nga’asanngaasan.tripod.com/ngaasan.pdf · pembaca yang budiman... ... ekonomi yang makin...

19
Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak VOLUME I-JUNI 2005 Dari Dapur Pemikiran Tabea… Bagai artesis di padang pasir yang panas kering-kerontang pemikiran, Nga’asan hadir dan mengalir sebagai spirit kembangkitan intelektualitas Tou Minahasa yang haus dengan semangat intelektualitas; berpikir analitik dan apresiatif terhadap persoalan-persoalan, ide, bahkan idiologi yang diskursif sebagai dasar acuan pengambilan keputusan hidup Tou Minahasa. Tentu kehadiran Nga’asan yang menjadi perkakas intelektual, ICRES ( Institute of Community Research And Empowerment - SUMEKOLAH) di belantara pemikiran tidak begitu saja sekonyong-konyong mengada, namum memalui proses panjang dan telaah yang dalam bahwa sungguh Tou Minahasa kini dalam ranah yang memprihatinkan atas dinamika jaman yang sangat cepat berubah. Tou Minahasa perlu melakukan refleksi dan berkontemplasi atas perjalanan panjangnya mengisi ruang-ruang kehidupan. Begitulah Nga’asan hadir dan menjadi cermin pantul terhadap semua refleksi kehidupan Tou Minahasa, agar kita semua dapat melakukan koreksi, pembaharuan dan menata kembali hakekat hidup komunitas yang didalamnya terhimpun sekian banyak sub etnis dengan keunikan dan kekhasannya sendiri. Semoga kehadiran Nga’asan dalam dialektika jaman yang terus bergerak, memiliki manfaat bagi kita semua. Makapulu sama. Nga’asan dalam konsepsi Tou Minahasa memiliki makna aktif sebagai spirit intelektualitas. Nga’as ini sendiri secara harafiah berarti otak. Sehingga, ngaasan dapat dimaknai sebagai proses sadar dari optimalisasi sumber- sumber intelektualisme dalam kesadaran yang dimiliki setiap orang. TILIK UTAMA FOKUS SIKAP DiSEASE Buyat Mengerang Buyat Mengerang Buyat Mengerang Buyat Mengerang Buyat Mengerang Newmont Newmont Newmont Newmont Newmont Berjingkrang Berjingkrang Berjingkrang Berjingkrang Berjingkrang Pembaca Yang Budiman... Redaksi Nga’asan menerima masukan tulisan, artikel serta analisa sosial yang terkait dengan problem sosial Tou Minahasa. Atas kesediaan hati anda untuk memberikan tulisan anda, kami ucapkan banyak terima kasih. Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak Nga’asan Otonomi Elit Versus Otonomi Rakyat Menunggu Nasib Demokrasi Di KPUD

Upload: phamliem

Post on 13-Feb-2018

235 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak

VOLUME I-JUNI 2005

Dari Dapur Pemikiran

Tabea…Bagai artesis di padang pasir yang panaskering-kerontang pemikiran, Nga’asanhadir dan mengalir sebagai spiritkembangkitan intelektualitas Tou Minahasayang haus dengan semangat intelektualitas;berpikir analitik dan apresiatif terhadappersoalan-persoalan, ide, bahkan idiologiyang diskursif sebagai dasar acuanpengambilan keputusan hidup TouMinahasa.

Tentu kehadiran Nga’asan yang menjadiperkakas intelektual, ICRES (Institute ofCommunity Research And Empowerment-SUMEKOLAH) di belantara pemikirantidak begitu saja sekonyong-konyongmengada, namum memalui proses panjangdan telaah yang dalam bahwa sungguh TouMinahasa kini dalam ranah yangmemprihatinkan atas dinamika jaman yangsangat cepat berubah. Tou Minahasa perlumelakukan refleksi dan berkontemplasi atasperjalanan panjangnya mengisi ruang-ruangkehidupan.

Begitulah Nga’asan hadir dan menjadicermin pantul terhadap semua refleksikehidupan Tou Minahasa, agar kita semuadapat melakukan koreksi, pembaharuandan menata kembali hakekat hidupkomunitas yang didalamnya terhimpunsekian banyak sub etnis dengan keunikandan kekhasannya sendiri.

Semoga kehadiran Nga’asan dalamdialektika jaman yang terus bergerak,memiliki manfaat bagi kita semua. Makapulu

sama.

Nga’asan dalam konsepsi TouMinahasa memiliki maknaaktif sebagai spiritintelektualitas. Nga’as inisendiri secara harafiah berartiotak. Sehingga, ngaasan dapatdimaknai sebagai proses sadardari optimalisasi sumber-sumber intelektualisme dalamkesadaran yang dimiliki setiaporang.

TILIK UTAMA

FOKUS

SIKAP

DiSEASE

Buyat MengerangBuyat MengerangBuyat MengerangBuyat MengerangBuyat MengerangNewmontNewmontNewmontNewmontNewmont

BerjingkrangBerjingkrangBerjingkrangBerjingkrangBerjingkrang

Pembaca Yang Budiman...

Redaksi Nga’asan menerima masukan

tulisan, artikel serta analisa sosial yang

terkait dengan problem sosial Tou

Minahasa. Atas kesediaan hati anda

untuk memberikan tulisan anda, kami

ucapkan banyak terima kasih.

Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak

Nga’asan

Otonomi Elit

Versus

Otonomi Rakyat

Menunggu Nasib

Demokrasi Di KPUD

2

Penanggungjawab/Penasehat: Dr Bert Adriaan Supit. Penasehat: Pdt. J. R. Pandeiroth, Bert Supit (Sr), Pdt JL. Lantang, Drh. L. Lantang,

Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR. Jong Ohoitimur MSC, DR. Max Ruindungan, Drs EP Rumayar SH, Audy Wuisan STh, Msi, Kartini

Mumme Joseph, Froly Lelengboto, Nora Mayo Worang, Deny Sondakh, Isye Paruntu, Beni Matindas, Sonny Wuisan. Chief Editor: Veldy

Umbas. Dewan Redaksi: Sandra Rondonuwu STh, SH, Joce Kawengian, Irvan Basri, Sonny Mumbunan, Freddy Wowor, Occto Supit,

Matulandi Supit. Redaktur: Daniel Kaligis, Jull Takaliuang, Jemmy Lumintang, Veldy Umbas. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak:

dactfay, Jonly. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut Telp/fax 0431 354739, 3300242. Email:

[email protected].

NUWU KATARE Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

Nama itu kini menjadi

ikon perjuangan

kelompok pecinta

lingkugan dan pembela

korban penyakit

“aneh” yang mendera

masyarakat di teluk buyat.

Sudah lama kasus buyat

menggelinding tak tentu arah.

Ada saat di mana nasib warga

korban mengalami hari-hari

sulit dan menyedihkan saat

sebuah lembaga advokasi

kesehatan memobilisasi

mereka ke Jakarta sebagai alat bukti pencemaran yang

diduga dilakukan oleh PT Newmont. Ada juga disaat di

mana mereka diombang-ambingkan oleh ketidakpastian

sikap pemerintah yang plin-plan menangani kasus

kemanusiaan yang tengah menimpa warga buyat ini.

Sampai akhirnya, setelah bayi Andini, dan sejumlah bayi

lainnya pun menunjukkan gejala serupa, begitu juga

beberapa warga mengalami penyakit “aneh” itu, menanti

pasrah. Dengan menyimpan sejumlah tanya dan harap atas

musibah yang menimpah mereka, mereka menunggu

keajaiban bisa terjadi. Sayang musibah terus saja

menggelinding menimpa mereka.

Belum lagi dengan sejumlah persoalan yang harus

dihadapi acapkali peliknya hidup memergoki fakta

ekonomi yang makin terpuruk, manakala, istri, anak, cucu,

suami dan keluarga mereka mengerang atas sakitnya kondisi

sosial yang terus saja melilit.

Laut yang dulu menjadi taman kebahagiaan atas

sumber-sumber di dalamnya kini menjadi garang, asing,

dan horor. Di antara ketidakpastian atas tercemar tidaknya

teluk buyat, mereka terkatub bisu, meratap, meringis, dan

Buyat, Antara Kontroversi Ilmiah

Dan Nilai-nilai Kemanusiaan

bahkan mengutuki kehidupan.

“Apa salah kami sehingga

banyak orang yang mencibir,

menghina, dan bahkan

mengucilkan kami,”keluh Ibu

Andini menahan isak yang

makin perih.

Pemerintah, Newmont,

Unsrat, dokter-dokter, dan

bahkan rakyat banyak

mungkin saja sedang

terbahak-bahak dan

berjingkrang di atas

ketidakpastian nasib mereka.

Tapi ada sejumlah orang yang prihatin, terpanggil, dan

meratap menyaksikan, bahwa nilai-nilai kemanusian ternyata

harus dibayar dengan harga atas nama investasi. Bahkan

atas nama intelektualitas, ilmiah, dan apapun tetek-bengek

argumentasi akademik itu, ternyata mereka melupakan satu

hal. Yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Hanya itu saja yang dapat

dikatakan dan dilakukan sehingga manusia menjadi lebih

mulia dibanding binatang. Dan atas nama nilai-nilai

kemanusiaan itulah, Nga’asan edisi perdana ini akan coba

mengurai tentang kontroversi kasus buyat, ditinjau dari

perspektif korban. Bukan dari makanis teknis, soal tetek-

bengek merkuri, arsen dsb yang menjadi argumentasi anti

humanis para pembela modal itu.

Pada bagian lain, Nga’asan juga membahas beberapa

hal yang terkait dengan intelektualisme Tou Minahasa dan

problem kultralnya. Banyak hal memang yang harus

dibahas tuntas, dan diungkap dalam konteks civil society

kita. Untuk itulah, kehadiran Nga’asan yang terkesan

terburu-buru ini juga didorong oleh kenyataan sosial bahwa

problem sosial rakyat kita makin akut dan terjadi secara

sistemik membutuhkan respon cepat dan aksi. Semoga !!!

Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: ICRES, MAM, PM, dan YSN.

TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

Kata independensi sendiri tidak bebas nilai. Ia sendiri

adalah struktur yang harus dibongkar karena justru

sarat dengan kepentingan atas di mana tempat ia

mengakar, yaitu intelektualisme. Sehingga menjadi sulit

kemudian memisahkan intelektualisme dan indipendensi

karena keduanya tumbuh dalam spirit yang sama. Apalagi,

problem kemapanan intelektual selalu menjadi problem

kultural yang selalu terjadi dalam khasana intelektual di dunia,

justru itulah ia kadang-kadang menjadi tidak indipenden.

Selalu saja ada orang-orang yang merasa mapan dengan

mashabnya (world view), lalu menyembahnya dan kemudian

menjadi “tuhan”nya. Ada lagi yang lain, yang berkedok ilmiah

tapi pendekatannya pragmatisme konservatif. Padahal spirit

intelektual sejatinya selalu terbuka, bebas nilai dan tidak

anti kritik. Selalu saja, manusia mengalami problema

paradigma seperti ini, yakni antara kejujuran ilmiah yang

menempatkan manusia sebagai subjek dari perkembangan akal.

Yang lain adalah mengandalkan perkembangan akal dengan

berkedok ilmiah dan intelek meskipun berpotensi

mengorbankan nyawa manusia. Projek-projek nuklir misalnya.

Hal mana terjadi dalam perdebatan antara para akademisi

dan intelektual Unsrat, yakni para dokter dan akademisi pembela

Newmont, yang melihat dan merasa bahwa investasi asing harus

dilindungi versus pegawai Unsrat seperti Markus T Lasut,

Rignolda, dsb di lain pihak menilai rakyat sebagai perspektif

korban semata-mata pengabdian kemanusiaan dari apapun

metode dan mashab ilmiah tersebut. Perangkap ilmiah lain

tergambar dari banyak sekali interpretasi yang mungkin saja

didasari atas basis keilmuan masing-masing pendekatan.

Woldview atau penafsiran ilmiah (Weltanschauung) pasti

mengalami bias makna dari subjek persoalan dan terfagmentasi

pada dua kutub yang jauh dan curam apabila basis

pendekatannya mengalami godaan-godaan kepentingan

pragmatis yang bisa menggeserkan hakikat kebenaran yang

sesungguhnya. Pada tataran ini terjadi dua interpretasi pokok

yang menjadi paradoksial. Pertama, penafsiran ilmiah atas

kausalitas korban manusia-manusia buyat yang kini sedang

mengerang derita penyakit aneh.Kedua, penafsiran ilmiah

terhadap proses mekanis dan prosedural teknis pembuangan

limbah. Keduanya tentu memiliki argumentasi-argumentasi

hakiki, seolah-olah paling benar, untuk kemudian menjadi klaim

pemenang atas kebenaran satu terhadap yang lain, yang mana

keduanya mengacu pada pembenaran dan penyangkalan

Matinya Spirit Om Sam Di Unsrat(Refleksi Dari Demo Mahasiswa Unsrat Yang Menentang Seminar Ilmiah Unsrat)

“Kami berduka cita atas matinya independensi Universitas Sam Ratulangi.” Adalah karangan bunga duka yang dibawa

oleh berbagai komponen mahasiswa yang nota bene mahasiswa Unsrat yang menentang seminar internasional yang

diprakarsai oleh Unsrat sendiri.

terhadap premis mayor dari sebuah logika kausalitas, “penyakit

warga terjadi akibat pencemaran PT Newmont.”

Di sinilah, tampak usaha pemodal asing Newmont

mendekatkan persoalannya. Penguatan opini bahwa sistem dan

proses penambangan emas yang dilakukan di Ratatotok

Minahasa sudah benar, sesuai dengan konvensi-konvensi dunia

tentang lingkungan hidup. Sesuai pula dengan undang-undang

dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, serta tidak

berdampak pada jatuhnya puluhan korban warga yang terkena

penyakit “aneh” itu. Opini ini diklaim sebagai kebenaran absolut

sehingga mereduksi semua potensi kecenderungan ke arah

medan opini yang berbeda—penyangkalan terhadap korelasi

antara penyakit “aneh” dengan pencemaran. Sehingga opini

yang akan dicapai adalah, penyakit “aneh” warga, kematian

Andini, kelahiran bayi Siti yang bercak merah, dll, bukan akibat

langsung dari sistem pembuangan limbah tambang di teluk

buyat dengan sistem sub marine tailingnya.

