orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes
TRANSCRIPT
![Page 1: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/1.jpg)
Orang Jawa dan Peranakannya di Tanah Dayak
(Studi pada Orang Jawa di Dusun Suak Mansi, Desa Melawi Makmur, Kecamatan
Meliau, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat)
SITI CHUSNIYAH, Universitas Negeri Semarang
Pendahuluan
Tulisan ini adalah buah dari riset lapangan yang dilakukan di dusun Suak Mansi, kecamatan
Meliau, kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 7 Juli 2013 sampai
dengan 31 Juli 2013. Sebagai peneliti pemula yang baru pertama kali melakukan riset
lapangan dalam rentang waktu yang cukup lama yaitu satu bulan, penulis merasakan
kebingungan saat hari-hari pertama di lapangan. Berbekal outline riset yang sudah dirancang
sebelum berangkat ke lokasi, penulis berusaha untuk menemukan titik temu masalah apa
yang akhirnya akan menjadi fokus penelitian satu bulan ke depan, informasi apa yang harus
digali dan didapatkan, dan siapa saja informan yang harus ditemui dan diajak ngobrol.
Setelah beberapa hari hidup bersama dengan masyarakat, saya memutuskan untuk fokus pada
kisah hidup orang Jawa yang ada di dusun Suak Mansi. Kisah hidup seorang perantauan
menjadi hal yang menarik karena penulis ingin mengetahui bagaimana kronologi hidup orang
Jawa yang kemudian lebih memilih hidup di tanah Dayak, Kalimantan, dan rela tidak mati di
tanah kelahirannya, tanah Jawa. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa orang Jawa
yang tinggal di dusun Suak Mansi. Metode pengumpulan informasi yang digunakan adalah
wawancara dan dokumentasi. Fieldwork diawali dengan pencarian informasi yang dilakukan
dengan metode bola salju (snowball methode) yaitu dengan bertanya kepada penduduk Jawa
di dusun Suak Mansi yang mengetahui keberadaan orang-orang Jawa yang tinggal di dusun
tersebut. Kemudian setelah salah satu informan didapatkan, dari informan itulah selanjutnya
pencarian dan pengumpulan informasi penelitian dilakukan dan didapatkan. Dari informan
kedua kemudian diperoleh keterangan tentang informan ketiga dan seterusnya. Wawancara
yang dilakukan baik yang bersifat terbuka maupun semi struktur dipersiapakan menggunakan
pedoman wawancara (interview guide), wawancara mendalam (indepth interview) dilakukan
untuk beberapa informan yang dianggap peneliti paling menarik. Partisipant observation
juga dilakukan oleh peneliti, dalam arti terlibat langsung dan menjadi bagian dari berbagai
![Page 2: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/2.jpg)
aktivitas penduduk Jawa yang ada di dusun Suak Mansi sehingga peneliti memperoleh data
yang valid.
Sekilas Tentang Suak Mansi
Suak Mansi adalah salah satu dusun di desa Melawi Makmur yang dulunya masih termasuk
ke dalam daerah administratif desa Pampang Dua, namun karena adanya pemekaran desa,
Suak Mansi terpisah dari Pampang Dua dan menjadi bagian dari desa Melawi Makmur.
Berdasarakan Peraturan Daerah (Perda) kabupaten Sanggau Nomor 3 Tahun 2011 tentang
pembentukan desa Melawi Makmur kecamatan Meliau, pada bab dua tentang pembentukan
menyatakan bahwa desa Melawi Makmur merupakan desa pemekaran dari pampang dua
yang meliputi beberapa dusun yaitu dusun Nek Sawak, dusun Suak Mansi, dan dusun
Landau. Dengan dibentuknya desa Melawi Makmur sebagai desa definitif, maka desa
Pampang Dua sebagai desa induk terdiri atas dusun Pampang Dua, dusun Lubuk Benuang,
dusun Tapang Sedendang, dusun Suak Kenyaok, dan dusun Suak Pram. Pusat pemerintahan
desa Melawi Makmur yang memiliki luas wilayah 16,6 kilometer persegi, berkedudukan di
dusun Nek Sawak. Jumlah penduduk desa Melawi Makmur pada saat desa ini dibentuk
adalah 1.882 jiwa.
Suak Mansi sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu Suak Mansi Hulu dan Suak Mansi
Hilir. Suak Mansi hulu sebagian besar warganya beragama Kristen dan anjing biasa
berkeliaran di kampung. Sedangkan Suak Mansi hilir selain didiami oleh orang Dayak yang
beragama Kristen juga terdapat perantauan dari Jawa yang beragama Islam. Mayoritas rumah
yang ada di dusun Suak Mansi adalah rumah yang terbuat dari kayu. Meskipun kini sudah
ada beberapa rumah yang terbuat dari semen dan sudah mengikuti model rumah modern
masa kini. Atap mayoritas rumah di dusun Suak Mansi adalah seng dan alas rumah
menggunakan kayu.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kepala dusun Suak Mansi, pak Johan Sempe, monografi
dusun Suak Mansi adalah sebagai berikut. Terbagi menjadi tiga rukun tetangga, dusun Suak
Mansi memiliki kepala keluarga sejumlah 121 dengan jumlah penduduk sebanyak 408 yang
terdiri dari 212 jiwa laki-laki dan 196 jiwa perempuan. Terdapat 34 penduduk yang beragama
Islam, 70 penduduk beragama Katolik, 304 beragama Protestan. Melihat komposisi penduduk
berdasarkan agamanya tersebut, fasilitas tempat peribadatan yang ada di dusun Suak Mansi
adalah sebuah masjid yang berlokasi di Suak Mansi Hilir, dan dua gereja yang terletak di
Suak Mansi Hulu dan Suak Mansi Hilir. Dusun Suak Mansi adalah satu-satunya dusun di
![Page 3: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/3.jpg)
desa Melawi Makmur yang memiliki masjid sehingga orang-orang Islam yang tinggal di
dusun Landau dan Nek Sawak biasa ke masjid Suak Mansi untuk melaksanakan sholat Jumat,
dan sholat-sholat pada saat hari raya, baik idul fitri maupun idul adha.
