nota pembelaan (pleidooi) pribadi atas nama … filesaya ingin memulai pembelaan atau pledoi saya...

26
Halaman 1 dari 26 NOTA PEMBELAAN (PLEIDOOI) PRIBADI ATAS NAMA TERDAKWA Ir. GALAILA KAREN KARDINAH alias KAREN AGUSTIAWAN Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst Majelis Hakim Yang Mulia, Jaksa Penuntut Umum yang terhormat, Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati, Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua. Pertama-pertama saya panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Illahi Rabbi yang telah memberikan nikmat sehat sehingga saya dapat menghadiri persidangan yang sangat penting dalam sisa-sisa kehidupan saya ke depan. Pada kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankannya, semoga ibadah kita di bulan suci Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT. Aamiin… Yang mulia Majelis Hakim, yang saya hormati Bapak-bapak Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, teman-teman dari Pertamina dan Exxon Mobil, serta rekan-rekan media, yang selalu setia mengikuti jalannya persidangan ini, khususnya kepada suami tercinta Prof. Dr. Herman Agustiawan, anak-anak saya Jemmy, Nadia, Dimas, Ruci, Dariel, cucu saya Katya beserta kakak-kakak saya, terima kasih atas atensi, empati dan waktu yang diluangkan, baik selama masa persidangan maupun saat saya menjalani kehidupan di rumah tahanan selama hampir sembilan bulan. Saya ingin memulai pembelaan atau Pledoi saya dengan menceritakan sedikit tentang karir saya di bidang Industri Migas. Setelah lulus dari ITB pada tahun 1983, saya memulai karir saya di sebuah perusahaan Amerika pada tahun 1984 di Mobil Oil Indonesia (MOI) sebagai Geophysicist. Pada tahun 1988-1991 saya

Upload: trinhdung

Post on 06-Jul-2019

287 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Halaman 1 dari 26

NOTA PEMBELAAN (PLEIDOOI) PRIBADI ATAS NAMA TERDAKWA

Ir. GALAILA KAREN KARDINAH alias KAREN AGUSTIAWAN Nomor: 15/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Assalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita

semua.

Pertama-pertama saya panjatkan Puji dan Syukur kehadirat Illahi Rabbi yang

telah memberikan nikmat sehat sehingga saya dapat menghadiri persidangan

yang sangat penting dalam sisa-sisa kehidupan saya ke depan. Pada

kesempatan ini ijinkan saya mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa

bagi yang menjalankannya, semoga ibadah kita di bulan suci Ramadhan ini

diterima oleh Allah SWT. Aamiin…

Yang mulia Majelis Hakim, yang saya hormati Bapak-bapak Jaksa Penuntut

Umum, Penasihat Hukum, teman-teman dari Pertamina dan Exxon Mobil, serta

rekan-rekan media, yang selalu setia mengikuti jalannya persidangan ini,

khususnya kepada suami tercinta Prof. Dr. Herman Agustiawan, anak-anak saya

Jemmy, Nadia, Dimas, Ruci, Dariel, cucu saya Katya beserta kakak-kakak saya,

terima kasih atas atensi, empati dan waktu yang diluangkan, baik selama masa

persidangan maupun saat saya menjalani kehidupan di rumah tahanan selama

hampir sembilan bulan.

Saya ingin memulai pembelaan atau Pledoi saya dengan menceritakan sedikit

tentang karir saya di bidang Industri Migas. Setelah lulus dari ITB pada tahun

1983, saya memulai karir saya di sebuah perusahaan Amerika pada tahun 1984

di Mobil Oil Indonesia (MOI) sebagai Geophysicist. Pada tahun 1988-1991 saya

Halaman 2 dari 26

mendapat tugas kerja (working assignment) ke Mobil Oil Dallas, sekaligus

mendampingi suami saya yang sedang tugas belajar Program Doctoral (S3) di

Dallas Texas, Amerika.

Saya bekerja di MOI selama 13 tahun hingga 1997, namun saya terus berkarir di

berbagai perusahaan migas swasta asing (Landmark, Halliburton dll). Kemudian

pada tahun 2004 saya memilih untuk menjalankan usaha sendiri dengan harapan

memiliki banyak waktu luang untuk anak-anak dan keluarga saya. Keputusan ini

saya buat, karena saya yakin bahwa menjadi seorang ibu dari anak-anak saya

merupakan pekerjaan yang mulia, sedangkan karir di dunia Migas hanya

merupakan pekerjaan sampingan yang saya lakukan untuk menunjang keluarga.

Dengan keyakinan tersebut, tak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya

untuk menjadi Pejabat Negara atau Direktur Utama PT Pertamina (Persero) yang

merupakan BUMN terbesar di Indonesia.

Ternyata Allah SWT berkehendak lain, pada bulan Desember 2006 saya diminta

untuk menjadi Staf Ahli Bidang Hulu Direktur Utama PT Pertamina (Persero)

yang pada saat itu dijabat oleh Bapak Arie Soemarno. Setelah menjadi Staf Ahli

sekitar setahun, saya diminta mengikuti Fit & Proper Test untuk posisi Direktur

Hulu PT Pertamina (Persero) dan dinyatakan lulus, dan saya dilantik pada

tanggal 5 Maret 2008. Belum genap setahun, kemudian saya diminta untuk

mengikuti proses seleksi yang sama untuk jabatan Dirut PT Pertamina (Persero).

Saya pun lulus dari seleksi tersebut dan dilantik menjadi Dirut PT Pertamina

(Persero) pada tanggal 5 Februari 2009.

Mungkin banyak yang tidak percaya bahwa pada awalnya saya menolak jabatan

Dirut PT Pertamina tersebut, karena saya masih berkeyakinan bahwa pekerjaan

utama saya adalah menjadi seorang ibu dan isteri. Saya sadar jika saya menjadi

Dirut dari BUMN terbesar di Indonesia tersebut, waktu saya sebagai ibu dan isteri

akan menjadi sangat terbatas.

Halaman 3 dari 26

Kendati demikian, saya memutuskan untuk menerima jabatan tersebut dengan

pertimbangan bahwa saya ingin memajukan BUMN ini dan membawanya Go

international. Harapannya, jika Pertamina maju, maka hasilnya pun dapat

dinikmati oleh generasi saat itu dan generasi di masa-masa berikutnya, termasuk

generasi anak-anak dan cucu-cucu saya. Keinginan tersebut akhirnya saya

gunakan sebagai dasar strategi saya dalam memimpin Pertamina yaitu:

“Aggressive Upstream and Profitable Downstream.”

Pertamina berupaya untuk melakukan ekspansi bisnis hulu dan menjadikan

bisnis sektor hilir migas menjadi efisien dan menguntungkan. Untuk mencapai

perusahaan yang berkarakter aggressive upstream and profitable downstream

perlu dibangun tata kelola perusahaan yang sesuai dengan standar Global best

practice, serta dengan mengusung tata nilai korporat yang telah dimiliki dan

dipahami oleh seluruh unsur perusahaan (Board of Director, Board of

Commisioner, dan seluruh pegawai Pertamina), yaitu Clean, Competitive,

Confident, Customer Focus, Commercial and Capable.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Yang dimaksud dengan Aggressive Upstream adalah Pertamina harus berani

mengambil peluang investasi di sektor hulu migas, baik di dalam maupun di luar

negeri, guna menjamin kelancaran pasokan migas nasional untuk jangka

panjang. Sedangkan Profitable Downstream adalah Pertamina harus mencari

laba yang sebesar-besarnya dari seluruh kegiatan bisnis hilir, agar Pertamina

dapat menjalankan strateginya, termasuk strategi aggressive upstream tersebut.

