otonomi daerahh 2

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (rozak abduh dkk : 1994 : 24) Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom yadalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah 1

Upload: dahlia-tambajong

Post on 16-Sep-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

gsd

TRANSCRIPT

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (rozak abduh dkk : 1994 : 24) Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom yadalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar pertimbangan

B. Rumusan Masalah1. Apa Pengertian Otonomi Daerah ?2. Bagaimana Sejarah Otonomi Daerah?3. Bagaimana Dasar hukum otonomi daerah ?4. Bagaimana Wewenang Otonomi Daerah ?5. Bagaimana Kebijakan Pada Bidang Otonomi Daerah?6. Bagaimana Visi Otonomi Daerah?7. Bagaimana Kedaulatan, Pemilu Dan Otonomi Daerah?C. Tujuan 1. Untuk mengetahui Apa Pengertian Otonomi Daerah 2. Untuk mengetahui Bagaimana Sejarah Otonomi Daerah3. Untuk mengetahui Bagaimana Dasar hukum otonomi daerah 4. Untuk mengetahui Bagaimana Wewenang Otonomi Daerah 5. Untuk mengetahui Bagaimana Kebijakan Pada Bidang Otonomi Daerah

6. Untuk mengetahui Bagaimana Visi Otonomi Daerah

7. Untuk mengetahui Bagaimana Kedaulatan, Pemilu Dan Otonomi DaerahBAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) definisi otonomi daerah sebagai berikut: Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Istilah Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Sekalipun secara teoritis kedua konsep ini dapat dipisahkan, namun secara praktis kedua konsep ini sukar dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi pads dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Dewasa ini hampir setiap negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Desentralisasi sebagaimana dideflnisikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah:

Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dan pemerintah pusatyang berada di ibu kota negara balk melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat dibawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.

Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Tapi belum menjelaskan isi dan keluasan kewenangan Berta konsekuensi penyerahan kewenangan itu bagi badanbadan otonom daerah.

Lebih luas Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba.

Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai `mandiri'. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai 'berdaya'. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri.

Ada beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta-centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara ticlak adil clan merata. Daerah-daerah yang memiliki cumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan social (dalam makna seluasluasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok.

Sementara itu, ads alasan ideal clan filosofis bagi penyelenggaraan desentralisasi pads pemerintah daerah, sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie:

1. Dilihat dari suclut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasan pads satu pihak saja yang pads akhirnya dapat menimbulkan tirani.2. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan penclemokrasian, untuk menarik rakyat ikut Berta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hakhak demokrasi.

3. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.

4. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada I(ekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.

5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.Namun demikian, pelaksanaan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:

1. Untuk terciptanya efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lainlainnya. Selain itu jugs mempunyai fungsi distributif akan hal-hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa atau pun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.

2. Sebagai sarana pendidikan politik.

Pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan (traininggrotmo dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de Tocqueville mencatat bahwa kota-kota kecil di daerah itu merupakan kawasan untuk kebebasan sebagaimana sekolah dasar untuk ilmu pengetahuan: Disanalah tempat kebebasan, disana pula tempat orang diajari bagaimana kebebasan dipergunakan dan bagaimana menikmati kebebasan tersebut.

3. Pemerintahan daerah sebagai persiapari untuk karir politik lanjutan.

Pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutama karir di bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional. Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan wahana yang banyak dimanfaatkan guns menapak karir politik yang lebih tinggi.

4. Stabilitas politik.

Menurut Sharpe, bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Dalam konteks Indonesia, terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Hal serupa terjadi pula di beberapa negara ASEAN, seperti Philipina dan Thailand. Di kedua negara tersebut minoritas Muslim (masing-masing di Mindanao dan Pattani) berjuang untuk melepaskan diri dari ketidakadilan ekonomi yang dilakukan pemerintahan pusat di Manila maupun di Bangkok. Ketidakadilan ekonomi ini telah berakibat pada lahirnya gejolak disintegrasi. Kasus-kasus tersebut merupakan contoh kongkrit bagaimana hubungan antara pemerintahan daerah dengan ketidakstabilan politik nasional jika pemerintah pusat tiddl< menjalankan otonomi daerah dengan tepat.

5. Kesetaraan politik (political equality)

Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Mengapa demikian? Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat di pusat pemerintahan, akan mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik, apakah itu dengan melalui pemberian suara pada waktu pemilihan Kepala Desa, Bupati, Wali Kota, dan bahkan Gubernur.

6. Akuntabilitas publik.

Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan sejak awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui proses pemilihan kepala daerah secara langsung.

B. Sejarah Otonomi DaerahPeraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca-proklamasi kemerdekaan adalah UU Nomor 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil (resultants) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-undang ini ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periods berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undangundang ini berumur lebih kurang tiga tahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948.

Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 2 (dua) jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 (tiga) tingkatan daerah otonom yaitu propinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.

Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari mass ke masa. Tapi di sisi lain hal ini dapat Pula dipahami sebagai bagian dari "eksperimen politik" penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU Nomor 1 tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU Nomor 18 tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU Nomor 5 tahun 1974.

UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi "otonomi yang rill dan seluas-luasnya" tetapi "otonomi yang nyata dan bertanggungjawab". Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan Prinsip-Prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pads pembangunan dalam arti lugs. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi dikumandangkan.

Kehadiran Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pads mass itu, di mans rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, Sidang Istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menentapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/ 1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber days nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pads pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit Menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.

Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada Undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua Undang-undang tersebut (UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999) secara teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasi sedangkan desentralisasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah. Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kenyataan menunjukan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrasi lebih dominan dibanding sebagai kepala daerah. Sejalan dengan tuntutan reformasi, tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap Undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hampir 25 % dari keseluruhan isi UU tersebut

C. Dasar hukum otonomi daerah Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :

1. Undang Undang Dasar. Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

2. Ketetapan MPR-RI

Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Undang-Undang

Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.

D. Wewenang Otonomi Daerah Sesuai dengan dasar hukum yang melandasi otonomi daerah, pemerintah daerah boleh menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Maksudnya, pelaksanaan kepemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih berpatokan pada undang-undang pemerintah pusat. Dalam undang undang tersebut juga diatur tentang hak dan kewajiban pemerintah daerah yaitu : Pasal 21

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak: 1. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; 2. memilih pimpinan daerah 3. mengelola aparatur daerah; 4. mengelola kekayaan daerah; 5. memungut pajak daerah dan retribusi daerah; 6. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; 7. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan

8. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 22

Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: 1. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat; 3. mengembangkan kehidupan demokrasi; 4. mewujudkan keadilan dan pemerataan; 5. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; 6. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; 7. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; 8. mengembangkan sistem jaminan sosial; 9. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; 10. mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

11. melestarikan lingkungan hidup; 12. mengelola administrasi kependudukan; 13. melestarikan nilai sosial budaya; 14. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan 15. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

E. Kebijakan Pada Bidang Otonomi Daerah

Istilah Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Sekalipun secara teoritis kedua konsep ini dapat dipisahkan, namun secara praktis kedua konsep ini sukar dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi pads dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Dewasa ini hampir setiap negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Desentralisasi sebagaimana dideflnisikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) adalah:

Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dan pemerintah pusatyang berada di ibu kota negara balk melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat dibawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.

Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Tapi belum menjelaskan isi dan keluasan kewenangan Berta konsekuensi penyerahan kewenangan itu bagi badanbadan otonom daerah.

Lebih luas Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agennya kepada unit kementerian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba.

Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai `mandiri'. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai 'berdaya'. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri. (Rosyada, Dede, dkk. 2003:25)Ada beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta-centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara ticlak adil clan merata. Daerah-daerah yang memiliki cumber kekayaan alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan social (dalam makna seluasluasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok.

Sementara itu, ads alasan ideal clan filosofis bagi penyelenggaraan desentralisasi pads pemerintah daerah, sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie:

6. Dilihat dari suclut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasan pads satu pihak saja yang pads akhirnya dapat menimbulkan tirani.

7. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan penclemokrasian, untuk menarik rakyat ikut Berta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hakhak demokrasi.

8. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan kepada daerah.

9. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpukan kepada I(ekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.

10. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.

Namun demikian, pelaksanaan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:

2. Untuk terciptanya efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.

Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lainlainnya. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal-hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa atau pun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktifitas penyelenggaraan negara. (Rosyada, Dede, dkk. 2003: 29)2. Sebagai sarana pendidikan politik.

Pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan (traininggrotmo dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de Tocqueville mencatat bahwa kota-kota kecil di daerah itu merupakan kawasan untuk kebebasan sebagaimana sekolah dasar untuk ilmu pengetahuan: Disanalah tempat kebebasan, disana pula tempat orang diajari bagaimana kebebasan dipergunakan dan bagaimana menikmati kebebasan tersebut.

3. Pemerintahan daerah sebagai persiapari untuk karir politik lanjutan.

Pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karier lanjutan, terutama karir di bidang politik dan pemerintahan di tingkat nasional. Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan wahana yang banyak dimanfaatkan guns menapak karir politik yang lebih tinggi.

4. Stabilitas politik.

Menurut Sharpe, bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Dalam konteks Indonesia, terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Hal serupa terjadi pula di beberapa negara ASEAN, seperti Philipina dan Thailand. Di kedua negara tersebut minoritas Muslim (masing-masing di Mindanao dan Pattani) berjuang untuk melepaskan diri dari ketidakadilan ekonomi yang dilakukan pemerintahan pusat di Manila maupun di Bangkok. Ketidakadilan ekonomi ini telah berakibat pada lahirnya gejolak disintegrasi. Kasus-kasus tersebut merupakan contoh kongkrit bagaimana hubungan antara pemerintahan daerah dengan ketidakstabilan politik nasional jika pemerintah pusat tiddl< menjalankan otonomi daerah dengan tepat.

