nikah paksa dan pengaruhnya terhadap …
TRANSCRIPT
i
NIKAH PAKSA DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KEHARMONISAN RUMAH TANGGA
(STUDI KASUS DI DESA GARING KAB. GOWA)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Islam (S.H.I) Pada Jurusan Ahwal Syakhsiyah Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Makassar
AL MUNAWAR
1052 6000 0511
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1436 H / 2015 M
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Judul Skripsi :Nikah Paksa Dan Pengaruhnya Terhadap Keharmonisan
Rumah Tangga ( Studi Kasus di Desa Garing Kab. Gowa.
Nama Mahasiswa : Al Munawar
No. Induk : 1052 6000 0511
Fakultas/Program Studi : Fakultas Agama Islam/Ahwal Syakhsiyah
Setelah dengan seksama memeriksa dan meneliti, maka skripsi ini
dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diajukan dan dipertahankan dihadapan
tim penguji ujian munaqasyah skripsi Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Disetujui
Makassar, 4 Jumadil Ula 1436 H
23 Februari 2015
Pembimbing I
Dr. M. Ilham Muchtar, Lc.,M.A.
NBM : 1082061
Pembimbing II
Fathul Ulum, Lc.,M.A.
NBM :
iii
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Kantor: Jl. Sultan Alauddin No. 259 Talasalapang (Gedung Iqra Lt. 4) Tlp: (0411)- 8669972/-865375 Makassar 90221
BERITA ACARA MUNAQOSYA
Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar, setelah
mengadakan sidang Munaqosyah pada:
Tanggal : 28 Februari 2015 M/09 Jumadil ula 1436 H
Tempat : Gedung Prodi Ahwal Syahksiyah Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Makassar, Jl. St. Alauddin No.
259 Makassar.
MEMUTUSKAN
Bahwa Saudara
Nama : Al Munawar
Nim : 1052 6000 0511
Judul Skripsi : Nikah Paksa Dan Pengaruhnya Terhadap Keharmonisan rumah
Tangga (Studi Kasus Di Desa Garing Kab. Gowa)
Dinyatakan : LULUS
Ketua
Drs. H. Mawardi Pewangi, M. Pd.I.
NBM : 554612
Sekretaris
Dr. Abd Rahim Razaq, M.Pd.
NIDN : 0999005374
Dekan
Drs. H. Mawardi Pewangi, M. Pd.I
NBM: 554612
Pembimbing I
Dr. M. Ilham Muchtar, Lc.,MA.
NBM: 1082061
Pembimbing II
Fathul Ulum, Lc,MA.
iv
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Kantor: Jl. Sultan Alauddin No. 259 Talasalapang (Gedung Iqra Lt. 4) Tlp: (0411)- 8669972/-865375 Makassar 90221
PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Nikah Paksa Dan Pengaruhnya Terhadap Keharmonisan
Rumah Tangga (Studi Kasusu Di Desa Garing Kab. Gowa)”. Telah diuji pada
hari/tanggal: Sabtu 28 Februari 2015 M bertepatan dengan tanggal 09 Jumadil Ula
1436 H dihadapan tim penguji dan dinyatakan telah diterima dan disahkan sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) pada
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dewan Penguji :
Ketua : Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I. ( …………………)
Sekretaris : Dr. Abd Rahim Razaq, M.Pd. (………………….)
Tim Penguji :
1. Dr. M. Ilham Muchtar, Lc., MA. (…………………)
2. Dr. Abd Hakim Jurumia, Lc., MA. (…………………)
3. Fatkhul Ulum, Lc., MA. (…………………)
4. Rapuung Samuddin, Lc., MA. (…………………)
5. Muh. Ali Bakri, M. Pd. (…………………)
Makassar, 05 Maret 2015 M
14 Jumadil Ula 1436 H
Disahkan,
Dekan Fakultas Agama Islam
Drs. H. Mawardi Pewangi, M. Pd.I
NBM: 554612
v
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR Kantor: Jl. Sultan Alauddin No. 259 Talasalapang (Gedung Iqra Lt. 4) Tlp: (0411)- 8669972/-865375 Makassar 90221
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Al Munawar
N I M : 105260000511
Fakultas : Agama Islam
Program Studi : Ahwal Syakhsiyah
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya
penulis sendiri. Jika kemudian hal ini terbukti bahwa skripsi ini merupakan
duplikat, tiruan, plagiat, dibuatkan atau dibantu –semua atau ebagian- secara
langsung oleh orang lain, maka skripsi dan gelar kesarjanaan yang diperoleh
karenanya batal demi hukum.
Makassar, 4 Jumadil Ula 1436 H
23 Februari 2015 M
Penyusun
Al Munawar
vi
KATA PENGANTAR
والذي أرسل رسوله ,ة في قلوب المؤمنيننالحمد لله الذي أنزل السكي
أشهد أن ,ولو كره المشركون دين كلهليظهره على ال ,بالهدى ودين الحق
عبده ورسوله, اللهم محمدالاإله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن
ومن تبعهم بإحسان إلى به اصحأاله و و على صلى و سلم على محمد
.. أما بعديوم الدين Beribu syukur rasanya tak mampu mewakili rahmat dan petunjuk yang
telah Allah SWT berikan kepada penyusun atas terselesaikannya penyusunan
skripsi ini. Sebagai manusia biasa, tentunya penyusun tidak luput dari kesalahan
dan kekurangan. Penyusun menyadari hal tersebut seraya memohon kepada Allah
SWT, bahwa tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongannya, terutama
dalam penyusunan skripsi dengan judul “Nikah Paksa Dan Pengaruhnya Terhadap
Keharmonisan Rumah Tangga (Study Kasus Di Desa Garing Kab. Gowa)” yang
merupakan petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT yang diberikan kepada
penyusun.
Shalawat dan salam Semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW,
keluarga dan para sahabatnya yang mulia, serta pengikut dan penerus risalahnya
hingga hari akhir nanti.
Selanjutnya penyusun sadari skripsi ini tidak akan pernah terwujud tanpa
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Ucapan terima kasih dengan setulus
hati penyusun sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu atas
terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada :
1. Dr. H. Irwan Akib, M.Pd. selaku rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar Sulawesi Selatan.
vii
2. Syaikh Thayyib Muhammad Khoory, selaku Pimpinan AMCF beserta
jajarannya yang berada di Jakarta, dan terlebih khusus para Dosen
Prod. Ahwal Syakhsiyah Unismuh Makassar.
3. Drs. Mawardi Pewangi, M.Pd.I. selaku Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Makassar.
4. Dr. Muh. Ilham Muchtar, Lc, MA., selaku Ka. Prodi Ahwal
Syakhsyiah dan Dosen Pembimbing dalam penyusunan skripsi ini.
5. Mudir Ma’had Al-Birr Universitas Muhammadiyah Makassar
6. Anakku Syafeq Munawar yang telah menjadi penyejuk hati dan
penyemangat dalam menyelesaikan skripsi ini ,dan istriku Nur Eda
yang setia dan sabar dalam menemani masa-masa kuliah, baik dikala
suka dan duka.
7. Dan juga kepada Fatmawati dan Risna Musu yang bersedia
memberikan keterangan dan memberi izin dalam meneliti kasus nikah
paksa yang telah mereka berdua alami.
8. Teman-teman AS 01, (Akhuna Arbin, Ramli, Syafaat, Bakhtiar,
Nastain, Fikar, Kifli, Syahrul, Rusydi, Ridwan, Deden, Rizal,
Wahyuddin, Sukamto. Husain dan Abd. Chalik).
Tiada hal apapun yang sempurna yang dibuat seorang hamba di
permukaan bumi ini, karena kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya. Dengan
rendah hati penyusun menyadari betul keterbatasan pengetahuan serta pengalaman
berdampak pada ketidak sempurnaan skripsi ini. Akhirnya harapan penyusun agar
skripsi ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Makassar 21 februari 2015
Penulis
Al Munawar
viii
ix
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangPernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-
laki dan perempuan sebagai suami istri yang bertujuan membentuk
kehidupan yang
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa
orang lain, hal ini menjadikan mereka berkeinginan untk mencari dan
mendapatkan jodoh yang dapat menemani hidupnya kala senang dan duka.
Maka dari itu Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan, melalui
jalan pernikahanlah kehidupan manusia dapat dilestarikan.
B. bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa1. Selain itu
pernikahan juga merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan
umat manusia, karena dengan pernikahan kehidupan rumah tangga dapat
ditegakkan dan dibina sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW,
rumah tangga memungkinkan manusia mendapat keturunan sebagai penerus
generasi masa depan.2
Pernikahan juga merupakan suatu hal yang penting dalam Islam, Islam
mengatur tentang tata cara berkeluarga agar terbentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah dan warahmah. Karna hal tersebut pada dasarnya merupakan
dambaan serta tujuan dari setiap pernikahan yang dilangsungkan. Hal ini dapat
1 . Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 2 . Muhammad Ali Hasan,Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam,(Jakarta :
Siraja, 2003), h.I
1
2
dimengerti karena kebahagiaan keluarga merupakan manifestasi dari sebuah
rumah tangga. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah ar-Rum yang
berbunyi :
Artinya :
Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.1
Tujuan membentuk suatu pernikahan yang bahagia dan kekal dibutuhkan
persiapan yang matang secara jasmani dan rohani. Kerelaan kedua mempelai
dalam mengarungi rumah tangga merupakan salah satu kunci terbinanya
kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal. Sehingga kedua mempelai
dalam menjalankan rumah tangganya penuh dengan kasih sayang.
Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak
dan kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan
mahram. Dalam melaksanakan pernikahan itu, agama mengatur tata cara
pelaksanaan yang harus dipenuhi, yaitu adanya rukun dan syarat pernikahan.
Adapun rukun yang menjadi syarat sahnya nikah adalah : 1) adanya mempelai
1 . Qs. Ar-Rum (30) : 21
3
laki-laki dan perempuan, 2) adanya 2 orang saksi, 3) adanya wali, 4) adanya
mahar, 5) adanya ijab dan qobul.
Wali sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan didasarkan kepada sabda
Nabi SAW dalam haditsnya :
.وشاهدين بولي إلاا لانكاح
Artinya :
Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi.1
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu keharusan, dan
tidak sah akad pernikahan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatkan
sebagai rukun dalam pernikahan menurut kesepakatan ulama secara prinsip.
Menurut salah satu pendapat fiqh, dalam suatu pernikahan, perempuan tidak
berhak menentukan pilihan atau pasangan hidupnya, juga tidak boleh
menikahkan dirinya sendiri melainkan harus menyerahkannya kepada pihak
walinya, sebagaimana sabda Nabi SAW dari Abi Hurairah r.a :
ا رأاة نافساها ج االما و لا تزا رأاةا, وا رأاة االما الما ج ا و لا تزا
Artinya :
perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh
pula menikahkan dirinya”.2
Bahkan seorang ayah berhak memaksa anak perempuannya meskipun anak
tersebut tidak menyetujui atas pilihan ayahnya. Hak yang dimiliki seorang wali
ini disebut hak ijbar, yaitu wali yang mempunyai hak memaksa1.
1 .Ismail as-San’ani, Bulughul Maram, Bab Nikah, Hadis 1009, Imam Ahmad
Meriwayatkan Hadis Marfu’ dari hasan, dar Imran Ibnu al Hushoin. 2 . Bulughul Maram, Kitab Nikah, Hadis no. 1013, diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
Daruqutni dan perawi-perawi yang dapat dipercaya.
4
Masalah perwalian khususnya wali mujbir menjadi perdebatan dikalangan
ulama, mulai dari periode klasik hingga moderen saat ini. Pada periode klasik
adanya wali mujbir menjadi kontroversi diantara para imam mazhab. Imam
syafi’i berpendapat membolehkan memaksa anak perempuannya menikah
dengan laki-laki yang dipilihnya tanpa minta izin dahulu pada anaknya. dasar
penetapan hak ijbar menurut imam syafi’i adalah tindakan Nabi yang menikahi
Aisya ketika masih berumur enam atau tujuh tahun. Dengan alasan bahwa
karena kanak-kanak adalah sebab keterhalangan (dari memiliki kewenangan atas
dirinya), menurut nash dan ijma’. Jadi ini adalah dasar pemaksaan tersebut.
