online public access catalog - perpusnas...
TRANSCRIPT
v
ABSTRAK
RABIYATUL UZDA. KAPASITAS LEKATAN TULANGAN ULIR PADA
BETON AIR LAUT (dibimbing oleh. Muh. Wihardi. Tjaronge dan Rita
Irmawaty)
Air laut mengandung sekitar 35.000 ppm garam terlarut yang dapat meningkatkan risiko korosi pada tulangan baja dalam beton. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai kuat lekat pada beton air laut dengan baja tulangan.
Penelitian ini menggunakan metode uji eksperimental di laboratorium yang meliputi pengujian kuat tekan, pengujian kuat tarik belah beton, pengujian kuat tarik tulangan, pengujian pull out serta pengamatan visual uji karbonasi. Benda uji dalam penelitian ini dibuat dengan 3 jenis perlakuan curing yang berbeda yaitu curing basah (rendam air laut), curing kering (suhu ruangan), dan curing basah kering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuat tekan pada umur 28 hari untuk curing suhu ruangan 17,15 MPa, curing rendam 16,895 MPa dan curing basah-kering 19,367 MPa. Sedangkan hasil pengujian kuat tarik belah usia 28 hari di peroleh hasil curing suhu ruangan 7,55 MPa, curing rendam 8,85 MPa dan curing basah-kering 7,55 MPa. Hasil penelitian tegangan lekat usia 28 hari untuk curing suhu ruangan 5.46 MPa, curing rendam 5.94 MPa dan curing basah-kering 4.90 MPa.
Berdasarkan hasil penilitian ini dapat disimpulkan bahwa kuat tekan beton curing basah-kering memiliki hasil lebih tinggi dibandingkan kedua curing lainnya sedangkan untuk kuat tarik belah dan tegangan lekat beton curing basah lebih tinggi dari pada curing suhu ruangan dan curing basah-kering.
Kata kunci : Daya lekat, Beton bertulang, Air laut, Beton Air Laut
vi
ABSTRACT RABIYATUL UZDA. BONDING CAPACITY OF DEFORM BAR IN SEA WATER CONCRETE (Supervised by Muh. Wihardi. Tjaronge and Rita Irmawaty)
The seawater contains about 35,000 ppm dissolved salt which can
increase the risk of corrosion in steel reinforcement embedded in concrete.
This study aims to determine the value of bond strength of sea water
concrete with steel reinforcement.
This research uses experimental test method in laboratory which
includes compressive strength test, concrete split tensile strength test,
tensile strength of deform bar, pull out test and visual observation of
carbonation test. The specimens in this study werw made in 3 different types
of curing, ie : wet curing, dry curing and wet-dry curing.
The result of the research obtain that the compressive strength for 28
days for dry curing is 17.15 MPa, while for wet curing and dry-wet curing
about 16.895 MPa and 19.367 MPa, respectively the split tensile strength of
concrete after 28 days for dry curing, wet curing, and dry-wet curing are 7.55
MPa, 8.85 MPa and 7.55 MP, respectively. The bond strength specimen for
28 days in dry curing is 5.46 MPa, whereas specimen in the wet curing and
dry wet curing showed bond strength about 5.94 MPa and 4.90 MPa,
respectively.
Based on the result, compressive strength in wet-dry curing showed
higher value than others curing types, while specimen in wet curing presented
the value of split tensile strength and bond strength higher than dry curing
and wet-dry curing.
Keywords : Bond Strength, Reinforced concrete, Seawater, Seawater
Concrete
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena saat ini dimana kebutuhan air tawar dalam kehidupan
sehari-hari semakin meningkat namun potensi sumber air tetap sehingga
air bersih hanya untuk keperluan primer saja. Untuk itu perlu difikirkan
alternatif penggunaan air untuk pekerjaan konstruksi beton. dalam kaitan
ini, diadakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui daya lekat pada
tulangan dan beton yang menggunakan air laut dan pasir laut sebagai
bahan penyusunnya.
Beton didefinisikan sebagai campuran antara semen portland atau
semen hidraulik yang lain, agregat halus, agregat kasar, dan air, dengan
atau tanpa bahan tambahan yang membentuk massa padat (SK SNI T-15-
1991-03). Beton merupakan bahan yang sangat banyak digunakan dan
menjadi unsur utama pada bangunan. Banyaknya penggunaan beton
dalam suatu konstruksi menuntut upaya penciptaan mutu yang baik.
usaha yang serius terhadap upaya pengembangan teknologi perlu
didukung dengan penelitian guna menyempurnakan kekurangan-
kekurangan yang dimiliki oleh suatu bahan bangunan.Hal ini karena beton
mempunyai beberapa kelebihan antara lain mudah dibentuk sesuai
kebutuhan, mudah pengerjaan dan perawatannya, kuat menahan gaya
tekan, serta tahan terhadap api dan korosi. Disamping kelebihan tersebut,
2
beton juga mempunyai kekurangan terutama karena sifatnya yang getas
dan tidak mampu menahan tarik. Untuk menahan gaya tarik, beton diberi
baja tulangan sehingga menjadi beton bertulang.
Kekuatan lekatan merupakan hasil dari beberapa parameter, yang
antara lain adhesi antara beton dengan permukaan tulangan baja (Edward
G. Nawy, 1990).Kerjasama antara baja tulangan dengan beton dapat
terwujud dengan adanya lekatan sempurna antara tulangan baja dengan
beton keras yang menyelimuti tulangan baja. Baja tulangan ulir lebih
diutamakan pemakaiannya sebagai batang tulangan beton struktur. Salah
satu tujuan dari ketentuan ini adalah agar struktur beton bertulang
tersebut memiliki keandalan terhadap efek gempa, karena antara lain
terdapat lekatan yang lebih baik antara beton dengan tulangannya (L.
Wahyudi danSyahril A. Rahim, 1997).
Salah satu persyaratan dasar dalam konstruksi beton bertulang
adalah adanya lekatan antara baja tulangan dan beton, daya lekat antara
beton dan baja tulangan merupakan satu faktor penting yang harus
diperhatikan dalam perencanaan beton bertulang sehingga ketika pada
struktur beton tersebut diberikan beban tidak akan terjadi slip antara baja
tulangan dan beton. Kuat lekat yang bagus antara beton dan baja
haruslah terpenuhi agar gaya tarik yang bekerja pada tulangan dapat
tersalurkan dengan sempurna. slip selain dapat mempengaruhi kekuatan
struktur juga dapat menyebabkan terlepasnya tulangan dari beton. Selain
itu panjang penyaluran yang cukup juga dibutuhkan untuk mentransfer
3
gaya tarik yang bekerja pada tulangan sehingga baja tulangan tidak
terlepas atau tertarik dari beton.
Keruntuhan suatu struktur dapat disebabkan salah satunya karena
kurangnya lekatan antar tulangan dengan beton, untuk itu perlu
diperhatikan kuat lekat antara beton dan baja tulangan agar diperoleh
keseimbangan gaya antara baja tulangan dan beton. Untuk menghindari
hal tersebut perlu ditinjau nilai kuat lekat beton dan baja tulangan agar
diperoleh keseimbangan gaya antara baja tulangan dan beton.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka saya melakukan penelitian
tentang pengujian lekatan tulangan ulir pada beton yang menggunakan
campuran air laut, pasir laut, dan semen komposit. Penelitian yang
dilakukan diwujudkan dalam penyusunan Tesis dengan judul :
“KAPASITAS LEKATAN TULANGAN ULIR PADA BETON AIR LAUT”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Berapa besar nilai kuat tekan dan kuat tarik belah pada beton
yang menggunakan campuran air laut dan pasir laut sebagai
bahan penyusunnya ?
2. Berapa nilai tegangan lekat antara beton campuran air laut,
pasir laut dengan baja tulangan ?
4
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka diperlukan adanya
tujuan penelitian untuk menjawab rumusan masalah yang terjadi. Tujuan
penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Menganalisa sifat-sifat mekanik beton air laut (nilai kuat tekan
dan kuat tarik belah).
2. Menganalisa tegangan lekat tulangan ulir terhadap beton air
laut.
D. Batasan Masalah
Untuk mencapai tujuan penelitian dan menghindari pembahasan
diluar dari konsep penelitian, maka pada penelitian ini dibatasi pada hal-
hal sebagai berikut :
1. Pokok bahasan pada penelitian ini adalah pengujian slump flow,
kuat tekan beton, kuat tarik belah beton, dan analisa tegangan
lekat.
2. Pedoman yang digunakan sebagai acuan adalah ASTM C900-
06 (Pullout Strength of hardened concrete), ASTM C39/C 39M-
01 (Compressive Strength of Cylindrical Concrete Specimens),
ASTM A 992 M (Specification for steel for structural shapes).
3. Pengujian “pull-out test” menggunakan alat Universal Testing
Machine kapasitas 100 kN dengan modifikasi seperlunya dan
menggunakan sampel uji berbentuk silinder.
5
4. Tipe dan diameter tulangan yang diuji adalah tulangan ulir
(deform bar) dengan diameter 19 mm, ukuran berdasarkan
penelitian terdahulu oleh Mochammad afiudin, UNS 2013.
5. Benda uji yang digunakan berupa silinder dengan ukuran
diameter 15cm dengan tinggi 30cm sebanyak 33 buah untuk
pengujian kuat tekan beton, 33 buah untuk pengujian Kuat tarik
belah beton, dan 33 buah untuk metode pengujian pull out.
6. Variasi curing rendam air laut (basah), curing basah kering, dan
curing suhu ruangan (kering) dengan umur pengujian 3, 7, 28,
dan 90 hari.
7. Komposisi campuran diperoleh melalui mix design dengan
metode DOE.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
menjadi salah satu referensi dalam melakukan penelitian lanjutan tentang
nilai lekatan antara tulangan dan beton, dan sejauh mana pengaruh
penggunaan air laut dan pasir laut dalam menetukan nilai lekatan.
2. Manfaat teoritis
a) Memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya teknologi beton bertulang.
6
b) Menambah pengetahuan tentang beton bertulang dalam struktur.
c) Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam perencanaan struktur beton bertulang agar lebih aman,
ekonomis dan efisien.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HASIL PENELITIAN SEBELUMNYA
Berdasarkan Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Surya Sebayang,
mengenai Tinjauan panjang lekatan antara beton normal dengan tulangan
akibat beban static didapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Adukan beton yang ada cukup workable, tidak terjadi segregasi
pada adukan beton.
2. Kuat tekan beton sesuai dengan kuat tekan rencana beton normal
3. Persentase tegangan lekat tulangan polos hanya sebesar 23,6 %
terhadap tegangan lekat tulangan ulir pada beton normal
4. Tegangan lekat antara beton dengan tulangan polos maupun
tulangan ulir berbanding lurus dengan kuat tekan beton
5. Persamaan panjang penyaluran tulangan ulir yang diperoleh dari
penelitian lebih kecil dari persamaan panjang penyaluran dari ACI
318 M-1992, SKSNI T-15-1991-03, dan SNI-03-2847-2002 .
Persamaan panjang penyaluran tulangan polos yang diperoleh
dari penelitian hampir sama dengan persamaan panjang
penyaluran dari Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971.
8
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukakn oleh Trisnawathy
mengenai Perilaku Variasi Lekatan Tulangan Ulir terhadap beton SCC
dengan Styrofoam didapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Dari hasil pengujian pull-out test, untuk scc d10 tulangan putus
pada tegangan 10.89 mpa, scc d12 tulangan putus pada
tegangan 11.41 mpa, dan untuk scc d13 tulangan putus pada
tegangan 12.61 mpa. Karena tulangan pada seluruh sampel
putus maka dapat disimpulkan bahwa tegangan lekat untuk
seluruh sampel scc lebih besar dari tegangan yang terukur
pada pengujian. Hal ini disebabkan karena tulangan telah
mencapai tegangan leleh dan ultimit kemudian mengalami
keruntuhan putus.
2. dari hasil pengujian pull-out test, untuk scc-styrofoam d10
tulangan slip pada tegangan 7.43 mpa, scc-styrofoam d12
tulangan slip pada tegangan 9.91 mpa, dan untuk scc-
styrofoam d13 tulangan slip pada tegangan 10.94 mpa. karena
tulangan pada seluruh sampel slip maka dapat disimpulkan
bahwa tegangan lekat untuk seluruh sampel scc-styrofoam
sudah dapat menggambarkan besarnya tegangan lekat pada
scc-styrofoam.
3. dari data hasil pengujian pull out test, nilai tegangan lekat
antara scc dan scc-styrofoam di atas, dapat disimpulkan bahwa
semakin besar diameter semakin tinggi tegangan lekat karena
9
bidang tulangan yang terselimuti beton semakin besar. selain
itu tegangan lekat pada scc lebih besar dari sccv- 2 styrofoam
karena pengaruh rongga pada styrofoam yang dapat
mengurangi lekatan.
4. Panjang penyaluran dasar minimum pada seluruh sampel scc
lebih kecil dari panjang penyalurannya. Untuk scc d10 panjang
penyaluran dasar minimum lebih kecil dari 100 mm, untuk d12
panjang penyaluran dasar minimum lebih kecil dari 120 mm,
dan untuk d13 panjang penyaluran dasar minimum lebih kecil
dari 130 mm. Hal ini disebabkan karena keseluruhan tulangan
sampel putus sehingga panjang penyaluran yang ada telah
melebihi panjang penyaluran dasar minimum.
5. Panjang penyaluran minimum dari hasil perhitungan dengan
menggunakan persamaan (3) pada scc-styrofoam sebesar
562.77 mm untuk diameter 10 mm, 687.69 mm untuk diameter
12 mm, dan 759.66 mm untuk diameter 13 mm. Dari data dapat
disimpulkan bahwa semakin besar diameter maka semakin
besar panjang penyaluran dasar yang dibutuhkan
6. Beton scc dapat digunakan pada struktur utama seperti pada
kolom dan balok sedangkan beton scc-styrofoam dapat
digunakan pada struktur ringan seperti pada dinding.
10
Berdasarakan hasil penelitian yang dilakukan oleh slamet widodo
mengenai studi eksperimental kuat lekat tulangan pada pengecoran
beton di bawah air dengan bahan tambah polycarboxylate diddapat
kesimpulan sebagai berikut :
1. Penambahan polycarboxylate sampai dengan 1,3% dari total
berat binder, dapat meningkatkan workability (slump) sebesar
45,71%, flowability meningkat 36,25% dan filling-ability
meningkat 114,29% pada faktor air semen 0,40.
2. Kuat lekat tulangan beton di bawah air berbanding lurus dengan
penambahan polycarboxylate pada beton segar. Penambahan
polycarboxylate sebesar 1,3% dari total berat binder dapat
meningkatkan kuat lekat tulangan sampai 127,17%.
3. Nilai kuat tekan dan kuat lekat tulangan beton yang dituang di
bawah air akan meningkat sejalan dengan peningkatan
kelecakan beton segar. Penggunaan beton segar yang
tergolong self-compacting concrete dan highly-flowable concrete
dapat meningkatkan kualitas beton secara signifikan.
4. Beton yang dituang di bawah air memiliki nilai kuat lekat
tulangan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan standar kuat
lekat tulangan beton normal menurut SNI 1992. Penambahan
polycarboxylate dapat meningkatkan nilai korelasi antara kuat
lekat tulangan beton di bawah air dengan standar kuat lekat
tulangan beton normal yang dihitung menurut SNI 1992
11
(tUW/tSNI ) hingga mencapai nilai 71,83% pada penggunaan
polycarboxylate dengan takaran 1,3%
B. KERANGKA PIKIR
Garis besar kerangka pemikiran untuk penelitian adalah sebagai
berikut :
Skema 2.1 Kerangka Pikir
Latar belakang :
Kemampuan lekatan antara tulangan dan beton yang menggunakan air laut
dan pasir laut sebagai elemen penyusun beton.
Persiapan benda uji dan
kerangkeng yang telah dimodifikasi
untuk menahan sample pada uji pull
out.
Material : Tulangan Deform
dan Beton yang
menggunakan campuran air
laut dan pasir laut.
Pengujian sample : Tulangan dan
benda uji berupa silinder
Diperoleh data :
Kuat tekan, kuat tarik, dan
daya lekat..
Analisis hasil pengujian
Kesimpulan
12
C. KARAKTERISTIK BETON AIR LAUT
1. TINJAUAN UMUM
a. Air Laut
Sebagian besar permukaan bumi merupakan wilayah laut yaitu
mencapai 70,8% (Rompas, R.M. dkk). Air laut merupakan campuran
dari 96,50% air murni dan 3,50% material lainnya seperti garam-
garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel
tak terlarut serta memiliki sifat korosifitas yang sangat agresif.
Air yang ada dalam perairan tidak berbentuk murni namun
terasosiasi dengan beberapa garam, para ahli sepakat ukuran garam-
garam yang terlarut dalam air laut menggunakan satuan salinitas
(salinity). Salinitas air laut umumnya berkisar antara 23-37%
tergantung pada kondisi wilayahnya, yakni yang banyak curah hujan,
muara sungai, limpasan es dan salju dan daerah setengah tertutup.
