opll 2
DESCRIPTION
OPLL 2TRANSCRIPT
Laporan Kasus
Osiifcation of Posterior Longitudinal Ligament
VC3-VC6
Oleh:
Mutiara Sundasari
1420221122
Pembimbing:
Dr. Lukman Ma’ruf Sp. BS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH
RSPAD GATOT SOEBROTO
PERIODE 10 AGUSTUS – 17 OKTOBER 2015
1
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL VETERAN JAKARTA
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT
SUBROTO
2015
KEPANITERAAN KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “Veteran” JAKARTA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:
Nama : Mutiara Sundasari Tanda Tangan
Nim : 1420221122 ....................................
Dr. Pembimbing : dr. Lukman Ma’Ruf, Sp. BS
...................................
2
KATA PENGANTAR
Dalam kesempatan kali ini puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT atas rahmat, nikmat, karunia dan hidayah-Nya, dan tidak lupa sholawat serta
salam yang senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya
serta para sahabatnya, laporan kasus yang berjudul “Osifikasi Ligamen
Longitudinal Posterior VC3-VC6” dapat diselesaikan.
Penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada dr.
Lukman Ma’ruf Sp.BS selaku pembimbing yang dengan penuh dedikasi, kesabaran
dan keikhlasan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing penulis
sehingga hambatan dalam penulisan laporan kasus ini dapat teratasi.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada pasien dan
keluarga atas partisipasi dan kerjasamanya yang memperbolehkan pelaporan kasus
ini berlangsung dengan baik dan lancar. Atas hal tersebut penulis ucapkan
terimakasih.
Penulis menyadari bahwa tulisan dalam laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan
pada laporan kasus. Penulis juga mengharapkan kritik serta saran yang membangun
dari semua pihak agar menjadi lebih baik. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
kedokteran dikemudian hari.
Jakarta, Agustus 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................. 5
A. Identitias Pasien ..................................................................................... 5
B. Status Pasien .......................................................................................... 6
C. Prognosis .............................................................................................. 17
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 20
A. Anatomi dan Fisiologi ................................................................................ 20
1. Collumna Vertebralis ..................................................................... 20
2. Medula Spinalis..............................................................................24
B. Osification Posterior Longitudinal Ligament ............................................ 25
BAB IV ANALISA KASUS.................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 38
4
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Gangguan ini terjadi karena proses penulangan pada ligamentum posterior
khususnya pada are servikal tengah penderitanya kebanyakan berusia diatas 40
tahun. Gangguan ini paling banyak ditemukan pada pria Asia dan pada orang tua.
Insidensi dari OPLL (Osification Posterior Longitudinal Ligament) sendiri sebesar
2,4% di populasi Asia dan sebsar 0,16% di populasi non-Asia. Penyakit ini sendiri
dapat berhubungan dengan penyakit musculoskeletal lainnya seperti diffuse
idiophatic skeletal hyperostosis, ankylosing spondylitis, dan spondiloartropati
lainnya.
Beberapa literatur di Jepang yang secara ekstensif mempelajari penyakit ini,
menyebutkan secara umum prevalensi OPLL sebanyak 1,9% sampai dengan 4,3%.
Pernah dianggap sebagai kasus yang langka pada orang keturunan Asia. Saat ini
pada masyarakat oriental tua, gejala sakit leher dengan kelemahan dan parastesia di
kaki serta kuadriparesis adalah gejala umum dari penyakit ini, namun lebih banyak
lagi yang tidak menunjukan berbagai gejala apapun. Faktor genetik dan lingkungan
ikut terlibat sebagai penyebab OPLL, tetapi sampai saat ini belum diketahui pasti
apakah penyebab dari OPLL itu sendiri.
Berdasarkan foto lateral cervical, OPLL diklasifikasikan kedalam OPLL
segmental, continuous, mixed dan tipe lainnya. Berdasarkan penelitian oleh
Tsuyama, sebanyak 39% dari seluruh penderita OPLL mengalami segmental
OPLL, sebanyak 27% mengalami continuous OPLL, sebanyak 29% mengalami
mixed OPLL dan sebanyak 7,5% mengalami OPLL dengan tipe lainya. Seringkali
OPLL ini tidak terdiagnosis karena bersifat asimtomatik. Dimana hanya dapat
didiagnosis dengan CT (Commputerized Tomography) – Scan.
5
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. RH
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Agama : Kristen
Alamat : Jl. Angkasa Dalam II No.43
RM : 450xxx
II. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Dilakukan secara auto anamnesis pada hari 19 Agustus 2015, pukul 06.10 WIB.
a. Keluhan Utama:
Terasa kencang dan kaku tungkai serta lengan yang semakin parah semenjak
2 bulan lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien mengeluhkan kedua tungkainya terasa kencang dan kaku yang
dirasakanya semenjak 4 tahun lalu dan memiliki riwayat HNP. Keluhan tidak
berkurang dan muncul secara terus menerus-nerus. Semenjak 2 bulan lalu keluhan
semakin parah disertai dengan terasa kencang pada lengan. Tidak terdapat riwayat
trauma atau jatuh sebelumnya. Tidak ada keluhan sering mengompol. Tidak ada
keluhan sulit menelan. Tidak ada keluhan terasa kebas. Pasien mampu berjalan
dengan normal.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat trauma sebelumnya disangkal
6
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat penyakit yang sama disangkal
e. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu.
III. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
a. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36,2 oC
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 24x/menit
Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata
Wajah : Simetris
Leher : Tidak ada perbesaran KGB dan tiroid
Jantung : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru : Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : Datar, supel, bising usus (+), nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Edema (-), akral hangat (+/+)
b. Status gizi
Tinggi Badan : 168 cm
Berat Badan : 60 kg
BMI : 21,26
c. Status Psikikus
Cara berpikir : Realistik
7
Perasaan hati : Eutmik
Tingkah laku : Baik
Ingatan : Baik
Kecerdasan : Cukup
d. Status Neurologikus
1. Kepala
Bentuk : Normocephal
Nyeri tekan : Tidak ada
Simetris : Simetris
Pulsasi : (+)
2. Leher
Sikap : tidak dapat dinilai
Pergerakan : tidak dapat dinilai
e. Pemeriksaan Nervus Cranialis
N. I Kanan Kiri
Subjektif tidak mengalami gangguan penciuman
Dengan bahan tidak dilakukan tidak dilakukan
N. II Kanan Kiri
Tajam penglihatan visus 6/6 visus 6/6
Lapangan penglihatan normal normal
Melihat warna normal normal
Fundus okuli tidak dilakukan tidak dilakukan
N. III Kanan Kiri
Kelopak mata terbuka terbuka
Pergerakan mata
Superior normal normal
Inferior normal normal
Medial normal normal
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
8
Exophtalmus (-) (-)
Endoftalmus (-) (-)
Diameter Pupil 3 mm 3 mm
Posisi pupil tengah tengah
Bentuk bulat bulat
Refleks cahaya langsung (+) (+)
Refleks cahaya tidak langsung (+) (+)
Reflex konvrgensi (+) (+)
N.IV Kanan Kiri
Gerak mata ke lateral bawah normal normal
Penglihatan ganda/ diplopia (-) (-)
N.V Kanan Kiri
Membuka mulut normal normal
Mengunyah normal normal
Mengigit normal normal
Refleks kornea tidak dilakukan tidak dilakukan
Sensibilitas wajah baik baik
N.VI Kanan Kiri
Pergerakan mata ke lateral normal normal
Melihat kembar (-) (-)
N.VII Kanan Kiri
Mengerutkan dahi (+)simetris (+)simetris
Menutup mata baik baik
Memperlihatkan gigi normal simetris
Menggembungkan pipi baik baik
Pengecapan 2/3 anterior tidak dilakukan tidak dilakukan
N.VIII Kanan Kiri
Suara berbisik normal normal
Sikap badan/berdiri tidak dilakukan tidak dilakukan
Tes schwabach tidak dilakukan tidak dilakukan
Tes rinne tidak dilakukan tidak dilakukan
Tes weber tidak dilakukan tidak dilakukan
9
N.IX Kanan Kiri
Pengecapan 1/3 posterior tidak dilakukan tidak dilakukan
Refleks muntah tidak dilakukan tidak dilakukan
N.X Kanan Kiri
Arcus faring normal normal
Uvula ditengah ditengah
Berbicara normal normal
Menelan normal normal
Disfagia (-) (-)
N.XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu tidak dapat dinilai
Memalingkan kepala tidak dapat dinilai
N.XII Kanan Kiri
Pergerakan lidah normal normal
Papil atrofi (-) (-)
Tremor lidah (-) (-)
Julur lidah normal normal
Artikulasi normal normal
f. Pemeriksaan Badan dan Anggota Gerak
1. Badan
a. Motorik
Columna Vertebralis
Bentuk : Hipolordotik
Pergerakan : tidak dapat dinilai
b. Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil : (+) (+)
Nyeri : (+) (+)
Suhu : Tidak dilakukan tidak dilakukan
Diskriminasi 2 titik : normal normal
10
2. Anggota Gerak Atas
a. Motorik Kanan Kiri
Pergerakan : (+) (+)
Kekuatan : 5 5
Tonus : (+) (+)
Atrofi : (-) (-)
b. Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil : (+) (+)
Nyeri : (+) (+)
Suhu : tidak dilakukan tidak dilakukan
c. Refleks Kanan Kiri
Biceps : (+) (+)
Triceps : (+) (+)
Tromner : (-) (-)
Hoffman : (-) (-)
3. Anggota Gerak Bawah
a. Motorik Kanan Kiri
Pergerakan : (+) (+)
Kekuatan : 5 5
Tonus : (+) (+)
Atrofi : (-) (-)
b. Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil : (+) (+)
Nyeri : (+) (+)
Suhu : Tidak dilakukan tidak dilakukan
c. Refleks Kanan Kiri
Patella : (+) (+)
Achilles : (+) (+)
Gonda : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
11
Oppenheim : (-) (-)
Babinski : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Rosolimo : (-) (-)
4. Tes fungsi koordinasi
Tes Romberg : tidak dapat dinilai
Tes Hell-to-toe walking : tidak dapat dinilai
Disdiadokokinesia : normal
Dismetria : normal
Rebound phenomenon : normal
Arm bounce : normal
5. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor : (-)
Khorea : (-)
Mioklonik : (-)
C. Resume
1. Pemeriksaan Subjektif
Pasien mengeluhkan kedua tungkainya terasa kencang dan kaku yang
dirasakanya semenjak 4 tahun lalu dan memiliki riwayat HNP. Keluhan tidak
berkurang dan muncul secara terus menerus-nerus. Semenjak 2 bulan lalu keluhan
semakin parah disertai dengan terasa kencang pada lengan. Tidak terdapat riwayat
trauma atau jatuh sebelumnya. Tidak ada keluhan sering mengompol. Tidak ada
keluhan sulit menelan. Tidak ada keluhan terasa kebas. Pasien mampu berjalan
dengan normal.
