ocr document - cardiologydjanggan.lecture.ub.ac.id/files/2012/04/penanda-biokimia... · web...

40
PENANDA BIOKIMIA PADA SINDROMA KORONER AKUT (BIOCHEMICAL MARKERS OF THE ACUTE CORONARY SINDROMES) Prof.DR.Dr. Djanggan Sargowo, SpPD, SpJP(K), FIHA, FACC, FAPSC FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Upload: ngobao

Post on 07-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENANDA BIOKIMIA PADA SINDROMAKORONER AKUT

(BIOCHEMICAL MARKERS OF THE ACUTE CORONARY SINDROMES)

Prof.DR.Dr. Djanggan Sargowo, SpPD, SpJP(K), FIHA, FACC, FAPSC

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS BRAWIJAYA

M A L A N G2008

PENANDA BIOKIMIA PADA SINDROMA KORONER AKUT(BIOCHEMICAL MARKERS OF THE ACUTE CORONARY SINDROMES)

Ringkasan

Sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian iskemia miokardial dari angina, trauma jaringan yang reversible yaitu unstable angina, seringkali berhubungan dengan kerusakan minor dari miokard yaitu infark miokard dan nekrosis jaringan yang luas. Menurut sejarah, kecurigaan adanya penyakit pembuluh darah koroner menggunakan kriteria gejala dari WHO, EIektrokardiografi, dan penanda biokimia. Isoenzym Creatine kinase MB (CK-MB) tetah menjadi penanda yang penting, tetapi tidak spesifik untuk miokard. Isoform cardiac spesifik Troponin T dan I merupakan indikator miokard infark (Ml) yang spesifik dan kepentingannya untuk stratifikasi resiko pada pasien sindroma koroner akut. Sebagai tambahan pada penanda adanya nekrosis pada sel miokard, penanda adanya plaque disruption (C-reactive protein and serum amyloid A), "angry" platelets (P-selectin), iskemia (isoenzym glycogen phosphorilase-BB) dan bagian prokoagulan dan trombosis (fibrin soluble/larut air) memiliki potensial untuk digunakan. Juga, CK-MB dan mioglobin telah memiliki kombinasi dengan indikator klinis untuk monitoring reperfusi setetah terapi trombolitik. Penanda biokimia akan menjadi tambahan klinis penting untuk mendiagnosis MI, menilai resiko dan monitoring reperfusi kedepannya.

Summary

The acute coronary syndromes represent a continuum of myocardial ischemia ranging from angina, reversible tissue injury → unstable angina, frequently associated with minor myocardial damage → myocardial infarction

and extensive tissue necrosis. Historically, coronary artery disease assessment has been mainly binary, using WHO criteria of symptoms, electrocardiography, and biochemical markers. The creatinine kinase-MB iso-enzyme (CK-MB) has been a benchmark for markers, but it is not specific for myocardial. Cardiac-specific isoforms of troponin T and I have emerged as sensitive myocardial infarction (MI) Indicators and, importantly, for risk stratification of acute coronary syndrome patients. In addition to markers of myocardial cell necrosis, markers of plaque disruption (C-reactive protein and serum amyloid A), “angry” platelets (P-selectin), ischemia (glycogen phosphorylase-BB isoenzyme), and the procoagulant state and thrombosis (soluble fibrin) have potential use. Also, CK-MB and myogIobin have been combined with clinical indicators for monitoring reperfusion after thrombolytic therapy. Biochemical markers will continue to be an important clinical adjunct for MI diagnosis, risk assessment, and reperfusion monitoring in the future.

1

I. PendahuluanPenanda biokimia pada trauma miokard berperan penting dalam

penilaian secara global dan terapi pada pasien dengan spektrum sindroma

koroner akut, suatu masa yang mencakup suatu rangkaian iskemia miokard

akut sejak angina melalui rniokard infark (MI) gelombang Q (Q-wave). Sebagai

indikasi pada gambar 1, suatu rangkaian sindroma koroner akut

menggambarkan suatu proses fisiologis pada iskemia miokard akut dan

mungkin menjadi sangat penting dari "clinical standpoint”, suatu rangkaian

resiko. Pada tiga dekade yang lalu, iskemia miokard telah dianggap sebagai

suatu fenomena berpasangan, sebagai contoh, MI dan non MI, menggunakan

rekomendasi WHO yang meliputi pemenuhan setidaknya 2 dari 3 kriteria berikut

ini : gejala klinis iskemia miokard, perubahan etektrokardiografi (ECG), dan

suatu peningkatan serum penanda biokimia. Untuk kriteria pertama, penilaian

yang seksama pada gejala klinis sangatlah penting; walau bagaimanapun juga,

gejala dapat menjadi tidak spesifik pada sepertiga pasien, khususnya penderita

diabetes dan lanjut usia, yang banyak mengalami suatu gejala iskemia atipikal.

Kriteria kedua, perubahan pada ECG, adalah alat yang sangat penting yang

seharusnya dapat berperan lebih cepat setelah presentasi pasien yang dicurigai

MI karena memiliki elevasi ST segmen > 1mV pada lead yang berdekatan utau

gejala atau left bundle branch block baru sebagai kandidat untuk terapi reperfusi

segera. Walau bagaimanapun juga, ECG bukan suatu alat yang sempurna

karena sensitivitas diagnostiknya mungkin sekitar 50%. Yang terakhir, kriteria

WHO yang meliputi monitoring perubahan sementara pada penanda biokimia

suatu nekrosis miokard. Di masa lalu, aktivitas enzim digunakan sebagai

marker; walau bagaimanapun kedepannya, ukuran protein, beberapa

diantaranya merupakan enzim yang akan menjadi standar. Pengamatan

terhadap peningkatan dan penurunan penanda biokimia isoenzim creatine

kinase MB (CK-MB) telah menjdi "gold standart" untuk diagnosis MI.

Pada pasien yang menunjukkan gejala dengan perubahan ECG secara

2

diagnostik, penanda biokimia memiliki peranan yang terbatas dalam

mendiagnosis suatu MI akut, kecuali untuk konfirmasi. Di sisi lain, penanda

biokimia adalah penting untuk menilai sebagian besar pasien yang memiliki

gejala non spesifik atau ragu-ragu dan tanpa diagnosis dari ECG karena

penanda-penanda ini memiliki 1 dari 2 kriteria diagnosis MI. Banyak institusi

yang menginisiasi Chest Pain Evaluation Centers (CPECs), yang merupakan

terapi protokol spesifik yang bermaksud untuk suatu sistematik dan perawatan

dengan biaya yang efektif pada prevalensi pasien yang tinggi. CPECs sering

dengan atau berdekatan dengan Departemen Emergency dan memiliki protokol

institusi untuk monitoring group besar ini pada pasien ”rule out MI”. Diagnosis

dan perawatan pasien dengan kecurigaan suatu sindroma koroner akut,

terutama sekali yang menggunakan ECG sebagai diagnostik, telah difasilitasi

oleh pendirian CPECs.

Gambar 1. Berlangsungnya akut koroner sindrom (AKS), iskemik miokard dan resiko (Cristenson. RC, Clinical Chemistry 44; 8(B), 1998.

