otonomi dan biaya ekonomi tinggi

Upload: imanagement

Post on 30-Oct-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ekonomi biaya tinggi

TRANSCRIPT

Pungli, Ekonomi Biaya Tinggi, dan Otonomi Daerah

Pungli, Ekonomi Biaya Tinggi, dan Otonomi Daerah

Oleh : Robert A Simanjuntak Ph. DISU pungutan liar (pungli) sudah menjadi persoalan yang akrab buat kita. Bahkan, banyak orang di Republik ini yang menganggapnya sebagai hal biasa atau lumrah. Dari dulu upaya untuk memberantasnya sudah digembar-gemborkan, dan sampai sekarang masalah pungli ini belum pernah bisa teratasi, kalau bukannya bertambah parah. Indonesia tetap saja menjadi salah satu Negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia, di mana pungli adalah salah satu komponen utamanya.

Namun, barangkali menarik buat kita amati bagaimana perubahan pola dan dampak dari pungli di era otonomi daerah ini. Sebab, ada yang bilang bahwa dengan desentralisasi juga terjadi "pendaerahan" korupsi. Artinya, korupsi yang tadinya banyak terjadi di pusat, karena sistem pemerintahan sentralistik, tersebar ke daerah-daerah. Singkatnya, telah terjadi "pemerataan" korupsi.

Benarkah demikian? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan ini karena dibutuhkan penelitian yang cermat dan mendalam. Indikasi awal memang menunjukkan bahwa pada era pasca-Soeharto justru pungli cenderung semakin merebak. Bukan hanya menyebar dari pusat ke daerah, tetapi juga ke segala sektor dan berbagai macam bidang kegiatan. Keluhan dari pengusaha dan masyarakat biasa sudah banyak kita baca dan dengar dari berbagai media massa. Ironisnya, ini terjadi ketika kita sibuk untuk melakukan reformasi ke arah perbaikan! Namun, bagaimana penjelasan rasional dari fenomena tersebut?

Di dalam literatur ekonomi ada yang disebut efficient grease hypothesis, yang menyatakan bahwa pungli, atau tepatnya "penyuapan" (bribery), cenderung "memperlancar urusan," sehingga akan meningkatkan efisiensi. Artinya, dunia usaha bersedia membayar sejumlah tertentu untuk menghindari atau mengurangi hambatan birokrasi (red tape). Semakin besar "suap" yang dibayarkan, maka semakin berkurang hambatan yang mereka hadapi. Dengan demikian perbedaan besar suap yang dibayarkan tersebut mencerminkan opportunity cost bagi para pengusaha bersangkutan.

Sebagaimana lazimnya suatu pemikiran, tentu saja ada yang menentang hipotesis di atas. Namun demikian, ini mempunyai implikasi empiris yang bisa diuji. Misalnya, bisa dilihat bagaimana korelasi antara waktu yang dihabiskan perusahaan untuk melobi birokrat dengan besarnya uang yang harus dibayar. Jika positif, maka hipotesis bahwa suap atau pungli itu memperlancar aktivitas ekonomi akan ditolak. Sebaliknya, jika hubungannya

negatif, maka efficient grease hypothesis tidak dapat ditolak. Uji itu bisa dilakukan juga untuk melihat kaitan antara besarnya suap dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang dilakukan LPEM-FEUI (2001).

***

DALAM kaitannya dengan desentralisasi, teori ekonomi pun memberikan prediksi yang mendua mengenai dampak otonomi daerah dan korupsi para birokrat. Model prodesentralisasi mengatakan, otonomi daerah akan memperbanyak keaneka-ragaman penyediaan barang dan jasa publik. Alasannya, birokrat daerahlah yang paling mengerti (kebutuhan) daerahnya.

