newsletter 10 edisi juli - september 2015

40
THE EQUA- TOR Volume 3 Nomor 3 Juli - September 2015 Terbitan triwulan | GRATIS NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA ISSN: 9772442302035

Upload: biennale-jogja

Post on 22-Jul-2016

260 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

THEEQUA-TORVolume 3Nomor 3Juli - September 2015Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTERYAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

ISSN: 9772442302035

Page 2: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang budiman,

Membicarakan hubungan dua kebudayaan, Indonesia dan kawasan Afrika, tidak pernah bisa lepas dari tema-tema poskolonialitas. Di beberapa edisi sebelumnya, newsletter The Equator telah banyak mengulas tema-tema tersebut sambil mengaitkannya dengan peristiwa penting yang selalu perlu dilihat ulang dan direfleksikan. Pada edisi kali ini, The Equator menyuguhkan wacana yang berupaya mendekatkan publik pada penyelenggaraan Biennale XIII yang bertema “Hacking Conflict”.

Salah satu pembicaraan yang tidak bisa dihindari dalam “Hacking Conflict” ini ialah kedekatan antara seni dan politik. Dalam kaitannya dengan estetika, politik bisa kita maknai secara luas maupun sempit. Politik dalam konteks praktik ketatanegaraan dan pengaturan, serta politik dalam konteks keseharian sebagai masyarakat yang berbudaya dan berbahasa.

Penulis pertama, Muhidin M. Dahlan (salah satu peneliti Biennale Jogja XIII), menyuguhkan hasil pengamatannya atas keterlibatan seni dan politik dalam dinamika masyarakat dan praktik berkesenian di Jogja, sejak awal kemerdekaan hingga kini. Penulis kedua, Antariksa (peneliti Kunci Cultural Studies), membagikan sebagian dari penelitian yang sedang dilakukannya seputar perkembangan Seni Rupa pada masa penjajahan Jepang. Dalam tulisan ini ia mengungkap kerumitan hubungan seni dan propaganda di Jaman Jepang. Penulis ketiga, Hendra Himawan (tim artistik PE dan FE BJXIII), mengabstraksikan kerja-kerja seni komunitas yang sedang dilakukan bersama tim dan komunitas yang berpartisipasi. Melalui tulisannya, Hendra Himawan juga berupaya merefleksikan kerja seni komunitas, keterlibatan masyarakat hingga orientasi tematik dari seluruh rangkaian kerja PE dan FE dalam kerangka “Hacking Conflict.”

Selain menghadirkan serangkaian wacana yang dihimpun dalam tema seni dan politik, The Equator edisi kali ini juga menyuguhkan perbincangan dengan salah seorang seniman yang terlibat di pameran BJXIII, Maryanto. Maryanto berbagi pandangan seputar peran seni di tengah persoalan sosial. Selain Maryanto, Irwan Ahmett juga membagikan gagasan yang melatarbelakangi karya yang sedang dipersiapkan dalam pameran BJXIII.

Hadirnya edisi The Equator di bulan Agustus ini tentu tidak kita lewatkan begitu saja tanpa mengingatkan, betapa makna kemerdekaan itu tidak sekedar pesta dan upacara bendera, namun juga kerja! 70 tahun Indonesia Merdeka.

Salam,

Redaksi

2 3

yang berbasis seni-budaya, Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: [email protected] Equator merupakan Fotografi: Arsip YBY, sumber- Kademangan Pasir Halang Kec. Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw penyempurnaan blue print kultural [email protected]. Juli- September2015, 1000 expnewsletter berkala setiap tiga sumber internet Mande Kab. Cianjur Koentonokota masa depan sebagai ruang Tersedia kompensasi untuk tulisanbulan diterbitkan Yayasan Biennale Desainer: Yohana T. Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Bali: Ketemu Project Spacehidup bersama yang adil dan yang diterbitkan.Yogyakarta. Newsletter ini dapat Penanggung jawab: Direktur Perpustakaan UIN Yogyakarta, Outlet Penyebaran Jakarta Makasar: Rumata Artspacedemokratis. Berdiri pada 23

diakses secara online pada situs: Yayasan Biennale Yogyakarta Perpustakaan Pusat UGM, Agustus 2010. Ruangrupa, Goethe Institut, Tentang Yayasan Biennale www.biennalejogja.org. Perpustakaan Pascasarjana USD, Redaktur Pelaksana: Lisistrata Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Yayasan Biennale Yogyakarta Yogyakarta(YBY) Cemeti Art House, LKiS, Ark Lusandiana Kedai Tjikini, SerrumAlamat: BCA YogyakartaRedaksi The Equator menerima Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Misi YBY)adalah: Taman Budaya Yogyakarta Kontributor: Muhidin M. Dahlan, Bandung: Selasar Sunaryo Art kontribusi tulisan dari segala pihak No.rek: 0373 0307 72Jogja Contemporary, PKKH UGMMenginisiasi dan memfasilitasi Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Antariksa, Hendra Himawan, Irwan Space, Galeri Soemardja, Tobucilsepanjang 1500 - 2000 kata NPWP: 03.041.255.5-541.000 berbagai upaya mendapatkan Semarang: Kolektif HysteriaTelp: +62 274 587712 Ahmett Jawa Barat: , Jl. RA. Natamanggala, dengan tema terkait isu Nusantara konsep strategis perencanaan kota E-mail: the- Surabaya: C2OKhatulistiwa. Perum Bukit Rantau Indah C27

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 YogyakartaNo.rek: 224 031 615

DAFTAR ISI

Sampul depan:Takashi Kono “Kerdja! Oentoek Mentjapai Asia Raja, 1943”

(Takashi Kono, My Momentum 1928-1983, Riyuko-sha, 1983)

4| SENI DAN POLITIK:YOGYAKARTA SEBAGAI ARENA

|16SENI DAN PROPAGANDAPADA ZAMAN JEPANG

23| MELIHAT INTERVENSIDALAM KERJA SENI PARTISIPATORIS

|31

36|

Muhidin M Dahlan (Peneliti BJXIII Hacking Conflict!)

Antariksa, peneliti pada KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta.Karya terbarunya Art Collectivism in the Japanese-Occupied Indonesia

akan terbit tahun depan (Fukuoka: Kyushu University Press, musim panas 2016).

MEMBISIK BUMIMEWARNAI LANGIT

CATATAN AWAL DARI PROGRAM PARALLEL

EVENT BJ XIII HACKING CONFLICT! 2015

Hendra Himawan (Tim Artistik PE dan FE BJ XIII)

Irwan Ahmett (Seniman BJXIII Hacking Conflict!)

KITA PERLU KOTA RAMAH MANUSIA,BUKAN RAMAH MODAL:WAWANCARA DENGAN MARYANTOLisistrata Lusandiana

Page 3: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang budiman,

Membicarakan hubungan dua kebudayaan, Indonesia dan kawasan Afrika, tidak pernah bisa lepas dari tema-tema poskolonialitas. Di beberapa edisi sebelumnya, newsletter The Equator telah banyak mengulas tema-tema tersebut sambil mengaitkannya dengan peristiwa penting yang selalu perlu dilihat ulang dan direfleksikan. Pada edisi kali ini, The Equator menyuguhkan wacana yang berupaya mendekatkan publik pada penyelenggaraan Biennale XIII yang bertema “Hacking Conflict”.

Salah satu pembicaraan yang tidak bisa dihindari dalam “Hacking Conflict” ini ialah kedekatan antara seni dan politik. Dalam kaitannya dengan estetika, politik bisa kita maknai secara luas maupun sempit. Politik dalam konteks praktik ketatanegaraan dan pengaturan, serta politik dalam konteks keseharian sebagai masyarakat yang berbudaya dan berbahasa.

Penulis pertama, Muhidin M. Dahlan (salah satu peneliti Biennale Jogja XIII), menyuguhkan hasil pengamatannya atas keterlibatan seni dan politik dalam dinamika masyarakat dan praktik berkesenian di Jogja, sejak awal kemerdekaan hingga kini. Penulis kedua, Antariksa (peneliti Kunci Cultural Studies), membagikan sebagian dari penelitian yang sedang dilakukannya seputar perkembangan Seni Rupa pada masa penjajahan Jepang. Dalam tulisan ini ia mengungkap kerumitan hubungan seni dan propaganda di Jaman Jepang. Penulis ketiga, Hendra Himawan (tim artistik PE dan FE BJXIII), mengabstraksikan kerja-kerja seni komunitas yang sedang dilakukan bersama tim dan komunitas yang berpartisipasi. Melalui tulisannya, Hendra Himawan juga berupaya merefleksikan kerja seni komunitas, keterlibatan masyarakat hingga orientasi tematik dari seluruh rangkaian kerja PE dan FE dalam kerangka “Hacking Conflict.”

Selain menghadirkan serangkaian wacana yang dihimpun dalam tema seni dan politik, The Equator edisi kali ini juga menyuguhkan perbincangan dengan salah seorang seniman yang terlibat di pameran BJXIII, Maryanto. Maryanto berbagi pandangan seputar peran seni di tengah persoalan sosial. Selain Maryanto, Irwan Ahmett juga membagikan gagasan yang melatarbelakangi karya yang sedang dipersiapkan dalam pameran BJXIII.

Hadirnya edisi The Equator di bulan Agustus ini tentu tidak kita lewatkan begitu saja tanpa mengingatkan, betapa makna kemerdekaan itu tidak sekedar pesta dan upacara bendera, namun juga kerja! 70 tahun Indonesia Merdeka.

Salam,

Redaksi

2 3

yang berbasis seni-budaya, Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: [email protected] Equator merupakan Fotografi: Arsip YBY, sumber- Kademangan Pasir Halang Kec. Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw penyempurnaan blue print kultural [email protected]. Juli- September2015, 1000 expnewsletter berkala setiap tiga sumber internet Mande Kab. Cianjur Koentonokota masa depan sebagai ruang Tersedia kompensasi untuk tulisanbulan diterbitkan Yayasan Biennale Desainer: Yohana T. Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Bali: Ketemu Project Spacehidup bersama yang adil dan yang diterbitkan.Yogyakarta. Newsletter ini dapat Penanggung jawab: Direktur Perpustakaan UIN Yogyakarta, Outlet Penyebaran Jakarta Makasar: Rumata Artspacedemokratis. Berdiri pada 23

diakses secara online pada situs: Yayasan Biennale Yogyakarta Perpustakaan Pusat UGM, Agustus 2010. Ruangrupa, Goethe Institut, Tentang Yayasan Biennale www.biennalejogja.org. Perpustakaan Pascasarjana USD, Redaktur Pelaksana: Lisistrata Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Yayasan Biennale Yogyakarta Yogyakarta(YBY) Cemeti Art House, LKiS, Ark Lusandiana Kedai Tjikini, SerrumAlamat: BCA YogyakartaRedaksi The Equator menerima Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Misi YBY)adalah: Taman Budaya Yogyakarta Kontributor: Muhidin M. Dahlan, Bandung: Selasar Sunaryo Art kontribusi tulisan dari segala pihak No.rek: 0373 0307 72Jogja Contemporary, PKKH UGMMenginisiasi dan memfasilitasi Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Antariksa, Hendra Himawan, Irwan Space, Galeri Soemardja, Tobucilsepanjang 1500 - 2000 kata NPWP: 03.041.255.5-541.000 berbagai upaya mendapatkan Semarang: Kolektif HysteriaTelp: +62 274 587712 Ahmett Jawa Barat: , Jl. RA. Natamanggala, dengan tema terkait isu Nusantara konsep strategis perencanaan kota E-mail: the- Surabaya: C2OKhatulistiwa. Perum Bukit Rantau Indah C27

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 YogyakartaNo.rek: 224 031 615

DAFTAR ISI

Sampul depan:Takashi Kono “Kerdja! Oentoek Mentjapai Asia Raja, 1943”

(Takashi Kono, My Momentum 1928-1983, Riyuko-sha, 1983)

4| SENI DAN POLITIK:YOGYAKARTA SEBAGAI ARENA

|16SENI DAN PROPAGANDAPADA ZAMAN JEPANG

23| MELIHAT INTERVENSIDALAM KERJA SENI PARTISIPATORIS

|31

36|

Muhidin M Dahlan (Peneliti BJXIII Hacking Conflict!)

Antariksa, peneliti pada KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta.Karya terbarunya Art Collectivism in the Japanese-Occupied Indonesia

akan terbit tahun depan (Fukuoka: Kyushu University Press, musim panas 2016).

MEMBISIK BUMIMEWARNAI LANGIT

CATATAN AWAL DARI PROGRAM PARALLEL

EVENT BJ XIII HACKING CONFLICT! 2015

Hendra Himawan (Tim Artistik PE dan FE BJ XIII)

Irwan Ahmett (Seniman BJXIII Hacking Conflict!)

KITA PERLU KOTA RAMAH MANUSIA,BUKAN RAMAH MODAL:WAWANCARA DENGAN MARYANTOLisistrata Lusandiana

Page 4: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

4

SENI DAN POLITIK:YOGYAKARTA SEBAGAI ARENA

Muhidin M Dahlan (Peneliti BJXIII Hacking Conflict!)

“Poster Boeng”, Sumber, Affandi (1907-1990)

Maestro Seni Lukis Indonesia

5

Kutipan dari komposer musik legendaris bersifat partisan, melainkan jaringan Indonesia itu saya temukan dari kliping teknologi komunikasi. Walau bukan koran tua Harian Rakjat edisi 13 April 1957. pendukung partai politik tertentu, mereka Kutipan itu berumur 57 tahun jika diukur hadir menyuarakan apa yang disebut Amir dari masa saat Glenn Fredly, Bimbim Slank, Pasaribu sebagai cara “memikirkan nasib dkk “mengorganisasi” musisi untuk menjadi kemadjuan bangsanja dalam pemikiran relawan politik riil Indonesia di Pemilu semua segi hidupnja”.Indonesia ke-12. Seniman-seniman itu

Sukwan/wati seni itu terlibat dalam secara terbuka mendukung kandidat kompetisi yang sengit lewat jalur telinga dan presiden Joko Widodo dan kandidat wakil mata. Di lajur kompetisi telinga, beraneka presiden Jusuf Kalla.bunyi-bunyian kreatif ditanam dan

Peristiwa panggung musik politik 5 Juli 2014 ditautkan di mesin penyimpan maya seperti di Gelora Bung Karno Jakarta itu saya baca soundcloud. Dari semua genre ada: dari rock sebagai kembalinya spirit Amir Pasaribu hingga dangdut. dalam bermusik yang tak alergi dengan

Sementara di lajur mata, pelbagai poster, keterlibatan politik langsung dan terbuka. komik, meme/mim diproduksi, di laman Politik bukan iblis yang mesti dihindari, web, dan disebarkan secara masif lewat melainkan dirawat bersama dalam media sosial. Adapun partisipasi kreatif kepemimpinan rakyat.sukwan/wati di lajur campuran antara mata-

Dan pada pemilu ke-12 ini muncul telinga (audio-visual) terdokumentasi keterlibatan lain yang berbeda dengan dua dengan baik di laman youtube.model keterlibatan sebelumnya, yakni

Munculnya seniman di politik riil itu tentu keterlibatan yang cair dan tanpa bayaran. bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Keterlibatan yang bersifat sukarela ini Sejarah panjang seni di Indonesia, terutama bersifat ad hoc, sementara, tanpa ada seni rupa, memberikan konfirmasi iming-iming uang, kecuali panggilan untuk bagaimana pergulatan politik dan seni menjadi peserta dan bukan penonton dalam berkarya dan bagaimana seni dan politik.politik hidup berdampingan menyuarakan

Dalam sejarah pemilu, jumlah keterlibatan aspirasi dukungan maupun protes terhadap relawan seni, terutama dimotori musisi yang kekuasaan.memiliki lapisan pengikut yang luas, adalah

Esai ini menjelajahi wajah seni dan politik, terbesar dan tiada tanding setelah Pemilu terutama sekali yang terjadi di Yogyakarta. 1955. Mereka tak diikat oleh organisasi yang

“1000 kali seniman tak berpolitik,1000 kali pula politik mencampuri

seni dan seniman”

- Amir Pasaribu -

Page 5: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

4

SENI DAN POLITIK:YOGYAKARTA SEBAGAI ARENA

Muhidin M Dahlan (Peneliti BJXIII Hacking Conflict!)

“Poster Boeng”, Sumber, Affandi (1907-1990)

Maestro Seni Lukis Indonesia

5

Kutipan dari komposer musik legendaris bersifat partisan, melainkan jaringan Indonesia itu saya temukan dari kliping teknologi komunikasi. Walau bukan koran tua Harian Rakjat edisi 13 April 1957. pendukung partai politik tertentu, mereka Kutipan itu berumur 57 tahun jika diukur hadir menyuarakan apa yang disebut Amir dari masa saat Glenn Fredly, Bimbim Slank, Pasaribu sebagai cara “memikirkan nasib dkk “mengorganisasi” musisi untuk menjadi kemadjuan bangsanja dalam pemikiran relawan politik riil Indonesia di Pemilu semua segi hidupnja”.Indonesia ke-12. Seniman-seniman itu

Sukwan/wati seni itu terlibat dalam secara terbuka mendukung kandidat kompetisi yang sengit lewat jalur telinga dan presiden Joko Widodo dan kandidat wakil mata. Di lajur kompetisi telinga, beraneka presiden Jusuf Kalla.bunyi-bunyian kreatif ditanam dan

Peristiwa panggung musik politik 5 Juli 2014 ditautkan di mesin penyimpan maya seperti di Gelora Bung Karno Jakarta itu saya baca soundcloud. Dari semua genre ada: dari rock sebagai kembalinya spirit Amir Pasaribu hingga dangdut. dalam bermusik yang tak alergi dengan

Sementara di lajur mata, pelbagai poster, keterlibatan politik langsung dan terbuka. komik, meme/mim diproduksi, di laman Politik bukan iblis yang mesti dihindari, web, dan disebarkan secara masif lewat melainkan dirawat bersama dalam media sosial. Adapun partisipasi kreatif kepemimpinan rakyat.sukwan/wati di lajur campuran antara mata-

Dan pada pemilu ke-12 ini muncul telinga (audio-visual) terdokumentasi keterlibatan lain yang berbeda dengan dua dengan baik di laman youtube.model keterlibatan sebelumnya, yakni

Munculnya seniman di politik riil itu tentu keterlibatan yang cair dan tanpa bayaran. bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Keterlibatan yang bersifat sukarela ini Sejarah panjang seni di Indonesia, terutama bersifat ad hoc, sementara, tanpa ada seni rupa, memberikan konfirmasi iming-iming uang, kecuali panggilan untuk bagaimana pergulatan politik dan seni menjadi peserta dan bukan penonton dalam berkarya dan bagaimana seni dan politik.politik hidup berdampingan menyuarakan

Dalam sejarah pemilu, jumlah keterlibatan aspirasi dukungan maupun protes terhadap relawan seni, terutama dimotori musisi yang kekuasaan.memiliki lapisan pengikut yang luas, adalah

Esai ini menjelajahi wajah seni dan politik, terbesar dan tiada tanding setelah Pemilu terutama sekali yang terjadi di Yogyakarta. 1955. Mereka tak diikat oleh organisasi yang

“1000 kali seniman tak berpolitik,1000 kali pula politik mencampuri

seni dan seniman”

- Amir Pasaribu -

Page 6: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

6

Kota yang berkali-kali diterjang chaos, berkali-kali pula menyeimbangkannya. Mulai dari Perang Diponegoro, agresi militer Belanda setelah 19 hari Republik Indonesia diproklamasikan, pawai “sejuta massa” pada masa genting 1998, hingga warga kota ini bergegas bangkit dari reruntuhan guncangan bumi 27 Mei 2006. Kota Yogyakarta menjadi “Kota Revolusi” tatkala pemerintahan Soekarno-Hatta pada 4 Januari 1946 memilih memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta. Di masa inilah Yogyakarta nyata menjadi pusat peradaban yang lebih kompleks. Jalan Malioboro berubah menjadi ekologi simbolik baru bagi kota Yogyakarta, yaitu menjadi arena persebaran makna dan gagasan serta citra baru pada masa revolusi di lingkungan kota Yogyakarta.

Yogyakarta sendiri sebenarnya sudah cukup siap untuk dijadikan, tidak hanya pusat kebudayaan Jawa, melainkan menjadi tempat di mana revolusi dan perlawanan atas kolonialisme bisa berlangsung dengan sengit, tidak hanya di medan pertempuran senjata, tetapi juga di medan kebudayaan. Seni rupa adalah salah satu palagan revolusi dan politik itu.

Seni yang Terlibat: Genealogi Persekutuan Politik Praktis dan Seni Rupa

1955 adalah tahun sibuk untuk sebuah negara-bangsa yang baru satu dekade merdeka. Dimulai dari kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah bagi perhelatan akbar yang melibatkan negara-negara Asia dan Afrika. Konferensi Asia Afrika di Bandung itu, bukan saja melahirkan pernyataan politik radikal atas relasi bangsa-bangsa yang terprentah dan diprentah – meminjam istilah Tirto Adhi Soerjo tahun 1907 – tapi juga sikap sinis dan nyinyir dalam negeri. Terutama lawan (kawan?) politik Sukarno semacam pengikut Sjahrir dan Hatta. Dua nama itu bukan saja absen dalam KAA, tapi juga koran-koran yang diterbitkan kelompok “soska” ini menyambut dingin konferensi yang ditutup tepat ketika hari pertama umat Islam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.

Kesuksesan penyelenggaraan KAA itu menerbitkan wuwungan optimisme bahwa Indonesia pasti bisa menyelenggarakan pemilu yang demokratis; suatu percobaan politik demokratis pertama

Harian Rakjat,

PKI menang di Djokja

(akubuku.blogspot.com)

7

yang sangat menentukan. Di Pemilu inilah keterlibatan itu. “Seni yang terlibat” adalah kita menemukan satu fase bagaimana seni seni yang memiliki garis lurus yang tegas diuji di lapangan politik praktis di “masa antara karya dan laku. Bukan “seni yang damai”. Di masa liberalisme politik 50-an, terlibat” bila karyanya saja yang politis, tapi perupa bukanlah penonton, tapi terlibat kehidupan praktis sehari-hari seniman aktif di dalamnya. justru apolitis.

Perupa-perupa yang turut membidani Nyaris sepanjang dekade revolusi, seni rupa lahirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia bertendens yang dipundaki perupa-perupa (Persagi), Seniman Indonesia Muda (SIM), avant garde dari Yogyakarta dipandang dan Pelukis Rakjat di Yogyakarta, misalnya, sebagai antitesis dari gaya lukis Mooi Indie menjadi salah satu tulang punggung yang sangat terkenal sebelum kemerdekaan kemenangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan seniman-seniman garda depannya di Kota Yogyakarta. Pemilu 1955 adalah seperti Raden Saleh, Abdullah Sr. (ayah pintu masuk bagi perupa Soedjojono dan Basuki Abdullah). Abdullah, misalnya, selalu Affandi untuk masuk dalam politik praktis. menggambarkan alam Hindia Belanda yang Keduanya adalah dua dan 10 wakil PKI yang serba indah. Gunung-gunung biru yang berasal dari seniman dan budayawan yang melatarbelakangi sawah dengan padi lolos menjadi anggota DPR. (Harian Rakjat, menguning, rumpun bambu dan pohon 17 September 1955) nyiur di pinggirnya. Jika ada tiang telepon

atau rel kereta api atau gardu-gardu pekerja Kehadiran seniman-seniman ini di arena berdiri di pinggir segera dihilangkan. politik praktis bukan tiba-tiba. Tempaan revolusi fisik membajakan keyakinan mereka Apa seni rupa baru antitesis Mooi Indie itu? bahwa seni dan politik bukan sesuatu yang Soedjojono memberikan penegasan: “Seni bermusuhan. Mazhab realisme kerakyatan loekis jang tidak mempropagandakan dalam seni rupa yang diusung pentolan SIM kebagoesan, akan tetapi Soedjodjono dan pentolan Pelukis Rakjat mempropagandakan kebenaran pada tiap-Hendra Gunawan membawa pada sebuah tiap orang…. Kebagoesan jang disebabkan simpul bahwa seni adalah keluarga politik, oleh warna-warna tjantik dan garis-garis di mana seniman adalah subjek penentu jang berkembang-kembang (sierlijk) sadja jalannya revolusi. Meminjam kata-kata sebagai sebagai lagak radja djin Soedjojono: “Namakanlah saya bukan bangsawan, belum tentoe kebagoesan jang seniman; saya lebih baik jadi manusia benar, sebab biasanja kebagoesan jang daripada 'seniman' zonder politik, daripada demikian hanja hendak menoetoepi 'seniman' zonder rasa tanggungjawab atas kekosongan batinnja sadja… Peloekis-nasib manusia yang ada kebetulan di sudut peloekis kita jang terbanjak hanja dunia ini, yang orang katakan bangsa verfbedienden dari toeris-toeris jang datang Indonesia. Saya turut revolusi. Saya tidak makan angin kesini sadja. Dan poeblik misih turut saja, tetapi juga turut menetapkan maoe dihipnotis oleh kebagoesan revolusi itu harus kemana.” (Soedjojono, bombasme, bluf dan lagak radja djin 2013) bangsawan sadja…” (Soedjojono, 1946)

Seni yang terlibat di arena politik riil, bisa Lebih lanjut Soedjojono menolak apa yang disebut “romantisch priangan” yang kita lihat dari keterlibatan seniman-seniman merupakan peristilahan yang lain dari Mooi yang menopang revolusi dalam pelbagai Indie dan sekaligus menunjuk kawasan di front. Terutama seksi propaganda mana gaya melukis ini sangat kuat: “Kita kemerdekaan. Narasi sejarah lahirnya poster haroes tidak bisa hormat kepada seorang “Ajo Bung!” menjadi tonggak klasik

Page 7: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

6

Kota yang berkali-kali diterjang chaos, berkali-kali pula menyeimbangkannya. Mulai dari Perang Diponegoro, agresi militer Belanda setelah 19 hari Republik Indonesia diproklamasikan, pawai “sejuta massa” pada masa genting 1998, hingga warga kota ini bergegas bangkit dari reruntuhan guncangan bumi 27 Mei 2006. Kota Yogyakarta menjadi “Kota Revolusi” tatkala pemerintahan Soekarno-Hatta pada 4 Januari 1946 memilih memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta. Di masa inilah Yogyakarta nyata menjadi pusat peradaban yang lebih kompleks. Jalan Malioboro berubah menjadi ekologi simbolik baru bagi kota Yogyakarta, yaitu menjadi arena persebaran makna dan gagasan serta citra baru pada masa revolusi di lingkungan kota Yogyakarta.

Yogyakarta sendiri sebenarnya sudah cukup siap untuk dijadikan, tidak hanya pusat kebudayaan Jawa, melainkan menjadi tempat di mana revolusi dan perlawanan atas kolonialisme bisa berlangsung dengan sengit, tidak hanya di medan pertempuran senjata, tetapi juga di medan kebudayaan. Seni rupa adalah salah satu palagan revolusi dan politik itu.

