orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

19
Orang Jawa dan Peranakannya di Tanah Dayak (Studi pada Orang Jawa di Dusun Suak Mansi, Desa Melawi Makmur, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat) SITI CHUSNIYAH, Universitas Negeri Semarang Pendahuluan Tulisan ini adalah buah dari riset lapangan yang dilakukan di dusun Suak Mansi, kecamatan Meliau, kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 7 Juli 2013 sampai dengan 31 Juli 2013. Sebagai peneliti pemula yang baru pertama kali melakukan riset lapangan dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu satu bulan, penulis merasakan kebingungan saat hari-hari pertama di lapangan. Berbekal outline riset yang sudah dirancang sebelum berangkat ke lokasi, penulis berusaha untuk menemukan titik temu masalah apa yang akhirnya akan menjadi fokus penelitian satu bulan ke depan, informasi apa yang harus digali dan didapatkan, dan siapa saja informan yang harus ditemui dan diajak ngobrol. Setelah beberapa hari hidup bersama dengan masyarakat, saya memutuskan untuk fokus pada kisah hidup orang Jawa yang ada di dusun Suak Mansi. Kisah hidup seorang perantauan menjadi hal yang menarik karena penulis ingin mengetahui bagaimana kronologi hidup orang Jawa yang kemudian lebih memilih hidup di tanah Dayak, Kalimantan, dan rela tidak mati di tanah kelahirannya, tanah Jawa. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa orang Jawa yang tinggal di dusun Suak Mansi. Metode pengumpulan informasi yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi. Fieldwork diawali dengan pencarian informasi yang dilakukan dengan metode bola salju (snowball methode) yaitu dengan bertanya kepada penduduk Jawa di dusun Suak Mansi yang mengetahui keberadaan orang-orang Jawa yang tinggal di dusun tersebut. Kemudian setelah salah satu informan didapatkan, dari informan itulah selanjutnya pencarian dan pengumpulan informasi penelitian dilakukan dan didapatkan. Dari informan kedua kemudian diperoleh keterangan tentang informan ketiga dan seterusnya. Wawancara yang dilakukan baik yang bersifat terbuka maupun semi struktur dipersiapakan menggunakan pedoman wawancara (interview guide), wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan untuk beberapa informan yang dianggap peneliti paling menarik. Partisipant observation juga dilakukan oleh peneliti, dalam arti terlibat langsung dan menjadi bagian dari berbagai

Upload: nia-mawardi

Post on 05-Jul-2015

776 views

Category:

Education


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

Orang Jawa dan Peranakannya di Tanah Dayak

(Studi pada Orang Jawa di Dusun Suak Mansi, Desa Melawi Makmur, Kecamatan

Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat)

SITI CHUSNIYAH, Universitas Negeri Semarang

Pendahuluan

Tulisan ini adalah buah dari riset lapangan yang dilakukan di dusun Suak Mansi, kecamatan

Meliau, kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 7 Juli 2013 sampai

dengan 31 Juli 2013. Sebagai peneliti pemula yang baru pertama kali melakukan riset

lapangan dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu satu bulan, penulis merasakan

kebingungan saat hari-hari pertama di lapangan. Berbekal outline riset yang sudah dirancang

sebelum berangkat ke lokasi, penulis berusaha untuk menemukan titik temu masalah apa

yang akhirnya akan menjadi fokus penelitian satu bulan ke depan, informasi apa yang harus

digali dan didapatkan, dan siapa saja informan yang harus ditemui dan diajak ngobrol.

Setelah beberapa hari hidup bersama dengan masyarakat, saya memutuskan untuk fokus pada

kisah hidup orang Jawa yang ada di dusun Suak Mansi. Kisah hidup seorang perantauan

menjadi hal yang menarik karena penulis ingin mengetahui bagaimana kronologi hidup orang

Jawa yang kemudian lebih memilih hidup di tanah Dayak, Kalimantan, dan rela tidak mati di

tanah kelahirannya, tanah Jawa. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa orang Jawa

yang tinggal di dusun Suak Mansi. Metode pengumpulan informasi yang digunakan adalah

wawancara dan dokumentasi. Fieldwork diawali dengan pencarian informasi yang dilakukan

dengan metode bola salju (snowball methode) yaitu dengan bertanya kepada penduduk Jawa

di dusun Suak Mansi yang mengetahui keberadaan orang-orang Jawa yang tinggal di dusun

tersebut. Kemudian setelah salah satu informan didapatkan, dari informan itulah selanjutnya

pencarian dan pengumpulan informasi penelitian dilakukan dan didapatkan. Dari informan

kedua kemudian diperoleh keterangan tentang informan ketiga dan seterusnya. Wawancara

yang dilakukan baik yang bersifat terbuka maupun semi struktur dipersiapakan menggunakan

pedoman wawancara (interview guide), wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan

untuk beberapa informan yang dianggap peneliti paling menarik. Partisipant observation

juga dilakukan oleh peneliti, dalam arti terlibat langsung dan menjadi bagian dari berbagai

Page 2: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

aktivitas penduduk Jawa yang ada di dusun Suak Mansi sehingga peneliti memperoleh data

yang valid.

Sekilas Tentang Suak Mansi

Suak Mansi adalah salah satu dusun di desa Melawi Makmur yang dulunya masih termasuk

ke dalam daerah administratif desa Pampang Dua, namun karena adanya pemekaran desa,

Suak Mansi terpisah dari Pampang Dua dan menjadi bagian dari desa Melawi Makmur.

Berdasarakan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten Sanggau Nomor 3 Tahun 2011 tentang

pembentukan desa Melawi Makmur kecamatan Meliau, pada bab dua tentang pembentukan

menyatakan bahwa desa Melawi Makmur merupakan desa pemekaran dari pampang dua

yang meliputi beberapa dusun yaitu dusun Nek Sawak, dusun Suak Mansi, dan dusun

Landau. Dengan dibentuknya desa Melawi Makmur sebagai desa definitif, maka desa

Pampang Dua sebagai desa induk terdiri atas dusun Pampang Dua, dusun Lubuk Benuang,

dusun Tapang Sedendang, dusun Suak Kenyaok, dan dusun Suak Pram. Pusat pemerintahan

desa Melawi Makmur yang memiliki luas wilayah 16,6 kilometer persegi, berkedudukan di

dusun Nek Sawak. Jumlah penduduk desa Melawi Makmur pada saat desa ini dibentuk

adalah 1.882 jiwa.

Suak Mansi sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu Suak Mansi Hulu dan Suak Mansi

Hilir. Suak Mansi hulu sebagian besar warganya beragama Kristen dan anjing biasa

berkeliaran di kampung. Sedangkan Suak Mansi hilir selain didiami oleh orang Dayak yang

beragama Kristen juga terdapat perantauan dari Jawa yang beragama Islam. Mayoritas rumah

yang ada di dusun Suak Mansi adalah rumah yang terbuat dari kayu. Meskipun kini sudah

ada beberapa rumah yang terbuat dari semen dan sudah mengikuti model rumah modern

masa kini. Atap mayoritas rumah di dusun Suak Mansi adalah seng dan alas rumah

menggunakan kayu.