Imam hanafi berpendapat bahwa fungsi wali mujbir hanya berlaku pada
anak-anak kecil, baik laki-laki maupun perempuan, pada orang gila, baik masih
kecil maupun sudah dewasa.2
Di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas Islam, secara prinsip dalam
undang-undang tidak mengakui adanya hak ijbar wali, karna dalam undang-
undang perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai, sehingga
jika kedua calon mempelai tidak setuju dengan perkawinan tersebut maka akad
nikah tidak dapat dilaksanakan3. Sementara akad nikah yang dilaksanakan secara
paksa dapat dibatalkan.4 Oleh karena itu hukum islam yang bersumber dari al-
Qur’an dan as-Sunnah mengisyaratkan adanya “Persetujuan mempelai yang
hendak nikah” sebelum melangsungkan pernikahan.
1 . Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Pernikaha, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), cet ke-3, h. 100 2 . Moh. Asnawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perdebatan,(Yogyakarta: Darussalam,
2004), cet. 1, h. 77 3 . Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 6 Ayat (1) 4 . Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 27 Ayat (1)
5
Dalam suatu hadits Nabi SAW, bersabda dari ibnu Abbas r.a :
ي ها , والبكر تستأمر , وإذنها سكوتها ن ول ها م رواه ( الثي ب أحق بنفس
. )مسلم
Artinya :
Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya dan
seorang gadis diajak berembuk, dan tanda izinnya adalah diamnya.1
Hadits ini menerangkan bahwah seorang janda punya hak dalam
menentukan pilihannya daripada walinya, dan seorang gadis perawan diajak
berembuk, bermusyawarah dan diminta persetujuannya, dan tanda
persetujuannya adalah diamnya.
Nikah paksa adalah salah satu fenomena sosial yang timbul akibat tidak
adanya kerelaan di antara pasangan untuk menjalankan perkawinan, tentunya ini
merupakan gejala sosial dan masalah yang timbul ditengah-tengah masyarakat
kita. Walaupun terkadang kawin paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam
rumah tangga, tetapi tidak sedikit yang berakibat pada ketidak harmonisan
bahkan perceraian. Itu semua akibat ikatan perkawinan yang tidak dilandasi
dengan kerelaan dan persetujuan mempelai, namun berangkat dari pemaksaan
wali tanpa meminta izin (persetujuan) perwaliannya. Dengan alasan bahwa wali
punya hak memaksakan anaknya untuk menikahkan tanpa meminta
persetujuannya terlebih dahulu.
Melihat realita yang terjadi dibeberapa kasus, terdapat praktik nikah paksa
dengan berbagai latar belakang dan alasan-alasan yang digunakan. Seorang wali
1 . bulughul maram, kitab nikah, diriwayatkan oleh Imam Muslim
6
yang memiliki hak ijbar dapat menikahkan anaknya tanpa memperhatikan hak
dari anak tersebut, dan kebanyakan pernikahannya berujung pada perceraian.
Dari fenomena yang ada penulis tertarik melakukan penelitian terhadap
“NIKAH PAKSA DAN PENGARUHNYA TERHADAP
KEHARMONISAN RUMAH TANGGA” yang terjadi pada kasus keluarga
Fatmawati dan Risna Musu’ yang telah dipaksa menikah oleh orang tuanya.
Kedua pasang keluarga yang dipaksa menikah tersebut adalah warga desa
Garing Kab. Gowa, yang mana sampai saat ini mereka masih berdomisili
ditempat tersebut. Maka dengan ini penulis terdorong untuk lebih mengetahui
lebih lanjut nikah paksa yang terjadi pada keluarga Fatmawati dan Risna Musu
serta pengaruhnya terhadap keharmonisan rumah tangga.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar dalam pembahasan ini lebih terarah dan tidak meluas, maka penulis
membatasi pada masalah nikah paksa dan pengaruhnya terhadap keharmonisan
rumah tangga pada kasus pasangan keluarga Fatmawati dan pasangan keluarga
Risna Musu. Dengan lokasi penelitian di desa Garing Kab. Gowa.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang dan batasan masalah diatas, maka
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah dirumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimana proses nikah paksa pada kasus pasangan keluarga Fatmawati
dan Risna Musu?.
7
2. Bagaimana pengaruh nikah paksa terhadap keharmonisan rumah tangga
pada kasus pasangan keluarga Fatmawati dan Risna Musu?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dalam mengadakan
penelitian ini adalah :
1. Untuk menjelaskan bagaimana proses nikah paksa pada kasus
pasangan keluarga Fatmawati dan pasangan keluarga Risna Musu.
2. Untuk menjelaskan pengaruh nikah paksa terhadap keharmonisan
rumah tangga pada kasus pasangan keluarga Fatmawati dan pasangan
keluarga Risna Musu.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang akan didapatkan setelah melakukan penelitian ini
adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi peneliti
selanjutnya khususnya calon peneliti yang akan mengkaji tentang
nikah paksa.
2. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan keilmuan bagi
wacana yang berkembang saat ini yaitu tentang nikah paksa.
3. Sebagai upaya memberikan kesadaran hukum bagi masyarakat,
sehingga dapat menghindari sikap yang tidak benar dalam sebuah
pernikahan.
E. Kerangka Teoritik
8
Dalam al-Quran tidak terdapat dalil yang secara khusus menerangkan
tentang hak ijbar. Akan tetapi terdapat beberapa ayat yang menekankan tentang
kewajiban wali menikahkan anak perempuannya dan tidak boleh mempersulit
atau menghalangi pernikahan anak tersebut yang berada dibawah perwaliannya,
dalam ayat ini terdapat dalil yang sangat jelas tentang kedudukan wali. Hal ini
antara lain dijelaskan dalam al-Quran :
Artinya:
apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah
kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,
apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf.1
Pernikahan merupakan sunnatullah yang disyariatkan oleh Allah SWT
kepada orang-orang yang beriman, barang siapa melaksanakannya dianggap
telah menyempurnakan separuh agamanya, serta menjadi hak setiap individu.
Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 6 ayat (1)
menyebutkan, bahwa syarat-syarat perkawinan diantaranya adalah tidak adanya
paksaan dari kedua belah pihak yang akan melakukan pernikahan.
Dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa prinsip untuk menjamin
cita-cita luhur pernikahan, salah satunya adalah adanya asas sukarela. Sebagai
konsekuensi dari asas sukarela tersebut maka pernikahan harus berdasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai tanpa ada unsur paksaan dari pihak manapun.
1 . QS. Al-Baqarah 232
9
Hal ini disebutkan dalam KHI pasal 16 yang berbunyi :
1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
2. Bentuk persetujuan calon mempelai perempuan dapat juga berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat
juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Adapun orang tua boleh memaksa anaknya untuk menikah dengan orang
lain, jika syarat-syarat berikut ini terpenuhi, yaitu:
a. Bahwa wali yang berhak melakukan ijbar hanya ayah atau kakek
(ayahnya ayah) dari mempelai perempuan sendiri.
b. Anak perempuan yang di ijbar masih gadis, dalam arti belum cukup
dewasa untuk mengerti bagaimana sebaiknya hidup berumah tangga.
c. Tidak ada kebencian antara wali mujbir dengan anak perempuan
yang diijbar.
d. Calon suami yang dijodohkan harus kufu’, setara, baik dalam bidang
sosial, pendidikan, ekonomi, supaya tercipta suasana yang kondusif
diantara suami dan istri.
e. Mas kawin yang dijadikan oleh calon suami adalah mahar mis’il,
yakni mas kawin yang sesuai dengan martabat dan kedudukan sosial
calon istri.
f. Diketahui bahwa calon mempelai laki-laki orang yang sanggup
memenuhi kewajiban nafkah.
g. Calon mempelai diketahui orang baik-baik yang akan
memperlakukan istrinya secara baik pula.
10
Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat para ulama fikih, ia mengatakan
“Adalah tidak sah pernikahan dua orang calon mempelai tanpa kerelaan mereka
berdua, jika salah satunya dipaksa secara ikrah dengan sesuatu ancaman maka
akad pernikahan menjadi fasakh (rusak).1
Menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat ulama, tentang
apakah boleh seorang wali memaksa gadis yang sudah dewasa dan berakal,
menurut mereka adalah tidak boleh memaksanya seperti halnya janda.2 Dan ini
adalah pendapat yang dipilih oleh syaikhul Islam. Dalil mereka adalah :
1. Hadits ibnu abbas, seorang wanita gadis mendatangi Nabi lalu
menceritakan kepada beliau, ayahnya menikahkannya padahal ia tidak
menyukainya, maka Nabi SAW memberi pilihan kepadanya.3
2. Sabda Nabi “ seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai
izinnya”.
3. Karena kewenangan wali untuk menikahkan wanita yang berada
dalam perwaliannya seperti kewenangannya dalam hartanya. Seperti
halnya ia tidak memiliki kewenangan dalam menggunakan hartanya,
jika ia sudah dewasa kecuali dengan izinnya, sedangkan
keperawanannya lebih berharga daripada hartanya, maka bagaimana
1 . Wahba Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Waadillatuhu, (Damasyiq: Daar Al-Fikr, 1998),
h. 29 2 . Abu Kamal malik, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka at-Tazkiah, 2006), jilid 4,
Kitab Nikah, h. 190 3 . Diriwayatkan oleh Abu Daud (2099) dan Ibnu Majah (1875) Hadis ini Hasan dengan
hadis-hadis pendukungnya
11
mungkin wali dibolehkan menikahkannya sementara gadis itu
membencinya dan ia sudah dewasa.1
4. Menikahkan seorang gadis, sementara ia tidak menyukai pernikahan
itu adalah tindakan yang menyelisihi ushul (prinsip-prinsip syariat)
dan akal sehat. Allah SWT tidak membolehkan seorang wali
memaksanya untuk jual beli atau sewa menyewa kecuali dengan
izinnya, dan tidak boleh pula memaksakan makanan, minuman dan
pakaian yang tidak disukainya. Maka, bagaimana mungkin
memaksanya untuk menikah dan bergaul dengan orang yang
dibencinya. Sementara Allah menjadikan kasih sayang diantara suami
dan istri.2
Dalam pernikahan terdapat hak-hak lain diluar hak individu, pihak-pihak
yang berkepentingan itu ialah pihak yang berhak atas pernikahan tersebut : 1.
Hak Allah, 2. Hak orang yang akan menikah, 3. Hak wali.3 Hak istimewa yang
dimiliki oleh wali untuk menikahkan anak perempuannya secara sepihak disebut
dengan hak ijbar. pemberian hak istimewa bukanlah tanpa batas, tetapi ada
persyaratan tertentu agar tidak melanggar dan atas dasar pertimbangan
kemaslahatan. Kemaslahatan yang menjadi dasar aturan tersebut tercermin pada
tujuan syariat dalam menetapkan hukum-hukumnya, yang dikenal dengan al-
Maqosid al-Khamsah, yaitu memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa,
memelihara kehormatan, memelihara akal dan harta benda.
1 . Majmu’ al-Fatawa (XXXII/39. 2 .Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Kitab Nikah ( Jakarta:
Pustaka at-Tazkiah, 2006), h.191 3 . Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta Bulan
Bintang,1993), cet 3, H. 18
12
Islam lebih mengutamakan kemaslahatan daripada kemudharatan, seperti
halnya disebutkan dalam kaidah fikih :
.درءالمفاسدمقدم على جلب المصالح
Artintya: Menolak kemudharatan lebih didahulukan daripada menarik
kemaslahatan.1
Dengan asumsi diatas, penyusun mencoba memberikan solusi dalam
persoalan yang terangkum dalam judul penelitian ini dan memberikan jawaban
pada pokok-pokok persoalan yang ada dengan menggunakan kaidah fikih.
F. Definisi Operasional
Untuk memudahkan pemahaman dan menghindari kesalahpahaman dalam
penelitian ini, maka peneliti terlebih dahulu mengemukakan pengertian
variabel yang dianggap penting dari judul penelitian ini, antara lain:
Nikah paksa adalah sebuah perkawinan yang harus dikerjakan walaupun
tidak mau atau tidak suka, dengan cara memaksa ( menekan atau mendesak)2.
