kelembagaan irigasi

51

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KELEMBAGAAN IRIGASI
Page 2: KELEMBAGAAN IRIGASI
Page 3: KELEMBAGAAN IRIGASI

KELEMBAGAAN IRIGASIPendekatan Model Kontrak

Page 4: KELEMBAGAAN IRIGASI
Page 5: KELEMBAGAAN IRIGASI

KELEMBAGAAN IRIGASI

M. RONDHI, SP, MP, Ph.D

Pendekatan Model Kontrak

Page 6: KELEMBAGAAN IRIGASI
Page 7: KELEMBAGAAN IRIGASI

PRAKATA

rigasi merupakan cara untuk mengalirkan air dari sumber ke petak

petani untuk dimanfaatkan keperluan pertanian. Secara garis besar

terdapat dua pendekatan dalam irigasi, pendekatan fisik dan

pendekatan pengelolaan (kelembagaan). Pengelolaan irigasi dikatakan

efisien jika distribusi air ke petak petani sesuai dalam hal jumlah dan waktu.

Pemberian air yang tidak sesuai menyebabkan pertumbuhan tanaman

kurang optimal. Dampaknya produksi tanaman dapat terganggu.

Pembahasan pengelolaan irigasi secara kelambagaan telah dilakukan

secara komprehensif oleh Ambler dengan peneliti-peneliti pengairan

terkemuka di Indonesia dan telah dipublikasn dalam sebuah buku menarik

yang berjudul Irigasi di Indonesia yang terbit pada tahun 1991. Pembahasan

buku tersebut terutama pada kearifan lokal yang mampu mengelola irigasi

dengan efisien. Terlepas dari kelebihan penelitian tersebut, masih ada satu

poin yang belum disentuh yaitu dari pendekatan ekonomi.

Seiring perkembangan keilmuan ekonomi pertanian yang mengarah

ke ekonomi kelembagaan, dirasa perlu membahas irigasi dari interaksi antar

pelaku ekonomi dengan motif ekonomi (insentif) yang ada di dalamnya. Hal

ini mengingat kelembagaan irigasi yang ada di salah satu pengelola sangat

sulit untuk ditransfer ke pengelola yang lain tanpa mengetahui motif

(ekonomi) pengelolaan irigasi tersebut. Buku ini mengungkapkan bahwa

pengelolaan irigasi dapat efisien jika masing-masing pelaku irigasi (petani

dan pengelola air irigasi) dapat menemukan titik kepuasan. Artinya petani

I

Page 8: KELEMBAGAAN IRIGASI

vi Kelembagaan Irigasi

mendapatkan hak air untuk mengelola usahataninya, sedangkan pengelola

irigasi mendapatkan insentif ekonomi atas pengelolaan irigasi tersebut. Ter-

dapat dua model utama yang dibahas dalam buku ini yaitu model swakelola

(yang sudah dipraktekkan sejak lama) dan model lelang (yang dipraktekkan

sejak tahun 2005). Kedua model tersebut merupakan model kontrak dalam

pengelolaan irigasi yang memiliki masing-masing kelebihan dan keku-

rangan. Bahasan kontrak merupakan salah satu bahasan penting dalam

ekonomi kelembagaan.

Secara sistematis buku ini disusun dalam lima bagian. Bagian pertama

menjelaskan tentang pentingnya irigasi dan kebijakan irigasi di Indonesia.

Bagian Kedua mengulas teori kelembagaan dan evolusinya (termasuk teori

kontrak). Bagian ketiga merupakan review beberapa contoh pengelolaan ir-

igasi di Indonesia. Selanjutnya, bagian keempat mendiskripsikan hasil

penelitian penulis yang dilakukan di Jawa Tengah sebagai contoh kasus

pengelolaan irigasi berbasis kontrak. Terakhir, bagian kelima menarik pela-

jaran yang didapatkan dari hasil penelitian pada bagian empat. Empat ba-

gian tersebut dijabarkan dalam Sembilan bab.

Buku ini ditulis berdasarkan penelitian intensif dan ekstensif selama

lebih dari lima tahun (2012-2017) pada Daerah Irigasi (DI) Klambu Wilalung

yang merupakan salah satu DI di Bendungan Kedung Ombo. Pentingnya

daerah penelitian tersebut karena secara indegenues model lelang (salah satu

model kontrak) dalam pengelolaan irigasi telah ditemukan dan diaplikasi-

kan pada DI tersebut. Beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan

pada beberapa jurnal dan proceeding kami sarikan dan kami tulis ulang un-

tuk memberikan gambaran secara utuh model pengelolaan irigasi. Kami

mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan luar biasa pada Profesor

Takumi Kondo (Universitas Hokkaido, Jepang) atas kesempatan untuk

melakukan penelitian ini. Selanjutnya pada teman kuliah S3 di Universitas

Hokkaido Jepang, Yasuhiro Mori, yang telah banyak meluangkan waktu un-

tuk ke lapang, menggali data, berdiskusi, dan juga berdebat tentang model

irigasi. Kami juga mengucapkan terima kasih atas diskusi integrative pada

mahasiswa S-1 di Universitas Jember, Sohibul Ulum yang telah mencu-

rahkan waktu untuk berdiskusi dan berkontribusi pada pengembangan

Page 9: KELEMBAGAAN IRIGASI

Prakata vii

model matematis pada salah satu bagian pada bab 5. Juga terima kasih yang

tidak terhingga pada mahasiswa S-2, Achmad Fatihul Hasan yang telah ber-

sama-sama membedah pemodelan kelembagaan irigasi menurut Meinzen

Dick dan berusaha keras mengembangkannya berdasarkan hasil temuan di

lapang.

Ucapan terima kasih yang tidak terhingga kami berikan pada Profesor

Efendi Pasandaran yang telah melakukan review draft buku ini, mem-

berikan masukan yang sangat membangun, dan memberikan tambahan

pemahaman keterkaitan antara pengelolaan air dan pengelolaan lahan

secara keseluruhan. Masukan, kritikan, dan tambahan pengetahuan mem-

berikan dorongan kuat bagi penulis untuk terus memperdalam, mengem-

bangkan keilmuan dalam ekonomi dan manajemen lahan dan air.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh ketua dan

anggota P3A di Daerah Irigasi (DI) Klambu Wilalung yang dengan tulus dan

ikhlas memberikan informasi dan data untuk kebutuhan penelitian. Dari

mereka penulis mendapatkan ide dan gagasan dalam menulis buku ini. Pak

Tamkin, Pak Subhan, Pak Rowi, Pak Ikhwan, Pak Kaspono merupakan se-

bagian dari keseluruhan yang memberi kemudahan di lapang, mengijinkan

penulis mengikuti proses “lelang” P3A, dan mendampingi penulis dalam

menggali data. Juga kepada petugas irigasi di DI Klambu Wilalung (Pak

Noor Ali) yang telah menyediakan informasi dan data untuk keperluan

penelitian di lapang.

Buku ini secara umum diperuntukkan untuk pihak pengambil ke-

bijakan dalam bidang irigasi. Selain itu, buku ini juga dapat digunakan oleh

pelaku pengelola irigasi sebagai tambahan wawasan dalam pengelolaan iri-

gasi. Buku ini juga dapat dibaca untuk pelaku pendampingan dalam pengel-

olaan irigasi. Secara khusus buku ini juga diperuntukkan untuk mahasiswa

S1 yang menempuh matakuliah kebijakan dan peraturan Bidang Pertanian

dan Manajemen Sumberdaya Lahan dan Air.

Terakhir, penulis berharap dengan membaca buku ini pembaca akan

mendapatkan tambahan wawasan dalam irigasi dan pengelolaannya. Cara

Page 10: KELEMBAGAAN IRIGASI

viii Kelembagaan Irigasi

urut membaca buku ini adalah dengan sesuai urutan bagian yang telah di-

jelaskan. Namun bagi pembaca yang ingin mendapatkan keterbaruan dapat

membaca buku ini pada bagian dua (teori ekonomi kelembagaan baru ter-

masuk di dalamnya adalah teori kontrak) dan pada bagian empat (hasil

penelitian penulis). Kami paham bahwa masih banyak kekurangan dalam

penulisan dan penyajiannya. Karenanya saran, kritik, dan saran yang mem-

bangun sangat diharapkan.

Kebonsari-Jember, Juni 2018

M. Rondhi

Page 11: KELEMBAGAAN IRIGASI

Prakata ix

PENGANTAR PAKAR

uku yang ditulis oleh Dr M. Rondhi mengemukakan pemikiran

pemikiran terobosan dalam mendukung perkembangan

kelembagaan pengelolaan irigasi khususnya yang terkait dengan

kelembagaan tingkat petani yang disebut P3A atau Perkumpulan Petani

Pemakai Air . P3A sebenarnya adalah nama generik dari berbagai

kelembagaan petani lokal seperti Dharma Tirta di Jawa Tengah, Mitra Cai di

Jawa Barat, dan berbagai nama lokal di luar Jawa. Di Pulau Jawa lembaga

tersebut berakar dari lembaga traditisional pedesaan yang disebut Ulu-Ulu

Desa. Di Pulau Bali lembaga pengelolaan air irigasi yang sudah berlangsung

lama dan terkenal adalah Subak yang kinerjanya diakui secara historis

walaupun dalam perkembangannya mengalami berbagai intrevensi

kebijakan yang kadang kala memperlemah kinerjanya. Lembaga Subak

sering juga disebut sebagai P3A.