Strategi di atas adalah bahwa bisnis hilir dijadikan sebagai penunjang bisnis hulu

Pertamina. Hal ini karena bisnis hulu migas merupakan bisnis yang penuh

dengan “ketidakpastian” (uncertainty). Artinya, sampai saat ini masih belum ada

Halaman 4 dari 26

satu jenis teknologi pun yang secara pasti dapat menjamin keberadaan

cadangan migas di bawah permukaan tanah atau di dasar laut.

Perkenankan saya memberikan sedikit pemahaman, bahwa bisnis hulu migas

sejatinya adalah mencari potensi migas yang dapat dikembangkan dan

diproduksi dengan mengambil risiko yang tinggi. Hal ini karena tidak ada jaminan

bahwa suatu blok migas pasti akan menghasilkan. Ibarat sebuah perumpamaan:

Pebisnis di bidang hulu migas adalah “Petani” dan bukan “Pedagang”.

Sebagaimana Yang Mulia ketahui, meskipun seorang Petani telah menanam

benih terbaik dengan menggunakan pupuk yang paling mutakhir sekalipun,

namun tidak ada jaminan bahwa Petani tersebut akan memanen hasilnya

dengan baik. Berdasarkan kenyataan tersebut, seorang Petani memiliki dua

pilihan:

1. Melakukan investasi dengan membeli benih dan pupuk dengan harapan

akan berhasil panen dan siap menanggung risiko apabila gagal panen; atau

2. Tidak melakukan apa-apa, alias pasrah, sehingga Petani tersebut tidak akan

mendapatkan apa-apa.

Berdasarkan penjelasan di atas, pendekatan untung-rugi dalam dunia hulu

migas, sebagaimana telah dipertontonkan berkali-kali dalam persidangan ini oleh

para Saksi dan Ahli, adalah merupakan sesuatu yang sangat “ganjil” bagi para

praktisi dan pebisnis hulu migas. Dalam seluruh kegiatan eksplorasi, perusahaan

migas tidak mengenal istilah Kerugian. Dalam pembukuan, seluruh biaya

eksplorasi diklasifikasikan sebagai expenses (biaya/pengeluaran), tidak

diklasifikasikan sebagai loss (kerugian). Jika bisnis hulu migas harus selalu

meraih keuntungan, dan jika tidak untung lantas dikatakan sebagai kerugian,

maka perusahaan yang berbisnis di hulu migas akan memilih untuk tidak

melakukan apa-apa. Jika hal ini terjadi, maka pada akhirnya Indonesia akan

semakin tergantung terhadap negara asing dalam pemenuhan kebutuhan migas

bangsanya.

Halaman 5 dari 26

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Walaupun bisnis hulu migas adalah bisnis yang penuh dengan uncertainty,

namun “keyakinan” bertambah jika telah mendapat sertifikasi oleh lembaga

independen terkait kandungan migas di bawah permukaan tanah melalui

pendekatan Sosciety of Petroleum Engineers – Petroleum Resources

Management System (SPE – PRMS). Di dunia ini hanya ada beberapa lembaga

independen yang diberi lisensi untuk mensertifikasi cadangan di dunia, antara

lain: RISC, Gaffney and Cline, Ryder Scott, D and M dan Beicip. Namun

demikian, seperti telah disebutkan di atas, sertifikasi itupun bukan merupakan

suatu jaminan 100% keberadaan migas di bawah permukaan tanah atau di dasar

laut.

Setiap blok migas diawali dari blok eksplorasi. Kesimpulan sementara apakah

suatu blok migas mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut (dikenal

sebagai temuan atau discovery) dilakukan setelah dilakukan survei seismik dan

pemboran “wildcat”, dan analisa Geologi, Geofisika & Reservoir (GGR) sebagai

best engineering practice

Aset hulu migas yang paling ideal untuk Pertamina adalah aset yang memiliki

tiga kriteria fase pengembangan, yaitu: (i) Sudah berproduksi, (ii) Ada temuan

atau discovery dan (iii) Ada upside potential atau eksplorasi. Aspek lainnya yang

perlu dipertimbangkan adalah aspek kebijakan fiskal, kemudahan berbisnis,

kepastian hukum dan kestabilan politik dari negara setempat. Blok BMG telah

memenuhi kriteria untuk tiga fase pengembangan migas tersedut karena alasan-

alasan berikut:

1. Blok Basker sudah memproduksi minyak

2. Blok Manta dan Gummy sudah ada “temuan” atau discovery, dan

3. Terdapat upside potential “eksplorasi” di Chimaera.

Halaman 6 dari 26

Selain itu, BMG terletak di Gippsland yang menyumbang produksi Migas sebesar

40% dari total produksi Australia. Sehingga wajar apabila selain Pertamina,

beberapa perusahaan migas besar dunia lainnya seperti Exxon, BHP, Santos,

Emperor, Apache, BP, Esso, Bass Strait Oil Company dan yang terakhir Cooper

juga tertarik pada Gippsland. Di samping itu, Australia juga merupakan negara

yang memenuhi kriteria/aspek lainnya yang juga dijadikan pertimbangan seperti

kondisi finansial, kepastian hukum, dsb.

Untuk meminimalisasi risiko dalam mengakusisi blok hulu migas, umumnya

suatu perusahaan akan masuk sebagai minoritas dan bukan sebagai operator

(non-operator) terlebih dahulu. Hal ini guna mempelajari medan operasi sambil

menjalin hubungan baik dengan stakeholders setempat. Setelah merasa

“nyaman” dengan pengoperasian aset tersebut, kemudian dilakukan ekspansi

dengan menambah persentase Participating Interest (PI) dari co-ventures yang

lain, sehingga bisa menjadi majority dan akhirnya menjadi operator. Ini adalah

best industry standard yang dilakukan oleh perusahaan migas pada umumnya.

Namun, meskipun menjadi minority, hak dari minority tetap dilindungi dalam

Joint Operating Agreement (JOA), yaitu dengan adanya fasilitas Sole Risk.

Dalam BMG, setelah diputuskannya Fase Pemberhentian Operasi (Non-

Production Phase: NPP) oleh pihak majority, Pertamina sebagai minoritas

sebenarnya masih bisa melakukan sole risk, yaitu secara individu melakukan

pengembangan blok lainnya di Blok Manta dan Gummy maupun di Chimaera.

Namun hal tersebut tidak diusulkan oleh Manajemen PT Pertamina Hulu Energi

(PHE) selaku pemegang PI kepada Operator/Anzon. Meskipun saya tidak

BOLEH menyalahkan kebijakan PHE tersebut, saya tetap menyayangkannya

karena saat ini Manta gas field dan Sole gas field akan menjadi pemasok gas

utama di daratan East dan South East Australia. Dan apabila pada waktu itu

dilakukan sole risk oleh PHE, mungkin saat ini saya tidak akan berada di sini

membacakan Pledoi ini.

