis dan religio-politis Indonesia bukanlah

“Negara Islam,” Indonesia tetap menjadi negara yang didasarkan

kepada ideologi resmi, yang dikenal dengan Pancasila: (1)

kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau monoteisme; (2)

kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) persatuan Indonesia; (4)

demokrasi; dan (5) keadilan sosial. Soekarno, Presiden Republik

Indonesia pertama, telah menawarkan lima dasar dalam

Pancasila tersebut sebagai bagian dari modus vivendi antara

nasionalisme sekuler yang diwakili oleh kaum nasionalis-sekuler

dan gagasan negara Islam yang diwacanakan oleh kaum

nasionalis-Islam.1

Dari sini, dapat dilihat bahwa negara memiliki peran yang

cukup signifikan di wilayah kehidupan bersama dalam ranah

relasi sosial, termasuk di dalam wilayah kehidupan beragama

setiap warga negaranya. Meskipun demikian, agama dan negara

bukanlah dua entitas yang menyatu dan juga tidak berarti sama

sekali terpisah, namun keduanya memiliki peranan yang

berbeda dalam mengatur kehidupan manusia dalam bidangnya

masing-masing. Negara mengatur manusia dalam hubungannya

dengan pemerintah dan mengatur hubungan manusia sebagai

subjek hukum dengan sesama subjek hukum lainnya, sementara

agama mengatur manusia dalam hubungannya dengan sesama

dalam pergaulan dan hubungan dengan Tuhannya. Sehingga,

dalam posisi ideal, negara dapat bekerjasama dengan agama, dan

________________________ 1 Selain melewati perjalanan yang cukup panjang, penetapan lima dasar

dalam Pancasila tersebut juga tidak sepi dari perdebatan dan tarik-ulur kepentingan yang berakhir pada penghapusan tujuh kata yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Lihat, misalnya, dalam Ahmad A. Sofyan & M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara & Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 37-43. Bandingkan dengan Siti Musdah Mulia “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta, 2009, hlm. 335.

Page 120: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 109

lebih jauh dengan berbagai aliran kepercayaan yang ada, untuk

kemudian secara tegas menciptakan kerukunan dan kedamaian

di antara masyarakat dan menegakkan hukum yang berlaku

serta, pada titik tertentu, menentang segenap tindakan anarkisme

atas nama agama.

Akan tetapi, pada dimensi faktualnya, di Indonesia—

sebagaimana juga yang terjadi di wilayah negara lain—seringkali

agama dan negara (baca: politik) menjadi entitas yang tumpang

tindih. Sebagai akibatnya, agama kerapdijadikan sebagaialat

legitimasi dan manipulasi untuk kepentingan dan target politik.

Di era pemeritahan Soeharto, misalnya, seringkali negara

mengkooptasi Islam untuk mengontrol kekuasaannya. Hal ini

berujung pada pembentukan beberapa organisasi keagamaan

berbasis kelembagaan oleh pemerintah seperti MUI, yang

kemudian dijadikan sebagai legitimasikebijakan politik

pemerintah. Efek lain dari hal ini adalah intervensi negara yang

terlampau jauh masuk dalam ranah garapan agama dan urusan

moral seperti persoalan keyakinan (akidah) warganya dalam

memilih dan memeluk agama dan kepercayaan tertentu yang

berakhir pada pembatasan kebebasan warganya dalam

beragama melalui beragam aturan hukum.2

________________________ 2 Intervensi yang dilakukan negara ini tentu dirasa berlebihan mengingat

persoalan akidah dan keyakinan merupakan hak setiap warga negara yang justru harus dilindungi dan mendapatkan jaminan dari negara sebagaimana yang telah digariskan dalam undang-undang. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Presiden Soeharto di hadapan peserta Rapat Kerja Depag (sekarang Kemenag) pada tanggal 24 Maret 1984, bahwa:

“Negara dan pemerintah kita menghormati kebebasan beragama bagi setiap penduduk dan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Agama adalah masalah keyakinan, dan tidak ada satu kekuasaan duniawi yang mampu dan berhak mencampuri keyakinan hati seseorang. Apa yang harus kita lakukan adalah melayani hajat kehidupan beragama bangsa kita sebaik-baiknya dan seadil-adilnya…. Kita ingin kebebasan beragama benar-benar dilaksanakan sehingga tidak ada golongan agama, betapapun kecilnya jumlah mereka, yang merasa tertekan atau dibatasi kebebasan beragama mereka.”

Page 121: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

110 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Seiring dengan berjalannya waktu, beragam produk

hukum yang membatasi dan melarang kebebasan warganya

untuk menganut agama dan keyakinannya ini, ternyata telah

melahirkan beragam pelanggaran hak atas kebebasan beragama

dan berkeyakinan (violation of right to freedom of religion or belief).3

Sebagai contoh adalah fenomena kekerasan seputar kebebasan

beragama di Indonesia yang dari tahun ke tahun justru semakin

memburuk jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi.

Praktik kekerasan—baik dalam bentuk pengusiran,

penghancuran tempat ibadat, maupun intimidasi dan

pemaksaan, baik secara fisik maupun psikis, terhadap para

penganut agama minoritas atau sekte-sekte tertentu—menyebar

semakin luas dan liar tidak terkendali. Bahkan tidak jarang di

beberapa daerah, justru aksi kekerasan tersebut didukung oleh

aparatur pemerintah seperti polisi. Di tengah upaya pemerintah

era reformasi yang sedang berusaha untuk terus membumikan

pelaksanaan HAM di negeri ini, tentu berbagai aksi anarkis

berbasis agama tersebut menjadi sebuah anomali tersendiri.

Dalam konteks ini, yang tampak kemudian adalah negara

terkesan ambigu dan lemah dalam meregulasi wacana dan

praktek kebebasan beragama di negeri ini sebagaimana

mestinya, sesuai dengan porsi dan proporsinya yang tepat.

Ambiguitas ini salah satunya tampak dalam sikap negara yang

terlalu jauh melakukan intervensi terhadap urusan akidah dan

keyakinan seseorang atau sekelompok warga negara yang

menganut keyakinan tertentu. Akan tetapi pada sisi yang lain,

dalam beberapa kasus, kriminalitas dan kekerasan yang

________________________ 3 Adalah setiap bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam implementasi

seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan agama dan keyakinan. Lihat, Ismail Hasani (ed.), Siding and Acting Intolerantly: Intolerance by Society and Restriction by the State in Freedom of Religion/ Belief in Indonesia, SETARA Institute, Jakarta, 2009, hlm. 14.

Page 122: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 111

dilakukan oleh sekelompok orang beragama terhadap kelompok

lainnya dibiarkan begitu saja oleh negara tanpa ada tindakan

hukum yang jelas. Padahal, dalam perspektif HAM kebebasan

beragama atau berkeyakinan diletakkan sebagai hak individu

yang tidak bisa ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya (non

derogable rights).4

Dalam konteks yang lain, jika kita mengacu kepada

instrumen HAM, terdapat dua bentuk cara negara melakukan

pelanggaran: (1) dengan cara melakukan tindakan aktif yang

memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur

tangan, dan/atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan

seseorang dalam beragama atau berkeyakinan (by commission); (2)

dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi terlanggar,

termasuk membiarkan setiap tindak kekerasan yang dilakukan

oleh seseorang tidak diproses secara hukum (by omission).5

________________________ 4 Selain kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak-hak yang juga

terkandung dalam prinsip non derogable rights ini mencakup: hak hidup (tidak dibunuh), hak atas keutuhan diri (tidak disiksa, diculik, dianiaya, diperkosa), hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas berpikir, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara atas kegagalannya memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dengan demikian, setiap tindakan yang dapat menghilangkan hak-hak di atas dari diri seseorang atau sekelompok orang, maka dapat digolongkan sebagai sebuah pelanggaran HAM. Ismail Hasani (ed.), Op. Cit., hlm. 13-14.

5 Wawancara dengan Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham UII), pada tanggal 20 Agustus 2011. Dalam beberapa kasus, terlihat sikap aparat keamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan sehingga mendorong sekelompok orang untuk tetap melakukan aksinya seperti menutup tempat ibadat atau menyerangkelompok kepercayaan lain. Sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan seharusnya menindak pelaku kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan membiarkan, seakan tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan pembiaran ini tentu tidak dapat dibenarkan karena sama halnya negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lihat, Syamsul Arifin, “Diskursus Hak Asasi Manusia di Indonesia: Perspektif Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”, Makalah dalam Annual Converence on Islamic Studies (ACIS) Ke-10 di Banjarmasin, 1-4 November 2010, hlm. 722.

Page 123: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

112 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Sementara pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan

yang dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara

lainnya secara garis besar mencakup: (1) tindakan kriminal

berupa pembakaran rumah ibadat, intimidasi, kekerasan fisik,

misalnya, dan (2) tindakan intoleransi.

Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh negara,

Ghufron Mahmudi menyatakan bahwa pelanggaran tersebut

disebabkan oleh ketidakmampuan negara dalam mengambil

jarak terhadap persoalan agama yang muncul di masyarakat.

Kebebasan beragama dan keyakinan merupakan bagian dari

hak-hak sipil dan politik yang dikategorikan sebagai hak negatif

(negative rights)—berbeda dengan hak-hak sosial, ekonomi, dan

budaya yang dikategorikan sebagai hak positif (positive rights),

yang bisa terpenuhi jika negara ikut berperan aktif

memajukannya. Sebaliknya, hak negatif bisa diwujudkan bila

negara tidak terlalu banyak mencampuri urusan agama dan

keyakinan tersebut.6

Pada tataran yuridis-formal, Indonesia sebenarnya telah

memberikan jaminan konstitusional kepada setiap warga

negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaan serta

menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaan

tersebut, sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945 dan

Ketetapan MPR No. II/1978 tentang Pedoman Penghayat dan

Pengamal Aliran Kepercayaan.

Jaminan ini kemudian diperkuat dengan langkah

pemerintah dalam meratifikasi instrumen pokok HAM yang

mengatur jaminan kebebasan beragama dan keyakinan yaitu

ICCPR khususnya Pasal 18 yang diratifikasi melalui UU No. 12

Tahun 2005.7 Tidak berhenti sampai di sini, berbagai produk

________________________ 6 Ibid., hlm. 722. 7 Pasal tersebut mencakup: (1) kebebasan untuk menganut atau memilih

agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam

Page 124: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 113

kebijakan turunan, baik dalam bentuk Keppres, Perpres,

Keputusan Bersama, dan fatwa melalui lembaga keagamaan,

juga terus muncul sebagai upaya menjamin hak warga dalam

beragama dan keyakinan.

Dengan adanya konsep yang mapan dalam Konstitusi

sebagaimana terurai sebelumnya, bagi penulis hal itu sudah

cukup untuk menjadi referensi pemerintah dalam

mengimplementasikan kebebasan beragama secara menyeluruh.

Sebab, secara normatif hal tersebut memang dapat dikatakan

sudah cukup ideal (baca: indah). Akan tetapi, idealisme tersebut

masih mengandung kesenjangan di ranah implementasi. Hal ini

terbukti dengan masih maraknya praktik kekerasan berbasis

agama yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas,

terlebih yang diklaim “sesat.”

Pada bagian ini, akan dilihat tingkat keberhasilan

implementasi berbagai peraturan tersebut dan sejauh mana

negara menjalankan kewajiban generiknya untuk menghormati

(to respect) dan melindungi (to protect) kebebasan beragama atau

berkeyakinan dengan mengemukakan sekian tindak kekerasan8

yang terjadi dalam era reformasi, yang kemudian akan dilakukan

________________________ kegiatan ibadat, penataan, pengamalan, dan pengajaran, (2) tanpa pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya, (3) kebebasan untuk mengejawantahkan agama dan kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban dan kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain, dan (4) Negara-negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua, dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Ismail Hasani (ed.), Op. Cit., hlm. 8-9.

8 Kekerasan di sini kurang lebih diartikan dengan tindakan fisik, baik kepada manusia maupun barang dengan tujuan menghancurkan, merusak, atau melukai. Termasuk ke dalam kategori kekerasan ini adalah berbagai perusakan dan penyegelan secara ilegal terhadap sebuah tempat atau aset ang dimiliki oleh sebuah kelompok keagamaan. Lihat, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2008 CRCS, hlm. 11.

Page 125: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

114 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

flashback pada era Orde Baru dan Orde Lama. Data-data

pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan di sini penulis

kutip dari berbagai sumber, baik dalam bentuk buku maupun

laporan penelitian berkala seperti yang dilakukan oleh SETARA

Institute, The Wahid Institute, CRCS UGM maupun lembaga-

lembaga lain. Dalam buku ini, dari seluruh data pelanggaran

yang diperoleh, penulis hanya mengidentifikasi bentuk-bentuk

pelanggaran yang berkaitan dengan munculnya fatwa tentang

aliran sesat dari berbagai lembaga keagamaan dan/ atau yang

mengandung unsur-unsur penyesatan yang disajikan secara

kronologis dalam bentuk tabel.

Penyajian berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan

berkeyakinan yang hanya dibatasi pada konteks fatwa-fatwa ini

sendiri bertujuan untuk menunjukkan bahwa keluarnya fatwa yang

sedianya dimaksudkan untuk meredam maraknya berbagai aksi

kekerasan terhadap kelompok minoritas, justru dipersepsikan

secara berlebihan oleh sebagian masyarakat melalui tindakan

anarkis “berkedok” agama. Meskipun fatwa bukanlah satu-satunya

alasan bagi terciptanya sebuah persepsi dalam bentuk kekerasan

dan pelanggaran HAM di masyarakat, namun paling tidak dapat

dilihat bahwa ternyata pengeluaran fatwa penyesatan terhadap

sebuah kelompok keyakinan/ keagamaan bukanlah satu-satunya

upaya rekonsiliasi yang tepat karena fatwa-fatwa tersebut masih

memunculkan multi-tafsir di kalangan umat.

Tabel. 4.1. Dinamika Kebebasan Beragama dan Keyakinan Berkaitan

dengan Fatwa MUI

Waktu Tempat Keterangan

7 Mei 2005 Kepanjen, Malang, Jatim

- MUI Malang dan MUI Jatim mengeluarkan fatwa klaim sesat terhadap Muhammad Yusman Roy dalam kasus salat dua bahasa.

Page 126: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 115

- Bupati Malang mengajukan Yusman Roy ke Pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.

- Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen memvonis Yusman 2 tahun penjara.

16 Mei 2005 Desa Krampilan, Kec. Besuk, Kraksaan, Probolinggo

MUI Kab. Probolinggo mengeluarkan fatwa penyesatan terhadap M. Ardhi Husein, Pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Desa Krampilan, karena dianggap menyebarkan aliran sesat melalui bukunya “Menembus Gelap Menuju Terang 2.” Husein diajukan ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.

29 Juli 2005 Brebes Kepolisian dan Pemerintah Daerah (Pemda) Brebes membubarkan kelompok Kanjeng Patih Kala Jenggel pimpinan Kasnawi, setelah dinyatakan sesat oleh MUI setempat.

4 September 2005

Jl. Utan Kayu 68 H, Matraman, Jakarta Timur.

Kurang lebih 30-an orang mendatangi Komunitas Utan Kayu dengan membawa spanduk bertuliskan “Kami Mendukung Fatwa MUI dan Mendesak Muspika Matraman untuk Mengusir JIL dan antek-anteknya”, “JIL Haram, Darah Ulil Halal”, dan lain-lain. Mereka juga menuntut agar JIL diusir dari Utan Kayu.

Page 127: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

116 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

14 November 2005

Paseh, Kab. Sumedang

- MUI Kecamatan Paseh menyesatkan kelompok Husnul Huluq.

- Massa membakar rumah pengikut ajaran tersebut.

29 Desember 2005

Jakarta - Pada tanggal 22 Desember 1997

- MUI memfatwa bahwa kelompok keyakinan pimpinan Lia Aminuddin sesat-menyesatkan.

- Lia Aminuddin alias Lia Eden ditahan Polda Metro Jaya atas sangkaan melakukan penodaan terhadap agama dan menghasut atau mengajak orang lain untuk mengikuti ajarannya. Ia dijerat Pasal 156a, 157, 335, dan 336 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Januari 2009

Perum Parahyangan Kencana, Desa Nagrak, Kec. Cangkuang, Kab. Bandung

- Sekitar seratus massa dari Gerakan Reformis Indonesia (Garis) melakukan demo menyatakan kelompok Amanah Keagungan Ilahi (AKI) adalah sesat, mencoreng nama Islam, dan meresahkan masyarakat Muslim.

- Perwakilan AKI, Garis, dan MUI melakukan negosiasi. Akhirnya perwakilan AKI menandatangani pernyataan menghentikan segala aktivitas dan kegiatan yang dinilai Garis menyimpang dari syariah Islam.

Page 128: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 117

- PAKEM melakukan kajian terhadap AKI dan memutuskan bahwa AKI pimpinan Wahyu Kurnia/ Syamsu di Cangkuang tidak sesat. Sedangkan AKI versi Andreas sesat karena mencampuradukkan antara agama Islam dan agama lain.

11 Januari 2009

Desa Jajar, Kec. Talun, Kab. Blitar

- MUI Blitar menyatakan bahwa aliran Tiket Masuk Surga (aliran Dununge Urip) yang dipimpin oleh Suliyani telah berkembang di Blitar beberapa bulan sebelumnya. Aliran ini mewajibkan seluruh pengikutnya menandatangani kesanggupan membayar sejumlah biaya untuk jaminan masuk surga dari Rp. 3 juta hingga Rp. 7 juta.

- Ketua MUI menyatakan aliran ini sesat karena menyalahi syariah Islam dan polisi bisa menjerat pelaku dengan pasal penodaan agama. MUI meminta warga untuk tidak bertindak anarkis. Kapolres Blitar akan berkoordinasi dengan MUI untuk mengkaji aliran ini dan kalau terbukti sesat, aparat akan membubarkannya.

Page 129: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

118 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Februari 2009

Sangkapura, Kab. Gresik

- Menurut beberapa pihak, Ali Akbar aliasSoleh Akbar adalah Dukun Kampung yang membuka praktik pengobatan. Menurut MUI, Ali Akbar mempraktekkan aliran sesat. Menurutnya, Ali meminta pasiennya untuk memuja sebagai Tuhan, mengajarkan syahadat bahwa dirinya adalah Allah dan sekaligus Rasulullah serta menginjak-injak al-Qur’an.

- Untuk menghindari amuk massa, pada tanggal 10 Februari 2009, polisi membawa Ali ke Polsek Sangkapura. Di Polsek, Ali membantah telah menginjak-injak al-Qur’an. Setelah ditahan 24 jam, kepolisian membebaskan Ali karena tidak memiliki bukti kuat untuk menetapkannya sebagai tersangka.

- Menindaklanjuti kasus ini, MUI, para tokoh agama, dan Muspika Sangkapura menetapkan Ali Akbar harus keluar dari Sangkapura.

6 Februari 2009

Kec. Diwek, Kec. Jombang, dan Kec. Tambelang di Jombang

- Pengurus MUI Jombang menyatakan aliran Noto Ati adalah sesat. Menurutnya, aliran ini mengutamakan wirid dan mengabaikan al-Qur’an, menolak tradisi

Page 130: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 119

sungkeman Idul Fitri, fanatisme berlebihan terhadap guru, larangan bertakziyah, dan larangan terhadap anak-anak untuk bersekolah dan berinteraksi sosial.

- Depag menerima laporan kajian MUI, namun Depag menyatakan aliran ini telah membubarkan diri.

9 Juni 2009 Luwu, Sulsel MUI Luwu mengeluarkan fatwa penyesatan melalui SK No. 2/MUS/MUI-LW/VI/2009 berisi larangan paham keselamatan Ambo (dkk.) di Dusun Pandada. Fatwa ini merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi sebelumnya yang kemudian oleh Kejari Balopa akan diteruskan ke Bakorpakem Pusat sebagai landasan pelarangan.

Juni 2009 Desa Air Batu, Kec. Renah Pembarap, Kab. Merangin

- Tarekat Naqsabandiyah mulai dianut luas di Air Batu sejak tahun 2005. Sebagian warga melaporkan ada 20 prinsip ajaran dalam ajaran Tarekat Naqsabandiyah di Air Batu yang menyesatkan seperti Tuhan Beranak, malaikat tidak pernah ada dan bila iman sudah sempurna, salat tidak wajib lagi.

- Ketua MUI Merangin menyatakan pada dasarnya

Page 131: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

120 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

ajaran Tarekat Naqsabandiyah tidak sesat, tetapi praktiknya di Air Batu adalah sesat.

- Pada 23 Juni 2009 diadakan pertemuan di kantor Depag (sekarang Kemenag) antara MUI dan pengikut Tarekat Naqsabandiyah. Hadir pula dalam pertemuan tersebut kepala Depag, Kasat Intel Polres, Camat, dan Kapolsek. MUI dalam pertemuan tersebut menyatakan aktivitas tarekat Naqsabandiyah segera dihentikan dan melarang guru Tarekat Naqsabandiyah Ali Wardana masuk ke Desa Air Batu.

Juni 2009 K a w a s a n hutan lindung Kab. Luwu

- Sejak tahun 2007, Ambo menyebarkan aliran Maddina Lekko Pini Bunda Maryam. Pengikutnya meyakini aliran ini sebagai salah satu agama yang diturunkan Allah SWT sebagai pelengkap ajaran Islam.

- MUI mengadakan pertemuan di Kejari Belopa yang dihadiri oleh Muspida Kab. Luwu untuk membahas ajaran Ambo. Pertemuan berikutnya diadakan di Depag. Kemudian MUI menetapkan secara resmi dengan surat keputusan

bahwa aliran yang dibawa Ambo menyesatkan karena

Page 132: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 121

tidak sesuai dengan agama dan adat di wilayah itu

- Kejari Belopa meneruskan fatwa ini ke Bakorpakem Pusat. Bersamaan menunggu keputusan Bakor Pakem Pusat, Bakorpakem Luwu mengawasi aktivitas pengikut paham ini, Ambo diperiksa oleh polisi pada akhir Juni 2009. Sebaliknya, 20 pengikut Ambo menyatakan bertaubat di depan aparat Kab. Luwu.

14 Oktober 2009

Madiun, Jawa Timur

Warga Dusun Tawangrejo Kec. Gumarang, Madiun yang tergabung dalam Forum Keadilan Masyarakat Babadan (FKMB) melaporkan ke MUI setempat bahwa ajaran yang dikembangkan Sukarno essat. Sebelumnya warga juga menggerebek rumah Sukarno yang waktu itu kosong.

Oktober- November 2009

Kelurahan Kranggan, Gg. 5, Mojokerto, Jatim

- Pada Oktober 2009, MUI Mojokerto menyatakan bahwa Aliran Ilmu Kalam Santriloka pimpinan Anwar aliasAchmad Nafan alias Mbah Aan adalah sesat. Aliran ini memublikasi-kan VCD dan buku berjudul Wind of Change. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Mojokerto pada 31 Oktober mendukung pernyataan MUI dan secara

simbolis membakar buku dan VCD Santriloka. Pengurus

Page 133: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

122 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur juga berpendapat serupa.

- Menurut pihak-pihak yang tidak setuju dengan Santriloka di atas, Santriloka telah menistakan agama seperti mengajarkan puasa Ramadhan dan salat bukan suatu kewajiban. Al-Qur’an yang asli bukan berbahasa Arab, melainkan bahasa Kawi, Sansekerta, dan Jawa Kuno.

- Pada 28 Oktober 2009, Mbah Aan mengajarkan ajaran-ajarannya di sebuah padepokan di Kelurahan Kranggan. Aliran ini memiliki pengikut sekitar 700 orang. Paginya, setelah malamnya memberikan pengajaran di padepokan tersebut, Mbah Aan ditangkap polisi dan dibawa ke kantor Polres Kota Mojokerto. Setelah 7 hari ditahan, pada 5 November, Mbah Aan ditetapkan sebagai tersangka.

12 November 2009

Desa Kauman, Kec. Kota, Kudus, Jateng

- Diisukan Sabdo Kusumo alias Kusmanto Sujono menulis buku Syahadat Makrifat yang menyatakan Syahadat: “…dan saya

Page 134: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 123

bersaksi bahwa Sabdo Kusumo utusan Allah” (dalam bahasa Arab).

- MUI mengumpulkan berkas tertulis ajaran Sabdo Kusumo dan membuat surat pernyataan ke Polres Kudus bahwa aliran yang memiliki pengikut sekitar puluhan orang tersebut sesat melalui surat pernyataan bernomor K.30/MUI/XI/2009.

- Depag memanggil Sabdo Kusumo untuk dimintai keterangan. Dia membantah telah menulis buku Syahadat Makrifat. Dia mengaku mengarang buku Sabdaning Suma: Kaweruh Sangkan Paraning Dumadi Ngalam

Pernataning Gusti Hyang Maha Agung. Itu pun yang menulis kata-katanya adalah temannya, Kholiq dan Abdul Latief. Sabdo Kusumo mengaku, yang juga ditegaskan istrinya, bahwa dia tidak bisa membaca dan menulis bahasa Arab.

- Pada 12 November 2009 di depan pejabat Depag di Kantor Depag Kudus, Sabdo Kusumo menandatangani surat pernyataan tidak pernah menyebarkan ajaran menyesatkan sebagaimana tercantum dalam buku Syahadat Makrifat.

Page 135: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

124 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

2 Desember 2009

S u m a t e r a Selatan

Komisi fatwa MUI Sumatera Selatan menyatakan aliran Amanat Keagungan Illahi (AKI) sesat dan dilarang berkembang di daerah ini. Pelarangan dikeluarkan melalui fatwa bernomor A-003/SKF/MUI-SS/XII/2009 tentang ajaran AKI kelompok ini dinilai meniadakan kewajiban salat dan puasa bagi pengikutnya.

Tabel. 4.2.

Kekerasan Berbasis Identitas Keagamaan dan Perbedaan Pandangan atau Praktik Keagama

Peristiwa Waktu (2008)

Tempat Keterangan

Penyerangan terhadap kelompok Satariah Sahid

22 Januari

Kelurahan Bangan, Deli, Medan

- orang kritis, puluhan luka-luka.

