pada mencit balb/c model sepsis paparan …... · pada penelitian ini digunakan 18 ekor mencit...
TRANSCRIPT
i
PERBEDAAN MORTALITY RATE
PADA MENCIT BALB/C MODEL SEPSIS
PAPARAN LIPOPOLISAKARIDA DENGAN CECAL INOCULUM
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
ARIANA SETIANI
G 0005063
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
ii
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Mei 2009
Ariana Setiani NIM. G0005063
iii
PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul: Perbedaan Mortality Rate Pada Mencit Balb/C Model
Sepsis Paparan Lipopolisakarida dengan Cecal Inoculum
Ariana Setiani, G0005063, Tahun 2009
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada Hari Kamis, Tanggal 7 Mei 2009
Pembimbing Utama Nama : Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si. NIP : 132 233 152 ................................ Pembimbing Pendamping Nama : Sri Sutati, Dra., Apt., SU. NIP : 130 818 781 ................................ Penguji Utama Nama : Sri Hartati H, Dra., Apt., SU. NIP : 130 786 653 .................................. Anggota Penguji Nama : Ipop Syarifah, Dra., M.Si. NIP : 131 472 635 ..................................
Surakarta, ...........................
Ketua Tim Skripsi
Sri Wahjono, dr.,Mkes. NIP: 130 134 646
Dekan FK UNS
Prof. Dr. AA Subijanto, dr, MS. NIP: 130 134 565
iv
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Alloh SWT yang hanya dengan karunia dan kemudahan dari-Nya lah penulisan skripsi ini bisa selesai. Skripsi dengan judul “Perbedaan Mortality Rate Pada Mencit Balb/C Model Sepsis Paparan Lipopolisakarida dengan Cecal Inoculum” ini, disusun untuk memenuhi persyaratan kelulusan sarjana kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. AA. Subiyanto, dr., MS., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Diding Heri Prasetyo, dr. M.Si. selaku pembimbing utama yang telah
berkenan meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, pengarahan, serta motivasi bagi penulis.
4. Dra. Sri Sutati, Apt., SU. selaku pembimbing pendamping yang telah berkenan meluangkan waktu, pengarahan, serta motivasi.
5. Dra. Sri Hartati, Apt., SU. selaku penguji utama yang telah menyediakan waktu untuk menguji dan memberikan saran serta nasihat untuk menyempurnakan kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
6. Dra. Ipop Syarifah, M. Si. selaku anggota penguji yang telah memberikan waktu, saran dan nasihat untuk memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Skripsi ini jauh dari kata baik dan sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bisa bermanfaat bagi kemajuan ilmu kedokteran khususnya pada perkembangan pengetahuan mengenai patofisiologi dan pengobatan sepsis, serta bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta, Agustus 2008
Surakarta, Mei 2009
Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ......................................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................................
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
DAFTAR TABEL .....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
vi
vii
ix
x
xi
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN ...................................................................
A. Latar Belakang Masalah ...................................................
B. Perumusan Masalah .........................................................
C. Tujuan Penelitian .............................................................
D. Manfaat Penelitian .......................................................
LANDASAN TEORI………………………………………...
A. Tinjauan Pustaka ..............................................................
1. Sepsis ………………………………………………...
2. Lipopolisakarida……………………………..............
3. Cecal Inoculum.....................................................
B. Kerangka Pemikiran .........................................................
1. Kerangka Pemikiran Konseptual .................................
2. Kerangka Pemikiran Teoritis .......................................
METODE PENELITIAN…………………………………….
A. Jenis Penelitian…………………………………………..
B. Lokasi Penelitian………………………………………...
C. Subyek Penelitian………………………………………..
D. Teknik Sampling………………………………………...
E. Variabel Penelitian……………………………………...
F. Skala Variabel…………………………………………...
G. Definisi Operasional ………..…………………………...
1
1
3
3
3
4
4
4
7
9
10
10
11
12
12
12
12
12
13
13
13
vi
BAB IV
BAB V
BAB VI
H. Rancangan Penelitian……………………………………
I. Instrumentasi Penelitian…………………………………
J. Cara Kerja……………………………………………….
K. Analisis Data…………………………………………….
HASIL PENELITIAN……………………………………......
A. Hasil Penelitian………………………………………….
B. Analisis Data..……………………………………....
PEMBAHASAN……………………………………………..
SIMPULAN………………………………………………
A. Simpulan……………………………………………...
B. Saran…………………………………………………......
15
15
16
18
19
19
22
23
31
31
31
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 32
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1.
Kerangka Berpikir Konseptual 10
Gambar 3.1.
Skema Rancangan Penelitian
15
Gambar 3.2.
Skema Rancangan Kerja
17
Gambar 4.1.
Histogram Survival rate 20
Gambar 4.2.
Prosentase perubahan berat badan mencit 20
Gambar 4.3.
Grafik perubahan suhu mencit 21
vii
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 4.1. Data Mortalitas Mencit 19
Tabel 4.2. Hasil Analisis Statistik 22
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Hasil Penelitian
Lampiran B. Hasil Analisis Statistik dengan Uji
Lampiran C.
Tabel Daftar Volume Maksimal Larutan Sediaan Uji
yang Dapat Diberikan pada Berbagai Hewan
Lampiran D. Jadwal Penelitian
Lampiran E.
Lampiran F.
Foto Instrumen Penelitian
Foto Bahan Penelitian
Lampiran G. Dokumentasi Kegiatan Penelitian
viii
ABSTRAK
Sepsis merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pasien. Pengetahuan patofisiologi dan pengobatan sepsis terus diupayakan. Untuk itu, diperlukan pengembangan hewan coba model sepsis yang lebih menyerupai kondisi klinik. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan mortality rate mencit Balb/C model sepsis paparan Liopolisakarida (LPS) dengan Cecal Inoculum (CI).
Pada penelitian ini digunakan 18 ekor mencit Balb/C jantan dengan berat badan + 20-40 gram, dan berumur 4-6 minggu. Mencit dibagi 3 kelompok: kelompok LPS (n=6) diinjeksi 0,3 mg LPS/ mencit i.p. kelompok Cecal inoculum (n=6) diinjeksi 8 mg CI/ mencit i.p. dan kelompok kontrol (n=6). Mortality rate diamati selama 7 hari meliputi jumlah mencit mati, temperatur dan berat badan. Uji One way anova dengan p<0.05 digunakan untuk menentukan kemaknaan.
Hasil penelitian didapatkan mortality LPS 50%, CI 0%, dan kontrol 0%. Terdapat perbedaan pola perubahan suhu harian dan penurunan BB pada kelompok sepsis. Analisa statistik menunjukan perbedaan bermakna mortality rate.
