o l e h medina hutasoit nim : 080707012 · dunia lain (yang sudah meninggal) agar permohonan dari...
TRANSCRIPT
0
ANALISIS TEKSTUAL PENYAJIAN ANDUNG DALAM KEMATIAN
PADA MASYARAKAT TOBA DESA SIGUMPAR KECAMATAN
LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
Skripsi Sarjana
Dikerjakan
O
l
e
h
MEDINA HUTASOIT
NIM : 080707012
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat toba adalah masyarakat yang sangat menghormati norma-norma adat
yang diwariskan nenek moyangnya kepada mereka baik upacara perkawinan dan kematian.
Kesetiaan terhadap praktek adat tersebut mereka buktikan dengan pembagian energi yang
besar terhadap praktek pesta adat pada masyarakat toba khususnya dalam hal andung pada
adat kematian. Dalam hal ini, adat adalah suatu tatanan tingkah laku yang lazim di ikuti dan
dilakukan yang diatur dalam norma-norma, aturan-aturan yang diwariskan nenek moyang
kepada generasi berikutnya (Lothar Schriner 1972:18)
Dalam tulisan ini akan membahas tentang andung toba yang merupakan salah satu
musik vokal bagi masyarakat toba di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten
humbanghasundutan. Andung merupakan suatu nyanyian ratapan dalam konteks kematian
atau kemalangan. Secara umum andung adalah berisi tentang kesedihan atau penderitaan
hidup. Wujud dari kemalangan ini adalah kesedihan dan dukacita misalnya pada saat
kematian orang tua, dan anggota keluarga. Ini adalah sebuah lagu ratapan kematian
dikalangan orang batak toba, isi dari pada andung tersebut biasanya berupa kisah hidup orang
yang meninggal dunia dan dinyanyikan (diandungkan) dihadapan jasadnya. Ketika
melakukan andung ini orang-orang yang melayat dapat mengetahui dan mengenal sifat-sifat
dari orang yang meninggal tersebut. Andung sebagai salah satu warisan budaya yang pernah
hidup dan berperan kuat didalam masyarakat batak toba yang sampai saat ini masih dipakai.
Hannya orang tua-tua tertentu saja yang masih dapat menguasai hata andung dan hannya
mereka yang masih dapat melakukan andung dengan menggunakan hata andung dengan
benar. Berbeda halnya dengan andung bahwa andung-andung masih hidup subur dan sangat
2
kuat peranannya hingga sekarang ini. Bahkan andung-andung masih senang mendengar lagu-
lagu yang bernada andung-andung. Kekuatan andung-andung ialah bahwa ia menyimpan
sebuah semangat hidup dibalik isinya yang sering berisikan tentang kesedihan dan
penderitaan hidup.
Banyak pendapat mendefenisikan bahwa andung berarti tangis atau ratap. Namun
andung harus dibedakan dari tangis yang biasa, karena andung diutarakan dengan bentuk
melodi tertentu yang diulang-ulang dengan teks yang tertentu pula. Mangandung berarti
melakukan andung atau ratap, sedangkan orang yang melakukan andung disebut pangandung.
Siahaan (1964 : 70) mengatakan teks andung merupakan sejenis sastra lisan yang berisi
curahan perasaan untuk meratapi jenazah orang yang dikasihi. Dalam teks andung banyak
digunakan ungkapan-ungkapan tertentu yang tidak lazim dalam penghidupan sehari-hari.
Penulis memandang keberadaan andung saat ini dalam konteks kematian mempunyai
fungsi/tujuan sebagai suatu ekspresi dukacita yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
adat yang bermakna menghormati orang yang meninggal (serta roh/tondi orang itu dan tondi
yang duluan meninggal) dan merupakan sebagai semacam komunikasi antara dunia ini dan
dunia lain (yang sudah meninggal) agar permohonan dari dunia ini dapat di ajukan kepada
nenek moyang dan tuah/berkat dari mereka dapat diberikan kepada orang yang hidup
terutama ahli warisnya. Syair- syair dari lagu andung bervariasi sehubungan dengan subjek
yang diandungkannya. Namun pada umumnya dapat membawa ekspresi dukacita, kesedihan
dari orang yang berdukacita. Andung ini juga memakai beberapa macam ikon-ikon tangisan,
dalam hal mangandung, sipangandung itu akan menggerakkan tangannya secara teratur dan
berulang kali, yaitu dari arah orang yang meninggal tersebut kearah jantungnya sendiri
dengan makna untuk mengambil sahala/berkat dari orang mati kepada dirinya atau kepada
keturunan, gerakan ini disebut “Mangalap tondi ni namate/mangalap sahala ni na mate”.
Proses mentansfer sahala ini dianggap sangat penting bagi proses penyembuhan luka yang
3
dialami komunitas karena meninggalnya seseorang dan juga untuk menguatkan komunitas
berdukacita serta komunitas yang lebih luas dalam konteks dalihan na tolu yaitu hula-hula,
dongan tubu dan boru1 pada masa depan. Selain gerakan ini, orang yang mangandung
terkadang menyentuh muka (pipi) orang yang meninggal tersebut terkadang bergoyang-
goyang atau menggerakkan tangan dengan kuat dan penuh perasaan sambil meratap. Semua
gerakan ini dan yang lain juga merupakan suatu aspek komunikatif dari kegiatan meratap
dalam ritus kematian orang batak toba.
Dalam andung (ratapan) ini hannya ada suara tangisan yang langsung keluar tanpa
adanya musik yang mengiringi, karena dalam sistem adat batak toba apabila seseorang yang
meninggal muda dan keturunannya masih kecil tidak dapat menerima adat yang lengkap. Isi
dari syair orang mangandung tersebut biasanya tentang kejadian yang menimpanya pada saat
kejadian berlangsung dan merupakan ungkapan perasaan dari sipenyaji. Oleh karena itu,
kata-kata yang diucapkan tidak sembarangan tetapi ada aturan atau norma tersendiri dalam
penyampaian kata-kata tersebut. Biasanya dalam mangandung ini bisa juga diiringi dengan
ende (lagu) yang dibawakan oleh salah satu orang disekitarnya kemudian diikuti oleh
andung-andung. Seorang yang melakukan andung disebut pangandung, sedangkan pekerjaan
melakukan andung disebut mangandung. Seseorang yang melantunkan andung-andung
disebut mangandung-andung.
Hata andung adalah bahasa ratapan dipakai untuk meratapi kerabat atau kenalan yang
meninggal. Selanjutnya Sibarani (1999 : 84-85) menjelaskan bahwa andung-andung dalam
prosa liras yang dikumandangkan untuk mengekspresikan perasaan sedih baik karemditinggal
kekasih, teman, anak, orangtua atau karena kesedihan lain. Andung-andung umumnya
mempunyai ritme yang sama dengan andung namun berbeda dalam hal tujuannya. Didalam
1 Hula-hula yaitu kelompok marga istri. Dongan tubu yaitu teman sesama marga. Boru yaitu kelompok marga yang mengambil istri dari anak kita (anak perempuan).
4
andung kata-katanya harus menggunakan “hata andung”, sedangkan andung-andung tidak
harus menggunakan bahasa andung dan tidak selalu berhubungan dengan kematian. Andung-
andung menggambarkan tentang perjalanan hidup atau penderitaan seseorang.
Fungsi dari andung ini dalam masyarakat toba antara lain adalah bahasa ratapan,
bentuk ini dipakai pada waktu meratapi orang yang meninggal. Kata-kata yang dipergunakan
lain dari yang dipakai sehari-hari. Misalnya kata anak disebut menjadi ‘sinuan tunas’(putra),
boru ‘sinuan beu’(putri), amang ‘parsinuan’(ayah), inang ‘pangintubu’(ibu). Andung ini bisa
juga dikatakan sebagai sarana komunikasi untuk memberitahukan atau sebagai tanda bahwa
ada orang yang meninggal dunia terhadap orang-orang disekitarnya. Pada waktu mangandung
orang yang meninggal tersebut, maka penyaji mengungkapkan segala keluh kesah didalam
kehidupannya, seperti contoh “boasama lao ho, tinggalhononmu ma hape hami na dison,
lungun nai pakkilaanki di bahen ho”. Artinya: “kenapa kau pergi, kau tinggalkan nya
rupanya kami disini, sedih hatiku kau buat”. Jadi, andung ini bisa dikatakan sebagai sarana
untuk mengungkapkan perasaan/isi hati sipenyaji tentang penderitaan yang dialami dalam
hidupnya. Semua keluh kesah diungkapkan didalam andung tersebut. Sipenyaji terus menerus
mangandung dihadapan jenazahnya sampai puas mengungkapkan perasaannya. Biasanya
mereka tidak perlu lagi dengan aktivitas atau kegiatan lain, sipenyaji terlarut dalam duka
yang mendalam dan terus mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya, kata-kata yang
diungkapkan mengalir secara spontan. Dengan menyajikan andung tersebut maka sipenyaji
merasa puas karena sudah mengungkapkan perasaan yang ada dalam hatinya.
Selain itu andung-andung ini juga banyak berfungsi sebagai pengisi waktu bersifat
hiburan. Andung-andung yang menggambarkan kesedihan hidup misalnya “andung-andung
ni na so marina” ratapan karena tidak mempunyai ibu. Andung-andung ini biasanya sangat
sedih karena dalam batak toba ketika seseorang tidak mempunyai ibu lagi, orang-orang pun
pada umumnya tidak mempedulikan atau tidak menghargai anak-anak yang ditinggalkan oleh
5
ibunya tadi. Sebagaimana berpendapat bahwa andung dan andung-andung pada prinsipnya
nya adalah sama. Memang sekilas tidak ada bedanya, tetapi bila ditelusuri lebih jauh akan
kita temukan persamaan dan perbedaan diantara keduannya. Andung-andung adalah tiruan
dari andung dan yang ditiru adalah irama (ritme) nya.
Selanjutnya penulisan ini lebih memfokuskan pada penyajian andung pada pesta adat
kematian khususnya pada orang yang saur matua. Saur matua yaitu seseorang yang
meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak
marpahompu sian boru. Biasanya pesta adat kematian orang yang saur matua pada
masyarakat toba berlangsung antara 3-4 hari tergantung permintaan yang meninggal juga
tetapi dalam penyajian andung ini berlangsung 1-2 hari saja, karena hari ke 3 adalah
persiapan untuk memperlengkapi apa yang perlu dalam pesta tersebut kemudian hari terakhir
orang yang meninggal tersebut diangkat/dibawa keluar halaman tempat pesta tersebut. Dalam
memenuhi pesta adat kematian di masyarakat toba penyaji andung atau salah satu dari
anggota keluarga tersebut diharapakan memiliki peran aktif, artinya tugas dia bukan hannya
menyajikan andung tetapi begitu pesta adatnya dimulai dia harus aktif mengikuti jalannya
pesta adat kematian tersebut dan memahami seluk beluk permasalahan diantara kelompok
keluarga, sehingga pada saat dia menyajikan andung dia bisa memaparkan keadaan,
menyampaikan maksud keinginan serta mendamaikan apabila ada terjadi permasalahan
dalam kelurga tersebut. Dengan demikian penyaji andung memiliki peran yang penting dalam
lingkungan keluarga pemilik pesta adat tersebut karena difungsikan juga mewakili orang atau
kelompok yang akan menyampaikan kata-kata nasehat. Walaupun penyaji andung memiliki
peran yang penting bagi pesta adat kematian masyarakat toba tetapi tidak juga menjadi
keharusan tergantung keinginan sipenyaji.
Akan tetapi melihat keadaan saat ini tradisi atau kebiasaan meratap seperti ini
ditentang oleh Greja (pinpinan/ajaran) yang menganggap bahwa penghormatan roh-roh nenek
6
moyang melalui andung-andung, serta benang-benang penghubung yang masih ada diantara
tradisi ratapan dan kultus tondi (roh) adalah berlawanan dengan ajaran dogmatis/teologis dari
Greja Protestan. Respon dari greja adalah untuk menggantikan tradisi andung dengan lagu-
lagu greja (ende huria). Proses ini diungkapkan dalam ucapan “ganti andung gabe ende
artinya ganti andung menjadi lagu greja. Lagu-lagu tersebut diambil dari buku nyanyian greja
(buku ende) dan berasal dari lagu greja eropa yang dibawa oleh para penginjil pada masa
penginjilan di tapanuli. Buku ende itu adalah buku nyanyian yang sah dari greja kristen batak
protestan.
Dari uraian diatas ada beberapa hal yang menarik untuk disaji secara Etnomusikologi
dalam bentuk karya ilmiah yaitu: berhubungan dengan analisis makna tekstual andung
sehingga nyanyian itu dapat mempengaruhi orang dalam suasana duka. Maka penulis
meneliti lebih lanjut dan membuat kedalam bentuk karya ilmiah dengan judul “ Analisis
Tekstual Penyajian Andung dalam pesta adat Kematian pada Masyarakat Toba di Desa
Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbahas”.
7
1.2 Pokok Permasalahan
Ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini yaitu:
1. Mengetahui makna dan struktur teks yang terkandung dalam andung tersebut.
2. Bagaimana cara penyajian andung dalam pesta adat kematian masyarakat toba di desa
sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbanghasundutan.
3. Mengetahui fungsi andung bagi masyarakat toba dari nyanyian tersebut.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan membuat suatu deskripsi tentang makna struktur teks yang
terdapat dalam andung
2. Untuk mengetahui dan membuat suatu deskripsi tentang penyajian andung dalam
pesta adat kematian masyarakat toba di desa sigumpar kecamatan lintong nihuta
kabupaten humbanghasundutan.
3. Untuk mengetahui fungsi andung tersebut pada masyarakat toba di desa sigumpar
kecamatan lintong nihuta.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah:
1. Untuk memahami makna budaya batak toba dari aspek andung terutama dalam
kematian.
2. Sarana untuk memperluas tentang andung terhadap kesenian batak toba.
8
3. Sebagai perbendaharaan dokumentasi musik tradisional toba yang kemudian dapat
sebagai bahan perbandingan bagi yang memerlukannya atau untuk bahan penelitian
selanjutnya.
1.4 Konsep dan Teori yang Dipergunakan
1.4.1 Konsep
Untuk memberikan pemahaman yang sama dalam tulisan ini perlu diuraikan kerangka
konsep yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam penulisan yaitu: Andung merupakan
nyanyian ratapan atau musik vokal yang ada pada masyarakat toba yang disajikan pada
konteks kematian dimana syair atau teksnya biasanya berisi uraian situasi yang pernah
dilakukan oleh orang yang meninggal tersebut sewaktu hidup.
Nyanyian merupakan bagian dari musik. Secara umum musik terbagi atas tiga bagian
yaitu: Musik vokal, musik instrunmental dan gabungan antara instrumental dan vokal. Musik
vokal adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah dan
kerongkongan yang memiliki irama, nada atau ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola-
pola serta aturan untuk bunyi tersebut. Musik vokal dapat juga disebut sebagai nyanyian. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian
adalah sesuatu yang berhubungan dengan suara/bunyi yang berirama yang merupakan
alat/media untuk menyampaikan maksud seseorang atau tanpa iringan musik. Berdasarkan
uraian diatas maka nyanyian andung dapat disebut juga sebagai musik vokal karena
menghasilkan bunyi yang memiliki irama, nada, dinamik dan pola-pola melodi.
Analisis dapat diartikan menguraikan suatu hal atau ide kedalam setiap bagian-bagian
sehingga dapat diketahui bagaimana sifat, perbandingan, fungsi maupun hubungan dari
bagian-bagian tersebut. Analisis yang penulis maksud disini adalah menguraikan struktur teks
9
serta makna yang terkandung dalam teks tersebut. Adapun yang dimaksud tekstual adalah
segala aspek-aspek yang berhubungan dengan teks. Jadi makna tekstual adalah pengertian
yang lebih mendalam tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan teks (Sumarjono
1990:42). Dalam hal ini makna teks yang dimaksud adalah suatu pengertian yang lebih
mendalam tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan teks andung dalam masyarakat
toba.