Akan tetapi pandangan yang menentang mengatakan, ketidaksempurnaan institusional menyebabkan manfaat desentralisasi sulit direalisasikan. Misalnya, kurangnya kualitas SDM daerah sehingga efisiensi penyediaan barang publik menjadi sangat kurang. Atau, bertambahnya kekuatan (selain pemerintah pusat) yang meminta suap kepada pelaku ekonomi atau dunia usaha, yaitu pemerintah daerah. Akibatnya, kecenderungan setelah desentralisasi adalah peningkatan korupsi.

Pengalaman empirik memang menunjukkan hasil yang beragam. Wade (1998) menemukan bahwa korupsi di India banyak diakibatkan oleh struktur birokrasi yang terlalu tersentralisasi. Sejalan dengan itu, Huther dan Shah (1998) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa desentralisasi akan bisa menurunkan korupsi.

Sebaliknya, Brueckner (1999) mengklaim bahwa korupsi lebih banyak atau sering terjadi pada pemerintah daerah. Treisman (2000) juga mendukung pendapat ini di mana dia menemukan bahwa negara berkembang yang berbentuk federal cenderung lebih korup. Ini bisa terjadi karena baik pusat maupun daerah sama-sama meminta suap kepada pelaku ekonomi yang ada.

Bagaimana hubungan antara desentralisasi dan korupsi/ pungli di Indonesia memang masih merupakan pertanyaan empirik. Desentralisasi formal pun belum berjalan dua tahun, meskipun praktis setelah Soeharto lengser sudah berlangsung proses "pelemahan pusat dan penguatan daerah". Namun demikian, hasil penelitian LPEM-FEUI akhir tahun 2001 yang lalu menarik untuk dicermati.

Penelitian LPEM-FEUI tersebut utamanya bertujuan untuk menyusun indeks dari biaya menjalankan usaha (index of cost doing business) di daerah pada era otonomi. Namun, faktor korupsi (suap/pungli dan biaya tambahan lainnya) yang dilakukan birokrat ternyata menjadi faktor penentu yang cukup signifikan. Adapun sampel diambil sebanyak 60 daerah kabupaten/kota dari 20 provinsi. Daerah-daerah ini adalah yang dinilai memiliki kegiatan usaha relatif besar.

Hasil temuan pertama yang relevan dengan pembahasan ini menyangkut persepsi daerah yang menganggap pendapatan asli daerah (PAD) sebagai tolok ukur kemandirian. Semakin besar porsi PAD dalam APBD, maka semakin mandiri daerah. Dalam pandangan yang demikian, di era otonomi ini semestinya peran PAD adalah signifikan.

Implikasi pandangan ini adalah adanya upaya daerah untuk menerapkan berbagai pungutan baru, baik pajak maupun retribusi daerah, karena yang sudah ada potensinya tidak terlalu besar dan transfer dari pusat memiliki kadar ketidakpastian tinggi. Masalahnya, sebagian dari pungutan-pungutan baru tersebut cenderung distortif dan mengganggu distribusi barang dan jasa antardaerah.

Bagi dunia usaha, dampak langsung yang dirasakan adalah apa yang kita kenal sebagai ekonomi biaya tinggi. Di samping itu, banyak terdapat variasi peraturan (perda) antardaerah yang cenderung meningkatkan ketidakpastian. Ini terutama dirasakan oleh pengusaha yang beroperasi di beberapa daerah atau pengusaha nasional.

Temuan kedua yang sangat menarik adalah cenderung ditolaknya efficient grease hypothesis. Artinya, korupsi atau berbagai pungli oleh oknum pemerintah yang dihadapi pengusaha di Indonesia cenderung menurunkan efisiensi ekonomi, bukannya memperlancar transaksi ekonomi. Ini sangat kental terasa di era otonomi, di mana perizinan untuk berusaha di daerah banyak dipegang oleh pemerintah daerah.

