new lex mercatoria: ke arah unifikasi hukum - · pdf filebagian yang sangat fundamental dalam...

13
1 NEW LEX MERCATORIA: KE ARAH UNIFIKASI HUKUM DALAM JUAL BELI BARANG SECARA INTERNASIONAL (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. VI No. 11, Januari - April 2000, h. 54-63) Abdul Rokhim 1 Abstrak Pada dasarnya dalam suatu perdagangan, termasuk dalam perdagangan barang secara internasional, para pihak yang terlibat menghendaki agar transaksi yang mereka lakukan berjalan lancar, efisien, dan memberikan kepastian hukum. Untuk itu para pihak umumnya menghendaki adanya suatu model kontrak yang “standar” atau “unified” dalam transaksi dagang internasional. Dalam kontrak dagang internasional, masing- masing pihak tunduk pada ketentuan hukum negaranya sendiri, akibatnya seringkali terjadi kesulitan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, ke depan perlu ada hukum baru yang mengatur unifikasi hukum dalam jual beli barang secara internasional. Kata kunci: New Lex Mercatoria; Unifikasi Hukum 1. Pendahuluan Jual beli barang secara internasional (international sale of goods) merupakan bagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan Internasional. Jual beli barang secara internasional itu terjadi, manakala transaksi tersebut dilakukan antara para pihak (penjual dan pembeli) yang berada di lintas negara yang berbeda (transborder transaction). Oleh karena itu, dalam setiap transaksi perdagangan internasional selalu terkait lebih dari satu sistem hukum nasional. Persoalan hukum (legal issue) yang muncul dalam kaitan ini adalah hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi tersebut. Persoalan hukum yang demikian ini termasuk ke dalam bidang Hukum Perdata Internasional (HPI) yang sebenarnya merupakan bagian dari Hukum Nasional. 2 Meskipun suatu kontrak bisnis (dagang) internasional itu dikuasai oleh bidang hukum yang dikenal dengan nama HPI, namun tidaklah berarti bahwa di seluruh dunia hanya berlaku satu HPI saja. Tiap-tiap negara yang berdaulat memiliki sistem hukum nasional sendiri yang mengatur hubungan hukum internasional, 3 termasuk di bidang hukum perdagangan internasional. Dengan perkataan lain, dalam perdagangan internasional masing-masing negara memiliki kedaulatan hukum sendiri. Persoalan kedaulatan hukum di antara masing-masing negara inilah yang sebenarnya menjadi pokok pangkal kesulitan dalam kontrak jual beli barang secara internasional. Oleh karena dalam 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang 2 Peter Mahmud Marzuki, Hukum Perdagangan Internasional, Bahan Kuliah Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Unair, Surabaya, 1997, h. 1. 3 Setiawan, Beberapa Catatan tentang Kontrak Bisnis Internasional: Penyelesaian Sengketa, Bahan Seminar Ikadin Cab. Surabaya, 7 Juni 1997, h. 2.

Upload: vuque

Post on 01-Feb-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

1

NEW LEX MERCATORIA: KE ARAH UNIFIKASI HUKUM

DALAM JUAL BELI BARANG SECARA INTERNASIONAL

(Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang,

ISSN: 0854-7254, Vol. VI No. 11, Januari - April 2000, h. 54-63)

Abdul Rokhim1

Abstrak

Pada dasarnya dalam suatu perdagangan, termasuk dalam perdagangan barang

secara internasional, para pihak yang terlibat menghendaki agar transaksi yang mereka

lakukan berjalan lancar, efisien, dan memberikan kepastian hukum. Untuk itu para pihak

umumnya menghendaki adanya suatu model kontrak yang “standar” atau “unified”

dalam transaksi dagang internasional. Dalam kontrak dagang internasional, masing-

masing pihak tunduk pada ketentuan hukum negaranya sendiri, akibatnya seringkali

terjadi kesulitan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, ke depan perlu ada hukum

baru yang mengatur unifikasi hukum dalam jual beli barang secara internasional.

Kata kunci: New Lex Mercatoria; Unifikasi Hukum

1. Pendahuluan

Jual beli barang secara internasional (international sale of goods) merupakan

bagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan Internasional. Jual beli

barang secara internasional itu terjadi, manakala transaksi tersebut dilakukan antara para

pihak (penjual dan pembeli) yang berada di lintas negara yang berbeda (transborder

transaction). Oleh karena itu, dalam setiap transaksi perdagangan internasional selalu

terkait lebih dari satu sistem hukum nasional. Persoalan hukum (legal issue) yang muncul

dalam kaitan ini adalah hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi tersebut.

