opini pemilu
DESCRIPTION
partisipasi pemilu, kampanye kotor, elektabilitas. election, electability curse, dirty campaignTRANSCRIPT
OPINI Sekitar PEMILU
Halmar Halide
Ketua Jurusan Fisika FMIPA Unhas
Kiat Sederhana Meningkatkan Partisipasi PEMILU
(Opini untuk harian FAJAR 27 Mei 2009)
Bangsa ini baru saja menyelenggarakan hajatan demokrasi untuk memilih
calon legislatif. Ada dua hal penting yang dapat dicatat. Pertama, tingkat partisipasi
pemilih (turn-out voters) yang tak penuh yakni hanya mencapai 71%. Hal ini
diperoleh berdasarkan pada jumlah undangan yang disebarkan sebanyak 171.265.442,
namun yang memenuhi undangan hanya sekitar 121.588.366 orang. Ini berarti ada
49.677.076 orang yang berhalangan (http://www.pemiluindonesia.com/pemilu-
2009/jumlah-golput-hampir-50-juta-orang.html). Jika tiap undangan membutuhkan
ongkos sebesar Rp. 127.900 (http://www.mediaindonesia.com/webtorial/election-
online/?ar_id=NTk2), maka ketidakhadiran tersebut telah menghabiskan dana sebesar
Rp. 6,35 trilyun. Hal ini amat disayangkan (pity) karena sebenarnya begitu banyak hal
bermanfaat yang dapat dilakukan dengan uang sebesar itu. Kedua, tingkat kesulitan
teknis pemilihan ternyata cukup tinggi. Pada pemilu ini tercatat pula ada 17.488.581
suara tak sah (14,4%). Proporsi suara tak sah ini mendekati perolehan suara dua partai
besar yakni GOLKAR dan PDI-P. Jika suara tak sah ini juga ’diuangkan’, maka ada
sekitar Rp. 2,24 trilyun uang yang terbuang sia-sia tanpa menghasilkan kursi
legislator. Komisi Pemilu kita mestilah berupaya keras menyederhanakan teknis
pemberian suara agar suara pemilih yang telah bersusah payah datang tidak sia-sia
(wasted). Komisi ini perlu mengingat bahwa pesta demokrasi bukanlah ajang seleksi
siapa pemilih (voters) terbaik yang mampu memecahkan soal pelik/rumit. Meskipun
isu kerumitan pemberian suara (contreng/coblos) ini menarik untuk dibahas, namun
kita tak memiliki informasi tentang bentuk dan ragam ketidakabsahan suara tersebut.
Oleh karena itu penyajian berikut ini hanya difokuskan pada dua upaya sederhana
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi PEMILU.
Bersikap (attitude) positif (inward looking):
Perubahan (atas izin Allah) hanya bisa terjadi jika manusia mengusahakannya
(QS ar-ra’d 13:11). Sebagai pengajar misalnya, kita mendambakan suasana transfer
keilmuan yang efektif antara guru (fasilitator) dan mahasiswa (pembelajar). Ini
membutuhkan banyak hal mulai dari akses bahan pembelajaran up-to-date,
peraga/simulasi laboratorium hingga pengukur capaian (achievement) pembelajaran.
Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari institusi lain di mancanegara kita masih
tertinggal pada: materi pembelajaran, model/simulasi dan studi kasus/aplikasi ilmu.
Hal ini tentu tak terlepas dari keterbatasan dana untuk sektor pendidikan yang
persentasinya ditentukan oleh para legislator berdasarkan Undang-Undang negara.
Alhamdulillah, secara berkala bangsa ini memiliki hak menentukan legislator
tersebut melalui PEMILU. Melalui mekanisme ini, kita mengharapkan terjaringnya
legislator pejuang pendidikan. Setelah berhasil menempatkan para pejuang tersebut
dikursinya masing-masing, kita (pemilih) sejogyanya memiliki fasilitas untuk
memantau upaya mereka. Di negara lain, hal semacam ini bisa diakses via web para
senator sejauh mana mereka menyikapi (veto mendukung/menolak) suatu
permasalahan bangsa misalnya: anggaran pendidikan dan kesehatan, kebijakan
ekonomi, keamanan negara, perpajakan, pencemaran lingkungan dan sebagainya.