Berbagai usaha telah dilakukan, mulai dari iklan mahal dan

simpatik di media massa, serta menegaskan opini publik

melalui pernyataan para ahli, dokter, akademisi, tokoh

masyarakat, aktivist, pers, dan bahkan tokoh agama, bahwa

Newmont tidak melakukan pencemaran di Buyat.

Sebuah lembaga yang mengklaim membantu rakyat

buyat dalam advokasi kesehatan pun mencabut gugatannya

di pengadilan dan memutuskan berdamai dengan Newmont.

Satu demi satu orang-orang yang menggugat Newmont

sebagai pemodal asing bertanggungjawab atas tragedi

penyakit aneh warga buyat, mulai berguguran. Sementara

para agen dan kaki tangannya pun sibuk melakukan

propaganda guna meredam suara sumbang terhadap

investasi asing sekelas Newmont yang ditengarai melakukan

pencemaran lingkungan.

Sampai akhirnya, Universitas Sam Ratulangi yang

dipimpin oleh rektornya Lucky Sondakh, menginisiasi

pertemuan bertajuk ilmiah; “International Seminar Mining,

Environment, and Sustainable Development A Lesson From The

Gold Mining Controversy In Buyat Bay.” Sebuah pertemuan

yang diduga mengaburkan masalah pencemaran karena

seminar ini sendiri didanai atau salah satu pendananya adalah

PT. Newmont. Demikian juga pesertanya yang nota bene

lebih mengakomodir orang-orang yang pro Newmont dan

tidak memiliki perspektif korban.

3

Jelas di sini menjadi telanjang betul bahwa intelektualisme

Unsrat sebagai lembaga pendidikan tinggi yang dalamnya

mengusung roh kebenaran yang epistemik, telah mengalami

pergeseran moralnya dari semangat kebenaran ilmiah apapun

perspektifnya, kepada intelektualisme pragmatis yang jelas-

jelas menjadi konservatif dan mapan. Indikasi sangat tampak

dalam beberapa analisis berikut:

Pertama, kajian lingkungan beberapa peniliti Unsrat seperti DR.

Markus T Lasut dan DR. Rignolda justru ditolak, tidak menjadi

acuan sama sekali, minimal menjadi acuan penelitian. Hal ini penting

karena ke dua peneliti ini menggalinya dari perspektif mekanis-

teknis, agak berbeda dengan penelitian dr. Jane yang lebih ke

pendekatan medis. Meski dilakukan dengan perspektif korban,

namun beberapa perangkat metode penelitian dan perilaku sampling

kurang mendapat apresiasi dari kalangan medis sekalipun;

Kedua, Unsrat coba melakukan pendekatan/perspektif korban

dengan membelokan perhatian utama subjek kebenaran. Seperti

yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Unsrat yang terindikasi

melakukan mal praktek (dibedah di ruang kelas FK Unsrat yang

tidak representatif untuk standar medical treatment), terhadap warga

Buyat yang mengalami penyakit “aneh.” Lalu secara serampangan

mengambil kesimpulan naif dengan langsung memberi kesimpulan

(tesis) yang jelas menyangkal (anti tesis terhadap) penyakit akibat

pencemaran. Padahal, tidak dijelaskan mengapa hanya warga buyat

yang mengalami penyakit yang “aneh” itu. Mengapa daerah miskin

di pesisir pantai yang lain tidak mengalami hal serupa. Sehingga

banyak pihak sudah datang pada faktor ketiga;

Ketiga, terjadi klaim kebenaran yang prematuer bahwa warga

buyat hanya mengalami penyakit kulit biasa-biasa saja. Di sinilah

kesalahan fatal FK Unsrat dan para pendukung PT Newmont

lain. Mestinya Unsrat dan pemerintah berada pada posisi indipenden

serta melakukan penelitian yang lebih komprehensif baik dari

perspektif korban (ada apa dengan korban yang kini mengalami

penyakit ganas dan aneh itu=buyat disease), maupun dari

perspektif mekanis dan prosedural teknis terhadap pola, motode,

dan sistim pembuangan limbah tambang PT Newmont. Yang terjadi

justru, penelitian-penelitian sebagian orang, dan diperkuat oleh Unsrat

sebagai institusi, yang mengcounter opini telah terjadi pencemaran di

teluk Buyat oleh Newmont. Di sinilah sebenarnya kematian

intelektualisme lembaga yang menggunakan nama Sam Ratulangi

yang mengusung spirit Si Tou Timou Tumou Tou (=saling

menghidupkan orang lain).

Di sini pula jebakan utamanya. Bahwa kelompok, lembaga,

aliansi rakyat yang mengklaim bahwa Newmont telah melakukan

pencemaran, baik dari perspektif korban maupun mekanis dan

prosedural teknis tidak dapat dibantah secara ilmiah oleh Unsrat.

Malah Unsrat dan pembela Newmont masuk dalam medan

pertempuran “kebenaran” dengan mengatakan bahwa bayi

almarhuma Andini maupun Siti yang kini sekarat, dll, hanya

mengalami penyakit biasa dan tidak oleh karena pencemaran logam

berat. Harusnya kebenaran utama dilihat dari dari dua sisi. Pertama,

Perspektif korban (premis mayor), adanya penyakit aneh di Buyat.

(Tesisnya), maka, terdapat dugaan pencemaran di Buyat.Artinya,

korelasi antara pencemaran dan penyakit yang ditarik dari sisi

mengapa penyakit aneh itu ada di Buyat.Ini harus dijelaskan secara

ilmiah.

Kedua, perpektif Mekanis-Teknis atau prosedural teknis, (premis

mayor) Buyat telah tercemar. Maka warga buyat terkena penyakit

kulit. Artinya, menjadi sulit mengatakan penyakit aneh di Buyat

tidak berkorelasi dengan pencemaran di Buyat. Sehingga kalau

bantahan pro Newmont adalah buyat tidak tercemar, maka

bagaimana menjelaskan penyakit aneh di Buyat sementara kasus

ini hanya terjadi di kampung Buyat Pante saja.

Ketiga, sebagai perspektif alternatif yang bisa panjang lebar

dan bertele-tele adalah, kedua premis mayor berdiri sendiri. Yaitu,

kasus pencemaran dilihat secara terpisah dari terjadinya korban

warga Buyat. Penelitian yang komprehensif tentang pencemaran.

Serta penelitian yang komprehensif tentang penyakit “aneh” (buyat

disease) dan turunannya yang terjadi pada warga Buyat Pante.

Tampaklah jelas Intelektualisme Universitas Sam Ratulangi

nampak runtuh. Bagaimana mungkin klaim kebenaran itu bisa

dilakukan tanpa ada penelitian yang komprehensif, ilmiah,

indipenden, otentik, dan akurat. Bahkan pada logika perpektif

korban, (Premis mayor) Unsrat mengatakan bahwa, penyakit aneh

tidak ada hubungan dengan masalah pencemaran di Buyat. Lalu

apa tesisnya? Apakah Unsrat mengatakan bahwa; Teluk buyat tidak

tercemar oleh logam berat? Pernyataan Rektor Lucky sendiri

mengambang dengan mengatakan bahwa masih perlu adanya

penelitian yang komprehensif dan ilmiah. (Mdopost Mei 2005).

Jelaslah bahwa institusi pendidikan ini mengalami kebingungan dan

makin sulit untuk mengelak bahwa Unsrat memang berpihak

kepada Newmont.

Di tengah kecurigaan besar-besar kelompok NGO, Mahasiswa,

Aliansi Rakyat terhadap Unsrat dan para pecalangnya, tiba-tiba

Rektornya, Lucky Sondakh, datang dengan ide seminar internasional

dengan mewah dan mahal serta dibiayai oleh Newmont. Ada apa?

Inilah celah yang menjadi lebar untuk masuk kepada analisa;

kenapa mahasiswa Unsrat melakukan demo menolak seminar dan

rekomendasinya yang dilakukan oleh Universitas Sam Ratulangi

tersebut. Adalah sebuah gugatan terhadap matinya spirit

intelektualisme yang mestinya menjadi ruh pendidikan di lembaga

pencetak kader-kader muda tersebut.

Sehingga ketika masuk pada persoalan seminar ilmiah yang

mewah dan mahal itu, maka lembaga ini dengan oknum-oknum

elit lembaga tersebut tidak hirau dengan tema utama Buyat dengan

paradoksialnya. Dan malah bergeser dari substansi dari apa yang

seharusnya dilakukan seperti revisi sikap dan kebijakan terkait dengan

peran intelektualisme lembaga pendidikan yang indipenden, kepada

acara-acara pertemuan yang ceremonial dan diskursif. Bukan seperti

apa yang mestinya menjadi spirit utama falsafah Tou Minahasa

yang digambarkan oleh (Om) Dr Sam Ratulangi: Si Tou

Timou Tumou Tou. Sayang.(veldy umbas).

TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

4

dicemari oleh PT Newmont Minahasa Raya; 2) fenomena

penyakit aneh di Buyat diduga memiliki korelasi yang kuat

dengan tercemarnya lingkungan (keracunan logam berat);

3) sikap segelintir petinggi Unsrat yang mengklaim diri

sebagai representasi civitas academica Unsrat yang amat getol

membela PT NMR mulai dari mendatangi DPR RI (2004

silam) hingga mendatangi Komnas HAM (2005) – cuma

untuk mengajukan antitesis (yang disebut sintesis) dari

epistemologi versi mereka bahwa Buyat sama sekali tak

tercemar, sama sekali tak dicemari limbah B3 (bahan

beracun berbahaya) oleh perusahaan raksasa Newmont

Minahasa Raya!

Baiklah kita menjawab pertanyaan mengapa seminar

internasional Unsrat patut dikritik jika tak dibilang

ditelanjangi, atau diboikot dari penggunaan ST4. Pertama,

ST4 memiliki makna menghidupi manusia lain, sementara

seminar internasional tersebut jelas-jelas menafikan penyakit

keracunan yang diderita manusia Buyat (buyat disease).

Bahkan dari luar seminar, para centeng ilmu yang berbaju

dokter-dokter spesialis dan pejabat kesehatan lokal

mendukung seminar internasional tersebut dengan argumen

sensasionalnya tentang penyakit ichtyosis (sisik ikan pada

manusia; penyakit sangat langka; penyakit karena perubahan

genetik akibat keracunan yang sama sekali tak bisa

disembuhkan) divonis sebagai penyakit kulit biasa yang

enteng disembuhkan! Secara tak langsung, seminar

internasional ini mengimplikasi bahwa buyat disease tak

dianggap sebagai kasus penyakit atau kasus kedokteran atau

bahkan kasus ilmiah yang harus dielaborasi tuntas menurut

dalil sebab-akibat yang ketat. Kasarnya, dalil sebab-akibat

benar-benar disepelekan oleh testimoni seminar internasional

menurut versi praksis.

Kedua, sebagai turunan murni Minahasa, saya tak rela

filosofi, atau slogan atau malah cuma sekadar jargon ST4

diselewengkan hanya untuk mendapatkan bayaran jasa

dengan “mematikan” manusia lain (baca: membiarkan

manusia lain terbunuh atau menderita).

Ketiga, haruslah dituduh bahwa seminar internasional

ini dibuat spesial khusus untuk mempengaruhi proses hukum

yang sedang ditimpakan pada PT NMR baik pidana

maupun perdata (pleidoi prematur bagi pesakitan yang

banyak duitnya).

Keempat, seminar internasional ini jelas-jelas memiliki

efek negatif bagi kepentingan rakyat yakni menjadi

preseden pada kebijakan publik oleh negara dalam konteks

Menyoal Dalil Causa Prima(kritik atas seminar internasional Unsrat)

Oleh: Revkots

n Melepoti ST4

TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

Anggap saja tulisan ini memang menyepelekan atau

menghinadinakan epistemologi yang “dianut” beberapa

oknum (baca: pakar) Universitas Sam Ratulangi dan para

“centeng” ilmunya – yang menyelimuti dirinya dengan gelar

ilmuwan atau dokter. Justru ketika mereka dengan busung

dada “berhasil” melaksanakan seminar internasional pada

tanggal 9-10 Mei 2005: – sebuah iven bergengsi nan “mahal”

yang merupakan pencerminan kapitalisasi intelektualisme

– hanya untuk mendeklarasi Teluk Buyat tak dicemari PT

Newmont Minahasa Raya. Seminar yang dituduh sangat

mengingkari independensi ilmiah tersebut, bahkan dua kali

didemo oleh mahasiswa, akhirnya bermuara pada protes

keras dari para tou (orang) Minahasa yang meributkan klaim

filosofi Sam Ratulangi yang dilakukan Unsrat yaitu Si tou

timou tumou tou (ST4), menusia hidup untuk menghidupi

manusia lain. Bahkan, beberapa pendapat mengatakan

seminar tersebut adalah penghinaan intelektual Minahasa.

Ihwal kritik dan protes diawali oleh penandaan atas

kelompok bandar (penyandang dana seminar) yaitu PT

Newmont dan para tukang kepruknya (43 perusahan

tambang dunia) – yang dilakukan justru pada momen-

momen dramatis limbah B3 PT Newmont Minahasa Raya

dinilai amat bermasalah di Buyat. Hal ini mengimplikasi

pameo kultur miskin yang lagi tren akihir-akhir ini yaitu

“maju tak gentar membela yang bayar!” Artinya, dimensi

ini menjelaskan tentang siapa membela siapa yang berujung

pada harus diragukannya seluruh kesimpulan seminar ini.

