oleh: pangeran paita yunus -...

41
BEN NTUK, GA SENI HI Pengkajia S UNIVERS RI AYA, FUN IAS ISTAN DI Pro an Seni P Pangera NIM. 09/2 Diaju SEKOLAH SITAS GAD NGKASA NGSI, DAN NA-ISTAN ISERTAS ogram Stu Pertunjuka Oleh: an Paita 292927/S ukan kepa H PASCAS DJAH MAD 2012 AN N MAKNA NA RAJA SI udi an dan Se Yunus SMU/711 ada SARJANA DA YOGYA A SIMBOL BUGIS eni Rupa AKARTA LIK

Upload: vantuong

Post on 07-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

BEN

NTUK, GASENI HI

Pengkajia

SUNIVERS

RI

AYA, FUNIAS ISTAN

DI

Proan Seni P

PangeraNIM. 09/2

Diaju

SEKOLAHSITAS GAD

NGKASA

NGSI, DANNA-ISTAN

ISERTAS

ogram StuPertunjuka

Oleh: an Paita 292927/S

ukan kepa

H PASCASDJAH MAD

2012

AN

N MAKNANA RAJA

SI

udi an dan Se

Yunus SMU/711

ada

SARJANA DA YOGYA

A SIMBOL BUGIS

eni Rupa

AKARTA

LIK

Page 2: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

1

BENTUK, GAYA, FUNGSI, DAN MAKNA SIMBOLIK SENI HIAS ISTANA-ISTANA RAJA BUGIS

1. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat

dibedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya.

Di daerah ini dikenal istilah saoraja (istana) dan bola (rumah).

Saoraja berarti rumah besar yang ditempati oleh raja beserta

keturunannya, sedangkan bola adalah rumah yang ditempati oleh

rakyat biasa.

Pada dasarnya kedua jenis rumah ini tidak mempunyai

perbedaan yang mendasar bila dilihat dari segi bentuk bangunan,

tetapi berbeda dari ukuran, seni hias yang digunakan serta

identitas lainnya yang melekat pada bangunan rumah tersebut.

saoraja karena ditempati oleh raja dan keturunannya, maka selain

bentuknya lebih besar, juga diberikan identitas tertentu yang

mendukung tingkat status sosial dari penghuninya. Misalnya

timpanon atau bubungan rumah (timpalaja) yang memiliki 3 (tiga)

sampai 5 (lima) tingkatan, serta seni hias yang digunakan.

Disertasi ini mencoba untuk mengulas secara mendalam seni hias

yang diterapkan pada istana-istana raja Bugis Sulawesi Selatan.

Istana dengan seni hiasnya merupakan karya yang tumbuh

dan berkembang di bawah pengaruh tradisi, aktivitas sosial

Page 3: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

2

budaya, dan perilaku masyarakat. Oleh karena itu, sebuah karya

arsitektur seperti istana dan seni hias yang ada semestinya juga

sebagai cerminan budaya yang mempunyai makna dan fungsi

sebagaimana mestinya (Budihardjo, 1997: 6).

Seni hias pada istana-istana raja Bugis ini, sebagaimana

seni hias lainnya merupakan salah satu bentuk warisan budaya

yang tidak ternilai. Namun demikian, sejauhmana kebudayaan

daerah dapat dikenal dan dicintai masyarakat pendukungnya

adalah hal yang membutuhkan analisis untuk menunjukkan

identitas bangsa yang berkepribadian. Seperti diketahui Istana

atau Saoraja sebagai pusat kerajaan, pusat pemerintahan, dan

pusat kebudayaan merupakan salah satu aset lokal yang perlu

dipertahankan eksistensinya; bahkan dilestarikan sebagai salah

satu kearifan lokal masyarakat pendukungnya dan warisan yang

dapat memperkaya seni budaya di tanah air.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka terdapat beberapa

hal mendasar terkait dengan seni hias pada istana-istana raja

Bugis. Pertama, seni hias pada istana-istana raja Bugis

merupakan kreasi artistik dan ekspresi simbolik. Kedua, kreasi

artistik dan ekspresi simbolik ini mempresentasikan elemen-

elemen tanaman dan satwa. Ketiga, seni hias Bugis memiliki

kedudukan dan peran penting dalam upacara ritual dan

menunjukkan status sosial penghuninya (Pelras, 2006: 33) yang

Page 4: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

3

didasarkan pada konsepsi-konsepsi tertentu dan makna simbolik

dalam kehidupan suku Bugis.

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka dipandang

penting untuk dilakukan suatu penelitian yang dapat mengungkap

keberadaan seni hias pada istana-istana raja Bugis di Sulawesi

Selatan, baik dari aspek struktur bentuk, gaya, fungsi, maupun

makna simbolnya. Di samping itu, penelitian ini juga ingin melihat

pengaruh luar terhadap perubahan bentuk dan makna seni hias

Bugis yang ada serta nilai-nilai budaya yang terdapat di dalamnya.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan, dirumuskan

masalah sebagai berikut.

a. Bagaimana bentuk, gaya, fungsi dan makna simbol seni hias

pada istana-istana raja Bugis di Sulawesi Selatan?

b. Pengaruh seni apa saja yang terdapat pada seni hias istana-

istana raja Bugis di Sulawesi Selatan?

c. Mengapa seni hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis

di Sulawesi Selatan mengalami perubahan struktur bentuk dan

gaya seni?

Page 5: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

4

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.

1) Mengidentifikasi dan menginventarisasi seni hias Bugis sebagai

artefak yang ada pada istana-istana raja Bugis di Sulawesi

Selatan.

2) Untuk mengetahui pengaruh seni apa saja yang terdapat pada

istana-istana raja Bugis di Sulawesi Selatan

3) Untuk memahami secara jelas, lengkap, dan akurat tentang

struktur bentuk, gaya, fungsi dan makna simbol dalam seni

hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis.

4) Untuk mengetahui secara jelas dan mendalam nilai kearifan

budaya lokal yang terimplementasikan dalam seni hias pada

istana-istana raja Bugis.

b. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan dapat dicapai sebagai

berikut.

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah

ilmu di bidang seni khususnya seni rupa, terkait dengan seni

hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis di Sulawesi

Selatan

Page 6: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

5

2) Dapat menjadi sumber ide pengembangan kreativitas

penciptaan seni, khususnya bidang seni rupa yang bersumber

dari nilai-nilai luhur yang terdapat pada bangunan istana.

3) Mengenalkan budaya yang terbentuk di istana-istana kepada

generasi muda.

4) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan

baru dari hasil penerapan beberapa pendekatan dan teori

keilmuan (multidisiplin) terhadap obyek kajian penelitian.

4. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang seni hias daerah Sulawesi Selatan,

khususnya seni hias Bugis sejauh ini masih sangat jarang

dilakukan. Beberapa hasil penelitian dan pustaka yang ada hanya

mengulas tentang arsitektur, ornamen, dan konstruksi rumah,

dengan ulasan yang masih sangat parsial. Di samping bahasannya

sangat umum dengan membahas karya arsitektur pada empat

suku yang mendiami daerah Sulawesi Selatan, juga dari sudut

penyajian data yang seadanya dan masih bersifat deskriptif.

Terkait dengan hal tersebut di atas, berikut dikemukakan

beberapa buku yang dapat menjadi bahan referensi dalam upaya

mendalami kebudayaan dan seni hias yang ada di daerah Sulawesi

Selatan, khususnya daerah Bugis, dan juga untuk menjaga

orisinalitas penelitian penulis.