Berdasarkan data yang diperoleh dari kepala dusun Suak Mansi, pak Johan Sempe, monografi

dusun Suak Mansi adalah sebagai berikut. Terbagi menjadi tiga rukun tetangga, dusun Suak

Mansi memiliki kepala keluarga sejumlah 121 dengan jumlah penduduk sebanyak 408 yang

terdiri dari 212 jiwa laki-laki dan 196 jiwa perempuan. Terdapat 34 penduduk yang beragama

Islam, 70 penduduk beragama Katolik, 304 beragama Protestan. Melihat komposisi penduduk

berdasarkan agamanya tersebut, fasilitas tempat peribadatan yang ada di dusun Suak Mansi

adalah sebuah masjid yang berlokasi di Suak Mansi Hilir, dan dua gereja yang terletak di

Suak Mansi Hulu dan Suak Mansi Hilir. Dusun Suak Mansi adalah satu-satunya dusun di

Page 3: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

desa Melawi Makmur yang memiliki masjid sehingga orang-orang Islam yang tinggal di

dusun Landau dan Nek Sawak biasa ke masjid Suak Mansi untuk melaksanakan sholat Jumat,

dan sholat-sholat pada saat hari raya, baik idul fitri maupun idul adha.

Mayoritas pekerjaan masyarakat dusun Suak Mansi adalah sebagai petani sawit dan peNoreh

karet, ada juga beberapa yang bekerja sebagai peternak, misalnya peternak babi, peternak

ayam, dan peternak ikan. Dalam melakukan aktivitas terkait dengan profesi masyarakat

dusun Suak Mansi yang mayoritas adlaah petani sawit, masih menggunakan alat tradisional,

yaitu dodos, gancu, dan agrek. Dodos adalah alat pemotong buah sawit yang terbuat dari besi

yang diisi dengan baja, tajam dan kuat. Dodos digunakan untuk mengambil buah sawit yang

posisi buahnya kurang dari lima mater. Agrek digunakan untuk mengambil buah sawit yang

posisi buahnya lebih dari lima meter. Dodos dan agrek digunakan petani untuk mengambil

buah sawit dari pohonnya, sedangkan gancu digunakan untuk mengambil buah sawit yang

telah jatuh yang kemudian ditaruh di keranjang dan pada akhrinya dibawa ke tempat

penimbangan buah sawit. Setiap paginya, jam lima shubuh, orang-orang sudah keluar dari

rumah untuk berangkat ke kebun karet. Suasana kampung saat pagi sangat sepi karena

banyak warga yang pergi ke hutan, hanya ada beberapa orang yang tinggal di rumah, akan

mulai hidup lagi suasana kampung Suak Mansi atau ramai ketika semua orang telah pulang

dari noreh, biasanya pulang dari hutan pada jam sepuluh pagi. Noreh karet menjadi sumber

penghasilan kedua setelah hasil panen kebun sawit bagi mayoritas penduduk dusun Suak

Mansi.

Dayak masyarakat di dusun Suak Mansi adalah termasuk Dayak desa. Bahasa yang

digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh masyarakat di dusun Suak Mansi adalah

bahasa Dayak desa dan bahasa Jawa. Salah satu penduduk asli yang pernah ditemui oleh

penulis mengatakan bahwa bahasa Dayak desa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-

hari oleh masyarakat dusun Suak Mansi tergolong bahasa Dayak yang mudah dipahami oleh

orang baru atau pendatang. Beberapa kata dalam bahasa Dayak desa mirip dengan bahasa

Indonesia sehingga mudah untuk dipelajari oleh pendatang. Bahasa Jawa menjadi familiar

bagi penduduk Dayak asli karena di dusun Suak Mansi, penduduk Jawa lumayan banyak, dan

penduduk Jawa tersebut biasa menggunakan bahasa Jawa di kesehariannya. Selain itu,

adanya perkawinan antara orang Dayak dengan orang Jawa yang dalam istilah sosiologinya

adalah amalgamasi, juga menjadi alasan mengapa bahasa Jawa menjadi bahasa keseharian

masyarakat di dusun Suak Mansi. Bertemunya dua individu yang berbeda etnik ----dalam hal

ini etnik Jawa dan etnik Dayak---- dalam bingkai keluarga berarti terjadi pertemuan dua

Page 4: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

individu bahkan dua keluarga dengan kebudayaan yang berbeda, termasuk salah satunya

adalah bahasa. Keluarga dengan komposisi dua etnik ini sangat memungkinkan sekali

terjadinya akulturasi budaya, karena dua kebudayaan berinteraksi satu sama lain dalam

kehidupan keluarga. Hal ini lah yang menjadikan bahasa Jawa menjadi bahasa yang sering

digunakan oleh masyarakat di dusun Suak Mansi. Hampir seluruh warga masyarakat dusun

Suak Mansi paham jika diajak lawan bicaranya berkomunikasi dengan bahasa Jawa.

Meskipun penggunaannya tentu dalam porsi yang tidak banyak, bahasa Dayak masih

menguasai dan banyak proporsi penggunaannya untuk komunikasi sehari-hari masyarakat di

dusun Suak Mansi.

Mengapa ke Borneo?

“Kalau di Jawa itu dulu saya kawin, kerjanya bikin genteng dan bata, jual genteng pun pakai

sepeda, sampai beberapa puluh kilo pun pakai sepeda, bahkan mikul pun pernah sehari-hari

sampai gunung, berapa gajinya, ndak seberapa, kerjanya payah, gajinya ndak seberapa,

gajinya nunggu kalau udah dijual, cukup buat makan saja. Kami dulu kecil sekolah pagi,

sore kerja bikin genteng buat bayar sekolah, baru kelas lima SR, dulu SD belum ada, minta

duit pakai buat SPP, mamak ndak mau ngasih”

“Kalau di Jawa itu dulu saya kawin kerjanya bikin genteng dan bata, jual genteng pun pakai

sepeda, sampai beberapa puluh kilo pun pakai sepeda, bahkan memanggul pun pernah sehari-

hari sampai gunung, berapa gajinya, tidak seberapa, kerjanya payah, gajinya tidak seberapa,

gajinya nunggu kalau sudah dijual, cukup buat makan saja. Kami dulu kecil sekolah pagi,

sore kerja membuat genteng untuk bayar sekolah, baru kelas lima SR (Sekolah Rakyat), dulu

SD (Sekolah Dasar) belum ada, minta uang untuk bayar uang sekolah, mamak tidak mau

memberi”, cerita seorang imam masjid yang sejak tahun 1979 telah tinggal di tanah Dayak

tepatnya di dusun Suak Mansi, ketika saya bertandang ke rumah beliau. Mbah kakung, begitu

mbah Tugiran biasa dipanggil oleh cucunya.

