oleh: pangeran paita yunus -...
TRANSCRIPT
BEN
NTUK, GASENI HI
Pengkajia
SUNIVERS
RI
AYA, FUNIAS ISTAN
DI
Proan Seni P
PangeraNIM. 09/2
Diaju
SEKOLAHSITAS GAD
NGKASA
NGSI, DANNA-ISTAN
ISERTAS
ogram StuPertunjuka
Oleh: an Paita 292927/S
ukan kepa
H PASCASDJAH MAD
2012
AN
N MAKNANA RAJA
SI
udi an dan Se
Yunus SMU/711
ada
SARJANA DA YOGYA
A SIMBOL BUGIS
eni Rupa
AKARTA
LIK
1
BENTUK, GAYA, FUNGSI, DAN MAKNA SIMBOLIK SENI HIAS ISTANA-ISTANA RAJA BUGIS
1. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat
dibedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya.
Di daerah ini dikenal istilah saoraja (istana) dan bola (rumah).
Saoraja berarti rumah besar yang ditempati oleh raja beserta
keturunannya, sedangkan bola adalah rumah yang ditempati oleh
rakyat biasa.
Pada dasarnya kedua jenis rumah ini tidak mempunyai
perbedaan yang mendasar bila dilihat dari segi bentuk bangunan,
tetapi berbeda dari ukuran, seni hias yang digunakan serta
identitas lainnya yang melekat pada bangunan rumah tersebut.
saoraja karena ditempati oleh raja dan keturunannya, maka selain
bentuknya lebih besar, juga diberikan identitas tertentu yang
mendukung tingkat status sosial dari penghuninya. Misalnya
timpanon atau bubungan rumah (timpalaja) yang memiliki 3 (tiga)
sampai 5 (lima) tingkatan, serta seni hias yang digunakan.
Disertasi ini mencoba untuk mengulas secara mendalam seni hias
yang diterapkan pada istana-istana raja Bugis Sulawesi Selatan.
Istana dengan seni hiasnya merupakan karya yang tumbuh
dan berkembang di bawah pengaruh tradisi, aktivitas sosial
2
budaya, dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sebuah karya
arsitektur seperti istana dan seni hias yang ada semestinya juga
sebagai cerminan budaya yang mempunyai makna dan fungsi
sebagaimana mestinya (Budihardjo, 1997: 6).
Seni hias pada istana-istana raja Bugis ini, sebagaimana
seni hias lainnya merupakan salah satu bentuk warisan budaya
yang tidak ternilai. Namun demikian, sejauhmana kebudayaan
daerah dapat dikenal dan dicintai masyarakat pendukungnya
adalah hal yang membutuhkan analisis untuk menunjukkan
identitas bangsa yang berkepribadian. Seperti diketahui Istana
atau Saoraja sebagai pusat kerajaan, pusat pemerintahan, dan
pusat kebudayaan merupakan salah satu aset lokal yang perlu
dipertahankan eksistensinya; bahkan dilestarikan sebagai salah
satu kearifan lokal masyarakat pendukungnya dan warisan yang
dapat memperkaya seni budaya di tanah air.
Berdasarkan pada uraian di atas, maka terdapat beberapa
hal mendasar terkait dengan seni hias pada istana-istana raja
Bugis. Pertama, seni hias pada istana-istana raja Bugis
merupakan kreasi artistik dan ekspresi simbolik. Kedua, kreasi
artistik dan ekspresi simbolik ini mempresentasikan elemen-
elemen tanaman dan satwa. Ketiga, seni hias Bugis memiliki
kedudukan dan peran penting dalam upacara ritual dan
menunjukkan status sosial penghuninya (Pelras, 2006: 33) yang
3
didasarkan pada konsepsi-konsepsi tertentu dan makna simbolik
dalam kehidupan suku Bugis.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka dipandang
penting untuk dilakukan suatu penelitian yang dapat mengungkap
keberadaan seni hias pada istana-istana raja Bugis di Sulawesi
Selatan, baik dari aspek struktur bentuk, gaya, fungsi, maupun
makna simbolnya. Di samping itu, penelitian ini juga ingin melihat
pengaruh luar terhadap perubahan bentuk dan makna seni hias
Bugis yang ada serta nilai-nilai budaya yang terdapat di dalamnya.
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, dirumuskan
masalah sebagai berikut.
a. Bagaimana bentuk, gaya, fungsi dan makna simbol seni hias
pada istana-istana raja Bugis di Sulawesi Selatan?
b. Pengaruh seni apa saja yang terdapat pada seni hias istana-
istana raja Bugis di Sulawesi Selatan?
c. Mengapa seni hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis
di Sulawesi Selatan mengalami perubahan struktur bentuk dan
gaya seni?
4
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1) Mengidentifikasi dan menginventarisasi seni hias Bugis sebagai
artefak yang ada pada istana-istana raja Bugis di Sulawesi
Selatan.
2) Untuk mengetahui pengaruh seni apa saja yang terdapat pada
istana-istana raja Bugis di Sulawesi Selatan
3) Untuk memahami secara jelas, lengkap, dan akurat tentang
struktur bentuk, gaya, fungsi dan makna simbol dalam seni
hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis.
4) Untuk mengetahui secara jelas dan mendalam nilai kearifan
budaya lokal yang terimplementasikan dalam seni hias pada
istana-istana raja Bugis.
b. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan dapat dicapai sebagai
berikut.
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah
ilmu di bidang seni khususnya seni rupa, terkait dengan seni
hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis di Sulawesi
Selatan
5
2) Dapat menjadi sumber ide pengembangan kreativitas
penciptaan seni, khususnya bidang seni rupa yang bersumber
dari nilai-nilai luhur yang terdapat pada bangunan istana.
3) Mengenalkan budaya yang terbentuk di istana-istana kepada
generasi muda.
4) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan
baru dari hasil penerapan beberapa pendekatan dan teori
keilmuan (multidisiplin) terhadap obyek kajian penelitian.
4. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang seni hias daerah Sulawesi Selatan,
khususnya seni hias Bugis sejauh ini masih sangat jarang
dilakukan. Beberapa hasil penelitian dan pustaka yang ada hanya
mengulas tentang arsitektur, ornamen, dan konstruksi rumah,
dengan ulasan yang masih sangat parsial. Di samping bahasannya
sangat umum dengan membahas karya arsitektur pada empat
suku yang mendiami daerah Sulawesi Selatan, juga dari sudut
penyajian data yang seadanya dan masih bersifat deskriptif.
Terkait dengan hal tersebut di atas, berikut dikemukakan
beberapa buku yang dapat menjadi bahan referensi dalam upaya
mendalami kebudayaan dan seni hias yang ada di daerah Sulawesi
Selatan, khususnya daerah Bugis, dan juga untuk menjaga
orisinalitas penelitian penulis.