Page 7: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

6

Buku yang secara khusus membahas tentang Arsitektur

rumah tradisional Bugis ditulis oleh Nadji Palemmui Shima(2006:

4-7) yang berjudul Arsitektur Rumah Tradisional Bugis. Pada

bagian awal buku ini diuraikan mengenai tradisi membangun

rumah oleh suku Bugis yang memandang rumahnya sebagai

manifestasi dari alam yang menjadi pusat siklus kehidupan

manusia. Tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, menikah, dan

meninggal. Oleh karena itu, rumah dipandang sakral dan

diperlakukan dengan sangat hormat, agar keberadaannya dapat

memberikan kedamaian, kesehatan, keselamatan, kesejahteraan,

dan kehormatan bagi penghuninya.

Pada bagian akhir buku ini dibahas ragam hias pada rumah

Bugis yang berpola dari alam tumbuh-tumbuhan dan hewan.

Ukiran yang berpola tumbuh-tumbuhan mengambil bentuk bunga

parenreng, sejenis tumbuhan yang menjalar ke mana-mana dan

tidak ada putus-putusnya. Ukiran ini bermakna rezeki penghuni

rumah yang tiada putus-putusnya.

Ukiran yang berpola hewan umumnya mengambil bentuk

tiga macam hewan, yaitu pola ayam jantan, kepala kerbau, dan

naga. Bagi orang Bugis, ayam jantan adalah simbol keberanian

dan bermakna kehidupan penghuni rumah senantiasa baik-baik

dan tenteram. Ukiran ayam jantan ditempatkan pada puncak

bubungan atap rumah, pada ujung depan, dan belakang.

Page 8: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

7

Penelitian Pangeran Paita Yunus (2009: 2-7) dengan judul

“Kemahiran Lokal (Local Genius) dalam Ragam Hias Bugis (Kajian

Ragam Hias pada Rumah Tradisional Bugis dalam Unsur-Unsur

Estetika Bentuk)”, sebuah tesis yang membahas ragam hias yang

terdapat pada rumah tradisional Bugis Sulawesi Selatan. Dalam

penelitian itu diuraikan secara detail makna simbolis ragam hias

yang terdapat bagian atas, bagian tengah, dan bagian bawah

rumah tradisional Bugis. Motif hias yang diterapkan pada rumah

bagian atas di antaranya: motif hias ayam jantan (manu’), motif

kepala kerbau (ulu tedong), motif ular naga (naga), motif bunga

parenreng, dan motif bulan bintang. Ragam hias pada badan

rumah, di antaranya motif pucuk rebung/jantung pisang (cobo’-

cobo’), dan motif geometris, sedangkan ragam hias yeng terdapat

pada rumah bagian bawah, antara lain bunga parenreng dan ular

naga.

Penelitian itu juga mengungkapkan bahwa suku Bugis

Sulawesi Selatan menyakini bahwa bentuk fisik dari rumah

tradisionalnya, termasuk ragam hiasnya, mencerminkan nilai-nilai

budaya Bugis. Nilai-nilai kebudayaan Bugis dimaksud adalah

Alempureng (kejujuran), Amaccang (kecendikiaan), Asitinajang

(kepatuhan), Agettengeng (Keteguhan), reso' (usaha), siri’ (rasa

malu, harga diri), Awaraningeng (keberanian), saling tolong

menolong (sipatuwo sipatokkong), dan lain sebagainya. Hal ini

Page 9: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

8

dapat dilihat pada penerapan tertentu pada bagian-bagian tertentu

dari suatu rumah menunjukkan bahwa Pangngadereng atau

norma dan peraturan-peraturan adat untuk masyarakat,

pelaksanaannya harus dimulai dari kehidupan rumah tangga.

Oleh karena itu, dibuatkan bentuk-bentuk tertentu dari bagian-

bagian rumah yang mengandung fungsi, makna dan simbol-simbol

tertentu dari nilai-nilai utama kebudayaan Bugis yang terdapat

dalam aspek pangngadereng, agar tidak dilupakan.

Buku yang ditulis oleh Izarwisma Mardanas, Rifai Abu, dan

Maria (1985: 7) berjudul Arsitektur Tradisional Daerah Sulawesi

Selatan, memuat analisis arsitektur tradisional dari empat etnis

yang ada di Sulawesi Selatan, yakni etnis Bugis, Makassar,

Mandar, dan Toraja. Buku itu membahas jenis rumah tradisional

yang ada pada empat etnis di daerah Sulawesi Selatan. Di dalam

salah satu bab mengurai tentang bentuk ragam hias dan tata cara

pembuatan rumah tradisional di daerah Sulawesi Selatan.

Dalam bab tiga yang secara khusus membahas ragam hias

dikemukakan secara umum pola dasar dan sumber ragam hias

dari empat etnis yang mendiami daerah Sulawesi Selatan, yakni

ragam hias yang bersumber dari flora, fauna, alam sekitar, dan

tulisan kaligrafi. Jenis ragam hias flora yang menonjol adalah

penerapan motif hias bunga parenreng yang biasanya ditempatkan

pada papan jendela, induk tangga, atau pada tutup bubungan.

Page 10: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

9

Motif hias yang tampil dalam bentuk fauna, terdapat tiga

macam ragam hias yang umumnya ditemukan pada rumah orang

Bugis. Ketiga ragam hias fauna itu adalah motif ayam jantan,

motif kepala kerbau, dan motif naga. Dalam bentuk lain dikenal

pula beberapa ragam hias, baik yang berbentuk benda-benda yang

ada di alam maupun hal yang terkait dengan agama dan

kepercayaan. Bentuk yang bersumber dari alam dikenal dengan

sebutan motif uleng lolo yang berarti bulan sabit. Motif ini

biasanya dikombinasikan dengan bentuk bintang lima. Pada

bagian akhir bab ini, di samping mengulas motif hias bulan sabit

dan bintang, diulas pula motif-motif kaligrafi yang diterapkan

pada bangunan arsitektur Bugis.

Buku yang membahas seni hias secara khusus ialah

Indonesische Sier Motieven, karya A.N.J. Th a Th. van der Hoop

(1949: 8) Buku ini membahas berbagai seni hias di Indonesia sejak

zaman prasejarah sampai zaman modern, dari Sabang sampai

Merauke, dalam berbagai media perwujudan dan penerapan.

Van der Hoop pada bagian awal bukunya memulai

membahas ragam seni hias geometrik, kemudian dijabarkan

secara berturut-turut seni hias yang bersumber dari alam yang

sudah ada sejak masa neolitikum dalam berbagai bentuk, antara

lain seni hias corak naturalistik, manusia, hewan, dan tumbuh-

tumbuhan. Dalam penerapannya, corak geometrik banyak ditemui

Page 11: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

10

pada benda seni kerajinan keramik, anyaman, bahan tekstil

seperti tenun dan batik yang tersebar di berbagai daerah di

Nusantara. Seni hias juga dijumpai pada beberapa bagian

bangunan seperti pada rumah ibadah, candi, istana, dan rumah

tinggal.