Air laut memiliki kadar garam rata-rata sekitar 35.000 ppm atau
35 g/liter. Kandungan kimia utama dari air laut adalah klorida (Cl),
natrium (Na). magnesium (Mg), Sulfat (SO4). Nilai pH air laut
bervariasi 7,5 – 8,4. kebanyakan air laut mempunyai komposisi yang
serupa, berisi 3,5% garam larut. pH air laut bervariasi 7,5 – 8,4, rata-
rata sekitar 8,2.
b. Beton Pada Daerah Laut
Sebagian besar permukaan bumi merupakan wilayah laut. Di
dalamnya terkandung berbagai sumber daya alam yang sangat besar
13
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Mulai dari sumber makanan
seperti ikan dan tumbuhan laut, sumber energi seperti minyak bumi
dan pembangkit tenaga listrik tenaga gelombang, sebagai sarana
transportasi dan tempat wisata. Semua itu membuat manusia dapat
memanfaatkannya semaksimal mungkin. Untuk memanfaatkan
berbagai potensi tersebut, dibangun berbagai prasarana penunjang.
Prasarana penunjang tersebut seperti pelabuhan laut, anjungan lepas
pantai, jembatan, tempat peristirahatan dan sebagainya.
Dalam proses pembuatannya kontak dengan air laut terkadang
tidak dapat dihindarkan. Air laut sendiri memiliki kandungan garam
yang tinggi yang dapat menggerogoti kekuatan dan keawetan beton.
Hal ini disebabkan klorida (cl) yang terdapat pada air laut yang
merupakan garam yang bersifat agresif terhadap bahan lain, termasuk
beton. Kerusakan dapat terjadi pada beton akibat reaksi antara air laut
yang agresif dan terpenetrasi ke dalam beton dengan senyawa-
senyawa di dalam beton yang mengakibatkan beton kehilangan
sebagian massa, kehilangan kekuatan dan kekakuannya serta
mempercepat proses pelapukan. Umumnya air laut hanya dapat
dipakai untuk beton tanpa tulangan. Meskipun kekuatan awalnya
lebih tinggi dari beton biasa, setelah 28 hari kekuatannya akan lebih
rendah. Pengurangan kekuatan ini dapat dihindari dengan
mengurangi factor air semen (water cement ratio).
14
Bila air bersih tidak tersedia, air laut sebenarnya dapat
digunakan (meskipun sangat tidak diajurkan). Ada resiko korosi pada
tulangan. Tetapi resiko dapat dikurangi bila tulangan mempunyai
penutup beton yang cukup kuat atau baja tulangannya di coating, dan
juga jika betonnya kedap air laut dan terekspose pada lingkungan
maritime harus mempunyai factor air semen lebih kecil dari 0.45 dan
tebal selimut beton sedikitnya 75 mm.
Beton laut dapat dikelompokkan menjadi tiga daerah paparan
yaitu terendam, percikan, dan atmosfer. Daerah terendam secara
terus menerus ditutupi oleh air laut, Daerah percikan dikenakan
pembasahan terus menerus dan pengeringan, dan daerah atmosfer di
atas daerah percikan dan sesekali terkena percikan air laut.
Beton terbentuk dari campuran agregat halus, agregat kasar,
semen dan air dengan perbandingan tertentu. Campuran beton telah
banyak digunakan dalam bangunan sipil seperti gedung pencakar
langit, jembatan, bendungan, dll. Kekuatan beton dipengaruhi oleh
banyak hal, diantaranya oleh material penyusunnya, rancang
campuran, pengerjaan, dan perawatan. Seperti yang telah diketahui,
beton kuat terhadap gaya tekan (f’c) namun lemah terhadap gaya tarik
(f’tr). Kualitas beton harus sesuai dengan spesifikasi struktur untuk
memastikan kekuatan stabilitas struktur dan struktur desain, oleh
15
karena itu diharuskan memverifikasi hal tersebut dengan cara
melakukan pengujian kuat tekan beton.
c. Material Penyusun Beton
1. Semen Portland
Semen Portland terutama mengandung kalsium dan alumina
silica dibuat dari bahan utama limestone yang mengandung
kalsium oksida (CaO), dan lempung yang mengandung silica
dioksida (SiO2) serta alumunium oksida (Al2O3). Setelah melalui
suatu proses industri, semen dipasarkan dalam bentuk bubuk dan
dikemas dalam kantung.Semen berfungsi sebagai bahan perekat
untuk menyatukan bahan agregat kasar dan agregat halus menjadi
satu massa yang kompak dan padat dengan proses hidrasi. Semen
akan berfungsi sebagai perekat apabila diberi air, sehingga semen
tergolong bahan pengikat hidrolis. Kekuatan semen merupakan
hasil dari proses hidrasi. Proses kimiawi ini berupa rekristlisasi
dalam bentuk interlocking-crystals sehingga membentuk gelsemen
yang akan mempunyai kekuatan tekan tinggi apabila mengeras.
memperlihatkan kontribusi relatif masing-masing komponen semen
dalam mencapai kekuatannya. Kekuatan awal semen portland
semakin tinggi apabila semakin banyak persentase C3S. Jika
perawatan kelembaban terus berlangsung, kekuatan akhirnyaakan
lebih besar apabila persentase C2S semakin besar. C3A
mempunyai kontribusi terhadap kekuatan selama beberapa hari
16
sesudah pengecoran beton karena bahan ini yang terdahulu
mengalami hidrasi.
Tabel 2.1 Komponen Penyusun semen
Jika semen portland dicampur dengan air, maka komponen
kapur dilepaskan dari senyawanya. Banyaknya kapur yang
dilepaskan ini sekitar 20% dari berat semen.Kondisi terburuknya
ialah mungkin terjadi pemisahan struktur yang disebabkan oleh
lepasnya kapur dari semen. Situasi ini harus dicegah dengan
menambahkan pada semen suatu mineral silica seperti pozolan.
Mineral yang ditambahkan bereaksi dengan kapur bila ada uap
membentuk bahan yang kuat, yaitu kalsium silikat.Zat kapur adalah
proporsi terbesar dalam pembentukan semen sehingga berperan
menentukan sifat semen. Kelebihan zat kapur berdampak kurang
baik untuk semen, serta menyebabkan disintegrasi (perpecahan)
semen setelah timbul ikatan. Kadar kapur yang tinggi tapi tidak
berlebihan cenderung memperlahan perkerasan tetapi
17
menghasilkan kekuatan awal yang tinggi. Kekurangan kapur
menghasilkan semen yang lemah dan bilamana kurang sempurna
pembakarannya, menyebabkan ikatan yang cepat.Karena berbagai
jenis semen menghasilkan panas yang berbeda-beda, juga dengan
kelajuan pelepasan panas yang berbeda, maka sangat perlu
diketahui untuk struktur apakah semen tersebut digunakan.
Semakin besar dan berat penampang struktur beton, semkin sedikit
panas hidrasi yang di inginkan.
2. Agregat
Agregat adalah butiran mineral alami yang berfungsi sebagai
bahan pengisi dalam campuran beton. Pada beton biasanya
terdapat sekitar 60%-80% volume agregat. Agregat ini harus
bergradasi sedemikian rupa sehingga seluruh massa beton dapat
berfungsi sebagai benda yang utuh, homogen, dan rapat, dimana
agregat yang berukuran kecil berfungsi sebagai pengisi celah yang
ada diantara agregat yang berukuran besar. Bentuk, tekstur, dan
gradasi agregat mempengaruhi sifat pengikatan dan pengerasan
beton segar. Untuk mencapai kuat beton baik perlu diperhatikan
kepadatan dan kekerasan massanya, karena umumnya semakin
padat dan keras massa agregat akan semakin tinggi kekuatan dan
durabilitynya (daya tahan terhadap penurunan mutu akibat
pengaruh cuaca). Sedangkan sifat fisik, kimia, dan mineral
mempengaruhi kekuatan, kekerasan dan ketahanan dari beton,
18
sehingga pemilihanagregat merupakan suatu bagian yang penting
dalam pembuatan beton.
Maksud penggunaan agregat di dalam campuran beton ialah:
1. Menghemat penggunaan semen portland
2. Menghasilkan beton dengan kekuatan besar.
3. Mengurangi penyusutan pada pengerasan beton.
4. Dengan gradasi agregat yang baik dapat tercapai beton padat.
5. Sifat mudah dikerjakan (workabilitas) dapat diperiksa pada
adukan beton dengan gradasi yang baik.
Karena agregat merupakan bahan yang terbanyak di dalam
beton, makasemakin banyak persentase agregat dalam campuran
akan semakin murah harga beton, dengan syarat campurannya
masih cukup mudah dikerjakan untuk elemenstruktur yang
memakai beton tersebut (Edward G. Nawy, 1990). Sifat yang
terpentingdari agregat adalah kekuatan hancur dan ketahanan
terhadap benturan, yangmempunyai pengaruh terhadap ikatan
dengan pasta semen, porositas, dankarakteristik penyerapan air
yang mempengaruhi daya tahan terhadap proses pembekuan pada
musim dingin, dan ketahanan terhadap penyusutan. Berdasarkan
ukuran butiran, agregat dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
agregat halus dan agregat kasar.
19
a. Agregat Halus,
Agregat Halus merupakan agregat isi yang berupa pasir alam hasil
disintegrasi alami dari batu-batuan (natural sand ) atau berupa
pasir buatan yang dihasilkan dari alat-alat pemecah batuan
(artificial sand ) dengan ukuran kecil (0,15-5 mm). Agregat
halusyang baik harus bebas bahan organik, lempung, partikel yang
lebih kecil dari saringan No. 200, atau bahan-bahan lain yang dapat
merusak beton.Persyaratan gradasi agregat halus dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Persyaratan Gradasi Agregat Halus :
b. Agregat Kasar
Agregat kasar didefinisikan sebagai butiran yang tertahan
saringan 4,75 mm(No.4 standart ASTM). Agregat kasar
mempengaruhi kekuatan akhir beton keras dandaya tahannya
terhadap disintegrasi beton, cuaca, dan efek-efek perusak
20
lainnya.Agregat kasar harus bersih dari bahan-bahan organik dan
harus mempunyai ikatanyang baik dengan gel semen. Agregat
kasar sebagai bahan campuran untuk membentuk beton
dapat berupa kerikil atau batu pecah.
Persyaratan gradasi untuk agregat kasar dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel 2.3 Persyaratan Gradasi Agregat Kasar :
3. Air
Air diperlukan pada pembuatan beton agar terjadi reaksi
kimia dengan semen untuk membasahi agregat dan untuk
melumas campuran agar mudah pengerjaannya, umumnya air
minum dapat dipakai untuk campuran beton (Nawy,1990). Di dalam
campuran beton, air mempunyai dua fungsi, yang pertama
untuk memungkinkan reaksi kimia yang menyebabkan pengikatan
dan berlangsungnya pengerasan, dan kedua sebagai pelincir
21
campuran kerikil, pasir dan semen agar memudahkan percetakan.
Proporsi air yang sedikit akan memberikan kekuatan yang tinggi
pada beton, tetapi lemasan beton atau daya kerjanya akan
berkurang yang di akibatkan karena proses hidrasi tidak seluruhnya
selesai. Sedangkan proporsi air yang berlebihan akan memberikan
kemudahan pada waktu pelaksanaan pencampuran, tetapi
kekuatan hancur beton menjadi rendah dikarenakan banyaknya
gelembung air yang terbentuk.Proporsi air ini dinyatakan dalam
rasio air-semen, yaitu angka yang menyatakan perbandingan antar
berat air dibagi dengan berat semen dalam adukan beton
tersebut, pada umumnya dipakai 0,4-0,6 tergantung mutu beton
yang hendak dicapai.
d. Baja Tulangan
Mengingat beton kuat menahan tekan dan lemah dalam
menahan tarik, maka dalam penggunaannya sebagai komponen
struktur bangunan, umumnya beton diperkuat dengan tulangan
yang mampu menahan gaya tarik.. Untuk keperluan penulangan
tersebut digunakan bahan baja yang memiliki sifat teknis
menguntungkan, dan baja tulangan yang digunakan dapat berupa
batang baja lonjoran ataupun kawat rangkaian las (wire mesh) yang
berupa batang kawat baja yang dirangkai dengan teknik
pengelasan. Di dalam setiap struktur beton bertulang, harus
diusahakan supaya tulangan baja dan beton dapat mengalami
22
deformasi secara bersamaan, dengan maksud agar tidak terjadi
penggelinciran diantara keduanya. Ada dua jenis baja tulangan
yaitu, baja tulangan polos dam baja tulangan ulir (deformed ). Baja
tulangan ulir berfungsi untuk menambah lekatan antara beton
dengan baja. Baja tulangan ulir yaitu batang tulangan baja yang
permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip
teratur dengan pola tertentu atau batang tulangan yang dipilin pada
proses produksinya.
Gambar 2.1 Diagram tegangan regangan hasil uji tarik
(Paulay,1975)
Garis O-A menunjukkan fase elastis, pada fase ini hubungan
antara tegangan dan regangan adalah berbanding lurus (linier).
Titik A disebut batas proporsional, tegangan dititik A disebut
tegangan proporsional yang nilainya sangat dekat dengan
tegangan leleh (fy). Gradien kemiringan yang di bentuk oleh garis
O-A menunjukkan modulus elastisitas (E) yang dikenal juga
sebagai young modulus. Garis A-B menunjukkan keadaan plastis
23
yang merupakan garis yang relatif lurus mendatar,dimana tegangan
yang terjadi relatif konstan sedangkan regangannya
terus bertambah. Setelah melampaui titik B tegangan dan regangan
meningkat kembali dan mencapai tegangan maksimum dititik C.
Pada titik C disebut tegangan ultimit (kuattarik baja) dengan nilai
regangan berbeda tergantung mutu bajanya. Fase B-C
disebut pergeseran regangan (strain hardening). Setelah
melampaui titik C, penampang bajamengalami penyempitan
(necking) yang mengakibatkan tegangan menurun danakhirnya
baja putus di D dengan nilai regangan yang berbeda tergantung
mutu bajanya. Fase C-D disebut pelunakan regangan (strain
softening).
2. KUAT TEKAN BETON
Dalam sebuah proses konstruksi, metode uji kuat tekan beton
sangat diperlukan. Uji kuat tekan beton bertujuan untuk memperoleh nilai
kuat tekan beton dengan prosedur yang benar dengan menggunakan
benda uji atau sample beton berbentuk silinder atau kubus.
Ada beberapa bentuk metode pengujian kekuatan tekan beton
yang dapat digunakan diantaranya pengujian-pengujian yang bersifat tidak
merusak (non destructive test), setengah merusak (semi destructive test)
dan yang merusak secara keseluruhan komponen-komponen yang diuji
(destructive test). Destructive test inilah yang paling mendekati nilai kuat
24
tekan beton sebenarnya dimana pengujian ini harus dilakukan di
laboratorium dengan menggunakan alat compression testing machine.
Standar benda uji yang digunakan untuk pengujian kuat tekan beton di
laboratorium adalah silinder 150 x 300 mm (ASTM C-39). Namun apabila
ukuran agregat kurang dari sepertiga diameter silinder 150 x 300 mm,
maka benda uji silinder yang digunakan berukuran 100 x 200 mm (ASTM
STP 169D, Chapter 13). Kuat tekan silinder 100 x 200 mm lebih besar
20% dibandingkan silinder 150 x 300 mm pada umur beton 28 hari dan
berlaku untuk mix design yang sama. Menurut ASTM C-42, perbedaan l/d
(length/diameter) mempengaruhi hasil kuat tekan beton seperti terlihat
pada Tabel 2.4. Pada Gambar 2.2 menjelaskan bahwa perbedaan ukuran
diameter silinder juga mempengaruhi nilai kuat tekan. Menurut SNI-03-
2847-2002, kuat tekan yang dihasilkan oleh benda uji silinder dalam
perencanaan struktur beton dinyatakan dalam satuan Mpa. Bila nilai f’c di
dalam tanda akar, maka hanya nilai numeric dalam tanda akar saja yang
dipakai, dan hasilnya tetap mempunyai satuan Mpa (SNI-03-2847-2002).
Tabel 2.4 Hubungan Antara Rasio l/d dan Kuat Tekan
l/d Faktor koreksi kuat tekan
2,00 1,75 1,50 1,25 1,00
1,00 0,98 0,96 0,93 0,87
25
(Sumber : Concrete, Mindess et al., 2003)
Gambar 2.2 Grafik perbandingan pengaruh ukuran silinder beton terhadap
nilai kuat tekan silinder beton (150 x 300 mm) umur 28 hari.
Sifat beton yang baik adalah jika beton tersebut memiliki kuat tekan
tinggi (antara 20 – 50 Mpa, pada umur 28 hari). Dengan kata lain dapat
diasumsikan bahwa mutu beton ditinjau hanya dari kuat tekannya saja
(Tjokrodimuljo, 1996).
Kekuatan tekan beton akan bertambah dengan naiknya umur
beton, dimana kekuatan tekan beton akan naik secara cepat (linier)
sampai umur 28 hari tetapi setelah itu kenaikannya kecil. Kekuatan tekan
rencana beton dihitung pada umur 28 hari. Kuat tekan beton
mengidentifikasikan mutu dari sebuah struktur. Semakin tinggi tingkat
kekuatan struktur yang dikehendaki, semakin tinggi pula mutu beton yang
dihasilkan.
