no.: p licybrief brief - brsdm.kkp.go.id · data dan informasi kandungan residu formaldehid yang...

4
LATAR BELAKANG P sering terjadi enggunaan formalin pada produk makanan (termasuk ikan) sampai saat ini masih meskipun regulasi tentang penggunaan formalin sebagai bahan terlarang untuk makanan telah banyak diterbitkan ( , ) Anonim 2014 . Hasil monitoring terhadap penggunaan formalin pada produk perikanan yang dilakukan Balai Besar Penelian dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) dari tahun 2004 hingga 2008 menunjukkan pemakain formalin pada produk perikanan terus terjadi. Ikan segar, jambal ikan, dan cumi kering merupakan produk yang sering ditemukan posif mengandung formalin . (Anonim, 2008) Berkaitan dengan regulasi tersebut, kontroversi sehubungan dengan muncul penerapan “zero tolerance” terhadap kandungan formalin dalam Menteri Kesehatan (PerMenKes) Nomor 033/Menkes/Per/VII/2012 dalam produk pangan termasuk produk Peraturan perikanan. negara lain muncul dari kasus penolakan impor produk perikanan mereka yang dinyatakan mengandung formalin bahkan Keluhan sampai terjadi pemusnahan barang karena penerapan kebijakan “zero tolerance” Heruwa 2014 . terkait fakta bahwa tersebut ( , ) Hal ini formalin ( ) formaldehid sebenarnya dapat karena pemecahan TMAO menjadi DMA dan formaldehid. terbentuk secara alami pada ikan Pertanyaannya, pada ikan merupakan secara atau berasal dari apakah formaldehid yang ditemukan formaldehid yang terbentuk alami formalin yang sengaja ditambahkan. T formaldehid yang oleransi kandungan aman pada produk perikanan menjadi penng untuk ditetapkan mengingat khususnya untuk produk perikanan secara alamiah ikan akan , , membentuk formaldehid selama proses kemunduran mutu secara alami yang konsentrasi tergantung jenis ikan . nya dan cara perlakuannya Toleransi Kandungan Residu Formaldehid pada Ikan Segar Toleransi Kandungan Residu Formaldehid pada Ikan Segar PESAN UTAMA Ü Pengeran terkait penggunaan formalin pada ikan pada umumnya zero tolerance dipahami sebagai 'kandungan formaldehid pada ikan dalam kadar berapapun dak diijinkan'. Pemahaman seperitu harus dikoreksi karena ormaldehid dapat terbentuk f secara alami pada bahan makanan, termasuk ikan segar. Ü Berdasar latar belakang informasi ilmiah tersebut di atas, deteksi penggunaan formalin pada ikan yang didasarkan pada pengukuran residu formaldehid sebagai indikator perlu dikoreksi dengan kadar formaldehid yang secara alami terbentuk pada ikan tersebut. Ü Data dan informasi kandungan residu formaldehid yang terbentuk secara alami pada ikan perlu untuk dilengkapi berdasarkan jenis ikan dan olahannya. Ü Implikasi kebijakan: Regulasi level toleransi residu formaldehid sebagai indikator penggunaan formalin pada ikan perlu disesuaikan dengan menjadikan kandungan formaldehid yang secara alami terdapat pada ikan sebagai batas toleransi.Sosialisasi kepada semua tentang masalah ini harus dilakukan secara intensif. stakeholders Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu mengambil inisiaf dalam sosialisasi ini. No.: PB03-3-03-2014 BBP4BKP BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENGOLAHAN PRODUK DAN BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN Jl. K.S. Tubun, Petamburan VI Jakarta Pusat 10260 T: +6221-53650157 F: +6221-53650158 Website : www.bbp4b.litbang.kkp.go.id Email : [email protected] P licy P licy Brief Brief