Motif hias manusia dan binatang, banyak sekali ditemui

pada bangunan-bangunan suci agama Hindu dan Budha,

khususnya bangunan yang ada di pulau Jawa dan daerah lainnya

di Nusantara. Beberapa seni hias juga ditampilkan pada objek

patung yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, di antaranya

di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Penerapan seni

hias pada patung tersebut terkait dengan kepercayaan terhadap

roh nenek moyang.

Motif hias binatang tampil sesuai dengan karakter daerah

masing-masing, terkadang telah mengalami stilasi bentuk.

Sementara penerapan motif tumbuh-tumbuhan dijumpai pada

hasil seni kerajinan, tekstil, dan bangunan baik yang digarap

secara naturalistik maupun yang telah mengalami stilasi bentuk.

Buku yang secara khusus membahas ornamen di Indonesia

dapat dilihat dalam Indonesian Ornamental Design, disusun oleh

Pepin van Roojen (1998: 9), dalam buku ini dijelaskan keberadaan

berbagai jenis ornamen yang terdapat di wilayah Nusantara mulai

dari Sabang sampai Merauke, berikut penerapannya pada

Page 12: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

11

berbagai bidang dan medium. Antara lain diceritakan bahwa seni

ornamen di Indonesia berkembang dan dipengaruhi oleh

kebudayaan tertentu.

Bagian awal buku ini menampilkan gambar seni hias

geometrik yang diterapkan pada anyaman tikar, tutup kepala, alat

penangkap ikan, tas, dan benda lainnya. Gambar seni hias disertai

dengan keterangan tentang teknik-teknik pembuatannya dengan

garapan visual yang menarik. Selanjutnya diuraikan beberapa

jenis seni hias yang ada pada kain songket, tenun, dan kain ulos

yang tersebar di daerah Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa

Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, dan beberapa

daerah lainnya di kawasan Nusantara.

Penelitian yang secara khusus membahas ragam hias

Melayu pada arsitektur tradisional dilakukan Yulriawan Dafri

(2009: 2-8, 413-417) dengan judul “Ragam Hias Melayu pada

Arsitektur Tradisional Rumah Panggung di Palembang dan Jambi:

Bentuk, Fungsi, dan Maknanya”, sebuah disertasi yang membahas

ragam hias yang terdapat pada rumah panggung di daerah

Palembang dan Jambi. Hasil penelitian ini menunjukkan secara

garis besar ditemukan adanya beberapa persamaan dan

perbedaan bentuk ragam hias di kedua wilayah budaya tersebut.

Persamaannya terdapat dalam hal penyebutan nama motif, unsur,

susunan, irama, dan gaya yang membentuk wujud ragam hias

Page 13: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

12

tersebut. Adanya persamaan bentuk ragam hias di kedua wilayah

budaya ini dikarenakan adanya persamaan perkembangan sejarah

pada beberapa abad yang lalu.

Ragam hias yang diciptakan sebagian merupakan

transformasi bentuk ragam hias yang telah ada sebelumnya.

Kemudian dikemas dan diakui sebagai ragam hias yang khas

Melayu atau mengalami proses Melayunisasi. Selain itu, ragam

hias Melayu juga memiliki beberapa fungsi dan makna simbolis

tertentu. Secara sosial, fungsi ragam hias yang melekat pada

bangunan tradisional untuk menunjukkan status sosial si pemilik

rumah. Secara fisik, ragam hias yang ditampilkan selain dapat

memberikan nilai keindahan atau estetis, ragam hias juga

berfungsi secara konstruktif pada bagian-bagian tertentu di mana

ragam hias tersebut diterapkan. Fungsi fisik harus mencakup dan

memenuhi unsur kegunaan, keefektifan, penampilan, dan daya

tarik. Dari sudut pemaknaan, ragam hias yang diciptakan harus

diterjemahkan atas dasar konsep adat-istiadat dan pandangan

agama. Umumnya, makna ragam hias memberikan nilai-nilai

positif dalam mendukung aktivitas kehidupan masyarakat

setempat.

Melalui tinjauan pustaka yang telah terurai di atas, nampak

belum pernah ada peneliti yang khusus mengkaji dan menelaah

secara mendalam tentang bentuk, fungsi, dan makna simbolik

Page 14: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

13

seni hias pada istana-istana raja Bugis. Dengan demikian,

keaslian penelitian untuk disertasi ini dapat dipertanggung

jawabkan.

5. Landasan Teori

Pembahasan secara mendalam terhadap kehadiran seni hias

pada istana-istana raja Bugis Sulawesi Selatan dengan fokus

kajian pada aspek bentuk, tata letak, fungsi, dan makna simbolik,

serta kearifan lokal yang terdapat pada budaya Bugis akan

dilakukan dengan menggunakan landasan teori yang

dikemukakan oleh beberapa ahli. Penelitian ini akan

menggunakan pendekatan multidisiplin dengan menggunakan dua

teori utama yakni teori estetika dan teori hermeneutik. Bennett

(dalam Barker, 2004: 7) menyebut kajian budaya sebagai

interdisiplin, dengan alasan bahwa dalam menganalisis obyeknya,

kajian budaya: a) melibatkan berbagai perspektif disiplin yang

berlainan, dan b) berkaitan dengan praktik berbagai institusi.

Teori estetika digunakan untuk menganalisis struktur

bentuk, tata letak dan fungsi seni hias. Teori hermeneutik atau

penafsiran digunakan untuk menganalisis aspek makna simbol

seni hias yang ada pada istana. Dengan demikian, penelitian ini

merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan

multidisiplin. R.M. Soedarsono (2001: 194) mengemukakan bahwa

Page 15: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

14

dalam penelitian seni rupa, pendekatan multidisiplin jelas sangat

dimungkinkan, bahkan dianjurkan.

Berikut dijelaskan beberapa teori yang terkait dengan objek

penelitian.

a. Teori Estetika

Teori estetika Edmund Burke Feldman digunakan sebagai

teori yang diyakini dapat mengurai dan menjawab pertanyaan

pertama penelitian ini yakni bagaimana bentuk, gaya, fungsi, dan

makna simbol seni hias pada istana-istana raja Bugis Sulawesi

Selatan. Feldman secara mendalam mengurai tentang seni rupa,

terutama struktur bentuk yang meliputi unsur seni dan

komposisi. Teori E. B. Feldman (1967, 4) juga mengklasifikasikan

fungsi seni dalam tiga kelompok besar, yakni: personal functions of

art, the social functions of art, dan the phisycal functions of art.

Ketiga fungsi ini memiliki kedudukan, peran, dan manfaat

tersendiri dalam sebuah kelompok masyarakat.

Bila dikaitkan dengan teori Feldman di atas, kehadiran seni

hias pada istana-istana raja Bugis, tentu memiliki fungsi dan

perannya tersendiri sejalan dengan pandangan hidup masyarakat

yang mendukung hadirnya seni hias tersebut.

Teori estetika dibutuhkan pada taraf deskripsi, pemahaman,

analisis dan interpretasi. Teori ini berangkat dari anggapan bahwa

Page 16: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

15

setiap bidang seni dapat dianggap memiliki sejumlah unsur dasar

estetik yang bersifat universal. Misalnya dalam karya seni hias

terdapat unsur-unsur: komposisi, penggunaan garis, penggunaan

warna, dan penggarapan tekstur. Selanjutnya, setiap unsur

universal itu mempunyai perwujudan-perwujudan yang khas di

tiap lingkup budaya maupun sub-budaya (Sedyawati, 1987: 8-9).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, meminjam teori

estetika seperti pemanfaatan unsur-unsur visual seni rupa

(komposisi, garis, warna, ruang, dan tekstur), dan didukung teori

Feldman, maka hal yang terkait dengan bentuk, rupa, atau wujud

seni hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis Sulawesi

Selatan dapat dideskripsikan, dianalisis, dan ditelaah secara

mendalam. Bentuk, fungsi, dan makna adalah tiga hal yang saling

terkait. Setiap gejala kultural memiliki bentuk, kemudian bentuk

tersebut memiliki fungsinya masing-masing, yang pada gilirannya

akan memberikan makna tertentu (Ratna, 2010: 345-346).