Mayoritas pekerjaan masyarakat dusun Suak Mansi adalah sebagai petani sawit dan peNoreh
karet, ada juga beberapa yang bekerja sebagai peternak, misalnya peternak babi, peternak
ayam, dan peternak ikan. Dalam melakukan aktivitas terkait dengan profesi masyarakat
dusun Suak Mansi yang mayoritas adlaah petani sawit, masih menggunakan alat tradisional,
yaitu dodos, gancu, dan agrek. Dodos adalah alat pemotong buah sawit yang terbuat dari besi
yang diisi dengan baja, tajam dan kuat. Dodos digunakan untuk mengambil buah sawit yang
posisi buahnya kurang dari lima mater. Agrek digunakan untuk mengambil buah sawit yang
posisi buahnya lebih dari lima meter. Dodos dan agrek digunakan petani untuk mengambil
buah sawit dari pohonnya, sedangkan gancu digunakan untuk mengambil buah sawit yang
telah jatuh yang kemudian ditaruh di keranjang dan pada akhrinya dibawa ke tempat
penimbangan buah sawit. Setiap paginya, jam lima shubuh, orang-orang sudah keluar dari
rumah untuk berangkat ke kebun karet. Suasana kampung saat pagi sangat sepi karena
banyak warga yang pergi ke hutan, hanya ada beberapa orang yang tinggal di rumah, akan
mulai hidup lagi suasana kampung Suak Mansi atau ramai ketika semua orang telah pulang
dari noreh, biasanya pulang dari hutan pada jam sepuluh pagi. Noreh karet menjadi sumber
penghasilan kedua setelah hasil panen kebun sawit bagi mayoritas penduduk dusun Suak
Mansi.
Dayak masyarakat di dusun Suak Mansi adalah termasuk Dayak desa. Bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh masyarakat di dusun Suak Mansi adalah
bahasa Dayak desa dan bahasa Jawa. Salah satu penduduk asli yang pernah ditemui oleh
penulis mengatakan bahwa bahasa Dayak desa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-
hari oleh masyarakat dusun Suak Mansi tergolong bahasa Dayak yang mudah dipahami oleh
orang baru atau pendatang. Beberapa kata dalam bahasa Dayak desa mirip dengan bahasa
Indonesia sehingga mudah untuk dipelajari oleh pendatang. Bahasa Jawa menjadi familiar
bagi penduduk Dayak asli karena di dusun Suak Mansi, penduduk Jawa lumayan banyak, dan
penduduk Jawa tersebut biasa menggunakan bahasa Jawa di kesehariannya. Selain itu,
adanya perkawinan antara orang Dayak dengan orang Jawa yang dalam istilah sosiologinya
adalah amalgamasi, juga menjadi alasan mengapa bahasa Jawa menjadi bahasa keseharian
masyarakat di dusun Suak Mansi. Bertemunya dua individu yang berbeda etnik ----dalam hal
ini etnik Jawa dan etnik Dayak---- dalam bingkai keluarga berarti terjadi pertemuan dua
![Page 4: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/4.jpg)
individu bahkan dua keluarga dengan kebudayaan yang berbeda, termasuk salah satunya
adalah bahasa. Keluarga dengan komposisi dua etnik ini sangat memungkinkan sekali
terjadinya akulturasi budaya, karena dua kebudayaan berinteraksi satu sama lain dalam
kehidupan keluarga. Hal ini lah yang menjadikan bahasa Jawa menjadi bahasa yang sering
digunakan oleh masyarakat di dusun Suak Mansi. Hampir seluruh warga masyarakat dusun
Suak Mansi paham jika diajak lawan bicaranya berkomunikasi dengan bahasa Jawa.
Meskipun penggunaannya tentu dalam porsi yang tidak banyak, bahasa Dayak masih
menguasai dan banyak proporsi penggunaannya untuk komunikasi sehari-hari masyarakat di
dusun Suak Mansi.
Mengapa ke Borneo?
“Kalau di Jawa itu dulu saya kawin, kerjanya bikin genteng dan bata, jual genteng pun pakai
sepeda, sampai beberapa puluh kilo pun pakai sepeda, bahkan mikul pun pernah sehari-hari
sampai gunung, berapa gajinya, ndak seberapa, kerjanya payah, gajinya ndak seberapa,
gajinya nunggu kalau udah dijual, cukup buat makan saja. Kami dulu kecil sekolah pagi,
sore kerja bikin genteng buat bayar sekolah, baru kelas lima SR, dulu SD belum ada, minta
duit pakai buat SPP, mamak ndak mau ngasih”
“Kalau di Jawa itu dulu saya kawin kerjanya bikin genteng dan bata, jual genteng pun pakai
sepeda, sampai beberapa puluh kilo pun pakai sepeda, bahkan memanggul pun pernah sehari-
hari sampai gunung, berapa gajinya, tidak seberapa, kerjanya payah, gajinya tidak seberapa,
gajinya nunggu kalau sudah dijual, cukup buat makan saja. Kami dulu kecil sekolah pagi,
sore kerja membuat genteng untuk bayar sekolah, baru kelas lima SR (Sekolah Rakyat), dulu
SD (Sekolah Dasar) belum ada, minta uang untuk bayar uang sekolah, mamak tidak mau
memberi”, cerita seorang imam masjid yang sejak tahun 1979 telah tinggal di tanah Dayak
tepatnya di dusun Suak Mansi, ketika saya bertandang ke rumah beliau. Mbah kakung, begitu
mbah Tugiran biasa dipanggil oleh cucunya.
Begitulah cerita laki-laki asal kecamatan Kokap, kabupaten Wates, kelurahan Argorejo,
Yogyakarta ketika ditanya bagaimana perbedaan hidup di Jawa dengan di Kalimantan. Mbah
Tugiran bukanlah seorang pelaku transmigran yang merupakan program dari Suharto,
presiden orde Baru saat itu. Mengawali kehidupan sebagai seorang perantuan di Kalimantan
Barat, tepatnya di dusun Suak Mansi, desa Melawi Makmur, kecamatan Meliau, kabupaten
Sanggau, adalah buah ajakan sang paman. Mbah Tugiran berusia tiga puluh tahun ketika
pergi merantau ke Kalimantan, sudah memiliki tiga anak, yaitu Sugihartini, Rohman, dan
![Page 5: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/5.jpg)
Yatno. Sugihartini dan Rohman di bawa serta mbah Tugiran ke Kalimantan pada tahun 2000,
sedangkan Yatno, saat itu masih kecil sehingga ditinggal di Jawa, dititipkan kepada orang tua
istri mbah Tugiran.
“Rohman di Pontianak udah kawin, kerja bangunan, Yatno di jawa kerja, penghasilan
kurang. Kemarin disjni sebulan lebih, bawa uang pulang hampir 5 juta, kalau di jawa
sebulan dapat enam ratus udah syukur, dia kerja ayam paling-paling sebulan enam ratus,
disini nyangkol punya sabar, sepuluh hari udah 1 juta, ndak mau balik kensini lagi, ditanya
ndak mau”
“Rohman di Pontianak sudah kawin, kerja bangunan, Yatno di Jawa kerja, penghasilan
kurang. Kemarin diisni satu bulan lebih, bawa uang pulang hampir lima juta. Kalau di Jawa
satu bulan dapat enam ratus sudah bersyukur. Dia kerja ayam satu bulan hanya dapat enam
ratus ribu, disini memanenkan sawit punya sabar, sepuluh hari sudah satu juta, tidak mau
kembali kesini, ditanya tidak mau kembali lagi”, jelas mbah Tugiran tentang nasib anak-
anaknya buah perkawinan pertamanya.
Kemudian setelah merantau beberapa tahun di Kalimantan, mbah Tugiran menikah dengan
perempuan keturunan darah Jawa yang lahir dan besar di Kalimantan, yaitu mbah Marsinah.