Makna adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi suatu kata atau teks
yang kemudian terbagi menjadi dua bagian yaitu makna konotatif dan makna denotatif.
Makna konotatif adalah makna kata yang mengandung arti tambahan atau disebut makna
sebenarnya (Keraf 1991:25)
Teknik adalah sesuatu yang berhubungan dengan cara-cara (Ali 1990:180).
Sedangkan penyajian adalah menyangkut proses penyampaian, memberikan dan
mempertunjukkan (Ibid : 163). Jadi teknik penyajian yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
merupakan cara-cara yang digunakan sebagai proses penyampaian atau mempertunjukkan
dalam hal ini andung.
Pengertian adat menurut Koentjaraningrat adalah kompleksitas norma-norma umum
yang berda diatas individu yang sifatnya mantap dan kontinu dan yang mempunyai sifat
memaksa atau sanksi (1986:199)
Kematian menyangkut arti yang sangat luas yaitu akhir dari kehidupan, ketiadaan
nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara
permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami
seperti kecelakaan.
10
1.4.2 Teori
Sebagai landasan dalam membahas permasalahan penelitian ini penulis menguraikan teori
yang relevan dengan Etnomusikologi:
Menurut Merriam (1964:87) salah satu sumber atau bahan yang paling jelas mengenai
perilaku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah teks. Dalam hal ini andung
merupakan bahan yang dapat menjelaskan perilaku manusia dalam hubungannya dengan
musik. Untuk dapat memahami arti yang lebih mendalam dari aspek-aspek teks dari nyanyian
andung maka perlu dilakukan suatu kajian tekstual. Menurut Echols dan Shadily (1986:380)
kajian tekstual adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan yang dilakukan dengan memakai
metode ilmiah atau mengkaji isi karangan atau isi teks sebuah nyanyian.
Untuk menganalisis teks nyanyian penggunaan dan fungsi musik, penulis mengacu
kepada tulisan Merriam (1964:187) menyebutkan satu yang paling penting untuk mengerti
tata tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah melalui teks nyanyian.
Teks tentu saja adalah bahasa tingkah laku yang lebih dari bunnyi musik, mereka merupakan
suatu kesatuan yang integral dari musik. Lebih lanjut Merriam (1964:233) mengatakan bahwa
penggunaan dan fungsi musik merupakan hal yang penting dibahas, karena hal ini
menyangkut makna musik, menyangkut aspek timbal balik antara objek dan subjek serta
bagaimana efek musik terhadap manusia pemiliknya dan kelanjutannya perlu ditambah pula
bahwa etnomusikologi adalah studi musik dalam kebudayaan, suara musik adalah hasil
proses tingkah laku dan kepercayaan orang yang mempunyai musik tersebut. Musik adalah
produk manusia yang mempunyai eksistensi keadaan hidup dan tingkah laku yang
menghasilkannya (terjemahan Marc Pellman.1992:3)
Tekstual merupakan hal yang paling penting dalam tulisan ini, dimana tekstual yang
dipakai dalam penyajian andung adalah kata-kata sehari-hari dan kata-kata yang berbentuk
11
kiasan (metafora). Kemudian untuk membahas masalah metafora penulis mengacu kepada
apa yang dikatakan Field (1974:197) ada dua masalah yang mendasar sekali yang tersirat
yaitu: (1) Bahasa dalam musik, meliputi hubungan tekstual, sifat puitis, gaya bahasa didalam
struktur nyanyian, dan (2) Musik didalam bahasa, meliputi eksistensi sifat (properties)
keunikan dari bahasa. Hal ini tentu untuk melihat eksisistensi akan adanya konsep didalam
pemikiran masyarakat pendukung suatu kebudayaan yang mempertimbangkan kata-kata
musikal (teks) yang ada dalam tradisi musik mereka yang tentu berhubungan dengan teori
masyarakat (ethno-theory) yang empunnya kebudayaan tersebut.
Dalam mendeskripsikan andung, sesuai yang dikemukakan Netll (1963:98) ada dua
pendekatan didalam mendeskripsikan musik yaitu: (1) kita dapat menganalisis dan
mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan (2) kita dapat menganalisis musik
tersebut diatas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat. Selanjutnya menurut Carles
Seeger mengemukakan seperti yang ditulis Netll (1964:100) mengemukakan dua tujuan
pendeskripsian musikal yaitu preskriptif dan deskriptif dapat disebut sebagai notasi yang
tidak lebih dari untuk membantu mengingat pemain terhadap musikal pada saat melakukan
pertunjukan. Sedang deskriptif adalah notasi yang menuliskan semua karakter musikal secara
rinci dari suatu komposisi musik yang pembaca tidak mengetahui sebelumnya.
Berkenan dengan kebutuhan transkripsi dalam penulisan ini maka notasi dipakai
adalah dengan pendekatan deskriptif karena notasi deskriptif ini dapat juga diartikan sebagai
notasi yang digunakan untuk menuliskan semua bunyi musik yang telah disajikan dari apa
yang didengar. Dalam membahas andung ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan seperti
aspek psikologis, tekstual serta dalam konteks kebudayaan (seperti fungsi dan
penggunaannya) maka teori yang dipergunakan disesuaikan dengan pembahasan yang akan
dilakukan. Berkaitan dengan musikologis, Malm (1977:8) mengatakan bahwa ada beberapa
karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: (1) Scale (tangga
12
nada), (2) Nada dasar, (3) Range (wilayah nada), (4) Frequency of notes (jumlah nada-nada),
(5) Prevalent intervals (interval yang dipakai), (6) Cadence patterns (pola-pola kadensa), (7)
Melodic formulas (formula-formula melodi), (8) Contour (kontur)
Berkaitan dengan tekstual andung, Curt Sacs (1962:66) menulis tentang logogenik
dan melogenik. Logogenik adalah nyanyian yang mengutamakan teks daripada melodinya,
karena melodinya merupakan perulangan-perulangan saja. Sedangkan melogenik adalah
sebaliknya dimana yang diutamakan adalah melodinya karena teks merupakan perulangan
saja. Berdasarkan teori ini kita dapat melihat apakah andung lebih mengutamakan teks
daripada melodi atau sebaliknya.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif. Penelitian deskriptif
adalah bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi atau penyebaran dari suatu gejala
ke gejala lain dalam suatu masyarakat (Koentjaraningrat 1990:29). Sedangkan meurut Hadari
dan Mimi Martini (1994:176) penelitian yang bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau
proses menjaring data/informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam
kondisi aspek/bidang kehidupan tertentu dalam objeknya. Penelitian ini tidak mempersoalkan
sampel dan populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Sejalan dengan itu, Bogdan
dan Taylor (dalam Meleong 1988:3), mengungkapkan bahwa metodologi kualitatif sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang atau perilaku masyarakat yang dapat diamati. Adapun teknik pengumpulan data
yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
13
1.5.1 Pemilihan Lokasi Penelitian
Sebagai suatu musik (nyanyian) yang dalam pewarisannya secara oral tradisi, maka
dapat dipastikan setiap kali penyajian akan muncul suatu perbedaan bahkan oleh penyaji yang
samapun. Namun perbedaan itu dalam batas-batas toleransi sehingga tidak merubah persepsi
dan makna dari nyanyian itu. Demikian juga halnya dengan andung batak toba, setiap kali
penyajian pasti ada perubahan dari penyajian sebelumnya misalnya dari setiap kata-kata yang
diandungkan dari sebelumnya pasti ada perbedaannya. Untuk kepentingan penulisan ini,
penulis mengambil studi kasus pada seorang penyaji andung (seorang natuatua) yang sudah
dianggap terbiasa dalam mangandung yaitu Op Bronson hutasoit. Op bronson ini berasal dari
desa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbang hasundutan yaitu tempat tinggal
dia berada disana. Biasanya setiap ada orang meninggal Op bronson ini tidak pernah lupa
untuk mangandung, seperti halnya disebut seperti sudah terbiasa dalam mangandung.
Sewaktu penulis juga melakukan wawancara terhadap Op Bronson tersebut, dia juga
mengatakan sebuah pendapat seperti ini “molo boi nian diganti ma andung on gabe ende-
ende na mate” artinya “kalau bias menurut saya juga diganti aja andung jadi nyanyian-
nyanyian untuk orang meninggal”.
1.5.2 Studi Kepustakaan
Untuk mendukung informasi yang penulis peroleh tentang andung, penulis juga
mencari buku-buku yang relevan terhadap masalah-masalah yang dibahas. Walaupun
demikian sepanjang yang penulis ketahui, buku-buku yang menjelaskan secara lengkap dan
terperinci mengenai andung batak toba belum dapat ditemukan. Buku yang ada hannyalah
memberikan gambaran secara umum tentang seni dan nyanyian tradisional batak toba.
Dalam hal ini juga penulis menggunakan referensi dari internet dan sebagian besar dari
beberapa skripsi yang relevan dengan objek yang diteliti.
14
1.5.1 Penelitian Lapangan (Observasi)
Teknik pengumpulan data dengan observasi adalah metode yang digunakan dengan
menggunakan pengamatan dan pengundaraan untuk menghimpun data penelitian. Menurut
Bungin (2007:115) metode observasi merupakan kerja pancaindra mata serta dibantu dengan
panca indra lainnya.
Dalam meneliti andung ini, penulis meneliti langsung kelapangan. Penulis melakukan
penelitian pada bulan April 2012 dengan mendatangi sebuah rumah duka yang baru
meninggal yaitu Op Sandika hutasoit yang berumur 59 tahun. Penulis menghadiri adat pesta
kematian Op Sandika hutasoit yang dilaksanakan didepan halaman rumahnya. Adapun lokasi
penelitian ini adalah didesa sigumpar kecamatan lintong nihuta kabupaten humbang
hasundutan.
1.5.2 Wawancara
Salah satu teknik pengumpulan data dan informasi di peroleh dengan melakukan
wawancara untuk mendapatkan informasi dengan cara bertannya langsung. Adapun teknik
wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focused interview) yaitu
membuat pertanyaan yang berpusat terhadap pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan
wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan yang tidak hannya berfokus pada pokok
permasalahan saja tetapi pertannyaan berkembang kepokok permasalahan lainnya yang
bertujuan untuk memperoleh data lainnya namun tidak menyimpang dari pokok
permasalahan (Koentjaraningrat 1985:139). Disamping itu penulis juga melakukan
wawancara sambil lalu (casual interview) yaitu dimana penulis tidak mempunyai persiapan
sebelumnya, dan orang yang diwawancarai itu secara kebetulan berjumpa disuatu tempat.
Melong menawarkan sebaiknya menggunakan wawancara berstruktur penulis dan wawancara
tidak berstruktur (1997:138-139). Pada wawancara berstruktur penulis menyusun daftar
15
pertanyaan pada pokok permasalahn saja, sedangkan pada wawancara tidak berstruktur
tannya jawab, penulis lakukan seperti dalam percakapan sehari-hari dengan melihat keadaan
dan ciri khas dari informan. Dengan melakukan teknik wawancara tersebut, maka penulis
mendapatkan banyak informasi tentang objek yang diteliti. untuk merekam wawancara
penulis menggunakan handphone dan juga menggunakan catatan untuk mencatat hal-hal yang
berhubungan dengan andung seperti aspek-aspek sosialnya dan sebagainya. Dalam hal ini
penulis melakukan wawancara terhadap beberapa informan yaitu: Op bronson br hts, Ibu
masnida br Aritonang, Op jujur br marbun dan Op ropatina br hts. Wawancara dilakukan
dengan menggunakan bahasa batak toba dan selanjutnya diterjemahkan oleh penulis sendiri.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Semua data yang diperoleh dan hasil wawancara dan hasil pengamatan dilapangan
selanjutnya akan di telaah dan diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan-
pendekatan etnomusikologis, dan jika ada data yang dirasa kurang lengkap maka penulis
melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dalam hal ini
dilakukan berulang-ulang. Dalam mengolah data penulis melakukan proses menjaring data,
menyeleksi data, menambah data yang kurang, memodifikasi teori, klasifikasi data dan
memformulasi data.
Setelah melakukan kerja laboratorium, maka penulis membuatnya kedalam sebuah
tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan teknik-teknik penulisan karya ilmiah. Dengan
demikian tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan
pengetahuan dibidang etnomusikologi.
16
BAB II
ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT DESA SIGUMPAR KECAMATAN
LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN
Pada bab II ini saya akan menguraikan tentang keadaan lingkungan masyarakat yang
tinggal di desa sigumpar, seperti lokasi lingkungan alam dan demografi, mata pencaharian
dan sistem bahasa, serta etnografi umum masyarakatdesa sigumpar seperti sistem religi,
sistem kekerabatan maupun sistem keseniannya. Beberapa aspek tersebut menurut penulis
juga penting untuk dijelaskan, karena selain untuk mengenalkan daerah penelitian penulis
kepada pembaca, beberapa aspek seperti sistem bahasa, sistem kekerabatan dan sistem
keseniannya juga berhubung dengan Andung. Penyajian Andung pada masyarakat desa
sigumpar menggunakan bahasa batak Toba dan disajikan pada waktu ada orang yang
meninggal, dan biasanya orang yang menyajikan andung ini adalah pada umumnya salah satu
kerabat dari orang yang meninggal tersebut. Penulis juga berpendapat bahwa sistem kesenian
juga menjadi aspek yang sangat penting untuk dibahas disini, karena Andung merupakan
salah satu bentuk seni vokal dari kebudayaan musikal Toba. Berikut ini akan dijelaskan
beberapa aspek tersebut secara umum.
2.1 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi
Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah desa sigumpar kecamatan
lintong nihuta, kabupaten humbang hasundutan. Jarak desa sigumpar dari ibu kota provinsi
Sumatera utara lumayan jauh. Bila ditempuh dengan naik bus sekitar ± 7 jam. Desa sigumpar
adalah lumayan berpotensi dalam bidang pertanian, padi, sayur-sayuran dan terutama dalam
penghasilan kopi. Masyarakat luar sering datang berkunjung ke daerah ini karena terkenal
penghasil kopi, yang mana disebut dengan Kopi Lintong. Dengan suhu yang sangat begitu
dingin dan tanah yang lumayan subur membuat daerah ini sangat cocok untuk kegiatan
17
pertanian. Hasil dari usaha yang mereka lakukan biasanya ada yang di dagangkan kepasar
dan sebagian di ekspor ke luar negeri.
2.2 Masyarakat Toba di Desa Sigumpar
Masyarakat toba didesa sigumpar selain mengenai besar kecilnya jumlah penduduk
dalam kesatuan masyarakat juga menghadapi soal perbedaan asa dan kompleksitas dari unsur
kebudayaan, biasanya membedakan kesatuan masyarakat yang ada di desa sigumpar
berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi, yang mencakup beberapa
macam yaitu: masyarakat peternak, masyarakat peladang, masyarakat petani pedesaan.
Sebagai masyarakat orang batak toba mengakui kehidupan sosial mereka tidak dapat terlepas
dari kebudayaan yang dimiliki. Konsep kebudayaan masyarakat ini secara keilmuwan telah
dibahas secara luas dari sudut disiplin ilmu sosiologi dan antropologi. Hal ini diungkapkan
oleh Koentjaraningrat tentang kebudayaan itu sebagai ungkapan dari ide, gagasan dan
tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidup sehari-hari yang diperoleh melalui
proses belajar dan mengajar.
Masyarakat yang berbudaya hidup dari berbagai faktor yang menentukan cara
kehidupan masyarakat, disamping lingkungan dan teknologi faktor lain adalah organisasi
sosial dan politik yang berpengaruh dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Unsur-unsur itu
disebut dengan inti kebudayaan meliputi kemampuan pengetahuan masyarakat terhadap
sumber daya yang ada.
2.2.1 Mata Pencaharian
Pada umunya pekerjaan masyarakat desa sigumpar adalah bercocok tanam padi
disawah dan di ladang, selain itu didesa sigumpar juga terkenal dengan penanaman kopi yang
biasa di sebut dengan kopi lintong. Selain itu masyarakat desa sigumpar bermata pencaharian
18
sebagai pegawai dan wiraswasta. Pasar induk kopi di desa sigumpar kabupaten humbang
hasundutan yang diproyeksikan untuk menampung hasil panen petani kopi di rencanakan
sudah dapat beroperasi. Dengan adanya pasar induk ini petani kopi dapat menjual biji kopi
mentah dengan harga lebih tinggi, sehingga kesejahteraan petani kopi daerahnya meningkat.