- Kelompok penyerang berupaya menghancurkan tempat pengajian Satariah Sahid.

- Argumen penganut Satariah Sahid: “Meneruskan ajaran Syekh Abdurrahman Singkil, seorang penyebar agama Islam di masa lalu”.

- Argumen penyerang: “Ajaran Satariah Sahid melenceng dari

Page 136: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 125

ajaranIslam”. - Akhirnya Camat

Medan Belawan membekukan kegiatan Satariah Sahid untuk sementara waktu.

Penyerangan terhadap fasilitas masjid dan pesantren Darusy Syifa di Lombok Timur

7 Maret

Desa Karleko, Labuhan Haji, Lombok

Timur, NTB

- Sekelompok orang menyerang dan merusak fasilitas masjid dan pesantren Darusy Syifa.

- Pihak Darusy Syifa tidak bisa mengidentifikasi siapa penyerang tersebut.

- Pihak Darusy Syifa merasa tidak memiliki musuh dan masalah dengan lingkungan di sekitarnya.

- Kasus ini telah dilaporkan ke Komnas HAM.

Bentrokan antara pengikut MMI dan umat Muslim di Lombok Timur

14-15 Maret

Dusun Tereng, Desa Karleko, Labuhan Haji, Lombok

Timur, NTB

- 1 orang luka parah di bagian kepala, beberapa korban luka-luka ringan, dan dua rumah terkena lemparan batu.

- Konflik dipicu perbedaan tata cara penyelenggaraan

Page 137: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

126 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

salat Jumat. Pengikut MMI menggunakan satu kali azan dan warga Muslim lainnya dua kali azan sebagaimana tradisi yang telah lama dipraktikkan.

- Polisi menahan 3 anggota MMI.

Bentrokan antara anggota Laskar Umat Islam (LUI) dan warga di Solo

17 Maret

Joyosuran, Semanggi, Pasar

Kliwon, Solo

- 2 orang warga meninggal dunia dan 1 orang luka parah.

- Belasan pemuda meminum minuman keras. Sekitar 100 anggota LUI menyerangnya. Beberapa pemuda meminta bantuan warga lainnya dan bentrokan semakin sengit sampai jatuh korban.

- Poltabes Solo menetapkan 7 tersangka dalam bentrokan tersebut.

Pengusiran warga terhadap tokoh aliran Salafi di Lombok Barat

12 Mei Dusun Mesanggok, Gapuk, Geruk, Lombok Barat

- Atap 2 rumah tokoh Salafi rusak ringan.

- Dakwah kelompok Salafi disinyalir warga sering mendiskreditkan paham keislaman

Page 138: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 127

warga dengan menganggapnya bidˋah dan sesat.

- Puluhan warga mendatangi dan melempari rumah H. Mukti, tempat pengajian kelompok Salafi. Warga juga melempari rumah H. Muhamad Musfihad, tokoh Salafi. Polisi mengevakuasi H. Musfihad dan 26 pengikutnya saat peristiwa terjadi.

- Hasil musyawarah yang juga didatangi oleh Kadus Mesanggok, Kades Gapuk, Kapolsek, Kakandepag dan Ketua MUI Lobar memutuskan warga mengusir H. Musfihad dan H. Mukti pindah dari kampung mereka.

Penyerangan terhadap aksi damai Aliansi Kebangsaan danKebebasan Beragama dan

1 Juni Monumen Nasional (Monas), Jakarta

- Tidak kurang dari 70 orang AKKBB terluka.

- Massa dari Komado Laskar Islam (KLI) yang terdiri dari FPI

Page 139: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

128 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Berkeyakinan (AKKBB) di Monas

dan HTI menyerang kelompok AKKBB yang sedang memperingati hari kelahiran Pancasila.

- KLI menuduh AKKBB membela Ahmadiyah.

- Polisi menangkap 59 aktivis KLI, menjadikan 8 orang di antaranya tersangka dan memvonis Rizieq Shihab dan Munarman 1,5 tahun penjara.

Dari waktu ke waktu berbagai bentuk kekerasan yang

dialami oleh kelompok yang diklaim sesat atau menyimpang

semakin menunjukkan grafik yang terus meningkat. Dari sekian

banyak kasus kekerasan yang terjadi, Ahmadiyah menjadi

kelompok yang paling sering menjadi sasaran kekerasan dari

berbagai kelompok di luar Ahmadiyah. Sebagaimana yang telah

disaksikan, beragam aksi anarkis yang terjadi di masyarakat

terhadap kelompok Ahmadiyah ini justru semakin memburuk

pasca-dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga

Menteri No. 3/2008, KEP-033/A/ JA/6/2008 pada 9 Juni 2008

tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,

dan/atau Anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat.

Akibat dari dikeluarkannya SKB tersebut, tentu

Ahmadiyah semakin terpojok untuk melakukan segala

aktivitasnya karena adanya ancaman dari kelompok-kelompok

penentangnya yang merasa mempunyai dasar hukum

berdasarkan SKB untuk melarang segala jenis perkumpulan

Page 140: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 129

Ahmadiyah yang menjurus pada syiar keagamaan mereka.

Selain itu, penganut Ahmadiyah juga tidak bisa bebas berkumpul

dan berserikat dengan sesama anggota Ahmadiyah karena

adanya ‘kecurigaan’ para penentang mereka.9

Tabel. 4.3. Potret Intoleransi dan Persekusi yang Dialami oleh Kelompok

Ahmadiya

Waktu Tempat Keterangan

15 Juli 2005

Parung, Bogor - Ratusan massa yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam (GUI) yang dipimpin oleh Habib Abdur Rahman Assegaf merusak dan menyerang kampus Mubarak milik JAI.

- Ratusan anggota JAI dievakuasi.

04 Februari 2006

Dusun Gegelang, Desa Gegerung, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat

Penyerbuan perkampungan milik Jemaat Ahmadiyah oleh warga.

17 Februari 2006

Bulukumba Penyegelan tempat ibadat Jemaat Ahmadiyah oleh Bupati atas desakan massa Laskar Jundullah dan Ormas Islam yang tergabung dalam Ikatan Aliansi Gerakan Muslim Bulukumba.

5 Maret 2008

Jl. Nagarawangi No. 71, Kota Tasikmalaya,

Sekelompok orang berpeci putih melemparkan batu ke balai pertemuan aset JAI. Akibatnya.

________________________ 9 Hal ini tentu telah melenceng jauh dari apa yang ada di dalam SKB, sebab

dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa semua jenis manifestasi keagamaan boleh dilakukan oleh Ahmadiyah sejauh hal itu tidak mengganggu keamanan, kesehatan, ketertiban, dan moralitas umum. Al-Khanif, Op. Cit., 257.

Page 141: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

130 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Jabar 12 kaca jendela dan 1 set pintu kaca pecah

27 April 2008

Parakan Salak Rt. 02 Rw. 02, Sukabumi, Jabar

Massa membakar Masjid al-Furqon dan Madrasah milik JAI.

30 April 2008

Citareun Udik, Cibungbulang, Bogor

Puluhan warga membongkarmasjid Ahmadiyah. Pembongkaran ini disaksikan oleh aparat dan Polres Bogor.

13 Juni 2008

Jl. Perintis Kemerdekaan, Kota Bogor

Ribuan massa dan 14 organisasi Islam menyegel sekertariat JAI.

18 Juni 2008

Desa Sukadana dan Desa Penyairan, Campaka, Cianjur, Jabar

Sekitar 100 massa menyegel 6 masjid milik Ahmadiyyah.

20 Juni 2008

Jl. Anuang No. 112, Makassar, Sulawesi Selatan

FPI Silawesi Selatan menyegel Masjid An-Nusrat dan Sekretariat Pengurus Wilayah Ahmadiyah Sulsel.

20 Juni 2008

Jl. Dr. Muwardi, Cianjur, Jabar

Ratusan massa menyegel Masjid Al-Ghoffur milik Ahmadiyah.

8 Agustus 2008

Kebon Muncang dan Kebon Kelapa, Parakansalak, Sukabumi

Warga merusak Masjid Baiturrahman dan Musola Baitud Do’a milik Ahmadiyah.

19 Agustus 2008

Jl. Raya Bukit Indah Ciputat, Tangerang, Banten

Sekitar 200 orang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Muslim Ciputat menyegel Masjid Baitul Qoyyum.

5 Oktober 2008

Tanjung Medan, Pujod, Rakon Hilir, Riau

Masjid Mahoto dihancurkan.

Page 142: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 131

2 Januari 2009

Pondok Pesantren Soko Tunggal, Sendangguwo, Semarang

Polwiltabes Semarang dan Kepolisian Resort Semarang Selatan membubarkan Pengajian JAI Semarang di Pondok Pesantren Soko Tunggal secara paksa dengan alasan bahwa kegiatan ini belum mendapatkan izin pelaksanaan. Pihak kepolisian hanya menerima surat pemberitahuan dari pimpinan Pesantren.

7 Februari 2009

Jakarta Ketua MUI Pusat, Kholil Ridwan, mendesak pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang aliran sesat. Hal itu disampaikan ketika ia menjadi narasumber dalam bedah buku Nabi-Nabi Palsu di arena Islamic Book Fair di Istora Senayan Jakarta. Kholil juga mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI dan pemerintah untuk segera mengeluarkan keputusan pembubaran Ahmadiyah dan mengingatkan umat Islam agar pembubaran Ahmadiyah terus didengungkan di setiap pengajian.

13 Maret 2009

Depok, Jawa Barat

Ketua FPI Kota Depok Jawa Barat, Habib Idrus al-Gadri menyatakan, “FPI Kota Depok memutuskan untuk tidak memilih (golput) dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden mendatang karena hingga saat ini belum ada calon legislatif ataupun calon pemimpin yang bertekad membubarkan Ahmadiyah”.

Page 143: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

132 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

19 Maret 2009

Jakarta Direktur Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Amin Djamaluddin, melaporkan Pemimpin, Ketua Umum, dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah ke Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian terkait ulang tahun Ahmadiyah di Kuningan. Amin menganggap kegiatan itu melanggar SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah dan larangan mengadakan kegiatan.

21 Maret 2009

Jakarta Selatan Dalam sebuah kampanye, Salim bin Umar al-Attar dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) berjanji melarang atau membubarkan kelompok yang dianggap telah menodai Islam seperti Ahmadiyah jika calegnya berhasil memperoleh kursi di DPR RI.

25 Maret 2009

Kota Bandung, Jawa Barat

Aksi unjuk rasa sekitar seribu massa Garis, FPI Kota Bandung, AGAP, FUI, Aliansi Gerakan Anti Maksiat (A-GAM) Majalengka, PAS Indonesia, Forum Penyelamat Akidah Umat Kec. Kadungora Garut dan Forum Pemberdayaan Masjid Sumedang di Gedung Sate Bandung menuntut Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, segera melakukan pelarangan serta pembubaran Ahmadiyah di wilayah Jawa Barat.

Page 144: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 133

25 Maret 2009

Bandung, Jawa Barat

Ratusan orang dari berbagai organisasi Islam, di antaranya kader FPI mendatangi Gedung Sate dan menuntut gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, menerbitkan SK pembubaran Ahmadiyah. Massa juga menuntut pembersihan antek-antek Yahudi dan Zionis Israel seperti Rotary Club di Jabar.

1 April 2009

Jakarta Ribuan umat Muslim gabungan ormas-ormas Islam seperti FPI, Laskar Aswaja, Gerakan Cinta Nabi, FUI, Aliansi Damai Anti Penistaan Islam (ADA API), gabungan Majelis Ta’lim se-Jabotabek serta gabungan Pondok Pesantren se-Indonesia berunjuk rasa di depan istana untuk menyuarakan agar Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pembubaran Ahmadiyah. Dalam aksi ini, KH. Nur Iskandar SQ. sebagai juru bicara menyatakan: “Jika presiden tidak bisa membubarkan dan/atau menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam, maka para kiai se-Indonesia akan menyerukan pada umat Islam untuk tidak memilih Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2009”.

Page 145: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

134 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

13 Mei 2009

Surabaya, Jawa Timur

Ketua Musyawarah Ulama se-Jawa Timur, Helmy Basaiban, menuntut Jusuf Kalla dan Wiranto membubarkan Ahmadiyah jika terpilih menjadi presiden dalam Pemilu. Pernyataan ini disampaikan saat ia memberikan sambutan dalam pertemuan Musyawarah Ulama Jawa Timur di Rumah Makan Agis, Surabaya. Tetapi, dalam jawabannya Jusuf Kalla tidak menjawab secara tegas: “Untuk aliran sesat tentu harus diluruskan secara syari’at juga. Namun jika secara syariah juga tidak bisa, maka kewajiban negara untuk menegakkan hukumnya”.

6 Juni 2009

Jl. Ciputat Raya, Gg. Sekolah No. 18 Rt. 001/Rw. 01 Kebayoran Lama, Jakarta

Masjid Ahmadiyah di Jakarta Selatan dibakar oleh dua orang tidak dikenal saat beberapa orang Jemaat Ahmadiyah melaksanakan salat Subuh berjamaah.

7 Juni 2009

Bandung, Jawa Barat

Pernyataan ketua MUI Pusat, KH. Cholil Ridwan: “Belajar dari Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin, yang tidak kiai saja berani membubarkan Ahmadiyah di daerahnya. Masak Gubernur Jawa Barat yang kiai tidak berani membubarkan Ahmadiyah.”

2 Juli 2009 Jakarta FUI dan FPI berdemonstrasi di depan Kantor Depag Pusat untuk menyoal keberatan

Page 146: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 135

mereka atas tidak efektifnya SKB. Kepada pengendara yang melintas, mereka juga menyebar pamflet dan selebaran berisi dukungan kepada pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres 2009 dan pembubaran Ahmadiyah.

11 Agustus 2009

Sumatera Barat Depag Sumatera Barat menyetujui larangan Jemaat Ahmadiyah beribadat haji yang dikeluarkan Pemerintah Arab Saudi. Kepala Bidang Haji, Zakat, dan Wakaf Kantor Depag Sumatera Barat, Japeri Jarap, menghimbau instansi seperti RT atau lurah, agar melaporkan jika ada warganya dari Ahmadiyah yang ikut mendaftar ibadat haji.

11 Desember 2009

Jakarta Selatan Warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, menyegel sebuah rumah ibadat sekaligus tempat tinggal milik sekelompok pengikut ajaran Ahmadiyah. Penyegelan terhadap rumah ibadat berlantai dua ini berlangsung tanpa keributan. Warga berpendapat para Jemaat Ahmadiyah ini melanggar SKB tiga menteri karena tetap melakukan kegiatan keagamaan.

Jika ditelusuri lebih dalam, berbagai bentuk pelanggaran

kebebasan beragama dan berkeyakinan pada era reformasi di

atas sebenarnya tidak terlepas dari warisan kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintah era Orde Baru, dan lebih jauh oleh

Page 147: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

136 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

pemerintah era Orde Lama.10 Sebagaimana diungkapkan oleh

Musdah Mulia, selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde

Baru nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap

kehidupan beragama di tanah air. Intervensi itu, menurut

Musdah, setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur

tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan

keberagamaan warga. Intervensi jenis ini diwujudkan dalam

bentuk pelarangan terhadap buku, perayaan, atau kelompok

keagamaan tertentu yang dinilai dapat mengganggu dan

memunculkan perlawanan atas kekuasaan. Keberhasilan

intervensi ini dibuktikan dalam bentuk pelarangan terhadap

lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang

berhaluan kiri oleh Pemerintah Orde Baru hanya dalam kurun

dua tahun awal masa kekuasaannya. Kedua, melalui

pendefinisian “agama resmi” dan ”agama tidak resmi”.11 Lewat

________________________ 10 Embrio dari warisan ini berawal dari munculnya berbagai aliran

kebatinan, baik dalam ranah politik maupun sosial, yang kemudian melahirkan dua perkakas hukum yaitu Bakorpakem, yang terdiri dari Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri dan UU No. 1/PNPS/1965. Dalam perkembangannya, PNPS yang berisi tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama tersebut digunakan sebagai alat untuk membentengi “agama-agama resmi” dari “serangan” aliran-aliran sempalan. Hal ini tentu saja menjadi intervensi nyata dari pemerintah terhadap kehidupan warga negaranya. Intervensi negara ke dalam wilayah privat (baca: keberagamaan) masyarakat ini sendiri disinyalir terjadi setelah adanya kegagalan partai-partai Islam memperoleh suara mayoritas dari kelompok-kelompok minoritas ini pada Pemilu 1955.

11 Pada dataran wacana, pernyataan Musdah ini terlihat berseberangan dengan pernyataan Presiden Soeharto yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan. Dengan mengacu kepada penjelasan TAP MPR tentang P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), Presiden Soeharto menyatakan bahwa pemerintah tidak mencampuri masalah intern keagamaan, baik yang berkaitan dengan masalah penafsiran, pengamalan, maupun pelembagaan agama dari masing-masing umat beragama. Dalam kesempatan yang lain, Presiden Soeharto menandaskan bahwa di Indonesia tidak mengenal agama resmi dan tidak resmi, serta tidak pula mengenal klasifikasi agama yang diakui dan tidak diakui. Lihat, Djohan Efendi “Jaminan Konstitusional Bagi Kebebasan beragama di Indonesia” dalam Nurcholish Madjid, (dkk.), Passing Over: Melintas Batas Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 111.

Page 148: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 137

pendefinisian ini, rezim Orde Baru hanya melakukan kontrol

terhadap kelompok di luar “agama resmi” yang dianggap

mengancam kekuasaannya lewat tangan agama-agama resmi.

Salah satu efek yang ditimbulkan dari intervensi jenis kedua ini,

agama-agama yang dianggap resmi kemudian seolahmenjadi

perpanjangan tangan dari penguasa (baca: pemerintah) karena

mereka diberikan kewenangan untuk mengontrol berbagai

bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan oleh masyarakat.

Ketiga,intervensi yang diwujudkan dalam bentuk proses

kolonialisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok

kepercayaan atau agama-agama lokal melalui islamisasi atau

kristenisasi sebagai efek dari intervensi jenis kedua.12

Beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama dan

keyakinan yang terjadi pada era Orde Baru di antaranya

sebagaimana yang tampak pada tabel berikut ini:

Tabel. 4.4. Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Keyakinan pada

Era Orde Baru

Waktu Kasus Gambaran

Agustus 1968

H.B Jassin: Cerpen “Langit Makin Mendung” dalam Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968

- Cerpen yang ditulis oleh seorang tokoh bernama Ki Panjikusmin tersebut dianggap melecehkan Islam. Akibatnya, ratusan eksemplar majalah Sastra disita di berbagai toko, agen, dan pengecer di kota Medan.

- Kantor majalah Sastra didatangi 50 pemuda yang mencoret-coret dinding kantornya dengan berbagai macam penghinaan, “H.B Jassin Kunjuk!” (baca: Kunyuk), “H.B Jassin Tangan

________________________ 12 Siti Musdah Mulia, Op. Cit., hlm. 335.

Page 149: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

138 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra: Anti Islam”, misalnya. H.B Jassin selaku Redaktur Majalah Sastra diseret ke pengadilan. Namun, di muka pengadilan ia bersikeras tidak mengungkap identitas Ki Panjikusmin dengan berpegang pada UU Pers 1966.

- H.B Jassin dikenai Pasal 156a KUHP karena dianggap melakukan penodaan agama dan dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Oktober 1990

Arswendo Atmowiloto dalam Publikasi Hasil Angket Tabloid Monitor, 1990

Pada Senin, 15 Oktober 1990, Tabloid Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas sebagai tokoh yang paling dikagumi, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi Monitor yang menempati peringkat kesepuluh. Publikasi tersebut menimbulkan kegemparan di kalangan umat Islam. Monitor dianggap melecehkan Nabi Muhammad dan membangkitkan kembali sentimen suku, agama, dan ras. Arswendo Atmowiloto dikenai Pasal 156a KUHP dengan tuduhan penodaan agama dan dihukum lima tahun penjara.

Page 150: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 139

A p r i l 1996

Saleh bin Abdul Kadir alias Hamid, Situbondo, 199613

Saleh, seorang penjaga masjid, menyatakan kepada K.H. Achmad Zaini, pimpinan pondok Nurul Hikam, bahwa Allah adalah makhluk biasa dan K.H. As’ad Syamsul Arifin, Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyah Situbondo dan tokoh NU yang sangat dihormati, meninggal tidak sempurna (Madura: mate takacer).

- Saleh dikenai Pasal 156a KUHP dengan tuduhan penodaan agama dan dihukum lima tahun penjara.

Tanpa bermaksud mengabaikan landasan-landasan

hukum yang lain, dari sekian produk kebijakan terkait jaminan

dalam beragama dan berkeyakinan yang telah disebutkan di atas,

tindak kekerasan di atas sebagian diakibatkan karena adanya

inkonsistensi dari pemerintah dalam mematuhi landasan hukum

nasional, dan juga kovenan internasional yang telah diratifikasi.14

Selain itu, pemerintah juga terkesan bersikap tebang pilih dalam

menghukum para pelaku kekerasan. Tercermin dalam fatwa-

fatwa yang (di antaranya) dikeluarkan oleh lembaga MUI, baik

yang berada di tingkatan daerah maupun pusat.14 Fatwa-fatwa

MUI yang sejatinya hanya bersifat legal opinion tersebut

________________________ 13 Kasus yang menimpa Saleh ini terus merambat menjadi semakin besar

yang kemudian berujung dengan terjadinya peristiwa kerusuhan di Situbondo. Telusuri lebih lanjut terkait kasus ini dan beberapa kasus kekerasan lain yang kental dengan nuansa SARA yang terjadi dalam di tahun 1995-1996 dalam, A. Made Tony Supriatma (ed.), 1996: Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1997, hlm. 54-75.

14 Telusuri lebih lanjut tentang berbagai fatwa MUI dalam kurun 1976-2010 di bidang akidah dan aliran keagamaan dalam, MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, MUI, Jakarta, 2010, hlm. 35-123.

Page 151: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

140 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

kemudian dipersepsikan oleh sebagian kalangan sebagai legal

binding untuk membatasi kebebasan beragama.15 Kekuatan

“legalitas” fatwa-fatwa MUI tersebut paling tidak disebabkan

karena adanya kedekatan dan keterkaitan MUI dengan

pemerintah. Hal ini karena semenjak awal didirikannya, MUI

dan juga lembaga-lembaga keagamaan lainnya seperti Walubi,

PGI, KWI, Hindu Dharma Indonesia, dan Matakin, dimaksudkan

untuk menjadi bagian dari instrumen rezim otoriter Orde Baru

untuk menyangga kekuasaan dan menjinakkan

(baca:mengontrol) setiap bentuk gerakan keagamaan dari

“agama-agama tidak resmi” dan masyarakat atau kelompok

masyarakat pada umumnya.

Kondisi ini tentu mengajak kita untuk kembali bersikap

kritis terhadap fatwa ataupun pendapat yang bisa memancing

emosi massa. Meski secara tekstual, dalam materi fatwa MUI,

tidak ada diktum atau klausul untuk menyerang dan melakukan

tindakan kekerasan terhadap kelompok atau aliran yang

dianggap “sesat”, “kafir” atau “diharamkan”. Namun demikian,

sepanjang sejarah umat Islam, fatwa bermodel seperti itu adalah

jenis fatwa yang paling efektif dalam menggerakkan nalar dan

emosi masyarakat untuk melakukan tindakan kekerasan dan

main hakim sendiri.16

________________________ 15 Yang perlu menjadi penekanan dalam hal ini adalah bahwa sistem hukum

Indonesia tidak mengenal fatwa di dalam hierarki perundang-undangan negara. Fatwa bukanlah hukum positif sehingga keberadaan fatwa tidak mengikat melainkan berisi subjektivitas moral dari organisasi-organisasi Islam yang mendukungnya. Sehingga, ketika sebuah fatwa bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang termaktub dalam Pancasila, maka sudah seharusnya fatwa tersebut tidak boleh dikeluarkan. Al-Khanif, loc. Cit.

16 Bagaimanapun, fatwa-fatwa otoriter diduga kuat berpotensi menimbulkan tindakan anarki dan kekerasan. Peristiwa terbunuhnya Khalīfah ˋUṡmān bin ˋAffān yang dituduh “kāfir” karena dianggap melampaui wewenang sebagai Pemimpin umat Islam yang digariskan Allah dan Rasul-Nya sertaKhalīfah ˋAlī bin Abī Ṭālib yang difatwa mati (halal darahnya) setelah dituduh percaya kepada “hukum manusia” mungkin dapat dijadikan sebagai satu gambaran. Dalam konteks sejarah umat Islam modern, gambaran kembali dapat kita lihat dari

Page 152: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 141

Pada dasarnya semua warga negara yang beragama

mendapatkan jaminan. Tetapi jaminan tersebut dibelah menjadi

“jaminan penuh” dan “jaminan seadanya”. “Jaminan penuh”

dalam pengertian bahwa agama-agama itu selain dijamin oleh

UUD juga mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum dari

serangan pemahaman-pemahaman di luar mainstream.