Persoalan hukum yang demikian ini termasuk ke dalam bidang Hukum Perdata

Internasional (HPI) yang sebenarnya merupakan bagian dari Hukum Nasional.2

Meskipun suatu kontrak bisnis (dagang) internasional itu dikuasai oleh bidang

hukum yang dikenal dengan nama HPI, namun tidaklah berarti bahwa di seluruh dunia

hanya berlaku satu HPI saja. Tiap-tiap negara yang berdaulat memiliki sistem hukum

nasional sendiri yang mengatur hubungan hukum internasional,3 termasuk di bidang

hukum perdagangan internasional. Dengan perkataan lain, dalam perdagangan

internasional masing-masing negara memiliki kedaulatan hukum sendiri. Persoalan

kedaulatan hukum di antara masing-masing negara inilah yang sebenarnya menjadi pokok

pangkal kesulitan dalam kontrak jual beli barang secara internasional. Oleh karena dalam

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

2 Peter Mahmud Marzuki, Hukum Perdagangan Internasional, Bahan Kuliah Program Studi

Ilmu Hukum Pascasarjana Unair, Surabaya, 1997, h. 1.

3 Setiawan, Beberapa Catatan tentang Kontrak Bisnis Internasional: Penyelesaian Sengketa,

Bahan Seminar Ikadin Cab. Surabaya, 7 Juni 1997, h. 2.

Page 2: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

2

transaksi jual beli secara internasional itu terdapat unsur-unsur asing, baik yang

disebabkan oleh subyek kontrak (para pihak) maupun obyek kontrak (barang) yang

memang berada di negara lain. Hal ini tentu saja membawa konsekuensi terhadap

kemungkinan berlakunya hukum nasional yang berbeda-beda terhadap transaksi yang

mereka lakukan, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak asing

yang melakukan perjanjian jual beli barang secara internasional.

Dengan mengacu pada persoalan hukum yang demikian itu, maka muncul

pemikiran baru di kalangan ahli hukum perdagangan internasional yang menolak

penerapan HPI dalam transaksi dagang internasional dan sekaligus mengusulkan kaidah-

kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku umum dan diterima di

semua negara. Pemikiran para ahli hukum perdagangan internasional yang menghendaki

berlaku keseragaman (unifikasi) hukum dalam perdagangan internasional tersebut

didasarkan pada pertimbangan bahwa pada dasarnya ada kesamaan-kesamaan pranata

hukum yang secara universal dapat diterima oleh semua negara di bidang perdagangan

internasional. Kesamaan-kesamaan pranata hukum tersebut, menurut Goldstaijn,

didasarkan atas tiga dalil (proposisi) yang fundamental, yaitu:

(1) the principle of authonomy of the parties will;

(2) that the contract must be faithfully performed (Pacta Sunt Servanda);

(3) the use of arbitration.4

Prinsip otonomi para pihak atau yang lazim juga disebut asas kebebasan

berkontrak mengandung arti bahwa pada dasarnya setiap orang secara hukum diberikan

kebebasan untuk membuat suatu perjanjian (kontrak) dengan orang lain, termasuk dengan

orang yang tempat usahanya berada di negara yang berbeda atau lintas negara

(transborder). Mereka secara otonom dapat menentukan atau mengatur sendiri bentuk-

bentuk atau syarat-syarat (isi) perjanjian sesuai dengan kesepakatan (konsensus) di antara

para pihak yang terlibat dalam perjanjian (contractants). Dengan adanya perjanjian itu,

berarti para pihak telah menciptakan hukum sendiri. Konsekuensinya, mereka secara

hukum terikat untuk melaksanakan perjanjian itu dengan “itikad baik” (good faith; goede

trouw)5 sesuai dengan prinsip hukum yang dikenal dalam Hukum Romawi “Pacta Sunt

Servanda” (vide, pasal 1338 BW).

