naskah publikasi aya

23
FAKTOR –FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS I WANGON Nur Widyawati¹, Umi Solikhah ², Ragil Setyabudi ³ ¹ Mahasiswa program studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto ² Dosen program studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto ³ Dosen program studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto Latar belakang: infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi utama penyebab kesakitan pada balita di fasilitas kesehatan di Indonesia, termasuk di Puskesmas I Wangon. Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas I Wangon pada Agustus sampai dengan September tahun 2014 berjumlah 468 kasus. Beberapa faktor resiko ISPA meliputi pendidikan orang tua,berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, keberadaan asap dapur dan keberadaan perokok. Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas I Wangon. Metodologi : Jenis Penelitian ini adalah observasi dengan desain kasus kontrol. Populasi penelitian berjumlah 108 balita yang terbagi menjadi sampel kasus dan control dengan perbandingan 1:1. Metode pengambilan sampel pada kasus menggunakan simple random sampling, sedangkan pada control diambil dengan menggunakan purposive sampling. Data dikumpulkan menggunakan checklist, kuisioner, dan lembar observasi. Analisis data meliputi analisis univariat, bivariat menggunakan analisis Pearson Chi Square dan analisis multivariay menggunakan uji regresi logistik ganda. Hasil : hasil penelitian menunjukkan terdapat 4 variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita, meliputi berat badan lahir (p-value=0,048; OR = 2,8; 95% CI= 0,985-7,956), status gizi balita (p-value= 0,005; OR= 3,659; 95% CI= 1,445-9,265), status imunisasi (p-value= 0,025; OR= 5,2; 95% CI= 1,068-25,329), keberadaan asap rokok (p-value= 0,000; OR=5,930; 95% CI= 2,477-14,2). Terdapat 2 faktor yang tidak berhubungan dengan kejadia ISPA pada Balita, meliputi Pendidikan orang tua (p-value= 0,177), dan keberadaan asap dapur (p-value= 0,117). Kesimpulan : hasil penelitian menunjukkan berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, dan keberadaan perokok merupakan faktor yang 1

Upload: akhir

Post on 17-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jj

TRANSCRIPT

Page 1: Naskah Publikasi AYA

FAKTOR –FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS I WANGON

Nur Widyawati¹, Umi Solikhah ², Ragil Setyabudi ³

¹ Mahasiswa program studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto² Dosen program studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto³ Dosen program studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Latar belakang: infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi utama penyebab kesakitan pada balita di fasilitas kesehatan di Indonesia, termasuk di Puskesmas I Wangon. Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas I Wangon pada Agustus sampai dengan September tahun 2014 berjumlah 468 kasus. Beberapa faktor resiko ISPA meliputi pendidikan orang tua,berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, keberadaan asap dapur dan keberadaan perokok.Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas I Wangon.Metodologi : Jenis Penelitian ini adalah observasi dengan desain kasus kontrol. Populasi penelitian berjumlah 108 balita yang terbagi menjadi sampel kasus dan control dengan perbandingan 1:1. Metode pengambilan sampel pada kasus menggunakan simple random sampling, sedangkan pada control diambil dengan menggunakan purposive sampling. Data dikumpulkan menggunakan checklist, kuisioner, dan lembar observasi. Analisis data meliputi analisis univariat, bivariat menggunakan analisis Pearson Chi Square dan analisis multivariay menggunakan uji regresi logistik ganda. Hasil : hasil penelitian menunjukkan terdapat 4 variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita, meliputi berat badan lahir (p-value=0,048; OR = 2,8; 95% CI= 0,985-7,956), status gizi balita (p-value= 0,005; OR= 3,659; 95% CI= 1,445-9,265), status imunisasi (p-value= 0,025; OR= 5,2; 95% CI= 1,068-25,329), keberadaan asap rokok (p-value= 0,000; OR=5,930; 95% CI= 2,477-14,2). Terdapat 2 faktor yang tidak berhubungan dengan kejadia ISPA pada Balita, meliputi Pendidikan orang tua (p-value= 0,177), dan keberadaan asap dapur (p-value= 0,117). Kesimpulan : hasil penelitian menunjukkan berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, dan keberadaan perokok merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

Kata Kunci: ISPA, Balita, Pendidikan, berat badan lahir, status gizi, status imunisasi, keberadaan asap dapur, keberadaan perokok.