Keharmonisan rumah tangga adalah sebuah keluarga yang penuh dengan
ketenangan, ketentraman, kasih sayang, keturunan dan kelangsungan generasi
masyarakat. Dan juga keluarga akan bahagia apabila kedua pasangan tersebut
saling menghormati, saling menerima saling menghargai, saling mempercayai
dan saling mencintai.3
Jadi definisi operasioal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
tentang nikah paksa yang dilakukan oleh seorag wali terhadap anaknya, tanpa
1 . kitab al-Wajiz, Kaidah-Kaidah Fikqih. 2 .Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h,. 638 3 . Zazkia Drajat, Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga (Jakarta: Bulan
Bintang,2002)
13
meminta izin dan persetujuan anaknya. Serta bagaimana pengaruhnya terhadap
keharmonisan dalam rumah tangga.
G. Garis-Garis Besar Isi
Skripsi ini terdiri dari lima bab, dan setiap bab terbagi atas beberapa sub
bab, bab dan sub bab adalah merupakan pokok permasalahan yang dibahas.
Untuk memudahkan mengetahui pokok permasalahan yang dibahas dalam
skripsi ini, maka penulis akan memberikan gambaran secara umum sebagai
berikut.
Pada bab I merupaka bagian pendahuluan yang meliputi: latar belakang,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, definisi operasional dan garis-garis besar isi.
Pada bab II merupakan tinjauan pustaka yang meliputi: konsep pernikahan
dalam islam (pengertian pernikahan, landasan hukum pernikahan, rukun dan
syarat pernikahan, prinsip pernikahan, tujuan dan hikmah pernikahan), konsep
keluarga sakinah, nikah paksa (pengertian nikah paksa, sebab-sebab nikah
paksa, pandangan islam tentang nikah paksa), wali nikah ( pengertian wali,
macam-macam wali).
Pada bab III merupakan metode penelitian yang meliputi: jenis penelitian,
sifat penelitian, subjek dan objek penelitian, tehnik penelitian, tehnik analisis
data.
Pada bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi:
gambaran umum Desa Garing, deskripsi nikah paksa pada dua pasang keluarga
di Desa Garing Kab. Gowa (Nikah Paksa keluarga Fatmawati dan Risna
14
Musu), pengaruh Nikah Paksa Pada dua pasang keluarga di Desa Garing Kab.
Gowa.
Pada bab V merupakan penutup yang meliputi: kesimpulan dan saran-
saran.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep pernikahan dalam Islam
1. Pengertian pernikahan
Dalam kamus Al-Munawwir, kata nakaha berasal dari kata nakaha-
yankihu-nikahan yang artinya mengawini. Sedang kata “az-Zawaj” sendiri
berasal dari kata zawwaja-yuzawwiju-tazwijan,yang berarti mengawinkan,
mencampuri, menemani, mempergauli,menyertai dan memperistri.1
Dalam bahasa Indonesia kata nikah diartikan “kawin” yaitu membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.2
Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan akad (perjanjian) antara
calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan pergaulan sebagaimana suami
istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan etika agama.3
Kata nakaha dan zawaj inilah yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari
orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Para
ulama fiqh sependapat bahwa nikah itu adalah akad yang diatur oleh agama
untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunan terhadap faraj
1 . Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressi, 1997), edisi II, h. 1461. 2 . Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), Cet. III, h.456. 3 . Mohammad Asnawi, Nikah Dalam Perbedaan Dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), cet. I, h.17.
16
(kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan
primer.1
Definisi yang diberikan oleh ulama tersebut hanya mengemukakan
hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu kebolehan melakukan hubungan
kelamin setelah berlangsungnya perkawinan. Sehingga ulama kontemporer
memperjelas jangkauan definisi tersebut. Diantaranya yang disebutkan oleh Dr.
Ahmad Ghandur dalam bukunya Al-Ahwal Al-Syakhsyah fi Al-Tasyri’ antara
laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan
dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban.2
Dalam fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, perkawinan ialah akad yang
membolehkan terjadinya al-Istimta’ atau melakukan hubungan setubuh dengan
seorang wanita, atau melakukan wath’, dan berkumpul dengan wanita sepanjang
tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau
sepersusuan.3
Sedangkan menurut undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 1 menyebutkan bahwa “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
1 . Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2007), h.80. 2 . Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat
dan Undang-undang perkawinan, (Jakarta: Predika Media, 2007), cet ke 2, ha. 39. 3 . Wahba Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Waadillatuhu, (Damasyiq: Daar Al-Fikr, 1998),
h. 29
17
2. Landasan Hukum Pernikahan
Pernikahan itu adalah sunnatullah, artinya perintah Allah dan Rasulnya,
tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau hawa nafsunya saja, karenanya
seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah mengerjakan sebagian dari
syariat (aturan) agama Islam.1 Nikah dalam islam sebagai landasan pokok dalam
pembentukan keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan
syariat kemaslahatan dalam kehidupan.
Oleh karenanya nikah disyariatkan berdasarkan dalil al-Quran dan al-
Hadits, adapun ayat yang menunjukkan disyariatkannya nikah adalah firman
Allah SWT dal surah an-Nisa ayat 3 :
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat, kemudian jika
kalian takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang wanita saja, atau
budak-budak yang kalian miliki, yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
Dan firman Allah SWT dalam surah an-Nur ayat 32 :
1 . Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga yang Sakinah), (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, tt), h. 3
18
Artinya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang
yang layak (nikah) dari budak-budak laki-laki kalian dan budak-budak wanita
kalian.
Dan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :
ج , فاإنه و ةا فالياتازا نكم االبااءا ن استاطااعا م عشارا االشبااب ! ما ر , يا ما أاغاض للباصا
اء جا وم ; فاإنه لاه و ع فاعالايه بالص ن لام ياستاط ما ن للفارج , وا أاحصا .وا
Artinya:
Hai para pemuda, barangsiapa di antara kalian sanggup menikah, maka
hendaklah ia menikah, sesungguhnya menikah itu dapat menahan pandangan
dan lebih menjaga kemalua, dan siapa yang belum sanggup, hendaknya ia
berpuasa, karena puasa itu adalah perisai atau benteng (dapat menundukkan
nafsu birahi).1
Dari ayat dan hadits diatas dapat diambil pengertian bahwa pernikahan itu
adalah perintah Allah SWT dan Rasulnya yang disyariatkan kepada manusia
khususnya bagi orang-orang yang beriman.
Dengan melihat hakikat pernikahan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya
tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal pernikahan adalah
mubah. Ketika akad pernikahan telah berlangsung, maka pergaulan laki-laki
dengan perempuan menjadi halal (boleh).
1 . Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab Nika, (Beirut, Lebanon :
Dar al-Kutub al-Imiah,2009), No. Hadis, 5066. H.955
19
Oleh karena itu, meskipun pernikahan hukum asalnya adalah mubah,
namun dapat berubah menurut ahkamul khamsah (hukum yang lima) ditinjau
dari kondisi perseorangan, dan ini adalah pendapat yang masyhur dikalangan
ulama malikiyah, dan ini juga ditemukan dalam perkataan ulama syafi’iyah dan
hanabilah.
1. Menikah hukumnya wajib, bagi siapa saja yang terdesak untuk berjima’
(bersetubuh) lagi mengkhawatirkan dirinya jatuh kedalam perbuatan keji
(zina) karena tidak menikah. Dalam kondisi demikian ia wajib menjaga
dan memelihara kesucian dirinya dari perkara yang diharamkan, dan
caranya adalah dengan menikah.
2. Sunnah, terhadap orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan perkawinan sedang ia tidak khawatir
jatuh pada perzinaha. Dalam kondidi ini, menikah baginya adalah suatu
yang lebih utama daripada mengkhususkan diri mengerjakan ibadah-
ibadah sunnah. Inilah pendapat yang dipilih oleh para ulama, kecuali
imam syafi’i, menurutnya mengkhususkan diri untuk ibadah lebih utam,
karna menikah menurutnya dalam kondisi ini hukumnya mubah.
3. Mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah, akan
tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina,
apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri (pendorong
dan penghambat untuk menikah itu sama).
4. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
perkawinan juga cukup untuk menahan diri sehingga tidak menikah,
20
hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat
memenuhi kewajiban suami istri yang baik.
5. Haram, bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan dalam hal
berjima’(bersetubuh) dan nafkah, serta tidak memiliki kemampuan dan
tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah
tangga, apabila melangsungkan perkawinan akan terlantar dirinya dan
istrinya.1
3. Rukun dan Syarat Pernikahan
Menurut Mahmud Yunus, perbedaan antara syarat dan rukun pernikahan
ialah, bahwa rukun pernikahan sebagian dari hakikat pernikahan, seperti laki-
laki, perempuan, wali, aqad nikah dan sebagainya. Semuanya itu adalah
sebagian dari hakikat perkawinan, dan tidak dapat terjadi suatu pernikahan kalau
tidak ada laki-laki atau perempuan, maka demikian itu dinamai rukun
pernikahan. Adapun syarat ialah sesuatu yang harus ada dalam pernikahan,
tetapi ia tidak termasuk dalam hakikat pernikahan,
Menurut Hanafiah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang
berhubungan denagan sighat (akad nikah/ijab dan Kabul), berhubungan dengan
dua calon mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut imam syafi’i
melihat syarat pernikahan itu meliputi, sighat ,wali, calon suami dan istri, dan
juga saksi. Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima, yaitu calon
suami atau istri, wali, dua orang saksi, dan ijab qabul. Menurut imam malik
rukun nikah itu ada lima, yaitu wali, mahar, calon suami dan istri serta ijab
1 . Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munahakat,(Bogor : kencana 2003), h.18-21. Dan Abu
Malik Kamal Bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta : At-Tazkiyah, 2006), Jilid.4, h.
100
21
qabul.1 Jelaslah para ulama tidak saja berbeda dalam menggunakan kata rukun
dan syarat, tetapi juga berbeda dalam detailnya, imam malik tidak menempatkan
saksi sebagai rukun, sedangkan imam syafi’i menjadikan dua orang saksi
sebagai rukun.
Terlepas daripada perbedaan para imam mazhab diatas mengenai tentang
rukun dan syarat pernikahan, penulis memilih pendapat jumhur ulama yang
mengatakan bahwa rukun pernikahan itu ada lima dan masing-masing rukun itu
memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian
rukun pernikahan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun
tersebut.2 Adapun rukun dan syaratnya adalah :
1. Calon suami
Syarat-syaratnya adalah :
1) Beragama islam.
2) Tidak dipaksa.
3) Tidak beristri empat orang.
4) Bukan mahram bakal istri.
5) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
2. Calon istri
Syarat-syaratnya adalah:
1) Beragama islam.
2) Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya.
1 . Abdurrahman Al-Jazairi, op. cit., h. 12-13 2 . Abd. Rauf, Lc, MA, Fiqih Ibadah Praktis (Sulawesi: Yayasan ar-Rahmah 2014) cet.
IV h. 71
22
3) Tidak bersuami dan tidak dalam masa iddah.
4) Bukan mahram bakal suami.
5) Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah.
3. Wali nikah
Syarat-syaratnya adalah:
1) Beragama islam.
2) Laki-laki.
3) Berakal.
4) Merdeka1.
5) Mempunyai hak perwalian.
6) Tidak terhalang hak perwaliannya.
4. Saksi nikah
Syarat-syaratnya adalah:
1) Islam.
2) Baligh dan berakal.
3) Laki-laki.
4) Adil.
5) Minimal dua orang saksi.
6) Hadir dalam ijab dan qobul serta memahami maksud dari
kedua ucapan tersebut2.
5. Ijab Qabul
Syarat-syaratnya adalah:
1 . Abu Kamal Malik bin as-Sayyid Salim, Shahih fiqih sunnah (Jakarta: Pustaka at-
Tazkiah, 2006), h. 196 2 . Ibid, h. 206
23
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali.
2) Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai laki-
laki.
3) Memakai kata-kata nikah atau tazwij atau terjemahan dari
kedua kata tersebut.
4) Antara ijab dan qobul bersambungan.
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6) Orang yang terkait ijab dan qobul tidak sedang ihram haji
atau umrah.
7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat
orang, yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari
mempelai wanita, dan dua orang saksi.
Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dan saksi masih
terdapat perbedaan dikalangan para ulama, namun mayoritas sepakat dengan
rukun yang lima ini.
4. Prinsip Pernikahan
Adapun prinsip pernikahan, sebagai berikut:
1) Melaksanakan perintah Allah SWT.
