nathasya prividisa rubynski peran kelembagaan lokal …digilib.unila.ac.id/51409/6/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
Nathasya Prividisa Rubynski
PERAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM MELESTARIKAN HUTANDI NAGARI SIRUKAM KABUPATEN SOLOK PROVINSI SUMATERA
BARAT
Oleh
Nathasya Prividisa Rubynski
UNIVERSITAS LAMPUNG2018
Nathasya Prividisa Rubynski
ABSTRAK
PERAN KELEMBAGAAN LOKAL NAGARI DALAM MELESTARIKANHUTAN DI NAGARI SIRUKAM, KABUPATEN SOLOK, PROVINSI
SUMATERA BARAT
Oleh
Nathasya Prividisa Rubynski
Pemberian hak pengelolaan hutan nagari kepada masyarakat Nagari Sirukam
merupakan salah satu bentuk pengakuan pemerintah terhadap peran kelembagaan
lokal masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan nagari. Peran kelembagaan
lokal ini penting untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang sedang dikembangkan oleh pemerintah melalui Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.83/2016. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan peran kelembagaan lokal Nagari Sirukam di
Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode studi kasus. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara, pengamatan langsung atau observasi dan studi
dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai kearifan
lokal dalam pemanfaatan lahan atau sumber daya alam di Nagari Sirukam yang
dikenal dengan falsafah Nan Bancah Jadiakan Sawah, Nan Lereang Jadikan
Nathasya Prividisa RubynskiParak” yang artinya lahan yang dialiri air berada di dataran yang lebih rendah
digarap untuk dijadikan sawah sedangkan yang lahan miring untuk dijadikan
kebun dan ladang”. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum didapatkannya izin
pengelolaan hutan desa/hutan nagari, masyarakat nagari Sirukam sudah dapat
melakukan pengelolaan lahan miring yang umumnya berupa hutan. Keberadaan
Hutan Nagari Sirukam berdampak positif bagi masyarakat nagari. Antara lain
bertambahnya keterampilan masyarakat dengan adanya pelatihan kerajinan dari
bambu dan rotan dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Selain itu adanya
pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga lokal nagari memberikan penjaminan
atas ketersediaan air bagi masyarakat, tidak hanya masyarakat Nagari Sirukam
tetapi juga nagari-nagari disekitarnya.
Kata Kunci: hutan nagari, kelembagaan lokal; nagari, norma;
Nathasya Prividisa Rubynski
ABSTRACT
THE ROLE OF LOCAL INSTITUTIONS IN PRESERVING FOREST INSIRUKAM VILLAGE, SOLOK DISTRICT, WEST SUMATERA
PROVINCE
By
Nathasya Prividisa Rubynski
The granting of Nagari forest management rights to the Nagari Sirukam
community is a form of government recognition of the nagari forest's high-power
natural resource management activities. The role of local institutions to support
the sustainability of community-based forest management that is being developed
by the government through Permenlhk No.P.83 / 2016. The purpose of this study
is to describe the role of local institutions in Nagari Sirukam in Payung Sekaki
District, Solok Regency, West Sumatra. The study was conducted using a case
study method. Data collection is carried out in an interview, direct observation
and documentation study. The results show the values of local wisdom in natural
or natural resources utilization in Nagari Sirukam, known as the philosophy of
Nan Bancah Jadiakan Sawah, Nan Lereang Jadikan Parak "which means that the
air flowed in the lower land is cultivated to be used as rice fields for the so-called
Nathasya Prividisa Rubynskigardens and fields. This shows that prior to obtaining a permit for village forest /
nagari forest management, community of Nagari Sirukam has been able to carry
out common land management such as forests. In terms of institutions, the local
institution Nagari Sirukam has a role that is most important for the community
after the nagari forest, the positive impact, the increase in the capacity and income
of the community, in addition to the management carried out by local institutions
providing services for them, not only the Nagari Sirukam community but also the
villages from their place.
Keywords : local instution; norm; nagari, nagari forest
PERAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM MELESTARIKAN HUTANDI NAGARI SIRUKAM KABUPATEN SOLOK PROVINSI SUMATERA
BARAT
Oleh
NATHASYA PRIVIDISA RUBYNSKI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA KEHUTANAN
PadaJurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Nathasya Prividisa Rubynski lahir di Bandung, 25
Desember 1995. Puteri dari Bapak Satria Hidayat dan Ibu
Dewi Saras Dilla. Anak pertama dari tiga bersaudara,
Diego Hammam Rubynski dan Sergio Faiz Rubynski.
Penulis menempuh pendidikan di SDN 01 Gunung Talang
2002-2008. Lalu melanjutkan sekolah di SMPN 01 Gunung Talang 2008-
2011 dan SMAN Gunung Talang 2011-2014. Penulis melanjutkan
pendidikan di Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
diterima melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN) tahun 2014.
Pada tahun 2017 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama ± 40
hari di Desa Srikaton Kabupaten Seputih Surabaya. Ditahun yang sama
penulis juga melaksanakan Praktek Umum selama ± 40 hari di KPH
Pekalongan Barat Divisi Regional Jawa Tengah
Penulis pernah menjadi Asisten Dosen pada mata kuliah Ilmu Ukur Wilayah
dan Pemetaan Hutan dan Statistika dan Pemodelan Kehutanan, dan Statistika
Pertanian. Organisasi yang pernah diikuti penulis selama menjadi mahasiswi
baik didalam maupun diluar kampus, antara lain : Himpunan mahasiswa
jurusan kehutanan (Himasylva) UNILA dan Ikatan Mahasiswa Minang
(IMAMI).
Kupersembahkan kepada Mama, Papa, Adik, Nenek, Kakek dan KeluargaBesarku
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan karya ilmiah yang berjudul ”Peran Kelembagaan
Lokal Nagari dalam Melestarikan Hutan di Nagari Sirukam Kecamatan
Payung Sekaki Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat”. Skripsi ini
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan
dan kemurahan hati dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan
dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada.
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si. selaku Dekan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
2. Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P. sebagai pembimbing utama
memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis mulai
dari awal penyusunan proposal penelitian sampai skripsi ini
terselesaikan.
3. Ibu Susni Herwanti, S.Hut., M.Si. sebagai pembimbing kedua yang telah
memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada penulis mulai
ii
dari awal penyusunan proposal penelitian sampai skripsi ini
terselesaikan.
4. Bapak Dr.Indra Gumay Febryano, S.Hut., M. Si. selaku dosen penguji
atas saran dan kritik yang telah diberikan hingga selesainya penulisan
skripsi ini.
5. Bapak Bukhtiar Selaku ketua LPHN yang mau menyediakan waktu dan
membimbing selama penulis melaksanakan penelitian.
6. Ibu Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si. selaku Ketua Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
7. Bapak Ir. Indriyanto, M.P.selaku pembimbing akademik penulis.
8. Bapak Dayat dan Ibu Dilla selaku kedua orangtua penulis yang tak henti
mendo’akan dan membekali penulis hingga penulis dapat menyelesaikan
tulisan ini.