Sementara “jaminan seadanya” adalah kosakata untuk

menggambarkan model jaminan negara tanpa adanya

pengakuan yang melindunginya.17

Di sinilah kiranya setiap entitas di negeri ini perlu untuk

terus mengupayakan pencarian kebenaran yang lapang dan

terbuka serta tidak membelenggu jiwa, dan ini hanya dapat

diperoleh dengan merealisasikan dialog konstruktif yang

terbuka untuk mencapai kata mufakat (kalimat al-sawā’). Dialog

________________________ peristiwa yang menimpa Syekh Muhammad al-Żahabī, ulama Al-Azhar yang dibunuh setelah dijatuhi fatwa murtad dan kāfir oleh Jamāˋah Takf īr wa al-Jihād (Kelompok Pengkafir dan Jihad). Farag Fouda ditembak mati di halaman rumahnya oleh pengikut kelompok radikal setelah atasannya menjatuhkan fatwa kāfir dan murtad kepadanya. Novelis Naguib Mahfouz mengalami percobaan pembunuhan setelah ada fatwa bahwa novelnya, Awlād Ḥaratinā, bertentangan dengan Islam.Pemikir Islam Sudan, Ustad Muhammad Mahmoud Thahadigantung sampai mati setelah divonis murtad. Dalam konteks ini, Analisis Tindak Ujar (speech act analysis) sebagai sebuah kerangka teoretis, sebagaimana dikembangkan oleh Austin (1962), penulisanggap relevan jika digunakan sebagai alat bantu untuk melihat korelasi antara fatwa-fatwa sesat MUI dan tindak kekerasan oleh masyarakat. Dalam kerangka teoretis speech act analysis ini, setiap tindak ujar selalu memiliki dan melibatkan dua pihak, yakni penutur sebagai pihak yang mengeluarkan ujaran dan petutur sebagai pihak yang menerima ujaran. Dalam hubungan antara penutur dan petutur tersebut, secara kategoris, terdapat tiga macam. Pertama, tindak lokusi (locutionary act), yang merupakan tindak ujar untuk menyatakan sesuatu. Kedua, tindak ilokusi (illocutionary act), yang merupakan tindak ujar yang dilahirkan dan dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu. Ketiga, tindak perlokusi (perlocutinary act), yang merupakan tindak ujar yang memiliki dampak, daya dorong, serta pengaruh kuat bagi yang menerima atau mendengarnya untuk melakukan sesuatu.

17 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, RaSAIL Media Group, Semarang, 2009, hlm. 163.

Page 153: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

142 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

di sini tentu bukanlah sebuah polemik tempat orang beradu

argumentasi lewat pena, bukan debat untuk saling

mengemukakan kebenaran pendapat dari seseorang dan mencari

kesalahan pendapat orang lain, dan bukan pula sebuah apologi

sehingga orang berusaha mempertahankan kepercayaannya

karena terancam. Namun, dialog di sini pada hakekatnya adalah

suatu percakapan bebas, terus terang, dan bertanggung jawab,

yang didasari oleh sikap saling pengertian dalam menanggulangi

masalah kehidupan umat, baik material maupun spiritual,

sehingga perlu dikembangkan prinsip “agree in disagreement”

(setuju dalam perbedaan).18 Dengan perspektif yang berbeda,

dialog dapat pula kita tafsirkan sebagai implementasi konkret

dari semangat multikulturalisme, di mana orientasinya adalah

kehendak untuk membawa masyarakat dalam suasana rukun,

damai, egaliter, toleran, saling menghargai, saling menghormati,

tanpa menghilangkan kompleksitas perbedaan yang ada.

Mengacu kepada pemaparan di atas, dapat ditarik dua

kesimpulan mendasar terkait dinamika kebebasan beragama

yang terjadi di Indonesia. Pertama, dinamika kebebasan

beragama di negeri ini ternyata berbanding lurus dengan

dinamika perpolitikan yang sedang berjalan. Kedua, dari sekian

jumlah kasus kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas

yang terjadi dalam kurun reformasi, Orde Baru, dan Orde

Lama—di samping fakta kekerasan-kekerasan lain yang belum

termaktub dalam tulisan ini—sebagian besar akibat dari persepsi

yang berlebihan atas dikeluarkannya fatwa tentang aliran sesat

________________________ 18 Dengan bahasa yang berbeda, Hans Khung, seorang Teolog Kristen,

sebagaimana dikutip Komaruddin Hidayat, menyatakan bahwa dialog merupakan prasyarat pokok bagi terciptanya hidup damai dalam suatu negara. Ia mengatakan,“No peace among the nations without peace among religions; no peace among religions without dialogue between the religions; no dialogue between religions without investigation the foundation of the religions”. Komaruddin Hidayat, “Membangun Teologi Dialogis dan Inklusivistik”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 1998 hlm. 37.

Page 154: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 143

oleh lembaga keagamaan berupa MUI serta adanya klaim-klaim

sesat lain dari masyarakat, ormas Islam, dan aparat pemerintah.19

Kembali kepada fakta yang telah penulis kemukakan di

awal, meskipun Negara Indonesia telah meletakkan dasar-dasar

penghormatan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan

sebagaimana tertuang dalam berbagai produk legislasi yang

secara normatif sudah tampak ideal, ternyata hal itu belum

sepenuhnya menjaminimplementasi hak asasi beragama kepada

warga negara. Konklusi ini bisa dilihat dari masih suburnya

berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan yang

dilakukan oleh aparat negara, dan juga berbagai tindakan

intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat dan/atau kelompok

masyarakat.

Mengacu kepada pembahasan bab ini, terlihat bahwa

toleransi yang hingga saat ini gencar diwacanakan, ternyata

masih sebatas jargon politis semata, sebab agama masih

dipahami sebatas simbol, ritus, dan seremoni belaka dengan

mengabaikan spiritualitas dan kemanusiaan. Bagaimanapun,

hak setiap orang untuk beragama dan berkeyakinan bukanlah

pemberian negara atau pemberian golongan tertentu,

sebagaimana yang tertuang dalam TAP MPR No. II/1978, dan

hak ini tentu tidak mungkin dapat ditaklukkan dengan

kekuasaan (negara). Karenanya, dengan berkaca kepada

maraknya aksi pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan

________________________ 19 Terlepas dari adanya distingsi pada wilayah implementasi, beragam klaim

penyesatan yang merebak ini tentu berlawanan dengan pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Ramah Tamah dengan peserta Rapat Kerja MUI pada 8 Maret 1984. Pada kesempatan tersebut, Soeharto sempat menyatakan, “Hendaklah disadari bahwa negara kita menganut kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Prinsip ini hendaknya menjadi anutan dan pegangan, bukan saja oleh negara melainkan juga oleh lembaga keagamaan masyarakat kita. Masing-masing kita, perorangan atau kelompok maupun lembaga, bahkan negara sekalipun, tidak berhak memaksakan suatu paham, baik dalam keyakinan, bentuk, dan pelaksanaan ibadat, maupun dalam pelembagaan.” Lihat, Djohan Efendi, Op. Cit., hlm. 119.

Page 155: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

144 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

yang hingga saat ini masih terus bergulir, maka rekonstruksi

wacana tentang relasi agama dan negara kiranya perlu kembali

dilakukan oleh segenap elemen bangsa ini.

B. Relasi Agama dan Negara Perspektif Pancasila Berkaitan dengan Konsep Kebebasan Beragama

Ketika mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan

berdaulat, founding fathers tidak hanya didukung oleh organisasi

sosial dan politik, tetapi juga didukung oleh institusi lain

bernama agama. Tidak satu pun lembaga keagamaan yang ada

di Indonesia menentang aspirasi founding fathers. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa proses mendirikan Negara

Indonesia yang merdeka dan berdaulat berlangsung secara cepat

dan berjalan mulus.

Proses mendirikan Negara Indonesia diwarnai oleh faktor-

faktor rasional-objektif. Hal semacam ini terlihat dalam berbagai

macam perundingan para wakil BPUPKI. Kesepakatan bersama

yang diwarnai oleh faktor-faktor rasional-objektif itu

menekankan Negara Indonesia berdasarkan pada nilai

kemanusiaan, persatuan, keadilan sosial yang dijiwai oleh

Ketuhanan Yang Maha Esa demi membangun kemanusiaan

Indonesia dan persaudaraan segala bangsa.20 Proses me-negara

yang ditentukan oleh faktor-faktor rasional-objektif tersebut

menekankan pada kebangsaan sebagai ideologi yang

memperjuangkan kesatuan bangsa.21

Berdirinya Negara Indonesia yang dilandasi Pancasila,

sebagaimana dimaksudkan oleh founding fathers, memfungsikan

agama-agama turut aktif memperjuangkan dan menegakkan

________________________ 20 M. Hatta, “Ke Arah Indonesia Merdeka?”, dalam Miriam Budiharja (ed.),

Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980, hlm. 21-54. 21 A.M.W. Pranarka,Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta, 1985,

hlm. 47-48.

Page 156: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 145

nilai-nilai kemerdekaan, kerakyatan, keadilan, dan kesatuan.

Identitas masing-masing agama tidak dilenyapkan, tetapi

agama-agama diletakkan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu

bahwa agama-agama perlu mengadakan kontekstualisasi ajaran-

ajarannya di Indonesia. Dengan kata lain, ideologi kebangsaan

menjadi semacam konteks yang tidak dapat ditiadakan oleh

agama-agama.

Kerangka kesatuan bangsa itulah yang menjadi semacam

norma dasar negara Indonesia yang digunakan untuk

meniadakan gerakan-gerakan agama yang berusaha

memanfaatkan negara demi kepentingan agama tertentu dalam

arti kelompok tertentu, seperti gerakan DI/TII.22 Dalam hal ini,

agama dimengerti oleh founding fathers sebagai suatu institusi

yang tidak pernah berusaha menggantikan konstitusi negara.

Mengapa? Karena agama yang dipahami itu sebagai suatu

institusi yang memiliki semangat kesetiakawanan, kemanusiaan,

kerukunan, kesalehan, ketakwaan, dan tentu saja kebangsaan.

Di Indonesia kepentingan agama senafas dengan

kepentingan negara, yaitu menegakkan nilai-nilai kemerdekaan,

keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, dan kesatuan. Permasalahan

yang muncul adalah bagaimanakah peran agama-agama dan

negara menuju tingkat kehidupan bermasyarakat dan

berbangsa? Pertanyaan semacam ini perlu diajukan karena

dalam tingkat ‘negara’ peranan faktor-faktor rasional-objektif

sangat signifikan, sedangkan dalam tingkat kehidupan

bermasyarakat dan berbangsa faktor-faktor emosional subjektif

sangat berperan. Bukankah agama-agama yang datang ke

Indonesia memiliki klaim-klaim kebenaran ajarannya tersendiri?

Dengan demikian, agama-agama itu menggalang perasaan

solidaritas kelompok secara lebih riil dan memadai jika

________________________ 22 Anhar Gonggong dan Abdul Qahhar Mudzakar, Dari Patriot Hingga

Pemberontak, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 123-124.

Page 157: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

146 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

dibandingkan dengan perasaan solidaritas kebangsaan

Indonesia. Perasaan solidaritas kelompok yang padat semacam

ini secara langsung dan tidak langsung mendorong agama-

agama menuntut perannya sebagai ‘anak emas’ di Indonesia.

Permasalahan yang timbul di Indonesia adalah tidak ada satu

agama pun yang berhak menyandang gelar anak emas. Agama-

agama dipaksa oleh ideologi kebangsaan Indonesia berperan

sebagai anak bangsa.23

Teori tentang hubungan agama dan negara secara garis

besar dibedakan menjadi trikotomi paradigma pemikiran,

yaitu:24

1. Paradigma Integralistik

Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep

hubungan agama dan negara yang menganggap bahwa agama

dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu

(integrated). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara

merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Oleh

karena itu, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama

dan kekuasaan politik sekaligus. Pemerintahannya

diselenggarakan atas dasar “kedaulatan Ilahi” (divine

sovereignty), karena pendukung konsep ini meyakini bahwa

kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan. Oleh karena itu,

________________________ 23 John Titaley, “Pluralisme Agama dan Nasionalisme, Peranan Agama

dalamPembentukan Dasar Kehidupan Berbangsa di 1ndonesia,” Makalah, dalam SeminarAgama-agama X11, Bogor/Tugu, September 1992, hlm. 16.

24 Disarikan dari: Dede Rosyada (dkk.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta, 2003, hlm. 61., Hani Astika, “Hubungan Agama dan Negara dalam Islam”, dalam Jurnal al-Manahij, vol. 2, No. 1, Januari-Juni, 2008, hlm. 68-70., Gunarto, “Pemikiran Munawwir Syadzali tentang Islam dan Negara dalam Perbandingan Penafsirannya antara T.B. Simatupang dan Eka Darmaputra dari Perspektif Kehidupan Beragama dan Pancasila”, dalam Jurnal Teologi Stulos, vol. 6, No. 1, April 2007, hlm. 53-70.

Page 158: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 147

rakyat yang menaati segala ketentuan negara berarti ia taat

kepada agama. Sebaliknya, memberontak dan melawan negara

berarti melawan agama yang berarti juga melawan Tuhan.

Dengan model seperti ini, negara sangat potensial melakukan

otoritarianisme dan kesewenang-wenangan. Alasannya, karena

rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang

dapat berlindung di balik agama.

2. Paradigma Simbiotik

Dalam paradigma simbiotik dinyatakan bahwa agama dan

negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan

yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama

memerlukan negara karena dengan adanya negara maka agama

akan dapat berkembang secara lebih baik. Sebaliknya, negara

memerlukan agama, karena dengan agama maka negara dapat

berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Hanya

saja, dalam tataran praktis, persetubuhan agama dan negara

yang terjadi justru negara menelikung agama. Ajaran Islam,

misalnya, yang semestinya mengatur kehidupan politik dari

sektor etika, justru diatur oleh politik kenegaraan. Islam kerap

dieksploitasi secara signifikan oleh elit-elit politik, sehingga tetap

cenderung menuju konsep ”Islam adalah agama dan negara”.25

3. Paradigma Sekularistik

Menurut pandangan paradigma sekularistik, agama dan

negara harus dipisahkan dengan tegas. Negara dan agama

merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain

memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga

________________________ 25 Bagi Arif Hidayat, paradigma simbiosis ini mengandaikan terpenuhinya

empat prinsip, yakni theokrasi, demokrasi, nomokrasi, dan ekokrasi. Hubungan keempat prinsip tersebut bersifat berkait berkelindan satu sama lain, dalam arti tidak bisa mengunggulkan sebagiannya dan mengabaikan sebagian yang lain. Wawancara pada tanggal 17 Oktober 2011 di Semarang.

Page 159: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

148 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain

melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang

dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum

yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social

contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum agama. Dalam

konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara

kepada Islam. Atau paling tidak, menolak determinasi Islam

pada bentuk tertentu dari negara.

Negara Indonesia tidak hanya kaya akan sumber daya

alam, pun juga demikian agama dan keyakinan yang dianut oleh

warganya. Kekayaan di sektor keagamaan tersebut

mengakibatkan Indonesia mendapat predikat sebagai bangsa

multireligi. Dari sejumlah agama dan keyakinan yang ada, Islam

adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas warga negara.

Meskipun demikian, pada kenyataannya Islam tidak diposisikan

sebagai dasar negara.

Negara demokrasi model Barat lazimnya bersifat sekuler, dan

hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia,

negara komunis lazimnya bersifat atheis, yang menolak agama

dalam suatu negara, sedangkan negara agama memiliki

konsekuensi kelompok agama tertentu akan menguasai negara dan

di Indonesia dalam hal ini Islam. Oleh karena itu, founding fathers

tampaknya menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang

bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Dengan

melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen

moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas

“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dasar Negara tersebut tidak

dipahami sebagai prinsip dalam konteks teologis, melainkan

prinsip hidup bersama dalam suatu Negara, dari berbagai lapisan

masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang berbeda-beda.

Hal demikian dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan

manusia yang bermartabat dan berkeadaban.

Page 160: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 149

Konsekuensi logis dari penggunaan Ketuhanan Yang Maha

Esa sebagai dasar negara adalah bahwa kehidupan agama tidak

dipisahkan sama sekali, melainkan justru agama mendapatkan

legitimasi filosofis, yuridis, dan politis dalam negara,

sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara

filosofis, Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila

pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat

Negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut menjadi dasar

filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal

hubungan negara dan agama. Peraturan perundang-undangan

Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat beragama,

melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam

hubungan antar manusia. Dengan demikian, bertolak dari tiga

paradigma relasi agama dan negara di atas maka Indonesia

termasuk negara yang menggunakan paradigma simbiotik.

C. Signifikansi Rekonstruksi atas Problematika Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam Bingkai Hukum

Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa

kebebasan beragama di Indonesia secara konseptual-normatif

telah dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Konsepsi normatif

tersebut jika dihubungkan dengan konsep kemanusiaan yang

adil dan beradab, mengandung pengertian dan pengakuan akan

penghargaan terhadap sesama manusia, di mana asal-usul,

keyakinan, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, jumlah harta milik

maupun pandangan politiknya, adalah sama, dalam artitidak ada

perbedaan di antara masing-masing individu manusia dan tidak

ada manusia yang diciptakan dengan nilai yang lebih tinggi dari

manusia yang lain. Seluruh manusia diciptakan dengan nilai yang

sama rata. Persamaan derajat di antara manusia ini bersifat

universal. Atas dasar pandangan tersebut, muncul pengakuan

Page 161: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

150 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

rasa persaudaraan, di mana masing-masing individu manusia

merasa menjadi saudara dari manusia yang lain, dan berada

dalam satu wadah besar keluarga umat manusia untuk mencapai

kesejahteraan bersama.26

Namun demikian, asumsi kerangka normatif yang mapan

tersebut tidak serta-merta mapan pula dalam peraturan

perundang-undangan turunannya. Sebaliknya, hal tersebut

kerap menimbulkan kekecewaan, karena pengakuan kuatnya

jaminan kerangka normatif di atas ternyata belum menjadi realita

yang dapat dinikmati oleh semua warga negara. Banyak warga

Negara Indonesia yang masih merasa dibelenggu kebebasannya

dalam hal kebebasan mengekspresikan keagamaan dan

keyakinannya. Demikian juga dalam realitas kehidupan

masyarakatnya, ragam pelanggaran dan tidak adanya ketaatan

serta penghormatan terhadap konstitusi merupakan potret

faktual.

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya dalam

kerangka pemikiran bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu

mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum.

Sistem hukum yang dimaksud terdiri atas tiga komponen, yakni

komponen struktur hukum, komponen substansi hukum, dan

komponen budaya hukum. Substansi hukum dalam wujudnya

sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai

instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan,

yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-

masalah sosial kontemporer. Hukum dengan karakter yang

demikian itu dikonsepsikan sebagai law as a tool of social engineering

dari Roscoe Pound, atau yang di dalam terminologi Mochtar

Kusumatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai

________________________ 26 Noor MS Bakry, Op. Cit., hlm. 46.

Page 162: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 151

sarana untuk membantu perubahan masyarakat.27 Karakter

keberpihakan hukum yang responsif ini kerap disebutkan sebagai

hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif

mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang

memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-

hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga

masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi, dan politis untuk

dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam

masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi.

Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan

demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi

hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang,

melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam

masyarakat.28 Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini,

Sunaryati Hartono melihat bahwa UUD 1945 disusun dengan

lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa

sosial ini.29

Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai

peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh

suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga

berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para

anggota legislatif itu sendiri. Dengan kata lain, kebijakan

perundang-undangan dalam bentuk apapun yang dikeluarkan oleh

pihak yang berwenang erat kaitannya dengan kondisi dan

kepentingan pembuatnya. Menurut James Anderson, sebagaimana

________________________ 27 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989, hlm. 51.

Mochtar Kusumatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 11.

28 Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 483.

29 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 53.

Page 163: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

152 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

dilansir sebelumnya, kebijakan merupakan arah tindakan yang

bermaksud untuk ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah

aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep

demikian berimplikasi pada tiga hal. Pertama, orientasi kebijakan

publik adalah tujuan, bukan perilaku secara serampangan. Kedua,

kebijakan adalah pola tindakan aparatur pemerintah, bukan

keputusan-keputusan secara tersendiri. Ketiga, kebijakan adalah

perilaku pemerintah dalam mengatur perihal teknis, bukan

keinginan pemerintah.

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka sifat kebijakan

publik berkaitan dengan hukum kebebasan beragama dapat

dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi

beberapa kategori. Bila dispesifikkan dengan contoh kasus

Ahmadiyah, sebagai representasi dari kasus kebebasan

beragama di negeri ini, maka kategori-kategori tersebut antara

lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan; keputusan-keputusan

kebijakan; pernyataan-pernyataan kebijakan; hasil-hasil

kebijakan; dan dampak-dampak kebijakan, yang kesemuanya

berkaitan dengan Ahmadiyah.

Sistem politik yang terdiri atas badan-badan legislatif

(DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi); partai-partai politik, kelompok

kepentingan (aktivis pro-HAM dan aktivis gerakan Islam-

radikal), media massa; anggota masyarakat non-Ahmadiyah,

tokoh-tokoh masyarakat (MUI, NU, Muhammadiyah, dan

akademisi, misalnya), struktur birokrasi; prosedur, mekanisme

politik, sikap dan perilaku pembuat keputusan, semuanya

berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses untuk mengubah

inputs, yang beragam berkaitan dengan kasus Ahmadiyah,

menjadi outputs, kebijakan mengenai Ahmadiyah. Proses

pembentukan kebijakan berkaitan dengan kasus Ahmadiyah,

sebagai contoh, tersebut dapat dijelaskan melalui ragaan berikut:

Page 164: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 153

Ragaan. 4.1.

Teori Kebijakan Publik Berkaitan dengan Hukum Kebeba

Beragama dengan Contoh Kasus Ahmadiyah

intra-societal enviroment: extra-societal environment:

• sistem ekologis

• sistem biologis

• sistem personalitas

• sistem sosial

• sistem politik internasional

• sistem ekologi internasional

• sistem sosial internasional

Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun

berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka

dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan

tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan.

Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pembentuk undang-undang

tidak semata-mata berkewajiban to adapt the law to this changed

society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan

sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu

sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak

deman

support

Intra (MUI, NU,

Muhammadiyah,

akademisi, aktivis

pro HAM, aktivis

gerakan Islam-

radikal, media massa,

dan anggota

masyarakat dan

Ahmadiyah)

Extra (ICCPR,

Deklarasi Kairo,

OKI, dan DUHAM)

The flow of

effects from the

enviroment

I N P U T S

Feedback

Demokrasi DPR dan Presiden Information feedback Convension

of deman into output Informastion feedback

A U THO R I TH I E S

Kebijakan tentang

Ahmadiyah (output)

Page 165: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

154 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi

justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini

Roeslan Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan

makmur yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru

sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk

undang-undang.30 Sehingga, konstruksi pembentukan

(kebijakan) hukum berkaitan dengan kasus Ahmadiyah

sebagaimana tergambar di atas sejatinya sangat ditentukan oleh

pembuatnya.

Namun demikian—sebagaimana telah berkali-kali

diungkap— meskipun dalam kerangka normatif jaminan

kebebasan beragama dan berkeyakinan telah mapan tidak serta-

merta mapan pula dalam aplikasinya. Pelaksanaan hukum

kebebasan beragama bukan dibebankan hanya pada satu elemen

negara, pemerintah saja, misalnya, melainkan seluruh aspek

yang berkepentingan dengannya. Dengan bertolak dari teori

bekerjanya hukum Seidmen dan Chambliss, maka hukum

kebebasan beragama akan berhasil jika memenuhi beberapa hal.

Pertama, masing-masing elemen menempatkan dan melaksanakan

tugasnya masing-masing dengan sebaik mungkin sebagaimana

fungsinya. Fungsi-fungsi tersebut adalah (a) hukum kebebasan

beragama yang ada, (b) sanksi-sanksi hukum kebebasan

beragama, (c) aktivitas lembaga penerap sanksi, seperti:

pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, dan (d) seluruh kompleks

kekuatan sosial, politik, ekonomi, yang memengaruhinya. Kedua,

jika hukum kebebasan beragama sudah berhasil menggerakkan

perilaku anggota masyarakat, maka keadaan itu merupakan

sesuatu yang bersifat khas dalam masyarakat tersebut. Ketiga,

penggunaan hukum kebebasan beragama bersifat sama, berikut

sanksinya, dan ditempatkan dalam konteks waktu dan tempat

________________________ 30 Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-

undangan, Bina Aksara, Jakarta, 1979, hlm. 12.

Page 166: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 155

Tuntutan Masyarakat

Kegiatan Penerapan

Sanksi

Umpan Balik

Umpan Balik

Kekuatan-kekuatan Sosial dan Personal

Kekuatan-kekuatan Sosial dan Personal

Umpan Balik Norma

tertentu. Oleh karenanya, pelaksanaan hukum kebebasan

beragama tersebut untuk waktu dan tempat yang berbeda dan

juga dengan lembaga penerap sanksi yang berbeda serta

kompleks kekuatan sosial, politik, ekonomi, yang memengaruhi

pemegang peran yang berbeda pula, tidak dapat diharapkan

akan menimbulkan aktivitas pemegang peran yang sama dengan

yang terjadi di tempat asal dari hukum tersebut. Berikut ragaan

teori bekerjanya hukum berkaitan dengan kebebasan beragama

di Indonesia:

Ragaan. 4.2. Bekerjanya Hukum Kebebasan Beragama

Dari beberapa tawaran konseptual dan sedikit gambaran

berkaitan dengan Ahmadiyah, analisis penegakan dan kebijakan

hukum di atas tampaknya dapat disederhanakan dalam tiga

komponen. Pertama substansi hukum itu sendiri, kedua adalah

komponen penegak serta pembuat hukumnya dan ketiga adalah

komponen budaya hukum. Ketiga komponen inilah yang mesti

dilihat dalam rangka tegaknya asas kebebasan beragama di

Indonesia.

Norma

Kekuatan Sosial dan

Personal

DPR, Presiden, Menteri

MK dan MA MUI,

Muhammadiyah, NU, dll

Page 167: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

156 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

1. Ambiguitas Produk Regulasi Jaminan Kebebasan Beragama: Problem Substansi Hukum

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa

meskipun secara kerangka normatif-yuridis konsep kebebasan

beragama sangat mapan, tetapi pada tataran legislasi dan

peraturan penunjangnya masih mengandung banyak persoalan.