Halaman 7 dari 26

“Saya hanya ingin mengingatkan para hadirin yang hadir hari ini di sini dan

siapapun yang kebetulan membaca Pledoi saya, bahwa nanti pada saat Manta

dan Chimaera mulai berproduksi dan dipublikasikan, mohon diingat bahwa pada

hari ini tanggal 29 Mei 2019, ada “seseorang” yang telah berupaya keras untuk

mengibarkan SANG SAKA MERAH PUTIH di Gippsland, namun tak berdaya

karena dinyatakan bersalah oleh Jaksa Penuntut Umum. Orang tersebut sangat

berharap, nanti pada saat sudah berproduksi ada seberkas keadilan bagi dirinya

dengan diberi kesempatan untuk membuka kembali kasus ini.”

Faktanya, kini Akuisisi PI di Blok BMG malah dituduh merugikan keuangan

negara. Saya dituduh melakukan tindak pidana korupsi, dan bahkan Tim saya

telah di-vonis dengan hukuman yang sangat tidak masuk akal dan tidak sesuai

dengan fakta-fakta persidangan. Padahal akuisisi ini semata-mata dilakukan

dalam rangka ekspansi guna mengembangkan perusahaan menjadi lebih besar,

agar dikenal sebagai perusahaan yang mumpuni secara internasional. Akuisisi

ini tidak dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri atau pihak/perusahaan lain,

mengingat Karen Agustiawan sebagai profesional tidak pernah kenal, apalagi

bersepakat dengan para pihak pemilik BMG. Selain itu, pembelian PI atau

akuisisi adalah sesuatu hal yang biasa dalam dunia bisnis hulu migas.

“Saya yakin semua hadirin dan semua pihak, termasuk bapak-bapak JPU jika

jujur terhadap hati nuraninya, akan sependapat bahwa sungguh tidak masuk akal

jika saya sengaja melanggar ketentuan untuk menguntungkan pihak/korporasi

lain, dan merugikan perusahaan yang selama ini saya telah bekerja keras

menumbuh-kembangkannya menggunakan segala kemampuan dan

pengalaman yang saya miliki, sekalipun harus berkorban meninggalkan keluarga

sendiri.”

Majelis Hakim yang saya muliakan,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Halaman 8 dari 26

Setelah pulang dari Sidang Penuntutan dari JPU pada hari Jumat, 24 Mei 2019,

saya banyak merenung dan bertanya pada diri sendiri “Ada apa dengan BMG

ini?” Mengapa saya bertanya demikian, karena (misalnya) di dalam tuntutan

masih dipermasalahkan Evita Tagor seolah-olah telah bersaksi bahwa Akuisisi

PI Blok BMG harus mengacu kepada Tata Kerja Organisasi (TKO) dan Tata Kerja

Individu (TKI), padahal tidak! Perkenankan Yang Mulia saya memutar kembali

rekaman persidangan terkait hal tersebut ………. (Perdengarkan rekaman!)

Yang Mulia, ini hanyalah sebuah contoh rekaman yang saya miliki, dan masih

banyak lagi. Pada dasarnya, seluruh tuntutan JPU pun sudah terpatahkan sesuai

dengan fakta persidangan, dan KAMI MEMILIKI SEMUA REKAMANNYA, MULAI

DARI AWAL SAMPAI AKHIR PERSIDANGAN. Tidak bisa dan tidak boleh fakta

persidangan diambil sepenggal-penggal sehingga menjadi tidak utuh atau tidak

lengkap. Jika fakta persidangan dipenggal-penggal, maka bukan lagi fakta tapi

lebih cocok disebut HOAX. Agar keadilan dapat ditegakan seadil-adilnya, ijinkan

saya untuk membagikan seluruh rekaman persidangan ke media lokal maupun

asing. Menurut hemat saya, pelanggaran terhadap fakta persidangan bukan

hanya akan “membunuh karakter” (Character Assassination) bagi setiap pencari

keadilan di persidangan, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran

terhadap Hak Azazi Manusia.

“Berbagai kejanggalan tersebut telah membuat saya berpikir dan bertanya-tanya,

siapa sebetulnya sponsor utama “Kasus BMG” ini? Dan apa motifnya? Politik

atau Uang atau kedua-duanya? Atau hanya dendam pribadi karena urusan

saudara yang tidak dipenuhi permintaannya?” Mudah-mudahan para hadirin,

utamanya para awak media yang hadir di sini, paham siapa tokoh-tokoh yang

dimaksud.”

Halaman 9 dari 26

Mengacu kepada tuntutan Bapak-bapak JPU yang terhormat, ada beberapa hal

yang menyebabkan saya berada di sini sekarang, yaitu:

1. Keputusan BUMN terkait Good Corporate Governance

Pertanyaan saya kepada JPU: Siapa yang dianggap lebih Good Corporate

Governance (GCG), yang tunduk kepada Board Manual atau yang sama

sekali tidak pernah membaca Board Manual? Dan apakah Bapak-bapak

JPU tahu bahwa GCG Direksi tahun 2009 justru mendapatkan nilai lebih

tinggi ketimbang Komisaris. Penilaian inipun dilakukan oleh Pihak

Independen.

2. Risalah Rapat Direksi (RRD) Pertanyaan saya, apakah JPU mengetahui bahwa PT Pertamina (Persero)

saat itu sedang mencoba melakukan upaya go international, karena sudah

tertinggal jauh oleh muridnya sendiri, yaitu Petronas. Kalau tidak tahu,

lantas mengapa tidak mencari tahu agar “kebenaran” bisa terungkap secara

objektif? Sudah barang tentu, sebagai perusahaan yang mau go

international harus menghormati segala perjanjian internasional.

Apakah masih kurang jelas yang telah disampaikan oleh Prof. Nur Basuki

Minarno dalam kesaksiannya sebagai Ahli, bahwa “karena business nature

Pertamina, maka Direksi sesuai dengan Anggaran Dasar (AD) pasal 12

ayat 2 diberi keleluasaan, bahwa tidak semua keputusan dilakukan dalam

Rapat Direksi sehingga tidak perlu ada dalam RRD.” Hal ini pun sesuai

dengan UU PT pasal 92 ayat 2, bahwa Direksi dapat melakukan tindakan

yang dianggap tepat dalam menjalankan perseroannya. Lantas kenapa

sekarang Business Judgement Rule Direksi dapat di-challenge atau

ditantang oleh JPU? Di mana letak kebebasan Direksi dalam hal bertindak

yang dianggap “tepat” tersebut?

Halaman 10 dari 26

3. Tidak Ada Persetujuan Komisaris

Yang Mulia, mungkin masih segar dalam ingatan kita. Dalam persidangan,

kedua saksi Umar Said dan Humayun Bosha menyampaikan bahwa

persetujuannya hanya untuk Pelatihan SDM Pertamina dalam mengikuti

bidding internasional dan tidak untuk menang. Pernyataan ini diakui oleh

Umar Said dalam BAP-nya tanggal 30 Mei 2017 No 6, dan BUKAN saya!

Adalah tragis jika “kualifikasi” Komisaris BUMN terbesar di Indonesia

dengan mudah bisa memutarbalikan fakta dan diterima oleh JPU. Kedua

komisaris di atas berpikiran bahwa sebuah Perusahan Minyak Nasional

(National Oil Company) seperti Pertamina BOLEH ikut tender akuisisi blok

hulu migas di Luar Negeri hanya untuk main-main. Dengan kata lain,

Pertamina diibaratkan sebagai perusahaan pendamping dalam tender

untuk pengadaan barang dan jasa yang umum terjadi di negeri kita.