Seni yang Terlibat: Genealogi Persekutuan Politik Praktis dan Seni Rupa

1955 adalah tahun sibuk untuk sebuah negara-bangsa yang baru satu dekade merdeka. Dimulai dari kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah bagi perhelatan akbar yang melibatkan negara-negara Asia dan Afrika. Konferensi Asia Afrika di Bandung itu, bukan saja melahirkan pernyataan politik radikal atas relasi bangsa-bangsa yang terprentah dan diprentah – meminjam istilah Tirto Adhi Soerjo tahun 1907 – tapi juga sikap sinis dan nyinyir dalam negeri. Terutama lawan (kawan?) politik Sukarno semacam pengikut Sjahrir dan Hatta. Dua nama itu bukan saja absen dalam KAA, tapi juga koran-koran yang diterbitkan kelompok “soska” ini menyambut dingin konferensi yang ditutup tepat ketika hari pertama umat Islam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan.

Kesuksesan penyelenggaraan KAA itu menerbitkan wuwungan optimisme bahwa Indonesia pasti bisa menyelenggarakan pemilu yang demokratis; suatu percobaan politik demokratis pertama

Harian Rakjat,

PKI menang di Djokja

(akubuku.blogspot.com)

7

yang sangat menentukan. Di Pemilu inilah keterlibatan itu. “Seni yang terlibat” adalah kita menemukan satu fase bagaimana seni seni yang memiliki garis lurus yang tegas diuji di lapangan politik praktis di “masa antara karya dan laku. Bukan “seni yang damai”. Di masa liberalisme politik 50-an, terlibat” bila karyanya saja yang politis, tapi perupa bukanlah penonton, tapi terlibat kehidupan praktis sehari-hari seniman aktif di dalamnya. justru apolitis.

Perupa-perupa yang turut membidani Nyaris sepanjang dekade revolusi, seni rupa lahirnya Persatuan Ahli Gambar Indonesia bertendens yang dipundaki perupa-perupa (Persagi), Seniman Indonesia Muda (SIM), avant garde dari Yogyakarta dipandang dan Pelukis Rakjat di Yogyakarta, misalnya, sebagai antitesis dari gaya lukis Mooi Indie menjadi salah satu tulang punggung yang sangat terkenal sebelum kemerdekaan kemenangan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan seniman-seniman garda depannya di Kota Yogyakarta. Pemilu 1955 adalah seperti Raden Saleh, Abdullah Sr. (ayah pintu masuk bagi perupa Soedjojono dan Basuki Abdullah). Abdullah, misalnya, selalu Affandi untuk masuk dalam politik praktis. menggambarkan alam Hindia Belanda yang Keduanya adalah dua dan 10 wakil PKI yang serba indah. Gunung-gunung biru yang berasal dari seniman dan budayawan yang melatarbelakangi sawah dengan padi lolos menjadi anggota DPR. (Harian Rakjat, menguning, rumpun bambu dan pohon 17 September 1955) nyiur di pinggirnya. Jika ada tiang telepon

atau rel kereta api atau gardu-gardu pekerja Kehadiran seniman-seniman ini di arena berdiri di pinggir segera dihilangkan. politik praktis bukan tiba-tiba. Tempaan revolusi fisik membajakan keyakinan mereka Apa seni rupa baru antitesis Mooi Indie itu? bahwa seni dan politik bukan sesuatu yang Soedjojono memberikan penegasan: “Seni bermusuhan. Mazhab realisme kerakyatan loekis jang tidak mempropagandakan dalam seni rupa yang diusung pentolan SIM kebagoesan, akan tetapi Soedjodjono dan pentolan Pelukis Rakjat mempropagandakan kebenaran pada tiap-Hendra Gunawan membawa pada sebuah tiap orang…. Kebagoesan jang disebabkan simpul bahwa seni adalah keluarga politik, oleh warna-warna tjantik dan garis-garis di mana seniman adalah subjek penentu jang berkembang-kembang (sierlijk) sadja jalannya revolusi. Meminjam kata-kata sebagai sebagai lagak radja djin Soedjojono: “Namakanlah saya bukan bangsawan, belum tentoe kebagoesan jang seniman; saya lebih baik jadi manusia benar, sebab biasanja kebagoesan jang daripada 'seniman' zonder politik, daripada demikian hanja hendak menoetoepi 'seniman' zonder rasa tanggungjawab atas kekosongan batinnja sadja… Peloekis-nasib manusia yang ada kebetulan di sudut peloekis kita jang terbanjak hanja dunia ini, yang orang katakan bangsa verfbedienden dari toeris-toeris jang datang Indonesia. Saya turut revolusi. Saya tidak makan angin kesini sadja. Dan poeblik misih turut saja, tetapi juga turut menetapkan maoe dihipnotis oleh kebagoesan revolusi itu harus kemana.” (Soedjojono, bombasme, bluf dan lagak radja djin 2013) bangsawan sadja…” (Soedjojono, 1946)

Seni yang terlibat di arena politik riil, bisa Lebih lanjut Soedjojono menolak apa yang disebut “romantisch priangan” yang kita lihat dari keterlibatan seniman-seniman merupakan peristilahan yang lain dari Mooi yang menopang revolusi dalam pelbagai Indie dan sekaligus menunjuk kawasan di front. Terutama seksi propaganda mana gaya melukis ini sangat kuat: “Kita kemerdekaan. Narasi sejarah lahirnya poster haroes tidak bisa hormat kepada seorang “Ajo Bung!” menjadi tonggak klasik

Page 8: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

8

seniman peloekis jang enak-enak sadja menggambar lembah-lembah dan goenoeng tinggi mentjapai awan dan mimpi sorga doenia berkata: ,,O, romantisch Priangan”, tetapi ta' maoe mendengarkan dibelakang dekat dia pak tani mengeloeh, merintih, menangis, sebab kakinja kena patjoel, berdarah, loeka parah. Gambarnja tadi barangkali bagoes, tetapi hati kemanoesiaannja ta' ada, barangkali tergantoeng diawan soedah habis dipatoek elang atau dihantam petir melajang.” (Soedjojono, Ibid.)

Ketika J Hopman menulis sebuah esei di majalah Uitzicht pada 1948, Soedjojono menanggapinya sangat sengit dan keras. Hopman menulis bahwa seni lukis Indonesia itu tidak ada. Kalaupun ada ia membebek saja dengan seni di Barat. Menurut Soedjojono, Hopman mengalami kesalahan besar. Realisme yang dikembangkan oleh mazhab Yogya (baca Indonesia) tidak boleh dikatakan sebagai kepunyaan Barat belaka. Realisme adalah kepunyaan tiap-tiap manusia. “Kalau da Vinci, Durrer, Cazanne, kebetulan orang-orang Barat, ini bukan soal. Tiap-tiap anak Tuhan, meski dia di Betlehem (Kristus), meski di Mekkah (Muhammad), meski di Tiongkok (Laotz, Confusius, Li Tai Po), meski di India (Buddha), meskipun di Mesir (Ichnaton), di Amerika (Louis Amstrong, negro) atau di Eropa (Socrates, berlage, Cazanne) tidak berhak mengepak dan memonopoli teori-teori mereka kalau memang teori-teori tadi suatu kebenaran yang

Teks: "Didjiwai oleh semangat

Rakjat seniman2 Djokja

dibawah pimpinan pelukis2

Affandi, Sudjojono, dan

Hendra Gunawan tlah

berhasil mentjiptakan podium

jang indah dan megah buat

rapat raksasa PKI tgl. 11

September jbl. Perhatikan

artja jang tingginja 5 meter,

paluarit 10 meter, umbul2

mendjulang tinggi dan indah.

Disebelah kanan podium

tampak gambar Bung Karno

dan disebelah kiri gabar Bung

Aidit, Sekretaris Djendral

CCPKI. Dengan demikian

seniman2 dan PKI didjiwai

dan mendjiwai Rakjat untuk

berdjuang terus, untuk

menang dalam pemilihan

umum jad.”

Sumber:

akubuku.blogspot.com

9

nyata dan baik untuk dunia.” (Soedjojono, statusnya menjadi realisme revolusioner Ibid.) dan progresif. (Burhan, 2002)

Sementara bagi Hendra, rakyat adalah Kita bisa memahami reaksi sengit wanita-wanita yang memundaki muatan Soedjojono. Tak hanya karena masa itu berat yang diikatkan pada punggung-adalah masa konfrontasi bersenjata dengan punggung mereka yang membongkok, Belanda, tapi juga pencarian yang keras penjaja makanan di pinggir jalan serta para kekhasan seni lukis modern Indonesia pelanggan mereka, pada wanita dan kanak-zonder gaya Mooi Indie (baca: Belanda) kanak. Para wanita yang dibebani yang yang dicekokannya kepada seniman berjalan dengan susah payah sepanjang Indonesia. Karena itulah, Soedjojono jalan-jalan Jawa Tengah ke dan dari pasar berpandangan, saatnya seniman-seniman telah menjadi lambang yang ada di mana-Indonesia mencari arahnya sendiri atau mana dari kemelaratan dan kemerosotan dalam kalimat Soedjojono: “kami sudah pada banyak lukisan Pelukis Rakjat. (Holt, tahu bagaimana dan ke mana kami akan 2000)bawa seni lukis kami”.

Dari deretan fakta itu, bukan suatu Dan Soedjojono, Hendra, Affandi, dan keheranan bila perupa-perupa macam sederet pelukis-pelukis Yogyakarta yang Soedjojono, Hendra Gunawan, Affandi, tergabung dalam sanggar SIM dan Pelukis hingga Basuki Resobowo berada dalam satu Rakjat membawa seni lukis mereka ke ayunan politik praktis dan berada di pusaran tendensi sosial yang kuat. Tendensi sosial itu pemilu 1955. Keterlibatan penuh itu bukan hanya berada dalam konsepsi, tapi menandaskan bahwa dalam sejarah seni juga cara hidup dan metode cara bagaimana rupa kita, seniman dan politik bukanlah air lukisan itu diciptakan. dan minyak yang saling bertolakan.

Setidaknya, partai macam PKI adalah partai Untuk membuat sketsa dan melukis, para yang paling yakin bahwa kehadiran seniman seniman yang tergabung dalam Pelukis dalam politik menyegarkan masa depan Rakjat dan SIM kerap pergi keluar sendiri politik yang tak melulu berbicara kekuasaan atau tergabung dalam kelompok-kelompok dengan segala negosiasi pragmatisnya. kecil dan mendapatkan diri mereka di Inilah satu-satunya partai yang ladang-ladang, di pinggir kali, di kota, di menempatkan budayawan dan perupa salah satu sudut jalan atau di pasar. Kerap paling banyak juga mereka melakukan perjalanan ke pantai-pantai yang jauh atau daerah bergunung yang jauh dari kota untuk menangkap senyatanya kehidupan Rakyat.

Dari usaha itu kemudian kita mengetahui siapa “Rakyat” menurut Soedjojono dan Hendra, misalnya. Bagi Soedjojono yang berpandangan marxis, rakyat adalah kelompok sosial kelas bawah yang tertindas, seperti tergambar dalam lukisan berjudul Potret seorang Tetangga, Mengungsi, dan Sekko. Dengan realisme yang menjadi jiwa di lukisan-lukisan itu, Soedjojono menandaskan bahwa ia bisa menggambarkan dengan jelas "realitet nasi" yang dimengerti oleh rakyat yang oleh generasi baru Lekra di era tahun 1960-an, realisme sosial Soedjojono itu dinaikkan

dalam susunan sebagai calon legislatornya ketimbang partai-partai lain. Bahkan dibandingkan partai yang selalu mendaku diri sebagai partai intelektuil macam PSI yang dipimpin Sjahrir.

Belajar Nakal (Lagi): Keluar dari Ketertiban “Politik Keluarga”

Rupanya, usia “kemenangan” seni yang terlibat itu hanya bertahan satu dekade jika kita menghitung tonggaknya dari Pemilu 1955. Sepanjang 1955 hingga 1965 kejayaan seni sebagai ujung tombak propaganda politik dengan barisan panjang jargon yang diciptakan untuk mengomunikasikannya terjungkat dalam sebuah katasrofa yang mengerikan.

Gestapu, Gestok, atau apa pun sebutan

Page 9: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

8

seniman peloekis jang enak-enak sadja menggambar lembah-lembah dan goenoeng tinggi mentjapai awan dan mimpi sorga doenia berkata: ,,O, romantisch Priangan”, tetapi ta' maoe mendengarkan dibelakang dekat dia pak tani mengeloeh, merintih, menangis, sebab kakinja kena patjoel, berdarah, loeka parah. Gambarnja tadi barangkali bagoes, tetapi hati kemanoesiaannja ta' ada, barangkali tergantoeng diawan soedah habis dipatoek elang atau dihantam petir melajang.” (Soedjojono, Ibid.)

Ketika J Hopman menulis sebuah esei di majalah Uitzicht pada 1948, Soedjojono menanggapinya sangat sengit dan keras. Hopman menulis bahwa seni lukis Indonesia itu tidak ada. Kalaupun ada ia membebek saja dengan seni di Barat. Menurut Soedjojono, Hopman mengalami kesalahan besar. Realisme yang dikembangkan oleh mazhab Yogya (baca Indonesia) tidak boleh dikatakan sebagai kepunyaan Barat belaka. Realisme adalah kepunyaan tiap-tiap manusia. “Kalau da Vinci, Durrer, Cazanne, kebetulan orang-orang Barat, ini bukan soal. Tiap-tiap anak Tuhan, meski dia di Betlehem (Kristus), meski di Mekkah (Muhammad), meski di Tiongkok (Laotz, Confusius, Li Tai Po), meski di India (Buddha), meskipun di Mesir (Ichnaton), di Amerika (Louis Amstrong, negro) atau di Eropa (Socrates, berlage, Cazanne) tidak berhak mengepak dan memonopoli teori-teori mereka kalau memang teori-teori tadi suatu kebenaran yang

Teks: "Didjiwai oleh semangat

Rakjat seniman2 Djokja

dibawah pimpinan pelukis2

Affandi, Sudjojono, dan

Hendra Gunawan tlah

berhasil mentjiptakan podium

jang indah dan megah buat

rapat raksasa PKI tgl. 11

September jbl. Perhatikan

artja jang tingginja 5 meter,

paluarit 10 meter, umbul2

mendjulang tinggi dan indah.

Disebelah kanan podium

tampak gambar Bung Karno

dan disebelah kiri gabar Bung

Aidit, Sekretaris Djendral

CCPKI. Dengan demikian

seniman2 dan PKI didjiwai

dan mendjiwai Rakjat untuk

berdjuang terus, untuk

menang dalam pemilihan

umum jad.”

Sumber:

akubuku.blogspot.com

9

nyata dan baik untuk dunia.” (Soedjojono, statusnya menjadi realisme revolusioner Ibid.) dan progresif. (Burhan, 2002)

Sementara bagi Hendra, rakyat adalah Kita bisa memahami reaksi sengit wanita-wanita yang memundaki muatan Soedjojono. Tak hanya karena masa itu berat yang diikatkan pada punggung-adalah masa konfrontasi bersenjata dengan punggung mereka yang membongkok, Belanda, tapi juga pencarian yang keras penjaja makanan di pinggir jalan serta para kekhasan seni lukis modern Indonesia pelanggan mereka, pada wanita dan kanak-zonder gaya Mooi Indie (baca: Belanda) kanak. Para wanita yang dibebani yang yang dicekokannya kepada seniman berjalan dengan susah payah sepanjang Indonesia. Karena itulah, Soedjojono jalan-jalan Jawa Tengah ke dan dari pasar berpandangan, saatnya seniman-seniman telah menjadi lambang yang ada di mana-Indonesia mencari arahnya sendiri atau mana dari kemelaratan dan kemerosotan dalam kalimat Soedjojono: “kami sudah pada banyak lukisan Pelukis Rakjat. (Holt, tahu bagaimana dan ke mana kami akan 2000)bawa seni lukis kami”.

Dari deretan fakta itu, bukan suatu Dan Soedjojono, Hendra, Affandi, dan keheranan bila perupa-perupa macam sederet pelukis-pelukis Yogyakarta yang Soedjojono, Hendra Gunawan, Affandi, tergabung dalam sanggar SIM dan Pelukis hingga Basuki Resobowo berada dalam satu Rakjat membawa seni lukis mereka ke ayunan politik praktis dan berada di pusaran tendensi sosial yang kuat. Tendensi sosial itu pemilu 1955. Keterlibatan penuh itu bukan hanya berada dalam konsepsi, tapi menandaskan bahwa dalam sejarah seni juga cara hidup dan metode cara bagaimana rupa kita, seniman dan politik bukanlah air lukisan itu diciptakan. dan minyak yang saling bertolakan.

Setidaknya, partai macam PKI adalah partai Untuk membuat sketsa dan melukis, para yang paling yakin bahwa kehadiran seniman seniman yang tergabung dalam Pelukis dalam politik menyegarkan masa depan Rakjat dan SIM kerap pergi keluar sendiri politik yang tak melulu berbicara kekuasaan atau tergabung dalam kelompok-kelompok dengan segala negosiasi pragmatisnya. kecil dan mendapatkan diri mereka di Inilah satu-satunya partai yang ladang-ladang, di pinggir kali, di kota, di menempatkan budayawan dan perupa salah satu sudut jalan atau di pasar. Kerap paling banyak juga mereka melakukan perjalanan ke pantai-pantai yang jauh atau daerah bergunung yang jauh dari kota untuk menangkap senyatanya kehidupan Rakyat.

Dari usaha itu kemudian kita mengetahui siapa “Rakyat” menurut Soedjojono dan Hendra, misalnya. Bagi Soedjojono yang berpandangan marxis, rakyat adalah kelompok sosial kelas bawah yang tertindas, seperti tergambar dalam lukisan berjudul Potret seorang Tetangga, Mengungsi, dan Sekko. Dengan realisme yang menjadi jiwa di lukisan-lukisan itu, Soedjojono menandaskan bahwa ia bisa menggambarkan dengan jelas "realitet nasi" yang dimengerti oleh rakyat yang oleh generasi baru Lekra di era tahun 1960-an, realisme sosial Soedjojono itu dinaikkan

dalam susunan sebagai calon legislatornya ketimbang partai-partai lain. Bahkan dibandingkan partai yang selalu mendaku diri sebagai partai intelektuil macam PSI yang dipimpin Sjahrir.

Belajar Nakal (Lagi): Keluar dari Ketertiban “Politik Keluarga”

Rupanya, usia “kemenangan” seni yang terlibat itu hanya bertahan satu dekade jika kita menghitung tonggaknya dari Pemilu 1955. Sepanjang 1955 hingga 1965 kejayaan seni sebagai ujung tombak propaganda politik dengan barisan panjang jargon yang diciptakan untuk mengomunikasikannya terjungkat dalam sebuah katasrofa yang mengerikan.

Gestapu, Gestok, atau apa pun sebutan

Page 10: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

10

i

malam jahanam 1 Oktober 1965 itu bukan pada individu seperti Museum Affandi. saja menjadi tapal kejatuhan Sukarno,

Tepat di situasi yang “tenang”, “stabil”, dan kehancuran PKI, dan para pemanggul “keluarga” sudah “dilindungi” ini pula lahir ideologi kiri revolusioner, tapi juga letupan-letupan kecil dalam kelambu tidur mengubur mazhab “seni kerakyatan”. Seni seni rupa Indonesia. Sebut saja Gerakan propaganda yang sifatnya kolektif selama Seni Rupa Baru tahun 1974 yang dikenal satu dekade menguasai wacana perupaan juga dengan “Desember Hitam” di Taman berganti wajah dengan seni propaganda Ismail Marzuki, Jakarta. Isu pameran yang yang lain. Sebut saja “seni individuil” diinisiasi mahasiswa-mahasiswa dari dengan stabilitas pembangunan menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta, pengikatnya. Berkesenian boleh, tapi tak Sekolah Tinggi Seni Indonesia ITB, dan LPKJ diperkenankan menyerempet ke dalam Jakarta itu awalnya merupakan respons politik praktis dan mengusik stabilitas keras dari penjurian “lomba” seni lukis yang pembangunan.“itu-itu saja” dan “biasa-biasa saja”. Isu

Proyek-proyek pembangunan patung "Desember Hitam" menjadi besar lantaran monumental yang sudah berlangsung di era yang menampik seni eksperimental adalah Sukarno tetap dilanjutkan, namun mengikuti mereka yang memegang kekuasaan tatanan wacana baru; pemurnian Pancasila kesenian dan yang punya hak memegang yang dijaga tentara. Patung tentara dibikin. kendali. Harapan pernyataan “Desember Bukan saja patung Monumen Pancasila Sakti Hitam”, sebagaimana termaktub dalam lima di Lubang Buaya dibangun dengan gagah, butir, adalah diberi ruang bagi munculnya semangat yang sama juga disebarluaskan di kreativitas-kreativitas baru. Sebab mereka semua pelosok desa di seluruh Indonesia. melihat bahwa yang menghambat Artefak keseragaman seni propaganda ala perkembangan seni lukis Indonesia selama Garuda Pancasila ini masih bisa kita telisik ini adalah “konsep-konsep usang, yang dari pencarian Nanang R Hidayat di masih dianut establishment, pengusaha-Museum Garuda, Yogyakarta (Hidayat, pengusaha seni budaya dan seniman-2008). Si Tuan Besar yang tergambar dalam seniman yang sudah mapan.” Karena itu novel George Orwell 1984 bersembunyi di “Desember Hitam” datang ingin menegur belakang kepakan sayap terbuka garuda dengan mempurnawirawankan kaum untuk mengawasi seluruh keluarga di establish seni rupa. (Supangkat, 1979)Indonesia. Keluarga? Ya, sasaran utamanya

Tiga tahun berselang, apa yang terjadi di adalah kontrol pada keluarga. Maka dari itu, Jakarta itu merembet ke Yogyakarta; kota gapura “Garuda” di 80 ribu kampung sejak yang pernah jadi ruang penangkaran “seni era 80-an selalu bersanding dengan yang terlibat” dan “seni bertendens” yang “prasasti” 10 Program PKK dan patung KB terkubur tahun 1965. Pameran Pipa pada 1 (Shiraishi, 1997; Suryakusuma, 2013). Spetember 1977 adalah nota protes Sementara itu sekitar 2 juta pegawai negeri telanjang terhadap prinsip kesenian dalam dan aparatus birokrasi sejak 4 Juli 1978 pola yang mapan. Mereka menamakannya diwajibkan ikut penataran hasil Sidang "pameran proses" karena yang dipamerkan Umum MPR 1978 menyangkut Garis-garis serba tak siap. Ke-17 mahasiswa ASRI yang Besar Haluan Negara (GBHN) serta terlibat merasa bosan dengan bentuk yang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan sudah siap. Pancasila (P4).

Situasi politik seperti itu yang menyuburkan Kita tahu bahwa pada periode ini pencarian lagi berkembangnya seni abstrak yang bentuk-bentuk seni rupa yang dianggap pernah hilang sebelum katasrofa berdarah secara paling tepat mewakili representasi 1965 meletus. Situasi semacam itu pula indentitas keindonesiaan secara budaya yang melahirkan “fenomena baru” kelahiran maupun politik sudah demikian “stabil”, museum atau ruang seni yang bersandar

11MAKNAMERDEKADIANTARAKITA..

Bulan Agustus selalu disambut dengan gegap gempita oleh banyak kalangan di Indonesia. 70 tahun kemerdekaan RI menjadi tema di banyak acara, mulai dari acara televisi sampai perlombaan di tingkat kampung. Sekilas kita bisa melihat perayaan ada di sekitar kita, namun beberapa pernyataan di bawah ini menunjukkan, bahwa merdeka tidak sebatas perayaan dan upacara.

“Makna kemerdekaan bagi saya adalah meneruskan perjuangan para pejuang yang membela tanah air.” (Veri Cahyono, wiraswasta)

“Kemerdekaan itu untuk pemerintah, bukan untuk kita. Itu pendapat saya. Kemerdekaan yang ada saat ini, ibarat bus, tapi sopirnya tidak bisa mengendalikan bus.” (Herlambang, Satpam kampus USD Mrican)

“Merdeka adalah momentum merawat harapan di tengah keputusasaan, mengupayakan lagi kemerdekaan manusia dari dehumanisasi tanpa perlu proklamasi.” (Sri, Pegiat Agraria)

“Merdeka itu jika kebutuhan pokok tidak naik harga, sehingga masih punya sisa uang belanja untuk merawat diri dan shopping-shopping.” (Reni Dwi Jayanti, Ibu Rumah Tangga)

“Kemerdekaan adalah belajar!” (Davian, siswa kelas 2 SD Timuran)

“Makna Kemerdekaan adalah menjadi diri sendiri dan tidak mengambil hak orang lain.” (Tiara Putri Saraswati pelajar SMK Piri)

Veri Cahyono,wiraswasta

Herlambang, SatpamKampus USD Mrican

SriPegiat Agraria

Reni Dwi JayantiIbu Rumah Tangga

Davian, SiswaKelas 2 SD Timuran

Tiara Putri SaraswatiPelajar SMK Piri

Page 11: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

10

i

malam jahanam 1 Oktober 1965 itu bukan pada individu seperti Museum Affandi. saja menjadi tapal kejatuhan Sukarno,

Tepat di situasi yang “tenang”, “stabil”, dan kehancuran PKI, dan para pemanggul “keluarga” sudah “dilindungi” ini pula lahir ideologi kiri revolusioner, tapi juga letupan-letupan kecil dalam kelambu tidur mengubur mazhab “seni kerakyatan”. Seni seni rupa Indonesia. Sebut saja Gerakan propaganda yang sifatnya kolektif selama Seni Rupa Baru tahun 1974 yang dikenal satu dekade menguasai wacana perupaan juga dengan “Desember Hitam” di Taman berganti wajah dengan seni propaganda Ismail Marzuki, Jakarta. Isu pameran yang yang lain. Sebut saja “seni individuil” diinisiasi mahasiswa-mahasiswa dari dengan stabilitas pembangunan menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI Yogyakarta, pengikatnya. Berkesenian boleh, tapi tak Sekolah Tinggi Seni Indonesia ITB, dan LPKJ diperkenankan menyerempet ke dalam Jakarta itu awalnya merupakan respons politik praktis dan mengusik stabilitas keras dari penjurian “lomba” seni lukis yang pembangunan.“itu-itu saja” dan “biasa-biasa saja”. Isu

Proyek-proyek pembangunan patung "Desember Hitam" menjadi besar lantaran monumental yang sudah berlangsung di era yang menampik seni eksperimental adalah Sukarno tetap dilanjutkan, namun mengikuti mereka yang memegang kekuasaan tatanan wacana baru; pemurnian Pancasila kesenian dan yang punya hak memegang yang dijaga tentara. Patung tentara dibikin. kendali. Harapan pernyataan “Desember Bukan saja patung Monumen Pancasila Sakti Hitam”, sebagaimana termaktub dalam lima di Lubang Buaya dibangun dengan gagah, butir, adalah diberi ruang bagi munculnya semangat yang sama juga disebarluaskan di kreativitas-kreativitas baru. Sebab mereka semua pelosok desa di seluruh Indonesia. melihat bahwa yang menghambat Artefak keseragaman seni propaganda ala perkembangan seni lukis Indonesia selama Garuda Pancasila ini masih bisa kita telisik ini adalah “konsep-konsep usang, yang dari pencarian Nanang R Hidayat di masih dianut establishment, pengusaha-Museum Garuda, Yogyakarta (Hidayat, pengusaha seni budaya dan seniman-2008). Si Tuan Besar yang tergambar dalam seniman yang sudah mapan.” Karena itu novel George Orwell 1984 bersembunyi di “Desember Hitam” datang ingin menegur belakang kepakan sayap terbuka garuda dengan mempurnawirawankan kaum untuk mengawasi seluruh keluarga di establish seni rupa. (Supangkat, 1979)Indonesia. Keluarga? Ya, sasaran utamanya

Tiga tahun berselang, apa yang terjadi di adalah kontrol pada keluarga. Maka dari itu, Jakarta itu merembet ke Yogyakarta; kota gapura “Garuda” di 80 ribu kampung sejak yang pernah jadi ruang penangkaran “seni era 80-an selalu bersanding dengan yang terlibat” dan “seni bertendens” yang “prasasti” 10 Program PKK dan patung KB terkubur tahun 1965. Pameran Pipa pada 1 (Shiraishi, 1997; Suryakusuma, 2013). Spetember 1977 adalah nota protes Sementara itu sekitar 2 juta pegawai negeri telanjang terhadap prinsip kesenian dalam dan aparatus birokrasi sejak 4 Juli 1978 pola yang mapan. Mereka menamakannya diwajibkan ikut penataran hasil Sidang "pameran proses" karena yang dipamerkan Umum MPR 1978 menyangkut Garis-garis serba tak siap. Ke-17 mahasiswa ASRI yang Besar Haluan Negara (GBHN) serta terlibat merasa bosan dengan bentuk yang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan sudah siap. Pancasila (P4).