Berikut beberapa bentuk legislasi dan peraturan yang penulis

nilai sarat dengan ragam persoalan:

a. UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama

Pokok-pokok penting dalam undang-undang ini

sesungguhnya adalah pelarangan melakukan penafsiran dan

kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok

ajaran agama.31 Dalam Pasal 4 dikatakan bahwa:

“Pada KUHP diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: ‘Pasal 156a

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan,

penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

________________________ 31 Pasal 1. Pada penjelasan pasalnya disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan agama tersebut adalah enam agama di Indonesia. Bagi Nicola Corlbran, Undang-undang tersebut menandakan bila persepsi negara tentang agama masih didominasi oleh pemahaman arus utama yang menyatakan bahwa suatu agama harus memiliki Tuhan, Nabi, dan kitab suci. Nicola Corlbran, ”Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia: Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, dalam Tore Lindholm (dkk.), Kebebasan Beragam atau Berkeyakinan, Seberapa Jauh? Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 690.

Page 168: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 157

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.’

Perundangan itu, bagi sebagian pegiat HAM, selain

dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan

beragama sebagai amanat Konstitusi, juga dinilai sebagai

bentuk intervensi negara yang sebenarnya tidak perlu—dan

bahkan tidak boleh— dilakukan.32

Regulasi tersebut pada dasarnya lahir dalam konteks

yang berbeda dengan realitas Indonesia yang dihadapi

sekarang. Saat itu, demokrasi terpimpin adalah sistem

kepemerintahan yang sedang digunakan. Konfigurasi politik

pada era demokrasi terpimpin adalah otoriter, sentralistik,

dan terpusat di tangan Presiden Soekarno. Sehingga, produk-

produk hukum yang keluar pun tidak dapat keluar dari

suasana politik tersebut, yakni otoritarian dan sentralistik.33

________________________ 32 Menarik kategorisasi yang dibuat oleh As’ad Said Ali, menurutnya

kewenangan negara dalam mengatur keagamaan dapat dipetakan menjadi lima hal. Pertama, kehadiran negara bisa bermakna wajib untuk menjalankan kesempurnaan pelaksanaan syariah Islam, keberadaan wali hakim dalam persoalan nikahnya umat muslim, misalnya. Kedua, kehadiran negara bisa bermakna menjadi syarat kesempurnaan ibadat, persoalan haji, misalnya, Ketiga, hampir sama dengan poin kedua. Kehadiran negara bisa memperlancar pelaksanaan ibadat, namun tingkat keterlibatan negara tidak seintensif poin kedua di atas, misalnya persoalan zakat. Keempat, mubah. Negara bisa dan juga bisa tidak hadir, misalnya, dalam hal perbaikan dan pengelolaan tempat-tempat ibadat, lembaga pendidikan keagamaan, dan sebagainya. Kelima, negara terlarang masuk dalam urusan agama bila menyangkut peribadatan. Otoritas masalah tersebut adalah para pemuka agama. Jika muncul silang sengketa menyangkut ibadat, negara harus bertindak adil dan dan tidak terlibat dalam pokok masalahnya. Namun, negara harus tetap berupaya keras menjaga kerukunan atau tertib sosial. Lihat, As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa, LP3ES, Jakarta, 2009, hlm. 198-202.

33 Sebagaimana terlansir dalam Surat Permohonan Pemohon Judicial Review UU No. 1 PNPS/ 1965 bernomor: 140/PUUVII/2009 tertanggal 20 Oktober 2009. Lebih dari itu, Ahmad Fedyani Syaifuddin mengungkapkan bahwa undang-undang tersebut dibuat dalam semangat positivistik, integrasi, pencegahan kekacauan politik, dan benturan kepercayaan masyarakat. Pernyataan Ahmad

Page 169: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

158 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Artinya, konstruksi hukum dalam undang-undang tersebut

juga sangat kental dengan nuansa politis semacam itu.

Sementara, Indonesia yang dihadapi sekarang berbeda,

terlebih kaitannya dengan kehidupan beragama, yang

cenderung partikular dalam arti tergantung pada kelompok

keagamaannya masing-masing.

Pelarangan di atas secara tidak langsung berimplikasi

pada asumsi adanya kebenaran tafsir yang bersifat tunggal.

Padahal, kebenaran dalam agama dan keyakinan secara

mendasar bersifat relatif. Relativitas yang selaras dengan

semangat pluralisme ini kemudian dianggap dikebiri begitu

saja oleh asumsi kebenaran tunggal di atas. Bagaimana tidak,

benar dan tidaknya sebuah tafsir keagamaan oleh negara

dikembalikan kepada Depag (Sekarang Kemenag). Berkaitan

dengan hal tersebut, Kemenag telah membentuk lembaga

otonom yang salah satu tugasnya adalah memberikan

pandangan (baca: fatwa) tentang kebenaran suatu tafsir

keagamaan tersebut. Lembaga-lembaga tersebut adalah: MUI,

KWI, PGI, Walubi, PHDI, dan Matakin.34

________________________ Fedyani Syaifuddin dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada Jumat, 19 Maret 2010 di Gedung MK, Jakarta. Sementara itu, menurut Moeslim Abdurrahman secara historis undang-undang tersebut muncul dalam situasi politik yang kacau, yakni banyaknya pertikaian antara Islam dan Komunis. Pernyataan Moeslim Abdurrahman dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada Rabu, 24 Maret 2010 di Gedung MK, Jakarta.

34 Meskipun Kemenag menyerahkan kewenangannya pada lembaga-lembaga bentukannya, dalam konteks hukum pidana apa yang menjadi putusan lembaga-lembaga tersebut bagi penulistidak bisa serta-merta dijadikan dasar dalam merespons persoalan aliran sesat. Seharusnya, ragam ambiguitas di atas harus diperjelas sedemikian rupa, termasuk apa yang dimaksud dengan penafsiran menyimpang dan pokok-pokok ajaran agama. Karena, hal ini akan sangat tergantung kepada mazhab mainstream yang dianut oleh si penafsir. Sedangkan jika negara merumuskan pokok-pokok ajaran agama dan berpihak pada satu mazhab dari ajaran tersebut, maka negara sudah terjebak pada model negara agama. Oleh karena itu jika undang-undang ini masih ingin dipertahankan, maka rumusan-rumusan pasalnya harus diperbaiki. Mengingat pemidanaan seseorang atau suatu kelompok tidak bisa dilakukan berdasarkan suatu opini, melainkan harus

Page 170: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 159

Oemar Senoadji, sebagaimana dikutip Barda Nawawi

Arief, mengungkapkan bahwa teori-teori delik agama pada

intinya terdapat tiga hal sebagai berikut:35

1) Religionesschutz-theorie (teori perlindungan agama). Menurut teori ini, agama itu sendiri yang dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi (yang dipandang perlu untuk dilindungi) oleh negara, melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.

2) Gefuhlsschutz-theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan). Menurut teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah “rasa/perasaan keagamaan” dari orang-orang yang beragama.

3) Friedensschutz-theorie (teori perlindungan perdamaian/ ketentraman umat beragama). Objek atau kepentingan

________________________ memenuhi empat prinsip, sebagaimana diungkap oleh Machteld Boot dengan mengutip pendapat Jescheck dan Weigend. Pertama,nullum crimen, noela poena sine lege praevia. Artinya, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Kedua,nullum crimen, nulla peona sine lege scripta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Ketiga,nullum crimen nulla poena sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Keempat,nullum crimen noela poena sine lege stricta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Lihat, Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm 4-5. Dengan demikian, setiap tindakan yang akan dikriminalisasi atau dijadikan perbuatan pidana, seharusnya dirumuskan secara jelas dan tegas, tidak kabur dan ambigus. Hal ini semata-mata untuk menegakkan rasa keadilan dan menghindari tindakan kesewenang-wenangan dari penguasa, yang dalam hal ini penegak hukum. Hal senada juga dinyatakan oleh Andi Hamzah bahwa rumusan delik penodaan agama harus sesuai dengan asas legalitas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Harus ada ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum adanya perbuatan pidana. Seseorang baru dapat dijatuhi pidana apabila ada undang-undang yang melarang perbuatan pidana tersebut terlebih dahulu. Asas tersebut dianggap kurang memadai karena banyak undang-undang karet (baca: multitafsir), sehingga semua orang bisa menafsirkannya. Oleh karena itu, muncullah asas berikutnya yang berbunyi, nullum crimen sine lege scripta, yang berarti tidak ada delik tanpa undang-undang yang ketat sebelumnya. Pernyataan Andi Hamzah, sebagai Ahli, dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965pada Rabu, 3 Maret 2010 di Gedung MK, Jakarta.

35 Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2010, hlm. 2.

Page 171: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

160 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah “kedamaian/ketentraman beragama interkonfessional (di antara pemeluk agama/kepercayaan). Dengan kata lain, ketertiban umum merupakan tujuan dari teori ini.

Bertolak dari tiga teori tersebut, lanjut Senoadji, adanya

Pasal 156a KUHP tersebut dapat dipahami bahwa dilihat dari

status dan penempatannya yang terletak pada bab V

(Kejahatan dan Ketertiban Umum) maka ia termasuk delik

terhadap ketertiban umum, di mana tujuannya bermaksud

untuk melindungi ketentraman orang beragama. Jadi, objek

yang dilindungi adalah “rasa ketentraman orang beragama

yang dapat membahayakan ketertiban umum”. Namun

demikian, berbeda jika dilihat secara redaksional teksnya,

penodaan agama tersebut sudah dapat dipidanakan tanpa

harus mengganggu ketenteraman orang beragama dan tanpa

mengganggu/membahayakan ketertiban umum, sekalipun

dilakukan di hadapan orang-orang yang tidak beragama.36

Dengan kata lain, yang menjadi objek perlindungan adalah

agama itu sendiri, bukan pemeluknya (ketertiban umum). Hal

demikian merupakan salah satu bentuk ambiguitas dalam

undang-undang ini.37

Hingga saat ini, banyak gagasan yang muncul bahwa

persoalan agama dan/atau penodaan agama tidak perlu

diatur oleh negara. Dengan kata lain, negara tidak semestinya

________________________ 36 Ibid., hlm. 5. 37 Pada saat undang-undang ini di-judicial review, Mahkamah Konstitusi

(MK) sendiri mengakui bahwa baik dalam lingkup formal maupun secara substansial harus lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Namun demikian, karena MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbaikan redaksional atau cakupan isi, melainkan hanya boleh menyatakan konstitusional atau tidak konstitusional, maka mengingat substansi undang-undang tersebut secara keseluruhan adalah konstitusional, MK tidak dapat membatalkan atau mengubah redaksionalnya. MK, Risalah Sidang Pengujian UU No. 1/PNPS/1965, MK, Jakarta, 2010, hlm. 304-305.

Page 172: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 161

mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Kebijakan

pemerintah yang hanya mengakui enam agama “resmi”

membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-

hak sipil mereka sebagai warga negara. Bahkan, muncul

pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan agama di

Indonesia lebih baik bila tanpa negara. Artinya, negara tidak

perlu ikut campur mengatur kehidupan beragama sebab

negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik.

Menanggapi persoalan ini, Adnan Buyung Nasution,

sebagaimana dikutip Mahfud MD, berpendapat bahwa

negara tidak berhak mencampuri urusan agama, terlebih lagi

melakukan pengakuan terhadap agama tertentu.38 Argumen

yang mendukung gagasan itu, negara mesti bersikap netral

terhadap semua agama dan tidak boleh melarang timbulnya

suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Jika terdapat

suatu kelompok yang ingin mendirikan agama sendiri, artinya

tidak bisa dilarang oleh negara. Menurut pendukung gagasan

tersebut, ketentuan yang menunjukkan intervensi negara

terhadap agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 tidak lagi

diperlukan. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan melekat,

tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut

dirampas.

Berkaitan dengan intervensi tersebut—dan kontroversi

Ahmadiyah sebagai konteksnya—muncul SKB No. 3/2008,

Kep-033/A/JA/6/2008 dan No. 199/2008 tentang Peringatan

dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota

Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat,

yang ditandatangani Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri

Dalam Negeri pada tanggal 9 Juni 2008, dan merupakan hasil

________________________ 38 Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi”,

Makalah, disampaikandalam Konverensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia Menurut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, diselenggarakan oleh ICRP pada tanggal 5 Oktober 2009.

Page 173: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

162 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

kontroversi panjang yang melelahkan. Meskipun di dalam SKB

tersebut tidak terdapat istilah “pembekuan” atau “pelarangan

dan pembubaran” JAI, seperti yang dituntut mereka yang anti

terhadap Ahmadiyah, keluarnya SKB ditengarai merupakan

salah satu titik panas dalam rangkaian tindak kekerasan

terhadap Jemaat Ahmadiyah di seluruh pelosok negeri ini.

Sebagaimana telah dilansir sebelumnya, kasus-kasus kekerasan

terhadap anggota Ahmadiyah ini sangat mewarnai masa-masa

setelah keluarnya SKB.

Beberapa bulan setelah diterbitkannya SKB tersebut,

diterbitkan pula Surat Edaran Bersama (SEB) No.

SE/SJ/1322/2008; SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008; dan

SE/119/921/D.III/2008, yang dikeluarkan oleh Sekretaris

Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen,

dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik

Departemen Dalam Negeri. Dalam SEB tersebut ditegaskan

bahwa absahnya SKB sebagai tindak lanjut dari UU No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

dan/atau Penodaan Agama jo. UU No. 5/1969, dengan

mengacu pada Pasal 7 ayat (4) UU No. 10/2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006, No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat

Pada tahun 2006, Pemerintah (cq. Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri) mengeluarkan Peraturan Bersama No.

9 Tahun 2006/ No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan

Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Page 174: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 163

Aturan perundangan ini menggantikan Surat Keputusan

Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.

1/BER/MDN-MAG Tahun 1969 tentang Pendirian Rumah

Ibadat. SKB tersebut dianggap belum mengatur secara rinci

prosedur pendirian tempat ibadat, dan oleh karena itu adalah

salah satu penyebab penutupan, perusakan, dan penyerangan

tempat ibadat.

Menurut PBM di atas, pendirian rumah ibadat

didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh

berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan

umat beragama yang bersangkutan di wilayah

kelurahan/desa.39 Sebelum didirikan, pemohon harus

memenuhi persyaratan khusus yang meliputi; daftar nama

Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat paling

sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai

dengan tingkat batas wilayah kecamatan atau

kabupaten/kota atau propinsi; dukungan masyarakat

setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh

lurah/desa; rekomendasi tertulis kepala kantor departemen

agama kabupaten/kota; dan rekomendasi rertulis Forum

Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Berkaitan dengan PBM tersebut, ada beberapa persoalan

yang menurut penulis justru kurang sesuai dengan amanat

konstitusi. Pertama, aturan perundangan tersebut

menitikberatkan pada pembatasan pendirian rumah ibadat,

padahal konstitusi, dan bahkan Kovenan Internasional, telah

mengamanatkan bahwa suatu pembatasan dilakukan harus

berdasarkan atau ditetapkan dengan hukum. Sementara itu,

yang dimaksud dengan hukum adalah undang-undang,

bukan dalam bentuk kebijakan berupa PBM. Kedua, yang

dimaksud dengan rumah ibadat dalam peraturan tersebut

________________________ 39 Pasal 13 ayat (1).

Page 175: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

164 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

adalah “bangunan… yang dipergunakan untuk beribadat bagi

para pemeluk masing-masing agama”, yakni agama resmi.

Sementara itu, ragam kepercayaan yang tidak termasuk dalam

agama tersebut juga hidup di negeri ini dan berhak untuk

menjalankan kepercayaannya secara bebas dan aman. Namun

demikian, dengan adanya aturan tersebut, secara tidak

langsung dapat dipahami bahwa mereka tidak berhak untuk

mendirikan tempat ibadat. Ketiga, kuantitas pemeluk agama

di setiap daerah berbeda, ada yang berjumlah banyak dan

tidak sedikit yang hanya beberapa orang. Aturan kuantitas

dalam aturan di atas tampaknya tidak mampu

mengakomodasi minoritas pemeluk agama dalam suatu

komunitas. Kaum Muslim di Manokwari, Papua, Nusa

Tenggara Timur (NTT), Bali dan Sulawesi Utara, misalnya,

mayoritas daerah tersebut adalah non-muslim, sementara

komunitas muslimnya adalah minoritas yang berjumlah

kurang dari standart minimal di atas.40

c. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR)

ICCPR merupakan salah satu intrumen internasional

yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16

Desember 1966 dan berlaku efektif pada tanggal 23 Maret

1976. Secara mendasar hak-hak sipil dan politik ini

merupakan hak-hak yang bersumber dari martabat dan

melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati

keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati

hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sosial dan politik.

Pasca-disahkannya kovenan tersebut, negara-negara anggota

________________________ 40 Lihat, “Umat Islam juga Sulit Membangun Masjid”, dalam http://

www.berita2.com/nasional/umum/7070-umat-islam-juga-sulit-membangun-masjid.html, (Diakses pada tanggal 30 Maret 2011).

Page 176: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 165

PBB tidak hanya diminta untuk melakukan tandatangan

(baca: meratifikasi), bahkan meminta Sekretaris Jenderal

untuk mendesak negara-negara anggota untuk melaporkan

secara periodik mengenai kemajuan ratifikasi dan

mempersilakan berbagai pemerintah, organisasi non-

pemerintah, dan Sekretaris Jenderal untuk mengumumkan

teks kovenan seluas mungkin.41 Berkaitan dengan hal itu,

Indonesia, melalui UU No. 12 Tahun 2005, telah turut serta

menjadi bagian dari 192 states parties. Ditinjau dari tingkat

ratifikasi, maka dapat dikatakan bahwa kovenan ini memiliki

tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibanding

dengan perjanjian internasional HAM lainnya.

Sebagai sebuah produk deklarasi internasional, sudah

barang tentu nilai-nilai universalitas yang berbasis pada

humanisme (individualistik) sangat kental dalam

kandungannya. Artinya, tidak serta-merta jika kovenan

tersebut diaplikasikan dalam sebuah negara tertentu akan

relevan dengan akar budayanya, termasuk dalam hal ini

adalah Indonesia. Secara umum, memang terdapat kesesuaian

antara konstitusi dengan kovenan tersebut, tetapi tampaknya

terdapat beberapa poin yang dalam pandangan penulis

kurang sesuai dengan Pancasila. Salah satu bentuknya

terdapat dalam Pasal 18 ayat (1).

Secara sepintas, Pasal 18 ayat (1) tampak tidak memiliki

masalah dan sejalan dengan konstitusi, karena di dalamnya

sarat dengan muatan jaminan atas hak seseorang dalam

berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Namun demikian,

dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan kebebasan berkeyakinan dan beragama tersebut

termasuk pula kebebasan untuk tidak beragama (baca:

________________________ 41 Ahmad Suaedy (dkk.), Islam, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia:

Problematika Hak Kebebasan Beragama, dan Berkeyakinan di Indonesia, The Wahid Institute, Jakarta, 2009, hlm. 17.

Page 177: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

166 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

atheis).42 Sementara itu, dengan jelas disebutkan dalam

Pancasila bahwa Negara Indonesia pertama-tama berasaskan

“Ketuhanan yang Maha Esa”, selain memang secara sosio-

kultural keberagamaan dan/atau keberkeyakinan merupakan

bagian di dalamnya.43

d. Perda-perda Bernuansa Syariah

Sejak awal tahun 2000-an, isu formalisasi agama

menyeruak ke publik, meskipun ini bukan yang pertama

dalam sejarah Indonesia. Isu tersebut berbentuk apa yang

disebut dengan Peraturan Daerah (Perda) syariah Islam.

________________________ 42 Lihat, Komentar Umum 22 untuk Pasal 18, Komite HAM, 1993. 43 Kasus yang sama, dalam pandangan penulis, juga tampak pada Pasal 18

ayat (4), yang berbunyi: “Negara Pihak dalam Kovenanini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri”. Ayat ini memberikan kepada orangtua jaminan untuk menentukan dan menjamin pendidikan agama dan moral anak-anak mereka. Hal ini ditambahkan pada tahapan terakhir dalam perancangan. Hak ini merupakan bagian lingkup budaya dan sosial yang menjadi bagian dari kovenan mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, dan ada dalam kaitan dengan hak tentang pendidikan (Pasal 13 ayat [3]). Sebagai state parties, mestinya Indonesia membebaskan orangtua untuk memutuskan pendidikan agama dan moral apa yang ingin mereka berikan kepada anak-anak mereka. Negara jelas tidak berkewajiban untuk mengarahkan sekolah-sekolah umum untuk mengikuti keyakinan religius dan filosofis dari orang-orang tua.

Kovenan ini tidak mengatur bagaimana dan di mana pendidikan religius ataupun moral seharusnya diadakan, apakah sebaiknya di dalam sekolah atau luar sekolah. Negara juga tidak dituntut untuk mendanai pendidikan religius, tetapi hanya sebatas memberi toleransi apabila para orangtua ingin menyediakan atau mendanai sendiri pendidikan religius dan moral tersebut. Lihat, Karl Josef Partsh, “Kebebasan Beragama, Berekspresi, dan Kebebasan Kerpolitik”, dalamIfdhal Kasim (ed.), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, ELSAM, Jakarta, 2001, hlm. 246-247. Jika demikian pemahamannya, maka bagi penulisperundangan tersebut bertentangan dengan budaya bangsa, di mana masyarakat Indonesia, hingga saat ini, masih mendambakan pendidikan agama. Di samping itu, berkaitan dengan pilihan jenis agama di masyarakat masih mengenal dan mengidamkan kesamaan, meskipun dalam beberapa kasus tidak demikian halnya. Dengan kata lain, para orangtua masih menghendaki pendidikan keagamaannya anaknya dijamin dan diatur oleh pemerintah, dan penentuan pilihannya pun masih tergantung sama kehendak orangtua.

Page 178: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 167

Sejauh ini terdapat beberapa argumentasi yang bisa direkam

sebagai landasan adanya perda-perda bernuansa agama

(Islam). Pertama, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas,

namun sepanjang sejarahnya umat Islam (tepatnya, Islam

politik) belum pernah mengembalikan bangsa ini. Kedua, sejak

tahun 1997 Indonesia diterpa krisis multidimensi dan hingga

kini krisis itu belum dilalui dengan baik. Semua cara sudah

dicoba, tetapi ternyata Indonesia belum sembuh dari penyakit

“krisis”. Islam sebagai alternatif yang bisa mengobati krisis

multidimensi belum pernah dicoba, hingga sekaranglah

saatnya menerapkan sistem Islam itu. Ketiga, momentum

otonomi daerah memberi keleluasaan daerah untuk membuat

perda yang sesuai dengan karakteristik daerah. Keempat, para

perumus perda itu juga berlindung di balik konstitusi, Pasal

29 UUD 1945, di mana negara memberi jaminan kepada

warganya untuk beribadat menurut agama dan

keyakinannya. Singkatnya, perda bernuansa agama dianggap

sebagai bagian dari ekspresi kebebasan beribadat.

Saat buku ini disusun, tidak kurang dari 22 daerah

(kabupaten/ kota) telah menetapkan jenis perda bernuansa

agama. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)

pada dasarnya telah mempersoalkan puluhan perda yang

mayoritas bernuansa syariah. Perda-perda bermasalah

tersebut berjumlah hingga mencapai 96.44 Jenis-jenis perda

tersebut paling tidak dapat dipetakan menjadi empat

kategori.45 Pertama, jenis perda yang terkait dengan isu

________________________ 44 Kemenkumham, Peraturan Daerah yang Dipermasalahkan, dalam

http://www.kemenkumham.go.id, (Diakses pada tanggal 23 Februari 2011). 45 Klasifikasi ini menurut penulis lebih akomodatif daripada klasifikasi yang

dibuat oleh Ahmad Suaedy. Dalam karyanya, Perpektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Islam Demokrasi, Suaedy mengklasifikasi perda-perda syariah menjadi tiga jenis. Pertama, perda-perda yang berkaitan dengan isu keprihatinan publik (public order) atau pengaturan moral masyarakat, seperti perda anti perjudian, anti prostitusi, dan anti minuman keras. Kedua, perda-perda yang berkaitan dengan

Page 179: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

168 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

moralitas masyarakat secara umum. Meski menyangkut

moral, namun perda jenis ini sebenarnya menjadi concern

semua agama. Perda jenis ini, terutama diwakili oleh perda

anti pelacuran, perizinan yang ada hampir di semua daerah,

di mana istilah generiknya adalah perda anti kemaksiatan.46

Kedua, jenis perda yang terkait dengan fashion dan mode

pakaian lainnya seperti keharusan memakai jilbab dan jenis

pakaian lainnya di tempat-tempat tertentu. Perda jenis ini juga

banyak sekali muncul di berbagai daerah. Berbeda dengan

yang pertama, perda fashion ini jelas sangat tipikal Islam

sehingga orang akan dengan mudah mengidentifikasi sebagai

perda syariah Islam. Siapa pun akan mengatakan bahwa

dalam jilbab ada kepentingan untuk menunjukkan identitas

keislaman.47 Ketiga, jenis perda yang terkait dengan

________________________ keterampilan beragama dan kewajiban ritual keagamaan. Aturan ini seperti aturan tentang kewajiban baca al-Qur’an, membayar zakat dan sebagainya. Aturan ini spesifik ditujukan untuk orang Islam. Ketiga, perda yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan, seperti kewajiban memakai jilbab bagi perempuan dan baju koko bagi laki-laki pada hari Jumat. Ahmad Suaedy, Perpektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Islam Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2009, hlm. 146-147.

46 Lihat misalnya, Perda Kota Tangerang No. 08 Tahun 2005 Seri E, Perda Kota Bengkulu No. 24 Tahun 2000, Perda Provinsi Sumatera Barat No. 11 Tahun 2001, Perda Kota Bukittinggi No. 10 Tahun 2003, Perda Kota Solok No. 6 Tahun 2005, Perda Kab. Padang Pariaman No. 2 Tahun 2004, Perda Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002, Perda Kota Palembang No. 2 Tahun 2004, Perda Kab. Lahat No. 3 Tahun 2002, Perda Kota Bandar Lampung No. 15 Tahun 2005, Perda Kota Batam No. 6 Tahun 2002, Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005, Perda Kab. Indramayu No. 7 Tahun 1999, Perda Kab. Garut No. 6 Tahun 2000, Perda Kab. Tasikmalaya No. 28 Tahun 2000, Perda Kab. Purwakarta No. 10 Februari 2005, Perda Kab. Depok 28 April 2005, Perda Kab. Jember No. 14 Tahun 2001, Perda Kab. Gresik No. 7 Tahun 2002, Perda Kota Kupang No. 39 Tahun 1999, Perda Kota Banjarmasin No. 4 Tahun 2005, dan Perda Provinsi Gorontalo No. 6 Tahun 2003.

