nga’asanngaasan.tripod.com/ngaasan.pdf · pembaca yang budiman... ... ekonomi yang makin...
TRANSCRIPT
Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak
VOLUME I-JUNI 2005
Dari Dapur Pemikiran
Tabea…Bagai artesis di padang pasir yang panaskering-kerontang pemikiran, Nga’asanhadir dan mengalir sebagai spiritkembangkitan intelektualitas Tou Minahasayang haus dengan semangat intelektualitas;berpikir analitik dan apresiatif terhadappersoalan-persoalan, ide, bahkan idiologiyang diskursif sebagai dasar acuanpengambilan keputusan hidup TouMinahasa.
Tentu kehadiran Nga’asan yang menjadiperkakas intelektual, ICRES (Institute ofCommunity Research And Empowerment-SUMEKOLAH) di belantara pemikirantidak begitu saja sekonyong-konyongmengada, namum memalui proses panjangdan telaah yang dalam bahwa sungguh TouMinahasa kini dalam ranah yangmemprihatinkan atas dinamika jaman yangsangat cepat berubah. Tou Minahasa perlumelakukan refleksi dan berkontemplasi atasperjalanan panjangnya mengisi ruang-ruangkehidupan.
Begitulah Nga’asan hadir dan menjadicermin pantul terhadap semua refleksikehidupan Tou Minahasa, agar kita semuadapat melakukan koreksi, pembaharuandan menata kembali hakekat hidupkomunitas yang didalamnya terhimpunsekian banyak sub etnis dengan keunikandan kekhasannya sendiri.
Semoga kehadiran Nga’asan dalamdialektika jaman yang terus bergerak,memiliki manfaat bagi kita semua. Makapulu
sama.
Nga’asan dalam konsepsi TouMinahasa memiliki maknaaktif sebagai spiritintelektualitas. Nga’as inisendiri secara harafiah berartiotak. Sehingga, ngaasan dapatdimaknai sebagai proses sadardari optimalisasi sumber-sumber intelektualisme dalamkesadaran yang dimiliki setiaporang.
TILIK UTAMA
FOKUS
SIKAP
DiSEASE
Buyat MengerangBuyat MengerangBuyat MengerangBuyat MengerangBuyat MengerangNewmontNewmontNewmontNewmontNewmont
BerjingkrangBerjingkrangBerjingkrangBerjingkrangBerjingkrang
Pembaca Yang Budiman...
Redaksi Nga’asan menerima masukan
tulisan, artikel serta analisa sosial yang
terkait dengan problem sosial Tou
Minahasa. Atas kesediaan hati anda
untuk memberikan tulisan anda, kami
ucapkan banyak terima kasih.
Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak
Nga’asan
Otonomi Elit
Versus
Otonomi Rakyat
Menunggu Nasib
Demokrasi Di KPUD
2
Penanggungjawab/Penasehat: Dr Bert Adriaan Supit. Penasehat: Pdt. J. R. Pandeiroth, Bert Supit (Sr), Pdt JL. Lantang, Drh. L. Lantang,
Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR. Jong Ohoitimur MSC, DR. Max Ruindungan, Drs EP Rumayar SH, Audy Wuisan STh, Msi, Kartini
Mumme Joseph, Froly Lelengboto, Nora Mayo Worang, Deny Sondakh, Isye Paruntu, Beni Matindas, Sonny Wuisan. Chief Editor: Veldy
Umbas. Dewan Redaksi: Sandra Rondonuwu STh, SH, Joce Kawengian, Irvan Basri, Sonny Mumbunan, Freddy Wowor, Occto Supit,
Matulandi Supit. Redaktur: Daniel Kaligis, Jull Takaliuang, Jemmy Lumintang, Veldy Umbas. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak:
dactfay, Jonly. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut Telp/fax 0431 354739, 3300242. Email:
NUWU KATARE Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Nama itu kini menjadi
ikon perjuangan
kelompok pecinta
lingkugan dan pembela
korban penyakit
“aneh” yang mendera
masyarakat di teluk buyat.
Sudah lama kasus buyat
menggelinding tak tentu arah.
Ada saat di mana nasib warga
korban mengalami hari-hari
sulit dan menyedihkan saat
sebuah lembaga advokasi
kesehatan memobilisasi
mereka ke Jakarta sebagai alat bukti pencemaran yang
diduga dilakukan oleh PT Newmont. Ada juga disaat di
mana mereka diombang-ambingkan oleh ketidakpastian
sikap pemerintah yang plin-plan menangani kasus
kemanusiaan yang tengah menimpa warga buyat ini.
Sampai akhirnya, setelah bayi Andini, dan sejumlah bayi
lainnya pun menunjukkan gejala serupa, begitu juga
beberapa warga mengalami penyakit “aneh” itu, menanti
pasrah. Dengan menyimpan sejumlah tanya dan harap atas
musibah yang menimpah mereka, mereka menunggu
keajaiban bisa terjadi. Sayang musibah terus saja
menggelinding menimpa mereka.
Belum lagi dengan sejumlah persoalan yang harus
dihadapi acapkali peliknya hidup memergoki fakta
ekonomi yang makin terpuruk, manakala, istri, anak, cucu,
suami dan keluarga mereka mengerang atas sakitnya kondisi
sosial yang terus saja melilit.
Laut yang dulu menjadi taman kebahagiaan atas
sumber-sumber di dalamnya kini menjadi garang, asing,
dan horor. Di antara ketidakpastian atas tercemar tidaknya
teluk buyat, mereka terkatub bisu, meratap, meringis, dan
Buyat, Antara Kontroversi Ilmiah
Dan Nilai-nilai Kemanusiaan
bahkan mengutuki kehidupan.
“Apa salah kami sehingga
banyak orang yang mencibir,
menghina, dan bahkan
mengucilkan kami,”keluh Ibu
Andini menahan isak yang
makin perih.
Pemerintah, Newmont,
Unsrat, dokter-dokter, dan
bahkan rakyat banyak
mungkin saja sedang
terbahak-bahak dan
berjingkrang di atas
ketidakpastian nasib mereka.
Tapi ada sejumlah orang yang prihatin, terpanggil, dan
meratap menyaksikan, bahwa nilai-nilai kemanusian ternyata
harus dibayar dengan harga atas nama investasi. Bahkan
atas nama intelektualitas, ilmiah, dan apapun tetek-bengek
argumentasi akademik itu, ternyata mereka melupakan satu
hal. Yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Hanya itu saja yang dapat
dikatakan dan dilakukan sehingga manusia menjadi lebih
mulia dibanding binatang. Dan atas nama nilai-nilai
kemanusiaan itulah, Nga’asan edisi perdana ini akan coba
mengurai tentang kontroversi kasus buyat, ditinjau dari
perspektif korban. Bukan dari makanis teknis, soal tetek-
bengek merkuri, arsen dsb yang menjadi argumentasi anti
humanis para pembela modal itu.
Pada bagian lain, Nga’asan juga membahas beberapa
hal yang terkait dengan intelektualisme Tou Minahasa dan
problem kultralnya. Banyak hal memang yang harus
dibahas tuntas, dan diungkap dalam konteks civil society
kita. Untuk itulah, kehadiran Nga’asan yang terkesan
terburu-buru ini juga didorong oleh kenyataan sosial bahwa
problem sosial rakyat kita makin akut dan terjadi secara
sistemik membutuhkan respon cepat dan aksi. Semoga !!!
Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: ICRES, MAM, PM, dan YSN.
TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Kata independensi sendiri tidak bebas nilai. Ia sendiri
adalah struktur yang harus dibongkar karena justru
sarat dengan kepentingan atas di mana tempat ia
mengakar, yaitu intelektualisme. Sehingga menjadi sulit
kemudian memisahkan intelektualisme dan indipendensi
karena keduanya tumbuh dalam spirit yang sama. Apalagi,
problem kemapanan intelektual selalu menjadi problem
kultural yang selalu terjadi dalam khasana intelektual di dunia,
justru itulah ia kadang-kadang menjadi tidak indipenden.
Selalu saja ada orang-orang yang merasa mapan dengan
mashabnya (world view), lalu menyembahnya dan kemudian
menjadi “tuhan”nya. Ada lagi yang lain, yang berkedok ilmiah
tapi pendekatannya pragmatisme konservatif. Padahal spirit
intelektual sejatinya selalu terbuka, bebas nilai dan tidak
anti kritik. Selalu saja, manusia mengalami problema
paradigma seperti ini, yakni antara kejujuran ilmiah yang
menempatkan manusia sebagai subjek dari perkembangan akal.
Yang lain adalah mengandalkan perkembangan akal dengan
berkedok ilmiah dan intelek meskipun berpotensi
mengorbankan nyawa manusia. Projek-projek nuklir misalnya.
Hal mana terjadi dalam perdebatan antara para akademisi
dan intelektual Unsrat, yakni para dokter dan akademisi pembela
Newmont, yang melihat dan merasa bahwa investasi asing harus
dilindungi versus pegawai Unsrat seperti Markus T Lasut,
Rignolda, dsb di lain pihak menilai rakyat sebagai perspektif
korban semata-mata pengabdian kemanusiaan dari apapun
metode dan mashab ilmiah tersebut. Perangkap ilmiah lain
tergambar dari banyak sekali interpretasi yang mungkin saja
didasari atas basis keilmuan masing-masing pendekatan.
Woldview atau penafsiran ilmiah (Weltanschauung) pasti
mengalami bias makna dari subjek persoalan dan terfagmentasi
pada dua kutub yang jauh dan curam apabila basis
pendekatannya mengalami godaan-godaan kepentingan
pragmatis yang bisa menggeserkan hakikat kebenaran yang
sesungguhnya. Pada tataran ini terjadi dua interpretasi pokok
yang menjadi paradoksial. Pertama, penafsiran ilmiah atas
kausalitas korban manusia-manusia buyat yang kini sedang
mengerang derita penyakit aneh.Kedua, penafsiran ilmiah
terhadap proses mekanis dan prosedural teknis pembuangan
limbah. Keduanya tentu memiliki argumentasi-argumentasi
hakiki, seolah-olah paling benar, untuk kemudian menjadi klaim
pemenang atas kebenaran satu terhadap yang lain, yang mana
keduanya mengacu pada pembenaran dan penyangkalan
Matinya Spirit Om Sam Di Unsrat(Refleksi Dari Demo Mahasiswa Unsrat Yang Menentang Seminar Ilmiah Unsrat)
“Kami berduka cita atas matinya independensi Universitas Sam Ratulangi.” Adalah karangan bunga duka yang dibawa
oleh berbagai komponen mahasiswa yang nota bene mahasiswa Unsrat yang menentang seminar internasional yang
diprakarsai oleh Unsrat sendiri.
terhadap premis mayor dari sebuah logika kausalitas, “penyakit
warga terjadi akibat pencemaran PT Newmont.”
Di sinilah, tampak usaha pemodal asing Newmont
mendekatkan persoalannya. Penguatan opini bahwa sistem dan
proses penambangan emas yang dilakukan di Ratatotok
Minahasa sudah benar, sesuai dengan konvensi-konvensi dunia
tentang lingkungan hidup. Sesuai pula dengan undang-undang
dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, serta tidak
berdampak pada jatuhnya puluhan korban warga yang terkena
penyakit “aneh” itu. Opini ini diklaim sebagai kebenaran absolut
sehingga mereduksi semua potensi kecenderungan ke arah
medan opini yang berbeda—penyangkalan terhadap korelasi
antara penyakit “aneh” dengan pencemaran. Sehingga opini
yang akan dicapai adalah, penyakit “aneh” warga, kematian
Andini, kelahiran bayi Siti yang bercak merah, dll, bukan akibat
langsung dari sistem pembuangan limbah tambang di teluk
buyat dengan sistem sub marine tailingnya.
Berbagai usaha telah dilakukan, mulai dari iklan mahal dan
simpatik di media massa, serta menegaskan opini publik
melalui pernyataan para ahli, dokter, akademisi, tokoh
masyarakat, aktivist, pers, dan bahkan tokoh agama, bahwa
Newmont tidak melakukan pencemaran di Buyat.
Sebuah lembaga yang mengklaim membantu rakyat
buyat dalam advokasi kesehatan pun mencabut gugatannya
di pengadilan dan memutuskan berdamai dengan Newmont.
Satu demi satu orang-orang yang menggugat Newmont
sebagai pemodal asing bertanggungjawab atas tragedi
penyakit aneh warga buyat, mulai berguguran. Sementara
para agen dan kaki tangannya pun sibuk melakukan
propaganda guna meredam suara sumbang terhadap
investasi asing sekelas Newmont yang ditengarai melakukan
pencemaran lingkungan.
Sampai akhirnya, Universitas Sam Ratulangi yang
dipimpin oleh rektornya Lucky Sondakh, menginisiasi
pertemuan bertajuk ilmiah; “International Seminar Mining,
Environment, and Sustainable Development A Lesson From The
Gold Mining Controversy In Buyat Bay.” Sebuah pertemuan
yang diduga mengaburkan masalah pencemaran karena
seminar ini sendiri didanai atau salah satu pendananya adalah
PT. Newmont. Demikian juga pesertanya yang nota bene
lebih mengakomodir orang-orang yang pro Newmont dan
tidak memiliki perspektif korban.
3
Jelas di sini menjadi telanjang betul bahwa intelektualisme
Unsrat sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dalamnya
mengusung roh kebenaran yang epistemik, telah mengalami
pergeseran moralnya dari semangat kebenaran ilmiah apapun
perspektifnya, kepada intelektualisme pragmatis yang jelas-
jelas menjadi konservatif dan mapan. Indikasi sangat tampak
dalam beberapa analisis berikut:
Pertama, kajian lingkungan beberapa peniliti Unsrat seperti DR.