Begitulah cerita laki-laki asal kecamatan Kokap, kabupaten Wates, kelurahan Argorejo,

Yogyakarta ketika ditanya bagaimana perbedaan hidup di Jawa dengan di Kalimantan. Mbah

Tugiran bukanlah seorang pelaku transmigran yang merupakan program dari Suharto,

presiden orde Baru saat itu. Mengawali kehidupan sebagai seorang perantuan di Kalimantan

Barat, tepatnya di dusun Suak Mansi, desa Melawi Makmur, kecamatan Meliau, kabupaten

Sanggau, adalah buah ajakan sang paman. Mbah Tugiran berusia tiga puluh tahun ketika

pergi merantau ke Kalimantan, sudah memiliki tiga anak, yaitu Sugihartini, Rohman, dan

Page 5: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

Yatno. Sugihartini dan Rohman di bawa serta mbah Tugiran ke Kalimantan pada tahun 2000,

sedangkan Yatno, saat itu masih kecil sehingga ditinggal di Jawa, dititipkan kepada orang tua

istri mbah Tugiran.

“Rohman di Pontianak udah kawin, kerja bangunan, Yatno di jawa kerja, penghasilan

kurang. Kemarin disjni sebulan lebih, bawa uang pulang hampir 5 juta, kalau di jawa

sebulan dapat enam ratus udah syukur, dia kerja ayam paling-paling sebulan enam ratus,

disini nyangkol punya sabar, sepuluh hari udah 1 juta, ndak mau balik kensini lagi, ditanya

ndak mau”

“Rohman di Pontianak sudah kawin, kerja bangunan, Yatno di Jawa kerja, penghasilan

kurang. Kemarin diisni satu bulan lebih, bawa uang pulang hampir lima juta. Kalau di Jawa

satu bulan dapat enam ratus sudah bersyukur. Dia kerja ayam satu bulan hanya dapat enam

ratus ribu, disini memanenkan sawit punya sabar, sepuluh hari sudah satu juta, tidak mau

kembali kesini, ditanya tidak mau kembali lagi”, jelas mbah Tugiran tentang nasib anak-

anaknya buah perkawinan pertamanya.

Kemudian setelah merantau beberapa tahun di Kalimantan, mbah Tugiran menikah dengan

perempuan keturunan darah Jawa yang lahir dan besar di Kalimantan, yaitu mbah Marsinah.

Pernikahanya dengan mbah Marsinah, mbah Tugiran dikaruniai dua tiga orang anak. Istri

mbah Tugiran yang tinggal di Jawa telah meninggal karena sakit. Anak pertama mbah

Tugiran buah perkawinanya dengan mbah Marsinah telah menikah dengan orang asal

Singkawang, Ahmadi namanya. Ahmadi adalah satu-satunya anak mbah Tugiran yang

menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, jenjang D3. Kemudian anak kedua

adalah Wit yang sekarang tinggal di rumah suaminya, di Meliau. Terakhir, adalah Mur yang

saat ini tinggal satu rumah dengan mbah Tugiran. Mur telah menikah dengan perempuan

keturunan Dayak yang berpindah agama dari Kristen menjadi Islam setelah memutuskan

untuk menikah Mur.

Melakukan sebuah mobilitas geografis dari pulau Jawa berpindah ke pulau Kalimantan

adalah sebuah pilihan untuk memperbaiki kualitas hidup. Hidup di Jawa begitu sulit

dirasakan untuk bisa mencapai kemapanan dan ketercukupan ekonomi, modal pendidikan

bagi anak-anak, dan strata sosial berdasarkan kepemilikan barang berharga dan kekayaan.

Dapat dikatakan bahwa mobilitas geografis yang dilakukan bertujuan untuk mencapai

mobilitas vertikal dengan indikator naiknya kualitas hidup berdasarkan besarnya penghasilan.

Page 6: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

Berbeda dengan seorang transmigran yang dibiayai oeh pemerintah dan diberi segala fasilitas

hidup mulai dari sandang, pangan, papan, dan biaya hidup selama kurun waktu dua tahun,

perantauan harus berjuang keras dengan modal sendiri atau pribadi. Tekad yang kuat dan

keinginan yang besar untuk merubah hidup telah mengalahkan ketakutan akan rumor klise,

“orang Kalimantan itu makan orang”, dan juga kesulitan modal. Rumor klise bahwa orang

Kalimantan memakan sesama manusia sangat sering menjadi omongan di Jawa karena kasus

Sambas beberapa tahun silam.

“Mamak kesini, mamak di Jawa masih hidup, sakit, hidup sama mbah. Mamak dulu diajak

kesini sama bapak, mau karena diomong disini nyari uang gampang, kalau di Jawa kan ndak

pernah pegang duit”

“Mamak kesini, mamak di Jawa masih hidup, sakit, hidup sama mbah. Mamak dulu diajak

kesini sama bapak, mau karena dikasih tahu mencari uang mudah, kalau di Jawa tidak pernah

mempunyai uang”, ungkap mamak Su ketika saya bertanya bagaimana ia sampai di dusun

Suak Mansi dan menetap disana.

Perbincangan ini terjadi saat saya membantu mamak Su memasak di dapur untuk berbuka

puasa nantinya. Sugihartini yang kemudian akrab dipanggil dengan sapaan mamak Su, adalah

anak pertama mbah Tugiran. Iming-iming mudahnya mendapatkan uang jika berada di

Kalimantan membuat mamak Su bersedia dibawa serta oleh bapaknya, mbah Tugiran. Di

usianya yang masih belasan tahun, usia anak sekolah dasar, mamak Su dan satu adiknya

dibawa serta oleh bapaknya, mbah Tugiran, ke Kalimantan. Latar belakang mobilitas sosial

dari mamak Su ini sama dengan kisah mbah Tugiran, yaitu berawal dari ajakan anggota

keluarga yang pernah mencoba hidup di tanah Dayak dan merasakan perbedaan kualitas

hidup antara di Jawa dengan di Kalimantan.

“Bapak sih payah, berhenti sekolah, baru sekolah SMP satu bulan, disuruh berhenti mamak

tiri. Berhenti sekolah, ikut noreh, mau makan ja diomong, baru enak setelah berkeluarga.

Mamak tiri jahat. Pertama noreh ikut-ikut noreh ja bapak, ikut-ikutan. Dari pagi-pagi jam

lima sampai jam sepuluh, pulang noreh mandi nyuci, beres-beres, bersih rumah. Adik masih

kecil-kecil, tiga, laki-laki sama perempuan, laki-laki dua, perempuan satu, Mur terkahir”

“Bapak sih payah, saya berhenti sekolah, baru sekolah SMP satu bulan, disuruh berhenti

sama mamak, mamak tiri soalnya. Berhenti sekolah, ikut noreh, mau makan saja ditegur, baru

hidup enak setelah berkeluarga. Mamak tiri jahat. Pertama noreh ikut-ikut noreh bapak saja,

Page 7: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

ikut-ikutan. Dari pagi-padi jam lima sampai jam sepuluh, pulang noreh kemudian mandi dan

mencuci, beres-beres, bersih rumah. Adik masih kecil-kecil, saya punya tiga adik, laki-laki

dan perempuan, dua laki-laki, satu perempuan, Mur adalah adik terakhir saya”, terang mamak

Su kala itu sambil menumbuk cabai untuk dibuat sambal lauk buka puasa.