9. Saudara penulis (Diego Hamam Rubynski) yang tak henti mendo’akan
dan mendukung penulis hingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
10. Lugosyl’14 yang selalu menenami penulis dalam suka dan duka, serta
yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah
diberikan kepada penulis. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Bandar Lampung, Oktober 2018
Nathasya Prividisa Rubynski
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL ..................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 11.1 Latar Belakang .............................................................................. 11.2 Tujuan Penelitian .......................................................................... 31.3 Kerangka Penelitian ...................................................................... 3
II. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 62.1 Kelembagaan................................................................................. 62.2 Kelembagaan Lokal ...................................................................... 102.3 Kelembagaan Adat........................................................................ 132.4 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat...................................... 142.5 Nagari di Sumatera Barat.............................................................. 20
III. Metodologi Penelitian ........................................................................ 263.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................ 263.2 Alat dan Bahan.............................................................................. 263.3 Metode Penelitian ......................................................................... 26
3.3.1 Metode Pengambilan Responden...................................... 273.3.2 Jenis data ........................................................................... 273.3.3 Metode Pengumpulan Data ............................................... 283.3.4 Analisis data ...................................................................... 29
IV. Hasil dan Pembahasan ..................................................................... 314.1 Gambaran Umum Wilayah ........................................................... 314.2 Sejarah Hutan Nagari Sirukam ..................................................... 37
4.2.1 Sebelum tahun 2000............................................................. 374.2.2 Tahun 2000-2013 ................................................................. 394.2.3 Tahun 2013-2018 ................................................................. 40
4.3 Kondisi dan Potensi Hutan Nagari Sirukam ................................. 414.4 Lembaga yang Mengelola Hutan Nagari Sirukam........................ 43
4.4.1 Kerapatan Adat Nagari (KAN) ............................................ 444.4.2 Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari .................................. 49
4.5 Aturan dalam Pengelolaan Hutan Nagari Sirukam....................... 514.5.1 Aturan Adat.......................................................................... 52
iv
Halaman4.5.2 Rencana Pengelolaan Hutan Nagari Sirukam...................... 56
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 685.1 Simpulan ........................................................................................ 685.2 Saran .............................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 69
LAMPIRAN............................................................................................... 75Gambar 8-13................................................................................................ 75
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman1. Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................................... 5
2. Peta Nagari Sirukam ............................................................................ 32
3. Struktur dan kedudukan antara KAN dan LPHN................................. 43
4. Struktur Kelembagaan KAN Nagari Sirukam ..................................... 45
5. Papan Larangan Kawasan Hutan Lindung........................................... 63
6. Hasil Keterampilan dari Bambu........................................................... 64
7. Hasil Kegiatan Pelatihan Menganyam................................................. 65
8. Kegiatan Pembersihan Petak Percontohanyang akan ditanami Kopi ..................................................................... 75
9. Lokasi Hutan Nagari Sirukam yangBerbatasan langsung dengan jalan. ...................................................... 75
10. Bibit yang ada di LPHN....................................................................... 76
11. Kondisi kawasan sisa kebakaran.......................................................... 76
12. Salah satu pohon asuh .......................................................................... 77
13. Wawancara dengan ketua LPHN ......................................................... 77
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman1. Rencana Kelembagaan Pengelola LPHN ............................................... 60
2. Rencana Pengembangan Ekonomi LPHN.............................................. 61
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan dan masyarakat sekitarnya merupakan dua komponen ekosistem yang harus
mendapat perhatian dalam upaya menjamin pengelolaan sumberdaya hutan secara
lestari. Sumberdaya hutan yang lestari diharapkan dapat memberikan jaminan
kehidupan bagi masyarakat sekitarnya, sebaliknya masyarakat diharapkan dapat
memberikan kontribusinya dalam menjaga kelestarian hutan yang berada di
wilayahnya. Masyarakat memiliki komitmen memelihara dan menjaga
lingkungan sebagai sistem penyangga kehidupannya (Safira et al., 2017). Hal itu
menyebabkan masyarakat terlibat secara langsung dalam pengelolaan hutan.
Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan dalam desain kelembagaan
lokal ternyata tidak selalu menjamin keberlanjutan pengelolaan sumber daya
hutan. Masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang belum mampu
mewujudkan performansi hutan yang lebih baik, bahkan cadangan potensi hutan
(seperti kayu) menjadi semakin menurun (Meilby et al., 2014). Berbagai bentuk
kelembagaan lokal yang telah dirancang oleh tenaga pemberdayaan masyarakat
atau oleh masyarakat itu sendiri menghasilkan kinerja pengelolaan sumber daya
hutan yang berbeda secara signifikan (Pokharel et al., 2014). Keikutsertaan
masyarakat dalam pengelolaan hutan seringkali mengalami keberhasilan. Hal itu
2berkaitan erat dengan kekuatan nilai dan norma yang telah mengakar dan diterima
secara luas oleh masyarakat (Nursidah, 2012). Begitu juga halnya dengan
pengelolaan di hutan Nagari (Desa) Sirukam. Hutan Nagari Sirukam merupakan
hutan lindung yang diberikan izin pengelolaan oleh pemerintah. Berdasarkan SK
Penetapan Areal Kerja 701/Menhut/II/2014, hutan lindung Nagari Sirukam
diizinkan dikelola melalui skema hutan desa dengan luasan 3.398 hektar.
Keberadaan hutan Nagari Sirukam berada pada status ulayat nagari. Ulayat nagari
disini maksudnya adalah nagari berdasarkan hukum adat memiliki kewenangan
terhadap suatu wilayah yang berada dalam ruang lingkup masyarakatnya. Bagi
masyarakat nagari, ulayat dikelola secara komunal atau bersama-sama demi
kepentingan generasi selanjutnya. Oleh karena itu ulayat tidak hanya dilihat dari
segi ekonomi tetapi juga dari segi sosial budaya. Hal inilah yang menjadi
landasan pengelolaan hutan nagari. Pengelolaan hutan nagari mempunyai aturan
tertentu,seperti aturan dalam pelarangan penebangan kayu di hutan. Pelaksanaan
aturan tersebut diawasi oleh kelembagaan lokal di nagari tersebut.
Pengawasan yang dilakukan oleh kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumber
daya hutan masih diatur secara komunal oleh nagari yang erat kaitannya dengan
sistem kekerabatan dan kepemimpinan masyarakat adat setempat. Hal ini
mendorong terbentuknya hubungan/interaksi yang kuat antara masyarakat nagari
dengan sumber daya hutannya.
Masyarakat Nagari Sirukam menjaga kelestarian sumber daya hutannya untuk
menjaga tersedianya kebutuhan air sepanjang tahun bagi warga masyarakat
nagari, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan pertanian dan
3kebutuhan lainnya. Pemberian hak pengelolaan hutan nagari dengan luasan 3398
hektar tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan pemerintah terhadap
peran kelembagaan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Hamzah et al. (2015) menyatakan aspek kelembagaan juga merupakan salah satu
aspek yang menentukan keberhasilan pengelolaan hutan bersama masyarakat.
Kelembagaan berfungsi mengatur dan mengendalikan sikap dan perilaku
masyarakat dalam pengelolaan hutan (Hamzah et al., 2015).
Peran kelembagaan lokal ini penting untuk menjamin keberlanjutan pengelolaan
hutan berbasis masyarakat melalui skema hutan desa (hutan nagari) yang sedang
dikembangkan oleh pemerintah. Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan
fokus mengkaji peran kelembagaan lokal dalam menjaga kelestarian hutan.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk.
1. Mengkaji peran kelembagaan lokal dalam mengatur pengelolaan sumberdaya
hutan.
2. Mengetahui dampak yang dirasakan masyarakat setelah adanya Hutan Nagari
Sirukam
1.3 Kerangka Pemikiran
Sumberdaya hutan memberikan kontribusi bagi kehidupan masyarakat disekitar
hutan, begitu juga dengan masyarakat berperan dalam pengelolaan hutan.
Masyarakat memiliki komitmen memelihara dan menjaga lingkungan sebagai
sistem penyangga kehidupannya (Safira, 2017). Hal ini menyebabkan masyarakat
4terlibat dalam pengelolaan hutan. Berbagai bentuk kelembagaan lokal yang telah
dirancang oleh tenaga pemberdayaan masyarakat atau oleh masyarakat itu sendiri
menghasilkan kinerja pengelolaan sumber daya hutan yang berbeda secara
signifikan (Pokharel et al., 2014). Oleh karena itu pengelolaan hutan oleh
masyarakat mempunyai peranan penting.
Pengelolaan hutan di Nagari Sirukam tidak bisa dipisahkan dengan ulayat sebagai
objek dan nagari sebagai subjek. Hak ulayat menunjukan kepemilikan tertinggi
masyarakat adat Minangkabau terhadap sumber daya alamnya. Ulayat bukan saja
bernilai ekonomis, tetapi sekaligus punya nilai sosial, budaya, dan ekologis
(Firmansyah et al., 2007). Selanjutnya, Firmansyah et al. (2007) menyatakan
bahwa lembaga masyarakat lokal berperan penting dan strategis dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Selain membuat aturan-aturan,
lembaga lokal tersebut juga berperan sebagai kontrol masyarakat dalam
memanfaatkan sumber daya alamnya berdasarkan kearifan lokal yang telah
berkembang secara turun-temurun. Penelitian ini diperlukan untuk mengkaji
norma dan aturan yang berlaku serta peran kelembagaan masyarakat lokal dalam
pengelolaan hutan nagari. Kelembagaan lokal yang ada diharapkan dapat
menjaga kelestarian hutan. Secara skematis kerangka pemikiran tersebut
dituangkan dalam Gambar 1.
5
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian.