1

Page 2: Naskah Publikasi AYA

RELATED FACTORS OF ISPA INCIDENCE ON UNDER FIVE YEAR OLD CHILDREN IN WORKING AREA OF PUBLIC HEALTH CENTER I WANGON

Nur Widyawati¹, Umi Solikhah ², Ragil Setyabudi ³

¹ Undergraduate of Nursing Study program, Health Science Faculty, Muhammadiyah University of Purwokerto² Lecture of Nursing Study program, Health Science Faculty, Muhammadiyah University of Purwokerto³ Lecture of Nursing Study program, Health Science Faculty, Muhammadiyah University of Purwokerto

Background : Acute Respiratory Infection (ARI) is an infectious disease that remains caused of under five year children morbidity in public health problem in Indonesia, include Public Health Center I, Wangon.. In August-September period, ISPA Incidence on under five year children in Public Health Center I, wangong was known 468 cases. There were several risk factorso of ISPA, namely parents education, weight of birth, nutrition status, immunization status, presence of cooking steam and presence of smoker.Objective: the objective of this study to identified related factors of ISPA Incidence on under five year old children it the working area of public health center I Wangon.Method: The study was an observational study using case control design. The population of the study was 108 subjects, consists of two groups, namely case group and control group, with 1:1 comparison. Sampling method in case group was using simple random sampling, and control group was using purposive sampling. Data was collected by checklist, quetionare, and observation sheet. Data analysis using univariat analysis, bivariate through pearson chi square, and multivariate with logistic regression.Result : The results of this study show there were 4 variables which related to the ISPA incidence on under five years old children, namely weight of birth (p-value=0,048; OR = 2,8; 95% CI= 0,985-7,956), nutrition status (p-value= 0,005; OR= 3,659; 95% CI= 1,445-9,265), immunization status(p-value= 0,025; OR= 5,2; 95% CI= 1,068-25,329), presence of smoker (p-value= 0,000; OR=5,930; 95% CI= 2,477-14,2). There were 2 variables which not related to the ISPA incidence on under five years old children, namely parents education (p-value= 0,177), and presence of cooking steam (p-value= 0,117). Conclusion : this study indicates that weight of birth, nutrition status, immunization status, and presence of smoker were related to the ISPA incidence in working area of Public Health Center I, Wangon.

Key Words: ARI, under five year children, educate, weight of birth, nutrition status, immunization status, presence of cooking steam, presence of smoker

PENDAHULUANInfeksi saluran pernafasan akut merupakan

penyakit yang sering terjadi pada balita. Anak balita merupakan masa yang rawan gizi dan rawan penyakit. Menurut para ahli hal ini terjadi dikarenakan daya tahan tubuh pada balita berbeda dengan daya tahan tubuh pada orang dewasa sebab daya tahan tubuh pada balita masih lemah sehingga rentan terserang penyakit infeksi.

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit utama penyebab

kesakitan dan kematian bayi dan balita. Menurut World Health Organization (WHO) (2003), ISPA terutama pneumonia menduduki peringkat pertama dari enam penyebab kematian postnatal yang berkontribusi dengan 63% dari 10,4 juta kematian pada anak di bawah lima tahun di seluruh dunia. Penyebab utama kematian anak antara lain infeksi saluran pernapasan akut (17%), diare (16%), prematur dan berat badan lahir rendah (11%), infeksi neonatal seperti sepsis (9%), asfiksi kelahiran dan trauma (8%) serta malaria (7%).

