omar oapr 'omeiojun ojul...

2
eSelasaORabu OKamlsOJumatOSabtu 0 Minggu. 4 5 67 8'.9 10 11 12 13 14 1S 20 2122 23 ..24 25 2627 28 2930 31 o Mar OApr 'OMeIOJun OJul QAgsOSepeOktONovODes Swasembada Pangan clan Politik Agraria BERNHARD LIMBONG B elakangan ini kita semakin galau. Harga produk pangan biji-bijian me- lonjak drastis. Bermula dari kemarau panjang yang melanda AS sebagai salah satu negeri penghasil gandum, keledai, dan ja- gung terbesar di dunia,' kenaikan harga ko- moditas pangan dunia berdampak pada laju inflasi dan krisis pangan. Kegalauan bertam- bah karena Indonesia sendiri dilanda keke- ringan yang cukup panjang. Kegagalan pa- nen pun melanda. Kondisinya semakin memprihatinkan ka- rena pada saat bersamaan, hampir semua harga komoditas 'ekspor unggulan-kira- me-« nurun cukup dratis seperti minyak kelapa sa- wit mentah (CPO), karet, kakao, dan kopi. Kenaikan harga bahan pangan, kemarau pan- jang, impor pangan tak terkendali, dan me- .nurunnya harga komoditas ekspor unggulan sungguh memukul para petani, pekebun, pe- . tani garam, juga peternak. Data menunjuk- kan, dari 3,5 juta hektar perkebunan karet di Indonesia, 85% di antaranya melibatkan usa- ha rakyat. Sekitar 90% dari 1,3 juta hektar areal usaha tanaman kopi melibatkan pefani pekebun. Kondisi serupa terjadi pada usaha tani kakao. Untuk sawit, sekitar 43% dari 6,5 juta hektar perkebunan sawit merupakan ke- bun sawit rakyat. Dampak yang patut diwaspadai tentu sa- ja laju inflasi dan krisis pangan nasional. Belum lama ini, Menteri Pertanian Sus- wono mensinyalir bahwa kekeringan belurn mengganggu produksi pangan dan ketahan- anpangan nasional, karena areal yang keke- ringan sekitar 23.000 hektar dari total 13 ju- ta luas areal sawah. Sebuah pertanyaan, ba- gaimana nasib ribuan petani pemilik sawah seluas 23.000 hektar tadi? Dalam kaitan itu, Wamen Pertanian Rus- man Heriawan pekan lalu mengakui target pencapaian swasembada pangan-beras, gu- la, kedelai, jagung, dan daging sapi pada ta- hun 2014 bakal sulit tercapai. Sebab, untuk swasembada pangan, target produksi padi harus mencapai 76,5 juta ton gabah kering giling, 29 juta ton jagung, 2,7 juta ton kede- lai, 3,1 juta ton gula, dan 0,51 juta ton da- ging sapi. Politik Agraria Data dan berbagai fakta di atas menun- jukkan ada yang salah dengan politik agraria nasional kita. Kita dikaruniai 'bumi, air, dan kekayaan alam di atasnya' yang maha dah- syat kaya. Namun, filosofi 'dikuasai oleh ne- gara' dalam Pasal33 utJD 1945 belum terja- barkan secara tepat dan utuh 'untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.' Pasal 33 UUD 1945 sebagai saripati politik sosial ekonomi RI masih menjadi mimpi. ~ - -'--~---'-- Kllplng Humas Unpad 2012

Upload: trinhxuyen

Post on 31-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

eSelasaORabu OKamlsOJumatOSabtu 0 Minggu.4 5 67 8'.9 10 11 12 13 14 1S20 2122 23 ..24 25 2627 28 2930 31

oMar OApr 'OMeIOJun OJul QAgsOSepeOktONovODes

Swasembada Pangan clan Politik Agraria

BERNHARDLIMBONG

B elakangan ini kita semakin galau.Harga produk pangan biji-bijian me-lonjak drastis. Bermula dari kemarau

panjang yang melanda AS sebagai salah satunegeri penghasil gandum, keledai, dan ja-gung terbesar di dunia,' kenaikan harga ko-moditas pangan dunia berdampak pada lajuinflasi dan krisis pangan. Kegalauan bertam-bah karena Indonesia sendiri dilanda keke-ringan yang cukup panjang. Kegagalan pa-nen pun melanda.