47 Seperti yang tergambar dalam Perda Kab. Lima Puluh Kota No. 5 Tahun 2003. Dalam Perda tersebut, salah satunya, siswi, diwajibkan “Memakai kerudung yang menutupi rambut telinga, leher, dan tengkuk serta dada”. Jika siswi bersangkutan tidak mengindahkan aturan tersebut, sanksi yang diberikan melalui tahapan; (1) ditegur secara lisan, (2) ditegur secara tertulis, diberitahukan kepada

Page 180: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 169

keterampilan beragama, seperti keharusan bisa baca tulis al-

Qur’an sebagaimana terdapat di Indramayu, Bulukumba

(Sulsel), dan sebagainya. Pada tingkat tertentu, perda

keharusan di Madrasah Diniyyah Awwaliyah dapat

digolongkan sebagai perda keterampilan beragama. Perda

jenis ini juga sangat tipikal dengan Islam sehingga tampak

sekali kepentingan Islam mendominasi munculnya perda

tersebut. Perda keterampilan baca tulis al-Qur’an dan

Madrasah Diniyyah ini dikaitkan dengan aktivitas lain.

Keterampilan baca tulis al-Qur’an menjadi syarat untuk nikah,

naik pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahkan untuk

memperoleh pelayanan publik. Sedangkan ijazah Madrasah

Diniyyah dijadikan syarat untuk dapat meneruskan jenjang

pendidikan yang lebih tinggi. Lulusan Sekolah Dasar (SD)

yang akan melanjutkan ke Sekolah Lanjut Tingkat Pertama

(SLTP) harus menyertakan ijazah MadrasahDiniyyah.48

Keempat, perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial

dari masyarakat melalui perda zakat, infak, dan sedekah.

Beberapa perda jenis ini antara lain Perda No. 12 Tahun 2005

________________________ orangtua, (4) tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran di sekolah, (5) dikeluarkan/dipindahkan dari sekolah. Sementara itu, pendidikan adalah hak bagi setiap warga, terlebih mereka yang berumur wajib belajar, bagimana mungkin kewajiban warga negara yang berupa belajar justru dipasung dengan sanksi dari pelanggaran terhadap perda yang dapat dikatakan justru kontraproduktif dengan konstitusi tersebut. Selain Perda Kabupaten Lima Puluh Kota tersebut adalah; Perda Kab. Agam No. 5 Tahun 2005; Perda Kab. Sawahlunto/Sijunjung No. 2 Tahun 2003; Perda Kab. Pasaman No. 22 Tahun 2003; Perda Kota Solok No. 6 Tahun 2002; Perda Kota Batam No. 6 Tahun 2002; Perda Kab. Enrekang No. 6 Tahun 2005; Perda Kab. Maros No. 15 Tahun 2005; dan Perda Bulukumba No. 5 Tahun 2003.

48 Lihat, misalnya, Perda Kab. Lima Puluh Kota No. 6 Tahun 2003, Perda Kab. Sawahlunto/Sijunjung No. 1 Tahun 2003, Perda Kab. Pasaman No. 21 Tahun 2003, Perda Kab. Pesisir No. 8 Tahun 2004, Perda Kota Solok No. 10 Tahun 2001, Perda Kota Padang No. 3 dan 6 Tahun 2003, Perda Kab. Banjarmasin No. 10 Tahun 2001 dan No. 4 Tahun 2004, Perda Kab. Enrekang No. 6 Tahun 2005, Perda Kab. Gowa No. 7 Tahun 2003, Perda Kab. Bulukumba No. 4 dan 90 Tahun 2003, dan Perda Kota Gorontalo No. 22 Tahun 2005.

Page 181: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

170 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

tentang Pengelolaan Zakat di Sukabumi, Perda No. 9 Tahun

2002 di Lombok Timur NTB, Perda No. 4 Tahun 2001 Tentang

Zakat, Infak, dan Sedekah di Cilegon dan lain sebagainya.49

Perda jenis ini merupakan respektasi aktual atas

pemberlakuan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan

Zakat Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi

undang-undang. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun

2004. Dalam kasus di Lombok Timur, sebagaimana dilansir

Rumadi, perda ini menuai protes dari para guru. Mereka

menolak zakat profesi dengan memotong sebanyak 2.5%

setiap bulan. Setelah terjadi gelombang demonstrasi para guru

di Lombok Timur, akhirnya perda ini dibekukan. Kemarahan

dan penolakan para guru ini bisa dipahami, karena gaji

mereka yang pas-pasan justru menjadi “sapi perahan”

birokrasi atas nama agama. Mereka ini sebenarnya lebih tepat

disebut sebagai mustaḥiq (orang yang berhak menerima zakat)

dan bukan muzakkī (orang yang wajib mengeluarkan zakat).50

2. Kerapuhan Aparatur Penegak Hukum dalam Mengawal Jaminan Kebebasan Beragama: Problem Struktur Hukum

Friedman dalam teori three elements law system, menyatakan

bahwa efektif atau tidaknya penegakan hukum salah satunya

________________________ 49 Perda-perda lain dalam kategori ini di antaranya adalah Perda Kab.

Pesisir Selatan No. 31 Tahun 2003, Perda Kab. Bukittinggi No. 29 Tahun 2004, Perda Kab. Solok No. 13 Tahun 2003, Perda Provinsi Banten No. 4 Tahun 2004, Perda Kab. Cilegon No. 4 Tahun 2001, Perda Kab. Serang No. 6 Tahun 2002, Perda Kab. Tangerang No. 24 Tahun 2004, Perda Kab. Cianjur No. 7 Tahun 2000, Perda Kab. Karawang No. 10 Tahun 2002, Perda Kab. Garut No. 1 Tahun 2003, Perda Kab. Bandung No. 9 Tahun 2005, Perda Kab. Lombok Timur No. 9 Tahun 2002, Perda Kab. Banjarmasin No. 9 Tahun 2003, Perda Kab. Maros No. 17 Tahun 2005, dan Perda Kab. Bulukumba No. 2 Tahun 2003.

50 Baca, Rumadi, “Mengawal Pluralisme di Tengah Kegamangan Negara”, dalam Ahmad Suaedy (dkk.), Op. Cit., hlm. 29.

Page 182: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 171

ditentukan oleh kuat tidaknya struktur hukum (legal structure),

yakni merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian

yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap

keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia

yang merupakan struktur dari sistem hukum adalah institusi dan

penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa, dan hakim. Dalam

kasus kebebasan beragama, penulis akan menggeneralkan

dengan istilah alat-alat negara, karena pada kenyataannya yang

merespons kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan

beragama bukan hanya empat elemen tersebut. Namun

demikian, dalam hal ini penulis tidak akan mengupas satu

persatu bagaimana fungsi dan tugas catur wangsa tersebut,

melainkan hanya akan melihat respons mereka dalam bentuk

tindakan, yang penulis klasifikasi dalam dua hal, yaitu tindakan

aktif (by commission) dan pembiaran (by omission).

Kategori pelanggaran tindakan represif dan pembiaran

dalam kerangka hukum kebebasan beragama merupakan bentuk

pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, karena negara

merupakan state parties yang terkait secara hukum maupun

terikat secara moral karena telah meratifikasi Kovenan

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, di mana Pasal 18

menegaskan tentang kewajiban negara menjamin kebebasan

beragama/berkeyakinan. Mengingat konstitusi Indonesia juga

menegaskan jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan

(Pasal 28E), negara juga dianggap telah melakukan pelanggaran

konstitusional atas jaminan hak konstitusional warga negara

untuk bebas beragama atau berkeyakinan, termasuk

menjalankan ritual ibadatnya. Dua kategori tersebut dapat

dicontohkan melalui klasifikasi yang dibuat oleh Setara Institute

dalam Laporan Kondisi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di

Indonesia 2008. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa di

tahun 2008 negara telah melakukan 99 pelanggaran tindakan

aktif yang dapat dikategorikan dalam 17 bentuk, sementara 89

Page 183: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

172 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

pelanggaran negara berbentuk tindakan pembiaran, yang dapat

diklasifikasi dalam dua bentuk, yakni pembiaran atas aksi

kekerasan dan pembiaran tidak memroses secara hukum atas

tindakan kriminal.

Pelanggaran tindakan aktif tersebut di antaranya

berjumlah 8 dalam bentuk pelarangan ibadat dan aktivitas

keagamaan. BupatiSukabumi, sebagai Aparatur Negara, pada

tanggal 29 April 2008 melarang aktivitas di enam tempat ibadat

Ahmadiyah di Sukabumi: Masjid al-Furqan Parakansalak; Masjid

Mubasirin di Kampung Ciletung Desa Lebak Sari Kec.

Parakansalak; Masjid Ar-Rahman di Kampung Cigombong, Desa

atau Kec. Warung Kiara; Masjid Al-Barokah di Kampung Panjalu

Desa Kerawang, Kec. Sukabumi; Masjid Al-Huda di Kampung

Bojong Lowa, Desa Sukamantri, Kec. Cisaat; dan Masjid Al-

Fadhol di Kampung Simpang Sangit, Desa Bojong Jengkol Kec.

Jampang. Pada tanggal 25 Juni 2008, Kejari Tasikmalaya

melarang Ahmadiyah melakukan salat Jumat dan mengadakan

kegiatan di masjid. Pada tanggal 10 Juni 2008, Wali Kota Cimahi

H. M. Itoh Tochija meminta agar Ahmadiyah di Kota Cimahi

menghentikan aktivitasnya dengan dalih tidak sesuai dengan

SKB. Wali Kota juga meminta Muspida di Kota Cimahi lebih

tegas dan melakukan tindakan nyata jika terjadi pelanggaran di

lapangan. Pada tanggal 19 Juli 2008, di Tangerang, Banten, Ketua

RT, Lurah, dan Camat Kec. Tangerang melarang warga

Ahmadiyah beribadat dan menghentikan secara paksa kegiatan

Jemaat Ahmadiyah Kec. Tangerang. Pada tanggal 30 April 2008

di Cianjur, Jawa Barat, Kapolsek Ciranjang Cianjur melarang

Jemaat Ahmadiyah melakukan ibadat secara berbeda. Pada

tanggal 14 Juni 2008, di Kalimantan Tengah, Kakanwil Depag

Kalimantan Tengah, H. Anshari meminta kepada Jemaat

Ahmadiyah agar menghentikan penyebaran keyakinannya. Pada

tanggal 25 Juni 2008, di Tasikmalaya, Kejari Tasikmalaya

Page 184: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 173

melarang Ahmadiyah melakukan salat Jumat dan kegiatan di

Masjid.

Pelanggaran tindakan pembiaran tersebut di antaranya

berjumlah 3 dalam bentuk pembakaran tempat ibadat. Pada

tanggal 13 Januari 2008 di Lombok Barat, NTB, terjadi

pembakaran Pura Sangkareang milik umat Budha. Pada tanggal

28 April 2008 terjadi pembakaran Masjid dan Madrasah Al-

Furqon milik JAI di Kampung Parakan Salak RT 02/RW 02 Desa

atau Kecamatan Parakan Salak, Kab. Sukabumi oleh Forum

Komunikasi Jam’iyatul Mubalighin (FKJM) Parakan Salak. Pada

tanggal 20 Mei 2008 di Purwakarta Jawa Barat, terjadi

pembakaran gedung sarana pendidikan dan rumah yang

difungsikan sebagai Gereja Jemaat Protestan.

3. Krisis Kepercayaan dan Minimnya Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum Kebebasan Beragama: Problematika Budaya Hukum

Yang dimaksud dengan budaya hukum (legal culture),

sebagaimana dikatakan di atas, adalah keterlibatan masyarakat

berkaitan dengan hukum, yang dalam hal ini adalah kebebasan

beragama. Keterlibatan masyarakat di dalam pelaksanaan

hukum memperlihatkan adanya hubungan antara budaya dan

hukum, sehingga ketaatan dan ketidaktaatan seseorang terhadap

hukum sangat dipengaruhi oleh budaya hukum. Budaya hukum

inilah yang menentukan sikap, ide-ide, nilai-nilai seseorang

terhadap hukum di dalam masyarakat. Keterlibatan masyarakat

di dalam pelaksanaan hukum kebebasan beragama tampak

dalam dua aspek, yakni sikap dan harapan. Berkaitan dengan

sikap, sebagaimana terlihat dalam perundang-undangan bahwa

terdapat perbedaan mendasar yang berpotensi memunculkan

tindakan berlebihan. Perbedaan tersebut terletak pada batasan

kebebasan. Di dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang

ratifikasiICCPR Pasal 18 ayat (1), kebebasan yang dimaksud

Page 185: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

174 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

adalah bebas dalam berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

Cakupan hak ini adalah menetapkan agama atau kepercayaan

atas pilihannya sendiri, dan untuk menjalankan agama dan

kepercayaannya dalam kegiatan ibadat, pentaatan, pengamalan,

dan pengajaran. Sebagaimana tersurat dalam Pasal 18 ayat (3),

kebebasan tersebut hanya dapat dibatasi oleh ketentuan

berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi

keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau

hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Mendekati hal

tersebut adalah UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 23 ayat (2).

Kebebasan dalam perundangan ini dibatasi oleh nilai-nilai

agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan

keutuhan bangsa. Berbeda dengan UU No. 1/PNPS/1965 Pasal

1, di mana di dalamnya justru melarang penafsiran dan kegiatan

yang dianggap menyimpang dari pokok ajaran agama. Persoalan

menyimpang dan tidak menyimpang dalam hal beragama atau

berkeyakinan adalah suatu keniscayaan, dan jika yang berhak

menentukan benar dan tidaknya suatu bentuk penafsiran

keagamaan atau kepercayaan adalah pihak tertentu, bukan

pemeluknya, sebagaimana tampak dalam penjelasan pasal demi

pasal, maka hal tersebut merupakan pembatasan yang justru

bertentangan dengan dua perundang-undangan sebelumnya.

Perbedaan batasan tersebut ditanggapi masyarakat secara

parsial dan kerap dijadikan legitimasi oleh masing-masing

kelompok untuk mengabsahkan tindakannya, yang cenderung

mengganggu hak dan kebebasan pihak lain dalam menjalankan

agama dan keyakinannya. Contoh yang kerap muncul adalah

kasus Ahmadiyah. Dengan menyandarkan diri pada UU No.

1/PNPS/1965, pihak MUI melalui fatwa tentang aliran sesatnya

mendesak kepada pemerintah untuk membubarkan organisasi

tersebut. Fatwa tersebut yang ditambah dengan penyandaran

pada UU No. 1/PNPS/1965 dijadikan legitimasi (baca:

dipersepsi) oleh banyak kelompok untuk melakukan (dalam

Page 186: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 175

bentuk) penyerangan secara brutal kepada pihak Ahmadiyah.

Bahkan, beberapa kepala daerah mengeluarkan Surat Keputusan

(SK) yang berisi tentang beberapa larangan beraktivitas bagi JAI,

seperti SK Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011.

Dengan keluarnya SK, yang disinyalir sebagai kepanjangan

tangan dari SKB No. 3/2008, Kep-033/A/ JA/6/2008 dan No.

199/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut,

Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah

Indonesia dan Warga Masyarakat, yang ditandatangani Menteri

Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9

Juni 2008, tersebut masyarakat kemudian beraksi dengan

beragam cara, menurunkan papan nama salah satu Kantor

Cabang Ahmadiyah di Madiun, misalnya.51

Hal yang sama juga terjadi di Pusat Jemaat Ahmadiyah

Jawa Timur, sebagaimana dilakukan oleh Polisi setempat.52

Demikian juga yang tampak pada demonstran anti Ahmadiyah

yang menyuarakan aspirasinya agar pemerintah membubarkan

Ahmadiyah tersebut dengan mentendensikan argumentasinya

pada UU No. 1/ PNPS/1965, sebagaimana yang terjadi di

Kuningan.53 Lain MUI dan masyarakat anti Ahmadiyah, lain pula

para aktivis HAM, dengan mentendensikan dirinya pada UU No.

12 Tahun 2005, mereka justru mengkritik terbitnya SKB dan

________________________ 51 http://www.seruu.com/index.php/2011030242453/utama/nasional/

penurunan-plang-ahmadiyah-uu-kalah-dengan-perda-42453/menu-id-691. html, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

52 http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/174700/1581502/466/ papan-nama-pusat-kegiatan-ahmadiyah-jatim-dicopot, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

53 Lihat, http://www.seruu.com/index.php/2011030242377/kota/ regional/maraknya-perda-anti-ahmadiyah-picu-aksi-massa-di-kuningan-42377/ menu-id-759.html;, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

Page 187: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

176 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Perda-perda turunan SKB tersebut, sebagaimana dilakukan oleh

Komnas HAM.54

Sementara itu, selaras dengan harapan masyarakat terkait

rasa keadilan yang didapatkan, sebagaimana di atas, bisa kita

ambil contohkasus Ahmadiyah. Pada saat munculnya SKB Tiga

Menteri, Ahmadiyah seharusnya mengajukan gugatan hukum,

karena secara jelas SKB tersebut kurang sesuai dengan semangat

konstitusi. Perihal peninjauan kembali terhadap perundang-

undangan pernah dilakukan oleh aktivis HAM, yakni

mengajukan peninjauan ulang atas UU No. 1/PNPS/1965 yang

mereka nilai bertentangan dengan semangat konstitusi, namun

pengajuan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.55

Demikian juga dengan kasus perda-perda larangan Ahmadiyah

untuk beraktivitas, sebagai organisasi yang terdaftar secara sah,

Ahmadiyah seharusnya melakukan peninjauan ulang atas perda-

perda tersebut, meskipun hingga buku ini dituliskan wacana

tersebut telah bergulir,56 meski dengan jelas banyak turunan

perundang-undangan diajukan untuk ditinjau ulang yang

ditolak dengan beragam alasan.

Budaya hukum di masyarakat pada dasarnya akan berjalan

dengan baik jika konsep civil society dapat tertanam dengan baik

dalam kehidupan bermasyakat. Sikap kaum Muslim awal yang

________________________ 54 http://www.komnasham.go.id/2010-10-03-02-09-01/66-hot-news/

647-komnas-ham-sk-larang-aktivitas-ahmadiyah-harus-dikaji-ulang-dengan-uu, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

55 Bagi MK, para pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya terkait permohonan pengujian formil maupun keseluruhan permohonan pengujian materiil. Pertentangan norma antara Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3, serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tidak terbukti menurut hukum. Karena itu, MK memutuskan untuk menolak permohonan para pemohon secara keseluruhan. Telusuri lebih lanjut dalam, MK, Op. Cit., hlm. 306.

56 Lihat, http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/205935/1581618/ 466/ ahmadiyah-akan-gugat-keputusan-gubernur-jatim. (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

Page 188: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 177

tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat

dapat dijadikan pedomannya. Mereka tidak meninggalkan dunia

untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk

dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawaṣṣuṭ) dalam mengejar

kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada

masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini,

maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

Dalam konteks negara, selain dianggap memiliki kapasitas

sebagai kekuatan penyeimbang (balancing force) dari

kecenderungan-kecenderungan dominatif dan intervensionis

negara, civil society juga dinilai mampu melahirkan kekuatan

kritis reflektif (reflective force) di dalam masyarakat. Itulah

sebabnya civil society dianggap sebagai sebuah prasyarat menuju

kebebasan (condition of liberty). Kebebasan di sini dapat diartikan

sebagai kebebasan dari (freedom from) segala dominasi dan

hegemoni kekuasaan, dan kebebasan untuk (freedom for)

berpartisipasi dalam berbagai proses kemasyarakatan secara

sukarela dan rasional.57 Dalam konteks kehidupan berbangsa

dan bernegara, kebebasan tersebut tentu hanya bisa terwujud

dalam suatu sistem kekuasaan yang demokratis.58 Masyarakat

dalam konsep civil society adalah masyarakat yang “biasa-biasa”

saja, dan karenanya tidak lepas dari kontradiksi internal. Hal itu

terjadi karena di dalamnya terdapat masalah-masalah kelas,

entitas, dan juga gender, yang—pada titik tertentu—berpotensi

merusak civil society.

________________________ 57 Lihat dalam Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju

Kebebasan, Mizan, Bandung, 1995. 58 Khusus dalam hubungannya dengan negara, paling tidak civil society dapat

melakukan salah satu dari tiga fungsi pokoknya. Pertama, civil society berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dari perilaku negara yang cenderung hegemonik, otoritarian, dan represif. Kedua, jika negara tidak hegemonik, civil society muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan publik. Ketiga, bila kehidupan publik telah diakomodasi secara baik oleh negara, maka civil society dapat memainkan fungsinya secara komplementer, di mana ia muncul untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.

Page 189: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

178 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Dalam konsep civil society, permasalahan-permasalahan di

atas bukan untuk dihindari, tetapi yang diinginkan dari realitas

itu adalah adanya kemampuan untuk melakukan tawar-

menawar lewat dialog antar unsur tersebut dalam suatu ruang

publik yang bebas (free public sphere). Dengan demikian, konflik-

konflik yang inhern di sana tidak untuk dirusak tapi dapat

diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme yang bersifat setara.

Paling tidak, terdapat empat sebab internal yang bisa ditunjuk

mengapa kohesivitas antar elemen masyarakat belum

maksimal.59 Pertama, masih belum terciptanya solidaritas yang

kuat antar elemen progresif dalam civil society, karena masih

belum pudarnya pengaruh primordialisme atau trauma masa

lalu. Antar kelompok agama, etnis, dan kelompok masih

cenderung tercipta kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan.

Kedua, belum terlihat jelas adanya platform umum (common

platform) yang bisa dipakai oleh kelompok pekerja demokrasi

secara bersama-sama. Isu-isu yang dibangun belum benar-benar

dimuarakan untuk kepentingan bersama, tetapi hanya sekadar

simbolisme dan penonjolan kelompoknya masing-masing.

Ketiga, masih lemahnya kepemimpinan dalam civil society—

secara kualitatif maupun kuantitatif—yang mampu menandingi

pengaruh aparat negara. Kelima, masih kuatnya orientasi elitis

dalam kelompok pekerja demokrasi sehingga belum mampu

menggalang simpati massa. Isu-isu yang dibangun banyak yang

mubazir, karena bahasa dan logika yang digunakan sangat elitis

dan cukup jauh dengan tingkat pemahaman dan kesadaran

psikologis massa bawah.

Dalam civil society, warga negara bekerjasama membangun

ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan

yang bersifat non-governmental untuk mencapai kebaikan

bersama (public good). Karena itu, tekanan sentral civil society

________________________ 59 Muhammad A.S. Hikam, Op. Cit., hlm. xiii.

Page 190: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 179

terletak pada independensinya terhadap negara (vis a vis the

state). Dari sinilah kemudian civil society dipahami sebagai akar

dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi.

Hubungan antara civil society dengan demokrasi (demokratisasi),

sebagaimana dikemukakan oleh Dawam Raharjo, ibarat dua sisi

mata uang yang bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam civil society

yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan

hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat

berkembang secara wajar.

Metafor tentang hubungan antara civil society dengan

demokrasi juga dikemukakan oleh Nurcholish Madjid.

Menurutnya, civil society merupakan ‘rumah’ persemaian

demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum

(pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak hanya

bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus memiliki

“rumah”, maka rumahnya adalah civil society.

Dalam konteks keterkaitan antara civil society dengan

demokratisasiini, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan

bahwa terdapat enam kontribusi civil society terhadap proses

demokratisasi. Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya

politik, ekonomi, kebudayaan, dan moral untuk mengawasi dan

menjaga keseimbangan pejabat Negara. Kedua, pluralisme dalam

civil society, bila diorganisasi akan menjadi dasar yang penting

bagi persaingan demokratis. Ketiga, memperkaya partisipasi

politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat,

ikut menjaga stabilitas negara. Kelima, tempat menggembleng

pimpinan politik. Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter

dan mempercepat runtuhnya rezim. Lebih jauh, Diamond

menegaskan bahwa suatu organisasi betapapun otonomnya, jika

ia menginjak-injak prosedur demokrasi—seperti toleransi, kerja

sama, tanggung jawab, keterbukaan dan saling percaya—maka

Page 191: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

180 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

organisasi tersebut tidak akan mungkin menjadi sarana

demokrasi.60

Dengan demikian, kebebasan beragama di negara ini hanya

akan terwujud jika demokrasi telah benar-benar berjalan dengan

baik. Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengutip

pertanyaan ganda yang diajukan oleh M. `Ābed al-Jābirī,61

adalah: Mungkinkah demokrasi tegak di tengah masyarakat

yang tidak civilized (madani)? Mungkinkan civil society dapat

ditegakkan di dalam sistem yang tidak demokratis? Dua

pertanyaan tersebut menjadi dasar dalam mengaktualisasikan

dan mewujudkan masyarakat yang bebas beragama sebagai

salah satu kondisi yang mesti ada dalam sebuah tatanan

masyarakat, dan lebih jauh tatanan negara, yang demokratis.

Dengan kata lain, untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat

yang bebas beragama dalam konteks civil society, prasyarat yang

terlebih dahulu dipenuhi adalah teraktualisasinya demokrasi

secara menyeluruh dalam sebuah negara.

Apa yang telah tergambar dalam tiga aspek tersebut

menunjukkan betapa problem kebebasan beragama di Indonesia

ini sangat mendesak untuk segera diselesaikan. Jika problem

tersebut dibiarkan berlarut-larut sudah barang tentu akan

mengganggu jalannya proses pembangunan. Tidak hanya itu,

pembiaran yang berkelanjutan tersebut bisa jadi akan

mengancam stabilitas Pemerintahan, dan bahkan eksistensi

negaranya, karena—diakui atau tidak—persoalan agama adalah

persoalan sensitif yang tidak serta-merta dapat diselesaikan

dengan mudah oleh suatu negara.