2) Mengikuti sunnah Nabi SAW dan mengikuti jejak para rasul.
3) Memutus syahwat dan menundukkan pandangan.
4) Menjaga kemaluan dan dan memelihara kehormatan wanita.
5) Menekan tersebarnya kekejian di tengah-tengah kaum muslimin.
24
6) Memperbanyak keturunan yang dengannya sempurnalah
kebanggaan Nabi SAW dihadapan semua Nabi dan umat-umat
yang lain.
7) Memperoleh pahala dari jima’ dalam kehalalan.
8) Mencintai apa yang dicintai nabi SAW, sebagaimana sabdanya:
.حبب إلي من دنياكم الطيب والنساء1
Artinya:
Telah dimasukkan dalam diriku dari perkara dunia kalian,
kecintaan pada wewangian dan wanita.
9) Melahirkan anak yang bermanfaat doanya setelah kita mati.
10) Mendapat syafaat dari anak-anak untuk masuk kedalam syurga.2
Dan Abd. Mannan menambahkan bahwa kerelaan dan
persetujuan.3 calon mempelai adalah salah satu prinsip pernikahan.
Pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-
kata kerelaan atau persetujuan calon istri atau suami. Agar suami dan istri
dapat membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan dirahmati oleh Allah
SWT, maka disunnahkan kepada calon mempelai untuk kenal terlebih
dahulu (Ta’arufan) dengan cara yang dianjurkan dan diajarkan oleh
Rasulullah SAW.
Kedua calon mempelai harus mempunyai suatu kesadaran dan
keinginan bersama secara ikhlas untuk mengadakan akad, bukan dengan
1 . Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (61/7), Ahmad (285) dan selainnya 2 . Abu Kamal Malik bin as-Sayyid Salim, Shahih fiqih sunnah (Jakarta: Pustaka at-
Tazkiah, 2006), h. 98 3 . Abd. Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta: Kencana,
2008), h. 7-8
25
terpaksa ataupun dipaksa. Dan persetujuan atau partisipasi juga diharapkan
dalam hal perkawinan, dengan demikian dapat terjalin silaturrahmi antar
keluarga.
5. Tujuan dan hikmah pernikahan
1. Tujuan pernikahan
Keluarga yang dituju dengan adanya pernikahan adalah keluarga
yang sakinah (tenang), mawaddah (keluarga yang didalamanya terdapat
rasa cinta yang berkaitan dengan hal-hal jasmani), dan rahmah (keluarga
yang didalamnya terdapat rasa kasih sayang)1. Melakukan pernikahan
merupakan proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh manusia, karena
disaat mereka mencapai suatu kematangan baik biologis maupun psikologis,
maka akan muncul dorongan untuk menjalin ikatan dengan lawan jenisnya.2
Menurut Abd. Rahman Ghazaly tujuan dari pernikahan adalah :
a. Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayang.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihaara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh memperoleh harta
kekayaan halal.
1 . Abdul Shomad, Hukum Islam. (Panorama Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia),
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 276 2 . Dede Rosyadi, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h. 76
26
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram ats dasar cinta dan kasih sayang1.
2. Hikmah pernikahan
Pernikahan merupakan suatu ketentuan dari Allah STW didalam
menjadikan dan menciptakan alam ini. Pernikahan bersifat umum,
menyeluruh dan berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan.
Perkawinan yang terjadi pada makhluk hidup, baik tumbuhan, binatang
maupun manusia adalah untuk keberlangsungan dan perkembangbiakan
makhluk yang bersangkutan. Hikmah pernikahan menurut ajaran Islam
adalah untuk memelihara manusia dari kemaksiatan yang membahayakan
diri, harta dan pikiran.
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karnena akan
berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat
manusia2. Adapun hikamah pernikahan adalah :
a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan naluri seks, dengan nikah badan menjadi segar, jiwa
jadi tenang dan mata terpelihara dari melihat yang haram.
b. Nikah merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi
mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta
memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.
1 . Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, h. 24 2 . Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h. 51
27
c. Untuk menjalin kerja sama antara suami dan istri dalam pembagian
tugas rumah tangga.
d. Pernikahan dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan
masyarakat, karena masyarakat yang saling menjunjung lagi saling
menyayangi merupakan masyarakat yang kuat dan bahagia.
e. Sebagai wadah latihan memikul tanggung jawab, pernikahan
merupakan pelajaran dan latihan praktis, dan pelaksanaan segala
kewajiban yang timbul dari pertanggung jawaban tersebut1.
f. Dengan pernikahan masyarakat dapat diselamatkan dari berbagai
macam penyakit, seperti spilis, penyakit keturunan yang dapat
mengancam orang dewasa dan anak-anak, yang dapat menjalar
dengan cepat, yang terjangkit diantara anggota masyarakat akibat
perzinakan (pergaulan yang keji dan haram)2. Sehingga penyakit-
penyakit tersebut dapat dihindari dengan adanya pernikahan.
g. Mengatur hubungan laki-laki dengan perempuan berdasarkan asas
pertukaran hak, dan saling kerjasama yang produktif dalam suasana
cinta kasih dan perasaan saling menghormati3.
B. Konsep Keluarga Sakinah
Mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah dan penuh rahmah
adalah cita-cita siapa saja yang ingin menyempurnakan agamanya.
1 . M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, (Jakarta: Prenada Kencana, 2003), h. 2 . Abdullah Nasheh, Hikmah Pernikahan 3 . Abu Bakr Jabir al Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2000), cet –1, h.
574
28
Menurut ajaran islam membentuk keluarga sakinah merupakan
kebahagiaan dunia akhirat, kepuasan dan ketenangan jiwa akan tercermin
dalam kondisi keluarga yang damai, tentram, tidak penuh gejolak. Bentuk
keluarga seperti inilah yang dinamakan keluarga sakinah, keluarga demikian
ini akan dapat tercipta apabila dalam kehidupan sehari-harinya seluruh
kegiatan dan perilaku yang terjadi didalamnya diwarnai dan didasarkan
agama.
Keluarga sakinah sebagai sebuah ibadah, tentu saja pernikahan
memiliki sejumlah tujuan yang mulia. Memahami tujuan itu akan
menghindarkan pernikahan hanya sekedar ajang pelampiasan nafsu seksual
belaka. Tujuan-tujuan itu ialah : mewujudkan mawaddah dan rahmah, yaitu
terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati. Sebagai upaya
mengikuti sunnah RasulullahSAW. Melanjutkan keturunan dan menghindari
dosa. Untuk mempererat tali silaturahmi. Pernikahan sebagai sarana dakwah
dalam rangka menggapai ridha Allah SWT. Jika demikian tujuan pernikahan,
maka dapat dipastikan bahwa suatu pernikahan yang tidak diarahkan untuk
mewujudkan keluarga sakinah berarti jauh dari apa yang diajarkan oleh islam
itu sendiri. Lalu apa ukuran sebuah keluarga disebut keluarga sakinah?.
Ukuran sebuah keluarga sakinah adalah keluarga dengan enam
kebahagiaan yang terlahir dari usaha keras pasangan suami istri dalam
memenuhi semua kewajiban, baik kewajiban perorangan maupun kewajiban
bersama. Teramat jelas bagaimana Allah dan Rasul-Nya menuntun kita untuk
mencapai tiap kebahagiaan itu. Enam kebahagiaan yang dimaksud adalah:
29
1. kebahagiaan finansial. Kepala keluarga wajib mencukupi kebutuhan
nafkah istri dan anak-anaknya dengan berbagai usaha yang halal.
Kebahagiaan finansial adalah ketika kebutuhan asasi seperti sandang,
papan dan pangan, serta kebutuhan dharuri seperti pendidikan, kesehatan,
keamanan. Sehingga keluarga itu dapat hidup normal, mandiri, bahkan
bisa memberi.
2. kebahagiaan seksual. Sudah menjadi fitrahnya dalam kehidupan rumah
tangga suami istri ingin meraih kepuasan seksual. Islam menuntunkan agar
istri senantiasa bersiap memenuhi panggilan suami, tapi juga diajarkan
agar suami selalu memperhatikan kebutuhan seksual istri. Ketika sepasang
suami istri secara bersama dapat mencapai kepuasan seksual maka mereka
akan merasakan kebahagiaan seksual. Terlebih bila dari aktifitas seksual
itu kemudian terlahir anak. Dengan pendidikan yang baik tumbuh menjadi
anak yang shalih dan shalihah, kebahagiaan akan semakin memuncak.
3. kebahagiaan spiritual. Salah satu kewajiban bersama suami istri adalah
melaksanakan ibadah-ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya. Ketika sebuah keluarga terdiri dari pasangan suami istri yang
rajin beribadah, dan dalam moment-moment tertentu memenuhi anjuran
Allah dan Rasul-Nya untuk melaksanakannya secara bersama, seperti
shalat berjamaah, membaca al-Qur’an, puasa sunnah dan sebagainya,
maka kehidupan rumah tangga itu akan dihiasi oleh suasana religius
dengan aura spiritual yang kental. Mereka merasakan secara bersama
30
nikmatnya beribadah kepada Allah. Inilah yang disebut kebahagiaan
spiritual.
4. kebahagiaan moral. Suami wajib menggauli istri dengan ma’ruf. Istri juga
wajib bersikap sopan dan patuh kepada suami. Suami istri bersikap sayang
kepada anak-anak, sementara anak wajib bersikap hormat kepada kedua
orang tuanya. Ketika pergaulan antar anggota keluarga, juga dengan karib
kerabat dan tetangga, senantiasa dihiasi dengan akhlak mulia, akan
terciptalah kebahagiaan moral.
5. kebahagian intelektual. Untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya
menurut tolak ukur Islam, juga untuk mampu mengatasi secara cepat dan
tepat setiap problematika keluarga yang timbul, diperlukan pengetahuan
akan ara’ (pendapat), afkar (pemikiran) dan ahkam (hukum-hukum) Islam
pada pasangan suami istri. Maka menuntut ilmu (tsaqofah Islam) adalah
wajib.
Ketika sepasang suami istri memiliki pemahaman dan ilmu Islam
yang cukup sedemikian kebutuhan untuk hidup secara Islami dan
menjawab setiap masalah tercukupi, mereka akan merasakan suatu
kebahagiaan karena hidup akan dirasakan terkendali, terang dan mantap.
Pengetahuan memang akan mendatangkan kebahagiaan. Sebagaimana
kebodohan mendatangkan kesedihan. Inilah yang disebut kebahagiaan
intelektual.
6. kebahagiaan ideologis. Keluarga dalam Islam bukan hanya dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan individu, tapi juga memuat misi keumatan. Yakni
31
sebagai basis para pejuang Islam dalam usahanya menegakkan risalah
Islam. Dengan misi itu, berarti masing-masing anggota keluarga diarahkan
untuk memiliki peran yang nyata dalam dakwah. Termasuk anak-anak
yang terlahir dididik untuk menjadi kader dakwah yang tangguh di masa
mendatang.1
C. Nikah Paksa
1. Pengertian nikah paksa
Kata paksa dalam kamus bahasa Indonesia, artinya mengerjakan sesuatu
yang harus dilakukan walaupun tidak mau, dengan cara memaksa (menekan,
mendesak)2.
Nikah paksa dalam literatur arab disebut juga dengan istilah ijbar, kata
ijbar berasal dari kata ajbara-yujbiru-ijbaran, kata ini memiliki arti yang
sama dengan akraha dan alzama. Artinya pemaksaan atau mengharuskan
dengan cara memaksa dan keras3.
Yang dimaksud dengan ijbar yaitu hak dari orang tua untuk
menikahkan anak perempuannya tanpa meminta persetujuan dari anak
tersebut.
Jadi kawin paksa adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan
untuk membentuk keluarga sebagai suami istri dengan adanya paksaan dari
orang tua tanpa memperhatikan izin seseorang yang berada dibawah
perwaliannya.
1 . www.keluarga-samara.com, di posting pada tanggal 15 Februari 2011 pukul 9:58 2 . Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), h. 638 3 . Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressi, 1997), edisi II, h.