Pernikahanya dengan mbah Marsinah, mbah Tugiran dikaruniai dua tiga orang anak. Istri
mbah Tugiran yang tinggal di Jawa telah meninggal karena sakit. Anak pertama mbah
Tugiran buah perkawinanya dengan mbah Marsinah telah menikah dengan orang asal
Singkawang, Ahmadi namanya. Ahmadi adalah satu-satunya anak mbah Tugiran yang
menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi, jenjang D3. Kemudian anak kedua
adalah Wit yang sekarang tinggal di rumah suaminya, di Meliau. Terakhir, adalah Mur yang
saat ini tinggal satu rumah dengan mbah Tugiran. Mur telah menikah dengan perempuan
keturunan Dayak yang berpindah agama dari Kristen menjadi Islam setelah memutuskan
untuk menikah Mur.
Melakukan sebuah mobilitas geografis dari pulau Jawa berpindah ke pulau Kalimantan
adalah sebuah pilihan untuk memperbaiki kualitas hidup. Hidup di Jawa begitu sulit
dirasakan untuk bisa mencapai kemapanan dan ketercukupan ekonomi, modal pendidikan
bagi anak-anak, dan strata sosial berdasarkan kepemilikan barang berharga dan kekayaan.
Dapat dikatakan bahwa mobilitas geografis yang dilakukan bertujuan untuk mencapai
mobilitas vertikal dengan indikator naiknya kualitas hidup berdasarkan besarnya penghasilan.
![Page 6: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/6.jpg)
Berbeda dengan seorang transmigran yang dibiayai oeh pemerintah dan diberi segala fasilitas
hidup mulai dari sandang, pangan, papan, dan biaya hidup selama kurun waktu dua tahun,
perantauan harus berjuang keras dengan modal sendiri atau pribadi. Tekad yang kuat dan
keinginan yang besar untuk merubah hidup telah mengalahkan ketakutan akan rumor klise,
“orang Kalimantan itu makan orang”, dan juga kesulitan modal. Rumor klise bahwa orang
Kalimantan memakan sesama manusia sangat sering menjadi omongan di Jawa karena kasus
Sambas beberapa tahun silam.
“Mamak kesini, mamak di Jawa masih hidup, sakit, hidup sama mbah. Mamak dulu diajak
kesini sama bapak, mau karena diomong disini nyari uang gampang, kalau di Jawa kan ndak
pernah pegang duit”
“Mamak kesini, mamak di Jawa masih hidup, sakit, hidup sama mbah. Mamak dulu diajak
kesini sama bapak, mau karena dikasih tahu mencari uang mudah, kalau di Jawa tidak pernah
mempunyai uang”, ungkap mamak Su ketika saya bertanya bagaimana ia sampai di dusun
Suak Mansi dan menetap disana.
Perbincangan ini terjadi saat saya membantu mamak Su memasak di dapur untuk berbuka
puasa nantinya. Sugihartini yang kemudian akrab dipanggil dengan sapaan mamak Su, adalah
anak pertama mbah Tugiran. Iming-iming mudahnya mendapatkan uang jika berada di
Kalimantan membuat mamak Su bersedia dibawa serta oleh bapaknya, mbah Tugiran. Di
usianya yang masih belasan tahun, usia anak sekolah dasar, mamak Su dan satu adiknya
dibawa serta oleh bapaknya, mbah Tugiran, ke Kalimantan. Latar belakang mobilitas sosial
dari mamak Su ini sama dengan kisah mbah Tugiran, yaitu berawal dari ajakan anggota
keluarga yang pernah mencoba hidup di tanah Dayak dan merasakan perbedaan kualitas
hidup antara di Jawa dengan di Kalimantan.
“Bapak sih payah, berhenti sekolah, baru sekolah SMP satu bulan, disuruh berhenti mamak
tiri. Berhenti sekolah, ikut noreh, mau makan ja diomong, baru enak setelah berkeluarga.
Mamak tiri jahat. Pertama noreh ikut-ikut noreh ja bapak, ikut-ikutan. Dari pagi-pagi jam
lima sampai jam sepuluh, pulang noreh mandi nyuci, beres-beres, bersih rumah. Adik masih
kecil-kecil, tiga, laki-laki sama perempuan, laki-laki dua, perempuan satu, Mur terkahir”
“Bapak sih payah, saya berhenti sekolah, baru sekolah SMP satu bulan, disuruh berhenti
sama mamak, mamak tiri soalnya. Berhenti sekolah, ikut noreh, mau makan saja ditegur, baru
hidup enak setelah berkeluarga. Mamak tiri jahat. Pertama noreh ikut-ikut noreh bapak saja,
![Page 7: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/7.jpg)
ikut-ikutan. Dari pagi-padi jam lima sampai jam sepuluh, pulang noreh kemudian mandi dan
mencuci, beres-beres, bersih rumah. Adik masih kecil-kecil, saya punya tiga adik, laki-laki
dan perempuan, dua laki-laki, satu perempuan, Mur adalah adik terakhir saya”, terang mamak
Su kala itu sambil menumbuk cabai untuk dibuat sambal lauk buka puasa.
Petikan perbincangan ketika saya membantu memasak di dapur mamak Su tersebut
menggambarkan bagaimana kehidupan awal seorang usia belasan tahun yang berani ikut sang
bapak merantau ke Kalimantan. Sampai di Kalimantan tentunya tidak serta merta merasakan
saku yang terisi banyak lembaran rupiah. Semua berawal dari hal kecil dan merasakan hidup
susah membanting tulang mengumpulkan rupiah demi rupiah. Mamak Su yang masih usia
belasan tahun saat itu, sempat menempuh pendidikan pada jenjang sekolah menegah pertama.
Pada saat itu, sekitar tahun 2000, mamak Su menempuh sekolah menengah pertama yang
terletak di dusun Pampang Dua. Hanya beberapa bulan saja menikmati belajar di sekolah,
mamak Su keluar dari sekolah. Bekerja adalah pilihan yang tidak dapat ditolak setelah keluar
dari sekolah. Bekerja tanpa bayaran sebagai penoreh disaat seharusnya belajar di kelas.
“Kadang motong, regane murah, males moton, suwe ra tau motong, motong ya ana hasil,
motong didol, ditabung, gak usah akeh-akeh lima puluh entuk”
“Kadang noreh karet, harganya murah, jadi malas mau noreh, sudah lama saya tidak noreh,
kalau noreh ya ada hasilnya, noreh kemudian karetnya dijual, hasilnya ditabung, tidak perlu
banyak-banyak norehnya, lima puluh ribu sudah bisa dapat”, jelas mamak Su dengan suara
khas seorang yang sedang flu.