Memorandum tanggal 30 April 2009 dari Komisaris sangat jelas bahwa

persetujuan tersebut dalam rangka membalas memorandum Direksi No.

517/C00000/2009-S0 tanggal 22 April 2009. Janganlah beralibi bahwa

bidding bukan untuk akuisisi, karena kesaksian para Ahli, yakni: Bapak

Hilmi Panigoro dan Hadi Ismoyo juga menekankan tidak ada akusisi yang

hanya sampai bidding. Dalam memorandum Dirut tanggal 22 April 2009 No.

517/C00000/2009-S0 tersebut pun jelas dalam paragraf pertama yaitu

untuk akuisisi PI Blok BMG. Lantas siapa yang salah jika Komisaris tidak

teliti membaca surat Dirut? Dalam Lampiran memorandum tanggal 22 April

2009 ada Surat dari Citi yang menyampaikan bahwa “Binding Offers for

Acquisition of a Participating Interest in BMG”. Artinya, bidding ini bersifat

mengikat (Binding).

Yang Mulia Majelis Hakim,

Mengapa Komisaris yang “lalai” membaca justru tidak duduk di sini

menggantikan saya? Apakah ini yang selama ini dikenal dengan istilah

“target operasi atau tebang pilih?” Karena kasus ini terkesan sudah

MENARGETKAN orang-orang tertentu sesuai dengan PESANAN. Saya

Halaman 11 dari 26

yakin di dalam hati nurani para peserta persidangan ini, sudah tahu atas

pesanan atau perintah siapa yang dimaksud. Memorandum persetujuan

Komisaris tanggal 30 April 2009 adalah persetujuan “TUNGGAL” yang

dibutuhkan untuk akuisisi. Artinya, persetujuan cukup SATU kali, dan bukan

hanya sampai penandatanganan Sales Purchase Agreement (SPA) saja,

tetapi juga sampai dengan pembentukan anak perusahaan sebagai

pengelola, sesuai dengan AD pasal 11. c.

4. Melanggar TKO dan TKI Investasi Beberapa kali dalam persidangan saksi-saksi telah menyampaikan bahwa

Tata Kerja Organisasi (TKO) dan Tata Kerja Individu (TKI) adalah pedoman

untuk menyusun RKAP dan RJPP yang sifatnya rutin (routine). Perlu

dipahami bahwa akuisisi yang disebut dalam TKO dan TKI bukan untuk

Akuisisi Migas yang merupakan investasi non-routine, karena pedoman

Akuisisi Migas baru ada pada tahun 2011. Yang menjadi Pedoman untuk

Akuisisi Migas sebelum tahun 2011 adalah: (i) SK 230 yang ditandatangani

oleh Direktur Hulu Sukusen Samarinda pada bulan Desember 2007, (ii) SK

10 yang ditandatangani oleh seluruh Direksi pada bulan Januari 2009 dan

(iii) Best Industry Standard. Yang diambil dari TKO dan TKI sesuai dengan

kesaksian Direksi dalam persidangan ini adalah hanya “Parameter

Investasi” saja. Dan parameter inipun sudah digunakan dalam perhitungan

analisa investasi Blok BMG.

5. Merugikan Keuangan Negara Beberapa Ahli, baik Dr. Dian Puji Simatupang maupun Irmansyah MAcc.,

CA, CPA, AAP telah memberikan kesaksiannya secara jelas apa itu arti dari

KEUANGAN NEGARA. Keuangan Pertamina adalah keuangan negara

yang DIPISAHKAN. Artinya, bukan APBN tapi sudah menjadi keuangan

milik PERSEROAN. Mungkin yang hadir di sini banyak yang tidak tahu,

bahwa pemerintah RI TIDAK PERNAH memberikan MODAL AWAL ke

Pertamina. Modal awal yang diakui oleh Pemerintah RI adalah justru NILAI

ASET Pertamina sendiri yang dibukukan di tahun 2003 sebesar Rp 84,5

Halaman 12 dari 26

Triliun. Saya yakin Kantor Akuntan Publik Drs. Soewarno di Ciputat pun,

karena keterbatasan pengetahuannya, tidak mengetahui hal tersebut.

Yang mulia Majelis Hakim, kalau tidak ada Modal Awal dan Penambahan

Modal dari pemerintah yang dialokasikan dalam APBN setiap tahunnya,

lantas dimana letak dakwaan “merugikan keuangan negara?” Sungguh

aneh bukan! Pertamina yang tumbuh dan berkembang tanpa modal dari

Pemerintah, hanya dengan modal awal berupa aset yang dimiliki, tapi tiba-

tiba dituduh “MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA?” Dengan kata lain,

pemerintah yang tidak pernah mengucurkan modal usaha setiap tahunnya

melalui APBN, tapi mendapatkan banyak manfaat seperti dividen, pajak,

CSR dan lain-lain.

6. Memperkaya Roc Oil Company Ltd. Yang mulia, masih ada dalam catatan saya ketika mengajukan permohonan

Eksepsi tanggal 7 Februari 2019. Salah satu eksepsi tersebut adalah Roc

Oil Company (ROC) Ltd. yang telah dianggap menerima keuntungan oleh

JPU tidak pernah diperiksa secara pro justisia. Adapun bantahan JPU pada

tanggal 14 Februari 2019 yaitu; “Status perkara masih dalam proses

pemeriksaan untuk menentukan pihak-pihak lain yang akan diminta

pertanggungjawaban.”

Jelas bahwa dalam bantahannya JPU secara tidak langsung telah

MENGAKUI bahwa dakwaannya tidak cermat, karena kurangnya para

pihak atau tidak lengkap untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan. Faktanya,

setelah semua Saksi dan Ahli dari JPU dihadirkan ke persidangan, pihak

atau korporasi yang dianggap telah diuntungkan tersebut TIDAK PERNAH

DIPERIKSA, terlebih DIHADIRKAN ke persidangan. Pertanyaannya,

bagaimana menghitung kerugian keuangan negara kalau tidak pernah

dibuktikan secara PASTI dan NYATA berapa kerugiannya dan siapa yang

telah diuntungkan? Di samping itu, seandainya pihak yang diuntungkan

tersebut (ROC Ltd.) benar adanya (padahal tidak), apakah keuntungannya

Halaman 13 dari 26

tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum? Hukumnya siapa? Untuk

menjawab pertanyaan tersebut tentunya JPU harus memeriksa dan

menghadirkan ROC Ltd. sehingga bukan hanya menjadi lebih fair tapi juga

menjadi terang-benderang siapa yang dirugikan, berapa dan siapa yang

diuntungkan? Dengan tidak diperiksanya pihak yang dituduh telah

diuntungkan tersebut maka dakwaan dan tuntutan JPU TIDAK TERBUKTI

di persidangan.