Meskipun masih tampak keduanya pro dan kontra berkenaan dengan

peranan kecepatan, atau waktu sesungguhnya terhadap tersedianya CK-MB

3

dan penanda jantung lainnya. Data menunjukkan suatu hubungan dengan

pengurangan keduanya pada lamanya opname dan keseluruhan biaya

laboratorium pada institusi menghasilkan waktu yang relative singkat. Sebagai

catatan bahwa pada 4-8% pasien gagal didiagnosis suatu MI dan terdapat

mortalitas yang tinggi pada grup ini. Sebagai tambahan, adanya kesalahan

diagnosa MI menggambarkan tingginya pembiayaan dalam jumlah dollar karena

malpraktek oleh dokter medis emergency.

Tujuan utama tulisan ini adalah untuk menampilkan peranan penanda

biokimia yang akan berperan di masa depan untuk menilai rangkaian iskemia

miokard yang berkorelasi untuk suatu spektrum resiko. Juga, akan menampilkan

strategi terkini untuk mendiagnosis kecurigaan suatu MI. Bagaimana penanda

biokimia dapat menjadi pertanda hasil yang merugikan dan strategi masa depan

untuk identifikasi pasien pada rangkaian sindroma koroner akut. Akhirnya,

peranan penanda biokimia, yang dikombinasi dengan variable klinis, untuk

penilaian non invasive pada pasien untuk mereka dengan terapi trombolitik yang

telah diberikan.

II. CK-MB : Strategi TerkiniCK-MB menjadi suatu alat alat yang penting dalam mengevaluasi suatu

sindroma koroner akut. CK-MB adalah 1 dari 3 isoenzim dimerik yang terdiri dari

aktivitas total CK. Seluruh sitoplasmik CK disusun oleh sub unit M dan/atau B

yang saling berhubungan membentuk isoenzim CK-MM, CK-MB, dan CK-BB.

CK-MM sebagian besar berada di otot lurik, keduanya yaitu pada otot skelet dan

miokard.

Pada pasien yang memiiiki penyakit jantung, sebagai contoh: sterosis

aorta, penyakit pembuluh darah koroner (CAD), atau keduanya, isoenzim CK-

MB sekitar 20% lebih dari total CK di dalam jaringan, dimana kandungan CK-MB

hanya 0-3% dari total CK di otot skeletal. Hal ini patut diperhatikan bahwa pada

individu normal memiliki presentase CK-MB yang lebih rendah sekitar 1,1 %.

4

"Total CK" mengenai aktivitas kumulatif pada isoenzim MM, MD, dan BB pada

sampel pasien.

Saat ini, CK-MB harus dianggap penanda biokimia yang unggul pada

trauma miokard, sebagai contoh telah menjadi dasar perbandingan penanda

lainnya. Meskipun CK-MB memiliki nilai diagnostik yang spesifik untuk trauma

miokard, otot skeletal memiliki keduanya yaitu aktivitas total CK yang tinggi per

gramnya dan mungkin memiliki lebih dari 3 % CK-MB. Potensial yang non

spesifik ini, terjadi pada sebagian pasien dengan trauma otot skeletal dan otot

miokard secara bersamaan. Untuk memberikan spesifitas jantung yang terbaik

pada pengukuran CK-MB, Indeks relative CK-MB sering dihitung berdasarkan

persamaan di bawah ini :

CK-MB Index = 100% (CK-MB/Total CK)

Beberapa memberi kesan bahwa Nilai Index CK-MB melebihi 2,5% yang

dihubungkan dengan sumber di miokard pada isoenzim MB. Walau

bagaimanapun juga, pemaparan saat ini menunjukkan bahwa hubungan CK-MB

dan miokad ditetapkan dengan nilai terendahnya 2% dan tingginya 5%

bergantung pada variabilitas keduanya, dalam terminologi sebagai numerator

dan denominator pada index relative.

Karakteristik peningkatan dan penurunan CK-MB pada pengukuran

secara serial merupakan patognomonis untuk mendiagnosis Ml. Peningkatan

pertama CK-MB setelah MI membutuhkan 4-6 jam setelah onset gejala. Untuk

diagnosis dengan sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, sampel serial

dibutuhkan selama periode 8-12 jam. Pada lingkungan CPEC, Gibler dkk.,

penggunaan pemeriksaan CK-MB dalam strategi ini, meliputi sampel pada

presentasi dan kemudian pada 3, 6, dan 9 jam kemudian pada > 1000 pasien

resiko rendah dengan nondiagnostik ECG. Meskipun harus dicatat bahwa

pasien-pasien ini memiliki reslko rendah MI, penelitian ini didokumentasikan

5

100% sensitivitas dan spesifitasnya sebesar 98,3% untuk diagnosis MI pada

populasi pasien dengan nyeri dada ini. CK-MB juga merupakan komponen yang

penting pada penilaian infark ulangan atau infark luas pada pasien. Meskipun

memiliki hasil yang terbaik, CK-tytB bukan penanda yang ideal karena

peningkatannya membutuhkan 8 - 12 jam setelah onset gejala untuk

penggunaan sebagai diagnosis.

III. Pertanda Infark MiokardPresentasi klinis infark miokard dan iskemi cardiac dapat memiliki variasi

gejala yang cukup besar, secara umum termasuk nyeri dada atau tekanan atau

rasa tidak nyaman seperti rasa terbakar di daerah epigastrik, sering juga pasien

dengan radiasi di leher, lengan, bahu, atau rahang: sedikit presentasi tipikal

meliputi dyspneu, diaphoresis, nausea, dan muntah-muntah mungkin menyertai

gejala umum ini atau mungkin manifestasi tunggal pada iskemia. Sedikitnya,

nyeri iskemia mungkin digambarkan sebagai nyeri yang menusuk atau nyeri

seperti pleuritis (radang pleura) beberapa waktu sebelum presentasi. Faktanya,

sekitar 50 % infark miokard digembor-gemborkan oleh gejala klinis yang hilang

timbul atau "stoccato" sebagai presentasi di rumah sakit. Presentasi ini disebut

gejala "prodromal" dan telah didokumentasi pada literatur sekitar 50 tahun.

Pasien dengan presentasi gejala prodromal memiliki permulaan klinis yang lebih

baik. Empat Mekanisme mungkin dapat menjelaskan mengapa sebelum

terjadinya angina menjadi petunjuk perbedaan hasil yang baik. Pertama, angina

sebelumnya mungkin menyebabkan pembukaan pembuluh darah kolateral, jadi

adanya penyumbatan pada pembuluh darah utama, daerah distal dari

pengeblokan ini sebagian menyatu. Kedua, angina mungkin menghasilkan

prasyarat iskemia selama penyumbatan koroner. Ketiga, terapi pasien angina

rnenggunakan aspirin dan heparin mungkin dapat menggagalkan atau

meminimalkan terjadinya infark. Yang terakhir, terdapat spekulasi bahwa

thrombus pada pasien fase prodromal mungkin memiliki komposisi yang

6

berbeda, memiliki clot dengan proporsi kecil pada agregasi platelet dan banyak

benang fibrin yang sedikit resisten untuk hancur. Pada beberapa kasus,

presentasi prodiomal merupakan klinis yang penting karena pasien yang

memiliki gejala ini melepaskan sedikit penanda biokimia dan oleh karena itu

sedikit trauma jaringan, menjadi petunjuk hasil yang lebih baik bila dibandingkan

dengan pasien dengan oklusi yang kasar. Penyuluhan umum untuk mengenal

gejala prodromal dan mencari terapi sebelum periode yang panjang oklusi dapat

menjadi sangat penting untuk menurunkan mortalitas sindrom koroner akut.