Sebagai contoh, kita dapat melihat rekam-jejak (track-record) voting seorang senator
bernama Barack Obama (http://history.howstuffworks.com/american-history/barack-
obama4.htm). Dengan fasilitas perekam-jejak seperti ini, kita dapat memilih kembali
atau mengganti seorang pejuang pada PEMILU mendatang.
Berperan aktif (outward looking):
Setelah kita masing-masing berhasil menemukan seorang legislator partai atau
sepasang eksekutif yang dapat memperjuangkan aspirasi kita (baik melalui rekam-
jejak di atas ataupun melalui penayangan visi-misi dan tingkah-polanya di media
massa), penemuan ini mesti disebarluaskan dalam bentuk diskusi politik. Topik ini
dibahas dalam salah satu disertasi yang ditulis oleh R. Sietman (2005) di Ohio State
University Amerika Serikat. Sebagai bahan kajian, beliau mengambil kasus pemilihan
presiden 2004 di Amerika Serikat. Salah satu temuannya adalah diskusi politik
ternyata berpengaruh positif dan signifikan pada jumlah partisipan PEMILU. Hal ini
tentu mengejutkan bagi sebagian orang khususnya bagi mereka yang pernah
mengikuti pre-departure training sebelum ke mancanegara. Ketika itu seorang pelatih
biasanya menyebutkan beberapa hal yang tabu dibicarakan pada suatu percakapan
dengan orang asing yakni: usia, perkawinan, gaji dan politik.
Kita di Indonesia patut bersyukur karena hal semacam itu tidak diharamkan
(tabu). Para legislator dan eksekutif tersebut malah diorbitkan dan diekspose melalui
berbagai paket show prime-time, interaktif dan attraktif di televisi (”Janji untuk
Rakyat” dan ”Presiden Pilihan”-nya TV-One atau ”Pesta Demokrasi”-nya Trans-7
adalah beberapa diantaranya) maupun penempatan berita mereka pada halaman
khusus di koran. Tayangan ini semua bisa menjadi bahan obrolan dengan teman
sejawat di kantor atau pun gosip serius saat kita bertemu pada arisan keluarga. Inilah
yang diharapkan menjadi suatu spiral informasi yang berawal dari tayangan santai
suatu keluarga di TV, obrolan sersan (serius tapi santai) pada pertemuan antar-
keluarga dan kelompok pengajian dan kemudian meluas menjadi diskusi serius di
masyarakat.
Waktu pemilihan presiden kian mendekat dan ekspose pasangan eksekutif
makin gencar memberi kita beragam informasi. Sebagai warganegara kita mempunyai
hak untuk mengubah nasib diri ini dan secara bersama kita akan menentukan masa
depan bangsa ini melalui pemilihan pasangan eksekutif yang sesuai dengan aspirasi
kita masing-masing. Janganlah kita sia-siakan hak istimewa (privilege) ini.
Antisipasi Kampanye Kotor
(Artikel untuk harian Tribun Timur 1 Juni 2009)
Suhu politik mendekati pilpres semakin panas. Iklan politik dan kegiatan
capres/cawapres semakin aktif diberitakan melalui media massa. Dalam situasi ini,
para pemilih diharap mampu memisahkan kampanye yang jujur dan kampanye kotor
(dirty) melalui penyajian berita yang berimbang dan akurat. Sajian berikut ini akan
mengulas bagaimana praktek-praktek kampanye kotor yang dilakukan untuk menjegal
beberapa calon presiden di Amerika Serikat. Negara ini dipilih sebagai contoh karena
sejarahnya yang amat kaya dengan beraneka cara/trik kampanye kotor yang
memanfaatkan beberapa isu seperti: etnis, loyalitas kepada negara dan
perselingkuhan. Dengan semakin terbukanya akses informasi via internet dan dengan
munculnya isu penggunaan konsultan asing untuk memoles capres/cawapres kita, ada
kemungkinan praktek kotor tersebut sudah diadopsi/diimpor ke negara kita ini.
Melalui ulasan ini diharapkan adanya suatu solusi ampuh yang dapat mengatasi jenis
kampanye semacam ini.
