opini pemilu

11

Click here to load reader

Upload: halmar-halide

Post on 13-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

partisipasi pemilu, kampanye kotor, elektabilitas. election, electability curse, dirty campaign

TRANSCRIPT

Page 1: Opini Pemilu

OPINI Sekitar PEMILU

Halmar Halide

Ketua Jurusan Fisika FMIPA Unhas

Kiat Sederhana Meningkatkan Partisipasi PEMILU

(Opini untuk harian FAJAR 27 Mei 2009)

Bangsa ini baru saja menyelenggarakan hajatan demokrasi untuk memilih

calon legislatif. Ada dua hal penting yang dapat dicatat. Pertama, tingkat partisipasi

pemilih (turn-out voters) yang tak penuh yakni hanya mencapai 71%. Hal ini

diperoleh berdasarkan pada jumlah undangan yang disebarkan sebanyak 171.265.442,

namun yang memenuhi undangan hanya sekitar 121.588.366 orang. Ini berarti ada

49.677.076 orang yang berhalangan (http://www.pemiluindonesia.com/pemilu-

2009/jumlah-golput-hampir-50-juta-orang.html). Jika tiap undangan membutuhkan

ongkos sebesar Rp. 127.900 (http://www.mediaindonesia.com/webtorial/election-

online/?ar_id=NTk2), maka ketidakhadiran tersebut telah menghabiskan dana sebesar

Rp. 6,35 trilyun. Hal ini amat disayangkan (pity) karena sebenarnya begitu banyak hal

bermanfaat yang dapat dilakukan dengan uang sebesar itu. Kedua, tingkat kesulitan

teknis pemilihan ternyata cukup tinggi. Pada pemilu ini tercatat pula ada 17.488.581

suara tak sah (14,4%). Proporsi suara tak sah ini mendekati perolehan suara dua partai

besar yakni GOLKAR dan PDI-P. Jika suara tak sah ini juga ’diuangkan’, maka ada

sekitar Rp. 2,24 trilyun uang yang terbuang sia-sia tanpa menghasilkan kursi

legislator. Komisi Pemilu kita mestilah berupaya keras menyederhanakan teknis

pemberian suara agar suara pemilih yang telah bersusah payah datang tidak sia-sia

(wasted). Komisi ini perlu mengingat bahwa pesta demokrasi bukanlah ajang seleksi

siapa pemilih (voters) terbaik yang mampu memecahkan soal pelik/rumit. Meskipun

isu kerumitan pemberian suara (contreng/coblos) ini menarik untuk dibahas, namun

kita tak memiliki informasi tentang bentuk dan ragam ketidakabsahan suara tersebut.

Oleh karena itu penyajian berikut ini hanya difokuskan pada dua upaya sederhana

yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi PEMILU.

Page 2: Opini Pemilu

Bersikap (attitude) positif (inward looking):

Perubahan (atas izin Allah) hanya bisa terjadi jika manusia mengusahakannya

(QS ar-ra’d 13:11). Sebagai pengajar misalnya, kita mendambakan suasana transfer

keilmuan yang efektif antara guru (fasilitator) dan mahasiswa (pembelajar). Ini

membutuhkan banyak hal mulai dari akses bahan pembelajaran up-to-date,

peraga/simulasi laboratorium hingga pengukur capaian (achievement) pembelajaran.

Berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari institusi lain di mancanegara kita masih

tertinggal pada: materi pembelajaran, model/simulasi dan studi kasus/aplikasi ilmu.

Hal ini tentu tak terlepas dari keterbatasan dana untuk sektor pendidikan yang

persentasinya ditentukan oleh para legislator berdasarkan Undang-Undang negara.

Alhamdulillah, secara berkala bangsa ini memiliki hak menentukan legislator

tersebut melalui PEMILU. Melalui mekanisme ini, kita mengharapkan terjaringnya

legislator pejuang pendidikan. Setelah berhasil menempatkan para pejuang tersebut

dikursinya masing-masing, kita (pemilih) sejogyanya memiliki fasilitas untuk

memantau upaya mereka. Di negara lain, hal semacam ini bisa diakses via web para

senator sejauh mana mereka menyikapi (veto mendukung/menolak) suatu

permasalahan bangsa misalnya: anggaran pendidikan dan kesehatan, kebijakan

ekonomi, keamanan negara, perpajakan, pencemaran lingkungan dan sebagainya.