Dunia usaha mengakui bahwa sejak dahulu pun yang namanya "biaya tambahan" ini sudah mereka sadari keberadaannya. Mereka sudah terbiasa untuk itu dan bisa memperkirakannya. Namun, dalam dua-tiga tahun terakhir ini, besarnya suap yang harus mereka lakukan makin sulit diprediksi. Bukan hanya soal jumlah uangnya yang meningkat, tetapi juga pihak-pihak yang mereka "harus" penuhi permintaannya.

Hal ketiga yang menarik adalah bahwa secara umum ketidakpastian karena biaya tambahan ternyata lebih dirasakan di luar Jawa ketimbang di Pulau Jawa. Sementara jika dilihat dari ketersediaan infrastruktur, "tarif suap" di daerah yang infrastrukturnya lebih baik juga cenderung lebih tinggi. Tampaknya ada kesadaran dari aparat akan kualitas infrastrukturnya ini yang membuat mereka berani menerapkan biaya pungutan lebih tinggi.

Terakhir yang layak dikemukakan disini adalah bahwa beban biaya tambahan secara relatif ternyata tidak sama untuk perusahaan besar, menengah, dan kecil. Ada kecenderungan bahwa semakin besar omzet perusahaan, maka semakin terasa kebutuhan biaya untuk memperlancar hubungan dengan birokrasi pemda. Dari sini tampaknya bisa disimpulkan bahwa dari kacamata perusahaan besar, biaya tambahan itu lebih menciptakan ketidakpastian dibanding perusahaan kecil.

Namun demikian, penelitian itu juga menunjukkan bahwa ternyata beban terberat untuk membayar biaya tambahan ini lebih dirasakan oleh perusahaan skala menengah. Pengamatan ini menjadi masuk akal karena memang birokrat daerah ternyata tidak terlalu tertarik meminta "uang semir" dari pengusaha-pengusaha kecil. Sementara mereka juga tidak cukup punya keberanian untuk mengganggu perusahaan-perusahaan besar yang punya koneksi politik kuat, ataupun yang bisa hengkang dari daerah.

***

SECARA umum hasil penelitian LPEM-FEUI tersebut memberikan gambaran bahwa ada kecenderungan semakin meningkatnya ketidakpastian usaha dalam tiga tahun terakhir ini. Faktor-faktor utama yang sangat berpengaruh adalah situasi politik keamanan, penegakan hukum, otonomi daerah, dan perilaku pemerintah (governance) terutama di daerah. Banyak pengusaha yang mengatakan bahwa, di masa lalu, kedekatan dengan pusat sudah cukup menjadi modal untuk melakukan segala hal di daerah. Sekarang, apa yang sudah dikatakan pusat belum tentu akan demikian halnya di daerah.

Jadi, studi LPEM-FEUI ini ternyata menguatkan indikasi yang sudah terasa beberapa waktu belakangan, yakni penyuapan/pungli tidak lagi memperpendek waktu dalam berhubungan dengan birokrasi. Inti pokok masalah bagi pengusaha di sini adalah ketidakpastian tersebut.

Sesungguhnya pengusaha, walau berat, lebih senang kalau pungli atau suap yang mereka hadapi sekarang ini dilegalkan saja. Karena dengan begitu, segala sesuatu lebih bisa diprediksi. Namun, itulah yang menjadi soal pokok. Daerah yang praktis memonopoli perizinan sekarang ini tampaknya sadar benar akan posisinya itu. Di sini tampak bahwa pemahaman akan besarnya dampak distortif berbagai pungutan tersebut perlu sekali ditanamkan kepada seluruh aparat birokrasi di daerah. Sebab masih saja ada yang berpikir, dan banyak, bahwa kalau dari ketidakpastian itu mereka bisa mendapatkan "pemasukan," kenapa harus diciptakan kepastian?

ROBERT A SIMANJUNTAK, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI).Sumber:http://www.freelists.org/post/untirtanet/Pungli-Ekonomi-Biaya-Tinggi-dan-Otonomi-Daerah

PAGE 4