Kelembagaan Lokal
Interaksi Hutan denganMasyarakat
Pengelolaan HutanOleh Masyarakat
Kerapatan Adat Nagari(KAN) dan Lembaga
Pengelolaan Hutan Nagari(LPHN)
Norma, Nilai danAturan
Pengelolaan HutanSecara Lestari
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelembagaan
Lingkungan (kebudayaan, ekonomi, politik, dan agama), kekuatan-kekuatan sosial
sangat memegang peranan dalam mempengaruhi tingkah laku manusia sebagai
individu, anggota suatu grup atau sebagai anggota masyarakat. Tingkah laku
manusia merupakan dampak dari kebudayaan dan tradisi, cara berfikir dan
mengerjakan sesuatu, peraturan-peraturan resmi program-program pemerintah,
kepercayaan agama,pertimbangan-pertimbangan rumah tangga, dan lain-lain.
Tingkah laku manusia berpengaruh terhadap terbentuknya suatu lembaga.
Lembaga adalah badan, organisasi, kaidah, dan/atau norma-norma, baik formal
maupun informal sebagai pedoman untuk mengatur perilaku segenap anggota
masyarakat, baik dalam kegiatan sehari-hari maupun dalam usahanya mencapai
suatu tujuan tertentu (Hanafie, 2010). Sari et al. (2013) menyatakan kelembagaan
adalah perangkat lunak, aturan main, keteladanan, rasa percaya, serta konsistensi
kebijakan yang diterapkan di dalamnya. Kelembagaan tidak bisa hanya dilihat
dari segi internal kelembagaan tetapi juga dari segi eksternal kelembagaan yang
mempengaruhi kegiatan kelembagaan tersebut (Kusnandar et al., 2013).
Ostrom (2005) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam
masyarakat yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan
7apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di
masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang harus atau tidak
boleh disediakan dan keuntungan apa yang akan diterima seseorang sebagai hasil
dari tindakan yang dilakukannya. Kelembagaan juga dapat diartika sebagai suatu
gugusan aturan formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan
lainnya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial) yang
memfasilitasi koordinasi dan hubungan-hubungan antara individu atau kelompok
(Fauzi, 2005).
Kelembagan yang berkembang di masyarakat biasanya berasal dan berakar dari
adat setempat atau lembaga tersebut sengaja dibentuk oleh masyarakat setempat
atau oleh pemerintah sesuai dengan perkembangan peradaban masyarakat.
Kelembagaan itu biasa dikenal dengan kelembagan lokal. Kelembagaan lokal
merupakan pranata sosial tingkat lokal yang berdiri diantara individu dalam
kehidupan pribadinya dengan lingkungannya, yang ternyata tidak hanya berperan
mengatur tata kehidupan masyarakat saja, akan tetapi juga mempunyai peranan
yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat (Wasistiono et
al., 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal mampu mengelola
dan memanfaatkan sumber daya hutan berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan
nilai-nilai, norma sosial, dan budaya yang dimiliki masyarakat sebagai wujud
eratnya hubungan masyarakat dengan sumber daya hutannya. Masyarakat
memiliki kemampuan menghadapi perubahan-perubahan yang disebabkan oleh
pengaruh eksternal dan memiliki cara-cara baru untuk bertahan dalam situasi yang
8baru pula. Kelembagaan lokal tumbuh pada suatu teritori karena melekat dengan
sejarah wilayah, dan mengandung nilai budaya tradisional dalam hubungan sosial
dan kewenangan. Oleh karena itu aspek kelembagaan merupakan salah satu aspek
yang berperan penting dalam pembangunan dan pengelolaan hutan.
Aspek kelembagan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur
pembangunan pedesaan dikatan maju (Hanafie, 2010). Aspek kelembagaan juga
merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan pengelolaan hutan
bersama masyarakat (Hamzah et al., 2015). Di Seram Bagian Barat, Maluku,
efektivitas kelembagaan lokal dalam mengelola secara lestari dibagi berdasarkan
istilah dusun dengan tipe hak penguasaan yang berbeda, yaitu Dusun Dati, Dusun
Negeri, Dusun Pusaka, dan Dusun Parusahaan (Ohorella et al., 2011).
Kelembagaan berfungsi mengatur dan mengendalikan sikap dan perilaku
masyarakat dalam pengelolaan hutan (Hamzah et al., 2015).
Peran kelembagaan sebagai pengatur dan pengendali sikap masyarakat tidak
didukung oleh pihak pemerintah. Padahal kelembagaan yang ada di masyarakat
mampu mendorong masyarakat untuk melaksanakan kebijakan program
kehutanan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kinerja pembangunan
kehutanan ditentuka oleh kapasitas kelembagaan (Kartodihardjo, 2006). Hal
senada juga dijelaskan Febryano et al. (2015) bahwa kelembagaan lokal mampu
membantu pemerintah kabupaten dalam pembangunan masyarakat pedesaan di
wilayah pesisir. Wollenberg et al. (2005) menyatakan terdapat dua pendekatan
pembelajaran sosial mengenai kelembagaan lokal. Pertama, pendekatan harus
menekankan pada pentingnya kolaborasi di antara lembaga-lembaga lokal yang
9berbeda. Kedua, pendekatan harus memberikan pengetahuan mengenai bagamana
lembaga lokal dapat beradaptasi dengan berubahnya lingkungan dan sosial.
Sardjono (2004), dari sisi sosiologi ada empat komponen utama kelembagaan,
yaitu.
1. Norma (norms),
Norma menekankan pada tingkah laku yang dituntut dari masyarakat secara
keseluruhan (tidak terikat dengan status sosial yang disandang).
2. Sanksi (sanctions),
Sanksi adalah instrument yang terikat pada norma dalam bentuk penghargaan
(reward) dan hukuman (punishments). Sanksi diharapkan dapat menjamin
terlaksananya norma dimaksud.
3. Nilai (values)
Nilai, lebih ditekankan pada hal-hal yang lebih disukai (atau yang tidak
disukai) dalam rangka menetapkan norma yang dipilih.
4. Kepercayaan (beliefs).
Nilai akan dijustifikasikan melalui basis kepercayaan yang berkembang di
kelompok.
Kelembagaan secara total akan membentuk budaya. Kelembagaan sebenarnya
memiliki fungsi penting dalam mengatur hubungan antara manusia dengan
sumberdaya alam (termasuk hutan) agar tetap bisa berfungsi lestari, serta
menjamin hubungan antar manusia dalam masyarakat (bisa warga satu desa yang
sama dan atau antar desa bertetangga) agar tetap harmonis (Sardjono, 2004).
Peran kelembagaan membuat orang atau anggota masyarakat saling mendukung
10dan bisa berproduksi atau menghasilkan sesuatu karena ada keamanan, jaminan
akan penguasaan atau sumberdaya alam yang di dukung oleh peraturan dan
penegakan hukum serta insentif untuk mentaati aturan atau menjalankan institusi.
Kelembagaan dalam hal ini bukan hanya menyangkut usaha tani, tetapi juga
peranan kelembagaan-kelembagaan penunjang dalam pengembangan pertanian
dan kehutanan.
Pada hakekatnya setiap kelembagaan itu memiliki tujuan, karena suatu lembaga
lahir dan dibangun karena adanya tujuan. Lembaga akan tetap eksis sepanjang
masih mampu mewujudkan tujuan tersebut. Apabila suatu lembaga tidak mampu
lagi mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya, maka dapat disepakati untuk
dibentuk lembaga baru atau tidak sama sekali (Awang et al., 2008). Suatu
kelembagaan harus memiliki suatu struktur kelembagaan. Menurut Pasaribu,
(2007) umumnya struktur kelembagaan yang dibentuk terdiri dari struktur inti,
yaitu.
1. Ketua, sebagai pemimpin yang mengkoordinir seluruh anggota bawahannya.
2. Sekretaris, sebagai pencatat agenda harian maupun kegiatan-kegiatan yang
dilakukan kelompok tani sekaligus tangan kanan ketua.
3. Bendahara, sebagai pengelola keluar masuknya dana yang dibutuhkan oleh
kelompok.
2.2 Kelembagaan Lokal
Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang
dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif,
kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya
11hutan. Sistem tata nilai budaya, kelembagaan lokal, dan keterikatan masyarakat
desa hutan atas lingkungan sumber daya hutan mengalami kemarginalan. Realita
ini memberi perhatian, ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat desa hutan.
Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan dari identitas bersama
masyarakat desa hutan. Tiga upaya yang dapat segera dilakukan guna
mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desa hutan, yaitu
penguatan sistem tata nilai budaya, penghidupan kembali sistem kelembagaan
lokal, dan optimalisasi potensi sumber daya hutan (Nugraha dan Murtijo, 2005).