Struktur bentuk terdiri atas elemen-elemen garis, warna, tekstur,

dan lain-lain, yang apabila disusun akan membentuk sebuah

bidang yang memiliki nilai seni dan keindahan. Kaitannya dengan

penelitian ini, maka karya seni yang dihasilkan oleh masyarakat

adalah bentuk atau wujud nyata seni hias Bugis yang diterapkan

dengan segala elemen-elemen pendukung. Tentunya memiliki nilai

seni dan nilai estetika tersendiri.

Page 17: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

16

Teori Fritz A. Wagner (1959: 37) dipandang tepat dan relevan

untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga penelitian ini,

yakni mengapa seni hias yang terdapat pada istana-istana raja

Bugis mengalami perubahan struktur bentuk dan gaya seni dan

bagaimana struktur bentuk, gaya, fungsi, dan makna simbol

dalam seni hias pada istana-istana raja Bugis.

Teori ini terutama digunakan untuk menganalisis struktur

bentuk seni hias pada istana Bugis. Wagner secara mendalam

mengulas tiga gaya yang masing-masing memberi sumbangan

terhadap pembentukan seni dekoratif yang beraneka ragam di

beberapa wilayah Nusantara. Ketiga gaya tersebut adalah gaya

neolith, gaya Dong-son, dan gaya Chou Tua. Wagner juga

mengemukakan masalah proses teknik, struktur bentuk awal,

komposisi, dan perkembangan sebuah motif hias. Menurut

Wagner (1995: 27), ditemukannya ragam hias yang satu dengan

lainnya mempunyai sifat yang sama dan terdiri dari elemen yang

sama.

b. Teori Hermeneutika

Teori hermeneutika model Gadamer (2004: 161-166) dan

teori penafsiran Victor Turner (1967: 50-51), dipandang tepat

digunakan untuk menganalisis makna simbolis pada seni hias

istana-istana raja Bugis. Teori hermeneutika digunakan untuk

Page 18: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

17

mempertajam dalam menjawab permasalahan pertama penelitian

ini. Manusia adalah animal symbolicum, artinya bahwa pemikiran

dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas

manusiawi. Manusia adalah mahluk budaya dan budaya manusia

penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya

manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu pemikiran yang

menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri

kepada simbol atau lambang (Endaswara, 2006: 171-172).

Asumsi dasar teori hermeneutika adalah interaksi subjek

penelitian tidak akan lepas dari pemakaian sejumlah simbol,

sehingga perlu pemahaman di balik simbol tersebut. Asumsi ini

hadir atas tesis Clifford Geertz bahwa kebudayaan adalah suatu

jaringan makna (Endaswara, 2006: 138). Gadamer menekankan

rambu-rambu yang biasa ditempuh oleh pengkaji budaya secara

hermeneutik adalah konsep pemahaman yang berarti membuat

interpretasi terhadap gejala. Interpretasi adalah sensus non est

inferendus sed efferendus, artinya makna bukanlah diambil dari

kesimpulan melainkan harus diturunkan bersifat instruktif

(Sugiharto, 2001: 31, 82). Jadi seorang penafsir tidak boleh pasif,

melainkan harus merekonstruksi makna. Gadamer mengemukan

langkah yang perlu ditempuh dalam interpretasi, salah satunya

adalah taste yaitu peneliti mampu menemukan makna budaya

sampai ke tingkat selera masing-masing individual. Selera masing-

Page 19: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

18

masing individu sering berbeda, sehingga memerlukan

pemahaman yang mendalam (Gadamer, 2004: 40-48). Menurut M.

Dwi Marianto (2002, 33), hermeneutika peduli dengan

pengungkapan makna-makna tersembunyi atau yang terkandung

secara ‘rahasia’ dalam teks-teks, karya seni, dan bahkan pada

percakapan dan bahasa tubuh (gesture). Lebih lanjut Marianto

mengemukakan bahwa arti kata hermeneutika telah diperluas

untuk mengungkap pula makna tersembunyi pada teks, atau

dalam ekspresi-ekspresi kultural apa saja.

Dalam menganalisis makna simbol yang terdapat pada seni

hias istana-istana raja Bugis, digunakan teori penafsiran yang

dikemukakan Victor Turner. Teori ini digunakan untuk

mempertajam analisis dalam menjawab permasalahan pertama

penelitian ini. Manusia adalah animal symbolicum, artinya

manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-

ungkapan simbolis (Geertz, 1992: 3-4). Manusia adalah mahluk

budaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga

dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan

simbolisme, yaitu pemikiran yang menekankan atau mengikuti

pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang

(Endaswara, 2006: 171-172). Victor Turner (1967: 19) menyatakan

“The symbol is the smallest unit of ritual which still retains the

specific properties of ritual behavior. It is ultimate unit of specific

Page 20: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

19

structure in a ritual context”. (simbol adalah bagian terkecil dalam

ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang

bersifat khusus).

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa

simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan

sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara

ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian-bagian terkecil

ritual pun perlu mendapat perhatian peneliti, seperti mantra,

sejaji-sejaji, dan kegiatan upacara lainnya.

Dalam kajiannya tentang simbol, Turner (1967: 50-51)

mengetengahkan ciri khas simbol, yaitu: (1) multivocal, artinya

simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi,

dan atau fenomena. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna

simbol, (2) polarisasi simbol, karena simbol memiliki banyak arti,

maka sering ada arti simbol yang bertentangan; dan (3) unifikasi,

artinya memiliki arti terpisah. Teori ini sejalan yang dikemukakan

James P. Spradley (1997: 121) bahwa simbol adalah objek atau

peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Jadi simbol

adalah suatu tanda yang memberitahukan sesuatu kepada

seseorang yang telah mendapatkan persetujuan secara umum

dalam tingkah laku ritual.

Sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu bahwa

dalam menganalisis makna simbol dalam seni hias pada istana-

Page 21: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

20

istana raja Bugis, digunakan teori penafsiran yang dikemukakan

Victor Turner (1967: 50-51) sebagai berikut: (1) exegetical meaning,

yaitu makna yang diperoleh dari informan warga setempat. Dalam

hal ini, perlu dibedakan antara informasi yang diberikan oleh

informan awam dan pakar. Seorang peneliti juga harus tahu pasti

apakah penjelasan yang diberikan informan itu benar-benar

representatif dan atau hanya penjelasan dari pendapat pribadi.