________________________ 60 A. Ubaidillah (dkk.), Op. Cit., hlm. 152. 61 M. `Ābed al-Jābirī, “Problem Demokrasi dan Civil Society di Negara-

Negara Arab” dalam Bernard Lewis, et. al., Islam, Liberalisme, Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Paramadina, Jakarta, 2002, hlm. 233.

Page 192: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 181

D. Proses dan Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Indonesia adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan

dalam hal menerima dan mengakui kebebasan beragama,

bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan

mengikat. Namun demikian, sebagaimana kerap diungkap di

muka bahwa kemapanan konseptual tersebut tidak sejalan

dengan produk regulasi turunannya dan realitas pandangan

masyarakat, termasuk intelektual Muslimyang berkaitan dengan

fatwa MUI tentang aliran sesat keagamaan.

Buku ini hendak melakukan rekonstruksi ragam problem

tersebut agar sejalan dengan konsep normatifnya, Pancasila.

Artinya, objek rekonstruksi ini adalah ketidaksepahaman

sebagaian masyarakat berkaitan dengan konsep kebebasan

beragama kaitannya dengan fatwa MUI tentang aliran sesat di

Negara Hukum Indoneisa. Adapun basis rekonstruksinya adalah

nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menjadi salah

satu nilai fundamental Pancasila.

Pemilihan nilai dari Pancasila sebagai basisnya ini lebih

disebabkan karena secara filosofis ia merupakan serapan dari

ragam unsur atas konsep-konsep, yang beberapa elemen pokok

partikularnya bertentangan. Sebagai sebuah titik temu dari

beragam unsur, Pancasila—dalam pandangan Mahfud MD.—

sebenarnya merupakan perwujudan dari konsep prismatik.

Sebagai konsepsi prismatik, Pancasila mengandung unsur-unsur

yang baik dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang

sudah hidup di kalangan masyarakat selama berabad-abad.

Dengan demikian, paling tidak, ada dua hal yang dapat

dijadikan pertimbangan dalam menyusun konsep kebebasan

beragama dengan basis prismatik ini. Pertama, memuat unsur

yang baik dari pandangan kolektivisme, yang berbasis pada

Page 193: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

182 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

ideologi partikular-absolut, dan individualisme, yang berbasis

pada ideologi universal-absolut. Sebagai sebuah bangsa,

Indonesia memiliki akar sosio-kultural yang sangat plural.

Pluralitas tersebut kentara pada beragamnya suku dan budaya.

Namun demikian, pluralitas tersebut dapat disatukan dalam

semboyan, “Bhineka Tunggal Ika”. Artinya, semboyan tersebut

menjadi garis penghubung dari unsur-unsur yang berbeda

tersebut. Kedua, Indonesia adalah Negara Hukum yang

menganut paham religious nation state, dalam arti bukan negara

agama dan bukan pula negara sekuler. Sehingga, aturan

mengenai keberagamaan dan/atau keagamaan dapat

dikonstruksi dalam bingkai hukum yang berdasarkan filosofi

bangsa, Pancasila, bukan agama. Dua hal tersebut dapat

disederhanakan dalam ragaan sebagai berikut:

Ragaan. 4.3. Konsep Kebebasan Beragama Prismatik

a

Hal demikian itu pada dasarnya tampak jelas dalam sila

pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai

rechtsidee konsep kebebasan beragama di Indonesia—

Kecenderungan:

Mengutamakan

kepentingan

kolektif

Kecenderungan:

Mengutamakan

kepentingan

individualisti

Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia

(Religious Nation State) “Bhineka Tunggal Ika”

Existing: - Eksklusif - Berbasis

partikular-absolut

Existing: - Liberal - Berbasis

universal-absolut

NILAI KEMANUSIAANJ

YANG ADIL DAN BERADAB

Page 194: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 183

sebagaimana telah diungkap sebelumnya—nilai dasar yang

termuat di dalamnya tidak hanya berdimensi teologis, tetapi juga

politis. Implikasinya adalah bahwa nilai dasar itu menuntut

orang untuk mengembangkan sikap saling menghormati dan

bekerjasama antar-pemeluk agama dan/atau kepercayaan yang

beragam terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta tidak

memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

Berikut gambaran dialektika dua persepsi di atas beserta proses

prismatiknya, sehingga menjadi bahan pertimbangan konstruksi

baru konsep kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia:

Tabel 4.5. Dialektika Kondisi Existing Problem Kebebasan Beragama di

Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi Intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat

Titik Perbedaan Kolektivisme Individualisme Bentuk Persepsi Eksklusif Inklusif-Liberal Basis Nilai Agama Humanisme Basis Ideologi Partikular-Absolut Universal-Absolut Dasar Legitimasi

UU No. 1/PNPS/ 1965

UU No. 12 Tahun 2005

Pandangan atas Fatwa MUI tentang Aliran Sesat berkaitan dengan Kebebasan Beragama

1. Pemerintah harus melindungi agama dan pemeluknya.

2. Aliran sesat bukan termasuk bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari HAM).

3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat

1. Pemerintah harus melindungi pemeluk agama dan pengikut suatu keyakinan (aliran kepercayaan), bukan agama dan keyakinan itu sendiri.

2. Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari HAM).

3. Semua aliran atau keyakinan adalah

Page 195: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

184 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

bukan bagian dari hak kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM, justru ia telah melanggar HAM.

4. Kebenaran tafsir keagamaan dapat ditentukan secara kolektif (mainstream).

bagian dari hak kebebasan beragama yang merupakan bagian dari HAM.

4. Tafsir keagamaan tidak memiliki kebenaran mutlak, artinya ditentukan oleh keyakinan individu.

5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, memang bersifat legal opinion tetapi karena kolektivitasnya maka kebenarannya bersifat mutlak.

6. Berkaitan dengan kasus persekusi, aliran sesatlah yang menjadi pemicunya

5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, bersifat legal opinion. Karena itu, ia sejajar dengan bentuk tafsiran lain yang mungkin bertentangan.

6. Berkaitan dengan kasus persekusi, aliran sesat bukan sebagai pemicunya

Konsekuensinya Pemerintah harus tegas untuk membubarkan dan melarang aliran yang dianggap sesat oleh MUI.

Pemerintah harus menindak tegas para pelaku persekusi, dan wajib melindungi para penganut suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat oleh MUI.

Page 196: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 185

Tabel 4.6. Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi Intelektual

Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat

Bentuk Persepsi Inklusif-Moderat Basis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

(Pancasila) Basis Ideologi Universal-Relatif Dasar Legitimasi UUD 1945 Pandangan atas Fatwa MUI tentang Aliran

1. Pola perlindungan dan penjaminannya ditekankan pada pemeluk agama atau penganut suatu keyakinan (aliran kepercayaan

Sesat berkaitan dengan Kebebasan Beragama

beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam batasan-batasan tertentu.

2. Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM, selama ia secara konstitusional dapat dikatakan demikian.

3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat dapat dikatakan melanggar hak kebebasan beragama yang merupakan bagian dari HAM jika memang secara konstitusional dapat dikatakan demikian.

4. Tafsir keagamaan memang tidak memiliki kebenaran yang bersifat mutlak, akan tetapi tidak serta-merta kemudian seseorang dengan bebas melakukan penafsiran dengan tanpa metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, bersifat legal opinion dan bisa menjadi referensi dalam menentukan kebijakan kasus aliran sesat, tetapi bukan merupakan satu-satunya referensi. Berkaitan dengan kasus persekusi, jika secara konstitusional pelakunya dapat dikatakan melanggar hukum, baik itu dari pihak aliran yang dianggap sesat maupun pelaku

Page 197: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

186 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

persekusi, maka keduanya bisa jadi dikatakan sebagai pemicu.

Konsekuensi Pembentukan regulasi turunan yang dapat mengakomodasi jaminan perlindungan atas individu pemeluk agama atau penganut suatu keyakinan aliran kepercayaan) beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam batas-batas tertentu yang selaras dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah konsekuensi bagi pemerintah.

Batasan-batasan yang dimaksud dalam tabel 4.6.

contohnya adalah apa yang diistilahkan dengan blashphemy.62 Hal

demikian menjadi lazim karena, sebagaimana telah dikatakan

sebelumnya, Indonesia adalah Religious Nation State63 dan

didasarkan atas hukum yang berisi nilai-nilai Pancasila, bukan

________________________ 62 Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

blashphemy adalah; “Any oral or written reproach maliciously cast upon God, His name, attributes, or religion…. In English law, blashphemy is the offense of speaking matter relating to God, Jesus Christ, the Bible, or the Book of Common Preyer, intended to wound the feelings of mankind or to excite contempt and hartred against the church by law established, or to promote immorality”. Hanry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1990, hlm. 171. Artinya, agama dan seperangkatnya dapat dilindungi oleh negara hanya dalam batasan untuk tidak direndahkan dalam bentuk penghinaan. Sementara itu, pada wilayah penafsiran keagamaan, negara tidak memiliki hak untuk mengaturnya. Di samping karena secara fundamental agama memang berpotensi untuk ditafsiri secara beragam, juga tidak akan ditemukannya general terminology yang akomodatif dari ragam perbedaan dalam dunia penafsiran. Mendekati pola semacam itu adalah pandangan Kaelan, menurutnya regulasi tentang kebebasan beragama harus bertumpu pada jaminan perlindungan atas pemeluk keyakinan atau agama sekaligus institusi keyakinan atau keagamaan itu sendiri. Berkaitan dengan tafsir keagamaan, Kaelan berpandangan bahwa hal tersebut menjadi sah selama tidak dianggap menghina institusi keyakinan atau keagamaan lain. Wawancara dengan Kaelan, Guru Besar UGM, di Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 2011. Bandingkan dengan, Barda Nawawi Arif, Op. Cit., hlm. 65-66.

63 Hal senada juga diungkapkan oleh Amidhan, Pihak Terkait, dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada hari Kamis, 4 Februari 2010 di Gedung MK Jakarta.

Page 198: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 187

agama. Sementara itu, kenyataan yang ada adalah bahwa produk

regulasi turunan tentang sosial-keagamaan satu sama lain

tampak kontraproduktif, dan bahkan kontradiktif. Sehingga, re-

evaluasi dan harmonisasiadalah konsekuensinya. Agenda

tersebut dapat dijalankan secara konsisten mengacu pada

Pancasila yang telah menggariskan empat kaidah penuntun

hukum nasional. Kaidah-kaidah ini tidak terlepas dari

kedudukan Pancasila yang menjadi citra hukum (rechtsidee) dan

merupakan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia.

Berkaitan dengan konsep kebebasan beragama, maka kaidah-

kaidah penuntun itu dapat dijabarkan dalam bentuk:

1. Hukum kebebasan beragama di Indonesia bertujuan dan

menjamin integrasi bangsa. Konsep hukum tersebut tidak

boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya

disintegrasi bangsa.

2. Hukum kebebasan beragama di Indonesia dirumuskan

dengan pola yang selaras dengan cita pembangunan

demokrasi dan nomokrasi. Konsep hukum tersebut tidak

dibuat berdasar paradigma keagamaan mainstream semata,

tetapi juga mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang

benar.

3. Hukum kebebasan beragama di Indonesia diproduk dalam

rangka membangun keadilan sosial. Tidak bisa dibenarkan

jika produk hukum tersebut berpotensi mendorong atau

membiarkan terjadinya jurang sosial karena eksploitasi oleh

golongan mainstream terhadap minoritas tanpa perlindungan

Negara. Selain itu, konstruksi hukum kebebasan beragama

juga diarahkan untuk menjaga agar minoritas tidak dibiarkan

menghadapi sendiri pihak mainstream yang sudah pasti akan

selalu dimenangkan oleh yang mainstream.

Hukum kebebasan beragama di Indonesia diproduk dalam

rangka membangun toleransi beragama dan berkeadaban.

Konsep hukum tersebut tidak boleh mengistimewakan atau

Page 199: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

188 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

mendiskriminasi kelompok tertentu berdasar besar atau

kecilnya pemeluk agama dan/atau keyakinan (yang

mendasarkan pada satu agama atau keyakinan tertentu) dan

bukan negara sekuler (yang tidak peduli atau hampa spirit

keagamaan). Konsep hukum negara tidak dapatmewajibkan

berlakunya hukum agama, tetapi negara memfasilitasi,

melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan

melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan

kesadarannya sendiri.

Dalam menyusun aturan soal agama, kaidah pertama dan

keempat di atas mesti diperhatikan, karena hukum Indonesia

bertujuan dan menjamin integrasi bangsa, dan pada saat

bersamaan membangun toleransi beragama serta berkeadaban.

Harus disadari, agama dalam arti keyakinan secara fundamental

merupakan wilayah privat, sehingga negara memiliki

kewenangan untuk mengaturnya hanya dalam batas-batas

tertentu atas kepentingan ketertiban sosial, bukan kepentingan

agama itu sendiri. Sehingga, pengaturan terbatas pada bagimana

masing-masing orang mengekspresikan keyakinannya supaya

tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. Aturan hukum

sebaiknya hanya mengatur kehidupan bersama, interaksi, dan

interelasi antar warga negara yang berbeda agama dan/atau

kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara. Artinya, hukum diproduk bukan dalam rangka

mengatur kegiatan dan keagamaan secara individual dan

internal komunitas pemeluk agama, apalagi mengatur kegiatan

keagamaan yang terkait dengan pengalaman, sakralitas, dan

ritualitas menurut keyakinan masing-masing agama atau suatu

keyakinan. Tidak boleh, misalnya, negara membuat aturan

hukum yang mewajibkan sesuatu yang sudah diwajibkan oleh

agama atau suatu keyakinan, atau sebaliknya melarang sesuatu

yang sudah jelas-jelas dilarang agama atau suatu keyakinan.

Page 200: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 189

Selain itu, nilai-nilai humanitas juga mesti terkandung di

segala produk hukum. Bertolak dari gagasan hukum progresif

Satjipto Rahardjo—sebagaimana telah diungkap dalam kerangka

pemikiran—maka diproduknya sebuah hukum ditujukan untuk

manusia, dalam arti bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak

dan final. Sehingga, diproduksinya hukum kehidupan beragama

tetap menjunjung nilai-nilai humanitas. Jika suatu produk

hukum berkaitan dengan hal tersebut kurang dianggap relevan,

UU No. 1/PNPS/1965 misalnya, maka pihak berwenang

mestinya tidakgamang untuk merevisinya. Karena, segala

produk hukum sejatinya selalu berada pada status “law in the

making”, yakni selalu berproses dan menjadi.

Bertolak dari ragam persoalan dan kerangka prismatika

tersebut, maka konsep kebebasan beragama di Negara Hukum

Indonesia dapat dirumuskan dalam pola jaminan perlindungan

atas hak kebebasan berkeyakinan dan beragama serta keyakinan

dan agama itu sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan

yang adil dan beradab. Dengan pola semacam ini, tidak bisa

dengan serta-merta seseorang memaksakan kehendak keyakinan

atau keberagamaannya kepada orang lain, termasuk dalam hal

penafsiran. Seseorang juga tidak bisa dengan sesuka hati

melakukan penghinaan terhadap suatu agama atau keyakinan,

termasuk pula ritus-ritus yang menyertainya. Selain itu,

seseorang juga dilarang untuk mengganggu prosesi upacara

suatu agama atau keyakinan, apalagi melakukan perusakan-

perusakan terhadap tempat-tempat peribadatan keagamaan atau

suatu keyakinan. Pola semacam ini dapat disederhanakan dalam

ragaan sebagai berikut:

Page 201: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

190 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

Ragaan. 4.4. Konsep Kebebasan Beragama Prismatik di Negara Hukum

Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

HAM PANCASILA Universalisme

Universali-Absolut

Antroposentris

Individualisme

Partikularisme

Partikular-Absolut

Theosentris

Kolektivisme Universal-Relatif

Theo-Antroposentris

Humanistik

Bhineka Tunggal Ika

LARANGAN: 1. Menghina suatu agama

atau keyakinan, termasuk hal-hal yang terkait di dalamnya.

2. Menghasut seseorang untuk meniadakan keyakinan terhadap Tuhan

3. Melakukan persekusi terhadap suatu agama atau keyakinan, baik fisik maupun mental.

4. Mengganggu upacara-upacara agama atau keyakinan.

5. Merusak tempat-tempat peribadatan suatu keagamaan atau keyakinan.

Ketuhanan YME Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

PASAL 28 DAN 29 UUD 1945

Regulasi

KEWAJIBAN: 1. Menghormati hak

kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan.

2. Menghormati agama atau keyakinan orang lain.

3. Menghormati keberadaan tempat-tempat peribadatan termasuk rutus dan upacara agama atau keyakinan.

HAK: 1. Berpikir dan berpendapat terkait

persoalan agama atau keyakinan.

2. Memeluk agama atau keyakinan. 3. Mendapatkan jaminan atas

kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan

4. Menjadapatkan jamian atas kepemelukan seseorang terhadap agama atau keyakinan.

5. Mendapatkan perlindungan atas keagamaan atau keyakinan seseorang

6. Mendapatkan perlindungan atas tempat-tempat peribadatan, termasuk ritus dan upacara-upacara keagamaan atau keyakinan, yang dimiliki.

Page 202: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 191

Terkait dengan kehidupan beragama, penulis

merekomendasikan lima agenda besar sebagai solusi dari

problem utama kebebasan beragama di Negara Hukum

Indonesia. Lima agenda tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perbaikan dan harmonisasi produk-produk hukum,

perundang-undangan tentang kebebasan beragama. Produk

hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat

Pancasila yang secara eksplisit sudah memberi dasar

bagiperlindungan dan jaminan, termasuk pula re-evaluasi

dan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan dalam kovenan

internasional tentang kebebasan beragama, baik dari segi

materinya itu sendiri maupun tentang kelembagaan dan

peradilannya.

2. Melakukan inventarisasi, mengevaluasi, dan mengkaji

seluruh produk hukum, yang berlaku dan kurang sesuai

dengan semangat Pancasila. Ada beberapa pasal dalam

berbagai peraturan perundang-undangan yang kurang

sesuai dengan semangat Pancasila.

3. Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-

instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan

penegakan supremasi hukum dan perlindungan kebebasan

beragama. Sebagaimana tampak dalam pembahasan

problematika hukum kebebasan beragama, rendahnya

kapasitas sistem peradilan juga turut andil dalam

meningkatnya kasus pelanggaran kebebasan beragama di

Indonesia.

4. Sosialisasi dan pemahaman tentang konsep kebebasan

beragama dengan basis Pancasila itu sendiri, khususnya di

kalangan pemerintah, utamanya di kalangan instansi yang

secara langsung maupun tidak langsung bersentuhan dengan

masalah kebebasan beragama. Sosialisasi pemahaman ini

terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam

melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat

Page 203: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

192 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama

pemerintah dalam mengurusi dan berurusan dengan

masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin

tinggi ini disebabkan, antara lain karena mereka umumnya

kurang dapat melaksanakan rambu-rambu

profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun

aparat keamanan.

Kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan yang

memiliki kepedulian tinggi terhadap penegakan hukum

kebebasan beragama. Langkah ini juga dirancang guna

mensosialisasikan pemahaman tentang kebebasan beragama

secara merata di dalam masyarakat. Karena, diakui atau tidak,

munculnya konflik keagamaan di tengah masyarakat juga kerap

dilandasi dengan pengetahuan yang dangkal tentang kebebasan

beragama.

Namun demikian, perlu menjadi titik tekan, betapapun

produk hukum dianggap mapan, kebebasan beragama tidak

akan teraplikasikan jika sektor aparatur penegak hukum dan

budaya masyarakatnya belum siap. Sebaliknya, betapapun

produk hukum tidak dianggap mapan, tetapi jika budaya

masyarakatnya sangat mapan, maka kebebasan beragama akan

berjalan dengan sendirinya secara sempurna. Dengan kata lain,

problem kebebasan beragama sesungguhnya dengan sendirinya

akan teratasi jika civil society telah membumi dalam kehidupan

masyarakat.

Page 204: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 193

Penutup

Kebebasan beragama dan keyakinan (freedom of religion and

belief) merupakan salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia

(HAM) yang secara kodrati melekat pada diri manusia serta

bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu, ia harus

dilindungi, dihormati, dipertahankan, serta tidak boleh

diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. Hak ini

selain tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM), terdapat juga dalam berbagai dokumen historis

HAM lainnya, seperti dokumen Magna Charta (1215), Bill of Rights

England (1689), Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA

(1791), Rights of Russian People (1917), dan International Bill of

Rights (1966). Pada perkembangannya, kebebasan ini kemudian

lebih rinci diatur dalam Pasal 18, 20 ayat (2), dan Pasal 27

Instrumen InternationalCovenant on Civil and Political Rights

(ICCPR).

Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap penjaminan

kebebasan beragama dan berkeyakinan tampak semakin

mengalami kemajuan secara signifikan setelah era reformasi,

terutama setelah amandemen Undang-Undang Dasar (UUD)

1945. Pada amandemen kedua UUD 1945, Majelis

Page 205: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

194 Bab V: Penutup

Permusyawaratan Rakyat (MPR) memasukkan satu bab yang

secara khusus memberi landasan penjaminan HAM bagi setiap

warga negara, yakni BAB XA. Pada bab ini, terdapat sepuluh

pasal tentang HAM yang hampir seluruhnya mengadopsi

prinsip-prinsip DUHAM dan ICCPR. Salah satu hak asasi yang

diatur dalam bab ini menyangkut hak kebebasan beragama dan

keyakinan bagi setiap warga negara, seperti yang diatur dalam

Pasal 28E UUD 1945. Pasal ini menegaskan tentang cakupan hak

kebebasan beragama dan (ber)-keyakinan—yakni hak untuk

memeluk agama, hak untuk menganut satu keyakinan, dan hak

untuk beribadat menurut agama dan keyakinannya.

Konsekuensinya, setiap warga negara memiliki hak yang sama

dalam ketiga aspek tersebut. Jaminan konstitusi mengenai hak-

hak tersebut diperkuat oleh beberapa peraturan perundang-

undangan di bawah UUD 1945, antara lain Undang-Undang

(UU) No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 4, Pasal

12, dan Pasal 22. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, yakni dalam Pasal 6 dan Pasal 43 ayat (1), UU No. 12 Tahun

2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik atau

ICCPR, terutama yang diatur dalam Pasal 18, 20, dan 27.

Ratifikasi terhadap ICCPR yang dilakukan oleh

Pemerintah Indonesia ini bukan sekadar sebagai bentuk

pengadopsian prinsip internasional hak sipil dan politik ke

dalam hukum nasional, melainkan juga sebagai ratifikasi yang

membawa Indonesia ke dalam suatu kedudukan dan kewajiban

tertentu. Dengan ratifikasi tersebut, berarti Pemerintah Indonesia

memutuskan kebijakannya untuk menempatkan dirinya dalam

pemantauan badan internasional, khususnya terkait hak sipil dan

politik.

Hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama

(right to freedom of thought, conscience, and religion) merupakan

salah satu hak yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apa pun

(non-derogable rights). Ini berbeda dengan kebebasan menjalankan

Page 206: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 195

agama atau keyakinan yang dapat dibatasi (derogable rights),

karena hak ini berkaitan dengan hak-hak orang lain. Meskipun

pembatasan kebebasan beragama sudah diatur secara jelas, yakni

untuk melindungi lima keamanan yang diperlukan oleh

masyarakat, di dalam UUD 1945 Pasal 28J ditambah satu aspek

lagi, yakni meletakkan kesesuaian dengan moral dan nilai-nilai

agama sebagai pertimbangan. Pasal inilah yang kemudian

dipersoalkan oleh pembela HAM universal-absolut, kaitannya

dengan moral seperti apa serta nilai-nilai apa saja dari agama itu

yang dijadikan pertimbangan. Problematika pertimbangan

dalam pembatasan seperti ini dapat dipahami, karena bagi

pembela HAM universal-absolut yang terpenting adalah

melindungi individu-individu pemeluk agama atau

keyakinannya, bukan pada agama atau suatu keyakinan yang

dipeluk atau dianut. Berbeda dengan pandangan tersebut, bagi

sebagian masyarakat yang lain pembatasan seperti itu masih

dimungkinkan sepanjang diatur oleh undang-undang, semata-

mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi rasa keadilan sesuai

dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama.

Jika cara pandang yang digunakan adalah perspektif

sebagian masyarakat yang menyetujui adanya pertimbangan

tersebut, maka Pasal 28J UUD 1945 sesungguhnya sejalan dengan

berbagai instrumen internasional yang telah diratifikasi

Pemerintah Indonesia. Pola pemikiran demikian berimplikasi

pada cara pandang terhadap UU No. 1/PNPS/1965 sebagai salah

satu pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang.

Dengan adanya peluang yang diberikan oleh Pasal 28J tersebut,

maka UU No. 1/PNPS/1965 tidak bertentangan dengan UUD

1945.

Sebagaimana tampak pada namanya, UU No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama,

semula adalah Penetapan Presiden (PNPS) yang dikeluarkan

Page 207: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

196 Bab V: Penutup

tahun 1965. Pada perkembangannya, PNPS tersebut ditetapkan

menjadi undang-undang (baca: diperundangkan) melalui UU

No. 5 Tahun 1969. Latar belakang yang mendasari

dikeluarkannya UU No. 1/ PNPS/1965 tidak terlepas dari aspek

ideologis, integralitas-nasionalis, dan aspek sosial

kemasyarakatan keagamaan atau sosial-religius. Dengan kata

lain, menjadi ironis jika sebuah negara yang masyarakatnya

beragama tidak ada perangkat hukum yang menjamin dan

melindungi agama dari perbuatan menyimpang dan menodai

agama, bahkan ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang

banyak menimbulkan bahaya bagi persatuan nasional dan bagi

agama serta ketenteraman beragama. Pasal 1 dari undang-

undang tersebut berbunyi:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Kalimat “penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari

pokok-pokok ajaran agama” berarti mengandaikan adanya

institusi atau lembaga yang berwenang untuk menentukan tafsir

mana yang benar dan mana yang menyimpang. Dalam

penjelasan undang-undang tersebut dikatakan bahwa “Pokok-

pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama

(sekarang Kementerian Agama [Kemenag]) yang untuk itu

mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya”.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa saat ini komposisi

Kemenag lebih didominasi oleh person-person manajerial yang

bukan dari kalangan agamawan (Islam: ulama), sementara

kalangan yang dianggap dapat mengetahui adanya unsur

Page 208: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 197

penyimpangan dari pokok ajaran agama (Islam) hanyalah para

ahli agama (Islam), ulama.