Upload: truongcong

Post on 10-Apr-2018

223 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

LATAR BELAKANGP sering terjadienggunaan formalin pada produk makanan (termasuk ikan) sampai saat ini masih meskipun regulasi tentang

penggunaan formalin sebagai bahan terlarang untuk makanan telah banyak diterbitkan ( , )Anonim 2014 . Hasil monitoring terhadap

penggunaan formalin pada produk perikanan yang dilakukan Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi

Kelautan dan Perikanan (BBP4BKP) dari tahun 2004 hingga 2008 menunjukkan pemakain formalin pada produk perikanan terus terjadi. Ikan

segar, jambal ikan, dan cumi kering merupakan produk yang sering ditemukan posi�f mengandung formalin .(Anonim, 2008)

Berkaitan dengan regulasi tersebut, kontroversi sehubungan denganmuncul penerapan “zero tolerance” terhadap kandungan

formalin dalam Menteri Kesehatan (PerMenKes) Nomor 033/Menkes/Per/VII/2012 dalam produk pangan termasuk produkPeraturan

perikanan. negara lain muncul dari kasus penolakan impor produk perikanan mereka yang dinyatakan mengandung formalin bahkanKeluhan

sampai terjadi pemusnahan barang karena penerapan kebijakan “zero tolerance” Heruwa� 2014 . terkait fakta bahwatersebut ( , ) Hal ini

formalin ( )formaldehid sebenarnya dapat karena pemecahan TMAO menjadi DMA dan formaldehid.terbentuk secara alami pada ikan

Pertanyaannya, pada ikan merupakan secara atau berasal dariapakah formaldehid yang ditemukan formaldehid yang terbentuk alami

formalin yang sengaja ditambahkan.

T formaldehid yangoleransi kandungan aman pada produk perikanan menjadi pen�ng untuk

ditetapkan mengingat khususnya untuk produk perikanan secara alamiah ikan akan, ,

membentuk formaldehid selama proses kemunduran mutusecara alami yang

konsentrasi tergantung jenis ikan .nya dan cara perlakuannya

Toleransi Kandungan ResiduFormaldehid pada Ikan SegarToleransi Kandungan Residu

Formaldehid pada Ikan Segar� PESAN UTAMA

� Penger�an terkait penggunaan formalin pada ikan pada umumnyazero tolerance

dipahami sebagai 'kandungan formaldehid pada ikan dalam kadar berapapun �dak

diijinkan'. Pemahaman seper� itu harus dikoreksi karena ormaldehid dapat terbentukf

secara alami pada bahan makanan, termasuk ikan segar.

� Berdasar latar belakang informasi ilmiah tersebut di atas, deteksi penggunaan formalin

pada ikan yang didasarkan pada pengukuran residu formaldehid sebagai indikator perlu

dikoreksi dengan kadar formaldehid yang secara alami terbentuk pada ikan tersebut.

� Data dan informasi kandungan residu formaldehid yang terbentuk secara alami pada

ikan perlu untuk dilengkapi berdasarkan jenis ikan dan olahannya.

� Implikasi kebijakan: Regulasi level toleransi residu formaldehid sebagai indikator

penggunaan formalin pada ikan perlu disesuaikan dengan menjadikan kandungan

formaldehid yang secara alami terdapat pada ikan sebagai batas toleransi.Sosialisasi

kepada semua tentang masalah ini harus dilakukan secara intensif.stakeholders

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan

dan Perikanan perlu mengambil inisia�f dalam sosialisasi ini.