Dalam penelitian ini, peneliti berupaya menemui informan kunci,

di antara: panrita bola (ahli rumah), panre bola (tukang), dan tokoh

masyarakat yang mengetahui secara mendalam obyek kajian

penelitian; (2) operational meaning, yaitu makna yang diperoleh

tidak terbatas pada perkataan informan, melainkan dari tindakan

yang dilakukan dalam upacara atau kegiatan ritual. Dalam hal ini,

peneliti tidak hanya mempertimbangkan simbol, tetapi sampai

pada interpretasi struktur dan susunan masyarakat

pendukungnya. Peneliti mengikuti setiap prosesi upacara yang

dilakukan sebelum, pada saat pendirian, dan selesainya pendirian

rumah Bugis; (3) positional meaning, yaitu makna yang diperoleh

melalui interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan

simbol lain secara totalitas. Tingkatan makna ini langsung

dihubungkan pada pemilik simbol. Artinya makna suatu simbol

harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain dan

pemiliknya.

Page 22: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

21

Ketiga dimensi penafsiran makna tersebut, sebenarnya

saling lengkap-melengkapi dalam proses pemaknaan simbol.

Penafsiran (1) mendasarkan wawancara kepada informan

setempat; (2) lebih menekankan pada tingkatan ritual dalam

kaitannya dengan struktur dan dinamika sosial; dan (3) mengarah

pada hubungan konteks antarsimbol dan pemiliknya. Ketiganya

tepat digunakan bersama-sama untuk mengungkap fungsi dan

makna seni hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis.

c. Teori Perubahan

Penelitian yang menyangkut proses sosial yang terjadi bila

manusia dalam suatu masyarakat dengan suatu kebudayaan

tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan

asing yang sedemikan berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur

kebudayaan asing tadi lambat-laun diakomodasikan dan

diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan

kepribadian dari kebudayaannya sendiri, disebut penelitian

mengenai gejala akulturasi (Koentjaraningrat, 1990: 91).

R. Linton (dalam Koentjaraningrat, 1990: 97) berpendapat

bahwa dalam proses terjadi perubahan kebudayaan, ada dua yang

dapat terjadi yakni adanya unsur-unsur kebudayaan yang mudah

berubah dan yang sukar berubah, bila dihadapkan dengan

pengaruh asing. Lebih lanjut Linton mengemukakan konsepnya

Page 23: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

22

tentang perbedaan antara bagian inti dari suatu kebudayaan

(covert culture), dan bagian perwujudan lahirnya (overt culture).

Bagian intinya adalah misalnya: (1) sistem nilai-nilai budaya, (2)

keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, (3)

beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses

sosialisasi individu warga masyarakat, dan (4) beberapa adat yang

mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat.

Sebaliknya, bagian lahir dari suatu kebudayaan adalah misalnya

kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna,

ilmu pengetahuan, tata cara, dan gaya hidup yang berguna dan

memberi kenyamanan. Adapun bagian dari suatu kebudayaan

yang lambat berubahnya dan sulit diganti dengan unsur-unsur

asing, adalah bagian covert culture (Linton dalam Koentjaraningrat,

1990: 97). Dalam konteks kebudayaan Bugis, yang tergolong

covert culture adalah sistem nilai-nilai budaya Bugis yang juga

terejawantahkan dalam arsitektur rumah tradisionalnya antara

lain: nilai kejujuran (alempureng), kecendikiaan (amaccang),

kepatutan (asitinajang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan

siri’ (Rahim, 1992: 100-101). Kepercayaan Attauriolong suku

Bugis, dan adat istiadat Bugis.

Tulisan Alvin Boskoff (1964: 140-150) yang berjudul Recent

Theories of Social Change digunakan dalam konteks bagaimana

pemahaman dan pemaknaan masyarakat setempat terhadap nilai-

Page 24: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

23

nilai simbolik seni hias yang ada pada istana-istana raja Bugis.

Dalam tulisannya, Boskoff membahas secara mendalam teori yang

dikemukakan oleh Frederick J. Teggart, Park, dan Howard Becker

yang sangat cocok digunakan dalam memahami dan menelaah

perubahan sosial yang terjadi di daerah penelitian. Dalam tulisan

ini dikemukakan bahwa terjadinya perubahan kebudayaan tidak

hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal tetapi juga dipengaruhi

oleh faktor internal dan penyebaran local genius yang berbeda.

Faktor eksternal misalnya pengaruh motif hias Hindu, Islam, dan

kebudayaan lainnya dalam motif hias yang berkembang pada seni

hias Bugis, sedangkan faktor internal seperti misalnya penemuan

berupa alat atau ide baru yang diciptakan seorang individu dalam

masyarakat dan diterima serta diakui oleh warga dalam

masyarakat Bugis.

Dalam pembahasannya yang lebih luas disebutkan bahwa

dalam komunitas masyarakat dan peradaban tertentu dengan

segala aspek yang terkait di dalamnya, ternyata sangat

menentukan dalam menentukan arah, aturan, dan kebijakan-

kebijakan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Proses perpindahan penduduk mempunyai andil dalam

perubahan kebudayaan dan cara pandang suatu masyarakat.

Perubahan itu bisa berlangsung secara cepat bisa pula secara

Page 25: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

24

lambat, bahkan kemudian dapat menyebar dan berkembang di

komunitas lain.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, Kodiran (2000: 3-4)

mengemukakan bahwa perubahan budaya lokal oleh budaya luar

dapat terjadi dalam waktu yang singkat maupun dalam proses

yang panjang, dan biasanya pengaruh luar ini dapat merupakan

sebuah difusi, akulturasi, atau pembauran kebudayaan.

Berdasar uraian teori yang telah dikemukakan, diyakini

aspek bentuk, fungsi, dan makna simbol seni hias istana-istana

raja Bugis secara bertahap telah mendapat pengaruh budaya-

budaya yang berkembang pada masa prasejarah, Hindu, hingga

agama Islam menyebar dan berkembang di daerah Sulawesi

Selatan.

6. Metode Penelitian

A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini pada tiga daerah yakni di Kabupaten

Bone, Wajo, dan Sidenreng Rappang (Sidrap). Ketiga kabupaten

tersebut termasuk 17 kabupaten yang tergolong dalam etnis Bugis

di Sulawesi Selatan.

Dipilihnya daerah ini sebagai sasaran penelitian, karena

berdasarkan pengamatan pendahuluan, daerah ini pernah

menjadi pusat kerajaan Bugis tempo dulu yang meninggalkan

Page 26: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

25

istana yang kaya motif-motif seni hias, yakni Saoraja Bola Soba

Kabupaten Bone terletak 250 km dari Makassar, Saoraja Atakkae

di Kabupaten Wajo sekitar 200 km dari Makassar, dan Saoraja

Sidenreng di Kabupaten Sidenreng Rappang sekitar 182 km dari

Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan.

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Penelitian Kepustakaan dan Arsip

Dilakukan dengan menelaah berbagai sumber-sumber

pustaka, referensi seperti buku, jurnal, lontara’ Bugis, di

antaranya: lontarak Attauriolong, lontarak Bilang, serta lontarak

Latoa. Juga dilakukan kajian terhadap arsip-arsip sejarah daerah

Sulawesi Selatan, Sejarah budaya Bugis, dan arsip lainnya yang

terkait dengan penelitian ini.

2) Penelitian Lapangan

a. Observasi

Observasi dilakukan dengan mengamati secara langsung

motif seni hias yang terdapat pada istana-istana raja Bugis.