Sebagai contoh, kita dapat melihat rekam-jejak (track-record) voting seorang senator

bernama Barack Obama (http://history.howstuffworks.com/american-history/barack-

obama4.htm). Dengan fasilitas perekam-jejak seperti ini, kita dapat memilih kembali

atau mengganti seorang pejuang pada PEMILU mendatang.

Berperan aktif (outward looking):

Setelah kita masing-masing berhasil menemukan seorang legislator partai atau

sepasang eksekutif yang dapat memperjuangkan aspirasi kita (baik melalui rekam-

jejak di atas ataupun melalui penayangan visi-misi dan tingkah-polanya di media

massa), penemuan ini mesti disebarluaskan dalam bentuk diskusi politik. Topik ini

dibahas dalam salah satu disertasi yang ditulis oleh R. Sietman (2005) di Ohio State

University Amerika Serikat. Sebagai bahan kajian, beliau mengambil kasus pemilihan

presiden 2004 di Amerika Serikat. Salah satu temuannya adalah diskusi politik

ternyata berpengaruh positif dan signifikan pada jumlah partisipan PEMILU. Hal ini

tentu mengejutkan bagi sebagian orang khususnya bagi mereka yang pernah

Page 3: Opini Pemilu

mengikuti pre-departure training sebelum ke mancanegara. Ketika itu seorang pelatih

biasanya menyebutkan beberapa hal yang tabu dibicarakan pada suatu percakapan

dengan orang asing yakni: usia, perkawinan, gaji dan politik.

Kita di Indonesia patut bersyukur karena hal semacam itu tidak diharamkan

(tabu). Para legislator dan eksekutif tersebut malah diorbitkan dan diekspose melalui

berbagai paket show prime-time, interaktif dan attraktif di televisi (”Janji untuk

Rakyat” dan ”Presiden Pilihan”-nya TV-One atau ”Pesta Demokrasi”-nya Trans-7

adalah beberapa diantaranya) maupun penempatan berita mereka pada halaman

khusus di koran. Tayangan ini semua bisa menjadi bahan obrolan dengan teman

sejawat di kantor atau pun gosip serius saat kita bertemu pada arisan keluarga. Inilah

yang diharapkan menjadi suatu spiral informasi yang berawal dari tayangan santai

suatu keluarga di TV, obrolan sersan (serius tapi santai) pada pertemuan antar-

keluarga dan kelompok pengajian dan kemudian meluas menjadi diskusi serius di

masyarakat.

Waktu pemilihan presiden kian mendekat dan ekspose pasangan eksekutif

makin gencar memberi kita beragam informasi. Sebagai warganegara kita mempunyai

hak untuk mengubah nasib diri ini dan secara bersama kita akan menentukan masa

depan bangsa ini melalui pemilihan pasangan eksekutif yang sesuai dengan aspirasi

kita masing-masing. Janganlah kita sia-siakan hak istimewa (privilege) ini.

Page 4: Opini Pemilu

Antisipasi Kampanye Kotor

(Artikel untuk harian Tribun Timur 1 Juni 2009)

Suhu politik mendekati pilpres semakin panas. Iklan politik dan kegiatan

capres/cawapres semakin aktif diberitakan melalui media massa. Dalam situasi ini,

para pemilih diharap mampu memisahkan kampanye yang jujur dan kampanye kotor

(dirty) melalui penyajian berita yang berimbang dan akurat. Sajian berikut ini akan

mengulas bagaimana praktek-praktek kampanye kotor yang dilakukan untuk menjegal

beberapa calon presiden di Amerika Serikat. Negara ini dipilih sebagai contoh karena

sejarahnya yang amat kaya dengan beraneka cara/trik kampanye kotor yang

memanfaatkan beberapa isu seperti: etnis, loyalitas kepada negara dan

perselingkuhan. Dengan semakin terbukanya akses informasi via internet dan dengan

munculnya isu penggunaan konsultan asing untuk memoles capres/cawapres kita, ada

kemungkinan praktek kotor tersebut sudah diadopsi/diimpor ke negara kita ini.

Melalui ulasan ini diharapkan adanya suatu solusi ampuh yang dapat mengatasi jenis

kampanye semacam ini.