1. Penggunaan isu etnis
Isu rasial ini ternyata ampuh menghambat presiden G. Cleveland terpilih
untuk kedua kalinya pada pilpres tahun 1888 di daerah pemilihan New York. Seorang
ahli sejarah presiden bernama Richard Shenkman menjelaskan trik kotor ini di situs
History News Network (HNN). Sebagaimana kita ketahui ketika itu ada permusuhan
antara orang amerika keturunan Inggris dan keturunan Irlandia. Untuk menjamin
perolehan suara keturunan Irlandia ini, sang presiden mesti membuat jarak dengan
kerajaan Inggris. Namun, beberapa saat menjelang pilpres tersiar kabar bahwa
seorang Inggris yang bermukim di California menerima sepucuk surat dari Dubes
Inggris di Washington. Rupanya hal ini merupakan suatu ciuman maut (kiss of death).
Isi surat tersebut menyatakan bahwa Inggris mendukung pencalonan Cleveland.
Kontan, para keturunan Irlandia meninggalkan presiden Cleveland yang akhirnya
harus pasrah meninggalkan Gedung Putih karena kalah dalam pemilihan. Usai
pemilihan terbukalah rahasia si orang keturunan Inggris tersebut. Ia ternyata adalah
anggota partai yang merupakan lawan dari Cleveland. Rupanya ia telah lebih dahulu
mengirim surat ke Dubes Inggris untuk meminta sang Dubes mendukung pencalonan
kembali presiden Cleveland.
Ada dua hal yang bisa menjadi bahan pembelajaran yang ditarik dari kisah ini.
Pertama, kisah itu memperlihatkan bagaimana kelihaian lawan politik memanfaatkan
isu permusuhan antara suku/etnis untuk melemahkan posisi seorang calon. Kedua,
kejadian itu juga mengingatkan suatu kelompok pemenangan pasangan pres/wapres
agar mewaspadai jika calonnya menerima dukungan (endorsement) yang
dihembuskan secara baik secara transparan maupun sembunyi-sembunyi dari kubu
saingannya.
2. Penggunaan isu loyalitas kepada negara
Kasus ini mengenai diri G. Bush pada tahun 2004 seperti dituturkan oleh
Stephen Hayes. Sebagaimana kita ketahui pada tahun itu terjadi persaingan antara G.
Bush (Republik) dan J. Kerry (Demokrat) menuju kursi kepresidenan. Menjelang
pemilu ada rumor yang ditujukan kepada G. Bush yang menyatakan bahwa dia
mendapatkan perlakuan khusus untuk tak diterjunkan ke perang Vietnam pada tahun
1970-an. Untuk membuktikan hal ini, dilakukanlah penyelidikan terhadap sebuah
barang bukti penting berupa sebuah memo yang ditulis oleh atasan G. Bush bernama
J. Killian. Memo itu dikeluarkan oleh Killian yang isinya memecat Letnan Bush
sebagai pilot National Guard karena perintahnya tak dipatuhi oleh Bush. Akibat
insiden ini, Bush kehilangan status kepilotannya, dan tentu saja ia tak bisa ikut ke
Vietnam. Dokumen (memo) yang dikeluarkan sekitar 30 tahun yang lalu itu kemudian
menjadi obyek penyelidikan penting oleh beberapa pihak. Hasil penyelidikan terhadap
memo itu menghasilkan beberapa temuan.
Pertama, para ahli forensik ketikan dokumen mempertanyakan keaslian memo
tersebut. Setelah melalui serangkaian penyelidikan, para ahli tersebut (W. Flynn, P.
Bouffard, S. Lines, dan R. Polt) bersepakat bahwa memo tersebut tak asli karena tipe
alfabet (font) ketikannya diproduksi oleh teknologi masa kini (word-processor) dan
bukan dihasilkan oleh mesin ketik di era 70-an. Kedua, semimggu setelah munculnya
’memo’ tersebut, ternyata penulis ’memo’ tersebut yakni J. Killian juga
menandatangani suatu laporan militer yang isinya memuji G. Bush sebagai pilot
istimewa. Hal ini tentu susah diterima karena bagaimana mungkin seseorang (J.
Killian) mengeluarkan dua rekomendasi yang saling bertentangan tentang G. Bush
dalam waktu yang hampir bersamaan. Ketiga, hasil wawancara dengan putera dan
janda mendiang atasan Bush itu menyebutkan bahwa almarhum amat menyukai G.
Bush dan almarhum tak mungkin menuliskan ’memo’ tersebut. Walhasil, G. Bush
dapat terlepas dari persoalan ini dan terpilih menjadi presiden.
Pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah Bush di atas adalah sikap kritis
yang harus ditumbuhkan ketika muncul suatu rumor yang menyudutkan. Tindakan
yang segera dilakukan adalah melakukan penyelidikan apalagi jika rumor tersebut
bertentangan dengan suatu fakta lainnya. Selanjutnya, pengujian kebenaran rumor
tersebut mesti dilakukan oleh beberapa ahli yang profesional apapun latar-belakang
ideologi politiknya. Patut dicatat bahwa salah seorang ahli yang menyelidiki keaslian
memo tersebut (R. Polt) adalah pendukung dari lawan politik G. Bush.
3. Penggunaan isu WIL (wanita idaman lain)
Kalau pada butir (2) di atas digambarkan bagaimana rumor yang menimpa G.
Bush, bagian ini akan digambarkan bagaimana bentuk kampanye kotor yang menimpa
J. Kerry dari partai Demokrat, pesaing Bush dalam pilpres 2004 yang lalu. Melalui
berbagai media seperti situs web internet, talk-show TV hingga tabloid, capres J.
Kerry dituduh memiliki WIL (wanita selingkuhan) bernama Alexandra Polier. Baik
Kerry maupun Polier sudah membantah adanya isu yang menyentuh ranah pribadi
seorang capres. Opini publik terbagi dua. Pendukung Kerry mengharap bantahan
Kerry tersbut akan mengakhiri rumor ini, sedangkan para lawan politiknya mengharap
Kerry melakukan kebohongan publik dengan bantahan tersebut. Jika ini yang terjadi,
maka habislah Kerry karena kebohongan publik dinilai lebih berat pelanggarannya
dibanding perselingkuhan itu sendiri. Isu ini kemudian mereda dengan sendirinya
ketika seorang pemenang Pulitzer (penghargaan untuk jurnalis terbaik) bernama
Glenn Frankel berkomentar bahwa kejadian ini mungkin ada kaitannya dengan
ketidaksenangan orangtua Alexandra pada J. Kerry. Ini bisa dimengerti karena kedua
orangtua tersebut ternyata anggota partai Republik, lawan partai Kerry.
Setelah itu muncul lagi isu lain. Kali ini J. Kerry ditampilkan berfoto bareng
dengan seorang artis tenar Jane Fonda di suatu panggung. Mereka terlihat berfoto
berdampingan pada acara protes anti perang Vietnam puluhan tahun yang lalu.
Bagaimana mungkin? Keduanya berasal dari partai yang berbeda. Setelah diselidiki
foto itu ternyata hasil ‘cropping - pemaduan gambar’. Foto Kerry diambil ketika dia
berbicara pada rally perdamaian di New York, sedang foto Jane Fonda dikutip ketika
dia tampil berpidato untuk partai Republik di pantai Miami, Florida.
Ulasan di atas telah menyajikan bagaimana penggunaan 3 (tiga) jenis senjata
kampanye yang digunakan untuk melemahkan posisi seorang bakal presiden. Selain
itu telah ditunjukkan pula bagaimana peran penting dari profesional dan peliputan
media massa dalam menyelidiki, mengungkap dan menyajikan keakuratan berita
mengenai seorang calon. Hal ini tentu tak mudah dilakukan akibat beberapa kendala
seperti: waktu investigasi yang singkat, tenaga profesional yang terbatas, dan bias
pada media. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, sekelompok peneliti dari
disiplin ilmu Komputer Korea Selatan telah berhasil mengembangkan dan
meluncurkan suatu produk jasa pelayanan internet bernama Newscube/PolyNews.
Dengan mesin pencari berita ini seorang pengguna dapat melihat berbagai
pemberitaan/perspektif (baik yang pro maupun yang kontra) terhadap suatu isu.
Menentukan Elektabilitas Calon Presiden
(Opini untuk harian FAJAR 29 Mei 2009)
Menghadapi Pilpres mendatang, media massa amat gencar mempopulerkan
suatu besaran yang disebut elektabilitas (electability). Besaran ini konon dapat
meramalkan kemungkinan terpilihnya sepasang calon. Itulah sebabnya besaran ini
bisa menjadi momok bagi pasangan yang elektabilitasnya kecil dan di lain pihak ia
bisa menjadi angin surga bagi pasangan dengan elektabilitas tinggi. Mari kita
berkunjung ke Amerika Serikat yang merupakan negara asal besaran impor ini. Untuk
mewujudkan maksud tersebut, kita tak membutuhkan biaya yang mahal cukup
berbekal fasilitas internet untuk singgah ke beberapa situs (website). Masing-masing
situs tersebut menyajikan beberapa rumus/algoritma empiris untuk menghitung
elektabilitas presiden dan wakil presiden Amerika.