Situasi politik seperti itu yang menyuburkan Kita tahu bahwa pada periode ini pencarian lagi berkembangnya seni abstrak yang bentuk-bentuk seni rupa yang dianggap pernah hilang sebelum katasrofa berdarah secara paling tepat mewakili representasi 1965 meletus. Situasi semacam itu pula indentitas keindonesiaan secara budaya yang melahirkan “fenomena baru” kelahiran maupun politik sudah demikian “stabil”, museum atau ruang seni yang bersandar

11MAKNAMERDEKADIANTARAKITA..

Bulan Agustus selalu disambut dengan gegap gempita oleh banyak kalangan di Indonesia. 70 tahun kemerdekaan RI menjadi tema di banyak acara, mulai dari acara televisi sampai perlombaan di tingkat kampung. Sekilas kita bisa melihat perayaan ada di sekitar kita, namun beberapa pernyataan di bawah ini menunjukkan, bahwa merdeka tidak sebatas perayaan dan upacara.

“Makna kemerdekaan bagi saya adalah meneruskan perjuangan para pejuang yang membela tanah air.” (Veri Cahyono, wiraswasta)

“Kemerdekaan itu untuk pemerintah, bukan untuk kita. Itu pendapat saya. Kemerdekaan yang ada saat ini, ibarat bus, tapi sopirnya tidak bisa mengendalikan bus.” (Herlambang, Satpam kampus USD Mrican)

“Merdeka adalah momentum merawat harapan di tengah keputusasaan, mengupayakan lagi kemerdekaan manusia dari dehumanisasi tanpa perlu proklamasi.” (Sri, Pegiat Agraria)

“Merdeka itu jika kebutuhan pokok tidak naik harga, sehingga masih punya sisa uang belanja untuk merawat diri dan shopping-shopping.” (Reni Dwi Jayanti, Ibu Rumah Tangga)

“Kemerdekaan adalah belajar!” (Davian, siswa kelas 2 SD Timuran)

“Makna Kemerdekaan adalah menjadi diri sendiri dan tidak mengambil hak orang lain.” (Tiara Putri Saraswati pelajar SMK Piri)

Veri Cahyono,wiraswasta

Herlambang, SatpamKampus USD Mrican

SriPegiat Agraria

Reni Dwi JayantiIbu Rumah Tangga

Davian, SiswaKelas 2 SD Timuran

Tiara Putri SaraswatiPelajar SMK Piri

Page 12: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

12

“teratur”, “tertata”. Gaung perdebatan di terpingit dan dijepit kekuasaan “keluarga masa sebelumnya yang mempertanyakan baik-baik”.

Dalam konteks hampir sama dengan apakah "seni lukis Indonesia ada", segera kemunculan GSRB '74 pula kita memosisikan diikuti oleh pencarian keras kepala para parade protes Binal Jogja '94. Peristiwa seni pelukis yang ingin menempatkan corak yang dikelola antara lain Dadang Christanto tertentu dalam seni lukis di Indonesia dengan salah satu bintangnya paling sebagai salah satu gaya dan corak visual bersinar Heri Dono, merupakan kritik keras utama dan gaya seni lukis dekoratiflah yang ekspresi seni dua dimensi yang “direstui” cukup subur berkembang di Yogyakarta. dalam acara dua tahunan peristiwa seni Representasi gaya ini bahkan berhasil rupa di Yogyakarta. Praktik seni instalasi memunculkan langgam khas yang dianggap yang masih “dalam proses” saat pameran sebagai salah satu puncaknya, populer Pipa '77 dan '79 termatangkan dengan dengan istilah "dekora magis". Pengkanonan hadirnya perayaan protes Binal '94 yang seni lukis di lingkungan akademis inilah yang sekaligus mengaburkan medium seni telah memicu munculnya semangat konvensional dan menjadi jalan masuk bagi pembangkangan kelompok "Pipa". lahirnya medium baru jelang alaf baru tiba.(Wiyanto, 1979)

Kembalinya Seni Pamflet: Dua Jalan di Memasuki tahun 1980-an atau masa Tembok Kotakonsolidasi kekuasaan sedang mengalami

massifikasi dengan penyeragaman ideologi Seni rupa kerakyatan memang tak pernah negara, letupan-letupan seni rupa hanya kehabisan peminat di Yogyakarta. Bukan bekerja di ranah melakukan kritik dalam saja karena di kota ini pertama kali genre lingkup seni rupa itu sendiri. Perayaan seni seni ini diproklamasikan dan diekspresikan dan politik berlangsung secara sporadis di sedemikian keras kepalanya S. Soedjojono luar kampus; namun lebih dominan dkk sejak medio dasawarsa 1930-an, bergerak dalam lingkup kampus. Efek melainkan juga imajinasi tentang seni menihilkan politik dalam kampus lewat berbasis publik diujicobakan berkali-kali program agung “NKK/BKK” tahun 1978 dengan beragam artikulasinya di masa sampai di titik ini sukses. Pembangkangan-ketika seni kontemporer menguasai jagat pembangkangan ekspresi berkesenian, berkesenian Yogyakarta. Mulai dari “kiri-biarpun muncul, sedapat mungkin tengah” seperti yang dipraksiskan Samuel dilokalisasi dalam kampus. Jika pun sampai Indratma dengan proyek Jogja Mural Forum keluar, biarlah Angkatan Darat yang (JMF) yang mengusungi jargon politik “mengurusnya”. dengan riang gembira: “revolusi Moelyono yang merupakan “alumni” dari kulonuwun” hingga “kiri-dalam/progresif” Pipa '77 dan '79 mencoba melebarkan seperti yang dipraksiskan Lembaga Budaya eksperimen berkeseniannya ke luar kampus Kerakyatan Taring Padi dengan tangan dengan membawa bendera “seni rupa terkepal meninju langit yang bersemangat penyadaran”. Ia mencoba sekuat yang bisa “revolusi belum selesai” sebagaimana dilakukan untuk menyatakan bahwa “seni dipraktikkan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang terlibat” adalah menyatunya seniman (Lekra) puluhan tahun sebelumnya.dan masyarakat dalam sebuah kerja

bersama. Apa yang dilakukan Moelyono Imaji tentang posisi gerak seni Taring Padi sedikit demi sedikit mengeluarkan seni rupa yang bersandar pada kerja Lekra itu sudah dari dinding kampus ke lingkup pedesaan. tercium sejak pertama kali dideklarasikan Walau atas nama kerja individu dan bukan pada 2 Desember 1998 di LBH Yogyakarta kolektif, sikap berkesenian Moelyono itu oleh Yustoni Volunteero dkk, sejak dalam bisa kita catat sebagai sebuah pernyataan proses menamai manifesto politik penting bahwa mesti berani mengatakan berkeseniannya dengan “Mukadimah” dan “tidak” pada kehidupan berkesenian yang judul selebaran propaganda tentang siapa

13

musuh yang harus ditonjok: “Lima Iblis Budaya”.Dalam genealogi sejarah seni rupa kritis pasca Orde Baru, tak bisa dibantah bahwa Taring Padi adalah “pewaris sah” imajinasi seni rupa seniman Lembaga seni Rupa (Lesrupa/Lekra) yang terakhir kalinya mengadakan sidang pleno pada Juli 1965 dan semua program-program seni kerakyatannya sungsang oleh prahara “Gestok”.

Taring Padi dalam posisi ini tak boleh dicibir sebagai “cah nakal” ISI lantaran kemunculan mereka dengan posisi tegas dan imajinasi sejarah yang juga tak kalah tegasnya. Heidi Arbuckle (2010) dalam kajian antropologisnya dengan sangat baik membantu kita melihat detail-detail sikap berkesenian Taring Padi pada tiga tahun awal berdirinya. Bahkan hingga pada amatan kehidupan sehari-hari aktivisnya: “di bekas kampus ASRI, Gampingan, Yogyakarta… mereka berbagi tugas-tugas harian seperti memasak, mencuci, dan merawat kebun sayur swadaya”.

Menurut Doktor lulusan Universitas Melbourne Australia ini dalam pengorganisasian seninya, Taring Padi tak sementereng Lekra, dan bahkan jika dibandingkan dengan Sanggar Bumi Tarung sekalipun. Ini disebabkan karena Taring Padi sama sekali tak memiliki akses atau patron negara dan partai seperti yang dimiliki pendahulunya. Untuk mempraktikkan produksi seni ber”komitmen sosial”, Taring Padi hanya mengandalkan jejaring budaya kiri-progresif yang terpecah-pecah. Tanda tangan desember hitam

gerakgeraksenirupa.wordpress.com

Page 13: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

12

“teratur”, “tertata”. Gaung perdebatan di terpingit dan dijepit kekuasaan “keluarga masa sebelumnya yang mempertanyakan baik-baik”.

Dalam konteks hampir sama dengan apakah "seni lukis Indonesia ada", segera kemunculan GSRB '74 pula kita memosisikan diikuti oleh pencarian keras kepala para parade protes Binal Jogja '94. Peristiwa seni pelukis yang ingin menempatkan corak yang dikelola antara lain Dadang Christanto tertentu dalam seni lukis di Indonesia dengan salah satu bintangnya paling sebagai salah satu gaya dan corak visual bersinar Heri Dono, merupakan kritik keras utama dan gaya seni lukis dekoratiflah yang ekspresi seni dua dimensi yang “direstui” cukup subur berkembang di Yogyakarta. dalam acara dua tahunan peristiwa seni Representasi gaya ini bahkan berhasil rupa di Yogyakarta. Praktik seni instalasi memunculkan langgam khas yang dianggap yang masih “dalam proses” saat pameran sebagai salah satu puncaknya, populer Pipa '77 dan '79 termatangkan dengan dengan istilah "dekora magis". Pengkanonan hadirnya perayaan protes Binal '94 yang seni lukis di lingkungan akademis inilah yang sekaligus mengaburkan medium seni telah memicu munculnya semangat konvensional dan menjadi jalan masuk bagi pembangkangan kelompok "Pipa". lahirnya medium baru jelang alaf baru tiba.(Wiyanto, 1979)

Kembalinya Seni Pamflet: Dua Jalan di Memasuki tahun 1980-an atau masa Tembok Kotakonsolidasi kekuasaan sedang mengalami

massifikasi dengan penyeragaman ideologi Seni rupa kerakyatan memang tak pernah negara, letupan-letupan seni rupa hanya kehabisan peminat di Yogyakarta. Bukan bekerja di ranah melakukan kritik dalam saja karena di kota ini pertama kali genre lingkup seni rupa itu sendiri. Perayaan seni seni ini diproklamasikan dan diekspresikan dan politik berlangsung secara sporadis di sedemikian keras kepalanya S. Soedjojono luar kampus; namun lebih dominan dkk sejak medio dasawarsa 1930-an, bergerak dalam lingkup kampus. Efek melainkan juga imajinasi tentang seni menihilkan politik dalam kampus lewat berbasis publik diujicobakan berkali-kali program agung “NKK/BKK” tahun 1978 dengan beragam artikulasinya di masa sampai di titik ini sukses. Pembangkangan-ketika seni kontemporer menguasai jagat pembangkangan ekspresi berkesenian, berkesenian Yogyakarta. Mulai dari “kiri-biarpun muncul, sedapat mungkin tengah” seperti yang dipraksiskan Samuel dilokalisasi dalam kampus. Jika pun sampai Indratma dengan proyek Jogja Mural Forum keluar, biarlah Angkatan Darat yang (JMF) yang mengusungi jargon politik “mengurusnya”. dengan riang gembira: “revolusi Moelyono yang merupakan “alumni” dari kulonuwun” hingga “kiri-dalam/progresif” Pipa '77 dan '79 mencoba melebarkan seperti yang dipraksiskan Lembaga Budaya eksperimen berkeseniannya ke luar kampus Kerakyatan Taring Padi dengan tangan dengan membawa bendera “seni rupa terkepal meninju langit yang bersemangat penyadaran”. Ia mencoba sekuat yang bisa “revolusi belum selesai” sebagaimana dilakukan untuk menyatakan bahwa “seni dipraktikkan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang terlibat” adalah menyatunya seniman (Lekra) puluhan tahun sebelumnya.dan masyarakat dalam sebuah kerja

bersama. Apa yang dilakukan Moelyono Imaji tentang posisi gerak seni Taring Padi sedikit demi sedikit mengeluarkan seni rupa yang bersandar pada kerja Lekra itu sudah dari dinding kampus ke lingkup pedesaan. tercium sejak pertama kali dideklarasikan Walau atas nama kerja individu dan bukan pada 2 Desember 1998 di LBH Yogyakarta kolektif, sikap berkesenian Moelyono itu oleh Yustoni Volunteero dkk, sejak dalam bisa kita catat sebagai sebuah pernyataan proses menamai manifesto politik penting bahwa mesti berani mengatakan berkeseniannya dengan “Mukadimah” dan “tidak” pada kehidupan berkesenian yang judul selebaran propaganda tentang siapa

13

musuh yang harus ditonjok: “Lima Iblis Budaya”.Dalam genealogi sejarah seni rupa kritis pasca Orde Baru, tak bisa dibantah bahwa Taring Padi adalah “pewaris sah” imajinasi seni rupa seniman Lembaga seni Rupa (Lesrupa/Lekra) yang terakhir kalinya mengadakan sidang pleno pada Juli 1965 dan semua program-program seni kerakyatannya sungsang oleh prahara “Gestok”.

Taring Padi dalam posisi ini tak boleh dicibir sebagai “cah nakal” ISI lantaran kemunculan mereka dengan posisi tegas dan imajinasi sejarah yang juga tak kalah tegasnya. Heidi Arbuckle (2010) dalam kajian antropologisnya dengan sangat baik membantu kita melihat detail-detail sikap berkesenian Taring Padi pada tiga tahun awal berdirinya. Bahkan hingga pada amatan kehidupan sehari-hari aktivisnya: “di bekas kampus ASRI, Gampingan, Yogyakarta… mereka berbagi tugas-tugas harian seperti memasak, mencuci, dan merawat kebun sayur swadaya”.

Menurut Doktor lulusan Universitas Melbourne Australia ini dalam pengorganisasian seninya, Taring Padi tak sementereng Lekra, dan bahkan jika dibandingkan dengan Sanggar Bumi Tarung sekalipun. Ini disebabkan karena Taring Padi sama sekali tak memiliki akses atau patron negara dan partai seperti yang dimiliki pendahulunya. Untuk mempraktikkan produksi seni ber”komitmen sosial”, Taring Padi hanya mengandalkan jejaring budaya kiri-progresif yang terpecah-pecah. Tanda tangan desember hitam

gerakgeraksenirupa.wordpress.com

Page 14: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

14

Kepada jaringan nirnegara dan partai politik itulah Taring Padi mendesakkan praksis berkeseniannya yang berangkat pada “kesadaran populer” dan pentingnya “berpihak kepada rakyat” (bandingkan dengan kata “rakyat” yang dipakai Taring Padi, sementara Apotik Komik dan JMF yang justru lebih “nyaman dan baik-baik saja” memakai kata “publik”).

Taring Padi sangat sadar bahwa “seni untuk rakyat” adalah gabungan yang konsisten antara karya yang politis dan tindakan yang politis. Yang diutamakan dari teori progresif anutan Taring Padi ini adalah implikasi politik, bukan implikasi estetiknya. Lantaran itu kita menemukan teknik memproduksi karya Taring Padi sebangun dengan sikap-sikap itu. Selain mengabaikan penonjolan individu, kebanyakan karya rupa Taring Padi berupa baliho atau spanduk, poster cukil-kayu, figur-figur wayang, dan selebaran populer Terompet Rakyat yang terbit berkesinambungan di mana kerja-kerja itu lebih menonjolkan kerja kolektivitas dan propaganda yang “berimplikasi politik”.

Turba atau “turun ke bawah” kemudian menjadi kata kunci berkarya. Turba yang ditafsir Taring Padi adalah menggelar aksi-aksi bersama. Bukan hanya bersama organisasi mahasiswa dalam kasus pembakaran patung Soeharto 1998 dan aksi keranda kematian bagi Soeharto-Habibie-Wiranto 1999; berbaur dengan kelompok musik marjinal dalam aksi “Proklamasi Kemanusiaan”, bareng LSM internasional dalam Konferensi Asia Pasifik; melainkan juga menggelar Festival Memedi Sawah di areal persawahan petani Delanggu dan aksi protes

“Pernyataan Desember”

hitamgerakgeraksenirupa.wordpress

.com

15

penggunaan pestisida petani Magelang dan Boyolali atau yang paling mutakhir bergabung dengan rakyat Gunung Kidul memprotes penambangan pasir besi.

Dalam aksi-aksi itu, poster dan baliho Taring Padi menjadi demikian menonjol. Tak hanya besarnya ukuran, massalnya produksi, tapi juga kata-kata sarkas yang meninju. Bahkan, salah satu karya para perupa Taring Padi yang saya kira bisa menjadi ikon seni rupa adalah baliho berukuran raksasa petani berdiri berjajar-jajar yang menjadi latar pertemuan Konferensi Asia Pasifik pada 1999. Usai pagelaran kelompok anti imperialisme dari pelbagai ornop itu, karya ini dipotong-potong dan dibagikan kepada peserta asing yang mengikuti konferensi itu. Ritus upacara “pelenyapan karya politis untuk tindakan politis” atas karya itu sikap luar biasa, dan bahkan tak setara jika dibandingkan dengan perupa Tisna Sanjaya misalnya yang pada penutupan tahun 2009 membakar karyanya sendiri untuk dilarung di pantai Klungkung Bali.

Memang, ada pergeseran prinsip kemudian saat Taring Padi mengarungi politik liberal sejak Bapak Soeharto tumbang. Mulanya, Taring Padi meneguhkan pendirian bahwa mereka menentang secara muka-muka dengan galeri-galeri komersil seperti Cemeti Art House dan kelompok Apotik Komik. Taring Padi juga berpendirian bahwa karya-karya “asli” mereka seperti baliho dan wayang sama sekali tak boleh dijual. Yang boleh dijual—itu pun secara loakan dan bukan distro mapan dan resik—hanyalah karya yang mudah direproduksi seperti cukil berbentuk poster, stiker, pin, kaos, dan semua-mua yang bersifat cinderamata.

Tapi politik liberalisme yang membuai membuat Taring Padi melonggarkan prinsip-prinsip yang dibuatnya. Para pendirinya (sudah) boleh berpameran di galeri-galeri yang dikutuknya. Juga (sudah) si setan imperialisme yang berzirah Ford Foundation boleh menjadi sponsor buku sejarah lengkap yang memuat perjalanan panjang berkesenian Taring Padi.

Pada saat posisi Taring Padi bergeser, posisi seni yang dipundaki Jogja Mural Forum dan Apotik Komik mendapat tempat di dinding-dinding kota. Makin membesarnya pewacanaan street art memiliki persinggungan dengan semangat yang dibangun JMF; bukan saja merebut ruang publik (baca: tembok kota), namun juga membangun simpul-simpul komunitas yang memiliki komitmen yang sama lewat anugerah media sosial pemberian abad 21.

Sebagaimana di era liberalisme pertama (50-an), sejak 2014 hubungan seni(man) dan politik melentur dan bahkan berada dalam satu meja jamuan makan dengan tertawa sebebasnya. Hubungannya tak lagi semerunduk di era ketika politik “keluarga baik-baik berkuasa” atau menjaga “jarak” sebelum lonceng perhelatan Pemilu 2014 dibunyikan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Page 15: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

14

Kepada jaringan nirnegara dan partai politik itulah Taring Padi mendesakkan praksis berkeseniannya yang berangkat pada “kesadaran populer” dan pentingnya “berpihak kepada rakyat” (bandingkan dengan kata “rakyat” yang dipakai Taring Padi, sementara Apotik Komik dan JMF yang justru lebih “nyaman dan baik-baik saja” memakai kata “publik”).

Taring Padi sangat sadar bahwa “seni untuk rakyat” adalah gabungan yang konsisten antara karya yang politis dan tindakan yang politis. Yang diutamakan dari teori progresif anutan Taring Padi ini adalah implikasi politik, bukan implikasi estetiknya. Lantaran itu kita menemukan teknik memproduksi karya Taring Padi sebangun dengan sikap-sikap itu. Selain mengabaikan penonjolan individu, kebanyakan karya rupa Taring Padi berupa baliho atau spanduk, poster cukil-kayu, figur-figur wayang, dan selebaran populer Terompet Rakyat yang terbit berkesinambungan di mana kerja-kerja itu lebih menonjolkan kerja kolektivitas dan propaganda yang “berimplikasi politik”.

Turba atau “turun ke bawah” kemudian menjadi kata kunci berkarya. Turba yang ditafsir Taring Padi adalah menggelar aksi-aksi bersama. Bukan hanya bersama organisasi mahasiswa dalam kasus pembakaran patung Soeharto 1998 dan aksi keranda kematian bagi Soeharto-Habibie-Wiranto 1999; berbaur dengan kelompok musik marjinal dalam aksi “Proklamasi Kemanusiaan”, bareng LSM internasional dalam Konferensi Asia Pasifik; melainkan juga menggelar Festival Memedi Sawah di areal persawahan petani Delanggu dan aksi protes

“Pernyataan Desember”

hitamgerakgeraksenirupa.wordpress

.com

15

penggunaan pestisida petani Magelang dan Boyolali atau yang paling mutakhir bergabung dengan rakyat Gunung Kidul memprotes penambangan pasir besi.

Dalam aksi-aksi itu, poster dan baliho Taring Padi menjadi demikian menonjol. Tak hanya besarnya ukuran, massalnya produksi, tapi juga kata-kata sarkas yang meninju. Bahkan, salah satu karya para perupa Taring Padi yang saya kira bisa menjadi ikon seni rupa adalah baliho berukuran raksasa petani berdiri berjajar-jajar yang menjadi latar pertemuan Konferensi Asia Pasifik pada 1999. Usai pagelaran kelompok anti imperialisme dari pelbagai ornop itu, karya ini dipotong-potong dan dibagikan kepada peserta asing yang mengikuti konferensi itu. Ritus upacara “pelenyapan karya politis untuk tindakan politis” atas karya itu sikap luar biasa, dan bahkan tak setara jika dibandingkan dengan perupa Tisna Sanjaya misalnya yang pada penutupan tahun 2009 membakar karyanya sendiri untuk dilarung di pantai Klungkung Bali.

Memang, ada pergeseran prinsip kemudian saat Taring Padi mengarungi politik liberal sejak Bapak Soeharto tumbang. Mulanya, Taring Padi meneguhkan pendirian bahwa mereka menentang secara muka-muka dengan galeri-galeri komersil seperti Cemeti Art House dan kelompok Apotik Komik. Taring Padi juga berpendirian bahwa karya-karya “asli” mereka seperti baliho dan wayang sama sekali tak boleh dijual. Yang boleh dijual—itu pun secara loakan dan bukan distro mapan dan resik—hanyalah karya yang mudah direproduksi seperti cukil berbentuk poster, stiker, pin, kaos, dan semua-mua yang bersifat cinderamata.

Tapi politik liberalisme yang membuai membuat Taring Padi melonggarkan prinsip-prinsip yang dibuatnya. Para pendirinya (sudah) boleh berpameran di galeri-galeri yang dikutuknya. Juga (sudah) si setan imperialisme yang berzirah Ford Foundation boleh menjadi sponsor buku sejarah lengkap yang memuat perjalanan panjang berkesenian Taring Padi.

Pada saat posisi Taring Padi bergeser, posisi seni yang dipundaki Jogja Mural Forum dan Apotik Komik mendapat tempat di dinding-dinding kota. Makin membesarnya pewacanaan street art memiliki persinggungan dengan semangat yang dibangun JMF; bukan saja merebut ruang publik (baca: tembok kota), namun juga membangun simpul-simpul komunitas yang memiliki komitmen yang sama lewat anugerah media sosial pemberian abad 21.

Sebagaimana di era liberalisme pertama (50-an), sejak 2014 hubungan seni(man) dan politik melentur dan bahkan berada dalam satu meja jamuan makan dengan tertawa sebebasnya. Hubungannya tak lagi semerunduk di era ketika politik “keluarga baik-baik berkuasa” atau menjaga “jarak” sebelum lonceng perhelatan Pemilu 2014 dibunyikan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Page 16: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

16

SENI DAN PROPAGANDAPADA ZAMAN JEPANG

Antariksa, peneliti pada KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta.Karya terbarunya Art Collectivism in the Japanese-Occupied Indonesia

akan terbit tahun depan (Fukuoka: Kyushu University Press, musim panas 2016).

Selama Perang Asia Pasifik (1937-1945) pemerintah Jepang menjalankan beragam taktik guna memobilisasi manusia dan sumber daya material bagi kampanye militer dalam skala yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Jepang. Organisasi-organisasi kedaerahan, asosiasi profesi, dan unit-unit baru yang memungkinkan mobilisasi bantuan dan keterlibatan warga dalam perang didirikan. Seni juga dilibatkan dalam proyek ini. Organisasi-organisasi seni di Jepang, yang merupakan alat penting dalam memenuhi kepentingan seniman dan menghidupkan dunia seni, kini menjadi alat penting dalam melayani proyek negara, dan pada saat yang sama organisasi-organisasi seni baru yang bersifat patriotik juga tumbuh menjawab keadaan darurat negara yang diciptakan oleh militer.