Kondisinya semakin memprihatinkan ka-rena pada saat bersamaan, hampir semuaharga komoditas 'ekspor unggulan-kira- me-«nurun cukup dratis seperti minyak kelapa sa-wit mentah (CPO), karet, kakao, dan kopi.Kenaikan harga bahan pangan, kemarau pan-jang, impor pangan tak terkendali, dan me-.nurunnya harga komoditas ekspor unggulansungguh memukul para petani, pekebun, pe-

. tani garam, juga peternak. Data menunjuk-kan, dari 3,5 juta hektar perkebunan karet diIndonesia, 85% di antaranya melibatkan usa-ha rakyat. Sekitar 90% dari 1,3 juta hektarareal usaha tanaman kopi melibatkan pefani

pekebun. Kondisi serupa terjadi pada usahatani kakao. Untuk saw it, sekitar 43% dari 6,5juta hektar perkebunan sawit merupakan ke-bun sawit rakyat.

Dampak yang patut diwaspadai tentu sa-ja laju inflasi dan krisis pangan nasional.

Belum lama ini, Menteri Pertanian Sus-wono mensinyalir bahwa kekeringan belurnmengganggu produksi pangan dan ketahan-anpangan nasional, karena areal yang keke-ringan sekitar 23.000 hektar dari total 13 ju-ta luas areal sawah. Sebuah pertanyaan, ba-gaimana nasib ribuan petani pemilik sawahseluas 23.000 hektar tadi?

Dalam kaitan itu, Wamen Pertanian Rus-man Heriawan pekan lalu mengakui targetpencapaian swasembada pangan-beras, gu-la, kedelai, jagung, dan daging sapi pada ta-hun 2014 bakal sulit tercapai. Sebab, untukswasembada pangan, target produksi padiharus mencapai 76,5 juta ton gabah keringgiling, 29 juta ton jagung, 2,7 juta ton kede-lai, 3,1 juta ton gula, dan 0,51 juta ton da-ging sapi.

Politik AgrariaData dan berbagai fakta di atas menun-

jukkan ada yang salah dengan politik agrarianasional kita. Kita dikaruniai 'bumi, air, dankekayaan alam di atasnya' yang maha dah-syat kaya. Namun, filosofi 'dikuasai oleh ne-gara' dalam Pasal33 utJD 1945 belum terja-barkan secara tepat dan utuh 'untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.' Pasal 33UUD 1945 sebagai saripati politik sosialekonomi RI masih menjadi mimpi.~ - -'--~---'--

Kllplng Humas Unpad 2012

Politik agraria nasional kita belum me-nyentuh aspek paling fundamental dari kese-jatian sebuah negara agraris dan bahari.Persoalan paling sentral substansial, yaitupolitik agraria nasional yang tidak memihakkepadapembangunan perdesaan (74.000desa) yang dihuni 72% penduduk Indo-nesia, entah sebagai petani, peternak, dannelayan.

Perintah UU Pokok Agraria Tahun 1960,khusus ten tang Land Reform (ReformaAgraria) sebagai pilar utama untuk men-transformasi masyarakat agraris-miskin kemasyarakat industri-maju, tidak pemah dija-lankan secara sungguh-sungguh. Nasib lebihtragis terjadi atas Tap MPR No. 9 Tahun2001 tentang Pembaruan Agraria danPengelolaan Sumber Daya Alam. Visi hebatdan misi besar produk hukum yang lahirdari rahim reformasi itu tak kunjung ber-buah. .

Data Departemen Pertanian menyebut-kan, luas lahan pertanian saat ini sekitar 13juta hektar. Jika dibagi dengan jumlah -30

''juta: petani yang ada; berarti-rata-rata lualahan per petani hanya 0,3 hingga 0,4 hektar.Di sisi lain, setiap lima tahun konversi lahanpertanian untuk pertambangan, kawasanindustri, industri jasa, dan kawasan permu-kiman mencapai 106.000 hektar. Akibatnya,produksi komoditas pertanian merosot.

Padahal, UUD 1945 dan UUPA Tahun1960 mengamanatkan, negara menjarnin pe-nyediaan lahan pertanian pangan secara ber-:kelanjutan sebagai sumber pekerjaan danpenghidupan yang layak bagi kemanusiaan.Kita juga sudah memiliki payung hukum be-rupa UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlin-dungan Lahan Pertanian Pang an Berkelan-jutan, diikuti pp No. 1 Tahun 2011 tentangPenetapan dan Alih Fungsi Lahan PertanianPangan Berkelanjutan dan, pp No. 12 Tahun2012 tentang Insentif Perlindungan LahanPertanian Pangan Berkelanjutan.

Jika reforma agraria dijalankan sungguh-sungguh, Indonesia tidak hanya bisa swa-sembada pangan, juga memiliki potensi be-sar untuk menjadi Negara pengekspor terbe-'sar untuk berbagai komoditi pangan. Untukkedelai, misalnya. Meski produksi kedelaiIndonesia hanya 1,8-2,2 ton per hektar, na-mun umur tanaman kedelai Indonesia hanya85-90 hari. Di AS, produksi per hektar 2,9ton, namun masa tanam 160-170 hari.