26
Beton harus dirancang proporsi campurannya agar menghasilkan
suatu kuat tekan rata-rata yang disyaratkan. Pada tahap pelaksanaan
konstruksi, beton yang telah dirancang campurannya harus diproduksi
sedemikian rupa sehingga memperkecil frekuensi terjadinya beton dengan
kuat tekan lebih rendah dari f‟c yang telah direncanakan. Menurut Standar
Nasional Indonesia, kuat tekan harus memenuhi 0,85 f‟c untuk kuat tekan
rata-rata dua silinder dan memenuhi f‟c+0,82 s untuk rata-rata empat buah
benda uji yang berpasangan. (Mulyono, Tri, 2004)
Kekuatan tekan beton dirumuskan sebagai berikut :
f’c = P/A ( MPa = N/mm2 ) ( 1 )
Dimana :
f‟c = Kekuatan Tekan Beton (MPa)
P = Gaya Tekan ( N )
A = Luas Penampang beton ( mm2 )
Pada benda uji silinder pola keruntuhan yang terjadi dapat berupa
pola splitting seperti pada gambar a atau pola geser seperti pada gambar
b atau pola geser dan splitting seperti pada Gambar c, pola kedua dan
ketiga ini biasanya terjadi pada beton mutu tinggi.
27
Gambar 2.3. Pola Keruntuhan Benda Uji Silinder (Joseph Monier, 1867)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan beton, yaitu :
a. Faktor air semen (FAS) dan kepadatan
Didalam campuran beton air mempunyai dua fungsi, yang pertama
untuk memungkinkan reaksi kimia yang menyebabkan pengikatan dan
berlangsungnya pengerasan dan yang kedua sebagai pelicin
campuran kerikil, pasir dan semen agar lebih mudah dalam
pencetakan beton.
Kekuatan beton tergantung pada perbandingan faktor air
semennya, semakin rendah nilai faktor air semen maka semakin tinggi
kuat tekan betonnya (Duff Abrams, 1919). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa semua beton yang mempunyai faktor air semen minimal dan
cukup untuk memberikan workabilitas tertentu yang dibutuhkan untuk
pemadatan, merupakan beton yang terbaik. (L.J. Murdock and K.M.
Brooks, 1979)
28
b. Umur beton
Kuat tekan beton akan bertambah sesuai dengan bertambahnya
umur beton tersebut. Berikut ini adalah perbandingan kuat tekan beton
pada berbagai umur.
Tabel 2.5 Perbandingan kuat tekan beton pada berbagai umur
Umur (Hari) 3 7 14 21 28 90 365
PC biasa 0.40 0.65 0.88 0.95 1.00 1.20 1.35
PC dengan kekuatan awal tinggi
0.55 0.75 0.90 0.95 1.00 1.15 1.20
c. Workabilitas
Workabilitas merupakan tingkat kemudahan pengerjaan beton
dalam pencampuran, pengangkutan, penuangan, dan pemadatanya.
Suatu adukan dapat dikatakan cukup workable jika memenuhi kriteria
sebagai berikut :
1) Plasticity, artinya adukan beton harus cukup plastis (kondisi
antara cair dan padat), sehingga dapat dikerjakan dengan
mudah tanpa perlu usaha tambahan ataupun terjadi
perubahan bentuk pada adukan.
2) Cohesiveness, artinya adukan beton harus mempunyai
gaya-gaya kohesi yang cukup sehingga adukan masih saling
melekat selama proses pengerjaan beton.
29
3) Fluidity, artinya adukan harus mempunyai kemampuan untuk
mengalir selama proses penuangan.
4) Mobility, artinya adukan harus mempunyai kemampuan
untuk bergerak/berpindah tempat tanpa terjadi perubahan
bentuk.
Tingkat kemudahan pengerjaan berkaitan erat dengan tingkat
kelecakan atau keenceran adukan beton. Makin cair adukan maka
makin mudah cara pengerjaannya. Untuk mengetahui kelecakan suatu
adukan beton biasanya dengan dilakukan pengujian slump. Semakin
tinggi nilai slump berarti adukan beton makin mudah untuk dikerjakan.
Nilai slump yang disyaratkan berkisar antara 5 - 12,5 cm
(Tjokrodimuljo,1996). Dalam praktek, ada tiga macam tipe slump yang
terjadi yaitu :
1) Slump sebenarnya, terjadi apabila penurunannya seragam
tanpa ada yang runtuh.
2) Slump geser, terjadi bila separuh puncaknya bergeser dan
tergelincir ke bawah pada bidang miring
3) Slump runtuh, terjadi bila kerucut runtuh semuanya.
30
Gambar 2.4. Tipe-tipe keruntuhan slump (1) slump sebenarnya (2)
slump geser (3) slump runtuh (Sumber : Neville dan Brooks, 1987)
d. Perencanaan Campuran Beton (mix design)
Perencanaan campuran beton (concrete mix design)
dimaksudkan untuk mendapatkan beton dengan mutu sebaik-baiknya,
antara lain:
1) Kuat tekan yang tinggi
2) Mudah dikerjakan
3) Tahan lama
4) Murah / ekonomis
5) Tahan aus
Unsur-unsur pembentuk beton (semen, pasir, kerikil dan air)
harus ditentukan secara proporsional, sehingga terpenuhi syarat-syarat:
1) Nilai kekenyalan atau kelecakan tertentu yang
memudahkan adukan beton ditempatkan pada cetakan /
bekisting (sifat kemudahan dalam mengerjakan) dan
memberikan kehalusan permukaan beton segar.
Kekenyalan ditentukan dari :
31
a) Volume pasta adukan
b) Keenceran pasta adukan
c) Perbandingan campuran agregat halus dan kasar
2). Kekuatan rencana dan ketahanan beton setelah mengeras.
3). Ekonomis dan optimum dalam pemakaian semen.
Ada beberapa metode untuk merencanakan campuran beton,
antara lain menururut SK SNI T-15-1990-03 dengan judul buku “Tata cara
Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal” adalah metode DOE
(Departement of Environment) dari Inggris, metode JIS dari Jepang dan
metode ACI (American Concrete Institute) dari Amerika. Adapun untuk
perencanaan campuran beton pada penelitian ini digunakan cara DOE
dari Inggris.
a. Perencanaan Campuran Beton (mix design) Berdasarkan DOE
(Departement of Environment)
Perencanaan campuran beton dalam penelitian ini
menggunakan campuran menurut cara Inggris (British Standard). Di
Indonesia cara ini dikenal dengan metode DOE (Departement of
Environment). Langkah-langkah dalam perhitungan perencanaan
beton dengan metode DOE adalah sebagai berikut :
1) Penentuan Kuat Tekan Beton
Penentuan kuat tekan beton berdasarkan kekuatan beton
pada umur 28 hari.
32
2) Penetapan Nilai Standar Deviasi (S)
Penentuan nilai standar deviasi berdasarkan 2 hal yaitu :
a) Mutu pengendalian pelaksanaan pencampuran beton,
semakin kecil nilai standar deviasinya maka pengendalian
pelaksanaan pencampuran beton semakin baik.
b) Volume pekerjaan, jika volume pekerjaan (m3
) semakin
besar akan menghasilkan standar deviasi yang kecil.
Tabel 2.6 Mutu pelaksanaan pekerjaan diukur dengan deviasi standar
(kg/cm2
)
Volume pekerjaan Mutu pelaksanaan
Ukuran Satuan (m3) Baik sekali Baik Dapat diterima
Kecil <1000 45<S≤55 55<S≤65 65<S≤85
Sedang 1000-3000 35<S≤45 45<S≤55 55<S≤75
Besar >3000 25<S≤35 35<S≤45 45<S≤65
Sumber : PBI, 1971
3). Penetapan Kuat Tekan Rata-Rata yang Direncanakan
Dengan menganggap nilai dari hasil pemeriksaan benda uji
menyebar normal (mengikuti lengkung dari Gauss), maka kekuatan tekan
beton karakteristik adalah :
σ`bk = σ`bm – 1.645 * S. ( 2 )
Kuat tekan beton rata-rata dapat dihitung dengan rumus :
σ`bm = σ`bk – 1.645 * S , ( 3 )
33
Keterangan :
σ`bm = kuat tekan beton rata-rata (kg/cm2
)
σ`bk = kuat tekan beton yang direncanakan (kg/cm2
)
M = 1.645*S = nilai tambah margin (kg/cm2
)
S = standar deviasi (kg/cm2
)
4). Mencari Faktor Air Semen (FAS)
Faktor air semen merupakan hal terpenting didalam
pembentukan beton Semakin tinggi perbandingan campuran air dan
semen maka beton malah semakin jelek. Untuk meningkatkan mutu
beton maka anda harus mengurangi perbandingan air dan semen.
Faktor air semen ditentukan oleh Tabel 2.7. dan gambar 2.5, yaitu
grafik hubungan antara kuat tekan beton dengan faktor air semen
(f.a.s.).Tabel 2.7. Perkiraan pencapaian kekuatan tekan beton dengan
faktor air semen 0.
Jenis Semen Jenis Agregat Kasar Kuat Tekan (Kg/cm2)
3 7 28 90
Semen Portland biasa (PPC)
Batu ALami 180 270 400 480
Semen Portland tahan sulfat (SRPC)
Batu Pecah 230 330 470 550
Semen Portand cepat mengeras (RHPC)
Batu ALami 250 340 460 530
Batu Pecah
300 400 530 600
Sumber : PBI, 1971
34
Gambar 2.5. Hubungan kuat tekan beton dengan faktor air semen (FAS)
Tabel 2.8. Jumlah semen minimum dan nilai faktor air semen maksimum
Uraian Jumlah semen minimum/m3
beton (kg)
NIlai Faktor Air Semen Maksimum
Beton di dalam ruang bangunan : a. Keadaaan keliling non korosif b. Keadaan keliling korosif
275 325
0.6
0.52
Beton diluar ruang bangunan : a. Tidak terlindungi dari hujan b. Terlindungi dari hujan dan terik
matahari
325 275
0.6 0.6
Beton yang masuk ke dalam tanah : a. Mengalami keadaan basah dan
kering berganti-ganti b. Mendapat pengaruh sulfat
alkali dari tanah atau air tanah
325
275
0.55
0.52
Beton yang berhubungan dengan air : a. Air tawar b. Air laut
275 375
0.27 0.52
(Sumber : PBI, 1971)
5. Penentuan Nilai Slump
Nilai slump adalah nilai yang diperoleh dari hasil
uji slump dengan cara beton segar diisikan ke dalam suatu corong
baja berupa kerucut terpancung, kemudian bejana ditarik ke atas
sehingga beton segar meleleh ke bawah.
35
Besar penurunan permukaan beton segar diukur, dan disebut nilai
slump. Makin besar nilai slump, maka beton segar makin encer dan ini
berarti semakin mudah untuk dikerjakan.
Penentuan nilai slump berdasarkan pemakaian beton untuk jenis
kontruksi tertentu.
Tabel 2.9. Penetapan nilai slump
Pemakaian Beton Nilai Slump (cm)
maksimum Minimum
a. Dinding, Pelat pondasi, dan telapak bertulang
b. Struktur di bawah tanah c. Pelat, kolom, balok dan dinding d. Pengerasan jalan e. Pembetonan Masal
12.5
9.0 15.0 7.5 7.5
5
2.5 7.5 5
2.5
6. Penentuan Nilai Kadar Air Bebas
Kadar air bebas ditentukan oleh tabel 2.10
Tabel 2.10 Perkiraan kebutuhan air permeter kubik beton
Besar Ukuran
Kerikil Maks, (mm)
Jenis batuan Slump (cm)
0-10 10-30 30-60 60-180
10
Batu Alami 50 180 205 225
Batu Pecah 180 205 230 250
20
Batu Alam 35 160 180 195
Batu Pecah 170 190 210 225
40
Batu Alami 15 140 160 175
Batu Pecah 155 175 190 205
(Sumber : PBI, 1971)
36
7. Perhitungan Jumlah Semen yang Dibutuhkan
Kadar atau jumlah semen dapat dihitung dengan rumus :
( 4 )
Hasil yang didapat dari rumus tersebut dibandingkan dengan nilai
yang diperoleh dari tabel 2.8 kemudian diambil nilai yang tertinggi.
8. Penentuan Prosentase Jumlah Agregat Halus dan kasar
Proporsi agregat halus halus ditentukan dengan metode
penggabungan agregat dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
[
] ( 5 )
Keterangan :
Y = perkiraan persentase kumulatif lolos # 9.6 dan # 0.6
menurut BS (British standard) – 882, persentase kumulatif lolos #
9.6 dan # 0.6 bisa menggunakan Spec – Ideal 135 – 882, dimana :
perkiraan persentase lolos ayakan # 9.6 = 50 %
perkiraan persentase lolos ayakan # 0.6 = 18.5 %
Yb = persentase kumulatif pasir lolos ayakan # 9.6 dan # 0.6
Ya = persentase kumulatif split lolos ayakan # 9.6 dan # 0.6
xa = konstanta yang dicari baik dari agregat halus
( )
37
9. Penentuan Berat Jenis Gabungan
Berat jenis gabungan adalah gabungan dari berat jenis agregat
halus dan agregat kasar dengan prosentase dari campuran agregat
tersebut. Berat jenis gabungan dapat dihitung dengan rumus :
( 6 )
10. Penentuan Berat Beton Segar
Berat beton segar dapat ditentukan dengan menggunakan
grafik 2.4. berdasarkan data berat jenis gabungan dan kebutuhan air
pengaduk untuk setiap meter kubik. Cara pembuatan grafik 2.4. dapat
diterangkan sebagai berikut :
a) Buat garis vertikal melalui titik harga kadar air bebas yang
ditentukan. Jika agregat kasar dan halus berbeda maka
perkiraan kadar air dihitung melalui rumus :
( 7 )
Keterangan : Wf = kadar air bebas agregat halus
Wc = kadar air bebas agregat kasar
b) Ikuti kurva yang sesuai dengan harga berat jenis gabungan
sehingga memotong garis vertikal pada point pertama.
c) Jika dalam grafis belum ada harga berat jenis gabungan
yang telah ditentukan, buat kurva yang baru yang sesuai
dengan harga berat jenis gabungan yang telah ditentukan,
yang sesuai dengan garis kurva terdekat. Kurva itu akan
memotong vertikal harga kadar air bebas.
38
d) Tarik garis mendatar melalui titik potong itu. Nilai itu
menunjukkan nilai berat beton segar
Gambar 2.6. Hubungan antara berat isi campuran beton, jumlah air
pengaduk, dan berat jenis SSD agregat gabungan.
3. KUAT TARIK
Salah satu kelemahan beton terlihat dari kemampuan menahan
tarik yang lemah. Dalam setiap konstruksi sipil, untuk dapat menahan
beban tertentu tanpa mengalami keruntuhan di daerah tariknya, beton
diberi perkuatan dengan tulangan baja. Baja tulangan beton terdiri dari
batang, kawat, dan jaring kawat baja las. Yang terpenting dalam baja
tulangan adalah sebagai berikut: (G.Nawy, 1998)
1. Modulus Young, Es
2. Kekuatan leleh, fy
3. Kekuatan batas, fu
4. Mutu baja yang ditentukan
5. Ukuran atau diameter batang atau kawat
39
Selain baja polos juga dapat digunakan baja ulir (deformasi), yaitu
batang tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus,
diberi sirip teratur dengan pola tertentu atau batang tulangan yang dipilin
pada proses produksinya. Kekuatan bending dan fatigue tulangan
tergantung pada keberadaan geometri atau bentuk ulir tulangan. Efek
takikkan (notch effect) ulir tulangan akan mereduksi kekuatan bending dan
fatigue tulangan.
Gambar 2.7. Diagram tegangan regangan hasil uji tarik
(sumber:Ir.Oentoeng, 1999)
40
Gambar 2.8. Diagram tegangan regangan hasil uji tarik yang diarsir
Pada Gambar 2.7 merupakan diagram tegangan regangan carbon
steel A36 dari batang yang ditarik aksial sampai batang patah. Gambar
2.8 merupakan pembesaran kurva tegangan regangan yang diarsir pada
gambar 2.7. Pada gambar tampak batang ditarik sampai mencapai yield
point (titik leleh) yaitu sebesar 36 ksi. Sebelum mencapai titik leleh batang
berada dalam fase elastis. Setelah mencapai titik leleh, tegangan tidak
berubah besarnya tetapi regangannya bertambah sampai mencapai
0,014. Fase ini merupakan fase plastis. Tegangan 0-36 ksi merupakan
garis lurus dengan kemiringan: E = tg α = stress / strain = konstan = 2900
ksi = 2050000 kg/cm2 E disebut modulus elastic atau Modulus Young.
Pada Bj 37 E = 2100000 kg/cm2 sehinggan A36 dan Bj 37 dianggap
sama. Setelah regangan mencapai 0,014, tegangan dan regangan
41
meningkat kembali dan mencapai tegangan maksimum yang disebut
tegangan ultimit (kuat tarik baja). Fase ini disebut pergeseran regangan
(strain hardening). Setelah melampaui titik tegangan ultimit penampang
baja mengalami penyempitan (necking) yang mengakibatkan tegangan
menurun dan akhirnya baja putus. Fase ini disebut pelunakan regangan
(strain softening). Regangan, tegangan leleh dan tegangan ultimit pada
pengujian kuat tarik baja berbeda-beda tergantung mutu bajanya. Pada
tabel 2.11 ditunjukkan nilai tegangan ultimit, tegangan leleh, dan
peregangan minimum berbagai jenis baja.