Markus T Lasut dan DR. Rignolda justru ditolak, tidak menjadi
acuan sama sekali, minimal menjadi acuan penelitian. Hal ini penting
karena ke dua peneliti ini menggalinya dari perspektif mekanis-
teknis, agak berbeda dengan penelitian dr. Jane yang lebih ke
pendekatan medis. Meski dilakukan dengan perspektif korban,
namun beberapa perangkat metode penelitian dan perilaku sampling
kurang mendapat apresiasi dari kalangan medis sekalipun;
Kedua, Unsrat coba melakukan pendekatan/perspektif korban
dengan membelokan perhatian utama subjek kebenaran. Seperti
yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Unsrat yang terindikasi
melakukan mal praktek (dibedah di ruang kelas FK Unsrat yang
tidak representatif untuk standar medical treatment), terhadap warga
Buyat yang mengalami penyakit “aneh.” Lalu secara serampangan
mengambil kesimpulan naif dengan langsung memberi kesimpulan
(tesis) yang jelas menyangkal (anti tesis terhadap) penyakit akibat
pencemaran. Padahal, tidak dijelaskan mengapa hanya warga buyat
yang mengalami penyakit yang “aneh” itu. Mengapa daerah miskin
di pesisir pantai yang lain tidak mengalami hal serupa. Sehingga
banyak pihak sudah datang pada faktor ketiga;
Ketiga, terjadi klaim kebenaran yang prematuer bahwa warga
buyat hanya mengalami penyakit kulit biasa-biasa saja. Di sinilah
kesalahan fatal FK Unsrat dan para pendukung PT Newmont
lain. Mestinya Unsrat dan pemerintah berada pada posisi indipenden
serta melakukan penelitian yang lebih komprehensif baik dari
perspektif korban (ada apa dengan korban yang kini mengalami
penyakit ganas dan aneh itu=buyat disease), maupun dari
perspektif mekanis dan prosedural teknis terhadap pola, motode,
dan sistim pembuangan limbah tambang PT Newmont. Yang terjadi
justru, penelitian-penelitian sebagian orang, dan diperkuat oleh Unsrat
sebagai institusi, yang mengcounter opini telah terjadi pencemaran di
teluk Buyat oleh Newmont. Di sinilah sebenarnya kematian
intelektualisme lembaga yang menggunakan nama Sam Ratulangi
yang mengusung spirit Si Tou Timou Tumou Tou (=saling
menghidupkan orang lain).
Di sini pula jebakan utamanya. Bahwa kelompok, lembaga,
aliansi rakyat yang mengklaim bahwa Newmont telah melakukan
pencemaran, baik dari perspektif korban maupun mekanis dan
prosedural teknis tidak dapat dibantah secara ilmiah oleh Unsrat.
Malah Unsrat dan pembela Newmont masuk dalam medan
pertempuran “kebenaran” dengan mengatakan bahwa bayi
almarhuma Andini maupun Siti yang kini sekarat, dll, hanya
mengalami penyakit biasa dan tidak oleh karena pencemaran logam
berat. Harusnya kebenaran utama dilihat dari dari dua sisi. Pertama,
Perspektif korban (premis mayor), adanya penyakit aneh di Buyat.
(Tesisnya), maka, terdapat dugaan pencemaran di Buyat.Artinya,
korelasi antara pencemaran dan penyakit yang ditarik dari sisi
mengapa penyakit aneh itu ada di Buyat.Ini harus dijelaskan secara
ilmiah.
Kedua, perpektif Mekanis-Teknis atau prosedural teknis, (premis
mayor) Buyat telah tercemar. Maka warga buyat terkena penyakit
kulit. Artinya, menjadi sulit mengatakan penyakit aneh di Buyat
tidak berkorelasi dengan pencemaran di Buyat. Sehingga kalau
bantahan pro Newmont adalah buyat tidak tercemar, maka
bagaimana menjelaskan penyakit aneh di Buyat sementara kasus
ini hanya terjadi di kampung Buyat Pante saja.
Ketiga, sebagai perspektif alternatif yang bisa panjang lebar
dan bertele-tele adalah, kedua premis mayor berdiri sendiri. Yaitu,
kasus pencemaran dilihat secara terpisah dari terjadinya korban
warga Buyat. Penelitian yang komprehensif tentang pencemaran.
Serta penelitian yang komprehensif tentang penyakit “aneh” (buyat
disease) dan turunannya yang terjadi pada warga Buyat Pante.
Tampaklah jelas Intelektualisme Universitas Sam Ratulangi
nampak runtuh. Bagaimana mungkin klaim kebenaran itu bisa
dilakukan tanpa ada penelitian yang komprehensif, ilmiah,
indipenden, otentik, dan akurat. Bahkan pada logika perpektif
korban, (Premis mayor) Unsrat mengatakan bahwa, penyakit aneh
tidak ada hubungan dengan masalah pencemaran di Buyat. Lalu
apa tesisnya? Apakah Unsrat mengatakan bahwa; Teluk buyat tidak
tercemar oleh logam berat? Pernyataan Rektor Lucky sendiri
mengambang dengan mengatakan bahwa masih perlu adanya
penelitian yang komprehensif dan ilmiah. (Mdopost Mei 2005).
Jelaslah bahwa institusi pendidikan ini mengalami kebingungan dan
makin sulit untuk mengelak bahwa Unsrat memang berpihak
kepada Newmont.
Di tengah kecurigaan besar-besar kelompok NGO, Mahasiswa,
Aliansi Rakyat terhadap Unsrat dan para pecalangnya, tiba-tiba
Rektornya, Lucky Sondakh, datang dengan ide seminar internasional
dengan mewah dan mahal serta dibiayai oleh Newmont. Ada apa?
Inilah celah yang menjadi lebar untuk masuk kepada analisa;
kenapa mahasiswa Unsrat melakukan demo menolak seminar dan
rekomendasinya yang dilakukan oleh Universitas Sam Ratulangi
tersebut. Adalah sebuah gugatan terhadap matinya spirit
intelektualisme yang mestinya menjadi ruh pendidikan di lembaga
pencetak kader-kader muda tersebut.
Sehingga ketika masuk pada persoalan seminar ilmiah yang
mewah dan mahal itu, maka lembaga ini dengan oknum-oknum
elit lembaga tersebut tidak hirau dengan tema utama Buyat dengan
paradoksialnya. Dan malah bergeser dari substansi dari apa yang
seharusnya dilakukan seperti revisi sikap dan kebijakan terkait dengan
peran intelektualisme lembaga pendidikan yang indipenden, kepada
acara-acara pertemuan yang ceremonial dan diskursif. Bukan seperti
apa yang mestinya menjadi spirit utama falsafah Tou Minahasa
yang digambarkan oleh (Om) Dr Sam Ratulangi: Si Tou
Timou Tumou Tou. Sayang.(veldy umbas).
TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
4
dicemari oleh PT Newmont Minahasa Raya; 2) fenomena
penyakit aneh di Buyat diduga memiliki korelasi yang kuat
dengan tercemarnya lingkungan (keracunan logam berat);
3) sikap segelintir petinggi Unsrat yang mengklaim diri
sebagai representasi civitas academica Unsrat yang amat getol
membela PT NMR mulai dari mendatangi DPR RI (2004
silam) hingga mendatangi Komnas HAM (2005) – cuma
untuk mengajukan antitesis (yang disebut sintesis) dari
epistemologi versi mereka bahwa Buyat sama sekali tak
tercemar, sama sekali tak dicemari limbah B3 (bahan
beracun berbahaya) oleh perusahaan raksasa Newmont
Minahasa Raya!
Baiklah kita menjawab pertanyaan mengapa seminar
internasional Unsrat patut dikritik jika tak dibilang
ditelanjangi, atau diboikot dari penggunaan ST4. Pertama,
ST4 memiliki makna menghidupi manusia lain, sementara
seminar internasional tersebut jelas-jelas menafikan penyakit
keracunan yang diderita manusia Buyat (buyat disease).
Bahkan dari luar seminar, para centeng ilmu yang berbaju
dokter-dokter spesialis dan pejabat kesehatan lokal
mendukung seminar internasional tersebut dengan argumen
sensasionalnya tentang penyakit ichtyosis (sisik ikan pada
manusia; penyakit sangat langka; penyakit karena perubahan
genetik akibat keracunan yang sama sekali tak bisa
disembuhkan) divonis sebagai penyakit kulit biasa yang
enteng disembuhkan! Secara tak langsung, seminar
internasional ini mengimplikasi bahwa buyat disease tak
dianggap sebagai kasus penyakit atau kasus kedokteran atau
bahkan kasus ilmiah yang harus dielaborasi tuntas menurut
dalil sebab-akibat yang ketat. Kasarnya, dalil sebab-akibat
benar-benar disepelekan oleh testimoni seminar internasional
menurut versi praksis.
Kedua, sebagai turunan murni Minahasa, saya tak rela
filosofi, atau slogan atau malah cuma sekadar jargon ST4
diselewengkan hanya untuk mendapatkan bayaran jasa
dengan “mematikan” manusia lain (baca: membiarkan
manusia lain terbunuh atau menderita).
Ketiga, haruslah dituduh bahwa seminar internasional
ini dibuat spesial khusus untuk mempengaruhi proses hukum
yang sedang ditimpakan pada PT NMR baik pidana
maupun perdata (pleidoi prematur bagi pesakitan yang
banyak duitnya).
Keempat, seminar internasional ini jelas-jelas memiliki
efek negatif bagi kepentingan rakyat yakni menjadi
preseden pada kebijakan publik oleh negara dalam konteks
Menyoal Dalil Causa Prima(kritik atas seminar internasional Unsrat)
Oleh: Revkots
n Melepoti ST4
TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Anggap saja tulisan ini memang menyepelekan atau
menghinadinakan epistemologi yang “dianut” beberapa
oknum (baca: pakar) Universitas Sam Ratulangi dan para
“centeng” ilmunya – yang menyelimuti dirinya dengan gelar
ilmuwan atau dokter. Justru ketika mereka dengan busung
dada “berhasil” melaksanakan seminar internasional pada
tanggal 9-10 Mei 2005: – sebuah iven bergengsi nan “mahal”
yang merupakan pencerminan kapitalisasi intelektualisme
– hanya untuk mendeklarasi Teluk Buyat tak dicemari PT
Newmont Minahasa Raya. Seminar yang dituduh sangat
mengingkari independensi ilmiah tersebut, bahkan dua kali
didemo oleh mahasiswa, akhirnya bermuara pada protes
keras dari para tou (orang) Minahasa yang meributkan klaim
filosofi Sam Ratulangi yang dilakukan Unsrat yaitu Si tou
timou tumou tou (ST4), menusia hidup untuk menghidupi
manusia lain. Bahkan, beberapa pendapat mengatakan
seminar tersebut adalah penghinaan intelektual Minahasa.
Ihwal kritik dan protes diawali oleh penandaan atas
kelompok bandar (penyandang dana seminar) yaitu PT
Newmont dan para tukang kepruknya (43 perusahan
tambang dunia) – yang dilakukan justru pada momen-
momen dramatis limbah B3 PT Newmont Minahasa Raya
dinilai amat bermasalah di Buyat. Hal ini mengimplikasi
pameo kultur miskin yang lagi tren akihir-akhir ini yaitu
“maju tak gentar membela yang bayar!” Artinya, dimensi
ini menjelaskan tentang siapa membela siapa yang berujung
pada harus diragukannya seluruh kesimpulan seminar ini.
Rupa-rupanya langkah menseminarkan Buyat tak
dicemari Newmont, dilandasi oleh itikad (baca:
tendensiusme) yang menuduh penyakit aneh-aneh warga
Buyat sebagai rekayasa murahan para tukang peras kapitalis
(investor). Pada tahap ini tak saja metodologi ilmu yang
disepelekan, tetapi malah sebuah paradoks ilmu telah
diluncurkan dengan alasan hakikat ilmu itu sendiri. Ironisnya,
dilakukan oleh lembaga ilmu yang mentereng. Yakni, sebuah
hipotesis diadu dengan antitesis usang (yang disebut-sebut
sintesis) yang terus menerus dimutakhirkan sembari
mengabaikan fakta-fakta yang sedang berlangsung di depan
jidat keriput para pakar (penyelenggara seminar) yang
mengaku ilmuwan tersebut.
Fakta-fakta yang dimaksud adalah 1) kesimpulan yang
akhirnya diambil kementrian LH dari penelitian
komprehensif tim terpadu sebagai sikap negara yakni Buyat
5
tak terlindungnya masyarakat dari lingkungan tidak sehat
gara-gara melindungi investasi yang brengsek. Ringkasnya,
seminar ini melegitimasi praktik menumbalkan masyarakat
untuk kepentingan brengseknya investasi!
n Proyek Maling di Kampung Uztad
Sejak 1996, sebagian ilmuwan Unsrat, memang terlibat
jauh dalam penyusunan amdal PT NMR. Bahkan, Prof.
Dr. Lucky Sondakh Mse (Rektor Unsrat yang menginisiasi
seminar internasional) dalam konteks amdal, adalah Ketua
PSL waktu itu. Sementara dalam kasus STD (submarine tailing
disposal) serta kasus lapisan termocline perairan Buyat (yang
disebut memadai dan aman di kedalaman tailing 82 meter),
para ilmuwan
tersebut mati-matian
m e m b e l a
“kebenaran” STD
dan “kebenaran” 82
m dengan
k e c e n d e r u n g a n
melenyapkan fakta
dalam kerangka
mendukung paradoks
kebenaran mereka
(contohnya lebih 13kali ikan-ikan Teluk
Buyat mati
mengapung pada
tahun pertama
pembuangan tailing).