2. Pemeriksaan Objektif
Status lokalis
Kesadaran : compos mentis, GCS E4M6V5
Tekanan darah : 120/80 mmHg
12
Suhu : 36,2 oC
Nadi : 80x/menit
Pernapasan : 24x/menit
Pemeriksaan saraf kranial : dalam batas normal
Pemeriksaan anggota gerak
Motorik
5 5
5 5
Refleks fisiologis
Kanan kiri
Biseps + +
Triceps + +
Patella + +
Achilles + +
D. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah, 13 Agustus 2015
Darah rutin Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
13,00
41
5,6
7270
235000
73
23
32
g/dL
%
juta
ribu
ribu
fl
pg
g/dL
14-18
42-52%
4,3-6,0
4800-10800
150000-400000
80-96
27-32
32-36
Koagulasi Hasil Satuan Nilai Normal
Bleeding time
Cloting time
2’00”
4’00”
Menit
menit
1-3 menit
1-6 menit
Kimia Klinik Hasil Satuan Nilai Normal
13
Albumin
Ureum
Kreatinin
SGOT
SGPT
4,8\5
35
0,9
13
22
g/dL
mg/dL
mg/dL
U/I
U/I
3,5-5,0
20-50
0,5-1,5
<35
<40
2. Pemeriksaan radiologi
a. Foto Cervikal
14
b. MRI
15
Hasil:
Lordosis kurvatura vertebra cervical berkurang. Tidak tampak listhesis.
Kolaps korpus C5 dan C6
Spur di antero-posterior korpus C2-C7, vertebare endpate reguler
Intenstitas signal bone marrow korpus vertebare cervical normal, homogen.
Intensitas signal diskus normal. Penipisan diskus C5-6 dan C6-7.
Penonjolan diskus C4-5 sampai C6-7.
Bulging diskus C4-5 sampai C6-7, menekan thecal sac dan foramen neural
bilateral.
Osifikasi ligamentum longitudinale posterior setinggi C2-3 sampai C6-7.
Intensitas signal medula spinalis sepanjang segmen cervical normal.
Tidak tampak lesi patologis intrameduler.
MR myelogram : Parsial stenosis canal spinal setinggi C4-5 sampai C6-7.
16
Kesan:
- Straight cervicalis
- Kolaps corpus C5 dan C6
- Spondyloarthorosis cervicalis
- Bulging diskus intervertebralis C4-5 sampau C6-7, menekan thecal sac dan
foramen neural bilateral
- OPLL setinggi C2-3 sampai C6-7
- Parsial stenosis canal spinal setinggi C4-5 sampai C6-7
E. Diagnosis
Osifikasi Ligamen Longitudinal Posterior V. C4-6
F. Penatalaksanaan
- Persiapan operasi
Dilakukan operasi pada hari Rabu tanggal 19 Agustus 2015
17
G. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia
IV. FOLLOW UP
Rabu, 19 Agustus 2015 pukul 15.30 WIB
S: nyeri post operasi (+), tangan dan kaki dapat digerakkan
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4M6V5
TD : 120/70
RR : 27x/menit
Nadi : 60x/menit
Suhu : 36,5oC
Ekstremitas : akral hangat, edem (-/-)
Motorik: 5 5 Sensorik: + +
5 5 + +
A: Post Laminoplasty V.C4-VC6
Kamis, 20 Agustus 2015 pukul 15.15 WIB
S: nyeri post operasi (+), tangan dan kaki dapat digerakkan
O: Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4M6V5
TD : 110/70
RR : 18x/menit
Nadi : 72x/menit
Suhu : 36,5oC
18
Ekstremitas : akral hangat, edem (-/-)
Motorik: 5 5 Sensorik: + +
5 5 + +
A: Post Laminoplasty V.C4-VC6, D +1
P:
- Ceftriaxone inj 2x2 gr, IV
- Metilprednisolon inj 3x125 mg, IV
- Ketorolac inj 3x 30 mg, IV
- Ranitidin 2x50 mg, IV
Jumat, 21 Agustus 2015 pukul 11.30 WIB
S: nyeri post operasi (+), tangan dan kaki dapat digerakkan
O: keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4M6V5
TD : 110/80
RR : 20x/menit
Nadi : 80x/menit
Suhu : 36,3oC
Motorik: 5 5 Sensorik: + +
5 5 + +
A: Post Laminoplasty V.C4-VC6, D +2
P:
- Ceftriaxone inj 2x2 gr, IV
- Metilprednisolon inj 3x125 mg, IV
- Ketorolac inj 3x 30 mg, IV
- Ranitidin 2x50 mg, IV
19
Senin, 24 Agustus 2015 pukul 06.10 WIB
S: Pasien tidak ada keluhan
O: keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4M6V5
TD : 125/75
RR : 20x/menit
Nadi : 78x/menit
Suhu : 36,5oC
Motorik: 5 5 Sensorik: + +
5 5 + +
A: Post Laminoplasty V.C4-VC6, D +5
P:
- Ceftriaxone inj 2x2 gr, IV
- Metilprednisolon inj 3x125 mg, IV
- Ketorolac inj 3x 30 mg, IV
- Ranitidin 2x50 mg, IV
20
BAB III
TINJAUAN PUSAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Vertebra
1. Kolumna Vertebralis
Kolumna Vertebralis terbentang dari cranium sampai ujung os coccygis dan
merupakn unsur utama kerangka aksial (ossa cranii, columna vertebralis, costae dan
sternum). Kolumna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang
memungkinkan untuk bergerak. Kolumna vertebralis melindungi medula spinalis,
menyangga berat badan tubuh dan merupakan sumbu bagi tubuh yang untuk
sebagian kaku dan sebagian lentur, serta berfungsi sebagai poros untuk kepala
berputar.
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 tulang vertebra yang teratur dalam 5
daerah, tetapi hanya 24 dari jumlah tersebut (7 vertebra cervicalis, 12 vertebra
thorakalis, dan 5 vertebra lumbalis) yang dapat digerakkan pada orang dewasa.