No.: PB03-3-03-2014

BBP4BKPBALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGANPENGOLAHAN PRODUK DAN BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANANJl. K.S. Tubun, Petamburan VI Jakarta Pusat 10260 T: +6221-53650157 F: +6221-53650158Website : www.bbp4b.litbang.kkp.go.id Email : [email protected]

P licyP licy

BriefBrief

P DALAMENYALAHGUNAAN FORMALIDEHIDMAKANAN

Formalin atau adalah senyawa( , HCHO)formaldehyde methyl aldehyde

berbentuk �dak berwarna, . Formalingas bau menyengat, yang sangat reak�f

biasanya dipasarkan dalam bentuk larutan dengan kisaran konsentrasi 30-40

persen Heruwa� 2014 .dan menggunakan metanol sebagai penstabil ( , )

F merupakanormaldehid senyawa dengan �ngkat karsinogenitas �nggi

(golongan 1) pada manusia Heruwa� 2014 . 2004( , ; Anonim ) sehingga

penggunaannya untuk makanan �dak diijinkan. Namun, formaldehid dapat

terbentuk secara endogen (muncul secara alami sebagai hasil re ksi) a

enzima�s atau karena faktor mikrobiologis banyak makananpada (WHO,

1989) seper�buah dan sayuran ( – ), daging ( ), susu (3,3 60 ppm 8-20 ppm 1-3,3

ppm 1-98 ppm .) dan juga ikan ( )

Keberadaan ormaldehid jugaf dalam makanan karena

ditambahkan sebagai pengawet Chung Chan 2009, termasuk , ( & , ;seafood

Heruwa� ., 2005 dan 2006; , ; ., ) karenaet al et al. et alKim 2011 Restani 1992

efek�f dalam membunuh bakteri, kapang, bahkan virus meskipun kurang

efek�f terhadap spora bakteri (WHO, 2002). Formaldehid bereaksi dengan

asam amino dalam protein denaturasi protein danmenyebabkan cross-linking

yang dapat membuat produk lebih kompak, keras, berserat, kering, �dak larut

air ( & , ; WHO, 2002; & ,Nielsen Jørgensen 2004 Branen Davidson 1983)

sehingga menyebabkan protein sulit dicerna tubuh. Formaldehid juga

menghambat dengan cara melaluiak�vitas mikroorganisme inak�vasi protein

reaksi kondensasi asam amino bebas dalam protein menjadi hidrokoloid.

Hasil monitoring penggunaan formalin pada produk perikanan yang

dilakukan oleh BBP4BKP dari tahun 2004 hingga 2008 (Tabel 1) menunjukkan

pemakain formalin pada produk hasil perikanan masih terus terjadi (Anonim,

2008), Nopember 2011 (Yennie ., 2012), Februari 2014,sampai bahkanet al

penggunaan formalin masih terjadi di ban ( ,yak tempat di Indonesia Anonim

2014 .)

LEVEL KANDUNGAN FORMALIDEHID ALAMIFormaldehid secara endogen dapat terbentuk pada banyak macam

produk makanan andungan bervariasi tergantung produknyayang k nya ,

misalnya p - pada dagingada buah dan sayuran mencapai 3,3 60 ppm, 8-20

ppm, 1-3,3 ppmpada susu (WHO, 1989). Kandungan formaldehid alami pada

ikan pun bervariasi kisaran . Misalnya, kandungan formaldehid alami1-98 ppm

pada kerapu 0,6-3,0 ppm, pada cumi ,20 ppm ikan (ikan nomei)bombay duck

15,75 ppm bisa lebih �nggi pada, tetapi jenis ikan lain (Riyanto ., 2006;et al

Rachmawa� ., 2007; WHO, 1989). Variasi kandungan formaldehid alamiet al

tersebut antara lain disebabkan karena adanya perbedaan karakteris�k

daging ikan kandungan lemak atau yang lainnyaseper� (Noordiana .,et al

2011).

Berdasarkan kajian BBP4BKP terhadap beberapa jenis ikan,

terdapat buk� bahwa secara alami formaldehid dapat terbentuk pada

beberapa jenis ikan (Tabel 2). Dari hasil peneli�an tersebut ditemukan bahwa

pembentukan formaldehid sejalan dengan proses pembusukan ikan dan

besarnya tergantung pada jenis ikan dan suhu

penyimpanan. Pada penyimpanan suhu kamar, suhu

dingin, maupun suhu beku, formaldehid masih tetap

terbentuk secara alami dengan level konsentrasi yang

berbeda-beda tergantung jenis ikan dan suhu.