1. Penggunaan isu etnis

Isu rasial ini ternyata ampuh menghambat presiden G. Cleveland terpilih

untuk kedua kalinya pada pilpres tahun 1888 di daerah pemilihan New York. Seorang

ahli sejarah presiden bernama Richard Shenkman menjelaskan trik kotor ini di situs

History News Network (HNN). Sebagaimana kita ketahui ketika itu ada permusuhan

antara orang amerika keturunan Inggris dan keturunan Irlandia. Untuk menjamin

perolehan suara keturunan Irlandia ini, sang presiden mesti membuat jarak dengan

kerajaan Inggris. Namun, beberapa saat menjelang pilpres tersiar kabar bahwa

seorang Inggris yang bermukim di California menerima sepucuk surat dari Dubes

Inggris di Washington. Rupanya hal ini merupakan suatu ciuman maut (kiss of death).

Isi surat tersebut menyatakan bahwa Inggris mendukung pencalonan Cleveland.

Kontan, para keturunan Irlandia meninggalkan presiden Cleveland yang akhirnya

harus pasrah meninggalkan Gedung Putih karena kalah dalam pemilihan. Usai

pemilihan terbukalah rahasia si orang keturunan Inggris tersebut. Ia ternyata adalah

anggota partai yang merupakan lawan dari Cleveland. Rupanya ia telah lebih dahulu

mengirim surat ke Dubes Inggris untuk meminta sang Dubes mendukung pencalonan

kembali presiden Cleveland.

Page 5: Opini Pemilu

Ada dua hal yang bisa menjadi bahan pembelajaran yang ditarik dari kisah ini.

Pertama, kisah itu memperlihatkan bagaimana kelihaian lawan politik memanfaatkan

isu permusuhan antara suku/etnis untuk melemahkan posisi seorang calon. Kedua,

kejadian itu juga mengingatkan suatu kelompok pemenangan pasangan pres/wapres

agar mewaspadai jika calonnya menerima dukungan (endorsement) yang

dihembuskan secara baik secara transparan maupun sembunyi-sembunyi dari kubu

saingannya.

2. Penggunaan isu loyalitas kepada negara

Kasus ini mengenai diri G. Bush pada tahun 2004 seperti dituturkan oleh

Stephen Hayes. Sebagaimana kita ketahui pada tahun itu terjadi persaingan antara G.

Bush (Republik) dan J. Kerry (Demokrat) menuju kursi kepresidenan. Menjelang

pemilu ada rumor yang ditujukan kepada G. Bush yang menyatakan bahwa dia

mendapatkan perlakuan khusus untuk tak diterjunkan ke perang Vietnam pada tahun

1970-an. Untuk membuktikan hal ini, dilakukanlah penyelidikan terhadap sebuah

barang bukti penting berupa sebuah memo yang ditulis oleh atasan G. Bush bernama

J. Killian. Memo itu dikeluarkan oleh Killian yang isinya memecat Letnan Bush

sebagai pilot National Guard karena perintahnya tak dipatuhi oleh Bush. Akibat

insiden ini, Bush kehilangan status kepilotannya, dan tentu saja ia tak bisa ikut ke

Vietnam. Dokumen (memo) yang dikeluarkan sekitar 30 tahun yang lalu itu kemudian

menjadi obyek penyelidikan penting oleh beberapa pihak. Hasil penyelidikan terhadap

memo itu menghasilkan beberapa temuan.

Pertama, para ahli forensik ketikan dokumen mempertanyakan keaslian memo

tersebut. Setelah melalui serangkaian penyelidikan, para ahli tersebut (W. Flynn, P.

Bouffard, S. Lines, dan R. Polt) bersepakat bahwa memo tersebut tak asli karena tipe

alfabet (font) ketikannya diproduksi oleh teknologi masa kini (word-processor) dan

bukan dihasilkan oleh mesin ketik di era 70-an. Kedua, semimggu setelah munculnya

’memo’ tersebut, ternyata penulis ’memo’ tersebut yakni J. Killian juga

menandatangani suatu laporan militer yang isinya memuji G. Bush sebagai pilot

istimewa. Hal ini tentu susah diterima karena bagaimana mungkin seseorang (J.

Killian) mengeluarkan dua rekomendasi yang saling bertentangan tentang G. Bush

dalam waktu yang hampir bersamaan. Ketiga, hasil wawancara dengan putera dan

janda mendiang atasan Bush itu menyebutkan bahwa almarhum amat menyukai G.

Page 6: Opini Pemilu

Bush dan almarhum tak mungkin menuliskan ’memo’ tersebut. Walhasil, G. Bush

dapat terlepas dari persoalan ini dan terpilih menjadi presiden.

Pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah Bush di atas adalah sikap kritis

yang harus ditumbuhkan ketika muncul suatu rumor yang menyudutkan. Tindakan

yang segera dilakukan adalah melakukan penyelidikan apalagi jika rumor tersebut

bertentangan dengan suatu fakta lainnya. Selanjutnya, pengujian kebenaran rumor

tersebut mesti dilakukan oleh beberapa ahli yang profesional apapun latar-belakang

ideologi politiknya. Patut dicatat bahwa salah seorang ahli yang menyelidiki keaslian

memo tersebut (R. Polt) adalah pendukung dari lawan politik G. Bush.

3. Penggunaan isu WIL (wanita idaman lain)

Kalau pada butir (2) di atas digambarkan bagaimana rumor yang menimpa G.

Bush, bagian ini akan digambarkan bagaimana bentuk kampanye kotor yang menimpa

J. Kerry dari partai Demokrat, pesaing Bush dalam pilpres 2004 yang lalu. Melalui

berbagai media seperti situs web internet, talk-show TV hingga tabloid, capres J.

Kerry dituduh memiliki WIL (wanita selingkuhan) bernama Alexandra Polier. Baik

Kerry maupun Polier sudah membantah adanya isu yang menyentuh ranah pribadi

seorang capres. Opini publik terbagi dua. Pendukung Kerry mengharap bantahan

Kerry tersbut akan mengakhiri rumor ini, sedangkan para lawan politiknya mengharap

Kerry melakukan kebohongan publik dengan bantahan tersebut. Jika ini yang terjadi,

maka habislah Kerry karena kebohongan publik dinilai lebih berat pelanggarannya

dibanding perselingkuhan itu sendiri. Isu ini kemudian mereda dengan sendirinya

ketika seorang pemenang Pulitzer (penghargaan untuk jurnalis terbaik) bernama

Glenn Frankel berkomentar bahwa kejadian ini mungkin ada kaitannya dengan

ketidaksenangan orangtua Alexandra pada J. Kerry. Ini bisa dimengerti karena kedua

orangtua tersebut ternyata anggota partai Republik, lawan partai Kerry.

Setelah itu muncul lagi isu lain. Kali ini J. Kerry ditampilkan berfoto bareng

dengan seorang artis tenar Jane Fonda di suatu panggung. Mereka terlihat berfoto

berdampingan pada acara protes anti perang Vietnam puluhan tahun yang lalu.

Bagaimana mungkin? Keduanya berasal dari partai yang berbeda. Setelah diselidiki

foto itu ternyata hasil ‘cropping - pemaduan gambar’. Foto Kerry diambil ketika dia

berbicara pada rally perdamaian di New York, sedang foto Jane Fonda dikutip ketika

dia tampil berpidato untuk partai Republik di pantai Miami, Florida.

Page 7: Opini Pemilu

Ulasan di atas telah menyajikan bagaimana penggunaan 3 (tiga) jenis senjata

kampanye yang digunakan untuk melemahkan posisi seorang bakal presiden. Selain

itu telah ditunjukkan pula bagaimana peran penting dari profesional dan peliputan

media massa dalam menyelidiki, mengungkap dan menyajikan keakuratan berita

mengenai seorang calon. Hal ini tentu tak mudah dilakukan akibat beberapa kendala

seperti: waktu investigasi yang singkat, tenaga profesional yang terbatas, dan bias

pada media. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, sekelompok peneliti dari

disiplin ilmu Komputer Korea Selatan telah berhasil mengembangkan dan

meluncurkan suatu produk jasa pelayanan internet bernama Newscube/PolyNews.

Dengan mesin pencari berita ini seorang pengguna dapat melihat berbagai

pemberitaan/perspektif (baik yang pro maupun yang kontra) terhadap suatu isu.

Page 8: Opini Pemilu

Menentukan Elektabilitas Calon Presiden

(Opini untuk harian FAJAR 29 Mei 2009)

Menghadapi Pilpres mendatang, media massa amat gencar mempopulerkan

suatu besaran yang disebut elektabilitas (electability). Besaran ini konon dapat

meramalkan kemungkinan terpilihnya sepasang calon. Itulah sebabnya besaran ini

bisa menjadi momok bagi pasangan yang elektabilitasnya kecil dan di lain pihak ia

bisa menjadi angin surga bagi pasangan dengan elektabilitas tinggi. Mari kita

berkunjung ke Amerika Serikat yang merupakan negara asal besaran impor ini. Untuk

mewujudkan maksud tersebut, kita tak membutuhkan biaya yang mahal cukup

berbekal fasilitas internet untuk singgah ke beberapa situs (website). Masing-masing

situs tersebut menyajikan beberapa rumus/algoritma empiris untuk menghitung

elektabilitas presiden dan wakil presiden Amerika.