Perkembangan P3A secara luas terjadi setelah mengalami intervensi

pemerintah melalui bantuan proyek yang disponsori oleh Bank Dunia da-

lam mendukung pembiayaan rehabilitasi irigasi yang disebut dengan PRO-

SIDA (Proyek Irigasi International Development Agency- IDA) sejak 1970. Oleh

karena itu di berbagai tempat kinerja P3A sampai sekarang sering tergan-

tung dari bantuan pemerintah. Namun tidak demikian halnya dengan lem-

baga P3A yang terdapat di daerah irigasi Klambu Wilalung di wilayah ben-

dungan Kedung Ombo yang juga dibangun dengan bantuan Bank Dunia

pada tahun 1980-an. Berdasarkan penelitian yang dilakukan secara intensif

B

Page 12: KELEMBAGAAN IRIGASI

x Kelembagaan Irigasi

antara tahun 2012 – 2017 oleh penulis buku ini model lelang dalam pengel-

olaan air irigasi oleh P3A telah ditemukan dan diaplikasikan pada daerah

tersebut. Pelajaran penting yang dapat ditarik dari penelitian tersebut antara

lain menunjukan bahwa ada peluang untuk mengembangkan lebih lanjut

inisiatif dan inovasi oleh P3A sendiri dalam mengelola irigasi yang antara

lain ditujukan oleh pendekatan kontrak berdasarkan lelang. Model lelang

tersebut juga dibandingkan dengan model inovatif swakelola yang juga ter-

dapat didaerah irigasi tersebut.

Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca oleh berbagai kalangan yang

berminat dan berwenang dalam kebijakan pengelolaan irigasi seperti Ke-

menterian PUPR dan Kementerian Pertanian, dan birokrasi yang ada di dae-

rah, para peneliti yang terkait dengan pengelolaan irigasi, para mahasiswa

yang berminat dalam masalah irigasi, lembaga swadaya masyarakat yang

melaksanakan pendekatan kemitraan, penyuluh pertanian yang menjadi

fasilitator inovasi P3A dan pihak swasta di pedesaan yang juga berpeluang

untuk bekerjasama dengan P3A.

Saya berharap buku ini turut memberi inspirasi kepada pemerintah

pusat dan daerah dalam penyusunan langkah langkah kebijakan yang har-

monis dan terpadu untuk mendorong terwujudnya kegiatan kegiatan ino-

vatif di pedesaan khususnya irigasi dan pertanian yang merupakan salah

satu penggerak ekonomi nasional secara berlanjut di masa yang akan da-

tang.

Jakarta,

Effendi Pasandaran

Editor

Page 13: KELEMBAGAAN IRIGASI

DAFTAR ISI

PRAKATA v

PENGANTAR PAKAR ix

DAFTAR ISI xi

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR TABEL xvii

Bab 1 PENTINGNYA KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM KE-

BIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 1

1.1 Pendahuluan: Pentingnya Arah Kebijakan 1

1.2 Penggunaan Lahan dan Konversi Lahan Irigasi 3

1.3 Kelembagaan Irigasi: Arah Kebijakan Irigasi Nasional 5

1.4 Pengelolaan Irigasi dalam Sebuah Tinjauan Keilmuan 6

1.5 Sistematika Penulisan Buku 17

1.6 Penutup 18

Bab 2 KEBIJAKAN DALAM PENGELOLAAN IRIGASI NA-

SIONAL 23

2.1 Pendahuluan: Perjalanan Sejarah 23

2.2 Kebijakan Irigasi Sebelum Tahun 1975an 25

2.3 Kebijakan Irigasi 1975an – 2005an 26

2.4 Kebijakan Iriagsi 2005an - sekarang 30

Page 14: KELEMBAGAAN IRIGASI

xii Mengupas Konsep Dasar dan Pembelajaran Trigonometri

2.5 Perkembangan Pengelola Jaringan Tersier 31

Istilah-Istilah Penting 32

Sumber Perundangan 33

BAB 3 EKONOMI KELEMBAGAAN BARU 35

3.1 Pendahuluan 35

3.2 Kelembagaan dan Organisasi

(Institution and Organizations) 37

3.3 Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics) 39

3.3 Cakupan dan Aplikasi Ekonomi Kelembagaan Baru 40

3.4 Penutup 47

Istilah penting 48

Daftar Pustaka 48

BAB 4 INSENTIF, TEORI KONTRAK, DAN BIAYA TRANSAKSI 51

4.1 Pendahuluan 51

4.2 Insentif 53

4.3 Kontrak pada Pertanian 54

4.4 Kontrak Lahan dan Tenaga Kerja 57

4.5 Kontrak Produksi dan Pasar 59

4.6 Biaya Transkasi 60

4.7 Penutup 61

Istilah Penting 61

Referensi 62

BAB 5 PEMODELAN PENGELOLAAN AIR IRIGASI

PENDEKATAN PRINSIPAL-AGEN DAN GAME THEORY 63

5.1 Pendahuluan 63

5.2 Pengelolaan Air Irigasi : Model Prinsipal-Agen 64

5.3 Game Theory dalam Pengelolaan Air Irigasi 71

5.4 Pengelolaan Sumberdaya 72

Istilah Penting 75

Referensi 75

Page 15: KELEMBAGAAN IRIGASI

Daftar Isi xiii

BAB 6 BEBERAPA KELEMBAGAAN IRIGASI LOKAL DALAM

PENGELOLAAN IRIGASI 77

6.1 Pendahuluan 77

6.2 Kelembagaan Irigasi Lokal di Indonesia 79

Subak di Bali 79

6.3 Beberapa Kelembagaan Irigasi Lokal di Luar Negeri 87

6.4 Penutup 89

Istilah-istilah penting 90

Daftar Bacaan 90

BAB 7 MODEL “LELANG” DAN MODEL “SWAKELOLA”

DALAM KELEMBAGAAN IRIGASI DI TINGKAT TERSIER 93

7.1 Pendahuluan 93

7.2 Model Irigasi “Lelang” dan Model Irigasi “Swakelola” 95

7.3 Sejarah dan Evolusi Model Swakelola dan Model Lelang 100

7.4 Diskripsi Singkat Daerah Irigasi Klambu Wilalung 103

7.5 Proses Penentuan Model Pengelolaan Air Irigasi Model

Lelang dan Model Swakelola 108

7.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Lelang dan Model

Swakelola 111

7.7 Penutup 112

Istilah Penting 113

Referensi 113

BAB 8 KELEMBAGAAN IRIGASI PADA JARINGAN TERSIER

(PENDEKATAN EKONOMI KELEMBAGAAN) 115

8.1 Pendahuluan 115

8.2 Private Insentive dalam Pengelolaan Air Irigasi 117

8.3 Biaya Transaksi dan Pilihan Petani pada Model Pengelolaan

Irigasi di Tingkat Tersier 123

8.4 Aplikasi Game Theory pada Pengelolaan Irigasi 125

8.5 Penutup 127

Istilah-istilah Penting 127

Referensi 128

Page 16: KELEMBAGAAN IRIGASI

xiv Mengupas Konsep Dasar dan Pembelajaran Trigonometri

BAB 9 PELAJARAN DARI SISTEM KONTRAK DAN ISU-ISU

STRATEGIS PENELITIAN KE DEPAN 129

9.1 Pelajaran (Lessons Learned) dari Sistem Kontrak di Daerah

Irigasi (DI) Klambu Wilalung 129

9.2 Isu Penelitian Ke Depan 132

Referensi 134

GLOSARIUM 135

DAFTAR INDEKS 139

-oo0oo-

Page 17: KELEMBAGAAN IRIGASI

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Tingkatan dalam aktivitas dan pengambilan

keputusan dalam pembangunan. 38

Gambar 5.1 Perluasan bentuk “dilema tawanan” satu sisi

dalam game theory 73

Gambar 6.1 Susunan organisasi Subak yang Lengkap. 81

Gambar 7.1 Skema Ringkas Aliran Irigasi Bendung Kedungombo 105

Gambar 7.2 Daerah Irigasi Klambu Wilalung yang melintasi

dua kabupaten. 106

Gambar 7.3 Aliran irigasi pada Daerah Irigasi Klambu Wilalung

dari Hulu ke Hilir 107

Gambar 8.1 Pilihan strategi petani dan pengelola

dalam pengelolaan air irigasi 125

Gambar 8.2 Pilihan petani dan pengelola dalam pengelolaan

air irigasi di Daerah Irigasi Klambu Wilalung,

Jawa Tengah 126

-oo0oo-

Page 18: KELEMBAGAAN IRIGASI

xii Mengupas Konsep Dasar dan Pembelajaran Trigonometri

Page 19: KELEMBAGAAN IRIGASI

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Luas lahan, produksi, dan produktivitas lahan periode 1973-