32
2. Sebab-sebab nikah paksa
Kawin paksa hingga saat ini masih saja diperdebatkan, hal ini
disebabkan oleh kekeliruan penempatan hak dan kewajiban yang dapat
dijadikan sebagai faktor utama munculnya kawin paksa, antara lain:
1. Kekeliruan dalam menempatkan hak dan kewajiban orang tua terhadap
anak, dan anak terhadap orang tuanya, yang mana sering kali rancu
penerapannya. Sehingga hak kadang dijadikan sebagai kewajiban dan
kewajiban dijadikan sebagai hak, bahkan kadang pula menuntut akan
kewajiban, lupa dan tidak menghiraukan akan hak-hak orang lain dan
sebaliknya.
2. Restu dijadikan sebagai kewajiban mutlak orang tua dalam menentukan
pasangan anaknya.
3. Adanya pemikiran bahwa orang tua hanya akan memberikan yang
terbaik bagi anaknya, dan tak akan pernah melihat anaknya terlantar
maupun disakiti oleh orang lain yang membuat mereka terlalu
memaksakan kehendak mereka sendiri tanpa menghiraukan perasaan
anaknya yang tanpa sadar mereka telah dengan tidak sengaja melukai dan
menyakiti hati anaknya1.
4. Nilai dan norma juga merupakan faktor penyebab adanya kawin paksa.
Baik agama sebagai sebuah keyakinan maupun budaya yang masih
kokoh, seperti kewajiban orang tua untuk mencarikan pasangan hidup
1 . perihal Kawin Paksa, diakses pada 10 juni 2010 dari http//Kawin paksa artiki al-ta 97’s
blog.html
33
perempuan yang tidak laku, telah mendorong orang tua untuk
mencarikan sekuat tenaga teman hidupnya1.
5. Adanya kebiasaan atau tradisi menjodohkan anak, seperti halnya
dilingkungan pesantren, antara kiyai satu dengan yang lainnya saling
menjodohkan anaknya, yang menyebabkan anak enggan menolak demi
menghormati orang tuanya.
Hal ini sering terjadi karena beberapa alasan, 1. Orang tua merasa
memiliki anaknya sehingga mereka berhak memaksa anak menikah dengan
siapapun, 2. Rendahnya pengertian orang tua terhadap kemungkinan
dampak buruk yang bisa menimpa si anak, buah hatinya sendiri, 3. Alasan
ekonomi, alasan ini menjadi faktor dominan dalam beberapa kasus yang
terjadi dibeberapa daerah2.
Kawin paksa tak jarang menimbulkan efek negatif bagi anak, hal ini
yang menyebabkan anak enggan dinikahkan dengan pilihan orang tuanya,
diantaranya:
1. Dari segi psikologis, kawin paksa dapat mengganggu kesehatan pisik dan
psikis, anak merasa tertekan dan takut.
2. Dari segi ekonomis, apabila suami istri sudah bekerja, keduanya sama-
sama mampu dan tidak saling menggantungkan diri, sehingga
pengeluaran keuangan dalam keluarga seakan-akan masih bersifat
individual. Hal ini memunculkan terciptanya suasana keluarga yang
mengarah diharmonis.
1 . Nuraida, Skripsi Kawin Paksa Sebagai Alasan Perceraian (Jakarta 31 juni 2010), h. 43 2 . Ibid, h. 44
34
3. Dari segi sosial, sulitnya untuk beradaptasi dan bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar, karena persoalan internal dalam keluarga yang
diakibatkan oleh perkawinan paksa.
4. Dari segi seksual, hubungan seksual menjadi tidak sehat, karena tidak
ada rasa cinta dan hasrat, dilakukan hanya dengan keterpaksaan.
5. Hubungan keluarga menjadi tidak harmonis karena tidak sepaham dalam
berkomunikasi yang disebabkan oleh keegoisan masing-masing.
Kawin paksa yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya tidak
selalu berdampak negative, hal ini dapat dilihat dari sisi positifnya, mengapa
orang tua melakukan hal tersebut, diantaranya:
1. Adanya keinginan orang tua untuk menyambung silaturrahmi dengan
kerabatnya.
2. Untuk memperbaiki keturunan dan pendidikan.
3. Agar hartanya tetap terjaga dan apabila jatuh ketangan orang lain yang
kurang dipercaya khawatir akan tidak terpelihara dengan baik.
4. Adanya hutang budi orang tua kepada orang lain atau kerabatnya,
sehingga adanya pernikahan dengan pilihan orang tuanya, hutang budi
tersebut dapat terbalaskan.1
3. Pandangan islam terhadap nikah paksa
1 . Ibid, 46
35
Mengenai Nikah Paksa sudah menjadi polemik klasik dalam khasanah
Islam. Para ahli fikih berbeda menyikapinya, seperti imam Syafi’I, Malik,
Ahmad, Ishaq, dan Abi Laila, mereka menetapkan hak ijbar berdasarkan
hadis Nabi SAW : ‘’ janda tidak boleh dinikahi sampai diminta
persetujuannya, dan anak perawan tidak boleh dinikahi sampai diminta
izinnya, mereka bertanya : bagaimana izinnya?, rasul menjawab, anak gadis
itu dengan diamnya.1
Kelompok ini memandang yang harus diminta izinnya adalah janda,
bukan gadis. Karna hadis ini membedakan antara janda dan gadis.
Berdasarkan sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan olem Muslim bahwa janda
lebih berhak terhadap dirinya sendiri ketimbang walinya (ahhaqu binafsiha
min waliyyiha). Dengan demikian ia harus dimintai persetujuannya.2
Imam Syafi’i menilai meminta persetujuan seorang gadis bukan perintah
wajib, karena dalam hadis ini janda dan gadis dibedakan, sehingga
pernikahan gadis yang dipaksakan tanpa izinnya sah-sah saja, sebab jika sang
ayah tidak dapat menikahkan tanpa izian si gadis, maka seakan-akan gadis
tidak ada bedanya dengan janda. Padahal jelas sekali hadis ini bembedakan
janda dan gadis. Janda harus menegaskan secara jelas dalam memberikan
izin, sementara seorang gadis cukup dengan diam saja. oleh karena itu janda
tidak sama dengan gadis.
Namun Syafi’i dan ulama yang lain, menetapkan hak ijbar bagi seorang
wali atas dasar kasih sangnya yang begitu dalam terhadap putrinya.
1 . Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim 2 . Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, Syarah Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr,tt,
Juz 9, hlm, 191
36
Karenanya Syafi’i hanya memberikan hak ijbar kepada ayah semata,
walaupun dalam perkembangan selanjutnya, sahabat-sahabat Syafi’i
memodifikasi konsep ini dengan memberikan hak ijbar juga pada kakek.1
Seorang ayah dipersonifikasikan sebagai sosok yang begitu peduli pada
kebahagiaan anak gadisnya. Karena sang gadis belum berpengalaman hidup
berumah tangga, disamping biasanya iapun malu untuk mencari pasangan
sendiri. Para ulama mencoba member sarana bagi ayah untuk membentu buah
hatinya itu.
Oleh karenya, kalangan Syafi’iyah membuat rambu-rambu berlapis bagi
kebolehan hak ijbar, antara lain :
1. Harus tidak ada kebencian yang nyata antara anak dan ayah. ( ijbar
harus dilakukan dengan dasar pemberian wawasan, pilihan-pilihan,
kemungkinan-kemungkinan, dan alternative yang lebih baik bagi
anak).
2. Ayah harus menikahakan si gadis dengan lelaki yang serasi
(sekufu’).
3. Calon suami harus mampu memberi mas kawin yang pantas (mahar
mitsl).
4. Harus tidak ada kebencian zahir dan batin antara calon istri dan calon
suami.
5. Si gadis tidak dikhawatirkan dengan orang yang akan membuatnya
sengsara setelah berumah tangga.
1 . M. Idris al-Syafi’i, al Um, (Dar al Kutu al Ilmiah, Beirut Libanon), Juz 3, hlm 18
37
Disisi lain, kelompok ulama seperti Auza’i, Tsauri dan kalangan hanafiyah
lebih memilih tidak mengakui hak ijbar. mereka menggunakan pijakan
argumentasi hadis yang juga digunakan kelompok pembela ijbar. menurut
mereka, lafaz tusta’zanu mengandung arti bahwa izin adalah merupakan
keharusan dari anak perawan yang hendak dinikahkan, oleh sebab itu
pernikahan yang dilakukan tanpa kerelaan si gadis, hukumnya tidak sah.
D. Wali Nikah
1. Pengertian wali nikah
Secara bahasa wali nikah merupakan gabungan dari kata wali dan
nikah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wali mempunyai banyak
arti, antara lain:1
a. Orang yang menurut hukum (agama,adat) diserahi kewajiban mengurus
anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah ( yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
c. Orang saleh (suci), penyebar agama.
d. Kepala pemerintah dan sebagainya.
Secara spesifik, dalam literatur fikih, disebut dengan al-Wilayah atau al-
Walayah dengan memiliki beberapa arti, diantaranya adalah : al-Mahabbah
(cinta), dan an-Nasrah (pertolongan).
1 . Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1975), h. 1175
38
Selain itu wali juga berarti kekuasaan (as-sulthah wal-qudrah), seperti
dalam ungkapan al-Waly, yakni orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat
dari al-Walayah adalah tawally al-amr (mengurus atau menguasai sesuatu)1.
Sedangkan Abdurrahman Al Jazairy mengatakan tentang wali dalam fiqh
ala mazahib al Arba’ah, wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya
akad nikah, oleh karna itu nikah tidak sah tanpa wali.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil suatu pengertian bahwa wali
dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak
mempelai wanita, karna wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang
dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.
2. Macam-macam wali
Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu
pernikahan, menurut imam syafi’i dan imam malik bahwa keberadaan wali
adalah termasuk salah satu rukun nikah. Suatu pernikahan tanpa dihadiri oleh
wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW.
لي .لا نكااحا إل بوا2
Artinya :
Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali.
Adapun wali nikah ada empat macam, yaitu:
1 . Muhammad Amir Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali
Press, 2004), h. 134 2 . Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi,
dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.
39
1) Wali nasab, yaitu wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita
yang akan melangsungkan pernikahan, adapun wali nasab terbagi menjadi
dua, yaitu :
a. Wali nasab biasa, yaitu wali nasab yang tidak mempunyai kewenangan
untuk memaksa menikahkan tanpa izin atau persetujuan dari wanita
yang bersangkutan, dengan kata lain wali ini tidak mempunyai
kewenangan menggunakan hak ijbar.
b. Wali mujbir, yaitu wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya
untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta izin
kepada wanita yang bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh wali mujbir
disebut hak ijbar.
2) Wali hakim, yaitu wali nikah dari hakim atau qodhi. Adapun orang-orang
yang berhak menjadi wali hakim adalah pemerintah (sulthan), pemimpin
(khalifah), penguasa (rois), atau qhadi nikah yang diberi wewenang dari
kepala Negara untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.1
3) Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau calon istri .
wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, wali nasab ghaib, tidak
ada qodhi atau pencatat nikah.
4) Wali maula, ialah wali yang menikahkan budaknya (majikannya sendiri).
Adapun maksud budak disini adalah wanita yang dibawah kekuasaannya
atau hamba sahayanya.2
1 . Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h. 97 2 . Ibid, 97
40
Adapun yang dimaksud dalam penelitian disini adalah pada wali mujbir,
yang telah diuraikan sebelumnya yaitu wali nasab yang mempunyai hak untuk
menikahkan terhadap seseorang yang ada dibawah perwaliannya tanpa
meminta izin dan persetujuan anakanya.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
Adapun metode yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan dan
mengelolah data pada skripsi ini adalah sebagai berikut :
A. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penyusun menggunakan jenis field research
(Penelitian Lapangan) untuk itu seluruh kegiatan pembahasan dikonsentrasikan
pada kajian terhadap hasil penelitian dilapangan, sehingga penelitian ini lebih
dititik beratkan pada segi formal daripada segi materialnya. Hal ini dilakukan
mengingat yang dipentingkan dalam penelitian lapangan ini bukanlah
sumbangan penemuan baru dalam lapangannya, melainkan bagaimana peneliti
mengungkap sebuah persoalan. Seperti halnya nikah paksa dalam praktiknya
kadang terjadi kesewenang-wenangan, melalui dua keluarga yang akan diteliti
ini nantinya peneliti akan mengkaji lebih dalam lagi dengan mengangkat dari
fenomena realita dilapangan tidak hanya sekedar teori belaka, tetapi
menggabungkan keduanya.
B. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu menggambarkan tentang
realitas yang ada dilapangan untuk kemudian menganalisa dengan
menggunakan kata-kata.