Selanjutnya, tentang arbitrase (perwasitan) dalam perdagangan internasional,

sebenarnya merupakan mekanisme penyelesaian sengketa yang baru dapat dilakukan

apabila para pihak dalam perjanjian tersebut terlebih dahulu bersepakat untuk melakukan

hal itu dalam perjanjian yang telah mereka buat. Dengan perkataan lain, arbitrase itu ada

dan dapat dipergunakan oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa dagang

(internasional), apabila hal itu telah diperjanjikan sebelumnya berdasarkan prinsip

4 C.M. Schmitthoff, The Unification of International Trade, dalam Chia-Jui Cheng (ed), Select

Essays on International Trade Law, Martinus Nijhoff Publishers, 1988, h. 223.

5 Dalam perkara Gateway v. Arton Holdings Ltd. (1991), 106, NSR (2d) 180 (S.C.) di Kanada,

itikad baik melahirkan tiga pertanyaan. Pertama, apakah doktrin tersebut semata-mata mengenai

ketidakpastian dan moralisme hukum? Kedua, apakah doktrin itikad baik tersebut adalah teori hukum

kontrak yang terkait dengan teori hukum kontrak neoklasik? Dan ketiga, apakah doktrin ini adalah “rule of

law” atau “rule of interpretation”? Baca, Erman Radjagukguk, Hukum Kontrak Internasional dan

Perdagangan Bebas, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 2, 1997, h. 7.

Page 3: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

3

“Pactum de Compromittendo”.6 Penggunaan arbitrase dalam menyelesaikan sengketa-

sengketa dagang internasional ini sebenarnya merupakan suatu terobosan atau jalan

keluar dari mekanisme penyelesaian sengketa yang pada umumnya dilakukan melalui

pengadilan. Penggunaan lembaga arbitrase ini lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan

praktis-ekonomis. Sebab, bukankah pada umumnya penyelesaian sengketa dagang yang

dilakukan melalui jalur pengadilan, di samping prosedur rumit, biayanya mahal,

waktunya lama, serta belum tentu diadili oleh hakim-hakim profesional yang benar-benar

menguasai seluk-beluk perdagangan. Hal-hal yang demikian itu tentu saja sangat

merugikan para pedagang. Oleh karena itulah dalam praktek jual beli barang secara

internasional lazim digunakan lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketa dagang

yang mereka hadapi.

Di samping ketiga dalil tersebut di atas, kesamaan-kesamaan pranata hukum

dalam praktek jual beli barang secara internasional sudah lazim digunakan Letter of

Credit (L/C) atau Bankers Commercial Credit dalam sistim pembayaran, syarat-syarat

Cost, Insurence, and Freight (C.I.F), Free on Board (F.O.B.), Bill of Lading (B/L), dan

lain-lain. Dengan demikian, dalam perdagangan internasional sangat diperlukan adanya

suatu “uniform rule” yang otonom dan dapat diterima secara universal. Ketentuan yang

universal ini oleh Schmitthoff dinamakan sebagai Hukum Perdagangan Internasional

Modern (The Modern of International Trade Law) atau yang lazim disebut dengan istilah

“New Lex Mercatoria”.7

2. New Lex Mercatoria

New Lex Mercatoria sebenarnya merupakan perwujudan kembali atau

“reinkarnasi” dari Lex Mercatoria atau Merchant(ile) Law yang lahir dan dipraktekkan

pada abad pertengahan. Kemudian, pada abad ke-17 sampai ke-19, Lex Mercatoria itu

telah diterima dan dimasukkan ke dalam hukum nasional negara-negara di Eropa,

misalnya Perancis, Inggris, Belanda, dan Jerman. New Lex Mercatoria bukanlah cabang

dari Hukum Internasional Publik (Ius Gentium), dan ketentuan hukum ini berlaku dan

diterapkan di berbagai negara berdasarkan toleransi dari negara-negara yang berdaulat.

Nex Lex Mercatoria terdiri dari norma-norma hukum, praktek-praktek dan kebiasaan

yang dinyatakan dalam teks-teks otoritatif yang dihimpun oleh organisasi-organasi

internasional, seperti International Chamber of Commerce (ICC), The Council of Mutual

Economic for Europe, dan International Institute for Unification of Private Law.

New Lex Mercatoria, menurut Bertold Goldman, adalah “a set of general

principles and customary rules spontaneously referred to or elaborated in the framework

of international law, without reference to a particular national system of law”.8

Ketentuan hukum yang diciptakan oleh masyarakat internasional ini sifatnya otonom,

terlepas dari sistem hukum nasional manapun. Ketentuan hukum itu, menurut

Schmitthoff, berisi prinsip-prinsip umum dalam hubungan hukum (transaksi)

perdagangan internasional. Oleh karena itu, hubungan-hubungan hukum dalam

6 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1995, h. 305.