Tabel 2.11. Sifat mekanis baja structural :
Lekatan adalah kunci untuk mengoptimalisasikan gaya tulangan.
Geometri (bentuk) permukaan tulangan berpengaruh terhadap sifat
lekatan dan menentukan kuat lekat. Lekat geser hanya dapat diperoleh
dengan mengoptimalisasikan ulir tulangan. Aspek parameter yang paling
penting dalam lekatan adalah tinggi dan spasi antar ulir tulangan, suatu
koefisien yang akan diperoleh bila kedua parameter tersebut
dikombinasikan yang biasa disebut dengan relative rib area (fR)
Jenis baja Tegangan putus
minimum, fu (MPa) Tegangan Leleh
minimum, fy (Mpa) Peregangan minimum (%
BJ 34 340 210 22
BJ 37 370 240 20
BJ 41 410 250 18
BJ 50 500 290 16
BJ 55 550 410 13
42
didefinisikan sebagai perbandingan antara luas ulir tulangan dan luas
sekeliling tulangan. FR dapat diketahui melalui persamaan: (Federation
Internationale du Beton, 1999 dalam Made,S. & Lusman, 2011)
fR = γ.hs / cs (1) ( 8 )
(sumber: Federation Internaionale du Beton (fib), 1999 dalam Made,S. &
Lusman,2011).
Dimana :
γ = bentuk ulir tulangan (biasanya 0.5)
hs = tinggi maksimum ulir tulangan
cs = jarak antara ulir tulangan
Tabel 2.12 Nilai Persyaratan Minimum fR Menurut prEN 10080 dan ENV
10080
Diameter nominal D (mm) FR
5-6 0.039
6.5-8.5 0.045
9-10.5 0.052
11-40 0.056
Sumber : Federation internationale du beton (fib), concrete Structure,
1999 dalam Made, S & lusman, 2011).
4. DAYA LEKATAN (BOND STRESS)
Salah satu persyaratan dasar dalam konstruksi beton bertulang
adalah lekatan (bond), lekatan disini adalah hubungan kerja sama antara
baja tulangan dengan beton disekelilingnya. Agar beton bertulang dapat
berfungsi dengan baik sebagai bahan komposit, dimana batang baja
tulangan saling bekerja sama sepenuhnya dengan beton. Untuk menjamin
43
hal ini diperlukan adanya lekatan yang baik antara beton dengan tulangan
dan pada akhirnya akan menghindarkan dari terjadinya slip antara
tulangan dengan beton disekelilingnya. Park dan Paulay (1975)
menjelaskan bahwa tegangan lekatan (Bond stress) adalah tegangan
geser pada permukaan beton, tempat terjadinya transfer beban antara
baja tulangan dan beton di sekelilingnya sehingga memodifikasi tegangan
baja tulangan. Lekatan ini disalurkan secara efektif, dan memungkinkan
dua buah material membentuk sebuah struktur.
Gambar 2.9 Tegangan lekat pada baja tulangan ulir
Mekanisme lekatan antara baja tulangan dan beton menurut Nawi [1998],
Mac Gregor, J.M. [1992] dan [Nuroji,1996] dibentuk antara lain dengan
adanya ;
a. Adhesi, yaitu ikatan kiwiawi yang terbentuk pada seluruh bidang
kontak antara beton dan tulangan akibat adanya proses reaksi
pengerasan antara air dan semen.
b. Gripping, yaitu pegangan akibat penyusutan dari beton yang
telah mengering di sekeliling beton.
44
c. Friksi, yaitu disebabkan adanya permukaan yang tak beraturan
pada bidang kontak antara baja tulangan dan beton.
d. Interlocking, yaitu disebabkan adanya interaksi antara ulir baja
tulangan dengan matrik beton yang mengelilinginya, namun hal
ini tidak terjadi pada baja tulangan polos.
Menurut [Park & Pauly,1975] tegangan lekatan (bond stress)
adalah tegangan geser pada permukaan beton, tempat terjadinya transfer
beban antara baja tulangan dan beton disekelilingnya sehingga
memodifikasi tegangan baja tulangan. Lekatan ini disalurkan secara efektif
dan memungkinkan dua buah material membentuk sebuah struktur
komposit. Untuk menghitung nilai tegangan lekat Park & Pauly
menggunakan rumusan sebagai berikut ;
( 9 )
dimana ;
ld = panjang penyaluran (mm)
db = diameter tulangan baja (mm)
fs = tegangan leleh baja (MPa)
µ = tegangan lekat (MPa)
Kuat lekat antara beton dan baja tulangan akan berkurang apabila
mendapat tegangan yang tinggi beton terjadi retak-retak, bila berlanjut
mengakibatkan retakan yang lebih lebar bersamaan dengan itu akan
terjadi defleksi khususnya pada balok. Fungsi dari beton bertulang
menjadi hilang karena baja tulangan telah terlepas dari beton. Meskipun
45
demikian, penggelinciran yang terjadi antara baja tulangan dan beton di
sekelilingnya, kadang tidak mengakibatkan keruntuhan balok secara
menyeluruh, mekanisme ini di lakukan melalui penjangkaran ujung-ujung
baja tulangan, sekalipun telah terjadi pemisahan di seluruh batang baja
tulangan.
Tulangan ulir dapat meningkatkan kekuatan lekatan yang
disebabkan oleh terjadinya keterpautan (interlocking) antara tonjolan (rib)
dengan beton di sekelilingnya [Park & Pauly,1975]. SK-SNI menentukan
bahwa tegangan lekat antara beton dan baja bekerja secara merata di
sepanjang panjang penyaluran dengan rumusan sebagai berikut ;
√ (2.2)
Panjang penyaluran adalah panjang minimal tulangan tertanam
yang diperlukan untuk menahan gaya dari baja tulangan sampai kondisi
tegangan mengalami kelelehan. Gaya yang dapat ditahan oleh lekatan
sepanjang panjang penyaluran adalah ;
P =μ. d.π.db (2.3)
Kapasitas baja tulangan menerima gaya tarik adalah ;
P =14.π.db2.𝑓y (2.4)
Subtitusikan persamaan (2.3) ke dalam persamaan (2.4) sehingga didapat
d = .𝑓𝑦4.𝜇 (2.5)
Tegangan lekat rata-rata dapat diperoleh dengan mensubtitusikan
persamaan (2.2) ke dalam persamaan (2.5) sehingga diperoleh ;
46
𝜇 √
(2.6)
atau Tegangan lekat rata-rata dapat diperoleh dengan mensubtitusikan
persamaan (2.3) ke dalam persamaan (2.5) sehingga diperoleh ;
𝜇
(2.7)
dimana ;
ld : panjang penyaluran (mm)
Ab : luas penampang tulangan (mm)
db : diameter tulangan (mm)
fy : tegangan leleh baja tulangan (MPa)
f „c : kuat tekan beton (MPa)
µ : tegangan lekat antara baja tulangan dan beton (Mpa)
Menurut [Nawy,1985] ada 3 jenis pengujian yang dapat
menentukan kualitas lekatan elemen tulangan, yaitu pengujian Pull Out,
Embedded Rod dan Pengujian Balok.
a. Keruntuhan Lekatan (Bond Stress Failure)
Keruntuhan lekatan antara baja tulangan dan beton yang
mungkin terjadi pada saat dilakukan pengujian biasanya ditunjukkan
oleh salah satu atau lebih dari peristiwa berikut ini:
1) Transverse Failure yaitu adanya retak pada beton arah
tranversal/melintang akibat tegangan tarik yang tidak dapat
47
ditahan oleh selimut beton, keruntuhan ini akan menurunkan
tegangan lekat antara baja tulangan dan beton.
2) Splitting Failure yaitu adanya retak pada beton arah
longitudinal/memanjang akibat tegangan radial geser yang
tidak dapat ditahan oleh selimut beton, keruntuhan ini akan
menurunkan tegangan lekat antara baja tulangan dan beton.
3) Pull Out Failure/Slip yaitu kondisi dimana baja tulangan
tercabut dari beton tanpa mengalami retak yang diakibatkan
komponen tegangan geser yang memecah lekatan antara
baja tulangan dan beton.
4) Baja tulangan mencapai leleh yaitu apabila baja tulangan
meleleh diikuti oleh kontraksi/pengecilan diameter tulangan.
b. Tension Stiffening Effect
Beton bertulang merupakan bahan komposit yang terdiri dari
baja tulangan dan beton yang menyelimutinya, kedua bahan ini
berintegrasi karena adanya faktor lekatan diantara keduanya. Apabila
daya lekat antara baja tulangan dan beton meningkat maka kapasitas
tarik baja tulangan akan meningkat pula, maka terjadilah Tension
Stiffening, yaitu suatu peristiwa dimana kapasitas tegangan baja
tulangan yang terbungkus oleh beton akan meningkat dibanding
48
dengan baja tulangan dalam keadaan terbuka (bare bar) ketika
dikenakan beban tarik kepadanya [Nuryani,2005].
Beton pada dasarnya adalah campuran dua bagian yaitu
agregat dan pasta. Pasta terdiri dari semen portland dan air, yang
mengikat agregat (pasir dan kerikil/batu pecah) menjadi suatu massa
seperti batuan, ketika pasta tersebut mengeras akibat reaksi kimia
antara semen dan air (1989:5). Salah satu dasar anggapan yang
digunakan dalam perancangan dan analisis struktur beton bertulang
ialah bahwa ikatan antara baja dan beton yang mengelilinginya
berlangsung sempurna tanpa terjadi penggelinciran atau pergeseran.
Berdasarkan atas anggapan tersebut dan juga sebagai akibat lebih
lanjut, pada waktu komponen struktur beton bertulang bekerja
menahan beban akan timbul tegangan lekat yang berupa pada
permukaan singgung antara batang tulangan dengan beton
(1994:181).
Kombinasi beton bertulang dimungkinkan karena adanya
beberapa sifat yang baik di dalam kerjasama antara beton dan baja
tulangan. Sifat yang terpenting adalah beton dan baja mempunyai
tegangan lekat dan tegangan lentur yang cukup besar. Tegangan lekat
timbul antara baja dan beton jika baja ingin berubah tempat terhadap
beton. Gaya tarik dan tekan pada baja menimbulkan tegangan lekat di
tempat kontak baja dan beton. Jika tegangan lekat melalui suatu nilai
batas/baja berubah tempat atau bergeser, perubahan tempat ini
49
menimbulkan tegangan luncur untuk menahan penggeseran (1954:36).
Kuat lekat merupakan kombinasi kemampuan antara baja tulangan
dan beton yang menyelimutinya dalam menahan gaya-gaya yang
dapat menyebabkan lepasnya lekatan antara batang tulangan dan
beton (1993). Gaya lekat terus meningkat seiring bertambahnya
diameter tulangan, hal ini disebabkan karena gaya lekat merupakan
luas bidang singgung dikalikan dengan tegangan lekat penjangkaran.
Agar beton bertulang dapat berfungsi dengan baik sebagai bahan
komposit dimana batang baja tulangan saling bekerja sama
sepenuhnya dengan beton, maka perlu diusahakan supaya terjadi
penyaluran gaya yang baik dari suatu bahan ke bahan yang lain. Untuk
menjamin hal ini perlu ada lekatan yang baik antara beton dengan
tulangan, dan penutup beton yang cukup tebal.
Kuat lekat antara beton dan baja tulangan akan berkurang
apabila mendapat tegangan yang tinggi karena pada beton terjadi
retak-retak. Hal ini apabila terus berlanjut akan dapat mengakibatkan
retakan yang terjadi pada beton menjadi lebih lebar dan biasanya
bersamaan dengan itu akan terjadi defleksi pada balok. Dalam hal ini
fungsi dari beton bertulang menjadi hilang karena baja tulangan telah
terlepas dari beton. Meskipun demikian, penggelinciran yang terjadi
antara baja tulangan dan beton di sekelilingnya, kadang tidak
mengakibatkan keruntuhan secara menyeluruh. Hal ini disebabkan
50
karena ujung ujung baja tulangan masih berjangkar dengan kuat,
sekalipun telah terjadi pemisahan di seluruh batang baja tulangan.
c. Panjang Penyaluran
Dasar utama teori panjang penyaluran adalah dengan
memperhitungkan suatu baja tulangan yang ditanam di dalam massa
beton. Sebuah gaya F diberikan pada baja tulangan tersebut. Gaya ini
selanjutnya akan ditahan antara baja tulangan dengan beton di
sekelilingnya. Tegangan lekat bekerja sepanjang baja tulangan yang
tertanam di dalam massa beton, sehingga total gaya yang harus
dilawan sebelum batang baja tercabut keluar dari massa beton adalah
sebanding dengan luas selimut baja tulangan yang tertanam dikalikan
dengan kuat lekat antara beton dengan baja tulangan.
Gambar 2.10. panjang penyaluran baja tulangan
Agar lekatan antara baja tulangan dan beton tidak mengalami
kegagalan, diperlukan adanya syarat panjang penyaluran. Agar terjadi
keseimbangan antara gaya horisontal,maka beban (N) yang dapat
51
ditahan sama dengan luas penampang baja dikalikan dengan kuat
lekat:
P = Ld . p . d .μ ( 10 )
Dengan mendistribusikan nilai P = fs.Ab maka didapat persamaan :
Ab . fs = Ld . p .d .μ ( 11 )
Agar terjadi keseimbangan, pada perencanaan selalu bertujuan
dicapainya tegangan leleh (fy) pada baja, sehingga fs dalam
persamaan diubah menjadi fy.
Ab . fy = Ld . p .d .μ ( 12 )
Kemudian dengan mengganti nilai Ab dengan
(untuk satu
batang bulat) didapat panjang penyaluran:
Ld =
( 13 )
dengan:
fy = tegangan baja leleh (MPa)
db = diameter baja tulangan (mm)
Ld = panjang penyaluran (mm)
μ = tegangan lekat (MPa)
Rumus yang digunakan untuk menghitung tegangan lekat
lekat baja tulangan ulir berbeda dengan baja tulanngan polos karena
bentuk permukaannya. Baja ulir dapat meningkatkan kapasitas
lekatan karena penguncian dua ulir dan beton di sekelilingnya.
Tegangan lekat yang terjadi diantara dua ulir adalah gabungan dari
beberapa tegangan di bawah ini :
52
a) Tegangan lekat yang dihasilkan dari adhesi di sepanjang
permukaan baja tulangan.
b) Tegangan lekat permukaan.
c) Tegangan lekat yang bekerja di permukaan beton silinder
yang berbatasan dengan baja tulangan ulir.
Gambar 2.11 . Mekanisme keruskaan antara baja tulangan ulir dan beton
(Sumber : R. Park and T. Paulay.1974)
d. Mekanisme Transfer Lekatan
Pada tulangan ulir (ribbed bar) mekanisme lekatan terjadi
beberapa tahap yang dapat dilihat pada Gambar 2.12 Pada tahap
pertama yang terjadi adalah lekatan adhesive,dimana gaya adhesive
ini merupakan kemampuan awal tulangan melawan beton. Tegangan
yang terjadi masih sangat kecil. Setelah terjadi peningkatan nilai
tegangan lekat yang lebih tinggi, mulai terjadi retak cone shape dan
terjadi lekatan friksi dan iterlocking, Pada tahap kedua ini, terjadi
displacement pada tulangan di dalam beton (slip) dimana terjadi
interlocking dan menghasilkan retak radial pada beton. Gaya tahanan
yang terjadi disepanjang tulangan ini biasanya disebut dengan
tegangan lekat atau gaya lekat. Pada tahap ketiga, diawali dengan
53
retak radial. Pada tahap ini tegangan lekat dan kekakuannya di tahan
oleh ulir tulangan di sepanjang panjang penyaluran di dalam matriks
beton. Akhir dari tahap keempat terjadi dua bentuk kegagalan lekatan.
Dapat di lihat pada Gambar 2.12
Gambar 2.12. Mekanisme Transfer Lekatan Tulangan Ulir Pull Out Test.
(sumber: fib, reinforced concrete, 199 dalam Made,S. & Lusman,2011)
Gambar 2.13. Deformasi disekitar tulangan. (a). splitting bond failure (b).
pull-out bond failure. (sumber: fib, reinforced concrete, 1999 dalam
Made,S. & Lusman,2011)
e. Sifat –Sifat Keruntuhan Lekatan
Keruntuhan lekatan antara beton dan tulangan pada pengujian
tegangan lekat, pada umumnya ditunjukkan oleh terjadinya salah satu
dari berikut ini : (mindess,s.,1994 dalam panggoa,v.,2011)
54
1) Splitting failure
Kondisi ini ditunjukkan adanya retak pada beton
akibat tegangan tarik yang tidak bisa ditahan oleh cover
beton, keruntuhan ini mengakibatkan menurunnya tegangan
lekat antara beton dan tulangan.
2) Pull out failure (slip)
Merupakan suatu kondisi keruntuhan dimana besi
tulangan tercabut dari dalam beton tanpa mengalami retak
yang diakibatkan oleh komponen tegangan geser yang
memecahkan beton diantara uliran tulangan.