Dari kajian tersebut ditemukan pula bahwa

ikan yang dibekukan cenderung memiliki kandungan

formaldehid yang lebih �nggi daripada yang disimpan

pada suhu kamar atau yang dies. Formaldehid alami

pada udang vaname segar yang dies (0-4°C) mencapai

1,04 ppm, sedangkan pada udang windu mencapai 1,53

ppm. Kandungan formaldehid pada kerapualami

macan yang masih segar yang disimpan pada suhu

kamar adalah 0,62 ppm, dan meningkat menjadi 3,02

ppm pada saat ikan telah mengalami pembusukan

(pada saat kandungan TVB 30 mgN%).di atas

Sementara itu, kandungan formaldehid pada kakap

merah yang disimpan pada suhu kamar sekitar 0,86

ppm, yang dies mencapai 1,39 ppm dan mencapai 1,49

ppm pada penyimpanan beku. Pada ikan cobia, juga

terjadi kecenderungan serupa, yaitu meningkat dari

1,07 ppm pada penyimpanan suhu kamar menjadi 1,4

ppm ke�ka dies dan meningkat menjadi 3,41 ppm pada

cobia beku. Pada kondisi tersebut ikan masih

dinyatakan segar.

LEVEL BAHAYA ORMALDEHIDFF ( ) merupakanormaldehid free formaldehyde

senyawa yang sangat reak�f terhadap makromolekul

biologis dapat berikatan silang secara intra-karena atau

inter-molekuler dengan asam nukleat melalui absorpsi

di gugus yang bersentuhan atau kontak langsung.

Pemberian pakan dari tepung ikan yang ditambah

formalin terhadap �kus mengindikasikan terjadinya

kerusakan sel lambung, ginjal dan ha� hanya dalam

waktu 2 minggu (Mur�ni ., 2009). Hasil tersebut diet al

atas tampaknya lebih disebabkan oleh formaldehid

bebas. ormaldehid yang terdapat ikan bereaksiF pada

dengan protein daging ikan dan menyebabkan tekstur

daging ikan menjadi liat sehingga disarankan untuk ikan

yang mengandung formaldehid pada dosis 10di atas

2

Tahun

Persentase jumlah sampel

posi�f mengandung formalin

(%) Asal Sampel

Ikan Segar Ikan Olahan

2004 79,00 95,00Jakarta, Jabar, Jateng, Ja�m, Lampung, Bali,

NTB

2005 20,00 17,00 Jakarta, Jabar, Jateng, Ja�m, Lampung

2006 7,04 14,15Jakarta, Jabar, Jateng, Ja�m, Lampung, NTB,

Banten, DIY,Sumut, Sumsel

2008 12,80 30,80Jabar, Jateng, Ja�m, Lampung, NTB, Banten,

DIY,Sumsel

2011 17,8 22,2DKI Jakarta, Jawa Barat, Tangerang-Banten,

dan Jawa Tengah

Sumber: Anonim (2008), Anonim (2014), Yennie ., 2012)et al

Tabel 1. Hasil monitoring formalin pada ikansecara kualitatif tahun 2004 – 2008

No Jenis IkanKandungan Formaldehid (ppm)

Suhu Kamar Suhu Es Suhu Beku

1 Udang vaname - 1.04 2.03

2 Udang windu - 1.53 3.08

3 Kerapu cantrang 2.14 2.31 0.28

4 Kakap merah 0.86 1.39 1.49

5 Kerapu macan 0.62 0.23 0.96

6 Kakap pu�h 0.50 2,79 2.34

7 Bandeng 0.34 0.55 2.53

8 Cobia 1.07 1.41 3.41

9 Kurisi - 0.99 -

10 Ikan coklatan - 0.70 -

Tabel 2. Kandungan formaldehid pada beberapa

jenis ikan kondisi masih segar di Indonesia

Catatan:1) ikan masih segar dengan kandungan TVB masih

di bawah 30 mgN%2) nilai di atas sudah mempertimbangkan nilai maksimal

berdasarkan standar deviasinya

ppm �dak dianjurkan untuk dimakan Yasuhara( &

Shibamoto ., 1995)