7 C.M. Schmitthoff, op. cit., h. 221.

8 Lihat Ietje K. Andries, Unifikasi dan Kodifikasi Hukum Perdagangan Internasional Khususnya

Jual Beli Barang secara Internasional, Seri Dasar Hukum Ekonomi 7, ELIPS, 1998, h. 34.

Page 4: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

4

perdagangan yang diakui oleh New Lex Mercatoria ini melibatkan negara-negara yang

berbeda (the body of rules governing commercial relationships of private law nature

involving different countries).9

Ketentuan baru dalam perdagangan internasional yang lahir pada akhir abad ke-20

ini ditandai dengan munculnya semangat unifikasi hukum dalam perdagangan

internasional secara global. Pemikiran yang melatarbelakangi semangat ini dipelopori

antara lain oleh Schmitthoff pada tahun 1957, yang kemudian banyak didukung oleh para

ahli hukum dari berbagai negara. Meskipun banyak ahli hukum perdagangan internasional

yang mendukung New Lex Mercatoria, namun ada juga yang meragukan keabsahan dan

efektivitasnya. Terlepas dari perbedaan ilmiah tersebut, sebagai suatu bidang hukum yang

mandiri (otonom), New Lex Mercatoria ternyata kini telah banyak diterapkan dan diakui

oleh masyarakat internasional di banyak negara maupun lembaga-lembaga arbitrase.

3. Sumber Hukum New Lex Mercatoria

Menurut Schmitthoff, sumber-sumber hukum dari New Lex Mercatoria terdapat

dalam International Legislation dan International Commercial Custom.10

International Legislation adalah kaidah-kaidah hukum yang diterima dan disetujui

oleh negara-negara yang berdaulat, biasanya dalam bentuk: (1) konvensi-konvensi

internasional, seperti konvensi internasional tentang Bill of Lading (Hague Rules) yang

diubah oleh Brussels Protocol 1968 dan (2) Model Law, seperti Uniform Law on

International Sale yang disponsori oleh konferensi internasional di Den Haag 1964.

Sedang, International Commercial Custom adalah kebiasaan-kebiasaan dan

praktek internasional di bidang perdagangan yang dibentuk oleh organisasi-organisasi

internasional, seperti Incoterms 1980 dan Uniform Custom and Practice for Documentary

Credit 1974 yang disponsori oleh International Chamber of Commerce (ICC).

Menurut O. Lando, unsur-unsur dalam New Lew Mercatoria dapat ditemukan

dalam berbagai sumber hukum, yaitu:

(1) Public International Law, seperti: International Convention on Settlement of

Investment Disputes 1995 dan Viene Convention on the Law of Treaties 1969;

(2) Uniform Laws, seperti: Convention on Contracts for International Sale of Goods

1980;

(3) The General Principles of Law, seperti: pacta sunt servanda, good faith, ribus sic

stantibus;

(4) The Rules of International Organizations, misalnya berbentuk produk-produk hukum

yang dihasilkan oleh International Chamber of Commerce (ICC), The United

Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), dan The

International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT);

(5) Customs and Usages, seperti: Incoterms dan Uniform Customs and Practices for

Documentary Credits;

(6) Standard Form Contracts, seperti: General Conditions for the Supply of Plan and

Machinery for Export, yang dibuat oleh Komisi Ekonomi Eropa (The Economic

Commission for Europe) dan kontrak baku yang dibuat oleh Bank Dunia;

(7) Reporting of Arbitral Awards.11

9 Ibid.

10

C.M. Schmitthoff, op. cit., h. 223.

Page 5: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

5

11

Ietje K. Andries, op. cit., h. 35-36.

Page 6: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

6

4. Konvensi Jual Beli Barang secara Internasional

Sebagaimana dikatahui bahwa pada tahun 1964 telah berhasil dibentuk dua

konvensi tentang jual beli secara internasional, yaitu The Uniform Law on the

International Sale of Goods dan The Uniform Law on the Formation of Contracts for the

International Sale of Goods. Maksud dari kedua konvensi ini adalah mengurangi

kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan yang disebabkan oleh adanya

keanekaragaman sistem hukum dalam perdagangan internasional. Pada tahun 1980, kedua

konvensi tersebut telah direvisi oleh UNCITRAL dan kemudian diintegrasikan menjadi

The United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods

(selanjutnya disingkat CISG).