6
Buku yang secara khusus membahas tentang Arsitektur
rumah tradisional Bugis ditulis oleh Nadji Palemmui Shima(2006:
4-7) yang berjudul Arsitektur Rumah Tradisional Bugis. Pada
bagian awal buku ini diuraikan mengenai tradisi membangun
rumah oleh suku Bugis yang memandang rumahnya sebagai
manifestasi dari alam yang menjadi pusat siklus kehidupan
manusia. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, menikah, dan
meninggal. Oleh karena itu, rumah dipandang sakral dan
diperlakukan dengan sangat hormat, agar keberadaannya dapat
memberikan kedamaian, kesehatan, keselamatan, kesejahteraan,
dan kehormatan bagi penghuninya.
Pada bagian akhir buku ini dibahas ragam hias pada rumah
Bugis yang berpola dari alam tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Ukiran yang berpola tumbuh-tumbuhan mengambil bentuk bunga
parenreng, sejenis tumbuhan yang menjalar ke mana-mana dan
tidak ada putus-putusnya. Ukiran ini bermakna rezeki penghuni
rumah yang tiada putus-putusnya.
Ukiran yang berpola hewan umumnya mengambil bentuk
tiga macam hewan, yaitu pola ayam jantan, kepala kerbau, dan
naga. Bagi orang Bugis, ayam jantan adalah simbol keberanian
dan bermakna kehidupan penghuni rumah senantiasa baik-baik
dan tenteram. Ukiran ayam jantan ditempatkan pada puncak
bubungan atap rumah, pada ujung depan, dan belakang.
7
Penelitian Pangeran Paita Yunus (2009: 2-7) dengan judul
“Kemahiran Lokal (Local Genius) dalam Ragam Hias Bugis (Kajian
Ragam Hias pada Rumah Tradisional Bugis dalam Unsur-Unsur
Estetika Bentuk)”, sebuah tesis yang membahas ragam hias yang
terdapat pada rumah tradisional Bugis Sulawesi Selatan. Dalam
penelitian itu diuraikan secara detail makna simbolis ragam hias
yang terdapat bagian atas, bagian tengah, dan bagian bawah
rumah tradisional Bugis. Motif hias yang diterapkan pada rumah
bagian atas di antaranya: motif hias ayam jantan (manu’), motif
kepala kerbau (ulu tedong), motif ular naga (naga), motif bunga
parenreng, dan motif bulan bintang. Ragam hias pada badan
rumah, di antaranya motif pucuk rebung/jantung pisang (cobo’-
cobo’), dan motif geometris, sedangkan ragam hias yeng terdapat
pada rumah bagian bawah, antara lain bunga parenreng dan ular
naga.
Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa suku Bugis
Sulawesi Selatan menyakini bahwa bentuk fisik dari rumah
tradisionalnya, termasuk ragam hiasnya, mencerminkan nilai-nilai
budaya Bugis. Nilai-nilai kebudayaan Bugis dimaksud adalah
Alempureng (kejujuran), Amaccang (kecendikiaan), Asitinajang
(kepatuhan), Agettengeng (Keteguhan), reso' (usaha), siri’ (rasa
malu, harga diri), Awaraningeng (keberanian), saling tolong
menolong (sipatuwo sipatokkong), dan lain sebagainya. Hal ini
8
dapat dilihat pada penerapan tertentu pada bagian-bagian tertentu
dari suatu rumah menunjukkan bahwa Pangngadereng atau
norma dan peraturan-peraturan adat untuk masyarakat,
pelaksanaannya harus dimulai dari kehidupan rumah tangga.
Oleh karena itu, dibuatkan bentuk-bentuk tertentu dari bagian-
bagian rumah yang mengandung fungsi, makna dan simbol-simbol
tertentu dari nilai-nilai utama kebudayaan Bugis yang terdapat
dalam aspek pangngadereng, agar tidak dilupakan.
Buku yang ditulis oleh Izarwisma Mardanas, Rifai Abu, dan
Maria (1985: 7) berjudul Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi
Selatan, memuat analisis arsitektur tradisional dari empat etnis
yang ada di Sulawesi Selatan, yakni etnis Bugis, Makassar,
Mandar, dan Toraja. Buku itu membahas jenis rumah tradisional
yang ada pada empat etnis di daerah Sulawesi Selatan. Di dalam
salah satu bab mengurai tentang bentuk ragam hias dan tata cara
pembuatan rumah tradisional di daerah Sulawesi Selatan.
Dalam bab tiga yang secara khusus membahas ragam hias
dikemukakan secara umum pola dasar dan sumber ragam hias
dari empat etnis yang mendiami daerah Sulawesi Selatan, yakni
ragam hias yang bersumber dari flora, fauna, alam sekitar, dan
tulisan kaligrafi. Jenis ragam hias flora yang menonjol adalah
penerapan motif hias bunga parenreng yang biasanya ditempatkan
pada papan jendela, induk tangga, atau pada tutup bubungan.
9
Motif hias yang tampil dalam bentuk fauna, terdapat tiga
macam ragam hias yang umumnya ditemukan pada rumah orang
Bugis. Ketiga ragam hias fauna itu adalah motif ayam jantan,
motif kepala kerbau, dan motif naga. Dalam bentuk lain dikenal
pula beberapa ragam hias, baik yang berbentuk benda-benda yang
ada di alam maupun hal yang terkait dengan agama dan
kepercayaan. Bentuk yang bersumber dari alam dikenal dengan
sebutan motif uleng lolo yang berarti bulan sabit. Motif ini
biasanya dikombinasikan dengan bentuk bintang lima. Pada
bagian akhir bab ini, di samping mengulas motif hias bulan sabit
dan bintang, diulas pula motif-motif kaligrafi yang diterapkan
pada bangunan arsitektur Bugis.
Buku yang membahas seni hias secara khusus ialah
Indonesische Sier Motieven, karya A.N.J. Th a Th. van der Hoop
(1949: 8) Buku ini membahas berbagai seni hias di Indonesia sejak
zaman prasejarah sampai zaman modern, dari Sabang sampai
Merauke, dalam berbagai media perwujudan dan penerapan.
Van der Hoop pada bagian awal bukunya memulai
membahas ragam seni hias geometrik, kemudian dijabarkan
secara berturut-turut seni hias yang bersumber dari alam yang
sudah ada sejak masa neolitikum dalam berbagai bentuk, antara
lain seni hias corak naturalistik, manusia, hewan, dan tumbuh-
tumbuhan. Dalam penerapannya, corak geometrik banyak ditemui
10
pada benda seni kerajinan keramik, anyaman, bahan tekstil
seperti tenun dan batik yang tersebar di berbagai daerah di
Nusantara. Seni hias juga dijumpai pada beberapa bagian
bangunan seperti pada rumah ibadah, candi, istana, dan rumah
tinggal.
Motif hias manusia dan binatang, banyak sekali ditemui
pada bangunan-bangunan suci agama Hindu dan Budha,
khususnya bangunan yang ada di pulau Jawa dan daerah lainnya
di Nusantara. Beberapa seni hias juga ditampilkan pada objek
patung yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, di antaranya
di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Penerapan seni
hias pada patung tersebut terkait dengan kepercayaan terhadap
roh nenek moyang.