IV. Rangkaian Sindroma Koroner AkutBanyak peramu laboratorium secara tradisional berhubungan dengan tes

penanda biokimia untuk mendiagnosa MI akut, penilaian infark ulangan atau

infark luas, dan perkiraaan kuantitas jaringan yang mengalami infark (ukuran

infark). Secara logis, peranan-peranan ini memiliki korelasi yang jelas dengan

kriteria WHO untuk diagnosis MI. Peranan ke depan laboratorium akan menjadi

hubungan yang dekat pada rangkaian sindroma koroner akut melalui stratifikasi

resiko dan monitoring terapi pada terapi trombolitik, strategi platelet inhibisi, dan

mungkin intervensi lainnya seperti angioplasty keroner.

Gambaran iskemia cardiac sebagai pasangan dari kriteria WHO untuk MI

mungkin digambarkan sebagai sebuah anakhronisme, karena sebagai ilustrasi

pada gambar sindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian

fenomena. Pada banyak level dasar, rangkaian iskemia miokard juga

menggambarkan spektrum trauma sel iskemik, yang bermula dari trauma yang

masih reversible hingga nekrosis yang luas. Peristiwa ini digambarkan pada

Gambar 1 juga menggambarkan suatu spektrum resiko untuk sebuah hasil yang

merugikan. Pasien dengan angina stabil, sebagai contoh : iskemia reversible

persiapan miokardial sangat jelas resiko rendah untuk peristiwa merugikan pada

keduanya masa pendek dan masa panjang lalu pasien infark dengan Q-wave

yang memiliki area infark yang luas pada jantung mereka. Identifikasi dimana

7

individu pasien dalam rangkaian sindroma koroner akut memiliki implikasi-

implikasi biologis berkenaan dengan reversibilitas pada trauma dan kuantitas

trauma sel iskemik, sama baiknya resiko relative pasien untuk hasil yang

merugikan.

Banyak fokus penanda kimia yang meliputi penanda nekrosis, sebagai

contoh : CK-MB. Walau bagaimanapun juga, penanda dan substansi lainnya

yang ditunjukkan pada tabel 1 dilepaskan atau diaktifasi sebelum nekrosis dan

mungkin memiliki peranan penting dalam identifikasi resiko pada pasien

sindroma koroner akut. Peningkatan konsentrasi pada Acute Phase Proteins C-

reactive Protein (CRP) dan serum amyloid A bersifat non spesifik, tetapi

mungkin memiliki suatu peranan dalam identifikasi pasien memiliki plak

pembuluh darah jantung yang tidak stabil (”unstable plaque”). Penelitian-

penelitian juga menyelidiki penggunaan CRP untuk prediksi hasil yang tidak baik

dan kerusakan fungsi ventrikel kiri sebagai hasil dari nekrosis cardiac akut atau

infark miokard sebelumnya. Peningkatan pada fase protein akut mungkin

mengindikasi adanya ”plaque disruption” yang menyebabkan pelepasan sitokin

dari aktivasi monosit dan makrofag pada tempat terjadinya disrupsi. Diantara

efek sistemik lainnya, sitokin, meliputi interleukin-6, memicu sintesis acute

phase proteins hepar. Pada jalur ini, pasien dengan penyakit pembuluh darah

koroner tidak stabil yang mana mereka pada peningkatan resiko memiliki

sirkulasi konsentrasi yang awal pada acute phase proteins. Komponen yang

memungkinkan pada hubungan yang diamati antara acute phase proteins dan

peningkatan resiko yang mana protein-protein ini mungkin mencerminkan

penyakit infeksi pada pembuluh darah koroner. Pada beberapa kasus, aspirin

atau agen anti inflamasi non steroid mungkin mengurangi resiko pada pasien

penyakit pembuluh darah koroner, kiranya dengan menghambat proses

inflamasi.

Aktifasi platelet penting dalam mekanisme formasi thrombus dan

mekanisme sindroma koroner akut. Indikator aktifasi platelet seperti uji fungsi

8

platelet atau ”P-selectin” mungkin membantu menilai tendensi pasien untuk

trombosis intrakoroner. Aktifasi platelet dapat dihasilkan dari kontak dengan

pemaparan kolagen, thrombin, dan/atau agonis lainnya yang disebabkan oleh

plaque disruption. P-selectin merupakan suatu molekul adhesi yang nampak

pada permukaan platelet yang aktif. Ekspresi protein ini ditingkatkan pada

permukaan platelet pada pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner

simptomatik. P-selectin tersebut mungkin menjadi penanda pada ”angry”

platelets yang mengindikasi tendensinya untuk melekat pada leukosit,

menyebabkan akumulasi dan sebagai akibatnya komplikasi trombotik pada

iskemia myocardium.

Formasi thrombus merupakan dasar untuk penghalang pada pembuluh

darah yang berhubungan dengan infark; Oleh karena itu, penanda trombosis,

meliputi fibrin solubel dan produk degradasi fibrin, mungkin juga menampakkan

proses trombosis baru atau resiko pada peristiwa yang akan datang. Penanda-

penanda ini merupakan karakteristik aktivitas fibrinolitik pro koagulan. Meskipun

tidak cukup sensitif untuk mendiagnosis MI, fibrin yang tidak solubel dan ”cross-

linked” degradasi fibrin meningkat pada pasien yang memiliki resiko tinggi terjadi

komplikasi. Secara fisiologis, penanda-penanda ini menggagas untuk indikasi

meningkatkan fibrinolisis sebelum perkembangan MI.

Penanda yang mengindikasi adanya iskemia miokard terjadi sebelum

nekrosis yang jelas akan dapat membantu untuk menentukan lokasi pada

pasien dengan rangkaian sindroma koroner akut. Meskipun tidak ada informasi

sebenarnya, glycogen phosphorylase-BB isoenzyme meningkat selama iskemia

tanpa nekrosis dan mungkin cukup menggambarkan penanda iskemia dari

nekrosis. Glycogen phosphorylase-BE dilepas berkaitan dengan ledakan tiba-

tiba glycogenolisis yang terjadi pada miokardium yang terluka setelah Ml akut.

Keseluruhannya, penanda plak yang ruptur (CRP dan serum amyloid A),

indikator pada trombosis intrakoroner (P-selectin dan fibrin solubel), iskemia

miokardial (glycogen phosphorilase-BB), dan penanda nekrosis dapat

9

dikombinasi dengan indikator klinik, ECG, echocardiogram dan pencitraan untuk

membentuk suatu model kombinasi yang terintegrasi untuk penilaian secara

optimum pada pasien dengan resiko.

Tabel 1. Penanda Biokimia Pada Rangkaian Akut Koroner Sindrom (Cristenson RC, Clinical Chemistry, 44, 8 (B), 1998.

Pathophysiology Biochemical marker

Molecular mass

Cardiospesific Type of assay Duration of increase

Comments

Plaque rupture CRP 120.000 Na* Latex photometric

48 – 72 h CRP and serum amyloid A are acute phase proteins; may indicate plaque disruption and be prognostic in unstable angina patients.