1. http://members.bellatlantic.net/~vze3fs8i/air/Elections.htm

Elektabilitas menurut Debowy dan Schulman. Daniel Debowy berasal dari

institusi School of Medicine New York Univ, sedangkan Eric Schulman berasal dari

Alexandria, Virginia. Rumus empiris elektabilitas mereka bergantung pada beberapa

faktor. Faktor-faktor yang menaikkan elektabilitas seorang calon presiden adalah: ia

adalah mantan presiden, mantan anggota DPR, mantan gubernur, mantan jenderal

bintang empat/lima, mantan rektor, atau putera (i) senator. Adapun faktor-faktor yang

menurunkan elektabilitas seorang calon presiden adalah: ia pernah cerai, pernah jadi

jaksa penuntut, pengikut agama tertentu misalnya protestan atau katolik, anggota

organisasi pelobi saat pemilihan berlangsung.

Adapun elektabilitas untuk calon wapres mirip dengan elektabilitas calon

presiden kecuali dua faktor yakni: (1) mantan jenderal digantikan oleh mantan bankir

dan (2) tak ada faktor perceraian sang calon. Debowy dan Schulman selanjutnya

mendemonstrasikan keampuhan formula mereka dalam memprediksi (baik hindcast

maupun forecast) presiden/wakil presiden Amerika Serikat mulai dari tahun 1789

(Presiden George Washington dengan elektabilitas 110) hingga tahun 2000 (pasangan

partai Republik George Bush/Dick Cheney dengan elektabilitas 77 melawan pasangan

partai Demokrat Al Gore/J. Lieberman dengan elektabilitas 8). Menurut algoritma ini,

pada tahun 2004 partai demokrat sebenarnya bisa menempatkan calon presidennya

(H. Dean dengan elektabilitas 132) untuk mengalahkan presiden incumbent G. Bush

Page 9: Opini Pemilu

dengan elektabilitas 86). Sayang sekali pada tahun 2004, partai demokrat memajukan

jagonya J. Kerry dengan elektabilitas minus 110 karena ia bercerai.

Ada juga situs yang menyajikan model elektabilitas oleh Eric Schulman

(http://members.verizon.net/~vze3fs8i/air/pres2004.html). Model ini juga menyajikan

hasil prediksi pilpres USA sejak tahun 1932 (F.D Roosevelt versus H.C. Hoover)

hingga tahun 2004 (G. Bush vs W. J. Janklow vs J. B. Hunt Jr). Pada pemilihan tahun

2004 itu nilai elektabilitas G. Bush lebih rendah dari nilai para pesaingnya, namun

ternyata G. Bush yang muncul sebagai pemenang.

2. http://www.csbsju.edu/uspp/Research/Election-Outcome_Prediction.html

Indeks Elektabilitas Pribadi (PEI – Personal Electability Index) Immelman.

Indeks ini dikembangkan oleh Aubrey Immelman dari Unit Kajian Kepribadian dalam

Politik, St John’s University, Collegeville, USA. Indeks ini juga tersusun oleh

beberapa faktor yang menggambarkan kepribadian seseorang yang terangkum dalam

MIDC (Milton Inventory of Diagnostic Criteria). Faktor-faktor yang menaikkan nilai

indeks adalah: ekstraversi (pola outgoing – mampu bersoalisasi di masyarakat),

narsisme (pola self-love – cinta (penampilan) diri, dan dominansi (pola pengatur dan

tak bergantung). Sedangkan faktor-faktor yang menurunkan nilai indeks adalah:

introversi (pola penyendiri) dan kehati-hatian (pola dutiful/conscientiousness –

perfeksionis dan teratur).

Bagaimana hasil indeks ini jika diterapkan pada para calon presiden pada

pemilu 2008 di Anerika Serikat. Setelah dihitung diperoleh bahwa nilai PEI untuk

masing-masing calon dari partai Demokrat (D) dan partai Republik (R) berturut-turut

adalah: B. Obama (28, D), J. McCain (26, R), H. Clinton (23, D), M. Huckabee (22,

R), R. Giuliani (19, R), J. Edwards (13, D), F. Thompson (12, R), dan M. Romney (6,

R). Hasil prediksi PEI ini cocok dengan hasil pilpres Amerika Serikat yakni B.

Obama (D) yang terpilih jadi presiden setelah mengalahkan pesaingnya yakni J.