Petikan perbincangan ketika saya membantu memasak di dapur mamak Su tersebut

menggambarkan bagaimana kehidupan awal seorang usia belasan tahun yang berani ikut sang

bapak merantau ke Kalimantan. Sampai di Kalimantan tentunya tidak serta merta merasakan

saku yang terisi banyak lembaran rupiah. Semua berawal dari hal kecil dan merasakan hidup

susah membanting tulang mengumpulkan rupiah demi rupiah. Mamak Su yang masih usia

belasan tahun saat itu, sempat menempuh pendidikan pada jenjang sekolah menegah pertama.

Pada saat itu, sekitar tahun 2000, mamak Su menempuh sekolah menengah pertama yang

terletak di dusun Pampang Dua. Hanya beberapa bulan saja menikmati belajar di sekolah,

mamak Su keluar dari sekolah. Bekerja adalah pilihan yang tidak dapat ditolak setelah keluar

dari sekolah. Bekerja tanpa bayaran sebagai penoreh disaat seharusnya belajar di kelas.

“Kadang motong, regane murah, males moton, suwe ra tau motong, motong ya ana hasil,

motong didol, ditabung, gak usah akeh-akeh lima puluh entuk”

“Kadang noreh karet, harganya murah, jadi malas mau noreh, sudah lama saya tidak noreh,

kalau noreh ya ada hasilnya, noreh kemudian karetnya dijual, hasilnya ditabung, tidak perlu

banyak-banyak norehnya, lima puluh ribu sudah bisa dapat”, jelas mamak Su dengan suara

khas seorang yang sedang flu.

Perbedaan kualitas hidup yang dimaksud disini adalah perbedaan kualitas hidup dari segi

ekonomi. Jika di Jawa, satu hari bekerja hanya mendapatkan uang sepuluh ribu rupiah yang

hanya cukup untuk kebutuhan perut, di Kalimantan, mamak Su bisa mendapatkan lebih dari

sepuluh ribu rupiah dari hasil noreh karet. Selalu dikatakan oleh orang Jawa yang hidup di

Kalimantan, bahwa memperoleh uang di Kalimantan ini tidak lah sulit dibandingkan dengan

di Jawa. Pernyataan tersebt tentunya merupakan sebuah indikator yang sangat mendukung

sebuah asumsi bahwa perantauan Jawa di Kalimantan telah memiliki kualitas hidup yang

lebih baik setelah bekerja di Kalimantan.

“While everyone might agree that families should fulfill these four functions, conflict theorists

point out that family members do not always care for one another in positive ways and that

the family also perpetuates inequalities by passing on social advantages and disadvantages

Page 8: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

to its members. Moreover, marriage and family systems are structured to value productive

work and devalue reproduc tive work, and to foster and maintain divisions and boundaries

(dalam buku Seeing Sociology, Joan Ferrante, 2011)”

Friedrich Engels (1884) distinguishes between productive and reproductive work. Productive

work involves the actual manufacture of food, clothing, and shelter and the tools necessary to

produce them. Reproductive work involves bearing children, caregiving, managing

households, and educating children. Both are work: bearing children and caregiving

activities are fundamental to the perpetuation of society However, reproductive work is

disproportionately performed by women, whether or not pay is involved”

Melihat keluarga dari kacamata Sosiologi, dalam hal ini dari sudut pandang konflik, keluarga

mempertahankan ketidaksetaraan terhadap anggota-anggotanya. Ketidaksetaraan yang

dimaksud adalah ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam posisinya di keluarga

yang seharusnya seimbang. Hal ini sangat terkait dengan bagaimana peran dari laki-laki dan

perempuan dalam rumah tangga.

Berbicara reproduktive work dan productive work sangat berkaitan dengan pemaknaan kerja

dan kaitannya dengan gender. Stigma yang ada selama ini sebelum gender dikenal dan

diketahui oleh banyak orang, perempuan selalu diasumsikan dengan domestic work, bahwa

tugas perempuan dalam keluarga adalah mengurus rumah, merawat anak, dan sebagainya.

Sedangkan seorang laki-laki bertugas untuk mencari nafkah. Domestic work yang dibebankan

pada seorang perempuan menjadi sesuatu yang tak bernilai ekonomi, padahal jika kita

analogikan pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang perempuan di dalam keluarga

dengan seorang pembantu rumah tangga, betapa banyak uang yang ahrus dikeluarkan untuk

membayar gaji pembantu rumah tangga. Inilah yang kemudian disebut dengan reproductive

work dalam buku Seeing Sociology karya Joan Ferrante (2011). Kerja selalu didefinisikan

dengan segala aktivitas yang mampu menghasilkan uang, oleh karenanya pekerjaan seorang

ibu rumah tangga dianggap bukan sebuah pekerjaan.

Hal yang kemudian dimunculkan oleh para pemikir sosial dalam kajian gender adalah

ketidakadian gender termanifestasikan dalam berbgaia bentuk yaitu marginalisasi atau proses

pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang tidak penting dalam keputusan politik,

pembentu gender stereotipe atau emlalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja

Page 9: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

lebih panjang danlebih banyak (double burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender

(Mansour Fakih, 2012 : 13).

Konsep yang akan digunakan oleh penulis untuk mengkaji fenomena sosial yang ditemui di

dusun Suak Mansi terkait dengan kehidupan keluarga Jawa di dusun tersebut adalah konsep

double burden. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan

rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua

pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung Jawab kaum perempuan. Berdasarkan

pengamatan yang dilakukan oleh peneliti mengenai aktivitas sehari-hari dan kegiatan

ekonomi masyarakat Jawa di dusun Suak Mansi, pembagian kerja antara perempuan dan laki-

laki memang menimbulkan beban ganda bagi perempuan. Saat musim panen buah sawit tiba,

suami istri akan pergi ke kebun kelapa sawit mereka untuk memanen sawitnya. Laki-laki

bertugas untuk mengambil tandan sawit dari pohonnya dengan menggunakan dodos atau

agrek. Sedangkan perempuan bertugas mengangkut tandan sawit yang telah jatuh dari pohon

tadi menuju tempat penimbangan sawit dengan menggunakan keranjang. Berdasarkan

pengalaman peneliti yang ikut serta dalam kegiatan memanen buah sawit yang dilakukan oleh

pasangan suami istri dua etnik, laki-laki keturunan Jawa dan perempuan keturunan Dayak

yang kemudian berpindah agama menjadi Islam, perempuan mampu mengangkut sekitar tiga

puluh kilo tandan sawit untuk sekali jalan menuju tempat penimbangan sawit yang biasanya

berada di pinggir jalan yang bisa dilalui truk pengangkut sawit menuju pabrik. Begitu

seterusnya, setiap kali panen, dan harus bolak-balik sampai lima kali lebih dalam sehari untuk

mengangkut keranjang berisi tandan sawit ke tempat penimbangan tandan sawit.

Perempuan di kalangan kelaurga petani sawit memiliki beban ganda, harus ikut dalam

kegiatan panen sawit yang begitu berat, dan masih pula harus mengurusi urusan rumah

tangga, seperti membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mengambil air untuk

keperluan memasak dari tempat penampungan air hujan, hingga merawat anak. Perempuan

tidak bisa menolak kondisi yang demikian dengan menuntut laki-laki untuk membantu

melakukan pekerjaan yang dikonstruksikan secara sosial sebagai tugas perempuan. Bahwa

perempuan yang ideal dan diharapkan oleh masyarakat adalah perempuan yang mampu

melakukan segala tugas rumah tangga tersebut.