Selain itu, efek akut formaldehid dapat

menyebabkan kerusakan DNA karena senyawa ini

terikat cepat dengan protein yang menyebabkan ikatan

silang DNA-protein dan memecah DNA menjadi single

stranded-DNA (DNA menjadi rusak). fek kronisE nya

(jangka panjang) akan menyebabkan penurunan selera

makan dan minum, penurunan berat badan, penipisan

dinding mukosa (lambung), peningkatan berat dan

kerusakan pada ginjal (Johannsen .. 1986; Tobeet al et

al., 1989), dan peningkatan risiko terjadinya tumor dan

leukemia (Soffri� ., 1989). onsumsi formaldehidet al K

yang masih belum menimbulkan efek akut yang dapat

dikenali (NOAEL; )no observable acute effect level

adalah 15 mg/kg berat badan/hari, sedangkan pada

level 0,2 mg/kg berat badan per hari (maximum daily

dose reference, RfD) telah menyebabkan pengaruh

kronis .(Anonim, 1999)

ATURAN TENTANGFORMALDEHID DI BEBERAPANEGARA

Kisaran kandungan formaldehid alami pada ikan

mencapai 6–20 mg/kg dan dapat lebih �nggi pada jenis

ikan yang lainnya, misalnya kekerangan yang mencapai

1-100 mg/kg (Anonim, 2009a; . DWHO, 2001) ari hasil

kajian B B P4B K P diketahui bahwa kandungan

formaldehid yang terbentuk secara alami pada ikan

segar berkisar antara 0,23 pmm hingga 3,22 ppm. Hal ini

menunjukkan bahwa keberadaan formaldehid pada

ikan �dak dapat dihindari dan perlu diperhitungkan

dalam menentukan batasan toleransi kandungan

senyawa tersebut.

3

Beberapa negara telah nilai batasan kandunganmenetapkan

formaldehid yang diperbolehkan pada pangan. Italia 1985Di ( ) ditetapkan

batasan maksimal kandungan formaldehid sebesar 60 ppm untuk Gadidae

dan 10 ppm untuk krustase Bianchi 2007 . Malaysia( ., ) (1985)et al

memberikan batasan yang umum untuk semua komoditas ikan segar atau

olahan sebesar 5 ppm Aminah 2013 . Cina melalui Departemen( ., )et al

Pertanian memberikan batas toleransi kadar formaldehid dalam produk dari

perairan sebesar 10 ppm Sri Lanka melalui Kementerian. Sedangkan

Kesehatan dan Nutrisi mengatur kadar formaldehid dalam ikan yang(2010)

diimpor, didistribusikan, disimpan dan dijual �dak lebih dari 5 ppm.

Sementara itu, 95/2/EC membolehkanEuropean Commission Direc�ve

formaldehid dalam keju dengan 25 ppmprovolone maksimal (Anonim, 1995)

dan melalui 2009/10/EC memperbolehkanEuropean Commission Direc�ve

formaldehid sebagai adi�f pembentuk gel hingga 50 ppm .(Anonim, 2009a)

Di Indonesia, PerMenKes No. 033/MenKes/Per/VII/2012melalui

(perubahan atas PerMenKes No. 1168/Menkes/PER/X/ 1999), mengatur

bahwa formalin �dak diperbolehkan berada dalam makanan atau zero

tolerance. �dak ada toleransi terhadap penggunaan formalin padaAr�nya,

bahan makanan residu formaldehid. Undang-yang diukur berdasarkan

Undang No. 7 Tahun 1996 mengenai pangan, pelaku penggunaan bahan

berbahaya yang dilarang sebagai bahan tambahan pangan akan dihukum

dengan hukuman penjara lima tahun atau denda 600 juta rupiah. Bahkan

dalam UU No. 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen, terkait

dengan bahan berbahaya tersebut konsumen berhak mendapatkan dan bisa

mengadakan keberatan atas produk yang dibelinya, kerugian yangdan

diterima konsumen dapat digan� dengan hukuman penjara selama 2 tahun

penjara atau 5 milyar rupiah.