1. http://members.bellatlantic.net/~vze3fs8i/air/Elections.htm
Elektabilitas menurut Debowy dan Schulman. Daniel Debowy berasal dari
institusi School of Medicine New York Univ, sedangkan Eric Schulman berasal dari
Alexandria, Virginia. Rumus empiris elektabilitas mereka bergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang menaikkan elektabilitas seorang calon presiden adalah: ia
adalah mantan presiden, mantan anggota DPR, mantan gubernur, mantan jenderal
bintang empat/lima, mantan rektor, atau putera (i) senator. Adapun faktor-faktor yang
menurunkan elektabilitas seorang calon presiden adalah: ia pernah cerai, pernah jadi
jaksa penuntut, pengikut agama tertentu misalnya protestan atau katolik, anggota
organisasi pelobi saat pemilihan berlangsung.
Adapun elektabilitas untuk calon wapres mirip dengan elektabilitas calon
presiden kecuali dua faktor yakni: (1) mantan jenderal digantikan oleh mantan bankir
dan (2) tak ada faktor perceraian sang calon. Debowy dan Schulman selanjutnya
mendemonstrasikan keampuhan formula mereka dalam memprediksi (baik hindcast
maupun forecast) presiden/wakil presiden Amerika Serikat mulai dari tahun 1789
(Presiden George Washington dengan elektabilitas 110) hingga tahun 2000 (pasangan
partai Republik George Bush/Dick Cheney dengan elektabilitas 77 melawan pasangan
partai Demokrat Al Gore/J. Lieberman dengan elektabilitas 8). Menurut algoritma ini,
pada tahun 2004 partai demokrat sebenarnya bisa menempatkan calon presidennya
(H. Dean dengan elektabilitas 132) untuk mengalahkan presiden incumbent G. Bush
dengan elektabilitas 86). Sayang sekali pada tahun 2004, partai demokrat memajukan
jagonya J. Kerry dengan elektabilitas minus 110 karena ia bercerai.
Ada juga situs yang menyajikan model elektabilitas oleh Eric Schulman
(http://members.verizon.net/~vze3fs8i/air/pres2004.html). Model ini juga menyajikan
hasil prediksi pilpres USA sejak tahun 1932 (F.D Roosevelt versus H.C. Hoover)
hingga tahun 2004 (G. Bush vs W. J. Janklow vs J. B. Hunt Jr). Pada pemilihan tahun
2004 itu nilai elektabilitas G. Bush lebih rendah dari nilai para pesaingnya, namun
ternyata G. Bush yang muncul sebagai pemenang.
2. http://www.csbsju.edu/uspp/Research/Election-Outcome_Prediction.html
Indeks Elektabilitas Pribadi (PEI – Personal Electability Index) Immelman.
Indeks ini dikembangkan oleh Aubrey Immelman dari Unit Kajian Kepribadian dalam
Politik, St John’s University, Collegeville, USA. Indeks ini juga tersusun oleh
beberapa faktor yang menggambarkan kepribadian seseorang yang terangkum dalam
MIDC (Milton Inventory of Diagnostic Criteria). Faktor-faktor yang menaikkan nilai
indeks adalah: ekstraversi (pola outgoing – mampu bersoalisasi di masyarakat),
narsisme (pola self-love – cinta (penampilan) diri, dan dominansi (pola pengatur dan
tak bergantung). Sedangkan faktor-faktor yang menurunkan nilai indeks adalah:
introversi (pola penyendiri) dan kehati-hatian (pola dutiful/conscientiousness –
perfeksionis dan teratur).
Bagaimana hasil indeks ini jika diterapkan pada para calon presiden pada
pemilu 2008 di Anerika Serikat. Setelah dihitung diperoleh bahwa nilai PEI untuk
masing-masing calon dari partai Demokrat (D) dan partai Republik (R) berturut-turut
adalah: B. Obama (28, D), J. McCain (26, R), H. Clinton (23, D), M. Huckabee (22,
R), R. Giuliani (19, R), J. Edwards (13, D), F. Thompson (12, R), dan M. Romney (6,
R). Hasil prediksi PEI ini cocok dengan hasil pilpres Amerika Serikat yakni B.
Obama (D) yang terpilih jadi presiden setelah mengalahkan pesaingnya yakni J.