Serum amyloid A

12.500 NA Sandwich type enzyme immunoassay

48-72 h

Intracoronary thrombosis

Platelet activation

NA No Functional assays using platelet agonists

Must be performed soon after blood collection

P-selectin 140.000 NA Flow cytrometric assay

Marker of angry platelets; may indicate risk for acute coronary events

Soluble fibrin ELISA Marker of procoagulant fibrinolytic activity; may predict patients at higher risk for MI related complications

Myocardial ischemia

Glycogen phosphorylase-BB

177.000 +++ Immunoenzymometric assay

8 h Marker of cardiac ischemia

Myocardial necrosis

Myoglobin 18.000 No Immunoassay 12-24 h Markers of cardiac necrosis

CK-MB, mass assays

85.000 ++ Immunoassay 24-36 h Markers of cardiac necrosis

cTnT 37.000 ++++ Immunoasay 10-14 days

cTnI 23.500 ++++ Immunoasay 4-7 days

V. Stratifikasi Resiko pada Pasien Sindroma Koroner Akut Banyak perhatian yang dihasilkan oleh penelitian dasar yang

mengindikasi bahwa penanda biokimia berguna untuk membuat stratifikasi

resiko pada pasien sindroma koroner akut. Fokus utama pada perhatian ini

10

pada CK-MB, cardiac troponin T (cTnT) dan cardiac troponin I (cTnI).

CTnT dan cTnI merupakan generasi baru penanda biokimia yang

mungkin melengkapi tambahan klinis untuk penilaian sindroma koroner akut.

Bersama-sama dengan Troponin C, Troponin T dan Troponin I, merupakan

komponen penting pada kompleks kontraktilitas keduanya, yaitu otot skelet dan

otot lurik jantung. Fungsi troponin T untuk mengikat kompleks troponin ke strand

tropomyosin; fungsi Troponin I untuk menghambat aktivitas actomyosin ATPase,

dan troponin C mengikat 4 ion kalsium, lalu meregulasi kontraksi. Perhatian

klinis pada protein dari kompleks troponin dikendalikan oleh isoform spesifik

cardiac pada troponin T dan Troponin I yang telah di purifikasi, yang diikuti

produksi antibodi dan perkembangan immunoassay yang merupakan cardiac

spesifik. Sekuen asam amino untuk Troponin C identik pada jantung dan

jaringan otot skeletal, penggunaan protein ini sebagai penanda spesifik jantung.

Mekanisme pelepasan dan pembersihan troponin T dan troponin I masih

belum dapat dipahami. Meskipun troponin T dan troponin I merupakan struktur

protein, laporan awal menyatakan bahwa kolam ”cystolik” protein ini dilepaskan

ke dalam shkulasi setclah tetjadi trauma sel. Kolam cystolic ini untuk cTnT telah

dilaporkan sekitar 6-8%, dimana kolam cTnI solubel telah dilaporkan 2,8%. Saat

ini, laporan-Iaporan mengindikasi bahwa cTnI dilepaskan sebagai troponin T /

Troponin II Troponin C atau kompleks Troponin I / Troponin C: cTnT mungkin

memiliki sequence pelepasan yang berbeda. Kemungkinan perbedaan ini

melepaskan bentuk cTnT dan cTnI dibawah skor kebutuhannya, untuk

standarisasi dan karakteristik yang menyeluruh untuk penilaian terhadap

protein-protein ini. Sebagai tambahan, isu-isu menekankan kebutuhan

pelepasan dan menganggap cTnT dan cTnI sebagai protein yang berbeda

karena perbedaannya dalam fungsi biologi, berat molekul, mekanisme

pelepasan, dan karakteristik penting lainnya yang mungkin berdampak pada

penggunaan kllinis.

Hingga saat ini terdapat penilaian satu kuantitatif dan satu kualitatif untuk

11

penjelasan cTnT oleh US Food and Drug Administration; kedua penilaian ini

menggunakan pasangan antibodi yang sama dan hasilnya berkorelasi baik.

Peningkatan cTnT didokumentasi pada pasien dengan penyakit ginjal stadium

akhir (end-stage renal disease); walau bagaimanapun juga, arti klinis dari

peningkatan ini masih belum jelas.

Saat ini terdapat sejumlah immunoassay secara kualitas dan kuantitas

yang potensial, baik dalam penggunaan klinis dalam mendiagnosis MI dan telah

dijelaskan oleh US Food and Drug Administration. CTnI mungkin memiliki

peranan penting dalam strategi waktu sesungguhnya untuk mengevaluasi

pasien dengan sindroma koroner akut, suatu area yang menjadi perhatian yang

serius, diskusi, dan penelitian tahunan. Data yang menunjang masih terbatas,

tapi indikasi bahwa cTnI merupakan penanda yang spesifik pada kasus yang

melibatkan luka otot skeletal dan gagal ginjal.

Beberapa waktu terakhir, sejumlah hasil penelitian dasar menunjukkan

pasien dengan iskemi cardiac akut yang mana CK-MB, cTnI, dan/atau cTnTnya

meningkat merupakan resiko yang meningkat untuk infark miokard atau henti

jantung. Data-data ini memunculkan pertanyaan penting saat ini mengenai

peningkatan biaya; uji mana atau uji yang seharusnya dijadikan alat untuk

stratifikasi resiko? Tinjauan dan meta analysis dari pertanyaan ini dikacaukan

oleh banyak metode pengukuran berbeda terhadap CK-MB dan cTnl.

Kenyataan bahwa perbedaan metode untuk penanda-penanda ini memiliki

sensitivitas, analisa, kelemahan untuk campur tangan, dan karakteristik

penampilan mungkin memiliki implikasi penting dimana uji menyediakan

informasi yang berguna.

Sebuah model penelitian untuk membandingkan kegunaan pengukuran

CK-MB oleh ”a state of the art mass assay”, cTnT dan ECG untuk menilai resiko

dilakukan sebagai sub penelitian dari percobaan GUSTO Iia. Subpenelitian

GUSTO Iia ini melibatkan 854 pasien, seluruhnya memiliki gejala iskemia

jantung tidak lebih dari 12 jam dan ECG yang abnormal. GUSTO Iia

12

menunjukkan bahwa tingginya konsentrasi cTnT, hebatnya resiko mortalitas

dalam 30 hari. Juga, pasien yang positif cTnT memiliki peningkatan 3 kali lipat

morbiditas dibandingkan pasien dengan tes negatif. Selanjutnya, di tabel 2

menunjukkan bahwa cTnT merupakan prediktor kematian yang sangat kuat

dalam 30 hari setelah penampakan klinis dalam sebuah model logistik regresi

yang dikembangkan data GUSTO lia. Kombinasi analisa dalam tabel 2

menunjukkan bahwa diantara ECG, cTnT, dan CK-MB, cTnT menambah

banyak informasi memiliki resiko mortalitas dalam 30 hari, dan CK-MB tidak

menyediakan tambahan nilai yang lebih dari yang disediakan oleh ECG dan

cTnT.

Tabel 2. Nilai relatif dari CNT, CK-MB dan EKG untuk prediksi kematian dalam 30 hari (Cristensen RC, Clinical Chemistry, 44, 8 (B), 1998)

Model Variable X2 P C index*Unvariate cTnT 21.0Unvariate ECG 14.2Unvariate CK-MB 10.9Unvariate Additional

variableAdditional X2 P C index*

Multi variable model

cTnT 9.2 0.027 0.73

ECG + CK-MB CK-MB 0.7 0.717ECG + cTnTThe C index is equivalent to the area of ROC curve.