Namun demikian, berdasarkan hasil kajian yang telah disajikan di

depan, keberadaan formaldehid dalam dapat terjadi secara alamiikan sebagai

hasil perombakan senyawa TMA-O yang terbentuk selama proses

pembusukan ikan. Ini berar� bahwa kemungkinan terdeteksinya residu

formaldehid pada ikan sangat �nggi meskipun �dak dilakukan penambahan

formalin. Dengan kata lain, terhadap penggunaan formalinzero tolerance

�dak berar� terhadap residu formaldehid. Tingkat toleransizero tolerance

residu formardehid perlu memper�mbangkan kandungan formaldehid yang

dapat terbentuk secara alami. Karena itu, regulasi terhadap larangan

penggunaan formalin harus dilengkapi dengan informasi tentang kandungan

formaldehid alami tersebut.

TOLERANSI KANDUNGAN FORMALDEHIDYANG AMAN

Jika diasumsikan seseorang memiliki berat badan 50 kg, maka konsumsi

ikan yang mengandung formaldehid 7,5 ppm (faktor ke�dakpas�an 100 kali)

sebanyak 1 kg ikan per hari masih belum menimbulkan efek akut. Efek kronis

akan dapat terjadi jika mengkonsumsi 1 kg ikan per hari yang mengandung 10

ppm. Namun, berdasarkan nilai NOEL ( ) yangno-observed-effect level

dikeluarkan IPCS ( ) yangInterna�onal Programme on Chemical Safety

besarnya 260 ppm (faktor ke�dakpas�an 100 kali), maka batasan tersebut

akan menjadi lebih kecil yaitu 2,6 ppm.

Batasan maksimal toleransi formaldehid pada ikan yang telah

ditetapkan di beberapa ( , , ) dapatMalaysia Sri Lanka Cina dijadikan referensi

yang cukup imbang dengan tetap memperha�kan �ngkat resiko yang mungkin

dapat di�mbulkan Perhitungan kasar level aman kandungan formaldehid.

pada ikan juga dapat menjadi per�mbangan bagus untuk menentukan level

maksimal yang diperbolehkan. Dengan mengkaji nilai ambang yang diberikan

oleh EPA ( ) dan IPCS (Environmental Protec�on Agency Interna�onal

Programme on Chemical Safety) serta beberapa per�mbangan batasan

kandungan formaldehid di beberapa Negara Bianchi 2007 Til( ., ; .,et al et al

1989 Yasuhara Shibamoto, 1995 .; WHO, 2002; & )

Dengan mengacu hasil kajian yang dilakukan BBP4BKP (Tabel 2) dan

memper�mbangkan informasi tersebut di atas maka dapat direkomendasikan

kandungan formaldehid yang dapat ditoleransi pada ikan segar seper� pada

Tabel 3. Sedangkan untuk jenis ikan lain yang �dak dicatumkan di dalam

Tabel 3, maka direkomendasikan residu formaldehid �dak lebih dari 2,5

ppm.

Jika mengacu pada nilai RfD pada level 0,2 mg/kg berat badan

maka dapat dihitung �ngkat keamanan bagi seseorang untuk

mengkonsumsi ikan sesuai dengan rekomendasi tersebut di atas (Tabel

3). Sebagai contoh adalah ikan cobia yang dalam rekomendasi memiliki

nilai paling �nggi, yaitu 3,41 ppm (Tabel 3). Dengan asumsi seseorang

memilki berat badan 50 kg, maka orang tersebut untuk mencapai nilai

RfD memungkinkan untuk mengkonsumsi ikan cobia sebanyak 2,9 kg per

hari. Tampaknya, mengkonsumsi ikan cobia hampir 3 kg per hari bukan

hal yang lazim terjadi sehingga batasan 3,41 ppm dipandang aman bagi

kesehatan.