Keenam poin di atas, bahkan seluruh proses akuisisi PI Blok BMG termasuk

“penyusutan nilai dalam pembukuan” (impairment) yang dilakukan oleh PHE,

kepada Direksi sudah diberikan “Pelunasan dan Pembebasan Tanggungjawab”

(Release and Discharge) dari Pemegang Saham pada Rapat Umum Pemegang

Saham (RUPS) Tahun Buku 2009. Sehingga, seluruh tuntutan dari JPU terkait

Due Dilligence, Flare Gas, Floating Production Storage and Offloading (FPSO)

dan sebagainya, yang saya tidak bisa sebutkan semuanya di sini, sudah

mendapatkan Release and Discharge dari Pemegang Saham.

Lantas, jika JPU masih mempersalahkan Direksi, apakah ini berarti bahwa

Penegak Hukum memiliki “kompetensi” dana tau “kekuasaan” yang lebih tinggi

dari RUPS atau Pemegang Saham? Jika memang demikian, maka yang perlu

duduk di sini adalah Pemegang Saham Pertamina dan bukan Direksi. Saya

hanya ingin mengingatkan kembali pernyataan Prof. Nur Basuki Minarno, bahwa

pada saat Direksi sudah mendapatkan Release and Discharge, maka

tanggungjawab Direksi sudah berpindah ke Pemegang Saham, dan itu sudah

diserahkan oleh Direksi ke Pemegang Saham tertanggal 31 Des 2010. Alangkah

menjadi sangat lucu apabila sidang ini menghadirkan kedua institusi pemerintah

yang sedang berperkara.

“Saya memohon kepada yang mulia Majelis Hakim untuk dapat melihat realita

yang terjadi di Blok BMG Australia dan bertanya: Di mana letak korupsinya? Di

mana letak pelanggaran hukumnya? Di mana letak penyalahgunaan

wewenangnya? Siapa yang telah merugikan keuangan negara? Dan yang paling

penting, di mana dan mohon dibuktikan letak niat jahat atau mens rea saya?”

Halaman 14 dari 26

Selama hampir SEMBILAN bulan saya ditahan dan mendiskusikan masalah ini

dengan berbagai pihak dari seluruh kalangan masyarakat di dalam maupun luar

negeri, baik itu para praktisi dan aparat di bidang Hukum, Politik, Keuangan,

Pegiat Korporasi, Akademisi, dan berbagai profesi bidang keahlian lainnya.

SAYA BELUM PERNAH MENDENGAR ATAU MENEMUKAN ADA YANG

BERPENDAPAT BAHWA SAYA PATUT DIHUKUM. Justru sebaliknya, yaitu

pemerintah Indonesia seharusnya memberikan PENGHARGAAN (Reward)

kepada saya. Banyak yang mengatakan bahwa kasus ini sebenarnya telah

“DIREKAYASA” untuk MENGHUKUM saya, entah karena alasan apa. Hal yang

sama juga diungkapkan oleh teman-teman media, rekan-rekan lainnya yang

hadir dalam persidangan saya hari ini.

Kendati demikian, perih hati saya selama persidangan ini karena satu-satunya

pihak yang TELAH MENUDUH SAYA TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA

KORUPSI, adalah justru yang dapat MENENTUKAN NASIB SAYA.

Namun demikian yang mulia Majelis Hakim,

“Saya masih yakin dan percaya serta berbesar hati bahwa ini BUKAN merupakan

suatu “persengkongkolan” antar instansi, sebagaimana yang telah dicurigai oleh

publik dan media massa selama ini.”

Yang Mulia, perlu saya sampaikan di sini bahwa Pertamina setelah menjadi

Persero di tahun 2003 TELAH dan HARUS tunduk kepada UU PT dan AD PT

Pertamina (Persero). Di tahun 2006, Pertamina memulai perjalanannya menjadi

suatu Korporasi yang seutuhnya dengan program “Transformasi”. Guna

menunjang program tersebut, pada tahun 2008 telah diterbitkan Board Manual sebagai penjabaran dari Pedoman Tata Kelola Perusahaan (Code of Corporate

Governance) yang mengacu kepada Anggaran Dasar Pertamina. Board Manual

merupakan naskah kesepakatan antara Direksi dan Komisaris yang bertujuan:

1. Menjadi rujukan/pedoman tentang tugas pokok dan fungsi kerja masing-

masing organ;

Halaman 15 dari 26

2. Meningkatkan kualitas dan efektivitas hubungan kerja antar organ; dan

3. Menerapkan azas-azas GCG yakni, transparansi, akuntabilitas,

responsibilitas, independensi dan fairness (kewajaran).

Tentunya dengan Board Manual diharapkan adanya hubungan yang harmonis

antara Direksi dan Komisaris, sehingga Visi dan Misi perusahaan yang telah

ditetapkan dapat tercapai. Namun ini semua tidak akan tercapai apabila salah

satu organ TIDAK TUNDUK, atau bahkan TIDAK MENGETAHUI adanya Board

Manual sebagaimana diakui oleh Anggota Komisaris yang dijadikan Saksi Kunci

oleh JPU dalam membuat dakwaan dan tuntutannya. Di samping itu,

penggiringan opini bahwa Direksi harus me-review due dilligence dan Sale Purchase Agreement (SPA) menjadi sesuatu yang MENGGELITIK dalam

persidangan ini. Karena terkait investasi hanya ada dua pasal dalam Board

Manual yang mengatur tugas Direksi terkait hal tersebut yaitu:

1. Secara kolektif kolegial menetapkan persetujuan proyek investasi sesuai

kewenangan Direksi, memantau dan melakukan koreksi terhadap

pelaksanaannya. Dalam persidangan tanggal 25 April 2019 secara aklamasi

Direksi menyetujui Investasi PI BMG dalam rapat 17 April 2009 (referensi:

Board Manual, Pasal 3.1.7).

2. Direktur Hulu memberikan Prioritas peluang investasi serta menetapkan

Anggaran Pembelanjaan kapital dan Operasi Kegiatan Usaha sesuai

persetujuan Direksi (referensi: Board Manual, Pasal 3.2.3.7). Hal ini yang

menjadikan dasar Direktur Hulu dapat menyampaikan bid atau penawaran

tertanggal 1 dan 11 Mei 2009, sesuai dengan otoritas expenditure yang

mencapai USD 100 juta, pertumbuhan anorganik (non-routine) sudah

disetujui dalam RKAP 2009 yang juga sudah disetujui oleh Pemegang

Saham, dan persetujuan Komisaris tanggal 30 April 2009. Bahkan perintah

pembayaran oleh Direktur Hulu pun mengacu kepada Dokumen SPA

tertanggal 27 Mei 2009. Artinya, bukan atas “MAU-MAUNYA” sendiri Direktur

Hulu yang pada saat itu saya rangkap.

Halaman 16 dari 26

Terlebih lagi Saksi Dr. Waluyo sebagai Mantan Direktur SDM dalam persidangan

yang sama telah menegaskan bahwa system Completed Staff Work (CSW) telah

dijalankan sejak tahun 2008. CSW berarti bahwa Wewenang dan Tanggung Jawab Dibagi Habis Ke Semua Staf dalam Organisasi PT Pertamina (Persero).

Adapun tujuan dibuatnya Board Manual 2008 adalah agar PT Pertamina

(Persero) dapat dinilai oleh Pihak Independen terkait penerapan GCG dalam

perusahaan. Penilaian tersebut merupakan bagian yang vital dari laporan

Tahunan kepada Pemegang Salam dalam RUPS.