Penelitian terpisah oleh FRISC, pemeriksaan puncak cTnT lebih dari periode 24

jam setelah awal penampakan pada 976 pasien, keseluruhan memiliki penyakit

pembuluh darah koroner tidak stabil, dan berkorelasi dengan konsentrasi cTnT,

dengan hasil pengukuran yang melibatkan henti jantung dan MI lebih dari 150

hari selanjutnya. Penelitian FRISC menemukan sebuah kunci bahwa resiko

peningkatan hasil yang merugikan jantung sebagai peningkatan nilai cTnT,

sesuai dengan tabel 3. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengukuran cTnT

pada 24 jam pertama menyediakan informasi, prognosa yang berharga lebih

dari 5 bulan kemudian, yang mana bebas dari usia, hipertensi, sejumlah obat

13

antiangina, dan perubahan ECG.

Suatu perkembangan dari penelitian FRISC memeriksa konsentrasi cTnT

dapat berguna untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit pembuluh darah

koroner yang mungkin memiliki manfaat dari intervensi terapi. Issue ini diteliti

dengan pengukuran konsentrasi cTnT dari serum 971 pasien yang menerima

masing-masing suatu plasebo dan regimen low molecular weight heparin dalam

waktu singkat (6 hari) atau waktu lama (5 minggu). Diantara pasien dengan

cTnT < 0,1 μg / L, terapi jangka pendek menunjukkan suatu trend yang

signifikan pada insiden kematian dan/atau MI telah berkurang dari 2,4 %

menjadi O% (P=0,12). Pada pasien dengan cTnT ≥ 0,1 μg/L, berturut-turut

insiden kematian dan/atau MI adalah 60% dan 25% dengan plasebo dan grup

terapi jangka pendek (P<0,05). Pada pasien yang menerima terapi jangka

panjang dengan low molecular weight heparin, pasien dengan cTnT ≥ 0,1μg /L

meninggal dan/atau mengalami MI dua kaii lipat dari grup plasebo (14,2% vs

7,4%, P < 0,01). Di sisi lain, konsentrasi cTnT < 0,1μg /L mengidentifikasi grup

resiko rendah yang mana meninggal dan MI menunjukkan tidak ada perbedaan

antara terapi dan grup plasebo. Peningkatan konsentrasi cTnT jelas

mengidentifikasi pasien yang akan bermanfaat untuk terapi jangka panjang

dengan low molecular weight heparin.

Tabel 3. Hasil dari studi FRISC (Cristenson RC, Clinical Chemitry, 44; 8 (B), 1998).

cTnT concentration, μg/L Cardiac death Cardiac death or MI<0.06 0% 4.3%

0.0-0.18 2% 10.5%0.18-0.62 2% 16.0%0.62-2.12 7% 20.0%≥2.12 9% 17.0%

CTnI deteksi dalam sub penelitian pada TIMI IIIb untuk stratifikasi resiko pada

pasien sindroma koroner akut, menggunakan mortalitas point akhir 42 hari.

14

Pada penelitian ini cTnI dibandingkan dengan massa CK-MB pada pasien

angina unstable atau non Q-wave infark. Konsentrasi cTnT ≥ 0,1 μg /L

berhubungan dengan tingginya mortalitas yang signifikan yaitu 42 hari, diantara

konsentrasi rendah pasien angina unstable atau infark non Q-wave dan

merupakan prediktor yang independen pada mortalitas jangka pendek setelah

penyesuaian usia ≥ 65 tahun dan adanya depresi segmen-ST. cTnT ≥ 0,4 μg /L

merupakan indikasi jelas peningkatan resiko mortalitas (risk ratio 3,1) pada

pasien yang pengukuran CK-MB peningkatannya tidak abnormal. Penelitian

menyimpulkan bahwa cTnI untuk identifikasi awal pasien dengan peningkatan

resiko kematian dengan pengukuran cTnI retrospektif.

Pertanyaan logis dalam konteks stratifikasi resiko adalah : Apakah kita

memerlukan untuk mengukur cTnT dan cTnI ? Untuk membandingkan secara

langsung cTnT dan cTnI, GUSTO Iia melakukan penelitian pada 755 pasien.

Meskipun 90% hasil disamakan menggunakan cut off positif/negatif dari paket

masing-masing uji respektif, suatu jumlah yang besar signifikan pada pasien

dengan cTnT positif tapi cTnI negatif lalu mereka yang cTnT negatif tapi cTnI

positif (P<0,001). Pengukuran cTnT pada spesimen lebih berguna daripada cTnI

untuk prediksi mortalitas 30 hari.

Karena cut off cTnT dan cTnI digunakan dalam pemeriksaan data ini,

membatasi perbedaan hasil untuk prediksi mortalitas 30 hari. Untuk alasan ini,

kurva ROC ditempatkan cTnT dan cTnI karena strategI ini mengevaluasi

performans/pelaksanaan relatif pada cut off uji independen. Penggunaan

mortalitas 30 hari sebagai hasil, area kurva ROC untuk cTnT besarnya

signifikan sekitar 0,68 dibandingkan untuk cTnI 0,64 (P=0,002). Data-data ini

mengindikasi bahwa cTnT merupakan tes yang lebih berguna untuk

memprediksikan mortalitas 30 hari pada populasi GUSTO Iia.

Tabel 4. Nilai relatif dari cTnT, cTnI dan EKG untuk prediksi kematian 30 hari (Cristensen RC, Clinical Chemitry, 44; 8 (B), 1998).

15

Model Variable X2 PUnvariate cTnT 21.0 <0.001Unvariate ECG 14.2 0.003Unvariate cTnI 12.3 0.002

Multivariable model Added variable Additional X2 PcTnI + ECG cTnT 8.03 0.045cTnT + cTnI ECG 9.96 0.019cTnT + ECG cTnI 0.84 0.675

Selanjutnya, tabel 4 menunjukkan hasil dari model regresi logistik

menggunakan cTnT, cTnI dan ECG sebagai variabel prediktif, baik tunggal atau

dikombinasi. Berdasarkan masing-masing variabel secara individu, cTnT paling

berguna untuk prediksi mortalitas 30 hari (tabeI 4). Ketika cTnI dan ECG

ditempatkan dalam model regresi logistik pertama, cTnT menambah signifikan

informasi (P=0,045). Walau bagaimanapun juga, ketika cTnI ditambahkan

variabel ke model cTnT dan ECG, ternyata tidak ada peningkatan yang

signifikan dalam kemampuan prediksi mortalitas 30 hari (tabeI 4). Meskipun

cTnT menyediakan banyak informasi berkenaan dengan prediksi mortalitas 30

hari, karakteristik masing-masing hasil cTnT atau cTnI mungkin metode

dependen, sepertii CK-MB. Lalu, peerbedaan penggunaan atau sensitif uji cTnT

atau CTnI mungkin mengindikasi perbedaan hasil. Meskipun populasi GUSTO

lia melibatkan jumlah besar, hanya + 10% (n=74) pasien menunjukkan hasil

cTnT dan cTnI bertentangan.

Penjelasan secara alami tentang pelepasan dan metabolisme cTnI

merupakan area yang aktif diteliti. Immunoassay lain untuk masing-masing cTnT

atau cTnI mungkin menunjukkan perbedaan, tergantung pada konsentrasi

minimum terdeteksi dari uji cTnI yang digunakan dan apakah uji mendeteksi

pelepasan cTnI atau cTnI dalam bentuk bebas atau kompleks, oksidasi atau

reduksi. Phosphorilasi atau tidak, dan faktor lain yang mungkin mempengaruhi

target epitope, milik antibodi, dan/atau kondisi uji lainnya.