Perbedaan kualitas hidup yang dimaksud disini adalah perbedaan kualitas hidup dari segi
ekonomi. Jika di Jawa, satu hari bekerja hanya mendapatkan uang sepuluh ribu rupiah yang
hanya cukup untuk kebutuhan perut, di Kalimantan, mamak Su bisa mendapatkan lebih dari
sepuluh ribu rupiah dari hasil noreh karet. Selalu dikatakan oleh orang Jawa yang hidup di
Kalimantan, bahwa memperoleh uang di Kalimantan ini tidak lah sulit dibandingkan dengan
di Jawa. Pernyataan tersebt tentunya merupakan sebuah indikator yang sangat mendukung
sebuah asumsi bahwa perantauan Jawa di Kalimantan telah memiliki kualitas hidup yang
lebih baik setelah bekerja di Kalimantan.
“While everyone might agree that families should fulfill these four functions, conflict theorists
point out that family members do not always care for one another in positive ways and that
the family also perpetuates inequalities by passing on social advantages and disadvantages
![Page 8: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/8.jpg)
to its members. Moreover, marriage and family systems are structured to value productive
work and devalue reproduc tive work, and to foster and maintain divisions and boundaries
(dalam buku Seeing Sociology, Joan Ferrante, 2011)”
Friedrich Engels (1884) distinguishes between productive and reproductive work. Productive
work involves the actual manufacture of food, clothing, and shelter and the tools necessary to
produce them. Reproductive work involves bearing children, caregiving, managing
households, and educating children. Both are work: bearing children and caregiving
activities are fundamental to the perpetuation of society However, reproductive work is
disproportionately performed by women, whether or not pay is involved”
Melihat keluarga dari kacamata Sosiologi, dalam hal ini dari sudut pandang konflik, keluarga
mempertahankan ketidaksetaraan terhadap anggota-anggotanya. Ketidaksetaraan yang
dimaksud adalah ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam posisinya di keluarga
yang seharusnya seimbang. Hal ini sangat terkait dengan bagaimana peran dari laki-laki dan
perempuan dalam rumah tangga.
Berbicara reproduktive work dan productive work sangat berkaitan dengan pemaknaan kerja
dan kaitannya dengan gender. Stigma yang ada selama ini sebelum gender dikenal dan
diketahui oleh banyak orang, perempuan selalu diasumsikan dengan domestic work, bahwa
tugas perempuan dalam keluarga adalah mengurus rumah, merawat anak, dan sebagainya.
Sedangkan seorang laki-laki bertugas untuk mencari nafkah. Domestic work yang dibebankan
pada seorang perempuan menjadi sesuatu yang tak bernilai ekonomi, padahal jika kita
analogikan pekerjaan yang harus dilakukan oleh seorang perempuan di dalam keluarga
dengan seorang pembantu rumah tangga, betapa banyak uang yang ahrus dikeluarkan untuk
membayar gaji pembantu rumah tangga. Inilah yang kemudian disebut dengan reproductive
work dalam buku Seeing Sociology karya Joan Ferrante (2011). Kerja selalu didefinisikan
dengan segala aktivitas yang mampu menghasilkan uang, oleh karenanya pekerjaan seorang
ibu rumah tangga dianggap bukan sebuah pekerjaan.
Hal yang kemudian dimunculkan oleh para pemikir sosial dalam kajian gender adalah
ketidakadian gender termanifestasikan dalam berbgaia bentuk yaitu marginalisasi atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan yang tidak penting dalam keputusan politik,
pembentu gender stereotipe atau emlalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja
![Page 9: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/9.jpg)
lebih panjang danlebih banyak (double burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender
(Mansour Fakih, 2012 : 13).
Konsep yang akan digunakan oleh penulis untuk mengkaji fenomena sosial yang ditemui di
dusun Suak Mansi terkait dengan kehidupan keluarga Jawa di dusun tersebut adalah konsep
double burden. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua
pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung Jawab kaum perempuan. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan oleh peneliti mengenai aktivitas sehari-hari dan kegiatan
ekonomi masyarakat Jawa di dusun Suak Mansi, pembagian kerja antara perempuan dan laki-
laki memang menimbulkan beban ganda bagi perempuan. Saat musim panen buah sawit tiba,
suami istri akan pergi ke kebun kelapa sawit mereka untuk memanen sawitnya. Laki-laki
bertugas untuk mengambil tandan sawit dari pohonnya dengan menggunakan dodos atau
agrek. Sedangkan perempuan bertugas mengangkut tandan sawit yang telah jatuh dari pohon
tadi menuju tempat penimbangan sawit dengan menggunakan keranjang. Berdasarkan
pengalaman peneliti yang ikut serta dalam kegiatan memanen buah sawit yang dilakukan oleh
pasangan suami istri dua etnik, laki-laki keturunan Jawa dan perempuan keturunan Dayak
yang kemudian berpindah agama menjadi Islam, perempuan mampu mengangkut sekitar tiga
puluh kilo tandan sawit untuk sekali jalan menuju tempat penimbangan sawit yang biasanya
berada di pinggir jalan yang bisa dilalui truk pengangkut sawit menuju pabrik. Begitu
seterusnya, setiap kali panen, dan harus bolak-balik sampai lima kali lebih dalam sehari untuk
mengangkut keranjang berisi tandan sawit ke tempat penimbangan tandan sawit.
Perempuan di kalangan kelaurga petani sawit memiliki beban ganda, harus ikut dalam
kegiatan panen sawit yang begitu berat, dan masih pula harus mengurusi urusan rumah
tangga, seperti membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mengambil air untuk
keperluan memasak dari tempat penampungan air hujan, hingga merawat anak. Perempuan
tidak bisa menolak kondisi yang demikian dengan menuntut laki-laki untuk membantu
melakukan pekerjaan yang dikonstruksikan secara sosial sebagai tugas perempuan. Bahwa
perempuan yang ideal dan diharapkan oleh masyarakat adalah perempuan yang mampu
melakukan segala tugas rumah tangga tersebut.
![Page 10: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/10.jpg)
“Tahun 57, aku iseh bujangan, bujangan neg Kalimantan pirang tahun, dapet orang sini,
anak wong Jawa ga, gara-gara bapakku neg Kalimantan, nag gak, neg Jawa aku. Suruh
nusul neg Kalimantan, padahal aku duwe cewek ayu tenan, aku janji satu tahun balik, tapi
aku ra balik”
“Tahun 1957, saya masih bujang, bujang di Kalimantan beberapa tahun, dapat orang sini,
anak orang Jawa juga, gara-gara bapak saya di Kalimantan, kalau tidak, saya di Jawa. Suruh
menyusul ke Kalimantan, padahal saya punya pacar, sangat cantik, saya janji satu tahun
kembali, tapi saya tidak kembali”, jelas mbah Pardi ketika ditanya bagaimana bisa sampai di
Kalimantan. Sembari merebahkan diri di lantai masjid Suak Mansi setelah selesai sholat
Jumat, dan secara kebetulan saya pun selesai sholat dhuhur di masjid juga, saya berbincang
dengan mbah Pardi.