Rupa-rupanya langkah menseminarkan Buyat tak

dicemari Newmont, dilandasi oleh itikad (baca:

tendensiusme) yang menuduh penyakit aneh-aneh warga

Buyat sebagai rekayasa murahan para tukang peras kapitalis

(investor). Pada tahap ini tak saja metodologi ilmu yang

disepelekan, tetapi malah sebuah paradoks ilmu telah

diluncurkan dengan alasan hakikat ilmu itu sendiri. Ironisnya,

dilakukan oleh lembaga ilmu yang mentereng. Yakni, sebuah

hipotesis diadu dengan antitesis usang (yang disebut-sebut

sintesis) yang terus menerus dimutakhirkan sembari

mengabaikan fakta-fakta yang sedang berlangsung di depan

jidat keriput para pakar (penyelenggara seminar) yang

mengaku ilmuwan tersebut.

Fakta-fakta yang dimaksud adalah 1) kesimpulan yang

akhirnya diambil kementrian LH dari penelitian

komprehensif tim terpadu sebagai sikap negara yakni Buyat

5

tak terlindungnya masyarakat dari lingkungan tidak sehat

gara-gara melindungi investasi yang brengsek. Ringkasnya,

seminar ini melegitimasi praktik menumbalkan masyarakat

untuk kepentingan brengseknya investasi!

n Proyek Maling di Kampung Uztad

Sejak 1996, sebagian ilmuwan Unsrat, memang terlibat

jauh dalam penyusunan amdal PT NMR. Bahkan, Prof.

Dr. Lucky Sondakh Mse (Rektor Unsrat yang menginisiasi

seminar internasional) dalam konteks amdal, adalah Ketua

PSL waktu itu. Sementara dalam kasus STD (submarine tailing

disposal) serta kasus lapisan termocline perairan Buyat (yang

disebut memadai dan aman di kedalaman tailing 82 meter),

para ilmuwan

tersebut mati-matian

m e m b e l a

“kebenaran” STD

dan “kebenaran” 82

m dengan

k e c e n d e r u n g a n

melenyapkan fakta

dalam kerangka

mendukung paradoks

kebenaran mereka

(contohnya lebih 13kali ikan-ikan Teluk

Buyat mati

mengapung pada

tahun pertama

pembuangan tailing).

Teori STD pada

kedalaman 82 meter

akhirnya dimentahkan secara memalukan oleh Tim Terpadu

LH Oktober 2004 silam. Karena pada kenyataannya, fisik

Teluk Buyat secara kasat mata saja, kabur oleh naiknya

limbah B3 ke permukaan, dan ekosistem Buyat amat

terganggu yang ditandai oleh menurun drastisnya jenis ikan,

Teluk Buyat yang indah sekarang dipenuhi ikan benjol, dan

manusia disekitar Teluk Buyat menderita berbagai penyakit

aneh dan langka. Ringkasnya, STD pada kedalaman 82 m,

sama sekali tak aman!

Kendati, setahu kita telah ada rekomendasi Tim Terpadu

LH agar dilakukan penelitian pathway guna mendapatkan

penjelasan ilmiah antara limbah B3 di Teluk Buyat dengan

kesehatan manusia di sekitarnya. Sayangnya, kisah penelitian

pathway yang menjadi harapan para korban pencemaran,

hanya sebatas rencana saja. Akibatnya, fakta tercemarnya

lingkungan oleh limbah B3 yang telah masuk pada mata

rantai kehidupan manusia, seolah-olah hanya untuk

diambangkan agar memasuki paradigma wacana nan mulia

dalam kebaikan hati negara dan investasi asing! Wacana-

wacana yang baik dan benar itu – seperti juga kitab-kitab

suci agama – akhirnya mudah “dimalingin” oleh “serdadu-

serdadu bayaran” melalui penciptaan fakta baru oleh

penelitian-penelitian sumir yang dengan bangga disebut

sebagai produk ilmiah para “pakar” berjidat keriput yakni

Buyat sama sekali tak dicemari oleh PT Newmont Minahasa

Raya! Ironisnya, itu dicomot dari representasi komitmen

intelektual Minahasa (ST4).

Bukankah dimensi ini menjelaskan skenario “proyek”

di kampung uztad? Fatwa “sakti” dari uztad “tersuci”,

sesungguhnya bukanlah barang sakral ketika beradu taji

dengan interesse materialisme (yang saat ini didaulat sebagai

perlindungan terhadap investasi asing). Pada tahap ini, seolah

sah dan legal bagi kelompok “pemroyek” ini untuk mulai

menuduh tambang

rakyat yang diduga

ikut mencemari

sungai Totok

(mungkin juga hingga

ke Teluk Totok),

sebagai satu-satunya

aktor yang

mencemari Teluk

Buyat – walau pun

sama sekali takrelevan. Yakni Teluk

Totok dan Teluk

Buyat dipisahkan oleh

s e m e n a n j u n g

pembatas yang tegas!

Jelasnya, skenario

maling di kampung

uztad dipinjam dari pepatah kuno orang kampung yang

lazim yaitu maling teriak maling.

Bahkan, racun arsenik yang tiba-tiba saja merajalela di

Buyat didaulat dalam 2 kategori yaitu pertama, katanya,

arsenik itu keluar sendiri (terekstraksi) dari batuan andesit

kemudian mencemari lingkungan di situ; memasuki sumur-

sumur penduduk serta sumber air PDAM untuk dikonsumsi

masyarakat Buyat bertahun-tahun lamanya. Kedua, konon,

arsenik memang sudah ada dari sononya. Padahal, kedua

kategori tersebut jelas-jelas bertentangan dengan ihwal yang

disebut rona-awal dalam amdal PT NMR yang dikerjakan

sebagai proyek “ilmiah” oknum-oknum ilmuwan Unsrat,

termasuk Ketua PSLnya. Selanjutnya, syahdan, racun arsen

yang tiba-tiba datang di Buyat disimpulkan sebagai bukan

pencemaran PT NMR. Tetapi suratan takdir nasib buruk

orang Buyat saja. Lalu, limbah sianida, limbah arsenik,

limbah mercury organik, dan lain-lainnya dibuang di mana?

Pada kedalaman 82 m STD Buyat? Lalu hilang lenyap

ditelan dasar laut Maluku? Ataukah seperti kata Ir Bonnie

TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

6

Sompie ketika ia menjabat Kepala BPLH Sulut waktu lalu,

bahwa limbah B3 NMR telah dibungkus dos dulu sebelum

dibuang ke Teluk Buyat? Walahualam, tekateki proyek maling

di kampung uztad semakin menarik dipikirkan.

n Teori Kuda Bendi

Bagian paling menarik dalam kasus-kasus ilmu yang

ekstrim adalah ketika berbagai perspektif ilmu bergabung

dalam perspektif universal bernama kemanusiaan. Teori

inti atom, misalnya – yang disepakati sebagai potensi terbesar

untuk memusnahkan manusia – selain telah lebih dahulu

sukses gemilang membunuh ratusan ribu orang Jepang dan

mencemari habis-habisan manusia di Chernobyl. Atau malah

cuma sekelas hidrostatikanya Archimedes yang “sengaja”

dilupakan ketika orang mulai mereklamasi pantai-pantai di

Indonesia yang akhirnya mengabrasi pantai-pantai lainnya.

Tak kalah menariknya, penyakit orang Buyat yang

fenomenal seperti kram-kram dan pusing-pusing yang

mengarah pada kelumpuhan syaraf; benjolan (tumor); infeksi

paru-paru dan penyakit kulit yang luar biasa; – dengan salah

satu anamnese atau rujukan pada gejala keracunan logam

berat, tetapi divonis tegas sebagai penyakit biasa dari masalah

higienitas lingkungan nelayan Republik Indonesia tercinta.

Termasuk penyakit perubahan genetik pada manusia yang

bernama ichtyosis di atas. Sementara daftar penyakit akibat

perubahan genetik di berbagai belahan bumi lainnya yang

dicemari logam berat dengan begitu mudah ditemukan. Itai-

itai disease menuding cadnium (Cd) sebagai penyebab

lahirnya bayi-bayi hidrosepalus. Atau Minamata disease

dengan mercury organik (Hg) yang amat menggetarkan hati

karena bayi-bayi cacat dan imbisil.

Pendapat murahan yang juga didukung kalangan medis

lokal tersebut, jelas-jelas menafikan kompleks persoalan

kesehatan tersebut dengan satu-satunya tuduhan yaitu

kemiskinan. Jika memang masyarakat masih miskin, misalnya

karena akses yang tertutup terhadap modal, atau sistem-

sistem kemasyarakatan yang justru memiskinkan masyarakat,

lalu apa hubungannya terhadap penyakit yang datang

bersamaan dengan diambilnya kekayaan isi perut bumi

tempat mereka tinggal? Sirik atau mau memeras? Justru

ketika terkurasnya seluruh pendapatan dan tabungan, atau

bahkan kebun dan berbagai properti lainnya telah habis

diloak gara-gara membiayai pengobatan penyakit aneh yang

tak kunjung sembuh? Pada tahap ini, sesungguhnya uang

negara telah banyak digunakan untuk membantu PT NMR

yaitu dengan pembiayaan Gakin di Buyat.

Menjadi pertanyaan, apakah berbagai peristiwa

kemanusiaan tersebut tak jua menggugah nurani kaum

ilmiawan Unsrat (yang terlibat dalam seminar internasional

itu; yang terlibat membela habis-habisan PT NMR) untuk

tak menutup mata dengan fakta-fakta ironisme atau malah

mungkin fatalisme teori mereka tentang Buyat? Teori

TILIK UTAMA Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

sosiologi peranan Parsons terimplikasi atau harus dituduhkan

dalam peristiwa ini. “Manusia eksistensial akan mundur ke

belakang penampilannya yang lahiriah. Penampilan,

ketrampilan, dan prestasi akan diutamakan di atas kejujuran

dan motivasi,” kata Parsons. Sementara K.J. Veeger (1986)

menguraikan, “…... melarutkan kepribadian dan menjadikan

dirinya miskin dalam arti moral. Mereka memainkan

peranan mereka di bawah pengaruh dari faktor-faktor

sosiopsikologis, seperti keinginan akan sukses, popularitas,

kepastian dalam hidup, keuntungan materiil, ketakutan akan

hukuman, maupun dari faktor-faktor seperti hukum,

peraturan atau situasi melulu; merupakan suatu penyerahan

pasif kepada suatu skrip atau seolah-olah ditempelkan oleh

situasi sosial dari luar kepada diri pelaku. Motivasinya bukan

nilai intrinsik suatu perbuatan. Merupakan kelakuan sosial

yang tidak bercorak manusiawi!” Quo vadis, Dominee?

Pada tahap ini, jelas terjadi pertentangan (ambivalensi)

yang keras antara rekomendasi sensasional seminar

internasional dengan hukum sebab-akibat dari logika. Justru

ketika seluruh “sebab” diabaikan mentah-mentah oleh

lembaga ilmu yang mentereng hanya untuk membantah

suatu “akibat”. Meminjam metode falsifikasi yang

diturunkan dari epistemologi neopositivistik, maka

rekomendasi seminar internasional Unsrat memang harus

diragukan, bahkan ditolak. Menurut aturan modus tollensdalam logika, yaitu bila p (praktika) yang adalah turunan

atau konsekuensi dari t (teori) itu salah, maka t pun mesti

salah. Metode yang mengemukakan bahwa sistem

pengetahuan bertambah maju, bukan karena akumulasi

pengetahuan yang verified dari waktu ke waktu, melainkan

proses eliminasi yang makin keras terhadap kemungkinan

adanya kekhilafan dan kesalahan (falsified). Falsifikasi adalah

pengujian pengetahuan secara asimetris, dimana kebenaran

tetap merupakan dugaan, tetapi kesalahan merupakan suatu

kepastian.

Jelaslah, bahwa itikad dan rekomendasi seminar

internasional Unsrat tersebut ambivalen dengan 2 esensi besar

di dunia ilmu yaitu modus tollens dalam logika, dan metodologi

ilmu (hipotesis diadu dengan antitesis, ibarat menyalahkan

hujan karena jemuran harus diselamatkan). Alhasil, ruang

pandangnya menjadi amat sempit karena perspektif

kacamata kuda tentang Teluk Buyat tak dicemari PT

Newmont Minahasa Raya. Pada taraf tertentu –

sebagaimana lazimnya para penipu jalanan – cara pandang

ini akan memasuki tahap fatamorgana (menipu diri sendiri

yang oleh “kecanggihan” dan keseringan berbohong,

seseorang menjadi percaya dengan kebohongannya sendiri),

jika tak memasuki paradigma metafisis yang tentu saja akan

mulai menyalahkan hidup itu sendiri. Tantum posimus, quantum

scimus, kata Francis Bacon.***

7

Penduhuluan

Masing – masing etnik dimanapun memiliki

ciri khas yang terbentuk dan dipengaruhioleh sejarahnya. Di Minahasa, etnik yang tergabung pada

awalnya terdiri dari etnik Toumbulu, Tountemboan, Tounsea dan

Toulour dan kemudian Tounpasan, Tounponosakan, Tounbantik,Tounsawang dan TouWawontehu. Dan kini persatuan tersebut

terdiri dari sembilan etnik yang satu dengan lainnya memiliki

perbedaan baik dari segi bahasa maupun hukumnya.Sebuah model persatuan yang unik ini menurut legenda dimulai

dari anak – anak Lumimuut – Toar (sebagai cikal bakal etnik –

etnik yang ada di Minahasa) dan berlanjut pada pembagian diWatu Pinawetengan (disingkat WP). Perjalanan panjang terbentuknya

etnik – etnik yang kemudian bersatu (dalam bahasa lokal disebut

Minaesa / Minahasa) karena satu asal nenek – moyang mengalamiberbagai peristiwa yang mengancam eksistensinya serta akulturasi

walaupun enkulturasi merupakan kewajiban bagi setiap etnik untuk

melanjutkan adat – budayanya.Tercatat dimulai dari pengaruh disekelilingnya akibat migrasi

yakni, Tifuru, Bolaang, dan Mangindano merupakan factor pentingdalam akulturasi yang berproses secara alami dengan empat

kemungkinan. Kemungkinan tersebut mencakup asimilasi (ketika

seorang individu tidak ingin memelihara budaya dan jatidiri danmelakukan interaksi sehari – hari dengan masyarakat dominan),

integrasi (suatu minat dalam keduanya baik memelihara budaya

asal dan melakukan interaksi dengan orang lain) dan separasi (suatunilai yang ditempatkan pada pengukuhan budaya asal seseorang

dan suatu keingingan menghindari interaksi dengan orang lain)

serta kemungkinan lainnya yang merupakan akibat proses yakni,marjinalisasi yang lebih pada keniscayaan kecil atau minat kecil untuk

pelestarian budaya (kadang karena alasan kehilangan budaya menjadi

sandaran) dan sedikit keniscayaan atau minat melakukan hubungandengan orang lain (kadang karena alasan pengucilan atau

diskriminasi).3

Akulturasi di Minahasa dapat dilihat dari keempat proses diatas sehingga memperjelas posisi etnik – etnik dalam konteks adat

– budayanya. Pemahaman dan kesadaran tentang identitas menjadi

penting berkaitan dengan posisinya dalam etniknya maupun dalamkebersamaan pada skala lebih luas (Minahasa). Sejak Perang Moraya

1808 – 09 yang dapat dikatakan sebagai titik kulminasi adat –

budaya etnik di Minahasa, hal ini menjadi penting untuk menelusurijejak akulturasi Minahasa modern hingga kini sehingga menjadi

pengetahuan dan kemudian menumbuhkan kesadaran bagi generasi

sekarang untuk bersikap dalam kancah pergaulan modern danglobal. Disamping itu pengetahuan tentang adat – budaya

merupakan modal etnik untuk dapat mempertahankan eksistensi

ditengah keberagaman sekaligus memperkokoh tradisional –

Persatuan Etnik:

Minahasa Sebuah Model Dan Solusi

Oleh Matulandi Supit

nasionalisme yang dilandasi oleh territorial dan genealogis. Demikian

dinamika etnik – etnik yang berada di wilayah kurang lebih 4500

Km2, darisana terasa penting untuk menghadirkan tulisan singkatini bagi generasi sekarang dan akan datang.