2012 2

Tabel 1.2. Luas lahan menurut jaringan irigasi teknis, semi teknis,

sederhana, tadah hujan, pasang surut, dan lainnya. 4

Tabel 4.1. Gambaran Tipe-tipe Kontrak pada Pertanian 56

Tabel 5.1 Perluasan bentuk “dilema tawanan” satu sisi dalam game

theory 73

Tabel 7.1 Persamaan dan Perbedaan Model Irigasi Lelang dan

Swakelola 96

Tabel 7.2 Lama Kontrak, Nilai Lelang dan Kegunaan Dana Lelang

pada P3A Sido Makmur, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. 97

Tabel 7.3 Lama Kontrak, Pengelolaan Dana Iuran Air pada P3A

Waduk Rejo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. 99

Tabel 7.4. Besarnya biaya invetasi pembangunan infrastruktur

persatuan luas. 99

Tabel 7.5 Daerah irigasi di cakupan wilayah bendungan

Kedungombo, Jawa Tengah. 104

Tabel 8.1 Produktivitas P3A Berdasarkan Model Lelang dan Model

Swakelola pada Musim Tanam 2 (MT2) Tahun 2015. 118

-oo0oo-

Page 20: KELEMBAGAAN IRIGASI

xii Mengupas Konsep Dasar dan Pembelajaran Trigonometri

Page 21: KELEMBAGAAN IRIGASI

PENTINGNYA KELEMBAGAAN

IRIGASI DALAM KEBIJAKAN

PEMBANGUNAN PERTANIAN

1.1 Pendahuluan: Pentingnya Arah Kebijakan

ejarah mencatat bahwa adanya irigasi (dan kombinasi input lainnya)

telah mampu meningkatkan produktivtas pertanian terutama

produksi pangan. Dijelaskan bahwa semakin tinggi rasio lahan yang

terairi irigasi dengan total lahan dapat meningkatkan produktivitas lahan.

Data series menunjukkan bahwa semakin tinggi rasio irigasi dan total lahan,

maka semakin tinggi produktivitas lahan (tabel 1.1). Berdasarkan data

tersebut diketahui bahwa luas lahan mengalami kenaikan dari 1973 (periode

orde baru) hingga 2012. Pada era orde baru, pemerintah memiliki prioritas

peningkatan infrastruktur irigasi sebagai paket kebijakan peningkatan

produksi dalam Kebijakan Panca usahatani. Setelah itu produksi padi

mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.

Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan produksi pangan

(padi) dapat dicapai dengan peningkatan luas lahan, produktivitas, dan

intensitas tanam. Tentu, peningkatan luas lahan sangat didukung oleh

penyediaan infrastruktur irigasi. Dilihat dari historisnya, pembangunan

infrastruktur irigasi sudah dimulai sejak jaman pra-kolonialisme,

S

Page 22: KELEMBAGAAN IRIGASI

MODEL “LELANG” DAN MODEL

“SWAKELOLA” DALAM

KELEMBAGAAN IRIGASI DI

TINGKAT TERSIER1

7.1 Pendahuluan

Dua pertanyaan mendasar bab ini adalah apakah model kelembagaan

irigasi bisa ditranformasikan dari satu daerah ke daerah yang lain? dan

apakah dalam jangka panjang model kelembagaan tersebut bersifat tetap

atau dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat?.

Beberapa contoh pengelolaan irigasi yang diungkapkan dalam bab 6

mengilustrasikan kelembagaan irigasi yang ada di Indonesia (keunggulan

dan kekurangannya masing-masing) berdasarkan karakteristik adat, aturan

yang disepakati bersama, dan kebiasaan masyarakat petani setempat.

1 Bab ini disarikan dari empat makalah:

1. Institutional Arrangement of Irrigation Water Management in Rural Area (A Case Study of a WUA in Central Java, Indonesia) yang dipresentasikan dalam seminar internasional:

2. Institutional Change and its Effect to Performance of Water Usage Association in Irrigation Water Managements.

3. Sistem Lelang dan Sistem Swkalola dalam Manajemen Irigasi di Tingkat Jaringan Tersier. 4. Diffusion of “Lelang System” and Farmer Choice on Irrigation Water Management Model.

Page 23: KELEMBAGAAN IRIGASI

94 Kelembagaan Irigasi

Subak merupakan model pengelolaan irigasi tradisional yang

dipraktikkan di Bali. Model ini diklaim menjadi salah satu model

kelembagaan irigasi yang sukses di dunia dilihat dari efisiensinya. Model

pengelolaan secara adat ini dianggap mampu untuk mengelola air irigasi

dilihat dari pengaturan air dari hulu ke hilir, adanya pemeliharaan jaringan,

dan minimnya konflik dalam pengaturan air irigasi tersebut. Ambler (1991)

menyebutkan bahwa terdapat tiga dimensi untuk menjelaskan terminologi

efisien dalam pengelolaan irigasi, yaitu efisiensi teknis, efisiensi ekonomi,

dan efisiensi sosial. Namun demikian, model subak ini sulit ditransformasi-

kan dari daerah asalnya (Bali) ke daerah lain, misalnya Jawa atau daerah

lain. Terlalu dini untuk mengatakan bahwa model kelembagaan subak

tersebut tidak bisa ditransformasikan ke daerah lain, akan tetapi tidak

berlebihan jika mengenalkan model kelembagaan lain yang barangkali

dapat digunakan sebagai alternatif model pengelolaan air irigasi di

Indonesia.

Bab ini merupakan implementasi teori yang dijelaskan pada bagian 2

(bab 4 dan 5, sekaligus membuat kerangka baru (selain pendekatan

kelembagaan “lama” seperti pada bagian 3, bab 6) pembahasan pengelolaan

irigasi. Bagian 3 bab 6 mendiskripsikan secara singkat beberapa contoh

pengelolaan irigasi dengan pendekatan kelembagaan di mana model

pengelolaan irigasi sangat spesifik dipengaruhi karakteristik budaya, adat,

dan norma (aturan) yang berlaku di daerah tersebut. Karenanya model

pengelolaan irigasi secara “adat” ini sulit untuk ditransformasikan ke

daerah lain. Bab ini muncul untuk menjawab premis sulitnya transformasi

model kelembagaan pengelolaan air irigasi dari satu daerah ke daerah lain.

Oleh karenanya bab ini mencoba mengenalkan salah satu model

pengelolaan irigasi yang dikenal dengan sistem kontrak dengan “model

swakelola” dan “model lelang”. Model ini merupakan perubahan dari

sistem yang sebelumnya pernah dipraktekkan oleh masyarakat tani di Jawa

Tengah, dari model sistem tradisional “ulu-ulu”, dharma tirta, P3A, P3A

swakelola, dan P3A lelang.

Bab ini diawali penjelasan singkat tentang model irigasi lelang dan

swakelola, sejarah model irigasi sistem lelang, proses dalam model irigasi

Page 24: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 95

lelang, dan keuntungan dan kerugian model sistem irigasi lelang. Beberapa

contoh kasus aplikasi model swakelola dan model lelang dijelaskan pada

sub bab model lelang dan swakelola untuk memberikan gambaran

bagaimana model tersebut diaplikasikan.

7.2 Model Irigasi “Lelang” dan Model Irigasi “Swakelola”

Model irigasi lelang merupakan model irigasi kontrak antara petani

(sebagai pemilik lahan, pengguna air) dengan pengelola air (sebagai

pengelola air) untuk mengelola air irigasi selama periode tertentu (biasanya

3-10 tahun) dengan menyediakan biaya investasi di awal pengelolaan untuk

mendapatkan hak pengelolaan. Model irigasi lelang, selanjutnya disebut

“model lelang”.

Istilah “Model lelang” diambil dari sistem kontrak yang penentuan

pengelola air irigasi didasarkan pada pemenang lelang. Pihak desa selaku

fasilitator akan memfasilitasi pertemuan “rapat anggota” yang di dalamnya

terdapat petani dan “calon pengelola air”. Dalam pertemuan itu pihak desa

akan mengawali pertemuan dengan pertanyaan bagaimana pengelolaan air

irigasi di kelompok P3A ini? Biasanya terdapat dua model kontrak yang

selama ditawarkan, yaitu “model P3A lelang” dan “model P3A swakelola”.

Kedua model ini berbasis kontrak antara petani dan pengelola air

irigasi (P3A) di mana petani menyerahkan urusan pengelolaan air irigasi

kepada pengelola termasuk penyediaan investasi dalam pengelolaan

infrastuktur pengairan, drainase dan infrastruktur usahatani. Perbedaan

kedua model ini adalah dalam model lelang biaya investasi disediakan oleh

pengelola P3A pada awal penentuan pengelola sebagai syarat dalam

memenangkan lelang. Sedangkan dalam model swakelola biaya investasi

disediakan oleh pengelola secara periodik setelah pengelola mendapatkan

penerimaan dari pengelolaan tersebut. Penentuan pengelola dalam model

swakelola ditentukan dengan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Kedua model pengelolaan ini banyak diaplikasikan oleh petani di

daerah irigasi Klambu Wilalung, Jawa Tengah. Sebagian petani lebih

memilih model lelang dan sebagian lainnya lebih memilih model swakelola.

Pemilihan model ini tergantung kesepakatan (kontrak) antara petani dan

Page 25: KELEMBAGAAN IRIGASI

96 Kelembagaan Irigasi

calon pengelola P3A. Petani dapat memilih atau mengganti model tersebut

jika dirasa tidak sesuai dengan keinginan (harapan) berdasarkan capaian

pada periode sebelumnya. Tabel 7.1 berikut digunakan untuk mengetahui

persamaan dan perbedaan model lelang dan model swakelola.