Kelembagaan masyarakat desa hutan dalam bentangan sejarah terbukti mampu
mengatur keteraturan, ketertiban, keamanan, dan keharmonisan, akan tetapi
seiring masuknya budaya modernisasi dan penyeragaman kelembagaan tingkat
nasional berdampak pada terpinggirkannya peran kelembagaan lokal masyarakat.
Kelembagan yang berkembang di masyarakat biasanya berasal dan berakar dari
adat setempat atau lembaga tersebut sengaja dibentuk oleh masyarakat setempat
atau oleh pemerintah sesuai dengan perkembangan peradaban masyarakat.
Kelembagaan itu biasa dikenal dengan kelembagan lokal. Kelembagaan lokal
merupakan pranata sosial tingkat lokal yang berdiri diantara individu dalam
kehidupan pribadinya dengan lingkungannya, yang ternyata tidak hanya berperan
mengatur tata kehidupan masyarakat saja, akan tetapi juga mempunyai peranan
yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat (Wasistiono et
al., 2006).
Dua dekade terakhir kelembagaan lokal masyarakat telah mengalami kematian
obor. Masyarakat desa hutan kehilangan arah melangkah untuk menapak jalan
12kehidupan yang pasti. Kebijakan struktural kelembagaan dari pemerintah pusat
mengakibatkan tercerai berainya sistem kelembagaan masyarakat desa hutan yang
berakar pada sistem tata nilai budaya lokal.
Realita tersebut menyadarkan bahwa langkah prioritas yang segera harus
dilakukan untuk mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan adalah
penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal. Hal ini didasarkan oleh sisi
positif kelembagaan lokal masyarakat, yaitu berakar pada sistem tata nilai budaya
masyarakat lokal, struktur kelembagaan yang demokratis, tingkat partisipasi yang
tinggi, dan selaras dengan nafas desentralisasi. Atas dasar itu, upaya yang segera
dapat dipersiapkan untuk menghidupkan kembali kelembagaan lokal sebagai
wujud aktualisasi kembali masyarakat desa hutan, adalah : identifikasi
kelembagaan lokal yang pernah ada, merevitalisasi kelembagaan lokal dengan
mengadopsi aspek positif kelembagaan sekarang, sosialisasi kelembagaan, dan
penerapan akulturasi kelembagaan di masyarakat (Nugraha dan Murtijo, 2005).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal mampu mengelola
dan memanfaatkan sumber daya hutan berkelanjutan. Hal ini berkaitan dengan
nilai-nilai, norma sosial, dan budaya yang dimiliki masyarakat sebagai wujud
eratnya hubungan masyarakat dengan sumber daya hutannya. Kelembagaan lokal
tumbuh pada suatu teritori karena melekat dengan sejarah wilayah, dan
mengandung nilai budaya tradisional dalam hubungan sosial dan kewenangan.
Oleh karena itu aspek kelembagaan merupakan salah satu aspek yang berperan
penting dalam pembangunan dan pengelolaan hutan.
13Aspek kelembagan merupakan syarat pokok yang diperlukan agar struktur
pembangunan pedesaan dikatan maju (Hanafie, 2010). Peran kelembagaan
sebagai pengatur dan pengendali sikap masyarakat tidak didukung oleh pihak
pemerintah. Padahal kelembagaan yang ada di masyarakat mampu mendorong
masyarakat untuk melaksanakan kebijakan program kehutanan. Wollenberg et al.
(2005) menyatakan terdapat dua pendekatan pembelajaran sosial mengenai
kelembagaan lokal. Pertama, pendekatan harus menekankan pada pentingnya
kolaborasi di antara lembaga-lembaga lokal yang berbeda. Kedua, pendekatan
harus memberikan pengetahuan mengenai bagamana lembaga lokal dapat
beradaptasi dengan berubahnya lingkungan dan sosial.
2.3 Kelembagaan Adat
Nurochmat (2005) menyatakan pengakuan dan pengaturan terhadap masyarakat
tradisional dan masyarakat hukum adat sering kali menjadi masalah terkait dengan
kewenangan menilai ekstensi masyarakat tradisional atau masyarakat hukum adat.
Keberadaan pranata adat atau lembaga–lembaga adat dengan seluruh
kelengkapannya dalam masyarakat harus diakui dan diterima oleh seluruh
anggota masyarakat yang memungkinkan adat istiadat serta tradisi semakin
mapan serta tumbuh berkembang secara dinamis dalam menghadapi perubahan-
perubahan dari waktu ke waktu (Berwin et al., 2014). Pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat adat dapat menjadikan hutan lestari.
Menurut Sumaryono et al. (2017) kelembagaan pada pengelolaan hutan lestari
berbasis masyarakat adat tidak cukup hanya berpedoman pada kelembagaan adat
semata, tetapi harus melibatkan stakeholder lainnya, yaitu pemerintah dan agama.
14Pada tatanannya kewenangan pengelolaan sumber daya alam terletak pada
masyarakat hukum adat, sedangkan pemerintah dan agama kewenangan dalam hal
mengatur, memotivasi, memfasilitasi dan mengontrol pelaksanaan pengelolaan
sumber daya alam oleh masyarakat adat. Wanane (2008) menyatakan,
kelembagaan masyarakat adat dalam bentuk hak kepemilikan (property right )
dapa berupa hak bersama dan hak milik berdasarkan marga/klan serta adanya
batas yurisdiksi yang dapat menekan interdependensi antara anggota masyarakat
adat dengan masyarakat luar.
Kelembagaan adat sangat besar pengaruhnya pada pola tingkah laku kehidupan
sosial masyarakat di sekitar hutan. Aturan-aturan adat yang ada merupakan
peninggalan leluhur yang tetap harus dijaga dan dipatuhi walaupun aturan-aturan
adat tersebut tidak tertulis. Aturan adat bagi masyarakat merupakan hukum yang
mengikat dan memiliki sanksi yang tegas atas segala pelanggaran yang dilakukan.
Secara luas kelembagaan adat yang ada tidak hanya mengatur dan mengatasi
tentang konflik sosial yang terjadi dalam masyarakatnya namun juga mengatur
tentang pola perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang ada
di sekitar mereka. Hal ini adalah wajar mengingat hutan merupakan lingkungan
hidup mereka dan juga sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
serba sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan hutan berarti ancaman
bagi kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya.
2.4 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
Pengelolaan hutan identik dilakukan oleh masyarakat. Hutan bagi masyarakat
bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai
15dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, masyarakat tidak hanya melihat hutan
sebagai sumber daya potensial saja, melainkan memang merupakan sumber
pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan dan sekaligus tempat tinggal
mereka. Bahkan sebagian masyarakat tradisional yang meyakini bahwa hutan
memiliki nilai spiritual, yakni dimana hutan atau komponen biotik dan abiotik
yang ada di dalamnya sebagai obyek yang memiliki kekuatan dan/atau pesan
supranatural yang mereka patuhi (Fauzi, 2012).
Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan
dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh
masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk
meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial
budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman
Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan (Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan 83, 2016). Perhutanan sosial memperhatikan prinsip-
prinsip sebagai berikut.
a. Keadilan
b. Keberlanjutan
c. Kepastian hukum
d. Partisipatif
e. Bertanggung gugat
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu bentuk
program perhutanan sosial yang telah berkembang dalam konteks pengelolaan
hutan Indonesia serta telah mengikuti proses dan dinamika kehidupan masyarakat
16dan kelembagaan pedesaan pada tingkat lapang (Hakim et al., 2010). PHBM
adalah sistem pengelolaan hutan yang memberikan hak, kewajiban dan
tanggungjawab masyarakat setempat untuk mengelola hutan. PHBM merupakan
wujud keberpihakan negara agar hasil dari pembangunan kehutanan menetes
kepada masyarakat paling bawah (Sudarsono, 2016).
Beberapa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat dalam melaksanakan
pengelolaan hutan berbasis masyarakat antara lain (Rahmina et al., 2012).
1. Mempunyai akses atau hak secara sah dalam pemanfaatan dan pemungutan
hutan selama masa izin berlaku dan hak ini dapat diperpanjang.
2. Usaha pengelolaan hutan termasuk hasil hutan non kayu dapat bermanfaat
untuk menambah sumber pendapatan desa dan keluarga.