Sehingga disimpulkan terdapat perbedaan pada mencit Balb/C model sepsis paparan LPS dengan CI.
Kata kunci: sepsis, mortality rate, LPS, cecal inoculum
ix
ABSTRACT
Ariana Setiani, G0005063, 2009. Mortality Rate Difference on Balb/c Mice Model of Sepsis Induced by Lipopolysaccharide and by Cecal Inoculum. Medical Faculty of Sebelas Maret University. Surakarta.
Sepsis is major leading cause of morbidity and mortality. Considerable effort have been developing the pathophysiology and treatment of sepsis. Thus we need to develop animal model to mimic human sepsis. This study was aimed to evaluate the difference mortality rate on balb/c mice model of sepsis induced by lipopolysaccharide (LPS) and those by Cecal Inoculum (CI).
18 male balb/c mice weighing + 20-40 gram on age 4-6 week were used in the study. Mice were divided into 3 groups: LPS (n=6) induced by LPS injection 0.3mg/mice/i.p; CI (n=6) induced by CI injection 8 mg/mice/i.p; and control group (n=6). Mortality rate were evaluated each day for 7 days by determining the mortality, temperature and body weight of mice. One way anova were used to determine significant difference by p<0.05.
Result for mortality of LPS 50%, CI 0%, while control 0%. The daily temperature exhibiting distinct alteration pattern, and weight loss happen on both sepsis groups. Statistic analysis shows mortality difference between groups.
It can be concluded that there is significant difference on balb/c mice model of sepsis induced by LPS and those by CI. Key words: sepsis, mortality rate, LPS, cecal inoculum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepsis adalah suatu sindroma klinik sebagai manifestasi proses
inflamasi imunologik yang terjadi karena adanya respon tubuh (imunitas)
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme (Remick, 2007;
James et al., 2005), dengan atau tanpa ditemukannya organisme tersebut
didalam darah (Guntur, 2006a). Sepsis menyebabkan kurang lebih 10 %
x
kematian di dunia (Buckley, 2006), penyebab kematian terbesar ketiga setelah
penyakit kardiovaskular dan kanker (Qin et al., 2006), serta insidennya terus
meningkat (Oscar et al., 2006; Shahin et al., 2006). Meskipun telah terjadi
kemajuan terapi, sepsis masih merupakan masalah klinis yang penting (Xiao et
al., 2006), baik di negara berkembang maupun negara maju (Ismanoe, 2008).
Sepsis dapat menyebabkan syok dan kegagalan sistem organ yang
merupakan sindroma klinik yang sangat penting (James et al., 2005). Pada
tahun 1997 di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.Moewardi Surakarta,
ditemukan bahwa 130 (97%) dari 135 pasien sepsis dengan syok sepsis
meninggal (Arifin dan Guntur, 2006).
Pada tiga dekade terakhir ini, pengetahuan patofisiologi dan
pengobatan sepsis terus diupayakan (Riedeman et al., dalam Garrido et al.,
2004). Model hewan coba sangat penting dalam pengembangan terapi sepsis
dan syok sepsis.
Banyak model sepsis yang telah dikembangkan. Garrido et al. ( 2004)
menyebutkan beberapa model sepsis yaitu intravascular infusion of endotoxin,
bacterial peritonitis, cecal ligation and perforation, soft tissue infection,
pneumonia model, dan meningitis model. Sementara Deitch (2005)
menyebutkan model sepsis intra abdominal yang terdiri atas intra-abdominal
instillation of bacterial products, fecal pellets, defined bacterial inoculums,
dan endogenous fecal contamination models.
1
xi
Endotoxicosis model atau model sepsis paparan lipopolisakarida (LPS)
secara umum digunakan dalam penelitian sepsis, meskipun terdapat
kontroversi mengenai relevansinya terhadap sepsis pada manusia (Garrido et
al., 2004). Dimana sepsis tidak hanya terjadi karena induksi endotoksin saja.
Sepsis dapat terjadi pada rangsangan endotoksin, eksotoksin, virus, dan parasit
(Guntur, 2006a). Sehingga para peneliti menyepakati injeksi LPS sebagai
model syok endotoksin, bukan model sepsis (Riedemann, Fink, dalam Garrido
et al., 2004). Disamping harga LPS yang mahal.
Model sepsis lain yang dikembangkan adalah bacterial inoculum
model, yang salah satu tekniknya adalah cecal inoculums (CI). Dimana model
ini meniru keadaan peritonitis pada manusia (Deitch, 2005).
Ketidaksesuaian kondisi klinis pada hewan coba dengan manusia
menyebabkan perkembangan terapi sepsis kurang memuaskan (Ebong et. al,
1999). Oleh sebab itu, perlu dilakukan banyak pengembangan pada hewan
coba model sepsis (Garrido et al., 2004) sehingga didapatkan model sepsis
yang lebih menyerupai kondisi klinik pada manusia dengan harga lebih
terjangkau.
Meskipun model CI dianggap lebih sesuai dengan kondisi klinis pada
manusia, namun belum ada penelitian yang membuktikan keunggulannya
dibanding model sepsis standart yang sering dipakai, yakni injeksi LPS.
B. Perumusan Masalah
xii
Adakah perbedaan mortality rate pada mencit Balb/C model sepsis
paparan LPS dan CI?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan mortality rate pada
mencit Balb/C model sepsis paparan LPS dan CI.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis :
Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai model sepsis
yang lebih menyerupai keadaan klinis pada manusia dengan harga
terjangkau.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk penelitian
sepsis lebih lanjut.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Sepsis
Sepsis adalah suatu sindroma klinik sebagai manifestasi proses
inflamasi imunologik yang terjadi karena adanya respon tubuh (imunitas)
yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme (Remick,
xiii
2007; James et al., 2005), dengan atau tanpa ditemukannya organisme
tersebut dalam darah (Guntur, 2006a).
Guntur (2008a,b), membagi sepsis dalam 5 derajat:
a. Systemic Inflammatory Responds Syndrome (SIRS), ditandai dengan
≥2 gejala:
1) Hiperthermia/Hipothermia (>38,3° C/< 35,6° C)
2) Takipneu ( frekuensi respirasi >20 menit)
3) Takikardi ( frekuensi jantung >100/menit)
4) Leukositosis > 12.000/mm atau Leukopenia <4000/mm
5) Leukosit lebih dari 10% imatur
b. Sepsis
Infeksi disertai SIRS
c. Sepsis berat
Sepsis disertai disfungsi organ multipel (multiple organ
disfunction/ MODS) / gagal organ multipel (multiple organ failure /
MOF), hipotensi, oligouri bahkan anuri.
d. Sepsis dengan hipotensi
xiv
Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg atau
penurunan tekanan tekanan sistolik > 40 mmHg).
e. Syok sepsis
Syok sepsis adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan
sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah
mendapat resusitasi cairan disertai hipoperfusi jaringan.
Sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatif, bakteri gram positif,
jamur, virus, dan parasit (Edwin et al., 2003; James et al., 2005). Bakteri
gram negatif merupakan penyebab sepsis terbesar dengan prosentase 60-
70% kasus, bakteri gram positif menyebabkan 20-40% kasus, sementara
jamur oportunistik, virus (Dengue dan Herpes), atau protozoa (Falciparum
malariae) juga dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, meskipun jarang
(Guntur, 2006a).
Patofisiologi sepsis sangat kompleks akibat dari interaksi antara
proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi (Kristine et
al., 2007). yang dikarakteristikan sebagai ketidakseimbangan antara
sitokin proinflamasi dengan sitokin dengan anti-inflamasi (Elena et al.,
2006). Sitokin proinflamasi yang terlibat selama sepsis antara lain TNF-α,
IL-1β, IL-6 dan MIP-2α, sedang sitokin antiinflamasi yang terlibat adalah
IL-10, IL-1RA, IL-4, dan reseptor soluble TNF (Ismanoe, 2008).
xv
Overproduksi sitokin inflamasi menyebabkan aktivasi respon
sistemik berupa SIRS terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus dan organ
lainnya (Arul, 2001) yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi
jantung dan menginduksi perubahan metabolik, menyebabkan terjadinya
apoptosis maupun nekrosis jaringan, MOF, syok septik serta kematian
(Javier et al., 2005; Arul, 2001).
Peningkatan kadar TNF-α, IL-1β, dan IL-6 mencetuskan berbagai
macam gambaran sepsis termasuk demam, takikardia, takipneu,
lekositosis, mialgia dan somnolen. Kadar TNF-α yang tinggi menginduksi
terjadinya syok, koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dan kematian
(Ismanoe, 2008).
Sistem pertahanan innate host terhadap sepsis secara integral
dihubungkan dengan proses inflamasi dan koagulasi (Kristine et al., 2007).
Inflamasi merupakan upaya tubuh untuk menghilangkan dan eradikasi
organisme penyebab yang secara langsung berhubungan dengan aktivasi
sitem koagulasi dan fibrinolisis (Guntur, 2008a). Koagulasi intra vaskuler
merupakan formulasi dari respon inflamasi lokal yang dapat menghambat
invasi mikroba, mencegah infeksi serta penyebarluasan inflamasi ke
jaringan lain (Ismanoe, 2008). Endotoksin dan TNF-α dapat mengaktifkan
sistem koagulasi (Kristine et al., 2007) yang mengakibatkan pengaktifan
sel endothel vaskuler yang berperan dalam aktivasi limfosit (Guntur,
2008a)
xvi
Biomarker sepsis meliputi C-reactive protein (CRP), Procalcitonin
(PcT) dan LPS-binding protein (LBP) (Shahin et al., 2006). Petanda
biomolekuler ini memegang peranan penting dalam diagnosa awal sepsis
(Guntur, 2008a).
Penatalaksanaan sepsis umumnya dilakukan dengan mempertahan-
kan hemodinamik tetap normal, pemberian antibiotika dan pengobatan
penyakit dasar, eliminasi pusat dan sumber infeksi, serta pemberian
imunonutrisi (Guntur, 2008b). Pengobatan sepsis gram negatif didasarkan
pada pemberian antimikroba yang adekuat dan support disfungsi organ
(Oscar et al., 2006).
2. Lipopolisakarida (LPS)
Lipopolisakarida merupakan produk yang berperan penting
terhadap sepsis (Oscar et al., 2006; Edwin et al., 2003), yaitu komponen
utama membran luar bakteri gram negatif (Oscar et al., 2006), yang
bersifat stabil terhadap panas (Bochud dan Chalandra, 2003). LPS
dinyatakan sebagai penyebab sepsis paling banyak (Guntur, 2006a).
Dorland (2005) menyebutkan, LPS merupakan endotoksin dan
antigen grup spesifik penting (antigen O) yang terdiri atas tiga bagian,
yaitu lipid A, inti polisakarida, dan rantai spesifik O. Struktur lipid A
bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita (Guntur,
2008a).
xvii
Lipopolisakarida tidak bersifat toksik, tetapi merangsang
pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggungjawab terhadap sepsis
(Guntur, 2006a). Dalam darah, LPS diikat oleh LBP. Kompleks LPS-LBP
berinteraksi dengan toll-like receptor 4 (TLR4) dengan perantaraan
reseptor CD14+ untuk menginduksi nuclear factor κ-B (NFκ-B) sebagai
sinyal dan transkripsi sitokin proinflamasi (Hongwei et al., 2005; Kristine
et al., 2007). LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan
humoral yang dapat menimbulkan gejala septikemia (Guntur 2006a), dan
merangsang peradangan jaringan, demam, dan syok pada hospes yang
terinfeksi (Ismanoe, 2008).
Lipopolisakarida mengaktifkan respon inflamasi sistemik yang
dapat menyebabkan suatu keadaan SIRS terutama pada paru-paru, hati,
ginjal, usus dan organ lainnya, mengakibatkan syok, MOF, serta kematian
(Arul, 2001).
Dalam penelitian, injeksi LPS secara umum digunakan sebagai
suatu model standard untuk menginduksi sepsis pada hewan coba (Kruzel
et al., 2000). Meskipun demikian, terdapat kontroversi mengenai
relevansinya terhadap sepsis pada manusia (Garrido et al., 2004).
3. Cecal inoculum
Dorland (2005), menjelaskan pengertian cecum atau usus buntu
yakni lubang keluar dari midgut, dengan fungsi tak tentu, sebagaimana
appendix pada manusia. Sedangkan inoculum adalah bahan yang dipakai
xviii
dalam inokulasi, yaitu pemasukan mikroorganisme, bahan infektif, serum,
dan substansi lain ke dalam jaringan organisme hidup atau pemasukan
agen penyakit ke dalam individu sehat untuk menimbulkan bentuk ringan
penyakit tersebut yang menimbulkan imunitas.
Model sepsis paparan Cecal inoculums menggunakan injeksi
material cecal secara intra peritoneal (Chopra dan Sharma, 2007).