Motif hias binatang tampil sesuai dengan karakter daerah
masing-masing, terkadang telah mengalami stilasi bentuk.
Sementara penerapan motif tumbuh-tumbuhan dijumpai pada
hasil seni kerajinan, tekstil, dan bangunan baik yang digarap
secara naturalistik maupun yang telah mengalami stilasi bentuk.
Buku yang secara khusus membahas ornamen di Indonesia
dapat dilihat dalam Indonesian Ornamental Design, disusun oleh
Pepin van Roojen (1998: 9), dalam buku ini dijelaskan keberadaan
berbagai jenis ornamen yang terdapat di wilayah Nusantara mulai
dari Sabang sampai Merauke, berikut penerapannya pada
11
berbagai bidang dan medium. Antara lain diceritakan bahwa seni
ornamen di Indonesia berkembang dan dipengaruhi oleh
kebudayaan tertentu.
Bagian awal buku ini menampilkan gambar seni hias
geometrik yang diterapkan pada anyaman tikar, tutup kepala, alat
penangkap ikan, tas, dan benda lainnya. Gambar seni hias disertai
dengan keterangan tentang teknik-teknik pembuatannya dengan
garapan visual yang menarik. Selanjutnya diuraikan beberapa
jenis seni hias yang ada pada kain songket, tenun, dan kain ulos
yang tersebar di daerah Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan beberapa
daerah lainnya di kawasan Nusantara.
Penelitian yang secara khusus membahas ragam hias
Melayu pada arsitektur tradisional dilakukan Yulriawan Dafri
(2009: 2-8, 413-417) dengan judul “Ragam Hias Melayu pada
Arsitektur Tradisional Rumah Panggung di Palembang dan Jambi:
Bentuk, Fungsi, dan Maknanya”, sebuah disertasi yang membahas
ragam hias yang terdapat pada rumah panggung di daerah
Palembang dan Jambi. Hasil penelitian ini menunjukkan secara
garis besar ditemukan adanya beberapa persamaan dan
perbedaan bentuk ragam hias di kedua wilayah budaya tersebut.
Persamaannya terdapat dalam hal penyebutan nama motif, unsur,
susunan, irama, dan gaya yang membentuk wujud ragam hias
12
tersebut. Adanya persamaan bentuk ragam hias di kedua wilayah
budaya ini dikarenakan adanya persamaan perkembangan sejarah
pada beberapa abad yang lalu.
Ragam hias yang diciptakan sebagian merupakan
transformasi bentuk ragam hias yang telah ada sebelumnya.
Kemudian dikemas dan diakui sebagai ragam hias yang khas
Melayu atau mengalami proses Melayunisasi. Selain itu, ragam
hias Melayu juga memiliki beberapa fungsi dan makna simbolis
tertentu. Secara sosial, fungsi ragam hias yang melekat pada
bangunan tradisional untuk menunjukkan status sosial si pemilik
rumah. Secara fisik, ragam hias yang ditampilkan selain dapat
memberikan nilai keindahan atau estetis, ragam hias juga
berfungsi secara konstruktif pada bagian-bagian tertentu di mana
ragam hias tersebut diterapkan. Fungsi fisik harus mencakup dan
memenuhi unsur kegunaan, keefektifan, penampilan, dan daya
tarik. Dari sudut pemaknaan, ragam hias yang diciptakan harus
diterjemahkan atas dasar konsep adat-istiadat dan pandangan
agama. Umumnya, makna ragam hias memberikan nilai-nilai
positif dalam mendukung aktivitas kehidupan masyarakat
setempat.
Melalui tinjauan pustaka yang telah terurai di atas, nampak
belum pernah ada peneliti yang khusus mengkaji dan menelaah
secara mendalam tentang bentuk, fungsi, dan makna simbolik
13
seni hias pada istana-istana raja Bugis. Dengan demikian,
keaslian penelitian untuk disertasi ini dapat dipertanggung
jawabkan.
5. Landasan Teori
Pembahasan secara mendalam terhadap kehadiran seni hias
pada istana-istana raja Bugis Sulawesi Selatan dengan fokus
kajian pada aspek bentuk, tata letak, fungsi, dan makna simbolik,
serta kearifan lokal yang terdapat pada budaya Bugis akan
dilakukan dengan menggunakan landasan teori yang
dikemukakan oleh beberapa ahli. Penelitian ini akan
menggunakan pendekatan multidisiplin dengan menggunakan dua
teori utama yakni teori estetika dan teori hermeneutik. Bennett
(dalam Barker, 2004: 7) menyebut kajian budaya sebagai
interdisiplin, dengan alasan bahwa dalam menganalisis obyeknya,
kajian budaya: a) melibatkan berbagai perspektif disiplin yang
berlainan, dan b) berkaitan dengan praktik berbagai institusi.
Teori estetika digunakan untuk menganalisis struktur
bentuk, tata letak dan fungsi seni hias. Teori hermeneutik atau
penafsiran digunakan untuk menganalisis aspek makna simbol
seni hias yang ada pada istana. Dengan demikian, penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
multidisiplin. R.M. Soedarsono (2001: 194) mengemukakan bahwa
14
dalam penelitian seni rupa, pendekatan multidisiplin jelas sangat
dimungkinkan, bahkan dianjurkan.
Berikut dijelaskan beberapa teori yang terkait dengan objek
penelitian.
a. Teori Estetika
Teori estetika Edmund Burke Feldman digunakan sebagai
teori yang diyakini dapat mengurai dan menjawab pertanyaan
pertama penelitian ini yakni bagaimana bentuk, gaya, fungsi, dan
makna simbol seni hias pada istana-istana raja Bugis Sulawesi
Selatan. Feldman secara mendalam mengurai tentang seni rupa,
terutama struktur bentuk yang meliputi unsur seni dan
komposisi. Teori E. B. Feldman (1967, 4) juga mengklasifikasikan
fungsi seni dalam tiga kelompok besar, yakni: personal functions of
art, the social functions of art, dan the phisycal functions of art.
Ketiga fungsi ini memiliki kedudukan, peran, dan manfaat
tersendiri dalam sebuah kelompok masyarakat.
Bila dikaitkan dengan teori Feldman di atas, kehadiran seni
hias pada istana-istana raja Bugis, tentu memiliki fungsi dan
perannya tersendiri sejalan dengan pandangan hidup masyarakat
yang mendukung hadirnya seni hias tersebut.
Teori estetika dibutuhkan pada taraf deskripsi, pemahaman,
analisis dan interpretasi. Teori ini berangkat dari anggapan bahwa
15
setiap bidang seni dapat dianggap memiliki sejumlah unsur dasar
estetik yang bersifat universal. Misalnya dalam karya seni hias
terdapat unsur-unsur: komposisi, penggunaan garis, penggunaan
warna, dan penggarapan tekstur. Selanjutnya, setiap unsur
universal itu mempunyai perwujudan-perwujudan yang khas di
tiap lingkup budaya maupun sub-budaya (Sedyawati, 1987: 8-9).