42
C. Subjek Dan Objek Penelitian
Subjek penulisan adalah sumber data atau sumber tempat memperoleh
keterangan penulisan.1
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang dimaksud adalah para informan atau sumber data,
yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian2.
Maka yang menjadi subjek penelitian disini adalah dua keluarga yang
menikah karena dipaksa oleh walinya, yang nantinya dapat memberikan
argumen atau informasi yang dibutuhkan oleh penulis dalam proses penelitian
skripsi.
2. Objek Penelitian
Adapun yang menjadi objek penelitian ini adalah bagaimana proses
praktik nikah paksa pada pasangan keluarga Fatmawati dan pasangan
keluarga Risnawati serta bagaimana pengaruhnya terhadap keharmonisan
rumah tangga pada kedua pasang keluarga tersebut.
D. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik yang digunakan adalah :
1. Wawancara (Interview)
Teknik wawancara yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah
Struktur Interview (wawancara terstruktur), dimana pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan sudah dipersiapkan secara lengkap melalui Interview Guide
1 . Sustrisno Hadi, Metode Research, (Yogyakarta: UGM Press, 1985), h. 193. 2 . Masri Sangribun dan Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: Rajawali
Press, tt), h. 52
43
(Pedoman Wawancara). Dalam penelitian ini, penyusun melakukan
wawancara terhadap pasangan nikah paksa.
2. Observasi
Metode observasi adalah sebuah pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara mengamati langsung terhadap objek yang diteliti1. Dalam hal ini
penulis mengadakan pengamatan serta pengumpulan data-data yang
diharapkan dapat diperoleh data yang relevan dengan penelitian, mengenai
kondisi objektif daerah atau tempat penelitian.
E. Analisis Data
Setelah data terkumpul, data dipelajari dan diperiksa secara kualitatif
dengan pembahasan seputar nikah paksa, adapun cara berfikir yang digunakan
adalah induktif , yaitu berangkat dari kasus khusus, kemudian ditarik suatu
kesimpulan bersyarat umum sesuai dengan norma hukum Islam.
1 . prof. Dr. sugiono, Metode Penelitia (bandung: alfabeta, 2012) cet ke,2
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Wilayah Desa Garing Kab. Gowa
1. Keadaan Geografis
Desa Garing adalah salah satu Desa yang ada di Kec. Tompo bulu Kab.
Gowa, jarak Desa Garing kurang lebih 100 kilo meter dari bagian timur
ibukota kabupaten, dan kurang lebih 105 kilo meter dari ibukota Propinsi
Sulawesi selatan. akan tetapi Desa Garing sangat dekat dengan Ibukota Kab.
Jeneponto.
Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah utara berbatasan langsung dengan Kelurahan Malakaji
b. Sebelah selatan berbatasan langsung dengan Desa Taring
c. Sebelah timur berbatasn langsung dengan Desa Datara
d. Sebelah barat berbatasan langsung dengan Kab. Jeneponto
Jenis tanah di Desa Garing adalah tanah hitam bebatuan sehingga sangat subur
untuk bercocok tanam seperti jagung, padi dan tanaman lainnya, serta keadaan
medan yang umumnya adalah dataran tinggi.1
2. Keadaan penduduk menurut jender dan agama.
Jumlah penduduk berdasarkan Jender menurut Dusun Desa Garing
sebagai berikut:
1 . Sumber Data Kantor Desa Garing, 2009.
45
Tabel
No Dusun Laki-laki Perempuan KK Jumlah
1 Bontobiraeng 265 310 132 575
2 Bulueng 164 192 108 352
3 Garing 276 280 156 556
4 Cengkong 310 299 102 609
5 Tamalabba 323 357 177 680
6 Pa’lopiang 128 150 101 278
7 Bangkeng
tabbing
320 354 138 674
Jumlah
1786 2040 915 3724
Sumber Data : Kantor Desa Garing 2009
Jadi jumlah penduduk Desa Garing Kab. Gowa yang terdapat pada tujuh
Dusun menurut data pada dokumentasi tahun 2009 adalah 3724 jiwa, baik laki-
laki maupun perempuan. Adapun agama yang di anut oleh penduduk Desa
garing adalah hampir seluruhnya pemeluk Agama Islam yang taat menjalankan
ibadah baik itu ibadah sholat maupun yang lainnya. Adapun pemeluk Agama
lain di Desa Garing ini tidak ada, sehingga mencapai 100% adalah beragama
Islam.
3. Struktur Organisasi.
Struktur perangkat Desa Garing Kecamatan Tompobulu Kab. Gowa terdiri
dari Kepala Desa, Sekrtetaris desa, Kepala BPD, Kepala LPM, Bendahara,
46
Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Kesra , dan Kaur Pembangunan
sebagai berikut:
a. Kepala Desa : H. Muhammad Arsyad, S.Sos
b. Sekretaris Desa : Supriadi, S.Pdi
c. kepala BPD : Misi, S.Sos
d. kepala LPM : Munassir, S.Pdi
e. Bendahara : Ardiyansyah, SE
f. Kaur Pemerintahan : Syamsuddin, S.Pdi
g. Kaur Pembangunan : Sarifuddin
h. Kaur Kesra : Jamaluddin
4. Visi dan Misi Desa Garing
a. Visi
Mewujudkan Desa Garing yang Maju dalam Kerangka Budaya Bangsa
b. Misi
1. Meningkatkan dan memantapkan sistem perencanaan pembangunan
desa melalui pengoptimalan mekanisme musyawarah pembangunan
desa dengan melibatkan seluruh stakeholder yang ada.
2. Membuat skala prioritas untuk kegiatan-kegiatan pembangunan yang
akan dilaksanakan.
3. Meningkatkan kemampuan serta peran serta aktif masyarakat dalam
mengelola pembangunan berkelanjutan secara efisien dan efektif
47
dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang ada, baik sumber daya
alam maupun sumber daya manusia.
4. Meningkatkan kemampuan lembaga (capacity building) yang ada di
desa untuk lebih mendinamisasi dan mendukung seluruh proses
pembangunan.
5. Membina dan memantapkan kehidupan gotong royong sebagai basis
dan modal dasar pembangunan desa, yang pada hakikatnya juga
merupakan karakter dasar dari masyarakat desa dan juga bangsa
Indonesia.1
B. Deskripsi Nikah Paksa Pada Dua Pasang Keluarga di Desa Garing Kab.
Gowa
1. Nikah Paksa Pada Keluarga Fatmawati.
Fatmawati adalah warga yang masih berdomisili di Desa. Garing Kab.
Gowa, yang mana ia dipaksa menikah oleh orang tuanya dengan laki-laki yang
tidak disukainya. Fatmawati dipaksa menikah pada tahun 2008, ketika itu ia
masih berumur 15 tahun, dan calon suami berumur 23 tahun, yang bekerja
sebagai petani.
Fatmawati dan calon suami adalah tinggal di kampung yang sama,
sehingga mereka berdua saling kenal dan mengetahui baik buruk akhlak calon
suami. Pada saat lamaran Fatmawati tidak diberitau bahwa ada sesorang yang
akan melamarnya bahkan ia tidak diminta persetujuannya, apakah mau
1 . Arsip Desa Garing, Tahun 2013
48
menikah atau tidak, justru ia disuruh pergi ke tempat keluarganya yang lain
agar ia tidak mengetahui prosesi saat lamaran.
Pada saat itu semua keluarga dekat mendukung untuk menikahkan
Fatmawati dengan calon suaminya, karena menurut orang tua ia sudah tepat
dan pantas untuk Fatmawati, tanpa mempertimbangkan Agama dan akhlaknya
sebagaimana yang dianjurkan dalam Islam, bahkan perasaan anakpun tak
diperhatikan apakah suka atau tidak, karena anggapan orang tua bahwa kalau
wali sudah setuju maka anakpun menyetujuinya.
Pernikahan ini terjadi pada tahun 2008, yang mana terjadi karena di paksa
dan tidak adanya musyawarah antara wali (ayah) dengan anak perempuan yang
berada dibawah perwaliannya, dan tidak dimintai izinnya ketika prosesi
lamaran, sehingga pernikahan ini menjadi fatal, yang mana harapan dan
dambaan bagi setiap orang yang melangsungkan pernikahan adalah ketenangan
dan keharmonisan dalam sebuah rumah tangga dengan penuh cinta kasih,
damai dalam menjalankannya. Dan mereka resmi bercerai secara kekeluargaan
pada tahun 2010.
Pernikahan Fatmawati dan Sirajuddin bertahan selama satu tahun saja,
hingga mereka berdua bercerai dengan permintaan dari keluarga suami, dengan
syarat mahar dan uang sebanyak 15 juta rupiah di kembalikan, karena yang
tidak mau itu dari awal adalah fatmawati sendiri, keluarga sudah berusaha
untuk menyatukan mereka selama satu tahun, akan tetapi tidak berhasil,
sehingga memisahkan lebih baik daripada mempertahankannya dalam
pernikahan yang tidak ada rasa cita dan perdamaian.
49
a. Alasan wali kenapa menikahkan Fatmawati
Ada beberapa alasan kenapa Fatmawati dinikahkan dengan pilihan
orang tua/walinya, antara lain :
a) Agar terpelihara nasab (keturunannya) kelak.
b) Orang tua beranggapan bahwa calon suami sudah tepat untuk anaknya..
c) Sulit untuk menolak karena pada saat itu yang datang melamarkan calon
suami adalah teman dekat wali yang biasa membantu jika dibutuhkan.1
b. Pemicu sehingga terjadi perceraian
Yang menjadi pemicu perceraian lebih dini adalah karena tidak adanya
rasa cinta terhadap suami dari awal pernikahan, dan juga adanya orang lain
yang tidak ingin jika keduanya bersatu dalam pernikahan, sehingga orang
tersebut selalu datang menemui dan menceritakan sifat-sifat buruk dari calon
suami.2
c. Akibat Nikah Paksa Pada Pasangan Keluarga Fatmawati.
Ada bebera akibat Nikah Paksa yang berdampak negatif pada keluarga,
baik pada suami, mertua bahkan orang tua/wali itu sendiri, antara lain:
a) Hubungan dengan suami tidak harmonis.
b) Kurang tenang dalam kesehariannya.
c) Tidak pernah berhubungan layaknya suami-istri.
d) Hidup suami terancam, karna istri selalu membawa benda tajam jika
hendak tidur.
e) Antara orang tua dan mertua kurang harmonis.
1 . hasil wawancara terhadap wali, H. Moddin, tanggal 25 desember 2014. 2 . wawancara dengan Fatmawati.
50
f) Tidak mau tinggal dalam satu atap.
g) Kurang akur sama mertua.
h) Perceraian terjadi lebih dini.
i) Mahar dikembalikan kepihak laki-laki, lantaran tak pernah berhubungan
layaknya suami istri.
Dampak dari nikah paksa yang terjadi pada keluarga Fatmawati ini
berimbas sampai sekarang, tali silaturrahmi terputus antar keluarga, walaupun
mereka sudah bercerai.
2. Nikah Paksa Pada Keluarga Risna Musu
Risna Musu adalah salah satu pasangan nikah paksa yang terjadi di Desa
Garing, ia dinikahkan oleh walinya (ayah) pada tahun 2010, pada saat itu ia
masih berumur 16 tahun dan masih sekolah disalah satu SLTA di Kec.
Tompobulu.
Calon suaminya adalah Rammang, umur 23 tahun dengan tingkat
pendidikan SD, yang bertempat tinggal di Desa Garing, akan tetapi ia beda
dusun dengan Risna Musu, pekerjaannya adalah seorang petani.
Proses Nikah Paksa Risna Musu adalah berbeda dengan kasus
sebelumnya, karena setelah penulis teliti dan mengamati bahwa pernikahan
ini terjadi lantaran adanya sesuatu yang menimpanya, yaitu ada salah seorang
masyarakat yang melihat Risna Musu pergi berboncengan dengan Rammang
di tempat lain. Lalu sampailah berita tersebut ke telinga orang tuan (wali)
perempuan. Ketika mendengar hal tersebut orang tuanya langsung marah dan
ingin ambil tindakan yang lebih sadis, yaitu ingin membunuh anaknya jika
51
pulang kerumah pada hari itu, lantaran ada cerita yang ia dengar bahwa
anaknya bersama laki-laki pergi boncengan naik motor, akan tetapi salah satu
keluarganya yang lain pergi menemui dan memberitaunya untuk tidak pulang
kerumah dulu lantaran ayahnya akan membunuhnya, maka saat itu ia sangat
takut tidak mengerti kenapa ayahnya akan berbuat seperti itu padanya.