Mungkin Yang Mulia dan para hadirin masih ingat bagaimana citra PT Pertamina

di masa lampau, yang ditengarai sebagai sarang para PENYAMUN. Untuk

mengubah citra buruk tersebut, saya perlu melakukan TEROBOSAN agar dunia

internasional melihat perubahan tata kelola di pertamina yang akhirnya dapat

membuka PELUANG BISNIS BARU.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Komisaris Utama (yang juga Mantan Panglima) dan Direktur Utama pada saat itu

paham betul bahwa GCG ini dipantau oleh Pemegang Saham. Sehingga tidak

heran bila terdapat sebuah pasal dalam Board Manual yakni Pasal 4.2 terkait

“PERTEMUAN INFORMAL” yang sifatnya TIDAK MENGIKAT, dan TIDAK

DAPAT DIJADIKAN DASAR PENGAMBILAN KEPUTUSAN.

Tujuan utamanya adalah apabila Direksi diintervensi oleh anggota Komisaris

secara lisan atau tidak tertulis, maka sekali lagi bahwa hal tersebut adalah tidak mengikat dan tidak dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan.

Sehingga, jika dikatakan oleh saksi Umar Said di persidangan bahwa pertemuan

informal tersebut telah “MENJIWAI” persetujuannya, maka pendapat atau

Halaman 17 dari 26

pernyataan ini sungguh amat Tidak Berdasar, Ngawur dan Terkesan Tidak

Paham Makna dan Tujuan dibuatnya Board Manual.

Kemudian pertanyaannya, “Apabila kepada Yang Mulia dihadapkan dua pilihan:

mempercayai keterangan yang melanggar Board Manual atau mempercayai

keterangan yang tunduk terhadap Board Manual, keterangan manakah Yang

Mulia akan pilih?” Mungkin bagi orang yang tidak memiliki “agenda” lain,

pertanyaan tersebut akan sangat mudah untuk dijawab. Saya amat sangat

berharap bahwa Yang Mulia Majelis Hakim pun tidak mengalami kesulitan untuk

menjawab pertanyaan tersebut.

Yang mulia Majelis Hakim, selanjutnya ijinkan saya menyampaikan apa yang

menjadi catatan saya selama persidangan, sebagai berikut:

1. Seluruh Direksi secara aklamasi MENYETUJUI investasi PI di Blok BMG

Australia dalam Rapat 17 April 2009, sebagaimana fakta persidangan

tanggal 25 April 2019;

2. Persetujuan Komisaris adalah TUNGGAL dan FINAL sejak 30 April 2009

sampai dengan pembentukan Anak Perusahaan, termasuk penandatangan

SPA dan diakui oleh Direksi serta Tim Legal Pertamina, sesuai fakta

persidangan tanggal 25 April 2019;

3. Seluruh temuan Due Dilligence tanggal 17 April 2009 telah dimitigasi dan

diindemnifikasi dalam SPA dan JOA, kecuali ketidakpastian (uncertainty)

dalam bisnis hulu Migas dan cuaca (yang merupakan alasan terjadinya NPP)

oleh tim Legal Pertamina. Hal ini diungkapkan oleh seluruh Saksi Bagian

Legal PT Pertamina (Persero) pada persidangan (fakta persidangan) tanggal

25 April 2019; Sekali lagi saya tekankan di sini bahwa terjadinya NPP tidak ada hubungannya dengan temuan Deloitte, Baker McKenzie dan atau Persetujuan Komisaris.

4. Tuduhan Harga Akuisisi Kemahalan adalah TIDAK BENAR dan TIDAK

BERDASAR. Hal ini terbukti dari tiga Lembaga Independen Internasional

yang menyatakan harga Pertamina lebih rendah, yaitu: JP Morgan Asia

Halaman 18 dari 26

Pacific Equity Research (30%), UBS Investment Research (25%), Macquarie

Research Equities harga Pertamina harga wajar pasar;

5. Dinamika dengan Komisaris timbul karena Komisaris Tidak Tunduk kepada

Board Manual dan Tidak Mematuhi prinsip-prinsip GCG. Inipun sudah diakui

oleh saksi Humayun Bosha bahwa belum pernah membaca Board Manual

sampai kasus PI BMG ini diajukan ke persidangan pada tanggal 11 April

2019;

6. Karena Komisaris tidak tunduk kepada Board Manual dan melakukan

intervensi dengan menyuruh divestasi secara tertulis, maka Komisaris-lah

yang mengakibatkan Pertamina tidak ada lagi di Gippsland Australia bagian

selatan. Dengan kata lain, jika JPU menuntut adanya kerugian keuangan

negara, maka yang paling layak dimintakan pertanggungjawaban adalah

Dewan Komisaris, karena Memorandum Dewan Komisaris tanggal 23 Juni

2009 terkait divestasi Tidak Pernah Dicabut. Pertanyaannya, mengapa

Komisaris sebagai penyebab utama hilangnya kesempatan bisnis di

Gippsland, dianggap benar di mata Hukum? Apakah tidak menjadi perhatian

JPU bahwa salah satu Komisaris, Humayun Bosha, diberhentikan di bulan

Mei 2010 oleh RUPS? Mengapa? Apakah tidak terlintas bahwa hal tersebut

terjadi karena yang bersangkutan telah gagal paham terkait seluruh aturan

dan etika korporasi yang terdapat di Persero saat itu? Dan kemudian

menyusul pemberhentian anggota Komisaris lainnya, yakni Umar Said. 7. Terkait permohonan maaf Dirut PT Pertamina (Persero) kepada Komisaris

yang menjadi salah satu hal yang diuraikan dalam dakwaan yang

disampaikan di persidangan, bukanlah hal prinsipil dan bukan juga

pengakuan bahwa saya dan direksi bersalah, melainkan permintaan maaf

tersebut merupakan etika ketimuran, apalagi kepada kolega atau mitra yang

lebih tua. Permintaan maaf tersebut saya lakukan semata-mata hanya untuk

mengikuti saran dari saksi Umar Said. Hal ini seperti yang dikatakannya

dalam persidangan tanggal 11 April 2019, bahwa yang bersangkutanlah

yang meminta saya untuk bersurat meminta maaf kepada komisaris. Saya

pikir hal itu suatu kebaikan, sehingga saya tidak melihat masalah jika saya

Halaman 19 dari 26

lakukan demi hubungan baik, dan bentuk takzim saya kepada kolega yang

lebih senior.

8. Walaupun tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana hanya berada

di tahun 2009 – 2010 sebagaimana tercantum di dalam Surat Dakwaan,

namun saya memperhatikan bahwa surat perintah withdrawal dari Dirut

Pertamina (Persero) ke Dirut PHE menjadi barang bukti Jaksa Penuntut

Umum. Pertanyaan: MENGAPA ADA BARANG BUKTI YANG

TERPENGGAL-PENGGAL? Saya mempunyai barang bukti yang sangat

lengkap, mulai dari permohonan divestasi oleh Dirut PHE kepada Direktur

Hulu saat itu, sampai dengan permohonan dari Direktur PIMR kepada Direksi

Korporat terkait divestasi yang dibatasi oleh waktu dan bila batas waktu

habis, maka harus dilakukan withdrawal. Hal ini telah disetujui oleh seluruh

Direksi, Dewan Komisaris dan Kementrian BUMN. APAKAH SAYA SELAKU

DIRUT MEWAKILI PERSEROAN MELANGGAR KEWENANGAN

BERSURAT KE PHE SETELAH MENDAPAT SELURUH PERSETUJUAN

TERSEBUT DI ATAS? Dalam Pledoi ini saya lampirkan secara utuh dan

lengkap seluruh dokumen terkait divestasi sampai dengan withdrawal. Selain

itu, kronologi singkat dari mulai proses investasi akuisisi PI Blok BMG sampai

dengan keputusan divestasi/withdrawal, akan terlihat bahwa peran saya

sangat minim dan sesuai dengan tupoksi sebagai Direktur Utama merangkap

sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Hulu.