Untuk keperluan observasi tersebut, dilakukan beberapa hal,

antara lain: (1) membuat daftar pertanyaan sesuai dengan

Page 27: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

26

gambaran informasi yang ingin diperoleh, dalam hal ini daftar

pertanyaan untuk panrita bola, panre bola, dan tokoh masyarakat;

(2) menentukan sasaran observasi dan kemungkinan waktu yang

diperlukan untuk melakukan observasi pada sasaran tersebut; (3)

melakukan antisipasi terkait dengan sasaran pokok dan sekunder,

serta pertalian antara sasaran yang satu dengan yang lain sebagai

suatu kesatuan. Data observasi digunakan untuk

mendeskripsikan keadaan, aktivitas, orang, maupun makna.

b. Perekaman dan Pencatatan

Teknik ini dilakukan dengan mencatat semua data-data

yang diperoleh di lapangan, di samping mengambil gambar-

gambar dengan menggunakan kamera fotografi juga membuat

sketsa detail terhadap beberapa bagian yang dianggap penting

guna keperluan penelitian ini.

c. Wawancara

Dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara lisan

terhadap beberapa tokoh masyarakat yang mengetahui

keberadaan motif seni hias yang ada pada rumah tradisional

Bugis, antara lain: Panrita Bola (ahli rumah), Panre Bola (tukang

pembuat rumah adat), dan pemangku adat serta nara sumber

lain, termasuk pemilik rumah yang masih hidup dan dapat

ditemui.

Page 28: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

27

7. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul akan diolah dan dideskripsikan

dalam bentuk uraian. Teknik analisis datanya adalah analisis

nonstatistik atau analisis kualitatif. Sebagaimana diketahui dalam

penelitian kualitatif analisis data pada dasarnya dilakukan secara

bersamaan dengan proses pengumpulan data. Dalam penelitian ini

diterapkan analisis interaktif yang dikemukakan oleh Miles dan

Huberman (1992: 20). Model analisis interaktif ini ada tiga

komponen yang saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lain,

yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya adalah (1) reduksi data, (2)

sajian/display data, dan (3) penarikan kesimpulan. Reduksi data

sebagai proses penyeleksian data yang terkumpul berdasarkan

dengan objek penelitian. Bagian ini sudah merupakan bahagian

dari analisis data. Data yang telah direduksi selanjutnya disajikan

dalam bentuk teks naratif, gambar, dan tabel. Berdasarkan

analisis hasil reduksi dan penyajian data ditarik kesimpulan.

8. Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan dalam istana-istana raja

Bugis di Bone, Wajo, dan Sidenreng Rappang, terdapat banyak

seni hias. Bentuk seni hias yang terdapat di ketiga wilayah budaya

merupakan rangkaian bentuk-bentuk seni hias yang cikal

bakalnya sudah ada sejak masa Prasejarah, Dong-son, Chou Tua,

Page 29: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

28

dan hingga datangnya pengaruh Islam ke kawasan ini. Dari proses

periodesasi zaman itu telah melahirkan berbagai bentuk seni hias

dengan ciri zamannya masing-masing.

Pertama, secara garis besar ditemukan adanya beberapa

persamaan dan perbedaan bentuk seni hias di ketiga wilayah

budaya tersebut. Persamaannya terdapat dalam hal penyebutan

nama motif, bentuk, susunan, gaya, dan makna simbolik yang

membentuk wujud seni hias tersebut. Adanya persamaan bentuk

seni hias di ketiga wilayah budaya ini dikarenakan adanya

persamaan perkembangan sejarah pada beberapa abad yang lalu.

Kedua, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadinya perubahan

bentuk dan gaya seni hias pada istana-istana raja Bugis Sulawesi

Selatan, selain mendapat pengaruh yang cukup besar dari

kesenian gaya Dong-son dan gaya Chou Tua, seni hias pada suku

Bugis juga telah mendapat pengaruh Hindu dan Islam. Di samping

itu, perubahan gaya seni ditentukan pula oleh yang berkuasa

dalam masyarakat, baik dalam bidang politik maupun agama atau

adat. Dalam hal ini, terwujud variasi gaya seni disebabkan oleh

adanya pelapisan dan penggolongan dalam masyarakat. Dalam

masyarakat Bugis, dikenal adanya hierarki.

Ketiga, adanya pengaruh gaya Dong-son, Chou Tua, dan

Islam pada motif hias istana-istana raja Bugis tidak dapat

dipungkiri. Hal tersebut tampak pada cara menghias figur

Page 30: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

29

dicocokkan ke dalam dekorasi sebagai keseluruhan, dan

pengulangan yang teratur serta peletakan motif di hiasan pinggir.

cara tersebut merupakan ciri gaya Dong-son. Penggunaan gaya

asimetris pada beberapa motif hias, disebabkan pengaruh yang

kuat dari gaya Chou Tua, sedangkan pengaruh Islam dalam seni

hias Bugis, dapat dilihat pada penggunaan motif bulan bintang

dan motif kaligrafi Arab pada beberapa istana-istana raja Bugis.

Keempat, seni hias yang diciptakan sebagian merupakan

transformasi bentuk seni hias yang telah ada sebelumnya, yang

kemudian dikemas, diakui sebagai seni hias yang khas Bugis.

Selain itu, seni hias pada istana-istana raja Bugis juga memiliki

beberapa fungsi dan makna simbolis tertentu. Secara sosial,

fungsi seni hias yang melekat pada istana adalah untuk

menunjukkan status sosial si pemilik rumah. Secara fisik, seni

hias yang ditampilkan selain dapat memberikan nilai keindahan

atau estetis, seni hiasnya juga berfungsi secara konstruktif pada

bagian-bagian tertentu di mana seni hias tersebut diterapkan.

Fungsi fisik harus mencakup dan memenuhi unsur kegunaan,

keefektifan, penampilan, dan daya tarik.

Kelima, dari segi pemaknaan, seni hias yang diciptakan

diterjemahkan atas dasar konsep adat istiadat dan pandangan

kosmologi suku Bugis. Umumnya, makna seni hias memberikan

nilai-nilai positif dalam mendukung aktivitas kehidupan

Page 31: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

30

masyarakat setempat. Pemaknaan seni hias yang ditemukan akan

sangat bergantung pula dari bentuk seni hias yang diciptakan. Di

samping itu, beberapa seni hias sarat dengan pesan, ajaran, dan

nilai-nilai filosofis yang menjadi pegangan dan pedoman bagi

masyarakat suku Bugis.

9. Saran

Istana sebagai tradisi perwujudan lambang bukan tulisan

merupakan sumber informasi budaya daerah yang perlu

dilestarikan agar supaya nilai-nilai budaya Bugis yang terkandung

di dalamnya dapat diwariskan ke generasi berikutnya dalam

rangka memperkaya kebudayaan nasional.

Dengan adanya perhatian pemerintah, khususnya dalam

pelestarian dan pemeliharaan bangunan-bangunan tradisional

lebih menambah kenyakinan bahwa istana raj-raja Bugis akan

tetap terpelihara di masa mendatang.

Dalam usaha pelestariannya, tidak cukup hanya dengan

memugar dan melindungi saja, tetapi yang lebih penting ialah

upaya menyadarkan masyarakat akan arti, makna, dan fungsi dari

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Supaya penelitian tentang arsitektur istana atau rumah

tradisional ini dilanjutkan dengan mengungkapkan isi dan semua

peralatan hidup dalam rumah tangga tradisional Bugis Sulawesi

Selatan menurut fungsi dan tujuannya.