Sehingga peritoneal terkontaminasi polimikroba, sebagaimana keadaan
klinik appendiksitis dan diverticulitis pada manusia (Garrido et al.,2004).
xix
B. Kerangka Pemikiran
1. Kerangka Berpikir Konseptual
kematian
Gram (+) Jamur Virus Parasit
LPS
Material Cecal
Antigen Presenting Cell (APC)
Sitokin Proinflamasi ↑↑↑
Sitokin Anti-inflamasi
SIRS
MOD/F
Sepsis
Inflamasi
Gram(-)
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
xx
2. Kerangka Berpikir Teoritis
Eksotoksin, virus, jamur, bakteri, maupun parasit merupakan
antigen yang apabila memasuki tubuh akan difagosit oleh monosit atau
makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell kemudian
ditampilkan dalam antigen precenting cell (APC). Antigen ini membawa
muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility
Complex (MHC). Antigen yang bermuatan peptida MHC kelas II akan
berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR
(T Cell Receptor), kemudian akan berfungsi sebagai imunomodulator dan
berfungsi untuk mengekpresikan sitokin proinflamatori yang akan
menyebabkan inflamasi (Guntur, 2008a)
Lipopolisakarida yang dinyatakan sebagai penyebab sepsis
terbanyak, berikatan dengan protein darah membentuk kompleks LPS-
LBP, yang dapat mengaktifkan sistem imun humoral dan selular secara
langsung sehingga menimbulkan perkembangan gejala septikemia
(Guntur, 2006a).
Sel-sel radang akan muncul pada daerah yang mengalami reaksi
inflamasi. Sitokin pro inflamasi IL-1, IL-6 dan TNFα dapat meningkatkan
adhesi neutrofil terhadap endotel, menyebabkan kerusakan endotel
tersebut sehingga terjadi gangguan vaskuler (Remick, 2007; James, 2005),
menyebabkan nekrosis jaringan, MOF serta kematian (Javier et al., 2005;
Arul, 2001).
xxi
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan post tes only
control group design.
B. Lokasi penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian berupa 18 ekor mencit Balb/C jantan dengan berat
badan + 20-40 gram, berumur 4-6 minggu. Mencit Balb/C diperoleh dari Unit
Pengembangan Hewan Percobaan Universitas Setia Budi, Surakarta. Bahan
makanan mencit digunakan pakan mencit BR 1.
D. Teknik Sampling
Untuk pengambilan sampel digunakan teknik incidental sampling.
xxii
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas : LPS, Cecal Inoculum
2. Variabel Terikat : mortality rate
3. Variabel luar
a. Dapat dikendalikan : Genetik, berat badan, makanan, umur
b. Tidak dapat dikendalikan : Variasi kepekaan terhadap suatu zat
F. Skala Variabel
1. LPS à diberi / tidak : skala nominal
2. Cecal Inoculumà diberi/ tidak : skala nominal
3. Mortality rate mencit Balb/C : skala rasio
G. Definisi operasional
1. Model sepsis paparan LPS
Untuk membuat model sepsis paparan LPS, dilakukan inokulasi
intra peritoneal LPS dengan dosis 0,3 mg/mencit (Ando et al., 2000).
Sebanyak 10 mg LPS dari Sigma-aldrich dilarutkan dalam 10 ml larutan
Phosphat Buffered Saline (PBS). Sehingga dosis larutan yang diinjeksikan
adalah 0,3 ml per mencit.
xxiii
2. Model sepsis paparan cecal innoculum
Cecal inoculum disiapkan baru setiap hari dari cecum mencit donor
sehat yang dikorbankan, dengan mensuspensikan 200 mg material cecal
dalam 5 ml Dextrose Water 5% (Ren et al., 2002). Untuk membuat model
sepsis paparan CI digunakan injeksi 8 mg CI per mencit secara intra
peritoneal (Chopra dan Sharma, 2007). Sehingga dosis yang diinjeksikan
adalah 0,2 ml suspensi CI per mencit.
3. Mortality Rate
Mortality rate merupakan angka kematian mencit setelah mendapat
induksi sepsis, dihitung dari jumlah mencit mati dan dibandingkan dengan
jumlah seluruh sample yang digunakan dalam masing-masing kelompok
perlakuan. Data mortality rate didapatkan dengan mengamati keadaan fisik
mencit dan jumlah mencit mati dalam interval 24 jam selama 7 hari, didukung
dengan pengukuran temperatur mencit per rectal serta penimbangan berat
badan mencit dalam interval yang sama.
xxiv
H. Rancangan Penelitian
Keterangan
S : Jumlah mencit yang digunakan
K : Kelompok kontrol
P1 : Kelompok perlakuan 1
(induksi sepsis dengan LPS 0,3mg/mencit i.p pada hari ke-0)
P2 : Kelompok perlakuan 2
(induksi sepsis dengan Cecal Inoculum 8mg/mencit/hari i.p)
I. Instrumentasi Penelitian
1. Alat penelitian
a. Kandang hewan percobaan
b. Timbangan hewan Camry
c. Timbangan digital Mettler Toledo
d. Spuit injeksi 5ml
e. Spuit tuberculin
f. Pipet ukur
g. Labu takar 10ml
h. Beaker glass 250ml
i. Alumunium foil
Mortality rate
S
Analisa dengan One way anova
K
P1
P2
Gambar 3.1 Skema Rancangan Penelitian
xxv
j. Alat bedah minor
k. Termometer digital
2. Bahan penelitian
a. Lipopolisakarida (LPS)
b. Larutan Phospat Buffer aline (PBS)
c. Material cecal
d. Dextrose Water 5% (D5W)
e. Alkohol 70%
f. Aquadest
g. Hewan uji (18 ekor Mencit Balb/C)
h. Makanan hewan uji
J. Cara Kerja
1. Sebelum perlakuan
a. Hewan uji diadaptasi dengan kondisi laboratorium tempat penelitian
selama kurang lebih 1 minggu.
b. Hewan uji dikelompokkan secara acak menjadi 3 kelompok. Masing
masing kelompok terdiri dari 6 ekor mencit.
2. Pemberian perlakuan
xxvi
Kelompok 1, 2 dan 3 diberi diet standart berupa BR-1. Masing-
masing kelompok diberi perlakuan yang berbeda sejak hari ke-0
sampai hari ke-6.
Mencit 18 ekor
diet standar (pallet & air ad libitum)
Kelompok P 2 Mencit 6 ekor
HARI KE 0 – 6 + CI 8mg
(intraperitonial)
hari ke 0-6 mencit diperiksa survival, suhu dan berat badan nya kemudian dibandingkan antar kelompok
Kelompok K Mencit 6 ekor
HARI KE 0 + LPS 0,3 mg
(intraperitonial)
Kelompok P 1 Mencit 6 ekor
Gambar 3.2 Skema Cara Kerja
xxvii
K. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara statistik dengan uji One Way
Anova menggunakan program SPSS for windows release 15.0.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Data Hasil Penelitian
Setelah dilaksanakan penelitian, pada kedua kelompok perlakuan
didapatkan tanda-tanda mencit sepsis meliputi piloereksi, letargi, penurunan
aktifitas fisik serta penurunan nafsu makan dan minum. Sementara pada kelompok
kontrol, mencit menunjukan aktifitas fisik yang baik/nornal.