Tabel 7.1 Persamaan dan Perbedaan Model Irigasi Lelang dan Swakelola

Deskripsi Lelang Swakelola

Perbedaan Cara penentuan pengelola Lelang terbuka di mana

penawar tertinggi akan jadi pengelola

Musyawarah

Pembayaran investasi pengairan (infrastruktur pertanian)

Di awal pengelolaan Di akhir pengelolaan

Penggunaan dana investasi Dilakukan oleh panitia

yang ditunjuk bersama P3A dan pihak desa.

Dilakukan swakelola oleh P3A dan petani

Persamaan - Terdapat kontrak (petani membayar iuran

air, P3A mengelola air) - Kontrak pengelolaan air dalam durasi

waktu tertentu

Sumber: Rondhi, 2016

Terlihat bahwa pada kedua model terdapat sistem kontrak yang

dibangun oleh petani dan P3A untuk memastikan kewajiban masing-masing

pelaku dan hak-hak yang diterima. Hak yang diterima satu pelaku ekonomi

adalah kewajiban yang dilakukan oleh pelaku ekonomi lainnya. Kewajiban

petani adalah membayar iuran air sedangkan haknya adalah mendapatkan

distribusi air baik kuantitas maupun kualitas (termasuk waktu sampainya

air di lahan). Kewajiban P3A adalah mendistribusikan air ke lahan petani

dan membangun infstruktur, sedangkan haknya adalah menerima iuran

petani yang digunakan untuk biaya operasional, simpanan untuk investasi

di akhir musim, dan sebagian untuk pendapatan pengelola (pengurus P3A).

Page 26: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 97

Perbedaan keduanya adalah pada model lelang biaya investasi

dibayarkan di muka (di awal) untuk mendapatkan hak atas pengelolaan air

irigasi, sedangkan pada model swakelola biaya investasi dibayarkan di akhir

(di tengah) pengelolaan air irigasi. Perbedaan lainnya adalah penentuan

pengelola model lelang dilakukan dengan sistem lelang, sedangkan

penentuan model swakelola ditentukan dengan musyawarah. Untuk

memperjelas model lelang berikut diberikan ilustrasi model kontrak lelang

yang pernah dilakukan di salah satu P3A di Jawa Tengah.

Besar dana lelang periode kontrak 4 tahun (2007-2011) pada luas lahan

88 bahu2 adalah Rp 40 juta. Dana tersebut digunakan untuk membangun

infrastruktur pengairan dan pertanian secara umum dalam menunjang

usahatani di wilayah P3A tersebut. Nilai kontrak tersebut disepakati men-

jadi Rp 50 juta pada periode lelang selanjutnya (2011-2015). Kenaikan ini

dengan pertimbangan kenaikan harga barang-barang (inflasi) sehingga

barang-barang untuk pembelian bahan bangunan juga mengalami kenaikan.

Penggunaan dana investasi tersebut telah disepakati pada saat rapat

anggota.

Tabel 7.2 Lama Kontrak, Nilai Lelang dan Kegunaan Dana Lelang pada P3A Sido

Makmur, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Tahun

kontrak

Lama

kontrak

(tahun)

Nilai Lelang

(Rp000.000)*

Kegunaan dana hasil

lelang

Besarnya

iuran air

2007-2011 4 40.000.000 Pembangunan jembatan

penyebrangan,

pembangunan drainase,

betonisasi jaringan

tersier

100 kg gabah

kering sawah

2011-2015 4 50.000.000 Pembangunan jembatan

penyebrangan sisi barat,

pengerasan jalan

100 kg gabah

kering sawah

Sumber: diolah dari Rondhi, 2016 Keterangan: * Nilai lelang untuk luas areal 88 bahu.

2 1 bahu = ¾ ha. Satuan ini secara umum digunakan pada pengukuran lahan (termasuk jual beli) di

wilayah penelitian, Jawa Tengah.

Page 27: KELEMBAGAAN IRIGASI

98 Kelembagaan Irigasi

Dalam model lelang pembangunan infrastruktur pertanian dan

pengairan dilakukan oleh pihak yang ditunjuk (semacam komisi

pembangunan) berdasarkan kesepakatan bersama antara P3A terpilih dan

pihak desa. Dalam proses pembangunan pihak P3A mengontrol apa yang

dilakukan oleh komisi pembangunan tersebut.

Kewajiban petani adalah membayar iuran air yang besarnya 100

kg/bahu. Pengumpulan iuran air (yang berupa gabah tersebut) dilakukan

oleh pengurus P3A pada saat petani memanen padinya di lahan. Pengurus

menjual gabah jika gabah sudah terkumpul sejumlah satu rit (biasanya

sekitar 7 ton) kepada pembeli yang biasanya datang ke gudang yang dimiliki

P3A. Hasil penjualan gabah tersebut digunakan untuk membayar biaya

operasional selama satu musim dan sisanya dibagikan kepada pengurus

P3A.

Pada model swakelola pengelola P3A tidak perlu membayar sejumlah

uang di awal pengelolaan untuk mendapatkan hak pengelolaan. Akan tetapi

hak pengelolaan lebih didasarkan pada musyawarah bersama antara petani,

calon pengelola P3A difasilitasi oleh pihak desa. Model ini juga bagian dari

model kontrak untuk mengelola air irigasi, akan tetapi tidak seperti lelang

yang harus menyediakan uang di awal pengelolaan untuk investasi

membangun infrastruktur pengairan dan pertanian, namun lebih

menekanan asas kebersamaan.

Selanjutnya dalam model swakelola juga disepakati tentang hak dan

kewajiban P3A dan petani. P3A berkewajiban menyediakan air irigasi

dengan kuantitas dan kualitas tertentu dan juga menyediakan infrastruktur

fisik (sesuai yang disepekati) pada akhir periode pengelolaan. Selain itu,

P3A menerima hak berupa penerimaan yang didapatkan dari iuran air

petani. Di sisi pengguna air petani memiliki hak untuk medapatkan air

dalam kuantitas dan kualitas tertentu, di sisi lain memiliki kewajiban

membayar iuran air yang besarnya 100kg/bahu. Untuk memperjelas berikut

diberikan ilustrasi model swakelola.

Page 28: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 99

Tabel 7.3 Lama Kontrak, Pengelolaan Dana Iuran Air pada P3A Waduk Rejo,

Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Tahun kontrak

Lama kontrak (tahun)

Alokasi dana keuangan untuk pembangunan

Penggunaan dana bangunan

Besarnya iuran air

2014-2016

3 70% untuk biaya operasional (termasuk pendapatan pengurus),

30% untuk pembangunan infrastruktur :

Rp 70,850,000

Pembuatan infrastur irigasi, dan pengerasan dan pelebaran jalan usaha tani.

100kg gabah kering sawah

Sumber: Laporan Hasil Pembangunan P3A Waduk Redjo,2010-2013.

Luas lahan yang dikelola P3A Waduk Rejo seluas 112 bahu dengan

periode kontrak selama 3 tahun. Selama periode kontrak tersebut P3A telah

melakukan pembangunan sebanyak 6 kali setelah panen setiap musimnya

yang total nilainya sebesar Rp 70,1 juta. Pada model swakelola

pembangunan infrastuktur dilakukan secara swakelola oleh P3A tersebut.

Pihak desa melakukan kontrol pada proses pembangunan tersebut.

Berdasarkan dua model tersebut perlu diketahui besarnya dana

pembangunan persatuan luas. Untuk mengetahui besarnya dana

pembangunan pada kedua model kontrak tersebut, berikut dibandingkan

besarnya kontrak persatuan luas (bahu). Namun perlu ditegaskan kembali

bahwa pembayaran untuk model lelang dilakukan di awal, sedangkan

untuk model swakelola setelah panen waktu berjalan.

Tabel 7.4. Besarnya biaya invetasi pembangunan infrastruktur persatuan luas.

Deskripsi Model kontrak

Lelang Swakelola

Besarnya dana pembangunan 50.000.000 70.850.000

Waktu kontrak 8 musim (4 tahun) 6 musim (3 tahun)

Luas lahan (bahu) 88 112

Dana pembangunan per luas lahan/musim

71,000 113.800

Sumber: Tabel 7.2 dan tabel 7.3

Page 29: KELEMBAGAAN IRIGASI

100 Kelembagaan Irigasi

Terlihat bahwa besarnya dana investasi persatuan luas permusim dengan

model swakelola lebih besar dibandingkan dengan model lelang.

Perbandingan mungkin terasa tidak adil karena tidak memperhitungkan

nilai uang berdasarkan waktu dan juga tidak memperhitungkan resiko yang

ditanggung. Dalam model swakelola resiko biaya investasi tersebut

ditanggung dua pihak (pengelola P3A dan petani) sedangkan pada model

lelang, semuanya ditanggung oleh pengelola P3A.

Tentu, kedua model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan

masing-masing yang akan dibahas pada sub bab berikutnya. Namun yang

ditekankan di sini adalah adanya model kontrak (baik lelang maupun

swakelola) merupakan salah satu model yang muncul di masyarakat petani

dalam mengelolan air irigasi untuk mendapatkan kemanfaatan yang lebih

besar.