Ironisnya, Indonesia sebagai Negara ag-raris hanya memiliki luasan area kedelai700.000 hektar. AS memiliki area kedelai 28juta hektar dan Brasil 22 juta hektar.

Selain kedelai, Indonesia juga potensialmengembangkan gandum yang hingga hariini 95% bergantung pada impor. Bahan dasartepung terigu ini ciikup potensial, namun ti-dak didukung teknologi dan pemasaran yangmemadai. Hal itu bisa terlihat di KabupatenBanjar Jawa Tengah yang memiliki 40 hek-tar lahan gandum. Petani di sana bisa mem-produksi hingga 3 ton per hektar.

Para pengamat menilai, salah satu perso-alan mendasar adalah keterlambatan pemba-ngunan industri hilir sehingga kekayaanalam Indonesia kehilangan momentummemberi nilai tambah pada 'bumi, air, dan------~------~----~~~----~~---

kekayaan alam yang terkandung di dalam-nya'. Data Kemenperin tahun 2010, Indone-sia mengekspor 46,83% dari total 23,5 jutaton CPO, biji kakao 559.000 ton, 77,36% di-ekspor, karet 2,8 juta ton, diekspor 81,88%.

Menanggapi hal itu, Menteri Perindustri-an MS Hidayat mengakui pembangunan in-dustri hilir Indonesia seharusnya sudah di-mulai 15 tahun silam. Baru dalam dua tahunterakhir, Kementerian Perindustrian mulaifokus dengan pembangunan industri agro,kelapa sawit, kakao, dan karet. Hasilnyabaru terlihat lima tahun lagi.

Masalah penting lainnya terkait politikanggaran. Seperti sering dikemukan paraekonom dan analis, bahwa politik anggarankita belum menyentuh ke hal-hal utama danstrategis sehingga belum terlihat dampaknyasecara signifikan bagi 71,3% rakyat Indone-sia yang tinggaldi perdesaan. Padahal, volu-me APBN kita naik empat kali lipat dalamdelapan tahun terakhir dan tahun 2012 men-capai Rp 1.548 triliun.

Pengesahan RUU Desa, RUU Hak AtasTanah, dam RUU Perlidnngan MasyarakaAdat yang saat ini diproses di DPR dan DPUterasa semakin mendesak. Produk hukumlain yang penting dan strategis ialah UUGanti Rugi untuk "mengimbangi' UU No. 2Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untukPembangunan Kepentingan Umum. KalauUU No.2/2012 lebih berpihak kepada inves-tor, maka UU Ganti Rugi berorientasi padapemegang hak atas tanah.

Politik hukum agraria kita juga seharus-nya menelorkan UU Reforma Agraria sesuaiamanat UU No. 5 Tahun 1960 ten tang Per-aturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan TapMPR No. 9 Tahun 2001. Tanpa produk hu-kum yang kuat dan mengikat, ReformaAgraria sulit terwujud seperti yang terjadihingga hari ini.

Tentu saja kehadiran semua UU itu be-lum menyelesaikan persoalan. Masih banyakaspek lain seperti sosial budaya, politik ang-garan, dan terutama penegakan hukum ikutmenentukan tingkat keberhasilan di lapang-an. Misalnya, UU Tata Ruang yang tidakefektif karena kerap berbenturan dengan UUOtonomi Daerah yang memberi kewenangankepada bupati/walikota membuat Perda TataRuang, termasuk untuk pertanian, kehutan-an, pertambangan, industri, dan perumahan.Kasus alih-fungsi hutan lindung di Puncakmenjadi hutan produksi atau areal persawah-an di Karawang menjadi bandar udara mem-perlihatkan benturan itu.

Kasus-kasus tersebut tidak perlu terjadikalau politik agraria dan politik hukum agra-ria kita berpegang teguh pada tiga pilar uta-ma sekaligus ,patokan dasar, yaitu nilai-nilaifilosofis-ideologis Pancasila, KonstitusiUUD 1945, dan UUPA 1960. Tanpa ketigapanduan dan patokan dasar itu, kita tak akanpernah bebas dari ancaman krisis pangan,gejolak harga pangan, dan impor pangan.Kita pun semakin jauh dari impian BungKarno tentang kedaulatan di bidang politik,ekonomi, dan budaya (Trisakti).

PENULlS ADALAH DOKTOR ILMU HUKUM PERTANAHAN,

UNPAD, BANDUNG