Dalam berwiraswasta juga bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat dalam usaha
kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos dan ukiran kayu. Saat ini sudah cukup banyak
juga yang memulai merambah kebidang usaha jasa dan bertani. Untuk mendukung
peningkatan produtivitas bertani seperti menanam padi di sawah, bapak bupati desa sigumpar
menyediakan lahan yang akan di olah oleh desa sigumpar untuk menanam padi dan juga
memperbaiki saluran irigasi, selain itu sebagian juga lahan di dapat dari pembagian yang
didasarkan marga. Setiap keluarga mendapatkan tanah tetapi tidak boleh menjualnya selain
tanah ulayat ataupun tanah yang dimiliki perseorangan. Tanaman yang sering ditanam
diladang adalah tebu, tanaman ubi, sayur-sayuran dan mentimun. Peternakan juga salah satu
mata pencaharian desa sigumpar antara lain, peternakan kerbau, babi, kambing, ayam dan
bebek. Beberapa tahun kemudian dilaksanakan percobaan penanaman tanaman seperti
kentang dan kol, masyarakat pun menyambut baik usaha ini. Hasil produk pertanian yang ada
sebagian di jual kepasar dan sebagian ada juga di ekspor hingga keluar negri. Desa sigumpar
memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa tertututp yang membentuk kelompok-
kelompok kecil masyarakatnya. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga/klan atau
masih memiliki hubungan kekerabatan dalam dalihan na tolu. Desa-desa tertutup ini disebut
huta. Adapun nama-nama huta di desa sigumpar antara lain huta banjar panova, banjar ina-
ina, banjar gadong, dan banjar ganjang. Disekitar huta tersebut biasanya dekat dengan bahal
yang biasanya terdapat pohon baringin, biasanya disebut juga dengan hariara (pohon
beringin) ada dua jenis rumah adat yang ada didalam huta batak yaitu rumah dan sopo yang
saling berhadapan. Diantara kedua deretan bangunan tersebut terdapat halaman yang luas
19
(alaman) yang menjadi tempat kegiatan orang tua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini
meskipun secara sekilas kelihatan sama sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi.
2.2.2 Sistem Bahasa
Desa sigumpar merupakan salah satu daerah di kabupaten humbang hasundutan yang
penduduknya adalah mayoritas suku batak toba. Bahasa batak toba merupakan bahasa yang
menetap dipakai disana. Hampir seluruh masyarakat batak toba menggunakan bahasa batak
toba sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam
kehidupan sehari-hari.
Masyarakat batak toba juga memiliki aksara yang disebut surat batak adalah nama
aksara yang digunakan untuk menuliskan bahasa batak. Surat batak masih berkerabat dengan
aksara nusantara lainnya. Aksara ini memiliki beberapa varian bentuk tergantung bahasa dan
wilayah. Secara garis besar ada lima varian surat batak di sumatra yaitu karo, toba, dairi,
simalungun dan mandailing. Aksara ini wajib diketahui oleh para datu (dukun) yaitu orang
yang dihormati oleh masyarakat batak karena menguasai ilmu sihir, ramal, dan penanggalan.
Kini aksara ini masih dapat ditemui dalam berbagai pustaha yaitu kitab tradisional
masyarakat batak. Masyarakat batak toba juga mengenal ina ni surat yaitu huruf-huruf
pembentuk dasar huruf aksara batak. Selama ini ina ni surat yang dikenal terdiri dari: a, ha,
ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ya, nya, ca, nda, mba, i, u. Nda dan
Mba adalah konsonan rangkap yang hanya ditemukan dalam variasi batak karo sedangkan
Nya hanya digunakan di mandailing akan tetapi dimasukkan juga dalam alfabat toba
walaupun tidak digunakan. Aksara Ca hanya terdapat di karo sedangkan di angkola-
mandailing huruf Ca ditulis dengan menggunakan huruf Sa dengan sebuah tanda diakritik
yang bernama tompi di atasnya. Ina ni Surat adalah induk dari surat batak yang merupakan
huruf-huruf pembentuk yang menjadi huruf dasar dalam penulisan aksara batak. Ada 19 ina
20
ni surat, ina ni surat tersebut adalah: A, Ha, Ma, Na, Ra, Ta, Sa, Da, Ga, Ja, La, Pa, Ba, NGa,
NYa, Wa, Ya, I dan U. Untuk lebih cepat mengingat ke 19 Ina ni surat ini kita kelompokkan
menjadi beberapa kata yaitu AhaMaNaRaTa ?? SaDaGaJa, BaNga, LaPa, NyaWa: Ya,I,U.
Contoh Ina ni surat dalam batak toba :
2.2.3 Sistem Kepercayaan
Sebelum masyarakat toba desa sigumpar menganut Agama Kristen Protestant, mereka
mempunyai sistem kepercayaan tentang debata mula jadi na bolon yang memiliki kekuasaan
di atas langit yang menyangkut jiwa dan roh yaitu: tondi, sahala dan begu. Tondi adalah jiwa
atao roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberikan nyawa
kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang didalam kandungan. Bila tondi meninggalkan
badan seseorang maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka untuk itu diadakan
upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya. Sahala adalah jiwa
atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi tetapi tidak semua
orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para
raja atau hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal yang tingkah lakunya sama
21
dengan tingkah laku manusia, hannya muncul pada waktu malam. Disamping aliran
kepercayaan (agama suku) tersebut diatas terdapat juga dua agama besar yang berpengaruh
dan dianut oleh masyarakat batak khususnya batak toba yaitu Kristen protestan dan Islam.
Sebelum masyarakat toba memeluk agama kristen dan islam, diantara mereka masih ada yang
mengikut kercayaan seperti parmalim, parbaringin, dan parhudam-hudam. Religi-religi ini
sering pula disebut agama si raja na batak karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang
batak toba. Dulu kepercayaan yang dianut masyarakat batak toba adalah kepercayaan
terhadap mula jadi na bolon yang dipercayai oleh orang batak sebagai dewa tertinggi mereka
yaitu pencipta tiga dunia yaitu: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga), dunia
bawah (banua toru).
Demikianlah religi dan kepercayaan suku batak toba yang walaupun sudah menganut
agama kristen dan berpendidikan tinggi tetapi belum mau meninggalkan religi dan
kepercayaan yang sudah tertanam didalam hati sanubari mereka. Pada masyarakat desa
sigumpar, siklus kehidupan seseorang dari lahir kemudian dewasa berketurunan sampai
meninggal, melalui beberapa masa dan peristiwa yang dianggap penting karenya pada saat-
saat atau peristiwa penting tersebut perlu dilakukan upacara-upacara yang bersifat adat
kepercayaan dan agama. Upacara-upacara tersebut antara lain upacara turun mandi,
pemberian nama, potong rambut dan sebagainya pada masa anak-anak, upacara mengasah
gigi, upacara perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Dikalangan masyarakat batak
dikenal upacara memberi makan enak kepada orang tua yang sudah lanjut usia tetapi masih
sehat, tujuannya untuk memberi semangat hidup agar panjang umur dan tetap sehat juga
kepada orang tua yang sakit dengan maksud agar dapat sembuh kembali. Upacara ini disebut
“sulang-sulang”. Meskipun kini sebagian besar penduduk sudah memeluk agama kristen, tapi
kepercayaan lama yang bersifat animistis masih terlihat dalam upacara-upacara yang
dilakukan. Misalnya upacara memanggil roh leluhur kerumah keluarga yang masih hidup
22
dengan perantaraan sibaso atau dukun wanita. Sibasoo nanti akan kemasukan roh sehingga
setiap ucapannya dianggap kata-kata leluhur yang meninggal.
Dalam konteks kepercayaan tradisional agama batak toba terdapat konsep bahwa
kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal. Kehidupan itu berada pada
dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu
memiliki komunitas dan aktivitas sendiri. Itu sebabnya hingga kini masih terdapat
kepercayaan bagi masyarakat batak untuk ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang
yang sudah mati, dikubur bersama jasadnya. Misalnya pahean (pakaian) yang dikenakan
dipergunakan nantinya setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin dan
ringgit sitio suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan jauh dari dunia
nyata kedunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh.
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang batak bahwa orang batak pada zaman
keberhalaan sudah mempercayai adanya allah yang satu yang disebut mula jadi na bolon
yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang batak kala itu percaya ada kekuatan besar
debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya juga memelihara kehidupan secara
terus menerus. Debata mula jadi na bolon adalah sebagai ilah yang tidak bermula dan tidak
berakhir, dia adalah awal dari semua yang ada.
2.4 Sistem Kekerabatan
Masyarakat batak toba memiliki sistem kekerabatan memegang peranan penting
dalam jalinan hubungan baik antara invidu dengan individu ataupun individu dengan
masyarakat lingkungannya. Dari sistem ini biasanya bersumber masalah lain dalam sistem
kemasyarakatan, seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup setempat dan stratifikasi sosial.
23
Fungsi kekerabatan bagi masyarakat toba adalah pelaksanaan hak dan kewajiban
kekerabatan dalam kegiatannya berdasarkan pandangan dalihan na tolu yang disebut: tohonna
partondongan. Dalihan na tolu dalam hak dan kewajiban yang paling mendasar terletak pada:
Suhu Ampang Na Opat, yang dimulai dan tumbuh dari keluarga dasar atau saripe. Keluarga
dasar seperti ini adalah tiang tonggak dan menjadi pusat kegiatan atau inti kegiatan suhut
yaitu Opat Pat Ni Pansa, yang terdiri dari:
a. Pamarai yaitu saudara laki-laki suhut, seayah se ibu atau saudara se ayah lain ibu,
sering juga disebut pangalap.
b. Tulang yaitu saudara kandung laki-laki dan istri suhut (tunggane) se ayah se ibi atau
se ayah lain ibu.
c. Simolohon atau simondokkon yaitu anak laki-laki dari suhut dan saudara laki-laki dari
perempuan dari putri suhut.
d. Pariban yaitu anak perempuan dari suhut dan saudara perempuan dari putri suhut.
Fungsi dari Suhu Ampang Na Opat ini adalah pendukung utama dari kegiatan inti
atau dari pekerjaan suhut atau horja. Apa saja kegiatan suhut, keempat personil inilah yang
turut bertanggung jawab bersama suhut. Dasar sistem sosial yang terdapat dalam masyarakat
batak toba adalah marga. Dalam kehidupan tradisional masyarakat pedesaan batak toba,
terdapat dominasi marga yang dianggap sebagai pendiri desa itu (bhs btk toba:sisuan bulu).
Masyarakat toba juga mempunyai sistem marga (klan). Marga dalam bahasa batak
toba tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut boru. Marga atau
boru ini disandang dibelakang nama seseorang. Marga atau boru ini diperoleh dari marga
Ayah (garis keturunan patrilineal). Garis keturunan patrilineal inilah yang selanjutnya dapat
memberikan arah dengan siapa seseorang boleh kawin dan tidak boleh kawin. Orang yang
mempunyai marga dan boru yang sama dianggap bersaudara dan itu artinya mereka tidak
24
boleh kawin. Namun bila ditemukan seorang laki-laki dan perempuan yang bermarga sama
mereka disebut mar’ito. Marga yang tinggal didesa sigumpar ini pada umunya marga
Sihombing, Silaban, Nababan dan Hutasoit. Inilah yang disebut siopatama oleh nenek
moyang dulu.
Kekerabatan orang batak toba yang ditentukan berdasarkan wilayah pemukiman
terlihat dari terbentuknya kesepakatan terhadap tradisi adat istiadat yang ada disetiap wilayah.
Hal ini dapat terjadi meskipun orang batak hannya bermukim diwilayah lain mereka tetap
mempertahankan adat istiadatnya. Kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiaman ini
memiliki daya rekat yang sama kuat dengan kekerabatan yang berdasarkan keturunan. Hal ini
tergambar dalam peribahasa batak toba: “Jonok dongan partubu jonokan do dongan
parhundul”. Artinya semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adlah suatu
pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan batak lebih dekat lagi karena bermukim disuatu
wilayah. Kelompok kekerabatan suku bangsa batak toba berdiam didaerah pedesaan yang
disebut huta (kampung) biasanya satu huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Marga
(klan) tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga yang membentuk
sebuah klan kecil. Klan kecil tadi merupakan kerabat patrilineal (garis keturunan ayah) yang
masih berdiam dalam satu kawasan areal yang menciptakan sosial budaya. Sebaliknya klan
besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka
dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama
kecilnya, stratifikasi sosial orang batak didasarkan pada empat prinsip yaitu: perbedaan
tingkat umur, perbedaan pangkat dan jabatan, perbedaan sifat keaslian dan status kawin.
Tempat tinggal suku batak toba terbagi dalam empat wilayah besar yaitu:
1. Wilayah samosir yaitu pulau samosir dan sekitarnya. Adapun marga yang hidup
diwilayah ini antara lain marga simbolon dan sagala.
25
2. Wilayah toba yaitu daerah balige, laguboti, porsea, parsoburan, sigumpar dan
sekitarnya. Adapun marga yang tinggal di daerah ini antara lain marga sitorus dan
marpaung.
3. Wilayah humbang yaitu dolok sanggul, lintong nihuta, siborong-borong, dan
sekitarnya. Adapun marga yang tinggal didaerha ini antara lain marga simatupang,
siburian dan sihombing lumbantoruan
4. Wilayah silindung yaitu daerah sipaholon tarutung, pahae dan sekitarnya. Adapun
marga yang hidup di daerah ini antara lain marga naipospos (sibagariang, hutauruk,
simanungkalit, situmeang, marbun dan huta barat)
Nilai kekerabatan masyarakat batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat dalihan
na tolu, dimana seorang harus mencari jodoh di luar kelompoknya, orang-orang dalam satu
kelompok selalu menyebutnya dalam sabutuha (bersaudara), untuk kelompok yang
menerima gadis untuk diperistri disebut hula-hula. Kelompok yang memberikan gadis disebut
boru.
Orang batak memiliki kekerabatan dalam marga-marga/sonakmalela sebagai contoh:
a. Situmorang dengan sub marga Lumban pane.
b. Nainggolan dengan sub marga Lumban raja.
c. Aritonang dengan sub marga Oppu sunggu.
Marga dengan sub marganya dalam orang batak toba tidak dapat menikah, karena itu
dianggap kerabat dekat atau dalam bahasa batak disebut “Ito”.
Demikian juga masyarakat batak toba memiliki falsapah azas sekaligus sebagai struktur dan
sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam bahasa batak toba disebut dalihan na tolu
dan tarombo.
26
Dalihan na tolu yaitu somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru.
Hula-hula/mora adalah pihak keluarga dari istri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling
dihormati dalam pergaulan dan adat istiadat batak (semua sub suku batak) sehingga kepada
semua orang batak dipesankan harus hormat kepada hula-hula (somba marhula-hula)
Dongan tubu/hahanggi disebut juga dongan sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga, arti
harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling
berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek.
Namun, pertikaian tidak membuat satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang
dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua
orang batak (berbudaya batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga,
diistilahkan manat mardongan tubu.
Boru/anak boru adalah pihak keluarga yang mengambil istri dari suatu marga (keluarga lain).
Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai parhobas atau pelayan baik dalam pergaulan
sehari-hari maupun terutama dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena melainkan pihak boru harus di
ambil hatinya, dibujuk diistilahkan Elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan batak. Sistem kekerabatan
dalihan na tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya semua masyarakat batak passti
pernah menjadi hula-hula, juga sebagai dongantubu dan boru. Jadi setiap orang harus
menempatkan posisinya secara kontekstual, sehingga dalam tata kekerabatan batak buka
berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai tata krama dalam
sistem kekerabatan batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut raja ni hula-
hula, raja ni dongan tubu dan raja ni boru.