Situasi yang sama juga terjadi di negara-negara yang dikuasi Jepang. Di Indonesia, kedatangan Jepang berlangsung relatif

Saseo Ono “Barisan

Propaganda Bekerdja”, 1945

(Koempolan Gambar-Gambar

Ono Saseodalam Mengikoeti

Perang di Djawa. Sendenbu &

Djawa Shimbun Sha, 1945).

17

damai dan disambut orang Indonesia (pelukis), dan Ryōhei Koiso (pelukis).Ada beberapa alasan mengapa seniman-dengan suka cita, karena ada anggapan seniman terkemuka ini terlibat dalam umum bahwa Jepang akan membebaskan proyek propaganda perang Jepang. Di Indonesia dari penjajahan Belanda.Indonesia, keberhasilan Jepang

Segera setelah berhasil menguasai bernegosiasi dengan Sukarno, dan Sumatera dan Jawa pada bulan Februari kemudian melibatkan Sukarno serta tokoh dan Maret 1942, Jepang meluncurkan politik kunci Indonesia lainnya dalam proyek propagandanya yang pertama organisasi-organisasi propaganda Jepang, (Tiga A: Jepang Pemimpin Asia, Jepang tampaknya merupakan salah satu alasan Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia) bergabungnya para seniman dalam dan membentuk Departemen Propaganda proyek perang Jepang. (Sendenbu). Organisasi-organisasi

Paksaan dan ancaman bukannya sama propaganda lebih khusus yang bergerak sekali tidak digunakan. Contohnya, Di melalui radio, film, surat kabar, dan seni Jepang dua tokoh surealis Jepang menyusul dibentuk, beberapa di Takiguchi Shūzō and Fukuzawa Ichirō antaranya adalah Jawa Hōsō Kanrikoru ditangkap pemerintah pada 1941 dengan (Biro Pengawas Siaran Jawa), Jawa tuduhan terlibat komunisme. Tekanan Shinbunkai (Perusahaan Surat Kabar terhadap organisasi yang mereka pimpin, Jawa), Nihon Eigasha Nichi'ei (Perusahaan Bijutsu Bunka Kyōkai (Perkumpulan Seni Film Jepang), dan Jawa Engeki Kyōkai Rupa dan Budaya), baru mereda ketika (Perserikatan Usaha Sandiwara Jawa). Dua para anggotanya menyatakan akan organisasi lain dengan skala mobilisasi mengubah panduan artistik mereka dan yang lebih luas dibentuk pada 1943: akan bertindak lebih aktif dalam program-PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dan Keimin program kerjasama dengan pemerintah.Bunka Shidōsho (Institut Pemandu

Pendidikan dan Budaya Rakyat, atau Studi Sakouchi Yūji tentang material seni disebut juga Pusat Kebudayaan).pada masa perang yang dimuat di jurnal Kindai gasetsu (No. 13, Februari 2004) Para ahli, penulis, dan seniman terkemuka juga memberikan penjelasan baru soal Indonesia terlibat di dalam organisasi-keterlibatan para seniman pada proyek organisasi tersebut, misalnya Affandi, perang. Masa paling berat bagi para Sudjojono, Agus Djajasoentara, Oto seniman di Jepang adalah pada 1941, Djajasoeminta, Barli, Hendra Gunawan, yaitu ketika material seni sedemikian Emiria Soenasa, Basuki Abdullah, Oetojo, terbatas, disebabkan oleh sanksi ekonomi dan Armijn Pane (dokumen Jawa atas Jepang dijatuhkan Amerika Serikat Gunseikanbu [Departemen Pemerintahan dan sekutunya. Sejak 1941, para pelukis Militer Jepang di Jawa] menyebut 26 cat minyak atau yōga (lukisan gaya Barat) nama seniman terkemuka yang terlibat hanya bisa mendapatkan kanvas dan cat dalam proyek perang Jepang di Jawa). minyak berkualitas rendah, sementara Mereka ini bekerja bersama lebih dari 100 pelukis gaya tradisional Jepang atau orang ahli dan profesional terkemuka dari Nihonga juga menderita lantaran Jepang yang dikirim untuk tinggal dan keterbatasan pasokan kain sutra, emas bekerja di Indonesia, misalnyaTakashi dan pigmen mineral. Dalam situasi tidak Kono (desainer grafis), Rintaro Takeda menentu ini, keterlibatan dalam proyek (sastrawan), Seizen Minami (pelukis), perang menjadi salah satu alat paling Saseo Ono (karikaturis), Sōichi Ōya menjanjikan bagi para seniman untuk bisa (penulis, wartawan), Eitarō Hinatsu mendapatkan meterial seni. Dalam (sutradara film), Miyamoto Saburo

Page 17: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

16

SENI DAN PROPAGANDAPADA ZAMAN JEPANG

Antariksa, peneliti pada KUNCI Cultural Studies Center, Yogyakarta.Karya terbarunya Art Collectivism in the Japanese-Occupied Indonesia

akan terbit tahun depan (Fukuoka: Kyushu University Press, musim panas 2016).

Selama Perang Asia Pasifik (1937-1945) pemerintah Jepang menjalankan beragam taktik guna memobilisasi manusia dan sumber daya material bagi kampanye militer dalam skala yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Jepang. Organisasi-organisasi kedaerahan, asosiasi profesi, dan unit-unit baru yang memungkinkan mobilisasi bantuan dan keterlibatan warga dalam perang didirikan. Seni juga dilibatkan dalam proyek ini. Organisasi-organisasi seni di Jepang, yang merupakan alat penting dalam memenuhi kepentingan seniman dan menghidupkan dunia seni, kini menjadi alat penting dalam melayani proyek negara, dan pada saat yang sama organisasi-organisasi seni baru yang bersifat patriotik juga tumbuh menjawab keadaan darurat negara yang diciptakan oleh militer.

Situasi yang sama juga terjadi di negara-negara yang dikuasi Jepang. Di Indonesia, kedatangan Jepang berlangsung relatif

Saseo Ono “Barisan

Propaganda Bekerdja”, 1945

(Koempolan Gambar-Gambar

Ono Saseodalam Mengikoeti

Perang di Djawa. Sendenbu &

Djawa Shimbun Sha, 1945).

17

damai dan disambut orang Indonesia (pelukis), dan Ryōhei Koiso (pelukis).Ada beberapa alasan mengapa seniman-dengan suka cita, karena ada anggapan seniman terkemuka ini terlibat dalam umum bahwa Jepang akan membebaskan proyek propaganda perang Jepang. Di Indonesia dari penjajahan Belanda.Indonesia, keberhasilan Jepang

Segera setelah berhasil menguasai bernegosiasi dengan Sukarno, dan Sumatera dan Jawa pada bulan Februari kemudian melibatkan Sukarno serta tokoh dan Maret 1942, Jepang meluncurkan politik kunci Indonesia lainnya dalam proyek propagandanya yang pertama organisasi-organisasi propaganda Jepang, (Tiga A: Jepang Pemimpin Asia, Jepang tampaknya merupakan salah satu alasan Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia) bergabungnya para seniman dalam dan membentuk Departemen Propaganda proyek perang Jepang. (Sendenbu). Organisasi-organisasi

Paksaan dan ancaman bukannya sama propaganda lebih khusus yang bergerak sekali tidak digunakan. Contohnya, Di melalui radio, film, surat kabar, dan seni Jepang dua tokoh surealis Jepang menyusul dibentuk, beberapa di Takiguchi Shūzō and Fukuzawa Ichirō antaranya adalah Jawa Hōsō Kanrikoru ditangkap pemerintah pada 1941 dengan (Biro Pengawas Siaran Jawa), Jawa tuduhan terlibat komunisme. Tekanan Shinbunkai (Perusahaan Surat Kabar terhadap organisasi yang mereka pimpin, Jawa), Nihon Eigasha Nichi'ei (Perusahaan Bijutsu Bunka Kyōkai (Perkumpulan Seni Film Jepang), dan Jawa Engeki Kyōkai Rupa dan Budaya), baru mereda ketika (Perserikatan Usaha Sandiwara Jawa). Dua para anggotanya menyatakan akan organisasi lain dengan skala mobilisasi mengubah panduan artistik mereka dan yang lebih luas dibentuk pada 1943: akan bertindak lebih aktif dalam program-PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dan Keimin program kerjasama dengan pemerintah.Bunka Shidōsho (Institut Pemandu

Pendidikan dan Budaya Rakyat, atau Studi Sakouchi Yūji tentang material seni disebut juga Pusat Kebudayaan).pada masa perang yang dimuat di jurnal Kindai gasetsu (No. 13, Februari 2004) Para ahli, penulis, dan seniman terkemuka juga memberikan penjelasan baru soal Indonesia terlibat di dalam organisasi-keterlibatan para seniman pada proyek organisasi tersebut, misalnya Affandi, perang. Masa paling berat bagi para Sudjojono, Agus Djajasoentara, Oto seniman di Jepang adalah pada 1941, Djajasoeminta, Barli, Hendra Gunawan, yaitu ketika material seni sedemikian Emiria Soenasa, Basuki Abdullah, Oetojo, terbatas, disebabkan oleh sanksi ekonomi dan Armijn Pane (dokumen Jawa atas Jepang dijatuhkan Amerika Serikat Gunseikanbu [Departemen Pemerintahan dan sekutunya. Sejak 1941, para pelukis Militer Jepang di Jawa] menyebut 26 cat minyak atau yōga (lukisan gaya Barat) nama seniman terkemuka yang terlibat hanya bisa mendapatkan kanvas dan cat dalam proyek perang Jepang di Jawa). minyak berkualitas rendah, sementara Mereka ini bekerja bersama lebih dari 100 pelukis gaya tradisional Jepang atau orang ahli dan profesional terkemuka dari Nihonga juga menderita lantaran Jepang yang dikirim untuk tinggal dan keterbatasan pasokan kain sutra, emas bekerja di Indonesia, misalnyaTakashi dan pigmen mineral. Dalam situasi tidak Kono (desainer grafis), Rintaro Takeda menentu ini, keterlibatan dalam proyek (sastrawan), Seizen Minami (pelukis), perang menjadi salah satu alat paling Saseo Ono (karikaturis), Sōichi Ōya menjanjikan bagi para seniman untuk bisa (penulis, wartawan), Eitarō Hinatsu mendapatkan meterial seni. Dalam (sutradara film), Miyamoto Saburo

Page 18: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

18

upayanya mendapatkan pasokan material seni dari pemerintah, para seniman terlibat dalam tawar-menawar kolektif, menunjukkan dukungan mereka pada perang melalui penyelenggaraan pameran-pameran patriotis dan menyumbangkan karya seni kepada intitusi-institusi militer.

Di Indonesia, Jepang menyediakan cat minyak, kanvas, studio, dan bahkan model secara cuma-cuma bagi seniman Indonesia yang bergabung dengan proyek Jepang. Kursus-kursus melukis bersama guru-guru Jepang dan pelukis terkemuka Indonesia diselenggarakan di berbagai kota. Begitu juga pameran, lomba, dan pemberian penghargaan. Semua keistimewaan dan kemewahan itu, yang selama masa pendudukan Belanda hanya bisa dinikmati oleh seniman dan kelompok teratas dalam masyarakat, kini bisa diperoleh cuma-cuma. Tidak mengherankan bahwa selama periode singkat pendudukan Jepang, terjadi ledakan jumlah seniman di Indonesia.

Dari para seniman Jepang, seniman Indonesia juga mempelajari banyak gaya dan teknik baru dalam membuat karya seni. Saseo Ono umpamanya, memperkenalkan mural kepada seniman-seniman Indonesia. Pada bulan Maret 1942, tiga hari setelah mendarat di Jawa, dia membuat mural “Bersatulah Bangsa Asia” di Serang, Banten. Saseo juga

Mural karya Saseo Ono di Serang,

Banten, 1942 (arsip koleksi Kosei

Ono).

19

Saburo Miyamoto“Surprise Attack of Naval

Paratroops at Manado” 1943, cat minyak di atas

kanvas, 189 x 297 cm (National Museum of Modern

Art, Tokyo).

mendorong seniman-seniman Indonesia untuk belajar membuat sketsa cepat di luar ruangan, memperkenalkan teknik animasi stop motion (misalnya dalam film berita tentang propaganda menabung, 1943) dan juga teknik pembuatan film boneka (Pak Kromo, 1943). Contoh lainnya adalah Takashi Kono. Selain menjadi pengarah desain untuk sejumlah media massa di Indonesia, dia juga memperkenalkan teknik kolase dan montase pada desain dan fotografi kepada seniman-seniman Indonesia.

Di luar alasan-alasan itu, cukup banyak pula profesional dan seniman yang bergabung dengan proyek perang Jepang secara sukarela, yaitu kelompok yang percaya kepada cita-cita perang: menyatukan dan memodernkan Asia adalah tugas mulia Jepang yang harus dicapai. Tidak jarang mereka membiayai sendiri perjalanan mereka ke negara-negara dudukan Jepang, dan memilih menetap bahkan ketika Jepang telah menyerah. Contohnya Mabuchi Itsuo dan Eitarō Hinatsu.

Mabuchi adalah salah satu figur penting dalam propaganda perang Jepang. Dia anggota pasukan intelejen Jepang di China. Sejak 1937 dia mengendalikan propaganda sipil dan militer Jepang di China, dan sejak 1938 dia juga bekerja sebagai penulis dan wartawan. Pada akhir perang dia dikirim ke

Page 19: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

18

upayanya mendapatkan pasokan material seni dari pemerintah, para seniman terlibat dalam tawar-menawar kolektif, menunjukkan dukungan mereka pada perang melalui penyelenggaraan pameran-pameran patriotis dan menyumbangkan karya seni kepada intitusi-institusi militer.

Di Indonesia, Jepang menyediakan cat minyak, kanvas, studio, dan bahkan model secara cuma-cuma bagi seniman Indonesia yang bergabung dengan proyek Jepang. Kursus-kursus melukis bersama guru-guru Jepang dan pelukis terkemuka Indonesia diselenggarakan di berbagai kota. Begitu juga pameran, lomba, dan pemberian penghargaan. Semua keistimewaan dan kemewahan itu, yang selama masa pendudukan Belanda hanya bisa dinikmati oleh seniman dan kelompok teratas dalam masyarakat, kini bisa diperoleh cuma-cuma. Tidak mengherankan bahwa selama periode singkat pendudukan Jepang, terjadi ledakan jumlah seniman di Indonesia.

Dari para seniman Jepang, seniman Indonesia juga mempelajari banyak gaya dan teknik baru dalam membuat karya seni. Saseo Ono umpamanya, memperkenalkan mural kepada seniman-seniman Indonesia. Pada bulan Maret 1942, tiga hari setelah mendarat di Jawa, dia membuat mural “Bersatulah Bangsa Asia” di Serang, Banten. Saseo juga

Mural karya Saseo Ono di Serang,

Banten, 1942 (arsip koleksi Kosei

Ono).

19

Saburo Miyamoto“Surprise Attack of Naval

Paratroops at Manado” 1943, cat minyak di atas

kanvas, 189 x 297 cm (National Museum of Modern

Art, Tokyo).

mendorong seniman-seniman Indonesia untuk belajar membuat sketsa cepat di luar ruangan, memperkenalkan teknik animasi stop motion (misalnya dalam film berita tentang propaganda menabung, 1943) dan juga teknik pembuatan film boneka (Pak Kromo, 1943). Contoh lainnya adalah Takashi Kono. Selain menjadi pengarah desain untuk sejumlah media massa di Indonesia, dia juga memperkenalkan teknik kolase dan montase pada desain dan fotografi kepada seniman-seniman Indonesia.

Di luar alasan-alasan itu, cukup banyak pula profesional dan seniman yang bergabung dengan proyek perang Jepang secara sukarela, yaitu kelompok yang percaya kepada cita-cita perang: menyatukan dan memodernkan Asia adalah tugas mulia Jepang yang harus dicapai. Tidak jarang mereka membiayai sendiri perjalanan mereka ke negara-negara dudukan Jepang, dan memilih menetap bahkan ketika Jepang telah menyerah. Contohnya Mabuchi Itsuo dan Eitarō Hinatsu.

Mabuchi adalah salah satu figur penting dalam propaganda perang Jepang. Dia anggota pasukan intelejen Jepang di China. Sejak 1937 dia mengendalikan propaganda sipil dan militer Jepang di China, dan sejak 1938 dia juga bekerja sebagai penulis dan wartawan. Pada akhir perang dia dikirim ke

Page 20: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

20

Indonesia untuk membantu merancang Indonesia. Akan tetapi hal itu tidak perlu aktivitas propaganda. Ketika Jepang dibesar-besarkan dan mesti diletakkan menyerah, Mabuchi memilih menetap di pada konteksnya. Propaganda Jepang bisa Indonesia dan bekerja bersama tentara bekerja secara efektif bukan saja karena ia Indonesia dalam perang melawan bisa menyampaikan pesan yang tepat pasukan Sekutu. Eitarō Hinatsu juga kepada masyarakat, melainkan juga memilih menetap di Indonesia setelah seringkali propaganda itu berasal dari Jepang menyerah. Dia tetap berkarya masyarakat (dalam teori propaganda sebagai sutradara film dan drama, dan Jepang, sifat ini disebut minshin haaku, menggunakan nama Indonesia Dr. propaganda yang bisa merengkuh hati Huyung. Dia menetap di Yogyakarta, dan jiwa masyarakat).mendirikan Cine Drama Institut pada 1948 dan Stichting Hiburan Mataram Di Jepang, pada masa perang, proposal pada 1949. dan saran untuk meningkatkan mutu

produk propaganda datang dari segala Beragamnya alasan keterlibatan seniman penjuru negeri, dan dari segala jenis pada proyek perang menunjukkan organisasi. Agen-agen periklanan dan kerumitan hubungan seni dan rumah produksi swasta menghujani propaganda, berbeda dengan pemerintah dan militer dengan proposal pemahaman Barat yang cenderung untuk membantu mereka membuat menyederhanakan, melihat negatif propaganda yang lebih baik dan hubungan propaganda dan seni, dan menaikkan tingkat mobilisasi massa. cenderung melihatnya sebagai mesin Tanpa mengesampingkan adanya yang bergerak satu arah: yang pertama gerakan-gerakan bawah tanah mengendalikan yang kedua, propaganda perlawanan terhadap Jepang di perang menguasai seni sepenuhnya. Indonesia, inisiatif propaganda yang

berasal dari masyarakat juga merebak di Pemahaman negatif atas hubungan seni seluruh penjuru negeri.dan propaganda yang sebenarnya baru terbentuk sejak dimulainya Perang Dunia Seni dan propaganda pada masa II itu—yang terutama dibentuk oleh pendudukan Jepang di Indonesia bisa militer Amerika Serikat—gagal melihat dikatakan berada dalam hubungan yang kerumitan, tegangan, dan pasang-surut saling membutuhkan. Jepang melihat hubungan seni dan propaganda Jepang. para seniman sebagai sarana untuk Meskipun militer Amerika Serikat memobilisasi dukungan rakyat Indonesia menyadari kemampuan luar biasa Jepang bagi tujuan perangnya, sehingga dalam memobilisasi warganya dan warga kesepakatan-kesepakatan tertentu negara-negara yang didudukinya dengan mereka harus dibuat agar mereka (khususnya mereka mengagumi sedikitnya tetap dalam barisan pendukung. penggunaan teror dan paksaan), tetapi Sementara bagi para seniman Indonesia, mereka tidak berhasil memahami jiwa organisasi-organisasi propaganda Jepang dan cara kerja propaganda Jepang. Kajian- merupakan sarana untuk menyebarkan kajian Amerika atas propaganda Jepang dan mengintensifkan ide-ide nasionalis pada awal 1940-an terpusat pada dan kemerdekaan kepada masyarakat, stereotip sifat masyarakat Jepang dan mendapatkan akses material, fasilitas, dan kebudayaan Timur sebagai masyarakat pengatahuan seni baru, serta bermental budak yang sepenuhnya menyadarkan mereka pada kekuatan seni mengabdikan hidupnya kepada raja. dan kolektivitas dalam dunia Dalam konteks sejarah Jepang, besarnya politik—suatu kesadaran yang kelak pengaruh Kekaisaran Shōwa (dimulai menjadi lakon utama dalam babak sejarah sejak 1926) memang perlu diperhatikan. seni di Indonesia selama dua dasawarsa Begitu juga besarnya pengaruh para berikutnya.pemimpin nasionalis pada 1940-an di

21

Di bulan Juli, jelang hari Raya Idul Fitri hingga beberapa hari setelahnya, warga kota Jogja disibukkan dengan tradisi dan ritual yang dilakukan bersama keluarga dan teman terdekat. Selama beberapa hari tersebut, aktivitas kerja juga mendapatkan jedanya, tak terkecuali tim kerja Biennale Jogja XIII. Di sela-sela aktivitasnya dalam menjalani tradisi ini, Rain Rosidi (Direktur Artistik BJ XIII) sempat berbagi cerita seputar persiapan Festival Equator yang dilakukan bersama tim. Dengan ditemani kopi dan sore jelang senja, Rain Rosidi menjelaskan bahwa Festival Equator merupakan aktivitas kesenian yang tersebar di beberapa lokasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini diselenggarakan dengan memberikan bentuk inovasi dan sentuhan baru terhadap apa yang sudah dilakukan oleh warga, termasuk festival rakyat dan aksi seni komunitas.

Festival yang akan dihelat pertama diberi tajuk “Festival Literasi Selatan.” Fokus utama dari festival ini dirumuskan dalam tema “Emansipasi dalam Kebudayaan dan Ritus sebagai Pengetahuan.” Dua hal yang coba dirayakan dalam festival ini, yang pertama ialah memberi ruang bagi praktik-praktik literasi yang mandiri dari berbagai latar identitas tertentu. Yang kedua adalah memanggungkan praktik-praktik ritual yang ada dalam masyarakat sebagai bagian dari praktik literasi warga. Selain itu acara juga akan mengakomodasi isu Asia dan Afrika melalui kajian sastra dan film. Acara ini akan diselenggarakan di Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, bekerja sama dengan Radiobuku. Radiobuku sendiri merupakan sebuah media dan ruang kerja yang berbasis pada literasi dan dokumentasi, meliputi bidang perbukuan, sejarah dan sastra. Radiobuku kemudian membukakan pintu untuk bekerja sama dengan komunitas dan warga yang berada di sekitar lokasi Radiobuku. Dalam Festival Literasi Selatan ini, tim

NGOPI BERSAMADIREKTUR ARTISTIK

Rapat panitia Fe, dengan tim Yogyatorium

persiapan koalisi cakrawala

Page 21: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

20

Indonesia untuk membantu merancang Indonesia. Akan tetapi hal itu tidak perlu aktivitas propaganda. Ketika Jepang dibesar-besarkan dan mesti diletakkan menyerah, Mabuchi memilih menetap di pada konteksnya. Propaganda Jepang bisa Indonesia dan bekerja bersama tentara bekerja secara efektif bukan saja karena ia Indonesia dalam perang melawan bisa menyampaikan pesan yang tepat pasukan Sekutu. Eitarō Hinatsu juga kepada masyarakat, melainkan juga memilih menetap di Indonesia setelah seringkali propaganda itu berasal dari Jepang menyerah. Dia tetap berkarya masyarakat (dalam teori propaganda sebagai sutradara film dan drama, dan Jepang, sifat ini disebut minshin haaku, menggunakan nama Indonesia Dr. propaganda yang bisa merengkuh hati Huyung. Dia menetap di Yogyakarta, dan jiwa masyarakat).mendirikan Cine Drama Institut pada 1948 dan Stichting Hiburan Mataram Di Jepang, pada masa perang, proposal pada 1949. dan saran untuk meningkatkan mutu

produk propaganda datang dari segala Beragamnya alasan keterlibatan seniman penjuru negeri, dan dari segala jenis pada proyek perang menunjukkan organisasi. Agen-agen periklanan dan kerumitan hubungan seni dan rumah produksi swasta menghujani propaganda, berbeda dengan pemerintah dan militer dengan proposal pemahaman Barat yang cenderung untuk membantu mereka membuat menyederhanakan, melihat negatif propaganda yang lebih baik dan hubungan propaganda dan seni, dan menaikkan tingkat mobilisasi massa. cenderung melihatnya sebagai mesin Tanpa mengesampingkan adanya yang bergerak satu arah: yang pertama gerakan-gerakan bawah tanah mengendalikan yang kedua, propaganda perlawanan terhadap Jepang di perang menguasai seni sepenuhnya. Indonesia, inisiatif propaganda yang

berasal dari masyarakat juga merebak di Pemahaman negatif atas hubungan seni seluruh penjuru negeri.dan propaganda yang sebenarnya baru terbentuk sejak dimulainya Perang Dunia Seni dan propaganda pada masa II itu—yang terutama dibentuk oleh pendudukan Jepang di Indonesia bisa militer Amerika Serikat—gagal melihat dikatakan berada dalam hubungan yang kerumitan, tegangan, dan pasang-surut saling membutuhkan. Jepang melihat hubungan seni dan propaganda Jepang. para seniman sebagai sarana untuk Meskipun militer Amerika Serikat memobilisasi dukungan rakyat Indonesia menyadari kemampuan luar biasa Jepang bagi tujuan perangnya, sehingga dalam memobilisasi warganya dan warga kesepakatan-kesepakatan tertentu negara-negara yang didudukinya dengan mereka harus dibuat agar mereka (khususnya mereka mengagumi sedikitnya tetap dalam barisan pendukung. penggunaan teror dan paksaan), tetapi Sementara bagi para seniman Indonesia, mereka tidak berhasil memahami jiwa organisasi-organisasi propaganda Jepang dan cara kerja propaganda Jepang. Kajian- merupakan sarana untuk menyebarkan kajian Amerika atas propaganda Jepang dan mengintensifkan ide-ide nasionalis pada awal 1940-an terpusat pada dan kemerdekaan kepada masyarakat, stereotip sifat masyarakat Jepang dan mendapatkan akses material, fasilitas, dan kebudayaan Timur sebagai masyarakat pengatahuan seni baru, serta bermental budak yang sepenuhnya menyadarkan mereka pada kekuatan seni mengabdikan hidupnya kepada raja. dan kolektivitas dalam dunia Dalam konteks sejarah Jepang, besarnya politik—suatu kesadaran yang kelak pengaruh Kekaisaran Shōwa (dimulai menjadi lakon utama dalam babak sejarah sejak 1926) memang perlu diperhatikan. seni di Indonesia selama dua dasawarsa Begitu juga besarnya pengaruh para berikutnya.pemimpin nasionalis pada 1940-an di

21

Di bulan Juli, jelang hari Raya Idul Fitri hingga beberapa hari setelahnya, warga kota Jogja disibukkan dengan tradisi dan ritual yang dilakukan bersama keluarga dan teman terdekat. Selama beberapa hari tersebut, aktivitas kerja juga mendapatkan jedanya, tak terkecuali tim kerja Biennale Jogja XIII. Di sela-sela aktivitasnya dalam menjalani tradisi ini, Rain Rosidi (Direktur Artistik BJ XIII) sempat berbagi cerita seputar persiapan Festival Equator yang dilakukan bersama tim. Dengan ditemani kopi dan sore jelang senja, Rain Rosidi menjelaskan bahwa Festival Equator merupakan aktivitas kesenian yang tersebar di beberapa lokasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Festival ini diselenggarakan dengan memberikan bentuk inovasi dan sentuhan baru terhadap apa yang sudah dilakukan oleh warga, termasuk festival rakyat dan aksi seni komunitas.