3. Bila hutan tersebut dikelola dengan pola pengelolaan yang lestari, produk hasil
hutan yang diproduksi dimungkinkan untuk memperoleh sertifikasi. Harga jual
produk yang sudah disertifikasi ini biasanya akan lebih tinggi daripada produk
yang tidak disertifikasi.
4. Peningkatan kapasitas organisasi masyarakat baik kelompok dan perseorangan
dalam bentuk kegiatan penyuluhan, sosialisasi, pelatihan, pertemuan-
pertemuan kelompok dan berbagi pengalaman dan pengetahuan antar sesama
pelaku PHBM, Penyuluh Kehutanan, dan pendamping.
5. Seiring berjalannya pengembangan pengelolaan hutan berbasis masyarakat,
masyarakat akan memperoleh pendampingan dan bimbingan teknis dalam
pembentukan dan pengembangan organisasi atau lembaga pengelola hutan di
tingkat desa, bimbingan administrasi dan manajerial, ataupun bimbingan dalam
17aspek teknis kehutanan dan pengolahan hasil hutan dari para Penyuluh
Kehutanan atau pendamping lain yang relevan.
6. Pendanaan yang dikelola oleh masyarakat/kelompok/ koperasi dan
dialokasikan untuk pelaksanaan pengembangan Hutan Desa, hutan
kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat dan hutan rakyat.
7. Melalui peranserta dalam pengelolaan hutan bersama masyarakat, masyarakat
telah berkontribusi dalam program pelestarian hutan di Indonesia.
Pengelolaan hutan yang baik, didalamnya memperhatikan aspek-aspek pelestarian
hutan. Menurut Nugroho (2011) terdapat tiga komponen kelestarian hutan yang
harus diperhatikan dalam pengelolaannya yaitu.
1. Kelestarian fungsi produksi
Kelestarian fungsi produki meliputi tersedianya jaminan kepastian
sumberdaya, kawasan dan kelangsungan ekosistem hutan.
2. Kelesterian fungsi ekologis
Kelestarian fungsi ekologis diantaranya dapat mempertahankan sistem
penunjang kehidupan dan terpeliharanya keanekaragaman hayati.
3. Kelestarian fungsi sosial budaya
Fungsi sosial budaya antara lain dapat mempertahankan aspek sosial budaya
oleh masyarakat lokal.
Masyarakat beperan dalam kelestarian hutan. Perilaku masyarakat yang peduli
terhadap kelestarian hutan dapat dilakukan dengan tidak melakukan penebangan
pohon di hutan, tidak melakukan pembukaan areal kebun di dalam hutan dan turut
mengawasi perilaku warga lain yang menebang pohon di hutan. Masyarakat juga
18dapat berperan aktif dalam melakukan pelestarian dan penghijauan hutan kembali
(reboisasi). Tanpa peran serta dan dukungan masyarakat maka kelestarian hutan
juga tidak dapat dikendalikan.
Masria et al. (2015) berpendapat bahwa kelestarian hutan sangat bergantung pada
peran serta warga sekitar hutan untuk menjaga dan melestarikan hutan. Perilaku
yang peduli terhadap kelestarian hutan dapat dilakukan dengan tidak melakukan
penebangan pohon di hutan, tidak melakukan pembukaan areal kebun di dalam
hutan dan turut mengawasi perilaku warga lain yang menebang pohon di hutan.
Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam melakukan pelestarian dan
penghijauan hutan kembali (reboisasi). Tanpa peran serta dan dukungan
masyarakat maka kelestarian hutan juga tidak dapat dikendalikan.
Berhubungan dengan kelestarian hutan dari segi fungsi sosial dan budaya oleh
masyarakat lokal, (Suteja, 2014) menyatakan bahwa pengelolaan hutan yang
melibatkan masyarakat memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan
penghasilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Lewerissa (2015) menjelaskan bahwa interaksi masyarakat sekitar hutan dengan
hutan merupakan upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Keyakinan, pemahaman,
pengalaman serta kebiasaan masyarakat menuntun untuk berperilaku dalam
komunitas ekologis. Perilaku dan pengalaman dalam memenuhi kebutuhan hidup
memunculkan sistem pengetahuan yang berhubungan dengan sosial maupun
lingkungan atau ekologis (Situmorang dan Simanjuntak, 2015).
Menurut Aulia dan Dharmawan (2010) sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal
19atau tradisional merupakan dasar konsep sebuah kearifan lokal. Kearifan lokal di
berbagai daerah memiliki kesamaan fungsi sebagai pedoman, pengontrol, dan
rambu-rambu untuk berperilaku dan berinteraksi dengan alam. Fauzi (2012)
mendefinisikan kearifan tradisional sebagai pengetahuan kebudayaan yang
dimiliki suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan
kebudayaan.
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia. Kearifan lokal
terbentuk sebagai proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dalam
rangka memenuhi berbagai kebutuhannya. Kearifan lokal juga tidak lepas dari
berbagai tantangan seperti bertambah jumlah penduduk, teknologi modern dan
budaya luar, modal besar serta kemiskinan dan kesenjangan.
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam
kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Hal itu merujuk pada
lokalitas dan komunitas tertentu. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia,
kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan
waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat.
Sementara itu Keraf (2010) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua
bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat
kebiasaanatau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas ekologis. Pemahaman mengenai kearifan lokal di atas semakin
menegaskan bahwa kearifan lokal menjadi modal penting dalam pengelolaan
sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.
202.5 Nagari di Sumatera Barat
Nagari merupakan pemerintahan terendah setingkat desa di Propinsi Sumatera
Barat, terdiri dari himpunan beberapa suku, mempunyai Kerapatan Adat Nagari,
mempunyai batas-batas wilayah tertentu, serta berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Hal ini dituangkan dalam Peraturan Daerah Sumatra
Barat No. 9 tahun 2000, pasal 2 dan 3 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan
Nagari. Pengambilan keputusan perencanaan publik di nagari dilakukan secara
terdesentralisasi mengikuti proses bottom-up planning, yang dimulai dari
pemerintahan terendah yang paling dekat dengan rakyat.
Nagari diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
berdasarkan filosofi adat, sehingga nilai nilai adat dalam tata kehidupan
masyarakat nagari melekat dengan kuat. Nagari berwenang untuk mengurus
urusan pemerintahan, urusan adat, urusan perekonomian, serta urusan
kerentraman dan ketertiban. Nagari juga berwenang untuk mengurus urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten yang diserahkan
pengaturannya kepada Nagari serta tugas pembantuan lainnya.
Masyarakat Minangkabau, khususnya wilayah Propinsi Sumatera Barat sangat
kental dengan nilai dan norma adat istiadatnya. Kembalinya kenagari,
memberikan peluang kembali kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri yang sesuai dengan bentuk dan susunan pemerintahan
desa berdasarkan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Masyarakat Sumatera Barat dikenal demokratis dan aspiratif melalui tradisi
musyawarah mufakatnya yang ttuang dalam kelembagaan adat.
21Istilah pemerintahan nagari dahulunya sudah ada, namun hilang selama
Pemerintahan Orde Baru dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 5 tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang tersebut merupakan landasan
pengaturan pemerintahan desa dan telah menyeragamkan sistem pemerintahan
terendah diseluruh Indonesia. Desa merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah lansung
dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam
ikatan Negara kesatuan Republik Indonesia.
Pada masa Reformasi Indonesia, pemerintah memberlakukan Otonomi daerah
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang otonomi
Daerah. Wilayah Sumatera Barat merespon undang-undang tersebut dengan
penerapan sistem pemerintahan nagari dan menggunakan istilah “Babaliak Ka
Nagari” atau kembali ke nagari. Hal ini dijelaskan dalam Peraturan Daerah
Propinsi Sumatra Barat No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan
Nagari. Peraturan Daerah ini menjelaskan bahwa pemerintahan terendah di
Sumatera Barat adalah nagari, kemudian direvisi dengan Peraturan Daerah Nomor
2 tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari yang menyatakan bahwa
nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas
wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah).
22Nagari diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
berdasarkan filosofi adat, sehingga nilai nilai adat dalam tata kehidupan
masyarakat nagari melekat dengan kuat. Nagari berwenang untuk mengurus
urusan pemerintahan, urusan adat, urusan perekonomian, serta urusan
kerentraman dan ketertiban. Nagari juga berwenang untuk mengurus urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten yang diserahkan
pengaturannya kepada Nagari serta tugas pembantuan lainnya.