Konvensi jual beli barang secara internasional (CISG) ini, menurut Sudargo

Gautama, merupakan suatu model kontrak dimana para pihak dapat menggunakannya

tetapi dapat juga mengesampingkannya12

(vide, pasal 6 CISG), jika memang hal itu

dikehendaki oleh para pihak. Dengan demikian, berarti berlakunya konvensi tersebut

sepenuhnya tergantung kepada kesepakatan atau perjanjian di antara para pihak yang

melakukan transaksi dagang internasional. Dengan perkataan lain, para pihak diberikan

kebebasan untuk menggunakan model kontrak menurut konvensi tersebut atau

mengesampingkan berdasarkan ketentuan atau syarat-syarat perjanjian yang mereka

tetapkan sendiri berdasarkan “asas kebebasan berkontrak” atau “prinsip otonomi

kehendak” dalam suatu perjanjian yang memang diakui secara universal. Hal ini berarti

bahwa kaidah hukum dalam CISG itu merupakan norma hukum yang sifatnya mengatur

(regelen recht) atau hukum pelengkap (aanvullen recht), dan bukan merupakan ketentuan

hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht). Hal ini membawa konsekuensi bahwa

berlakunya konvensi tersebut semata-mata bergantung pada kehendak atau pilihan bebas

dari para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian. Dengan demikian, jika mereka

tidak menghendaki berlaku ketentuan yang ada dalam CISG, maka kaidah hukum

konvensi tersebut tidak dapat dipaksakan berlakunya.

Meskipun daya berlakunya CISG itu bergantung pada kehendak bebas dari para

pihak yang melakukan transaksi dagang secara internasional, namun mengingat

banyaknya kendala hukum dalam melakukan transaksi dagang internasional yang dialami

oleh para pihak jika digunakan hukum negara masing-masing pihak, maka ada baiknya

apabila konvensi ini dapat diterima oleh semua negara secara universal agar terdapat

unifikasi hukum di bidang jual beli (barang) secara internasional.

Persoalannya, bagaimana ruang lingkup berlakunya CISG 1980? Dalam hubungan

ini, pasal 1 ayat (1) CISG menggariskan bahwa:

This convention apllies to contracts of sale of goods between parties whose places of

business are in different states:

(a) when the states are contracting states; or

(b) when the rules of private international law lead to the application of the law of a

contracting states.

Berdasarkan ketentuan tersebut, berarti meskipun transaksi bisnis itu dilakukan

oleh para pihak yang tempat usahanya berada di negara yang berlainan, namun hal itu

tidak secara otomatis mereka dapat memberlakukan konvensi ini. Mereka baru dapat

12

Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980, h.

246.

Page 7: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

7

menggunakan konvensi ini apabila negara masing-masing pihak dalam kontrak tersebut

termasuk negara peserta konvensi atau negara yang menandatangani konvensi tersebut.

Bila syarat pertama ini tidak terpenuhi, maka syarat alternatif yang memungkinkan

diberlaku-kannya konvensi tersebut, yaitu peraturan Hukum Perdata Internasional (HPI)

dari negara masing-masing pihak menyebabkan berlakunya hukum dari suatu negara

peserta. Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa Indonesia bukanlah negara peserta

konvensi tersebut, dan hingga saat ini negara kita juga belum meratifikasi konvensi

tersebut. Dengan demikian, saat ini kita belum bisa menggunakan konvensi tersebut

dalam melakukan jual beli barang lintas negara.

Hal lain yang perlu saya kemukakan adalah bahwa konvensi ini hanya berlaku

terhadap kontrak jual beli yang oyeknya “barang” (sale of goods) dan tidak berlaku

terhadap transaksi “jasa” secara internasional. Padahal seperti dikatahui bahwa hubungan

dagang secara internasional itu tidak selalu dalam bentuk jual beli barang, tetapi termasuk

juga dalam bentuk jasa-jasa, misalnya berupa bantuan teknis atau manajerial, pinjaman

dana (loan; credit), dan lain-lain.