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, meminjam teori
estetika seperti pemanfaatan unsur-unsur visual seni rupa
(komposisi, garis, warna, ruang, dan tekstur), dan didukung teori
Feldman, maka hal yang terkait dengan bentuk, rupa, atau wujud
seni hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis Sulawesi
Selatan dapat dideskripsikan, dianalisis, dan ditelaah secara
mendalam. Bentuk, fungsi, dan makna adalah tiga hal yang saling
terkait. Setiap gejala kultural memiliki bentuk, kemudian bentuk
tersebut memiliki fungsinya masing-masing, yang pada gilirannya
akan memberikan makna tertentu (Ratna, 2010: 345-346).
Struktur bentuk terdiri atas elemen-elemen garis, warna, tekstur,
dan lain-lain, yang apabila disusun akan membentuk sebuah
bidang yang memiliki nilai seni dan keindahan. Kaitannya dengan
penelitian ini, maka karya seni yang dihasilkan oleh masyarakat
adalah bentuk atau wujud nyata seni hias Bugis yang diterapkan
dengan segala elemen-elemen pendukung. Tentunya memiliki nilai
seni dan nilai estetika tersendiri.
16
Teori Fritz A. Wagner (1959: 37) dipandang tepat dan relevan
untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga penelitian ini,
yakni mengapa seni hias yang terdapat pada istana-istana raja
Bugis mengalami perubahan struktur bentuk dan gaya seni dan
bagaimana struktur bentuk, gaya, fungsi, dan makna simbol
dalam seni hias pada istana-istana raja Bugis.
Teori ini terutama digunakan untuk menganalisis struktur
bentuk seni hias pada istana Bugis. Wagner secara mendalam
mengulas tiga gaya yang masing-masing memberi sumbangan
terhadap pembentukan seni dekoratif yang beraneka ragam di
beberapa wilayah Nusantara. Ketiga gaya tersebut adalah gaya
neolith, gaya Dong-son, dan gaya Chou Tua. Wagner juga
mengemukakan masalah proses teknik, struktur bentuk awal,
komposisi, dan perkembangan sebuah motif hias. Menurut
Wagner (1995: 27), ditemukannya ragam hias yang satu dengan
lainnya mempunyai sifat yang sama dan terdiri dari elemen yang
sama.
b. Teori Hermeneutika
Teori hermeneutika model Gadamer (2004: 161-166) dan
teori penafsiran Victor Turner (1967: 50-51), dipandang tepat
digunakan untuk menganalisis makna simbolis pada seni hias
istana-istana raja Bugis. Teori hermeneutika digunakan untuk
17
mempertajam dalam menjawab permasalahan pertama penelitian
ini. Manusia adalah animal symbolicum, artinya bahwa pemikiran
dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas
manusiawi. Manusia adalah mahluk budaya dan budaya manusia
penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya
manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu pemikiran yang
menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri
kepada simbol atau lambang (Endaswara, 2006: 171-172).
Asumsi dasar teori hermeneutika adalah interaksi subjek
penelitian tidak akan lepas dari pemakaian sejumlah simbol,
sehingga perlu pemahaman di balik simbol tersebut. Asumsi ini
hadir atas tesis Clifford Geertz bahwa kebudayaan adalah suatu
jaringan makna (Endaswara, 2006: 138). Gadamer menekankan
rambu-rambu yang biasa ditempuh oleh pengkaji budaya secara
hermeneutik adalah konsep pemahaman yang berarti membuat
interpretasi terhadap gejala. Interpretasi adalah sensus non est
inferendus sed efferendus, artinya makna bukanlah diambil dari
kesimpulan melainkan harus diturunkan bersifat instruktif
(Sugiharto, 2001: 31, 82). Jadi seorang penafsir tidak boleh pasif,
melainkan harus merekonstruksi makna. Gadamer mengemukan
langkah yang perlu ditempuh dalam interpretasi, salah satunya
adalah taste yaitu peneliti mampu menemukan makna budaya
sampai ke tingkat selera masing-masing individual. Selera masing-
18
masing individu sering berbeda, sehingga memerlukan
pemahaman yang mendalam (Gadamer, 2004: 40-48). Menurut M.
Dwi Marianto (2002, 33), hermeneutika peduli dengan
pengungkapan makna-makna tersembunyi atau yang terkandung
secara ‘rahasia’ dalam teks-teks, karya seni, dan bahkan pada
percakapan dan bahasa tubuh (gesture). Lebih lanjut Marianto
mengemukakan bahwa arti kata hermeneutika telah diperluas
untuk mengungkap pula makna tersembunyi pada teks, atau
dalam ekspresi-ekspresi kultural apa saja.
Dalam menganalisis makna simbol yang terdapat pada seni
hias istana-istana raja Bugis, digunakan teori penafsiran yang
dikemukakan Victor Turner. Teori ini digunakan untuk
mempertajam analisis dalam menjawab permasalahan pertama
penelitian ini. Manusia adalah animal symbolicum, artinya
manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-
ungkapan simbolis (Geertz, 1992: 3-4). Manusia adalah mahluk
budaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga
dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan
simbolisme, yaitu pemikiran yang menekankan atau mengikuti
pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang
(Endaswara, 2006: 171-172). Victor Turner (1967: 19) menyatakan
“The symbol is the smallest unit of ritual which still retains the
specific properties of ritual behavior. It is ultimate unit of specific
19
structure in a ritual context”. (simbol adalah bagian terkecil dalam
ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang
bersifat khusus).
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa
simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan
sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara
ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian-bagian terkecil
ritual pun perlu mendapat perhatian peneliti, seperti mantra,
sejaji-sejaji, dan kegiatan upacara lainnya.
Dalam kajiannya tentang simbol, Turner (1967: 50-51)
mengetengahkan ciri khas simbol, yaitu: (1) multivocal, artinya
simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi,
dan atau fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna
simbol, (2) polarisasi simbol, karena simbol memiliki banyak arti,
maka sering ada arti simbol yang bertentangan; dan (3) unifikasi,
artinya memiliki arti terpisah. Teori ini sejalan yang dikemukakan
James P. Spradley (1997: 121) bahwa simbol adalah objek atau
peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol
adalah suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada
seseorang yang telah mendapatkan persetujuan secara umum
dalam tingkah laku ritual.
Sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu bahwa
dalam menganalisis makna simbol dalam seni hias pada istana-
20
istana raja Bugis, digunakan teori penafsiran yang dikemukakan
Victor Turner (1967: 50-51) sebagai berikut: (1) exegetical meaning,
yaitu makna yang diperoleh dari informan warga setempat. Dalam
hal ini, perlu dibedakan antara informasi yang diberikan oleh
informan awam dan pakar. Seorang peneliti juga harus tahu pasti
apakah penjelasan yang diberikan informan itu benar-benar
representatif dan atau hanya penjelasan dari pendapat pribadi.