Sedangkan ke lima vertebra sakralis melebur untuk membentuk os sacrumdan
keempat vertebra coccygea melebur membentuk os coccygis. Korpus vertebra
21
berangsur menjadi lebih besar ke ujung kaudal kolumna vertebralis, dan kemudian
berturut-turut menjadi semakin kecil ke ujung os coccygis. Perbedaan struktural ini
berhubungan dengan keadaan bahwa daerah lumbal dan sakral menanggung beban
yang lebih besar daripada servikal dan torakal. Lengkung torakal dan
sakrokoksigeal mencekung ke arah ventral, sedangkan servikal dan lumbal
mencekung ke arah dorsal.
Vertebra dari berbagai daerah berbeda dalam ukuran dan sifat khas lainnya,
dan vertebra dalam satu daerah pun satu dengan yang lain memperlihatkan
perbedaan yang lebih kecil. Vertebra yang khas terdiri dari corpus vertebra dan
arcus vertebra berikut ini :
1. Corpus vertebrae adalah bagian ventral yang memberi kekuatan
kolumna vertebra dan menanggung berat tubuh. Korpus vertebra
terutama dari vertebra thorlakal IV ke kaudal berangsur bertambah
membesar agar dapat memikul beban yang semakin berat.
2. Arcus vertebra adalah bagian dorsal dari vertebra yang terdiri dari
peduculus dan lamina arcus vertebra.
3. Pediculus arcus vertebrae merupakan taju pendek yang kokoh dan
menghubungkan lengkung pada corpus vertebra.
4. Incisura verterbralis merupakan torehan pada pediculus arcus
vertebrae. Incisura vertebralis superior dan inferior pada vertebra yang
bertetangga membentuk sebuah foramen intervertebralis.
5. Lamina arcus vertebra adalah pediculus yang menjorok ke arah dorsal
untuk bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar dan gepeng.
6. Foramen vertebrale berurutan pada kolumna vertebralis yang utuh
membentuk canalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meningens,
jaringa lemak, akar saraf, dan pembuluh darah.
22
Terdapat penonjolan prossesus dari arcus vertebra, yaitu;
Prosesus spinosus menonjol dari tempat persatuan kedua lamina dan
bertumpang di sebelah dorsal pada prosseus spinosus vertebra dibawahnya.
Dia prossesus transversus menonjol ke arah dorsolateral dari tempat
persatuan pediculus dan lamina vertebra.
Prossesus articularis superior dan inferior, masing-masing terdapat di kanan
dan kiri juga berpangkal pada tempat persatuan pediculus dan lamina.
Sendi-sendi kolumna vertebralis terdiri dari sendi-sendi corpus vertebrae,
sendi-sendi arcus vertebare, articulationes craniovertebralis, articulatio
costovertebrales dan articulatio sacro-iliacae. Permukaan vertebrae-vertebrae
berdekatan dan melalui sebuah discus dan ligamentum. Berikut merupakan
uraianya :
1. Diskus vertebralis
Terdiri dari sebuah anulus fibrosus yangberinsersi pada tepi fascies
yang licin dan membulat. . Antara vertebra cervicalis I dan II tidak
terdapat discus intervertebralis. Ketebalan discus intervertebralis di
berbagai daerah berbeda-beda.
2. Ligamentum lognitudinal anterius
Adalah sebuah pita jaringan ikat yangkuat dan menutupi serta
menghubungkan bagian ventral corpus vertebrae dan discus
intervertebralis. Ligamen ini terbentang dari facies pelvia ossis sacralis
ke tuberculum anterius atlas dan os occipitale ventral terhadap foramen
magnum. Membantu mencegah hiperekstensi.
3. Ligamentum longitudinale posterius
Adalah seutas pit yang agak lebih lemah,terbentang di dalam canalis
vertebralis, dan melekat pada diskus intervertebralis dan tepi dorsal
corpus vertebrae dan vertebrae cervicalis II (axis) sampai os sacrum
4. Facet join
Adalah persendian kecil yang menghubungkan tulang vertebra dengan
yang lainnya. Sendi facet merupakan sendi diartrosis yang
23
membolehkan tulang belakang bergerak. Oleh karena kelenturan kapsul
sendi, tulang belakang mampu bergerak dalam batas wajar dengan arah
yang berbeda-beda.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:
Vertebra cervicalis (atlas)
Vertebra cervicalis memiliki ciri aitu tidak memiliki corpus tetapi hanya
berupa cincin tulang. Vertebra cervicalis kedua (axis) ini memiliki dens,
yang mirip dengan pasak. Vertebra cervicalis ketujuh disebut dominan
karena memiliki prossesus spinosus paling panjang.
Vertebra thorakalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berjumlah 12
buah yang membentuk bagian belakang thoraks.
Vertebra lumbal
Corpus pada vertebra lumbalis berjumlah 5 buah dan mebentuk daerah
pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurannya sehingga
pergerakkannya lebih ke arah fleksi.
Os sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sacrum, dimana ke 5 tulang ini
rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
Os coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang disebut tulang ekor, dan mengalami rudimenter.
24
Vaskularisasi columna vertebralis adalah arteri spinalis yang mengantar
darah kepada vertebrae yang merupakan cabang dari arteria vertebralis dan arteria
cervicalis ascendens di leher serta arteri intercostalis posterior di daerah torakal,
arteria subcostalis dan arteria lumbalis di abdomen, arteri iliolumbalis dan arteri
sacralis lateralis. Arteri spinalis memasuki formaen intervertebrale dan bercabang.