Page 10: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

“Tahun 57, aku iseh bujangan, bujangan neg Kalimantan pirang tahun, dapet orang sini,

anak wong Jawa ga, gara-gara bapakku neg Kalimantan, nag gak, neg Jawa aku. Suruh

nusul neg Kalimantan, padahal aku duwe cewek ayu tenan, aku janji satu tahun balik, tapi

aku ra balik”

“Tahun 1957, saya masih bujang, bujang di Kalimantan beberapa tahun, dapat orang sini,

anak orang Jawa juga, gara-gara bapak saya di Kalimantan, kalau tidak, saya di Jawa. Suruh

menyusul ke Kalimantan, padahal saya punya pacar, sangat cantik, saya janji satu tahun

kembali, tapi saya tidak kembali”, jelas mbah Pardi ketika ditanya bagaimana bisa sampai di

Kalimantan. Sembari merebahkan diri di lantai masjid Suak Mansi setelah selesai sholat

Jumat, dan secara kebetulan saya pun selesai sholat dhuhur di masjid juga, saya berbincang

dengan mbah Pardi.

Tidak berbeda dengan dua informan sebelumnya, mbah Pardi bisa sampai di Kalimantan juga

berawal dari ajakan sanak keluarga. Mbah Pardi adalah perantauan asal Yogyakarta. Setelah

merasakan hidup sebagai penoreh selama beberapa tahun hingga perusahaan swasta asing

masuk di dusun Suak Mansi dan mengubah kebun karet menjadi hamparan sawit, mbah Pardi

memutuskan untuk tetap tinggal di dusun Suak Mansi dan tidak lagi kembali ke daerah

asalnya, Yogyakarta. Mbah Pardi mengaku malu jika ia kembali ke kampung halaman,

karena merasa belum cukup mapan dibandingkan dengan kawan-kawan dan sanak keluarga

di kampung halaman yang telah berhasil lebih dulu. Padahal menurut penuturan dari

informan lain, mbah Pardi adalah sosok perantau yang telah sukses, memiliki banyak kapling

kelapa sawit dan kebun karet yang luas.

Berdasarkan petikan-petikan percakapan peneliti dengan informan serta penjelasannya diatas,

semua informan memiliki kisah yang sama mengenai alasan melakukan mobilitas geografis

atau yang masyarakat banyak kenal dengan merantau. Ajakan anggota keluarga yang pernah

merasakan hidup sebagai seorang perantauan yang bisa dikatakan sukses adalah alasan

mengapa orang Jawa pindah ke pulau Kalimantan. Bahwa keinginan untuk mendapatkan

ruliah yang lebih banyak hanya dapat dilakukan jika mereka tidak yeyap tinggal di desa

kelahiran mereka, namun harus berjuang di tanah orang, yang dalam kasus ini pulau

Kalimantan menjadi pilihan untuk daerah tujuan perantauan mereka.

Page 11: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

“Dulu kan dianggarkan pak Suharto, dibikinkan trans sini, yang dari Jawa sana kan disuruh

kesini, kan pak suharto yang ngelaksanakan transmigrasi. Dikasih kapling tanah, rumah,

makanan, dicukupi, cuma akeh seg ndak kerasan. Mbah tukiyo merantau, modal sendiri,

merantau kesini kalau punya uang beli tanah untuk sawit kah untuk karet kah. Kalau

transmigrasi susah, kerjanya terikat, ndak enak”

“Dulu kan dianggarkan pak Suharto, dibuatkan trans disini, yang dari Jawa sana dipindahkan

kesini, pak Suharto yang melaksanakan transmigrasi. Diberi kapling tanah, rumah, makanan

dicukupi, cuma banyak yang tidak betah. Mbah Tukiyo (bapak dari mbah Marsinah)

merantau, modal sendiri, merantau kesini kalau punya uang beli tanah untuk sawit atau untuk

karet. Kalau transmigrasi susah, kerjanya terikat, tidak nyaman”, cerita mbah Marsinah, istri

kedua mbah Tugiran. Mbah Marsinah adalah turunan darah Jawa yang lahir di tanah Dayak

yang kemudian mendapatkan suami orang asal Jawa pula.

Mengapa informan yang tidak lain adalah penduduk Jawa yang ada di dusun Suak Mansi,

yang ditemui dan diwawancara oleh peneliti lebih memilih menjadi seorang perantauan

daripada menjadi seorang transmigran adalah pertanyaan yang kemudian muncul di dalam

benak peneliti. Dari sudut pandang ethic atau sudut pandang peneliti, jika memang informan

adalah seorang dengan kondisi perekonomian yang tidak mapan, dengan kata lain kemudian

disebut miskin, menjadi transmigran adalah pilihan yang baik dan rasional untuk diambil.

Menjadi transmigran tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk bisa sampai di daerah

tujuan dan tidak perlu pula memikirkan akan tinggal dimana setelah sampai di dareah tujuan,

akan bekerja apa dan dimana, berapa modal yang harus dikeluarkan, dan segala biaya yang

diperlukan untuk memulai hidup baru di tanah orang. Berbeda sekali jika memutuskan pergi

ke tanah orang sebagai seorang perantauan, kita harus memikirkan sendiri segala yang

diperlukan untuk bisa sampai di daerah tujuan perantauan. Peneliti kemudian menemukan

Jawaban atar pertanyaan tersebut dari sudut pandang emic atau sudut pandang informan.

Bahwa transmigrasi adalah program pemerintah dan pelaku transmigrasi harus patuh dan taat

terhadap peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui dinas terkait atau diistilahkan

oleh informan dengan terikat. Keterikatan dengan pemerintah dirasa akan membatasi diri dan

menyusahkan.

Kalimantan begitu menggiurkan untuk didatangi, hingga banyak orang Jawa yang rela

menjual harta bendanya untuk digunakan sebagai modal merantau. Sesampainya di

Kalimantan, kemudian merek bekerja keras dan membeli banyak tanah dan kebun sawit

Page 12: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

sebagai aset dan tabungan. Setelah dirasa memiliki banyak aset di Kalimantan mereka

kembali ke kampung halaman, dan aset yang dimiliki di Kalimantan diurus oleh orang yang

dipercaya. Kembali ke kampung halaman sebagai jutawan dengan masih memiliki banyak

kekayaan di tanah perantauan.

Rasanya Hidup di Tanah Borneo

“Disini penghasilan gampang, barang-barang mahal. Apalagi kalau ndak tau perincian

penghasilan sekilan pengeluaran sekian, perhitungan harus kuat, kita makan itu harus

seadanya, lauk sak anane. Sekarang sama dulu begitu, sama ja, karena dulu kan di Jawa

makan nasi sehari satu kali, satu pinggan udah dibagi-bagi, di Jawa itu kalau pagi makan

growol, tapi kalau semarang lumayan. Nasinya bukan keras macam sini. Lecak-lecak, itu

udah dibagi-bagi, sekali disini makan seenaknya. Ya kalau cuma membesarkan perut ndak

mau perhitungan, entek alas entek omah, paribasane wong Jawa, nggo sangu ngibadah ora

eneg, sibuk, ibadah mana, nyari uang mana, kalau perincian kan, makan sekian, nabung

sekian, jelas jadinya”

“Disini penghasilan mudah, barang-barang mahak. Apalagi kalau tidak tahu perincian,

penghasilan sekian pengeluaran sekian, perhitungan harus kuat, kita makan itu harus

seadanya, lauk apa adanya. Sekarang sama dulu begitu, sama saja, karena dulu kalau di Jawa

makan nasi sehari satu kali, satu pinggan sudah dibagi-bagi, di Jawa itu kalau pagi makan

growol, tapi kalau Semarang (jaman dulu) lumayan. Nasinya bukan keras seperti disini.