Dalam penelitian ini, peneliti berupaya menemui informan kunci,
di antara: panrita bola (ahli rumah), panre bola (tukang), dan tokoh
masyarakat yang mengetahui secara mendalam obyek kajian
penelitian; (2) operational meaning, yaitu makna yang diperoleh
tidak terbatas pada perkataan informan, melainkan dari tindakan
yang dilakukan dalam upacara atau kegiatan ritual. Dalam hal ini,
peneliti tidak hanya mempertimbangkan simbol, tetapi sampai
pada interpretasi struktur dan susunan masyarakat
pendukungnya. Peneliti mengikuti setiap prosesi upacara yang
dilakukan sebelum, pada saat pendirian, dan selesainya pendirian
rumah Bugis; (3) positional meaning, yaitu makna yang diperoleh
melalui interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan
simbol lain secara totalitas. Tingkatan makna ini langsung
dihubungkan pada pemilik simbol. Artinya makna suatu simbol
harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain dan
pemiliknya.
21
Ketiga dimensi penafsiran makna tersebut, sebenarnya
saling lengkap-melengkapi dalam proses pemaknaan simbol.
Penafsiran (1) mendasarkan wawancara kepada informan
setempat; (2) lebih menekankan pada tingkatan ritual dalam
kaitannya dengan struktur dan dinamika sosial; dan (3) mengarah
pada hubungan konteks antarsimbol dan pemiliknya. Ketiganya
tepat digunakan bersama-sama untuk mengungkap fungsi dan
makna seni hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis.
c. Teori Perubahan
Penelitian yang menyangkut proses sosial yang terjadi bila
manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan
tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan
asing yang sedemikan berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur
kebudayaan asing tadi lambat-laun diakomodasikan dan
diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan
kepribadian dari kebudayaannya sendiri, disebut penelitian
mengenai gejala akulturasi (Koentjaraningrat, 1990: 91).
R. Linton (dalam Koentjaraningrat, 1990: 97) berpendapat
bahwa dalam proses terjadi perubahan kebudayaan, ada dua yang
dapat terjadi yakni adanya unsur-unsur kebudayaan yang mudah
berubah dan yang sukar berubah, bila dihadapkan dengan
pengaruh asing. Lebih lanjut Linton mengemukakan konsepnya
22
tentang perbedaan antara bagian inti dari suatu kebudayaan
(covert culture), dan bagian perwujudan lahirnya (overt culture).
Bagian intinya adalah misalnya: (1) sistem nilai-nilai budaya, (2)
keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, (3)
beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses
sosialisasi individu warga masyarakat, dan (4) beberapa adat yang
mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.
Sebaliknya, bagian lahir dari suatu kebudayaan adalah misalnya
kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna,
ilmu pengetahuan, tata cara, dan gaya hidup yang berguna dan
memberi kenyamanan. Adapun bagian dari suatu kebudayaan
yang lambat berubahnya dan sulit diganti dengan unsur-unsur
asing, adalah bagian covert culture (Linton dalam Koentjaraningrat,
1990: 97). Dalam konteks kebudayaan Bugis, yang tergolong
covert culture adalah sistem nilai-nilai budaya Bugis yang juga
terejawantahkan dalam arsitektur rumah tradisionalnya antara
lain: nilai kejujuran (alempureng), kecendikiaan (amaccang),
kepatutan (asitinajang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan
siri’ (Rahim, 1992: 100-101). Kepercayaan Attauriolong suku
Bugis, dan adat istiadat Bugis.
Tulisan Alvin Boskoff (1964: 140-150) yang berjudul Recent
Theories of Social Change digunakan dalam konteks bagaimana
pemahaman dan pemaknaan masyarakat setempat terhadap nilai-
23
nilai simbolik seni hias yang ada pada istana-istana raja Bugis.
Dalam tulisannya, Boskoff membahas secara mendalam teori yang
dikemukakan oleh Frederick J. Teggart, Park, dan Howard Becker
yang sangat cocok digunakan dalam memahami dan menelaah
perubahan sosial yang terjadi di daerah penelitian. Dalam tulisan
ini dikemukakan bahwa terjadinya perubahan kebudayaan tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal tetapi juga dipengaruhi
oleh faktor internal dan penyebaran local genius yang berbeda.
Faktor eksternal misalnya pengaruh motif hias Hindu, Islam, dan
kebudayaan lainnya dalam motif hias yang berkembang pada seni
hias Bugis, sedangkan faktor internal seperti misalnya penemuan
berupa alat atau ide baru yang diciptakan seorang individu dalam
masyarakat dan diterima serta diakui oleh warga dalam
masyarakat Bugis.
Dalam pembahasannya yang lebih luas disebutkan bahwa
dalam komunitas masyarakat dan peradaban tertentu dengan
segala aspek yang terkait di dalamnya, ternyata sangat
menentukan dalam menentukan arah, aturan, dan kebijakan-
kebijakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Proses perpindahan penduduk mempunyai andil dalam
perubahan kebudayaan dan cara pandang suatu masyarakat.
Perubahan itu bisa berlangsung secara cepat bisa pula secara
24
lambat, bahkan kemudian dapat menyebar dan berkembang di
komunitas lain.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, Kodiran (2000: 3-4)
mengemukakan bahwa perubahan budaya lokal oleh budaya luar
dapat terjadi dalam waktu yang singkat maupun dalam proses
yang panjang, dan biasanya pengaruh luar ini dapat merupakan
sebuah difusi, akulturasi, atau pembauran kebudayaan.
Berdasar uraian teori yang telah dikemukakan, diyakini
aspek bentuk, fungsi, dan makna simbol seni hias istana-istana
raja Bugis secara bertahap telah mendapat pengaruh budaya-
budaya yang berkembang pada masa prasejarah, Hindu, hingga
agama Islam menyebar dan berkembang di daerah Sulawesi
Selatan.
6. Metode Penelitian
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini pada tiga daerah yakni di Kabupaten
Bone, Wajo, dan Sidenreng Rappang (Sidrap). Ketiga kabupaten
tersebut termasuk 17 kabupaten yang tergolong dalam etnis Bugis
di Sulawesi Selatan.
Dipilihnya daerah ini sebagai sasaran penelitian, karena
berdasarkan pengamatan pendahuluan, daerah ini pernah
menjadi pusat kerajaan Bugis tempo dulu yang meninggalkan
25
istana yang kaya motif-motif seni hias, yakni Saoraja Bola Soba
Kabupaten Bone terletak 250 km dari Makassar, Saoraja Atakkae
di Kabupaten Wajo sekitar 200 km dari Makassar, dan Saoraja
Sidenreng di Kabupaten Sidenreng Rappang sekitar 182 km dari
Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.
B. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Penelitian Kepustakaan dan Arsip
Dilakukan dengan menelaah berbagai sumber-sumber
pustaka, referensi seperti buku, jurnal, lontara’ Bugis, di
antaranya: lontarak Attauriolong, lontarak Bilang, serta lontarak
Latoa. Juga dilakukan kajian terhadap arsip-arsip sejarah daerah
Sulawesi Selatan, Sejarah budaya Bugis, dan arsip lainnya yang
terkait dengan penelitian ini.
2) Penelitian Lapangan
a. Observasi
Observasi dilakukan dengan mengamati secara langsung
motif seni hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis.