2

Page 3: Naskah Publikasi AYA

WHO (2003) memperkirakan kejadian ISPA di negara berkembang dengan angka kematian bayi di atas 40 per 1.000 kelahiran hidup adalah 15% - 20% pertahun pada golongan usia Balita. Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Rikesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi ISPA pada usia Balita sebesar 17,1% (Depkes, 2008). Sedangkan menurut Survei Kematian Balita di Indonesia tahun 2005, 23,6% kematian balita disebabkan penyakit ISPA khususnya pneumonia (Depkes, 2010). Berdasarkan Dinas Kesehatan Jawa Tengah (2011), Di Jawa Tengah jumlah kasus pneumonia pada Balita adalah 66.702 kasus (3%), sedangkan presentase kasus ISPA pada Balita 29%, dari 2.204.187 Balita di Provinsi Jawa Tengah.

Menurut Depkes (2004), faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya ISPA adalah kualitas rumah, antara lain jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian, dan jenis bahan bakar memasak yang dipakai. Adapun lingkup penilaian rumah sehat dilakukan dengan kelompok komponen rumah, sarana sanitasi, dan perilaku penghuni. Hal ini dimaksudkan agar penghuni mampu meningkatkan mutu hunian sekaligus meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes, 2002).

Kualitas lingkungan berhubungan dengan status kesehatan masyarakat. Dari studi tentang kesehatan lingkungan tersirat informasi bahwa status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor hereditas, nutrisi, pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan. Faktor lingkungan yang berhubungan dengan status kesehatan seseorang itu dapat berasal dari lingkungan pemukiman, lingkungan social, lingkungan rekreasi dan lingkungan kerja.

Penyakit ISPA dipengaruhi oleh kualitas udara di dalam rumah. Menurut Wardhana (2004), partikel-partikel dari paparan asap yang disebabkan karena hasil pembakaran kayu atau asap rokok dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Partikel-partikel tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan, sebab pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup masuk ke dalam paru-paru.

Secara umum, efek pencemaran udara dengan pernafasan dapat menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan macrofage di saluran pernafasan. Akibat dari dua hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Mukono, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mishra, Smith, dan Retherford (2005) pada anak-anak di India, bahwa pemakaian biomasa sebagai bahan bakar memasak di negara berkembang meningkatkan level polusi udara di dalam ruangan. Asap rokok juga memberikan kontribusi menambah polusi udara di dalam ruangan. Penggunaan biomasa dan asap rokok menjadi faktor resiko terkena penyakit ISPA.

Penelitian Ernawati dan Farich (2012), bahwa ada hubungan faktor lingkungan rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Faktor lingkungan rumah tersebut antara lain adanya anggota keluarga yang merokok dan penggunaan obat nyamuk bakar. Asap dari rokok maupun obat nyamuk bakar dapat langsung terhisap oleh anak balita, keadaan itu akan menurunkan pertahanan paru-paru sehingga menumbulkan penyakit ISPA. Penelitian Safitri dan Keman (2007) bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kesehatan rumah dengan tingkat kejadian ISPA pada balita.

Kebiasaan merokok dapat memberikan dampak kesehatan yang jelas merugikan dengan lingkungan sekitar dan kesehatan orang lain sebagai perokok pasif, terutama dampak tersebut dengan keluarga. Berdasarkan laporan Badan Lingkungan Hidup Amerika mencatat tidak kurang dari 300 ribu anak anak berusia 1 sampai 5 tahun menderita bronchitis dan pneumonia, karena turut menghisap asap rokok yang dihembuskan orang di sekitarnya terutama ayah dan ibunya (Karlinda dan Warni, 2012).

3

Page 4: Naskah Publikasi AYA

Perilaku hidup sehat masyarakat merupakan salah satu faktor penting untuk mendukung peningkatan status kesehatan. Kebiasaan merokok adalah salah satu perilaku masyarakat yang tidak sehat yang sering kita temui di lingkungan masyarakat. Proporsi penduduk dewasa yang merokok sebesar 31,8 %. Sementara itu, proporsi penduduk perokok yang mulai pada usia di bawah 20 tahun meningkat dari 60% pada tahun1995 menjadi 68% pada tahun 2001 (Bappenas, 2004).