9. Setelah membaca tuntutan, saya ingin bertanya kepada JPU, “Apakah

pernah membaca seluruh dokumen SPA dan JOA, serta memahami semua

isi dari kedua dokumen tersebut?” Karena dalam akuisisi PI Blok BMG ini,

kedua dokumen tersebut merupakan dokumen “sakral” untuk semua pihak.

Jika memang TIDAK PERNAH DIBUKA, DIBACA dan DIPAHAMI, tidak

heran Yang Mulia, tuntutan 22 temuan Deloitte dan 4 dari Baker Mckenzie,

masih saja dituduhkan oleh JPU kepada saya bahwa saya telah

mengabaikan temuan-temuan tersebut.

10. Seluruh kegiatan investasi PI BMG di tahun 2009 dan withdrawal di tahun

2013 telah mendapatkan persetujuan RUPS, dan telah memperoleh Acquiet

Halaman 20 dari 26

Et de Charge (pelunasan dan pembebasan tanggung jawab) tanpa catatan

khusus.

11. Bahwa pembelian PI Blok BMG bukan merupakan ranah pidana dan bukan

merupakan suatu kejahatan terlihat dari sikap dan penilaian Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) di tahun 2012 yang telah melakukan

Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terkait akusisi PI Blok BMG.

BPK sangat paham akan konsep “petani” dan bukan “pedagang” dalam

bisnis Hulu Migas yang sifatnya “uncertainty” di atas, dan oleh BPK tidaklah

dijadikan permasalahan.

12. Di dalam tuntutan JPU, banyak sekali dokumen resmi Persero yang tidak

dijadikan bahan pertimbangan tuntutan dikarenakan oleh sesuatu hal yang

saya tidak pahami. Beberapa diantaranya adalah:

a. Board Manual

b. SK 230

c. SK 10

d. Laporan PDTT BPK, April 2012

e. SPA

f. JOA

g. Pertemuan Komisaris dengan Wadirut tertanggal 26 Mei 2009,

meskipun dalam rapat tersebut dibahas Blok BMG, namun tidak ada

permintaan Komisaris untuk pembatalan penandatanganan SPA.

h. Kelengkapan Dokumen Divestasi dan Withdrawal PI Blok BMG

“Padahal jika JPU betul-betul ingin mencari kebenaran dan bukan pembenaran, maka Yang Mulia, seharusnya seluruh dokumen tersebut dijadikan bahan pertimbangan.”

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa semua perbuatan dan

tindakan saya selama menjadi Direktur Utama Pertamina (Persero) merupakan

bagian dari aksi korporasi. Sehingga muncul kembali pertanyaan besar, yakni:

Halaman 21 dari 26

“Di mana saya telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertindak di luar kewenangan saya sebagai Dirut Pertamina, sehingga karenanya telah merugikan keuangan negara dan saya harus meratap dalam tahanan yang sudah berjalan hampir sembilan bulan, serta harus berpisah dengan keluarga, kerabat dan handai tolan?”

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Banyak lagi fakta-fakta persidangan, karena memang sifatnya yang terbuka dan

direkam, serta diterjemahkan dan sudah didengar oleh para pegiat Hulu Migas

secara nasional maupun internasional. Mereka berpendapat bahwa KASUS

BMG INILAH YANG PERTAMA KALI ADA DI DUNIA, BAHWA BISNIS HULU

MIGAS YANG SIFATNYA “UNCERTAINTY” DAPAT DIKRIMINALISASI SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA KORUPSI.

Jika hal tersebut dibenarkan, maka janganlah bermimpi bahwa Pertamina akan

menjadi Singa Asia melampui Petronas Malaysia, apabila pemahaman Bisnis

Hulu Migas saja tidak ada. Dan jangan bermimpi bahwa Pertamina akan menjadi

suatu perseroan yang besar mengalahkan Temasek Singapura, apabila

pemahaman terkait laporan Keuangan Konsolidasi Tahunan dan Acquit Et de

Charge oleh RUPS saja tidak memiliki makna dan tidak berkekuatan hukum yang

pasti. Terakhir, Indonesia jangan bermimpi bisa Mandiri Energi kalau harus selalu

tergantung pada impor sebagai akibat dari tata kelola pemerintahan dalam

bidang migas tidak memiliki kepastian hukum.

Yang Mulia Majelis Hakim, tanpa bermaksud menyombongkan diri, ijinkan saya

menyampaikan keberhasilan saya sebagai Dirut PT Pertamina (Persero) periode

2009 – 2014 sebagai berikut (USD 1 = Rp. 10.000):

1. Pajak yang Disetor: Rp. 309,19 Triliun

2. Dividen yang Disetor: Rp. 45,02 Triliun

Halaman 22 dari 26

3. Total Pendapatan: USD 367,1M (Rp. 3671 Triliun).

4. Total Keuntungan Bersih: USD 13,2 Miliar (Rp. 132 Triliun).

5. Penambahan nilai aset

2008: USD 26,7M (Rp. 267 Triliun)

2014: US$ 50,7 (Rp. 507 Triliun).

Kenaikan Nilai Aset: Rp. 240 Trilun (dalam waktu 5 tahun)

6. Masuk Peringkat 122 & 123 dalam Fortune Global 500 Company (2012 &

2013).

7. Pencapaian Tingkat GCG: 2009 (83.56%) ; 2014 (94%)

8. Tercatat di Dunia sebagai CEO Pertama Wanita di Perusahaan Migas dan

Masuk Rekor MURI.

9. Asia 50 Most powerfull Business Women Versi Forbes 2012.

(Referensi: Laporan PT Pertamina Persero 2009 -2014)

Dengan segala kerendahan hati, saya mohon yang Mulia berkenan

membandingkan prestasi saya tersebut di atas dengan Dirut-dirut sebelum

maupun sesudah saya. Seluruh keberhasilan di atas, tentunya telah memberikan kontribusi yang sangat positif untuk negeri dan bangsa ini, dan dapat dijadikan pertimbangan yang Mulia dalam membuat putusan untuk

kasus ini. Bahwasanya tidak semua keputusan saya dapat membuahkan hasil

yang sesuai dengan harapan, namun secara overall atau keseluruhan dengan

Business Judgement matang yang saya peroleh selama karir saya di Industri

Migas, justru Pertamina menjadi lebih maju dan namanya menjadi lebih harum di

dunia selama kepemimpinan saya.