Setelah penulis teliti bahwa Risna Musu waktu itu pergi berboncengan
naik motor hanya menumpang untuk pergi ke kampung sebelah untuk
silaturrahmi ke tempat keluarganya, karna pada saat itu adalah hari kedua
setelah lebaran. Kebetulan Rammang adalah tinggal di kampung yang mau ia
datangi dan minta tolong untuk sama-sama kesana.
Akan tetapi persepsi orang tua lain dengan apa yang ia dengar, sehingga
hal ini ditafsirkan bahwa ia melakukan sesuatu yang mempermalukan nama
baik keluarga, bahkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Setelah beberapa hari, maka orang tua khususnya keluarga dari Risna
Musu berinisiatif untuk menikahkannya dengan Rammang, agar supaya ia
dapat pulang kerumah, dan untuk menimanilisir sangkaan masyarakat, dan itu
adalah aib keluarga. Kebetulan keluarga dari pihak laki-laki setuju maka
mereka berdua dinikahkan.
Dilain hal bahwa, Risna Musu tidak suka terhadap laki-laki itu
sebelumnya, bahkan ia belum siap untuk menikah lantaran masih ingin
lanjutkan sekolahnya, akan tetapi ia takut dan tertekan karena ancaman orang
tuanya yang selalu ia ingat.
52
Penulis memandang kasus ini adalah ada kesalah pahaman orang tua
terhadap anaknya, karena keterangan dari Risna Musu dan anggapan orang
tua adalah berbeda, sehinga orang tua perlu menanyakan secara langsung
kepada anaknya, apakah benar apa yang dikatakan orang lain kepadanya,
sebab orang tua adalah orang yang paling dekat terhadap anaknya, tanpa perlu
adanya ancaman terhadap anak sehingga anakpun tidak merasa takut.
Maka Risna Musu terpaksa harus menikah dengan laki-laki yang ia tidak
sukai, karna takut ancaman orang tua, dan juga disebabkan oleh dirinya
sendiri yang seharusnya ia tida lakukan pada saat itu. Walaupun dalam
perjalanan pernikahannya ia dikarunia satu orang anak, akan tetapi ia harus
bercerai pada tahun ke tiga, dengan berbagai usaha untuk
mempertahankannya. Awalnya dipaksa menikah dengan kasus yang
menimpanya, dan pada akhirnya dipisahkan oleh orang tuanya sendiri.
Dilain hal adalah tindakan orang tua untuk menikahkannya adalah sudah
tepat, karena anak adalah tanggung jawab di dunia dan di akhirat, akan tetapi
ia tidak perlu mengancamnya, sehingga anak tidak merasa takut,
musyawarahka, dan tanyaka langsung apa yang terjadi padanya. Sehingga
tidak terjadi sesuatu terhadap anak kedepannya baik itu dalam rumah tangga
yang ia akan jalankan.
a. Alasan wali kenapa menikahkan Risna Musu.
Alasan orang tua menikahkannya adalah untuk menimalisir sangkaan
masyarakat terhadap keluarganya, dan ini adalah aib keluarga sehingga
mereka berdua harus disatukan.
53
Alasan yang kedua kenapa menikahkan paksa Risna Musu dengan
Rammang adalah karena malu lantaran anak perempuannya dilihat
masyarakat berboncengan di tempat lain.
b. Pemicu sehingga terjadi perceraian.
Adapun pemicu perceraian pada keluarga Risna Musu adalah orang tua
selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga anaknya baik orang tua suami
maupun orang tua perempuan, karena mertua dan orang tua tidak harmonis
lagi, Sehingga keegoisan orang tua menjadi salah satu pemicu dalam
perceraian.
C. Pengaruh Nikah Paksa Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga Pada
dua Pasang keluarga.
Mengingat tujuan dari pernikahan adalah membuat rumah tangga yang
harmonis, maka untuk mewujudkan hal tersebut harus ada kerelaan antara
kedua belah pihak (suami dan istri) dan hal tersebut harus didasari oleh rasa
cinta dan kasih sayang, oleh sebab itu pernikahan yang dipaksakan atau tanpa
rasa cinta maka pernikahan tersebut jauh dari kata harmonis, dan tidak
mustahil hanya perselisihan dan pertengkaran saja yang akan didapat, bahkan
berimbas pada perceraian.
Dalam Islam pernikahan tidak diikat dalam ikatan mati dan tidak pula
mempermudah perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benar-benar dalam
keadaan darurat dan terpaksa. Perceraian dibenarkan dan dibolehkan, apabila
hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan pernikahan. Akad
pernikahan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata, melainkan
54
ikatan suci (mitsaqon gholidzan) yang terkait dengan keyakinan dan
keimanan kepada Allah SWT, pernikahan dalam bagi umat islam merupakan
perintah agama, oleh sebab itu orang yang melaksanakannya telah bernilai
ibadah.1
Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah pernikahan. Untuk itu
pernikahan seharusnya dipelihara baik-baik hingga bisa abadi dan tujuan
pernikahan terwujud yakni terciptanya keluarga yang harmonis. Namun
seringkali tujuan pernikahan tersebut kandas ditengah perjalanan pernikahan
yang disebabkan berbagai macam alasan-alasan, salah satu alasannya adalah
adanya paksaan orang tua terhadap pernikahan anaknya dalam menjalani
kehidupan rumah tangga. Suami dan istri hendaknya saling mencintai dan
menyayangi satu sama lain, namun hal tersebut akan sulit tercapai jika
pernikahan ada unsur paksaan dari orang tuanya. Seperti kasus yang dialami
oleh keluarga Fatmawati yang sangat sulit membangun keluarga yang
harmonis disebabkan adanya tekanan dan beban pikiran karena harus
berpura-pura mencintai orang yang ia tidak sukai.
Begitu halnya dengan Risna Musu, akan tetapi kasus yang menimpanya
berbeda dengan Fatmawati, kalau Risna Musu dapat menjalani rumah
tangganya selama tiga tahun dan dikaruniai seorang anak laki-laki, berarti ia
dapat menjalankan pernikahannya, dan mengabdi terhadap suaminya.
Adapun pengaruh Nikah Paksa terhadap keharmonisan rumah tangga.
1 . Amir Syarifuddin Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Predika Media, 2007.
55
1. Pengaruhnya Terhadap Keluarga Fatmawati
Nikah Paksa sangat berpengaruh dalam keberlangsungan dalam
hidup berumah tangga, khususnya dalam membangun keluarga yang
harmonis. Untuk mengetahui hal tersebut maka dapat dilihat pada
tabel/pemenuhan hak dan kewajiban pada keluarga fatmawati, dari 30
nomor penilaian dengan skor yang berbeda-beda tergantung kondisi apa
yang di alami dalam menjalankan sebuah keluarga, khususnya dalam
mencapai keluarga yang harmonis. Yang dinilai disini adalah masalah
maslahat dan mudorotnya, dengan tingkatan penilaian sebagai berikut:
Tingkatan skor Maslahat Mudorot
R (rendah) Skor Skor
S (sedang) Skor Skor
T (tinggi) Skor Skor
Hal ini dapat dilihat pada tabel pemenuhan hak dan kewajiban
keluarga Fatmawati pada tabel pemenuhan dibawah ini :
56
TABEL/PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN
FATMAWATI
No Pasangan Fatmawati
Hak dan Kewajiban Bersama R S T Skor Maslahah R S T Skor Mudarat R S T Skor
1 Kebutuhan biologis 3 3 3 3 9 9
2 Kedua belah pihak wajib bergaul (berperilaku) dengan baik
6 6 6 6 6 6
3 Suami istri memiliki kewajiban yang luhur
untuk menegakkan rumah tangga yang
SAMARA
3 3 3 3 9
4 Suami istri wajib saling mencintai,
menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin
3 3 3 3 9 9
5 Suami istri wajib memelihara kewajibannya 3 3 3 3 9 9
Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri
6 Bemberi nafkah, kiswah dan tempat tinggal 6 6 6 6 6 6
7 Biaya rumah tangga, biaya pengobatan dan
perawatan
6 6 6 6 6 6
8 Berperilaku sopan sama istri,
menghormatinya dan memperlakukannya
dengan wajar
6 6 6 6 6 6
9 Member penuh perhatian pada istri 6 6 6 6 9 9
10 Memimpin istri dan anak-anaknya 3 3 3 3 9 9
11 Setia kepada istri dengan menjaga kesucian
pernikahan
6 6 6 6 6 6
12 Menggauli istri dengan baik 3 3 3 3 9 9
13 Mendatangi istri (dalam pemenuhan)
biologis
3 3 3 3 9 9
57
Skor :
118 : 30 = 3,9 Maslahah rendah 238 : 30 = 7,9 Mudorot tinggi
14 Berusaha mempertinggi keimanan, ibadah
dan kecerdasan istri
6 6 6 6 6 6
15 Membantu istri dalam pekerjaan rumah 6 6 6 6 9 9
16 Memaafkan kekurangan istri 3 3 3 3 9 9
17 Bersikap jujur kepada istri 6 6 6 6 6 6
Hak dan kewajiban Istri Terhadap suami
18 Hak menerima nafkah 3 3 3 3 9 9
19 Persamaan hak dan kewajiban 3 3 3 3 9 9
20 Bergaul dengan baik walaupun dalam
keadaan tidak disenangi
3 3 3 3 9 9
21 Mendapat penjagaan dengan baik dari suami 3 3 3 3 9 9
22 Kewajiban berbakti lahir batin kepada suami 3 3 3 3 9
23 Menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga
3 3 3 3 9 9
24 Taat dan patuh kepada suami 3 3 3 3 9 9
25 Menghormati keluarga suami 3 3 3 3 9 9
26 Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami 3 3 3 3 9 9
27 Selalu berhias, bersolek untuk suami 3 3 3 3 9 9
28 Menjaga diri dan harta suami 3 3 3 3 9 9
29 Menjauhkan diri dari sesuatu yang dapat menyusahkan suami
3 3 3 3 9 9
30 Tidak bermuka masam didepan suami 3 3 3 3 9 9
58
Dari hasil penilaian hak dan kewajiban pada keluarga Fatmawati, ia
mendapatkan skor maslahat rendah yaitu 3,7%, sedangkan mudorotnya
lebih tinggi, yaitu 7,9%.1
Kalau dilihat dari hasil pemenuhan hak dan kewajiban di atas maka
keluarga Fatmawati belum bisa dikatakan keluarga yang harmonis, karena
mudhorotnya lebih tinggi daripada maslahatnya, sementara keluarga
harmonis itu akan tercapai dengan berbagai macam kebaikan yang dapat
dikerjakan di dalamnya.