Vena spinalis membentuk pleksus vena yang meluas sepanjang columna
vertebralis, di dalam (pleksus venosis vertebrales profundi) dan luar (pleksus
venosis vertebrales superficiales). Vena basivertebralis terletak dalam corpus
vertebrae.
3. Medula Spinalis
Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris
memanjang dan menempati 2/3 atas canalis vertebra yaitu dari atas atas superior
(C1) samapai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2). Fungsi sumsum tulang
belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh
bergerak refleks.
25
Medulla spinalis terbagi ke dalam beberapa segmen, yaitu cervical (C1-C8),
segmen torakal (T1-T12), segmen lumbal (L1-L5), segmen sakral (S1-S5) dan 1
segmen coccygeal. Pada penampang transversal medula spinalis, dapat dijumpai
bagian sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan gray
matter. Gray matter mengandung badan sel neuruon beserta percabangan
dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung
myelin serta banyak emngandung kapiler-kapiler darah. sedangkan pada bagian
perifer tampak lebih cerah dan dikenal dengan white matter, yang terdiri atas serat-
serat saraf yang berselubung myelin dan berjalan dengan arah longitudinal.
B. Osification of Posterior Longitudinal Ligament ( OPLL )
1. Definisi
Adalah suatu kondisi dimana terdapat gangguan proses penulangan di ligamen
longitudinal posterior. Lokasi yang paling sering terkena adalah tulang servikal.
Dengan adanya kompresi pada medula spinalis yang disebabkan oleh OPLL akan
muncul suatu gejala defisit neurologis dimana terapi operatif sangat dibutuhkan.
Bagaimanapun patogenesis OPLL ini belum ditemukan secara pasti, tidak
terdaoat suatu standar khusus penanganan pada OPLL yang asimptomatik.
26
2. Epidemiologi
Prevalensi keseluruhan OLLP masih rendah, dewasa ini, namun telah
diperkirakan bahwa angkanya mencapai 25% dari populasi Amerika Utara dan
Jepang dengan karakteristik myelopathy servikal dari OLLP. Hal ini terutama
ditemukan pada daerah leher servikal tinggi (C2-4) dan terjadi hampir dua kali
lebih sering pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Beberapa literatur di
Jepang, dimana penyakit ini telah dipelajari secara ekstensif, secara umum
prevalensi OLLP telah didokumentasikan sebanyak antara 1,9% sampai 4,3%.
Pada populasi kawasan Amerika Utara, prevalensi penyakit ini jauh
lebih rendah. Resnick dkk. menghitung bahwa rasio menderita penyakit klasik
pada orang Kaukasia dari Amerika Utara adalah sekitar 0,12%. Angka ini
menunjukkan bahwa presentasi utama dari penyakit ini memiliki angka yang
cukup sporadis. Bagaimanapun telah ditemukan kasus OLLP familial pada
populasi Kaukasia dan Eropa. Sama halnya dengan lokus genetik yang terkait
dengan kasus OLLP pada populasi Asia juga dikaitkan dengan populasi non
Asia familial Mediterania.
OPLL sering dikaitkan dengan penyakit muskuloskeletal lain diffuse
idiopathic skeletal hyperostosis (DISH), ankylosing spondylitis, dan
spondyloarthropathy lainnya. Menurut penelitian para ahli, beberapa pasien
non Asia dengan OLLP diketahui berasal dari keluarga di atau dekat dengan
garis keturunan Mediterania. Selain itu disebutkan fakta yang cukup penting,
bahwa persentase berbagai pasien dengan DISH, penyakit yang sangat lazim
dalam populasi Kaukasia, memiliki kecenderungan untuk menderita OPLL.
3. Pathogenesis
Patogenesis dari OPLL masih belum diketahui secara pasti. Beberapa
ditemukan bahwa pada ligamen terdapat suatu sel yang meiliki karateristik
mirip osteoblast. Suatu proses degenerasi atau herniasi nukleus pulposus telah
dilaporkan sebagai salah satu faktor yang memulai pembentukan OPLL.
Beberapa studi juga mengatakan ada berbagai faktor termasuk genetik,
hormonal, lingkungan, dan gaya hidup telah dilaporkan sebagai penyebab
27
patologi dan perkembangan OPLL. Berikut merupakan beberapafaktor yang
diduga mempengaruhi terjadinya OPLL :
a. Faktor Genetik
Penderita OPLL paling sering ditemukan pada populasi Asia,
sehingga faktor genetik dianggap menjadi faktor penting dalam
perkembangan OLLP. Faktor genetik diyakini memberikan kontribusi
terhadap perkembangan OLLP. Telah banyak gen kolagen dipelajari,
termasuk gen kolagen manusia α2 gene (COL11A2), ditemukan bahwa
pada gen ini, gen terletak di kromosom 6p dekat dengan wilayah antigen
leukosit manusia, sangat terkait dengan OLLP yang dapat memainkan
peran protektif dalam proses osifikasi tulang ektopik. Para ahli melaporkan
hubungan jenis kelamin tertentu dari haplotype COL11A2 dengan OLLP
pada pasien laki-laki. Namun, penelitian terbaru oleh Horikoshi dkk. tidak
dapat mereproduksi hubungan antara gen ini dan OPLL.
Nucleotide pyrophosphatase adalah glikoprotein membran terikat
yang diyakini menghasilkan pirofosfat anorganik, sebagai inhibitor utama
dari kalsifikasi dan mineralisasi. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
mutasi gen NPPS ini terkait dengan pengembangan OLLP. Dalam sebuah
penelitian yang kemukakan oleh Tahara dkk. disebutkan bahwa NPPS dan
gen reseptor leptin tidak mempromosikan peningkatan kerentanan
terhadap terjadinya OLLP, tetapi berhubungan dengan tingkat osifikasi
heterotopik. Tidak bisa ditunjukkan hubungan antara gen NPPS dan
OPLL.
b. Faktor Hormonal
Protein morfogenetik tulang merangsang diferensiasi sel ligamen
pada pasien dengan OLLP dan menginduksi osifikasi dengan
meningkatkan aktivitas alkalin fosfatase dan merangsang DNA dan
sintesis jenis prokolagen karboksil terminal peptide.