6. Kesetaraan politik (political equality)

Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Mengapa demikian? Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat di pusat pemerintahan, akan mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik, apakah itu dengan melalui pemberian suara pada waktu pemilihan Kepala Desa, Bupati, Wali Kota, dan bahkan Gubernur.

6. Akuntabilitas publik.

Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan sejak awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui proses pemilihan kepala daerah secara langsung.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Istilah Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan Bering digunakan secara campur baur (interchangeably). Sekalipun secara teoritis kedua konsep ini dapat dipisahkan, namun secara praktis kedua konsep ini sukar dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi pads dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Dewasa ini hampir setiap negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

visi otonomi daerah di bidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, di pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnyaB. Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis sadar masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat banyak kekurangan, baik dalam materinya, bahasa yang tidak baku maupun penyampaian isi makalah. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan dan menghargai kritik dan saran dari pembaca

DAFTAR PUSTAKA

Alkadri dkk. (Peny),2001, Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia dan Teknologi. Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah.

Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta : CIDES

Mubyarto, 1988, Sistim dan Moral Ekonomi Indonesia, Jakarta : LP3ES

Mubyarto, 2001, Prospek Otonomi Daerah dan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis, Yogyakarta : BPFE.Asyumaidi Azra, MA. 2005. Demokrasi Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, Jakarta; Prenada Media.

Sujamto, 1992. Otonomi Birokrasi Partisipas., Semarang; Dahara Preze.

Widjaja, 1998. Titik Berat Otonomi, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.

Syukani., Afan Gaffer, Ryaas Radyid. 2002. Otonomi Daerah, Yogyakarta; Pustaka Pelajar Offset.A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2006. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: Indonesia Center for Civic Education

Rosyada, Dede, dkk. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah

Rozak, Abdul. Dkk. 2004. Pendidikan Kewarganegaran. Jakarta: Prenada Media

Azna, Azyumardi. 2003. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah Penyusun Panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena dengan Rahmat dan Karunia-Nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul Otonomi Daerah Salawat beserta salam penyusun sampaikan kepada Reformator dunia yaitu Baginda Rasulullah SAW yang telah menghijrahkan umatnya minal kufri ilal iman, kecintaannya kepada umat melebihi cintanya pada dirinya sendiri.. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak terdapat kejanggalan- kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki, oleh karena itu, kritik dan saran yang konsruktif sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang. Penyusun juga berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan bermamfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alami

Bengkulu, Juni 2015Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTARi

DAFTAR ISIii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang1

B. Tujuan1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah 3B. Sejarah Otonomi Daerah 8C. Dasar hukum otonomi daerah 10D. Wewenang Otonomi Daerah 12E. Kebijakan Pada Bidang Otonomi Daerah 18BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan19B. Kritik dan Saran 19DAFTAR PUSTAKA iii

MAKALAHCIVIC EDUCATIONOtonomi Daerah

DISUSUN OLEH : Melti YozaDosen

JT. ParekePROGRAM STUDI MUAMALAHFAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAMINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

IAIN (BENGKULU)

2015

iii

ii

i

Alkadri dkk. (Peny),2001, Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia dan Teknologi. Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. Hal 154

Ambardi, Urdanus M dan Prihanwantoro, Socia ,2002, Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah : Kajian Konsep dan Pengembangan, Jakarta : Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, hal 39

Koesworo,Setiawan, 2005, Buah Wacana Pos Ronda dalam Majalah Gatra Nomor 33 /XI, 2 Juli, hal 29

Koesworo,Setiawan, 2005, Buah Wacana Pos Ronda dalam Majalah Gatra Nomor 33 /XI, 2 Juli, hal 29

Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta : CIDES, hal 148

Mokodompit, Agussalim, Eddy, 1994, Dimensi Kemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah , Majalah Manajemen Pembangunan , Nomor 6/II, Januari, hal 58

Mokodompit, Agussalim, Eddy, 1994, Dimensi Kemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah , Majalah Manajemen Pembangunan , Nomor 6/II, Januari, hal 58

Rozak, Abdul. Dkk. 2004. Pendidikan Kewarganegaran. Jakarta: Prenada Media hal 28

Ibid

ibid

ibid

Mokodompit, Agussalim, Eddy, 1994, Dimensi Kemasyarakatan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah , Majalah Manajemen Pembangunan , Nomor 6/II, Januari, hal 58

Mubyarto, 1988, Sistim dan Moral Ekonomi Indonesia, Jakarta : LP3ES, hal 148

Azna, Azyumardi. 2003. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah hal 34

Mubyarto, 2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat Menuju Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta : Aditya Media. Hal 169

Mubyarto, 2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat Menuju Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta : Aditya Media. Hal 169

A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2006. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: Indonesia Center for Civic Education hal 113

ibid

ibid

A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2006. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: Indonesia Center for Civic Education hal 113

ibid

ibid

A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2006. Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: Indonesia Center for Civic Education hal 113

23