Festival yang akan dihelat pertama diberi tajuk “Festival Literasi Selatan.” Fokus utama dari festival ini dirumuskan dalam tema “Emansipasi dalam Kebudayaan dan Ritus sebagai Pengetahuan.” Dua hal yang coba dirayakan dalam festival ini, yang pertama ialah memberi ruang bagi praktik-praktik literasi yang mandiri dari berbagai latar identitas tertentu. Yang kedua adalah memanggungkan praktik-praktik ritual yang ada dalam masyarakat sebagai bagian dari praktik literasi warga. Selain itu acara juga akan mengakomodasi isu Asia dan Afrika melalui kajian sastra dan film. Acara ini akan diselenggarakan di Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, bekerja sama dengan Radiobuku. Radiobuku sendiri merupakan sebuah media dan ruang kerja yang berbasis pada literasi dan dokumentasi, meliputi bidang perbukuan, sejarah dan sastra. Radiobuku kemudian membukakan pintu untuk bekerja sama dengan komunitas dan warga yang berada di sekitar lokasi Radiobuku. Dalam Festival Literasi Selatan ini, tim

NGOPI BERSAMADIREKTUR ARTISTIK

Rapat panitia Fe, dengan tim Yogyatorium

persiapan koalisi cakrawala

Page 22: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

23

Bukan sekedar pengiring pameran utama, Bersanding menjadi kata kunci turunan program Parallel Event (PE) Biennale Jogja yang digunakan dalam memilih objek XIII penting keberadaannya untuk melihat kajian dan merumuskan modus keragaman dinamika praktik dan wacana perancangan kegiatan. Melalui tema ini seni kota berikut pelakunya. Program ini juga diharapkan muncul beragam praktik sekaligus merangkul peran aktif pelaku penciptaan aktivitas seni sebagai praktik seni lokal dalam menangkap gagasan dan sosial, atau lebih tajam: sebuah gerakan wacana besar dari Biennale Yogyakarta sosial.seri Ekuator. PE BJXIII adalah sebuah

Masalah mendasar dari 'praktik seni program penciptaan proyek seni yang sebagai praktik sosial' berkutat pada dilakukan secara berdikari, yang bagaimana membaca dan merumuskan menekankan gagasan dan praktiknya pada persoalan, memanggungkannya serta kerja seni berbasis komunitas. Tentu yang bagaimana proses itu akan dilakukan. menjadi tantangan bukan sekedar Sepintas dari gagasan tersebut bisa kita mengolah isu menjadi karya seni, katakan bahwa praktik ini bisa dirujuk pelibatan publik, atau bekerja lintas pada aksi-aksi kerja seni yang sifatnya disiplin, namun bagaimana setiap proyek partisipatoris. Claire Bishop dalam seni yang diajukan mampu menyodorkan Artificial Hells: Participatory Art and The bentuk intervensi - interupsi dengan Politic of Spectatorship, 2012, sudah menyasar ruang-ruang sosial secara memberi penjelasan panjang terkait langsung serta memunculkan pertanyaan-dengan bagaimana seni partisipatoris ini pertanyaan kritis terkait kondisi sosial mendefinisikan kecenderungannya; yang yang melekat. pertama ialah mensyaratkan pelibatan publik, kedua meluruhkan dominasi Proyek Seni Komunitas: Dari Kerja seniman sebagai pencipta tunggal, Partisipatoris Menuju Intervensimembangun paradigma seni non-hierarkis, sekaligus membangun kembali Proyek Seni Komunitas dipilih sebagai 'ikatan sosial' masyarakat. Di wilayah ini sebuah kerangka kerja tafsir dari tajuk kemudian platform awal pelaksanaan utama Biennale Jogja XIII – Hacking Proyek Seni Komunitas menemui bentuk Conflict! Program ini bertujuan untuk aksinya. Namun Bishop juga merangkul seniman dan akademisi dalam mengingatkan bahwa banyak kerja seni menciptakan aktivitas seni berbasis partisipatoris yang semata-mata komunitas dengan pelibatan publik yang merangkul publik, namun kehilangan sisi lebih luas. Sementara Bertolak X

Hendra Himawan (Tim Artistik PE dan FE BJ XIII)

MELIHAT INTERVENSIDALAM KERJA SENI PARTISIPATORIS

CATATAN AWAL DARI PROGRAM PARALLEL

EVENT BJ XIII HACKING CONFLICT! 2015FE juga bekerja sama dengan komunitas dan perseorangan seperti Bunda Kata, Kesenian Dukuh Geneng, Yantra, Kelompok Kretek, Kine Klub, Pojok Budaya, RKSD, Isrol Media Legal, dan Genmorion Pemuda Jogoripon. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 1 sampai tanggal 3 Oktober 2015.

Festival kedua yang bertajuk Festival Tanah, berlokasi di Desa Giripeni, Kecamatan Wates, Kabupaten, Kulonprogo. Desa dengan kultur bertani yang kental ini memiliki tradisi wiwitan atau festival rakyat sebagai perayaan pasca panen. Acara ini akan dimaksimalkan dengan memberi sentuhan berbeda melalui kerja kolektif antara warga (kelompok tani) dengan kelompok seniman dan aktivis lingkungan. Yang menjadi sasaran dari tema ini ialah persoalan kontekstual masyarakat dalam memaknai tanah, melalui model kerja estetik yang dipahami bersama warga. Ragam acara yang sudah dipersiapkan berupa pementasan, perakitan karya di tengah persawahan serta ritual bersama. Kelompok Kesinian, sebuah kelompok kesenian yang berbasis di Kulon Progo akan menjadi motor penggerak dari acara ini. Acara yang akan diselenggarakan di tengah kawasan persawahan yang menjadi salah satu basis lumbung padi di Yogyakarta ini akan berlangsung di bulan Oktober 2015. Festival Ketiga dinamai dengan Koalisi Cakrawala. Festival ini melihat budaya populer yang ada di masyarakat sebagai salah satu agen penting dalam membangun identitas konsumen, pengguna, audience atau kolektornya. Fokus dari perayaan ini akan diletakkan pada para konsumen dan praktik budayanya. Festival yang akan diselenggarakan di Yogyatorium ini akan melibatkan komunitas pengguna produk disain, fans musik, kolektor tato, kolektor mainan, dan sebagainya. Beberapa komunitas yang terlibat adalah kelompok disain, kelompok urban toys, street artist, musisi, dan sebagainya. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 7 November 2015.Sementara festival lain yang akan berfokus pada dinamika perkembangan seni rupa, termasuk perkembangan estetika dan pendidikan seni, akan diadakan dalam bentuk pameran dan pementasan. Penyelenggaraan acara ini akan bekerja sama dengan lembaga pendidikan seni di Yogyakarta.

22

Kunjungan tim FE ke Desa Giri Peni,

dalam mempersiapkan pelaksanaan

Festival Tanah bersama komunitas

setempat

Page 23: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

23

Bukan sekedar pengiring pameran utama, Bersanding menjadi kata kunci turunan program Parallel Event (PE) Biennale Jogja yang digunakan dalam memilih objek XIII penting keberadaannya untuk melihat kajian dan merumuskan modus keragaman dinamika praktik dan wacana perancangan kegiatan. Melalui tema ini seni kota berikut pelakunya. Program ini juga diharapkan muncul beragam praktik sekaligus merangkul peran aktif pelaku penciptaan aktivitas seni sebagai praktik seni lokal dalam menangkap gagasan dan sosial, atau lebih tajam: sebuah gerakan wacana besar dari Biennale Yogyakarta sosial.seri Ekuator. PE BJXIII adalah sebuah

Masalah mendasar dari 'praktik seni program penciptaan proyek seni yang sebagai praktik sosial' berkutat pada dilakukan secara berdikari, yang bagaimana membaca dan merumuskan menekankan gagasan dan praktiknya pada persoalan, memanggungkannya serta kerja seni berbasis komunitas. Tentu yang bagaimana proses itu akan dilakukan. menjadi tantangan bukan sekedar Sepintas dari gagasan tersebut bisa kita mengolah isu menjadi karya seni, katakan bahwa praktik ini bisa dirujuk pelibatan publik, atau bekerja lintas pada aksi-aksi kerja seni yang sifatnya disiplin, namun bagaimana setiap proyek partisipatoris. Claire Bishop dalam seni yang diajukan mampu menyodorkan Artificial Hells: Participatory Art and The bentuk intervensi - interupsi dengan Politic of Spectatorship, 2012, sudah menyasar ruang-ruang sosial secara memberi penjelasan panjang terkait langsung serta memunculkan pertanyaan-dengan bagaimana seni partisipatoris ini pertanyaan kritis terkait kondisi sosial mendefinisikan kecenderungannya; yang yang melekat. pertama ialah mensyaratkan pelibatan publik, kedua meluruhkan dominasi Proyek Seni Komunitas: Dari Kerja seniman sebagai pencipta tunggal, Partisipatoris Menuju Intervensimembangun paradigma seni non-hierarkis, sekaligus membangun kembali Proyek Seni Komunitas dipilih sebagai 'ikatan sosial' masyarakat. Di wilayah ini sebuah kerangka kerja tafsir dari tajuk kemudian platform awal pelaksanaan utama Biennale Jogja XIII – Hacking Proyek Seni Komunitas menemui bentuk Conflict! Program ini bertujuan untuk aksinya. Namun Bishop juga merangkul seniman dan akademisi dalam mengingatkan bahwa banyak kerja seni menciptakan aktivitas seni berbasis partisipatoris yang semata-mata komunitas dengan pelibatan publik yang merangkul publik, namun kehilangan sisi lebih luas. Sementara Bertolak X

Hendra Himawan (Tim Artistik PE dan FE BJ XIII)

MELIHAT INTERVENSIDALAM KERJA SENI PARTISIPATORIS

CATATAN AWAL DARI PROGRAM PARALLEL

EVENT BJ XIII HACKING CONFLICT! 2015FE juga bekerja sama dengan komunitas dan perseorangan seperti Bunda Kata, Kesenian Dukuh Geneng, Yantra, Kelompok Kretek, Kine Klub, Pojok Budaya, RKSD, Isrol Media Legal, dan Genmorion Pemuda Jogoripon. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 1 sampai tanggal 3 Oktober 2015.

Festival kedua yang bertajuk Festival Tanah, berlokasi di Desa Giripeni, Kecamatan Wates, Kabupaten, Kulonprogo. Desa dengan kultur bertani yang kental ini memiliki tradisi wiwitan atau festival rakyat sebagai perayaan pasca panen. Acara ini akan dimaksimalkan dengan memberi sentuhan berbeda melalui kerja kolektif antara warga (kelompok tani) dengan kelompok seniman dan aktivis lingkungan. Yang menjadi sasaran dari tema ini ialah persoalan kontekstual masyarakat dalam memaknai tanah, melalui model kerja estetik yang dipahami bersama warga. Ragam acara yang sudah dipersiapkan berupa pementasan, perakitan karya di tengah persawahan serta ritual bersama. Kelompok Kesinian, sebuah kelompok kesenian yang berbasis di Kulon Progo akan menjadi motor penggerak dari acara ini. Acara yang akan diselenggarakan di tengah kawasan persawahan yang menjadi salah satu basis lumbung padi di Yogyakarta ini akan berlangsung di bulan Oktober 2015. Festival Ketiga dinamai dengan Koalisi Cakrawala. Festival ini melihat budaya populer yang ada di masyarakat sebagai salah satu agen penting dalam membangun identitas konsumen, pengguna, audience atau kolektornya. Fokus dari perayaan ini akan diletakkan pada para konsumen dan praktik budayanya. Festival yang akan diselenggarakan di Yogyatorium ini akan melibatkan komunitas pengguna produk disain, fans musik, kolektor tato, kolektor mainan, dan sebagainya. Beberapa komunitas yang terlibat adalah kelompok disain, kelompok urban toys, street artist, musisi, dan sebagainya. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 7 November 2015.Sementara festival lain yang akan berfokus pada dinamika perkembangan seni rupa, termasuk perkembangan estetika dan pendidikan seni, akan diadakan dalam bentuk pameran dan pementasan. Penyelenggaraan acara ini akan bekerja sama dengan lembaga pendidikan seni di Yogyakarta.

22

Kunjungan tim FE ke Desa Giri Peni,

dalam mempersiapkan pelaksanaan

Festival Tanah bersama komunitas

setempat

Page 24: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

24

politis dan daya provokasi. Karena merupakan situs untuk melakukan melibatkan banyak orang, tak jarang intervensi artistik. Ia berpandangan menjadi abai dengan persoalan estetik- bahwa untuk memahami karakter politis artistik dan kehilangan kekuatan untuk dari beragam aktivitas seni tersebut kita menarik perhatian media. Persoalan- harus melihatnya sebagai sebuah persoalan politis yang melingkupi praktik intervensi konter-hegemoni yang seni itu sendiri pun sumir. tujuannya untuk menguasai ruang publik

dalam rangka melawan imaji dan ilusi Sementara seni dan politik adalah dua yang ditanamkan secara halus oleh hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab ada kekuatan kapitalis, dengan dimensi estetika dalam politik dan mengedepankan karakter represifnya. Ia dimensi politik dalam seni. Praktik menjelaskan bahwa, artistik memainkan peran dalam pembentukan dan pemeliharaan tatanan “Intervensi dalam ruang sosial simbolik tertentu, atau untuk menantang diperlukan untuk merusak ruang tatatan simbolik tersebut. Dan inilah imajinasi yang kenapa kerja seni partisipatoris memiliki menumbuhkembangkan kapitalisme dimensi politik yang penting. Maka dalam (baru), sekaligus sebagai bentuk Proyek Seni Komunitas ini isu oposisi terhadap sistem kapitalis yang sesungguhnya adalah memunculkan dominan berikut gejala-gejala tawaran cara dan bentuk seni yang kritis eksploitasi yang muncul. Dengan berikut praktik artistik yang beragam, mengakui dimensi politiknya, yang mengarah pada sikap intervensi seni semacam itu akan mempertanyakan hegemoni yang terlepas dari pemikiran bahwa aksi dominan. seni harus sepenuhnya lepas dari

kekuasaan.” (Mouffe, 2008:1)Memahami lebih mendalam gagasan Hacking Conflict! sebagai aras utama BJ Dengan mengikuti pemahaman Mouffe di XIII, kami melihat bahwa praktik kerja seni atas, seniman hari ini tidak bisa lagi partisipatoris semata belumlah cukup berpura-pura menciptakan karya avant-

garde yang menawarkan kritik radikal. untuk merujuk pada gagasan politis yang Mereka masih bisa memainkan peran dimaksudkan. Mendasarkan pada gagasan penting untuk melawan kuasa hegemoni Bishop, prinsip kerja partisipatoris dengan cara menumbangkan kekuasaan memang mampu membawa kerja seni tersebut serta membentuk subjektivitas sebagai praktik sosial. Namun praktik baru. Pada kenyataannya, hal itu memang kerja seni ini mempunyai wilayah rentan sudah menjadi tugas mereka, namun kita untuk terjebak dalam praktik nostalgia justru percaya yang sebaliknya akibat kerja komunal dan pretensi moralistik. ilusi-ilusi yang dihembuskan mengenai Maka dalam hemat penulis, pandangan posisi istimewa seniman di masyarakat. Bishop masih belum mencukupi untuk Dan jika ilusi tersebut diabaikan, kita akan memahami alasan lebih besar di balik bisa melihat bagaimana praktik seni kritis eksplorasi tersebut. Untuk mengisi lubang sesungguhnya mewakili dimensi penting pemahaman praktik seni sebagai praktik dari demokrasi politik. Meskipun sosial ini, kami menambahkan pandangan demikian, sebagaimana dipercayai oleh Chantal Mouffe yang dituangkan dalam banyak orang, proses transformasi artikelnya Artistic Activism and Agonistic tersebut tidak dapat diwujudkan sendiri Spaces, 2007.untuk nantinya menciptakan dasar bagi

Gagasan Mouffe berpijak dari pembentukan hegemoni baru. Lebih pemahaman bahwa arena sosial

25

lanjut ia menyatakan dalam buku yang kerjanya, PE hadir untuk menyisir ditulis bersama suaminya, Ernesto Laclau beragam pandangan dari para pelaku seni yang berjudul Hegemony and Socialist di Yogyakarta sekaligus dinamika seni Strategy: Towards a Radical Democratic yang berlangsung di kota Yogyakarta. Politics (2001), bahwa sebuah demokrasi Program ini hadir menjadi ruang dialog politik yang radikal akan membutuhkan untuk setiap lontaran gagasan mereka artikulasi dari berbagai tingkat perjuangan atas Biennale sekaligus merangkul mereka untuk menciptakan rantai keseimbangan untuk ambil bagian di dalamnya dengan diantara mereka. Agar 'posisi perang' menjadi peserta dalam program Parallel tersebut bisa berhasil, maka hubungan Event ini. dengan bentuk-bentuk intervensi politik

Selain komunitas seni, calon peserta tradisional seperti partai dan organisasi-program ini juga mengarah pada organisasi lainnya tidak bisa dihindari. kelompok studi mahasiswa dan sivitas Dan pada akhirnya, akan menjadi satu akademika. Keterlibatan kampus menjadi anggapan yang salah ketika ada yang penting untuk membangun pemahaman meyakini bahwa seniman aktivis dapat bahwa seni bisa dilihat sebagai satu bergerak sendiri untuk mengakhiri produksi pengetahuan yang tidak hanya hegemoni kuasa neo liberal! 'terpusat' pada satu titik tertentu. Selain

Landasan inilah yang kemudian itu, hal ini penting sebagai sarana untuk diharapkan bisa menggiring gagasan dan membangun jejaring seni yang memiliki praktik kerja dalam Proyek Seni Komunitas simpangan dengan produksi ini, dimana setiap proyek seni yang ada di pengetahuan lainnya. dalamnya mampu mengarah pada bentuk

Dari serangkaian sosialisasi yang praktik intervensi artistik di ruang publik, dilakukan, tim kurator PE BJ XIII menerima yang berakar dari kritisisme atas ruang respon yang memuaskan dengan sosial kehidupan sehari-hari. Sehingga masuknya 27 proposal dari komunitas aksi-aksi seni dalam program PE tidak seni, mahasiswa, dan organisasi swadaya lagi semata-mata tentang 'melibatkan masyarakat. Untuk melihat pemahaman, publik', atau gagasan-gagasan non-keterkaitan tema, dan kedalaman isu yang hierarkis, melainkan bagaimana diangkat, maka para pelamar tersebut memanggungkan timpangnya sistem diundang untuk melakukan presentasi di sosial dengan melakukan kerja-kerja seni hadapan tim kurator dan tim riset BJXIII. melalui mode partisipatif dan kritik Poin penting yang digarisbawahi sekaligus sosial, apapun bentuknya.yang menjadi dasar penilaian adalah

Bertolak : Dari Sosialisasi Hingga rasionalisasi rancangan kegiatan dan Tawaran Gagasan dalam Proposal potensi pengembangannya ke bentuk

intervensi seni di wilayah publik.Dalam tujuan mengomunikasikan wacana yang digagas BJXIII Hacking Conflict! - Tawaran Gagasan: Spektrum Tema dan Pertemuan Indonesia dengan Nigeria, Sebaran Isuserangkaian sosialisasi program dilakukan

Sebaran tema dan gagasan dari para oleh Tim Artistik beserta Tim Riset BJXIII pelamar sebagai penerjemahan tema ke beberapa kantong kesenian, institusi sangat beragam. Hal-hal tersebut muncul pendidikan, kampus seni dan umum. sesuai dengan identitas dan potensi yang Sebagaimana yang digagas dari pertama mereka miliki. Adapun tema dan gagasan kali penyelenggaraan Biennale Jogja yang mengemuka pada PE BJXIII adalah Ekuator sebagai landasan praksis sebagai berikut :

Page 25: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

24

politis dan daya provokasi. Karena merupakan situs untuk melakukan melibatkan banyak orang, tak jarang intervensi artistik. Ia berpandangan menjadi abai dengan persoalan estetik- bahwa untuk memahami karakter politis artistik dan kehilangan kekuatan untuk dari beragam aktivitas seni tersebut kita menarik perhatian media. Persoalan- harus melihatnya sebagai sebuah persoalan politis yang melingkupi praktik intervensi konter-hegemoni yang seni itu sendiri pun sumir. tujuannya untuk menguasai ruang publik

dalam rangka melawan imaji dan ilusi Sementara seni dan politik adalah dua yang ditanamkan secara halus oleh hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab ada kekuatan kapitalis, dengan dimensi estetika dalam politik dan mengedepankan karakter represifnya. Ia dimensi politik dalam seni. Praktik menjelaskan bahwa, artistik memainkan peran dalam pembentukan dan pemeliharaan tatanan “Intervensi dalam ruang sosial simbolik tertentu, atau untuk menantang diperlukan untuk merusak ruang tatatan simbolik tersebut. Dan inilah imajinasi yang kenapa kerja seni partisipatoris memiliki menumbuhkembangkan kapitalisme dimensi politik yang penting. Maka dalam (baru), sekaligus sebagai bentuk Proyek Seni Komunitas ini isu oposisi terhadap sistem kapitalis yang sesungguhnya adalah memunculkan dominan berikut gejala-gejala tawaran cara dan bentuk seni yang kritis eksploitasi yang muncul. Dengan berikut praktik artistik yang beragam, mengakui dimensi politiknya, yang mengarah pada sikap intervensi seni semacam itu akan mempertanyakan hegemoni yang terlepas dari pemikiran bahwa aksi dominan. seni harus sepenuhnya lepas dari

kekuasaan.” (Mouffe, 2008:1)Memahami lebih mendalam gagasan Hacking Conflict! sebagai aras utama BJ Dengan mengikuti pemahaman Mouffe di XIII, kami melihat bahwa praktik kerja seni atas, seniman hari ini tidak bisa lagi partisipatoris semata belumlah cukup berpura-pura menciptakan karya avant-

garde yang menawarkan kritik radikal. untuk merujuk pada gagasan politis yang Mereka masih bisa memainkan peran dimaksudkan. Mendasarkan pada gagasan penting untuk melawan kuasa hegemoni Bishop, prinsip kerja partisipatoris dengan cara menumbangkan kekuasaan memang mampu membawa kerja seni tersebut serta membentuk subjektivitas sebagai praktik sosial. Namun praktik baru. Pada kenyataannya, hal itu memang kerja seni ini mempunyai wilayah rentan sudah menjadi tugas mereka, namun kita untuk terjebak dalam praktik nostalgia justru percaya yang sebaliknya akibat kerja komunal dan pretensi moralistik. ilusi-ilusi yang dihembuskan mengenai Maka dalam hemat penulis, pandangan posisi istimewa seniman di masyarakat. Bishop masih belum mencukupi untuk Dan jika ilusi tersebut diabaikan, kita akan memahami alasan lebih besar di balik bisa melihat bagaimana praktik seni kritis eksplorasi tersebut. Untuk mengisi lubang sesungguhnya mewakili dimensi penting pemahaman praktik seni sebagai praktik dari demokrasi politik. Meskipun sosial ini, kami menambahkan pandangan demikian, sebagaimana dipercayai oleh Chantal Mouffe yang dituangkan dalam banyak orang, proses transformasi artikelnya Artistic Activism and Agonistic tersebut tidak dapat diwujudkan sendiri Spaces, 2007.untuk nantinya menciptakan dasar bagi

Gagasan Mouffe berpijak dari pembentukan hegemoni baru. Lebih pemahaman bahwa arena sosial

25

lanjut ia menyatakan dalam buku yang kerjanya, PE hadir untuk menyisir ditulis bersama suaminya, Ernesto Laclau beragam pandangan dari para pelaku seni yang berjudul Hegemony and Socialist di Yogyakarta sekaligus dinamika seni Strategy: Towards a Radical Democratic yang berlangsung di kota Yogyakarta. Politics (2001), bahwa sebuah demokrasi Program ini hadir menjadi ruang dialog politik yang radikal akan membutuhkan untuk setiap lontaran gagasan mereka artikulasi dari berbagai tingkat perjuangan atas Biennale sekaligus merangkul mereka untuk menciptakan rantai keseimbangan untuk ambil bagian di dalamnya dengan diantara mereka. Agar 'posisi perang' menjadi peserta dalam program Parallel tersebut bisa berhasil, maka hubungan Event ini. dengan bentuk-bentuk intervensi politik

Selain komunitas seni, calon peserta tradisional seperti partai dan organisasi-program ini juga mengarah pada organisasi lainnya tidak bisa dihindari. kelompok studi mahasiswa dan sivitas Dan pada akhirnya, akan menjadi satu akademika. Keterlibatan kampus menjadi anggapan yang salah ketika ada yang penting untuk membangun pemahaman meyakini bahwa seniman aktivis dapat bahwa seni bisa dilihat sebagai satu bergerak sendiri untuk mengakhiri produksi pengetahuan yang tidak hanya hegemoni kuasa neo liberal! 'terpusat' pada satu titik tertentu. Selain

Landasan inilah yang kemudian itu, hal ini penting sebagai sarana untuk diharapkan bisa menggiring gagasan dan membangun jejaring seni yang memiliki praktik kerja dalam Proyek Seni Komunitas simpangan dengan produksi ini, dimana setiap proyek seni yang ada di pengetahuan lainnya. dalamnya mampu mengarah pada bentuk

Dari serangkaian sosialisasi yang praktik intervensi artistik di ruang publik, dilakukan, tim kurator PE BJ XIII menerima yang berakar dari kritisisme atas ruang respon yang memuaskan dengan sosial kehidupan sehari-hari. Sehingga masuknya 27 proposal dari komunitas aksi-aksi seni dalam program PE tidak seni, mahasiswa, dan organisasi swadaya lagi semata-mata tentang 'melibatkan masyarakat. Untuk melihat pemahaman, publik', atau gagasan-gagasan non-keterkaitan tema, dan kedalaman isu yang hierarkis, melainkan bagaimana diangkat, maka para pelamar tersebut memanggungkan timpangnya sistem diundang untuk melakukan presentasi di sosial dengan melakukan kerja-kerja seni hadapan tim kurator dan tim riset BJXIII. melalui mode partisipatif dan kritik Poin penting yang digarisbawahi sekaligus sosial, apapun bentuknya.yang menjadi dasar penilaian adalah

Bertolak : Dari Sosialisasi Hingga rasionalisasi rancangan kegiatan dan Tawaran Gagasan dalam Proposal potensi pengembangannya ke bentuk

intervensi seni di wilayah publik.Dalam tujuan mengomunikasikan wacana yang digagas BJXIII Hacking Conflict! - Tawaran Gagasan: Spektrum Tema dan Pertemuan Indonesia dengan Nigeria, Sebaran Isuserangkaian sosialisasi program dilakukan

Sebaran tema dan gagasan dari para oleh Tim Artistik beserta Tim Riset BJXIII pelamar sebagai penerjemahan tema ke beberapa kantong kesenian, institusi sangat beragam. Hal-hal tersebut muncul pendidikan, kampus seni dan umum. sesuai dengan identitas dan potensi yang Sebagaimana yang digagas dari pertama mereka miliki. Adapun tema dan gagasan kali penyelenggaraan Biennale Jogja yang mengemuka pada PE BJXIII adalah Ekuator sebagai landasan praksis sebagai berikut :

Page 26: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

26

1. Praktik seni publik sebagai media masyarakat dengan cara penyadaran atas identitas mengembalikan kampung kampung serta bagaimana sebagai 'mimbar' bagi setiap menciptakan sebuah ruang suara warga dan ruang resolusi untuk rekonsiliasi konflik antara konflik yang muncul di dalamnya.

mahasiswa pendatang yang Dari sebaran tema dan rancangan proyek tinggal di asrama daerah dengan seni yang akan dilakukan, dapat dikatakan warga lokal. bahwa seluruh peserta menggunakan

2. Isu sampah dan limbah dari kota pendekatan kerja seni partisipatoris yang merusak kawasan pertanian sebagaimana rambu-rambu dari PE BJXIII dan lahan produktif. ini. Berangkat dari hal tersebut, yang

menjadi catatan adalah bagaimana proses 3. Rancangan proyek seni sejarah kerja ini akan dilakukan serta potensi

perumahan sebagai upaya pengembangan yang mengarah pada membangkitkan memori kultural praktik intervensi publik. Untuk itu meski masyarakat setempat. kerja dan aksi partisipatoris yang akan

dilakukan menggunakan pendekatan 4. Gagasan untuk 'merebut' simbolik, namun interaksi sosial menjadi

kawasan kota di sekitar hotel bagian penting yang tidak bisa dilewatkan untuk dijadikan lahan pertanian dari tawaran tema ini. Dengan kembali. Hal tersebut muncul menekankan pada interaksi antara pelaku sebagai respons atas hilangnya seni dengan masyarakat yang terlibat, lahan produktif akibat maka karya seni yang dihasilkan tidaklah pembangunan gedung untuk semata menjadi kerja simbolik namun kepentingan usaha komersial dan juga tindakan simbolik. Tindakan simbolik lahan pertanian sebagai objek adalah tindakan yang lebih menekankan wisata. aspek komunikasi, atau aktivitas seni

dalam arti yang sebenarnya. Ringkasnya, 5. Membangkitkan memori interaksi sosial menempati bagian tengah

masyarakat atas beragam konflik dan tak terpisahkan dari setiap karya seni horizontal di kampung melalui yang terlibat secara sosial, dimana dengan penciptaan karya seni grafis itu dapat dilihat model dan bentuk dengan melibatkan masyarakat. intervensi yang akan dimunculkan.