Transforming growth factor-β telah dipelajari dalam literatur,
dimana Polimorfisme T869 C dari gen TGF β1 merupakan penentu genetik
kecenderungan untuk OLLP. Dalam studi berikutnya ditunjukkan bahwa
polimorfisme β1 TGF tidak terkait dengan pengembangan OLLP,
28
melainkan faktor yang berhubungan dengan tingkat osifikasi. Pasien
dengan alel C sering memiliki kecenderungan OLLP di tulang belakang
dan servikal.
Selain itu bagi penderita diabetes melitus yang non-insulin-
dependent merupakan faktor resiko untuk OPLL. Li et al, mengatakan
bahwa ekspresi dari reseptor insulin pada pasien OPLL menginduksi suatu
diferensiasi yang bersifat osteogenic pada percobaan ligament tulang
belakang tikus.
c. Faktor Lingkungan
Stres mekanik pada ligamen tulang belakang telah diteliti sebagai
penyebab perkembangan dan progresi OLLP. Tingkat sintase prostasiklin
pada sel ligamen dari pasien OLLP telah terbukti meningkat setelah
mengalami stres mekanik dan diinduksi diferensiasi osteogenik melalui
jalur monofosfat. Stres mekanik juga menginduksi ekspresi mRNA,
alkalin fosfatase dan osteopontin. Subtipe purinoceptor P2Y1, intensif
terlihat dalam sel OLLP, merespon stres mekanik disebabkan adenosin
trifosfat ekstraseluler, yang merangsang perkembangan OPLL.
Konsumsi sehari-hari non beras, keluarga riwayat infark miokard,
indeks massa tubuh tinggi pada usia 40, jam kerja yang panjang, dan
bekerja shift malam dikaitkan dengan peningkatan risiko OPLL. Di sisi
lain, seringnya mengonsumsi ayam dan produk kedelai dan kebiasaan tidur
yang baik (6-8 jam/malam) dapat menurunkan risiko.
4. Patologi
OPLL terbentuk terutama melalui osifikasi enchondral dan selanjutnya
berkembang melalui osifikasi membran. Osifikasi dimulai dari daerah
sambungan limbus lateralis corpus vertebral dan posterior ligamen
longitudinal, dan mulai berkembang atas dan ke bawah. Patogenesis
berlangsung secara lambat. Menunjukkan berbagai degenerasi neuronal
dengan mmenekan medula spinalis dan nerve root. Namun dalam beberapa
kasus, fungsi sumsum tulang belakang yang baik dapat dipertahankan tanpa
defisit neurologis.
29
Pada kondisi ini dapat terjadi hal-hal sebagai berikut yaitu compresi medula
spinalis, nekrosis gray matter, penurunan sel tanduk anterior, dan demielinisasi
dari white matter.
5. Manifestasi Klinis
- Tergantung pada ukuran diameter kanalis spinalis yang terkompresi dan
berbagai gerakan tulang belakang.
- Banyak pasien tidak menunjukan gejala.
- Beberapa pasien menunjukan gejala defisit neurologis yang ringan, rasa
nyeri dan kaku yang ringan.
- Pada kasusu berat mengalami gejala gangguan gastrointestinal dan kandung
kemih berupa inkontinensia.
- Timbul gejala bersifat bertahap lambat.
6. Klasifikasi
Terdapat 4 tiper OPLL, sebgaai berikut :
1. Segmental, diklasifikasikan sebagai satu atau beberpaa lesi yang
terpisah di belakang badan vertebralis.
2. Continuous, diklasifikasikan sebgai lesi yang panjang pada lebih dari
beberapa badan vertebrae.
3. Campuran, diklasifikasikan sebagai kombinasi dari tipe kontinyu dan
segmental.
4. Dan lainnya.
30
Sedangkan pada klasifikasi Ranawat dibagi dalam beberapa kelas, yaitu :
1. Kelas I : tidak terdapat defisit neurologis dan hanya terlihat pasca
operasi
2. Kleas II : radiculophaty atau myelophaty ringan
3. Kleas IIIA : myelophaty sedang sampai parah
4. Kelas IIIB : myelophaty parah atau tetraplegi
7. Diagnosis
Foto polos adalah metode paling sederhana untuk mendeteksi OLLP
tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Para ahli melaporkan keandalan
radiografi lateral sebagai alat untuk klasifikasi OLLP, terutama untuk jenis
OLLP tipe kontinyu. Computed tomography (CT) dan/atau myelography
adalah alat berguna untuk mendeteksi dan secara akurat menemukan OLLP.
Dimensi yang tepat dan tingkat stenosis kanalis servikalis yang tepat
digambarkan pada CT.
Foto lateral cervical yang menunjukan OPLL dari VC3-VC6.
MRI tidak cukup kuat untuk mendiagnosis lesi osifikasi kecil di
kanalis spinalis, tetapi cukup sensitif untuk mendeteksi kelainan jaringan
lunak. Dalam sebuah studi dinyatakan terkait adanya tonjolan diskus
intervertebrae ditemukan pada tingkat kompresi maksimum pada 60% pasien
dengan OLLP servikal. Angka kejadian lebih sering terjadi pada OLLP
segmental, dengan kejadian 81%. Para peneliti menyimpulkan bahwa MRI
31
sangatlah membantu untuk menentukan tingkat sebenarnya dari kompresi saraf
tulang belakang dan atas saran metode yang optimal pengobatan adalah juga
merupakan fitur yang khas.