Tidak berbeda dengan dua informan sebelumnya, mbah Pardi bisa sampai di Kalimantan juga
berawal dari ajakan sanak keluarga. Mbah Pardi adalah perantauan asal Yogyakarta. Setelah
merasakan hidup sebagai penoreh selama beberapa tahun hingga perusahaan swasta asing
masuk di dusun Suak Mansi dan mengubah kebun karet menjadi hamparan sawit, mbah Pardi
memutuskan untuk tetap tinggal di dusun Suak Mansi dan tidak lagi kembali ke daerah
asalnya, Yogyakarta. Mbah Pardi mengaku malu jika ia kembali ke kampung halaman,
karena merasa belum cukup mapan dibandingkan dengan kawan-kawan dan sanak keluarga
di kampung halaman yang telah berhasil lebih dulu. Padahal menurut penuturan dari
informan lain, mbah Pardi adalah sosok perantau yang telah sukses, memiliki banyak kapling
kelapa sawit dan kebun karet yang luas.
Berdasarkan petikan-petikan percakapan peneliti dengan informan serta penjelasannya diatas,
semua informan memiliki kisah yang sama mengenai alasan melakukan mobilitas geografis
atau yang masyarakat banyak kenal dengan merantau. Ajakan anggota keluarga yang pernah
merasakan hidup sebagai seorang perantauan yang bisa dikatakan sukses adalah alasan
mengapa orang Jawa pindah ke pulau Kalimantan. Bahwa keinginan untuk mendapatkan
ruliah yang lebih banyak hanya dapat dilakukan jika mereka tidak yeyap tinggal di desa
kelahiran mereka, namun harus berjuang di tanah orang, yang dalam kasus ini pulau
Kalimantan menjadi pilihan untuk daerah tujuan perantauan mereka.
![Page 11: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/11.jpg)
“Dulu kan dianggarkan pak Suharto, dibikinkan trans sini, yang dari Jawa sana kan disuruh
kesini, kan pak suharto yang ngelaksanakan transmigrasi. Dikasih kapling tanah, rumah,
makanan, dicukupi, cuma akeh seg ndak kerasan. Mbah tukiyo merantau, modal sendiri,
merantau kesini kalau punya uang beli tanah untuk sawit kah untuk karet kah. Kalau
transmigrasi susah, kerjanya terikat, ndak enak”
“Dulu kan dianggarkan pak Suharto, dibuatkan trans disini, yang dari Jawa sana dipindahkan
kesini, pak Suharto yang melaksanakan transmigrasi. Diberi kapling tanah, rumah, makanan
dicukupi, cuma banyak yang tidak betah. Mbah Tukiyo (bapak dari mbah Marsinah)
merantau, modal sendiri, merantau kesini kalau punya uang beli tanah untuk sawit atau untuk
karet. Kalau transmigrasi susah, kerjanya terikat, tidak nyaman”, cerita mbah Marsinah, istri
kedua mbah Tugiran. Mbah Marsinah adalah turunan darah Jawa yang lahir di tanah Dayak
yang kemudian mendapatkan suami orang asal Jawa pula.
Mengapa informan yang tidak lain adalah penduduk Jawa yang ada di dusun Suak Mansi,
yang ditemui dan diwawancara oleh peneliti lebih memilih menjadi seorang perantauan
daripada menjadi seorang transmigran adalah pertanyaan yang kemudian muncul di dalam
benak peneliti. Dari sudut pandang ethic atau sudut pandang peneliti, jika memang informan
adalah seorang dengan kondisi perekonomian yang tidak mapan, dengan kata lain kemudian
disebut miskin, menjadi transmigran adalah pilihan yang baik dan rasional untuk diambil.
Menjadi transmigran tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk bisa sampai di daerah
tujuan dan tidak perlu pula memikirkan akan tinggal dimana setelah sampai di dareah tujuan,
akan bekerja apa dan dimana, berapa modal yang harus dikeluarkan, dan segala biaya yang
diperlukan untuk memulai hidup baru di tanah orang. Berbeda sekali jika memutuskan pergi
ke tanah orang sebagai seorang perantauan, kita harus memikirkan sendiri segala yang
diperlukan untuk bisa sampai di daerah tujuan perantauan. Peneliti kemudian menemukan
Jawaban atar pertanyaan tersebut dari sudut pandang emic atau sudut pandang informan.
Bahwa transmigrasi adalah program pemerintah dan pelaku transmigrasi harus patuh dan taat
terhadap peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui dinas terkait atau diistilahkan
oleh informan dengan terikat. Keterikatan dengan pemerintah dirasa akan membatasi diri dan
menyusahkan.
Kalimantan begitu menggiurkan untuk didatangi, hingga banyak orang Jawa yang rela
menjual harta bendanya untuk digunakan sebagai modal merantau. Sesampainya di
Kalimantan, kemudian merek bekerja keras dan membeli banyak tanah dan kebun sawit
![Page 12: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/12.jpg)
sebagai aset dan tabungan. Setelah dirasa memiliki banyak aset di Kalimantan mereka
kembali ke kampung halaman, dan aset yang dimiliki di Kalimantan diurus oleh orang yang
dipercaya. Kembali ke kampung halaman sebagai jutawan dengan masih memiliki banyak
kekayaan di tanah perantauan.
Rasanya Hidup di Tanah Borneo
“Disini penghasilan gampang, barang-barang mahal. Apalagi kalau ndak tau perincian
penghasilan sekilan pengeluaran sekian, perhitungan harus kuat, kita makan itu harus
seadanya, lauk sak anane. Sekarang sama dulu begitu, sama ja, karena dulu kan di Jawa
makan nasi sehari satu kali, satu pinggan udah dibagi-bagi, di Jawa itu kalau pagi makan
growol, tapi kalau semarang lumayan. Nasinya bukan keras macam sini. Lecak-lecak, itu
udah dibagi-bagi, sekali disini makan seenaknya. Ya kalau cuma membesarkan perut ndak
mau perhitungan, entek alas entek omah, paribasane wong Jawa, nggo sangu ngibadah ora
eneg, sibuk, ibadah mana, nyari uang mana, kalau perincian kan, makan sekian, nabung
sekian, jelas jadinya”
“Disini penghasilan mudah, barang-barang mahak. Apalagi kalau tidak tahu perincian,
penghasilan sekian pengeluaran sekian, perhitungan harus kuat, kita makan itu harus
seadanya, lauk apa adanya. Sekarang sama dulu begitu, sama saja, karena dulu kalau di Jawa
makan nasi sehari satu kali, satu pinggan sudah dibagi-bagi, di Jawa itu kalau pagi makan
growol, tapi kalau Semarang (jaman dulu) lumayan. Nasinya bukan keras seperti disini.