Berdasarkan penelitian pendahuluan, menurut data yang tercatat dalam Puskesmas Wangon I, pada periode Bulan Agustus sampai dengan Bulan September tahun 2014, kejadian ISPA pada usia Balita berjumlah 468 kasus, dan pada awal Bulan Oktober sampai dengan akhir Oktober, tercatat 226 kunjungan Balita di Puskesmas Wangon I dengan keluhan ISPA.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 9 pengunjung Puskesmas Wangon I dengan keluhan kesehatan pada Balita (1-5 tahun), didapatkan data bahwa terdapat 5 (55,6%) anak balita yang mengalami gejala ISPA, seperti demam, batuk dan pilek, sedangkan 4 (44,4%) anak balita lainnya tidak mengalami gejala ISPA. Seluruh responden penelitian awal masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Sedangkan pada keberadaan keluarga yang merokok, terdapat 8 keluarga dengan anggota keluarga ada yang merokok. Seluruh responden penelitian mengatakan balitanya mengikuti program imunisasi dasar. tiga Balita dengan gejala ISPA mengatakan Berat Badan Lahir Balitanya dibawah 2500 gram, dan terdapat dua Balita dengan gejala ISPA memiliki status gizi Bawah Garis Merah (BGM) pada KMS. Terdapat 5 Responden yang masih berpendidikan ≤12 tahun.

METODE PENELITIANBerdasarkan data Puskesmas Wangon I,

menunjukan bahwa ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering diderita oleh masyarakat khususnya balita. Pada periode Agustus sampai dengan Oktober tahun 2014, ISPA pada Balita menempati urutan pertama

dalam daftar 10 penyakit tertinggi di Wilayah Kerja Puskesmas Wangon I, dengan jumlah kasus sebanyak 694 (42,8%) balita mengalami ISPA. Rata-rata balita yang terkena ISPA tiap Bulan pada periode Agustus sampai dengan Oktober 2014 sebanyak 174 balita. Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wangon I?”

Tujuan penelitian adalah Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Wangon I.

Rancangan penelitian menggunakan observasional dengan pendekatan case control pada Juli 2014-Januari 2015. Populasi penelitian adalah Balita yang tercatat di Puskesmas Wangon I terdiagnosa ISPA pada periode Bulan Agustus-Oktober 2014, berjumlah 694 Balita. Sampel penelitian berjumlah 108 responden yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kasus, dan kelompok control, dengan perbandingan 1:1. Metode sampling pada kasus menggunakan simple random sampling, sedangkan sampel pada control menggunakan teknik purposive sampling. Penetuan besar sampel berdasarkan jumlah proporsi pada kelompok pajanan (kepustakaan). Perhitungan untuk menentukan jumlah sampel studi kasus kontrol digunakan α = 0,05 (1,96), β = 0,80 (0,842), diperkirakan nilai OR pada penelitian sebelumnya adalah 2,2.

4

Page 5: Naskah Publikasi AYA

HASIL DAN PEMBAHASAN1. Gambaran karakteristik responden

Hasil penelitian berdasarkan karakteristik responden ditunjukkan pada Tabel 1.Tabel 1. Karakteristik Responden

KarakteristikKasus Kontrolf % f %

Usia ibu14-19 tahun 6 11,1 3 5,620-35 tahun 35 64,8 37 68,5> 35 tahun 13 24,1 14 25,9Total 54 100 54 100

Usia Balita1-3 tahun 35 64,8 25 46,3>3-5 tahun 19 35,2 29 53,7Total 54 100 54 100

Jenis Kelamin Balitalaki-laki 26 48,1 23 42,6Perempuan 28 51,9 31 57,4Total 54 100 54 100

Berdasarkan Tabel 4.1, Berdasarkan Tabel 4.1, persentase usia ibu 14-19 tahun pada kelompok kasus sebesar 6 (11,1%), lebih besar daripada usia ibu 14-19 tahun pada kelompok kontrol sebesar 3 (5,6%). Usia ibu 20-35 tahun pada kelompok kasus sebesar 35 (64,8%), lebih rendah daripada usia ibu 20-35 tahun pada kelompok kontrol sebesar 37 (68,5%). Usia ibu >35 tahun pada kelompok kasus sebesar 13 (24,1%), lebih besar daripada usia ibu >35 tahun pada kelompok kontrol sebesar 14 (25,9%).