KESIMPULAN1. Pemahaman bahwa formalin adalahzero tolerance

zero tolerance residu formaldehid pada ikan harusdiubah karena formaldehid pada ikan dapat terbetuk secara alami.

2. Regulasi yang mengatur formalin �dak boleh ada pada ikan perlu dilengkapi dengan kandunganinformasiformaldehid yang terbentuk secara alami sebagaimana Tabel 3.

3. Data dan informasi terkait kandungan residu formaldehid yang terbentuk secara alami pada ikan perluuntuk dilengkapi karena data yang ada masih sangat terbatas pada beberapa jenis ikan saja.

4. Perlu disusun metode analisis yang baku (SNI) dengan memper�mbangkan jenis ikatan formaldehid yangmungkin terjadi pada matrik ikan.

TIM PENYUSUN

Disusun oleh : Rudi Riyanto, Tu� Harta� Siregar, Singgih Wibowo, Agus Heri Purnomo

Evaluator/Editor: Singgih Wibowo, Agus Heri Purnomo

Desain grafis: Puguh Aji P.M.

Sumber: Hasil peneli�an BBP4B (belum dipublikasi)

No Jenis IkanBatasan (ppm)

Suhu Kamar Suhu Beku

1 Udang vaname 1,04 2,03

2 Udang windu 1,53 3,08

3 Kerapu cantrang 2,31 2,50

4 Kakap merah 1,39 1,49

5 Kerapu macan 0,23 0,96

6 Kakap pu�h 2,79 2,34

7 Bandeng 0,55 2,53

8 Cobia 1,41 3,41

9 Kurisi 0,99 2,50

10 Ikan coklatan 0,70 2,50

Tabel 3. Batas toleransi yang direkomendasikanuntuk residu formaldehid pada ikan segar

DAFTAR PUSTAKAAminah SA, Zailina H, Fatimah AB. 2013. Health Risk Assessment of

Adults Consuming Commercial Fish Contaminated withFormaldehyde. Food and Public Health 2013, 3(1): 52-58

Anonim. 1995. Commission Directive 95/2/EC of 20 February 1995 onfood additives other than colours and sweeteners.European Commission. Off J L 1995:61:1-40.

Anonim. 1999. Integrated risk information system (IRIS) onformaldehyde. US Environmental Protection Agency(EPA), National Center for Environmental Assessment,Of�ce of Research and Development. Washington, DC

Anonim. 2004. Monographs on the evaluation of carcinogenic risks tohumans, vol. 88. International Agency for Research onCancer (IARC), Lyon, France

Anonim. 2008. Balai Besar Penelitian dan PengembanganPengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan danPerikanan (BBP4BKP). Laporan Teknis Penelit ianKeamanan Pangan.

Anonim. 2009a. Commission Directive 2009/10/EC of 13 February 2009amending Directive 2008/84/EC laying down speci�cpurity criteria on food additives other than colours andsweeteners. European Commission. Off J L 2009;44:62-78.

Anonim. 2014. BPOM Masih Temukan Pangan Mengandung Borax danFormalin. http://analisadaily.com/news/read/bpom-masih-temukan-pangan-mengandung-borax-dan-formalin/13331/2014/03/13; [accessed 25.03.14].

Bianchi F, Careri M, Musci M. & Mangia A. 2007. Fish and food safety:Determination of formaldehyde in 12 �sh species by SPMEextraction and GC-MS analysis. Food Chemistry 100:1049-1053.