6. Revitalisasi potensi kreatif Maka disinilah urgensi riset dari masyarakat lokal dengan seni komunitas-komunitas yang akan terlibat batik sebagai alternatif sumber dalam PE, pun terhadap rekam jejak riset ekonomi sebagai respon yang mereka lakukan, atau meminjam terhadap penambangan liar. istilah Bishop – dokumentasi dari

tindakan yang telah dilakukan untuk 7. Konservasi air bersih di kawasan menunjukkan bagaimana 'strukur' kerja

Daerah Aliran Sungai Code seni ini berlaku. Tak kalah pentingnya ditengah ramainya isu lingkungan adalah pendalaman atas akar persoalan dan buruknya kualitas air tanah yang ingin digali dari partisipan yang di kawasan kota. 'dilibatkan' dalam pembuatan karya.

8. Festival kampung untuk Setelah melihat sebaran tema dan mendekonstruksi cara berfikir rancangan proyek seni yang akankita tentang konflik di dilakukan, maka rumusan sementara yang

27

menjadi garis praksis kerja Proyek Seni kembali isu dan visi dari kerja seni yang Komunitas - PE BJXIII adalah sebagai akan dilakukan bersama dengan tim berikut; kurator. Pendalaman materi dan

penajaman isu akan dilaksanakan dengan serangkaian FGD dan workshop dengan 1. Setiap peserta akan menciptakan beberapa praktisi seni yang banyak ruang untuk menjalankan proses melakukan aksi seni berbasis komunitas. dan aktivitas kerja seni mereka. Dalam workshop ini nantinya akan Ruang yang dimaksudkan bisa dirumuskan serangkaian strategi berarti ruang fisik ataupun pendekatan dan model intervensi artistik aktivitas komunal yang kepada publik. Kemudian setelah itu para mengintervensi ruang sosial peserta akan mulai menjalankan proyek publik. seni di lokasi yang sudah dipilih. Setelah proses berjalan mereka akan melakukan 2. Karya yang diciptakan meliputi presentasi awal (progres report) di seluruh kerja seni yang akan kampung atau di kawasan yang sudah dilakukan, mulai dari penelitian, dipilih dengan menampilkan karya-karya perancangan model kerja dan yang sudah dibuat atau yang masih dalam pelaksanaan proses kreatif proses (work in progress), dilanjutkan bersama dengan partisipan. untuk presentasi terbuka di ruang Praktiknya meliputi workshop akademis. Hal ini dilakukan selain untuk kunjungan, pembuatan melihat jalannya proses, juga untuk dokumentasi, hingga presentasi evaluasi–evaluasi awal dari proyek seni karya dalam wujud pameran. yang sudah dilakukan. Selain itu juga Karya mereka nantinya berupa untuk membangun dialog lintas disiplin segala hal atau setiap pengetahuan, agar setiap kerja seni yang mekanisme yang memungkinkan dilakukan tidak berhenti sebagai karya proses eksplorasi kreatif dan namun juga menawarkan wacana refleksi ini dijalankan. pemikiran baru. Setelah proses ini, hasil akhir seluruh rangkaian proses 3. Gagasan dan karya yang pelaksanaan proyek seni akan dipamerkan dilontarkan mempunyai daya dalam satu ruang bersama untuk melihat politis yang mampu bagaimana tema besar Biennale ini memprovokasi pemikiran dan mampu diterjemahkan dalam beragam menunjukkan model-model bentuk praktik kerja penciptaan seni. intervensi artistik di ruang sosial

masyarakat sehari-hari. Kerja seni berbasis komunitas, mode kerja partisipatoris, hingga strategi dan bentuk Poin-poin di atas ini sekaligus menjadi intervensi artistik kepada publik adalah acuan dalam penyusunan model rambu-rambu yang digunakan sebagai pendampingan yang akan dilakukan oleh haluan dalam merancang penyelenggaran Tim Artistik dan Tim Riset BJXIII pada program Parallel Event BJ XIII kali ini. peserta PE ketika proyek mereka Intervensi artistik menjadi jangkar dari dijalankan. penerjemahan tema besar Hacking Conflict! Selayaknya yang digarisbawahi Bersanding : Membayangkan oleh Mouffe, Pendampingan

“.. meski kekuatan artistik yang Sesuai dengan rancangan awal program besar tak bisa dielakkan namun ini, setiap komunitas akan memulai kerja kritis artistik secara individu proses kerjanya dengan merumuskan

Page 27: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

26

1. Praktik seni publik sebagai media masyarakat dengan cara penyadaran atas identitas mengembalikan kampung kampung serta bagaimana sebagai 'mimbar' bagi setiap menciptakan sebuah ruang suara warga dan ruang resolusi untuk rekonsiliasi konflik antara konflik yang muncul di dalamnya.

mahasiswa pendatang yang Dari sebaran tema dan rancangan proyek tinggal di asrama daerah dengan seni yang akan dilakukan, dapat dikatakan warga lokal. bahwa seluruh peserta menggunakan

2. Isu sampah dan limbah dari kota pendekatan kerja seni partisipatoris yang merusak kawasan pertanian sebagaimana rambu-rambu dari PE BJXIII dan lahan produktif. ini. Berangkat dari hal tersebut, yang

menjadi catatan adalah bagaimana proses 3. Rancangan proyek seni sejarah kerja ini akan dilakukan serta potensi

perumahan sebagai upaya pengembangan yang mengarah pada membangkitkan memori kultural praktik intervensi publik. Untuk itu meski masyarakat setempat. kerja dan aksi partisipatoris yang akan

dilakukan menggunakan pendekatan 4. Gagasan untuk 'merebut' simbolik, namun interaksi sosial menjadi

kawasan kota di sekitar hotel bagian penting yang tidak bisa dilewatkan untuk dijadikan lahan pertanian dari tawaran tema ini. Dengan kembali. Hal tersebut muncul menekankan pada interaksi antara pelaku sebagai respons atas hilangnya seni dengan masyarakat yang terlibat, lahan produktif akibat maka karya seni yang dihasilkan tidaklah pembangunan gedung untuk semata menjadi kerja simbolik namun kepentingan usaha komersial dan juga tindakan simbolik. Tindakan simbolik lahan pertanian sebagai objek adalah tindakan yang lebih menekankan wisata. aspek komunikasi, atau aktivitas seni

dalam arti yang sebenarnya. Ringkasnya, 5. Membangkitkan memori interaksi sosial menempati bagian tengah

masyarakat atas beragam konflik dan tak terpisahkan dari setiap karya seni horizontal di kampung melalui yang terlibat secara sosial, dimana dengan penciptaan karya seni grafis itu dapat dilihat model dan bentuk dengan melibatkan masyarakat. intervensi yang akan dimunculkan.

6. Revitalisasi potensi kreatif Maka disinilah urgensi riset dari masyarakat lokal dengan seni komunitas-komunitas yang akan terlibat batik sebagai alternatif sumber dalam PE, pun terhadap rekam jejak riset ekonomi sebagai respon yang mereka lakukan, atau meminjam terhadap penambangan liar. istilah Bishop – dokumentasi dari

tindakan yang telah dilakukan untuk 7. Konservasi air bersih di kawasan menunjukkan bagaimana 'strukur' kerja

Daerah Aliran Sungai Code seni ini berlaku. Tak kalah pentingnya ditengah ramainya isu lingkungan adalah pendalaman atas akar persoalan dan buruknya kualitas air tanah yang ingin digali dari partisipan yang di kawasan kota. 'dilibatkan' dalam pembuatan karya.

8. Festival kampung untuk Setelah melihat sebaran tema dan mendekonstruksi cara berfikir rancangan proyek seni yang akankita tentang konflik di dilakukan, maka rumusan sementara yang

27

menjadi garis praksis kerja Proyek Seni kembali isu dan visi dari kerja seni yang Komunitas - PE BJXIII adalah sebagai akan dilakukan bersama dengan tim berikut; kurator. Pendalaman materi dan

penajaman isu akan dilaksanakan dengan serangkaian FGD dan workshop dengan 1. Setiap peserta akan menciptakan beberapa praktisi seni yang banyak ruang untuk menjalankan proses melakukan aksi seni berbasis komunitas. dan aktivitas kerja seni mereka. Dalam workshop ini nantinya akan Ruang yang dimaksudkan bisa dirumuskan serangkaian strategi berarti ruang fisik ataupun pendekatan dan model intervensi artistik aktivitas komunal yang kepada publik. Kemudian setelah itu para mengintervensi ruang sosial peserta akan mulai menjalankan proyek publik. seni di lokasi yang sudah dipilih. Setelah proses berjalan mereka akan melakukan 2. Karya yang diciptakan meliputi presentasi awal (progres report) di seluruh kerja seni yang akan kampung atau di kawasan yang sudah dilakukan, mulai dari penelitian, dipilih dengan menampilkan karya-karya perancangan model kerja dan yang sudah dibuat atau yang masih dalam pelaksanaan proses kreatif proses (work in progress), dilanjutkan bersama dengan partisipan. untuk presentasi terbuka di ruang Praktiknya meliputi workshop akademis. Hal ini dilakukan selain untuk kunjungan, pembuatan melihat jalannya proses, juga untuk dokumentasi, hingga presentasi evaluasi–evaluasi awal dari proyek seni karya dalam wujud pameran. yang sudah dilakukan. Selain itu juga Karya mereka nantinya berupa untuk membangun dialog lintas disiplin segala hal atau setiap pengetahuan, agar setiap kerja seni yang mekanisme yang memungkinkan dilakukan tidak berhenti sebagai karya proses eksplorasi kreatif dan namun juga menawarkan wacana refleksi ini dijalankan. pemikiran baru. Setelah proses ini, hasil akhir seluruh rangkaian proses 3. Gagasan dan karya yang pelaksanaan proyek seni akan dipamerkan dilontarkan mempunyai daya dalam satu ruang bersama untuk melihat politis yang mampu bagaimana tema besar Biennale ini memprovokasi pemikiran dan mampu diterjemahkan dalam beragam menunjukkan model-model bentuk praktik kerja penciptaan seni. intervensi artistik di ruang sosial

masyarakat sehari-hari. Kerja seni berbasis komunitas, mode kerja partisipatoris, hingga strategi dan bentuk Poin-poin di atas ini sekaligus menjadi intervensi artistik kepada publik adalah acuan dalam penyusunan model rambu-rambu yang digunakan sebagai pendampingan yang akan dilakukan oleh haluan dalam merancang penyelenggaran Tim Artistik dan Tim Riset BJXIII pada program Parallel Event BJ XIII kali ini. peserta PE ketika proyek mereka Intervensi artistik menjadi jangkar dari dijalankan. penerjemahan tema besar Hacking Conflict! Selayaknya yang digarisbawahi Bersanding : Membayangkan oleh Mouffe, Pendampingan

“.. meski kekuatan artistik yang Sesuai dengan rancangan awal program besar tak bisa dielakkan namun ini, setiap komunitas akan memulai kerja kritis artistik secara individu proses kerjanya dengan merumuskan

Page 28: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

28

tidak akan pernah bisa ruang publik, isu tanah dan air, konflik mengakhiri kapitalisme yang warga di tengah budaya perpindahan, sudah berakar di masyarakat. budaya urban yang tentunya berbeda Dibutuhkan kerja bersama yang dengan budaya 'desa urban', dan

beragam efek modernitas yang tidak mampu menggugah kesadaran diantisipasi oleh warga merupakan kolektif di masyarakat bahwa beberapa dari sedikit isu yang diharapkan perubahan adalah sebuah proyek bisa diatasi dengan kerja seni. Dalam hal besar yang niscaya tidak akan ini, seni muncul sebagai 'jalan tengah' pernah selesai tanpa campur untuk menjembatani konflik dan tegangan tangan mereka.”(Mouffe, 2007:5 )yang muncul. Penyelesaian konflik tentunya tidak akan bisa hadir begitu saja, Oleh karena itu, PE BJ XIII bukanlah mengingat kerja seni bukanlah kerja sebuah proyek seni yang akan selesai instan. Meskipun demikian, output yang pasca pertanggungjawaban karya di diharapkan hadir di tengah upaya lingkungan masing-masing dilakukan. menyandingkan konflik tersebut adalah Lebih jauh lagi, kerja bersama ini justru penyadaran kepada warga bahwa ada hak menjadi inisiasi dari munculnya sebuah yang harus diperjuangkan tanpa harus 'jalan tengah' bagi kerja seni: bahwa melawan dengan frontal. Karena upaya masyarakat juga punya suara dan 'ruang' peretasan akan lebih berhasil ketika besar yang harus dipertimbangkan bagi dilakukan secara diplomatis dengan keberlangsungan seni kritis ini!bersama-sama.

Program PE mengarahkan praktik kerja dengan mengambil lokasi kampung-

Sumber : kampung di Yogyakarta. Salah satu Bishop, Claire. 2012. Artificial Hells: landasan pemikiran mengenai pemilihan Participatory Art and The Politic of kampung tersebut adalah karya Guinnes Spectatorship. Versoyang berjudul 'Harmony and Hierarchy in

A Javanese Kampung'. Ia menyatakan Guinness, Patrick. 1986. Harmony and bahwa kampung di Yogyakarta pada tahun Hierarchy in A Javanese Kampung. Australia: 1980-an merupakn perwujudan'desa Oxford University Pressurban'yang menyimpan kekuatan sosial, Laclau, Ernesto, & Mouffe, Chantal. 2001. yang mampu menjadi roda penggerak Hegemony and socialist strategy: Towards a demokrasi, ekonomi, bahkan politik di radical democratic politics. Verso.akar rumput (Guinnes 1986:7). Hal Mouffe, Chantal. 2007. “Artistic Activism and tersebut ternyata masih sangat relevan Agonistic Spaces”. Art & Research Vol.1 No.2 dengan keadaan saat ini, di mana Summer2007kampung merupakan satu pembeda _________________ . 2008. Art and situasi urban di kota-kota di Indonesia democracy: Art as agonistic intervention in dengan negara lainnya. public space. Open 14: Art as a public issue.

Pamflet Sosialisasi Program Parrallel Event Kampung adalah wadah bagi setiap Biennale Jogja XIII - Proyek Seni Komunitas, individu untuk membangun toleransi 2015terhadap perbedaan, menjadi sasana untuk berlatih menghadapi kejutan-kejutan sosial. Tawaran kerja yang dipilih dalam PE juga menyasar pada persoalan-persoalan yang menjadi sumbu konflik dalam pembangunan kota di Yogyakarta yang cenderung kapitalistik. Perebutan

29

BERKUNJUNG,BERKUMPUL,

MERAMUWaktu tidak pernah bisa menunggu. Perhelatan

Biennale Jogja tinggal beberapa bulan ke depan. Tim kerja Pameran, Festival Equator dan Parallel Event yang

sudah dipersiapkan mulai bergegas. Dari sosialisasi, rapat persiapan, pematangan gagasan, penjaringan komunitas partisipan, hingga kunjungan ke lokasi

penyelenggaraan acara dilakukan secara intensif oleh masing-masing tim, guna meramu acara yang akan

digelar di penghujung tahun 2015.

Maryanto dan Anggun saat berdiskusi dengan Jude Arogwih (ko-kurator BJ XII) dan seniman partisipan di Nigeria

Tustina Alia Swastika ketika melakuk BJ XIII Hacking Conflict! di Jakarta

Neni, Wok the Rock danan sosialisasi program

Page 29: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

28

tidak akan pernah bisa ruang publik, isu tanah dan air, konflik mengakhiri kapitalisme yang warga di tengah budaya perpindahan, sudah berakar di masyarakat. budaya urban yang tentunya berbeda Dibutuhkan kerja bersama yang dengan budaya 'desa urban', dan

beragam efek modernitas yang tidak mampu menggugah kesadaran diantisipasi oleh warga merupakan kolektif di masyarakat bahwa beberapa dari sedikit isu yang diharapkan perubahan adalah sebuah proyek bisa diatasi dengan kerja seni. Dalam hal besar yang niscaya tidak akan ini, seni muncul sebagai 'jalan tengah' pernah selesai tanpa campur untuk menjembatani konflik dan tegangan tangan mereka.”(Mouffe, 2007:5 )yang muncul. Penyelesaian konflik tentunya tidak akan bisa hadir begitu saja, Oleh karena itu, PE BJ XIII bukanlah mengingat kerja seni bukanlah kerja sebuah proyek seni yang akan selesai instan. Meskipun demikian, output yang pasca pertanggungjawaban karya di diharapkan hadir di tengah upaya lingkungan masing-masing dilakukan. menyandingkan konflik tersebut adalah Lebih jauh lagi, kerja bersama ini justru penyadaran kepada warga bahwa ada hak menjadi inisiasi dari munculnya sebuah yang harus diperjuangkan tanpa harus 'jalan tengah' bagi kerja seni: bahwa melawan dengan frontal. Karena upaya masyarakat juga punya suara dan 'ruang' peretasan akan lebih berhasil ketika besar yang harus dipertimbangkan bagi dilakukan secara diplomatis dengan keberlangsungan seni kritis ini!bersama-sama.

Program PE mengarahkan praktik kerja dengan mengambil lokasi kampung-

Sumber : kampung di Yogyakarta. Salah satu Bishop, Claire. 2012. Artificial Hells: landasan pemikiran mengenai pemilihan Participatory Art and The Politic of kampung tersebut adalah karya Guinnes Spectatorship. Versoyang berjudul 'Harmony and Hierarchy in

A Javanese Kampung'. Ia menyatakan Guinness, Patrick. 1986. Harmony and bahwa kampung di Yogyakarta pada tahun Hierarchy in A Javanese Kampung. Australia: 1980-an merupakn perwujudan'desa Oxford University Pressurban'yang menyimpan kekuatan sosial, Laclau, Ernesto, & Mouffe, Chantal. 2001. yang mampu menjadi roda penggerak Hegemony and socialist strategy: Towards a demokrasi, ekonomi, bahkan politik di radical democratic politics. Verso.akar rumput (Guinnes 1986:7). Hal Mouffe, Chantal. 2007. “Artistic Activism and tersebut ternyata masih sangat relevan Agonistic Spaces”. Art & Research Vol.1 No.2 dengan keadaan saat ini, di mana Summer2007kampung merupakan satu pembeda _________________ . 2008. Art and situasi urban di kota-kota di Indonesia democracy: Art as agonistic intervention in dengan negara lainnya. public space. Open 14: Art as a public issue.

Pamflet Sosialisasi Program Parrallel Event Kampung adalah wadah bagi setiap Biennale Jogja XIII - Proyek Seni Komunitas, individu untuk membangun toleransi 2015terhadap perbedaan, menjadi sasana untuk berlatih menghadapi kejutan-kejutan sosial. Tawaran kerja yang dipilih dalam PE juga menyasar pada persoalan-persoalan yang menjadi sumbu konflik dalam pembangunan kota di Yogyakarta yang cenderung kapitalistik. Perebutan

29

BERKUNJUNG,BERKUMPUL,

MERAMUWaktu tidak pernah bisa menunggu. Perhelatan

Biennale Jogja tinggal beberapa bulan ke depan. Tim kerja Pameran, Festival Equator dan Parallel Event yang

sudah dipersiapkan mulai bergegas. Dari sosialisasi, rapat persiapan, pematangan gagasan, penjaringan komunitas partisipan, hingga kunjungan ke lokasi

penyelenggaraan acara dilakukan secara intensif oleh masing-masing tim, guna meramu acara yang akan

digelar di penghujung tahun 2015.

Maryanto dan Anggun saat berdiskusi dengan Jude Arogwih (ko-kurator BJ XII) dan seniman partisipan di Nigeria

Tustina Alia Swastika ketika melakuk BJ XIII Hacking Conflict! di Jakarta

Neni, Wok the Rock danan sosialisasi program

Page 30: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

30 31

Langit yang Berwarna dan Teman Kecil terjadi, tapi sepertinya bumi tidak lagi yang Tersingkir nyaman untuk dipijaki. Pagi hari ketika

membuka jendela, saya baru tersadar langit tidak lagi berwarna biru tetapi gelap 1982. Ketika itu saya masih kelas 2 SD, kelabu kemerahan seperti sedang tinggal di kota kecil yang nyaman. terbakar. Orang berlarian dengan lampu Keluarga saya berasal dari kalangan senter di tangan karena siang bukannya pedagang sehingga memilih lokasi tempat semakin benderang tapi semakin tinggal strategis dekat pasar, kawasan menggelap. Jalanan menebal tertutup pusat pertokoan dan ruang-ruang hujan abu, setiap langkah meninggalkan transaksi yang umumnya ditempati oleh jejak membuat saya tergetar ketika komunitas Tionghoa dan komunitas kecil menyadari seluruh permukaan kota Arab. Walau sudah tinggal lebih dari 3 berubah warna menjadi abu-abu tertutup generasi tetapi ada hal-hal yang mewarnai butiran debu. Pengeras suara masjid tidak interaksi kami sebagai kawan sepermainan lagi mengumandangkan suara adzan tapi yang harmonis dan menyenangkan. berisi peringatan-peringatan. Volume Seakan langit penuh dengan warna radio di meja kerja ayah saya diputar 2 menghiasi masa kecil kami setiap hari. tingkat lebih keras dari biasanya agar kami Suatu malam rumah kami terus menerus sekeluarga mendapatkan informasi akurat bergetar, suara langit-langit berderit dan terkini, apa yang sedang terjadi, semakin keras dan semua lampu gantung untuk segera menentukan apa yang harus bergoyang teratur namun menakutkan kami lakukan. Saya semakin kalut, inikah karena bumi ternyata berguncang Saya kiamat akhir dari seluruh kehidupan di tidak bisa tidur semalaman. Ayah beserta bumi yang sering disebutkan oleh guru orang rumah tampak berbicara serius. ngaji? Bergegas saya naik ke puncak Saya kurang paham apa yang sedang

MEMBISIKBUMI

MEWARNAILANGIT

Irwan Ahmett (Seniman BJXIII Hacking Conflict!)

Sosialisasi di Taman Budaya Solo Sosialisasi di Taman Budaya Solo

Proses penjaringan komunitas persiapan program Parallel Event BJ XIII di Radio Boekoe, Bantul

Proses penjaringan komunitas persiapan program Parallel Event BJ XIII di Radio Buku, Bantul

Forum offline 1 seniman pameran BJ XIII di Jogja National Museum

Forum offline 1 seniman pameran BJ XIII di Jogja National Museum

Page 31: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

30 31

Langit yang Berwarna dan Teman Kecil terjadi, tapi sepertinya bumi tidak lagi yang Tersingkir nyaman untuk dipijaki. Pagi hari ketika

membuka jendela, saya baru tersadar langit tidak lagi berwarna biru tetapi gelap 1982. Ketika itu saya masih kelas 2 SD, kelabu kemerahan seperti sedang tinggal di kota kecil yang nyaman. terbakar. Orang berlarian dengan lampu Keluarga saya berasal dari kalangan senter di tangan karena siang bukannya pedagang sehingga memilih lokasi tempat semakin benderang tapi semakin tinggal strategis dekat pasar, kawasan menggelap. Jalanan menebal tertutup pusat pertokoan dan ruang-ruang hujan abu, setiap langkah meninggalkan transaksi yang umumnya ditempati oleh jejak membuat saya tergetar ketika komunitas Tionghoa dan komunitas kecil menyadari seluruh permukaan kota Arab. Walau sudah tinggal lebih dari 3 berubah warna menjadi abu-abu tertutup generasi tetapi ada hal-hal yang mewarnai butiran debu. Pengeras suara masjid tidak interaksi kami sebagai kawan sepermainan lagi mengumandangkan suara adzan tapi yang harmonis dan menyenangkan. berisi peringatan-peringatan. Volume Seakan langit penuh dengan warna radio di meja kerja ayah saya diputar 2 menghiasi masa kecil kami setiap hari. tingkat lebih keras dari biasanya agar kami Suatu malam rumah kami terus menerus sekeluarga mendapatkan informasi akurat bergetar, suara langit-langit berderit dan terkini, apa yang sedang terjadi, semakin keras dan semua lampu gantung untuk segera menentukan apa yang harus bergoyang teratur namun menakutkan kami lakukan. Saya semakin kalut, inikah karena bumi ternyata berguncang Saya kiamat akhir dari seluruh kehidupan di tidak bisa tidur semalaman. Ayah beserta bumi yang sering disebutkan oleh guru orang rumah tampak berbicara serius. ngaji? Bergegas saya naik ke puncak Saya kurang paham apa yang sedang

MEMBISIKBUMI

MEWARNAILANGIT

Irwan Ahmett (Seniman BJXIII Hacking Conflict!)