Lecak-lecak, itu sudah dibagi-bagi, sekali disini makan seenaknya. Ya kalau cuam

membesarkan perut tidak mau perhitungan, habis hutan habis rumah, kata peribahasa orang

Jawa, buat bekal ibadah tidak ada, sibuk, ibadah mana, mencari uang mana. Kalau perincian,

makan sekian, nabung sekian, jelas jadinya”, cerita mbah Tugiran dengan dialek campuran

bahasa Dayak dan bahasa Jawa.

Letak dusun Suak Mansi yang jauh dari pusat sosial dan ekonomi merupakan salah satu

faktor yang menyebabkan mahalnya barang-barang kebutuhan sehari-hari dan barang

kebutuhan lainnya. Dusun Suak Mansi yang berada di lingkungan desa perkebunan memiliki

infrastruktur yang sangat minim. Akses transportasi dan komunikasi terbatas. Kondisi jalan

yang becek jika malam harinya turun hujan, menghambat aktivitas warga, karena akan rawan

terpeleset dan jatuh. Kemudahan mendapatkan banyak rupiah tiap bulannya seimbang dengan

besar rupiah yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan

lainnya.

Page 13: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

“Sini serba mahal. Sekarang sih udah agak enak bah, ndak kayak dulu. Hujan-hujan noreh,

saking kepingin urip penak kayak wong, beli apa-apa tercapai. Nabung terus, dari anak SD

sampai kuliah nabung, ndak pernah istilahnya utang”

“Disini serba mahal. Sekarang sudah agak enak, tidak seperti dulu. Meskipun hujan tetap

noreh, sangat ingin hidup enak seperti orang lain, semua keinginan tercapai, apapun yang

ingin dibeli bisa terbeli. Nabung terus, dari anak SD sampai kuliah, menabung, tidak pernah

istilahnya hutang”, cerita mbah Marsinah dengan sangat semangatnya ketika saya bertanya

tentang bagaimana rasanya hidup di dusun Suak Mansi.

Hal serupa juga diungkapkan oleh informan lain, yaitu mbah Marsinah, bahwa

mengumpulkan uang dari bekerja sebagai penoreh dan petani kelapa sawit di Kalimantan

yang giat dalam bekerja adalah mudah. Namun keadaan dan kenyataan tersebut seimbang

dengan mahalnya harga barang kebutuhan. Daging ayam yang bisa diperoleh dengan harga

dua puluh ribu jika membeli di pasar Meliau, kita harus mengeluarkan dua kali lipat harga

tersebut jika kita membeli daging ayam tersebut dari penjual sayur keliling. Tentunya harga

tersebut sangatlah rasional mengingat uang bahan bakar yang harus dikeluarkan oleh penjual

sayur keliling juga tak sedikit. Mayoritas penjual sayur keliling ini adalah orang asli Jawa.

Pendidikan bagi anak juga merupakan hal yang penting bagi keluarga mbah Marsinah.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan masih tinggi. Pendidikan dirasa penting agar nantinya

anak-anak mereka memperoleh pekerjaan yang layak dan kesuksesan. Mereka berharap agar

anaknya tidak menjadi petani seperti orang tuanya.

“Yang penting ada tahu tempe kerupuk peyek, mbah ndak rewel makannya. Tiap hari noreh,

sawit kan baru-baru ini, sekitar lima belas, sepuluh tahun sawit baru ada, jaman di PTP 81,

Suak Mansi 92. Tabungan noreh karet buat beli kebun sawit. Kita kepengin apa harus nekat,

niat. Sekarang udah tua, tenaga sudah kurang””

“Yang penting ada tahu, tempe, kerupuk, peyek, mbah tidak rewel kalau masalah makan.

Setiap hari noreh, sawit kan baru-baru ini, sekitar lima belas, sepuluh tahun sawit baru ada,

jaman di PTP tahun 1981, kalau di Suak Mansi tahun 1992. Tabungan noreh karet buat beli

sawit. Kita mempunyai keinginan harus nekat. Sekarang sudah tua, tenaga sudah berkurang”,

cerita mbah Marsinah. Pola hidup yang sederhana ala Jawa yang telah dirasakan lebih mbah

Tugiran saat dulu masih melarat, ternyata tidak ditinggalkan dan dilupakan begitu saja

setelah kondisi ekonomi keluarga Mbah Tugiran mulai naik. Etos kerja yang tinggi

Page 14: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

ditunjukkan oleh pernyataan mbah Marsinah bahwa mereka setiap hari bekerja, noreh sawit.

Uang hasil noreh ditabung dan kemudian digunakan untuk membeli kebun sawit milik warga

sekitar atau transmigran yang tidak betah hidup di Kalimantan dan memilih menjual kebun

sawitnya untuk kembali ke kampung asal. Beberapa tahun bekerja dengan sangat keras untuk

memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, mbah Tugiran bisa dikategorikan sebagai seorang

perantau yang sukses, karena mbah Tugiran telah memiliki banyak kebun kelapa sawit dan

kebun karet yang luas. Mbah Tugiran menuturkan telah memiliki delapan kapling kebun

sawit yang diperolehnya dari membeli kebun sawit milik orang lain, dan juga dua puluh

hektar kebun karet yang memperkerjakan penduduk asli untuk mengambil getah karetnya.

“Suak mansi banyak orang pendatang daripada penduduke. Orang yang pertama disini

siapa namanya bah, lupa saya bah. Kalau bapak saya tahu, udah empat puluh tahunan di

Kalimantan, sekarang di Meliau, udah ndak pernah kesini, sudah tua. Di Suak Mansi

perantauan semua. Orang trans yang ndak kerasan pada balik, kaplingnya dijual siapa yang

mau beli, pemerintah udah lepas tangan ndak ngurusi lagi, Suak Mansi ndak ada trans, cuma

mbah Muri ja, itu pun pindahan dari trans Sekadau”

“Suak Mansi banyak pendatang daripada penduduk aslinya. Orang yang pertama disini, saya

lupa namanya. Kalau bapak saya tahu soal hal itu, sudah empat puluh tahun di Kalimantan,

sekarang bapak saya di Meliau, sudah tidak pernah kesini, sudah tua. Di Suak Mansi

perantauan semua. Orang trans yang tidak betah, semuanya kembali ke kampung asal,

kapling sawitnya dijual kepada siapa saja yang mau membeli, pemerintah sudah lepas tangan,

tidak mengurusi lagi, Suak Mansi tidak ada orang transmigrasi, cuma mbah Muri saja, itu pun

pindahan dari trans Sekadau”,cerita mbah Marsinah dengan dialek Dayak nya. Pernyataan

mbah Marsinah tersebut bukan berarti bahwa penduduk Jawa adalah kelompok mayoritas di

dusun Suak Mansi. Dari total jumlah penduduk dusun Suak Mansi sebanyak empat ratus

delapan jiwa dengan seratus dua puluh satu kepala keluarga, kurang lebih hanya ada belasan

kepala keluarga asal Jawa. Namun karena terjadi pernikahan antara penduduk asli atau

penduduk Dayak dengan penduduk pendatang atau penduduk Jawa, secara sepintas, orang

Jawa banyak terdapat di dusun Suak Mansi ini.