Lecak-lecak, itu sudah dibagi-bagi, sekali disini makan seenaknya. Ya kalau cuam
membesarkan perut tidak mau perhitungan, habis hutan habis rumah, kata peribahasa orang
Jawa, buat bekal ibadah tidak ada, sibuk, ibadah mana, mencari uang mana. Kalau perincian,
makan sekian, nabung sekian, jelas jadinya”, cerita mbah Tugiran dengan dialek campuran
bahasa Dayak dan bahasa Jawa.
Letak dusun Suak Mansi yang jauh dari pusat sosial dan ekonomi merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan mahalnya barang-barang kebutuhan sehari-hari dan barang
kebutuhan lainnya. Dusun Suak Mansi yang berada di lingkungan desa perkebunan memiliki
infrastruktur yang sangat minim. Akses transportasi dan komunikasi terbatas. Kondisi jalan
yang becek jika malam harinya turun hujan, menghambat aktivitas warga, karena akan rawan
terpeleset dan jatuh. Kemudahan mendapatkan banyak rupiah tiap bulannya seimbang dengan
besar rupiah yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan
lainnya.
![Page 13: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/13.jpg)
“Sini serba mahal. Sekarang sih udah agak enak bah, ndak kayak dulu. Hujan-hujan noreh,
saking kepingin urip penak kayak wong, beli apa-apa tercapai. Nabung terus, dari anak SD
sampai kuliah nabung, ndak pernah istilahnya utang”
“Disini serba mahal. Sekarang sudah agak enak, tidak seperti dulu. Meskipun hujan tetap
noreh, sangat ingin hidup enak seperti orang lain, semua keinginan tercapai, apapun yang
ingin dibeli bisa terbeli. Nabung terus, dari anak SD sampai kuliah, menabung, tidak pernah
istilahnya hutang”, cerita mbah Marsinah dengan sangat semangatnya ketika saya bertanya
tentang bagaimana rasanya hidup di dusun Suak Mansi.
Hal serupa juga diungkapkan oleh informan lain, yaitu mbah Marsinah, bahwa
mengumpulkan uang dari bekerja sebagai penoreh dan petani kelapa sawit di Kalimantan
yang giat dalam bekerja adalah mudah. Namun keadaan dan kenyataan tersebut seimbang
dengan mahalnya harga barang kebutuhan. Daging ayam yang bisa diperoleh dengan harga
dua puluh ribu jika membeli di pasar Meliau, kita harus mengeluarkan dua kali lipat harga
tersebut jika kita membeli daging ayam tersebut dari penjual sayur keliling. Tentunya harga
tersebut sangatlah rasional mengingat uang bahan bakar yang harus dikeluarkan oleh penjual
sayur keliling juga tak sedikit. Mayoritas penjual sayur keliling ini adalah orang asli Jawa.
Pendidikan bagi anak juga merupakan hal yang penting bagi keluarga mbah Marsinah.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan masih tinggi. Pendidikan dirasa penting agar nantinya
anak-anak mereka memperoleh pekerjaan yang layak dan kesuksesan. Mereka berharap agar
anaknya tidak menjadi petani seperti orang tuanya.
“Yang penting ada tahu tempe kerupuk peyek, mbah ndak rewel makannya. Tiap hari noreh,
sawit kan baru-baru ini, sekitar lima belas, sepuluh tahun sawit baru ada, jaman di PTP 81,
Suak Mansi 92. Tabungan noreh karet buat beli kebun sawit. Kita kepengin apa harus nekat,
niat. Sekarang udah tua, tenaga sudah kurang””
“Yang penting ada tahu, tempe, kerupuk, peyek, mbah tidak rewel kalau masalah makan.
Setiap hari noreh, sawit kan baru-baru ini, sekitar lima belas, sepuluh tahun sawit baru ada,
jaman di PTP tahun 1981, kalau di Suak Mansi tahun 1992. Tabungan noreh karet buat beli
sawit. Kita mempunyai keinginan harus nekat. Sekarang sudah tua, tenaga sudah berkurang”,
cerita mbah Marsinah. Pola hidup yang sederhana ala Jawa yang telah dirasakan lebih mbah
Tugiran saat dulu masih melarat, ternyata tidak ditinggalkan dan dilupakan begitu saja
setelah kondisi ekonomi keluarga Mbah Tugiran mulai naik. Etos kerja yang tinggi
![Page 14: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/14.jpg)
ditunjukkan oleh pernyataan mbah Marsinah bahwa mereka setiap hari bekerja, noreh sawit.
Uang hasil noreh ditabung dan kemudian digunakan untuk membeli kebun sawit milik warga
sekitar atau transmigran yang tidak betah hidup di Kalimantan dan memilih menjual kebun
sawitnya untuk kembali ke kampung asal. Beberapa tahun bekerja dengan sangat keras untuk
memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, mbah Tugiran bisa dikategorikan sebagai seorang
perantau yang sukses, karena mbah Tugiran telah memiliki banyak kebun kelapa sawit dan
kebun karet yang luas. Mbah Tugiran menuturkan telah memiliki delapan kapling kebun
sawit yang diperolehnya dari membeli kebun sawit milik orang lain, dan juga dua puluh
hektar kebun karet yang memperkerjakan penduduk asli untuk mengambil getah karetnya.
“Suak mansi banyak orang pendatang daripada penduduke. Orang yang pertama disini
siapa namanya bah, lupa saya bah. Kalau bapak saya tahu, udah empat puluh tahunan di
Kalimantan, sekarang di Meliau, udah ndak pernah kesini, sudah tua. Di Suak Mansi
perantauan semua. Orang trans yang ndak kerasan pada balik, kaplingnya dijual siapa yang
mau beli, pemerintah udah lepas tangan ndak ngurusi lagi, Suak Mansi ndak ada trans, cuma
mbah Muri ja, itu pun pindahan dari trans Sekadau”
“Suak Mansi banyak pendatang daripada penduduk aslinya. Orang yang pertama disini, saya
lupa namanya. Kalau bapak saya tahu soal hal itu, sudah empat puluh tahun di Kalimantan,
sekarang bapak saya di Meliau, sudah tidak pernah kesini, sudah tua. Di Suak Mansi
perantauan semua. Orang trans yang tidak betah, semuanya kembali ke kampung asal,
kapling sawitnya dijual kepada siapa saja yang mau membeli, pemerintah sudah lepas tangan,
tidak mengurusi lagi, Suak Mansi tidak ada orang transmigrasi, cuma mbah Muri saja, itu pun
pindahan dari trans Sekadau”,cerita mbah Marsinah dengan dialek Dayak nya. Pernyataan
mbah Marsinah tersebut bukan berarti bahwa penduduk Jawa adalah kelompok mayoritas di
dusun Suak Mansi. Dari total jumlah penduduk dusun Suak Mansi sebanyak empat ratus
delapan jiwa dengan seratus dua puluh satu kepala keluarga, kurang lebih hanya ada belasan
kepala keluarga asal Jawa. Namun karena terjadi pernikahan antara penduduk asli atau
penduduk Dayak dengan penduduk pendatang atau penduduk Jawa, secara sepintas, orang
Jawa banyak terdapat di dusun Suak Mansi ini.