Untuk keperluan observasi tersebut, dilakukan beberapa hal,
antara lain: (1) membuat daftar pertanyaan sesuai dengan
26
gambaran informasi yang ingin diperoleh, dalam hal ini daftar
pertanyaan untuk panrita bola, panre bola, dan tokoh masyarakat;
(2) menentukan sasaran observasi dan kemungkinan waktu yang
diperlukan untuk melakukan observasi pada sasaran tersebut; (3)
melakukan antisipasi terkait dengan sasaran pokok dan sekunder,
serta pertalian antara sasaran yang satu dengan yang lain sebagai
suatu kesatuan. Data observasi digunakan untuk
mendeskripsikan keadaan, aktivitas, orang, maupun makna.
b. Perekaman dan Pencatatan
Teknik ini dilakukan dengan mencatat semua data-data
yang diperoleh di lapangan, di samping mengambil gambar-
gambar dengan menggunakan kamera fotografi juga membuat
sketsa detail terhadap beberapa bagian yang dianggap penting
guna keperluan penelitian ini.
c. Wawancara
Dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara lisan
terhadap beberapa tokoh masyarakat yang mengetahui
keberadaan motif seni hias yang ada pada rumah tradisional
Bugis, antara lain: Panrita Bola (ahli rumah), Panre Bola (tukang
pembuat rumah adat), dan pemangku adat serta nara sumber
lain, termasuk pemilik rumah yang masih hidup dan dapat
ditemui.
27
7. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul akan diolah dan dideskripsikan
dalam bentuk uraian. Teknik analisis datanya adalah analisis
nonstatistik atau analisis kualitatif. Sebagaimana diketahui dalam
penelitian kualitatif analisis data pada dasarnya dilakukan secara
bersamaan dengan proses pengumpulan data. Dalam penelitian ini
diterapkan analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan
Huberman (1992: 20). Model analisis interaktif ini ada tiga
komponen yang saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lain,
yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya adalah (1) reduksi data, (2)
sajian/display data, dan (3) penarikan kesimpulan. Reduksi data
sebagai proses penyeleksian data yang terkumpul berdasarkan
dengan objek penelitian. Bagian ini sudah merupakan bahagian
dari analisis data. Data yang telah direduksi selanjutnya disajikan
dalam bentuk teks naratif, gambar, dan tabel. Berdasarkan
analisis hasil reduksi dan penyajian data ditarik kesimpulan.
8. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan dalam istana-istana raja
Bugis di Bone, Wajo, dan Sidenreng Rappang, terdapat banyak
seni hias. Bentuk seni hias yang terdapat di ketiga wilayah budaya
merupakan rangkaian bentuk-bentuk seni hias yang cikal
bakalnya sudah ada sejak masa Prasejarah, Dong-son, Chou Tua,
28
dan hingga datangnya pengaruh Islam ke kawasan ini. Dari proses
periodesasi zaman itu telah melahirkan berbagai bentuk seni hias
dengan ciri zamannya masing-masing.
Pertama, secara garis besar ditemukan adanya beberapa
persamaan dan perbedaan bentuk seni hias di ketiga wilayah
budaya tersebut. Persamaannya terdapat dalam hal penyebutan
nama motif, bentuk, susunan, gaya, dan makna simbolik yang
membentuk wujud seni hias tersebut. Adanya persamaan bentuk
seni hias di ketiga wilayah budaya ini dikarenakan adanya
persamaan perkembangan sejarah pada beberapa abad yang lalu.
Kedua, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya perubahan
bentuk dan gaya seni hias pada istana-istana raja Bugis Sulawesi
Selatan, selain mendapat pengaruh yang cukup besar dari
kesenian gaya Dong-son dan gaya Chou Tua, seni hias pada suku
Bugis juga telah mendapat pengaruh Hindu dan Islam. Di samping
itu, perubahan gaya seni ditentukan pula oleh yang berkuasa
dalam masyarakat, baik dalam bidang politik maupun agama atau
adat. Dalam hal ini, terwujud variasi gaya seni disebabkan oleh
adanya pelapisan dan penggolongan dalam masyarakat. Dalam
masyarakat Bugis, dikenal adanya hierarki.
Ketiga, adanya pengaruh gaya Dong-son, Chou Tua, dan
Islam pada motif hias istana-istana raja Bugis tidak dapat
dipungkiri. Hal tersebut tampak pada cara menghias figur
29
dicocokkan ke dalam dekorasi sebagai keseluruhan, dan
pengulangan yang teratur serta peletakan motif di hiasan pinggir.
cara tersebut merupakan ciri gaya Dong-son. Penggunaan gaya
asimetris pada beberapa motif hias, disebabkan pengaruh yang
kuat dari gaya Chou Tua, sedangkan pengaruh Islam dalam seni
hias Bugis, dapat dilihat pada penggunaan motif bulan bintang
dan motif kaligrafi Arab pada beberapa istana-istana raja Bugis.
Keempat, seni hias yang diciptakan sebagian merupakan
transformasi bentuk seni hias yang telah ada sebelumnya, yang
kemudian dikemas, diakui sebagai seni hias yang khas Bugis.
Selain itu, seni hias pada istana-istana raja Bugis juga memiliki
beberapa fungsi dan makna simbolis tertentu. Secara sosial,
fungsi seni hias yang melekat pada istana adalah untuk
menunjukkan status sosial si pemilik rumah. Secara fisik, seni
hias yang ditampilkan selain dapat memberikan nilai keindahan
atau estetis, seni hiasnya juga berfungsi secara konstruktif pada
bagian-bagian tertentu di mana seni hias tersebut diterapkan.
Fungsi fisik harus mencakup dan memenuhi unsur kegunaan,
keefektifan, penampilan, dan daya tarik.
Kelima, dari segi pemaknaan, seni hias yang diciptakan
diterjemahkan atas dasar konsep adat istiadat dan pandangan
kosmologi suku Bugis. Umumnya, makna seni hias memberikan
nilai-nilai positif dalam mendukung aktivitas kehidupan
30
masyarakat setempat. Pemaknaan seni hias yang ditemukan akan
sangat bergantung pula dari bentuk seni hias yang diciptakan. Di
samping itu, beberapa seni hias sarat dengan pesan, ajaran, dan
nilai-nilai filosofis yang menjadi pegangan dan pedoman bagi
masyarakat suku Bugis.
9. Saran
Istana sebagai tradisi perwujudan lambang bukan tulisan
merupakan sumber informasi budaya daerah yang perlu
dilestarikan agar supaya nilai-nilai budaya Bugis yang terkandung
di dalamnya dapat diwariskan ke generasi berikutnya dalam
rangka memperkaya kebudayaan nasional.
Dengan adanya perhatian pemerintah, khususnya dalam
pelestarian dan pemeliharaan bangunan-bangunan tradisional
lebih menambah kenyakinan bahwa istana raj-raja Bugis akan
tetap terpelihara di masa mendatang.