Minahasa Sebuah Kesepakatan Bermasyarakat

Ketika suatu saat dimana keturunan LT telah berkembang dimasing – masing rumpunnya maka perlu diadakan pembagian

wilayah, bahasa dan pengetahuan. Pembagian mana bertujuan

untuk kepastian terhadap identitas masing – masing sehinggatercipta keselarasan dan keseimbangan horizontal (manusia –

manusia) dan vertical (manusia – alam semesta).

Berdasarkan upaya yang dilakukan oleh kelompok kerja untukmengumpul dan menggali adat – budaya etnik – etnik di Minahasa

pada tahun 1854 dipimpin oleh Mayoor Nicolas Mogot ditemukan

sejumlah riwayat etnik yang sangatberagam dan simbolik. Hampir keseluruhan riwayat tersebut

tidak mudah dipahami dengan logika karena dituturkan secara

lugas. Paling tidak riwayat tersebut disimpulkan sebagai legendaatau mitos yang baik untuk dikonsumsi anak – anak sebelum

tidur. Namun apakah itu mitos atau sebuah fakta yang terciptamelalui waktu, berisi sejuta makna yang dalam tentang eksistensi

etnik. Paling tidak pelajaran berharga dari masa lalu yang

menunjukkan bahwa etnik – etnik di Minahasa menempuh proseskehidupannya melalui kesepakatan – kesepakatan yang diadakan

untuk itu. Kesepakatan yang penting dalam kehidupan etnik –

etnik tersebut adalah Kesepakatan Watu Pinawetengan. Kesepakatanyang dibuat pada suatu tempat yang sangat strategis dimana seluruh

daratan Minahasa terlihat serta dikukuhkan pada suatu batu besar

yang merupakan miniature wilayah yang akan dibagi. Bilamanamencermati pilihan tempat untuk pembagian ini menunjukkan

bahwa leluhur memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang

masyarakat maupun tentang alam. Teknologi sosial dan alam yangtradisional terbangun berdasarkan pengalaman (empirical) yang

didasari oleh keselarasan dan keseimbangan. Prinsip tersebut yang

melahirkan kesepakatan sebagai alat untuk mencapai sesuatu.Kesepakatan yang dicapai di Watu Pinawetengan mencakup

kemasyarakatan yang berisi wilayah, bahasa dan pengetahuan

merupakan dasar utama persatuan dan kesatuan etnik – etnikyang seasal. Persatuan yang dimaksud adalah sinergisitas potensi

untuk membangun dan mempertahankan identitas masing –

masing maupun secara bersama. Sedangkan kesatuan dimaksudsebagai satunya asal – usul territorial dan genealogis yang

membentuk bahasa dan pengetahuan.

Makna persepakatan Pinawetengan begitu dalam bagi etnik –etnik di Minahasa sehingga batu tersebut dianggap sacral dan

monumental. Kegiatan manusia yang berhubungan dengan

keselamatan dilakukan dan dipastikan di batu ini disamping agama

PERSPEKTIF Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

8

yang telah dipeluknya. Etnik – etnik di Minahasa lebur menjadi

satu ketika berada di batu pinawetengan. Penghayatan terhadap

persatuan dan kesatuan yang disebut Minahasa mewujudnyatadalam ritual rumages (persembahan) dan mengalei (permohonan).

Kesepakatan leluhur menjadi dasar atas ritual yang dilakukan

menunjukkan bahwa identitas masih terpelihara walaupun dalamkehidupan sehari – hari dimasyarakat sangat Kristiani. Dualisme

tersebut berpengaruh langsung pada pengambilan keputusan baik

langsung maupun tidak langsung. Inkonsistensi dan kontroversimerupakan fenomena dalam setiap keputusan karena tradisi masih

melekat dan modernisasi menjadi pilihan lainnya.4

Kontroversi dan Inkonsistensi Pengambilan KeputusanDinamika adat - budaya sejak Perang Moraya mengalami degradasi

tajam akibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap

pengetahuan yang dimiliki leluhur. Kalah perang merupakanpenyebab disamping upaya memarjinalisasi pengetahuan tradisional

oleh pemenang yang ditempuh melalui pendidikan dan kesehatan.

Pernyataan N. Graafland tergambar dalam kalimat,“bagaimanapun penilaian orang mengenai penguasaan tersebut, penguasaan

orang – orang Belandalah yang akhirnya membawa berkat untuk orang

Minahasa…”5 Mencermati hal tersebut nampak jelas bahwa etnik– etnik di Minahasa dipandang sebagai primitive atau alifuru serta

berbagai julukan yang negative. Peradaban yang dibawah orang

Belanda adalah peradaban yang modern dan manusiawi.Melalui penerimaan Kristen oleh orang di Minahasa membawa

akibat bahwa dengan sendirinya orang telah menerima hukum

Eropa. Dan apabila ternyata penerimaan tersebut tidak segera terjadi,maka diberikan peraturan yang kelihatannya lebih sederhana, tetapi

tetap bersifat Eropa terutama yang berkaitan dengan perkawinan.6

Disisi lain pendidikan berdasarkan prinsip Eropa merupakan sebuahstrategi untuk membuat orang di Minahasa mengenal modernisasi

dan sekaligus merombak ideology asli. Dari ideology yang bersifat

religius – mistis kepada religius – logis. Kemudian dilengkapi dengankonsep kesehatan yang logic mendesak konsep kesehatan yang

mistis. Demikian pula dengan pengenalan model kepemerintahan

yang birokratis membawa pengaruh kuat pada tatanan sosial.Perobahan status hak atas tanah yang tadinya bersifat kolektif

menjadi individualistis dan monetisasi ekonomi tradisional (tadinya

ekonomi berlangsung melalui barter) membuat masyarakat menjadilebih praktis dan terlepas dari prinsip – prinsip tradisinya.7

Upaya sistematis colonialis menghancurkan eksistensi asli etnik di

Minahasa kemudian diganti dengan eksistensi yang logic dan modern.

Sejalan dengan itu eksploitasi sumberdaya manusia dan alamnya menjadi

mulus tanpa mengeluarkan biaya yang tinggi.

Berbeda dengan tempat lain di nusantara, wilayah – wilayah yang

diperintah oleh raja/sultan agak sulit untuk melakukan perombakan atas

ideologynya sehingga relatif dapat terpelihara hingga kini. Sebagian etnik

di nusantara yang berhasil dirobah adalah, Batak, Maluku dan Minahasa

sementara Papua, Kalimantan dan Nusa Tenggara relatif tidak berubah

sepenuhnya walaupun Kristen telah dipeluk disana.

Kehancuran Minahasa akibat skenario gold, gospel dan glory (triple G)

merupakan episode yang paling tragis. Marjinalisasi identitas asli

berlangsung sengit melalui sosialisasi Kristen di Minahasa. Orang yang

PERPEKTIF Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

hendak mempertahankannya harus dikucilkan atau mengucilkan diri karena

dicercah oleh saudaranya sendiri. Kearifan budaya yang tadinya melengkapi

tatanan sosial berangsur lumpuh diganti oleh kearifan yang tidak dikenal

sama sekali walaupun sesungguhnya mereka berada pada suasana yang

kontroversi yakni, perilaku dan sebagian hukumnya masih berpegang

pada adat – budaya sementara keinginan untuk turut dalam pergaulan

modern sangat kuat. Akibatnya ketika berhadapan dengan situasi dan

kondisi yang memerlukan keputusan, mereka terjebak dalam suasana

inkonsistensi yakni, ketidakjelasan dalam menentukan sikap.

Fenomena ini ditemukan hampir diseluruh masyarakat pasca colonial

dimana dualisme merupakan fakta kemasyarakatan. Secara sengaja atau

tidak disengaja, kolonialis telah menemukan teknologi sosial baru dan

melalui teknologi ini, era baru kolonialisme dilanjutkan. Praktek

kolonialisme modern yang tadinya dilakukan oleh Eropa berangsur

diadopsi oleh pemodal yang berasal dari etnik sendiri bekerjasama dengan

kekuasaan negara melalui UU No.5/74 tentang Pemerintah Daerah dan

UU No. 5/79 tentang Pemerintah Desa.

Eksploitasi terjadi mulai dari tingkat lokal oleh orang tertentu asal

etnik itu sendiri dan dikendalikan secara regional, nasional dan global.

Masing – masing tingkatan mengeruk keuntungan sedangkan masyarakat

pemilik sumberdaya dan sekaligus sebagai pasar yang potensial sama

sekali tidak memperoleh keuntungan dari produksi yang dilakukan.

Keuntungan terbesar berada ditangan pengendali yakni, pemodal lokal,

regional, nasional dan global.

Inilah fakta sosial ekonomi, politik dan hukum yang terjadi pada

masyarakat di Minahasa. Kontroversi/dualisme budaya melumpuhkan

eksistensinya sekaligus membawanya kepada perangkap kolonialisme

baru yang dilakukan oleh saudara sendiri. Namun begitu, suasana tersebut

dinikmati dengan sikap pasrah atau lebih baik daripada yang lain. Kehilangan

keberanian untuk keluar dari perangkap yang semakin hari semakin

mencekik. Cukup beranikah orang Minahasa untuk keluar dari perangkap

– perangkap tersebut? Jawabannya dikembalikan kepada rakyat Minahasa.

Pentingnya Kontrak Sosial Baru

Keterperangkapan Minahasa dalam arena kolonialisme baru

menjadikannya semakin kerdil dan kehilangan kehormatan di antara bangsa

– bangsa yang ada di nusantara.

Pudarnya identitas etnik merupakan indicator kepasrahan terhadap

situasi dan kondisi yang berlangsung dewasa ini. Persatuan dan kesatuan

dikemas dalam keMinahasaan yang merupakan kekuatan ampuh yang

telah terpecah di masa lalu (kolonialisme Belanda, Jepang dan Jawa)

dipecah lagi melalui penafsiran reformasi yang negative melalui

kabupatenisasi/kotanisasi. Peninggalan nyata keteledoran masa lalu yakni,

distriknisasi walak – walak di setiap etnik yang merubah kedudukan dan

status pakasaan/etnik diteruslanjutkan dengan kotanisasi sebagian wilayah

Tombulu yakni, Kota Manado (sekarang ini) kemudian diteruslanjuti

dengan kotanisasi Bitung merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dirobah.

Dari status wilayah yang eksklusif dirobah menjadi inklusif/open access

dimana pengendaliannya berdasarkan prinsip individualistic. Keyakinan

bahwa kemajuan dapat diperoleh melalui keterbukaan ditafsirkan dengan

membuka diri sepenuhnya dari batas – batas adat – budaya. Semuanya

diserahkan kepada proses logika pembangunan yang berorientasi individual

– kapitalistik. (Bersambung)

9

PERPEKTIF Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

10

Berdasarkan asal katanya “Minahasa” berasal dari kata dasar

“Asa” yang berarti satu. Kata “Asa” juga dilafalkan sebagai

“Esa”. Melalui lafalan yang tajam dari “S” beserta “A” yang

pendek maka kata ini berbunyi seperti “Essa”, “Assa”, seperti “S”

telah digandakan. Dengan prefiks “Maha” maka terjadilah kata

“Mahasa” berarti menjadi satu atau bersekutu juga berarti telah

bersatu. Dengan adanya sisipan “In” terbentuklah kata “Minahasa”

yang berarti telah menjadi atau dijadikan satu, persekutuan,

persatuan (Grafland, 1987:12).

Kata “Minahasa” mulanya tidak digunakan sebagai sebutan

untuk menamai suatu wilayah tapi dipakai untuk menyebut “Rapat

Negeri”. Kata ini ditemukan pertama kali dalam surat yang ditulis

oleh J. D. Schiersten kepada gubernur Maluku yang bertanggal 8

Oktober 1789:

Secara historis sebelum kata “Minahsa” ini dipakai untuk

menandai wilayah, telah ada terminologi yang diakui dan diterima

serta dipakai untuk menandai keberadaan wilayah yaitu “Malesung”

yang artinya “berbentuk seperti lesung”.

Pertanyaannya sekarang mengapa “Minahasa” akhirnya

diterima untuk menunjukkan keberadaan suatu wilayah yang

sebelumnya oleh penduduk pribumi telah dinamai “Malesung”?