Di samping itu, menurut pasal 2 CISG, konvensi ini tidak berlaku terhadap jual

beli:

a. barang yang dibeli untuk keperluan pribadi, keluarga atau rumah tangga, kecuali

penjual setiap saat sebelum atau pada waktu penyelesaian kontrak, tidak mengetahui

atau tidak seharusnya mengetahui bahwa barang yang dibeli adalah untuk keperluan

tersebut di atas;

b. melalui lelang (by auction);

c. melalui eksekusi atau karena wewenang hukum (on execution or otherwise by

authority of law);

d. obligasi, saham, “investment securities”, kertas berharga atau uang;

e. kapal, kendaraan terapung, atau pesawat terbang (of ships, vessels, hovercraft or

aircraft);

f. listrik (of electricity).

Kiranya perlu ditekankan bahwa konvensi ini lebih banyak mengatur tentang

pembentukan kontrak penjualan dan hak-hak serta kewajiban penjual dan pembeli. Tidak

tercakup di dalamnya tentang sahnya kontrak dan akibat dari kontrak atas harta milik di

dalam barang-barang yang dijual itu (pasal 4 CISG). Meskipun demikian, konvensi ini

juga mengatur tentang upaya-upaya hukum apabila terjadi pelanggaran kontrak (breach of

contract), baik oleh penjual (pasal 45 s.d. 52) maupun pembeli (pasal 61 s.d. 65). Di

samping itu, konvensi ini juga mengatur tentang risiko-risiko terhadap kehilangan atau

kerusakan barang-barang (pasal 66 s.d. 70); pembayaran bunga atas keterlambatan

pengambilan atau pembayaran barang-barang (pasal 85 s.d. 88).

Adapun hak dan kewajiban penjual dan pembeli menurut konvensi tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Kewajiban penjual (yang secara a contrario sekaligus merupakan hak pembeli):

a. menyerahkan barang-barang, dokumen-dokumen, sebagaiamana diperlukan dalam

kontrak (pasal 30);

b. jika penjual tidak terikat untuk menyerahkan barang-barang di tempat yang

ditentukan, maka kewajibannya adalah menyerahkan barang-barang kepada

pengangkut pertama untuk diserahkan kepada pembeli (pasal 31 sub a);

Page 8: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

8

c. penjual harus menyerahkan barang-barang:

- pada tanggal yang ditentukan;

- dalam jangka waktu yang telah ditentukan;

- dalam jangka waktu yang wajar (reasonable) setelah pembuatan kontrak (pasal

33);

d. penjual harus menyerahkan barang-barang yang bebas dari tuntutan dan hak pihak

ketiga, kecuali jika pembeli menyetujui untuk mengambil barang-barang tersebut

(pasal 41).

2. Kewajiban Pembeli (yang secara a contrario merupakan hak penjual):

a. pembeli harus membayar harga barang-barang berdasarkan kontrak, hukum dan

peraturan-peraturan (pasal 53-54);

b. jika pembeli tidak terikat untuk membayar harga di suatu tempat tertentu, maka

pembeli harus membayarnya di tempat dimana penyerahan barang dan dokumen

dilakukan (pasal 57 ayat 1);

c. pembeli harus membayar harga barang pada tanggal yang telah ditentukan dalam

kontrak (pasal 59);

d. jika waktu pembayaran tidak ditentukan secara pasti maka pembeli harus

membayarnya ketika si penjual menempatkan barang-barang di tempat

penyimpanan si pembeli (pasal 59 ayat 1);

Jika kita cermati ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kewajiban penjual

dan pembeli sebagaimana yang diatur dalam konvensi (CISG) di atas, maka ternyata

banyak kesamaannya dengan ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban penjual dan

pembeli sebagaiamana yang diatur dalam Buku III Bagian Kedua dan Ketiga BW yang

berlaku di negara kita yang nota bene merupakan kodifikasi hukum yang berasal dari

Civil Law System. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh Civil Law System dalam

konvensi internasional tersebut, di samping tentunya ada beberapa ketentuan dalam CISG

yang diadopsi dari kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek dalam perdagangan

internasional yang lazim dipergunakan dalam Common Law System. Dalam hubungan ini,

Jonathan A. Eddy mengatakan:

The CISG strikes a balance between traditional common law rules in this

area (which as a practical matter are reasonably close to civil law rules in

terms of the results reached on particular facts), and the stance of more

recent Amarican legislation (the Uniform Commercial Code), which is

more willing to find a contract has been formed in ambiguous

circumstances.13

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya substansi CISG 1980 merupakan

“perkawinan” dari kedua sistem hukum tersebut, yakni common law dan civil law.