7.3 Sejarah dan Evolusi Model Swakelola dan Model Lelang

Model lelang adalah salah satu bentuk model kontrak dalam

pengelolaan air irigasi (barang sumberdaya bersama). Model ini hadir dari

perjalanan “evolusi” panjang pengelolaan air irigasi yang berusaha mencari

bentuk terbaiknya dari waktu ke waktu. Hal ini dapat diartikan bahwa

model yang diaplikasikan pada waktu tertentu bisa jadi model terbaik pada

waktu tersebut. Namun karena pergeseran waktu (termasuk kebutuhan

pengairan), maka suatu model bisa dikatakan tidak relevan, dan perlu

penyesuaian kembali.

Sejarah model lelang tidak terlepas dari sejarah awal sistem tersebut

di mulai dari sebuah bendungan Kedung Ombo di Jawa Tengah. Beberapa

dekade sebelum model lelang ditemukan dan diaplikasikan secara luas pada

masyarakat tani. Model pengelolaan air irigasi di tingkat tersier Jawa Tengah

mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sebelum tahun 1976 irigasi

dikelola oleh ulu-ulu3 (Both, 1977). Pada saat itu sawah dialiri dengan air

3 Ulu-ulu adalah seseorang yang ditunjuk oleh pihak otoritas desa untuk mengatur air pada

petak petani. Ulu tidak menerima iuran air dari petani sebagai usahanya mengatur air, akan tetapi dia menerima tanah adat yang dapat ditanami. Masyarakat menyebut ulu-ulu

Page 30: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 101

yang berasal dari air hujan atau dikenal dengan tadah hujan. Setalah itu,

irigasi dikelola oleh dharma tirta dengan menggunakan air yang berasal dari

air hujan dan air dari sungai (kali) pembuangan dengan menggunakan

pompa air (Duewel, 1984). Perbedaan keduanya adalah dharma merupakan

kesatuan (perkumpulan) dari orang-orang yang bersatu dalam wadah

organisasi. Selain itu, dharma tirta melakukan usaha untuk mendapatkan air

dengan bantuan pompa air. Sebagai kompensasinya, dharma tirta menerima

iuran air dari petani. Karena dharma tirta mengeluarkan usaha untuk

mendapatkan air dan mendistribusikan air maka dharma tirta menerima

iuran air. Iuran air digunakan untuk beberapa keperluan utama dalam

operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, diantara pembuatan saluran

tersier (yang biasanya tidak permanen), pemeliharaan saluran sekunder.

Sistem tersebut disebut dengan sistem swakelola. Secara sederhana, sistem

swakelola adalah sistem yang mengatur air dengan mandiri. Karena

besarnya usaha dharma tirta dalam memperoleh air, maka iuran air yang

dibayarkan oleh petani ke dharma tirta juga relatif besar. Pada saat itu iuran

air bisa sampai 1/8 (moro 8), satu bagian untuk dharma tirta dan 7/8 untuk

petani.

Sejak tahun 1990, saat bendungan Kedung Ombo mulai dioperasikan,

pemerintah menyamakan nama organisasi pengatur air pada tingkat saluran

tersier dengan nama Persatuan Petani Pemakai Air (P3A). Dengan adanya

bendungan Kedung Ombo tersebut akses untuk mendapat air menjadi lebih

mudah. Karenanya biaya operasi dan pemeliharaan saluran juga mengalami

penurunan. Karenanya, iuran air yang dibayarkan petani juga mengalami

penurunan dari 1/8, 1/10, 1/12 hingga 1/25 selama 20 tahun terakhir.

Perubahan sistem ulu-ulu ke sistem dharma tirta dan juga perubahan

besarnya iuran air merupakan bentuk-bentuk perubahan kelembagaan

irigasi yang sangat menarik untuk dipelajari. Terlebih lagi, sejak sepuluh

tahun terakhir (sejak tahun 2005) beberapa P3A ada yang mengaplikasikan

model baru yang disebut dengan model lelang.

sebagai sebuah sistem dibandingkan hanya seseorang yang mengatur air, meskipun sebenarnya adalah pengatur air secara individu.

Page 31: KELEMBAGAAN IRIGASI

102 Kelembagaan Irigasi

Model lelang muncul secara endogen dari masyarkat petani di Desa

Undaan Tengah (salah satu daerah irigasi Klambu Wilalung), Kecamatan

Undaan, Kabupaten Kudus tahun 2005 yang merasa prihatin dengan kondisi

infrastruktur pertaniannya (pengairan irigasi). Daerah pertanian di desa ini

merupakan daerah dataran bawah yang mudah tergenang air pada saat

musim hujan. Pada saat tersebut petani berfikir untuk membuat drainase

(pembuangan air), dan membuat jalan usahatani untuk mengangkut hasil

pertanian dari lahan ke jalan utama. Mereka mengalami kesulitan sumber

pendanaan. Hingga akhirnya disepakati untuk melelangkan pengelolaan air

irigasi kepada pihak yang bersedia membangun infrastruktur yang

dimaksud (pembuangan air saat musim hujan dan infrastruktur jalan

usahatani).

Pada saat itu pengelolaan air irigasi masih menggunakan model

swakelola yang sebenarnya juga ada kontrak untuk membangun sarana

irigasi secara periodik (setelah panen saat iuran air dari petani terkumpul).

Namun, karena dana yang terkumpul secara periodik tersebut jumlahnya

kecil, maka dana tersebut tidak bisa digunakan untuk pembangunan

infrstruktur yang membutuhkan dana besar seperti drainase (pembuangan

air) dan pembangunan infrastruktur jalan usahatani. Selain dana yang

terkumpul tiap musim yang jumlahnya kecil, terdapat alasan lain terkait

pengelolaan keuangan model swakelola yang dianggap tidak akuntabel.

Luas areal lahan pertanian di Desa Undaan Tengah seluas 716 bahu.

Nilai Lelang pada periode 2005-2010 sebesar Rp 300 juta yang dibayarkan

pada tahun 2005. Nilai tersebut dialokasikan untuk pembangunan jalan

usahatani, saluran drainase untuk membuang kelebihan air saat musim

penghujan. Pada saat tersebut proses pembangunan dilakukan oleh pihak

yang ditunjuk bersama (komisi pembangunan antara P3A terpilih dengan

pihak desa).

Besarnya nilai lelang tergantung luas lahan, kondisi lahan (subur

tidaknya), dan lama waktu pengelolaan air irigasi tersebut (Rondhi, 2017).

Semakin luas lahan yang akan dikelola, maka nilai lelang akan semakin

besar. Selanjutnya, semakin subur lahan yang dilelang (potensi panen,

tergenang tidaknya lahan), maka nilai lelang semakin besar. Terakhir,

Page 32: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 103

semakin lama lelang pengelolaan air irigasi pada lahan, maka nilai lelang

akan semakin tinggi. Biasanya nilai lelang merupakan kombinasi dari

ketiganya.

Semenjak saat itu model lelang mulai dikenal masyarakat petani pada

daerah irigasi Klambu Wilalung yang mengairi lahan petani seluas 6.844

bahu. Adanya sistem kontrak model lelang merupakan upaya masyarakat

untuk mengelola air irigasi (termasuk pembuatan dan pemeliharaan

infrastrukturnya) pada kondisi keterbatasan anggaran pemerintah.

Sebenarnya model swakelola juga merupakan sistem kontrak yang

berupaya untuk mengelola air irigasi dengan keterbatasan penganggaran

pemerintah, akan tetapi model pembayaran di akhir musim memungkinkan

pengelola P3A berbuat mengingkari kontrak. Pembahasan ini lebih jelas

pada bab 8.

7.4 Diskripsi Singkat Daerah Irigasi Klambu Wilalung

Sebagaimana telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa

kelembagaan irigasi pada tingkat tersier berevolusi dari waktu ke waktu

untuk menemukan bentuk terbaiknya. Evolusi tersbut terjadi dalam waktu

yang panjang disebabkan oleh interaksi antara pelaku pengelolaan irigasi

tersebut di support (dipicu) oleh peran pemerintah.

Peran (intervensi) pemerintah dalam pengelolaan irigasi dapat berupa

dua hal: (1) peran pembangunan fisik, (2) peran pembangunan kelembagaan

(termasuk sumberdaya manusia) (Funnel, 1994). Kedua peran tersebut dapat

dilakukan secara bersama-sama (integrative) atau saling terpisah dalam

waktu tertentu. Di lokasi penelitian kami, peran pemerintah untuk

pengelolaan irigasi dimulai dari intervensi secara fisik. Pada tahun 1990

pemerintah membangun bendungan Kedungombo yang mengairi tidak

kurang dari 60.000 ha lahan yang terbagi pada 5 daerah irigasi sebagaimana

tabel 7.1.

Page 33: KELEMBAGAAN IRIGASI

104 Kelembagaan Irigasi

Tabel 7.5 Daerah irigasi di cakupan wilayah bendungan Kedungombo, Jawa

Tengah.

No Daerah irigasi Luas lahan cakupan (ha)

1. Sidorejo Grobogan 6.038

2. Sideorejo kiri 1.900

3. Sedadi 16.055

4. Klambu Kanan 20.646

5. Klambu Kiri 10.354

6. Klambu Wilalung 7.872

Total 62.865

Sumber: Kantor Pengairan Bendungan Kedung Ombo, 1990

Daerah Irigasi Sidorejo merupakan daerah irigasi yang berada di

daerah hulu, sedangkan DI Klambu kanan, DI Klambu Kiri, dan DI Klambu

Wilalung merupakan DI di bagian hilir4 (lihat Gambar 7.1). Setelah 20 tahun

penggunaan bendungan tersebut untuk memenuhi kebutuhan air irigasi di

wilayah cakupannya, tentu, terjadi berbagai permasalahan utamanya dalam

distribusi air dalam kondisi bangunan sarana irigasi yang mengalami

kersakan.