Masyarakat Minangkabau, khususnya wilayah Provinsi Sumatera Barat sangat
kental dengan nilai dan norma adat istiadatnya. Hal itu memberikan peluang
kembali kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
yang sesuai dengan bentuk dan susunan pemerintahan desa berdasarkan asal-usul
dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Masyarakat Sumatera Barat
dikenal demokratis dan aspiratif melalui tradisi musyawarah mufakatnya yang
ttuang dalam kelembagaan adat.
Masyarakat lokal di Sumatera Barat sangat berperan dalam pengelolaan hutan.
Pengelolaan hutannya tidak bisa dipisahkan dengan ulayat sebagai objek dan
nagari sebagai subjek. Hak ulayat menunjukan kepemilikan tertinggi masyarakat
adat Minangkabau terhadap sumber daya alamnya. Ulayat bukan saja bernilai
ekonomis, tetapi sekaligus punya nilai sosial, budaya, dan ekologis (Firmansyah
et al., 2007). Selanjutnya, Firmansyah et al. (2007) menyatakan bahwa lembaga
masyarakat lokal berperan penting dan strategis dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam. Selain membuat aturan-aturan, lembaga lokal
tersebut juga berperan sebagai kontrol masyarakat dalam memanfaatkan sumber
23daya alamnya berdasarkan kearifan lokal yang telah berkembang secara turun-
temurun.
Ariyanto et al. (2014) menyatakan kearifan lokal adalah pengetahuan yang
diperoleh secara turun-temurun yang menjadi kebiasaan dan berdasarkan pada
nilai dan berdasarkan nilai dan norma masyarakat. Ridwan (2007) juga
mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami sebagai usaha manusia
dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap
terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana wisdom/kearifan dipahami
sebagai kemampuan seseorang dengan menggunakan akal pikirannya dalam
bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek atau
peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom kemudian diartikan sebagai
kearifan/kebijaksanaan.
Sartini (2004) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam
masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus.
Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi
bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah.
1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
Keberadaan hutan di nagari berada pada status ulayat nagari, suku dan kaum.
Masing-masing kawasan hutan yang berada pada status ulayat tersebut dikelola
24berdasarkan sistem ulayat. Baik itu hutan yang berada pada ulayat nagari (hutan
nagari), hutan yang berada pada status ulayat suku (hutan suku), dan hutan yang
berada pada status ulayat kaum (hutan kaum). Adapun pembagian tersebut karena
perbedaan status ulayat. Perbedaan tersebut merupakan konsekuensi dari tingkat
kekerabatan (hubungan genealogis) masyarakat Minangkabau.
Bagi masyarakat nagari, ulayat meliputi sumberdaya alam yang dikelola secara
komunal dan dikelola dengan mempertimbangkan keberlanjutan antar generasi.
Selain itu ulayat juga simbol pengikat hubungan kekerabatan masyarakat nagari.
Oleh karena itu, ulayat tidak saja berfungsi secara ekonomi tetapi juga secara
sosial budaya. Prinsip inilah yang kemudian menjadi landasan bagi pengelolaan
hutan oleh masyarakat nagari. Bagi mereka hutan merupakan cadangan
sumberdaya alam antar generasi di nagari.
Pengaturan hubungan antara masyarakat nagari dengan hutan terdapat 2 ketentuan
yaitu pantangan‖ dan larangan. Pantangan dan larangan diterapkan sesuai dengan
asas hukum adat, yaitu asas kepatutan dan tingkat kebutuhan masyarakat untuk
menciptakan tertib sosial di nagari. Selain itu larangan dan pantangan diukur dan
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial, budaya, religi bahkan nilai-nilai ekologi.
Terminologi pantangan terkait dengan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam
nilai-nilai kultural dan religi, sedangkan larangan mengacu kepada hal-hal yang
tidak diperbolehkan yang berhubungan dengan kepentingan langsung masyarakat,
karena dianggap berdampak atau berpengaruh besar.
Pemanfaatan hutan oleh masyarakat nagari sendiri diutamakan bagi perluasan
lahan pertanian (clearing it for agriculture) dengan mempertimbangkan
25keberlangsungan dan keseimbangan alam, seperti dilihat dalam pepatah adat; nan
bancah ditamani banieh, nan kareh dibuek ladang (nan basah ditanam benih, nan
keras dibuat ladang). Prinsip pemanfaatan ulayat yang menempatkan sesuatu
pada keseimbangan alam kemudian melandasi pola peruntukan lahan baik itu
untuk persawahan, perladangan.
Fungsi utama hutan di nagari adalah sebagai parak dan ladang. Oleh karena itu,
pemanfaatan hutan secara langsung baik itu hasil hutan kayu maupun non kayu
sebagai sumber mata pencaharian (gathering forest product) bukanlah hal yang
utama. Pemanfataan hasil hutan oleh masyarakat merupakan mata pencaharian
komplementer, dimana pertanian dan perladangan sebagai mata pencaharian
utama.
26
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-April 2018. Penelitian dan
pengambilan data dilakukan di hutan Nagari Sirukam Kecamatan Payung Sekaki
Kabupaten Sirukam Provinsi Sumatera Barat.
3.2 Alat dan Bahan
Responden penelitian ini adalah pengurus beserta anggota lembaga LPHN
(Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari), KAN (Kerapatan Adat Nagari), dan
pengurus desa/nagari. LPHN merupakan suatu lembaga kemasyarakatan nagari
yang bertugas untuk mengelola hutan nagari, sedangkan KAN adalah suatu
lembaga yang mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan adat. Alat
yang digunakan pada penelitian meliputi alat tulis, komputer, panduan
wawancara/kuisioner, alat perekam dan kamera.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena realitasnya merupakan
hasil konstruksi secara lokal dan spesifik, serta hubungan antara peneliti dan yang
diteliti bersifat interaktif yang tidak bisa dipisahkan (Soewadji, 2012). Metode
yang digunakan adalah metode studi kasus. Ciri khas metode studi kasus adalah
27tidak mempertimbangkan berapa banyak contoh suatu populasi, mengkaji secara
detail satu atau lebih program, kejadian, aktifitas. Studi kasus bukan untuk
menguji teori, sehingga peneliti tidak berpegang pada suatu teori dari awal
sampai dengan pengumpulan data (Soewadji, 2012).
3.3.1 Metode pengambilan responden
Pengambilan responden dilakukan dengan menggunakan metode purposive
sampling. Metode purposive sampling merupakan metode penarikan sampel yang
memandang dari sudut pandang subjektivitas peneliti (Eriyanto, 2007). Hasil dari
penelitian ini hanya sebatas untuk menjelaskan sampel. Metode ini masuk ke
dalam pendekatan nonprobabilitas. Metode purposive sampling digunakan untuk
mendapatkan informasi dari ketua, sekretaris dan bendahara lembaga LPHN dan
KAN, dikarenakan ketua sekretaris dan bendahara merupakan informasi kunci
dalam penelitian ini. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 6 orang
yang terdiri atas pengurus LPHN dan pengurus KAN. Kriteria responden yang
diambil adalah yang sedang menjabat dalam kepengurusan kelembagaan.
3.3.2 Jenis data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
didapatkan peneliti dari informan, responden, hasil pengamatan di lapangan. Data
primer yang dikumpulkan adalah, mengenai hutan nagari, aturan adat di
hutannagari, llembaga pengelolaan hutan nagari dan kerapatan adat nagari. Data
sekunder diperoleh dari dokumen, studi literatur, data statistik, laporan-laporan
dari instansi resmi pemerintah dan data pendukung lainnya yang ada di nagari.
28Informan adalah subjek yang telah lama tinggal dan aktif di lokasi penelitian serta
memiliki pengetahuan dan wawasan terhadap kajian. Informan tersebut adalah
niniak mamak, anggota masyarakat, orang atau tokoh adat maupun tokoh nagari
yang berpengaruh ditengah masyarakat serta ketua dan pengurus lembaga lokal
masyarakat.
3.3.3 Metode pengumpulan data
Metode yang dilakukan peneiliti dalam pengambilan data adalah wawancara,
observasi (pengamatan langsung), pengumpulan data dokumentasi.
3.3.3.1 Wawancara mendalam
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang fokus yang diteliti.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah
disusun. Wawancara dilakukan terhadap informan (panghulu suku, dubalang,
wali nagari, ketua KAN, atau kepala keluarga). Materi yang ditanyakan
berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan pokok mengenai kelembagaan lokal
dalam pengelolaan sumber daya hutan, nilai, norma/aturan, struktur sosial yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya hutan.