27
Tarombo/silsilah merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang batak. Bagi mereka
yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang batak kesasar (nalilu). Orang
batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan
marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak
kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Kekerabatan pada masyarakat batak memiliki dua jenis yaitu kekerabatan yang
berdasarkan pada garis keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada sosiologis. Semua
suku bangsa batak memiliki marga, inilah yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan
geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan sosilogis terbentuk berdasarkan perkawinan.
Sistem kekerabatan muncul ditengah-tengah masyarakat karena menyangkut hukum antar
satu sama lain dalam pergaulan hidup. Dalam tradisi batak, yang menjadi kesatuan adat
adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa batak terbagi kedalam enam
kategori atau puak yaitu batak toba, batak karo, batak pakpak, batak simalungun, batak
angkola dan batak mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya.
Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan diantara mereka. Satu puak bisa
memiliki banyak marga.
Sistem kekerabatan orang batak juga menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak
dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut dalihan na tolu. Dalam berbagai
tulisan yang membicarakan masyarakat toba kini sudah lebih sering disebut batak toba istilah
dalihan natolu selalu diartikan atau diterjemahkan kedalam bahasa indonesia menjadi tiga
tungku sejerangan. Pada masyarakat desa sigumpar dalihan na tolu di analogikan dengan tiga
tungku masak di dapur tempat menjerangkan periuk, maka adat batak pun mempunyai tiga
tiang penopang dalam kehidupan yaitu: pihak semarga (ingroup), pihak yang menerima istri
(wife receiving party), pihak yang memberi istri (giving party). Ketiga unsur atau posisi
penting dalam kekerabatan masyarakat batak tersebut yaitu: hula-hula yaitu kelompok orang
28
yang posisinya diatas yang berasal dari keluarga marga pihak istri. Sebagai wujud
penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat batak dikenal sebutan “somba
marhula-hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh
keselamatan dan kesejahteraan. Dongan tubu yaitu kelompok orang-orang yang posisinya
sejajar yaitu teman/saudara semarga yang harus tetap akrab dan kompak, sehingga dalam
masyarakat batak toba dikenal sebutan yang mengatakan “manat mardongan tubu” artinya
menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Adapun unsur kekerabatan yang ketiga
adalah boru yaitu kelompok penerima istri yang dalam suatu acara adat posisinya adalah
sebagai pekerja sehingga dalam masyarakat batak toba dikenal sebutan “elek marboru” yang
artinya harus memperhatikan dan mengayomi kelompok penerima istri ini karena merekalah
yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta. Kedudukan ketiga hal tersebut diatas,
yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi
hula-hula pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa
menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat batak toba akan desa
sigumpar menduduki metiga fungsi dalihan na tolu ini yaitu hula-hula, boru dan dongan
sabutuha. Nilai kekerabatan atau keakraban berada ditempat yang tinggi bagi aturan
kehidupan masyarakat batak toba. Nilai inti kekerabatan masyarakat batak utamanya
terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu terlihat pada tutur sapa dan bersikap. Dengan
perkawinan terjadilah ikatan dan integrasi diantara tiga pihak yang disebut tadi seolah olah
mereka bagai tiga tungku didapur yang besar gunanya dalam menjawab persoalan hidup
sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukung diantaranya patuduhon
holong yang artinya menunjukkan kasih sayang diantara sesama yang penuh sopan santun
atau etik. Dari fungsinya yang penuh kenikmatan maka adat dalihan na tolu dapat diterima
oleh setiap masyarakat batak toba sekalipun mereka berbeda-beda agama. Mereka yang
menganut agama islam, kristen, katolik dan budha kadang-kadang begitu erat kaitannya
29
karena konsep adat telah berbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas
utamanya adalah adanya marga. Dengan marga itu orang batak akan setia terhadap ketentuan
adatnya dimanapun mereka berada. Setiap warga batak yang sudah berumah tangga otomatis
menjadi anggota pemangku adat dalihan na tolu. Tidak ada alasan bagi mereka yang telah
berumah tangga untuk tidak ikut tampil dalam menyelesaikan urusan ditengah-ditengah
masyarakat secara adat dalihan na tolu. Karena bila salah satu unsur dari adat dalihan na tolu
tidak hadir maka suatu pekerjaan adat di pandang tidak sah dan tidak kuat.
Adapun fungsi dalihan natolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur
ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan hak dan kewajiban
seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat batak toba.
Dimana saja ada masyarakat batak toba secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu dan
selama orang batak toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itupula lah
fungsi dalihan na tolu tetap di anggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup
masyarakatnya. Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik
antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungannya.
2.2.5 Kesenian
Orang batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni yang meliputi seni
musik, seni sastra, seni tari, seni bangunan dan seni kerajinan tangan. Walaupun bagaimana
sederhananya mereka pasti terlibat dengan jenis-jenis seni tersebut.
2.2.5.1 Seni Musik
Seni musik dalam masyarakat batak toba dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu musik
vokal (ende) dan musik instrumentalia (gondang).
30
Musik vokal (ende) tradisional pembagiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu
tersebut yang dapat dilihat dari liriknya. Ben Pasaribu (1986:27-28) membuat pembagian
terhadap musik vokal tradisional batak toba dalam delapan bagian yaitu:
1. Ende mandideng adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak
2. Ende sipaingot adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan
menikah dinyanyikan pada saat senggang pada hari menjelang pernikahan tersebut.
3. Ende pargaulan adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-chorus” dan
dinyanyikan oleh kaum muda mudi dalam waktu senggang biasanya malam hari.
4. Ende tumba adalah musik vokal yang khususnya dinyanyikan saat pengiring tarian
hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan
berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan
oleh remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.
5. Ende sibaran adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan.
Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi ditempat yang
sepi.
6. Ende pasu-pasuan adalah musik vokal yang berkenan dengan pemberkatan berisi
lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari yang maha kuasa. Biasanya dinyanyikan
oleh orang-orang tua kepada keturunannya.
7. Ende hata adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan
secara monoton seperti metric speech. Liriknya berupa rangkain pantun dengan
bentuk aabb yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh
kumpulan kanak-kanak yang dipinpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orangtua.
8. Ende andung adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang
telah meninggal dunia yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam
ende andung melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya haruslah
31
penyanyi yang cepat tanggap dan trampil dalam sastra serta menguasai beberapa
motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.
Demikian juga yang musik vokal dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu:
1. Ende namarhadohoan yaitu musik vocal yang dinyanyikan untuk acara-acara
namarhadohoan (resmi).
2. Ende siriakon yaitu musik vocal yang dinyanyikan oleh masyarakat batak toba dalam
kegiatan sehari-hari
3. Ende sibaran yaitu musik vocal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai
peristiwa kesedihan atau dukacita
Dari beberapa jenis musik vocal tersebut yang sering terdapat pada masyarakat toba
adalah jenis ende andung dan ende sibaran, dimana saat terjadi peristiwa dukacita, maka akan
ada beberapa pihak dari keluarga yang meninggal dunia tersebut yang mangandungi jenazah
orang yang meninggal dunia tersebut sebelum dimakamkan.
Musik tradisi masyarakat Batak Toba disebut sebagai gondang. Ada tiga arti untuk
kata gondang yaitu satu jenis musik tradisi Batak toba, komposisi yang ditemukan dalam
jenis musik tersebut (misalnya komposisi berjudul Gondang Mula-mula, Gondang Haroharo)
dan alat musik kendang. Ada 2 ansambel musik gondang yaitu gondang sabangunan yang
biasanya dimainkan diluar rumah dihalaman rumah dan gondang hasapi yang biasanya
dimainkan dalam rumah. Gondang sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat
tiup/obo), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran
melodis dengan sarune tersebut), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama
ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol
yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.
32
Sarune Bolon adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat lain yang bisa
ditemukan di Jaw, India, Cina. Pemain sarune mempergunakan teknik yang disebut marsiulak
hosa (kembalikan nafas terus menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase
yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas. Seperti disebut di atas, taganing adalah
perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci dan punya peran melodis sama dengan
sarune. Tangga nada gondang sabangunan disusun dalam cara yang sangat unik. Tangga
nadanya dikunci dalam cara yang hampir sama (tapi tidak persis) dengan tangga nada yang
dimulai dari urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang ditemukan
dimusik Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat unik,
dan sejauh yang saya tahu, tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik
gamelan yang ditemukan di jawa dan bali. Sistem tangga nada yang dipakai dalam musik
gondang punya variasi diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung pada estetis pemain
sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak variasi diantara kelompok dan
daerah yang menambah diversitas kewarisan kebudayaan ini yang sangat berharga.
Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur
irama. Pola irama gondang disebut doal dan dalam konsepsinya mirip siklus gongan yang
ditemukan dimusik gamelan dari jawa dan bali tetapi irama siklus doal lebih singkat.
Sebahagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ansambel
gondang hasapi. Ansambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali
yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola
irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam
ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput
kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil
peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan
irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).
33
Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai
dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di
Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen. Musik instrumental ada beberapa instrumen
yang lazim digunakan dalam ensambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik
dalam kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan. Musik yang biasa
dimainkan cenderung tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan tetapi lebih
dominan dengan genderangnya. Musik batak sudah ada sejak zaman toba kuno dijaman
dinasti tuan sorimangaraja berawal dari musik raja-raja. Bukan musik untuk raja tetapi musik
yang dimankan oleh raja. Maknya mainnya boleh berdiri lain halnya dengan musik tradisi
suku lain seperti afrika, india, jawa dan lain-lain. Yang merupakan musik rakyat sehingga
kebanyakan bermusiknya sambil duduk. Musik batak awalnya diciptakan untuk upacara ritual
yang dipimpin pada datu (dukun) pada masa itu untuk penghormatan leluhur, minta panen
yang sukses kepada mula jadi nabolon kemudian berkembang menjadi musik ritual di pesta
adat. Pemainnya dinamakan pargonsi (dibaca pargocci). Pargonsi mempunyai kedudukan
yang sangat penting. Karena yang memainkannya raja. Musik batak untuk ritual ini adalah
disebut gondang sabangunan yang terdiri dari lima ogung dan lima gondang serta sarune
bolon lubang lima. Namun para rakyat juga ingin bermain musik maka berkembanglah musik
batak ini dikalangan rakyat dengan format tanganing, garantung, hasapi, seruling dan sarune
etek. Dengan alat-alat musik ini lah tercipta banya sekali lagu rakyat yang bernuansa
pentatois (do re mi fa sol, kadang-kadang ada juga la) dan susunan nada liksnya sangat kas
tidak didapati dimusik suku lain. Pada masyarakat batak toba terdapat dua ensambel musik
tradisional, yaitu ensambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain itu ada juga
instrumen musik tradisional yang digunakn secara tunggal.
34
2.2.5.2 Seni Sastra
Pada masyarakat batak toba terkenal cerita siboru tumbaga dan terjadinya danau toba.
Cerita siboru tumbaga ini menggambarkan perbedaan antara anak laki-laki dan wanita yang
masih tumpang terutama dalam hak waris. Cerita terjadinya danau toba menggambarkan
bahwa seseorang yanbg melaggar janji akan dikutuk. Kutukan itu datangnya dari Tuhan
berupa keajaiban atau bentuk yang lain. Sastra batak khususnya cerita rakyat dalam bahasa
toba disebut turi-turi
Masyarakat batak dikatakan kaya raya akan dongeng-dongeng. Cerita seperti ini
masih populer khususnya oleh para nenek-nenek terhadap cucu-cucunya ataupun orang tua
terhadap anak-anaknya pada waktu senggang. Seni sastra ini dapat diungkapkan berupa umpa
ma (pantun). Bentuknya sama dengan pantun melayu, berbaris empat mengandung sampiran
dan sajaknya adalah ab-ab. Pantun batak bermacam-macam jenisnya menurut isinya, ada
pantun yang biasa dipergunakan pada pidato-pidato dalam upacara-upacar hukum adat dan
ada pula yang mengenai percintaan antar muda-mudi. Tonggo-tonggo adalah ucapan yang
disusun secara puitis dan biasanya diungkapkan pada waktu mengadakan upacara-upacara
ritual. Adakalanya kalimatnya panjang-panjang, isinya penuh mengandung gaya bahasa yang
indah dengan aliterasi dan praktisme. Pada umumnya jarang orang yang bisa mengucapkan
hal tersebut dan hanya orang-orang tertentulah yang mengetahuinya. Teka-teki yang singkat
disebut dalam bahasa batak toba disebut huling-hulingan. Kalu teka-teki itu memerlukan
jawaban, berupa cerita dinamakan torkan-torkan. Hal ini umpama oleh para orang tua
terhadap anak-anak.
2.2.5.3 Seni Tari
Seni tari (tortor) adalah ekspresi gerakan yang estetis dan artistik akan menjelma
dalam yang teratur sesuai dengan isi irama yang menggerakkan. Gerakan teratur ini dapat
35
dilakukan oleh perorangan, berpasangan ataupun berkelompok. Tarian perorangan misalnya
yang berhubungan dengan ritus. Tarian seperti ini antara lain tarian tunggal panaluan, diman
sang dukun menari, berdoa dan sambl memegang tongkat sihir tersebut. Tarian bersama
dalam upacara-upacara adat menurut tradisinya merupakan tarian dari masing-masing unsur
dalihan natolu pelaku gerakan tortor ini. Karena ketiga unsur ini secara fungsional dalam
masyarakat bersama-sama mendukung upacaranya. Biasanya bentuk tarian ketiga unsur
dalihan natolu ini adanya pemimpin tortor yang mengatur gerakan yang sesuai dan selaras
dengan pola gerakan etika didalam tortor. Di dalam pola gerakan tortor batak toba ada sebuah
gerakan berputar yang berlawanan dengan jarum jam, hal ini dilakukan apabila orang-orang
manortor (menari) menarikan tortor gondang mangaliat diupacara adat.
2.2.5.4 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran
Rumah adat tradisional batak terbuat dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan
kokoh. Atapnya terbuat dari bahan ijuk dan bentuk atapnya adalah melengkun. Diujung atap
bagian depan terdapat tanduk kerbau. Pada umumnya rumah-rumah adat batak selalu dihiasi
dinding depan dan samping dengan berbagai macam atau ornamen, yang terdiri dari warna
merah, hitam dan putih. Merah melambangkan benua tengah, hitam melambangkan benua
atas dan putih melambangkan benua bawah. Sekarang ini, rumah adat tradisional sudah mulai
menuju kepunahan dari daerah batak.
2.2.5.5 Seni Kerajinan Tangan ( ulos)
Seni kerajinan tangan khususnya ulos selalu dikaitkan dengan angka, warna, struktur
sosial, religius yakni tiga, lima, hitam dan putih, atas tengah dan bawah dan segitiga, garis
tiga, manunggal dan lain sebagainya. Setiapa ulos mempunyai pola dasar tertentu dan
berdasarkan itulah namanya disebutkan sesuai rencana pemula dari yang mengerjakan. Ulos
36
dipergunakan pada waktu upacara, keercayaan dan adat istiadat serta belakangan ini bernilai
ekonomis (sebagai mata pencaharian)
Pada setiap ujung pangkal ulos terdapat rambu, yakni benang yang dipintal (dipulos)
berjumlah sepuluh atau lima tergantung besar benangnya. Antara badan ulos dan rambu
selalu dibuat sirat (corat) sebagai hiasan untuk memperindah, juga berfungsi untuk
menyatukan ulos itu sendiri agar benang-benangnya jangan lepas. Pada bagian tengah ada
juga hiasan lukisan yang bertempel yang disebut dengan jungkit.
Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku
lainnya. Kesenian orang batak toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan
jenis-jenis nyanyian. Tarian yang menjadi ciri khas orang batak toba adalah tari tortor dengan
berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tortor atau tari
menari merupakan salah satu kebudayaan batak yang tertua. Dahulu kala seni tari menari di
hubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuaca magic.