4 Penyebutan istilah hulu dan hilir dapat dilakukan dalam satu wilayah bendung (misalnya

Bendungan Kedungombo), atau dalam masing-masing daerah irigasi (misalnya DI Klambu Wilalung), atau dalam saluran yang lebih kecil (saluran tersier) yang dikelola oleh Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).

Page 34: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 105

Gambar 7.1 Skema Ringkas Aliran Irigasi Bendung Kedungombo

Penelitian kami bermula tahun 2012 yang mempelajari model

pengelolaan pada salah satu P3A pada DI Klambu Wilalung yang

ditentukan secara lelang. Pada penelitian itu, fokus penelitian kami adalah

insentif bagi pengurus dalam mengelola P3A. Penelitian selanjutnya adalah

mempelajari secara mendalam sejarah model pengelolaan P3A secara lelang.

Beberapa penelitian telah kami lakukan dengan tema utama adalah

kelembagaan pengelolaan irigasi tersier pada Daerah Irigasi (DI) Klambu

Wilalung seperti pada gambar 7.2.

DI Klambu Wilalung merupakan DI yang airnya berasal dari Bendung

Klambu. DI Klambu menjadi konsentrasi penelitian kami karena pada

daerah irigasi ini sistem lelang secara indegeneus muncul dan menyebar

secara massif pada satu daerah irigasi. Gambar 5.2 menjelaskan bahwa satu

Daerah Irigasi mencakup lintas dua kabupaten (Kabupaten Grobogan dan

Kudus). Artinya, meskipun P3A merupakan model pengelolaan irigasi yang

berbasis cakupan desa, namun cakupan dalam wilayah koordinasi

pembagian air perlu berkoordinasi dengan P3A lain dalam satu daerah

irigasi.

Waduk Kedung Ombo

Bendung

Klambu

Bendung

Klambu Kanan

Bendung

Klambu Kiri

Bendung Klambu

Wilalung

Bendung Sedadi

Bendung

Sidorejo KAB. DEMAK

KAB. GROBOGAN,

PATI, KUDUS

KAB. PATI

Page 35: KELEMBAGAAN IRIGASI

106 Kelembagaan Irigasi

Gambar 7.2 Daerah Irigasi Klambu Wilalung yang melintasi dua kabupaten.

Seperti dalam tabel 7.1 tampak bahwa DI Klambu Wilalung seluas

7.872 ha. Luasan tersebut adalah luasan awal pada saat jaringan ini

terbentuk. Dua puluh tahun setelah itu mulai terjadi kerusakan dan

kebocoran saluran karenanya beberapa daerah hilir tidak mendapatkan air

dalam kuantitas dan kualitas yang cukup. Karena luasan riel yang

berkurang menjadi 6.844 bahu (5.133ha).

Salah satu ilustrasi sederhana adalah waktu distribusi air yang

semakin panjang (dari hulu-hilir) dengan adanya kerusakan jaringan

tersebut. Lihat Gambar 5.3 yang menggambarkan aliran air irigasi dari hulu

(bagian selatan di Desa Klambu) hingga hilir (bagian utara peta di Desa

Ngemplak) sepanjang 25 kilometer yang melewati 21 desa pada tiga

kecamatan yang saling berbatasan. Aliran irigasi tersebut membutuhkan

waktu 1,5 bulan (6 minggu) yang seharusnya bisa dikurangi jika saluran

irigasi tidak rusak. Kerusakan tersebut dikarenakan faktor usia bangunan

dan adanya pemeliharaan yang kurang optimal.

Page 36: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 107

Gambar 7.3 Aliran irigasi pada Daerah Irigasi Klambu Wilalung dari Hulu ke

Hilir

Kurang optimalnya jaringan irigasi tersebut menyebabkan produksi

usahatani tidak optimal. Selain itu, beberapa petak lahan sawah mengalami

kesulitan dalam membuang air irigasi saat musim penghujan. Hingga pada

tahun 2005 salah satu P3A di daerah irigasi tersebut memunculkan model

lelang dalam pengelolaan air irigasi. Pada intinya, model lelang tersebut

berupaya mengumpulkan dana untuk investasi pembangunan sarana

infrastruktur pengairan dan pertanian.

Page 37: KELEMBAGAAN IRIGASI

108 Kelembagaan Irigasi

Sepuluh tahun setelah ditemukannya model lelang tersebut (2005-

2015), sistem lelang menjadi menjadi model utama dalam pengelolaan

irigasi tersier di daerah tersebut. Rondhi (2017) menyebutkan bahwa lebih

dari 60% P3A di DI Klambu Wilalung mengaplikasikan model ini. Sebaran

tersebut dapat dilihat dalam gambar 5.3. Tidak kurang dari 22 P3A di DI

Klambu Wilalung mengaplikasikan model lelang.

Sebaran model lelang terkosentrasi pada bagian tengah DI Klambu

Wilalung, meskipun tidak semua bagian tengah mengaplikasikannya.

Berdasarkan sebarannya, nampak sulit diidentifikasi bahwa sebaran (difusi)

model lelang disebabkan karena faktor geografis (kedekatan dengan sumber

air, pintu air, jalan raya). Terdapat faktor lain seperti kelembagaan dan

karakter dari model tersebut yang menyebabkan difusi model tersebut.

7.5 Proses Penentuan Model Pengelolaan Air Irigasi

Model Lelang dan Model Swakelola

Menurut Inpres No.3 Tahun 1999 pengelolaan irigasi di tingkat desa

diserahkan kepada petani dengan membentuk Persatuan Petani Pengguna

Air (P3A). P3A dibentuk oleh petani dengan koordinasi di pihak desa.

Jumlah P3A dibentuk dengan pertimbangan aliran air. Berdasarkan

hasil penelitian Rondhi dkk (2016a, 2016b, 2017) menyebutkan bahwa dalam

satu desa terdapat terdapat 1 hingga 5 unit P3A yang dipimpin oleh seorang

ketua dengan beberapa anggota tergantung musyawarah dengan anggota.

Jumlah P3A pada masing-masing desa tergantung pada kesepakatan antara

petani, pihak desa, dan calon pengelola P3A tersebut. Luas hamparan

masing-masing P3A bervariasi mulai 64 ha hingga 500 ha tergantung

kesepakatannya.

Pembagian air dalam Daerah Irigasi Klambu Wilalung berdasarkan

pada kesepakatan antara wakil P3A-P3A yang ada dalam daerah irigasi

tersebut.

Pembagian air (waktu dan jumlah) dalam Daerah Irigasi Klambu

Wilalung tergantung pada musimnya, musim hujan 1 (MH1), musim hujan

2 (MH2), dan musim kemarau (MK). Pada musim hujan satu (MH1)

Page 38: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 109

pembagian air dalam satu daerah irigasi membutuhkan waktu antara satu

hingga satu setengah bulan. Hal ini karena jarak antara daerah hulu (intake)

hingga hilir (down stream) sejauh kurang lebih sepanjang 30 km. Pembagian

air dilakukan dengan memenuhi kebutuhan air pada daerah hulu, setelah

itu baru memenuhi kebutuhan air daerah hilir. Pada musim hujan 2 (MH2),

pembagian air tidak terlalu membutuhkan curahan tenaga dan waktu yang

lebih banyak. Hal ini karena jumlah air (baik air hujan maupun air tergenang

dari musim sebelumnya) masih banyak. Selanjutnya pembagian air pada

Proses lelang secara detail telah dijelaskan dalam Rondhi (2016b) yang

menjelaskan bahwa penentuan model pengelolaan air irigasi oleh P3A

dilakukan melalui rapat anggota. Sama dengan organisasi masyasrakat

lainnya, rapat anggota merupakan keputusan tertinggi dalam struktur

kepengurusan P3A. Terdapat beberapa poin penting yang dibahas dalam

rapat ini yaitu model pengelolaan air irigasi, penentuan (pemilihan) Ketua

P3A, besarnya iuran air dari petani ke P3A, jangka waktu kepengurusan

P3A, dan hal-hal yang akan dilakukan pada kepengurusan mendatang.

Rapat ini banyak ditunggu oleh petani maupun calon pengurus P3A. Karena

pada rapat ini menentukan “arah” P3A pada periode mendatang (lama

sesuai hasil kesepakatan).

Layaknya sebuah pesta demokrasi, terdapat tiga tahap penting dalam

rapat anggota, (1) sebelum rapat anggota (pra-rapat anggota), (2) saat rapat

anggota, (3) setelah rapat anggota (post-rapat anggota). Ketiga proses

tersebut berjalan dalam waktu kurang lebih satu bulan. Beberapa pihak yang

terlibat dalam ketiga tahap tersebut adalah (1) petani pengguna air, (2)

perwakilan desa, (3) calon pengurus P3A (baik petani atau bukan petani).