Jawabannya dapat kita telusuri dalam logika Kolonialisme dan

Imperaialisme yang melandasi cara pandang Kompeni Belanda

yang menganggap Timur (Baca: Malesung) sebagai “Daerah Tak

Beradab” yang “Mesti ditaklukkan” dan “Dikuasai”. Ini nampak

pula dalam usaha penamaan terhadap penduduk pribumi sebagai

“Orang Alifuru” atau “Orang Tak Beradab”.

Hal ini jelas menyuratkan kenyataan akan harus adanya

“Superioritas” atas “Daerah-daerah tak beradab” itu sehingga dapat

“Melegalisasi” setiap proses penaklukan dan eksploitasi yang mereka

lakukan.

Alasan lainnya dapat kita lihat dari kenyataan bahwa sejak Simon

Cos pelaut Belanda dan pasukannya mendarat di muara sungai

Monangolabo (Sungai Tondano) pada tahun 1655 dan mendirikan

benteng Nederlandsche Vasticoheit yang kemudian menjadi Benteng

Amsterdam Manado, sampai pada Kontrak Persekutuan dan

Kerjasama tanggal 10 Januari 1679 pihak Kompeni Belanda ternyata

belum bisa mengadakan pengerukan secara maksimal terhadap

sumber daya alam yang ada di tanah Lumimuut-Toar karena adanya

perlawanan terhadap kehendak dan kemauan mereka yang

dilakukan oleh beberapa walak yang menolak menjual berasnya

kepada Kompeni Belanda, akibatnya adalah terjadinya “Perang

Tondano” tahap pertama tahun 1660-1661.

Dari keinginan untuk mendapat untung besar ternyata Kompeni

Belanda malah mengalami kerugian akibat banyaknya biaya yang

harus dikeluarkan selama “Perang Tondano” tahun 1660-1661

tersebut.

Sebab-sebab perang tersebut selain secara mendasar ditentukan

oleh adanya konflik kepentingan baik secara ekonomi dan politik

juga ditentukan oleh kenyataan bahwa walaupun pihak Kompeni

Belanda telah berhasil mengadakan hubungan dengan beberapa

pemimpin walak di tanah Lumimuut-Toar pada waktu itu, tapi

ternyata hubungan persahabatan ini tidak berarti bahwa mereka

telah dapat mengakses apalagi menguasai seluruh wilayah tanah

Lumimuut-Toar yang berada dalam kekuasaan walak-walak lain,

sebaliknya mereka malah mengalami perlawanan yang sangat sengit.

Berdasarkan latar belakang kondisi obyektif seperti inilah terlahir

upaya untuk mendekonstruksi nilai-nilai yang melandasi pola hidup

yang membentuk identitas orang-orang keturunan Lumimuut-Toar

dan kemudian setelah didekonstruksi nilai-nilai tersebut lalu

dikonstruksikan kembali berdasarkan logika Kolonialisme dan

Imperialisme untuk mendukung kepentingan Kompeni Belanda.

Pada tahap ini “Pengkonstruksian Kembali” identitas wilayah

dari “Malesung” menjadi “Minahasa” jadi penting artinya karena

sebagai “Sebuah wilayah yang telah disatukan” (Oleh Kompeni

Belanda), maka logikanya “Malesung” telah menjadi “Wilayah

Jajahan” Kompeni Belanda. Dan sebagai “Sebuah wilayah yang

telah disatukan oleh Kompeni Belanda”, “Malesung” secara legal

formal dapat dieksploitasi untuk kepentingan Kompeni Berlanda.

Bahkan sampai pada zaman ini pun sadar atau tidak kita masih

berada dalam bayangan Logika Kolonialisme dan Imperialisme ini

sebab sebagian besar informasi yang menyangkut identitas

kebangsaan kita orang Malesung berada dalam pengusaan

Pemerintah Belanda dan Pemerintah RI yang berpusat di Jakarta.***

MEMBONGKAR WACANA DI BALIK

TERMINOLOGI MINAHASAKarya : Fredy Sreudeman Wowor, SS

“Bij dezen neme ik de Vrijheid Uw WelEdele

Achtb ter g’eerde kennisse te brengen dat de Minhasa

of landraad op den 1 dezer de geschillen tusschen bantik

en Tattelie voigens hunne lands manier hebbenafgedaan

staande de solemnisatie of betuiging van vreede met

eede eerstdaags tevolgen”(Molsbergen, 1928"137)

Artinya:

“Bersama ini saya mengambil kebebasan untuk

melaporkan dengan hormat kepada paduka tuan, bahwa

Minhasa atau musyawarah para ukung pada tanggal 1

bulan ini, telah menyelesaikan pertikaian antara Bantik

dan Tateli menurut adat istiadat mereka dan

Pengesahan atau pernyataan perdamaian itu akan

dilakukan kemudian dengan sumpah.” (Supit,

1986:142)

SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

11

Akhirnya, untuk yang pertama kali, Sulut melaluilembaga Manado Post Institute of Otonomi Promotionand Development menyelelenggarakan penganugerahan

penghargaan Otonomi Daerah. Walau tentu menyisahkansejumlah pertanyaan panjang dan malah mengherankan,anugerah otonomi Award dan Tumou Tou Awarddiselengarakan di tengah keprihatinan kita bersamaterhadap segudang persoalan mendasar dan serius bangsakita.

Bahwa, alasan penyelenggaraan penganugerahan sepertiitu adalah upaya untuk melakukan terobosan sebagaipemacu, dengan memberi apresiasi atas implementasiOtonomi Daerah (Suhendro Boroma, Manado Post 23April 2005), mungkin bisa saja menjadi argumentasi yangkuat dan masuk akal, meskipun tidak semata-mataargumentasi itu menjadi alasan tunggal dan mutlak untukmembenarkan bahwa award adalah satu-satunya atau carautama yang ampuh untuk merangsang agar; barang bagusyang salah urus—menurut Suhendro Boroma, menjadi lebihbaik.

Beberapa alasan yang malah membuat argumentasiSuhendro Boromo dan Manado Post Institute Of OtonomiPromotion and Development menjadi keliru yang juga menjadisanggahan kami antara lain;

Pertama, Pemahaman Otonomi Daerah yang keliru.Yakni, otonomi yang sedang dijalankan dengan semrawutdan amburadul ini jelas mengalami pergeseran-pergeseranmakna, sangat multi intepretatif dan jauh dari prinsip-prinsip otonomi yang semestinya. Lihat bagaimanyaotonomi tingkat II yang jelas-jelas saja memberi ruang bagipara koruptor untuk merampoki uang rakyat. Korupsi(sebagian menyebut korupsi putih) akibat PeraturanPemerintah sebagai derivasi dari undang-undang Otdamemberi celah bagi pemerintah tingkat II untukmenggunakan uang rakyat sebagai dana rutin dengan serta-merta saja mengabaikan kepentingan rakyat.

Bahkan beberapa perda dan retribusi yang dilakukanatas nama semangat otonomi daerah malah makinmengukung keterpurukan rakyat yang hendak keluar daribencana sentralistis dan hegemonik penyelenggaraannegara. Pengawasan dan mekanisme yang tidak partisipatifoleh masyarakat membuat raja-raja kecil itu leluasa sajamerampok uang rakyat tanpa ada pengawasan yang berarti.Tak heran para raja-raja kecil yang sebagian ikut pilkada,ketika pelaporan kekayaan, jelas-jelas mengalami lompatanjauh (tak masuk akal) atas kepemilikan. Sehingga nyatalahotonomi seperti ini adalah otonomi elit, bukan otonomirakyat yang semakin memperlebar jarak yang makin curamantara elit dan rakyat, kaya dan miskin, pemilik modal danburuh tani.

Kedua, Istilah Tumou Tou. Meski kami menyadaribahwa istilah Tumou Tou adalah istilah/terma yang uni-versal namun makna yang dikandung di dalamnya mestinyadiapresiasi jauh lebih dalam dan sakral. Sungguh sangatsulit mempertemukan anugerah/award sebagai predikat

dan subjek anugerahan yang akan mengusung nilai dansemangat Tumou Tou. Lepas dari Tumou Tou sebagai sebuahsistem nilai yang universal yang bisa digunakan olehsiapapun, namun sangat rancuh, naïf, dan mispersepstifmenggunakan tema award Tumou Tou yang abstrak.Sebagai contoh Magsasay Award, Yap Tiam Him Award,Nobel, Oscar, dsb yang merpakan predikat award denganmengacu pada rujukan yang jelas dapat diteladani dandipersonifikasi. Sementara Toumou Tou adalah sistemabstrak yang dimiliki oleh setiap orang yang berbuat baikdengan prinsip kasih.

 Ketiga, Kriteria Penilaian. Yang paling krusial dan sangatmenentukan adalah indikator penilaian yang merujuk padadasar acuan yang jelas dan kuat, sehingga layak menerimapenghargaan. Apalagi sebagai penerima penghargaan,siapapun itu, haruslah mempertanggungjawabkananugerahnya atas apa yang telah dicapainya. Award, gelar,atau prestasi selalu memiliki tanggungjawab moral yangdiembannya sepanjang anugerah dan gelar itu melekat padadiri, lembaga, tertentu.Sehingga ketika syarat, kriteria, yangdigunakan tidak sepenuhnya merujuk pada indikatorpenilaian, maka menjadi sangat riskan dan ceroboh yangberujung pada hujat-hujatan.

 Alasan lain yang menurut kami merupakan misperseptiflain adalah, apa yang disebut Bung Hendro sebagaikompetisi. Kompetisi yang melahrikan prestasi. Argumentasiini menurut hemat kami keliru, ketika sistem kompetisinyatidak diatur dengan baik, malah cenderung menjadikompetisi yang tidak fair, memihak kepada kepentingandan arus kuat modal serta pusat, dan sertralistik hegemonic.Pada prakteknya, kompetisi sekarang ini lebih berpihak padaarus modal, pusat-pusat kekuasaan, dan malah menggilasmasyarakat marjinal yang mestinya terlindungi dengan sistemotonomi daerah. Budaya dan kearifan lokal malah menjadiagenda pemusnahan oleh otonomi daerah yang salah kaprah,lihat bagaimana desa-desa yang menerapkan sistem yangsangat demokratis dalam pemilihan kepala desannya,dijadikan kelurahan dengan spirit yang sentralistis.

 Harapan kami. Apapun kritik dan saran kami. OtonomiAward dan Tumou Tou award sudah dilangsungkan.Sehingga ke depan, semua kita dituntut lebih proaktif dansinergis melakukan pranata-pranata dalam mengisi ruang-ruang sosial publik kita yang kosong sejak orde barumerebutnya dari rakyat. Tujuan kita semestinya sama, karenaini adalah test case terhadap civil society kita di Sulut.Sebagaiujian terhadap pluralisme dan demoktratisasi. Apakahterhadap susbtansi yang sama kita memiliki agenda dangerakan yang sama? Sejatinya agenda kita bersama—bukanagenda sepihak, adalah memperkuat demokratisasi, spiritpluralisme dengan penguatan desentralisasi melalui otonomidaerah yang benar-benar membebaskan rakyat kita darikukungan arus modal, pusat kekauasaan yang hegemonicdan deterministic. Bukan pula arak-arakan social, award-awardan dan pertunjukan-pertunjukkan yang seremonialbelaka. Makapulu sama.

Tanggapan Atas Penganugerahan

Otonomi Award Dan Tumou Tou Award

Dr. Bert Adriaan Supit

Diskusi hangat merebak tentang otonomi daerah, yangbanyak disebut orang; barang bagus tapi salah urus,ternyata mengambil atensi publik, antara lain karena

memang terma Otonomi Daerah itu sendiri muncul ditengah pergulatan panjang sistem kekuasaan Negara yangsentralistik dengan mengakupasi semua sumber daya daerah-daerah di Negara ini.

Ketegangan antara pusat dan daerah sudah terjadi jauhsebelum rezim Suharto lengser. Sejak Permesta pun, temaotonomi daerah telah menjadi begitu kuat dan sangat dinantisebagai jawaban dari ketimpangan pusat daerah. Hingga,undang-undang otonomi daerah UU No 22 tahun 1999dan tentang perimbangan pusat dan daerah UU No. 25tahun 1999 lahir, ternyata tidak menjawab tantanganketegangan pusat daerah.

Sesungguhnya, semangat yang dikandung oleh undang-undang dan pelaksanaan otonomi daerah adalah, kedaulatanrakyat yang dimaknai secara geopolitik atas kedaulatansumber-sumber ekonomi, sosial, dan budaya yang selamaini diekploitasi oleh pemerintah pusat secara tidakbertanggungjawab. Daerah selalu hanya menjadi “pencucipiring” atas pesta pemodal dan pemerintah pusat terhadapsumber-sumber ekonomi yang mestinya menjadi kedaulatanmasyarakat daerah.

Sehingga, gejolak daerah seperti tuntutan masyarakatRiau, Kalimantan Timur, menjadi contoh yang paling dirujuk,seperti juga daerah lain yang terlanjur memaklumatkanperang terhadap Jakarta, yakni; Aceh, Maluku dan Papua.Dua daerah diantaranya mendapatkan status otonomiistimewa dibanding daerah-daerah lain sebagai “hadiahhiburan” atas tuntutan kedaulatan daerah tersebut.

Artinya, otonomi sebenarnya tidak terjadi dalam Undang-Undang Otonomi yang nyatanya masih memuat jebakan-jebakan pada asas dekonsentrasi, desentralisasi dalam skemasistem yang sentralistis. Daerah-daerah tetap dibuattergantung pada pusat dengan alih-alih dana tambahan yangdiperoleh dari dana dekonsentrasi yang anehnya harusdisertai dengan kemampuan merayu pemerintahan pusatagar mendapatkan porsi alokasi yang lebih besar.