Acara tari menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera
kepada dewa-dewa. Acara tari menari juga diadakan bila mana ada orang yang lahir, akil
balik dan diterima sebagai anggota suku pada saat menikah dan pada waktu sudah mati.
Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk
mempererat hubungan kekerabatan dalam dalihan natolu.
Selain menari orang batak juga sangat senang menyanyi baik secara perorangan,
maupun berkelompok. Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita tentang pemujaan terhadap
kampung halaman, keindahan negeri, dan panorama yang indah permai. Sedangkan
andung/ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara
dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih.
37
Sebagai contoh alat musik batak toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tortor
dan nyanyian juga beraneka ragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu,
kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung
merupakan instrumen empat jenis gendang yang berlainan bunyi/nada, oloan,ihutan, doal dan
panggora. Sedangan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi taganing, hesek,
hasapi, saga-saga, garantung, suling sordam dan salohat. Alat musik taganing merupakan
seperangkat instrumen yang terdiri dari satu gondang sebagai bas, satu odap-odap dan lima
taganing. Orang batak toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar
yaitu gondang bolon terdiri dari gordang atau gendang besar, taganing atau gendang ukuran
sedang dengan lima lempeng kayu, odap-odap atau gendang kecil yang kadang-kadang
diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan
sarune atau seruling dan gondang hasapi terdiri dari dua buah hasapi, sarune kecil, suling atau
seruling, garantung atau bambu kecil dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing.
38
BAB III
DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA
3.1 Tinjauan Umum Kematian Pada Masyarakat Batak Toba
Berbicara tentang kematian suku Batak mempunyai tradisi yang unik. Ada pula
konsep “kematian ideal” pada suku Batak. Kematian (mate) ideal yang dimaksud disini
adalah mate saur matua. Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa
dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen
baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti
kecelakaan.
Pada masyarakat batak kematian (mate) di usia yang sudah sangat tua merupakan
kematian yang paling diinginkan terutama bila orang yang mati telah menikahkan semua
anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Dalam tradisi budaya masyarakat batak
(khususnya batak toba) kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Tulisan ini
membahas mate saur matua sebagai sebuah upacara kematian warisan produk kebudayaan
masa lampau melalui tinjauan etnoarkeologi2. Kiranya tulisan ini mampu memberikan
tinjauan kritis dan arif terutama melalui konteks sistem (hubungan masyarakat Batak Kristen
dengan upacara saur matua dari waktu terdahulu hingga terkini). Apalagi dimasa terkini
upacara ini sering memunculkan kontroversi seputar ketidaksetujuan dari sebagian
masyarakat batak kristen untuk melestarikannya. Upacara saur matua dianggap bertentangan
dengan ajaran agama baru (kristen) yang mereka anut. Motivasi awal upacara saur matua di
masa prakristen adalah agar kedudukan sahala (kemuliaan, hikmat, dan otoritas) arwah orang
tua bisa naik terus hingga setingkat para dewa. Pada upacara adat orang yang mati saur matua
2 Etnoarkeologi merupakan ilmu arkeologi yang menggunakan data etnografi sebagai analogi untuk membantu memecahkan masalah-masalah.
39
umumnya akan disembah, setidaknya dari keturunannya (pomparan) supaya sahala arwah
meningkat dan mereka juga akan mendapatkan berkat sahala dari orang tua tersebut. Kini
suku batak memandang upacara adat saur matua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas
umur panjang dan kesempatan melihat anak cucunya. Bagi suku batak pesta ini dilakukan
sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada orang tua yang sudah meninggal.
Namun dari kacamata iman Kristen hal itu tidak berguna karena orang tersebut sudah
meninggal. Seharusnya bentuk pengabdian seorang anak ditunjukkan ketika orang tuanya
masih hidup.
Kematian satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya
dihindari manusia untuk diperbincangkan. Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu
manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan
abadi. Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada
dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau
lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.
Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan
selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian
itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.
3.2 Jenis-jenis Kematian Masyarakat Desa Sigumpar
Ada banyak jenis kematian pada adat suku batak, diantaranya adalah Sari Matua, Saur
Matua, Mauli Bulung. Jenis kematian lain seperti “martilaha” (anak yang belum berumah
tangga meninggal dunia), “mate mangkar” (yang meninggal suami atau istri, tetapi belum
berketurunan), “matipul ulu” (suami atau istri meninggal dunia dengan anak yang masih
kecil-kecil), “matompas tataring” (istri meninggal lebih dahulu juga meninggalkan anak yang
masih kecil)
40
3.2.1 Sari Matua
Sari matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau istri yang
sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada diantara
anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe).
3.2.2 Saur Matua
Saur matua adalah seseorang yang ketika meninggal dunia dalam posisi titir maranak,
titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru artinya seseorang juga berstatus
saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki atau hannya perempuan, namun suda
semuanya hot ripe dan punnya cucu. Saur matua juga dikatakan bila orang yang mati telah
menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Inilah kematian
yang paling “didambakan” oleh suku batak toba. Mayat orang yang meninggal tersebut di
baringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut) selanjutnya di
selimuti dengan kain batak tau ulos. Pada saat yang bersamaan pihak laki-laki baik dari
keturunan orang tua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul dirumah duka dan
membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orang tua yang sudah saur
matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang di
bicarakan. Hasil-hasil ini di catat oleh para suhut untuk kemudian dipersiapkan ke
musyawarah umum. Penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan dan
mulailah di hubungi pihak family dan mengundang pihak hula-hula, boru, dan dongan tubu.
Sesudah acara mangarapot selesai maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton.
Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (manggokkon hula-
hula,boru,dongan sabutuha3
3 Dongan sabutuha artinya terdiri dari teman semarga,teman sahuta, teman satu kampung serta sanak saudara yang ada di rantau.
41
Motivasi awal upacara saur matua di masa prakristen adalah agar kedudukan sahala
(kemuliaan, hikmat, dan otoritas) arwah orang tua bisa naik terus hingga setingkat para dewa.
Pada upacara adat, orang yang mati saur matua umumnya akan disembah, setidaknya dari
keturunannya (pomparan) supaya sahala arwah meningkat dan mereka juga akan
mendapatkan berkat sahala dari orang tua tersebut. Kini suku batak memandang upacara adat
saur matua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas umur panjang dan kesempatan
melihat anak cucunya. Namun dalam praktiknya ada banyak hal yang perlu dikritisi. Upacara
adat ini sarat dengan kemewahan misalnya untuk pesta saur matua jumlah yang tidak wajar
untuk merayakan kematian seseorang. Bagi suku batak, pesta ini dilakukan sebagai bentuk
penghormatan dan pengabdian kepada orang tua yang sudah meninggal. Namun dari
kacamata iman Kristen, hal itu tidak berguna karena orang tersebut sudah meninggal.
Seharusnya bentuk pengabdian seorang anak ditunjukkan ketika orang tuanya masih hidup.
Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat batak
terkhusus batak toba, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih
ada tingkat kematian tertinggi diatasnya yaitu mate saur matua bulung artinya mati ketika
semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan
cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan. Namun keduanya dianggap sama
sebagai konsep kematian ideal artinya meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak
lagi. Dalam kondisi seperti inilah masyarakat batak mengadakan pesta untuk orang yang
meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut
memang sudah waktunya sudah tua untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa
bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan
proses alami sudah tua maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya orang yang
meninggal dalam status saur matua hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/lunas. Dalam
42
masyarakat batak hutang orang tua itu adalah menikahkan anaknya. Jadi, ketika hutang
seseorang itu lunas maka sangatlah wajar jika dia merasa tenang dan lega.
3.2.3 Mauli Bulung
Mauli bulung adalah seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir
marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namarnini sahat
tunamarnono dan kemungkinan ke “marondok-ondok” yang selama hayatnya tak seorang pun
dari antara keturunannya yang meninggal dunia (manjoloi) seseorang yang beranak pinak,
bercucu, bercicit mungkin hingga ke buyut. Dapat diprediksi umur yang mauli bulung sudah
sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas di tinjau dari segi generasi. Mereka yang
memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka.
Dalam tradisi adat batak, mayat orang yang sudah mauli bulung di peti mayat
dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan (tidak dilipat). Kematian
seseorang dengan status mauli bulung, menurut adat batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi
keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis, mereka bleh bersyukur dan bersuka cita , berpesta
tetapi bukan hura-hura, memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai
ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi penyayang. Pada
masyarakat toba ada juga jenis kematian yang ada yaitu kematian sempurna. Kematian
sempurna yang dimaksud disini adalah masyarakat batak toba begitu percaya bahwa
kematian merupakan sebuah peristiwa yang tak kalah istimewa dengan peristiwa kelahiran.
Mereka percaya bahwa orang yang mati hannya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus
menempuh perjalanan ke alam lain alam yang sangat gaib dan tak terjangkau oleh mereka
yang masih hidup. Orang yang masih hidup mengangap perjalanan jiwa orang mati menuju
alam lain itu memerlukan perlakuan khusus agar rohnya merasa tenteram dan dihargai oleh
keturunannya.
43
Dalam tradisi batak toba didesa sigumpar, orang yang mati disebut saur matua dan
akan disembah dalam upacara saur matua setidaknya oleh semua anaknya. Penyembahan
yang diterima roh orangtua alias si mati melalui upacara saur matua dan upacara mangogkal
holi dari para keturunannya akan menambah kekuatan sahala (kekuatan) roh bersangkutan di
alam lain, sementara keturunannya mendapatkan berkat sahala dari roh bersangkutan. Konsep
kepercayaan awal hannya mengantarkan simati ke alam barunya, berkembang menjadi
keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati ke alam barunya, berkembang
menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati ke alam barunya,
berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati melalui ritual
pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan terhadap roh simati. Saking
istimewanya, perlakuan terhadap jasad simati tentunya sangat spesial begitu pulak setelah
upacara penguburan usai maka keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu
mengekspresikan kesedihan mereka yang ditinggal oleh simati. Kini, masyarakat batak toba
di desa sigumpar masih mengekspresikan pemujaan simati dalam sebuah upacara penguburan
sekunder yang disebut mangongkal holi. Disebut sekunder karena sebelumnya telah
dilakukan upacara penguburan (primer) simati. Upacara penguburan sekunder dilakukan
melalui penggalian tulang belulang simati dari kubur awal (primer) untuk dikuburkan
kembali kedalam kubur sekunder.
Pada masyarakat batak toba didesa sigumpar, kematian (mate) diusia yang sudah
sangat tua terutama telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu merupakan
kematian yang paling diinginkan. Dalam tradisi budaya masyarakat batak (khususnya batak
toba) kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Upacara adat kematian ini
diklasifikasikan berdasarkan usia dan status simati. Untuk yang mati ketika dalam masih
kandungan (mate dibortian) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur
tanpa peti mati), bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate
44
dakdanak), mate saat remaja (mate bulung) dan mati saat sudah dewasa namun belum
menikah (mate ponggol). Keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat mayatnya
ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat
untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan ulos untuk mate dakdanak dan
mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati. Mate saur matualah
yang menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah
berumah tangga. Sebenarnya masih ada tingkat kematian yang lebih diatasnya yaitu mate
saur matua bulung yakni mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga dan bahkan
telah bercicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan. Mate saur matua maupun
mate saur matua bulung keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal karena
meninggal saat tidak memiliki tanggungan anak lagi. Biasanya orang yang meninggal saur
matua sepulang dari pekuburan biasanya dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap
hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan simendiang (berbagi
harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap
hombung ini telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh
pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun
yang akan diberikan untuk ungkap hombung keluarga kematian orangtua yang tergolong saur
matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula. Sebagian masyarakat batak
dewasa ini lebih memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah siorang tua agar
kekuatan sahala diberikan kepada anak cucunya tetapi sebagai ungkapan syukur kepada
Tuhan atas anugrah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Namun konsep saur
matua sebagai “kematian sempurna” tetap dipertahankan karena orientasi sosial budaya masa
kini juga mengangap simati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik.
Acara adat dilakukan akan semakin besar serta memakan waktu lama dimulai dari
jenis mate mangkar hingga kepada mate mauli bulung. Penghormatan terhadap seorang
45
leluhur yang berada dialam baka dapat kita lihat melalui bentuk kuburan yang ada. Bagi
orang batak toba kuburan terdiri dari tiga jenis yaitu:
1. Kuburan umum tempat pemakaman satu kampung atau disebut huta.
2. Tambak yaitu berupa tanah yang ditinggikan diatas kuburan seorang yang mati dalam
peringkat sarimatua/saurmatua. Tanah yang ditinggikan tersebut terdapat rumput
manis diletakkan secara terbalik, bertingkat tiga,lima dan tujuh. Diatas tanah yang
ditinggikan itu ditanam pohon hariara atau beringin dan bintatar sebagai pertanda.
Dengan berbagai variasi yang berkembang kemudian tambak digunakan sebagai
pusara bagi keluarga atau marga dan biasanya dibangun dikampung asal (bona
pasogit)
3. Tugu sebagai monumen pembangunannya berkembang secara besar-besaran. Tugu ini
biasanya dibangun untuk persatuan marga dibona pasogit atau kampung asal dan
didalamnya terdapat tulang belulang leluhur dengan ritual magongkal holi atau
menggali dan memindahkan tulang belulang.
3.3 Tahap Pelaksanaan Pesta Adat Saur matua Desa Sigumpar
3.3.1 Tahapan Ke Arah Pelaksanaan Adat.
Pada tahap ini akan diadakan parpunguan hata (pembicaraan). Keluarga berkumpul
untuk mencari kesepakatan (adat dan dana) tentang konsep adat yang akan dilaksanakan.
Setelah ada kesepakatan, maka konsep adat yang akan dilaksanakan disampaikan kepada
tetua adat untuk mendapatkan pengarahan sesuai konsep yang sudah disepakati. Di sinilah
fungsi raja adat atau tetua adat dalam menyikapi konsep adat yang diterima, apabila ada
kekurangan dan kelebihan tentunya tetua adat/raja adat mempunyai fungsi untuk
menyempurnakan. Setelah tidak ada masalah undangan diberikan kepada pihak tulang dan
46
hula-hula serta kepada tetua adat. Apabila sudah saur matua dan mauli bulung undangan
disampikan juga kepada hula-hula, buna tulang, hula-hula namarhaha-anggi dan hula-hula
anak manjae serta tulang rorobot/narobot. Setelah hula hula hadir semua, antara hasuhuton
dengan pihak hula-hula duduk berhadapan dan hasuhuton terlebih dahulu mengecek
kehadiran semua undangan terutama hula-hula dan tulang serta tulang rorobot. Kata
sambutan dari hasuhuton (hata huhuasi) atas kehadiran semua undangan terutama atas
kehadiran horong ni hula-hula. Pada akhir huhuasi di beritahukan maksud dan tujuan
undangan dan minta nasehat terhadap rencana yang diutarakan. Kalau sudah ada kesepakatan
antara hasuhuton, horong ni hula-hula serta dongan sahuta, tentang konsep adat yang akan
dilaksanakan terhadap yang meninggal maka pada hari yang sudah ditentukan dalam
pelaksanaan adat tinggal mengikuti konsep yang sudah disepakati tadi. Bagi sebagian daerah
pembicaraan konsep adat dengan hula-hula sudah dianggap parrapoton. Akan tetapi
disebagian daerah parrapoton diadakan pada saat pembukaan pelaksanaan adat dipimpin oleh
seorang raja adat yang sudah punya cucu. Raja adat tersebut akan memperkenalkan diri di
depan halayak ramai dan keluarga yang kemalangan seperti ini ; “Au na di patua di adaton di
sigumpar on, au namarpanggoaran Op Punguan Hutasoit, manguluhon parrapoton di partua
ni inanta naung jumolo monding on, sai anggiat ma tutu dijalo Tuhanta on asa hita pe nadi
tinggalhonna tong dibagas hahipason, Mauliate ma”.
3.3.2 Jalannya Upacara Saur matua
Walaupun adat pada masyarakat batak toba hampir sama, akan tetapi disini membahas
upacara adat yang terdapat didesa sigumpar yaitu pada kematian saur matua. Saur matua
adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak
perempuan. Saur artinya lengkap atau sempurna dalam kekerabatan telah beranak cucu.
Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus
47
dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang meninggal sari matua
walaupun suhut membuat acara adat sempurna sesuai dengan adat dalihan na tolu, hal seperti
itu belum tentu dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempuna dalam hal
kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui fase-fase atau tahapan-
tahapan yang harus dilalui oleh setiap yang melakukannya.
Ketika seseorang masyarakat Batak mate saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak
kerabat segera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas
persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur
dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat batak terdiri dari
tiga kelompok unsur kekerabatan yaitu: pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga
pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu: teman atau saudara semarga),
dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara
perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Fungsi dalihan natolu menggunakan istilah
adat yaitu Pangarapotan: Adalah suatu penghormatan kepada yang meninggal yang
mempunyai gelar Sari Matua dan lain-lain sebelum acara besarnya dan penguburannya atau
dihalaman (bilamana memungkinkan). Dalam hal ini suhut dapat meminta tumpak (bantuan)
secara resmi dari family yang tergabung dalam dalihan natolu disebut tumpak di alaman.
Partuatna: hari yang dianggap menyelesaikan adat kepada seluruh halayat dalihan natolu
yang mempunyai hubunngan berdasarkan adat. Pada waktu pelaksanaan ini pulu suhut akan
memberikan piso-piso/stuak natonggi kepada kelompok hula-hula/tulang yang mana
memberikan ulos tersebut diatas kepada yang meninggal dan keluarga dan pemberian uang
ini oleh keluarga tanda kasihnya.
Dalam dalihan natolu mempunyai 3 hal yang berhubungan dengan ulos yaitu:
Pemberian Ulos saput. Ulos ini diberikan kepada yang meninggal dunia sebagai tanda
perpisahan. Siapakah yang berhak memberikan saput tersebut, dalam hal ini perlu kita
48
mempunyai satu persepsi untuk masa yang akan datang karena hal ini banyak berbeda
pendapat menurut lingkungannya masing-masing misalnya hula-hula atau tulang. Pemberian
ulos tujung. Dalam hal ini semua dapat menyetujui dari pihak hula-hula. Pemberian ulos
holong. Dari semua pihak hula-hula, tulang rerobot bahkan bona ni ari termasuk dari hula-
hula ni anak manjae/hula-hula ni na marhahamaranggi, berhak memberikan kepada keluarga
yang meninggal. Juga pada waktu bersamaan ini pula dibagikan jambar-jambar sesuai dengan
fungsinya masing-masing dengan azas musyawarah sebelumnya, setelah itu dilaksanakanlah
upacara adat mandokon hata dari masing-masing pihak sesuai dengan urutan-urutan secara
tertulis. Setelah selesai, bagi orang Kristen diserahkan kepada Gereja (Huria) untuk
seterusnya dikuburkan. Setelah semua dalihan natolu berkumpul maka diadakanlah
martonggo raja. Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah
duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir
sebagai pendengar dalam rapat biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan
upacara. Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara
adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing-
masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti
mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat
yang menghadiri upacara.
49
Ket gambar : Jenazah dalam peti (kiri) dikelilingi oleh para keturunannya, salah satu gerak
tortor (tengah), prosesi penguburan diserahkan kepada pihak Greja (kanan).
Jalannya upacara saur matua yang terdapat pada masyarakat toba desa sigumpar ada
beberapa hal yakni; Upacara dijabu menuju maralaman dalam arti semua suhut sudah
bersiap-siap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara dijabu menuju
maralaman. Setelah semuanya hadir dirumah duka, maka upacara ini dimulai tepatnya pada
waktu matahari akan naik sekita pukul 10.00 Wib. Anak laki-laki berdiri disebelah kanan peti
mayat, anak perempuan atau pihak boru berdiri disebelah kiri, hula-hula bersama pengurus
gereja berdiri didepan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri dibelakang boru. Kemudian
acara dipimpin oleh pengurus greja mengenakan pakaian resmi atau jubah.
Setelah acara greja selesai maka pengurus greja menyuruh pihak boru untuk
mengangkat peti mayat kehalaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian greja yang
dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara
hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh pihak hasuhuton juga dongan
sabutuha ke halaman. Peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang lalu peti
mayat itu diletakkan dihalaman rumah sebelah kanan dan didepannya diletakkan palang salib
kristen yang bertiliskan nama orang tua yang meninggal. Sesampainya dihalaman peti mayat
ditutup dan diletakkan diatas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan na tolu yang
ada didalam rumah kemudian berkumpul dihalaman rumah untuk mengikuti acara
selanjutnya.
50
Ket gambar : upacara Greja saat dihalaman rumah
Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu gondang yaitu
gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya yang maha kuasa
berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut
agar beroleh hidup yang sejahtera dimasa mendatang lalu pargonsi memainkan sitolu
gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari. Setelah sitolu gondang itu selesai
dimainkan pengurus greja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat.
Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini
selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini rombongan greja menari mengelilingi
borotan. Gerak tari pada gondang ini adalah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut
irama gondang. Setelah mengelilingi borotan maka pihak pengurus greja memberkati semua
boru dan suhut. Setelah hasuhuton selesai menari pada gondang mangaliat, maka menarilah
dongan sabutuha juga dengan gondang mangaliat dengan memberikan “beras si pir ni tondi”
kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan
beras atau uang. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau uang mereka juga
memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan
anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.
51
Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hula-hula lalu
mereka mengelilingi sekali lagi borotan kemudian pihak ale-ale yang mangaliat juga
memberikan beras atau uang. Kegiatan gondang ini di akhiri dengan pihak parhobas dan
naposo bulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan
gondang hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan “Horas” sebanyak tiga kali.
Pada saat setiap kelompok dalihan na tolu menari, ada juga yang mengadakan
pembagian jambar dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring
dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan dan pembagian jambar serta margondang
terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus
greja karena merekalah yang akan menurup upacara ini lalu semua unsur dalihan na tolu
mengelilingi peti mayat yang tertutup. Dimulai acara greja dengan bernyanyi, berdoa,
penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus greja, bernyanyi dan
doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ketempat
penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh
hasuhuton dibantu dengan boru dan dongan sahuta sambil diiringi nyanyian greja yang
dinyanyikan oleh hadirin sampai ketempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan
sepenuhnya kepada pengurus greja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua
yang turut mengantar kerumah duka. Acara sesudah upacara kematian artinya sesampainya
pihak suhut, hasuhuton, boru, dongan sabutuha, hula-hula dirumah duka, maka acara
selanjutnya adalah makan bersama. Pembagian jambar langsung dipinpin oleh pengetua adat
tetapi terdapat beberapa variasi pada berbagai tempat yang ada pada masyarakat batak toba.
Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:
Kepala untuk tulang
Telur untuk pangolin
52
Somba-somba untuk bona tulang
Satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
Satu tulang belakang untuk parbonaan
Leher dan sekerat daging untuk boru
Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hula-hula yang
memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini akan diberikan piso yang
disebut “pasahatton piso-piso” yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula,
jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan keadaan bila mana seorang ibu yang
meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung) yang
dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal biasanya dijalankan oleh amana posona
(anak dari ito atau abang adek yang meninggal). Buha hombung artinya membuka simpanan
dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana
seorang ibu menyimpan harta keluarga berupa pusaka, perhiasan, emas dan uang. Harta
kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan juga sebagai kesempatan
terkahir untuk meminta sesuatu dari simpanan borunya, setelah selesai mangungkap
hombung maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara
kematian saur matua, hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada
keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas,
yang bekerja menyediakan keperluan acara adalah pihak boru.
Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, menyampaikan kata-kata
penghiburan, setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai maka selesailah
pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian
saur matua ini adalah karena faktor adat yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua
53
yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga diwujudkan sebagai penghormatan
kepada orangtua yang meninggal dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati
kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai. Hal ini menunjukkan
bahwa hubungan antara manusia yang masih hidup dengan para kerabatnya yang sudah
meninggal masih ada hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di
akhirat.
Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas
dari kehadiran dari unsur-unsur dalihan na tolu yang memainkan peranan berupa hak dan
kewajiban mereka. Maka dalihan na tolu ini lah yang mengatur peranan tersebut sehingga
perilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari
tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.
3.3.3 Pelaksanaan Upacara Adat
Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan
ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki
dari pihak istri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat batak merantau sering
terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan) demi menunggu
kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja
dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur
matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat
dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat. Pada hari yang
sudah ditentukan upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari diruangan terbuka yang
cukup luas (idealnya dihalaman rumah duka).
54
Ket gambar : upacara dihalaman rumah
Jenazah yang telah dimasukkan kedalam peti mati diletakkan ditengah-tengah seluruh
anak dan cucu dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Disebelah
kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing,
disebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing,
disinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari masyarakat adat
telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan
pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan
lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang-
orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah jamuan makan
dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama).
Jambar terdiri dari empat jenis berupa juhut (daging), hepeng (uang), tortor (tari) dan hata
(berbicara) masing-masing pihak dari dalihan na tolu mendapatkan hak dari jambar sesuai
ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib karena pembagian jambar juhut di
anggap menggantikan jambar hepeng namun bagi keluarga status sosial terpandang jambar
hepeng biasanya ada.
55
Selepas ritus pembagian jambar juhut dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata
berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak
orang yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula
dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru/bere dan terakhir dongan sabutuha. Setiap
pergantian kata penghiburan diselingi ritual jambar tortor yaitu ritus manortor (menarikan
tarian tortor). Tortor adalah tarian tradisional khas batak. Tarian tortor biasanya diiringi
musik dari gondang sabangunan. Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional batak
terdiri dari seperangkat instrumen yakni : empat ogung, satu hesek, lima taganing, satu odap,
satu gondang dan satu sarune.
Setelah jambar tortor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata
ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan
jambar hata dan jambar tortor tadi. Selanjutnya salah seorang suhut mengucapkan jambar
hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu terlaksanya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak
lain diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak
yang telah mengakhiri upacara tersebut sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa
restu.
Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan
menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah bisa dilakukan
ditempat itu juga tau ketika jenazah sampai dilokasi penguburan. Hal ini menyesuaikan
kondisi namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan kedalam lobang tanah
yang sudah digali sebelumnya, ibadah singkat dilaksanakan dengan berdoa kemudian jenazah
yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan.
56
Ket gambar : upacara ritual saat penguburan
Sepulang dari pekuburan dilakukan ritual adat ungkap hombung yaitu pembagian
harta yang ditinggalkan mendiang tersebut untuk diberikan kepada hula-hula. Idealnya tanpa
diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari
sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung keluarga yang kematian
orangtua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula.
Ini adalah bagian dari ritual kematian adat batak khususnya batak toba. Memang unik tetapi
itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti proses ini sendiri. Kematian yang
seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa dan riuhnya pesta pakai musik
layaknya pesta pernikahan hannya jika mendiang meninggal dengan status saur matua tadi.
Ya, ini memang adatnya. Kita tidak mungkin menolak atau menentangnya. Tetapi saya
bangga memiliki budaya seperti ini penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.
Setelah keperluan upacar selesai dipersiapkan barulah upacara kematian saur matua
ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu
:
57
1. Upacara dijabu (didalam rumah) termasuk didalamnya upacara di jabu menuju
maralaman (upacara dirumah menuju halaman) artinya pada saat upacara di jabu akan
dimulai, mayat dari orang tua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu).
Letaknya berhadapan dengan kamar orang tua yang meninggal ataupun kamar anak-
anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau istri yang ditinggalkan
duduk disebelah kanan tepatnya disamping muka orang yang meninggal. Kemudian
diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling
kecil. Anak perempuan dari orang tua yang meninggal, duduk disebelah kiri dari peti
mayat, sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk dibelakang atau di depan orang
tua mereka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan na tolu sudah hadir di
rumah duka dengan mengenakan ulos.
2. Upacara maralaman (dihalaman) artinya upacara yang kegiatannya pestanya di
laksanakan di luar rumah, biasanya pas di depan (halaman rumah). Kedua bentuk
upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat batak toba sebelum mengantarkan
jenazah ke liang kubur.
3.3.4 Lokasi Upacara Saur Matua
Pada hari yang sudah ditentukan upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di
ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya dihalaman rumah duka). Di dalam adat batak toba
jika seseorang yang saur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antara bidang
(halaman) kekuburan (partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat
partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan na tolu berbeda dengan posisi
mereka ketika mengikuti upacara didalam rumah. Pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke
kiri (yang paling besar ke yang bungsu) dan dibelakang mereka berdiri parumaen (menantu
perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak
58
perempuan dari yang meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi
rumah duka kemudian hula-hula berdiri disamping kanan rumah duka, semuanya
mengenakan ulos yang disandang diatas bahu.
59
BAB IV
ANALISIS TEKSTUAL DAN FUNGSI SOSIAL BUDAYA
NYANYIAN ANDUNG
Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis tekstual dan fungsi sosial andung.
Penulis disini akan mendeskripsikan teks dari andung dengan menterjemahkannya dan
melihat apa-apa saja makna teks tersebut. Penulis juga akan melihat bagaimana pengaruh
andung itu sendiri terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat batak toba. Dengan
demikian maka akan dapat diketahui fungsi sosial dan budaya dari andung tersebut.
4.1 Analisis Tekstual
Analisis tekstual adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan yang melakukannya
dengan memakai metode ilmiah, biasanya untuk mengkaji isi karangan atau isi teks nyanyian
(Echols dan Shadili 1986: 380)
Mengamati bagaimana penggarapan teks dari nyanyian andung, seperti yang
dikemukakan Merriam (1964:189), mengemukakan bahwa kalimat-kalimat teks lagu dari
sekelompok budaya sering tidak mengikuti sturuktur bahasa daerahnya sendiri.
Kecenderungan teknis penggunaan bahasa dalam teks nyanyian, dibagi dalam beberapa
pendekatan tekhnik eufonis yaitu penghilangan atau penambahan silabel untuk tujuan
pencapaian efek musikal. Selanjutnya pengubahan bunyi dari kata yang biasa dalam
percakapan sehari-hari menjadi bunyi yang tidak biasa dalam suatu teks nyanyian.
Untuk menganalisis teks nyanyian penulis mengacu kepada tulisan Meriam
(1964:187) menyebutkan suatu yang paling penting untuk mengerti tata tingkah laku manusia
dalam hubungannya dengan musik adalah melalui teks nyayian. Teks tentu saja ialah bahasa
tingkah laku yang lebih dari bunyi musik, mereka merupakan suatu kesatuan yang integral
60
dari musik. Tekstual merupakan hal yang paling penting dalam tulisan ini, dimana tekstual
yang dipakai dalam penyajian nyanyian andung adalah kata-kata sehari-hari dan kata-kata
yang berbentuk kiasan.
4.2 Deskripsi Nyanyian Andung
Andung adalah sebuah nyanyian ratapan yang disajikan oleh perempuan dalam
konteks kematian. Isi daripada andung tersebut merupakan kisah hidup orang yang meninggal
dunia dinyanyikan atau diandungkan dihadapan jasadnya. Nyanyian ratapan ini memakai
beberapa ikon-ikon tangisan.
Teks yang dinyanyikan selalu muncul secara spontan berdasarkan konteks
penyajiannya. Artinya teks yang muncul tidak bersifat baku dan muncul berdasarkan suasana
hati sipenyaji. Sipenyaji selalu merasa bebas untuk memulai atau menggarap teksnya. Hal
yang sama juga terjadi dalam penggarapan melodi dan ritem andung. Hal ini terjadi karena
secara struktural, melodi dan ritem andung ini memang tidak memiliki bentuk yang baku. Hal
ini pula yang menyebabkan bahwa penyajian nyanyian andung selalu bervariasi, karena
setiap penyaji akan menyajikannya dengan gaya dan tekhnik yang berbeda-beda.