A). Preoperatif CT-Scan dan MRI, B). Follow up MRI setelah posterior laminektomi C3-C4, dan
C). Preoperative MRI dan postoperatif pasien open door laminoplasty.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan utama untuk penyakit OLLP adalah dengan
dekompresi bedah. Meskipun telah ada banyak penelitian tentang
pembentukan OLLP dan perkembangannya, seperti studi genetik, faktor
pertumbuhan, sitokin dan faktor lingkungan, pengobatan efektif untuk OLLP
masih belum menunujukkan hasil optimal. Kebanyakan pengobatannya
hanya berupa pengobatan simptomatik seperti obat nyeri, agen topikal, obat
antiinflamasi, antidepresan, antikonvulsan, obat intiinflamasi nonsteroid, dan
opioid.
32
Indikasi pembedahan :
- Bagi pasien dengan OPLL servikal yang tidak berespon terhadap terapi
konservatif.
- Pada OPLL setempat, merupakan indikasi untuk dilakukan two-level
corpectomy dan fusi anterior.
- Pada OPLL yang ekstensif dan adanya penyempitan kanal spinalis
membutuhkan tindakan laminoplasty.
Berikut merupakan tehnik-tehnik pembedahan yang dapat dilakukan :
1. Anterior Corpectomy
Pertimbangan pendekatan anterior dilakukan apabila:
- Terdapat OPLL lokal membutuhkan corpectomy melibatkan dua level
vertebrae.
- Batas atas dari OPLL adalah di ujung bawah C2 dan batas bawah adalah
bagian atas dari vertebra T1.
Prosedur :
Sebuah sayatan melintang pada kulit dilakukan untuk corpectomy
tunggal. Sayatan miring mungkin lebih aman ketika dua atau lebih
corpectomy diperlukan. Diseksi jaringan lunak dilakukan antara omohyoid
dan otot sternocleidal dan kemudian antara trakea dan sebelah medial ke
tulang belakang leher ventral. Musculus longus colli di diseksi secara
bilateral dan menempatkan self-retaining retractor. Setelah menumukan
level target, dilakukan disektomi lengkap di tingkat atas dan bawah dari
corpectomy.
Corpectomy yang dilakukan haruslah cukup lebar, berdasarkan
rekomendasi lebar sayatan sebesar 18 – 20 mm selanjutnya dilakukan
pengeboran. Perdarahan yang harus dihindari adalah yang berasal dari
internal vertebral plexus di sebelah lateral di ligamen longitudinal posterior.
Setelah itu kurangi perdarahan dengan bipolar dan microfibrillar kolagen
hemostat. Setelah tulang semakin menipis mulai melakukan diseksi dan
diangkat. Bagaimanapun, ketika duramater terosifikasi dan menempel pada
ligamen longitudinal posterior, pengangkatan komplit dari lesi yang
33
terosifikasi akan mengeluarkan cairan LCS. Hal ini akan menjadi sangat
berbahaya. Ketika terjadi kebocoran dari LCS, gunakan lem fibrin untuk
menutup duramater.
-
A). Corpectomy lebar, B). Pengeboran OPLL, C). Mengangkat OPLL dengan teknik Kerrison
Digunakan illiac crest material sebagai implant. Untuk mencegah ekstrusi bone graft,
ditemukan bahwa anterior cervical plate graft juga efektif. Selain itu, dalam beberapa kasus
impaln titanium ditempatkan setelah corpectomy.
34
Komplikasi :
Komplikasi dari operasi OPLL pada khususnya, dan operasi servikal
pada umumnya, meningkatkan risiko myelopathy dan radikulopati. Dari 19
pasien yang menjalani operasi OPLL, 2 pasien (10,5 persen) mengalami
quadriplegia pasca operasi. Penelitian lain melaporkan kejadian 23 persen
lebih tinggi (3 pasien) mengalami disfungsi korda setelah operasi servikal
pada 13 pasien spondylotic, sedangkan Saunders et al. menemukan 2,2 persen
insiden cidera korda dalam 90 operasi multilevel corpectomies. Beberapa
penulis telah mencatat tingginya insiden komplikasi dengan ACC. Tingkat
dari semua komplikasi bedah (termasuk kebocoran CSF, ekstrusi cangkok,
atau fusi inkomplit) adalah 23%. Sekitar setengah dari pasien ini akhirnya
akan memerlukan operasi revisi. Pseudarthrosis setelah operasi revisi
dilaporkan terjadi sampai dengan 15% dari pasien setelah ACC untuk
OPLL dalam seri lain. Morbiditas jaringan lunak, termasuk disfagia
permanen atau disfonia, kebutuhan untuk intubasi berkepanjangan, dan arteri
vertebralis atau cedera kerongkongan tambahan dapat terjadi.
2. Laminektomi
Laminektomi adalah jenis operasi di mana dokter bedah menghapus
sebagian atau seluruh tulang belakang (lamina) untuk meringankan kompresi
tulang belakang atau akar saraf yang mungkin disebabkan oleh cedera,
herniated disk, stenosis tulang belakang (penyempitan kanal) , atau tumor.
35
Laminektomi umumnya digunakan hanya ketika terapi konservatif seperti
obat obatan dan terapi fisik telah gagal untuk meredakan gejala.
Laminektomi juga mungkin dianjurkan jika gejala yang parah atau
memburuk.