Teori STD pada
kedalaman 82 meter
akhirnya dimentahkan secara memalukan oleh Tim Terpadu
LH Oktober 2004 silam. Karena pada kenyataannya, fisik
Teluk Buyat secara kasat mata saja, kabur oleh naiknya
limbah B3 ke permukaan, dan ekosistem Buyat amat
terganggu yang ditandai oleh menurun drastisnya jenis ikan,
Teluk Buyat yang indah sekarang dipenuhi ikan benjol, dan
manusia disekitar Teluk Buyat menderita berbagai penyakit
aneh dan langka. Ringkasnya, STD pada kedalaman 82 m,
sama sekali tak aman!
Kendati, setahu kita telah ada rekomendasi Tim Terpadu
LH agar dilakukan penelitian pathway guna mendapatkan
penjelasan ilmiah antara limbah B3 di Teluk Buyat dengan
kesehatan manusia di sekitarnya. Sayangnya, kisah penelitian
pathway yang menjadi harapan para korban pencemaran,
hanya sebatas rencana saja. Akibatnya, fakta tercemarnya
lingkungan oleh limbah B3 yang telah masuk pada mata
rantai kehidupan manusia, seolah-olah hanya untuk
diambangkan agar memasuki paradigma wacana nan mulia
dalam kebaikan hati negara dan investasi asing! Wacana-
wacana yang baik dan benar itu – seperti juga kitab-kitab
suci agama – akhirnya mudah “dimalingin” oleh “serdadu-
serdadu bayaran” melalui penciptaan fakta baru oleh
penelitian-penelitian sumir yang dengan bangga disebut
sebagai produk ilmiah para “pakar” berjidat keriput yakni
Buyat sama sekali tak dicemari oleh PT Newmont Minahasa
Raya! Ironisnya, itu dicomot dari representasi komitmen
intelektual Minahasa (ST4).
Bukankah dimensi ini menjelaskan skenario “proyek”
di kampung uztad? Fatwa “sakti” dari uztad “tersuci”,
sesungguhnya bukanlah barang sakral ketika beradu taji
dengan interesse materialisme (yang saat ini didaulat sebagai
perlindungan terhadap investasi asing). Pada tahap ini, seolah
sah dan legal bagi kelompok “pemroyek” ini untuk mulai
menuduh tambang
rakyat yang diduga
ikut mencemari
sungai Totok
(mungkin juga hingga
ke Teluk Totok),
sebagai satu-satunya
aktor yang
mencemari Teluk
Buyat – walau pun
sama sekali takrelevan. Yakni Teluk
Totok dan Teluk
Buyat dipisahkan oleh
s e m e n a n j u n g
pembatas yang tegas!
Jelasnya, skenario
maling di kampung
uztad dipinjam dari pepatah kuno orang kampung yang
lazim yaitu maling teriak maling.
Bahkan, racun arsenik yang tiba-tiba saja merajalela di
Buyat didaulat dalam 2 kategori yaitu pertama, katanya,
arsenik itu keluar sendiri (terekstraksi) dari batuan andesit
kemudian mencemari lingkungan di situ; memasuki sumur-
sumur penduduk serta sumber air PDAM untuk dikonsumsi
masyarakat Buyat bertahun-tahun lamanya. Kedua, konon,
arsenik memang sudah ada dari sononya. Padahal, kedua
kategori tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ihwal yang
disebut rona-awal dalam amdal PT NMR yang dikerjakan
sebagai proyek “ilmiah” oknum-oknum ilmuwan Unsrat,
termasuk Ketua PSLnya. Selanjutnya, syahdan, racun arsen
yang tiba-tiba datang di Buyat disimpulkan sebagai bukan
pencemaran PT NMR. Tetapi suratan takdir nasib buruk
orang Buyat saja. Lalu, limbah sianida, limbah arsenik,
limbah mercury organik, dan lain-lainnya dibuang di mana?
Pada kedalaman 82 m STD Buyat? Lalu hilang lenyap
ditelan dasar laut Maluku? Ataukah seperti kata Ir Bonnie
TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
6
Sompie ketika ia menjabat Kepala BPLH Sulut waktu lalu,
bahwa limbah B3 NMR telah dibungkus dos dulu sebelum
dibuang ke Teluk Buyat? Walahualam, tekateki proyek maling
di kampung uztad semakin menarik dipikirkan.
n Teori Kuda Bendi
Bagian paling menarik dalam kasus-kasus ilmu yang
ekstrim adalah ketika berbagai perspektif ilmu bergabung
dalam perspektif universal bernama kemanusiaan. Teori
inti atom, misalnya – yang disepakati sebagai potensi terbesar
untuk memusnahkan manusia – selain telah lebih dahulu
sukses gemilang membunuh ratusan ribu orang Jepang dan
mencemari habis-habisan manusia di Chernobyl. Atau malah
cuma sekelas hidrostatikanya Archimedes yang “sengaja”
dilupakan ketika orang mulai mereklamasi pantai-pantai di
Indonesia yang akhirnya mengabrasi pantai-pantai lainnya.
Tak kalah menariknya, penyakit orang Buyat yang
fenomenal seperti kram-kram dan pusing-pusing yang
mengarah pada kelumpuhan syaraf; benjolan (tumor); infeksi
paru-paru dan penyakit kulit yang luar biasa; – dengan salah
satu anamnese atau rujukan pada gejala keracunan logam
berat, tetapi divonis tegas sebagai penyakit biasa dari masalah
higienitas lingkungan nelayan Republik Indonesia tercinta.
Termasuk penyakit perubahan genetik pada manusia yang
bernama ichtyosis di atas. Sementara daftar penyakit akibat
perubahan genetik di berbagai belahan bumi lainnya yang
dicemari logam berat dengan begitu mudah ditemukan. Itai-
itai disease menuding cadnium (Cd) sebagai penyebab
lahirnya bayi-bayi hidrosepalus. Atau Minamata disease
dengan mercury organik (Hg) yang amat menggetarkan hati
karena bayi-bayi cacat dan imbisil.
Pendapat murahan yang juga didukung kalangan medis
lokal tersebut, jelas-jelas menafikan kompleks persoalan
kesehatan tersebut dengan satu-satunya tuduhan yaitu
kemiskinan. Jika memang masyarakat masih miskin, misalnya
karena akses yang tertutup terhadap modal, atau sistem-
sistem kemasyarakatan yang justru memiskinkan masyarakat,
lalu apa hubungannya terhadap penyakit yang datang
bersamaan dengan diambilnya kekayaan isi perut bumi
tempat mereka tinggal? Sirik atau mau memeras? Justru
ketika terkurasnya seluruh pendapatan dan tabungan, atau
bahkan kebun dan berbagai properti lainnya telah habis
diloak gara-gara membiayai pengobatan penyakit aneh yang
tak kunjung sembuh? Pada tahap ini, sesungguhnya uang
negara telah banyak digunakan untuk membantu PT NMR
yaitu dengan pembiayaan Gakin di Buyat.
Menjadi pertanyaan, apakah berbagai peristiwa
kemanusiaan tersebut tak jua menggugah nurani kaum
ilmiawan Unsrat (yang terlibat dalam seminar internasional
itu; yang terlibat membela habis-habisan PT NMR) untuk
tak menutup mata dengan fakta-fakta ironisme atau malah
mungkin fatalisme teori mereka tentang Buyat? Teori
TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
sosiologi peranan Parsons terimplikasi atau harus dituduhkan
dalam peristiwa ini. “Manusia eksistensial akan mundur ke
belakang penampilannya yang lahiriah. Penampilan,
ketrampilan, dan prestasi akan diutamakan di atas kejujuran
dan motivasi,” kata Parsons. Sementara K.J. Veeger (1986)
menguraikan, “…... melarutkan kepribadian dan menjadikan
dirinya miskin dalam arti moral. Mereka memainkan
peranan mereka di bawah pengaruh dari faktor-faktor
sosiopsikologis, seperti keinginan akan sukses, popularitas,
kepastian dalam hidup, keuntungan materiil, ketakutan akan
hukuman, maupun dari faktor-faktor seperti hukum,
peraturan atau situasi melulu; merupakan suatu penyerahan
pasif kepada suatu skrip atau seolah-olah ditempelkan oleh
situasi sosial dari luar kepada diri pelaku. Motivasinya bukan
nilai intrinsik suatu perbuatan. Merupakan kelakuan sosial
yang tidak bercorak manusiawi!” Quo vadis, Dominee?
Pada tahap ini, jelas terjadi pertentangan (ambivalensi)
yang keras antara rekomendasi sensasional seminar
internasional dengan hukum sebab-akibat dari logika. Justru
ketika seluruh “sebab” diabaikan mentah-mentah oleh
lembaga ilmu yang mentereng hanya untuk membantah
suatu “akibat”. Meminjam metode falsifikasi yang
diturunkan dari epistemologi neopositivistik, maka
rekomendasi seminar internasional Unsrat memang harus
diragukan, bahkan ditolak. Menurut aturan modus tollensdalam logika, yaitu bila p (praktika) yang adalah turunan
atau konsekuensi dari t (teori) itu salah, maka t pun mesti
salah. Metode yang mengemukakan bahwa sistem
pengetahuan bertambah maju, bukan karena akumulasi
pengetahuan yang verified dari waktu ke waktu, melainkan
proses eliminasi yang makin keras terhadap kemungkinan
adanya kekhilafan dan kesalahan (falsified). Falsifikasi adalah
pengujian pengetahuan secara asimetris, dimana kebenaran
tetap merupakan dugaan, tetapi kesalahan merupakan suatu
kepastian.
Jelaslah, bahwa itikad dan rekomendasi seminar
internasional Unsrat tersebut ambivalen dengan 2 esensi besar
di dunia ilmu yaitu modus tollens dalam logika, dan metodologi
ilmu (hipotesis diadu dengan antitesis, ibarat menyalahkan
hujan karena jemuran harus diselamatkan). Alhasil, ruang
pandangnya menjadi amat sempit karena perspektif
kacamata kuda tentang Teluk Buyat tak dicemari PT
Newmont Minahasa Raya. Pada taraf tertentu –
sebagaimana lazimnya para penipu jalanan – cara pandang
ini akan memasuki tahap fatamorgana (menipu diri sendiri
yang oleh “kecanggihan” dan keseringan berbohong,
seseorang menjadi percaya dengan kebohongannya sendiri),
jika tak memasuki paradigma metafisis yang tentu saja akan
mulai menyalahkan hidup itu sendiri. Tantum posimus, quantum
scimus, kata Francis Bacon.***
7
Penduhuluan
Masing – masing etnik dimanapun memiliki
ciri khas yang terbentuk dan dipengaruhioleh sejarahnya. Di Minahasa, etnik yang tergabung pada
awalnya terdiri dari etnik Toumbulu, Tountemboan, Tounsea dan
Toulour dan kemudian Tounpasan, Tounponosakan, Tounbantik,Tounsawang dan TouWawontehu. Dan kini persatuan tersebut
terdiri dari sembilan etnik yang satu dengan lainnya memiliki
perbedaan baik dari segi bahasa maupun hukumnya.Sebuah model persatuan yang unik ini menurut legenda dimulai
dari anak – anak Lumimuut – Toar (sebagai cikal bakal etnik –
etnik yang ada di Minahasa) dan berlanjut pada pembagian diWatu Pinawetengan (disingkat WP). Perjalanan panjang terbentuknya
etnik – etnik yang kemudian bersatu (dalam bahasa lokal disebut
Minaesa / Minahasa) karena satu asal nenek – moyang mengalamiberbagai peristiwa yang mengancam eksistensinya serta akulturasi
walaupun enkulturasi merupakan kewajiban bagi setiap etnik untuk
melanjutkan adat – budayanya.Tercatat dimulai dari pengaruh disekelilingnya akibat migrasi
yakni, Tifuru, Bolaang, dan Mangindano merupakan factor pentingdalam akulturasi yang berproses secara alami dengan empat
kemungkinan. Kemungkinan tersebut mencakup asimilasi (ketika
seorang individu tidak ingin memelihara budaya dan jatidiri danmelakukan interaksi sehari – hari dengan masyarakat dominan),
integrasi (suatu minat dalam keduanya baik memelihara budaya
asal dan melakukan interaksi dengan orang lain) dan separasi (suatunilai yang ditempatkan pada pengukuhan budaya asal seseorang
dan suatu keingingan menghindari interaksi dengan orang lain)
serta kemungkinan lainnya yang merupakan akibat proses yakni,marjinalisasi yang lebih pada keniscayaan kecil atau minat kecil untuk
pelestarian budaya (kadang karena alasan kehilangan budaya menjadi
sandaran) dan sedikit keniscayaan atau minat melakukan hubungandengan orang lain (kadang karena alasan pengucilan atau
diskriminasi).3
Akulturasi di Minahasa dapat dilihat dari keempat proses diatas sehingga memperjelas posisi etnik – etnik dalam konteks adat
– budayanya. Pemahaman dan kesadaran tentang identitas menjadi
penting berkaitan dengan posisinya dalam etniknya maupun dalamkebersamaan pada skala lebih luas (Minahasa). Sejak Perang Moraya
1808 – 09 yang dapat dikatakan sebagai titik kulminasi adat –
budaya etnik di Minahasa, hal ini menjadi penting untuk menelusurijejak akulturasi Minahasa modern hingga kini sehingga menjadi
pengetahuan dan kemudian menumbuhkan kesadaran bagi generasi
sekarang untuk bersikap dalam kancah pergaulan modern danglobal. Disamping itu pengetahuan tentang adat – budaya
merupakan modal etnik untuk dapat mempertahankan eksistensi
ditengah keberagaman sekaligus memperkokoh tradisional –
Persatuan Etnik:
Minahasa Sebuah Model Dan Solusi
Oleh Matulandi Supit
nasionalisme yang dilandasi oleh territorial dan genealogis. Demikian
dinamika etnik – etnik yang berada di wilayah kurang lebih 4500
Km2, darisana terasa penting untuk menghadirkan tulisan singkatini bagi generasi sekarang dan akan datang.