Chung SWC & Chan BTP. 2009. Trimethylamine oxide, dimethylamine,trimethylamine and formaldehyde levels in main traded�sh species in Hong Kong. Food Addit Contam; 2:44-51.

Heruwati ES. 2014. Penyalahgunaan Formalin Pada Produk Perikanan.http://pusluh.kkp.go.id/ mfce/download/al44.pdf;[accessed 17.03.14].

Heruwati ES; Ariyani F; Indriati N; Yennie Y; Riyanto R; Kusmawati A.2006. Riset penanggulangan kerusakan mutu danpenggunaan bahan-bahan berbahaya pada produkperikanan. Laporan Teknis. Pusat Riset PengolahanProduk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.Jakarta

Heruwati ES; Indriati N; Ariyani F; Yennie Y; Murtini JT; Dwiyitno; RiyantoR ; P r i y a n t o N ; R a c h m a w a t i N . 2 0 0 5 . R i s e tpenanggulangan kerusakan mutu dan penggunaanbahan-bahan berbahaya pada produk perikanan.Laporan Teknis. Pusat Riset Pengolahan Produk danBioteknologi Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Johannsen FR, Levinskas GJ & Tegeris AS. 1986. Effects of formaldehydein the rat and dog following oral exposure. ToxicologyLetters, 30:1–6.

Kim HA, Jang JW & Kim DH. 2011. Analysis of formaldehyde in �sheriesproducts. Korean J Food Sci Tech; 43:17-22.

Murtini JT; Puspitasari YP; Sumarny R. 2009. Subcronic toxicity effect offormalin residue in �sh on the mouse liver. Journal ofMarine and Fisheries Postharvest and Biotechnology.Special Edition. Research Center for Marine ProductProcessing and Biotechnology. Jakarta. (81-88).

Nielsen MK & Jørgensen BM. 2004. Quantitative relationship betweent r imethy lamine ox ide aldo lase act iv i ty andformaldehyde accumulation in white muscle fromgadiform�sh during frozen storage. J Agric Food Chem;52: 3814-22.

Noordiana N, Fatimah AB & Farhana YCB. 2011. Formaldehydecontent and quality characteristics of selected �sh andseafood from wet markets. Int Food Research J. 18: 125-136.

Rachmawati N; Riyanto R; Ariyani F. 2007. Pembentukan Formaldehidoada Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus)Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pascapanendan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan vol 2(2):137-145.

Restani P, Restelli AR & Galli CL. 1992. Formaldehyde andhexamethylenetetramine as food additives: chemicalinteractions and toxicology. Food Addit Contam; 9:597-605.

Riyanto R; Kusmarwati A; Dwiyitno. 2006. Pembentukan Formladehidpada Ikan Kerapu (Epinephelus fuscoguttatus) SelamaPenyimpanan Pada Suhu Kamar. Jurnal Pascapanendan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan vol 1(2):111-116.

Soffritti M et al. 1989. Formaldehyde: an experimental multipotentialcarcinogen. Toxicology and Industr ial Health,5(5):699–730.

Tobe M, Naito K & Kurokawa Y. 1989. Chronic toxicity study offormaldehyde administered orally to rats. Toxicology,56:79–86.

WHO. 1989. Environmental health criteria 89. Formaldehyde.Geneva, Switzerland: World Health Organization.A v a i l a b l e a t :http://www.inchem.org/documents/ehc/ehc/ehc89.htm; [accessed 27.10.12].

WHO. 2002. Formaldehyde. Concise International ChemicalAssessment Document 40. World Health Organization,Geneva.

Yasuhara A & Shibamoto T. 1995. Quantitative Analysis of volatilealdehydes formed from various kinds of �sh �esh duringheat treatment. J. of Agric. Food Chem. Vol 43. No. 1:94-97.

Yennie Y; Murtini JT; Ariyani F. 2012. Kajian cemaran residu formalinpada produk perikanan. Prosiding Seminar NasionalTahunan IX Hasil Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012.