3.3.3.2 Pengamatan langsung (observasi)
Menurut Sugiyono (2012), pengamatan langsung dilakukan dalam kehidupan
masyarakat maupun kondisi di lapangan. Pengamatan dilakukan terhadap
penerapan aturan nagari serta peran dubalang dan panghulu, dan niniak mamak
terhadap penegakan aturan nagari dalam pengelolaan hutan. Pengamatan juga
29difokuskan kepada kegiatan yang menerapkan norma dan nilai yang ada di
kelembagaan hutan Nagarai Sirukam.
3.3.3.3 Studi dokumentasi
Menurut Eriyanto (2007) studi dokumentasi merupakan suatu metode
pengumpulan data yang dilakukan dengan mengumpulkan berbagai dokumen
yang berkaitan dengan topik penelitian. Pengumpulan data dengan menggunakan
metode ini menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah dan bukan
berdasarkan perkiraan (Sudjarwo dan Basrowi, 2009). Dokumen-dokumen
tersebut berupa
3.3.4 Analisis data
Data yang telah terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan melalui beberapa
tahapan. Menurut Cesario (2014) tahapan-tahapan pengolahan data adalah.
1. Pemeriksaan data, tujuan dilakukannya pemeriksaan data untuk mengetahui
kelengkapan data dan kepastian data apakah sesuai dengan permasalahan yang
diteliti.
2. Klasifikasi data, dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan
permasalahan yang diteliti
3. Sistemasi data, dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan data pada
tiap kelompok. Tujuan dilakukan klasifikasi dan sistemasi data adalah untuk
mempermudah pembahasan karena data yang tersusun telah di klasifikasi dan
disistemasi sehingga pembahasan data lebih akurat dan sistematis.
30Jenis data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
yang kemudian dianalisis secara deskriptif. Data yang diperoleh dari wawancara
diwujudkan dalam bentuk tulisan atau paparan serta ditransformasi ke dalam ben-
tuk tabel dan diagram (Sudjarwo dan Basrowi, 2009).. Analisis ini menjelaskan
penelitian yang bersifat apa adanya karena data dalam keadaan sewajarnya.
Menurut Bungin (2003) penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk
mengambarkan karakerisik populasi atau menarik generalisasi kesimpulan yang
berlaku bagi suatu populasi, melainkan lebih terfokus kepada refresentasi terhadap
fenomena sosial. Data yang diperoleh dari wawancara diwujudkan dalam bentuk
tulisan atau paparan serta ditransformasi ke dalam bentuk tabel.
68
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Pengelolalaan hutan bagi masyarakat Nagari Sirukam aturan adat dan aturan
yang dibuat oleh LPHN. Aturan tersebut berupa tertulis dan tidak tertulis.
Aturan tertulis dibuat oleh KAN dan LPHN. Aturan tidak tertulis berupa
falsafah dalam pemanfaatan lahan atau sumberdaya alam yaitu “Nan Bancah
Jadiakan Sawah, Nan Lereang Jadikan Parak” yang artinya lahan yang di aliri
air digarap untuk dijadikan sawah sedangkan yang miring untuk dijadikan
kebun dan ladang”. Selain itu juga terdapat aturan adat dalam pengelolaan
hutan.
2. Kelembagaan lokal Nagari Sirukam mempunyai peranan yang penting terhadap
pengelololaan hutan Nagari Sirukam yang dilihat dari dampak positif yang
dirasakan masyarakat atas keberadaan hutan Nagari Sirukam. Selain itu
kelembagaan lokal nagari juga bertanggung jawab atas pengelolaan hutan.
5.2 Saran
Perlu adanya penguatan terhadap kelembagaan agar didapatkannya kelembagaan
yang solid, anggota yang aktif dan bertanggung jawab atas tugas yang diemban.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, B., Chan, S., Nasfi, Yandri, E., Suarman, B., Putra, M. E., Batuah, K.,Mangkuto, M. K., Salim, H. dan Muchlis, M. 2008. Manajemen Suku.Buku. Lubuk Agung. Bandung. 263 hlm.
Aris, Lumangkun, A. dan Nugroho, J. R. 2014. Peranan lembaga adat dalampenyelesaian konflik lahan pada hutan adat di desa engkode kecamatanmukok kabupaten sanggau. Jurnal Hutan Lestari. 2(1) : 341-347.
Ariyanto, Rachman, I. dan Toknok, B. 2014. Kearifan masyarakat lokal dalampengelolaan hutan di desa rano kecamatan balaesang tanjung kabupatendonggala. Jurnal Warta Rimba. 2(2) : 84-91.
Aulia, T. O. S. dan Dharmawan, A. H. 2010. Kearifan lokal dalam pengelolaansumberdaya air di kampung kuta. Jurnal Transdisiplin Sosiologi,Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4(3) : 345–355.
Awang, S. A., Wahyu T.W, Bariatul H., Ambar A., Ratih M.S, Solehudin danAntonius N. 2008. Panduan Pemberdayaan Lembaga Masyarakat DesaHutan. Buku. Center For International Forestry Research (CIFOR). Bogor.158 hlm.
Berwin, Golar dan Sustri. 2014. Analisis kelembagaan pengembangan hutan adatdesa toro kecamatan kulawi kabupaten sigi provinsi sulawesi tengah. JurnalWarta Rimba. 2(1) : 73-80.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitaif: Pemahaman Filosofis danMetodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Buku. PT Raja GrafindoPersada. Jakarta. 262 hlm.
Cesario, A. E. 2014. Partisipasi Kelompok Masyarakat dalam Pelestarian HutanMangrove di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai KabupatenLampung Timur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 62 hlm.
Eriyanto. 2007. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. Buku. PT. LkiS PelangiAksara. Yogyakarta. 362 hlm.
Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Buku. PT Gramedia PustakaUtama. Jakarta. 185 hlm.
70Fauzi, H. 2012. Pembangunan Hutan Berbasis Kehutanan Sosial. Buku. Karya
Putra Darwati. Bandung. 347 hlm.
Febryano, I. G., Suharjito, D., Darusman, D., Kusmana, C. dan Hidayat, A. 2015.Aktor dan relasi kekuasaan dalam pengelolaan mangrove di kabupatenpesawaran, provinsi lampung, indonesia. Jurnal Analisis KebijakanKehutanan. 12(2) : 125-142.
Firmansyah, N., Gantika, N. dan Ali, M. 2007. Dinamika Hutan Nagari DitengahJaring-Jaring Hukum Negara. Buku. Perkumpulan untuk PembaharuanHukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) dan Perkumpulan Qbar.Jakarta. 109 hlm.
Hakim, I. S., Irawanti, Murniati, Sumarharni, A., Widiarti, R., Effendi, M.,Muslich dan Rulliaty, S. 2010. Social Forestry: Menuju RestorasiPembangunan Kehutanan Berkelanjutan. Buku. Pusat Penelitian danPengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. 134 hlm.
Hamzah, Suharjito, D. dan Istomo. 2015. Efektivitas kelembagaan lokal dalampengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat nagari simanau, kabupatensolok. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan. 2(2) : 117-128.
Hanafie, R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Buku. C.V Andi. Yogyakarta.308 hlm.
Iqbal, M. dan Septiana, A. D. 2018. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu olehmasyarakat lokal di kabupaten sanggau, kalimantan barat. Jurnal PenelitianEkosistem Dipterokarpa. 4(1) : 19‐34.
Kartodihardjo, H. 2006. Masalah kapasitas kelembagaan dan arah kebijakankehutanan: studi tiga kasus. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 7(3) : 14-25.
Keraf, A. S. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Buku. Kompas Media Nusantara.Jakarta. 408 hlm.
Kusnandar, Padmaningrum, D., Rahayu, W. dan Wibowo, A. 2013. Rancangbangun model kelembagaan agribisnis padi organik dalam mendukungketahanan pangan. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 14(1) : 92-101.
Lewerissa, E. 2015. Interaksi masyarakat sekitar hutan terhadap pemanfaatansumberdaya hutan di desa wangongira, kecamatan tobelo barat. JurnalAgroforestri. 9 (1) :10-20.
Magdalena. 2013. Peran hukum adat dalam pengelolaan dan perlindungan hutandi desa sesaot, nusa tenggara barat dan desa setulang, kalimantan timur.Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 10(2) : 110-121.
71Mardhiah, A., Supriatno dan Djufri. 2016. Pengelolaan hutan berbasis kearifan
lokal dan pengembangan hutan desa di mukim lutueng kecamatan manekabupaten pidie provinsi aceh. Jurnal Biotik. 4(2) : 128-135.