Dalam usaha pelestariannya, tidak cukup hanya dengan
memugar dan melindungi saja, tetapi yang lebih penting ialah
upaya menyadarkan masyarakat akan arti, makna, dan fungsi dari
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Supaya penelitian tentang arsitektur istana atau rumah
tradisional ini dilanjutkan dengan mengungkapkan isi dan semua
peralatan hidup dalam rumah tangga tradisional Bugis Sulawesi
Selatan menurut fungsi dan tujuannya.
31
KEPUSTAKAAN
Abdullah, Hamid. Manusia Bugis Makassar: Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.
Abidin, Andi Zainal. Capita Selekta Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1999. ____________, Persepsi Orang Bugis-Makassar tentang Hukum,
Negara, dan Dunia Luar. Bandung: Alumni, 1983. Al-Fariqi, Ismail Raji. Seni Tauhid-Esensi an Ekspersi Estetika
Islam . Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999. Anas, Biranul. Indonesia Indah: Tenunan Indonesia Indah. Jakarta:
Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1995. Andaya. Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi
Selatan Abad ke-17 (terjemahan Nurhady Sirimorok). Makassar: Ininnawa, 2004.
Arsuka, Nirwan Ahmad. “La Galigo dan Kanon Sastra Dunia:
Penciptaan dan Penemuan Manusia”. Nurhayati Rahman (ed) La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Makassar: Pusat Studi La Galigo Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Hasanuddin, 2003.
Ayatrohaedi., ed. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1986. Barker, Chris, Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2004. Barret, Terry. “Criticizing Art” , dalam M. Dwi Marianto, Seni Kritik
Seni. Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta, 2002. Bellwood, Peter. Prehistory-Prehistory of the Indo-Malaysian
Archipelago . Sydney: Academic Press Australia, 1985. ________________. “Hunter, Gatherers and Navigators” dalam Toby
Alice Volkman, Introducing Sulawesi.. Sidney: Periplus Adventure Guide. 1996.
32
Budihardjo, Eko. Arsitektur sebagai Warisan Budaya . Jakarta: Djambatan, 1997.
Boas, Franz,. Primitive Art. New York: Dover Publications, Inc,
1955. Boskoff, Alvin. “Recent Theories of Social Change” dalam Wermer
J. Chanman & Alvin Boskoff, ed. Sociology and History: Theory and Research . London: The Free Press of Glencoe, 1964.
Crystal, Eric. Silk Traditional Textile. London: Oxford University
Press,1979. Dafri, Yulriawan. “Ragam Hias Melayu pada Arsitektur Tradisional
Rumah Panggung di Palembang dan Jambi: Bentuk, Fungsi, dan Maknanya”. Disertasi untuk memperoleh derajat Dokter pada Universitas Gadjah Mada, 2009.
Dumarcey, Jacques. The Houses in South East Asia. Translated of
English and Edited by Michael Smithies. New York. Oxford University Press, 1987.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 2006. Feldman, Edmund Burke. Art as Image and Idea. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1967. Friedericy, H.J.. De sranden bij de Boegineschen en Makassaren,
dalam BKI . 1933, No. 80. Gadamer, Hans-Georg. Kebenaran dan Metode, Pengantar Filsafat
Hermeneutika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Geertz, Clifford. The Interpretation of Culture. New York: Basic
Books, 1973. _______________. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius,
1992. Geldern, R. von Heine. Prehistoric Research in the Netherlands
Indies, dalam Fritz A. Wagner. Indonesia : The Art of an Island Group . terjemahan Hildawati Sidharta . Jakarta Departemen Pedidikan dan Kebudayaan, 1995.
33
Glover, Late Stone Age – The Late Stone Age in Eastern Indonesia,
P van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia: A Reader. Den Haag: VKI, 1984.
Grand, M. Prehistoric Art: Palaeolithic Painting and Sculpture . New
York: Draphic Society, Greenwich Connecticut, 1967. Gustami, SP. Seni Ukir Kerajinan Mebel Ukir Jepara; Kajian Estetika melalui Pendekatan Multidisiplin. Yogkakarta: Penerbit Kanisius, 2000. Hamid, Abu. Kebudayaan Bugis. (Makassar: Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2006. Hamzah, Aminah P., Makmun Badaruddin dan Muh. Salim.
Monografi Kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.
Haryono, Timbul. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni . Solo: ISI Press Solo, 2008. Heekeren, H.R. Van. The Stone Age of Indonesia . The Hague- Martinus Nijhooff, 1972. ______________. Over Toale Cultuur, dalam atuurwetenschappelijk
Tijdschrift van Nederlandsch Indie. 1957. Herman, V.J.. Seni Ragam Hias pada Kain Tenun Nusa Tenggara
Barat . NTB: Dinas Museum Negeri NTB, 1990. Heritage, Andrew, David Robert, dan Roger Bullen. Atlas Dunia:
Referensi Terlengkap. Jakarta: Erlangga, 2004. Hoesin Q.A.. Kultur Islam. Djakarta: Djambatan, 1964. Holt, Claire. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca New York: Cornell University Press, 1967. ___________. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia
(terjemahan R.M. Soedarsono). Bandung. Art.line-MSPI, 2000.
Hoop, A.N.J. Th. a Th. van der. Indonesische Sier Motieven .
Bandung: s’ Gravenhage, N.V. Uitgeverij W. van Hoeve, 1948.
34
Jones, Owen. The Grammar of Ornament. London: A Dorling
Kindersley Book, 2004.
Kadir, Harun. Sejarah Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Kartiwa, Suwati. “Semarak Sutera, Kemilau Wastra kain Bugis
Makassar”, dalam Biranul Anas, Indonesia Indah Tenunan Indonesia: Buku 3. Jakarta: Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1995.
Kern, R.A.. Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigosyclus
Behoorende. Handscripten der Leidedsche Universiteitsbibliotheek. Leiden: Universiteitsbibliotheek, 1939.
___________. I La Galigo, Ceita Bugis Kuno, terjemahan La Side dan
Sagimun M.D. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.
Kleden, Leo. Teks, Cerita, Transformasi Kreatif. Jakarta. dalam Kalam Jurnal Kebudayaan, Edisi 10, 1997. Kluckhohn, C, dalam Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet
dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Kodiran, Perkembangan Kebudayaan dan Implikasinya terhadap
Perubahan Sosial di Indonesia (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 3 Juni 2000.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Koolhof, Sirtjo. Pengantar/Pendahuluan dalam I La Galigo, Jilid I
Jakarta: Djambatan, 1995. Kosasih, “Lukisan Gua di Indonesia sebagai Sumber Data Penelitian
Arkeologi”, (Paper disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Jakarta 1983)
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah, edisi kedua. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya, 2003.
35
Lewcock, Ronald dan Gerald Brans. The Boats as an Architectural
Symbol, dalam Paul Oliver (ed)Shelter, Sign, and Symbol. New York: The Overlock Press, 1980.