3) Keruntuhan tarik beton
Merupakan suatu kondisi dimana penampang beton
tidak mampu menerima tegangan tarik yang disalurkan oleh
tulangan.
4) Tulangan mencapai leleh dan akhirnya putus.
Kuat lekatan jauh lebih besar dari pada kuat putus
tulangan, sehingga tulangan putus.
5. UJI KARBONASI PADA BETON DENGAN CAMPURAN AIR LAUT
DAN PASIR LAUT
Beton yang selama ini dikenal sebagai material yang “tahan karat”,
sebenarnya bisa juga mengalami korosi sebagaimana korosi atau karat
yang terjadi pada struktur baja. Korosi yang dimaksud disini adalah
55
kerusakan material beton tersebut akibat proses kimia yang terjadi di
dalamnya. Secara umum, tulangan baja didalam beton tidak akan
terkorosi, karena beton pada umumnya memiliki PH tinggi (sekitar 12.5),
Sifat PH tinggi atau basa / alkali pada beton terjadi saat semen tercampur
dengan air. Karena sifat alkali ini, dipermukaan baja dalam beton
terbentuk sebuah lapisan pasif yang menyebabkan baja terlindung dari
pengaruh luar. Baja baru bisa terkorosi bila lapisan pasif ini rusak (PH
Beton turun),
Proses karbonasi terjadi karena adanya interaksi dari karbon
dioksida (CO2) di udara bebas / atmosfer dengan ion hidroksida di
dalam beton. Hasil dari interaksi tersebut menyebabkan penurunan pH
selimut beton turun (< 9) dan menyebabkan pergeseran potensial korosi
baja tulangan menjadi aktif terkorosi, dan ini mengakibatkan penurunan
ketahanan dari lapisan pasif di permukaan baja tulangan.
Karbonasi terjadi bila karbon dioksida larut dalam air. Proses ini terjadi
dimana air dan gas karbon dioksida bereaksi untuk membentuk asam
karbonat.
Hal-hal yang mempercepat penetrasi karbondioksida pada selimut
beton antara lain rendahnya kandungan semen, tingginya rasio air/semen,
pengeringan beton yang kurang memadai, dan adanya retakan serta
cacat pada permukaan selimut beton. Proses karbonasi ini juga dapat
meningkatkan porositas selimut beton, sehingga tidak mampu lagi
mencegah penetrasi klorida sebagai ion agresif.
56
Perlunya uji tingkat karbonasi adalah untuk mengetahui apakah
selimut beton masih melindungi tulangan baja di dalamnya. Proses
karbonasi menetralisir kondisi basa dalam beton. Jika selimut beton
seluruhnya telah terkarbonasi mencapai tulangan baja di dalamnya, maka
baja tulangan di dalamnya akan segera terkorosi ketika udara lembab dan
oksigen mencapai baja tulangan. karbonasi selimut beton terjadi akibat
interaksi antara gas karbondioksida di atmosfer dengan senyawa
hidroksida dalam larutan pori selimut beton. Adanya proses karbonasi ini
menyebabkan penurunan selimut beton dan menyebabkan pergeseran
potensial korosi baja tulangan menjadi aktif terkorosi.
Karbonasi sangat merugikan pada beton bertulang karena
menyebabkan atau berhubungan langsung dengan proses korosi pada
tulangan dalam beton dan proses penyusutan (shrinkage). Tetapi pada
beton biasa, karbonasi menyebabkan peningkatan nilai kuat tekan
maupun tarik. Sehingga tidak semua efek karbonasi itu merugikan. Untuk
mengetahui secara cepat dimana beton mengalami karbonasi, dapat
dilakukan dengan cara menuangkan/meneteskan cairan Phenolphthalein.
Alat dan bahan yang digunakan dalam uji karbonasi ini sangat
sederhana, yaitu semprotan (spray) yang diisi 1% phenolpthaelin (1 gram
phenolpthaelin dicampur dengan 90 cc ethanol dan ditambahkan air
bersih hingga mencapai 100 cc). phenolthalein adalah suatu senyawa
organik dengan rumus C20H14O4 dan biasa dipakai sebagai indikator
untuk titrasi asam basa dengan melalui respon warna material yang
57
diolesi/ditetesi phenolphthalein tersebut. Apabila terjadi perubahan warna
pada saat diolesi, berarti material yang diuji bersifat basa, dan sebaliknya
apabila tidak terjadi perubahan warna berarti material yang diuji bersifat
asam (Parker 1983, Triwiyono, 2000). Jika larutan dicampur dengan zat
yang memiliki tingkat keasaman sekitar 8 sampai 10, warna akan berubah
menjadi merah atau pink. Jika kadar asam suatu zat melebihi pH 10,
larutan phenolftalein akan berubah menjadi ungu.
6. KETEBALAN MORTAR PADA BETON DENGAN CAMPURAN AIR
LAUT DAN PASIR LAUT
Beton merupakan fungsi dari bahan penyusun yang terdiri dari
bahan semen sebagai bahan ikatnya, agregat kasar, agregat halus, air,
dan bahan tambah lainnya. Beton didefinisikan sebagai sekumpulan
interaksi mekanis dan kimiawi dari material pembentuknya (Nawy, 1990).
Murdock dan Brook (1986) secara jelas menyebutkan bahwa beton adalah
suatu bahan bangunan dan bahan konstruksi, yang sifat-sifatnya dapat
ditentukan lebih dahulu dengan mengadakan perencanaan dan
pengawasan yang teliti terhadap bahan-bahan yang dipilih. Bahan-bahan
pilihan itu adalah ikatan keras, yang ditimbulkan oleh reaksi kimia antar
semen dan air, serta agregat, dimana semen yang mengeras itu ber-
adhesi dengan baik maupun kurang baik.
58
Kekuatan, keawetan, dan sifat beton tergantung dari nilai
perbandingan bahan dasar beton, sifat bahan dasarnya, cara
pengadukan, pengerjaan, penuangan, pemadatan serta perawatan
selama proses pengerasan. Untuk membuat beton yang baik maka harus
diperhitungkan cara mendapatkan adukan beton segar yang baik dan
beton keras yang dihasilkan juga baik. Pencapaian kuat beton yang baik
perlu diperhatikan kepadatan dan kekerasan massanya karena umumnya
semakin keras dan padat massa penyusunnya makin tinggi kekuatan dan
durability-nya.
Salah satu hal yang menyebabkan tulangan dan beton dapat
bekerja sama adalah faktor lekatan antara beton dan permukaan
tulangan. Apabila pelekatan itu tidak mencukupi, maka bidang singgung
akan tergelincir (slip) di dalam beton sehingga mengakibatkan keruntuhan
struktur tak bisa dihindari. Kombinasi tulangan baja dan beton
dimungkinkan karena adanya beberapa sifat yang baik di dalam
kerjasama baja dan beton. Sifat yang terpenting ialah beton dan baja
mempunyai daya lekat yang cukup besar
Mortar adalah bahan yang digunakan untuk konstruksi bangungan
yang terdiri dari campuran antara semen, agregat halus, dan air.
Campuran antara semen, agregat, dan air ini menggunakan perbandingan
tertentu sehingga daya tahan mortar terhadap tekanan maupun tarikan
akan semakin tinggi atau maksimal.
59
59
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Prosedur Penelitian
Dalam melaksanakan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka
prosedur penelitian. Kerangka inilah yang berfungsi sebagai pedoman
yang akan menjelaskan seperti apa alur atau gambaran singkat tentang
penelitian yang sedang dilaksanakan.
Penelitian ini dilaksanakan sesuai dengan alur penelitian yang
dibentuk dalam suatu kerangka prosedur penelitian. Kerangka prosedur
penelitian dimulai dengan kajian pustaka yakni pengumpulan teori-teori
maupun jurnal - jurnal pendukung yang berkaitan dengan tema penelitian
yang dilakukan. Setelah itu ditentukan model benda uji dan alat penunjang
dalam penelitian, dimana dilakukan melalui tahapan analisis yang akan
digunakan.
Metode yang digunakan dalam penenelitian ini adalah metode
eksperimen di laboratorium. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Struktur dan Bahan Jurusan Sipil, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin
Kampus Gowa selama kurang lebih 5 bulan. Sebelum pembuatan benda
uji beton, dilakukan pengujian terhadap karakteristik agregat halus dan
agregat kasar. Pemeriksaan karakteristik agregat kasar dan agregat halus
yang dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan ASTM (American Society
for Testing Material).
60
Adapun kerangka prosedur penelitian ini dapat dilihat pada gambar
dibawah ini :
TIDAK
YA
START
PENGADAAN MATERIAL
KAJIAN PUSTAKA
TEORI DASAR DAN JURNAL
PEMERIKSAAN KARAKTERISTIK MATERIAL : - AGREGAT HALUS (PASIR LAUT) - AGREGAT KASAR (BATU PECAH)
MIX DESIGN
PEMBUATAN BENDA UJI
PERAWATAN BENDA UJI : - CURING BASAH (RENDAM AIR LAUT) - CURING KERING - CURING BASAH KERING
SLUMP TEST MEMENUHI SYARAT
A
61
Skema 3.1 Kerangka Prosedur Penelitian
B. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah uji eksperimental dan kajian
pustaka tentang daya lekat yang terjadi antara tulangan dan beton yang
menggunakan campuran air laut, pasir laut, dan semen komposit.
Benda uji dalam penelitian ini dibuat dengan 3 jenis perlakuan
curing yang berbeda yaitu curing basah (rendam air laut), curing kering
(suhu ruangan), dan curing basah kering. Penelitian dilakukan pada saat
benda uji berumur 3 hari, 7 hari, 28 hari, dan 90 hari.
Penelitian dimulai dengan proses angkut material, pengujian
karakteristik agregat, pembuatan kerangkeng (Plat besi yang didesain
mampu menahan benda uji saat pengujian metode pull out), pengujian
PENGUJIAN : - KUAT TEKAN BETON (SNI 03-1974-1990) - KUAT TARIK BELAH BETON (SNI 03-2491-2002) - KUAT TARIK BAJA (SNI 07-2052-2002) - PULL OUT
ANALISIS DATA
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
FINISH
A
62
slump, pembuatan benda uji, pencetakan benda uji, dan setelah itu
dilakukan proses curing/perawatan benda uji hingga waktunya melakukan
uji tes di laboratorium.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dengan pengujian
kuat tekan, pengujian kuat tarik belah beton, pengujian kuat tarik tulangan,
pengujian pull out, serta pengamatan visual berupa uji karbonasi dan
ketebalan mortar. Data yang terkumpul ini yang kemudian digunakan
untuk menganalisis Daya Lekat antara beton dan tulangan yang
menggunakan campuran air laut dan pasir laut beserta pengaruhnya
terhadap beberapa variasi curing yang telah ditentukan.
Gambar 3.1. Lokasi pengambilan air laut dan pasir laut di pantai
barombong Kab Gowa
Gambar diatas menunjukkan lokasi pengambilan air laut dan pasir
laut yang digunakan dalam penelitian. Sampel air laut tersebut kemudian
diuji komposisi kimianya di laboratorium oceanografi Fak.Ilmu Kelautan
dan Perikanan Unhas. Selain digunakan dalam campuran beton, air laut
LOKASI PENGAMBILAN
AIR LAUT LOKASI PENELITIAN
63
ini juga digunakan dalam proses curing beton (curing basah dan curing
basah kering).
C. PERSIAPAN ALAT UJI PULL OUT
Pengujian pull out dilakukan dengan menggunakan alat Universal
Testing Machine kapasitas 1000 kN. Pada pengujian pull out ini dibuatkan
kerangkeng yang dimodifikasi sedemikian rupa untuk bisa menahan
benda uji pada saat baja ulir yang tertanam dalam beton ditarik.
Kerangkeng ini terdiri dari dua pelat besi berukuran 30x30 dengan
tebal pelat bagian atas 2cm dan pelat bagian bawah 3cm. kerangkeng ini
juga menggunakan besi ulir berdiameter 19 dengan panjang 40cm
sebanyak 8 buah yang dipasang di setiap sudut dan berfungsi untuk
menggabungkan dua pelat tersebut dengan bantuan baut. Kerangkeng ini
dimodifikasi sehingga dapat dipakai untuk menahan tarikan dalam
pengujian.
Pada benda uji pull out, menggunakan baja ulir dengan diameter 19
mm dengan panjang penyaluran 25 cm, dan dipasangi pipa PVC pada
bagian atas untuk menghindari baja ulir mengalami korosi pada saat
perendaman (curing).
64
30cm
30cm
30 cm
Gambar 3.2 : Desain Model Kerangkeng
Gambar 3.3. Penggunaan kerangkeng pada pengujian pull out
65
D. BENDA UJI
30 cm
15 cm 15cm
30 cm BESI ULIR
15 cm
PIPA PVC
Gambar 3.4 Model benda uji
Benda uji yang digunakan berupa silinder dengan ukuran diameter
15cm dengan tinggi 30cm. Berdasarkan jenis pengujiannya, jumlah
silinder untuk masing-masing percobaan sebanyak 33 buah sesuai
dengan jenis curing dan variasi umur yang berbeda. Setiap variasi dibuat
masing-masing 3 sampel, secara keseluruhan jumlah benda uji sebanyak
33 buah untuk pengujian kuat tekan beton, 33 buah untuk pengujian Kuat
tarik belah beton, dan 33 buah untuk metode pengujian pull out, sehingga
total silinder sebanyak 99 buah.
20cm
66
Tabel 3.1 Jumlah Benda Uji Penelitian
Jenis Curing
Jenis Pengujian
Bentuk Benda Uji
Jumlah Benda Uji untuk Umur Perendaman
3 Hari 7 Hari
28 Hari
90 Hari
Suhu Ruangan
Kuat Tekan Silinder
15cmx30cm 3 3 3 3
Kuat Tarik Belah
Silinder 15cmx30cm
3 3 3 3
Pull Out Test Silinder
15cmx30cm 3 3 3 3
Rendam Air Laut
Kuat Tekan Silinder
15cmx30cm 3 3 3 3
Kuat Tarik Belah
Silinder 15cmx30cm
3 3 3 3
Pull Out Test Silinder
15cmx30cm 3 3 3 3
Basah-Kering
Kuat Tekan Silinder
15cmx30cm 3 3 3 3
Kuat Tarik Belah
Silinder 15cmx30cm
3 3 3 3
Pull Out Test Silinder 15cmx30cm
3 3 3 3
Gambar 3.5 Proses pembuatan benda uji
67
Gambar 3.6 Pencetakan Benda Uji
Perawatan benda uji dilakukan berdasarkan ASTM C171—03.
Pelaksanaan perawatan beton dilakukan setelah beton memasuki fase
hardening atau setelah beton dilepas dari cetakannya. dilakukan
bongkaran dengan durasi tertentu yang dimaksudkan untuk memastikan
terjaganya kondisi yang diperlukan untuk proses reaksi senyawa kimia
yang terkandung dalam campuran beton. Proses curing pada beton
memainkan peran penting pada pengembangan kekuatan dan daya tahan
beton. Proses curing ini meliputi pemeliharaan kelembaban dan kondisi
suhu, baik dalam beton maupun di permukaan beton dalam periode waktu
tertentu. 3 jenis pola perawatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
curing basah (beton direndam), curing kering (tanpa proses perendaman),
dan curing basah kering (beton dicuring basah kemudian dicuring kering).
68
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Semen Portland Komposit (PCC)
Penelitian ini menggunakan semen Portland Tipe PCC merk
Bosowa dengan satuan 50 kg/sak.
2. Air
Air yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah air laut
yang berasal dari Pantai Barombong yang di periksa
komposisi kimianya di laboratorium Oceanografi Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan.
3. Agregat Halus
Agregat Halus yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pasir laut yang berasal dari daerah Pantai Barombong, Kab
Gowa. Agregat halus yang digunakan terlebih dahulu
dilakukan pemeriksaan terhadap Analisa Saringan, Modulus
Kehalusan. Berat Jenis Spesifik, Penyerapan Air, Berat
Volume, Kadar Air, Kadar Lumpur, dan Kandungan Zat
Organic sesuai standar ASTM (American Society for Testing
Material).
4. Agregat Kasar
Agregat kasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
batu pecah dari Daerah Bili-bili, Gowa. Agregat kasar yang
digunakan terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan terhadap
Analisa Saringan, Modulus Kehalusan. Berat Jenis Spesifik,
69
Penyerapan Air, Berat Volume, Kadar Air, Kadar Lumpur,
dan Keausan sesuai standar ASTM (American Society for
Testing Material).
Baja Tulangan
Pada pengujian Kuat Tarik Baja dan Uji Pull out , Baja yang
digunakan adalah Baja Ulir (Deformed) dengan diameter 19
panjang 40 cm.
E. METODE PENGUJIAN
A. Pengujian Kuat tekan
Gambar 3.7 Sketsa Uji Kuat Tekan Beton Menggunakan mesin UTM
Kuat tekan adalah kemampuan beton untuk menerima
gaya tekan persatuan luas. Kuat tekan beton mengidentifikasikan mutu
dari sebuah struktur. Semakin tinggi kekuatan struktur dikehendaki,
semakin tinggi pula mutu beton yang dihasilkan (Mulyono, 2004).