Pada prakteknya, otonomi hanya semata-mata auto money,yakni daerah digenjot habis-habisan untuk memproduksiuang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan empowerment ataumemang sengaja dikaburkan, bahwa otonomi juga mestinyamenyangkut hakekat kedaulatan rakyat atas hak pengelolaantanah dan sumber daya alam serta kearifan lokal yang sudahmelekat pada rakyatnya, jauh sebelum Negara Indonesiaberdiri. Bukan sekedar menggenjot PAD, retribusi dan perda-perda pro kekuasaan yang makin membebani rakyat. Ataumalah peluang bagi pejabat tingkat II seperti dalamkewenangan yang ada padanya, untuk melakukan korupsimassal yang legal—karena misinterpretasi kewenangantersebut.

Tak heran, otonomi daerah dimengerti oleh publik sebagaiotonomi elit. Yakni, munculnya raja-raja kecil yang arogantanpa peduli terhadap penderitaan rakyat. Ini kemudianmenjadi efek besar dalam spirit otonomi palsu, di manalogika Negara sebagai pusat kebenaran dan rakyat sebagai

lembaga kasat mata yang harus selalu dicurigai dandiwaspadai.

Sementara lembaga perbankan dan otoritas keuanganlainnya, lebih berpihak kepada elit-elit tertentu. Koperasi,UKK/UKM, dan usaha-usaha ekonomi basis rakyatdibiarkan tenggelam dalam keadaan yang memprihatinkan.Hanya satu dua saja yang survive, yang kemudian dianggappaling sukses dan berhasil. Padahal, iklim kompetisi yangterjadi sekarang sangat tidak fair, dan tidak memenuhi asaskeadilan sosial masyarakat umum. Syarat agunan, bungabank yang tinggi, serta pola politik pembiaran atas terjadinyakemiskinan struktural agar elit ekonomi dan politik terusmengakupasi sumber-sumber ekonomi potensial. Dalamkondisi yang seperti ini, persaingan justru menjadi tidakobjektif dan malah makin memperbesar jurang sosial antarakelompok elit dan rakyat jelata.

Hal mana sangat berbeda dengan beberapa negaraberkembang lainnya seperti Thailand, Philipine, danMalaysia. Rakyat diberi pemahaman tentang enterprenuership,bersama-sama dengan lembaga pemerintahmenyelenggarakan pelatihan pengelolaan usaha bersamaseperti koperasi, UKM, dan jenis usaha rumah tanggalainnya. Lembaga perbankan ikut pula merumuskan strategikebijakan pemasaran dan managemen usaha. Dan yangpaling hebat adalah beberapa kebijakan pemerintahdilakukan untuk merangsang usaha-usaha sektor menengahkebawah, seperti subsidi pupuk untuk petani, bunga ringan(dalam pengertian yang sesungguhnya), dan bantuanmanajemen teknis terhadap usaha-usaha kecil berbasiskerakyatan.

Pada ranah sosial. Otonomi daerah mestinya jugamenjadi spirit terwujudnya keadilan sosial denganmeningkatkan partisipasi rakyat dalam penyelenggaraanpemerintahan dalam konteks good governance. Denganmengapresiasi semua kekayaan lokal, baik budaya, ekonomimaupun sektor politik sebagai bagian dari kedaulatanmasyarakatnya. Bukankah revisi otonomi daerah denganUU No. 32/2004 mengusung semangat tersebut? Sepertipenyelenggaraan PILKADA langsung yang (walaupun masihsetengah hati; yang tetap memberi peran besar terhadapParpol, serta dicurigai oleh Ryaas Rasyid sebagai resentralisasidan bukan desentralisasi) harus diapresiasi karenamengusung semangat keadilan dan kedaulatan rakyatdaerah. Sehingga sejatinya, pemahaman kita terhadapotonomi daerah harus segera bergeser dari otonomi skemapusat kekuasaan menjadi otonomi skema kemandirian lokal.

Bangsa kita sendiri sudah sekian banyak melakukanrevisi tentang otonomi daerah sejak Indonesia merdeka,seperti yang dipublikasi oleh Masyarakat TransparansiIndonesia, kurang lebih ada tujuh kali revisi UU OtonomiDaerah. Yakni;

UU No. 1 tahun 1945, Otonomi dalam maknadekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tanganpemerintahan pusat. UU No. 22 tahun 1948 Kebijakanotonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi.UU No. 1 tahun 1957 Kebijakan otonomi daerah padamasa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerahbertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih

Otonomi Elit Versus Otonomi Rakyat(Sebuah Tinjauan Reflektif Atas Praktek Otonomi Daerah Yang Setengah Hati)

SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

12

alat pemerintah pusat. Penetapan Presiden No.6 tahun 1959Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankandekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkatoleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.UU No. 18 tahun 1965 Otonomi daerah menitikberatkanpada desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkanhanya sebagai pelengkap saja. UU No. 5 tahun 1974 Setelahperistiwa G.30.S PKI terjadi kevakuman dalam pengaturanpenyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengandikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi,dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengankebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masaberlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadiisu sentral dibanding dengan politik. UU No. 22 tahun 1999Otonomi yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titiksentral dalam penyelenggaraan pemerintahan danpembangunan.

Lalu UU No 22 tahun 1999 yang juga oleh sebagiankalangan dinilai kurang, sehingga perlu ada revisi, danlahirlah UU No.32 2004 tentang Pemerintahan Daerah(dalam kenyataannya, terjadi perdebatan antara yang prodengan undang-udang No.22 dan yang ingin agar dibahasUU Otonomi Daerah secara utuh) yang meskimengusung semangat kemandirian lokal tapi tetap dalamskema kekuasaan pusat.

Semua adalah dialektika panjang atas pemahamanotonomi yang tarik ulur, antara kewenangan pusat dandaerah. Memang patut diakui pula dalam semangatdesentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan sesuaidengan pola hubungan pusat dan daerah, proses panjangrevisi UU Otonomi Daerah itu telah coba berusahamenempatkan rakyat sebagai subjek pelayanan publik danpembangunan, namun dalam prakteknya, terus terjadifragmentasi antara kepentingan penguasa dan rakyat. Dimana, logika kekuasaan di satu pihak dan logika keadilandi pihak lain sungguh tidak berimbang. Logika kekuasaanbaik secara struktural dari paling atas sampai paling bawahcenderung memapankan semangat sentralisme, sementaralogika keadilan yang hanya diperjuangkan oleh kelompokmasyarakat yang tersadarkan—dan itu masih sangatsedikit, berusaha mengembalikan hak-hak rakyat yangdirampas oleh negara.

Demi menjalankan otonomi yang konsisten,pertanyaan terbesar adalah, “siapa sebetulnya yanghendak dilayani dengan perubahan skema dari sentralisasike desentralisasi?” (Otonomi Pemberian Negara, hal 145,LAPERA 2001). Adalah pertanyaan yang berkonotasimempertanyakan, yang belakangan menjadi naif karenaotonomi daerah kini lebih dimaknai sebagai otonomidaerah yang berpihak kepada pemodal asing denganmengorbankan kedaulatan rakyat daerah. Bahkan,beberapa sesat pikir yang dikembangkan seperti seolah-olah investasi asing langsung bisa memecahkan persoalankemiskinan, pengangguran, dan problem-problem sosiallainnya. Hanya karena mental inlander (mental jajahan)yang selalu menempatkan asing dan pemodal pada pososimutlak, dan rakyat pada posisi tak berdaya.

Penguasaan tambang, sumber daya mineral dan hutandi Indonesia oleh pemodal asing telah memberi pelajaranpenting bahwa, sekali lagi rakyat daerah tidak lebih dari“tukang cuci piring” atas pesta besar hasil penghisapan

yang brutal dari pemodal asing. Paling-paling yangditinggalkan adalah limbah, pencemaran lingkungan,penyakit, dan sedikit pajak yang di setor ke kas Pemda(itupun masih dikorupsi) , dan pemerintah pusatmenikmati hasil persekongkolannya dengan pemodal asing.Anehnya, karena memang mental ter ja jah i tu,persekongkolan jahat itu ikut dilindungi oleh paraakademisi, intelektual, institusi pendidikan, bahkan agama.

Padahal, sejatinya Otonomi Daerah dimaknai sebagaisemangat untuk mengembalikan kedaulatan rakyat daerahyang direbut oleh pusat kekuasaan. Sehingga padaprakteknya, Otonomi Daerah berhubungan dengan semuaaktivitas rakyat , pemerintah, dan DPRD untukmemikirkan dan menjalankan semua fungsi-fungsipenyelenggaraan pemerintahan yang berbasis kepadakepentingan rakyat secara utuh. Bukan secara parsial saja,semisal, sekedar untuk meningkatkan PAD. Tapi justrubagaimana dengan partisipasi rakyat, dengan kekayaankultural dan kearifan lokal sebagai modal sosial ,kesejahteraan dapat dimulai dari komunitas sosialterendah seperti Jaga, Wanua, dan kemudian menjadikesejahteraan bersama.

Adalah bagaimana, rakyat secara sah berdaulat atastanahnya, bank yang berpihak kepada sustainabilityekonomi rakyat, komoditi andalan rakyat seperti Cengkih,Pala, Kopra, Vanili dan Palawija tidak dimainkan olehmafia komoditas. Serta keberpihakan pemerintah denganmemberikan subsidi kepada Petani melalui pupuk murah,kebijakan menjaga harga dasar gabah yang lebih masukakal, proteksi dari zonasi laut yang memarjinalkan nelayankecil, mencabut berbagai perda dan retribusi yangmenghambat spririt otonomi ekonomi rakyat kebanyakan,sampai pada mengembalikan status masyarakat adatWanua atau Desa yang dalam praktek pemilihan kepadaDesanya sangat demokratis dari sistem Kelurahan yangtak lebih dari sekadar perpanjangan tanggan pusatkekuasaan.

Semuanya itu akan menyebabkan terjadinya ekonomimandiri yang berbasis kerakyatan, sehingga harapanpemerintah tentang PAD, dan sektor penerimaan lainnyasecara gradual dapat dicapai. Ingat, ekonomi Indonesiaambruk pada akhir tahun 1990an karena model ekonomikeropos, dengan menitikberatkan pada pro pertumbuhan(high growth developmentalisme). Seharusnya, belajar darikegagalan ekonomi rezim Suharto, ekonomi berbasiskerakyatan sangat penting dikembangkan untuk menjadibenteng pertahanan ekonomi dari serbuan ekonomiglobal.

Belajar dari sejarah panjang peradaban bangsaIndonesia, mungkin sekaranglah saatnya menumbuhkankembali kepercayaan diri dalam semangat kemandirianlokal sebagai bagian dari kekayaan nasional. Rakyat lokal(daerah), harus diberdayakan, diapresiasi untuk berdaulatatas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sehinggaproduksi lokal, koperasi, UKM dan industri rumah tangga,kelak bisa menjadi basis ekonomi kuat bagi kemandirianlokal yang ditunjang oleh pluralisme kebersamaan dalampenghayatan budaya lokal serta semangat nasionalisme, jugaaktif dalam pergaulan internasional, seperti yang terkandungdalam pembukaan UUD 45, sehingga distribusi keadilanterjadi dalam konteks Otonomi Daerah.Yakni Otonomirakyat, bukan otonomi elitis. Makapulu sama.(veldy Umbas)

SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

13

Sebuah tesis beredar. Kalau KPU pusat sajapenuh dengan nuansa intrik KKN, apalagiKPUD su lu t yang se r ing d ikecam Toar

Palilingan (mantan ketua panwas Sulut) sebagailembaga yang sangat rentan terinfeksi virus KKN.Benar. Indikasi ini sudah ada sejak menukiknyaperolehan suara beberapa orang di pemilu legislativemaupun DPD.

Dan KPUD yang sama-sama kita curigai ini punakan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah(PILKADA) pada bulan Juni nanti. Apa ada jaminanbahwa KPUD tidak memihak dan akan netral?Jawaban in i tentu har us k i ta tung gu sembar imenunggu nasib demokrasi di tangan KPUD. Bukansaja hanya bisa menunggu, tampaknya harus pasraatas apa yang nanti dihasilkan.

Sementara rakyat Sulut sedang berharap agarproses Pilkada yang akan berlangsung juni nanti akanmenghasilkan pemimpin yang benar-benar dipilihrakyat dan hasil tersebut tanpa diintervensi olehpihak manapun terutama KPUD. Hal ini sangatberalasan dan masyarakat patut menaruh curigakepada KPUD yang nota bene men jad ipenyelenggara pemilihan kepala daerah yang tentusaja menjadi sasaran para politisi ca beres untukmencoba ma in mata demi molo loskan orangtertentu dalam pemilihan kepala daerah.

Ada beberapa alasan pokok untuk mencurigaiKPUD. Pertama, rekrutmen awal anggota KPUDsangat t idak transparan dan malah ter indikasimerupakan titipan kepentingan dari partai tertentu.

Kedua, sistem kontrol terhadap kinerja KPUDbelum berjalan sebagaimana mestinya lantaranKPUD telah menjadi otoritas tunggal penyelenggaranasib demokrasi sebagai konsekwensi dari sistemkontrol dan monitoring lembaga-lembaga pengawaslainnya yang roh perlawanan masih melempem.

Ketiga, ruang sosial kita masih dipenuhi olehpertunjukan-pertunjukan (etalase) politik satu arah(top down), tidak partisipatif, mempertontonkandrama politik sarkastis demi kepentingan kelompok.Ini juga berart i bahwa rakyat kurang berdayamenghadapi penyimpangan yang sistemik.

Keempat, sifat kritis masyarakat yang tak acuhdengan apapun sand iwara po l i t i k yang akandilakukan oleh elit penguasa dan otoritas tunggalpenentu nasib rakyat.

Terbentuknya Panwas Pilkada Sulut yang baru sajadilantik memang memberi harapan baru, namunfakta bahwa Panwas tampaknya sekedar menjadi

bagian pelengkap dalam proses Pilkada saja, karenakewenangan yang ada padanya tidak cukup kuatuntuk menjadi menjadi avangard demokrasi kita.

Sekali lagi masih juga tampak jabatan-jabatanseperti ini semata demi status sosial, status simbol,ataupun gengsi semata dan bukannya menjadiobligasi moral dan kepedulian bagi menegakandemokrasi dan mengembalikan hak-hak rakyat yangdirampas oleh elit politik yang narchistis (hasratuntuk kepuasan diri sendiri) yang gemar menikmatikekuasaan dengan pernak pernik kemewahannya.