Persentase usia balita 1-3 tahun pada kelompok kasus sebesar 35 (64,8%), lebih besar daripada usia balita 1-3 tahun pada kelompok kontrol sebesar 25 (46,3%). Usia balita >3-5 tahun pada kelompok kasus sebesar 19 (35,2%), lebih rendah daripada usia balita >3-5 tahun pada kelompok kontrol sebesar 29 (53,7%).

Persentase balita laki-laki pada kelompok kasus sebesar 26 (48,1%), lebih besar daripada balita laki-laki pada kelompok kontrol sebesar 23 (42,6%). Balita perempuan pada kelompok kasus sebesar 28 (51,9%), lebih rendah daripada balita perempuan pada kelompok kontrol sebesar 31 (57,4%).

2. Gambaran Variabel Penelitian Hasil penelitian berdasarkan gambaran

variabel penelitian responden ditunjukkan pada tabel 2.Tabel 2. Gambaran Variabel Responden

Variabel PenelitianKasus Kontrolf % f %

Pendidikan IbuDasar 44 81,5 38 70,4

Tinggi 10 18,5 16 29,6

Jumlah 54 100 54 100Berat Badan Lahir

< 2500 gram 14 25,9 8 14,8≥ 2500 gram 40 74,1 46 85,2Total 54 100 54 100

Status giziGizi Kurang 21 38,9 6 11,1Gizi Baik 33 61,1 48 88,9

Total 54 100 54 100Status ImunisasiImunisasi tidak lengkap 9 16,7 2 3,7Imunisasi Lengkap 45 83,3 52 96,3Total 54 100 54 100Keberadaan asap dapur

Ada 36 66,7 28 51,9Tidak ada 18 33,3 26 48,1

Total 54 100 54 100Keberadaan Perokok n % n %

Ada 44 81,5 23 42,6Tidak ada 10 18,5 31 57,4

Total 54 100 54 100

Berdasarkan distribusi frekuensi pendidikan ibu balita pada kelompok kasus dengan pendidikan dasar sebesar 44 (81,5%), lebih besar daripada pendidikan ibu balita pada kelompok kontrol dengan pendidikan dasar sebesar 38 (70,4%). Sedangkan pendidikan ibu balita pada kelompok kasus dengan pendidikan tinggi sebesar 10 (18,5%), lebih rendah daripada pendidikan ibu pada kelompok kontrol dengan pendidikan tinggi sebesar 16 (29,6%).

Persentase Berat badan lahir (BBL) Balita < 2500 gram pada kelompok kasus sebesar 14 (25,9%), lebih besar daripada Berat badan lahir (BBL) Balita < 2500 gram pada kelompok kontrol sebesar 8 (14,8%). Sedangkan persentase Berat badan lahir

5

Page 6: Naskah Publikasi AYA

(BBL) Balita ≥ 2500 gram pada kelompok kasus sebesar 40 (74,1%), lebih rendah daripada Berat badan lahir (BBL) Balita ≥ 2500 gram pada kelompok kontrol sebesar 46 (85,2%).

Persentase status gizi Balita pada kelompok kasus dengan status gizi kurang sebesar 21 (38,9%), lebih besar daripada status gizi Balita pada kelompok kontrol dengan status gizi kurang sebesar 6 (11,1%). Sedangkan persentase status gizi Balita pada kelompok kasus dengan status gizi baik sebesar 33 (61,1%), lebih rendah daripada status gizi Balita pada kelompok kontrol dengan status gizi baik sebesar 48 (88,9%).

Persentase status imunisasi Balita pada kelompok kasus dengan status imunisasi tidak lengkap sebesar 9 (16,7%), lebih besar daripada status Imunisasi Balita pada kelompok kontrol dengan status imunisasi tidak lengkap sebesar 2 (3,7%). Sedangkan persentase status imunisasi Balita pada kelompok kasus dengan status imunisasi lengkap sebesar 45 (83,3%), lebih rendah daripada status Imunisasi Balita pada kelompok kontrol dengan status imunisasi lengkap sebesar 52 (96,3%).