70
Nilai kuat tekan beton didapat dari pengujian standar dengan benda
uji yang lazim digunakan berbentuk silinder. Dimensi benda uji standar
adalah tinggi 300 mm dan diameter 150 mm. Tata cara pengujian yang
umumnya dipakai adalah standar ASTM C39-86.
Gambar 3.8 Set Up Pengujian Kuat Tekan di Laboratorium
Set-up pengujian pada Gambar 3.8 menunjukkan beberapa LVDT
dipasang untuk merekam lendutan vertikal dan horizontal pada beberapa
titik pada specimen. Alat yang digunakan untuk melakukan pengujian kuat
tekan beton adalah Universal Testing Machine (UTM) dengan cara
meletakan silinder beton tegak lurus. Khusus untuk pengujian kuat tekan,
sebelum dilakukan pengujian permukaan tekan benda uji silinder harus
rata agar terdistribusi secara merata pada penampang benda uji. Dalam
71
hal ini maka benda uji perlu diberikan lapisan pelat besi pada permukaan
tekan benda uji silinder.
Dari hasil pengujian ini didapat beban maksimum yang mampu
ditahan oleh silinder beton sampai silinder beton tersebut hancur.
Selanjutnya dicari kuat tekan beton dengan membagi beban maksimum
dengan luas permukaan silinder beton.
B. Pengujian Kuat Tarik Belah
Gambar 3.9 Sketsa Pengujian Kuat Tarik Beton Silinder Mengunakan
Mesin UTM.
Metode pengujian untuk penentuan kuat tarik belah benda uji yang
dicetak berbentuk silinder. Pengujian kuat tarik belah digunakan untuk
mengevaluasi ketahanan geser dari komponen struktur yang terbuat dari
beton yang menggunakan agrerat ringan.
72
Pengujian Kuat tarik secara langsung pada beton sukar untuk
dilaksanakan, tidak seperti halnya pada bahan dari baja. Untuk itu
dilakukan pengujian secara tidak langsung yang dikenal sebagai uji tarik
belah. Pengujian ini juga menggunakan alat UTM, beton diletakkan
secara mendatar/horizontal pada pelat bawah, sesuai dengan ASTM C
496. Pada bagian atas dan bawah benda uji diletakkan pelat tipis untuk
mendapatkan beban merata pada benda uji tersebut. Kemudian UTM
dihidupkan hingga benda uji terbelah.
Gambar 3.10 Set Up Pengujian Kuat tarik di laboratorium
73
C. Pull Out
Gambar 3.11. Sketsa Pengujian Pull Out
Pada pengujian ini pengujian tarik benda uji dilakukan dengan UTM
(Universal Testing Machine) untuk mendapatkan data beban. Slip total
yang terjadi pada benda uji diukur dari relative displacement tulangan
terhadap bidang permukaan benda uji dengan menggunakan Linear
Variable Displacement Tranducer (LVDT) dengan kapasitas 50mm. untuk
mendapatkan data korelasi antara beban dan slip maka beban yang
dikenakan pada benda uji dilakukan secara bertahap dengan
displacement control, yaitu penambahan beban didasarkan pada
perubahan displacement. Beban dan Slip dicatat secara bersamaan
dengan menggunakan data logger.
74
Gambar 3.12 Set Up Pengujian Pull Out
Instrumen Penelitian
Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat
untuk mempersiapkan material dan benda uji untuk pengujian. Peralatan
yang dipakai tersebut berada di Laboratorium Struktur dan Bahan
Fakultas Teknik Universitas Hasaanudin.
1. Saringan/ayakan
2. Timbangan
3. Mesin siever
4. Gelas ukur
5. Mesin aduk beton ( rotating drum mixer)
6. Cetok dan Talam Baja
75
7. Sekop
8. Cetakan Benda Uji
9. Mistar dan Kaliper
10. Kerucut Abrams
11. Air Compressor
12. Mesin Uji Tarik
Mesin uji kuat tarik digunakan untuk mengetahui beban leleh dan
beban maksimum baja tulangan. Selain itu mesin ini juga digunakan
dalam pengujian kuat tekan beton, kuat tarik belah beton, dan uji pull-
out . Dalam penelitian ini digunakan Universal Testing Machine
dengan kapasitas 1000 KN.
Gambar 3.13 Universal Testing Machine
13. LVDT (Linier Variable Displacement Tranducer)
Alat yang digunakan untuk mengukur besar dan arah lendutan
yang terjadi pada benda uji, kapasitas 50 mm.
76
14. Data logger
Data logger dalah sebuah alat untuk merekam secara otomatis
data yang diukur oleh LVDT dari waktu ke waktu secara kontinue.
Gambar 33. Data Logger
15. Alat Bantu Lainnya
Alat bantu lainnya seperti ember, alat pemotong baja dan bak
air untuk merendam dan merawat benda uji.
77
77
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Material
Material yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari agregat
alam yaitu agregat halus (pasir) berasal dari Pantai Barombong dan
agregat kasar (batu pecah) berasal dari daerah Bili-Bili Gowa. Pengujian
ini dilakukan di Laboratorium Struktur dan Bahan Jurusan Sipil Fakultas
Teknik Universitas Hasanuddin. Pengujian ini dilakukan berdasarkan
standar ASTM (American Society for Testing Material). Data hasil
pengujian dapat di lihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2
Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Agregat Halus (Pasir
Laut)
NO KARAKTERISTIK
AGREGAT HASIL
PENGAMATAN
1 Analisa saringan Gradasi 1
2 Modulus Kehalusan 2.27
3 Berat jenis spesifik
a. BJ. Nyata 2.6
b. BJ. Dasar kering 2.45
c. BJ. Kering Permukaan
2.51
4 Penyerapan air 1.98%
5 Berat volume
a. Kondisi lepas 1.71
b. Kondisi padat 1.76
6 Kadar Air 4.91%
7 Kadar Lumpur 2.20%
8 Kadar Organik No. 1
78
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Karakteristik Agregat Kasar (Batu Pecah)
NO KARAKTERISTIK
AGREGAT HASIL
PENGAMATAN
1 Analisa saringan Gradasi 4.75 -
37.5
2 Modulus Kehalusan
6.55
3 Berat jenis spesifik
a. BJ. Nyata 2.61
b. BJ. Dasar kering
2.46
c. BJ. Kering permukaan
2.52
4 Penyerapan air 2.40%
5 Berat volume
a. Kondisi lepas 1.63
b. Kondisi padat 1.62
6 Kadar Air 4.40%
7 Kadar Lumpur 0.50 %
8 Keausan 21.085 %
4.2 Karakteristik Air Laut
Air laut memiliki kadar garam rata-rata sekitar 35.000 ppm atau
35 g/liter. Kandungan kimia utama dari air laut adalah klorida (Cl),
natrium (Na). magnesium (Mg), Sulfat (SO4). Nilai pH air laut
bervariasi 7,5 – 8,4. kebanyakan air laut mempunyai komposisi yang
serupa, berisi 3,5% garam larut. pH air laut bervariasi 7,5 – 8,4, rata-
rata sekitar 8,2.
Air laut yang digunakan pada penelitian ini diambil dari Pantai
Barombong, Kab. Gowa. Komposisi kimia air laut dapat dilihat pada
Tabel 4.3.
79
Tabel 4.3 Komposisi Kimia Air Laut Pantai Barombong
Berat Jenis
(gr/cm3) pH
Sa
lin
itas
(o/ o
o) Komposisi Kimia (mg/L)
Na Ca Mg Cl- SO4 CO3
1,029 8,53
18 2085,22 348,348 1973,492 5303,70 134 576,576
Sumber : Laboratorium Oceanografi Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Unhas
4.3 Rancang Campuran Beton (Mix Design Concrete)
Rancang campuran beton yang dilakukan pada penelitian ini mengacu
pada SK. SNI T-15-1990-03. Komposisi campuran beton sesuai dengan
Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Komposisi Campuran 1 m3 Beton
Bahan Beton
Jumlah Beton
Rasio Terhadap Jumlah Semen
(kg)
Air 198.62 0,36
Semen 554.05 1.00
Pasir 501.82 0.91
Batu pecah
967.68 1.75
4.4. Pengujian Slump Test
Pengukuran Slump Test dilakukan untuk mengetahui kelecakan
(workability) adukan beton. Kelecakan adukan beton merupakan ukuran
dari tingkat kemudahan campuran untuk diaduk, diangkut, dituang dan
dipadatkan tanpa menimbulkan pemisahan bahan penyusun beton
80
(segregasi). Tingkat kelecakan ini dipengaruhi oleh komposisi campuran,
kondisi fisik dan jenis bahan pencampurnya. Adapun hasil pengujian
slump dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Nilai Slump Test
Nilai Slump
Syarat Nilai Slump
10 cm 10±2 cm
Gambar 4.1. Pengujian Slump Test
4.5 Pengujian Kuat Tekan Beton
Pengujian kuat tekan beton dilakukan pada umur 3 hari, 7 hari, 28
hari, dan 90 hari dengan menggunakan silinder berukuran 150 mm x 300
mm masing-masing sebanyak 3 buah. Pengujian kuat tekan mengacu
pada ASTM C39/ C39M-01 (Standard Test Method for Compressive
81
Strength of Cylindrical Concrete Speciments) dan termuat pada SNI
1974:2011.
Gambar 4.2 Pengujian Kuat Tekan Beton
Pengujian kuat tekan bertujuan untuk mengetahui kekuatan beton
(compressive strength) yang direndam air laut (curing basah) maupun
yang tidak direndam di laboratorium pada umur 3 hari, 7 hari, 28 hari, dan
90 hari. Pengujian dilakukan pada satu jenis beton dengan perlakuan
yang berbeda yaitu dengan curing basah kering, curing basah, dan curing
kering.
Benda uji berupa silinder berukuran diameter 150 mm dan tinggi
300 mm dipasang pada mesin tekan secara sentris. Pembebanan
dilakukan sampai benda uji menjadi hancur dan tidak dapat lagi menahan
beban yang diberikan, sehingga didapatkan beban maksimum yang
ditahan oleh benda uji tersebut. Perbedaan perlakuan pada beton memiliki
82
pengaruh terhadap kuat tekan yang dihasilkan dari beton. Hal ini dapat
dilihat pada table dan grafik berikut :
Tabel 4.6. Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Curing Rendam Air Laut
No. Sampel
Umur (hari)
Berat (kg)
Tinggi (cm)
Luas (cm
2)
Beban Maks.
(P) (kN)
Kuat Tekan (MPa)
Kuat Tekan Rata-rata
(Mpa)
1
3 12.20 30 17662.5 172.600 9.772
10.467 3 12.54 30 17662.5 194.600 11.018
3 12.47 30 17662.5 187.400 10.610
2
7 12.11 30 17662.5 203.400 11.516
11.784 7 12.19 30 17662.5 204.500 11.578
7 12.21 30 17662.5 216.500 12.258
3
28 12.42 30 17662.5 283.800 16.068
16.895 28 12.73 30 17662.5 284.000 16.079
28 11.84 30 17662.5 327.400 18.536
4
90 12.54 30 17662.5 291.375 16.497
16.663 90 13.02 30 17662.5 293.103 16.595
90 12.74 30 17662.5 298.440 16.897
83
Tabel 4.7. Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Curing Suhu Ruangan
No.
Sampel
Umur
(hari)
Berat
(kg)
Tinggi
(cm)
Luas
(cm2)
Beban
Maks.
(P) (kN)
Kuat
Tekan
(MPa)
Kuat
Tekan
Rata-rata
(Mpa)
1
3 12.205 30 17662.5 173.400 9.817
10.131 3 12.54 30 17662.5 173.700 9.834
3 12.47 30 17662.5 189.700 10.740
2
7 12.115 30 17662.5 207.400 11.742
11.793 7 12.19 30 17662.5 203.500 11.522
7 12.215 30 17662.5 214.000 12.116
3
28 12.23 30 17662.5 291.500 16.504
17.155 28 11.84 30 17662.5 302.000 17.098
28 11.975 30 17662.5 315.500 17.863
4
90 11.24 30 17662.5 335.264 18.982
18.390 90 11.21 30 17662.5 314.543 17.809
90 10.58 30 17662.5 324.634 18.380
Tabel 4.8. Hasil Pengujian Kuat Tekan Beton Curing Basah - Kering
No.
Sampel
Umur
(hari)
Berat
(kg)
Tinggi
(cm)
Luas
(cm2)
Beban
Maks.
(P) (kN)
Kuat
Tekan
(MPa)
Kuat
Tekan
Rata-rata
(Mpa)
1
7 12.1 30 17662.5 235.800 13.350
12.837 7 12.5 30 17662.5 246.800 13.973
7 12.475 30 17662.5 197.600 11.188
2
28 12.91 30 17662.5 329.600 18.661
19.367 28 12.61 30 17662.5 357.400 20.235
28 12.52 30 17662.5 339.200 19.205
3
90 12.37 30 17662.5 354.273 20.058
20.100 90 12.8 30 17662.5 358.284 20.285
90 12.37 30 17662.5 352.485 19.957
84
4.6. Analisa Pengujian Kuat Tekan
Benda uji dipasang pada mesin tekan secara sentris. Pembebanan
dilakukan sampai benda uji menjadi hancur dan tidak dapat lagi menahan
beban yang diberikan (jarum penujuk berhenti kemudian bergerak turun),
sehingga didapatkan beban maksimum yang ditahan oleh benda uji
tersebut.
Perbedaan perlakuan pada beton memiliki pengaruh tehadap kuat
tekan yang dihasilkan dari beton. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3
dan Gambar 4.4 yang menunjukkan hubungan kuat tekan terhadap
perlakuan dan terhadap umur beton sesuai dengan variasi curing yang
telah ditentukan. Pada umur 28 hari, kuat tekan rata-rata beton curing air
laut sebesar 16,895 MPa sedangkan beton curing suhu ruangan sebesar
17.155 MPa dan beton curing basah kering sebesar 19.367 MPa.
Gambar 4.3 Diagram Presentase Kuat Tekan Beton Terhadap Variasi Perendaman (Curing)
85
Gambar 4.4 Diagram korelasi kuat tekan beton dengan umur beton.
Dari hasil diagram tersebut dapat diketahui bahwa metode
perendaman menggunakan curing basah-kering lebih baik dibandingkan
dua variasi perendaman lainnya. Hasil ini disebabkan karena pengaruh
pada saat proses pemadatan dan perawatan. Proses curing pada beton
memainkan peran penting pada pengembangan kekuatan dan daya tahan
beton. Proses curing ini meliputi pemeliharaan kelembaban dan kondisi
suhu, baik dalam beton maupun di permukaan beton dalam periode waktu
tertentu. Mutu beton sangat tergantung dari proses produksi dan
perawatannya. Setiap batch adukan beton, meskipun dibuat di dalam
batching plant yang sama dengan desain campuran yang sama, pasti
akan mendapatkan hasil kekuatan yang berbeda-beda. Oleh karenanya,
pada pelaksanaan konstruksi beton, beton yang dicor harus selalu
evaluasi kualitasnya.
86
Gambar 4.4 menunjukkan korelasi kuat tekan beton pada umur 3
hari, 7 hari, 28 hari dan 90 hari benda uji. Dari hasil diagram tersebut
dapat diketahui terjadi peningkatan kuat tekan pada umur 28 hari dan
mengalami penurunan pada umur 90 hari pada beton curing rendam air
laut.
Selain pengujian kuat tekan, secara visual juga diamati pola runtuh
(failure) pada benda uji. Sebagian besar benda uji menunjukkan pola retak
memanjang (columner). Retak columner menunjukkan bahwa beton
memiliki kemampuan untuk menahan beban tekan. Terlihat juga bahwa
benda uji pecah pada mortar dan agregat, hal ini menunjukkan bahwa
beton merupakan satu kesatuan utuh yang memikul beban secara
bersama.
Gambar 4.5 Pola Retak pada Benda Uji setelah Pengujian Kuat tekan
beton curing basah kering
87
Gambar 4.6 Pola Retak pada Benda Uji setelah Pengujian Kuat Tekan
Beton Curing Kering
Gambar 4.7 Pola Retak pada Benda Uji setelah Pengujian Kuat
Tekan Beton Curing Basah
88
Gambar 4.8 Pola Retak pada Benda Uji Setelah Pengujian Kuat Tekan
Ditinjau dari jenis pola keruntuhannya, maka pada benda uji silinder
diatas terjadi dua jenis pola keruntuhan yakni pola keruntuhan berupa pola
splitting dan pola keruntuhan silinder yang berupa pola geser dan splitting
(beton bermutu tinggi).
4.7. Kuat Tarik Belah
Pengujian kuat tarik belah dilakukan pada umur 3,7, 28, dan 90 hari
dengan menggunakan silinder berukuran 150 mm x 300 mm masing-
masing sebanyak 3 benda uji dengan perlakuan curing yang berbeda.
Pengujian kuat tarik belah mengacu pada ASTM C 496-96 (Standard Test
Method for Splitting Tensile Strength of Cylindrical Concrete Speciments)
dan termuat dalam SNI 03-2491-2002.