Hasil pengamatan pada kelompok kontrol (K) didapatkan seluruh mencit
(100%) dapat bertahan hidup sampai percobaan berakhir. Pada kelompok sepsis
model LPS, 50% mencit mengalami kematian pada awal masa percobaan, dan pada
kelompok sepsis model CI sampai masa percobaan berakhir didapatkan 0%
kematian.
Tabel 4.1. Data Mortalitas Mencit
No Hari ke Kelompok Kontrol Kelompok LPS Kelompok CI
Hidup Mati Hidup Mati Hidup Mati
1 0 6 0 6 0 6 0
2 1 6 0 4 2 6 0
3 2 6
4 3 6
5 4 6
6 5 6
7 6 6
Gambar 4.1 Histogram m
Pengukuran berat badan menunjukan m
sepsis mengalami kehilangan berat badan (BB)
mengalami kehilangan BB 9,6%
kehilangan BB mencapai 19,86%.
peningkatan BB sebesar 1,6%.
digambarkan dalam gambar 4.2.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
kontrol
100%
0%
xxviii
0 3 3 6
0 3 3 6
0 3 3 6
0 3 3 6
0 3 3 6
mortality rate
Pengukuran berat badan menunjukan mencit pada kedua kelompok
sepsis mengalami kehilangan berat badan (BB) selama perlakuan. Kelompok LPS
mengalami kehilangan BB 9,6% sedangkan pada kelompok mencit model sepsis CI
kehilangan BB mencapai 19,86%. Sebaliknya pada kelompok kontrol terdapat
peningkatan BB sebesar 1,6%. Perubahan berat badan mencit selama percobaan
gambar 4.2.
LPS CI
50%
100%
50%
0%
hidup
mati
0
0
0
0
0
pada kedua kelompok model
selama perlakuan. Kelompok LPS
mencit model sepsis CI
Sebaliknya pada kelompok kontrol terdapat
Perubahan berat badan mencit selama percobaan
Gambar 4.2 Prosentase perubahan berat badan mencit
Pada pengukuran suhu, didapat suhu mencit sehat (kontrol) berkisar antara
37,2°C – 38,2°C. Sementara pada mencit sepsis didapat data yang lebih bervariasi
dimana pada mencit model sepsis LPS suhu cenderung menunjukan keadaan
hipotermi pada awal masa perc
Rerata suhu harian mencit sepsis model CI berkisar antara 3
dengan suhu terendah 34.9
mencit sepsis model LPS rerata suhu harian berkisar antara 34.63
dengan suhu terendah 32
Variasi rerata suhu harian masing
gambar 4.3
1.6
-25
-20
-15
-10
-5
0
5
kontrol
xxix
Prosentase perubahan berat badan mencit
Pada pengukuran suhu, didapat suhu mencit sehat (kontrol) berkisar antara
C. Sementara pada mencit sepsis didapat data yang lebih bervariasi
dimana pada mencit model sepsis LPS suhu cenderung menunjukan keadaan
pada awal masa percobaan.
Rerata suhu harian mencit sepsis model CI berkisar antara 36°C –
suhu terendah 34.9°C dan suhu tertinggi mencapai 39.3°C. pada kelompok
mencit sepsis model LPS rerata suhu harian berkisar antara 34.63°C –
32°C dan suhu tertinggi 38.4°C.
Variasi rerata suhu harian masing-masing kelompok digambarkan dalam
-9.6
-19.9
kontrol lps ci
Pada pengukuran suhu, didapat suhu mencit sehat (kontrol) berkisar antara
C. Sementara pada mencit sepsis didapat data yang lebih bervariasi,
dimana pada mencit model sepsis LPS suhu cenderung menunjukan keadaan
– 38,41°C
kelompok
– 37.68°C
masing kelompok digambarkan dalam
xxx
Gambar 4.3 Grafik perubahan suhu mencit
B. Analisis Data
Analisis statistik data hasil penelitian mengenai mortality rate dilakukan
menggunakan uji one way anova dengan software SPSS for windows release 15.0.
Hasil analisis tertera pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil Uji Statistik dengan One Way Anova
Kelompok Perlakuan
Mortality Sig.
Mati Hidup LPS Jumlah 3 3
0,049 % 50 % 50 %
CI Jumlah 0 6 % 0 % 100 %
34
34,5
35
35,5
36
36,5
37
37,5
38
38,5
39
hari 0 hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7
lps
ci
kontrol
xxxi
BAB V
PEMBAHASAN
Sepsis merupakan sindroma klinik yang terjadi akibat respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Dalam penelitian ini
rangsang terhadap respon imun tubuh dihasilkan oleh LPS dan CI. Mencit balb/c
model sepsis baik yang diinduksi dengan injeksi intra peritoneal 0,3mg
LPS/mencit maupun dengan injeksi intraperitoneal 0,8mg CI/mencit menunjukan
tanda-tanda sepsis meliputi letargi, piloereksi, periokular discharge, diare,
kesulitan bernafas, penurunan aktifitas fisik, serta penurunan intake makan dan
minum. Sedangkan mencit yang tidak mendapatkan induksi sepsis (kontrol) tidak
menunjukan tanda-tanda adanya dystress serta masih memiliki pergerakan dan
aktifitas fisik yang normal.
Sepsis dapat menyebabkan terjadinya apoptosis maupun nekrosis jaringan,
MOD/MOF, serta kematian. Hasil penelitian menunjukan bahwa LPS
menyebabkan 33% kematian mencit pada hari ke-1 dan 50% pada hari ke-2
setelah induksi sepsis. Selain itu pada mencit yang masih dapat bertahan hidup
hingga hari ke-5 didapatkan nekrosis pada bagian ekor beserta adanya tanda
inflamasi hebat berupa edema di regio pedis mencit. Hal ini menunjukan
kesesuaian dengan teori, bahwa injeksi LPS dapat digunakan untuk membuat
model sepsis pada hewan coba (Garrido et al., 2004) dan telah digunakan secara
umum sebagai model standart untuk menginduksi sepsis (Kruzel et al., 2000).
xxxii
Lipopolisakarida merupakan komponen utama dinding bakteri gram
negatif yang memegang peranan penting dalam patogenesis sepsis. Dalam darah,
LPS diikat oleh LBP. LBP membawa LPS menuju reseptor CD14+ pada
permukaan sel monosit dan makrofag untuk berinteraksi dengan TLR4.