Mahmud, M. Irfan. Kota Kuno Palopo: Dimensi Fisik, Sosial, dan
Kosmologi. Makassar: Masagena Press, 2003. Maier, Manfred. Basic Principles of Design. New York. van Nostrand, 1977. Macknight, Campbell C. The Rise of Agriculture-“The Rise of
Agriculture in South Sulawesi Before 1600” . RIMA, 1983. Mappangara, Suriadi, ed. Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan
sampai Tahun 1905. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.
Mardanas, Izarwisma, Rifai Abu, dan Maria. Arsitektur
Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang. Depdikbud, 1985.
Marianto, M. Dwi, Seni Kritik Seni. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
ISI Yogyakarta, 2002. Mattulada. Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Koentjaraningrat.
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1997.
______________. Latoa, Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995.
Miksic, John. Tahap Berburu dan Meramu di Indonesia Timur.
John Miksic, Sejarah Awal. Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, Inc, 2002.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru (terjemahan Tjetjep R. Rohidi). Jakarta. Universitas Indonesia Press, 1992. Munro, Thomas. The Arts and Their Interrelations. Cleveland and
London: The Press of Case Reserve University, 1969.
36
Noorduyn dalam Andi Zainal Abidin. Capita Selekta Kebudayaan
Sulawesi Selatan . Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1999.
Nyompa, Johan M. Sistem Kekerabatan dan Peranan Pranata
Keluarga dalam Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1979.
_____________, “Menelusuri Jejak I Lagaligo”, dalam M. Irfan
Mahmud, Kota Kuno Palopo: Dimensi Fisik, Sosial, dan Kosmologi. Makassar: Masagena Press, 2003.
Oliver, Paul (ed.). Shelter, Sign, and Symbol. New York: The
Overlock Press, 1980. Paeni, Mukhlis. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995. Pelras, Christian. Manusia Bugis (terjemahan Abdul Rahman Abu,
dkk). Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris EFEO, 2006).
Phillips, Peter and Gillian Bunce. Repeat Pattern: a Manual for
Designer, Artist and Architects. London: Thames and Hudson, Ltd., 1993.
Rahim, Rahman. A. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung
Pandang. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 1985.
Rasjid, Darwis. Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah daerah Sulawesi
Selatan dari Abad ke XIV s.d XIX. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991.
Rasuly, Muhammad Nur, ed. Monografi Kebudayaan Bugis di
Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, 1984.
Ratna, Nyoman Kutha, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan
Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
37
Roojen, Pepin van. Indonesian Ornamental Design . Amsterdam: The Pepin Press, 1998.
Said, Abdul Azis. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional
Toraja: dan Perubahan Aplikasinya pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak, 2004.
Saifuddin, Achmad Fedyani. Antropologi Kontemporer, suatu
pengantar kritis mengenai Paradigma. Jakarta. Kencana Prenada Media Group, 2006.
Salim, Muhammad. Transliterasi dan Terjemahan Lontarak
Attoriolong. Ujung Pandang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2006.
_______________. Ibuku Maggali-gali, maka Aku dinamai I La
Galigo, Nurhayati Rahman (ed) La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Makassar: Pusat Studi La Galigo Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Hasanuddin, 2003.
Satari, Sri Soejatmi. Seni Hias Ragam dan Fungsinya:
Pembahasan Singkat tentang Seni Hias dan Hiasan Kuno, dalam Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987.
Schefold, Reimer and Peter J.M. Nas., ed. Indonesia Houses;
Tradition and Transformation in Vernacular Architecture. Netherlands: KITLV Press, 2003.
Sedyawati, Edi. Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987. Shima, Nadji Palemmui. Istana Rumah Tradisional Bugis.
Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2006.
Soedarsono, R.M. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.
____________, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997.
38
Soejono, R.P. Prehistoric Indonesia, P van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia: A Reader. Den Haag: VKI, 1984.
____________. Sejarah Nasional . Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1976. Spradley, James P. Metode Etnografi . Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1997. Speltz, Alexander. Style of Ornament: A Pictorial Survey of Six
Thousand Years of Ornamental Design. New York: Gramercy Book, 1923.
Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia . Jakarta: Sinar
Harapan dan YCLK, 1981. Subarna, Abay D. Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan
Islam, dalam Estetika dalam Arkeologi Indonesia . Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987.
______________. Atap Cekung: Fungsional, Simbolis, atau Estetis?
Arsitektur Indonesia adalah Arsitektur Atap. Bandung: Pikiran Rakyat, 1984.
Sugiharto, Bambang I, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 2001. Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, 1999. Sukarman. Ornamen Timur I . Yogyakarta: STSRI, 1983. Tabrani, Primadi. Belajar dari Sejarah dan L ingkungan, Sebuah
Renungan Mengenai Wawasan Kebangsaan dan Dampak Globalisasi . Bandung: Penerbit ITB, 1999.
Tanudjaja, F. Christian.J.S. Wujud Istana sebagai Ungkapan
Makna Sosial Budaya Manusia: Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1992.
Toekio, M. Soegeng. Mengenal Seni Hias Indonesia. Bandung.
Penerbit Angkasa, 1987. Tresidder, Jack. The Complete Dictionary Of Symbols: In Myth, Art
and Literature. London: Duncan Baird Publishers, 2004.
39
Turner , Victor. The Forest of Symbols: Aspecs of` Ndembu Ritual .
London: Cornell Paperback, Cornell University Press, 1967. Vogler, E.B.. De Monsterkop uit het Omlijstingsornment van
Tempeldoorgangen en –nissen in de Hindoe-Javaanse Bouwkunts (Leiden: E.J. Brill, 1949), dalam Edi Sedyawati. Masyarakat dan Perubahan Gaya Seni: Ulasan atas Studi E.B. Volger. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Wagner, Fritz A. Indonesia, the Art of an Island Group: Indonesia,
Kesenian Suatu Daerah Kepulauan, Terjemahan Hildawati Sidharta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.
Wagner Frits A. Art of the World . New York: Crown Publisher Inc.,
1959. Wahid, A. Kahar. Sejarah Seni Rupa Indonesia I . Ujung Pandang.
IKIP Ujung Pandang Press, 1988. Ward, James. The Principles of Ornament . New York: Charles
Scribner’s Son’s, 1896. Waterson, Roxana. The Living House: An Anthropology of
Architecture on South-East Asia (New York: Oxford University Press Pte., Ltd., 1990.
______________, “Ciri Umum: Fondasi Tiang yang Dinaikkan”,
dalam Gunawan Tjahjono, Arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, Inc, 2002.
Weyt, H. Symmetry. Princeton: Princeton University Press, 1952. Wornum, Ralph N. Analysis of Ornament: The Characteristics of
Styles, Sixth Edition. London: Chapman and Hall, 1879. Yudoseputro, Wiyoso. Wawasan Seni Budaya. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. Yunus, Pangeran Paita. “Kemahiran Lokal (Local Genius) dalam
Ragam Hias Bugis (Kajian Ragam Hias pada Rumah Tradisional Bugis dalam Unsur-Unsur Estetika Bentuk).” Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Seni pada Institut Teknologi Bandung. Bandung. ITB, 1999.
40
Yusuf, Wiwiek P., Sahriah, dan Endang. Upacara Tradisional
(Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.