89
Gambar 4.9 Pengujian Kuat Tarik Belah
Tabel 4.9. Hasil Pengujian Kuat Tarik Belah Beton Curing Rendam Air
Laut
No Sampel
Umur Tinggi
(L) Diameter
(D) Beban (P) fct fct Rata-rata
(hari) (cm) (cm) (kN) (Mpa) (Mpa)
1
3 30 15 0 4.00
3.98 3 30 15 69 3.92
3 30 15 71.3 4.03
2
7 30 15 81 4.57
4.64 7 30 15 85 4.78
7 30 15 80.96 4.58
3
28 30 15 170 9.60
8.85 28 30 15 155 8.74
28 30 15 145 8.21
4
90 30 15 179.36 10.14
9.72 90 30 15 163.422 9.24
90 30 15 172.593 9.76
90
Tabel 4.10.Hasil Pengujian Kuat Tarik Belah Beton Curing Suhu Ruangan
No Sampel
Umur Tinggi
(L) Diameter
(D) Beban
(P) fct fct Rata-rata
(hari) (cm) (cm) (kN) (Mpa) (Mpa)
1
3 30 15 55.4 3.130000
3.10 3 30 15 57.9 3.280000
3 30 15 51 2.890000
2
7 30 15 68 3.840000
4.04 7 30 15 65 3.670000
7 30 15 81 4.600000
3
28 30 15 141.2 7.990000
7.55 28 30 15 132.6 7.500000
28 30 15 126.6 7.160000
4
90 30 15 150.368 8.509000
8.29 90 30 15 158.473 8.967000
90 30 15 140.72 7.397000
Tabel 4.11. Hasil Pengujian Kuat Tarik Belah Beton Curing Basah - Kering
No Sampel
Umur Tinggi
(L) Diameter
(D) Beban
(P) fct fct Rata-rata
(hari) (cm) (cm) (kN) (Mpa) (Mpa)
1
7 30 15 87.4 4.95
4.42 7 30 15 76.15 4.31
7 30 15 71 4.02
2
28 30 15 141 7.99
7.55 28 30 15 133 7.50
28 30 15 126.6 7.16
3
90 30 15 142.637 8.07
7.94 90 30 15 140.123 7.92
90 30 15 138.714 7.84
91
4.8. Analisa Pengujian Kuat Tarik Belah
Pengujian kuat tarik belah beton benda uji silinder ialah nilai kuat
tarik tidak langsung dari benda uji beton berbentuk silinder yang diperoleh
dari hasil pembebanan benda uji tersebut dan diletakkan mendatar sejajar
dengan permukaan meja penekan mesin uji. Kuat tarik belah seperti inilah
yang diperoleh melalui metode pengujian kuat tarik belah dengan ASTM C
496-96 (Standard Test Method for Splitting Tensile Strength of Cylindrical
Concrete Speciments) dan termuat dalam SNI 03-2491-2002. Pada
gambar 4.10 menunjukkan hubungan kuat tarik belah terhadap variasi
curing beton.
Gambar 4.10 Diagram Perbandingan Kuat Tarik Belah BetonTerhadap
Variasi Perendaman (Curing)
92
Gambar 4.11 Diagram korelasi kuat belah beton dengan umur beton
Dari diagram diatas dapat dilihat pada gambar 4.10 bahwa nilai
kuat tarik belah beton dengan metode perendaman curing rendam air laut
(basah) lebih besar dibanding dengan kuat tarik belah beton dengan
curing suhu ruangan dan curing basah kering. Pada Gambar 4.11
menunjukkan korelasi kuat belah beton pada umur 3,7,28, dan 90 hari
benda uji. Dari hasil diagram tersebut dapat diketahui terjadi peningkatan
terus menerus hingga beton usia 90 hari.
Selain pengujian diatas, secara visual juga diamati pola runtuh
(failure) pada benda uji. setelah dilakukan pengujian kuat tarik belah,
dapat dilihat bahwa pada benda uji curing air laut mengalami sedikit
retakan dibandingkan benda uji curing suhu ruangan dan curing basah
kering. Hal ini menunjukkan bahwa benda uji curing air laut mampu
93
menahan beban geser lebih baik dibandingkan dengan 2 variasi curing
lainnya.
Gambar 4.12 Pola Retak pada Benda Uji setelah Pengujian Kuat Tarik
Belah Beton Metode Curing Basah Kering
Gambar 4.13 Pola Retak pada Benda Uji setelah Pengujian Kuat Tarik
Belah Beton Curing Kering
94
Gambar 4.14 Pola Retak pada Benda Uji setelah Pengujian Kuat
Tarik Belah Beton Curing Basah.
4.9. Pengujian Kuat Tarik Tulangan Ulir
Pengujian Kuat Tarik Tulangan Ulir D19 mm dilakukan untuk
mengetahui nilai tegangan leleh tulangan ulir pada saat menglami kondisi
leleh maksimum seperti terlihat pada Tabel 4.6
Tabel 4.12. Hasil Kuat Tarik Tulangan Ulir D19 mm
Perbandingan Hasil
Uji Laboratorium
Tegangan Leleh (fy) 368 Mpa
Tegangan Ultimate (fu)
563 Mpa
Elongation 29 %
Modulus Elastisitas 185858,59 Mpa
95
Gambar 4.15 Grafik Tegangan Regangan Pengujian Tarik Baja Strain 30
mm
4.10. Pengujian Pull Out
Adapun hasil pengujian tegangan lekat (bond stress) :
Tabel 4.13. Hasil Pengujian Pull Out Curing Suhu Ruangan
Umur
Diameter Tulangan
Panjang Penyaluran
Gaya Cabut
Gaya Cabut Rata-Rata
Tegangan Lekat
Tegangan Lekat Rata-Rata
Panjang Slip
Ket
(D) (ld) (P) (P) (τ) (µ)
Hari mm Mm kN kN Mpa Mpa mm
3 19 200 55.65
58.55
4.66
4.43
15.04 Tulangan Tercabut
(Slip) 3 19 200 68.84 4.36 13.3
3 19 200 51.15 4.28 17.78
7 19 200 54.37
56.21
4.55
4.71
16.53 Tulangan Tercabut
(Slip) 7 19 200 58.57 4.91 15.58
7 19 200 55.69 4.66 15.38
96
Umur
Diameter Tulangan
Panjang Penyaluran
Gaya Cabut
Gaya Cabut Rata-Rata
Tegangan Lekat
Tegangan Lekat Rata-Rata
Panjang Slip
Ket
(D) (ld) (P) (P) (τ) (µ)
Hari mm Mm kN kN Mpa Mpa mm
28 19 200 62
65.21
5.19
5.46
20.66 Tulangan Tercabut
(Slip) 28 19 200 68.84 5.77 20.53
28 19 200 64.8 5.43 20.52
90 19 200 67.38
61.68
5.64
5.61
59.46 Tulangan Tercabut
(Slip) 90 19 200 67.27 5.63 59.38
90 19 200 50.38 5.57 58.88
Tabel 4.14. Hasil Pengujian Pull Out Curing Rendam Air Laut
Umur
Diameter Tulangan
Panjang Penyaluran
Gaya Cabut
Gaya Cabut Rata-Rata
Tegangan Lekat
Tegangan Lekat Rata-Rata
Panjang Slip
Ket
(D) (ld) (P) (P) (τ) (µ)
Hari mm Mm kN kN Mpa Mpa mm
3 19 200 50.16
45.89
4.2
3.85
28.77 Tulangan Tercabut
(Slip) 3 19 200 45.67 3.83 13.3
3 19 200 41.85 3.51 28.37
7 19 200 62.56
59.62
5.24
5.00
17.77 Tulangan Tercabut
(Slip) 7 19 200 57.14 4.79 16.86
7 19 200 59.16 4.96 17.58
28 19 200 72.64
70.89
6.09
5.94
19.7 Tulangan Tercabut
(Slip) 28 19 200 70.38 5.9 28.24
28 19 200 69.64 5.83 27.26
90 19 200 46.32 43.73
3.38 3.50
62.75 Tulangan
97
Umur
Diameter Tulangan
Panjang Penyaluran
Gaya Cabut
Gaya Cabut Rata-Rata
Tegangan Lekat
Tegangan Lekat Rata-Rata
Panjang Slip
Ket
(D) (ld) (P) (P) (τ) (µ)
Hari mm Mm kN kN Mpa Mpa mm
90 19 200 42.45 3.56 63.25 Tercabut
(Slip)
90 19 200 42.42 3.55 64.44
Tabel 4.15. Hasil Pengujian Pull Out Curing Basah-Kering
Umur
Diameter Tulangan
Panjang Penyaluran
Gaya Cabut
Gaya Cabut Rata-Rata
Tegangan Lekat
Tegangan Lekat Rata-Rata
Panjang Slip
Ket
(D) (ld) (P) (P) (τ) (µ)
Hari mm Mm kN kN Mpa Mpa mm
7 19 200 57.11
56.02
4.78
4.69
12.21 Tulangan Tercabut
(Slip) 7 19 200 56.35 4.72 12.09
7 19 200 54.59 4.57 10.92
28 19 200 57.52
58.46
4.82
4.90
25.14 Tulangan Tercabut
(Slip) 28 19 200 56.02 4.69 20.98
28 19 200 61.84 5.18 21.67
90 19 200 60.62
65.52
5.08
5.43
64.44 Tulangan Tercabut
(Slip) 90 19 200 67.27 5.63 64.84
90 19 200 68.68 5.59 65.91
98
4.11. Hubungan Antara Beban Tarik dan Slip
Gambar 4.16 Grafik Pull Out Umur 28 Hari Curing Suhu Ruangan
Beban maksimum pada pengujian pull out bervariasi pada tiap
sampel setelah disimpan 28 hari pada curing suhu ruangan. Nilai beban
max berturut-turut untuk sampel 1,2 dan 3 adalah 62 kN, 68,844 kN dan
64,80 kN. Ketika beban max tercapai terjadi kebutuhan friksi dan
interlocking antara beton dan baja. Gaya tahanan yang terjadi disepanjang
tulangan ini biasanya disebut dengan tegangan lekat atau kuat lekat (bond
strength). Pada saat kondisi beban maksimum dan beban berangsur-
angsur turun dikarenakan hanya terjadi friksi dan interlocking pada
tulangan sehingga tulangan akan bergeser keluar dari dalam beton seiring
dengan penurunan beban hingga mencapai nol.
99
Gambar 4.17 Grafik Pull Out Umur 28 Hari Curing Rendam Air Laut
Beban maksimum pada pengujian pull out bervariasi pada tiap
sampel setelah disimpan 28 hari pada curing rendam air laut. Nilai beban
max berturut-turut untuk sampel 1,2 dan 3 adalah 72,64 kN, 70,37 kN dan
69,63 kN. Ketika beban max tercapai terjadi kebutuhan friksi dan
interlocking antara beton dan baja. Gaya tahanan yang terjadi disepanjang
tulangan ini biasanya disebut dengan tegangan lekat atau kuat lekat (bond
strength). Pada saat kondisi beban maksimum dan beban berangsur-
angsur turun dikarenakan hanya terjadi friksi dan interlocking pada
tulangan sehingga tulangan akan bergeser keluar dari dalam beton seiring
dengan penurunan beban hingga mencapai nol.
100
Gambar 4.18 Grafik Pull Out Umur 28 Hari Curing Basah-Kering
Beban maksimum pada pengujian pull out bervariasi pada tiap
sampel setelah disimpan 28 hari curing basah-kering. Nilai beban max
berturut-turut untuk sampel 1,2 dan 3 adalah 72,64 kN, 70,37 kN dan
69,63 kN. Ketika beban max tercapai terjadi kebutuhan friksi dan
interlocking antara beton dan baja. Gaya tahanan yang terjadi disepanjang
tulangan ini biasanya disebut dengan tegangan lekat atau kuat lekat (bond
strength). Pada saat kondisi beban maksimum dan beban berangsur-
angsur turun dikarenakan hanya terjadi friksi dan interlocking pada
tulangan sehingga tulangan akan bergeser keluar dari dalam beton seiring
dengan penurunan beban hingga mencapai nol.
101
Gambar 4.19 Grafik Pull Out Umur 90 Hari Curing Rendam Air Laut
(Basah)
Beban maksimum pada pengujian pull out bervariasi pada tiap
sampel setelah disimpan 90 hari curing basah. Nilai beban max berturut-
turut untuk sampel 1,2 dan 3 adalah 46.32 kN, 42.435 kN dan 42.425 kN.
Ketika beban max tercapai terjadi kebutuhan friksi dan interlocking antara
beton dan baja. Gaya tahanan yang terjadi disepanjang tulangan ini
biasanya disebut dengan tegangan lekat atau kuat lekat (bond strength).
Pada saat kondisi beban maksimum dan beban berangsur-angsur turun
dikarenakan hanya terjadi friksi dan interlocking pada tulangan sehingga
tulangan akan bergeser keluar dari dalam beton seiring dengan
penurunan beban hingga mencapai nol.
102
Gambar 4.20 Grafik Pull Out Umur 90 Hari Curing Suhu Ruangan (Kering)
Beban maksimum pada pengujian pull out bervariasi pada tiap
sampel setelah disimpan 90 hari curing kering. Nilai beban max berturut-
turut untuk sampel 1,2 dan 3 adalah 67.382 kN, 67.27 kN dan 66.49 kN.
Ketika beban max tercapai terjadi kebutuhan friksi dan interlocking antara
beton dan baja. Gaya tahanan yang terjadi disepanjang tulangan ini
biasanya disebut dengan tegangan lekat atau kuat lekat (bond strength).
Pada saat kondisi beban maksimum dan beban berangsur-angsur turun
dikarenakan hanya terjadi friksi dan interlocking pada tulangan sehingga
tulangan akan bergeser keluar dari dalam beton seiring dengan
penurunan beban hingga mencapai nol.
103
Gambar 4.21 Grafik Pull Out Umur 90 Hari Curing Basah Kering
Beban maksimum pada pengujian pull out bervariasi pada tiap
sampel setelah disimpan 90 hari curing kering. Nilai beban max berturut-
turut untuk sampel 1,2 dan 3 adalah 60.62 kN, 67.27 kN dan 66.68 kN.
Ketika beban max tercapai terjadi kebutuhan friksi dan interlocking antara
beton dan baja. Gaya tahanan yang terjadi disepanjang tulangan ini
biasanya disebut dengan tegangan lekat atau kuat lekat (bond strength).
Pada saat kondisi beban maksimum dan beban berangsur-angsur turun
dikarenakan hanya terjadi friksi dan interlocking pada tulangan sehingga
tulangan akan bergeser keluar dari dalam beton seiring dengan
penurunan beban hingga mencapai nol.
104
4.12. Penentuan Tegangan Lekat Rata-rata
Pada saat pengujian pull out ketika gaya tarik yang diberikan
sudah maksimum, beton pecah di bagian tengah disebabkan retak yang
terjadi di sekitar beton akibat tertariknya tulangan tanpa adanya penahan
dari dalam beton. Sehingga nilai tegangan lekat tertinggi yang diperoleh
adalah 5.94 Mpa. Berikut ditampilkan hasil tegangan lekat rata-rata
berdasarakan 3 jenis variasi curing.
Gambar 4.22 Diagram Presentase Bond Strength Terhadap Variasi
Perendaman (Curing)
Dari hasil diagram tersebut dapat diketahui bahwa metode
perendaman menggunakan curing rendam air laut memiliki bond strength
paling rendah dibandingkan dua variasi perendaman lainnya.
105
4.13 Korelasi kuat tekan dan kuat lekat
Hasil pengujian kuat lekat tulangan dengan berbagai variasi mutu beton
seperti pada tabel 4.16 berikut ini :
Tabel 4.16 Korelasi kuat tekan dan kuat lekat
Jenis curing Umur Benda
Uji Mutu beton
(MPa) Gaya cabut
(N)
Kuat lekat (MPa)
Suhu ruangan 28
17.155 65.21 5.46
90 18.390 67.01 5.61
Basah-kering 28 19.367 58.46 4.90
90 20.100 65.52 5.43
Rendam Air laut 28 16.895 70.89 5.94
90 16.663 43.73 3.50
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.23 :
Gambar 4.23 Grafik Hubungan Kuat Tekan dan Kuat Lekat usia 28 Hari
Dari gambar dapat dilihat bahwa perbedaan curing memiliki
pengaruh terhadap kuat tekan maupun kuat lekatnya. terlihat bahwa mutu
beton berpengaruh terhadap kuat lekat tulangan. Semakin tinggi mutu
beton kuat lekat tulangannya juga semakin tinggi.
106
4.13 Analisa Uji Karbonasi Pada Beton Dengan Campuran Air Laut
Dan Pasir Laut
Uji karbonasi pada penelitian ini adalah menggunakan sampel uji
belah pull out dimulai dengan membersihkan spacement dari debu dan
kotoran lainnya, kemudian semprotkan cairan 1% phenolpthaelin ke
seluruh permukaan beton. Bagian beton yang masih dalam kondisi baik
(masih bersifat basa) akan berwarna pink/ ungu, sedangkan bagian yang
sudah terkarbonasi, PH nya sudah menjadi 7 (netral) atau bahkan kurang
dari 7 (asam) tidak akan berubah warna
Berikut ditampilkan beberapa hasil uji karbonasi seperti gambar berikut :
1. Benda uji pull out 28 hari curing kering
Gambar 4.24 Hasil Karbonasi Benda uji pull out 28 hari curing kering
107
Beton akan terkarbonasi jika karbon dioksida dari udara atau dari
air meresap ke dalam beton. Tingkat karbonasi ini tergantung dari
porositas dan unsur kelembaban pada beton. Jika beton terlalu kering
CO2 tidak dapat meresap ke dalam beton dan karbonasi juga tidak dapat
terjadi pada beton. Untuk spesimen di atas, secara visual peneliti melihat
masih aman dari serangan karbonasi. Hal ini terlihat dengan munculnya
warna pink pada spesimen, hal ini menunjukkan bahwa Ca(OH)2 tidak
terkarbonasi atau masih bersifat basa. Bagian yang tidak berwarna
menunjukkan bahwa beton berkarbonasi.