Selanjutnya menginduksi NFκ-B yang merupakan sinyal pengaturan transkripsi
sitokin proinflamasi, sehingga terjadi overproduksi sitokin proinflamasi, yang
akan menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS dan berakhir pada
kematian (Hongwei et al., 2005; Kristine et al., 2007; Elena et al., 2006).
Pada kelompok sepsis paparan CI tidak didapatkan kematian mencit (0%)
sampai akhir penelitian. Pada penelitian ini dicoba pula penggunaan dosis CI
12mg/mencit/i.p dan didapatkan hasil 100% kematian mencit dalam 24 jam
setelah induksi sepsis. Berbeda dengan penelitian Chopra dan Sharma, 2007 yang
mendapatkan angka mortalitas 10% pada hari-1, 33% pada hari ke-3, dan 42%
pada hari ke-7 setelah induksi sepsis pada tikus Sprague-Dawley jantan dengan
BB 350-400 gram menggunakan dosis CI 200mg/kg BB. Sementara penelitian
Gupta et.al, 2005 dengan dosis CI yang sama, didapat angka kematian 5-15%
sebelum mencapai 24 jam post induksi sepsis dan 40-60% antara hari ke-5 sampai
hari ke-7 post induksi sepsis. Perbedaan angka mortalitas hewan coba model
sepsis CI pada beberapa penelitian tersebut dimungkinkan karena perbedaan dosis
dan ketahanan hewan coba, akibat perbedaan spesies, genetic, maupun umur.
xxxiii
Meskipun tidak didapatkan kematian mencit pada kelompok paparan CI,
adanya tanda-tanda sepsis yang jelas setelah inokulasi CI menunjukan kesesuaian
dengan pendapat Chopra dan Sharma, 2007; Garrido et al., 2004; serta Ren et al.,
2002 bahwa CI dapat digunakan untuk menginduksi sepsis. Pada keadaan ini,
komponen CI berupa polimikroba yang berasal dari saluran pencernaan
menimbulkan infeksi intra-abdomen dan menghasilkan respon inflamasi
peritoneum yang merupakan salah satu sumber terjadinya sepsis (Remick et al.,
2002).
Polimikroba dapat mengaktivasi sel APC untuk mengekspresikan
imunomodulator yang dapat merangsang pembentukan sitokin proinflamasi
(Guntur, 2008) sehingga terjadi ketidakseimbangan sitokin pro inflamasi dan anti
inflamasi yang berakibat terjadinya SIRS dan Sepsis. Dengan demikian model
sepsis CI dapat dikatakan mampu menggambarkan dengan baik keadaan klinis
sepsis menyerupai peritonitis yang disebabkan infeksi polimikroba Akan tetapi
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan dosis CI yang tepat
baik untuk memicu sistem imun maupun untuk mendapatkan lethal dosis,
sehingga didapatkan model sepsis yang lebih sesuai dengan kondisi klinis pada
manusia.
Hasil penelitian menunjukan perbedaan angka kematian akibat induksi
sepsis secara bermakna (p=0.049) antara kelompok paparan LPS dengan CI.
Perbedaan ini terjadi akibat perbedaan dalam kecepatan pelepasan dan tingginya
kadar molekul proinflamasi. Xiao et al., 2006 menyebutkan tingginya kadar IL-6
pada sepsis fase akut dihubungkan dengan kematian awal hewan coba. Sementara
xxxiv
tingginya kadar IL-1 dan TNFα berhubungan dengan syok serta keparahan dan
kematian akibat sepsis (Guntur, 2006b). IL-1 menyebabkan MOF akibat disfungsi
endotel, sementara TNFα menyebabkan KID (ismanoe, 2008).
Kematian segera terjadi setelah induksi sepsis menggunakan LPS. Sesuai
dengan Guntur, 2006a bahwa LPS dapat langsung mengaktifkan sistem imun
seluler dan humoral yang dapat menimbulkan gejala septikemia. Sehingga terjadi
pelepasan molekul-molekul proinflamasi termasuk TNF-α, IL-1β, dan IL-6 secara
cepat dan dalam jumlah besar (Remick, 2007). Keadaan ini menyebabkan
terjadinya syok dan MODS (Deitch, 2005), sehingga injeksi LPS disepakati para
peneliti sebagai model syok endotoksin, bukan model sepsis (Riedemann, Fink,
dalam Garrido et al., 2004). Sedangkan polimikroba yang merupakan komponen
CI menginduksi pelepasan molekul-molekul proinflamasi pada fase lanjut dalam
jumlah kecil dan dengan durasi yang lebih panjang (Deitch, 2005).
Teori lain meyatakan kematian pada keadaan sepsis didahului dengan
adanya MOD/F yang terjadi karena ketidakmampuan respon imun akibat
disregulasi apoptosis sel-sel efektor imunologi (Chung et al., 2000; Chang et al.,
2007). Yakni penundaan pemusnahan sel-sel yang seharusnya dimusnahkan
seperti netrofil serta pemusnahan dini sel-sel yang seharusnya tidak dimusnahkan
seperti limfosit (Remick, 2007). Sesuai dengan teori tersebut, Chang et al., 2007
pencegahan apoptosis limfosit dapat menekan angka mortalitas.
xxxv
Penelitian Agrivina, 2009 menunjukan perbedaan bermakna hitung
limfosit darah tepi pada hewan coba model sepsis paparan LPS dengan CI.
Kelompok CI menunjukan hitung limfosit yang jauh lebih rendah (68,67±10,63)
dibanding kelompok LPS (88,17±2,56) maupun kelompok kontrol (89,67±4,59).
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian penulis, dimana kematian pada kelompok
LPS lebih banyak dari kelompok CI.
Hal ini menandakan kematian pada kelompok LPS dalam penelitian ini
bukan disebabkan oleh disregulasi apoptosis sel-sel efektor imun yang dapat
dipicu oleh peningkatan ekspresi P53 akibat banyaknya radikal bebas, steroid,
Nitric Oxide (NO) maupun peningkatan sitokin seperti IL-1 dan IL-6 yang
terbentuk dalam penderita sepsis (Guntur, 2006b; Ismanoe, 2008). Yang
kemudian mengaktifasi molekul pro apotosis seperti Bax maupun memicu cascade
caspase. Sejalan dengan penelitian Chopra dan Sharma, 2007 kenaikan pro
caspase-3, caspase-3, dan Bax disertai penurunan molekul anti apoptosis BCL2
pada hewan coba model sepsis terjadi mulai hari ke-3 dan menetap pada
pengamatan hari ke-7.