Sebelum menutup pledoi ini, ingin saya sajikan salah satu illustrasi bagaimana

pihak luar berkomentar terkait apa yang menimpa diri saya. Beliau adalah salah

satu CEO Konsultan Migas terbesar dunia, dan berikut adalah bunyi suratnya

kepada anak saya yang bungsu, Dariel:

---------- Forwarded message ---------

From: McCreery, John <[email protected]>

Halaman 23 dari 26

Date: Thu, Apr 25, 2019 at 7:50 AM

Subject: Personal

To: [email protected] <[email protected]>

Cc: [email protected] <[email protected]>

Dear Dariel,

I just wanted to send you an email to say how sorry I was to hear about your

mother’s ongoing trail and detention in Indonesia. I know it must be very

distressing and upsetting for her and all of your family.

Could I ask you to pass on my message of support to your mother at this difficult

time? I have always and continue to hold her in the highest professional regard

and it was always a privilege to meet with her. Please be reassured that I know,

as many of us outside Indonesia do, that she always acted in the best interests of Pertamina and was a breath of fresh air for the organization.

With best wishes – take care.

John

John McCreery Partner Bain & Company, Inc. | One Houston Center, 1221 McKinney Street, Suite 3600 | Houston, TX 77010 | United States Tel: +1 857 277 3637 Web: www.bain.com | Email: [email protected]

Yang Mulia, kata-kata “breath of fresh air” atau “menghirup udara segar” malah

dianggap sebagai koruptor di negaranya sendiri. Sungguh tragis,

“Saya tidak tahu apakah saya salah satu yang tidak diinginkan untuk menjadi Warga Negara Indonesia atau ada alasan lain. Mengingat pihak di luar Indonesia lebih bisa mengapresiasi saya sebagai seorang profesional.”

Halaman 24 dari 26

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saya tidak pernah berkeinginan untuk

menjadi Dirut PT Pertamina (Persero). Sesungguhnya, keluarga saya semuanya

agak “keberatan” ketika saya mengambil jabatan ini mengingat saya satu-

satunya wanita dalam keluarga karena saya memiliki tiga anak laki-laki.

Saya juga teringat ketika salah satu anak saya sedih karena social media twitter

di mana terdapat komentar-komentar negatif terkait saya, yakni pada saat

Program Transformasi Minyak Tanah ke LPG karena pada saat itu banyak

tabung LPG yang meledak akibat kurangnya penyuluhan. Tentunya yang Mulia

dapat membayangkan betapa beratnya untuk anak saya yang pada saat itu

masih remaja mendengar dan melihat cacian yang terkasar dilontarkan kepada

ibunya dalam suatu platform atau media yang dapat diakses oleh publik.

Oleh karena kondisi di atas, tidak lama setelah saya menjabat sebagai Dirut,

seluruh anak saya memilih untuk tinggal di luar negeri agar tidak ter-ekspose

kepada hal-hal tersebut. Hampir selama tiga tahun terakhir saya menjabat

sebagai Dirut, saya harus berpisah negara dengan anak-anak saya. Bukan

hanya tidak bisa memperhatikan kehidupan kesehariannya, tetapi juga saya tidak

mampu menghadiri acara wisuda mereka karena kesibukan dalam menjalankan

tugas-tugas sebagai Dirut Pertamina.

“Pengorbanan tersebut saya lakukan demi kebaikan negara dengan harapan hasilnya (kelak) dapat dinikmati oleh bangsa ini.”

Pada September tahun 2014 saya memutuskan untuk berhenti karena saya

menyadari bahwa anak saya yang paling kecil sudah hampir tamat SMA, dan

selama ini dia harus tumbuh tanpa adanya sosok ibu yang utuh. Saya baru

Halaman 25 dari 26

menyadari bahwa saya telah melalaikan pekerjaan utama saya, dan saya perlu

kembali fokus pada pekerjaan utama saya yang sangat mulia tersebut.

Yang Mulia, silahkan cek publikasi-publikasi yang ada, bahwa benar adanya

saya mengundurkan diri, dan bukan diberhentikan! Ini merupakan yang

pertama yang pernah terjadi dalam sejarah PT Pertamina (Persero). Oleh

karenanya, sangat mengusik hati saya ketika kasus BMG ini sampai naik ke

persidangan, apalagi ketika saya dituduhkan melakukan tindak pidana korupsi.

APABILA SAYA PERNAH MELAKUKAN KORUPSI, SAYA TIDAK AKAN

MENGUNDURKAN DIRI DARI JABATAN DIRUT PERTAMINA, AGAR DAPAT

MELAKUKAN LAGI DAN DAPAT TERLINDUNGI DARI APARAT PENEGAK

HUKUM MENGINGAT JABATAN TERSEBUT SANGAT DEKAT DENGAN

KEKUASAAN.

Tidak lama mengundurkan diri dari Pertamina untuk mengerjakan pekerjaan

mulia sebagai ibu, saya kembali diusik dengan adanya berbagai jenis

pemeriksaan dari Kejaksaan Agung. AKHIRNYA PADA TANGGAL 24

SEPTEMBER 2018 SAYA HARUS DIPISAHKAN LAGI DARI KELUARGA SAYA

DAN MENJADI TAHANAN KEJAKSAAN AGUNG UNTUK KASUS YANG

LEMAH DAN DIPAKSAKAN INI.

Majelis Hakim Yang Mulia,

Jaksa Penuntut Umum yang terhormat,

Tim Penasihat Hukum dan Para Hadirin yang saya hormati,

Sebagai penutup, saya yakin dan percaya di dalam hati yang Mulia tahu bahwa

mengacu kepada fakta persidangan saya TIDAK BERSALAH. Saya bermohon

keberanian yang Mulia untuk mengambil putusan tersebut, karena penyelidikan

dan penyidikan telah dilakukan oleh para jaksa yang saya yakini tidak memahami

baik secara Teknis maupun karakter Bisnis Hulu Migas. Yang Mulia, diperlukan

pengetahuan dan pengalaman yang memadai serta waktu yang relatif lama

untuk memahami dengan benar terkait hal-hal Teknis dan Bisnis Akuisisi Hulu

Migas.

Halaman 26 dari 26

Mengingat usia saya yang sudah memasuki senja, dan seluruh pengorbanan

yang saya dan keluarga saya berikan untuk negara selama ini, berikanlah saya

kesempatan untuk dapat kembali kepada keluarga dan menjalankan pekerjaan

utama saya sebelum saya dipanggil untuk menghadap ke Allah SWT.

Oleh karena pengadilan ini adalah tempat mencari keadilan, bukan ketidakadilan

apalagi penghukuman, maka dengan alasan ini pula saya mohon sudilah kiranya

Majelis Hakim MENOLAK TUNTUTAN Jaksa Penuntut Umum dengan

menyatakan bahwa TUNTUTAN TERSEBUT BUKAN UNTUK KEADILAN,

MELAINKAN UNTUK PENGHUKUMAN, sehingga Dakwaan JPU TIDAK

TERBUKTI secara sah dan meyakinkan.

Berdasarkan seluruh pembahasan yang telah saya uraikan secara rinci di atas,

sekali lagi saya memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Persidangan ini

agar berkenan MEMBEBASKAN saya, Karen Agustiawan, dari semua tuntutan

JPU.

Demikian Pembelaan dari saya. Atas perhatian dan kebijaksanaan Yang Mulia

saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT

senantiasa memberikan berkah, rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kita

semua. Aamiin Ya Rabbal Alamin…

Wassalamualaikum Warahmatullahih Wabarokatuh.

Jakarta, Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung RI,

29 Mei 2019

Hormat saya,

Karen Agustiawan