Minahasa Sebuah Kesepakatan Bermasyarakat
Ketika suatu saat dimana keturunan LT telah berkembang dimasing – masing rumpunnya maka perlu diadakan pembagian
wilayah, bahasa dan pengetahuan. Pembagian mana bertujuan
untuk kepastian terhadap identitas masing – masing sehinggatercipta keselarasan dan keseimbangan horizontal (manusia –
manusia) dan vertical (manusia – alam semesta).
Berdasarkan upaya yang dilakukan oleh kelompok kerja untukmengumpul dan menggali adat – budaya etnik – etnik di Minahasa
pada tahun 1854 dipimpin oleh Mayoor Nicolas Mogot ditemukan
sejumlah riwayat etnik yang sangatberagam dan simbolik. Hampir keseluruhan riwayat tersebut
tidak mudah dipahami dengan logika karena dituturkan secara
lugas. Paling tidak riwayat tersebut disimpulkan sebagai legendaatau mitos yang baik untuk dikonsumsi anak – anak sebelum
tidur. Namun apakah itu mitos atau sebuah fakta yang terciptamelalui waktu, berisi sejuta makna yang dalam tentang eksistensi
etnik. Paling tidak pelajaran berharga dari masa lalu yang
menunjukkan bahwa etnik – etnik di Minahasa menempuh proseskehidupannya melalui kesepakatan – kesepakatan yang diadakan
untuk itu. Kesepakatan yang penting dalam kehidupan etnik –
etnik tersebut adalah Kesepakatan Watu Pinawetengan. Kesepakatanyang dibuat pada suatu tempat yang sangat strategis dimana seluruh
daratan Minahasa terlihat serta dikukuhkan pada suatu batu besar
yang merupakan miniature wilayah yang akan dibagi. Bilamanamencermati pilihan tempat untuk pembagian ini menunjukkan
bahwa leluhur memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang
masyarakat maupun tentang alam. Teknologi sosial dan alam yangtradisional terbangun berdasarkan pengalaman (empirical) yang
didasari oleh keselarasan dan keseimbangan. Prinsip tersebut yang
melahirkan kesepakatan sebagai alat untuk mencapai sesuatu.Kesepakatan yang dicapai di Watu Pinawetengan mencakup
kemasyarakatan yang berisi wilayah, bahasa dan pengetahuan
merupakan dasar utama persatuan dan kesatuan etnik – etnikyang seasal. Persatuan yang dimaksud adalah sinergisitas potensi
untuk membangun dan mempertahankan identitas masing –
masing maupun secara bersama. Sedangkan kesatuan dimaksudsebagai satunya asal – usul territorial dan genealogis yang
membentuk bahasa dan pengetahuan.
Makna persepakatan Pinawetengan begitu dalam bagi etnik –etnik di Minahasa sehingga batu tersebut dianggap sacral dan
monumental. Kegiatan manusia yang berhubungan dengan
keselamatan dilakukan dan dipastikan di batu ini disamping agama
PERSPEKTIF Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
8
yang telah dipeluknya. Etnik – etnik di Minahasa lebur menjadi
satu ketika berada di batu pinawetengan. Penghayatan terhadap
persatuan dan kesatuan yang disebut Minahasa mewujudnyatadalam ritual rumages (persembahan) dan mengalei (permohonan).
Kesepakatan leluhur menjadi dasar atas ritual yang dilakukan
menunjukkan bahwa identitas masih terpelihara walaupun dalamkehidupan sehari – hari dimasyarakat sangat Kristiani. Dualisme
tersebut berpengaruh langsung pada pengambilan keputusan baik
langsung maupun tidak langsung. Inkonsistensi dan kontroversimerupakan fenomena dalam setiap keputusan karena tradisi masih
melekat dan modernisasi menjadi pilihan lainnya.4
Kontroversi dan Inkonsistensi Pengambilan KeputusanDinamika adat - budaya sejak Perang Moraya mengalami degradasi
tajam akibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pengetahuan yang dimiliki leluhur. Kalah perang merupakanpenyebab disamping upaya memarjinalisasi pengetahuan tradisional
oleh pemenang yang ditempuh melalui pendidikan dan kesehatan.
Pernyataan N. Graafland tergambar dalam kalimat,“bagaimanapun penilaian orang mengenai penguasaan tersebut, penguasaan
orang – orang Belandalah yang akhirnya membawa berkat untuk orang
Minahasa…”5 Mencermati hal tersebut nampak jelas bahwa etnik– etnik di Minahasa dipandang sebagai primitive atau alifuru serta
berbagai julukan yang negative. Peradaban yang dibawah orang
Belanda adalah peradaban yang modern dan manusiawi.Melalui penerimaan Kristen oleh orang di Minahasa membawa
akibat bahwa dengan sendirinya orang telah menerima hukum
Eropa. Dan apabila ternyata penerimaan tersebut tidak segera terjadi,maka diberikan peraturan yang kelihatannya lebih sederhana, tetapi
tetap bersifat Eropa terutama yang berkaitan dengan perkawinan.6
Disisi lain pendidikan berdasarkan prinsip Eropa merupakan sebuahstrategi untuk membuat orang di Minahasa mengenal modernisasi
dan sekaligus merombak ideology asli. Dari ideology yang bersifat
religius – mistis kepada religius – logis. Kemudian dilengkapi dengankonsep kesehatan yang logic mendesak konsep kesehatan yang
mistis. Demikian pula dengan pengenalan model kepemerintahan
yang birokratis membawa pengaruh kuat pada tatanan sosial.Perobahan status hak atas tanah yang tadinya bersifat kolektif
menjadi individualistis dan monetisasi ekonomi tradisional (tadinya
ekonomi berlangsung melalui barter) membuat masyarakat menjadilebih praktis dan terlepas dari prinsip – prinsip tradisinya.7
Upaya sistematis colonialis menghancurkan eksistensi asli etnik di
Minahasa kemudian diganti dengan eksistensi yang logic dan modern.
Sejalan dengan itu eksploitasi sumberdaya manusia dan alamnya menjadi
mulus tanpa mengeluarkan biaya yang tinggi.
Berbeda dengan tempat lain di nusantara, wilayah – wilayah yang
diperintah oleh raja/sultan agak sulit untuk melakukan perombakan atas
ideologynya sehingga relatif dapat terpelihara hingga kini. Sebagian etnik
di nusantara yang berhasil dirobah adalah, Batak, Maluku dan Minahasa
sementara Papua, Kalimantan dan Nusa Tenggara relatif tidak berubah
sepenuhnya walaupun Kristen telah dipeluk disana.
Kehancuran Minahasa akibat skenario gold, gospel dan glory (triple G)
merupakan episode yang paling tragis. Marjinalisasi identitas asli
berlangsung sengit melalui sosialisasi Kristen di Minahasa. Orang yang
PERPEKTIF Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
hendak mempertahankannya harus dikucilkan atau mengucilkan diri karena
dicercah oleh saudaranya sendiri. Kearifan budaya yang tadinya melengkapi
tatanan sosial berangsur lumpuh diganti oleh kearifan yang tidak dikenal
sama sekali walaupun sesungguhnya mereka berada pada suasana yang
kontroversi yakni, perilaku dan sebagian hukumnya masih berpegang
pada adat – budaya sementara keinginan untuk turut dalam pergaulan
modern sangat kuat. Akibatnya ketika berhadapan dengan situasi dan
kondisi yang memerlukan keputusan, mereka terjebak dalam suasana
inkonsistensi yakni, ketidakjelasan dalam menentukan sikap.
Fenomena ini ditemukan hampir diseluruh masyarakat pasca colonial
dimana dualisme merupakan fakta kemasyarakatan. Secara sengaja atau
tidak disengaja, kolonialis telah menemukan teknologi sosial baru dan
melalui teknologi ini, era baru kolonialisme dilanjutkan. Praktek
kolonialisme modern yang tadinya dilakukan oleh Eropa berangsur
diadopsi oleh pemodal yang berasal dari etnik sendiri bekerjasama dengan
kekuasaan negara melalui UU No.5/74 tentang Pemerintah Daerah dan
UU No. 5/79 tentang Pemerintah Desa.
Eksploitasi terjadi mulai dari tingkat lokal oleh orang tertentu asal
etnik itu sendiri dan dikendalikan secara regional, nasional dan global.
Masing – masing tingkatan mengeruk keuntungan sedangkan masyarakat
pemilik sumberdaya dan sekaligus sebagai pasar yang potensial sama
sekali tidak memperoleh keuntungan dari produksi yang dilakukan.
Keuntungan terbesar berada ditangan pengendali yakni, pemodal lokal,
regional, nasional dan global.
Inilah fakta sosial ekonomi, politik dan hukum yang terjadi pada
masyarakat di Minahasa. Kontroversi/dualisme budaya melumpuhkan
eksistensinya sekaligus membawanya kepada perangkap kolonialisme
baru yang dilakukan oleh saudara sendiri. Namun begitu, suasana tersebut
dinikmati dengan sikap pasrah atau lebih baik daripada yang lain. Kehilangan
keberanian untuk keluar dari perangkap yang semakin hari semakin
mencekik. Cukup beranikah orang Minahasa untuk keluar dari perangkap
– perangkap tersebut? Jawabannya dikembalikan kepada rakyat Minahasa.
Pentingnya Kontrak Sosial Baru
Keterperangkapan Minahasa dalam arena kolonialisme baru
menjadikannya semakin kerdil dan kehilangan kehormatan di antara bangsa
– bangsa yang ada di nusantara.
Pudarnya identitas etnik merupakan indicator kepasrahan terhadap
situasi dan kondisi yang berlangsung dewasa ini. Persatuan dan kesatuan
dikemas dalam keMinahasaan yang merupakan kekuatan ampuh yang
telah terpecah di masa lalu (kolonialisme Belanda, Jepang dan Jawa)
dipecah lagi melalui penafsiran reformasi yang negative melalui
kabupatenisasi/kotanisasi. Peninggalan nyata keteledoran masa lalu yakni,
distriknisasi walak – walak di setiap etnik yang merubah kedudukan dan
status pakasaan/etnik diteruslanjutkan dengan kotanisasi sebagian wilayah
Tombulu yakni, Kota Manado (sekarang ini) kemudian diteruslanjuti
dengan kotanisasi Bitung merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dirobah.
Dari status wilayah yang eksklusif dirobah menjadi inklusif/open access
dimana pengendaliannya berdasarkan prinsip individualistic. Keyakinan
bahwa kemajuan dapat diperoleh melalui keterbukaan ditafsirkan dengan
membuka diri sepenuhnya dari batas – batas adat – budaya. Semuanya
diserahkan kepada proses logika pembangunan yang berorientasi individual
– kapitalistik. (Bersambung)
9
PERPEKTIF Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
10
Berdasarkan asal katanya “Minahasa” berasal dari kata dasar
“Asa” yang berarti satu. Kata “Asa” juga dilafalkan sebagai
“Esa”. Melalui lafalan yang tajam dari “S” beserta “A” yang
pendek maka kata ini berbunyi seperti “Essa”, “Assa”, seperti “S”
telah digandakan. Dengan prefiks “Maha” maka terjadilah kata
“Mahasa” berarti menjadi satu atau bersekutu juga berarti telah
bersatu. Dengan adanya sisipan “In” terbentuklah kata “Minahasa”
yang berarti telah menjadi atau dijadikan satu, persekutuan,
persatuan (Grafland, 1987:12).
Kata “Minahasa” mulanya tidak digunakan sebagai sebutan
untuk menamai suatu wilayah tapi dipakai untuk menyebut “Rapat
Negeri”. Kata ini ditemukan pertama kali dalam surat yang ditulis
oleh J. D. Schiersten kepada gubernur Maluku yang bertanggal 8
Oktober 1789:
Secara historis sebelum kata “Minahsa” ini dipakai untuk
menandai wilayah, telah ada terminologi yang diakui dan diterima
serta dipakai untuk menandai keberadaan wilayah yaitu “Malesung”
yang artinya “berbentuk seperti lesung”.
Pertanyaannya sekarang mengapa “Minahasa” akhirnya
diterima untuk menunjukkan keberadaan suatu wilayah yang
sebelumnya oleh penduduk pribumi telah dinamai “Malesung”?
Jawabannya dapat kita telusuri dalam logika Kolonialisme dan
Imperaialisme yang melandasi cara pandang Kompeni Belanda
yang menganggap Timur (Baca: Malesung) sebagai “Daerah Tak
Beradab” yang “Mesti ditaklukkan” dan “Dikuasai”. Ini nampak
pula dalam usaha penamaan terhadap penduduk pribumi sebagai
“Orang Alifuru” atau “Orang Tak Beradab”.
Hal ini jelas menyuratkan kenyataan akan harus adanya
“Superioritas” atas “Daerah-daerah tak beradab” itu sehingga dapat
“Melegalisasi” setiap proses penaklukan dan eksploitasi yang mereka
lakukan.
Alasan lainnya dapat kita lihat dari kenyataan bahwa sejak Simon
Cos pelaut Belanda dan pasukannya mendarat di muara sungai
Monangolabo (Sungai Tondano) pada tahun 1655 dan mendirikan
benteng Nederlandsche Vasticoheit yang kemudian menjadi Benteng
Amsterdam Manado, sampai pada Kontrak Persekutuan dan
Kerjasama tanggal 10 Januari 1679 pihak Kompeni Belanda ternyata
belum bisa mengadakan pengerukan secara maksimal terhadap
sumber daya alam yang ada di tanah Lumimuut-Toar karena adanya
perlawanan terhadap kehendak dan kemauan mereka yang
dilakukan oleh beberapa walak yang menolak menjual berasnya
kepada Kompeni Belanda, akibatnya adalah terjadinya “Perang
Tondano” tahap pertama tahun 1660-1661.