Dengan demikian, dimungkinkan kematian fase awal mencit paparan LPS
terjadi akibat kegagalan sirkulasi yang berhubungan syok endotoksin serta
peningkatan cepat berbagai molekul proinflamasi yang ditandai dengan kegagalan
pengaturan suhu.
Pengaruh Sepsis terhadap Perubahan Berat Badan
xxxvi
Sepsis dapat menyebabkan perubahan metabolisme tubuh. Pada penelitian
ini kelompok mencit kontrol mengalami kenaikan BB sebesar 1,6% sesuai teori
bahwa diet standart tidak menimbulkan efek inflamasi sehingga tidak menurunkan
nafsu makan maupun minum serta tidak menyebabkan perubahan metabolisme
pada mencit. Sedangkan pada kedua kelompok model sepsis ditemukan adanya
kehilangan BB, yang merupakan gejala penyerta infeksi bakteri (Remick et al.,
2005). Sesuai dengan terori bahwa pada keadaan sepsis terjadi penurunan nafsu
makan sebagai akibat apoptosis saluran cerna (Diding dan Subijanto, 2008)
maupun pengaruh IL-1β disamping pengaruh pada perubahan metabolism
karbohidrat (Ismanoe, 2008). Disamping itu, pada keadaan sepsis terjadi
peningkatan kebutuhan energi 80-90% yang diambil dari metabolisme lemak serta
proteolisis otot skeletal akibat peningkatan sitokin TNF-α, IL-1, IL-6, IFN- α
(Guntur, 2008c). Penurunan BB akibat proteolisis otot terjadi setelah hari ke-5.
Kelompok mencit yang mendapat induksi LPS mengalami kehilangan BB
sebesar 9,6%. Sedangkan kelompok CI mengalami kehilangan BB lebih banyak,
mencapai 19,89%. Sesuai penelitian Gupta et al., 2005 hewan coba model sepsis
paparan CI mengalami kehilangan BB yang signifikan selama periode 48-72 jam
post induksi sepsis dan sampai hari ke-7 tidak mengalami peningkatan kembali.
Hasnak (2009) memaparkan adanya perbedaan bermakna gambaran
histologis mukosa intestinal antara kelompok mencit sehat (tidak mendapat
induksi sepsis) dengan kelompok mencit yang sepsis baik yang diinduksi
menggunakan injeksi LPS maupun CI. Dimana pada kelompok model sepsis LPS
didapatkan derajat inflamasi usus 72,22% grade 3 dan 27,78% grade 4. Sementara
xxxvii
kelompok model sepsis CI menunjukan 5,56% grade 2, 61,11% grade 3, dan
33,33% grade 4.
Beratnya derajat inflamasi mukosa usus pada kelompok CI inilah yang
menyebabkan terjadinya penurunan BB secara signifikan. Selain itu kadar sitokin
proinflamasi yang cenderung menetap pada infeksi polimikroba mengakibatkan
penurunan nafsu intake makanan. Keadaan ini sesuai penelitian Xiao et al., 2006
yang memperlihatkan penurunan BB yang lebih tajam.pada hewan coba dengan
sepsis fase lanjut.
Pengaruh Sepsis terhadap Perubahan Temperatur
Mencit kelompok kontrol menunjukan suhu harian dalam batas normal,
yakni berkisar antara 37,2°C – 38,2°C. Sementara pada kedua kelompok model
sepsis terdapat perubahan suhu harian yang menunjukan adanya gangguan
termoregulasi akibat pengaruh interaksi sitokin pro inflamasi TNFα dan IL-1β
dengan sel-sel di daerah hipotalamus (Guntur, 2006b; Ismanoe, 2008). IL-1 yang
merupakan pirogen leukosit mampu memacu pembentukan prostaglandin,
terutama PGE-2 yang dapat memicu reaksi deman (Guyton, 1997). Hal ini sesuai
dengan teori bahwa sepsis dikarakteristikan dengan adanya gangguan
termoregulasi berupa hipotermi atau hipertermi.
Kelompok LPS cenderung mengalami hipotermi pada awal masa
percobaan, sementara pada kelompok CI terjadi hipertermi menjelang akhir masa
percobaan. Endotoksin gram negatif terutama LPS dapat secara cepat
menimbulkan gangguan pengaturan temperatur tubuh yang berhubungan dengan
xxxviii
pelepasan IL-1. Pada keadaan hipotermi berat, dapat menyebabkan henti jantung
maupun fibrilasi jantung (Guyton, 1997) yang dapat menyebabkan kematian.
Seperti hasil penelitian ini, kematian pada kelompok LPS terjadi pada hari ke-1
dan ke-2 pasca induksi sepsis dimana rerata suhu harian menunjukan angka
terendah. Hal ini lebih menguatkan pendapat bahwa pathogenesis sepsis yang
diinduksi LPS terjadi akibat mekanisme syok endotoksin.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Terdapat perbedaan mortality rate yang bermakna pada model
sepsis paparan LPS dan CI.
B. SARAN
1. Cecal inoculum dapat digunakan sebagai model sepsis yang lebih
mendekati keadaan klinis pada manusia dan lebih terjangkau dibanding
model sepsis paparan LPS.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesesuaian model
sepsis CI pada hewan coba dengan keadaan klinis pada manusia
dengan parameter berbagai petanda sepsis.
xxxix
3. Dapat digunakan sebagai dasar pada penelitian preklinik untuk
pengembangan pengetahuan patofisiologi sepsis dan pengembangan
terapi sepsis.
DAFTAR PUSTAKA
Agrivina BS. 2009. Perbedaan Hitung Limfosit pada Mencit Balb/c Model Sepsis Paparan LPS (Lipopolisakarida) dengan Cecal Inoculum. Skripsi. FK UNS
Arifin, Guntur AH. 2008. Sepsis Prevalency in dr. Moewardi Surakarta 2004. Kumpulan Karya Ilmiah A. Guntur H. Surakarta: UNS Press, p:11
Arul MC., Markus HL., Chandan KS., Terrence RB., Sunita SS., Vidya JS., Vaishalee AP., and Peter AW. 2001. Molecular signatures of sepsis multiorgan gene expression profiles of systemic inflammation. Am J Pathol. October; 159(4): 1199–1209.
Bochud PY., Calandra T. 2003. Pathogenesis of sepsis: new concepts and implications for future treatment. BMJ. 326:262–266.