2. Benda uji pull out 28 hari curing basah
Gambar 4.25 Hasil Karbonasi Benda uji pull out 28 hari curing basah
108
Untuk spesimen ini terlihat terjadi perubahan warna pada
permukaan beton berupa warna pink (PH sekitar 8 hingga 10) dan tidak
mengalami karbonasi. Nampak pula dibagian samping beton tidak
mengalami perubahan warna yang signifikan setelah disemprotkan cairan
phenolhnaftalein. Secara keseluruhan maka beton masih dalam kondisi
baik untuk digunakan
3. Benda uji pull out 28 hari curing basah kering
Gambar 4.26 Hasil karbonasi benda uji pull out 28 hari curing basah
kering
Gas CO2 atau ion asam dapat masuk ke dalam beton melalui pori-
pori kapiler yang terdapat dalam beton. Gas CO2 yang masuk ke dalam
109
beton akan bereaksi dengan Ca(OH)2 dan menghasilkan H2CO3 yang
menyebabkan pH dari beton turun, selain itu ion Cl− dari air laut yang
berinfiltrasi ke beton menyebabkan konsentrasi asam naik. Terlihat dari
spesimen diatas, permukaan beton mengalami perubahan warna menjadi
pink dan sebagian lainnya tidak mengalami perubahan yang artinya
bahwa pada bagian tersebut telah terjadi karbonasi.
4. Benda uji pull out 90 hari curing kering
Gambar 4.27 Hasil karbonasi benda uji pull out 90 hari curing kering
Proses karbonasi ini untuk menetralisir kondisi basa dalam beton.
untuk spesimen diatas terlihat terjadi perubahan warna secara signifikan
pada permukaan beton berupa warna ungu yang menandakan kadar
110
asam (PH) pada beton melebihi 10 dan tidak mengalami karbonasi (beton
masih bersifat basa). selimut beton masih melindungi tulangan baja di
dalamnya sehingga baja tulangan dalam kondisi normal atau tidak
mengalamai korosi.
5. Benda uji pull out 90 hari curing basah
Gambar 4.28 Hasil karbonasi benda uji pull out 90 hari curing basah
Karbonisasi pada beton terjadi akibat unsur kalsium yang ada pada
beton tercampur oleh karbon dioksida yang ada di udara dan berubah
menjadi kalsium karbonat. Untuk spesimen diatas terlihat terjadi
perubahan warna pada permukaan beton berupa warna ungu dan tidak
111
mengalami karbonasi. secara keseluruhan maka beton masih dalam
kondisi baik (masih bersifat basa).
6. Benda uji 90 hari curing basah kering
Gambar 4.29 Hasil Karbonasi benda uji pull out 90 hari curing basah
kering
Proses karbonisasi yaitu terbentuknya Calsium Carbonat (CaCo3)
yang berwarna keputih-putihan sehingga merubah warna permukaan
beton menjadi lebih terang (pink keputih-putihan). Beton akan
terkarbonasi jika karbon dioksida dari udara atau dari air meresap ke
dalam beton. Tingkat karbonasi ini tergantung dari porositas dan unsur
kelembaban pada beton. Terlihat pada spesimen diatas, secara
112
keseluruhan setelah diberikan cairan phenopthalin dapat dilihat bahwa
spesimen mengalami karbonasi.
4.14 ANALISA KETEBALAN MORTAR PADA BETON DENGAN
CAMPURAN AIR LAUT DAN PASIR LAUT
Pada sampel uji belah pullout 28 hari dan 90 hari, peneliti mencoba
menganalisa daya lekat yang terjadi antara beton dan tulangan melalui
pengamatan secara visual. Proses pelekatan ini ditinjau dari segi lekatan
dan dari segi ketebalan mortar.
1. Sampel uji belah pull out 28 hari Curing Kering
Gambar 4.30 Sampel uji belah pullout usia 28 hari curing kering
Gambar 4.31 Tinjauan Ketebalan Mortar uji belah usia 28 hari curing kering
113
Berikut ditampilkan hasil pengukuran ketebalan mortar.
Tabel 4.16 Hasil pengukuran jarak (ketebalan mortar)
Point Jarak arah kiri
(mm) Jarak arah kanan
(mm)
1 6 3
2 5 3
3 5 4
5 3 5
Dari hasil pengamatan terlihat ketebalan mortar yang menyelimuti
beton berada di kisaran sebesar 3mm-6mm, hal ini menunjukkan bahwa
beton dengan campuran air laut dan pasir laut ini mampu padat dengan
baik, tidak terbentuk pori besar yang terjadi akibat bleeding atau udara
yang terperangkap. Dapat disimpulkan bahwa beton yang menggunakan
air laut tercampur dengan baik dan memiliki nilai homobilitas yang tinggi
dimana tidak terjadi segregasi. Hal ini dikarenakan faktor pemadatan pada
beton. Beton yang baru dicor harus langsung dipadatkan. Pemadatan
dilakukan agar ruang kosong yang biasanya berupa gelembung udara
yang tersekap didalam beton dan di sudut-sudut bekisting akan ditiadakan
agar beton akan menempati seluruh isi bekisting dan sekelilingnya secara
optimal.
114
2. Sampel uji belah pull out 28 hari curing Basah
Gambar 4.32 Sampel uji belah pullout usia 28 Hari curing basah
Berikut ditampilkan hasil pengukuran ketebalan mortar.
Tabel 4.17 Hasil pengukuran jarak (ketebalan mortar)
Point Jarak arah kiri (mm)
Jarak arah kanan (mm)
1 3 2
2 3 6
3 3 3
4 4 4
Ketebalan mortar yang menyelimuti beton pada sampel diatas
berada di kisaran sebesar 3mm-6mm, hal ini menunjukkan bahwa beton
memiliki kemampuan Stability yang baik. stability adalah kemampuan
adukan beton untuk selalu tetap homogen, selalu mengikat (koheren), dan
tidak mengalami pemisahan butiran (segregasi dan bleeding).
115
3. Sampel uji belah pull out 28 hari curing basah kering
Gambar 4.33 Sampel uji belah pullout usia 28 Hari curing basah kering
Berikut ditampilkan hasil pengukuran ketebalan mortar.
Tabel 4.18 Hasil pengukuran jarak (ketebalan mortar)
Dari hasil pengamatan peneliti terlihat ketebalan mortar yang
menyelimuti beton berada di kisaran sebesar 3mm-9mm, tidak terlihat
kecenderungan butir-butir kasar akan terlepas dari beton. Tidak terjadi
segregasi yang akan menyebabkan keropos pada beton. hal ini
menunjukkan bahwa ikatan pada beton ini berlangsung dengan baik.
Point Jarak arah kiri (mm)
Jarak arah kanan (mm)
1 9 3
2 4 3
3 5 5
4 3 6
116
4. Sampel uji belah belah pull out 90 hari curing kering
Gambar 4.34 Sampel uji belah pullout usia 90 Hari curing kering
Berikut ditampilkan hasil pengukuran ketebalan mortar.
Tabel 4.19 Hasil pengukuran jarak (ketebalan mortar)
Point Jarak arah kiri (mm)
Jarak arah kanan (mm)
1 3 2
2 2 4
3 6 2
4 3 3
Dari hasil pengamatan terlihat ketebalan mortar yang menyelimuti
beton berada di kisaran sebesar 3mm-6 mm, hal ini menunjukkan bahwa
Pasir laut yang digunakan dalam campuran mortar bebas dari bahan
organik yang dapat merusak beton. Terlihat tidak adanya porositas dalam
beton yang dapat mengganggu kuat tekan beton, secara umum beton
117
dengan campuran air laut dan pasir laut ini dapat dikatakan memiliki
tingkat ketebalan dan daya lekat yang baik.
5. Sampel benda uji pull out 90 hari curing basah
Gambar 4.35 Sampel uji belah pullout usia 90 Hari curing basah
Berikut ditampilkan hasil pengukuran ketebalan mortar.
Tabel 4.20 Hasil pengukuran jarak (ketebalan mortar)
Point Jarak arah kiri (mm)
Jarak arah kanan (mm)
1 1 2
2 4 2
3 5 3
4 3 3
Secara visual terlihat ketebalan mortar yang menyelimuti beton
berada di kisaran sebesar 2mm-5mm, terlihat butiran-butiran agregat
118
saling terikat dengan kuat sehingga terbentuklah suatu massa yang padat
dan kompak.
6. Sampel benda uji belah pull out 90 hari curing basah kering
Gambar 4.36 Sampel uji belah pullout usia 90 Hari curing basah kering
Berikut ditampilkan hasil pengukuran ketebalan mortar.
Tabel 4.21 Hasil pengukuran jarak (ketebalan mortar)
Point Jarak arah kiri (mm)
Jarak arah kanan (mm)
1 10 6
2 5 5
3 3 6
4 2 10
Dari hasil pengamatan terlihat ketebalan mortar yang menyelimuti
beton berada di kisaran sebesar 2mm-10mm, hal ini menunjukkan bahwa
mortar pada beton dengan campuran air laut ini melekat dengan baik.
119
Mortar yang melekat dengan baik pada tulangan ini merupakan salah satu
faktor pendukung yang menyebabkan kuatnya lekatan yang terjadi.
120
Abstrak
Air laut mengandung sekitar 35.000 ppm garam terlarut dan total salinitas adalah 3,5%,
dimana 78% adalah natrium klorida. Seperti yang diketahui dengan baik bahwa ion klorida dapat
meningkatkan risiko korosi pada tulangan baja dalam beton. Oleh karena itu, disarankan agar air
laut tidak digunakan sebagai pencampuran air untuk beton bertulang. Namun dalam kasus yang
tidak dapat dihindari, air laut dapat digunakan sebagai pencampuran air untuk beton biasa tetapi
juga untuk beton bertulang. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai kuat tekan, kuat tarik
belah serta menganalisa tegangan lekat antara beton campuran air laut dan pasir laut dengan baja
tulangan. Pengujian dilakukan dengan menggunakan silinder berukuran diameter 150 mm dan
tinggi 300 mm sebanyak 99 buah dengan variasi umur 3, 7, 28 dan 90 hari. Hasil pengujian kuat
tekan pada umur 28 hari untuk curing suhu ruangan 17,15 MPa, curing rendam 16,895 MPa dan
curing basah-kering 19,367 MPa. Sedangkan hasil pengujian kuat tarik belah usia 28 hari di
peroleh hasil curing suhu ruangan 7,55 MPa, curing rendam 8,85 MPa dan curing basah-kering
7,55 MPa. Hasil penelitian tegangan lekat usia 28 hari untuk curing suhu ruangan 4,28 MPa,
curing rendam 3,63 MPa dan curing basah-kering 3,57 MPa. Dari hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa kuat tekan beton curing basah-kering memiliki hasil lebih tinggi dari kedua
curing sedangkan kuat tarik belah dan tegangan lekat beton curing basah lebih tinggi dari pada
curing suhu ruangan dan curing basah-kering.
Abstract
Seawater contains about 35,000 ppm dissolved salt and total salinity is 3,5% of which
78% is sodium chloride. it is well known that the presence of chloride ions increases the risk of
corrosion of steel bar in concrete. therefore, it is recommended that seawater should not be used
as mixing water for reinforced concrete. however in case of unavoidable circumstance, seawater
may be used as mixing water for not plain concrete but also reinforced concrete. This study aims
to determine the compressive strength, tensile strength and bond strength between steel and
concrete produced from of sea water and sea sand. Experimental tests were carried out by using a 2 as many as 99 object with variation age 3, 7, 28, and 90
days. It is obtained that the compressive strength for laboratory air amounted 17,15 MPa, while
for wet curing and dry-wet curing about 16,895 Mpa and 19,367 MPa, respectively. The tensile
strength of concrete for laboratory air, wet curing and dry-wet curing were 7,55 Mpa, 8,85 Mpa
and 7.55 MPa, respectively. In addition, the result shows that the specimen in the laboratory air
had bond strength of 4,28 MPa, whereas specimens in the wet curing and dry-wet curing showed
bond strength about 3,63 and 3,57 MPa, respectively. From the test results, it can be concluded
that compressive strength of concrete in dry-wet curing is higher than laboratory air and wet
curing. On the other hand, tensile strength and bond strength of concrete in wet curing showed a
higher value compare to laboratory air and dry-wet curing.
120
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai daya lekat
antara tulangan dan beton yang menggunakan campuran air laut dan
pasir laut, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil data yang diperoleh diketahui bahwa terjadi
peningkatan kuat tekan pada umur 28 hari dan mengalami penurunan
pada umur 90 hari pada beton curing rendam air laut. Sedangkan
untuk Kuat tarik belah beton silinder mengalami peningkatan hingga
umur 90 hari.
2. Tegangan lekat pada berbagai variasi curing (direndam, suhu ruangan
dan siklus basah-kering) memperlihatkan nilai yang berbeda.
Tegangan lekat tertinggi terjadi pada benda uji yang di curing kering
(suhu ruangan) sedangkan curing air laut memiliki tegangan lekat
paling rendah dibanding dengan dua variasi curing lainnya.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka sebagai bahan
pertimbangan, diajukan beberapa saran sebagai berikut :
121
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pull out dengan
menggunakan diameter tulangan dan penjang penjangkaran
yang bervariasi.
2. Untuk pengujian pull out lebih lanjut sebaiknya menggunakan
perbandingan benda uji dengan menggunakan tulangan spiral
dan tidak menggunakan tulangan spiral pada beton.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kuat tekan dan
kuat tarik belah beton dengan mengambil variasi waktu
rendaman yang lebih lama lagi khususnya pada beton campuran
air laut dan pasir laut.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tingkat
karbonasi yang terjadi pada beton campuran air laut, pasir laut,
dan semen komposit.
122
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, Duff. 1919, Design of Concrete Mixtures. Lewis Institute:
Chicago.
Akkas, A.M., dan Amiruddin, A. Arwin. (2011) Studi lekatan tulangan
deform pada beton dengan Penambahan additive superplasticizer.
Akkas, A.M., Renta, I dan Irmawaty, R. (2004). Struktur Beton Bertulang I.
Universitas Hasanuddin.
Anonim, 1991, SK SNI T-15-1991-03 Tata cara Perhitungan Struktur
Beton Untuk Bangunan Gedung , Departemen Pekerjaan Umum,
Yayasan
Ginting, Arusmalem.(2011).Perbandingan kuat lekat tulangan berdasarkan
direct Tension pullout bond test dengan kuat lekat tulangan Pada
balok. Universitas Janabadra.
Gurki,J. Thambah Sembiring. (2010) Beton Bertulang Edisi Revisi,
Bandung : Rekayasa Sains.
Isnawati (2012) Perilaku Variasi Lekatan Tulangan Ulir terhadap Beton
SCC dan styrofoam.
Karimah Rofikatul. Perilaku Lekatan Tulangan Polos Dan Tulangan Ulir
Pada Struktur Beton Serat Kayu. Universitas Muhammadiyah
Malang.
Mulyono, Tri. (2004). Teknologi Beton, Yogyakarta : Penerbit Andi.
Munaf, Dicky Rezady. (2003). Concrete Repair and Maintenance, Jakarta :
Yayasan John Hi-Tech Idetama.
123
Murdock, L.J. dan Brook, K.M., 1991, Bahan dan Praktek Beton, Edisi
Keempat, Terjemahan oleh Stephanus Hindarko, Erlangga, Jakarta.
Nawi, Edward G., (1998) Beton Bertulang Studi Pendekatan Dasar.
Bandung : Refika Aditama.
Nawy, Edward G., Tavio., dan Kusuma Benny. (2010). Beton Bertulang
JIlid I, Surabaya : ITS Press.
Park, R. and Paulay, T., 1975, Reinforced Concrete Structures , John
Wiley and Sons. Inc., New York.
Rompas, RM. 2010. Toksikologi Kelautan. Sekretariat Dewan Kelautan
Indonesia. Walaw Bengkulen.
Sunarmasto. Tegangan Lekat Baja Tulangan (Polos Dan Ulir) Pada Beton.
Sebayang, Surya. Tinjauan panjang lekatan antara beton normal
Dengan tulangan akibat beban static.
Tjaronge, M. Wihardi. (2012). Teknologi Bahan Lanjut SEMEN dan
BETON BERONGGA, Makassar : CV. Telaga Zamzam
Tjokrodimuljo, K., 1996, “Teknologi Beton”, Nafiri. Yogyakarta.
Wahyudi dkk. (1997). SK SNI T-15-1991-03 Tata cara Perhitungan
Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung. Bandung: Departemen
Pekerjaan Umum, Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah
Bangunan.