Di Indonesia terdapat organisasi kemasyarakatan (ormas)

Islam bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dari namanya

saja, sekilas dapat dipahami bahwa person yang terlibat di

dalamnya berstatus sebagai ulama, meskipun pada bagian-

bagian tertentu terdapat person-person yang bukan ulama.

Secara struktural, elite MUI memiliki komposisi yang beragam,

dalam pengertian diduduki oleh ragam ulama yang berasal dari

lintas Ormas Islam. Komposisi demikian ini kemudian dianggap

sebagai keterwakilan dari masing-masing Ormas. Anggapan

keterwakilan inilah yang kemudian memberi nilai tawar

tersendiri bagi MUI di mata pemerintah dan sebagian

masyarakat. Namun demikian, bukan berarti pemerintah selama

ini selalu mengekor kepada MUI. Dalam kasus penodaan agama,

pertimbangan ulama bagi pemerintah adalah suatu keniscayaan

referensial. Untuk saat ini, bagi pemerintah, suara MUI dapat

dinilai representatif dan dapat dikatakan sebagai ijmāˋ.

Kenyataannya memang demikian, dalam arti bahwa umumnya

kasus pembubaran atau pelarangan aliran sesat yang dilakukan

oleh pemerintah sebagai implikasi dari adanya fatwa MUI.

Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa

pada saat ini amanat dalam undang-undang tersebut kerap

dilimpahkan kepada MUI.

Sejak didirikan pada 1975, MUI pusat telah mengeluarkan

delapan fatwa tentang aliran sesat. Delapan fatwa tersebut

ditujukan untuk aliran-aliran sebagai berikut: (1) Islam Jamaah

atau Darul Hadis; (2) Ahmadiyah Qadiyan; (3) Syīˋah; (4) Munkir

al-Sunnah (Kelompok Penolak Sunnah/Hadis Rasul); (5) Darul

Arqam; (6) Kelompok Salamullah; (7) Ahmadiyah (Qadiyan dan

Lahore); dan (8) Al-Qiyadah al-Islamiyah. Beragam aliran lain

juga pernah dinyatakan sesat oleh beberapa MUI Daerah.

Kelompok Husnul Huluq, misalnya, aliran ini dinyatakan sesat

Page 209: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

198 Bab V: Penutup

oleh MUI Kecamatan Paseh, Kab. Sumedang pada tahun 2005.

Demikian juga beberapa aliran lain, seperti: sebuah aliran salat

dua bahasa pimpinan Yusman Roy yang dinyatakan sesat oleh

MUI Jawa Timur pada tahun 2005, aliran Amanat Keagungan

Ilahi yang dinyatakan sesat oleh MUI Sumatera Selatan pada

tahun 2009, aliran Ilmu Kalam Santriloka yang dinyatakan sesat

oleh MUI Mojokerto pada tahun 2009, dan aliran Sabda Kusuma

yang dinyatakan sesat oleh MUI Jawa Tengah pada tahun 2011.

Berkaitan dengan kebebasan beragama sebagai bagian dari

HAM, ragam fatwa (baca: penilaian sesat) yang dikeluarkan oleh

MUI—baik pusat maupun daerah—tersebut ditanggapi secara

beragam oleh kalangan intelektual Muslim. Ada yang

mengakuinya sebagai kebenaran hingga harus dikawal

sedemikian rupa meskipun sebagian persepsi mereka kemudian

mewujud dalam tindakan anarkis, ada yang mengakuinya

sebagai kebenaran tetapi tidak wajib untuk mengikutinya apalagi

mengawalnya, ada pula yang justru menganggap MUI telah

melanggar HAM karena telah menilai mereka sebagai aliran

sesat. Artinya, terjadi dialektika antara fatwa MUI dan konsep

kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM yang telah

terbingkai dalam konstruksi hukum karena Indonesia adalah

Negara Hukum.

Pada saat dialektika ini mewujud dalam tindak intoleransi

keberagamaan, maka pada saat itu juga persepsi tersebut berkait-

berkelin dan dengan persoalan HAM dan hukum. Persepsi

intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat ini

menjadi pintu masuk dalam mengkaji problematika konsep

kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia. Pasalnya,

mengupas persoalan fatwa MUI tentang aliran sesat kaitannya

dengan HAM dan hukum tidak hanya berada dalam dataran

praksis, lebih dari itu dataran teoretis juga menjadi

pewarnaannya. Dialektika tersebut mengandaikan adanya relasi

beberapa elemen penting, yakni Negara Hukum Indonesia

Page 210: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 199

beserta sistemnya, masyarakat beraliran mainstream beserta elite

agamawannya, MUI beserta fatwanya, dan kelompok

keagamaan atau keyakinan (kepercayaan) minoritas yang dicap

sesat, namun titik tekan di sini utamanya adalah fatwa MUI,

Negara Hukum Indonesia, dan HAM.

Kelompok yang menggunakan ideologi HAM partikular-

absolut menganggap benar apa yang dilakukan oleh MUI, di

samping karena komitmen keagamaan yang mereka pegang dan

jalankan juga melegitimasi persepsinya dengan UU No. 1/

PNPS/1965. Namun, karena pemerintah tidak tegas dalam

meresponnya sebagian di antara mereka kemudian berreaksi

secara berlebihan dengan melakukan berbagai bentuk persekusi.

Sedangkan kelompok yang menggunakan ideologi HAM

universal-absolut menganggap fatwa MUI bertentangan dengan

HAM mentendensikan persepsinya pada UU No. 12 Tahun 2005.

Artinya, secara tidak langsung dapat dipahami bahwa bentuk

regulasi berkaitan dengan jaminan kebebasan beragama di

Indonesia masih terdapat permasalahan.

Inti permasalahan regulatif tersebut pada dasarnya terletak

pada ambiguitasnya. Di satu sisi kebebasan beragama

mendapatkan jaminan konstitusional sebagai bagian dari HAM.

Namun di sisi lain, konstitusi serta instrumen perundangan-

undangan lainnya masih membatasi hak kebebasan berpikir,

berkeyakinan, dan beragama sebagai hak kodrat yang dimiliki

setiap manusia. Kontradiksi persepsi intelektual Muslim

terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat berkaitan dengan

konsep kebebasan beragama di Indonesia dapat teratasi jika

ambiguitas regulasinya dapat diatasi dengan baik. Untuk itu,

sudah saatnya dirumuskan konsep kebebasan beragama dalam

bingkai hukum berdasarkan kesepakatan hakikat negara ini yang

menyatakan bukan negara agama dan bukan negara sekuler.

Sekalipun oleh sebagian masyarakat hasil kesepakatan tersebut

dijadikan ruang silang pendapat yang cukup tajam mengenai

Page 211: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

200 Bab V: Penutup

kebebasan beragama. Bahkan, dapat dikatakan bahwa masalah

kebebasan beragama adalah masalah rumit dan kompleks, yang

tidak hanya dalam rumusan regulasinya, tetapi juga masalah

pelaksanaannya di lapangan.

Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dari

konsep kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia.

Pertama, ranah struktur hukum yang dalam hal ini negara atau

pemerintah dengan berbagai aparaturnya (polisi, jaksa, dan

hakim). Kedua, ranah substansi hukum, yakni tentang adanya

berbagai jenis peraturan perundangan yang kontradiktif satu

sama lain. Ketiga, ranah budaya hukum, sebab, meski keduanya

telah mapan, hak kebebasan beragama tidak akan berjalan

dengan baik jika budaya hukumnya tidak kondusif, terlebih jika

persepsi kontradiktif sebagaimana di atas tidak dapat disatukan.

Buku ini berupaya mencari solusi dari problem konseptual

kebebasan beragama berbasis nilai kemanusiaan yang adil dan

beradab, sebagai salah satu sila dari Pancasila. Dalam buku ini,

gagasan hukum progresif Satjipto Rahardjo, teori black box

kebijakan publik David Easton, teori sistem hukum Lawrence M.

Friedman, teori bekerjanya hukum dalam masyarakat

Chambliss-Seidman, dan teori prismatik Fred W. Riggs

digunakan untuk menjawab persoalan tersebut.

Hasil penelusuran penulis menunjukkan bahwa fatwa MUI

berkaitan dengan aliran sesat keagamaan ditanggapi secara

beragam oleh kalangan intelektual Muslim. Ragam persepsi ini

dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu eksklusif,

inklusif-moderat, dan inklusif-liberal. Kelompok eksklusif

memandang bahwa fatwa MUI tentang aliran sesat keagamaan

di Indonesia tidak melanggar HAM, khususnya hak kebebasan

beragama. HAM, bagi mereka tidak identik dengan kebolehan

merusak kedaulatan suatu agama, karena jika atas nama HAM,

kemudian merusak nilai-nilai agama, maka hal itu tidak bisa

dibenarkan. Karena itu, dalam konteks fatwa tentang aliran sesat

Page 212: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 201

keagamaan, bagi mereka, MUI sudah berada pada jalur yang

benar. Sementara itu, dalam konteks status dan otoritas fatwa

berkaitan dengan tata hukum di Indonesia, bagi mereka,

sekalipun fatwa hanya bersifat legal opinion, tetapi akan menjadi

sumber rujukan ketika dikaitkan dengan UU No. 1/ PNPS/1965.

Kelompok inklusif-moderat memandang bahwa sebagai

representasi dari elit agamawan dalam Islam, MUI memiliki hak

untuk menilai suatu kelompok kegamaan seimannya yang

berbeda dalam persoalan akidah. Namun demikian, sebagai

sebuah legal opinion, fatwa juga mengandung dissenting opinion.

Adanya potensi ini berimplikasi pada keharusan MUI untuk

menerima dissenting opinion tersebut dan

mempertanggungjawabkannya di hadapan publik guna menuai

predikat otoritatifnya. Sementara itu, dalam konteks status dan

otoritas fatwa berkaitan dengan tata hukum di Indonesia, bagi

mereka, MUI berhak meminta dukungan negara, tetapi tidak

berhak untuk memaksanya agar mengikuti hasil fatwanya

dengan cara melarang penyebaran aliran yang dinyatakan sesat,

membekukan organisasi, serta menutup semua aktivitas dan

tempat kegiatannya. Demikian ini, bagi mereka, karena adanya

keharusan negara untuk bersikap netral. Dalam persoalan

kebebasan beragama, bagi mereka, negara hanya memiliki

kewajiban untuk menjaga dan menjamin keamanan setiap

pemeluk agama dan/atau penganut suatu keyakinan, bukan

mengintervensinya.

Kelompok inklusif-liberal memandang bahwa fatwa MUI

tentang aliran sesat keagamaan telah melanggar basis-basis

moral keislaman universal serta bertentangan dengan HAM, dan

bahkan konstitusi, terlebih lagi jika MUI kemudian “memaksa”

negara untuk mengikuti hasil fatwanya dengan cara melarang

penyebaran aliran yang dinyatakan sesat, membekukan

organisasi, serta menutup semua aktivitas dan tempat

kegiatannya. Berkaitan dengan persoalan kebebasan beragama,

Page 213: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

202 Bab V: Penutup

bagi mereka bebas tanpa batas hanya ada pada forum internum,

sementara kebebasan dalam bingkai “tindakan” boleh untuk

dibatasi berdasarkan undang-undang. Namun demikian,

pembatasan dengan model UU No. 1/PNPS/1965, sebagaimana

tercermin dalam Pasal 1, termasuk pelanggaran nilai-nilai dasar

HAM. Karena, perbedaan penafsiran dalam sebuah agama

adalah keniscayaan, dan otoritas kebenaran tafsir tidak bisa

dimiliki atau ditentukan oleh perorangan atau lembaga tertentu.1

Dari tiga bentuk persepsi tersebut, dua di antaranya

(eksklusif dan inklusif-liberal) dinilai kurang sesuai dengan nilai-

nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut

disebabkan karena persepsi mereka berbasis pada dua ideologi

HAM yang bertolak belakang. Jika persepsi eksklusif berbasis

pada ideologi HAM partikular-absolut, sementara inklusif-

liberal berbasis pada ideologi HAM universal-absolut. Dari

kenyataan demikian, penulis memberikan solusi untuk kembali

menggunakan ideologi Pancasila dalam memandang fatwa MUI

tentang aliran sesat berkaitan dengan kebebasan beragama. Hal

demikian menjadi penting mengingat di dalamnya, Pancasila

mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.

Melihat demikian itu, konsep kebebasan beragama dapat

dikonstruksikan dengan berbasis pada nilai kemanusiaan yang

adil dan beradab, sehingga ideologi HAM-nya didasarkan pada

model universal-relatif. Adapun dasar legitimasi yang

digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian,

dalam memandang fatwa MUI tentang aliran sesat berkaitan

dengan kebebasan beragama, yang dilindungi dan dijamin

pemerintah adalah pemeluk agama atau penganut suatu

keyakinan (aliran kepercayaan) dan agama serta keyakinan itu

sendiri dalam batasan-batasan tertentu. Aliran sesat termasuk

________________________ 1 Terkait persepsi intelektual muslim terhadap fatwa MUI ini lihat Rohidin,

Mendebat Fatwa MUI; Silang Perspektif Intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat Keagamaan, Lintang Rasi Aksara Books, Yogyakarta, 2013.

Page 214: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 203

bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari

HAM) selama ia secara konstitusional dapat dikatakan demikian.

Aliran kepercayaan atau keyakinan yang dianggap sesat dapat

dikatakan melanggar hak kebebasan beragama sebagai bagian

dari HAM jika memang secara konstitusional dapat dikatakan

demikian. Tafsir keagamaan memang tidak memiliki kebenaran

yang bersifat mutlak karena ia merupakan produk manusia, akan

tetapi tidak serta-merta kemudian seseorang dengan bebas

melakukan penafsiran dengan tanpa metodologi yang dapat

dipertanggungjawabkan. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir

keagamaan, bersifat legal opinion dan bisa menjadi referensi

dalam menentukan kebijakan kasus aliran sesat, tetapi bukan

merupakan satu-satunya referensi. Berkaitan dengan kasus

persekusi, jika secara konstitusional pelakunya dapat dikatakan

melanggar hukum, baik itu dari pihak aliran yang dianggap sesat

maupun pelaku persekusi, maka keduanya bisa jadi dikatakan

sebagai pemicu. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentukan

regulasi turunan yang dapat mengakomodasi jaminan

perlindungan atas individu pemeluk agama atau penganut suatu

keyakinan (aliran kepercayaan) beserta agama dan keyakinan

(kepercayaan) itu sendiri dalam batas-batas tertentu yang selaras

dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah

konsekuensi bagi pemerintah. Berikut gambaran sederhana

dialektika dua persepsi kontradiktif beserta bentuk

prismatikanya sebagai konstruksi baru konsep kebebasan

beragama:

Page 215: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

204 Bab V: Penutup

Tabel 5.1 Dialektika Kondisi Existing Problem Kebebasan Beragama di

Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat

Titik Perbedaan

Kolektivisme Individualisme

Bentuk Persepsi Eksklusif Inklusif-Liberal Basis Nilai Agama Humanisme Basis Ideologi Partikular-Absolut Universal-Absolut Dasar Legitimasi UU No.

1/PNPS/1965 UU No. 12 Tahun 2005

Pandangan atas Fatwa MUI tentang Aliran Sesat berkaitan dengan Kebebasan Beragama

1. Pemerintah harus melindungi agama dan pemeluknya.

2. Aliran sesat bukan termasuk bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari HAM).

3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat bukan bagian dari hak kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM, justru ia telah melanggar HAM.

1. Pemerintah harus melindungi pemeluk agama dan pengikut suatu keyakinan (aliran kepercayaan), bukan agama dan keyakinan itu sendiri.

2. Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari HAM).

3. Semua aliran atau keyakinan adalah bagian dari hak kebebasan beragama yang merupakan bagian dari HAM.

4. Tafsir keagamaan tidak memiliki

Page 216: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 205

4. Kebenaran tafsir keagamaan dapat ditentukan secara kolekti (mainstream).

5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, memang bersifat legal opinion tetapi karena kolektivitasnya maka kebenarannya bersifat mutlak.

6. Berkaitan dengan kasus persekusi, aliran sesatlah yang menjadi pemicunya.

kebenaran mutlak, artinya ditentukan oleh keyakinan individu.

5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, bersifat legal opinion. Karena itu, ia sejajar dengan bentuk tafsiran lain yang mungkin bertentangan.

6. Berkaitan dengan kasus persekusi, aliran sesat bukan sebagai pemicunya.

Konsekuensinya Pemerintah harus tegas untuk membubarkan dan melarang aliran yang dianggap sesat oleh MUI.

Pemerintah harus menindak tegas para pelaku persekusi, dan wajib melindungi para penganut suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat oleh MUI.

Page 217: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

206 Bab V: Penutup

Tabel 5.2 Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi Intelektual

Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat

Bentuk Persepsi Inklusif-Moderat

Basis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Pancasila)

Basis Ideologi Universal-Relatif Dasar Legitimasi UUD 1945 Pandangan atas Fatwa MUI tentang Aliran Sesat berkaitan dengan Kebebasan Beragama

1. Pola perlindungan dan penjaminannya ditekankan pada pemeluk agama atau penganut suatu keyakinan (aliran kepercayaan) beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam batasan-batasan tertentu.

2. Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM, selama ia secara konstitusional dapat dikatakan demikian.

3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat dapat dikatakan melanggar hak kebebasan beragama yang merupakan bagian dari HAM jika memang secara konstitusional dapat dikatakan demikian.

4. Tafsir keagamaan memang tidak memiliki kebenaran yang bersifat mutlak, akan tetapi tidak serta-merta kemudian seseorang dengan bebas melakukan penafsiran dengan tanpa metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.

5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, bersifat legal opinion dan bisa menjadi referensi dalam

Page 218: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 207

menentukan kebijakan kasus aliran sesat, tetapi bukan merupakan satu-satunya referensi.

6. Berkaitan dengan kasus persekusi, jika secara konstitusional pelakunya dapat dikatakan melanggar hukum, baik itu dari pihak aliran yang dianggap sesat maupun pelaku persekusi, maka keduanya bisa jadi dikatakan sebagai pemicu.

Konsekuensi Pembentukan regulasi turunan yang dapat mengakomodasi jaminan perlindungan atas individu pemeluk agama atau penganut suatu keyakinan (aliran kepercayaan) beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam batas-batas tertentu yang selaras dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah konsekuensi bagi pemerintah.

Hemat penulis, saat ini problematika kebebasan beragama

di Indonesia dalam bingkai hukum terletak pada tiga aspek,

yakni: substansi, struktur, dan budaya hukum. Pada aspek

substansi, terdapat beberapa produk regulasi yang kontradiktif,

dan bahkan kontraproduktif dengan konstitusi yang berbasis

pada nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Beberapa

bentuk regulasi tersebut di antaranya adalah UU No. 1/PNPS

Tahun 1965 Pasal 1, Peraturan Bersama Menteri Agama dan

Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 Pasal 13 ayat (1),

UU No. 12 Tahun 2005 (ICCPR) Pasal 18 ayat (1), dan beberapa

Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah. Sementara pada

aspek struktur, kerapuhan aparatur penegak hukum kentara

dalam mengawal jaminan kebebasan beragama. Kerapuhan ini

berimplikasi pada bentuk tindakan aktif (by commission) dan

pembiaran (by omission). Sehingga, aparatur pemerintah, yang

Page 219: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

208 Bab V: Penutup

sejatinya menjalankan amanah dan mengawal konstitusi berbasis

nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, justru—dalam

beberapa kasus—tampak bertolak belakang dengan (untuk tidak

mengatakan menghianati amanah)—konstitusi. Melihat

kerapuhan yang berkepanjangan tersebut, krisis kepercayaan

pun akhirnya muncul dalam sebagian benak masyarakat.

Implikasi yang muncul kemudian adalah timbulnya ragam

intoleransi, dan bahkan persekusi. Pihak pelaku melegitimasi

tindakannya pada bentuk regulasi yang sesuai, demikian juga

para korban yang mencoba melakukan pembelaan dengan

melegitimasikan pada bentuk regulasi lain yang selaras pula, dan

tidak mau ketinggalan para pembela pelaku maupun korban,

yang sama-sama melegitimasikan pembelaannya pada bentuk

regulasi yang selaras. Artinya atomisme dalam pemahaman

hukum muncul dari bentuk regulasi kontradiktif-

kontraproduktif di atas, di samping minimnya kesadaran

masyarakat terhadap pentingnya supremasi hukum. Inilah

beberapa bentuk problem yang terdapat pada aspek budaya. Jika

ketiga aspek tersebut berfungsi dan bergerak sebagaimana

mestinya, niscaya problem kebebasan beragama akan dapat

teratasi dengan baik.

Melihat hal demikian itu, penulis memberikan blue print

bahwa konsep kebebasan beragama di Indonesia dalam bingkai

hukum mesti dikonstruksikan dengan tidak keluar dari empat

kaidah penuntun, berupa (a) bertujuan dan menjamin integritas

bangsa, (b) bersamaan dalam misi membangun demokrasi dan

nomokrasi, (c) membangun keadilan sosial, dan (d) membangun

toleransi beragama dan berkeadaban. Bertolak dari hal tersebut,

maka konsep kebebasan beragama dapat dikonstruksikan

dengan pola jaminan perlindungan atas hak kebebasan

berkeyakinan dan beragama serta keyakinan dan agama itu

sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan yang adil dan

beradab. Dengan pola semacam ini, tidak bisa dengan serta-

Page 220: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 209

merta seseorang memaksakan kehendak keyakinan atau

keberagamaannya kepada orang lain, termasuk dalam hal

penafsiran. Seseorang juga tidak bisa dengan sesuka hati

menghinasuatu agama atau keyakinan, termasuk pula ritus-ritus

yang menyertainya. Selain itu, seseorang juga dilarang untuk

mengganggu prosesi upacara suatu agama atau keyakinan,

apalagi melakukan perusakan-perusakan terhadap tempat-

tempat peribadatan keagamaan atau suatu keyakinan. Namun

demikian, betapapun produk hukum dianggap mapan,

kebebasan beragama tidak akan teraplikasikan jika sektor

aparatur penegak hukum dan budaya masyarakatnya belum

siap. Sebaliknya, betapapun produk hukum tidak dianggap

mapan, tetapi jika budaya masyarakatnya sangat mapan, maka

kebebasan beragama akan berjalan dengan sendirinya secara

sempurna. Dengan kata lain, problem kebebasan beragama

sesungguhnya dengan sendirinya akan teratasi jika civil society

telah membumi dalam kehidupan masyarakat.

Pilihan terhadap konsep kebebasan beragama berbasis pada

nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dengan mengambil kasus

persepsi intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran

sesat berimplikasi pada beberapa aspek berkaitan konsep

kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia.

1. Implikasi Paradigmatik

Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa hingga saat ini

kebebasan beragama dikonsepsikan oleh sebagian intelektual

Muslim dengan basis yang kurang sesuai dengan Pancasila. Di satu

sisi mereka mengkonsepsikan kebebasan beragama dengan

berbasis pada HAM universal-absolut, yang cenderung

antroposentris, sedang sisi yang lain mengkonsepsikannya dengan

basis HAM partikular-absolut, yang cenderung theosentris.

Implikasi yang muncul kemudian adalah persepsi yang bertolak

belakang terkait kebebasan beragama.

Page 221: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

210 Bab V: Penutup

Sehubungan dengan itu, maka kebebasan beragama

dikonsepsikan dengan menggunakan Pancasila sebagai basisnya.

Pemilihan Pancasila sebagai basis konseptual menjadi relevan

mengingat ia merupakan staatfundamentalnorm. Selain itu,

Pancasila juga merupakan perwujudan dari ideologi HAM

universal-relatif, yang cenderung theo-antroposentris. Dengan

demikian, maka agama atau keyakinan beserta pemeluknya

dapat dijamin dan dilindungi dengan baik.

2. Implikasi Teoretis

Secara teoretis Pancasila merupakan perwujudan dari

prismatika antara nilai sosial paguyuban dan nilai sosial

patembayan. Jika nilai sosial paguyuban lebih menekankan pada

kepentingan bersama, sementara nilai sosial patembayan lebih

menekankan pada kepentingan dan kebebasan individu.

Sehubungan dengan itu, selama ini kebebasan beragama di

Negara Hukum Indonesia dikonsepsikan dalam bingkai nilai

sosial paguyuban dan patembayan. Jika nilai sosial paguyuban

terwujud dalam kelompok eksklusif, sementara nilai sosial

patembayan terwujud dalam kelompok liberal-inklusif.

Kebebasan beragama oleh kelompok eksklusif dikonsepsikan

dalam pengertian bebas untuk memilih dan mengekspresikan

suatu agama atau keyakinan. Kebebasan untuk memilih memiliki

pengertian adanya larangan atas warga negara yang tidak

beragama atau berkeyakinan. Sementara kebebasan untuk

mengekspresikan tidak bersifat mutlak, dalam arti bahwa ekspresi

keberagamaan atau keyakinan seseorang tidak bisa melenceng dari

mainstream. Artinya, agama atau keyakinan secara institusional

mendapatkan perlindungan dari negara, sehingga jika ada tafsir

keagamaan atau keyakinan yang diaggap menyimpang, misalnya,

negara diwajibkan untuk memproteksinya.