Dari keinginan untuk mendapat untung besar ternyata Kompeni
Belanda malah mengalami kerugian akibat banyaknya biaya yang
harus dikeluarkan selama “Perang Tondano” tahun 1660-1661
tersebut.
Sebab-sebab perang tersebut selain secara mendasar ditentukan
oleh adanya konflik kepentingan baik secara ekonomi dan politik
juga ditentukan oleh kenyataan bahwa walaupun pihak Kompeni
Belanda telah berhasil mengadakan hubungan dengan beberapa
pemimpin walak di tanah Lumimuut-Toar pada waktu itu, tapi
ternyata hubungan persahabatan ini tidak berarti bahwa mereka
telah dapat mengakses apalagi menguasai seluruh wilayah tanah
Lumimuut-Toar yang berada dalam kekuasaan walak-walak lain,
sebaliknya mereka malah mengalami perlawanan yang sangat sengit.
Berdasarkan latar belakang kondisi obyektif seperti inilah terlahir
upaya untuk mendekonstruksi nilai-nilai yang melandasi pola hidup
yang membentuk identitas orang-orang keturunan Lumimuut-Toar
dan kemudian setelah didekonstruksi nilai-nilai tersebut lalu
dikonstruksikan kembali berdasarkan logika Kolonialisme dan
Imperialisme untuk mendukung kepentingan Kompeni Belanda.
Pada tahap ini “Pengkonstruksian Kembali” identitas wilayah
dari “Malesung” menjadi “Minahasa” jadi penting artinya karena
sebagai “Sebuah wilayah yang telah disatukan” (Oleh Kompeni
Belanda), maka logikanya “Malesung” telah menjadi “Wilayah
Jajahan” Kompeni Belanda. Dan sebagai “Sebuah wilayah yang
telah disatukan oleh Kompeni Belanda”, “Malesung” secara legal
formal dapat dieksploitasi untuk kepentingan Kompeni Berlanda.
Bahkan sampai pada zaman ini pun sadar atau tidak kita masih
berada dalam bayangan Logika Kolonialisme dan Imperialisme ini
sebab sebagian besar informasi yang menyangkut identitas
kebangsaan kita orang Malesung berada dalam pengusaan
Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI yang berpusat di Jakarta.***
MEMBONGKAR WACANA DI BALIK
TERMINOLOGI MINAHASAKarya : Fredy Sreudeman Wowor, SS
“Bij dezen neme ik de Vrijheid Uw WelEdele
Achtb ter g’eerde kennisse te brengen dat de Minhasa
of landraad op den 1 dezer de geschillen tusschen bantik
en Tattelie voigens hunne lands manier hebbenafgedaan
staande de solemnisatie of betuiging van vreede met
eede eerstdaags tevolgen”(Molsbergen, 1928"137)
Artinya:
“Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk
melaporkan dengan hormat kepada paduka tuan, bahwa
Minhasa atau musyawarah para ukung pada tanggal 1
bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik
dan Tateli menurut adat istiadat mereka dan
Pengesahan atau pernyataan perdamaian itu akan
dilakukan kemudian dengan sumpah.” (Supit,
1986:142)
SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
11
Akhirnya, untuk yang pertama kali, Sulut melaluilembaga Manado Post Institute of Otonomi Promotionand Development menyelelenggarakan penganugerahan
penghargaan Otonomi Daerah. Walau tentu menyisahkansejumlah pertanyaan panjang dan malah mengherankan,anugerah otonomi Award dan Tumou Tou Awarddiselengarakan di tengah keprihatinan kita bersamaterhadap segudang persoalan mendasar dan serius bangsakita.
Bahwa, alasan penyelenggaraan penganugerahan sepertiitu adalah upaya untuk melakukan terobosan sebagaipemacu, dengan memberi apresiasi atas implementasiOtonomi Daerah (Suhendro Boroma, Manado Post 23April 2005), mungkin bisa saja menjadi argumentasi yangkuat dan masuk akal, meskipun tidak semata-mataargumentasi itu menjadi alasan tunggal dan mutlak untukmembenarkan bahwa award adalah satu-satunya atau carautama yang ampuh untuk merangsang agar; barang bagusyang salah urus—menurut Suhendro Boroma, menjadi lebihbaik.
Beberapa alasan yang malah membuat argumentasiSuhendro Boromo dan Manado Post Institute Of OtonomiPromotion and Development menjadi keliru yang juga menjadisanggahan kami antara lain;
Pertama, Pemahaman Otonomi Daerah yang keliru.Yakni, otonomi yang sedang dijalankan dengan semrawutdan amburadul ini jelas mengalami pergeseran-pergeseranmakna, sangat multi intepretatif dan jauh dari prinsip-prinsip otonomi yang semestinya. Lihat bagaimanyaotonomi tingkat II yang jelas-jelas saja memberi ruang bagipara koruptor untuk merampoki uang rakyat. Korupsi(sebagian menyebut korupsi putih) akibat PeraturanPemerintah sebagai derivasi dari undang-undang Otdamemberi celah bagi pemerintah tingkat II untukmenggunakan uang rakyat sebagai dana rutin dengan serta-merta saja mengabaikan kepentingan rakyat.
Bahkan beberapa perda dan retribusi yang dilakukanatas nama semangat otonomi daerah malah makinmengukung keterpurukan rakyat yang hendak keluar daribencana sentralistis dan hegemonik penyelenggaraannegara. Pengawasan dan mekanisme yang tidak partisipatifoleh masyarakat membuat raja-raja kecil itu leluasa sajamerampok uang rakyat tanpa ada pengawasan yang berarti.Tak heran para raja-raja kecil yang sebagian ikut pilkada,ketika pelaporan kekayaan, jelas-jelas mengalami lompatanjauh (tak masuk akal) atas kepemilikan. Sehingga nyatalahotonomi seperti ini adalah otonomi elit, bukan otonomirakyat yang semakin memperlebar jarak yang makin curamantara elit dan rakyat, kaya dan miskin, pemilik modal danburuh tani.
Kedua, Istilah Tumou Tou. Meski kami menyadaribahwa istilah Tumou Tou adalah istilah/terma yang uni-versal namun makna yang dikandung di dalamnya mestinyadiapresiasi jauh lebih dalam dan sakral. Sungguh sangatsulit mempertemukan anugerah/award sebagai predikat
dan subjek anugerahan yang akan mengusung nilai dansemangat Tumou Tou. Lepas dari Tumou Tou sebagai sebuahsistem nilai yang universal yang bisa digunakan olehsiapapun, namun sangat rancuh, naïf, dan mispersepstifmenggunakan tema award Tumou Tou yang abstrak.Sebagai contoh Magsasay Award, Yap Tiam Him Award,Nobel, Oscar, dsb yang merpakan predikat award denganmengacu pada rujukan yang jelas dapat diteladani dandipersonifikasi. Sementara Toumou Tou adalah sistemabstrak yang dimiliki oleh setiap orang yang berbuat baikdengan prinsip kasih.
Ketiga, Kriteria Penilaian. Yang paling krusial dan sangatmenentukan adalah indikator penilaian yang merujuk padadasar acuan yang jelas dan kuat, sehingga layak menerimapenghargaan. Apalagi sebagai penerima penghargaan,siapapun itu, haruslah mempertanggungjawabkananugerahnya atas apa yang telah dicapainya. Award, gelar,atau prestasi selalu memiliki tanggungjawab moral yangdiembannya sepanjang anugerah dan gelar itu melekat padadiri, lembaga, tertentu.Sehingga ketika syarat, kriteria, yangdigunakan tidak sepenuhnya merujuk pada indikatorpenilaian, maka menjadi sangat riskan dan ceroboh yangberujung pada hujat-hujatan.
Alasan lain yang menurut kami merupakan misperseptiflain adalah, apa yang disebut Bung Hendro sebagaikompetisi. Kompetisi yang melahrikan prestasi. Argumentasiini menurut hemat kami keliru, ketika sistem kompetisinyatidak diatur dengan baik, malah cenderung menjadikompetisi yang tidak fair, memihak kepada kepentingandan arus kuat modal serta pusat, dan sertralistik hegemonic.Pada prakteknya, kompetisi sekarang ini lebih berpihak padaarus modal, pusat-pusat kekuasaan, dan malah menggilasmasyarakat marjinal yang mestinya terlindungi dengan sistemotonomi daerah. Budaya dan kearifan lokal malah menjadiagenda pemusnahan oleh otonomi daerah yang salah kaprah,lihat bagaimana desa-desa yang menerapkan sistem yangsangat demokratis dalam pemilihan kepala desannya,dijadikan kelurahan dengan spirit yang sentralistis.
Harapan kami. Apapun kritik dan saran kami. OtonomiAward dan Tumou Tou award sudah dilangsungkan.Sehingga ke depan, semua kita dituntut lebih proaktif dansinergis melakukan pranata-pranata dalam mengisi ruang-ruang sosial publik kita yang kosong sejak orde barumerebutnya dari rakyat. Tujuan kita semestinya sama, karenaini adalah test case terhadap civil society kita di Sulut.Sebagaiujian terhadap pluralisme dan demoktratisasi. Apakahterhadap susbtansi yang sama kita memiliki agenda dangerakan yang sama? Sejatinya agenda kita bersama—bukanagenda sepihak, adalah memperkuat demokratisasi, spiritpluralisme dengan penguatan desentralisasi melalui otonomidaerah yang benar-benar membebaskan rakyat kita darikukungan arus modal, pusat kekauasaan yang hegemonicdan deterministic. Bukan pula arak-arakan social, award-awardan dan pertunjukan-pertunjukkan yang seremonialbelaka. Makapulu sama.
Tanggapan Atas Penganugerahan
Otonomi Award Dan Tumou Tou Award
Dr. Bert Adriaan Supit
Diskusi hangat merebak tentang otonomi daerah, yangbanyak disebut orang; barang bagus tapi salah urus,ternyata mengambil atensi publik, antara lain karena
memang terma Otonomi Daerah itu sendiri muncul ditengah pergulatan panjang sistem kekuasaan Negara yangsentralistik dengan mengakupasi semua sumber daya daerah-daerah di Negara ini.
Ketegangan antara pusat dan daerah sudah terjadi jauhsebelum rezim Suharto lengser. Sejak Permesta pun, temaotonomi daerah telah menjadi begitu kuat dan sangat dinantisebagai jawaban dari ketimpangan pusat daerah. Hingga,undang-undang otonomi daerah UU No 22 tahun 1999dan tentang perimbangan pusat dan daerah UU No. 25tahun 1999 lahir, ternyata tidak menjawab tantanganketegangan pusat daerah.
Sesungguhnya, semangat yang dikandung oleh undang-undang dan pelaksanaan otonomi daerah adalah, kedaulatanrakyat yang dimaknai secara geopolitik atas kedaulatansumber-sumber ekonomi, sosial, dan budaya yang selamaini diekploitasi oleh pemerintah pusat secara tidakbertanggungjawab. Daerah selalu hanya menjadi “pencucipiring” atas pesta pemodal dan pemerintah pusat terhadapsumber-sumber ekonomi yang mestinya menjadi kedaulatanmasyarakat daerah.
Sehingga, gejolak daerah seperti tuntutan masyarakatRiau, Kalimantan Timur, menjadi contoh yang paling dirujuk,seperti juga daerah lain yang terlanjur memaklumatkanperang terhadap Jakarta, yakni; Aceh, Maluku dan Papua.Dua daerah diantaranya mendapatkan status otonomiistimewa dibanding daerah-daerah lain sebagai “hadiahhiburan” atas tuntutan kedaulatan daerah tersebut.
Artinya, otonomi sebenarnya tidak terjadi dalam Undang-Undang Otonomi yang nyatanya masih memuat jebakan-jebakan pada asas dekonsentrasi, desentralisasi dalam skemasistem yang sentralistis. Daerah-daerah tetap dibuattergantung pada pusat dengan alih-alih dana tambahan yangdiperoleh dari dana dekonsentrasi yang anehnya harusdisertai dengan kemampuan merayu pemerintahan pusatagar mendapatkan porsi alokasi yang lebih besar.
Pada prakteknya, otonomi hanya semata-mata auto money,yakni daerah digenjot habis-habisan untuk memproduksiuang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan empowerment ataumemang sengaja dikaburkan, bahwa otonomi juga mestinyamenyangkut hakekat kedaulatan rakyat atas hak pengelolaantanah dan sumber daya alam serta kearifan lokal yang sudahmelekat pada rakyatnya, jauh sebelum Negara Indonesiaberdiri. Bukan sekedar menggenjot PAD, retribusi dan perda-perda pro kekuasaan yang makin membebani rakyat. Ataumalah peluang bagi pejabat tingkat II seperti dalamkewenangan yang ada padanya, untuk melakukan korupsimassal yang legal—karena misinterpretasi kewenangantersebut.
Tak heran, otonomi daerah dimengerti oleh publik sebagaiotonomi elit. Yakni, munculnya raja-raja kecil yang arogantanpa peduli terhadap penderitaan rakyat. Ini kemudianmenjadi efek besar dalam spirit otonomi palsu, di manalogika Negara sebagai pusat kebenaran dan rakyat sebagai
lembaga kasat mata yang harus selalu dicurigai dandiwaspadai.