Page 32: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

31

KEPUSTAKAAN

Abdullah, Hamid. Manusia Bugis Makassar: Suatu Tinjauan Historis terhadap Pola Tingkah Laku dan Pandangan Hidup Manusia Bugis Makassar Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.

Abidin, Andi Zainal. Capita Selekta Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1999. ____________, Persepsi Orang Bugis-Makassar tentang Hukum,

Negara, dan Dunia Luar. Bandung: Alumni, 1983. Al-Fariqi, Ismail Raji. Seni Tauhid-Esensi an Ekspersi Estetika

Islam . Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999. Anas, Biranul. Indonesia Indah: Tenunan Indonesia Indah. Jakarta:

Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1995. Andaya. Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi

Selatan Abad ke-17 (terjemahan Nurhady Sirimorok). Makassar: Ininnawa, 2004.

Arsuka, Nirwan Ahmad. “La Galigo dan Kanon Sastra Dunia:

Penciptaan dan Penemuan Manusia”. Nurhayati Rahman (ed) La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Makassar: Pusat Studi La Galigo Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Hasanuddin, 2003.

Ayatrohaedi., ed. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1986. Barker, Chris, Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta:

Kreasi Wacana, 2004. Barret, Terry. “Criticizing Art” , dalam M. Dwi Marianto, Seni Kritik

Seni. Yogyakarta: Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta, 2002. Bellwood, Peter. Prehistory-Prehistory of the Indo-Malaysian

Archipelago . Sydney: Academic Press Australia, 1985. ________________. “Hunter, Gatherers and Navigators” dalam Toby

Alice Volkman, Introducing Sulawesi.. Sidney: Periplus Adventure Guide. 1996.

Page 33: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

32

Budihardjo, Eko. Arsitektur sebagai Warisan Budaya . Jakarta: Djambatan, 1997.

Boas, Franz,. Primitive Art. New York: Dover Publications, Inc,

1955. Boskoff, Alvin. “Recent Theories of Social Change” dalam Wermer

J. Chanman & Alvin Boskoff, ed. Sociology and History: Theory and Research . London: The Free Press of Glencoe, 1964.

Crystal, Eric. Silk Traditional Textile. London: Oxford University

Press,1979. Dafri, Yulriawan. “Ragam Hias Melayu pada Arsitektur Tradisional

Rumah Panggung di Palembang dan Jambi: Bentuk, Fungsi, dan Maknanya”. Disertasi untuk memperoleh derajat Dokter pada Universitas Gadjah Mada, 2009.

Dumarcey, Jacques. The Houses in South East Asia. Translated of

English and Edited by Michael Smithies. New York. Oxford University Press, 1987.

Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 2006. Feldman, Edmund Burke. Art as Image and Idea. New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 1967. Friedericy, H.J.. De sranden bij de Boegineschen en Makassaren,

dalam BKI . 1933, No. 80. Gadamer, Hans-Georg. Kebenaran dan Metode, Pengantar Filsafat

Hermeneutika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Geertz, Clifford. The Interpretation of Culture. New York: Basic

Books, 1973. _______________. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius,

1992. Geldern, R. von Heine. Prehistoric Research in the Netherlands

Indies, dalam Fritz A. Wagner. Indonesia : The Art of an Island Group . terjemahan Hildawati Sidharta . Jakarta Departemen Pedidikan dan Kebudayaan, 1995.

Page 34: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

33

Glover, Late Stone Age – The Late Stone Age in Eastern Indonesia,

P van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia: A Reader. Den Haag: VKI, 1984.

Grand, M. Prehistoric Art: Palaeolithic Painting and Sculpture . New

York: Draphic Society, Greenwich Connecticut, 1967. Gustami, SP. Seni Ukir Kerajinan Mebel Ukir Jepara; Kajian Estetika melalui Pendekatan Multidisiplin. Yogkakarta: Penerbit Kanisius, 2000. Hamid, Abu. Kebudayaan Bugis. (Makassar: Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2006. Hamzah, Aminah P., Makmun Badaruddin dan Muh. Salim.

Monografi Kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.

Haryono, Timbul. Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif Arkeologi Seni . Solo: ISI Press Solo, 2008. Heekeren, H.R. Van. The Stone Age of Indonesia . The Hague- Martinus Nijhooff, 1972. ______________. Over Toale Cultuur, dalam atuurwetenschappelijk

Tijdschrift van Nederlandsch Indie. 1957. Herman, V.J.. Seni Ragam Hias pada Kain Tenun Nusa Tenggara

Barat . NTB: Dinas Museum Negeri NTB, 1990. Heritage, Andrew, David Robert, dan Roger Bullen. Atlas Dunia:

Referensi Terlengkap. Jakarta: Erlangga, 2004. Hoesin Q.A.. Kultur Islam. Djakarta: Djambatan, 1964. Holt, Claire. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca New York: Cornell University Press, 1967. ___________. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia

(terjemahan R.M. Soedarsono). Bandung. Art.line-MSPI, 2000.

Hoop, A.N.J. Th. a Th. van der. Indonesische Sier Motieven .

Bandung: s’ Gravenhage, N.V. Uitgeverij W. van Hoeve, 1948.

Page 35: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

34

Jones, Owen. The Grammar of Ornament. London: A Dorling

Kindersley Book, 2004.

Kadir, Harun. Sejarah Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Kartiwa, Suwati. “Semarak Sutera, Kemilau Wastra kain Bugis

Makassar”, dalam Biranul Anas, Indonesia Indah Tenunan Indonesia: Buku 3. Jakarta: Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1995.

Kern, R.A.. Catalogus van de Boegineesche tot de I La Galigosyclus

Behoorende. Handscripten der Leidedsche Universiteitsbibliotheek. Leiden: Universiteitsbibliotheek, 1939.

___________. I La Galigo, Ceita Bugis Kuno, terjemahan La Side dan

Sagimun M.D. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.

Kleden, Leo. Teks, Cerita, Transformasi Kreatif. Jakarta. dalam Kalam Jurnal Kebudayaan, Edisi 10, 1997. Kluckhohn, C, dalam Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet

dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Kodiran, Perkembangan Kebudayaan dan Implikasinya terhadap

Perubahan Sosial di Indonesia (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 3 Juni 2000.

Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Koolhof, Sirtjo. Pengantar/Pendahuluan dalam I La Galigo, Jilid I

Jakarta: Djambatan, 1995. Kosasih, “Lukisan Gua di Indonesia sebagai Sumber Data Penelitian

Arkeologi”, (Paper disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Jakarta 1983)

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah, edisi kedua. Yogyakarta. Tiara Wacana Yogya, 2003.

Page 36: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

35

Lewcock, Ronald dan Gerald Brans. The Boats as an Architectural

Symbol, dalam Paul Oliver (ed)Shelter, Sign, and Symbol. New York: The Overlock Press, 1980.

Mahmud, M. Irfan. Kota Kuno Palopo: Dimensi Fisik, Sosial, dan

Kosmologi. Makassar: Masagena Press, 2003. Maier, Manfred. Basic Principles of Design. New York. van Nostrand, 1977. Macknight, Campbell C. The Rise of Agriculture-“The Rise of

Agriculture in South Sulawesi Before 1600” . RIMA, 1983. Mappangara, Suriadi, ed. Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan

sampai Tahun 1905. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

Mardanas, Izarwisma, Rifai Abu, dan Maria. Arsitektur

Tradisional Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang. Depdikbud, 1985.