Pra-Rapat Anggota

Pada periode pra-rapat anggota petani (pengguna air) mengevaluasi

pengelolaan air pada periode kepengurusan sebelumnya termasuk di

dalamnya (kegiatan pemeliharaan saluran, pemeliharaan infrastruktur,

pelayanan aktivitas pertanian lainnya seperti penangangan serangan hama

tikus). Evaluasi ini bersifat diskusi informal pada tingkat petani dan juga

pada tingkat yang lebih luas wakil-wakil pemerintahan desa. Pada tahap ini

Page 39: KELEMBAGAAN IRIGASI

110 Kelembagaan Irigasi

juga petani membentuk kelompok-kelompok informal untuk mengusulkan

pengelolaan air irigasi yang diharapkan pada periode selanjutnya termasuk

juga calon ketua pengurus yang diinginkan.

Rapat Anggota

Rapat anggota adalah tahap paling penting untuk menentukan sistem

pengelolaan air di P3A. Rapat anggota dimoderatori oleh pihak perwakilan

desa. Rapat anggota diawali dengan laporan pertanggungjawaban

kepengurusan P3A periode sebelumnya. Tahap selanjutnya adalah

musyawarah tentang keinginan petani pengguna air pada P3A periode

kepengurusan selanjutnya. Biasanya isi musyawarah meliputi (1) sistem

manajemen air irigasi pada P3A, (2) infratrsuktur pertanian yang akan

dibangun pada periode kepengurusan selanjutnya, (3) Bagaimana

pengelolaan jaringan tersier, dan (4) bagaimana mengontrol hama penyakit

tanaman. Poin 1 sampai 3 berkaitan dengan operasi dan manajemen irigasi,

sedangkan poin 4 berkaitan dengan pelayanan pertanian lainnya. Dalam

proses rapat anggota juga disepakati besarnya iuran air yang wajib

dibayarkan oleh petani kepada P3A.

Dalam rapat anggota biasa terjadi diskusi yang panjang (alot) dalam

menentukan jenis pengelolaan irigasi apakah model lelang atau model

swakelola terutama dalam mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan-

nya. Selain itu, petani juga mengusulkan fasilitas yang diinginkan untuk

memudahkan usaha pertanian, misalkan pengerasan dan pelebaran jalan

usaha tani, jembatan penyebarangan usahatani, dan sebagainya. Terkait

dengan fasilitas pertanian yang ingin diperbaiki tersebut, jika sistem lelang

disepakati maka berapa besarnya lelang (termasuk mekanisme

pembayarannya), dan jika sistem swakelola disepakati bagaimana model

pengumpulan dananya dan jangka waktu pembangunan tersebut.

Pasca Rapat Anggota

Tahap ketiga adalah pasca-rapat anggota yang berupa pembahasan

tentang pengurus P3A, hak dan kewajiban. Dalam model swakelola calon

pengurus P3A ditentukan berdasakan kesediaan calon pengurus untuk

Page 40: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 111

bekerja, sedangkan dalam model lelang calon pengurus ditentukan dengan

kesediaan calon pengurus untuk membayar dan bekerja. Sistem lelang

mensyaratkan pelunasan pada tahap ini yang biasanya berkisar satu minggu

setelah rapat anggota. Setelah pelunasan pembayaran dana lelang kepada

pihak desa, tahap selanjutnya adalah pembangunan infrastruktur yang

disepakati dalam lelang. P3A terpilih dan pihak desa membentuk panitia

pelaksana pembangunan di mana pihak desa sebagai penanggungjawab

pembangunan dan pihak P3A sebagai pengawas.

Sebenarnya proses tersebut adalah proses yang umum dalam sebuah

keorganisasian. Namun yang membedakan adalah adanya investasi di awal

yang harus disediakan oleh kandidat pengelola P3A. Selain itu,

pembentukan panitia pembangunan dari pihak ketiga yang sulit dikontrol

pihak petani berpeluang munculnya ketidaksesuaian yang diinginkan

petani dan pelaksanaan pembangunan di lapangan.

7.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Lelang dan Model

Swakelola

Seperti telah dibahas di awal bahwa sistem kontrak merupakan dasar

dari model lelang dan model swakelola dalam pengelolaan irigasi pada

tingkat petani. Sistem kontrak ini dapat bersifat tertulis maupun tidak

tertulis. Pada awal sistem ini dimulai (sekitar tahun 1980an) kontrak tertulis

bersifat sederhana, namun sekarang kontrak tersebut sudah menjadi bentuk

tertulis lengkap dengan legitimasi dari pihak berwenang.

Adanya pergeseran dari model swakelola ke model lelang meng-

indikasikan adanya keinginan masyarakat petani untuk mencari model

terbaik dalam pengelolaan air irigasi. Adanya keinginan mendapatkan dana

investasi yang lebih besar (yang dapat digunakan untuk pembangunan

infrastruktur usahatani) mengindikasikan bahwa model lelang direspon

secara positif oleh petani. Namun demikian, ada kekahwatiran pada

sebagian pihak petani bahwa

“jika pengelolaan air irigasi (P3A) dikelola oleh sekelompok orang yang hanya

berdasarkan ketersediaan dana (pemenang lelang) dan terkadang bukan petani,

Page 41: KELEMBAGAAN IRIGASI

112 Kelembagaan Irigasi

dimungkinkan pengelolaan air irigasi menjadi kurang optimal, karena model ini

akan menyebabbkan hilangnya rasa bekerjasama antara petani dan P3A” .

Beberapa petani lain juga berpendapat:

“Pembangunan infrastruktur yang diserahkan kepada panita pembangunan dapat

menyebabkan kurang sesuainya model bangunan yang diinginkan petani. Hal ini

berbeda jika pembangunan dilakukan oleh petani dan P3A sendiri, akan lebih mudah

menyesuaikan keinginan petani”

Meskipun demikian beberapa petani berpendapat tentang kelebihan sistem

lelang diantaranya adalah:

“Hasil lelang dapat digunakan untuk membangun infrastruktur yang membutuh-

kan dana besar. Dana dari model swakelola yang dikumpulkan dari swakelola hanya

sedikit karena hanya dikumpulkan tiap musim dan terkadang tidak dapat terkumpul.

Karenanya model lelang lebih baik dibandingkan dengan model swakelola”

Beberapa petikan di atas mengilustrasikan bahwa kedua model

tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tentu, kedua

sistem tersebut masih mencari bentuk terbaiknya yang dapat diamati dari

waktu ke waktu.

7.7 Penutup

Model kelembagaan pengelolaan air irigasi di Daerah Irigasi Klambu

Wilalung mengalami perubahan dari waktu ke waktu dalam 40 dekade

terakhir. Sebelum tahun 1980 petani mengaplikasikan model ulu-ulu,

selanjutnya dari tahun 1980-1990 petani mengaplikasikan model dharma

tirta (yang merupakan embrio model swakelola). Dari tahun 1990 – sekarang

petani mengaplikasikan model P3A-swakelola. Selanjutnya model lelang

yang mulai dipraktekkan tahun 2005 merupakan transformasi kelembagaan

pengelolaan irigasi dari model swakelola. Namun demikian tidak semua

P3A mempraktekkan model lelang ini.

Kedua model tersebut memiliki basis yang sama yaitu sistem kontrak

yang dibuat antara petani dan pengelola P3A. Sistem kontrak dibuat untuk

memastikan masing-masing pelaku (petani dan pengelola P3A) bekerja

Page 42: KELEMBAGAAN IRIGASI

Model “Lelang” dan Model “Swakelola” dalam Kelembagaan … 113

sesuai yang tertera dalam kontrak. Setelah kontrak dibuat, apakah ada

jaminan masing-masing pelaku bekerja sesuai dengan kontrak tersebut. Di

sini ranah ekonomi kelembagaan baru berada. Bagaimana cara mengontrol

sistem kontrak tersebut. Dalam kondisi keterbatasan sumber pendanaan

untuk pengelolaan irigasi, jaminan pelaksanaan kontrak menjadi penting.

Petani akan memilih model yang menjalan kontrak dengan baik.

Istilah Penting

Sistem kontrak

Model lelang

Model swakelola

Ulu-ulu

Dharma tirta

Perkumpulan petani pemakai air (P3A)

Daerah hulu (Upstream area)

Daerah hilir (downstream area)

Referensi

Ambler, J.S. 1991. Irigasi di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Lembaga

Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, LP3ES,

Jakarta.

Booth, A., 1977. Irrigation in Indonesia Part I, Bulletin of Indonesian Economic

Studies. Volume 13, Issue 1. Australian National University. Australia.

Duewel, J. 1984. Central Java`s Dharma Tirta WUA Model: Peasant Irrigation

Organization Under Condition of Population Pressure, Agricultural

Administration (17) 261-285.

Funnel, D.C. 1994. Intervention and Indigeneus management. Land uses

policy. 11, 45-54.

Mori, Y., 2014, Irrigation water management based on Lelang System: Case

Study in Bendung Wilalung Induk 6, Master Thesis. Hokkaido

University. Japan.

Page 43: KELEMBAGAAN IRIGASI

114 Kelembagaan Irigasi

Mori, Y., Rondhi, M., Kondo T., 2015, Supplying Irrigation Water based on

Private Incentive: A Case Study of a WUA in Central Java. The paper

presented in 15th study conference of Farm Management Society of Japan.

September 2015.

Norton, R.D., 2004. Agricultural Development Policy: Concept and Experiences.

John Wiley & Sons, Ltd. West Susex.