Sementara lembaga perbankan dan otoritas keuanganlainnya, lebih berpihak kepada elit-elit tertentu. Koperasi,UKK/UKM, dan usaha-usaha ekonomi basis rakyatdibiarkan tenggelam dalam keadaan yang memprihatinkan.Hanya satu dua saja yang survive, yang kemudian dianggappaling sukses dan berhasil. Padahal, iklim kompetisi yangterjadi sekarang sangat tidak fair, dan tidak memenuhi asaskeadilan sosial masyarakat umum. Syarat agunan, bungabank yang tinggi, serta pola politik pembiaran atas terjadinyakemiskinan struktural agar elit ekonomi dan politik terusmengakupasi sumber-sumber ekonomi potensial. Dalamkondisi yang seperti ini, persaingan justru menjadi tidakobjektif dan malah makin memperbesar jurang sosial antarakelompok elit dan rakyat jelata.
Hal mana sangat berbeda dengan beberapa negaraberkembang lainnya seperti Thailand, Philipine, danMalaysia. Rakyat diberi pemahaman tentang enterprenuership,bersama-sama dengan lembaga pemerintahmenyelenggarakan pelatihan pengelolaan usaha bersamaseperti koperasi, UKM, dan jenis usaha rumah tanggalainnya. Lembaga perbankan ikut pula merumuskan strategikebijakan pemasaran dan managemen usaha. Dan yangpaling hebat adalah beberapa kebijakan pemerintahdilakukan untuk merangsang usaha-usaha sektor menengahkebawah, seperti subsidi pupuk untuk petani, bunga ringan(dalam pengertian yang sesungguhnya), dan bantuanmanajemen teknis terhadap usaha-usaha kecil berbasiskerakyatan.
Pada ranah sosial. Otonomi daerah mestinya jugamenjadi spirit terwujudnya keadilan sosial denganmeningkatkan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraanpemerintahan dalam konteks good governance. Denganmengapresiasi semua kekayaan lokal, baik budaya, ekonomimaupun sektor politik sebagai bagian dari kedaulatanmasyarakatnya. Bukankah revisi otonomi daerah denganUU No. 32/2004 mengusung semangat tersebut? Sepertipenyelenggaraan PILKADA langsung yang (walaupun masihsetengah hati; yang tetap memberi peran besar terhadapParpol, serta dicurigai oleh Ryaas Rasyid sebagai resentralisasidan bukan desentralisasi) harus diapresiasi karenamengusung semangat keadilan dan kedaulatan rakyatdaerah. Sehingga sejatinya, pemahaman kita terhadapotonomi daerah harus segera bergeser dari otonomi skemapusat kekuasaan menjadi otonomi skema kemandirian lokal.
Bangsa kita sendiri sudah sekian banyak melakukanrevisi tentang otonomi daerah sejak Indonesia merdeka,seperti yang dipublikasi oleh Masyarakat TransparansiIndonesia, kurang lebih ada tujuh kali revisi UU OtonomiDaerah. Yakni;
UU No. 1 tahun 1945, Otonomi dalam maknadekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tanganpemerintahan pusat. UU No. 22 tahun 1948 Kebijakanotonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi.UU No. 1 tahun 1957 Kebijakan otonomi daerah padamasa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerahbertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih
Otonomi Elit Versus Otonomi Rakyat(Sebuah Tinjauan Reflektif Atas Praktek Otonomi Daerah Yang Setengah Hati)
SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
12
alat pemerintah pusat. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankandekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkatoleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.UU No. 18 tahun 1965 Otonomi daerah menitikberatkanpada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkanhanya sebagai pelengkap saja. UU No. 5 tahun 1974 Setelahperistiwa G.30.S PKI terjadi kevakuman dalam pengaturanpenyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengandikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi,dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengankebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masaberlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadiisu sentral dibanding dengan politik. UU No. 22 tahun 1999Otonomi yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titiksentral dalam penyelenggaraan pemerintahan danpembangunan.
Lalu UU No 22 tahun 1999 yang juga oleh sebagiankalangan dinilai kurang, sehingga perlu ada revisi, danlahirlah UU No.32 2004 tentang Pemerintahan Daerah(dalam kenyataannya, terjadi perdebatan antara yang prodengan undang-udang No.22 dan yang ingin agar dibahasUU Otonomi Daerah secara utuh) yang meskimengusung semangat kemandirian lokal tapi tetap dalamskema kekuasaan pusat.
Semua adalah dialektika panjang atas pemahamanotonomi yang tarik ulur, antara kewenangan pusat dandaerah. Memang patut diakui pula dalam semangatdesentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan sesuaidengan pola hubungan pusat dan daerah, proses panjangrevisi UU Otonomi Daerah itu telah coba berusahamenempatkan rakyat sebagai subjek pelayanan publik danpembangunan, namun dalam prakteknya, terus terjadifragmentasi antara kepentingan penguasa dan rakyat. Dimana, logika kekuasaan di satu pihak dan logika keadilandi pihak lain sungguh tidak berimbang. Logika kekuasaanbaik secara struktural dari paling atas sampai paling bawahcenderung memapankan semangat sentralisme, sementaralogika keadilan yang hanya diperjuangkan oleh kelompokmasyarakat yang tersadarkan—dan itu masih sangatsedikit, berusaha mengembalikan hak-hak rakyat yangdirampas oleh negara.
Demi menjalankan otonomi yang konsisten,pertanyaan terbesar adalah, “siapa sebetulnya yanghendak dilayani dengan perubahan skema dari sentralisasike desentralisasi?” (Otonomi Pemberian Negara, hal 145,LAPERA 2001). Adalah pertanyaan yang berkonotasimempertanyakan, yang belakangan menjadi naif karenaotonomi daerah kini lebih dimaknai sebagai otonomidaerah yang berpihak kepada pemodal asing denganmengorbankan kedaulatan rakyat daerah. Bahkan,beberapa sesat pikir yang dikembangkan seperti seolah-olah investasi asing langsung bisa memecahkan persoalankemiskinan, pengangguran, dan problem-problem sosiallainnya. Hanya karena mental inlander (mental jajahan)yang selalu menempatkan asing dan pemodal pada pososimutlak, dan rakyat pada posisi tak berdaya.
Penguasaan tambang, sumber daya mineral dan hutandi Indonesia oleh pemodal asing telah memberi pelajaranpenting bahwa, sekali lagi rakyat daerah tidak lebih dari“tukang cuci piring” atas pesta besar hasil penghisapan
yang brutal dari pemodal asing. Paling-paling yangditinggalkan adalah limbah, pencemaran lingkungan,penyakit, dan sedikit pajak yang di setor ke kas Pemda(itupun masih dikorupsi) , dan pemerintah pusatmenikmati hasil persekongkolannya dengan pemodal asing.Anehnya, karena memang mental ter ja jah i tu,persekongkolan jahat itu ikut dilindungi oleh paraakademisi, intelektual, institusi pendidikan, bahkan agama.
Padahal, sejatinya Otonomi Daerah dimaknai sebagaisemangat untuk mengembalikan kedaulatan rakyat daerahyang direbut oleh pusat kekuasaan. Sehingga padaprakteknya, Otonomi Daerah berhubungan dengan semuaaktivitas rakyat , pemerintah, dan DPRD untukmemikirkan dan menjalankan semua fungsi-fungsipenyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kepadakepentingan rakyat secara utuh. Bukan secara parsial saja,semisal, sekedar untuk meningkatkan PAD. Tapi justrubagaimana dengan partisipasi rakyat, dengan kekayaankultural dan kearifan lokal sebagai modal sosial ,kesejahteraan dapat dimulai dari komunitas sosialterendah seperti Jaga, Wanua, dan kemudian menjadikesejahteraan bersama.
Adalah bagaimana, rakyat secara sah berdaulat atastanahnya, bank yang berpihak kepada sustainabilityekonomi rakyat, komoditi andalan rakyat seperti Cengkih,Pala, Kopra, Vanili dan Palawija tidak dimainkan olehmafia komoditas. Serta keberpihakan pemerintah denganmemberikan subsidi kepada Petani melalui pupuk murah,kebijakan menjaga harga dasar gabah yang lebih masukakal, proteksi dari zonasi laut yang memarjinalkan nelayankecil, mencabut berbagai perda dan retribusi yangmenghambat spririt otonomi ekonomi rakyat kebanyakan,sampai pada mengembalikan status masyarakat adatWanua atau Desa yang dalam praktek pemilihan kepadaDesanya sangat demokratis dari sistem Kelurahan yangtak lebih dari sekadar perpanjangan tanggan pusatkekuasaan.
Semuanya itu akan menyebabkan terjadinya ekonomimandiri yang berbasis kerakyatan, sehingga harapanpemerintah tentang PAD, dan sektor penerimaan lainnyasecara gradual dapat dicapai. Ingat, ekonomi Indonesiaambruk pada akhir tahun 1990an karena model ekonomikeropos, dengan menitikberatkan pada pro pertumbuhan(high growth developmentalisme). Seharusnya, belajar darikegagalan ekonomi rezim Suharto, ekonomi berbasiskerakyatan sangat penting dikembangkan untuk menjadibenteng pertahanan ekonomi dari serbuan ekonomiglobal.
Belajar dari sejarah panjang peradaban bangsaIndonesia, mungkin sekaranglah saatnya menumbuhkankembali kepercayaan diri dalam semangat kemandirianlokal sebagai bagian dari kekayaan nasional. Rakyat lokal(daerah), harus diberdayakan, diapresiasi untuk berdaulatatas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sehinggaproduksi lokal, koperasi, UKM dan industri rumah tangga,kelak bisa menjadi basis ekonomi kuat bagi kemandirianlokal yang ditunjang oleh pluralisme kebersamaan dalampenghayatan budaya lokal serta semangat nasionalisme, jugaaktif dalam pergaulan internasional, seperti yang terkandungdalam pembukaan UUD 45, sehingga distribusi keadilanterjadi dalam konteks Otonomi Daerah.Yakni Otonomirakyat, bukan otonomi elitis. Makapulu sama.(veldy Umbas)
SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
13
Sebuah tesis beredar. Kalau KPU pusat sajapenuh dengan nuansa intrik KKN, apalagiKPUD su lu t yang se r ing d ikecam Toar
Palilingan (mantan ketua panwas Sulut) sebagailembaga yang sangat rentan terinfeksi virus KKN.Benar. Indikasi ini sudah ada sejak menukiknyaperolehan suara beberapa orang di pemilu legislativemaupun DPD.
Dan KPUD yang sama-sama kita curigai ini punakan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah(PILKADA) pada bulan Juni nanti. Apa ada jaminanbahwa KPUD tidak memihak dan akan netral?Jawaban in i tentu har us k i ta tung gu sembar imenunggu nasib demokrasi di tangan KPUD. Bukansaja hanya bisa menunggu, tampaknya harus pasraatas apa yang nanti dihasilkan.
Sementara rakyat Sulut sedang berharap agarproses Pilkada yang akan berlangsung juni nanti akanmenghasilkan pemimpin yang benar-benar dipilihrakyat dan hasil tersebut tanpa diintervensi olehpihak manapun terutama KPUD. Hal ini sangatberalasan dan masyarakat patut menaruh curigakepada KPUD yang nota bene men jad ipenyelenggara pemilihan kepala daerah yang tentusaja menjadi sasaran para politisi ca beres untukmencoba ma in mata demi molo loskan orangtertentu dalam pemilihan kepala daerah.
Ada beberapa alasan pokok untuk mencurigaiKPUD. Pertama, rekrutmen awal anggota KPUDsangat t idak transparan dan malah ter indikasimerupakan titipan kepentingan dari partai tertentu.
Kedua, sistem kontrol terhadap kinerja KPUDbelum berjalan sebagaimana mestinya lantaranKPUD telah menjadi otoritas tunggal penyelenggaranasib demokrasi sebagai konsekwensi dari sistemkontrol dan monitoring lembaga-lembaga pengawaslainnya yang roh perlawanan masih melempem.
Ketiga, ruang sosial kita masih dipenuhi olehpertunjukan-pertunjukan (etalase) politik satu arah(top down), tidak partisipatif, mempertontonkandrama politik sarkastis demi kepentingan kelompok.Ini juga berart i bahwa rakyat kurang berdayamenghadapi penyimpangan yang sistemik.
Keempat, sifat kritis masyarakat yang tak acuhdengan apapun sand iwara po l i t i k yang akandilakukan oleh elit penguasa dan otoritas tunggalpenentu nasib rakyat.
Terbentuknya Panwas Pilkada Sulut yang baru sajadilantik memang memberi harapan baru, namunfakta bahwa Panwas tampaknya sekedar menjadi
bagian pelengkap dalam proses Pilkada saja, karenakewenangan yang ada padanya tidak cukup kuatuntuk menjadi menjadi avangard demokrasi kita.
Sekali lagi masih juga tampak jabatan-jabatanseperti ini semata demi status sosial, status simbol,ataupun gengsi semata dan bukannya menjadiobligasi moral dan kepedulian bagi menegakandemokrasi dan mengembalikan hak-hak rakyat yangdirampas oleh elit politik yang narchistis (hasratuntuk kepuasan diri sendiri) yang gemar menikmatikekuasaan dengan pernak pernik kemewahannya.
Adanya kecurigaan beberapa anggota DPRDSulut sepert i Bung Benny Ramdhani , FrangkyWongkar, dan Abid Taka lamingan y angmemperkarakan ketua KPU Donald Rumokoy yangterindikasi melakukan praktek KKN memang sangatmelegakan hati. Bahwa, akhirnya lembaga yangsangat menentukan nasib demokrasi kita dapatdikoreksi . Bahwa, kemudian tuduhan itu t idakterbukti, jelas itu adalah masalah hukum. Dan sebagaipejabat publik adalah wajar dalam perspektif hukumuntuk mencurigai lembaga yang sarat bias nilai, atausarat keberpihakan dan tidak indipenden.