Persentase keberadaan asap dapur pada kelompok kasus ada asap dapur sebesar 36 (66,7%), lebih besar daripada kelompok kontrol ada asap dapur sebesar 28 (51,9%). Sedangkan persentase keberadaan asap dapur pada kelompok kasus tidak ada asap dapur sebesar 18 (33,3%), lebih rendah daripada kelompok kontrol tidak ada asap dapur sebesar 26 (48,1%).

Persentase keberadaan perokok pada kelompok kasus ada perokok sebesar 44 (81,5%), lebih besar daripada keberadaan perokok pada kelompok kontrol ada perokok sebesar 23 (42,6%). Sedangkan persentase keberadaan perokok pada kelompok kasus tidak ada perokok sebesar 10 (18,5%), lebih rendah daripada keberadaan perokok pada kelompok kontrol tidak ada perokok sebesar 31 (57,4%).

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon

Hasil analisis bivariat melalui pearson chi square antara variabel pendidikan ibu, berat badan lahir (BBL), status gizi, status imunisasi, keberadaan asap dapur, keberadaan perokok ditabulasikan sebagai berikut:Tabel 3. Pengaruh antar variabel terhadap

ISPAVariabel OR

(95% CI)p-value

Pendidikan ibu 1,853(0,752-4,563)

0,177

Berat badan lahir 2,8(0,985-7,956)

0,048

Status gizi 3,659(1,445-9,265)

0,005

Status imunisasi 5,2(1,068-25,239)

0,025

Keberadaan asap dapur 1,857(0,853-4,043)

0,117

Keberadaan perokok 5,930(2,477-14,2)

0,000

Tabel 2 menunjukkan bahwa 44 responden (81,5%) dari responden dengan pendidikan dasar pada kasus, lebih besar daripada responden dengan pandidikan dasar pada kontrol sebesar 38 responden (70,4%). Terdapat 10 responden (18,5%) dari responden dengan pendidikan tinggi pada kasus, lebih rendah daripada responden dengan pendidikan tinggi pada kontrol sebesar 16 responden (29,6%).

Hasil analisis Pearson Chi Square (X²) pada Tabel 3, nilai p-value didapatkan sebesar 0,177 untuk korelasi antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon Berdasarkan p-value <0,05 maka Ho diterima sehingga disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon

Perhitungan nilai Odds Ratio (OR) 95% CI= 1,853 (0,752-4,563), sehingga pendidikan ibu bukan merupakan faktor resiko ISPA karena 95% CI melewati angka 1.

Tabel 2 menunjukkan bahwa 14 balita (25,9%) dengan BBL < 2500 gram pada kasus, lebih besar daripada balita dengan BBL <

6

Page 7: Naskah Publikasi AYA

2500 gram pada kontrol sebesar 6 balita (11,1%). Terdapat 40 balita (74,1%) dengan BBL ≥ 2500 gram pada kasus, lebih rendah daripada balita dengan BBL ≥ 2500 gram sebesar 48 balita (88,9%).

Hasil analisis Pearson Chi Square (X²) tabel 3, nilai p-value didapatkan sebesar 0,048 untuk korelasi antara BBL dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon Berdasarkan p-value <0,05 maka Ha diterima sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara BBL Balita dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

Perhitungan nilai OR (CI 95%) = 2,8 (0,985-7,956), sehingga BBL balita bukan merupakan faktor resiko ISPA karena 95% CI melewati angka 1.

Tabel 2 menunjukkan bahwa 21 balita (38,9%) dengan status gizi kurang pada kasus, lebih besar daripada balita dengan status gizi kurang pada kontrol sebesar 8 balita (14,8%). Terdapat 33 balita (61,1%) dengan status gizi baik pada kasus, lebih rendah daripada balita dengan status gizi kurang pada kontrol sebesar 46 balita (85,2%).