Hamm et al. meneliti penggunaan cTnI dan cTnT pada pasien nyeri dada

yang memiliki nondiagnostik ECG, menggunakan uji kualitatif untuk penanda ini.

16

Penelitian ini jelas menunjukkan bahwa uji kualitatif ini digunakan untuk

memprediksikan resiko pada non diagnostik ECG, populasi seperti CPEC.

Ketika interpretasi hasil penelitian menggunakan alat berkualitas, satu hal

yang harus diketahui pada konsentrasi cut off pada alat, contoh, konsentrasi

terendah marker yang menghasilkan hasil positif. Ketepatan yang terbaik untuk

mengevaluasi cut off alat-alat ini adalah dengan memberikan konsentrasi

kuantitatif yang sesuai pada penanda untuk diagnosis MI oleh kriteria WHO,

diambil dari analisa ROC. Mengingat bahwa satu dari kriteria WHO melibatkan

pencatatan kenaikan sementara pada marker jantung, contoh: protein-protein

(cTnT atau cTnl), atau pengukuran enzim oleh aktivitas fungsional lainnya atau

bebagai sebuah protein (CK-MB). Pada penelitian yang dilakukan oleh Hamm et

al. Cut off untuk alat cTnT 2 kali lebih tinggi daripada rekomendasi cut off untuk

diagnosis MI. Faktanya, perlengkapan cTnT digunakan oleh Hamm et al dalam

penelitian tidak lama tersedia tapi tidak digantikan oleh perlengkapan dengan

cut off rendah.

VI. Penelitian Reperfusi Setelah Terapi ThrombolitikDisamping stratifikasi resiko pada sindroma koroner akut, penanda

biokimia juga akan memiliki suatu peranan dalam monitoring keberhasilan terapi

trombolitik. Peranan ini dibuktikan dari hipotesis pembuluh darah tetap terbuka

dengan meningkat hasilnya dan meningkatnya fungsi ventrikel kiri sebagai hasil

patensi pada pembuluh darah yang mengalami infark setelah MI. Menurut

konvensi, patensi pembuluh darah yang mengalami infark yang bertingkat

berdasarkan angiografi pada kriteria "Thrombolysis in myocardial Infarction

(TIMI), yang mana TIMI 0 tanpa perfusi setelah oklusi; TIMI 1 telah terjadi

penetrasi setelah oklusi tanpa perfusi; TIMI 2 terjadi parsial perfusi setelah

oklusi; dan TIMI 3 sudah terjadi perfusi komplit. Penilaian obyektif yang non

invasif pada reperfusi merupakan identifikasi cepat pada 20-25% pasien dimana

yang mengalami oklusi yang masih berlangsung (TIMI 0 atau 1) pada 90-120

17

menit selama terapi trombolitik. Metode lainnya untuk menilai patensi yang

melibatkan angiografi koroner; meskipun dianggap gold standar, metode ini

berhubungan dengan tingginya biaya, kemampuan terbatas, dan peningkatan

morbiditas ketika kondisi akut. Indikator klinik seperti deteksi dari reperfusi

aritmia dan penghentian nyeri merupakan indikator yang tidak dapat dipercaya

untuk patensi. Suatu strategi yang meliputi penanda biokimia untuk memonitor

fenomena ”wash out” jika patensi dipertahankan pada pembuluh darah yang

mengalami infark dapat menjadi kontribusi yang berharga.

Penggunaan penanda biokimia yang bervariasi, termasuk CK,MB subtipe

MM dan MB, troponin T, dan troponin I diteliti untuk penilaian reperfusi non

invasif; walau bagaimanapun juga tidak ada satupun dari penanda ini dimiliki

low molecular weight atau karakteristik pelepasan dini mioglobin, yang keluar

setelah reperfusi koroner. Karena karakteristik pelepasan dini, mioglobin

diperiksa untuk penilaian non invasif pada perfusi miokardial setelah terapi

trombolitik. Variabel klinik lainnya dapat memberi informasi mengenai

keberhasilan reperfusi tetapi tidak dapat dipercaya, oleh karena itu, suatu model

yang mengkombinasikan variabel klinis dan strategi CK-MB dan pengukuran

myoglobin dapat sebagai alat klinisi untuk menilai bagaimana keberhasilan

reperfusi yang terjadi pada individu pasien.

Seperti kombinasi model yang sedang berkembang menggunakan data

yang terkumpul dari 96 pasien yang mendaftar pada penelitian "Thrombolysis

and Myocardial Infarction-7. Seluruh pasien penelitian ”Thrombolysis and

Myocardial Infarction-7 mendapatkan terapi trombolitik kemudian angiografi

koroner sekitar 2 jam setelah aliran darah koroner: patensi pembuluh darah

koroner meningkat berdasarkan klasifikasi TIMI. Pada penelitian ini, dlua

klasifikasi pada aliran TIMI dianggap reperfusi yang berhasil. Yang pertama

meliputi klasifikasi original pada TIMI 2 atau 3 untuk keberhasilan reperfusi,

dengan grade TIMI 0 atau 1 dianggap kegagalan trombolisis. Klasifikasi kedua

berdasarkan data dasar dan menganggap TIMI sebagai reperfusi berhasil,

18

dengan grade TIMI 0, 1 dan 2 sebagai reperfusi yang tidak berhasil, lalu 30, 90,

dan 180 menit setelah terapi trombolitik. Seluruh 96 pasien memiliki spesimen

”near-catheterization” yang terkumpul selama 10 menit penelitian angiografi.

Myoglobin diukur pada seluruh sampel, menggunakan metode ”two-site

immunoassay” yang tersedia pada ”stratus II (Dade diagnostic)”, pengukuran

CK-MB dilakukan dengan ”the ICON CKMB kit (Hybritech Inc)”. Model regresi

logistik digunakan untuk kombinasi penanda biokimia dan variabel klinik. Hasil

model regresi logistik selalu bernilai antara nol dan satuan.

Model pendahuluan berkembang yang meliputi variasi myoglobin strategi

tersendiri, seleksi variabel klinis, dan myoglobin dan kombinasi variabel klinis,

variasi model CK-MB dianalisis sebelumnya. Model optimum melibatkan

myoglobin tunggal yang diukur pada kateterisasi, landainya pelepasan CK-MB,

waktu dari nyeri dada hingga memulai terapi trombolitik, dan gradasi nyeri dada

(dari 0-10; dengan 0 taripa nyeri) selama kateterisasi jantung. Myoglobin

menambah signifikansi kemampuan model untuk memprediksi TIMI 0-1, aliran

koroner, contoh: reperfusi gagal vs reperfusi berhasil gradasi TIMI 2-3

(P<0,044). Gambar 2 (left panel) menunjukkan sebuah plot untuk kemampuan

modeI untuk memisahkan TIMI grade 0 - 1 dari TIMI 2; Gambar 2 (right panel)

menunjukkan hubungan kurva ROC untuk model dengan menunjukkan tiga poin

sebagai contoh: area kurva ROC ini sebesar 0,88. Untuk perkiraan TIMI grade 3

vs grade 0 - 2, model tetap signifikan tinggi (P<0,0043) dan menunjukkan suatu

area kurva ROC sebesar 0,74.