Adanya kecurigaan beberapa anggota DPRDSulut sepert i Bung Benny Ramdhani , FrangkyWongkar, dan Abid Taka lamingan y angmemperkarakan ketua KPU Donald Rumokoy yangterindikasi melakukan praktek KKN memang sangatmelegakan hati. Bahwa, akhirnya lembaga yangsangat menentukan nasib demokrasi kita dapatdikoreksi . Bahwa, kemudian tuduhan itu t idakterbukti, jelas itu adalah masalah hukum. Dan sebagaipejabat publik adalah wajar dalam perspektif hukumuntuk mencurigai lembaga yang sarat bias nilai, atausarat keberpihakan dan tidak indipenden.

Rakyat Sulut kini menunggu proses demokrasiyang sesungguhnya dalam Pilkada yang baru pertamakali selama sejarah bangsa Indonesia untuk memilihKepala Daerah. Sehingga meski KPUD mengaku-ngaku dan bahkan membatah mati-matin bahkanse l a lu demi a l a san hukum (pos i t i f i s t ik )berargumentasi klasik, “coba saja buktikan!!!”. Yatentu saja kecurangan yang dilakukan oleh otoritastunggal dengan cara yang sistimik tentu tidak bakalterbukti. Tapi rakyat Sulut tentu berharap hati nuraniKPUD untuk mengawal proses demokrat isas iberlangsung dengan baik.

Dengan semakin terbukanya alam demokrasi,seharusnya masyarakat dapat menikmati secaral e luasa .P i lkada yang member i kesempatanmasyarakat menentukan pemimpinnya ada lahkesempatan yang sudah sangat lama dinantikan.

Sejatinya, aparat KPUD melihat sisi positifnya.Kalau ada gugatan-gugatan, atau koreks kepadalembaga seperti KPUD, ini karena KPUD adalahlembaga yang akan bertanggungjawab baik secarahukum positif maupun secara moral kepada rakyatatas terselenggarahnya proses pemilihan kepadadaerah di Sulawesi Utara, serta kualitas demokrasiyang sangat dinanti oleh rakyat. Dengan demikian,KPUD, sesungguhnya menjadi lembaga publik yangakuntabel , kredibel , dan memil ik i t rus t cap i ta linvestment yang teruji di mana rakyat SULUT.

Menunggu Nasib Demokrasi Di KPUDOleh Sandra Rondonuwu STh SH

SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

14

Ribuan spanduk bergelantungan di sepanjang jalan, lorong,

gang, dan bahkan rumah-rumah warga, dengan sejumlah

kalimat-kalimat indah memikat, demi memenangkan hati

konstituen Pilkada.

Kembali pesta demokrasi digelar dengan segala pernak

perniknya ala Pilkada Sulut yang pasti bakal menarik perhatian

seluruh rakyat Sulut. Adalah Pilkada yang mengusung sejumlah

harapan besar, agar rakyat mendapatkan pemimpin yang sesuai

dengan pilihan rakyat, bukan pilihan sekolompok saja seperti

beberapa waktu lalu. Juga atas jawaban sejumlah persoalan yang

masih menumpuk di ruang-ruang publik rakyat kita. Meski,

sayangnya teorema itu harus pasrah pada catatan, pilihan rakyat

yang diusung oleh partai.Juga berarti demokrasi seutuhnya belum

dapat dinikmati rakyat sebagai proses lebih akomodatif dan

demokratis.

Kita tentu butuh pemimpin yang dapat membebaskan rakyat

dari gundukan penderitaan yang makin menghimpit. Ada dua

ratusan ribu pencari kerja yang belum mendapat pekerjaan, daya

beli yang makin hari makin lemah, harga obat yang mahal, biaya

melahirkan yang makin tak terjangkau, jurang kesenjangan antara

kaya dan miskin makin curam dan sejumlah persoalan sosial yang

makin tak terbendung.

Belum lagi masalah pelik lain yang cenderung dibiarkan oleh

pemerintah seperti air bersih, jalan, gedung sekolah, listrik dan

prasarana fisik lainnya yang menjadi penunjang utama

keberlangsungan hidup rakyat yang sejatinya adalah

tanggungjawab pemerintah.

Anehnya, menjelang pilkada, semua agenda ini lagi-lagi

mengalami pembiaran atau sengaja lupa ingat agar kelak nanti

gubernur terpilih juga akan pura-pura (masa) bodoh dengan semua

hak-hak publik yang menjadi tanggungjawab penyelenggara

pemerintahan. Gantinya, sejumlah kalimat ngambang, semu dan

di awang-awang malah menghias indah di langit-langit spanduk

para kandidat.

Beberapa argumentasi konyol yang sering terlontar saja dari

mereka adalah, bahwa pembangunan adalah tanggungjawab

bersama, minimnya dana dan kurang siapnya sumber daya

manusia yang ada. Argumentasi ini menjadi pemakluman atas

terbengkalainya civil minimum (minimal pemenuhan pelayanan

publik oleh pemerintah) yang berakibat langsung tak langsung

pada seluruh proses sosial masyarakat daerah ini.

Gilirannya kita terperosok menjadi daerah yang low recognition

dengan sejumlah kebanggaan-kebanggaan kosong seperti

monumen ini, slogan itu, jargon ini dan sebagai tetek bengek

proyek mercuasuar lainnya.

Tak heran.PILKADA kali ini adalah penantian panjang untuk

munculnya pasangan Gubernur Supermen. Atau Gubernur yang

bisa mengurai benang kusut persoalan daerah ini. Gubernur yang

bukan saja menjadi idola rakyat, tetapi menolong rakyat untuk

keluar dari penderitaan yang menghimpit. Gubernur yang hadir

bersama-sama dengan rakyat, merasakan penderitaan rakyat dan

mau memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang telah

mengusungnya menjadi Gubernur.

Betapa tidak, kepadanya telah diberikan sejumlah kekuasaan

pengambilan keputusan dengan dukungan amunisi yang kuat.

Potensi sumber daya alam daerah yang sangat kaya, situasi sosial

masyarakat yang sangat kondusif, dan kematangan demokrasi

yang tinggi di Sulut adalah modal utama untuk membangun

Sulawesi Utara.

Jelaslah, bulan Juni ini adalah bulan di mana rakyat Sulut

menantikan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dituntut untuk

bisa melaksanakan pemerintahan dengan good governance, good

leadership, dan good services.Adalah Gubernur yang mampu

berpikir, berbicara dan bertindak dalam bahasa rakyat.

Tidak ada lagi intrik-intrik politik yang akan mengelabui rakyat

dengan segala teori machiavelliannya. Jangan lagi rakyat sekedar

menjadi objek demokrasi yang pada akhirnya terbiarkan, teraniaya,

dan termarjinalkan oleh ulah pejabat publik yang lebih

mengutamakan kekuasaan dari pada mengemban amanat

penderitaan rakyat.

 Untuk itulah, ruang-ruang sosial harus dibuka lebar bagi

mekanisme kontrol terhadap kinerja eksekutif, yang bukan saja

dapat dilakukan oleh DPRD, tapi juga oleh NGO, LSM, Ornop,

Banwas, bahkan masyarakat harus punya akses kuat ke dalam

wilayah kerja eksekutif sehingga penyelenggaraan pemerintah

benar-benar dilakukan dalam bahasa rakyat.

 Bahasa atas kata-kata kunci penderitaan rakyat sejak hak-hak

ekonomi, sosial dan budaya rakyatnya ditindas oleh penguasa-

penguasa lalim. Adalah; Hak-hak atas minyak tanah yang murah,

raskin yang tersalur dengan benar, hak atas lingkungan yang sehat

dan tidak tercemar oleh kepentingan modal asing semata, tanah

rakyat yang tidak dirampas pengembang, hak ulayat, hak atas

kebudayaan dan kearifan lokal, hak atas pendidikan yang

terjangkau, hak hidup di negara yang harga rumah sakit lebih

mahal dari pada harga nyawa manusia dan sejumlah haq yang

adalah hakiki menjadi beban dan tanggungjawab pemerintah.

 Dulu dan kini semua hak yang tercerabut dari rakyat harus

dikembalikan utuh. Menjelang  pemilihan kepala daerah, rakyat

bakal kenyang dan sebegitu kenyang menjadi muntah oleh janji-

janji, slogan, jargon dan visi misi para calon. Tentu, kita berharap

agar janji itu dapat menjadi kenyataan. Namun, rakyat tentu tidak

akan bodoh termakan oleh janji politik.Karena rakyat tahu persis

mana pemimpin yang hanya mengobral janji, dan mana yang

menjadi tumpuan harapan perubahan di Sulawesi Utara. Bukan

sekedar kata-kata seperti yang terpampang pada ribuan spanduk,

stiker, brosur, dan poster itu.(Veldy Umbas)

SIKAP Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

Tak Lagi Janji!People are not willing to be governed by those who do not speak their language.

Norman Tebbit (1931 - )

15

Pantai Kora-kora

yang indah nan

menawan hati,

menjadi saksi lahirnya

sebuah semangat baru

untuk menatap masa

depan Tanah Minahasa.

Di sana, Jumat 29 April

sampai 1 Mei 2005 lalu,

puluhan anak keturuan

Toar Lumimuut ikhlas

melupakan segala aktivitas

rutinnya sehari-hari.

Mereka memeras otak

untuk memikirkan nasib

tanah ini ke depan, lewat

kegiatan Training of Trainers

(TOT) Nilai Kultur

Minahasa untuk

Demokrasi dan Demokratisasi. “Ini merupakan bentuk

keprihatinan terhadap terkikisnya budaya Minahasa oleh

kuatnya erosi modernisasi dan liberalisasi. Yayasan Suara

Nurani (YSN) yang didukung oleh Majelis Adat Minahasa,

Persatuan Minahasa, Institute Of Community Research

And Empowerment Sumekolah (ICRES) dan

Perpustakaan Minahasa AZE Wenas menfasilitasi kegiatan

tersebut,” kata Sekretaris Jenderal Majelis Adat Minahasa,

Matulandi Supit, SH.

Kurang lebih 20 peserta yang datang dari berbagai

pakasaan dan sub etnis di tanah Toar Lumimuut hadir

dalam kegiatan tersebut. TOT ini difokuskan pada usaha

menggali kembali nilai-nilai kultur Tou Minahasa yang

terancam musnah ditelan kegilaan zaman.

Menurut Direktur Pelaksana ICRES, Veldy Umbas,

kegiatan tersebut dilaksanakan untuk membangkitkan

kembali nilai-nilai budaya yang hakiki sebagai modal sosial

Tou Minahasa menapaki hari-hari Indonesia yang makin

sulit dan suram.

Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut antara

lain Prof. AE. Sinolungan, Drs. Edison P. Rumajar, SH,

Bert Supit (Sejarawan/budayawan), dr. Bert Adriaan Supit,

Drs. Fendy Parengkuan, MA., Dr. Max Ruindu-ngan, Pdt

Joce Kawengian dan Irvan Basri tokoh muda NU, yang

khusus mem-bawakan materi teknik pengorganisasian

YSN, MAM, ICRES, PM, AWLibGelar TOT Revitalisasi Budaya Minahasa

rakyat. Para

narasumber tersebut

memperkaya wawasan

peserta tentang

Minahasa dari beragam

perspektif.

Para peserta yang

hadir datang dari latar

belakang yang

beragam. Ada yang

sebagai pendeta,

hukum tua, seniman,

mahasiswa, tokoh

masyarakat dan tokoh-

tokoh muda. Mereka

tampak antusias

mengikuti acara per

acara. Venli Massie,

peserta asal Langowan

mengatakan, kegiatan ini penting dalam rangka menggali kembali

nilai-nilai kultur Minahasa yang oleh generasi muda mulai

dilupakan. “Namun, saya sangat berharap, kegiatan semacam ini

rutin digelar agar nantinya upaya untuk memajukan tanah

Minahasa ini akan terus berlanjut,” kata Massie.

Bagi Ketua Presidium Majelis Adat Minahasa, Dr. Bert Adrian

Supit, pelatihan ini bukan saja membangkitkan kesadaran kultural

Tou Minahasa, tapi juga menjadi momen kebangkitan

intelektualisme Tou Minahasa yang sekarang lebih banyak terjebak

dalam pragmatisme politik yang cenderung korup dan tidak

mempedulikan kondisi riil Tou Minahasa yang makin terpuruk.

Lebih-lebih lagi, semangat Si Tou Timou Tumou Tou yang digagas

Dr. Sam Ratulangie sudah mulai memudar dan dilupakan orang.

“Torang harus bangkit dan bersama-sama terlibat dalam

menentukan masa depan Minahasa yang sangat torang cintai

ini,”tutur Dr Supit penuh semangat dengan keprihatinan yang

mendalam.

Sementara, Sandra Rondonuwu, STh., salah satu fasilitator

dalam pelatihan ini, menjelaskan bahwa metode pembelajaran

yang dipakai dalam pelatihan tersebut adalah metode yang sangat

mengikuti daur belajar orang dewasa. “Pelatihan ini memakai

metode belajar pendekatan andragogik dan partisipatif. Dengan

menggunakan metode ini, maka para peserta diajak untuk

berpatisipasi aktif dalam setiap materi pembelajaran,” kata Sandra

Rondonuwu yang juga aktivis perempuan itu.(deni)

Para peserta TOT serius mendengarkan pemaparan dari DR Max

Ruindungan dan Drs Fendy Parengkuan di wisma Kora-kora.

AKSI Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

16

Melestarikan ketokohan seseorang (baca: bukan

mengkultuskan) karena sangat berjasa di bidang

pembangunan masyarakat Minahasa, juga di

bidang usaha-usaha kesehatan dan Pendidikan tinggi, telah

memotivasi beberapa orang di antaranya: dr. Bert Adriaan

Supit, Prof W.J. Waworuntu, Maria Cato Wenas, Diana

Ratulangi, Guus Kairupan, Pdt. D.M. Lintong, dr. Boy

Wayong, dr. Hans Tambayong dan beberapa nama lagi,

sepakat untuk mengambil “AZR Wenas” menjadi nama dari

sebuah perpustakaan umum.