2. Pengaruhnya Terhadap Keluarga risna Musu.
Adapun pengaruh Nikah Paksa terhadap keluarga Risna Musu tidak
sama dengan apa yang dialami oleh Fatmawati, akan tetapi ia lebih tinggi
maslahatnya daripada mudhorotnya. Penilaiaannya sama dengan keluarga
Fatmawati, Hasil tabel pemenuhan hak dan kewajibannya ia mendapatkan
skor maslahat 7,2%. Sedangkan mudorotnya yaitu 5,5%, hal ini dapat dilihat
pada tabel pemenuhan hak dan kewajibannya.2 Pemenuhan hak dan
kewajibannya sebagai berikut:
1 . hasil Penilaian Pemenuhan hak dan kewajiban pada keluarga risnawati pada tanggal
25 Desember 2014. 2 . Hasil penilaian pemenuhan hak dan kewajiban pada keluarga Risna Musu pada tanggal
25 desember 2015
59
TABEL/PEMENUHAN HAK DAN KEWAJIBAN
RISNA MUSU
No Pasangan Risna Musu
Hak dan Kewajiban Bersama R S T Skor Maslahah R S T Skor Mudarat R S T Skor
1 Kebutuhan biologis 9 9 9 3 3
2 Kedua belah pihak wajib bergaul
(berperilaku) dengan baik
6 6 6 6 6
3 Suami istri memiliki kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
SAMARA
9 9 9 3 3
4 Suami istri wajib saling mencintai,
menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin
9 9 9 3 3
5 Suami istri wajib memelihara kewajibannya 9 9 9 3 3
Hak dan Kewajiban Suami Terhadap Istri
6 Bemberi nafkah, kiswah dan tempat tinggal 6 6 6 6 6
7 Biaya rumah tangga, biaya pengobatan dan
perawatan
6 6 6 6 6
8 Berperilaku sopan sama istri,
menghormatinya dan memperlakukannya dengan wajar
9 9 9 3 3
9 Member penuh perhatian pada istri 9 9 9 3 3
10 Memimpin istri dan anak-anaknya 6 6 6 6 6
11 Setia kepada istri dengan menjaga kesucian pernikahan
9 9 9 3 3
12 Menggauli istri dengan baik 9 9 9 3 3
13 Mendatangi istri (dalam pemenuhan)
biologis
9 9 9 3 3
60
Skor :
216 : 30 = 7,2 Maslahah Tinggi
162 : 30 = 5,5 Mudorot Rendah
14 Berusaha mempertinggi keimanan, ibadah
dan kecerdasan istri
6 6 6 6 6
15 Membantu istri dalam pekerjaan rumah 9 9 9 3 3
16 Memaafkan kekurangan istri 9 9 9 3 3
17 Bersikap jujur kepada istri 9 9 9 3 3
Hak dan kewajiban Istri Terhadap suami
18 Hak menerima nafkah 6 6 6 6 6
19 Persamaan hak dan kewajiban 6 6 6 6 6
20 Bergaul dengan baik walaupun dalam
keadaan tidak disenangi
6 6 6 6 6
21 Mendapat penjagaan dengan baik dari suami 6 6 6 6 6
22 Kewajiban berbakti lahir batin kepada suami 6 6 6 6 6
23 Menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga
6 6 6 6 6
24 Taat dan patuh kepada suami 6 6 6 6 6
25 Menghormati keluarga suami 3 3 3 3 3
26 Bersikap sopan, penuh senyum kepada suami 6 6 6 6 6
27 Selalu berhias, bersolek untuk suami 6 6 6 6 6
28 Menjaga diri dan harta suami 6 6 6 6 6
29 Menjauhkan diri dari sesuatu yang dapat menyusahkan suami
6 6 6 6 6
30 Tidak bermuka masam didepan suami 6 6 6 6 6
61
Maka dapat dikatakan bahwa keluarga Risna Musu masih termasuk
keluarga yang harmonis, karena maslahatnya lebih tinggi daripada
mudorotnya yang ia dapatkan dalam keluarganya, akan tetapi pada jangka
yang relatif singkat karena kebersamaan mereka hanya tiga tahun saja, pada
tahun ketiga mereka akhirnya bercerai disebabkan orang tua dan mertua
tidak akur, dan selalu ikut campur dalam masalah keduanya.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan masalah yang berkaitan dengan Nikah Paksa dan
Pengaruhnya Terhadap Keharmonisan Rumah Tangga (Study Kasus di Desa
Garing Kab. Gowa), penyusun menarik kesimpulan bahwa :
1. Fatmawati
a. Alasan wali (ayah) untuk menikahkan paksa Fatmawati dengan
Sirajuddin yaitu orang tua beranggapan bahwa sudah tepat atas
pilihannya, dan juga terpeliharanya kemaslahatan nasab (keturunannya)
nanti. Namun alasan tersebut menafikan tujuan syara’ lainnya yaitu
terpeliharanya jiwa akal dan kehormatan dari Fatmawati, pemenuhan
hak dan kewajibannya juga kurang terpenuhi antara suami istri
termasuk dalam kategori keluarga sakinah mawaddah dan rahmah yang
rendah, serta menimbulkan permusuhan antara mertua dan keluarga dari
pihak wali, antara istri dan suami juga dari awal sudah tidak ada
kecocokan dikarenakan tidak ada cinta dan perasaan terhadap suami.
b. Mahar dan uang sebanyak 15 juta dikembalikan kepihak suami, karena
selama satu tahun pernikahannya tidak pernah mengerjakan layaknya
suami istri, karena Fatmawati tidak mau mengerjakan hal itu, bahkan
lebih rela mati ketimbang mengabdikan dirinya kepada suami yang ia
63
tidak cintai. Yang seharusnya mahar di kembalikan separuhnya saja jika
akad sudah selesai namun belum disetubuhi hingga diceraikan kembali.
c. Kalau dilihat dari tabel pemenuhan hak dan kewajiban, maka dalam
keluarga Fatmawati lebih besar mudorotnya ketimbang maslahatnya,
sehingga belum tergolong kategori keluarga yang harmonis.
2. Risna Musu
a. Alasan wali (orang tua) menikahkan paksa Risna Musu dengan
Rammang adalah untuk menimalisir sangkaan masyarakat terhadap
keluarganya.
b. Salah satu pemicu sehingga mereka berdua bercerai adalah karena
orang tua selalu ikut campur dalam masalah rumah tangganya.
c. Keluarga Risna Musu adalah masih termasuk keluarga yang
harmonis, sebagaimana pada tabel pemenuhan hak dan kewajiban,
sehingga masih tergolong keluarga sakinah mawaddah yang sedang,
meski maslahatnya lebih tinggi ketimbang mudorotnya.
B. Saran-Saran
1. Masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang belum paham mengenai
hukum pernikahan, khususnya konsep hak ijbar bagi seorang wali. Untuk
itu perlu adanya sosialilasi tentang pernikahan, di KUA tidak hanya
memberikan penasehatan kepada calon mempelai saja, tapi wali juga
perlu untuk diberikan arahan sebelum prosesi pernikahan terjadi, pihak
KUA harus benar-benar menanyakan secara langsung tentang
persetujuan dari kedua calon mempelai.
64
2. Hendaknya orang tua atau wali yang mempunyai hak atas anaknya tidak
semena-mena dalam mempergunakan haknya, harus melihat
kemaslahatan bagi perempuan yang ada dalam perwaliannya, tidak hanya
sepihak memaksakan kehendaknya, perlu adanya saling komunikasi dan
musyawarah dalam menentukan pasangan hidupnya demi kemaslahatan
si gadis itu sendiri, sebagaimana di sebutkan dalam kaidah fikih “Lebih
mengutamakan kemaslahatan daripada kemudorotan” sehingga terhindar
dari hal-hal yang tidak diinginkan, demi untuk mencapai keluarga yang
sakinah mawaddah dan rahmah.
65
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran dan terjemahnya, Mushaf Al Quran Departemen Agama,
Diponegoro: 2012.
Al-Jazairi,Abu Bakr Jabir, Ensiklopedi Muslim, Jakarta: Darul Falah, 2000.
Al-Zuhaili, Wahba al-Fiqh al-Islami waadillatuhu, Damasyqi: Daar al-Fikr,
1998.
Asnawi, Muhammad, Nikah dalam Perbincangan dan Perdebatan,
Yogyakarta: Darussalam, 2004.
As-Shan’ani,Ismail, Bulughul Maram, bab Nikah.
Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1997.
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Agama Islam, 2001.
Fachruddin, Fuad M, filsafat dan Hukum Syariah Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1981.
Ghazali, Abd. Rahman, Fikih Munakahat, Bogor: Kencana 3003.
Hasan, Ali, Muhammad, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam,
Jakarta: Siraja, 2003.
Jaiz, Hartono, Ahmad, Wanita Antara Jodoh, poligami dan perselingkuhan,
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Malik bin as-Sayyid salim,Abu Kmal, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka
at-Tazkia, 2006.
66
Muchtar, Kamal, Asa-Asas Hukum Islam Tentang Pernikahan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Munawwir, Achmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia,
Surabaya: Pustaka Progresi, 1997.
Nuraida, Skripsi Kawin Paksa Sebagai Alasan Perceraian, Jakarta 31 juni
2010.
Rauf, LC, MA, Abd, Fiqih Ibadah Praktis, Sulawesi: Yayasan Ar-Rahmah
Sulawesi, 2014, cet, 3.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persana, 2000.
Shamad, Abd, Hukum Islam, Panorama Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2010.
Sugiono, Prof, Dr, Metode Penelitian, Bandung: Alfabeta, 2012, cet.3
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fikih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Predika Media,
2007.
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
PEDOMAN WAWANCARA
1. Tahun berapa saat menikah ?
2. Umur berapa anda saat menikah?
3. Umur berapa calon suami saat itu?
4. Apa pekerjaan suami saat menikah?
5. Sebelumnya kenal atau tidak calon suami?
6. Saat lamaran dimintai persetujuan atau tidak?
7. Apa alasan anda menerima mau menikah?
8. Tujuannya apa?
9. Wali anda tau tentang hak memaksa atau tidak?
10. Bagaimana proses awal dari nikah paksa hingga akhirnya mau menikah?
11. Bagaimana hubungan dengan suami setelah menikah?
12. Bagaimana hubungan anda dengan orang tua?
13. Bagaimana hubungan anda dengan mertua?
14. Bagaimana kehidupan anda setelah menikah dengan suami?
15. Apakah hak dan kewajiban terpenuhi?
16. Setelah menikah tinggal dimana?
17. Apa pemicu sehingga anda memutuskan untuk bercerai dengan suami?
18. Apakah mahar dikembalikan?
SURAT BUKTI WAWANCARA
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Fatmawati
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bangkeng Tabbing RT. 02/02, Desa Garing, Gowa
Telah melakukan wawancara yang berkaitan dengan masalah Nikah Paksa dalam
rangka menyusun Skripsi yang berjudul “ Nikah Paksa Dan Pengaruhnya Terhadap
Keharmonisan Rumah Tangga” (Studi Kasus Di Desa Garing Kab. Gowa) dengan
saudara :
Nama : Al Munawar
Nim : 1052 6000 0511
Semester : VII (Tuju)
Fakultas : Agama Islam
Jurusan : Ahwal Syakhsiyah
Alamat : Jl. Manggarupi kec. Somba Opu Kab. Gowa
Demikian surat ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Makassar 03 Januari 2015
Fatmawati
SURAT BUKTI WAWANCARA
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Risna Musu’
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bangkeng Tabbing RT. 01/01, Desa Garing, Gowa
Telah melakukan wawancara yang berkaitan dengan masalah Nikah Paksa dalam
rangka menyusun Skripsi yang berjudul “ Nikah Paksa Dan Pengaruhnya Terhadap
Keharmonisan Rumah Tangga” (Studi Kasus Di Desa Garing Kab. Gowa) dengan
saudara :
Nama : Al Munawar
Nim : 1052 6000 0511
Semester : VII (Tuju)
Fakultas : Agama Islam
Jurusan : Ahwal Syakhsiyah
Alamat : Jl. Manggarupi kec. Somba Opu Kab. Gowa
Demikian surat ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Makassar 03 Januari 2015
Risna Musu’
Riwayat Hidup
Al Munawar dilahirkan di Bangkeng Tabbing pada tanggal 05
Nopember 1986 dari Ayah Sirajang dan Ibu Nanong. Penulis
anak ke 5 dari 7 bersaudara.
Nama : Al Munawar
Nim : 1052 6000 0511
Tempat Tangga Lahir : Bangkeng Tabbing, 05 November 1986
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Fakultas/prodi : Agama Islam/Ahwal Syakhsiyah
Agama : Islam
Alamat Asal : Dusun Bangkeng Tabbing Rt. 01/01, Desa Garing Kec.
Tompobulu Kab. Gowa, Sul-Sel.
Alamat : Jl. Manggarupi Kec. Somba Opu, Kab. Gowa.
Riwayat Pendidikan :
MIS Yapit Rajaya, Kab. Gowa, Sul-Sel, Lulus Tahun 2000.
MTS Radhiyatan Mardhiyah Putra, Pon-Pes Hidayatullah Balikpapan, Kal-
Tim, Lulus Tahun 2003.
MA Radiyatan Mardiyah Putra, Pon-Pes Hidayatullah Balikpapan, Kal-Tim,
Lulus Tahun 2006.
Ma’had Al Birr Unismuh Makassar,(D2 Pendidikan Bahasa Arab Dan Studi
Islam) Lulus Tahun 2010.
Fakultas Agama Islam Unismuh Makasar/Prodi Ahwal Syakhsiyah, Lulus
Tahun 2015.