Sosialisasi di Taman Budaya Solo Sosialisasi di Taman Budaya Solo

Proses penjaringan komunitas persiapan program Parallel Event BJ XIII di Radio Boekoe, Bantul

Proses penjaringan komunitas persiapan program Parallel Event BJ XIII di Radio Buku, Bantul

Forum offline 1 seniman pameran BJ XIII di Jogja National Museum

Forum offline 1 seniman pameran BJ XIII di Jogja National Museum

Page 32: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

32

genteng ingin melihat langit dan bumi rumah keluarga kami telah pindah lokasi yang tampak semrawut hari itu. Di tepat di depan sebuah gereja, tempat kejauhan terlihat awan bergulung-gulung teman-teman kecil saya yang sudah seperti cendawan raksasa, terdengar beranjak dewasa beribadah setiap dentuman suara menggelegar yang belum Minggu dengan penuh rasa khawatir pernah saya dengar sebelumnya. Kilatan terutama ketika terjadi konflik antar petir dan pijar api membuat saya tergetar agama dan rasial yang berujung pada antara kagum dan ngeri. Galunggung kekerasan hingga pengeboman gereja-meletus! Di kemudian hari saya baru tahu gereja di beberapa lokasi di Indonesia. bahwa letusan Galunggung yang ketiga Memori keceriaan masa kecil yang masih kalinya ini- terhitung sejak tahun 1822- saya ingat dari wajah mereka berganti termasuk salah satu yang paling besar dengan pandangan kosong dan raut dalam sejarah manusia modern.

ketidakpastian penuh ketegangan. Bagai Selama 9 bulan saya harus berhadapan peta yang berubah tersingkir kekuatan dengan segala persoalan akibat bencana letusan, apabila gejolak politik terus ini. Sekolah ditutup, setiap keluar rumah bergerak tak terkendali, teman-teman harus memakai masker, transaksi ekonomi sejak masih kecil saya ini pun akan mudah terhenti, kegiatan pasar terganggu, raut disingkirkan dari negara ini. panik tampak dimana-mana khawatir kondisi sanak famili yang tinggal jauh di Lempeng Bumi yang Bergerak dan desa dan mobilisasi ribuan pengungsi Ideologi yang Bertumbukanmenjadi berita sehari-hari. Setelah letusan mereda, curahan lahar dan Seiring beranjak dewasa, sepertinya tumpukan pasir telah mengubah peta pemandangan langit yang memerah baik wilayah, akibat sungai yang terputus dan karena bencana alam atau gerakan sosial lapisan lahar serta pasir yang mengubur terus mewarnai kehidupan saya di negara desa-desa di sekitarnya. Hampir setiap ini. Seperti pada aksi pembakaran dan ada kesempatan saya selalu kembali naik penjarahan selama kerusuhan Mei – yang ke atas genteng, namun kali ini sepertinya membuat beberapa teman Tionghoa saya sedang kurang beruntung, masa kecil saya pindah ke luar negeri- permukaan lantai tempat saya berpijak telah memerahkan langit Jakarta dan yang hanya berukuran kurang dari 15 cm melumpuhkan ibukota. Belum lagi setelah tertutup pasir licin. Saya tergelincir dan mengetahui letak geografis bumi jatuh dari ketinggian 4 meter, pingsan dan Indonesia tempat saya berpijak. Ternyata kehilangan kemampuan berbicara untuk ratusan kilometer dibawahnya kerap beberapa saat. Galunggung bukan hanya terjadi tumbukan lempeng-lempeng membuat kota saya mati suri, tapi saya raksasa tektonik purba yang terus benar-benar KO oleh 'pukulannya'. Alam menerus bergerak. Semenjak waktu mulai dengan mudah dapat memukul berdetak, tumbukan ini telah membangun kehidupan manusia dengan sangat keras. monster yang berupa barisan gunung Walau bagi bumi, letusan gunung berapi berapi, bagaikan permainan Roulette siap hanyalah sebuah bisikan kecil yang keluar meledak kapan saja. Dalam posisi-posisi dari 'mulutnya'. tertentu lempeng di tengah samudra bisa

bergesar secara ekstrim memicu gempa Setelah beranjak dewasa, sekitar tahun bumi berskala tinggi di dasar laut dan 1998-1999-dalam situasi kehancuran memicu gelombang mega tsunami ekonomi Indonesia akibat krisis moneter- mematikan. Seperti gempa Aceh dengan

33

kekuatan 9,2 SR merupakan terbesar pohon-pohon hijau sepanjang jalan ketiga yang pernah tercatat di seismograf menjadi tinggal ranting karena seluruh dan memiliki durasi terlama sepanjang daunnya rontok ke jalan. Di tengah sejarah, yaitu sekitar 8,3 sampai 10 menit. kekalutan saya melihat sosok-sosok Gempa tersebut mengakibatkan seluruh manusia digotong dengan badan planet bumi bergeser 1 sentimeter dan bersimbah darah dan baju mereka menciptakan beberapa gempa lainnya terkoyak kekuatan dahsyat. Tercium bau

sampai ke wilayah Alaska.Episentrumnya terbakar seperti mesiu. Untuk pertama berada di antara Simeulue dan daratan kalinya saya melihat bagaimana dampak Sumatera, telah memicu terjadinya sebuah bom yang meledak. Orang lari gelombang tsunami yang puncak berhamburan karena takut bom susulan, tertingginya mencapai 30 meter ini saya memacu sepeda motor dengan

pandangan kosong. Sampai rumah baru menewaskan lebih dari 230.000 orang di saya ketahui kalau sebuah bom mobil 14 negara dan menenggelamkan banyak

telah membuat dua orang tewas dan 21 pemukiman tepi pantai. Ini merupakan orang terluka. Peledakan di kedutaan salah satu bencana alam paling Filipina ini disinyalir terkait aksi balas mematikan sepanjang sejarah. Indonesia dendam, karena pemerintah Filipina adalah negara yang terkena dampak melakukan penyerangan terhadap paling besar, diikuti Sri Lanka, India dan kelompok garis keras Islam di Moro. Aksi Thailand. Fakta yang membuat saya mereka dicurigai sebagai pengeboman merasa bahwa sebenarnya peradaban itu pertama dari awal gelombang teror bom ternyata sangatlah rentan.yang meledak sebanyak 28 pengeboman berlangsung dari tahun 2000-2009 di Siang tahun 2000, lalu lintas di Jakarta Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut Pusat tampak lebih lengang dari biasanya. sebanyak 322 orang tewas. Bagi Angin yang berhembus pelan seakan tak pelakunya, barangkali tindakan ini adalah kuasa menyapu awan polusi yang sebuah jalan suci seperti 'vibrasi' dan menebal menaungi langit ibukota. Sepeda intervensi terhadap ideologi yang sudah motor yang saya kendarai memasuki dianggap mati.kawasan Jalan Kuningan/HR. Rasuna Said

lalu menanjak dengan kecepatan sedang Perpisahan dengan Negara dan sehingga sudut pandang dari ketinggian Perjumpaan dengan Senijalan layang membuat mata saya mampu

menyapu garis horizon kota Jakarta yang tampak artistik dengan kontrasnya latar Pada saat tulisan ini dibuat saya sedang belakang pencakar langit dan rumah- mengalami kegelisahan hebat terkait rumah beratap genteng. Pemandangan ini status saya sebagai bangsa dan warga membuat saya terkenang kembali negara Republik Indonesia. Saya tidak kebiasaan sewaktu kecil, menaiki atap ragu tentang gagasan kebangsaan dan rumah untuk melihat seluruh sudut kota. demokrasi, namun ide untuk Namun kali ini mata saya berhenti mendeklarasikan sebuah negara tanpa berkedip, kecepatan sepeda motor komitmen jelas dari aparaturnya dan melambat namun denyut jantung saya konsekuensi setengah-setengah dari semakin cepat. Kembali terlihat semburat bangsanya membuat ide luhur kemerahan di langit diselingi asap halus. nasionalisme berubah menjadi perayaan Semakin mendekat ke arah sumber rutin tahunan membosankan dan ideologi cahaya semakin mengerikan, lalu lintas hafalan yang usang. Secara perlahan terhenti, wajah pengendara pucat pasi, serpihan-serpihan rekonstruksi sejarah

Page 33: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

32

genteng ingin melihat langit dan bumi rumah keluarga kami telah pindah lokasi yang tampak semrawut hari itu. Di tepat di depan sebuah gereja, tempat kejauhan terlihat awan bergulung-gulung teman-teman kecil saya yang sudah seperti cendawan raksasa, terdengar beranjak dewasa beribadah setiap dentuman suara menggelegar yang belum Minggu dengan penuh rasa khawatir pernah saya dengar sebelumnya. Kilatan terutama ketika terjadi konflik antar petir dan pijar api membuat saya tergetar agama dan rasial yang berujung pada antara kagum dan ngeri. Galunggung kekerasan hingga pengeboman gereja-meletus! Di kemudian hari saya baru tahu gereja di beberapa lokasi di Indonesia. bahwa letusan Galunggung yang ketiga Memori keceriaan masa kecil yang masih kalinya ini- terhitung sejak tahun 1822- saya ingat dari wajah mereka berganti termasuk salah satu yang paling besar dengan pandangan kosong dan raut dalam sejarah manusia modern.

ketidakpastian penuh ketegangan. Bagai Selama 9 bulan saya harus berhadapan peta yang berubah tersingkir kekuatan dengan segala persoalan akibat bencana letusan, apabila gejolak politik terus ini. Sekolah ditutup, setiap keluar rumah bergerak tak terkendali, teman-teman harus memakai masker, transaksi ekonomi sejak masih kecil saya ini pun akan mudah terhenti, kegiatan pasar terganggu, raut disingkirkan dari negara ini. panik tampak dimana-mana khawatir kondisi sanak famili yang tinggal jauh di Lempeng Bumi yang Bergerak dan desa dan mobilisasi ribuan pengungsi Ideologi yang Bertumbukanmenjadi berita sehari-hari. Setelah letusan mereda, curahan lahar dan Seiring beranjak dewasa, sepertinya tumpukan pasir telah mengubah peta pemandangan langit yang memerah baik wilayah, akibat sungai yang terputus dan karena bencana alam atau gerakan sosial lapisan lahar serta pasir yang mengubur terus mewarnai kehidupan saya di negara desa-desa di sekitarnya. Hampir setiap ini. Seperti pada aksi pembakaran dan ada kesempatan saya selalu kembali naik penjarahan selama kerusuhan Mei – yang ke atas genteng, namun kali ini sepertinya membuat beberapa teman Tionghoa saya sedang kurang beruntung, masa kecil saya pindah ke luar negeri- permukaan lantai tempat saya berpijak telah memerahkan langit Jakarta dan yang hanya berukuran kurang dari 15 cm melumpuhkan ibukota. Belum lagi setelah tertutup pasir licin. Saya tergelincir dan mengetahui letak geografis bumi jatuh dari ketinggian 4 meter, pingsan dan Indonesia tempat saya berpijak. Ternyata kehilangan kemampuan berbicara untuk ratusan kilometer dibawahnya kerap beberapa saat. Galunggung bukan hanya terjadi tumbukan lempeng-lempeng membuat kota saya mati suri, tapi saya raksasa tektonik purba yang terus benar-benar KO oleh 'pukulannya'. Alam menerus bergerak. Semenjak waktu mulai dengan mudah dapat memukul berdetak, tumbukan ini telah membangun kehidupan manusia dengan sangat keras. monster yang berupa barisan gunung Walau bagi bumi, letusan gunung berapi berapi, bagaikan permainan Roulette siap hanyalah sebuah bisikan kecil yang keluar meledak kapan saja. Dalam posisi-posisi dari 'mulutnya'. tertentu lempeng di tengah samudra bisa

bergesar secara ekstrim memicu gempa Setelah beranjak dewasa, sekitar tahun bumi berskala tinggi di dasar laut dan 1998-1999-dalam situasi kehancuran memicu gelombang mega tsunami ekonomi Indonesia akibat krisis moneter- mematikan. Seperti gempa Aceh dengan

33

kekuatan 9,2 SR merupakan terbesar pohon-pohon hijau sepanjang jalan ketiga yang pernah tercatat di seismograf menjadi tinggal ranting karena seluruh dan memiliki durasi terlama sepanjang daunnya rontok ke jalan. Di tengah sejarah, yaitu sekitar 8,3 sampai 10 menit. kekalutan saya melihat sosok-sosok Gempa tersebut mengakibatkan seluruh manusia digotong dengan badan planet bumi bergeser 1 sentimeter dan bersimbah darah dan baju mereka menciptakan beberapa gempa lainnya terkoyak kekuatan dahsyat. Tercium bau

sampai ke wilayah Alaska.Episentrumnya terbakar seperti mesiu. Untuk pertama berada di antara Simeulue dan daratan kalinya saya melihat bagaimana dampak Sumatera, telah memicu terjadinya sebuah bom yang meledak. Orang lari gelombang tsunami yang puncak berhamburan karena takut bom susulan, tertingginya mencapai 30 meter ini saya memacu sepeda motor dengan

pandangan kosong. Sampai rumah baru menewaskan lebih dari 230.000 orang di saya ketahui kalau sebuah bom mobil 14 negara dan menenggelamkan banyak

telah membuat dua orang tewas dan 21 pemukiman tepi pantai. Ini merupakan orang terluka. Peledakan di kedutaan salah satu bencana alam paling Filipina ini disinyalir terkait aksi balas mematikan sepanjang sejarah. Indonesia dendam, karena pemerintah Filipina adalah negara yang terkena dampak melakukan penyerangan terhadap paling besar, diikuti Sri Lanka, India dan kelompok garis keras Islam di Moro. Aksi Thailand. Fakta yang membuat saya mereka dicurigai sebagai pengeboman merasa bahwa sebenarnya peradaban itu pertama dari awal gelombang teror bom ternyata sangatlah rentan.yang meledak sebanyak 28 pengeboman berlangsung dari tahun 2000-2009 di Siang tahun 2000, lalu lintas di Jakarta Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut Pusat tampak lebih lengang dari biasanya. sebanyak 322 orang tewas. Bagi Angin yang berhembus pelan seakan tak pelakunya, barangkali tindakan ini adalah kuasa menyapu awan polusi yang sebuah jalan suci seperti 'vibrasi' dan menebal menaungi langit ibukota. Sepeda intervensi terhadap ideologi yang sudah motor yang saya kendarai memasuki dianggap mati.kawasan Jalan Kuningan/HR. Rasuna Said

lalu menanjak dengan kecepatan sedang Perpisahan dengan Negara dan sehingga sudut pandang dari ketinggian Perjumpaan dengan Senijalan layang membuat mata saya mampu

menyapu garis horizon kota Jakarta yang tampak artistik dengan kontrasnya latar Pada saat tulisan ini dibuat saya sedang belakang pencakar langit dan rumah- mengalami kegelisahan hebat terkait rumah beratap genteng. Pemandangan ini status saya sebagai bangsa dan warga membuat saya terkenang kembali negara Republik Indonesia. Saya tidak kebiasaan sewaktu kecil, menaiki atap ragu tentang gagasan kebangsaan dan rumah untuk melihat seluruh sudut kota. demokrasi, namun ide untuk Namun kali ini mata saya berhenti mendeklarasikan sebuah negara tanpa berkedip, kecepatan sepeda motor komitmen jelas dari aparaturnya dan melambat namun denyut jantung saya konsekuensi setengah-setengah dari semakin cepat. Kembali terlihat semburat bangsanya membuat ide luhur kemerahan di langit diselingi asap halus. nasionalisme berubah menjadi perayaan Semakin mendekat ke arah sumber rutin tahunan membosankan dan ideologi cahaya semakin mengerikan, lalu lintas hafalan yang usang. Secara perlahan terhenti, wajah pengendara pucat pasi, serpihan-serpihan rekonstruksi sejarah

Page 34: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

34

yang dijejalkan selama saya lahir dan Perjumpaan saya dengan kesenian tumbuh di era Orde Baru menguap menjadi penting. Setidaknya, saya merasa tersapu perubahan. Namun setelah era cara pandang sebagai seniman terhadap reformasi ternyata tidak banyak persoalan mampu membangkitkan perubahan yang berarti, semakin hari baik imajinasi radikal tanpa batas sehingga negara ataupun dunia seni cenderung kerap merefleksikan gambaran dunia menjauh dari apa yang saya bayangkan dengan apa adanya. Saat ini saya sebelumnya. Saya merasa waktu mengamati dua arus besar dunia seni perpisahan antara saya dan negara Indonesia. Seni pasar dan intelektual. Seni semakin mendekat, kegelisahan ini pasar sama sekali tidak menarik minat semakin memuncak dalam dua tahun saya karena sejak kecil saya tumbuh dekat terakhir tatkala saya mengerjakan karya pasar, di mana omong kosong, jual beli baru terkait peristiwa politik yang terjadi dan negosiasi menjadi pemandangan di tahun 1965-1966, pada saat terjadi sehari-hari lengkap dengan drama kaya benturan ideologi paling kejam sepanjang mendadak dan simbol-simbol kesuksesan sejarah Indonesia yang dipengaruhi tarik yang dipertontonkan dalam keseharian. menarik dua kekuatan besar di dunia saat Situasi seni yang saya jalani saat ini telah itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. menciptakan perjumpaan-perjumpaan Situasi yang mendorong bangsa Indonesia yang lebih eksplosif dari hanya sekedar bergeser kearah lain. Tragisnya rakyat ruang 'steril' galeri. Karena ada kembali menjadi korban, setengah juta kecenderungan infrastruktur seni di jiwa melayang. Ideologi kembali menjadi Indonesia saat ini tumbuh seperti di pembenaran atas pemusnahan suatu Barat, memuseumkan, membendakan. golongan. Menyedihkan selama 32 tahun Padahal ketika memasuki museum seni berikutnya kita diajarkan untuk menjadi kontemporer, saya merasa sering pembenci sejati. Lalu sejarah baru dikerdilkan ketika berada di dalamnya. dibangun namun si pelaku tidak Pembacaan geopolitik yang selama ini menyadari bahwa sejarah yang tidak saya pelajari ternyata semakin melebar mungkin direproduksi tersebut kembali sepanjang garis peta politik di permukaan ingin dipertontonkan kepada publik. bumi. Tarik menarik dan benturan Monumen-monumen berselera buruk ideologi terus terjadi sementara ancaman dengan bahan beton dan perunggu yang gunung berapi dan gempa bumi terjadi menjulang tinggi ke langit didirikan setiap hari (saat ini setidaknya terdapat dengan megah di ruang publik. Namun 76 gunung berapi yang aktif di Indonesia), apa yang terjadi setelah sang penguasa ditambah dengan potensi 'letupan' tersungkur? Monumen menjadi gerakan yang terus bergerilya di Timur kehilangan makna, ada secara fisik namun bumi pertiwi. Rakyat Papua memanggul sudah tidak dianggap berfungsi, bahkan busur, panah dan senjata secara estetis sulit untuk dinikmati karena memperjuangkan kemerdekaan atas rakyat melihat sejarah yang terdistorsi. pendudukan Indonesia. Konflik dan Monumen Mandala (mengenang ketegangan mewarnai kekayaan alam perebutan Irian Barat) di Makasar mereka yang terus dieksploitasi dengan semakin sepi karena warga lebih senang brutal. Negara kembali melakukan mengunjungi pantai Losari. Ternyata kesalahan fatal dengan menerjunkan sejarah pun sangatlah labil, terus bergeser militer ke Tanah Papua, ceritanya tentu dan berubah seiring perkembangan akan berbeda apabila lebih banyak sejarah itu sendiri. mengirimkan seniman untuk bekerja

disana.

35

Tempat Paling Mematikan di Bumi dan Langit yang Berwarna Pelangi

Dengan getir saya harus mengakui bahwa ternyata kawasan yang saya tinggali merupakan salah satu tempat paling mematikan di bumi. Karena dampak dari tumbukan ideologi dan bergesernya lempeng tektonik telah mengakibatkan begitu banyak tragedi kemanusiaan dan luka sejarah kelam. Ring of Fire, garis kerentanan yang membentang di sekitar lingkar Pasifik, selain menjanjikan sumber daya alam dan potensi ekonomi yang strategis, kawasan ini penuh gejolak baik secara geografis maupun politis yang terbentang dari masa perang dunia ke 2, perang dingin hingga era globalisasi saat ini. Di garis Asia Timur saja terdapat berbagai potensi konflik yang setiap saat mudah tersulut dan meledak. Ketegangan perbatasan wilayah di Laut Cina Selatan melibatkan perdebatan lebih dari 8 negara, konflik bangsa bersaudara antara Korea Utara dan Korea Selatan, segregasi yang kian melebar antara pekerja migran dengan warga setempat di ruang-ruang publik Taiwan, raksasa Cina yang telah membuat semua mata dunia melirik bukan hanya pada gemerlap ekonominya namun kebijakan politiknya yang agresif dan provokatif. Sementara diam-diam reaktor nuklir Fukushima bocor mencemari Samudera Pasifik. Semuanya terasa rumit seperti dulu waktu saya melihat seluruh kota yang tertutup abu. Untuk memulai langkah sepertinya saya harus kembali menggunakan faktor penting dalam peradaban yang sering dilupakan, yakni kekuatan kebudayaan. Setiap teriakan menginginkan perubahan semakin keras sehingga menjadi tidak lagi terdengar dengan jelas. Saya ingat cerita seorang teman yang percaya kekuatan sebuah 'bisikan', masuk ke dalam telinga secara perlahan lalu diterima oleh hati tanpa paksaan untuk membuat sebuah perubahan.

Bisa jadi ini semua hanyalah utopia saya saja yang berambisi mengintervensi garis 'Cincin Api'. Ditengah kegalauan membuat karya baru untuk Jogja Biennale kali ini justru saya merasakan bahwa 'operating system' geopolitik Equator tidak 'user friendly' karena membuat saya sulit untuk memahami relasi Indonesia-Nigeria yang saya percaya bukan hanya sekedar saling menawarkan Indomie. Sambil terus bekerja saya bermimpi suatu hari tidak lagi melihat semburat merah yang penuh misteri diatas langit tetapi warna pelangi yang indah dan mendamaikan hati.

Page 35: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

34

yang dijejalkan selama saya lahir dan Perjumpaan saya dengan kesenian tumbuh di era Orde Baru menguap menjadi penting. Setidaknya, saya merasa tersapu perubahan. Namun setelah era cara pandang sebagai seniman terhadap reformasi ternyata tidak banyak persoalan mampu membangkitkan perubahan yang berarti, semakin hari baik imajinasi radikal tanpa batas sehingga negara ataupun dunia seni cenderung kerap merefleksikan gambaran dunia menjauh dari apa yang saya bayangkan dengan apa adanya. Saat ini saya sebelumnya. Saya merasa waktu mengamati dua arus besar dunia seni perpisahan antara saya dan negara Indonesia. Seni pasar dan intelektual. Seni semakin mendekat, kegelisahan ini pasar sama sekali tidak menarik minat semakin memuncak dalam dua tahun saya karena sejak kecil saya tumbuh dekat terakhir tatkala saya mengerjakan karya pasar, di mana omong kosong, jual beli baru terkait peristiwa politik yang terjadi dan negosiasi menjadi pemandangan di tahun 1965-1966, pada saat terjadi sehari-hari lengkap dengan drama kaya benturan ideologi paling kejam sepanjang mendadak dan simbol-simbol kesuksesan sejarah Indonesia yang dipengaruhi tarik yang dipertontonkan dalam keseharian. menarik dua kekuatan besar di dunia saat Situasi seni yang saya jalani saat ini telah itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. menciptakan perjumpaan-perjumpaan Situasi yang mendorong bangsa Indonesia yang lebih eksplosif dari hanya sekedar bergeser kearah lain. Tragisnya rakyat ruang 'steril' galeri. Karena ada kembali menjadi korban, setengah juta kecenderungan infrastruktur seni di jiwa melayang. Ideologi kembali menjadi Indonesia saat ini tumbuh seperti di pembenaran atas pemusnahan suatu Barat, memuseumkan, membendakan. golongan. Menyedihkan selama 32 tahun Padahal ketika memasuki museum seni berikutnya kita diajarkan untuk menjadi kontemporer, saya merasa sering pembenci sejati. Lalu sejarah baru dikerdilkan ketika berada di dalamnya. dibangun namun si pelaku tidak Pembacaan geopolitik yang selama ini menyadari bahwa sejarah yang tidak saya pelajari ternyata semakin melebar mungkin direproduksi tersebut kembali sepanjang garis peta politik di permukaan ingin dipertontonkan kepada publik. bumi. Tarik menarik dan benturan Monumen-monumen berselera buruk ideologi terus terjadi sementara ancaman dengan bahan beton dan perunggu yang gunung berapi dan gempa bumi terjadi menjulang tinggi ke langit didirikan setiap hari (saat ini setidaknya terdapat dengan megah di ruang publik. Namun 76 gunung berapi yang aktif di Indonesia), apa yang terjadi setelah sang penguasa ditambah dengan potensi 'letupan' tersungkur? Monumen menjadi gerakan yang terus bergerilya di Timur kehilangan makna, ada secara fisik namun bumi pertiwi. Rakyat Papua memanggul sudah tidak dianggap berfungsi, bahkan busur, panah dan senjata secara estetis sulit untuk dinikmati karena memperjuangkan kemerdekaan atas rakyat melihat sejarah yang terdistorsi. pendudukan Indonesia. Konflik dan Monumen Mandala (mengenang ketegangan mewarnai kekayaan alam perebutan Irian Barat) di Makasar mereka yang terus dieksploitasi dengan semakin sepi karena warga lebih senang brutal. Negara kembali melakukan mengunjungi pantai Losari. Ternyata kesalahan fatal dengan menerjunkan sejarah pun sangatlah labil, terus bergeser militer ke Tanah Papua, ceritanya tentu dan berubah seiring perkembangan akan berbeda apabila lebih banyak sejarah itu sendiri. mengirimkan seniman untuk bekerja

disana.