Hasil analisis Pearson Chi Square (X²) Tabel 3, nilai p-value didapatkan sebesar 0,005 untuk korelasi antara status gizi Balita dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon Berdasarkan p-value <0,05 maka Ha diterima sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi Balita dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

Perhitungan nilai OR (CI 95%) = 3,659 (1,445-9,265), sehingga status gizi anak merupakan faktor resiko ISPA karena 95% CI tidak melewati angka 1.

Tabel 2 menunjukkan bahwa 9 balita (16,7%) dengan status imunisasi tidak lengkap pada kasus, lebih besar daripada balita dengan status imunisasi tidak lengkap pada kontrol sebesar 2 balita (3,7%). Terdapat 45 balita (83,3%) dengan status imunisasi lengkap, lebih rendah daripada

balita dengan status imunisasi lengkap pada kontrol sebesar 52 balita (96,3%).

Hasil analisis Pearson Chi Square (X²) Tabel 3, nilai p-value didapatkan sebesar 0,025 untuk hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon Berdasarkan p-value <0,05 maka Ha diterima sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status imunisasi Balita dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon

Perhitungan nilai OR (95% CI) = 5,2 (1,068-25,239), sehingga status imunisasi merupakan faktor resiko ISPA karena 95% CI tidak melewati angka 1.

Tabel 2 menunjukkan bahwa 36 rumah responden (66,7%) terdapat asap dapur pada kasus, lebih besar dari rumah responden yang terdapat asap dapur pada kontrol sebesar 28 rumah responden (51,9%). Terdapat 18 rumah responden (33,3%) pada kasus tidak terdapat asap dapur, lebih rendah dari rumah responden yang tidak terdapat asap dapur pada kontrol sebesar 26 rumah responden (48,1%).

Hasil analisis Pearson Chi Square (X²) Tabel 3, nilai p-value didapatkan sebesar 0,117 untuk hubungan antara keberadaan asap dapur dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon Berdasarkan p-value <0,05 maka Ho diterima sehingga disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara keberadaan asap dapur Balita dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon

Perhitungan nilai OR (95% CI) = 1,857 (0,853-4,043), sehingga keberadaan asap dapur bukan merupakan faktor resiko ISPA karena 95% CI melewati angka 1.

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa 44 rumah responden (81,5%) dengan terdapat perokok pada kasus, lebih besar daripada rumah responden dengan terdapat perokok pada kontrol sebesar 23 rumah responden (42,6%). Terdapat 10 rumah responden (18,5%) dengan tidak terdapat perokok pada kasus, lebih rendah dari rumah responden

7

Page 8: Naskah Publikasi AYA

dengan tidak terdapat perokok pada kontrol sebesar 31 rumah responden (57,4%).

Hasil analisis Pearson Chi Square (X²) Tabel 3, nilai p-value didapatkan sebesar 0,000 untuk hubungan antara keberadaan perokok dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon Berdasarkan p-value <0,05 maka Ha diterima sehingga disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara keberadaan perokok Balita dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon.

Perhitungan nilai OR (95% CI) = 5,930 (2,477-14,2), sehingga keberadaan perokok merupakan faktor resiko ISPA karena 95% CI tidak melewati angka 1.

4. Variabel paling dominan yang berhubungan dengan kejadian ISPA

Dari keseluruhan proses analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari 2 variabel independen yang diduga menjadi faktor dominan penyebab kejadian ISPA ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Faktor paling dominan yang berhubungan dengan kejadian ISPA

Variabel dependen

B p-value Exp. B (OR)

(95% CI)Status Gizi 1.054 .037 2.868

(1,065-7,721)

Keberadaan perokok 1.648 .000

5.198(2,13-

12,684)Constant -4.086 .000 .017

Eksponen B (Exp (B)) menunjukkan nilai OR sebagai faktor penyebab kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon karena nilai OR> 1. Hal ini dapat dinyatakan :a. Balita yang memiliki status gizi kurang

akan berpeluang 2,868 kali lebih besar untuk mengalami ISPA daripada Balita dengan status gizi baik.

b. Keberadaan perokok di rumah responden berpeluang 5,196 lebih besar untuk terjadi

ISPA pada balita daripada rumah yang tidak terdapat perokok.