Maryudi, A. 2014. An innovative policy for rural development? rethinkingbarriers to rural communities earning their living from forest in indonesia.Jurnal Ilmu Kehutanan. 8(1) : 50-64.
Masria, Golar dan Ihsan, M. 2015. Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadaphutan di desa labuan toposo kecamatan labuan kabupaten donggala. JurnalWarta Rimba. 3(2) : 57-64.
Meilby, H., Smith, H. C., Byg, A., Larsen, H. O., Nielsen, O. J., Puri, L. danRayamajhi, S. 2014. Are forest incomes sustainable? firewood and timberextraction and productivity in community managed forests in nepal.Journal World development. 64 (1) : S113–S124.
Mondo, A., Akhbar, J. dan Golar. 2016. Kelembagaan hutan desa di loncakecamatan kulawi kabupaten sigi. Jurnal Warta Rimba. 4(2) : 76-81.
Muchtar, M. 2011. Alam Takambang Jadikan Guru. Buku. Yayasan NuansaBangsa. Jakarta. 342 hlm.
Nasrul, W. 2013. Peran kelembagaan lokal ada dalam pembangunan desa. JurnalEkonomi Pembangunan. 14(1) : 102-109.
Nugraha, A. dan Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Buku. Wana Aksara.Banten. 189 hlm.
Nugroho, A. 2011. Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pelestarian HutanAdat di Pekon Bedudu Kecamatan Belalau Kabupaten Lampung Barat.Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 87 hlm.
Nurrochmat, D. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan: Upaya Menyelamatkan Rimbayang Tersisa. Buku. Pustaka Belajar. Yogyakarta. 178 hlm.
Nursidah. 2012. Pengembangan institusi untuk membangun aksi kolektif lokaldalam pengelolaan hutan kawasan lindung swp das arau, sumatera barat.Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 18(1) : 8–30.
Ohorella, S., Suharjito, D. dan Ichwandi, I. 2011. Efektivitas kelembagaan lokaldalam pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat rumahkay di serambagian barat, maluku. Jurnal Manajemen Hutan Tropis. 17(2) : 49-55.
Oktoyoki, H. 2016. Kelembagaan Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan(Studi Kasus pada Masyarakat Kerinci). Tesis. Institut Pertanian Bogor.Bogor. 74 hlm.
72Oktoyoki, H., Suharjito, D. dan Saharuddin. 2016. Pengelolaan sumberdaya hutan
di kerinci oleh kelembagaan adat. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian danLingkungan. 3(1) : 39-51.
Ostrom, E. 2005. Doing institutional analysis : digging deeper than market andhierarchies. Springer Science and Business Media. 819-848.
Palmolina, M. 2014. Peranan hasil hutan bukan kayu dalam pembangunan hutankemasyarakatan di perbukitan menoreh (kasus di desa hargorejo, kokap,kulon progo, d.i yogyakarta). Jurnal Ilmu Kehutanan. 8(2) : 117-125.
Pasaribu, L. O. 2007. Kelembagaan Pengelolaan Tana’ Ulen pada MasyarakatDayak Kenyah di Pampang Kecamatan Samarinda Utara, KalimantanTimur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9. 2000. Ketentuan PokokPemerintahan Nagari. Buku. Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat.Padang. 12 hlm.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2. 2007. Pokok-PokokPemerintahan Nagari. Buku. Pemeritah Daerah Provinsi Sumatera Barat.Padang. 17 hlm
Peraturan Nagari Sirukam Nomor 9. 2014. Lembaga Pengelola Hutan Nagari(LPHN) Sirukam. Buku. Pemerintah Nagari Sirukam. Sirukam. 12 hlm.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83. 2016.Perhutanan Sosial. Buku. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.Jakarta. 45 hlm.
Pokharel R K, Neupane P R, Tiwari K R, dan Köhl M. 2014. Assessing thesustainability in community based forestry: a case from nepal. JournalForest Policy and Economics. 58 : 75-84
Qurniaty, R., Duryat dan Kaskoyo, H. 2018. Penguatan kelembagaan pengelolaanhutan desa di sekitar gunung rajabasa, lampung. Jurnal Sakai Sambayan.1(3) : 80-86.
Rahmina, Sofia, Y., Marbyanto, E. dan Mustofa, A. 2012. Tata Cara danProsedur Pengembangan Program Pengelolaan Hutan BerbasisMasyarakat dalam Kerangka Undang-undang No. 41 Tahun 1999. Buku.Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dan Forestand Climate Change Programme (FORCLIME). Jakarta. 43 hlm.
Ridwan, N. A. 2007. Landasan ilmu kearifan lokal. Jurnal Studi Islam danBudaya. 5(1) : 27-38
73Safira, G. C., Wulandari, C. dan Kaskoyo, H. 2017. Kajian pengetahuan ekologi
lokal dalam konservasi tanah dan air di sekitar taman hutan raya wan abdulrachman (studi kasus di desa bogorejo kecamatan gedong tataan). JurnalSylva Lestari. 5(2) : 23-29.
Sardjono, M. A. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik,dan Kelestarian Sumberdaya. Buku. Debut Press. Yogyakarta. 300 hlm.
Sari, N., Golar dan Toknok, B. 2013. Kelembagaan kelompok tani hutan programpendampingan scbfwm disekitar sub daerah aliran sungai miu (kasus desapakuli kecamatan gumbasa kabupaten sigi). Jurnal Warta Rimba. 1(1) : 9-16.
Sartini. 2004. Menggali kearifan lokal nusantara sebuah kajian filsafat. JurnalFilsafat. 37(2) : 191-201.
Situmorang, R. O. P. dan Simanjuntak, E. R. 2015. Kearifan lokal pengelolaanhutan oleh mayarakat sekitar taman wisata alam sicike-cike, sumatera utara.Jurnal Widyariset. 18(1):145–154.
Soewadji, J. 2012. Pengantar Metodologi Penelitian. Buku. Mitra Wacana Media.Jakarta. 218 hlm.
Sudarsono, D. 2016. Panduan Monitoring dan Evaluasi PHBM (PengelolaanHutan Berbasis Masyarakat). Buku. Yayasan Masyarakat Nusa Teggara(SAMANTA). Mataram. 95 hlm.
Sudjarwo dan Basrowi. Manajemen Penelitian Sosial. Buku. CV Mandar Maju.Bandung. 356 hlm.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Buku. Alfabeta. Bandung. 234hlm.
Sumaryono, H. M., Agrianto, R., Peday, H. F. Z. dan Rahawarin, Y. Y. 2017.Potensi dan Pengembangan Hutan Lindung Ayamaru. Buku. Yogyakarta.123 hlm.
Suteja, P. 2014. Hubungan progam pengelolaan hutan bersama masyarakatterhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Jurnal Ilmiah PendidikanGeografi. 2(1) : 39-48.
Suwarti, Soeaidy, M. dan Suryadi. 2015. Implementasi perencanaan pengelolandan pemanfaatan hutan desa di kabupaten gunung kidul. Jurnal Reformasi.5(1) : 195-203
Wanane, A. P. 2008. Kajian Kelembagan Pengelolaan Kawasan Cagar AlamBerbasis Masyarakat Adat di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Tesis.Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 109 hlm.
74
Wasistiono, Sadu dan Tahrir, I. 2006. Prospek Pengembangan Desa. Buku. FokusMedia. Bandung. 210 hlm.
Wollenberg, E., Edmunds, D., Buck, L., Fox J. dan Brodt, S. 2005. PembelajaranSosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Buku. Bogor. Pustaka Latin.264 hlm.
Wulandari C., Bintoro A., Rusita, Santoso T., Duryat, Kaskoyo H., Erwin danBudiono P. 2018. Community forestry adoption based on multipurpose treespecies diversity towards to sustainable forest management in icef ofuniversity of lampung, indonesia. Jurnal Biodiversitas. 19(3) : 1102-1109.
Wulandari, C. dan Inoue, M. 2018. The importance of social learning for thedevelopment of community based forest management in indonesia: the caseof community forestry in lampung province. Journal Small-Scale Forestry.17(3) : 361–376.
Yuzastra, D. 2010. Peranan Kerapatan Adat Nagari (KAN) dalam ProsesPenyelesaian Sengketa Tanah Ulayat di Kecamatan Kuranji KotaPadang. Tesis. Universitas Diponegoro. Semarang. 98 hlm.