19

Gambar 2. Distribusi data hasil dari kurva ROC (Cristensen RC. Clinical Chemsitry, 44; 8 (B), 1998).

Meskipun kombinasi “near catheterization” myoglobin, landaian CK-MB,

dan menghasilkan variabel klinis area ROC tinggi, strategi akan tidak akurat

memperkirakan status reperfusi pada seluruh pasien. Hal ini mungkin tidak

dapat terhindarkan paling tidak tiga alasan biologis dasar. Pertama, strategi

menggunakan penanda biokimia berdasarkan perbedaan pada fenomena ”wash

out” yang terjadi setelah patensi yang telah dihidupkan. Model ”wash out”

sering digunakan untuk mengkarakteristik penanda biokimia

menunjukkan janji untuk menilai patensi adalah angioplasty akut.

Bagaimanapun juga, model ini mungkin bukan simulasi yang tepat untuk

fenomena ”wash out” yang terjdi setelah terapi trombolitik, karena angioplasty

mengembalikan patensi secara mendadak, menghasilkan peningkatan pada

penanda biokimia. Kontras, pembekuan patensi setelah terapi trombolitik

merupakan suatu proses yang lebih dinamis yang mana banyak pasien memiliki

pembukaan dan penutupan berulang pada pembuluh darah yang mengalami

infark Patensi intermitten merupakan kemungkinan penyebab oleh

keseimbangan faktor koagulasi, fungsi platelet, atau faktor potensiasi lain yang

mempengaruhi aktivitas pro koagulan dan kontraktilitas otot pembuluh darah

koroner, yang dapat menimbulkan ”wash out” penanda biokimia. Kedua,

variabel individu pasien seperti infark yang luas, aliran kolateral pada area

infark, jaringan ikat, dan/atau hibernasi sedikit tekanan darah, mungkin

mempengaruhi strategi non invasif untuk menilai patensi. Isu ketiga melibatkan

penggunaan angiography untuk memutuskan patensi. Meskipun ini merupakan

gold standar untuk mengevaluasi patensi koroner, angiografi menggambarkan

suatu ”snapshot” patensi koroner; teknik ini bukan rnerupakan indikator

sebenarnya karena ini tidak dapat mengukur berapa lama pencatatan status

perfusi ada pada pembuluh darah yang mengalami infark sebelum dan sesudah

20

pencitraan, yang akan mempengaruhi ”wash out”. Kemudian, beberapa

ketidaksesuaian harus diperhitungkan karena dinamisasi fisiologi alami pada

perbaikan patensi setelah terapi trombolitik dan ketidaktentuan pengukuran

angiographic.

Penelitian ini menunjukkan bahwa model yang terdiri dari penanda

biokimia, contoh : myoglobin tunggal, yang berlaku antara 60-150 menit dan

pelepasan landaian CKMB setelah memulai terapi trombolitik dengan waktu dari

onset gejala hingga terapi trombolitik dan gradasi nyeri dada, mungkin

menyediakan informasi klinis penting untuk pasien.

VII. PenutupSindroma koroner akut menggambarkan suatu rangkaian miokardial

iskemia dari angina, yang mengindikasi trauma jaringan reversibel, melalui frank

HI dengan nekrosis jaringan yang luas. Suatu generasi baru penanda biokimia

untuk mengindikasi ”plaque disruption”, reaktivitas platelet, nekrosis miokardial

dini, dan efektifitas terapi trombolitik menjanjikan untuk penilaian yang baik pada

pasien dengan resiko jadi klinisi mungkin mempengaruhi untuk menghindari

hasil yang merugikan. Meskipun secera historis CKMB membuktikan marker

yang sangat berguna untuk mendiagnosa MI berdasarkan kriteria WHO, cTnT

dan cTnI memiliki sensitivitas, indikator klinik lebih spesifik pada jantung yang

berguna mendiagnosis MI dan kepentingannya, untuk stratifikasi resiko. Oleh

karena masih kekurangan data, walau bagaimanapun CKMB harus dianggap

indikator penting untuk menilai infark kembali atau infark luas. Penanda biokimia

lainnya, termasuk fase akut reaktan CRP dan serum amyloid A dan penanda

reaktivitas platelet, termasuk P-selectin, sama baiknya dengan penanda pada

trombosis mungkin menjadi berguna untuk identifikasi lokasi pasien pada

spektrum sindroma koroner akut dan oleh karena itu resiko merugikan. Untuk

menilai reperfusi setelah terapi trombolitik, suatu strategi yang melibatkan

myoglobin, CKMB dan indikator klinis, termasuk waktu untuk terapi dan grade

nyeri dada, menunjukkan efisien tinggi dan mungkin menyediakan alat baru

21

yang penting bagi klinisi. Penanda biokimia akan berlanjut memainkan peranan

tradisional dalam menatalaksana pasien MI, tapi mereka juga mengembangkan

kepada tambahan yang penting untuk pengambilan keputusan pasien dengan

ECG dan yang paling penting adalah keputusan klinis.

22

VIII. Daftar Pustaka

Adams JE. Schechtman KB, Landt Y, Ladenson JH, Jaffe AS. Comparable detection of acute myocardial infarction by creatine kinaseMB isoenzyme and cardiac troponin I. Clin Chem 1994;40:1292-5.

Adams JH, Abendschein DS, Jaffe AS. Biochemical markers of myocardial injury: is MB the choice for the 1990's? Circulation 1993;88:750-63.

Alonsozana GL, Christenson RH. The case for cardiac troponin T-marker for effective risk stratification of patients with acute cardiac ischemia. Clin Chem1998;42:803-8.

Antman EM, Tanasijevic MJ, Thompson B, Schactman M, McCabe GH, Cannon GP, et al. Cardiac specific troponin I levels to predict the risk of mortality in patients with acute coronary syndromes. N Engl J Med 1996;335:1342-9.

Baroldi G, Silver MD, Mariani F, Gullano G. Correlation of morphological variables in the coronary atherosclerotic plaque with clinical patterns of Ischemic heart disease. Am J Cardiovasc Path 1988:2:159-72.

Baum H, Braun S, Gerhard W, Gilson G, Hafner G, Muller-Bardorff M, et al. Multicenter evaluation af a second-generation assay for cardiac troponin T. Clin Chem 1997;43:1877-94.

Bodor GG. Porter S, Landt Y, Ladenson JH. Development of monoclonal antibodies for an assay of cardiac troponin I and pulmonary results in suspected cases of myocardial infarction. Clin Chem 1992;38:2203-14.

Braunwald E. Acute myocardial infarction-the value of being prepared [Editorial] prepared.N Engl J. Med 1996:334:31-2.

Christenson RH. Apple FS, Morgan DL. Alonsozana GL. Mascotti K, Olson M. et al. Cardiac troponin I measurement on the ACCESS immunoassay system: analytical and clinical performance characteristics. Clin Chem 1998;44:494-501.

Clarker, Meyer D, Wathen C, Tawa CB, Whegler S, Hamburg RJ et al. Use a rapid assay of subfonns of creatinine kinase MB to diagnose or rule out acute myocardial infarction. N Engl J Med 1994;331:561-6.

23

Cragwall JS, Kramer MF, Fifer MA. Lorell BH, Shemln R, Grossman VW, Allen PD. The creatine kinase system in normal and diseased human myocardial. N Engl J Med 1985;313:1050-4.