Rondhi M., Mori, Y., Kondo, T. 2015. Sistem Lelang dan Sistem Swakelola

dalam Manajemen Irigasi pada Tingkat Tersier. Jurnal Agroteknologi,

Vol. 9 No.2 halaman 174-183.

Rondhi M., Mori, Y., Kondo, T., 2016, Institutional Change of Its Effect to

Water Usagae Association Performance in Irrigation Water

Management, The paper presented at international conference, Agribusiness

Development for Human Welafare. Universitas Muhammadiyah

Yogyakarta, 14-15 Mei 2016.

Rondhi M., Mori, Y., Kondo, T., 2016. Institutional Arrangement of Irrigation

Water Management in Rural Area: Case Study of a WUA in Central

Java, Indonesia. The paper presented in International Conference:

Strengthening Indonesian Agribusiness: Rural Development and Global

Market Linkages: IPB Convention Center. 25-26 April 2016

Rondhi, M. Y. Mori, T. Kondo., 2017, Diffusion of “Lelang System” and

Farmer Choice on Irrigation Water Management Model, Proceeding of

The International Conference on Food Sovereignty and Sustainable

Agriculture, page 361-366.

-oo0oo-

Page 44: KELEMBAGAAN IRIGASI

GLOSARIUM

Adverse selection merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan

adanya upaya untuk mennyembunyikan informasi kepada pihak lain

dengan tujuan tertentu.

Biaya informasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan

informasi.

Biaya monitoring adalah biaya yang dikeluarkan untuk memastikan tujuan

yang diharapkan sesuai dengan keinginan (kesepakatam).

Biaya negosisasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan tujuan

yang ingin dituju.

Biaya transaksi adalah biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan

(memastikan) sesuatu sesuai tujuan.

Daerah hilir merupakan daerah irigasi pada bagian yang jauh dengan

sumber air.

Daerah hulu merupakan daerah irigasi pada bagian yang dekat dengan

sumber air.

Daerah irigasi adalah kesatuan wilayah yang mendapat air dari satu

jaringan irigasi (mendapatkan air dari intake yang sama).

Dharma tirta adalah model pengelolaan irigasi di Jawa Tengah.

Page 45: KELEMBAGAAN IRIGASI

136 Kelembagaan Irigasi

Ekonomi bermoral adalh istilah yang digunakan untuk menjelaskan model

ekonomi yang menekankan pada pembagian yang lebih merata antar

pelaku usaha.

Ekonomi kelembagaan baru merupakan sebuah ilmu yang membahas

tentang bagaimana pengaturan sesuatu.

fixed payment merupakan model pembayaran air irigasi berdasarkan besaran

yang tetap.

Insentif merupakan rangsangan (dorongan) yang diberikan satu pihak

kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu sesuai kesepakatan.

Model prinsipel-agen: adalah model yang digunakan untuk menjelaskan

hubungan antar dua pihak di mana pihak pertama mendelegasikan

tugasnya kepada pihak kedua.

Model Swakelola adalah model pengelolaan irigasi di mana penentuan

pengelola irigasi didasarkan pada musyawarah mufakat (tidak

menggunakan model lelang).

Moral hazard adalah istilah untuk menjelaskan adanya tindakan

menyimpang dari ikatan yang telah disepakati.

Moro adalah istilah untuk menjelaskan pembagian hasil suatu usahatani.

one-sided prisoner dilemma adalah dilemma yang dialami oleh pelaku (pihak

I) yang menjalin hubungan dengan pihak lain (pihak II), akan tetapi

pihak lain tidak melakukan seperti yang diinginkan pihak I.

Perkumpulan petani pemakai air (P3A) merupakan istilah generik (umum)

yang digunakan untuk menyebut pengelola air irigasi.

prisoner dilemma merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk

mengammbarkan dilemma (masalah) yang dialami oleh seseorang

(diibaratkan tawanan) dengan pilihan-pilihan yang ada (cenderung

sulit).

Private information adalah adalah istilah dalam menjelaskan informasi yang

hanya dimiliki oleh pemilik informasi.

Page 46: KELEMBAGAAN IRIGASI

Glosarium 137

Sharing output merupakan model pembayaran air irigasi berdasarkan

besaran yang tergantung pada besarnya output usahatani.

Sistem Irigasi merupakan istilah kesatuan sistem (tata cara) pengelolaan

irigasi yang meliputi prasarana irigasi, air irigasi, manajemen irigasi,

kelembagaan pengelolaan irigasi, dan sumber daya manusia.

Sistem kontrak adalah sebuah sistem dalam pengelolaan irigasi di man

terdapat paling tidak dua pihak yang beerjasama, di mana pihak

pertama sebagai pemberi mandate, dan pihak lainnya yang diberikan

mandat dengan sistem tertentu.

Sistem lelang merupakan sebuah sistem dalam pengelolaan irigasi di mana

dalam penentuan pengelolaan irigasi detneukan secara lelang.

Subak adalah sistem irigasi yang dijalankan oleh sebagian besar pengelolaan

irigasi di Bali.

Teori collective action merupakan teori sosial untuk menggambarkan

perilaku orang dalam suatu kelompok pada barang sumberdaya

bersama.

Ulu-ulu adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam mengatur air

irigasi dalam jaringan tersier (petak petani).

Utilitas adalah tingkat kepuasan yang dialami oleh pelaku dalam

berhubungan dengan pihak lain.

-oo0oo-

Page 47: KELEMBAGAAN IRIGASI

138 Kelembagaan Irigasi

Page 48: KELEMBAGAAN IRIGASI

DAFTAR INDEKS

A

adverse selection, 54, 124, 127

Adverse selection, 61

Adverse selection (hidden

knowledge), 61

Algemeen Water Reglement, 32

Algemeen Water Reglement XE

“Algemeen Water

Reglement” (AWR ), 32

Awig-awig, 90, 91

B

Bahaya moral Moral hazard

(hidden action), 61

Barang sumberdaya bersama, 7,

10, 46, 75

Biaya informasi, 48

Biaya monitoring, 42, 48, 125

Biaya negosiasi, 41, 48

Biaya transaksi (transaction cost),

61

D

Daerah hilir (downstream area),

113

Daerah hulu (Upstream area), 113

Daerah Irigasi, vi, 17, 29, 32, 103,

104, 105, 106, 107, 108, 112,

117, 126, 129

Dharma tirta, 79, 85, 86, 90, 113,

130

Dilema tawanan (prisonner

dilemma), 75

Dilema tawanan satu sisi (one-

sided prisoner dilemma), 75

E

Page 49: KELEMBAGAAN IRIGASI

140 Kelembagaan Irigasi

Ekonomi bermoral, 90

Ekonomi biaya transaksi, 48

Ekonomi kelembagaan baru, 48

Ekonomi pasar neoklasik, 48

Ekonomi sosiologi, 48

F

FAO (Food and Agricultural

Organization), 90

fixed payment, 119, 120, 121, 127

G

game theory, 12, 73, 74, 117, 125,

127

Gotong royong, 90

H

Himpunan Petani Pemakai Air,

15, 16, 32

I

Insentif, 51, 53, 61, 129

IWMI (international Water

Management Institute), 90

J

Jaringan irigasi, 29, 32

K

Kelembagaan legal, 43, 46, 48

Keseimbangan Nash (Nash

Equilibrium), 75

Kontrak, 42, 51, 54, 56, 57, 59, 60,

61, 96, 97, 99, 129

M

model lelang, vi, 18, 94, 95, 96, 98,

99, 100, 101, 103, 107, 108, 110,

111, 112, 115, 117, 118, 119,

120, 121, 122, 123, 124, 125,

126, 127

Model lelang, 95, 100, 102, 113

Model prinsipal-agen, 75

model swakelola, vi, 79, 94, 95, 96,

98, 99, 100, 102, 103, 110, 111,

112, 115, 117, 118, 119, 120,

121, 122, 124, 125, 126, 127

Model swakelola, 18, 113, 115

moral hazard, 54, 61, 124, 127

Moro, 90

P

Pasar dan output, 48

Pekaseh, 82, 83, 90

Perkumpulan Petani Pemakai Air,

30, 32, 33, 52, 63, 75, 78, 84,

104, 115, 129

Perkumpulan petani pemakai air

(P3A), 113

Perkumpulan Petani Pemakai Air

(P3A), 32, 78, 84, 104, 115

Private information, 61

Regulasi, 45, 46, 48

S

Page 50: KELEMBAGAAN IRIGASI

Daftar Indeks 141

sharing output, 121, 127

Sistem Irigasi, 29, 32, 79, 91

Sistem kontrak, 17, 45, 48, 55, 111,

112, 113, 123, 131

Subak, 28, 79, 80, 81, 83, 89, 90, 91,

93

sustainable model, 127

T

Tektek, 90

Teori Permainan (Game Theory),

75

Tri hita kirana, 90

U

Ulu-ulu, 26, 29, 32, 85, 90, 100, 113

Undang-undang Pokok Agraria

(UUPA), 25, 32

Utilitas P3A (Agen), 75

utilitas pengelola, 116, 127

utilitas petani, 59, 116, 119, 120,

122, 127

Utilitas Petani (Prinsipal), 75

W

Water Code, 87, 90

-oo0oo-

Page 51: KELEMBAGAAN IRIGASI

142 Kelembagaan Irigasi