Kelompok inklusif-liberal mengkonsepsikan kebebasan

beragama dalam pengertian bebas untuk memeluk dan

Page 222: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 211

mengekspresikan suatu agama atau keyakinan, termasuk tidak

memeluk agama atau menganut suatu keyakinan, dan bahkan

penafsiran terhadap suatu agama atau keyakinan. Kebebasan di

sini tidak bersifat mutlak, dalam arti dapat dibatasi oleh undang-

undang yang jelas dan komprehensif. Namun demikian,

pembatasan ini hanya boleh dilakukan dalam ranah ketertiban

sosial. Artinya, konsep tersebut dikonstruksikan dengan

berlandaskan pada nilai-nilai humanistik, di mana perlindungan

terhadap individu kemanusiaan lebih diutamakan daripada

kolektivisme berbasis agama.

Bertolak dari teori Riggs di atas, maka kebebasan beragama

di Negara Hukum Indonesia dapat dikonsepsikan dalam

pengertian jaminan perlindungan atas hak kebebasan

berkeyakinan dan beragama serta keyakinan dan agama itu

sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan yang adil dan

beradab. Kebebasan untuk memilih berarti menafikan individu

yang tidak beragama atau berkeyakinan. Sementara pengertian

berekspresi adalah menjalankan agama atau keyakinannya, dan

termasuk pula penafsirannya. Namun demikian, kebebasan di

sini dapat dibatasi oleh undang-undang yang jelas dan

komprehensif dalam koridor perlindungan atas suatu agama

atau keyakinan secara institusional yang berkaitan dengan

ketertiban umum. Konsepsi tersebut merupakan perwujudan

dari prismatika dua nilai di atas.

Konsepsi tersebut menegaskan bahwa relasi antara negara

dan agama di Indonesia bersifat simbiosis, keduanya bersifat

timbal-balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan

negara karena dengan adanya negara maka agama akan dapat

berkembang secara lebih baik. Sebaliknya, negara memerlukan

agama, karena dengan agama maka negara dapat berkembang

dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Hal demikian tentu

berbeda dengan bentuk relasi yang bersifat integralistik,

yangmenganggap bahwa keduanya merupakan suatu kesatuan

Page 223: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

212 Bab V: Penutup

dan tidak dapat dipisahkan, demikian juga sama berbedanya

dengan bentuk relasi yang bersifat sekularistik, yang

memandang bahwa negara dan agama merupakan dua bentuk

yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya

masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan

tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Sehubungan

dengan itu, maka Indonesia bukan negara agama dan bukan pula

negara sekuler, tetapi religious nation state.

3. Implikasi Praktis

Problem kebebasan beragama tidak akan larut dari negeri

ini jika produk regulasinya banyak yang bersifat kontradiktif-

kontraproduktif. Tidak berhenti pada perbaikan bentuk regulasi,

peningkatan penegakan hukum juga sangat urgen untuk segera

dijalankan. Namun, keduanya tidak akan berjalan jika kesadaran

masyarakatnya tidak mendukung. Artinya, ranah substansi,

struktur, dan budaya hukum mesti sama-sama bergerak menuju

perubahan untuk mencapai hak kebebasan beragama yang

benar-benar terjamin. Dengan ditegakkannya hak kebebasan

beragama dengan basis nilai kemanusiaan yang adil dan

beradab, niscaya praktik-praktik intolerance religious yang kerap

mengganggu proses pembangunan akan dapat diminimalisir

dengan baik.

Dalam kasus yang lebih spesifik, yakni problem persepsi

intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat dan

penegakan hukum tentang kebebasan beragama, penulis

merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Fatwa MUI tentang aliran sesat berkedudukan sebagai legal opinion, yang berpotensi mengandung dissenting opinion. Intelektual Muslim, dan bahkan seluruh masyarakat, mesti mempersepsikannya dengan berlandaskan pada Pancasila, terutama sila kedua. Baik yang mengamini maupun yang menolaknya, masyarakat

Page 224: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 213

secara umum dilarang keras untuk mengawal dan menanggapinya secara berlebihan, apalagi dengan melakukan persekusi. Demikian juga dengan negara, tidak bisa serta-merta menjadikan fatwa MUI sebagai referensi yang paling utama. Dalam mengeluarkan kebijakan terkait aliran sesat, kebijakan negara mesti didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.

2. MUI berhak untuk menilai sesat dan tidaknya suatu aliran, akan tetapi dalam merumuskannya mesti menggunakan metodologi yang tepat dan akurat. Selain itu, sebelum fatwa tersebut disahkan, MUI disarankan untuk melakukan uji publik terkait dengan produk fatwanya di hadapan kelompok akademisi, tokoh-tokoh agama non-MUI, dan masyarakat luas. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari mereka, sehingga pada akhirnya fatwa tersebut betul-betul memiliki otoritas yang sangat kuat.

3. Konsep kebebasan beragam merupakan bagian dari HAM, yang diilhami dari dua semangat berbeda berupa partikularisme dan universalisme. Pancasila, sebagai ideologi yang lahir dalam bingkai kebhinekaan, mengakomodasi dua semangat tersebut yang terkonstruksi dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun demikian, pada kenyataannya terdapat beberapa produk regulasi turunan yang tidak konsisten dan koheren dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut sebagaimana tampak pada UU PNPS No. 1 Tahun 1965 Pasal 1 dan UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (1). Melihat demikian itu, maka disarankan agar regulasi turunan tentang kebebasan beragama berkaitan dengan aliran sesat beserta kebijakan-kebijakan yang menjadi turunannya segera ditinjau ulang dan direvisi untuk kembali ditarik pada semangat Pancasila dan UUD 1945 Pasal 28 dan 29.

4. Mengingat betapa krusialnya problem keberagamaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disarankan untuk segera membentuk dan/atau mengesahkan regulasi

Page 225: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

214 Bab V: Penutup

komprehensif yang sejalan dengan semangat konstitusi. Konsep yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: a. Hak

Hak-hak keberagamaan seseorang dapat diformulasikan dalam bentuk hak untuk (1) berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan, (2) memeluk agama atau keyakinan, (3) mendapatkan jaminan atas kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan, (4) mendapatkan jaminan atas kepemelukan seseorang terhadap agama atau keyakinan, (5) mendapatkan perlindungan atas keagamaan atau keyakinan seseorang, dan (6) mendapatkan perlindungan atas tempat-tempat peribadatan, termasuk ritus dan upacara-upacara keagamaan atau keyakinan, yang dimiliki.

b. Kewajiban Kewajiban-kewajiban warga negara dalam hal keberagamaan dapat diformulasikan dalam bentuk kewajiban untuk (1) menghormati hak kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan, (2) menghormati agama atau keyakinan orang lain, dan (3) menghormati keberadaan tempat-tempat peribadatan, termasuk ritus dan upacara-upacara agama atau keyakinan.

c. Larangan Larangan-larangan dalam hal keberagamaan dapat diformulasikan dalam bentuk larangan untuk (1) menghina suatu agama atau keyakinan, termasuk hal-hal yang terkait di dalamnya, (2) menghasut seseorang untuk meniadakan keyakinan terhadap Tuhan, (3) melakukan persekusi terhadap suatu agama atau keyakinan, baik fisik maupun mental, (4) mengganggu upacara-upacara agama atau keyakinan, dan (5) merusak tempat-tempat peribadatan suatu keagamaan atau keyakinan.

Page 226: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 215

Daftar Pustaka

A. Buku

A. Baderin, Mashood, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj. Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2003.

AB. Kusuma, RM., (penghimpun), Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fak. Hukum UI, Jakarta, 2004.

Al Marsudi, Subandi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

A. Sofyan, Ahmad & M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara & Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 2003.

Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001.

Asshiddiqie, Jimly, UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional dalam Pluralisme Indonesia dalam, Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Publikasi SETARA Institute, Jakarta, 2009.

Campbell Black, Hanry, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1990.

Page 227: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

216 Daftar Pustaka

D. Asplund, Knut (dkk.) (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010.

E. Howard, Rhoda, HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000.

El Muhtaj, Majda, Dimensi-dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Rajawali Press, Jakarta, 2008.

_______, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta, 2007.

Gellner, Ernest, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan, Mizan, Bandung, 1995.

Gonggong, Anhar dan Abdul Qahhar Mudzakar, Dari Patriot Hingga Pemberontak, Gramedia, Jakarta, 1992.

Hamidi, Jazim dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama: Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2001.

Hasani, Ismail (ed.), Siding and Acting Intolerantly: Intolerance by Society and Restriction by the State in Freedom of Religion/ Belief in Indonesia, SETARA Institute, Jakarta, 2009.

Hatta, M., “Ke Arah Indonesia Merdeka?”, dalam Miriam Budiharja (ed.), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980.

Hestu Cipto Handoyo, B., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia: Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.

Hewitt, Martin, Welfare, Ideology, and Need: Developing Perspectives on the Welfare State, Harvester Wheatsheaf, Maryland, 1992.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 1998.

Howards, G.G., dan Rummers, Law It’s Nature and Limits, New Jeresey Prestic Hall, 1999.

Page 228: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 217

Husaini, Adian, Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas & Tidak Kontroversial, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2005.

Iskandar, Pranoto, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual, IMR Press, Cianjur, 2010.

Kasim, Ifdhal (ed.), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, ELSAM, Jakarta, 2001.

Khanif, Al, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2010.

Kholiludin, Tedi, Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, RaSAIL Media Group, Semarang, 2009.

K. M. Smith, Rhona (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010.

Kusumatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.

Lewis, Bernard, et. al., Islam, Liberalisme, Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Paramadina, Jakarta, 2002.

Lindholm, Tore, et.al (ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Leiden: Lorenzen, 2008.

_______, (dkk.), Kebebasan Beragam atau Berkeyakinan, Seberapa Jauh? Yogyakarta: Kanisius, 2010.

Made Tony Supriatma, A., (ed.), 1996: Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1997.

Madjid, Nurcholish, (dkk.), Passing Over: Melintas Batas Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.

Magnis, Suseno Franz, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Jakarta, 1992.

_______, Rechtsstaat, Bukan Machsstaat, dalam Mencari Makna Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Mahfud MD, Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.

Manan, Bagir, Kedaulatan Rakyat: Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.

Page 229: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

218 Daftar Pustaka

Masyhur Effendi, A. dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/ Aplikasi Hukum (Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007.

MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, MUI, Jakarta, 2010.

Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Jakarta, 2005.

Naning, Ramdlon, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983.

Nawawi Arief, Barda, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2010.

O.S Hiariej, Eddy, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009.

Peldi Taher, Elza (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta, 2009.

Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989.

Pranarka, A.M.W., Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta, 1985.

Pudjiarto, Harum, Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1999.

Rohidin, Mendebat Fatwa MUI; Silang Perspektif Intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat Keagamaan, Lintang Rasi Aksara Books, Yogyakarta, 2013.

Rosyada, Dede (dkk.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta, 2003.

Said Ali, As’ad, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa, LP3ES, Jakarta, 2009.

Saleh, Roeslan, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Bina Aksara, Jakarta, 1979.

Page 230: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 219

Suaedy, Ahmad, Perpektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Islam Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2009.

Suaedy, Ahmad, (dkk.), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, The WAHID Institute, Jakarta, 2009.

_______, (dkk.), Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Publikasi Setara Institute, Jakarta, 2009.

Sunaryati Hartono, C.F.G., Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Ubaidillah, A., (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000.

Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Weber, Max dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

B. Laporan Penelitian, Jurnal, Makalah, dan Surat Kabar

Arifin, Syamsul, “Diskursus Hak Asasi Manusia di Indonesia: Perspektif Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”, Makalah dalam Annual Converence on Islamic Studies (ACIS) Ke-10 di Banjarmasin, 1-4 November 2010

Asshiddiqie, Jimly, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”, Makalah, Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Astika, Hani, “Hubungan Agama dan Negara dalam Islam”, dalam Jurnal al-Manahij, vol. 2, No. 1, Januari-Juni, 2008.

Donnelly, Jack, “Human Right and Human Dignity: An Anallytic Critique of Non-Western Conceptions of Human Right”, The American Political Science Review, Vol. 76, No. 2., dalam http://links.jstor.org, diakses pada tanggal 20 Desember 2010.

Gunarto, “Pemikiran Munawwir Syadzali tentang Islam dan Negara dalam Perbandingan Penafsirannya antara T.B. Simatupang dan Eka Darmaputra dari Perspektif

Page 231: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

220 Daftar Pustaka

Kehidupan Beragama dan Pancasila”, dalam Jurnal Teologi Stulos, vol. 6, No. 1, April 2007, hlm. 53-70.

Mahfud MD, Moh. “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi”, Makalah, disampaikandalam Konverensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia Menurut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, diselenggarakan oleh ICRP pada tanggal 5 Oktober 2009.

______, “Undang-undang Politik, Keormasan dan Instrumentasi di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.

Sutiyoso, Bambang, “Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia”, dalam UNISIA, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.

Titaley, John, “Pluralisme Agama dan Nasionalisme, Peranan Agama dalamPembentukan Dasar Kehidupan Berbangsa di 1ndonesia,” Makalah, dalam SeminarAgama-agama X11, Bogor/Tugu, September 1992.

C. Perundang-Undangan dan Peraturan

Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11/MUNAS VII/ MUI/15/2005 Tentang Ahmadiyah.

Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

MK, Risalah Sidang Pengujian UU No. 1/PNPS/1965, Jakarta: MK, 2010.

Peraturan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP)

The Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination based on Religion or Belief (EAIDRB).

The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang Dasar Tahun 1945

Page 232: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 221

[Amandemen Kedua] Undang Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

Undang Undang No. 28 Tahun 1997 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian.

D. Internet

United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (Online) dalam http://www.un.org/en/documents/ udhr/, diakses pada 23 Desember 2010

http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm#art18 (Diakses pada tanggal 27 Desember 2010).

Littman, David. “Universal Human Rights and Human Rights in Islam”, Midstream, February/March 1999, dalam, http://web.archive.org/ web/20060501234759/ http://mypage.bluewin.ch/ameland/Islam.html, (Diakses pada tanggal 11 Desember 2010).

http://en.wikipedia.org/wiki/UDHR, (Diakses pada tanggal 23 Desember 2010).

“Umat Islam juga Sulit Membangun Masjid”, dalam http:// www.berita2.com/nasional/umum/7070-umat-islam-juga-sulit-membangun-masjid.html, (Diakses pada tanggal 30 Maret 2011).

Kemenkumham, Peraturan Daerah yang Dipermasalahkan, dalam http://www.kemenkumham.go.id, (Diakses pada tanggal 23 Februari 2011).

http://www.seruu.com/index.php/2011030242453/utama/nasional/ penurunan-plang-ahmadiyah-uu-kalah-dengan-perda-42453/menu-id-691. html, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/174700/1581502/466/ papan-nama-pusat-kegiatan-ahmadiyah-jatim-dicopot, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

http://www.seruu.com/index.php/2011030242377/kota/ regional/maraknya-perda-anti-ahmadiyah-picu-aksi-massa-di-kuningan-42377/ menu-id-759.html;, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

Page 233: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

222 Daftar Pustaka

http://www.komnasham.go.id/2010-10-03-02-09-01/66-hot-news/ 647-komnas-ham-sk-larang-aktivitas-ahmadiyah-harus-dikaji-ulang-dengan-uu, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/205935/1581618/ 466/ ahmadiyah-akan-gugat-keputusan-gubernur-jatim. (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).

Page 234: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 223

Indeks

A

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), 80

adil , 8, 14, 47, 70, 71, 72, 74, 82, 95, 97, 100, 102, 104, 108, 152, 156, 160, 186, 191, 195, 203, 205, 210, 212, 215, 216, 217

agama, 4, 9, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 29, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 67, 74, 80, 81, 89, 94, 95, 100, 103, 106, 107, 108, 109, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 121, 122, 125, 137, 138, 139, 140, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 167, 169, 170, 171, 178, 182, 185, 186, 187, 188, 190, 191, 192, 193, 194, 196, 197, 198, 199, 202, 203, 204, 205, 207, 209, 210, 212, 213, 214, 215, 217, 218

agama resmi, 47, 137, 138, 167 ahmadiyah, 179, 180

B

beradab, 71, 74, 82, 91, 95, 100, 102, 108, 152, 186, 191, 195, 203, 205, 210, 212, 215, 216, 217

budaya, 1, 2, 4, 14, 16, 18, 27, 43, 49, 52, 53, 64, 75, 78, 80, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 101, 102, 103, 112, 153, 158, 170, 177, 186, 198, 202, 210, 212, 216

C

civil society, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 82, 83, 85, 87, 88, 89, 90, 181, 182, 183, 184, 198, 212

common law, 56, 66

D

Deklarasi Kairo, 19 Demokrasi, 55, 57, 67, 75, 79,

80, 81, 89, 148, 171, 184 Demokrasi terpimpin Dewan HAM PBB, 48 Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR), 217 DUHAM, 14, 15, 16, 17, 18, 20,

30, 33, 52, 95, 98, 195, 196

Page 235: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

224 Indeks

E

Eksklusif, 90, 188, 206 Eropa Kontinental, 55, 61

F

Fatwa MUI, 95, 115, 116, 188, 189, 190, 205, 206, 207, 208, 209, 216

FPI, 94, 128, 131, 133, 134, 136 FUI, 133, 134, 136

H

Hak, 2, 3, 4, 6, 11, 12, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 33, 34, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 52, 58, 72, 73, 90, 96, 98, 99, 104, 112, 143, 148, 168, 170, 175, 195, 196, 197, 217

HAM, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 28, 30, 32, 33, 36, 37, 39, 40, 42, 45, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 61, 75, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 106, 110, 111, 113, 115, 141, 155, 160, 168, 169, 175, 179, 180, 188, 190, 195, 196, 197, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 207, 209, 213, 217

Hukum, 3, 5, 6, 7, 11, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 28, 34, 39, 47, 48, 52, 54, 55, 57, 60, 62, 63, 64, 65, 67, 86, 87, 90, 93, 96, 98, 107, 116, 152, 153, 154, 155, 158, 162, 174, 177, 185, 186, 187, 188, 190, 192, 193, 194,

195, 196, 201, 202, 206, 209, 213, 214

Hukum Islam, 19 Hukum Pancasila, 54, 60, 61,

63, 64, 67 Human, 3, 15, 18, 48, 98 Humanisme, 188, 207

I

ICCPR, 17, 18, 19, 48, 49, 52, 102, 113, 168, 195, 196, 211

Ideologi, 1, 89, 90, 96, 100, 103, 188, 190 i, 207, 209

Ideologi Pancasila, 100, 103 Immanuel Kant, 55 Individu, 92, 100 Indonesia, 2, 3, 5, 6, 15, 21, 22,

23, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 47, 48, 52, 54, 56, 60, 62, 63, 64, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 80, 81, 88, 89, 90, 90, 93, 94, 100, 105, 107, 108, 109, 110, 112, 113, 114, 117, 133, 134, 138, 141, 142, 144, 145, 146, 147, 150, 151, 152, 153, 158, 159, 160, 162, 164, 165, 168, 169, 170, 171, 175, 179, 185, 186, 187, 188, 190, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 202, 203, 204, 206, 209, 210, 211, 213, 214, 215

Integralistik, 92, 148 Intoleransi, 107, 130

Page 236: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 225

J

JAI, 129, 130, 131, 132, 165, 177, 179

Jaksa, 137, 165, 179 Jaminan, 17, 29, 40, 41, 113,

138, 143, 158, 159, 174, 196 Jaminan kebebasan, 41 Jaminan penuh, 143

K

Keadilan, 84, 89, 122 Kebebasan beragama, 17, 29,

40, 41, 50, 89, 100, 112, 138 Kemanusiaan, 67, 71, 152, 185,

190, 195, 209 Kementerian Hukum dan

HAM (Kemenkumham), 171

Kepolisian, 116, 132, 133 Kim Sunhyuk, 76 Kolektivisme, 188 Komnas HAM, 126, 180 Konferensi Meja Bundar

(KMB), 31 Konflik, 126 konstitusi, 2, 12, 15, 21, 22, 23,

30, 32, 33, 34, 35, 37, 40, 45, 48, 50, 55, 59, 60, 147, 153, 167, 169, 171, 172, 175, 180

konstitusi RIS, 33, 34 kovenan, 141, 168, 169, 170,

197 KWI, 142, 161

L

Liberal, 96, 188, 206 Liberalisme, 184

M

Mahfud MD, 23, 28, 36, 57, 59, 61, 64, 65, 67, 164, 186

Mahkamah Konstitusi (MK), 163

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 41, 196

Majelis Ulama Indonesia (MUI), 199

Matakin, 142, 161 Menteri, 38, 129, 137, 165, 166,

179, 180, 211 Moh. Hatta, 24, 26, 27 Montesqiueu, 12 Muhammadiyah, 64, 99, 122,

155

N

Nabi, 99, 132, 134, 140, 159 Negara, 2, 5, 12, 18, 21, 22, 23,

27, 30, 31, 32, 34, 35, 39, 41, 42, 47, 48, 54, 55, 59, 60, 62, 63, 64, 67, 69, 70, 71, 77, 90, 93, 96, 107, 108, 110, 113, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 153, 160, 162, 169, 170, 174, 176, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 190, 193, 194, 195, 196, 201, 202, 206, 209, 213, 214

Nilai, 13, 64, 68, 185, 188, 190, 195, 207, 209

P

Paradigma, 22, 69, 86, 148, 149, 150

Partikular, 53, 90, 188

Page 237: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

226 Indeks

Partikular-Absolut, 90, 188, 207

PBB, 14, 15, 16, 18, 20, 30, 31, 33, 47, 93, 168

Pemerintah, 31, 32, 34, 35, 40, 42, 47, 69, 93, 103, 116, 136, 138, 166, 188, 189, 195, 196, 197, 207, 208

Pendidikan, 24, 59, 74 Perda, 170, 171, 172, 173, 174,

180, 211 Pers, 85, 139 Persekusi, 130 Persepsi i, 90, 96, 100, 103, 188,

190, 201, 206, 209 PGI, 142, 161 PHDI, 161 Pidana, 3, 116, 162 Presiden, 37, 38, 39, 108, 110,

134, 138, 145, 155, 160, 164, 198

R

Republik Indonesia Serikat (RIS), 31

Romawi, 7, 8, 9, 10 Ruang publik, 77

S

Salamullah, 200 Sekularistik, 150 SKB, 129, 130, 133, 136, 137,

165, 166, 176, 179, 180 Soeharto, 109, 110, 138, 145

Soekarno, 23, 24, 26, 37, 38, 61, 108, 160

Soepomo, 23, 24, 25, 26, 36, 61 Staat, 38 Stoik, 6, 11 Substansi hukum, 153 Susilo Bambang Yudhoyono,

134

T

Timur, 26, 27, 34, 35, 75, 90, 94, 102, 116, 122, 126, 135, 167, 173, 174, 179, 200

Toleransi, 82

U

UDHR, 20, 102 Universal l, 15, 18, 96, 98, 188,

190, 195, 207, 209 Universal-absolut, 96 UUD 1945, 21, 22, 23, 24, 27, 28,

29, 30, 31, 32, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 59, 60, 61, 62, 113, 151, 152, 154, 157, 171, 180, 190, 196, 197, 205, 209, 216, 217

UUD 1950, 36

W

Walubi, 142, 161 Warga negara, 79

Y

Yamin, 24, 26, 27, 61

Page 238: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

Rohidin 227

Tentang Penulis

Rohidin kelahiran Subang Jawa Barat, 06 Maret 1967, anak dari

pasangan H. Syafei dan Hj. Sawinah adalah staf pengajar

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Masa kecil dilalui

di kampung halamannya, tepi Pantai Pondok Bali, Pamanukan,

Subang, dengan menimba pendidikan Sekolah Dasar hingga

lulus pada 1980. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di

Pondok Pesantren Persatuan Islam Benda Tasikmalaya, selesai

1986. Pada 1991, Rohidin menyelesaikan Studi Strata 1 (S1) di

IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Studi Strata 2 (S2) ditempuh di

Program Kerjasama UI-IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, selesai

1997. Pada 2007 ia melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu

Hukum Universitas Diponegoro Semarang, selesai pada 19 Maret

2013.

Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga ini telah

menulis beberapa artikel di Jurnal seperti “Pemikiran Hukum

Islam Imam Syafi’i dalam perspektif sosiologis” (Jurnal Hukum

FH UII), “White Crime Collar dalam Perspektif Islam” (Jurnal

Hukum FH UII) dan “Problematika Beragama di Indonesia:

Potret Persepsi Masyarakat terhadap Otoritas Fatwa MUI”

(Jurnal Hukum FH UII), “Fatwa Sesat MUI terhadap Aliran

Keagamaan di Indonesia Ditinjau dari Perspektif HAM” (Jurnal

Hukum FH Unnes Semarang).

Di antara beberapa penelitian yang pernah dilakukannya

adalah: “Qiyas sebagai Metode Penemuan Hukum Islam”

Page 239: pak.uii.ac.id · 2020. 11. 2. · kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak untuk memberikan suaranya,

228 Tentang Penulis

(Penelitian di Fakultas Hukum UII), “Internalisasi Beberapa

Ketentuan Hukum Waris Adat ke dalam Kompilasi Hukum

Islam” (penelitian individual, Penelitian di Lembaga Penelitian

UII), “Pengaruh Lokal terhadap Kompilasi Hukum Islam”

(Penelitian Individu, Penelitian di Lembaga Penelitian UII),

“Sebab-sebab Perceraian di Yogyakarta” (Penelitian Lembaga

Penelitian UII), “Peran Ulama dalam Sosialisasi Kebijakan

Integrasi Sosial Penyandang Cacat ke dalam Mainstream

Masyarakat” (Penelitian Lembaga Penelitian UII), “Kawin Siri di

Kalangan Mahasiswa Yogyakarta” (Penelitian di Fakultas

Hukum), “Fatwa Sesat Majelis Ulama Indonesia: Studi Tentang

Paradigma MUI dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat dan

Kaitannya dengan Prinsip-Prinsip HAM”, (Penelitian di

Lembaga Penelitian UII), “Persepsi Masyarakat terhadap Fatwa

MUI tentang Aliran Sesat Keagamaan” (Penelitian DP2M Dikti),

dan “Corak Berpikir Keagamaan dan Toleransi: Studi Kasus

Mahasiswa Aktivis Islam di DIY” (Penelitian di DP2M Dikti). []