Rakyat Sulut kini menunggu proses demokrasiyang sesungguhnya dalam Pilkada yang baru pertamakali selama sejarah bangsa Indonesia untuk memilihKepala Daerah. Sehingga meski KPUD mengaku-ngaku dan bahkan membatah mati-matin bahkanse l a lu demi a l a san hukum (pos i t i f i s t ik )berargumentasi klasik, “coba saja buktikan!!!”. Yatentu saja kecurangan yang dilakukan oleh otoritastunggal dengan cara yang sistimik tentu tidak bakalterbukti. Tapi rakyat Sulut tentu berharap hati nuraniKPUD untuk mengawal proses demokrat isas iberlangsung dengan baik.
Dengan semakin terbukanya alam demokrasi,seharusnya masyarakat dapat menikmati secaral e luasa .P i lkada yang member i kesempatanmasyarakat menentukan pemimpinnya ada lahkesempatan yang sudah sangat lama dinantikan.
Sejatinya, aparat KPUD melihat sisi positifnya.Kalau ada gugatan-gugatan, atau koreks kepadalembaga seperti KPUD, ini karena KPUD adalahlembaga yang akan bertanggungjawab baik secarahukum positif maupun secara moral kepada rakyatatas terselenggarahnya proses pemilihan kepadadaerah di Sulawesi Utara, serta kualitas demokrasiyang sangat dinanti oleh rakyat. Dengan demikian,KPUD, sesungguhnya menjadi lembaga publik yangakuntabel , kredibel , dan memil ik i t rus t cap i ta linvestment yang teruji di mana rakyat SULUT.
Menunggu Nasib Demokrasi Di KPUDOleh Sandra Rondonuwu STh SH
SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
14
Ribuan spanduk bergelantungan di sepanjang jalan, lorong,
gang, dan bahkan rumah-rumah warga, dengan sejumlah
kalimat-kalimat indah memikat, demi memenangkan hati
konstituen Pilkada.
Kembali pesta demokrasi digelar dengan segala pernak
perniknya ala Pilkada Sulut yang pasti bakal menarik perhatian
seluruh rakyat Sulut. Adalah Pilkada yang mengusung sejumlah
harapan besar, agar rakyat mendapatkan pemimpin yang sesuai
dengan pilihan rakyat, bukan pilihan sekolompok saja seperti
beberapa waktu lalu. Juga atas jawaban sejumlah persoalan yang
masih menumpuk di ruang-ruang publik rakyat kita. Meski,
sayangnya teorema itu harus pasrah pada catatan, pilihan rakyat
yang diusung oleh partai.Juga berarti demokrasi seutuhnya belum
dapat dinikmati rakyat sebagai proses lebih akomodatif dan
demokratis.
Kita tentu butuh pemimpin yang dapat membebaskan rakyat
dari gundukan penderitaan yang makin menghimpit. Ada dua
ratusan ribu pencari kerja yang belum mendapat pekerjaan, daya
beli yang makin hari makin lemah, harga obat yang mahal, biaya
melahirkan yang makin tak terjangkau, jurang kesenjangan antara
kaya dan miskin makin curam dan sejumlah persoalan sosial yang
makin tak terbendung.
Belum lagi masalah pelik lain yang cenderung dibiarkan oleh
pemerintah seperti air bersih, jalan, gedung sekolah, listrik dan
prasarana fisik lainnya yang menjadi penunjang utama
keberlangsungan hidup rakyat yang sejatinya adalah
tanggungjawab pemerintah.
Anehnya, menjelang pilkada, semua agenda ini lagi-lagi
mengalami pembiaran atau sengaja lupa ingat agar kelak nanti
gubernur terpilih juga akan pura-pura (masa) bodoh dengan semua
hak-hak publik yang menjadi tanggungjawab penyelenggara
pemerintahan. Gantinya, sejumlah kalimat ngambang, semu dan
di awang-awang malah menghias indah di langit-langit spanduk
para kandidat.
Beberapa argumentasi konyol yang sering terlontar saja dari
mereka adalah, bahwa pembangunan adalah tanggungjawab
bersama, minimnya dana dan kurang siapnya sumber daya
manusia yang ada. Argumentasi ini menjadi pemakluman atas
terbengkalainya civil minimum (minimal pemenuhan pelayanan
publik oleh pemerintah) yang berakibat langsung tak langsung
pada seluruh proses sosial masyarakat daerah ini.
Gilirannya kita terperosok menjadi daerah yang low recognition
dengan sejumlah kebanggaan-kebanggaan kosong seperti
monumen ini, slogan itu, jargon ini dan sebagai tetek bengek
proyek mercuasuar lainnya.
Tak heran.PILKADA kali ini adalah penantian panjang untuk
munculnya pasangan Gubernur Supermen. Atau Gubernur yang
bisa mengurai benang kusut persoalan daerah ini. Gubernur yang
bukan saja menjadi idola rakyat, tetapi menolong rakyat untuk
keluar dari penderitaan yang menghimpit. Gubernur yang hadir
bersama-sama dengan rakyat, merasakan penderitaan rakyat dan
mau memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang telah
mengusungnya menjadi Gubernur.
Betapa tidak, kepadanya telah diberikan sejumlah kekuasaan
pengambilan keputusan dengan dukungan amunisi yang kuat.
Potensi sumber daya alam daerah yang sangat kaya, situasi sosial
masyarakat yang sangat kondusif, dan kematangan demokrasi
yang tinggi di Sulut adalah modal utama untuk membangun
Sulawesi Utara.
Jelaslah, bulan Juni ini adalah bulan di mana rakyat Sulut
menantikan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dituntut untuk
bisa melaksanakan pemerintahan dengan good governance, good
leadership, dan good services.Adalah Gubernur yang mampu
berpikir, berbicara dan bertindak dalam bahasa rakyat.
Tidak ada lagi intrik-intrik politik yang akan mengelabui rakyat
dengan segala teori machiavelliannya. Jangan lagi rakyat sekedar
menjadi objek demokrasi yang pada akhirnya terbiarkan, teraniaya,
dan termarjinalkan oleh ulah pejabat publik yang lebih
mengutamakan kekuasaan dari pada mengemban amanat
penderitaan rakyat.
Untuk itulah, ruang-ruang sosial harus dibuka lebar bagi
mekanisme kontrol terhadap kinerja eksekutif, yang bukan saja
dapat dilakukan oleh DPRD, tapi juga oleh NGO, LSM, Ornop,
Banwas, bahkan masyarakat harus punya akses kuat ke dalam
wilayah kerja eksekutif sehingga penyelenggaraan pemerintah
benar-benar dilakukan dalam bahasa rakyat.
Bahasa atas kata-kata kunci penderitaan rakyat sejak hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya rakyatnya ditindas oleh penguasa-
penguasa lalim. Adalah; Hak-hak atas minyak tanah yang murah,
raskin yang tersalur dengan benar, hak atas lingkungan yang sehat
dan tidak tercemar oleh kepentingan modal asing semata, tanah
rakyat yang tidak dirampas pengembang, hak ulayat, hak atas
kebudayaan dan kearifan lokal, hak atas pendidikan yang
terjangkau, hak hidup di negara yang harga rumah sakit lebih
mahal dari pada harga nyawa manusia dan sejumlah haq yang
adalah hakiki menjadi beban dan tanggungjawab pemerintah.
Dulu dan kini semua hak yang tercerabut dari rakyat harus
dikembalikan utuh. Menjelang pemilihan kepala daerah, rakyat
bakal kenyang dan sebegitu kenyang menjadi muntah oleh janji-
janji, slogan, jargon dan visi misi para calon. Tentu, kita berharap
agar janji itu dapat menjadi kenyataan. Namun, rakyat tentu tidak
akan bodoh termakan oleh janji politik.Karena rakyat tahu persis
mana pemimpin yang hanya mengobral janji, dan mana yang
menjadi tumpuan harapan perubahan di Sulawesi Utara. Bukan
sekedar kata-kata seperti yang terpampang pada ribuan spanduk,
stiker, brosur, dan poster itu.(Veldy Umbas)
SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Tak Lagi Janji!People are not willing to be governed by those who do not speak their language.
Norman Tebbit (1931 - )
15
Pantai Kora-kora
yang indah nan
menawan hati,
menjadi saksi lahirnya
sebuah semangat baru
untuk menatap masa
depan Tanah Minahasa.
Di sana, Jumat 29 April
sampai 1 Mei 2005 lalu,
puluhan anak keturuan
Toar Lumimuut ikhlas
melupakan segala aktivitas
rutinnya sehari-hari.
Mereka memeras otak
untuk memikirkan nasib
tanah ini ke depan, lewat
kegiatan Training of Trainers
(TOT) Nilai Kultur
Minahasa untuk
Demokrasi dan Demokratisasi. “Ini merupakan bentuk
keprihatinan terhadap terkikisnya budaya Minahasa oleh
kuatnya erosi modernisasi dan liberalisasi. Yayasan Suara
Nurani (YSN) yang didukung oleh Majelis Adat Minahasa,
Persatuan Minahasa, Institute Of Community Research
And Empowerment Sumekolah (ICRES) dan
Perpustakaan Minahasa AZE Wenas menfasilitasi kegiatan
tersebut,” kata Sekretaris Jenderal Majelis Adat Minahasa,
Matulandi Supit, SH.
Kurang lebih 20 peserta yang datang dari berbagai
pakasaan dan sub etnis di tanah Toar Lumimuut hadir
dalam kegiatan tersebut. TOT ini difokuskan pada usaha
menggali kembali nilai-nilai kultur Tou Minahasa yang
terancam musnah ditelan kegilaan zaman.
Menurut Direktur Pelaksana ICRES, Veldy Umbas,
kegiatan tersebut dilaksanakan untuk membangkitkan
kembali nilai-nilai budaya yang hakiki sebagai modal sosial
Tou Minahasa menapaki hari-hari Indonesia yang makin
sulit dan suram.
Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut antara
lain Prof. AE. Sinolungan, Drs. Edison P. Rumajar, SH,
Bert Supit (Sejarawan/budayawan), dr. Bert Adriaan Supit,
Drs. Fendy Parengkuan, MA., Dr. Max Ruindu-ngan, Pdt
Joce Kawengian dan Irvan Basri tokoh muda NU, yang
khusus mem-bawakan materi teknik pengorganisasian
YSN, MAM, ICRES, PM, AWLibGelar TOT Revitalisasi Budaya Minahasa
rakyat. Para
narasumber tersebut
memperkaya wawasan
peserta tentang
Minahasa dari beragam
perspektif.
Para peserta yang
hadir datang dari latar
belakang yang
beragam. Ada yang
sebagai pendeta,
hukum tua, seniman,
mahasiswa, tokoh
masyarakat dan tokoh-
tokoh muda. Mereka
tampak antusias
mengikuti acara per
acara. Venli Massie,
peserta asal Langowan
mengatakan, kegiatan ini penting dalam rangka menggali kembali
nilai-nilai kultur Minahasa yang oleh generasi muda mulai
dilupakan. “Namun, saya sangat berharap, kegiatan semacam ini
rutin digelar agar nantinya upaya untuk memajukan tanah
Minahasa ini akan terus berlanjut,” kata Massie.
Bagi Ketua Presidium Majelis Adat Minahasa, Dr. Bert Adrian
Supit, pelatihan ini bukan saja membangkitkan kesadaran kultural
Tou Minahasa, tapi juga menjadi momen kebangkitan
intelektualisme Tou Minahasa yang sekarang lebih banyak terjebak
dalam pragmatisme politik yang cenderung korup dan tidak
mempedulikan kondisi riil Tou Minahasa yang makin terpuruk.
Lebih-lebih lagi, semangat Si Tou Timou Tumou Tou yang digagas
Dr. Sam Ratulangie sudah mulai memudar dan dilupakan orang.
“Torang harus bangkit dan bersama-sama terlibat dalam
menentukan masa depan Minahasa yang sangat torang cintai
ini,”tutur Dr Supit penuh semangat dengan keprihatinan yang
mendalam.
Sementara, Sandra Rondonuwu, STh., salah satu fasilitator
dalam pelatihan ini, menjelaskan bahwa metode pembelajaran
yang dipakai dalam pelatihan tersebut adalah metode yang sangat
mengikuti daur belajar orang dewasa. “Pelatihan ini memakai
metode belajar pendekatan andragogik dan partisipatif. Dengan
menggunakan metode ini, maka para peserta diajak untuk
berpatisipasi aktif dalam setiap materi pembelajaran,” kata Sandra
Rondonuwu yang juga aktivis perempuan itu.(deni)
Para peserta TOT serius mendengarkan pemaparan dari DR Max
Ruindungan dan Drs Fendy Parengkuan di wisma Kora-kora.
AKSI Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
16
Melestarikan ketokohan seseorang (baca: bukan
mengkultuskan) karena sangat berjasa di bidang
pembangunan masyarakat Minahasa, juga di
bidang usaha-usaha kesehatan dan Pendidikan tinggi, telah
memotivasi beberapa orang di antaranya: dr. Bert Adriaan
Supit, Prof W.J. Waworuntu, Maria Cato Wenas, Diana
Ratulangi, Guus Kairupan, Pdt. D.M. Lintong, dr. Boy
Wayong, dr. Hans Tambayong dan beberapa nama lagi,
sepakat untuk mengambil “AZR Wenas” menjadi nama dari
sebuah perpustakaan umum.
Perpustakaan yang secara khusus mengumpulkan buku-
buku, karya-karya tulis, karya-karya seni (lukis, pahat, dll)
tentang Tou dan Tanah adat Minahasa.