Perpustakaan yang secara khusus mengumpulkan buku-

buku, karya-karya tulis, karya-karya seni (lukis, pahat, dll)

tentang Tou dan Tanah adat Minahasa.

Memang dianggap semua pasti setuju, apabila seseorang

tou Minahasa baik yang lahir dan tinggal di adat Minahasa

maupun seseorang yang lahir dan tinggal di luar tanah

Minahasa, berada di dalam pertanyaan ini, di mana saya

Perpustakaan Minahasa

AZR Wenas Mulai Beraksi

dapat berkaca sambil melihat potret diri atau identitas Tou

Minahasa?

Jawabannya sangat sederhana, diperlukan sarana yang

dapat dijadikan semacam Pusat Informasi dan Referensi

tentang Tou dan Tanah Minahasa. Pertanyaan berikutnya,

bagaimana dengan buku-buku yang berbahasa asing?

Pengurus akan mengupayakan penterjemahan, percetakan

dabn penerbitan buku-buku tersebut.

Pada kesempatan ini kami menghimbau, jikalau di dalam

koleksi buku-buku dan arsip saudara terdapat buku-buku di

maksud, pinjamkanlah atau hibahkanlah kepada: Yayasan

Perpustakaan Minahasa “AZR Wenas” Tomohon. Alamat:

Jalan Raya Tomohon Kakaskasen (Samping Kiri Kantor

Pegadaian atau HP: 08194042834 (Atas nama Yoce

Kawengian). Buku-buku dan karya-karya tulis dll yang

dimaksud akan kami jemput langsung.

Makapulu Sama.

17

Tou Minahasa Butuh Banyak Referensi

AKSI Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

Dunia terus berkembang, dan manusia terus belajar.Demikian beberapa slogan yang terucap acap kalikita menyederhanakan makna kehidupan.

Seperti itulah kenyataan sekarang. Hari ini kita barangkaliragu membeli alat elektronik yang baru dengan harga yangrelatif murah. Karena besok pasti akan ada model barudengan harga yang lebih murah.

Seperti itu pula ilmu pengetahuan, selalu datang denganide yang lebih baru, meski sebenarnya hanya merupakanmodifikasi dari apa yang sudah ada dulu.

Perubahan dan dinamika dalam dunia modern memangtidak dapat sangkal. Kita terus dikejutkan dengan inovasidan kemajuan ilmu pengetahuan yang terus bergerak takkenal lelah.

Sayangnya, banyak yang lupa bahwa pengetahuan danapapun yang terus bergerak itu adalah hasil belajar darisejarah yang terus menumpuk seiring usia bumi bertambahtua. Seiring itu pula, manusia mulai lupa dan bahkan tidaklagi mengenal dirinya sendiri. Makin banyak orang yangkehilangan orientasi diri. Manusia makin rakus, ambisi, dankorup.

Arus balik mulai menguat untuk menegaskan kembalihakekat manusia. Bahwa manusia memiliki nilai-nilai yangtak lapuk oleh jaman, sekalipun dunia, teknologi danperadaban makin bertambah maju.

Arus balik terhadap pencarian identitas, moralitas, sertahakekat manusia yang epistemik makin mendapatperhatian untuk kembali menyelaraskan antara peradabanmodern dan kearifan lokal.Kita butuh budaya. Kita butuh moralitas. Kita butuhkomunitas yang dalamnya ekspresi dan proses sosial dapatdijalankan.

Untuk itu, kita, Tou Minahasa butuh referensi yangmerekam, mencatat, dan menjadi artefak sejarah, bahwamanusia tidak pernah berhenti belajar.

Referensi-referensi itu kini coba digagas dalamPerpustakaan Minahasa AZR Wenas yang dipelopori olehtokoh-tokoh Minahasa yang sangat peduli untukmelestarikan nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal yang selamaini menuntun Tou Minahasa dalam menapaki peliknyakehidupan.

LASTe Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

Di satu kesempatan, saya hadir pada satu seminar

yang diselenggarakan oleh kawan-kawan saya di

Jakarta. Saya memang tidak datang sendiri, dan

malah datang dengan kawan saya yang lain yang adalah

Tou Kawanua yang cukup sukses di ibu kota negara kita.

Sengaja saya mengajaknya karena memang diskusi

semacam ini sangat penting bagi menentukan arah Tou

Minahasa yang makin terpuruk dalam geliat jamannya.

Dengan raut wajah yang kecewa, ia mengguman. “Ta

kira le apa. Cuma kotek diskusi. Ya, sudah jo diskusi, langsung

action kwa.”

Pernyataan itu tentu tidak perlu diambil hati, karena

saya pun tau kalau kawan saya yang satu ini selalu

menganggap yang namanya diskusi, wacana, seminar, dan

apalagi teori, pasti dianggapnya remeh-temeh yang tak

perlu.

Kawan saya ini tentu tidak sendirian. Penulis sendiri

mengalami hal serupa manakala menjadi jenuh dengan

semua kondisi yang kadang tidak memberi solusi. Hanya

saja tidak sedikit pula, kesimpulan, aksi, dan apapun yang

menurut kawan saya adalah action oriented, menjadi salah

kapra karena salah mengambil kesimpulan. Yang, karena

tidak mau berdiskusi, menolak teori, dan tidak percaya

proses.

Padahal, kualitas action ternyata banyak ditentukan oleh

kualitas konseptual, gagasan, dan proses yang biasanya

diskursif. Kegunaan praktis yang dituduh oleh

pragmatisme tidak selamanya atau semata ditentukan oleh

kebenaran objektif, hari ini mulai dipersoalkan.

Bahwa, fakta (pragma) ternyata tidak selamanya asli

atau riil. Baudrillard menyangkal kebenaran final atas

sebuah fakta yang belum tentu objektif. Sama seperti

Derida yang ingin mendekonstruksi fakta yang belum tentu

paripurna, karena fakta selalu adalah hasil dari sintesis

panjang yang mengalami pembiasan-pembiasan.

Lalu perdebatan panjang, tentang anggapan para

intelektual yang “berumah diatas langit” dan para aktifis

yang “turun ke bumi” juga menjadi perdebatan yang makin

tidak relevan. Kenyataanya, semakin banyak aktifis NGO

yang melakukan penelitian ilmiah untuk menggali gagasan

otentik untuk pemberdayaan rakyat. Sebaliknya banyak

para peneliti dan kaum intelektual mulai berkutat dengan

praktek pemberdayaan sebagai konversi gagasan yang

mereka miliki dalam dunia keilmuan.

Apakah kawan saya itu mengakui atau tidak.

Problemnya, sebetulnya adalah; Teori dan praktek adalah

dua hal yang sangat dibutuhkan dalam melakukan

perobahan sosial yang banyak digagas oleh NGO maupun

akademsi.

Perubahan sosial memang belakangan menjadi wilayah

abu-abu yang tak tentu arah, bahkan sejak reformasi

digulirkan sekalipun, arah perubahan menjadi tak jelas dan

semrawut.

Sekali lagi lantaran tidak tuntasnya substansi gagasan

sehingga dalam tingkat implementasi malah terjadi

semacam trial and error. Lantas demokrasi kita pun menjadi

demokrasi bongkar pasang, sesuka para pengambil

kebijakan memutuskan. Lihat bagaimana undang-undang

otonomi daerah yang terus mengalami revisi. Padahal,

mestinya kalau referensinya kuat, serta mau belajar dari

mereka yang sudah lebih dahulu menjalankannya, niscaya

model bongkar pasang dapat dihindarkan.

Sepertinya, model bongkar pasang seperti ini akan terus

berlaku di negara yang kita cintai ini. Undang-undang yang

mengatur Pilkada baru-baru ini mendapat ujian berat.

Revisi Makhamah Konstitusi berbuah hasil, pasangan calon

dapat diusung oleh gabungan partai, yang sebelumnya tidak

dibolehkan dalam UU 32.

Bangsa kita, ibarat membaca buku panduan, hanya

bagian tertentu saja lalu selesai.Nanti kalau ada masalah,

buka buku lagi lalu baca lanjutan dan selesai. Begitu terus

menerus sehingga tampak sekali problem bangsa ini terus

saja berlanjut tanpa ujung pangkal.

Bagaimana pun, kita semua masih harus terus belajar.

Belajar dari pengalaman, dari alam, dari waktu yang tak

pernah berhenti. Sehingga kalau hari ini faktanya; sebagian

besar petani kita melarat, hampir semua rakyat kita miskin,

korupsi berjemaah terjadi di mana-mana, maka fakta ini

harus menjadi sejarah yang perlu dipelajari dan dirubah

oleh generasi berikutnya.

Rantai setan ini harus diputus. Dimulai dengan belajar

melihat fakta, belajar menganalisa fakta, dan belajar

menerapkan kebenaran objektif. Mempersiapkan gagasan

cemerlang di “atas langit” lalu mengkonversi dengan pro-

gram aksi yang sistematik dengan “turun ke bumi.” Mulai

dari hal kecil, sekarang, dan tetap konsiten. Semoga.

***

18

Turun Ke BumiVeldy Umbas

Dalam perjalanan panjangnya, gereja terus

berhadapan dengan negara yang parapelakunya disebut penguasa. Di abad

pertengahan, Martin Luther, memprotes gereja yang

lebih melayani penguasa ketimbang umat ataumasyarakat yang tertindas. Martin Luther berusaha

mengembalikan fungsi sebenarnya gereja sebagai

lembaga spiritual, yang lebih mengedepankan kasihuntuk memanusiakan manusia.

Dalam konteks Indonesia, di era orde baru

maupun reformasi, Dr. Bert A. Supit, Ketua BadanPengur us YSN, yang jug a hampi r 40 t ahun

beraktivitas dalam gereja, menilai gereja belum

maksimal mengambil sikap yang tegas terhadappenguasa. “Gereja masih lemah dalam mengambil

sikapnya yang tegas terhadap penguasa,” kata dr. Bert

ketika ditemui di ruang kerjanya.Dr. Bert mengatakan, sebenarnya dalam sejarah

gereja, terutama gereja protestan, telah ada sikap

yang jelas, gereja terhadap kekuasaan negara. Lewatreformasi Mar tin Lurther, Johanes Calvin dan

Swingli gereja diusahakan kembali ke perannya yang

sebenarnya. “Gereja adalah suatu gerakan spiritual,bukan suatu institusi. Gereja adalah kita sekalian yang

mengaku percaya kepada Yesus Kristus sebagai Juru

Selamat,” begitu kata penulis buku Menggugat SuaraKenabian Gereja (terbitan YSN dan Nuwu, 2004) ini.

Menurut Dr. Bert, lewat reformasi Martin

Luther, Johanes Calvin dan Swingly, kita dapatmelihat dengan jelas posisi gereja terhadap negara.

“Mereka menekankan pemisahan yang tegas antara

kekuasaan negara dan gereja sebagai institusi spiritualyang independen. Nah, dalam konteks GMIM,

sebenarnya dari awalnya, telah merumuskan dalam

Tata Gereja sikap terhadapnya negara. Namun,kenyataannya, banyak pejabat gereja yang terlibat

dalam politik praktis, dengan tetap menjalankan

aktivitas gerejawinya, sebagai seorang pendeta,” jelasDr. Bert yang pernah menjabat Salah satu Ketua di

Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI).

Gereja menurut Dr. Bert, harus non partisan.Gereja secara kelembagaan tidak boleh berpihak

pada satu kelompok politik. “Sikap ini mestinya juga

harus diikuti oleh pemimpin gereja, dalam konteksGMIM, mulai dari aras BPS (Badan Pekerja Sinode-

red) sampai tingkat jemaat,” katanya.

Meski demikian, bukan berarti gereja harusapolitis. Gereja juga berkewajiban memberikan

arahan-arahan pastoral yang di dalamnya memuat

prinsip-pr insip et ika pol i t ik Kristen. “Dalampengalaman saya selama kurang lebih 40 tahun

berkec impung da lam dunia pe layanan gere ja

(GMIM-red) hanya ada dua pemimpin GMIM yangjelas-jelas memperlihatkan sikap yang non partisan

atau mengambil jarak dengan penguasa, yaitu, Pdt.

A.Z.R. Wenas dan Pdt. R.M. Luntungan. Merekatetap berpartisipasi dalam politik, tapi dalam bentuk

memberikan arah-arah moral dan etika spiritual,

sehingga mereka benar-benar dianggap sebagaipemimpin umat yang memberikan kesegaran untuk

memotivasi masyarakat dalam berpatisipasi secara

positif dan kreatif, “ ungkap Dr. Bert panjang lebar. Sesudah kedua tokoh itu, para pemimpin

GMIM d i masa orde bar u t idak sang gup

memberikan respon yang betul-betul gerejawi dalamkaitan dengan kehidupan politik. Menurut Dr. Bert

mereka akhirnya masuk dalam perangkap strategi

politik orde baru pada waktu itu. “Jadi, di sinilahproblem dari para pemimpin gereja (GMIM –red.).

Di samping mereka di pengaruhi, ini juga disebabkan

karenalemah untuk memberikan sikap mereka sebagai

pemimpin GMIM,” ungkap mantan Direktur Rumah

Sakit Bethesda dari tahun 1965 sampai 1990 ini.Dr. Ber t juga ber pendapa t g er e j a har us

memper tegas kemba l i , s ikap a tau pemik i ran

teologisnya tentang hubungan gereja dan negara.“Sehingga sebagai intitusi spiritual yang independen,

gere j a dapa t memainkan peranannya da l am

memberdayakan masyarakat yang tertindas, melawanketidakadilan, demi terciptanya masyarakat yang

damai sejahtera. Itulah misi gereja, sebagai bentuk

penghayatan iman terhadap Yesus Kristus Sang JuruSelamat,”tandas dr. Bert.(deni)

Dr. Bert A. Supit:

“Gereja Harus Non Partisan”

LASTe Ngaasan Vol. I-JUNI 2005

19