4.2.1 Teks Nyanyian Andung
Dalam menuliskan teks dari nyanyian andung ini, penulis akan menampilkan teks
nyanyian yang disajikan oleh Op Bronson Hutasoit (56 tahun). Disini penulis juga akan
menuliskan terjemahan dari teks tersebut yang mana langsung diterjemahkan oleh penulis
sendiri agar memudahkan pembaca dalam membaca teksnya, penulis langsung
membubuhkan terjemahannya dibawah teks tersebut.
Adapun kata-kata tersebut adalah :
Inong...
61
Ahado namasa naro tuho inong,nungga lao beho hapek manadingkon hami inong..g
Ise nama donganku marsipasukkunan i inongku..uu
Ise ma donganku narap tu pestaii..i
Hapek sai burju ho nian inong..
Haccit nai pambahenanmon tuhami inongku...
Paet nai pakkilaan nami on inong,toppu nai panadingmon dihami inongkuuu..
Inong..
Burju nai ho inong manadingkon hami,laos soadong tonam tuhami inongku..
Inong..
Alusi jo au inong ale-alemon na jou-jou on,sangap dope ho dihami da inongku,arga dope ho
dihami inong..
Ise nama donganku rap tubalian i,marende ende hita diladang i,age tahe tung so tagam do
rohakku diparlaomon inongku..
Naboha do di hilala ho inong.. umbaen toppu parlaomon inongku..
Alusi jo au inonggg..
Terjemahannya:
Ibu...
Apanya yang terjadi samamu ibu,udah pergi kamu meninggalkan kami ibuu..u
Siapalah kawanku bisa saling bertannya ibu..
62
Siapalah kawanku yang sama ke pesta itu..
Padahal baik kali kau ibu..
Ngeri kali kami rasakan ibu, cepat kalilah Ibu pergi..
Ibu...
Baik kali lah kau ibu meninggalkan kami tanpa ada pesa apapun..
Ibu..
Jawab dulu aku kawanmu ini yang manggil-manggil ibu,masih berharganya kau sama kami
ibu..
Siapalah kawanku sama ke ladang itu,nyanyi-nyai kita disana,yahh gak nyangka aku kau
pergi begitu saja.
Kenapa nya kau ibu apa yang kau rasakan makanya cepat kali pergi..
Jawab dulu aku ibu..
Dari teks diatas merupakan gambaran kisah sedih sipangandung. Andung ini tidak
diiringi musik. Orang yang mangandung diatas adalah sahabat akrab orang yang meninggal
tersebut (bahasa bataknya Ale-alena hinan), yaitu Op Bronson Hutasoit yang dulu semasa
hidupnya dialah kawannya paling akrab, ketika mereka keladang ataupun kepesta mereka
selalu sama. Sipenyaji mengungkapkan hal yang dirasakannya itu sambil menangis atau
merasa sangat bersedih, orang-orang yang mendengarnya juga ikut bersedih bahkan ada juga
yang ikut menangis.
63
4.2.2 Pemilihan dan Penggunaan Kata dalam Teks Nyanyian Andung
Berdasarkan teks yang dituliskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa kata-kata yang
dipakai dalam teks nyanyian andung merupakan kata-kata yang biasa digunakan dalam
bahasa sehari-hari masyarakat batak toba. Teks yang digunakan adalah kalimat yang tidak
bersifat baku, karena berasal dari perasaan (apa yang dirasakan) oleh sipenyaji. Andung yang
diungkapkan oleh sipenyaji tersebut juga bermanfaat agar orang-orang yang mendengarnya
tau betapa akrabnya dulu mereka.
4.2.3 Struktur Teks Nyanyian Andung
Bila dilihat struktur bentuk teks dari nyanyian andung dapat digolongkan dalam
bentuk prosa yaitu rangkaian kata-kata yang disajikan didepan orang yang meninggal yang
biasanya di ungkapkan tentang bagaimana sifat dan tingkah laku orang yang meninggal
tersebut sehingga memiliki suatu cerita atau persambungan makna dengan menggunakan
bahasa sehari-hari yang halus dan memiliki makna-makna khusus. Teks dari nyanyian
andung tidak terikat dengan pola-pola persajakan atau pola-pola pantun, tetapi merupakan
paparan yang cukup lugas dan indah karena bahasa yang konotatif. Secara umum teks dari
nyanyian andung tidak memiliki struktur teks yang baku. Artinya teks yang diungkapkan oleh
sipenyaji selalu berdasarkan isi hati atau perasaan sipenyaji itu sendiri. Apa yang
diungkapkan si penyaji pada awal andung nya bisa saja muncul pada bagian pertengahan atau
di akhir andung nya tersebut. Nyanyian andung ini biasanya diungkapkan secara berulang-
ulang. Teks dari nyanyian andung ini tidak memiliki aturan mengenai dimana letak bagian
pembuka, isi, atau penutup. Seluruh teks dari nyanyian andung merupakan isi karena
keseluruhan dari teks tersebut berisi ungkapan perasaan yang dirasakan sipenyaji.
64
4.2.4 Isi Teks Nyanyian Andung
Jika diamati lebih jauh teks dari nyanyian andung berisi sifat kesehariannya orang
yang meninggal. Sipenyaji mengungkapkan isi perasaanya yang sangat sedih ketika ditinggal
oleh sahabat akrabnya itu, bisa juga ungkapan rasa kecewa atau penyesalan sipenyaji bahwa
orang yang disayanginya dan diharapkannya telah pergi jauh untuk selamanya. Meskipun
dirundung dengan kesedihan yang demikian, didalam nyanyian andung ini juga selalu
menyertakan hata (kata-kata atau pesan), dan tangiang (Doa dan harapan) yang disampaikan
oleh sipenyaji.
4.2.5 Fungsi Sosial Budaya Nyanyian Andung Pada Masyarakat Toba
Selain menganalisis struktur teksnya, fokus penelitian pada tulisan ini juga membahas
mengenai fungsi sosial dan budaya nyanyian andung. Seperti yang dikemukakan oleh Alan P
Merriam dalam bukunya The Anthropology Of Music menyatakan ada 10 fungsi dari musik.
Akan tetapi disini ada beberapa fungsi yang dipakai yaitu (1)fungsi pengungkapan emosional
yaitu disini music berfungsi sebagai suatu media bagi seseorang yaitu untuk mengungkapkan
perasaan atau emosinya. (2)fungsi komunikasi yaitu musik memiliki fungsi komunikasi
berarti bahwa sebuah music yang berlaku disuatu daerah kebudayaan mengandung isyarat-
isyarat tersendiri yang hannya diketahui oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari teks ataupun melodi tersebut. (3)fungsi pengintegrasian masyarakat
yaitu music memiliki fungsi dalam pengintegrasian masyarakat. Suatu music jika dimainkan
secara bersama-sama maka tanpa disadari musik tersebut menimbulkan rasa kebersamaan
diantara pemain atau penikmat musik itu. Setelah menganalisis teks dengan melihat makna
yang tersirat, pesan-pesan yang terkandung, keluh kesah, dan melihat keadaan penyajiannya,
maka penulis memperoleh fungsi sosial budaya dari nyanyian andung ini adalah sebagai
perantara atau media budaya terhadap masyarakat toba. Adapun fungsi sosial dai andung ini
65
adalah ketika andung ini disajikan didepan khayalak ramai. Pesan-pesan dan keluh kesah
yang disampaikan oleh sipenyaji andung akan didengar oleh seluruh orang yang hadir
ditempat itu, dan pesan-pesan tersebut dapat dijadikan pengajaran atau sumber pendidikan
informal oleh para orang-orang yang hadir pada umumnya dan kepada keluarga yang
ditinggal pada khususnya. Dengan melakukan hal tersebut, maka sipenyaji akan merasa puas
dengan keluh kesah yang disajikan didepan orang mati tersebut.
4.3 Penggarapan Teks Nyanyian Andung
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa teks dari nyanyian andung akan
berganti-ganti sesuai dengan penyelenggaraan dan keadaan upacara. Hal yang sudah pasti
berganti-ganti adalah menyangkut identitas penyelenggara upacara. Ditambah kondisi
keluarga yang berbeda-beda maka harus berbeda juga penggarapan teks untuk
mengungkapkan keadaan itu.
Langkah awal yang dilakukan oleh sipenyaji andung untuk penggarapan teks adalah
dengan memperhatikan kondisi keluarga. Langkah yang biasanya dilaksanakan untuk
memperoleh atau mencari tahu secara detail keadaan orang yang meninggal adalah dengan
mengingat penderitaan yang dialami dalam hidupnya. Semua keluh kesah diungkapkan dalam
andung tersebut. Teks yang disajikan dalam andung berupa ungkapan kesedihan sipenyaji.
Biasanya dalam mangandung ini bisa juga di iringi dengan ende (lagu untuk orang
meninggal) yang dibawakan oleh salah satu orang disekitarnya kemudian diikuti oleh
andung-andung.
Tidak ada batasan untuk seseorang yang akan menyajikan nyanyian andung, misalnya
kelas masyarakat, jenis kelamin, umur atau golongan. Namun secara umum semua
masyarakat yang ikut turut berduka bisa mangandung, baik anak-anak maupun orang dewasa.
66
Akan tetapi orang yang pada umumnya mangandung adalah orang yang sudah dewasa atau
orang tua.
4.4 Aspek bahasa
Sesuai dengan Ensiklopedia Indonesia (1986: 45), bahasa adalah kumpulan kata-kata
dan aturannya yang tetap dalam menggabungkannya, berupa kalimat dan merupakan sistem
bunyi yang melambangkan pengertian-pengertian tertentu. Dari segi ilmu bahasa, nyanyian
(musik vokal) adalah penggabungan kata-kata yang memiliki intonasi dengan ciri-ciri khusus
berupa modifikasi intonasi wicara.
Menyangkut hubungan bahasa dengan musik ini sudah lama menjadi perhatian dari
ilmuwan bahasa dan musik. Bahkan para ilmuan sosial dan etnomusikologi sering membahas
hubungan antara musik dengan bahasa atau bunyi musikal dengan fenomena linguistik
(linguistik fenomena). Menurut Seeger (1977:142), ada dua hal yang dapat dikemukakan dari
hubungan interelasi antar kedua unsur tersebut yaitu:
1. Bahasa didalam musik, yaitu meliputi hubungan (relasi) tekstual, sifat puitik dan gaya
bahasa di dalam struktur nyanyian.
2. Musik di dalam bahasa, yakni masalah yang meliputi eksistensi sifat (propertis)
kemusikalan dari bahasa.
Sesuai dengan topik tulisan ini yaitu nyanyian andung sebagai nyanyian rakyat, jelas
mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dengan musiknya, baik itu yang
meliputi hubungan tekstual didalam sturuktur nyanyian maupun dalam pemilihan kata.
Bila kita amati sepintas lalu, maka kata-kata yang dipergunakan dalam nyanyian
andung pada umumnya sama dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-
hari yang dipilih lebih halus. Pengamatan sekilas kata-kata yang dipergunakan dalam
67
nyanyian andung dan dalam kehidupan sehari-hari tidak jauh berbeda, hannya saja andung itu
dinyanyikan/dilagukan sedangkan bahasa sehari-hari dilafalkan/diucapkan.
Walaupun begitu tidak semua kata-kata yang dipergunakan dalam andung tidak
seluruhnya bergantung pada makna denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif.
Makna konotasi inilah yang justru lebih banyak memberi efek makna bagi yang mendengar,
karena mampu meresap kedalam hati dan perasaan para pendengarnya.
Bila kita lihat dalam kalimat .....boasama tadingkononmu hami gellengmon
inang....kata boasama tadingkononmu pada kalimat tersebut secara denotatif mengandung
arti perasaan sedih karena ditinggal, namun arti yang tersirat atau secara konotatif
mengandung makna sedih. Sehingga kalimat tersebut mengandung makna “ungkapan
kesedihan sipenyaji. Jadi kata yang diungkapkan tersebut biasanya mempunyai makna dan
arti tertentu
4.4.1 Proses Transkripsi
Sebagai langkah awal yang dilakukan oleh penulis dalam pentranskripsian, pertama
sekali penulis mengadakan rekaman langsung dari Op.Bronson Hutasoit (Informan pokok).
Rekaman yang ditranskripsi bukan pada saat berlangsungnya pesta adat kematiannya, tetapi
nada, melodi dan teksnya disajikan (diandungkan) pada saat hari pertama orang yang
meninggal. Andung yang direkam pada hari pertama, waktu itu memang sangat sulit untuk
ditranskripsi karena terlalu banyak suara-suara ribut atau bising.
Selanjutnya seluruh rekaman tersebut di copy (direkam kembali ke kaset lain maupun
ke plasdisk), hal ini dilakukan supaya kaset aslinya tidak cepat rusak oleh karena sering
diputar ulang dalam mendengarkan nyanyian tersebut. Penulis berusaha dapat menirukan
melodi Andung untuk mempermudah pentranskripsian.
68
Sesuai dengan kebutuhan trasnkripsi dalam tulisan ini, maka notasi yang dipakai adalah
dengan pendekatan deskriptif, karena notasi deskriptif ini dapat juga dikaitkan sebagai notasi
yang digunakan untuk menuliskan nyanyian andung yang telah disajikan dari apa yang
didengar.
Dalam mentranskripsikan melodi nyanyian andung, penulis akan menggunakan notasi
balok. Alasan penulis menggunakan notasi balok tersebut karena dalam tradisi musik batak
toba sampai saat ini belum dijumpai sistem notasi tersendiri dan notasi balok lebih mudah
dipakai untuk penotasian musik seperti nyanyian andung. Pada dasarnya notasi balok ini
digunakan untuk musik-musik barat, namun dalam menotasikan musik non baratpun dapat
dilakukan dengan cara memodifikasi notasi tersebut. Penggunaan notasi ini lebih tepat
disamping sudah lazim digunakan dalam penulisan musik juga keefektifannya dalam melihat
tinggi rendahnya nada, serta mampu memberikan kemudahan dalam kerja analisis.
4.4.5 Formula Melodi
Melodi adalah jajaran atau susunan dari unsur nada yang dikombinasikan dengan
unsur ritem dan bergerak/berjalan dalam waktu. Secara alami kedua unsur tersebut tidak
dapat dipisahkan. Melodi tersusun dari beberapa rangkaian nada secara horizontal.
Menurut Malm (1977:80) bahwa formula melodi (bentuk) dapat dibagi beberapa jenis
yaitu :
1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang
2. Interatif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan
kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian
3. Reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi pada perulangan frase pertama setelah
terjadi penyimpangan melodi
69
4. Stropic yaitu bentuk nyanyian yang pengulangan melodinya tetap sama tetapi teks
nyanyian baru
5. Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi
melodi yang baru
Jika dikaitkan dengan apa yang telah diutarakan oleh Malm diatas, maka bentuk dari
nyanyian andung dapat disebut sebagai bentuk Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang
diulang-ulang.
4.4.6 Kontur
Kontur adalah garis atau alur melodi dalam sebuah lagu, hal ini menurut Malm
(1964:8) dapat dibedakan beberapa jenis yaitu:
1. Ascending yaitu garis melodi yang sifatnya menaik dari nada yang rendah ke nada
yang tinggi
2. Descending yaitu garis melodi yang sifatnya menurun dari nada yang lebih tinggi ke
nada yang lebih rendah
3. Pendulous yaitu garis melodi yang sifatnya melengkung dari nada yang rendah ke
nada yang lebih tinggi, kemudian kembali ke nada yang lebih rendah atau sebaliknya
dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah dan kembali ke nada yang lebih
tinggi.
4. Terraced yaitu garis melodi yang sifatnya berjengjang seperti anak tangga dari nada
yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi, kemudian bergerak sejajar, lalu bergerak
ke nada yang lebih tinggi lagi dan seterusnya yang akhirnya berbentuk seperti anak
tangga
5. Statis yaitu garis melodi yang sifatnya tetap bergerak dalam ruang lingkup yang
terbatas/datar.
70
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis dapat melihat suatu kontur melodi dari
nyanyian andung adalah pendulous. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan melodi dari nada
yang tinggi ke nada yang rendah lalu kembali ke nada yang tinggi dan sebaliknya.