Sosiolog Louis Wirth (1945) dalam Henslin mendefinisikan kelompok minoritas (minority

group) sebagai orang-orang yang dipilh untuk diperlakukan tidak setara dan yag menganggap

diri mereka sebgai objek diskrimansi kolektif. Di seluruh dunia, kaum minoritas menghadapi

kondisi yang sama : unsur fisik dan budaya mereka dipandang rendah oleh kelompok

Page 15: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

dominan, yang memperlakukan merekasecara tidak adil, dan mereka cenderung menikah

dengan anggota kelompok mereka sendiri (Wagley dan Harris 1958). Kondisi tersebut

cenderung menciptakan suatu ikatan identitas bersama di kalangan kamu minoritas (suatu

perasaan “kekitaan”). Dalam banyak kasus mereka pun merasa menjalani takdir yang sama

(Chandra 1993b).

Berdasarkan pandangan penulis, orang Jawa di dusun Suak Mansi secara kuantitas masih

termasuk dalam kategori minoritas. Namun, keminoritasan ini tidak menjadi hal yang

membuat orang Jawa diperlakukan oleh penduduk asli atau etnik Dayak dengan perlakuan

diskrimansi. Orang Jawa atau penduduk pendatang di dusun Suak Mansi membuat mereka

tergolong menjadi kelompok minoritas adalah melalui perpindahan geografis atau merantau

yang mereka lakukan. Pada kenyataanya, penduduk asli dan penduduk pendatang hidup

rukun dan sudah merasa seperti sebuah keluarga besar. Hidup rukun tersebut salah satunya

ditunjukkan ketika salah satu dari warga dusun Suak Mansi, baik itu penduduk asli maupun

penduduk pendatang mengadakan pesta perkawinan. Jika penduduk asli yang mengadakan

pesta perkawinan, maka mereka akan memasak di dua tempat. Satu tempat yaitu di rumah

sendiri untuk memasak makanan yag akan disajikan untuk mereka yang beragama non Islam,

seperti masakan babi dan minuman arak. Satu tempat lagi adalah untuk memasak makanan

yang akan disajikan untuk mereka yang beragama Islam, yang tidak lain adalah penduduk

pendatang asal Jawa. Hal seperti ini menggmbarkan bagaimana tingginya penghargaan akan

perbedaan, dalam hal ini perbedaan keyakinan. Bentuk lain kerukunan masyarakat dusun

Suak Mansi yang bisa dikatakan multikultural adalah adanya representasi dalam sistem

kepemimpinan. Wilayah dusun Suak Mansi yang terbagi ke dalam tiga rukun tentangga, salah

satu ketua rukun tetangga adalah orang Jawa. Kegiatan-kegiatan gotong royong, seperti

memperbaiki jembatan dilakukan bersama-sama tanpa memandang etnik, ras, usia,

penghasilan, pendidikan, status pernikahan, agama, dan politik.

Karet, Sawit, dan Sosial Ekonomi

“Jalan sini masih jalan air, tidak ada jalan darat, pakai sampan kecil. Biasa kami naik mobil

bawa getah, ke Boyan, ke Meliau. Kalau air pasang air surut, yang susah kalau air surut,

kandas airmya, narik kapal sampai berhari-hari, bermalam sampai ke Boyan, biasa ke

Boyan membawa anak buah, dari sini dihanyut ke Melawi, pulangnya membawa belanjaan.

Kalau sekarang sudah nyaman, pakai motor bisa. Kalau dulu, setidaknya harus bermalam

satu malam, naik kapal milik sendiri. Baru ada jalan ketika ada sawit buka sini, tahun 1991,

Page 16: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

1992, yang buat dari perusahaan, dia mau masuk perusahaan harus membuat jalan,

membuat jalan pun kena tanah kita, tidak mau ganti rugi, karena yang untung kan kita di

daerah, mereka nyari keuntungan sawitnya. Rugi ya rugi, kalau lima meter panjang sepuluh

meter udah berapa. Sekarang ke Meliau pulang balik pun tidak sampai lima jam, kalau dulu

dua hari pulang balik baru sampai. Ada proyek masuk sini, ada nyamannya, kalau berjalan

sampai kesana udah tidak pakai sampan, kita mau beli mobil pun sudah bisa. Kalau sakitnya

kita kan, tanah kalau nyerahkan tanah tujuh hektar cuma dapat dua hektar, dua hektar kebun

inti, dua hektar untuk orang trans dari Jawa. Jadi orang yang pribumi sini rugi. Tanah udah

kurang masih suruh bayar lagi,mengangsur kreditnya bibit sawit belasan juta. Maka disini

banyak yang ndak mau bayar kredit”

Di atas merupakan cerita yang dilontarkan mbah Tugiran ketika peneliti bertanya bagaimana

kondisi desa sebelum perusahaan swasta asing masuk di dusun Suak Mansi. Perubahan

komoditas perkebunan dari hutan karet menjadi perkebunan kelapa sawit memberikan

dampak positif dan negatif bagi penduduk di dusun Suak Mansi. Dampak positifnya adalah

mulai ada jalur darat yag mempermudah masyarakat dusun Suak Mansi untuk pergi ke

kecamatan. Akses transportasi mengalami perubahan dari jalur air menjadi jalur darat

membuat masyarakat bisa bermobilisasi dengan waktu yang lebih cepat dibanding

sebelumnya saat transportasi yang ada hanyalah transportasi air. Pembangunan jalan darat

yang dilakukan oleh pihak perusahaan swasta asing yang masuk ke dusun Suak Mansi pada

dasarnya mengunutngkan kedua belah pihak. Pihak perusahaan untung karena masyarakat

memberikan semua hasil perkebunan sawitnya kepada perusahaan. Masyarakat untung karena

mereka menjadi mudah dan cepat untuk pergi ke daerah lain. Selain itu, dengan masuknya

perusahaan swasta asing tersebut ke dusun Suak Mansi, perekonomian warga yang semula

hanya memanfaatkan getah karet yang kemudian bertambah dari hasil perkebunana kelapa

sawit, berdasarkan penuturan informan—beberapa penduduk Jawa di dusun Suak Mansi—

menyatakan bahwa perekonomian masyarakat dusun Suak Mansi menjadi lebih baik.