Memang dianggap semua pasti setuju, apabila seseorang
tou Minahasa baik yang lahir dan tinggal di adat Minahasa
maupun seseorang yang lahir dan tinggal di luar tanah
Minahasa, berada di dalam pertanyaan ini, di mana saya
Perpustakaan Minahasa
AZR Wenas Mulai Beraksi
dapat berkaca sambil melihat potret diri atau identitas Tou
Minahasa?
Jawabannya sangat sederhana, diperlukan sarana yang
dapat dijadikan semacam Pusat Informasi dan Referensi
tentang Tou dan Tanah Minahasa. Pertanyaan berikutnya,
bagaimana dengan buku-buku yang berbahasa asing?
Pengurus akan mengupayakan penterjemahan, percetakan
dabn penerbitan buku-buku tersebut.
Pada kesempatan ini kami menghimbau, jikalau di dalam
koleksi buku-buku dan arsip saudara terdapat buku-buku di
maksud, pinjamkanlah atau hibahkanlah kepada: Yayasan
Perpustakaan Minahasa “AZR Wenas” Tomohon. Alamat:
Jalan Raya Tomohon Kakaskasen (Samping Kiri Kantor
Pegadaian atau HP: 08194042834 (Atas nama Yoce
Kawengian). Buku-buku dan karya-karya tulis dll yang
dimaksud akan kami jemput langsung.
Makapulu Sama.
17
Tou Minahasa Butuh Banyak Referensi
AKSI Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Dunia terus berkembang, dan manusia terus belajar.Demikian beberapa slogan yang terucap acap kalikita menyederhanakan makna kehidupan.
Seperti itulah kenyataan sekarang. Hari ini kita barangkaliragu membeli alat elektronik yang baru dengan harga yangrelatif murah. Karena besok pasti akan ada model barudengan harga yang lebih murah.
Seperti itu pula ilmu pengetahuan, selalu datang denganide yang lebih baru, meski sebenarnya hanya merupakanmodifikasi dari apa yang sudah ada dulu.
Perubahan dan dinamika dalam dunia modern memangtidak dapat sangkal. Kita terus dikejutkan dengan inovasidan kemajuan ilmu pengetahuan yang terus bergerak takkenal lelah.
Sayangnya, banyak yang lupa bahwa pengetahuan danapapun yang terus bergerak itu adalah hasil belajar darisejarah yang terus menumpuk seiring usia bumi bertambahtua. Seiring itu pula, manusia mulai lupa dan bahkan tidaklagi mengenal dirinya sendiri. Makin banyak orang yangkehilangan orientasi diri. Manusia makin rakus, ambisi, dankorup.
Arus balik mulai menguat untuk menegaskan kembalihakekat manusia. Bahwa manusia memiliki nilai-nilai yangtak lapuk oleh jaman, sekalipun dunia, teknologi danperadaban makin bertambah maju.
Arus balik terhadap pencarian identitas, moralitas, sertahakekat manusia yang epistemik makin mendapatperhatian untuk kembali menyelaraskan antara peradabanmodern dan kearifan lokal.Kita butuh budaya. Kita butuh moralitas. Kita butuhkomunitas yang dalamnya ekspresi dan proses sosial dapatdijalankan.
Untuk itu, kita, Tou Minahasa butuh referensi yangmerekam, mencatat, dan menjadi artefak sejarah, bahwamanusia tidak pernah berhenti belajar.
Referensi-referensi itu kini coba digagas dalamPerpustakaan Minahasa AZR Wenas yang dipelopori olehtokoh-tokoh Minahasa yang sangat peduli untukmelestarikan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal yang selamaini menuntun Tou Minahasa dalam menapaki peliknyakehidupan.
LASTe Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
Di satu kesempatan, saya hadir pada satu seminar
yang diselenggarakan oleh kawan-kawan saya di
Jakarta. Saya memang tidak datang sendiri, dan
malah datang dengan kawan saya yang lain yang adalah
Tou Kawanua yang cukup sukses di ibu kota negara kita.
Sengaja saya mengajaknya karena memang diskusi
semacam ini sangat penting bagi menentukan arah Tou
Minahasa yang makin terpuruk dalam geliat jamannya.
Dengan raut wajah yang kecewa, ia mengguman. “Ta
kira le apa. Cuma kotek diskusi. Ya, sudah jo diskusi, langsung
action kwa.”
Pernyataan itu tentu tidak perlu diambil hati, karena
saya pun tau kalau kawan saya yang satu ini selalu
menganggap yang namanya diskusi, wacana, seminar, dan
apalagi teori, pasti dianggapnya remeh-temeh yang tak
perlu.
Kawan saya ini tentu tidak sendirian. Penulis sendiri
mengalami hal serupa manakala menjadi jenuh dengan
semua kondisi yang kadang tidak memberi solusi. Hanya
saja tidak sedikit pula, kesimpulan, aksi, dan apapun yang
menurut kawan saya adalah action oriented, menjadi salah
kapra karena salah mengambil kesimpulan. Yang, karena
tidak mau berdiskusi, menolak teori, dan tidak percaya
proses.
Padahal, kualitas action ternyata banyak ditentukan oleh
kualitas konseptual, gagasan, dan proses yang biasanya
diskursif. Kegunaan praktis yang dituduh oleh
pragmatisme tidak selamanya atau semata ditentukan oleh
kebenaran objektif, hari ini mulai dipersoalkan.
Bahwa, fakta (pragma) ternyata tidak selamanya asli
atau riil. Baudrillard menyangkal kebenaran final atas
sebuah fakta yang belum tentu objektif. Sama seperti
Derida yang ingin mendekonstruksi fakta yang belum tentu
paripurna, karena fakta selalu adalah hasil dari sintesis
panjang yang mengalami pembiasan-pembiasan.
Lalu perdebatan panjang, tentang anggapan para
intelektual yang “berumah diatas langit” dan para aktifis
yang “turun ke bumi” juga menjadi perdebatan yang makin
tidak relevan. Kenyataanya, semakin banyak aktifis NGO
yang melakukan penelitian ilmiah untuk menggali gagasan
otentik untuk pemberdayaan rakyat. Sebaliknya banyak
para peneliti dan kaum intelektual mulai berkutat dengan
praktek pemberdayaan sebagai konversi gagasan yang
mereka miliki dalam dunia keilmuan.
Apakah kawan saya itu mengakui atau tidak.
Problemnya, sebetulnya adalah; Teori dan praktek adalah
dua hal yang sangat dibutuhkan dalam melakukan
perobahan sosial yang banyak digagas oleh NGO maupun
akademsi.
Perubahan sosial memang belakangan menjadi wilayah
abu-abu yang tak tentu arah, bahkan sejak reformasi
digulirkan sekalipun, arah perubahan menjadi tak jelas dan
semrawut.
Sekali lagi lantaran tidak tuntasnya substansi gagasan
sehingga dalam tingkat implementasi malah terjadi
semacam trial and error. Lantas demokrasi kita pun menjadi
demokrasi bongkar pasang, sesuka para pengambil
kebijakan memutuskan. Lihat bagaimana undang-undang
otonomi daerah yang terus mengalami revisi. Padahal,
mestinya kalau referensinya kuat, serta mau belajar dari
mereka yang sudah lebih dahulu menjalankannya, niscaya
model bongkar pasang dapat dihindarkan.
Sepertinya, model bongkar pasang seperti ini akan terus
berlaku di negara yang kita cintai ini. Undang-undang yang
mengatur Pilkada baru-baru ini mendapat ujian berat.
Revisi Makhamah Konstitusi berbuah hasil, pasangan calon
dapat diusung oleh gabungan partai, yang sebelumnya tidak
dibolehkan dalam UU 32.
Bangsa kita, ibarat membaca buku panduan, hanya
bagian tertentu saja lalu selesai.Nanti kalau ada masalah,
buka buku lagi lalu baca lanjutan dan selesai. Begitu terus
menerus sehingga tampak sekali problem bangsa ini terus
saja berlanjut tanpa ujung pangkal.
Bagaimana pun, kita semua masih harus terus belajar.
Belajar dari pengalaman, dari alam, dari waktu yang tak
pernah berhenti. Sehingga kalau hari ini faktanya; sebagian
besar petani kita melarat, hampir semua rakyat kita miskin,
korupsi berjemaah terjadi di mana-mana, maka fakta ini
harus menjadi sejarah yang perlu dipelajari dan dirubah
oleh generasi berikutnya.
Rantai setan ini harus diputus. Dimulai dengan belajar
melihat fakta, belajar menganalisa fakta, dan belajar
menerapkan kebenaran objektif. Mempersiapkan gagasan
cemerlang di “atas langit” lalu mengkonversi dengan pro-
gram aksi yang sistematik dengan “turun ke bumi.” Mulai
dari hal kecil, sekarang, dan tetap konsiten. Semoga.
***
18
Turun Ke BumiVeldy Umbas
Dalam perjalanan panjangnya, gereja terus
berhadapan dengan negara yang parapelakunya disebut penguasa. Di abad
pertengahan, Martin Luther, memprotes gereja yang
lebih melayani penguasa ketimbang umat ataumasyarakat yang tertindas. Martin Luther berusaha
mengembalikan fungsi sebenarnya gereja sebagai
lembaga spiritual, yang lebih mengedepankan kasihuntuk memanusiakan manusia.
Dalam konteks Indonesia, di era orde baru
maupun reformasi, Dr. Bert A. Supit, Ketua BadanPengur us YSN, yang jug a hampi r 40 t ahun
beraktivitas dalam gereja, menilai gereja belum
maksimal mengambil sikap yang tegas terhadappenguasa. “Gereja masih lemah dalam mengambil
sikapnya yang tegas terhadap penguasa,” kata dr. Bert
ketika ditemui di ruang kerjanya.Dr. Bert mengatakan, sebenarnya dalam sejarah
gereja, terutama gereja protestan, telah ada sikap
yang jelas, gereja terhadap kekuasaan negara. Lewatreformasi Mar tin Lurther, Johanes Calvin dan
Swingli gereja diusahakan kembali ke perannya yang
sebenarnya. “Gereja adalah suatu gerakan spiritual,bukan suatu institusi. Gereja adalah kita sekalian yang
mengaku percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juru
Selamat,” begitu kata penulis buku Menggugat SuaraKenabian Gereja (terbitan YSN dan Nuwu, 2004) ini.
Menurut Dr. Bert, lewat reformasi Martin
Luther, Johanes Calvin dan Swingly, kita dapatmelihat dengan jelas posisi gereja terhadap negara.
“Mereka menekankan pemisahan yang tegas antara
kekuasaan negara dan gereja sebagai institusi spiritualyang independen. Nah, dalam konteks GMIM,
sebenarnya dari awalnya, telah merumuskan dalam
Tata Gereja sikap terhadapnya negara. Namun,kenyataannya, banyak pejabat gereja yang terlibat
dalam politik praktis, dengan tetap menjalankan
aktivitas gerejawinya, sebagai seorang pendeta,” jelasDr. Bert yang pernah menjabat Salah satu Ketua di
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).
Gereja menurut Dr. Bert, harus non partisan.Gereja secara kelembagaan tidak boleh berpihak
pada satu kelompok politik. “Sikap ini mestinya juga
harus diikuti oleh pemimpin gereja, dalam konteksGMIM, mulai dari aras BPS (Badan Pekerja Sinode-
red) sampai tingkat jemaat,” katanya.
Meski demikian, bukan berarti gereja harusapolitis. Gereja juga berkewajiban memberikan
arahan-arahan pastoral yang di dalamnya memuat
prinsip-pr insip et ika pol i t ik Kristen. “Dalampengalaman saya selama kurang lebih 40 tahun
berkec impung da lam dunia pe layanan gere ja
(GMIM-red) hanya ada dua pemimpin GMIM yangjelas-jelas memperlihatkan sikap yang non partisan
atau mengambil jarak dengan penguasa, yaitu, Pdt.
A.Z.R. Wenas dan Pdt. R.M. Luntungan. Merekatetap berpartisipasi dalam politik, tapi dalam bentuk
memberikan arah-arah moral dan etika spiritual,
sehingga mereka benar-benar dianggap sebagaipemimpin umat yang memberikan kesegaran untuk
memotivasi masyarakat dalam berpatisipasi secara
positif dan kreatif, “ ungkap Dr. Bert panjang lebar. Sesudah kedua tokoh itu, para pemimpin
GMIM d i masa orde bar u t idak sang gup
memberikan respon yang betul-betul gerejawi dalamkaitan dengan kehidupan politik. Menurut Dr. Bert
mereka akhirnya masuk dalam perangkap strategi
politik orde baru pada waktu itu. “Jadi, di sinilahproblem dari para pemimpin gereja (GMIM –red.).
Di samping mereka di pengaruhi, ini juga disebabkan
karenalemah untuk memberikan sikap mereka sebagai
pemimpin GMIM,” ungkap mantan Direktur Rumah
Sakit Bethesda dari tahun 1965 sampai 1990 ini.Dr. Ber t juga ber pendapa t g er e j a har us
memper tegas kemba l i , s ikap a tau pemik i ran
teologisnya tentang hubungan gereja dan negara.“Sehingga sebagai intitusi spiritual yang independen,
gere j a dapa t memainkan peranannya da l am
memberdayakan masyarakat yang tertindas, melawanketidakadilan, demi terciptanya masyarakat yang
damai sejahtera. Itulah misi gereja, sebagai bentuk
penghayatan iman terhadap Yesus Kristus Sang JuruSelamat,”tandas dr. Bert.(deni)
Dr. Bert A. Supit:
“Gereja Harus Non Partisan”
LASTe Ngaasan Vol. I-JUNI 2005
19