5. Kesimpulan

Pada dasarnya dalam suatu perdagangan, termasuk dalam perdagangan

internasional, para pihak yang terlibat di dalamnya sangat menghendaki agar transaksi

yang mereka lakukan berjalan lancar, efisien, dan memberikan kepastian hukum. Karena

13

Jonathan A. Eddy, Law and Practice of Transnational Sales, Seri Dasar Hukum Ekonomi 7,

ELIPS, 1998, h. 12

Page 9: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

9

itulah mereka umumnya menghendaki adanya suatu model kontrak yang “standar” atau

“unified” dalam transaksi dagang internasional yang bentuk dan isinya sama-sama

diketahui dan disepakati oleh para pihak (penjual dan pembeli).

Oleh karena dalam kontrak dagang internasional itu masing-masing pihak tunduk

pada ketentuan hukum negaranya sendiri yang mungkin saja belum sama bahasa yang

mereka gunakan, mata uang yang mereka pakai, dan kultur serta kebiasaan-kebiasaan

mereka, maka seringkali terjadi kesulitan atau kendala hukum dalam pelaksanaan jual

beli barang secara internasional. Apalagi, kalau terjadi pelanggaran kontrak oleh salah

satu pihak atau ada risiko yang menyebabkan suatu kontrak tidak dapat dilaksanakan

sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya

konflik hukum yang biasanya disebabkan oleh adanya interpretasi yang berbeda atau

karena adanya perbedaan sistem atau norma hukum yang berlaku di masing-masing

contractans. Ketidakpastian hukum ini, tentu saja, sangat merugikan para pedagang

dalam lalu lintas bisnis internasional. Oleh karena itulah, perlu adanya ketentuan baru

dalam perdagangan internasional (New Lex Mercatoria) yang lebih menjamin adanya

kepastian hukum.

Kepastian hukum dalam perdagangan internasional ini diharapkan dapat dicapai

manakala para pihak tunduk pada ketentuan hukum yang sama (unifikasi hukum). Dan

unifikasi hukum dalam perdagangan internasional ini dapat diciptakan, antara lain

melalui konvensi hukum internasional, khususnya di bidang perdagangan internasional.

Menyadari betapa pentingnya konvensi tersebut, maka pada tahun 1980 telah ada

konvensi PBB yang mengatur tentang kontrak jual beli barang secara internasional (CISG

1980) yang memungkinkan adanya penyeragaman penggunaan ketentuan hukum bagi

para pedagang secara universal. Ironisnya, hingga kini Indonesia belum meratifikasi

konvensi tersebut, padahal tidak lama lagi kita akan memasuki era perdagangan bebas

(free trade era)!

Page 10: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

10

DAFTAR BACAAN

Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1995.

Andries, Ietje K., Unifikasi dan Kodifikasi Hukum Perdagangan Internasional

Khususnya Jual Beli Barang secara Internasional, dalam Seri Dasar Hukum

Ekonomi 7, ELIPS, Jakarta, 1998.

Eddy, Jonathan A., Law and Practice of Transnational Sales, dalam Seri Dasar Hukum

Ekonomi 7, ELIPS, Jakarta, 1998.

Peter Mahmud Marzuki, Hukum Perdagangan Internasional, Bahan Kuliah Program

Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Unair, Surabaya, 1997.

Radjagukguk, Erman, Hukum Kontrak Internasional dan Perdagangan Bebas, dalam

Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 2, Jakarta, 1997.

Schmitthoff, C.M., The Unification of International Trade, dalam Chia-Jui Cheng (ed),

“Select Essays on International Trade Law”, Martinus Nijhoff Publishers, 1988.

Setiawan, Beberapa Catatan tentang Kontrak Bisnis Internasional: Penyelesaian

Sengketa, Bahan Seminar Ikadin Cab. Surabaya, 7 Juni 1997.

Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1980.

Page 11: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

11

Page 12: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

12

Page 13: New Lex Mercatoria: Ke Arah Unifikasi Hukum - · PDF filebagian yang sangat fundamental dalam Hukum Perdagangan ... kaidah hukum otonom dalam transaksi tersebut yang berlaku ... bentuk

13