Sosiolog Louis Wirth (1945) dalam Henslin mendefinisikan kelompok minoritas (minority
group) sebagai orang-orang yang dipilh untuk diperlakukan tidak setara dan yag menganggap
diri mereka sebgai objek diskrimansi kolektif. Di seluruh dunia, kaum minoritas menghadapi
kondisi yang sama : unsur fisik dan budaya mereka dipandang rendah oleh kelompok
![Page 15: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/15.jpg)
dominan, yang memperlakukan merekasecara tidak adil, dan mereka cenderung menikah
dengan anggota kelompok mereka sendiri (Wagley dan Harris 1958). Kondisi tersebut
cenderung menciptakan suatu ikatan identitas bersama di kalangan kamu minoritas (suatu
perasaan “kekitaan”). Dalam banyak kasus mereka pun merasa menjalani takdir yang sama
(Chandra 1993b).
Berdasarkan pandangan penulis, orang Jawa di dusun Suak Mansi secara kuantitas masih
termasuk dalam kategori minoritas. Namun, keminoritasan ini tidak menjadi hal yang
membuat orang Jawa diperlakukan oleh penduduk asli atau etnik Dayak dengan perlakuan
diskrimansi. Orang Jawa atau penduduk pendatang di dusun Suak Mansi membuat mereka
tergolong menjadi kelompok minoritas adalah melalui perpindahan geografis atau merantau
yang mereka lakukan. Pada kenyataanya, penduduk asli dan penduduk pendatang hidup
rukun dan sudah merasa seperti sebuah keluarga besar. Hidup rukun tersebut salah satunya
ditunjukkan ketika salah satu dari warga dusun Suak Mansi, baik itu penduduk asli maupun
penduduk pendatang mengadakan pesta perkawinan. Jika penduduk asli yang mengadakan
pesta perkawinan, maka mereka akan memasak di dua tempat. Satu tempat yaitu di rumah
sendiri untuk memasak makanan yag akan disajikan untuk mereka yang beragama non Islam,
seperti masakan babi dan minuman arak. Satu tempat lagi adalah untuk memasak makanan
yang akan disajikan untuk mereka yang beragama Islam, yang tidak lain adalah penduduk
pendatang asal Jawa. Hal seperti ini menggmbarkan bagaimana tingginya penghargaan akan
perbedaan, dalam hal ini perbedaan keyakinan. Bentuk lain kerukunan masyarakat dusun
Suak Mansi yang bisa dikatakan multikultural adalah adanya representasi dalam sistem
kepemimpinan. Wilayah dusun Suak Mansi yang terbagi ke dalam tiga rukun tentangga, salah
satu ketua rukun tetangga adalah orang Jawa. Kegiatan-kegiatan gotong royong, seperti
memperbaiki jembatan dilakukan bersama-sama tanpa memandang etnik, ras, usia,
penghasilan, pendidikan, status pernikahan, agama, dan politik.
Karet, Sawit, dan Sosial Ekonomi
“Jalan sini masih jalan air, tidak ada jalan darat, pakai sampan kecil. Biasa kami naik mobil
bawa getah, ke Boyan, ke Meliau. Kalau air pasang air surut, yang susah kalau air surut,
kandas airmya, narik kapal sampai berhari-hari, bermalam sampai ke Boyan, biasa ke
Boyan membawa anak buah, dari sini dihanyut ke Melawi, pulangnya membawa belanjaan.
Kalau sekarang sudah nyaman, pakai motor bisa. Kalau dulu, setidaknya harus bermalam
satu malam, naik kapal milik sendiri. Baru ada jalan ketika ada sawit buka sini, tahun 1991,
![Page 16: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/16.jpg)
1992, yang buat dari perusahaan, dia mau masuk perusahaan harus membuat jalan,
membuat jalan pun kena tanah kita, tidak mau ganti rugi, karena yang untung kan kita di
daerah, mereka nyari keuntungan sawitnya. Rugi ya rugi, kalau lima meter panjang sepuluh
meter udah berapa. Sekarang ke Meliau pulang balik pun tidak sampai lima jam, kalau dulu
dua hari pulang balik baru sampai. Ada proyek masuk sini, ada nyamannya, kalau berjalan
sampai kesana udah tidak pakai sampan, kita mau beli mobil pun sudah bisa. Kalau sakitnya
kita kan, tanah kalau nyerahkan tanah tujuh hektar cuma dapat dua hektar, dua hektar kebun
inti, dua hektar untuk orang trans dari Jawa. Jadi orang yang pribumi sini rugi. Tanah udah
kurang masih suruh bayar lagi,mengangsur kreditnya bibit sawit belasan juta. Maka disini
banyak yang ndak mau bayar kredit”
Di atas merupakan cerita yang dilontarkan mbah Tugiran ketika peneliti bertanya bagaimana
kondisi desa sebelum perusahaan swasta asing masuk di dusun Suak Mansi. Perubahan
komoditas perkebunan dari hutan karet menjadi perkebunan kelapa sawit memberikan
dampak positif dan negatif bagi penduduk di dusun Suak Mansi. Dampak positifnya adalah
mulai ada jalur darat yag mempermudah masyarakat dusun Suak Mansi untuk pergi ke
kecamatan. Akses transportasi mengalami perubahan dari jalur air menjadi jalur darat
membuat masyarakat bisa bermobilisasi dengan waktu yang lebih cepat dibanding
sebelumnya saat transportasi yang ada hanyalah transportasi air. Pembangunan jalan darat
yang dilakukan oleh pihak perusahaan swasta asing yang masuk ke dusun Suak Mansi pada
dasarnya mengunutngkan kedua belah pihak. Pihak perusahaan untung karena masyarakat
memberikan semua hasil perkebunan sawitnya kepada perusahaan. Masyarakat untung karena
mereka menjadi mudah dan cepat untuk pergi ke daerah lain. Selain itu, dengan masuknya
perusahaan swasta asing tersebut ke dusun Suak Mansi, perekonomian warga yang semula
hanya memanfaatkan getah karet yang kemudian bertambah dari hasil perkebunana kelapa
sawit, berdasarkan penuturan informan—beberapa penduduk Jawa di dusun Suak Mansi—
menyatakan bahwa perekonomian masyarakat dusun Suak Mansi menjadi lebih baik.
Mengapa demikian? Karena rupiah yang didapatkan warga lebih banayka dibandingkan
sebelumnya ketika penghasilan utama masyarakat dusun Suak Mansi hanya bersumber dari
hasil noreh. Dampak negatifnya adalah masyarakat dirugikan dengan dilakukannya
pembangunan jalan yang memakan tanah masyarakat dusun Suak Mansi tanpa adanya
pemberian kompensasi dari perusahaan akan hal tersebut. Selain itu, masyarakat asli juga
masih harus dibebani untuk menyerahkan tanah mereka seluas tujuh hektar dan membayar
kredit bibit sawit.