4.5 Meter
Kombinasi dari kuat dan lemahnya sebuah pulsa berulang disebut dengan meter
(Duckworth, 1992:7). Dengan kata lain meter juga dapat didefenisikan sebagai pola berulang
yang timbul dari adanya aksen atau penekanan dari sebuah bunyi musik, yang kemudian
menetapkan tempo atau ketukan dari musik itu sendiri. Pola meter yang paling umum dikenal
adalah duple meter (meter 2/4), triple meter (meter 3/4), dan quadruple meter (meter 4/4).
Angka yang terletak disebelah kiri menunjukkan jumlah ketukan (pulsa) dalam setiap birama,
sedangkan angka yang terletak disebelah kanan menunjukkan nilai dari sebuah nada pada
setiap ketukan. Pola-pola tersebut dikenal dengan istilah time signature (tanda waktu). Time
signature ini dituliskan /diletakkan pada awal sebuah komposisi musik.
Pada nyanyian andung tidak ditemukan adanya penggunaan meter (free meter).
Karena nyanyian ini disajikan sesuai dengan kebutuhan daripada sipenyaji itu sendiri.
Maksudnya adalah sipenyaji memiliki kebebasan untuk menentukan dimana dia harus
berhenti maupun mulai mangandung. Dari penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan,
bahwa meter dari nyanyian andung ditentukan dari keadaan penyajiannya.
4.2 Gaya yang ditimbulkan akibat hubungan teks dan melodi
Untuk melihat gaya yang muncul akibat hubungan teks dan melodi, Malm (1977:9),
menulis apabila setiap suku kata menggunakan satu nada, gaya yang demikian disebut silabis
dan apabila satu suku kata menggunakan beberapa nada maka gaya tersebut dinamakan
melismatis.
71
Berdasarkan analisis terhadap gaya yang terjadi antara hubungan teks dengan melodi,
penulis dapat mengemukakan bahwa penggarapan gaya silabis pada nyanyian andung
cenderung didapati diawal dan ditengah frase, sedang penggarapan gaya melismatis didapati
di akhir frase.
Pada dasarnya nyanyian andung mempunyai lirik (kata-kata) dan lagu (melodi).
Sehubungan dengan itu Curts Sachs (1962:66-70), menulis tentang Logogenik dan
Melogenik. Logogenik adalah nyanyian yang mengutamakan teks daripada melodinya, karena
melodinya hannya merupakan perulangan-perulangan saja. Sedangkan melogenik adalah
nyanyian yang mengutamakan melodi, sedang secara tekstual hanyalah perulangan-
perulangan saja. Apabila dikaitkan dengan dengan nyanyian andung , maka nyanyian ini
dapat dikatakan sebagai nyanyian melogenik
72
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian yang penulis lakukan terhadap nyanyian andung ini menghasilkan beberapa
kesimpulan mengenai struktur teksnya serta fungsi sosial dan budayanya.
Andung merupakan ratapan, jerit tangis atau senandung hati yang diuntai dalam syair
sastra dan lagu spontan sebagai ungkapan perasaan mendalam. Andung juga disebut suatu
nyanyian ratapan umumnya disajikan oleh perempuan dalam konteks kematian, dimana syair
atau teksnya berisikan ungkapan perasaan mendalam umumnya mengungkapkan kesedihan
dan duka lara. Andung hannya ditujukan kepada orang yang meninggal, sedangkan andung-
andung berisi tentang penderitaan hidup seseorang atau perjalanan hidup seseorang.
Perbedaan lainnya adalah andung biasanya tidak menggunakan unsur musik sedangkan
andung-andung selalu diiringi oleh musik.
Seorang yang melakukan andung disebut pangandung, sedangkan pekerjaan
melakukan andung disebut mangandung. Seorang yang melantungkan andung-andung
disebut mangandung-andung. Andung sebagai salah satu warisan budaya yang pernah hidup
dan berperan kuat didalam masyarakat batak toba sudah jarang digunakan sekarang ini,
hannya orang tua-tua tertentu saja yang masih dapat menguasai hata andung dan hannya
mereka yang masih dapat melakukan andung dengan menggunakan hata andung dengan
benar. Namun demikian bahasa yang digunakan dalam andung-andung juga berfungsi
sebagai tutur kata yang halus dan santun dalam pembicaraan sehari-hari atau adat.
Bila dilihat struktur bentuk teks dari nyanyian andung dapat digolongkan dalam
bentuk prosa yaitu rangkaian kata-kata yang disusun sedemikian rupa sehingga memiliki
73
suatu cerita atau persambungan makna dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang halus
dan memiliki makna-makna khusus. Teks dari nyanyian andung tidak terikat dari pola-pola
persajakan atau pola-pola pantun, tetapi merupakan paparan yang cukup lugas dan indah
karena bahasa yang konotatif (makna yang mengandung arti tambahan). Secara umum teks
dari nyanyian andung berupa kisah hidup orang yang meninggal dunia dinyanyikan
(diandungkan) dihadapan jasadnya.
Dalam andung (ratapan) ini hannya ada suara tangisan yang langsung keluar tanpa ada
musik yang mengiringi. Isi dari syairnya biasanya tentang kejadian yang menimpanya pada
saat kejadian berlangsung. Andung diungkapkan sebagai luapan perasaan:
Dukacita, kematian orang yang terkasih atau sanak saudara
Meratapi nasib yang malang
Perpisahan
Penggarapan teks dari andung dapat dikatakatan secara spontan, walaupun sebenarnya
berdasarkan pola-pola yang sudah ada dimasyarakat. Namun sipenyaji (sipangandung)
terkadang menggunakan bahasa yang berbeda, penuh gaya sastra misalnya:
Na lambok malilung : naburju roha=yang baik hati
Mangangguk bobar : menangis sejadi-jadinya
Amang parsinuan : Damang=Ayah kandung
Inang pangintubu : Dainang=Ibu kandung
Andung-andung umumnya mempunyai ritme yang sama dengan andung. Namun
berbeda dalam hal tujuannya. Didalam andung kata-katanya harus menggunakan “hata
andung”, sedangkan andung-andung tidak harus menggunakan bahasa andung dan tidak
selalu berhubungan dengan kematian. Andung-andung menggambarkan tentang perjalanan
hidup atau penderitaan seseorang. Selain itu andung-andung juga banyak berfungsi sebagai
74
pengisi waktu bersifat hiburan. Tidak ada batasan tertentu untuk orang yang akan menyajikan
andung, namun secara umum biasanya orang yang mangandung adalah keluarga atau kerabat
dari orang yang meninggal.
Sehubungan dengan adat yang terdapat dalam masyarakat batak toba, terdapat
kebiasaan menyanyikan lagu-lagu greja sebagai pengganti lagu ratapan (andung) dalam
konteks kematian dimana gerak tangan yang biasanya dilakukan pada waktu meratap, yaitu :
Mangalap tondi, diubah agar arah dan posisi tangan dibalikkan. Perubahan ini katanya
mempunyai makna bahwa kuasa, berkat, keuntungan dari syair lagu greja dimasukkan
kedalam tubuh orang yang mati itu untuk menambah rezeki yang positif. Perubahan ini juga
dapat dipahami sebagai suatu cara untuk membalikkan elemen-elemen dari tradisi meratap
batak toba yang dimasukkan memberikan kekuatan, kesembuhan dan keseimbangan kepada
komunitas yang berdukacita. Berbeda halnya dengan andung bahwa andung-andung amsih
hidup subur dan sangat kuat peranannya hingga sekarang ini. Bahkan andung-andung masih
senang mendengar lagu-lagu yang bernada andung-andung. Kekuatan andung-andung ialah
bahwa ia menyimpan sebuah semangat hidup dibalik isinya yang sering berisikan tentang
kesedihan dan penderitaan hidup.
Upacara saur matua merupakan warisan kebudayaan religi masyarakat batak sejak
masa megaltik pra-Kristen. Upacara ini diyakini telah beberapa kali mengalami transformasi
sejalan dengan perubahan yang terjadi pada kebutuhan dan problematika kehidupan dari
waktu ke waktu. Menurut hemat penulis, upacara saur matua hendaknya tetap dilestarikan
terkait dengan konsep “kematian ideal”. Namun hal itu menjadi sulit apabila masyarakat
batak kmmristen tidak merasakan pengalaman yang menyenangkan dan bermanfat dari
upacara tersebut. Upacara saur matua harusnya dilakukan dengan tidak membebani secara
berlebihan perekonomian anak-anaknya. Dilakukan dalam ungkapan syukur kepada Tuhan
atas berkat umur yang panjang, hingga saat ajal menjemputnya, masih sempat melihat seluruh
75
anak-anaknya telah berkelurga (bahkan telah memiliki cucu). Orang yang mati saur matua
adalah sebuah “kebanggaan tersendiri” dalam pencapaian keinginan terakhir hidup manusia
sebagai mahluk individu maupun sebagai mahluk sosial. Perlu ditumbuhkan sikap kritis,
peka, dan arif agar upacara saur matua terus mengalami transformasi menuju arah yang lebih
baik, agar dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat Batak (bahkan tidak hanya bagi
yang beragama Kristen).
Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan terhadap teks nyanyian andung,
penulis mendapat kesimpulan bahwa teks yang disajikan bersifat tidak baku. Maksudnya
adalah bahwa teks yang diungkapkan oleh penyaji nyanyian andung berbeda, karena dalam
menggarap teksnya penyaji selalu mengungkapkannya dengan bebas berdasarkan apa yang
dirasakan oleh sipenyaji. Selain mengungkapkan hal-hal yang berkisar mengenai rasa kecewa
dan haru oleh sipenyaji andung tersebut, juga terdapat ungkapan berupa pesan, Doa dan
harapan terhadap orang yang meninggal tersebut.
Mengenai fungsi sosial budaya nyanyian andung, penulis melakukan pengamatan
terhadap teks dan keadaan penyajiannya. Karena andung ini disajikan didepan khalayak
ramai/masyarakat maka pesan-pesan yang disampaikan secara otomatis juga didengar oleh
orang-orang yang datang. Hal ini dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan informal bagi
masyarakat pada umumnya, dan keluarga yang ditinggal pada khususnya. Dengan begitu
didapatlah fungsi sosial dari nyanyian andung, yaitu sebagai media pendidikan sosial dan
budaya yang didalamnya terdapat nilai dan norma kehidupan kehidupan dalam
bermasyarakat. Sedangkan fungi budayanya dapat dilihat dari masih disajikannya praktek
nyanyian andung ini pada kematian masyarakat batak toba. Dengan masih ditemukanya
penyajian tersebut, dapatlah dilihat bahwa masyarakat batak toba masih menjaga salah satu
kebudayaan dari suku masyarakat itu sendiri. Selain itu rasa ingin atau kemauan sepenyaji
untuk melakukanya lagi terhadap orang yang meningal tersebut juga termasuk menjadi salah
76
satu unsur membuat nyayian andung ini tetap ada. Apabila setiap generasi melakukan hal
yang sama kepada orang yang meningal tersebut maka dapat dipastikan bahwa praktek
penyajian nyayian ini akan terus dapat kita lihat. Dan hal ini menyangkut pada kelestarian
salah satu kebudayaan masyarakat batak toba. Sehingga ditemukan bahwa penyajian
nyanyian andung ini dapat berfungsi sebagai sarana untuk tetap menjaga kelestarian salah
satu kebudayaan masyarakat batak toba. Hal ini juga disebut dengan fungsi kesinambungan
kebudayaan.
5.2 Saran
Andung sebagai nyanyian ratapan tradisional masyarakat Toba, merupakan salah satu
unsur identitas masyarakatnya, begitu juga dengan dalam interkasi dalihan na tolu sangat
besar peluang yang diciptakan kearah konsensus. Seluruh potensi konflik dapat dieliminir
didalam musyawarah dalihan na tolu. Oleh karenya upaya-upaya pembangunan selayaknya
dapat mendayagunakan forum musyawarah dalihan na tolu semaksimal mungkin sehingga
seluruh potensi konflik yang mungkin timbul dapat diredusir agar jangan sampai merusak
nilai-nilai budaya yang terdapat didalamnya. Minat dan ketertarikan masyarakat batak toba
terhadap lagu andung-andung yang mulai berkurang kemungkinan disebabkan karena
didalam lagu andung-andung banyak terdapat penggunaan bahasa ungkapan yang
pengertiaannya merujuk kepada kepercayaan animisme yang tidak sesuai lagi dengan
kepercayaan kristiani. Sehubungan dengan hal diatas, penulis mengangap perlu adanya suatu
usaha untuk melestarikan dan mendokumentasikan lagu andung-andung. Usaha yang akan
dilakukan penulis akan meninjaunya melalui sebuah analisis sosiologi sastra terhadap
andung-andung, sehingga dengan kajian ini masyarakat mengetahui tentang andung-andung
itu.
77
Andung yang ada dalam tulisan ini hanyalah berdasarkan kelaziman yang terdapat
diwilayah budaya batak toba. Mengingat budaya masyarakat toba yang masih terbagi lagi
dalam beberapa wilayah budaya, untuk kesempurnaan suatu kajian tentang andung tersebut
kiranya perlu juga diadakan suatu penelitian di wilayah budaya Toba yang lain.
Sampai saat ini buku-buku yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi tentang
kesenian Toba, khususnya yang berhubungan dengan nyanyian rakyat sangat sulit atau
bahkan belum ada ditemukan, untuk ini kiranya kepada peneliti dan pengamat seni untuk
memperhatikannya.
Untuk dasar kajian perlu juga kiranya direncanakan membuat suatu dokumentasi seni
yang bersifat ilmiah tentang nyanyian tradisional masyarakat Toba. Dokumentasi tersebut
bisa dalam bentuk Vidio maupun Audio-visual sehingga orang yang akan mengadakan
penelitian kelapangan dapat membuat suatu gambaran awal berdasarkan dokumentasi yang
ada.
78
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Op Bronson Hutasoit
Umur : 56 Tahun
Alamat : Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta
Pekerjaan : Bertani
2. Nama : Ibu Masnida br Aritonang
Umur : 37 Tahun
Alamat : Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta
Pekerjaan : Berdagang
3. Nama : Op Jujur br Marbun
Umur : 60 tahun
Alamat : Desa Parulohan Kecamatan Lintong Nihuta
Pekerjaan : Bertani
4. Nama : Op Ropatina br Hutasoit
Umur : 53 Tahun
Alamat : Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta
Pekerjaan : Wiraswasta
79
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaya, James
1994 Folklor Indonesia
Jakarta PT Pustaka Utama Grafiti
Echols dan Shadily
1983 Kamus Inggris Indonesia
Jakarta Gramedia
Ensiklopedia Musik
1991 Jakarta: Adi pustaka
Handari dan Mimi Martini
1994 Penelitian Terapan
Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Keraf, Gorys
1991 Diksi dan Gaya Bahasa
Jakarta: PT Gramedia
Koentjaraningrat
1985 Pengantar Ilmu Anthropologi
Jakarta: Aksara Baru
80
1990 Metode-metode Penelitian Masyarakat
Jakarta: PT Gramedia
1991 Manusia dan Kebudayaan Indonesia
Jakarta: PT Gramedia
Malm, William P
1997 Music Cultures of The Pasifik, The Near East and Asia
Second edition: Englewood Cliffs
New Jersey, Rentice Hall, Inc
Merriam, Alan P
1964 The Antropoloogy of Music
Evastrol III, University Press
Netll, Bruno
1963 Theory and Method in Etnomusikology
New York: The Free Press a Division of Mac Milan Publishing Co, Inc
Poerwodarmita
1984 Kamus Umum Bahasa Indonesia
Jakarta: PT Gramedia
Sibarani, Robert
81
1999 Pemetaan Tradisi Lisan di Sumatera Utara
82
DAFTAR WEBITE
www.deepdownproductions.com/andung-t-2.html
www.andung batak toba.com
www.tobanet.com
www.toba.wordpress.com
www. Masyarakat batak toba.net
www.andung-andung batak toba.wordpress.com
83
ANDUNG BATAK TOBA
By Transkrip : Kiki Alpiansyah