Laminektomi dapat dilakukan pada pasien dengan OPLL tingkat tiga
atau lebih, dan pasien yang tidak mungkin untuk mentoleransi prosedur
anterior bertingkat, seperti pasien dengan usia lebih dari 70 tahun. Sebuah
Laminektomi profilaksis, seperti yang dilakukan oleh Itoh dan Tsuji sebelum
melaksanakan AVF bertingkat pada pasien dengan stenosis servikal yang
parah yang mendasari, juga dapat dipertimbangkan. Prosedur umum
untuk Laminektomi servikal meliputi berikut,insisi kulit di garis tengah
bagian belakang leher dan sekitar 3 sampai 4 inci, otot para-spinal ini
kemudian diangkat dari beberapa tingkatan. LAM dimulai dengan
menggunakan bor udara berkecepatan tinggi untuk mencukur lamina bawah
di selokan lateralis. Lamina dengan proses spinosus kemudian dapat
dihilangkan sebagai salah satu bagian (seperti ekor lobster). Penghapusan
lamina dan proses spinosus memungkinkan korda spinalis melayang ke
belakang dan memberikan lebih banyak ruang.
LAM yang dilakukan untuk dekompresi OPLL dari belakang dapat
mengakibatkan korda intraoperatif yang ireversibel atau cedera akar saraf saat
gagal untuk meredakan korda ventral atau kompresi akar saraf. Cidera
radikuler, terutama yang melibatkan akar C5, dapat dikaitkan dengan
36
penekanan progresif akar saraf karena massa OPLL ventral. Sebuah
laminektomi yang menimbulkan deformitas leher angsa (swan neck),
kyphosis, membran Laminektomi yang tertekan, dan perkembangan OPLL
yang lebih cepat dapat menyebabkan kompresi dari korda dan akar saraf.
Saraf atau pembuluh darah di daerah operasi mungkin terluka, sehingga
terjadi kelemahan atau mati rasa. Rasa sakit tidak dapat dihilangkan dengan
pemdahan atau menjadi lebih buruk, meskipun hal ini jarang terjadi.
37
BAB IV
ANALISA KASUS
Tn. RH, 51 tahun menderita Osifikasi Ligamen Longitudinal Posterior
setingkat vertebare C3 – C6. Dimana pasien mengeluhkan rasa kencang atau kaku
pada tungkainya. Keluhan telah dirasakan semenjak 4 tahun lalu dan telah memiliki
riwayat HNP. Selama 2 bulan terakhir dirasakan semakin parah. Menurut literatur,
gejala klinis yang dapat timbul pada pasien OPLL sering tanpa gejala atau
asimptomatik, namun bisa juga terdapat gejala timbulnya defisit neurologis,
radikulopati atau mielopati dan lainnya. Pada pasien tidak didapatkan adanya suatu
gangguan pada motorik maupun sensoriknya. Selain itu, penyakit beerlangsung
lama seperti yang dialami oleh Tn.RH. Tidak mengeluhkan adanya disfagia ataupun
inkontinensia. Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi kondisi ini adalah
faktor genetik dan faktor hormonal seperti penderita DM, namun pada pasien ini
tidak terdapat riwayat DM.
Dari hasil pemerikasaan, pemeriksaan tanda vital tidak ditemukan adanya
kelainan. Pada pemeriksaan neurologis tidak ditemukan adanya tanda-tanda defisit
neurlogis. Pada pemeriksaan nervus cranialis tidak ada kelainan. Pada pemeriksaan
reflek fisiologis Triceps mengalami sedikit penurunan namun refleks Biceps tetap
normal. Tidak ditemukan adanya suatu reflek patologis.
OPLL dapat didiagnosis dengan pemeriksaan penunjang radiologi. Setelah
dilakuakan foto lateral servikal dan MRI pada servikal ditemukan adanya bentuk
cervicalis yang lurus/ hipolordotik, kolaps corpus C5 dan C6, spondyloarthorosis
cervicalis, bulging diskus intervertebralis C4-5 sampau C6-7, menekan thecal sac
dan foramen neural bilateral, OPLL setinggi C2-3 sampai C6-7 dan parsial stenosis
canal spinal setinggi C4-5 sampai C6-7. Menurut literatur, osifikasi pada ligamen
longitudinal posterior dapat terjadi karena terdapat suatu sel pada ligamen yang
bersifat seperti osteoblas dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti genetik dan
ras, lebih banyak terdapat pada orang Asia dan pria.
Penatalaksanaan terhadap pasien adalah dengan melakukan laminoplasty
setingkat level yang ligamen longitudinal posteriornya mengalami osifikasi.
38
DAFTAR PUSTAKA
Byung-Wan Choi1, Kyung-Jin Song2, Han Chang1 Ossification of the Posterior
Longitudinal Ligament: A Review of Literature1 Department of Orthopedic
Surgery, Haeundae Paik 2008
Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23
Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2003.h. 35-36.
Hirai T, Korogi Y, Takahashi M, Shimomura O. Ossification of posterior
longitudinal ligament and ligamentum flavum: imaging features. Semin
Musculoskelet Radiol 2001;5:83-8.
http://www.medscape.com/viewarticle/739292_9
Jong, Syamsuhidayat, Buku Ajar Ilmu Bedah , EGC, Jakarta2.
Kazutoshi Hida, M.D., Ph.D., Shunsuke Yano, M.D., Ph.D., and Yoshinobu
Iwasaki, M.D., Ph.D. Considerations in the Treatment of Cervical
Ossification of. The Congress of Neurological Surgeons. Clinical Neurologi;
p55; 0148-703/08/5501-0126
Listiono, Djoko, Dr., 1998. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara , Edisi III , PT.
Gramedia, Jakarta.
Moore, Keith L. Agur,Anne M.R. 2002. Anatomi Klinis Dasar .Laksman,H. editors.
Jakarta: Hipokrates, p. 285-7