Mengapa demikian? Karena rupiah yang didapatkan warga lebih banayka dibandingkan

sebelumnya ketika penghasilan utama masyarakat dusun Suak Mansi hanya bersumber dari

hasil noreh. Dampak negatifnya adalah masyarakat dirugikan dengan dilakukannya

pembangunan jalan yang memakan tanah masyarakat dusun Suak Mansi tanpa adanya

pemberian kompensasi dari perusahaan akan hal tersebut. Selain itu, masyarakat asli juga

masih harus dibebani untuk menyerahkan tanah mereka seluas tujuh hektar dan membayar

kredit bibit sawit.

Page 17: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

“Dulu datang dari Jawa masih kerja berat, karena sawit dulu belum produksi, masih awal

sawit, belum berhasil. Sekali berhasil masih berapa dulu, sekilo masih seratus, dua ratus

rupiah. Tahun 2001 masih paling-paling seratus, dua ratus. Udah buahnya kecil, murah,

kalau sekarang harganya mahal tapi kan sesuai dengan kerjanya. Kerjanya kalau ngegrek,

manen sawit, resiko besar, coba kalau pas ngegrek jatuh kena sawit, mati banyak kejadian,

disini masih ndak ada, yang banyak di PTP”

“Dulu datang dari Jawa kerja berat, karena sawit dulu belum produksi, sawit masih awal,

belum berhasil. Sekali berhasil dulu harganya masih seberapa, satu kilo masih seratus atau

dua ratus rupiah. Tahun 2011 paling-paling masih seratus, dua ratus. Sudah buahnya kecil,

murah, kalau sekarang harganya mahal tapi itu sesuai dengan kerjanya. Kerjanya kalau

ngagrek, memanen sawit, resiko besar, ketika ngagrek, tandan sawit jatuh kena kita, banyak

kejadian yang meninggal, disini (Suak Mansi) masih tidak ada, yang banyak di PTP”, cerita

mbah Tugiran bagaimana hidup sebagai seorang petani kelapa sawit. Meskipun perkebunan

kelapa sawit dan getah karet menghasilkan banyak lembaran rupiah, resiko yang dihadapi

pun juga besar. Membutuhkan keahlian tersendiri untuk ngagrek dan ndodos. Salah sedikit,

tandan buah sawit bisa jatuh mengenai kita, dan nyawa menjadi taruhan. Salah menggunakan

gancu pun juga bisa berbahaya, jika kita tidak tepat meletakkan gancu di tandan sawit yang

akan kita angkat, tandan sawit akan mengenai kaki kita, dan tentunya itu menimbulkan rasa

sakit dan membekaskan luka yang tidak bisa sembuh dalam waktu yang singkat.

“Jadi petani sawit susah, susah karena harga sawit ditentukan perusahaan, manut ja, mau

turun naik, paling tinggi 1700, pas tahun 2010 turun sampai 400, sekarang seribu lebih,

panen terus, begitu ada truk angkut. Kalau hujan kita pun sulit, jalan licin, jadi truk sulit

ngangkut sawit ke pabrik, kalau sudah lama tidak diangkut, sawit busuk”

“Jadi petani sawit susah, susah karena harga sawit ditentukan perusahaan, kita ikut

perusahaan, mau turun atau naik, paling tinggi 1700, tahun 2010 turun samapi empat ratus

rupiah, kalau sekarang harganya seribu lebih, panen kemudian jika sudah ada truk diangkut.

Kalau hujan kita pun sulit, jalan licin, jadi truk sulit mengangkut sawit ke pabrik, kalau sudah

lama tidak diangkut, sawit busuk”, terang pak Sutarmin. Pak Sutarmin adalah pria turunan

Jawa yang lahir di dusun Suak Mansi. Telah menikah dengan mamak Su, anak mbah Tugiran,

dan memiliki tiga anak. Sebagai seorang keturunan darah Jawa, pak Su, panggilan akrab pak

Sutarmin, belum pernah pergi ke Jawa.

Page 18: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

Cerita pak Sutarmin tersebut menunjukkan bagaimana kehidupan petani sawit yang tidak

selalu nyaman karena mampu menghasilkan jutaan rupiah tiap bulannya. Perekonomian

perkebunan yang sangat bergantung dengan cuaca menjadi suatu kendala bagi petani kelapa

sawit. Hujan menjadi kendala ketika masa panen sawit tiba. Satu-satunya akses jalan menuju

pabrik adalah jalan tanah yang licin jika hujan turun. Harga sawit pun petani kelapa sawit

tidak memiliki andil untuk ikut serta dalam penentuannya. Petani kelapa sawit hanya tahu

bahwa perusahaan menetapkan harga sekian dan petani harus menerima itu. Harga kelapa

sawit per kilonya sangat mudah turun, bisa turun harganya hingga ratusan rupiah, namun

sangat sulit dan lama sekali harga kelapa sawit naik, naik hanya belasan rupiah bahkan satuan

rupiah.

Simpulan

Orang Jawa dan anak keturunannya di Kalimantan merasakan hidup yang berkecukupan dan

bahagia hidup bersama keluarga luas (extended family) mereka. Kondisi ekonomi keluarga

yang sulit ketika masih berada di Jawa membuat orang Jawa merantau ke Kalimantan. Lebih

memilih merantau daripada transmigrasi karena transmigrasi harus terikat dengan peraturan

institusi terkait. Dalam perkembangannya, orang Jawa yang telah lama hidup di Kalimantan

merasakan perbedaan kondisi ekonomi keluarga. Penghasilan per bulan mereka jauh lebih

banyak dibandingkan dengan bekerja di Jawa. Anggota keluarga yang sebelumnya telah

merantau terlebih dahulu, menjadi jalan atau pintu gerbang bagi orang Jawa untuk ikut pula

mengadu nasib di Kalimantan. Bekerja di hutan dengan noreh getah karet menghasilkan

rupiah yang banyak. Etos kerja yang tinggi dan motivasi pribadi untuk bisa merubah hidup

menjadi mapan ekonomi membuat banyak orang Jawa yang sukses di tanah Dayak. Setelah

kebun karet berubah menjadi hamparan sawit, perekonomian dusun Suak Mansi menjadi

berkembang. Hasil noreh dan panen kelapa sawit dirasakan oleh orang Jawa sangat

meningkatkan pendapatan dan dapat digunakan untuk saving. Namun, hal berbeda dirasakan

oleh penduduk asli atau orang Dayak karena mereka harus menyerahkan tujuh hektar tanah

adat mereka kepada perusahaan untuk bisa memiliki dua hektar kebun sawit. Masih pula

dibebankan kredit bibit sawit. Kehidupan bersama etnik yang berbeda tidak begitu menjadi

permasalahan bagi orang Jawa di dusun Suak Mansi. Orang Jawa di dusun Suak Mansi

mendapatkan penerimaan dan respon yang baik dari penduduk asli atau orang Dayak. Dua

etnik yaitu etnik Dayak dan etnik Jawa hidup rukun dan saling menghargai di dusun Suak

Mansi, desa Melawi Makmur, kecamatan Meliau, kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan

Barat.

Page 19: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes

Daftar Pustaka

Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender and Transformasi Sosial.Pustaka Pelajar:

Yogyakarta.

Ferrante, Joan. 2011. Seeing Sociology : An Introduction. Northern Kentucky University.

Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi: Edisi 6. Penerjemah :

Kamanto Sunarto. Erlangga: Jakarta.