Marianto, M. Dwi, Seni Kritik Seni. Yogyakarta: Lembaga Penelitian

ISI Yogyakarta, 2002. Mattulada. Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Koentjaraningrat.

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1997.

______________. Latoa, Lukisan Analitis terhadap Antropologi Politik

Orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995.

Miksic, John. Tahap Berburu dan Meramu di Indonesia Timur.

John Miksic, Sejarah Awal. Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, Inc, 2002.

Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru (terjemahan Tjetjep R. Rohidi). Jakarta. Universitas Indonesia Press, 1992. Munro, Thomas. The Arts and Their Interrelations. Cleveland and

London: The Press of Case Reserve University, 1969.

Page 37: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

36

Noorduyn dalam Andi Zainal Abidin. Capita Selekta Kebudayaan

Sulawesi Selatan . Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1999.

Nyompa, Johan M. Sistem Kekerabatan dan Peranan Pranata

Keluarga dalam Masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1979.

_____________, “Menelusuri Jejak I Lagaligo”, dalam M. Irfan

Mahmud, Kota Kuno Palopo: Dimensi Fisik, Sosial, dan Kosmologi. Makassar: Masagena Press, 2003.

Oliver, Paul (ed.). Shelter, Sign, and Symbol. New York: The

Overlock Press, 1980. Paeni, Mukhlis. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Proyek

Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995. Pelras, Christian. Manusia Bugis (terjemahan Abdul Rahman Abu,

dkk). Jakarta: Nalar bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris EFEO, 2006).

Phillips, Peter and Gillian Bunce. Repeat Pattern: a Manual for

Designer, Artist and Architects. London: Thames and Hudson, Ltd., 1993.

Rahim, Rahman. A. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung

Pandang. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, 1985.

Rasjid, Darwis. Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah daerah Sulawesi

Selatan dari Abad ke XIV s.d XIX. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 1991.

Rasuly, Muhammad Nur, ed. Monografi Kebudayaan Bugis di

Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, 1984.

Ratna, Nyoman Kutha, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan

Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Page 38: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

37

Roojen, Pepin van. Indonesian Ornamental Design . Amsterdam: The Pepin Press, 1998.

Said, Abdul Azis. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional

Toraja: dan Perubahan Aplikasinya pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak, 2004.

Saifuddin, Achmad Fedyani. Antropologi Kontemporer, suatu

pengantar kritis mengenai Paradigma. Jakarta. Kencana Prenada Media Group, 2006.

Salim, Muhammad. Transliterasi dan Terjemahan Lontarak

Attoriolong. Ujung Pandang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2006.

_______________. Ibuku Maggali-gali, maka Aku dinamai I La

Galigo, Nurhayati Rahman (ed) La Galigo Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Makassar: Pusat Studi La Galigo Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Hasanuddin, 2003.

Satari, Sri Soejatmi. Seni Hias Ragam dan Fungsinya:

Pembahasan Singkat tentang Seni Hias dan Hiasan Kuno, dalam Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987.

Schefold, Reimer and Peter J.M. Nas., ed. Indonesia Houses;

Tradition and Transformation in Vernacular Architecture. Netherlands: KITLV Press, 2003.

Sedyawati, Edi. Estetika dalam Arkeologi Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987. Shima, Nadji Palemmui. Istana Rumah Tradisional Bugis.

Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar, 2006.

Soedarsono, R.M. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni

Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.

____________, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997.

Page 39: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

38

Soejono, R.P. Prehistoric Indonesia, P van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia: A Reader. Den Haag: VKI, 1984.

____________. Sejarah Nasional . Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan, 1976. Spradley, James P. Metode Etnografi . Yogyakarta: PT. Tiara

Wacana, 1997. Speltz, Alexander. Style of Ornament: A Pictorial Survey of Six

Thousand Years of Ornamental Design. New York: Gramercy Book, 1923.

Subagya, Rachmat. Agama Asli Indonesia . Jakarta: Sinar

Harapan dan YCLK, 1981. Subarna, Abay D. Unsur Estetika dan Simbolik pada Bangunan

Islam, dalam Estetika dalam Arkeologi Indonesia . Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1987.

______________. Atap Cekung: Fungsional, Simbolis, atau Estetis?

Arsitektur Indonesia adalah Arsitektur Atap. Bandung: Pikiran Rakyat, 1984.

Sugiharto, Bambang I, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat.

Yogyakarta: Kanisius, 2001. Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:

Kanisius, 1999. Sukarman. Ornamen Timur I . Yogyakarta: STSRI, 1983. Tabrani, Primadi. Belajar dari Sejarah dan L ingkungan, Sebuah

Renungan Mengenai Wawasan Kebangsaan dan Dampak Globalisasi . Bandung: Penerbit ITB, 1999.

Tanudjaja, F. Christian.J.S. Wujud Istana sebagai Ungkapan

Makna Sosial Budaya Manusia: Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1992.

Toekio, M. Soegeng. Mengenal Seni Hias Indonesia. Bandung.

Penerbit Angkasa, 1987. Tresidder, Jack. The Complete Dictionary Of Symbols: In Myth, Art

and Literature. London: Duncan Baird Publishers, 2004.

Page 40: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

39

Turner , Victor. The Forest of Symbols: Aspecs of` Ndembu Ritual .

London: Cornell Paperback, Cornell University Press, 1967. Vogler, E.B.. De Monsterkop uit het Omlijstingsornment van

Tempeldoorgangen en –nissen in de Hindoe-Javaanse Bouwkunts (Leiden: E.J. Brill, 1949), dalam Edi Sedyawati. Masyarakat dan Perubahan Gaya Seni: Ulasan atas Studi E.B. Volger. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Wagner, Fritz A. Indonesia, the Art of an Island Group: Indonesia,

Kesenian Suatu Daerah Kepulauan, Terjemahan Hildawati Sidharta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.

Wagner Frits A. Art of the World . New York: Crown Publisher Inc.,

1959. Wahid, A. Kahar. Sejarah Seni Rupa Indonesia I . Ujung Pandang.

IKIP Ujung Pandang Press, 1988. Ward, James. The Principles of Ornament . New York: Charles

Scribner’s Son’s, 1896. Waterson, Roxana. The Living House: An Anthropology of

Architecture on South-East Asia (New York: Oxford University Press Pte., Ltd., 1990.

______________, “Ciri Umum: Fondasi Tiang yang Dinaikkan”,

dalam Gunawan Tjahjono, Arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Grolier International, Inc, 2002.

Weyt, H. Symmetry. Princeton: Princeton University Press, 1952. Wornum, Ralph N. Analysis of Ornament: The Characteristics of

Styles, Sixth Edition. London: Chapman and Hall, 1879. Yudoseputro, Wiyoso. Wawasan Seni Budaya. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993. Yunus, Pangeran Paita. “Kemahiran Lokal (Local Genius) dalam

Ragam Hias Bugis (Kajian Ragam Hias pada Rumah Tradisional Bugis dalam Unsur-Unsur Estetika Bentuk).” Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Seni pada Institut Teknologi Bandung. Bandung. ITB, 1999.

Page 41: Oleh: Pangeran Paita Yunus - repository.ugm.ac.idrepository.ugm.ac.id/digitasi/download.php?file=3152_RD-201301019...Dalam kehidupan sehari-hari, rumah orang Bugis dapat dibedakan

40

Yusuf, Wiwiek P., Sahriah, dan Endang. Upacara Tradisional

(Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992.