35

Tempat Paling Mematikan di Bumi dan Langit yang Berwarna Pelangi

Dengan getir saya harus mengakui bahwa ternyata kawasan yang saya tinggali merupakan salah satu tempat paling mematikan di bumi. Karena dampak dari tumbukan ideologi dan bergesernya lempeng tektonik telah mengakibatkan begitu banyak tragedi kemanusiaan dan luka sejarah kelam. Ring of Fire, garis kerentanan yang membentang di sekitar lingkar Pasifik, selain menjanjikan sumber daya alam dan potensi ekonomi yang strategis, kawasan ini penuh gejolak baik secara geografis maupun politis yang terbentang dari masa perang dunia ke 2, perang dingin hingga era globalisasi saat ini. Di garis Asia Timur saja terdapat berbagai potensi konflik yang setiap saat mudah tersulut dan meledak. Ketegangan perbatasan wilayah di Laut Cina Selatan melibatkan perdebatan lebih dari 8 negara, konflik bangsa bersaudara antara Korea Utara dan Korea Selatan, segregasi yang kian melebar antara pekerja migran dengan warga setempat di ruang-ruang publik Taiwan, raksasa Cina yang telah membuat semua mata dunia melirik bukan hanya pada gemerlap ekonominya namun kebijakan politiknya yang agresif dan provokatif. Sementara diam-diam reaktor nuklir Fukushima bocor mencemari Samudera Pasifik. Semuanya terasa rumit seperti dulu waktu saya melihat seluruh kota yang tertutup abu. Untuk memulai langkah sepertinya saya harus kembali menggunakan faktor penting dalam peradaban yang sering dilupakan, yakni kekuatan kebudayaan. Setiap teriakan menginginkan perubahan semakin keras sehingga menjadi tidak lagi terdengar dengan jelas. Saya ingat cerita seorang teman yang percaya kekuatan sebuah 'bisikan', masuk ke dalam telinga secara perlahan lalu diterima oleh hati tanpa paksaan untuk membuat sebuah perubahan.

Bisa jadi ini semua hanyalah utopia saya saja yang berambisi mengintervensi garis 'Cincin Api'. Ditengah kegalauan membuat karya baru untuk Jogja Biennale kali ini justru saya merasakan bahwa 'operating system' geopolitik Equator tidak 'user friendly' karena membuat saya sulit untuk memahami relasi Indonesia-Nigeria yang saya percaya bukan hanya sekedar saling menawarkan Indomie. Sambil terus bekerja saya bermimpi suatu hari tidak lagi melihat semburat merah yang penuh misteri diatas langit tetapi warna pelangi yang indah dan mendamaikan hati.

Page 36: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

36

Sebelum berangkat ke Nigeria, Maryanto sempat saya temui untuk membincangkan perkembangan riset serta berbagi pandangan seputar tema yang sedang dibahas dalam Equator edisi ini, yakni seni dan politik. Maryanto merupakan salah satu seniman yang mengikuti program residensi selama dua minggu di Nigeria, bersama dengan seorang seniman lainnya, Anggun Priambodo. Pada kesempatan ini, Maryanto menceritakan proses risetnya seputar politik minyak dengan studi kasus pertambangan minyak di Bojonegoro, sebagai salah satu bagian dalam mempersiapkan karya yang akan ditampilkan dalam BJXIII. Selain membicarakan persoalan politik minyak, Maryanto juga menyampaikan pandangan reflektifnya seputar peran seniman di tengah persoalan sosial. Bisa diceritakan arah riset tentang politik minyak yang sedang dilakukan?

Aku ingin mengurai kompleksitas persoalan dalam pengelolaan minyak di Indonesia, dengan mengambil studi kasus di Bojonegoro. Membicarakan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan privatisasi, regulasi hingga persoalan distribusi Sumber Daya Alam di masyarakat. Salah satu keresahan yang menjadi latar belakang dalam riset ini ialah sejauh mana minyak yang berasal dari perut bumi ini hasilnya bisa didistribusikan dan dirasakan oleh masyarakat. Dari situlah aku mencari tau sistem pengelolaan minyak. Awalnya kita percaya sistem pertambangan dikelola oleh negara, namun negarapun menyerahkan pengelolaan dilakukan oleh korporasi besar. Aku tidak yakin keuntungannya dirasakan oleh masyarakat. Meski kita hidup di atas tanah yang kaya, aku yakin kita tidak bisa menikmati kekayaan tersebut. kompleksitas persoalan itulah yang coba diurai dalam penelitian ini.

Apa saja unsur-unsur yang membuatnya jadi kompleks?

Persoalan privatisasi, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran hingga perubahan sosial dalam masyarakat. Membicarakan pengelolaan tentu kita tidak bisa mengabaikan persoalan privatisasi. Dalam konteks privatisasi, masyarakat berada pada posisi paling rendah, karena persoalan ketrampilan. Semisal Exxon menambang di suatu tempat di tengah masyarakat, karena skill masyarakat yang terbatas, maka pekerja terampil tidak diserap dari masyarakat. Ketika ditanya tentang infrastruktur, banyak yang mengeluh pembangunannya tidak tepat sasaran, karena pembangunan banyak dikelola oleh broker atau LSM yang tidak paham kebutuhan masyarakat. Bahkan menurut cerita Pak Kades, perubahan sosial masyarakat setelah pertambangan masuk tidak terlalu menyenangkan pada tataran pola konsumsi dan mental. Perubahan dari masyarakat agraris menjadi pertambangan membuat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Banyaknya warga yang kaya mendadak meningkatkan pola konsumsi gadget, motor bahkan prostitusi. Yang jadi masalah di sini ialah bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan manusia, tetapi hanya pembangunan fisik. Memang jalanan

KITA PERLU KOTA RAMAH MANUSIA,BUKAN RAMAH MODAL:

WAWANCARA DENGAN MARYANTO

Lisistrata Lusandiana

37

menjadi lebih halus, warga tidak kesulitan mencari air, tetapi pembangunan manusianya menjadi luput dari perhatian.

Bagaimana persoalan ini dibahas dengan menyandingkan persoalan yang ada di Nigeria?

Harus dicari persamaan dan perbedaannya. Bagaimanapun juga persoalan dan keresahannya tetap sama, yakni soal bagaimana potensi minyak dikelola dan diatur dan bagaimana masyarakat menikmati hasil buminya. Itu saja pertanyaan gampangnya. Lalu di Nigeria kita cari tau bagaimana posisi masyarakat menghadapi potensi alamnya.

Bagaimana awal warga memulai penambangan? Bagaimana sistem penambangan minyak rumah tangga beroperasi dan apa saja masalahnya?

Berdasar cerita warga, penambangan dimulai dengan proses ritual. Untuk memulai pengeboran, diperlukan sekitar 900 juta rupiah. Oleh karena itu mereka mengundang investor. Investor tersebut kemudian mengambil keuntungan bagi hasil. Proses pengelolaan yang dilakukan warga hanya sampai sebatas minyak mentah. Warga tidak boleh langsung menjual hasil jadi, tetapi beberapa tetap menjualnya secara sembunyi-sembunyi. Meski di masyarakat juga sudah berkembang wacana bahwa hasil olahan warga tidak bagus untuk mesin.

Soal proses ritual, warga menjalankan ritual khusus untuk sumur, karena dianggap sebagai sumber rejeki. Kenaikan ekonomi warga di sekitar situs penambangan memang sangat drastis. Investasi awal yang memerlukan 900 juta rupiah itu akan balik modal dengan cepat. Walaupun sebenarnya minyak yang mengalir akan cepat berhenti. Beberapa sumur bahkan sudah berhenti mengalirkan minyak. Yang jadi masalah ialah; warga memang banyak mendapatkan keuntungan ekonomi, akan tetapi percekcokan rumah tangga semakin tinggi. Tingkat pendidikan juga rendah. Pemahaman mereka tentang lingkungan itu aji mumpung.

Sejak kapan banyak mengeksplorasi persoalan SDA dan bagaimana awalnya?

Aku sebenarnya selalu tertarik dengan tema-tema lingkungan. Karyaku sebelumnya kan tentang lingkungan urban, seperti yang kubahas dalam Rawalelatu, itu tentang perubahan dari rawa ke wilayah urban dan industri. Kehidupan warga di pinggiran kota sudah menjadi pemandanganku sejak kecil. Aku ingat bagaimana listrik baru masuk ke kampungku pada tahun 1985. Kemudian ada pabrik tekstil. Yang tadinya kampung lalu berubah menjadi apartemen. Logika awalnya sih mau membicarakan bagaimana kampung berubah menjadi apartemen. Yang jadi soal ialah karena pembangunan hanya berpusat pada pembangunan ekonomi, bukan pembangunan masyarakat dan manusianya. Hanya pendapatan negara yang menjadi perhatian. Arah pembangunan kota juga harus direncanakan dengan melibatkan masyarakat.

Kita bisa membandingkan apa yang terjadi di kota ini dengan pola hidup komunitas, semisal komunitas Ciptagelar. Mereka mengelola semua kebutuhan komunitasnya secara bersama-sama. Dari urusan dasar manusia, yakni kebutuhan untuk makan hingga pendidikan dan kesenian. Sementara masyarakat industri yang ada saat ini barangkali bisa mencukupi kebutuhan dasarnya, tetapi kebutuhan dalam pengembangan diri tidak bisa mereka penuhi. Seperti yang bisa kita lihat dari masyarakat yang bekerja di pertambangan itu. Tidak ada kesempatan untuk mengartikulasikan diri, sementara arah pembangunan kota tidak berorientasi pada manusia dan nilai humanistis. Kita perlu kota yang ramah manusia, bukan ramah modal.

Page 37: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

36

Sebelum berangkat ke Nigeria, Maryanto sempat saya temui untuk membincangkan perkembangan riset serta berbagi pandangan seputar tema yang sedang dibahas dalam Equator edisi ini, yakni seni dan politik. Maryanto merupakan salah satu seniman yang mengikuti program residensi selama dua minggu di Nigeria, bersama dengan seorang seniman lainnya, Anggun Priambodo. Pada kesempatan ini, Maryanto menceritakan proses risetnya seputar politik minyak dengan studi kasus pertambangan minyak di Bojonegoro, sebagai salah satu bagian dalam mempersiapkan karya yang akan ditampilkan dalam BJXIII. Selain membicarakan persoalan politik minyak, Maryanto juga menyampaikan pandangan reflektifnya seputar peran seniman di tengah persoalan sosial. Bisa diceritakan arah riset tentang politik minyak yang sedang dilakukan?

Aku ingin mengurai kompleksitas persoalan dalam pengelolaan minyak di Indonesia, dengan mengambil studi kasus di Bojonegoro. Membicarakan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan privatisasi, regulasi hingga persoalan distribusi Sumber Daya Alam di masyarakat. Salah satu keresahan yang menjadi latar belakang dalam riset ini ialah sejauh mana minyak yang berasal dari perut bumi ini hasilnya bisa didistribusikan dan dirasakan oleh masyarakat. Dari situlah aku mencari tau sistem pengelolaan minyak. Awalnya kita percaya sistem pertambangan dikelola oleh negara, namun negarapun menyerahkan pengelolaan dilakukan oleh korporasi besar. Aku tidak yakin keuntungannya dirasakan oleh masyarakat. Meski kita hidup di atas tanah yang kaya, aku yakin kita tidak bisa menikmati kekayaan tersebut. kompleksitas persoalan itulah yang coba diurai dalam penelitian ini.

Apa saja unsur-unsur yang membuatnya jadi kompleks?

Persoalan privatisasi, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran hingga perubahan sosial dalam masyarakat. Membicarakan pengelolaan tentu kita tidak bisa mengabaikan persoalan privatisasi. Dalam konteks privatisasi, masyarakat berada pada posisi paling rendah, karena persoalan ketrampilan. Semisal Exxon menambang di suatu tempat di tengah masyarakat, karena skill masyarakat yang terbatas, maka pekerja terampil tidak diserap dari masyarakat. Ketika ditanya tentang infrastruktur, banyak yang mengeluh pembangunannya tidak tepat sasaran, karena pembangunan banyak dikelola oleh broker atau LSM yang tidak paham kebutuhan masyarakat. Bahkan menurut cerita Pak Kades, perubahan sosial masyarakat setelah pertambangan masuk tidak terlalu menyenangkan pada tataran pola konsumsi dan mental. Perubahan dari masyarakat agraris menjadi pertambangan membuat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Banyaknya warga yang kaya mendadak meningkatkan pola konsumsi gadget, motor bahkan prostitusi. Yang jadi masalah di sini ialah bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan manusia, tetapi hanya pembangunan fisik. Memang jalanan

KITA PERLU KOTA RAMAH MANUSIA,BUKAN RAMAH MODAL:

WAWANCARA DENGAN MARYANTO

Lisistrata Lusandiana

37

menjadi lebih halus, warga tidak kesulitan mencari air, tetapi pembangunan manusianya menjadi luput dari perhatian.

Bagaimana persoalan ini dibahas dengan menyandingkan persoalan yang ada di Nigeria?

Harus dicari persamaan dan perbedaannya. Bagaimanapun juga persoalan dan keresahannya tetap sama, yakni soal bagaimana potensi minyak dikelola dan diatur dan bagaimana masyarakat menikmati hasil buminya. Itu saja pertanyaan gampangnya. Lalu di Nigeria kita cari tau bagaimana posisi masyarakat menghadapi potensi alamnya.

Bagaimana awal warga memulai penambangan? Bagaimana sistem penambangan minyak rumah tangga beroperasi dan apa saja masalahnya?

Berdasar cerita warga, penambangan dimulai dengan proses ritual. Untuk memulai pengeboran, diperlukan sekitar 900 juta rupiah. Oleh karena itu mereka mengundang investor. Investor tersebut kemudian mengambil keuntungan bagi hasil. Proses pengelolaan yang dilakukan warga hanya sampai sebatas minyak mentah. Warga tidak boleh langsung menjual hasil jadi, tetapi beberapa tetap menjualnya secara sembunyi-sembunyi. Meski di masyarakat juga sudah berkembang wacana bahwa hasil olahan warga tidak bagus untuk mesin.

Soal proses ritual, warga menjalankan ritual khusus untuk sumur, karena dianggap sebagai sumber rejeki. Kenaikan ekonomi warga di sekitar situs penambangan memang sangat drastis. Investasi awal yang memerlukan 900 juta rupiah itu akan balik modal dengan cepat. Walaupun sebenarnya minyak yang mengalir akan cepat berhenti. Beberapa sumur bahkan sudah berhenti mengalirkan minyak. Yang jadi masalah ialah; warga memang banyak mendapatkan keuntungan ekonomi, akan tetapi percekcokan rumah tangga semakin tinggi. Tingkat pendidikan juga rendah. Pemahaman mereka tentang lingkungan itu aji mumpung.

Sejak kapan banyak mengeksplorasi persoalan SDA dan bagaimana awalnya?

Aku sebenarnya selalu tertarik dengan tema-tema lingkungan. Karyaku sebelumnya kan tentang lingkungan urban, seperti yang kubahas dalam Rawalelatu, itu tentang perubahan dari rawa ke wilayah urban dan industri. Kehidupan warga di pinggiran kota sudah menjadi pemandanganku sejak kecil. Aku ingat bagaimana listrik baru masuk ke kampungku pada tahun 1985. Kemudian ada pabrik tekstil. Yang tadinya kampung lalu berubah menjadi apartemen. Logika awalnya sih mau membicarakan bagaimana kampung berubah menjadi apartemen. Yang jadi soal ialah karena pembangunan hanya berpusat pada pembangunan ekonomi, bukan pembangunan masyarakat dan manusianya. Hanya pendapatan negara yang menjadi perhatian. Arah pembangunan kota juga harus direncanakan dengan melibatkan masyarakat.

Kita bisa membandingkan apa yang terjadi di kota ini dengan pola hidup komunitas, semisal komunitas Ciptagelar. Mereka mengelola semua kebutuhan komunitasnya secara bersama-sama. Dari urusan dasar manusia, yakni kebutuhan untuk makan hingga pendidikan dan kesenian. Sementara masyarakat industri yang ada saat ini barangkali bisa mencukupi kebutuhan dasarnya, tetapi kebutuhan dalam pengembangan diri tidak bisa mereka penuhi. Seperti yang bisa kita lihat dari masyarakat yang bekerja di pertambangan itu. Tidak ada kesempatan untuk mengartikulasikan diri, sementara arah pembangunan kota tidak berorientasi pada manusia dan nilai humanistis. Kita perlu kota yang ramah manusia, bukan ramah modal.

Page 38: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

38

Pergeseran eksplorasi tema dari urban ke agraris, bisa diceritakan?

Ketika membicarakan Rawalelatu dalam konteks perubahan sosial, pasti ada yang rusak, ada menjadi korban. Perubahan dari agraris ke industri, pasti ada sawah yang dirusak dan pohon-pohon hutan yang ditebang. Pada saat itu, sewaktu masih banyak drawing, aku penasaran untuk mencari tau seluk-beluk industri kertas. Aku penasaran dengan proses produksi kertas, lalu aku menemukan kasus kerusakan alam yang dilakukan oleh APP (Asia Pulp and Paper). Sebagai perusahaan terbesar se Asia Tenggara, perusahaan ini menghancurkan hutan namun berdalih punya standar perkebunan. Untuk mendapat standar ramah lingkungan pun mereka memesannya dari lembaga sertifikasi, namun lembaga tersebut justru menemukan lebih banyak kerusakan.

Pada dasarnya, ketertarikan ini bermula karena aku banyak menggunakan media kertas untuk drawing. Lama-lama aku jadi lebih tertarik untuk mengetahui kasus perusakannya. Yang lebih pelik lagi ketika membicarakan kerusakan yang diakibatkan Freeport di Papua. Aku juga banyak berbincang dengan teman yang sudah melakukan penelitian terkait dengan kerusakan yang diakibatkan Freeport. Dari sisi sejarah, berdirinya Freeport juga berpengaruh terhadap regulasi dan keberadaan industri pertambangan.

Ketika membicarakan tema-tema yang terkait dengan orde baru, bagaimana kamu melihat penggunaannya dalam berkesenian sampai hari ini?

Menurutku tergantung sudut pandangnya. Yang menarik ialah bahwa sejarah itu akan selalu tergantung pada keberpihakan. Berbicara tentang Suharto, sebenarnya masih banyak yang berpihak pada Suharto. Namun membicarakan Orde Baru yang berlangsung sangat lama tidak serta merta bisa dilupakan. Dilihat dari sisi eksploitasi industri, Orde Baru merupakan momen yang sangat signifikan dalam membuat kerusakan lingkungan. Eksploitasi alam yang berlangsung masif sampai hari ini itu merupakan akibat dari Orde Baru. Orde Barulah yang membuat pondasi buruk.

Bagaimana posisi seniman dalam mengambil perannya di masyarakat?

Posisi seniman harus ditanggapi sebagai posisi yang paling unik sebenarnya. Bukan paling aman. Karena kita bukan praktisi yang bisa ngasih solusi. Kalau solusipun sifatnya artistik, yang biasanya aneh-aneh dan nyeleneh. Nah, kebebasan inilah yang harusnya dimanfaatkan oleh seniman untuk berkarya. Walaupun karya itu tidak menciptakan perubahan sosial secara langsung, setidaknya bisa menggambarkan atau menginspirasi. Menarik lagi ketika membicarakan keberpihakan. Membicarakan keberpihakan bagiku tidak semata memilih satu dari dua pilihan, tapi harus ada pilihan ketiga. Posisi seniman tu harus seperti itu.

Ketika membicarakan kerusakan alam, peran seniman saat ini banyak banget. Bahkan seniman dadakanpun banyak yang tiba-tiba ngomongin politik. Artinya ini bukan hanya peran seniman, tapi media kreatif. Karena perubahan yang dibicarakan tidak semata perubahan fisik, tapi kan perubahan mental, pola pikir. Kita seniman tidak bisa membuat satu sistem atau satu struktur, tapi melihat sesuatu dari kaca mata khusus yang mungkin tidak terlalu banyak dipikirkan oleh orang kebanyakan. Di situlah sisi politis seorang seniman. Bukan hanya peran seniman sih, tapi peran suatu kreatifitas, yang tidak perlu terbelenggu oleh peran seniman, tapi siapa aja, dan tidak hanya akses galeri.

BIENNALE JOGJASelama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Yogyakarta.

Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan potensi kreativitas budaya dalam bidang seni pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale

Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010 Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan

Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar rangkaian pameran dengan agenda jangka Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja panjang yang akan berlangsung sampai dengan sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), konstelasi seni rupa internasional. Di tengah Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja dinamika medan seni rupa global yang sangat

XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter —

dan Australia, termasuk Indonesia sebagai hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya

Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean intervensi menjadi sangat mendesak. Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan YBY mengangankan suatu sarana (platform) KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.bersama yang mampu menyanggah, menyela

atau sekurang-kurangnya memprovokasi Mengapa 'Khatulistiwa'? dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif

melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk dari perspektif Indonesia. menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai berangkat untuk mengejawantahkan berbagai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). 'membaca kembali' dunia. Rangkaian biennale ini akan mematok batasan

geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap semangat membangun jejaring yang penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para dari negara-negara yang berada di wilayah ini praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada bertemu, dan berdialog dengan seniman-terbentuknya topografi medan seni rupa global seniman, kelompok-kelompok, organisasi-yang dirumuskan secara baru.organisasi seni dan budaya Indonesia di

39

Page 39: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

38

Pergeseran eksplorasi tema dari urban ke agraris, bisa diceritakan?

Ketika membicarakan Rawalelatu dalam konteks perubahan sosial, pasti ada yang rusak, ada menjadi korban. Perubahan dari agraris ke industri, pasti ada sawah yang dirusak dan pohon-pohon hutan yang ditebang. Pada saat itu, sewaktu masih banyak drawing, aku penasaran untuk mencari tau seluk-beluk industri kertas. Aku penasaran dengan proses produksi kertas, lalu aku menemukan kasus kerusakan alam yang dilakukan oleh APP (Asia Pulp and Paper). Sebagai perusahaan terbesar se Asia Tenggara, perusahaan ini menghancurkan hutan namun berdalih punya standar perkebunan. Untuk mendapat standar ramah lingkungan pun mereka memesannya dari lembaga sertifikasi, namun lembaga tersebut justru menemukan lebih banyak kerusakan.

Pada dasarnya, ketertarikan ini bermula karena aku banyak menggunakan media kertas untuk drawing. Lama-lama aku jadi lebih tertarik untuk mengetahui kasus perusakannya. Yang lebih pelik lagi ketika membicarakan kerusakan yang diakibatkan Freeport di Papua. Aku juga banyak berbincang dengan teman yang sudah melakukan penelitian terkait dengan kerusakan yang diakibatkan Freeport. Dari sisi sejarah, berdirinya Freeport juga berpengaruh terhadap regulasi dan keberadaan industri pertambangan.

Ketika membicarakan tema-tema yang terkait dengan orde baru, bagaimana kamu melihat penggunaannya dalam berkesenian sampai hari ini?

Menurutku tergantung sudut pandangnya. Yang menarik ialah bahwa sejarah itu akan selalu tergantung pada keberpihakan. Berbicara tentang Suharto, sebenarnya masih banyak yang berpihak pada Suharto. Namun membicarakan Orde Baru yang berlangsung sangat lama tidak serta merta bisa dilupakan. Dilihat dari sisi eksploitasi industri, Orde Baru merupakan momen yang sangat signifikan dalam membuat kerusakan lingkungan. Eksploitasi alam yang berlangsung masif sampai hari ini itu merupakan akibat dari Orde Baru. Orde Barulah yang membuat pondasi buruk.

Bagaimana posisi seniman dalam mengambil perannya di masyarakat?

Posisi seniman harus ditanggapi sebagai posisi yang paling unik sebenarnya. Bukan paling aman. Karena kita bukan praktisi yang bisa ngasih solusi. Kalau solusipun sifatnya artistik, yang biasanya aneh-aneh dan nyeleneh. Nah, kebebasan inilah yang harusnya dimanfaatkan oleh seniman untuk berkarya. Walaupun karya itu tidak menciptakan perubahan sosial secara langsung, setidaknya bisa menggambarkan atau menginspirasi. Menarik lagi ketika membicarakan keberpihakan. Membicarakan keberpihakan bagiku tidak semata memilih satu dari dua pilihan, tapi harus ada pilihan ketiga. Posisi seniman tu harus seperti itu.

Ketika membicarakan kerusakan alam, peran seniman saat ini banyak banget. Bahkan seniman dadakanpun banyak yang tiba-tiba ngomongin politik. Artinya ini bukan hanya peran seniman, tapi media kreatif. Karena perubahan yang dibicarakan tidak semata perubahan fisik, tapi kan perubahan mental, pola pikir. Kita seniman tidak bisa membuat satu sistem atau satu struktur, tapi melihat sesuatu dari kaca mata khusus yang mungkin tidak terlalu banyak dipikirkan oleh orang kebanyakan. Di situlah sisi politis seorang seniman. Bukan hanya peran seniman sih, tapi peran suatu kreatifitas, yang tidak perlu terbelenggu oleh peran seniman, tapi siapa aja, dan tidak hanya akses galeri.

BIENNALE JOGJASelama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Yogyakarta.

Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan potensi kreativitas budaya dalam bidang seni pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale

Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010 Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan

Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar rangkaian pameran dengan agenda jangka Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja panjang yang akan berlangsung sampai dengan sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), konstelasi seni rupa internasional. Di tengah Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja dinamika medan seni rupa global yang sangat

XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter —

dan Australia, termasuk Indonesia sebagai hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya

Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean intervensi menjadi sangat mendesak. Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan YBY mengangankan suatu sarana (platform) KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.bersama yang mampu menyanggah, menyela

atau sekurang-kurangnya memprovokasi Mengapa 'Khatulistiwa'? dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif

melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk dari perspektif Indonesia. menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai berangkat untuk mengejawantahkan berbagai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). 'membaca kembali' dunia. Rangkaian biennale ini akan mematok batasan

geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap semangat membangun jejaring yang penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para dari negara-negara yang berada di wilayah ini praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada bertemu, dan berdialog dengan seniman-terbentuknya topografi medan seni rupa global seniman, kelompok-kelompok, organisasi-yang dirumuskan secara baru.organisasi seni dan budaya Indonesia di

39

Page 40: Newsletter 10 edisi Juli - September 2015

YOGYAKARTA

YAYASAN

PemerintahDaerah Istimewa Yogyakarta

Dinas Kebudayaan

SELAMAT DATANG di PEMBUKAANBIENNALE JOGJA XIII EQUATOR #3

MINGGU, 1 NOVEMBER 2015

Atas:Anggun dan Maryanto saat Residensi di Lagos, Nigeria, bersama dengan ko-kurator dan

seniman partisipan BJXIII dari Nigeria.

Bawah: Jude Anogwih (ko-kurator BJXIII), Maryanto, Aderemi Adegbite, dan Anggun Priambodo di

Indonesian Trade Promotion Centre (ex KBRI Lagos)