![Page 17: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/17.jpg)
“Dulu datang dari Jawa masih kerja berat, karena sawit dulu belum produksi, masih awal
sawit, belum berhasil. Sekali berhasil masih berapa dulu, sekilo masih seratus, dua ratus
rupiah. Tahun 2001 masih paling-paling seratus, dua ratus. Udah buahnya kecil, murah,
kalau sekarang harganya mahal tapi kan sesuai dengan kerjanya. Kerjanya kalau ngegrek,
manen sawit, resiko besar, coba kalau pas ngegrek jatuh kena sawit, mati banyak kejadian,
disini masih ndak ada, yang banyak di PTP”
“Dulu datang dari Jawa kerja berat, karena sawit dulu belum produksi, sawit masih awal,
belum berhasil. Sekali berhasil dulu harganya masih seberapa, satu kilo masih seratus atau
dua ratus rupiah. Tahun 2011 paling-paling masih seratus, dua ratus. Sudah buahnya kecil,
murah, kalau sekarang harganya mahal tapi itu sesuai dengan kerjanya. Kerjanya kalau
ngagrek, memanen sawit, resiko besar, ketika ngagrek, tandan sawit jatuh kena kita, banyak
kejadian yang meninggal, disini (Suak Mansi) masih tidak ada, yang banyak di PTP”, cerita
mbah Tugiran bagaimana hidup sebagai seorang petani kelapa sawit. Meskipun perkebunan
kelapa sawit dan getah karet menghasilkan banyak lembaran rupiah, resiko yang dihadapi
pun juga besar. Membutuhkan keahlian tersendiri untuk ngagrek dan ndodos. Salah sedikit,
tandan buah sawit bisa jatuh mengenai kita, dan nyawa menjadi taruhan. Salah menggunakan
gancu pun juga bisa berbahaya, jika kita tidak tepat meletakkan gancu di tandan sawit yang
akan kita angkat, tandan sawit akan mengenai kaki kita, dan tentunya itu menimbulkan rasa
sakit dan membekaskan luka yang tidak bisa sembuh dalam waktu yang singkat.
“Jadi petani sawit susah, susah karena harga sawit ditentukan perusahaan, manut ja, mau
turun naik, paling tinggi 1700, pas tahun 2010 turun sampai 400, sekarang seribu lebih,
panen terus, begitu ada truk angkut. Kalau hujan kita pun sulit, jalan licin, jadi truk sulit
ngangkut sawit ke pabrik, kalau sudah lama tidak diangkut, sawit busuk”
“Jadi petani sawit susah, susah karena harga sawit ditentukan perusahaan, kita ikut
perusahaan, mau turun atau naik, paling tinggi 1700, tahun 2010 turun samapi empat ratus
rupiah, kalau sekarang harganya seribu lebih, panen kemudian jika sudah ada truk diangkut.
Kalau hujan kita pun sulit, jalan licin, jadi truk sulit mengangkut sawit ke pabrik, kalau sudah
lama tidak diangkut, sawit busuk”, terang pak Sutarmin. Pak Sutarmin adalah pria turunan
Jawa yang lahir di dusun Suak Mansi. Telah menikah dengan mamak Su, anak mbah Tugiran,
dan memiliki tiga anak. Sebagai seorang keturunan darah Jawa, pak Su, panggilan akrab pak
Sutarmin, belum pernah pergi ke Jawa.
![Page 18: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/18.jpg)
Cerita pak Sutarmin tersebut menunjukkan bagaimana kehidupan petani sawit yang tidak
selalu nyaman karena mampu menghasilkan jutaan rupiah tiap bulannya. Perekonomian
perkebunan yang sangat bergantung dengan cuaca menjadi suatu kendala bagi petani kelapa
sawit. Hujan menjadi kendala ketika masa panen sawit tiba. Satu-satunya akses jalan menuju
pabrik adalah jalan tanah yang licin jika hujan turun. Harga sawit pun petani kelapa sawit
tidak memiliki andil untuk ikut serta dalam penentuannya. Petani kelapa sawit hanya tahu
bahwa perusahaan menetapkan harga sekian dan petani harus menerima itu. Harga kelapa
sawit per kilonya sangat mudah turun, bisa turun harganya hingga ratusan rupiah, namun
sangat sulit dan lama sekali harga kelapa sawit naik, naik hanya belasan rupiah bahkan satuan
rupiah.
Simpulan
Orang Jawa dan anak keturunannya di Kalimantan merasakan hidup yang berkecukupan dan
bahagia hidup bersama keluarga luas (extended family) mereka. Kondisi ekonomi keluarga
yang sulit ketika masih berada di Jawa membuat orang Jawa merantau ke Kalimantan. Lebih
memilih merantau daripada transmigrasi karena transmigrasi harus terikat dengan peraturan
institusi terkait. Dalam perkembangannya, orang Jawa yang telah lama hidup di Kalimantan
merasakan perbedaan kondisi ekonomi keluarga. Penghasilan per bulan mereka jauh lebih
banyak dibandingkan dengan bekerja di Jawa. Anggota keluarga yang sebelumnya telah
merantau terlebih dahulu, menjadi jalan atau pintu gerbang bagi orang Jawa untuk ikut pula
mengadu nasib di Kalimantan. Bekerja di hutan dengan noreh getah karet menghasilkan
rupiah yang banyak. Etos kerja yang tinggi dan motivasi pribadi untuk bisa merubah hidup
menjadi mapan ekonomi membuat banyak orang Jawa yang sukses di tanah Dayak. Setelah
kebun karet berubah menjadi hamparan sawit, perekonomian dusun Suak Mansi menjadi
berkembang. Hasil noreh dan panen kelapa sawit dirasakan oleh orang Jawa sangat
meningkatkan pendapatan dan dapat digunakan untuk saving. Namun, hal berbeda dirasakan
oleh penduduk asli atau orang Dayak karena mereka harus menyerahkan tujuh hektar tanah
adat mereka kepada perusahaan untuk bisa memiliki dua hektar kebun sawit. Masih pula
dibebankan kredit bibit sawit. Kehidupan bersama etnik yang berbeda tidak begitu menjadi
permasalahan bagi orang Jawa di dusun Suak Mansi. Orang Jawa di dusun Suak Mansi
mendapatkan penerimaan dan respon yang baik dari penduduk asli atau orang Dayak. Dua
etnik yaitu etnik Dayak dan etnik Jawa hidup rukun dan saling menghargai di dusun Suak
Mansi, desa Melawi Makmur, kecamatan Meliau, kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan
Barat.
![Page 19: Orang dayak dan peranakannya di tanah dayak, siti chusniyah, unnes](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022073101/559898f01a28ab534b8b4820/html5/thumbnails/19.jpg)
Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. 2012. Analisis Gender and Transformasi Sosial.Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
Ferrante, Joan. 2011. Seeing Sociology : An Introduction. Northern Kentucky University.
Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi: Edisi 6. Penerjemah :
Kamanto Sunarto. Erlangga: Jakarta.