Gibler WB, Runyon JP, Levy RC Sayre MR, Kacich R, Hattemer CR, et al. A rapid diagnostic and treatment center for patients with chest pain in the emergency department. Ann Emerg Med :1995;25:1-8.

Gibler WB, Young GP, Hedges JR, Lewis LM, Smith MS, Carleton SC, et al. Acute myocardial lnfarction in chest pain patients with non diagnostic ECGs: serial CK-MB sampling in the emergency department. Ann Emerg Med 1992;21:1304-12.

Gowaz M, Reininger A. Neumann FJ. Platelet function and platelet leukocyte adhesion in symptomatic coronary heart disease. Effects of intravenous magnesium. Thromb Res 1996;83:341-9.

Ingram DA, Fulton RA, Portal RV, P’Aber C. Vomiting as a diagnostic aid in acute ischemic cardiac pain. Br Med J 1980;281:636-7.

Ishihara M, Sato H, Tatelshi H, Kawagoe T, Shimatani Y, Kurisu S, et al. Implications of prodrmal angina pectoris in anterior wall myocardial infarction: acute angiographic findings and long-term prognosis. J Am Coll CardioI 1991;30:910-5.

Jaffe AS. More rapid biochemical diagnosis of myccardial infarction: necessary? prudent? cost-effective? Clin Chem 1993;39:1567-9.

Katrukha AG, Bereznikova AV, Esakova TV, Pattersson K, Lovgren T. Severina ME, et al. Troponin I released in bloodstream of patients with acute myocardial infarction not in ree form but as complex. Clin, Chem 1997:43:1379-85.

Katrukha AG, Bereznikova AV, Esakova TV, Pattersson K, Lovgren T. Severina ME, et al. Troponin I released in bloodstream of patients with acute myocardial infarction not in free form but as complex. Clin, Chem 1997:43:1379-85.

Katus HA, Remppis A, Neumann FJ, Scheffold T. Diederich KW, Vinar G, et al. Diagnostic efficiency of troponin T measurements in acute myocardial infarction. Circulation 1991;83:902-12.

24

Kloner RA, Shook T. Przyklenk K, Davis VG, Junlo L, Matthews RV,et al. Previous angina alters in-hospital outcome in TIMI 4: a clinical correlate to preconditioning? Circulation 1995;91:31-45.

Leavis PC, Gergely J. Thin filament proteins and thin filament linked regulation of vertebrate muscle contraction. CRC Crit Rev Biochem 1994;16:235-305.

Lee TH, Royan GW, Weisberg MG, Brand DA, Cook EF, Acampora D, Goldman L. Sensitivity of routine clinical criteria for diagnosing myocardial infarction within 24 h of hospitalization. Ann Intern Med 1987;106:181-6.

Leo HP, Cook JL, Wuisbang M, Wilson C, Coldeman I. Acute chest pain in the emergency room identification and examination of low risk patients. Arch Intern Med, 1985;145:65-9.

Leo L, Ewald GA. McKenzle CR, Elsonberg PR. The relationship of soluble fibrin and cross- linked fibrin degradation products to the clinical course of myocardial infarction. Arteroscler Thromb Vasc Biol 1997;17:628-33.

Liuzzo G, Biasucci LM, Gallimore ;R, Grillo RL, Tebuzzi AG, Pepys MB, Maseri A. The prognostic value of C-reactive protein and serum amyloid A protein in severe unstable angina. N Engl J Med 1994:331:417-24.

Liuzzo G, Biasucci LM, Gallimore ;R, Grillo RL, Tebuzzi AG, Pepys MB, Maseri A. The prognostic value of C-reactive protein and serum amyloid A protein in severe unstable angina. N Engl J Med 1994:331:417-24.

Lott JA, Shang JM. Differential diagnosis of patients with abnormal serum creatine kinase esoenzymes. Clin Lab Med 1989;9:627-42.

McCarthy BD, Wong JO, Selker HP. Detecting acute cardiac ischemia in the emergency department review of the literature. J Gen Intern Med 1990;5;365-73.

Mounsey P. Prodromal symptomatis in myocardial Infarction. Br. Heart J 1980;281:636-7.

Newby KN. Gibler WB, Ohman EM, Chimenson RH. Biochemical markers in suspected acute myocardiaI infarction: the need for early assessment. Clin Chem 1995;41:1263-5.

Niominen MS, Mattila K, Valtonen V. Infection and Inflammation as risk factors for myocardial infarction. Eur Heart. J 1993;14(Suppl K):12-6.

25

Ohman EM, Amstrong PW. Christenson RH, Granger CB, Katus H, Hamm CW, et al. Risk stratification with admission cardiac troponin T levels In acute myocardial ischemia. N Engl J Med 1996;385:1333-41.

Rabitzsch, Mair J, Lechteitner P, Noll F, Hofmann U, Krause E, et al. Immunoenzymometric assay of human glycogen phosphorylase isoenzyme BB in diagnosis of ischemic myocardial injury. Clin Chem 1995;41:966-78.

Reffer JH. Myocardial markers of injury evolution and Insights. Am J Clin Pathol 1996;105:305-20.

Ridker PM, Cushman M, Stampfer MJ, Tracy RP, Hennekens CH.Inflammation, aspirin, and the risk of cardiovascular disease in apparently healthy men. N Engl J Med 1997;336:973-9.

Rude RE, Poole WK, Muller JE. Turl Z, Rutherford J, Parker C. et al. Electrocardiographic and clinical criteria for the recognition of acute myocardial infarction. Am J. Cardiol 1983;52:936-42.

Rude RE, Poole WK, Muller JE. Turl Z, Rutherford J, Parker C. et al. Electrocardiographic and clinical criteria for the recognition of acute myocardial infarction. Am J. Cardiol 1983;52:936-42.

Ryan TJ, Anderson JL. Antman EM, Braniff BA. Brooks NH. Califf RM. et al. ACC/AHA guidelines for tne management of patients with acute myocardial Infarction: executive summary, Circulation 1996;94:2341-5.

Shesser R, Smith M. The chest pain emergency department and the outpatient chest pain evaluation center : evolition of evolution? Ann Emerg Med 1994;23:331-41.

Tsung SH. Creatine kinase isoenzyme patterns in human tissue obtained at surgery. Clin Chem 1976;22:173-5

Turney WM, Fitzgerald J, McHenry R, Roth BJ, Psaty B, Stump DL, Anderson FK. Physicians estimates of the probability of myocardial infarction, in emergency roorn patient with chest pain. Med Decis Making 19136;6:12-7.

Uretsky BF, Farquhar DS, Berozin AF, Hood WB Jr. Symptomatic myocardial infarction without chest pain: prevalence and clinical course. Am J Cardiol 1977;40:498-503.

26

Wu AHB, Clive JM. Impact of CK-MB testing policies on hospital length of stay and laboratory costs for patients with myocardial infarction or chest pain. Clin Chem 1997;43:326-12.

Wu AHB, Feng YJ, Contois JH, Acar R, Waters D. Prognostic value of cardiac troponin I in patients with chest pain. Clin Chem 1996:42:651-2.

Wu AHB, Lane PL. Meta-analysis in clinical chemistry: validation of cardiac troponin T as a marker for ischemic heart diseases. Clin Chem 1995;41-1228-33.

Zot AS, Potter JD. Structural aspects of tropenin-tropomyosin regulation of skeletal muscle contraction. Annu Rev Biophys Biophys Chem 1987;16:533-9.

27