McCain (R). Ada suatu hal yang menarik tentang indeks ini bahwa ia tak
menyebutkan nilai wakil presiden terpilih yakni Joe Biden pada urutan tersebut.
3. http:// http://www.gallup.com/poll/103366/Whom-Would-Americans-Vote-Next-
November.aspx
Elektabilitas menurut survei nasional Gallup. Gordon Gallup adalah seorang
psikologis yang merupakan pionir teknik pengambilan sampel survei dan penemu poll
Gallup/USA Today. Pada poll ini, para calon presiden dari partai Republik dan
Demokrat akan dibandingkan elektabilitasnya (dinyatakan dalam persen) berdasarkan
survei para pemilih terdaftar. Sebagai contoh, poll pada tanggal 14-16 Desember 2007
menunjukkan bahwa para calon dari partai Demokrat (baik Obama maupun Clinton)
mampu mengungguli para pesaingnya dari partai Republik yakni (Giuliani, Huckabee
dan Romney) dengan selisih (margin) minimum 1% (Clinton vs Giuliani) dan
maksimum 18% (Obama vs Romney). Berdasarkan survei semacam ini kita juga
dapat mengikuti perjalanan ’ketersukaan (favorability)’ dua calon dari masing-masing
partai misalnya Obama (D) dan McCain (R). Pada bulan Maret 2007, favorabilitas
Obama adalah 53 sedangkan McCain memperoleh 57. Namun, beberapa saat
menjelang Pilpres (survei 31 Oktober 2008 hingga 2 November 2008), keadaan
berbalik dimana Obama memperoleh 62 sedangkan McCain hanya mendapat 50.
Perlu diingat bahwa pilpres Amerika Serikat yang dilaksanakan pada tanggal 4
November 2008 itu ternyata membawa B. Obama ke kursi presiden.
Tampak bahwa elektabilitas Gallup pun dapat menjadi indikator pemenang
pilpres. Pertanyaan yang menarik adalah apa yang terjadi jika pemilih tak memilih
seseorang yang elektabilitasnya tertinggi. Fenomena ini dikenal sebagai ’kutukan
elektabilitias – the curse of electability) seperti dicontohkan oleh Tom Niblock pada
blognya http://thomasniblock.blogspot.com/2007/12/curse-of-electability.html. Dia
memberi dua contoh. Pertama, pada pemilu 2004, semestinya Howard Dean dari
partai Demokrat yang sejogyanya maju menjadi penantang ’incumbent’ G. Bush dari
partai republik. Hal ini didasarkan pada nilai elektabilitas Dean yang tertinggi
dibanding calon lainnya. Namun, partai Demokrat malah memajukan calon lain yakni
John Kerry karena menurut pendukungnya, hanya Kerry-lah yang mampu
mengungguli G. Bush via reputasinya yang cemerlang dalam perang Vietnam. Pada
pilpres 2004 itu, pemenangnya adalah G. Bush. Kedua, pada pemilu 2008 kutukan
kembali terjadi Namur kali ini ia menimpa partai Republik. Semestinya yang maju
menjadi calon dari partai Republik berdasarkan elektabilitasnya adalah M. Huckabee,
namun ia tak terpilih oleh partainya karena ia dianggap kurang mengetahui tentang
kebijakan luar negeri. Hasilnya calon yang diajukan oleh partai Republik adalah John
McCain yang ternyata tak mampu mengungguli B. Obama dari Demokrat.
Uraian di atas telah menjelaskan 3 model elektabilitas yang ditemui di negara
demokrasi tertua didunia. Tentu ada beberapa hal yang tampaknya mesti disesuaikan
sebelum model tersebut diadopsi di negara kita yang baru saja memasuki era
pemilihan langsung. Hal ini disebabkan dengan adanya beberapa perbedaan misalnya
pada jumlah partai dan jumlah pasangan capres/wapres yang juga lebih banyak.
Namun demikian ada beberapa hal yang menarik untuk direnungkan seperti: presiden-
presiden kita yang lalu dan saat ini tampaknya orang-orang yang ’top’ di kelasnya:
ada jenderal, ada professor, dan ada pimpinan ormas terbesar. Selain itu mereka juga
memiliki unsur kepribadian seperti cinta-diri, mendominasi, dan sosial. Tampaknya
perangkat kualitas ini mestilah dimiliki oleh seorang pemimpin ... kapan saja dan
dimana saja.