McCain (R). Ada suatu hal yang menarik tentang indeks ini bahwa ia tak

menyebutkan nilai wakil presiden terpilih yakni Joe Biden pada urutan tersebut.

3. http:// http://www.gallup.com/poll/103366/Whom-Would-Americans-Vote-Next-

November.aspx

Elektabilitas menurut survei nasional Gallup. Gordon Gallup adalah seorang

psikologis yang merupakan pionir teknik pengambilan sampel survei dan penemu poll

Page 10: Opini Pemilu

Gallup/USA Today. Pada poll ini, para calon presiden dari partai Republik dan

Demokrat akan dibandingkan elektabilitasnya (dinyatakan dalam persen) berdasarkan

survei para pemilih terdaftar. Sebagai contoh, poll pada tanggal 14-16 Desember 2007

menunjukkan bahwa para calon dari partai Demokrat (baik Obama maupun Clinton)

mampu mengungguli para pesaingnya dari partai Republik yakni (Giuliani, Huckabee

dan Romney) dengan selisih (margin) minimum 1% (Clinton vs Giuliani) dan

maksimum 18% (Obama vs Romney). Berdasarkan survei semacam ini kita juga

dapat mengikuti perjalanan ’ketersukaan (favorability)’ dua calon dari masing-masing

partai misalnya Obama (D) dan McCain (R). Pada bulan Maret 2007, favorabilitas

Obama adalah 53 sedangkan McCain memperoleh 57. Namun, beberapa saat

menjelang Pilpres (survei 31 Oktober 2008 hingga 2 November 2008), keadaan

berbalik dimana Obama memperoleh 62 sedangkan McCain hanya mendapat 50.

Perlu diingat bahwa pilpres Amerika Serikat yang dilaksanakan pada tanggal 4

November 2008 itu ternyata membawa B. Obama ke kursi presiden.

Tampak bahwa elektabilitas Gallup pun dapat menjadi indikator pemenang

pilpres. Pertanyaan yang menarik adalah apa yang terjadi jika pemilih tak memilih

seseorang yang elektabilitasnya tertinggi. Fenomena ini dikenal sebagai ’kutukan

elektabilitias – the curse of electability) seperti dicontohkan oleh Tom Niblock pada

blognya http://thomasniblock.blogspot.com/2007/12/curse-of-electability.html. Dia

memberi dua contoh. Pertama, pada pemilu 2004, semestinya Howard Dean dari

partai Demokrat yang sejogyanya maju menjadi penantang ’incumbent’ G. Bush dari

partai republik. Hal ini didasarkan pada nilai elektabilitas Dean yang tertinggi

dibanding calon lainnya. Namun, partai Demokrat malah memajukan calon lain yakni

John Kerry karena menurut pendukungnya, hanya Kerry-lah yang mampu

mengungguli G. Bush via reputasinya yang cemerlang dalam perang Vietnam. Pada

pilpres 2004 itu, pemenangnya adalah G. Bush. Kedua, pada pemilu 2008 kutukan

kembali terjadi Namur kali ini ia menimpa partai Republik. Semestinya yang maju

menjadi calon dari partai Republik berdasarkan elektabilitasnya adalah M. Huckabee,

namun ia tak terpilih oleh partainya karena ia dianggap kurang mengetahui tentang

kebijakan luar negeri. Hasilnya calon yang diajukan oleh partai Republik adalah John

McCain yang ternyata tak mampu mengungguli B. Obama dari Demokrat.

Uraian di atas telah menjelaskan 3 model elektabilitas yang ditemui di negara

demokrasi tertua didunia. Tentu ada beberapa hal yang tampaknya mesti disesuaikan

sebelum model tersebut diadopsi di negara kita yang baru saja memasuki era

Page 11: Opini Pemilu

pemilihan langsung. Hal ini disebabkan dengan adanya beberapa perbedaan misalnya

pada jumlah partai dan jumlah pasangan capres/wapres yang juga lebih banyak.

Namun demikian ada beberapa hal yang menarik untuk direnungkan seperti: presiden-

presiden kita yang lalu dan saat ini tampaknya orang-orang yang ’top’ di kelasnya:

ada jenderal, ada professor, dan ada pimpinan ormas terbesar. Selain itu mereka juga

memiliki unsur kepribadian seperti cinta-diri, mendominasi, dan sosial. Tampaknya

perangkat kualitas ini mestilah dimiliki oleh seorang pemimpin ... kapan saja dan

dimana saja.