Chang KC., Unsinger J., Davis CG., Schwulst SJ., Muenzer JT., Strasser A., Hotchkiss RS. 2007. Multiple triggers of cell death in sepsis: death receptor and mitochondrialmediated apoptosis. FASEB J. 21: 708–719.
Chopra M., Sharma AC. 2007. Distinct cardiodynamic and molecular characteristics during early and late stages of sepsis-induced myocardial dysfunction. Life Sci.81(4): 306–316.
Chung CS., Chaudry IH., Ayala A. 2000. The apoptotic response of the lymphoid immune system to trauma, shock and sepsis. In: Vincent, J-L., editor. Yearbook of Intensive Care and Emergency Medicine. Spinger-Verlag; Berlin. p. 27.-40.
Deitch, Edwin A. 2005. Rodent models of intra-abdominal infection. Shock. 24 :19-23.
Diding H. P, Subijanto A. A. 2008. Efek probiotik terhadap hitung limfosit pada sepsis. Medicina. 39(2):149-152.
Dorland. 2005. Kamus Kedokteran. Edisi 29. Jakarta: EGC
Ebong, S. Call, D. Nemzek, J. Bolgos, G. Newcomb, D. Remick, D. 1999. Immunopathologic Alterations in Murine Models of Sepsis of Increasing Severity. Infection and Imunity. 67(12): 6603–6610
xl
Edwin S.V.A.,Theo J.C.V.B., and Johan K. 2003. Receptors, Mediators, and Mechanisms Involved in Bacterial Sepsis and Septic Shock. Clin Microbiol Rev. 16(3): 379–414.
Elena GR., Alejo C., Gema R., and Mario D. 2006. Cortistatin, a new antiinflammatory peptide with therapeutic effect on lethal endotoxemia. J Exp Med. 203(3): 563–571
Garrido A.G., Francisco L., Rocha e Silva M. 2004. Experimental models of sepsis and septic shoch: an overview. Acta cirurgica Brasileira; 19(2): 82-88
Guntur H, A. 2006a. Penyakit Tropik dan Infeksi: Sepsis. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp:1862-1865.
Guntur H, A. 2006b. The Role of Immune Response in Sepsis and Septic Shock. In: Perspeektif Masa Depan Imunologi-Infeksi Edisi II. Surakarta: UNS press, pp: 48-56
Guntur H, A. 2008a. Sirs, Sepsis,& Syok Septik: Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan. Surakarta: Sebelas Maret University Press
Guntur H, A. 2008b. Clinical observation of IVIG (intravenous Immunoglobulins) in management of sepsis. The 2nd Indonesian sepsis forum. Surakarta: Sebelas Maret University Press, pp:106-113
Guntur, AH.2008c. The Role of Micronutrient in Chronical and Critical Illness. Kumpulan Makalah. National Symposium: The 2nd Indonesian Sepsis Forum. Surakarta: Sebelas Maret University Press. p:86
Guyton AC., Hall JE. 1997. Suhu Tubuh, Pengaturan Suhu, dan Demam. In: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi IX. Jakarta: EGC. Pp: 1141-56
Hasnak NF. 2009. Perbedaan Derajat Inflamasi Usus pada Mencit Balb/c Model Sepsis Paparan LPS (Lipopolisakarida) dengan Cecal Inoculum. Skripsi. FK UNS
Hongwei Q., Cynthia AW., Sun J L., Xueyan Z., and Etty NB. 2005. LPS induces CD40 gene expression through the activation of NF-κB and STAT-1α in macrophages and microglia. Blood. 106(9): 3114–3122.
Ismanoe G. 2008. The role of Cytokine in the Pathobiology of Sepsis. Kumpulan Makalah. National Symposium: The 2nd Indonesian sepsis forum. Surakarta: Sebelas Maret University Press, pp:114-118
James MJ., Naeem AA., and Edward A. 2005. Year in review in Critical Care, 2004: sepsis and multi-organ failure. Crit Care. 9(4): 409–413.
Javier C., José Y., David HE., Yolanda M., Ruben M., Isabel A., Antonia M., Pascual P., and Vicente V. 2005. Role of lipopolysaccharide and cecal ligation and puncture on blood coagulation and inflammation in sensitive and resistant mice models. Am J Pathol. 166(4): 1089–1098.
xli
Kristine M J., Sarah B.L., Anncatrine LP., Jesper EO., and Thomas B. 2007. Common TNF-α, IL-1β, PAI-1, uPA, CD14 and TLR4 polymorphisms are not associated with disease severity or outcome from Gram negative sepsis. BMC Infect Dis. 7: 108.
Kruzel ML, Harari Y, Chen CY, Castro GA. 2000. Lactoferrin protects gut mucosal integrity during endotoxaemia induced by lipopolysaccharide in mice. Inflammation. 24:33–44
Martijn P., Graham R., Herwig G., Francesca R., and Mitchel L. 2004. An international sepsis survey: a study of doctors' knowledge and perception about sepsis. Critical Care. 8:R409-R413.
Oscar C., Andrea G., Roberto G., Cristina B., Fiorenza O., Carmela S., Federico M., Alberto L., Barbara S., Marco R., Vittorio S., Margherita Z. and Giorgio S. 2006. LL-37 Protects rats against lethal sepsis caused by gram-negative bacteria. Antimicrob Agents Chemother. 50(5): 1672–1679.
Qin S.,Wang H., Yuan R., Li H., Ochani M., Ochani K., et.al.2006. Role of HMGB1 in apoptosis-mediated sepsis lethality. The Journal of Experimental Medicine. 203 (7): 1673-1643
Remick DG., Bolgos GR., Siddiqui J., Shin J., and Nemzek JA. 2002. Six at six: interleukin-6 measured 6 h after the initiation of sepsis predicts mortality over 3 days. Shock. 17:463–467
Remick DG, Bolgos G, Copeland S, Siddiqui J. 2005. Role of interleukin-6 in mortality from and physiologic respon to sepsis. Infection and Imunity. 73(5):2751-2757
Remick DG. 2007. Pathophysiology of sepsis. Am J Pathol. 170(5): 1435–1444.
Ren, Jun, Ren, Bonnie H, Sharma, Avadesh C. 2002. Sepsis-induced depressed contractile function of isolated ventricular myocytes is due to altered calcium transient properties. Shock. 18(3): 285-288
Shahin G., Ole GK., Court P., and Svend SP. 2006. Procalcitonin, lipopolysaccharide-binding protein, interleukin-6 and C-reactive protein in community-acquired infections and sepsis: a prospective study. Critical Care. 10:R53.
Xiao H., Siddiqui J., and Remick DG. 2006. Mechanisms of Mortality in Early and Late Sepsis. Infection And Immunity, Sept. p. 5227–5235
xlii