Mengacu pada hasil analisis multivariat di atas, dapat disimpulkan jika variabel keberadaan perokok merupakan veriabel paling dominan yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah kerja Puskesmas I Wangon karena memiliki nilai OR terbesar (5,198).

PEMBAHASAN1. Gambaran karateristik responden

Dilihat dari dominannya jumlah ibu yang berusia 20-35 tahun, dan terdapat beberapa ibu yang berusia 14-19 tahun pada dua kelompok penelitian menunjukkan kecenderungan usia ibu tidak mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita. Hal ini sesuai dengan pendapat Setyawan (2012), bahwa semakin tua usia orang tua tidak selalu diikuti dengan kematangan mental orang tua dalam menjalankan 5 fungsi keluarga, terkadang orang tua yang lebih muda dapat menerapkan 5 fungsi keluarga yang lebih baik. Berbeda dengan penelitian Ernawati (2006), yang berpendapat jika sebagian besar keluarga dengan anak usia sekolah (usia orang tua 20-35 tahun) memiliki jumlah keluarga > 4 orang, sehingga hal ini mempengaruhi fokus orang tua terutama ibu untuk memperhatikan kondisi anak.

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat perbedaan karakteristik usia balita antara kedua kelompok. Pada kelompok kasus, usia balita yang mendominasi adalah usia 1-3 tahun, sedangkan pada kelompok kontrol, balita yang mendominasi adalah balita usia >3-4 tahun.

Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya pneumonia maupun kematian karena pneumonia. Semakin tua usia Balita (>3-5 tahun) yang sedang menderita pneumonia semakin kecil meninggal akibat pneumonia dibandingkan Balita yang berusia muda (1-3 tahun) (Yuwono, 2008). Selain itu dari hasil penelitian longitudinal di Inggris menunjukkan bahwa kejadian pneumonia pada anak berdampak jangka panjang dengan terjadinya penurunan fungsi ventilasi paru pada masa dewasa. Oleh sebab itu pneumonia yang

8

Page 9: Naskah Publikasi AYA

terjadi pada usia yang lebih muda harus diberikan pengobatan medis yang tepat, mengingat lebih berisiko untuk menjadi pneumonia berat (Nurjazuli, 2006). Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Adhi (2014), yang menyebutkan hampir sebagian besar balita yang mengalami ISPA berusia 1-3 tahun.

Namun hasil bertentangan ditunjukkan oleh Kemenkes (2010), yang menyebutkan balita berusia 2-5 tahun lebih sering mengalami ISPA dibandingkan Balita usia 0-24 bulan. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan anak usia lebih 2 tahun sampai 5 tahun sudah banyak terpapar oleh lingkungan luar dan kontak dengan penderita ISPA lainnya, sehingga memudahkan anak untuk menderita ISPA.

Dominannya balita pada kelompok kasus berusia 1-3 tahun, sedangkan pada kelompok kontrol, Balita berusia >3-5 tahun lebih dominan dibandingkan jumlah Balita berusia 1-3 tahun. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh jumlah balita yang memiliki riwayat BBL < 2500 gram. Pendapat ini didukung oleh Yanuar (2011) yang mengatakan kejadian gangguan paru kronis pada anak dapat semakin diperburuk dengan adanya riwayat berat badan lahir rendah.

Hasil penelitian memperlihatkan, jenis kelamin Balita pada kelompok kasus dan kelompok kontrol sebagian besar berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin perempuan pada sebagian besar responden menunjukkan kecenderungan jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak.

Dharmage (2009), menyebutkan anak laki-laki lebih suka bermain di tempat yang kotor, berdebu, dan banyak bermain di luar rumah, sehingga kontak dengan penderita ISPA lain yang memudahkan penularan dan anak terkena ISPA. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Naria et al (2013), bahwa kejadian ISPA lebih sering didapatkan pada anak laki-laki di banding anak perempuan, sehingga anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA dibandingkan dengan anak perempuan.

Besarnya jumlah responden balita perempuan, kemungkinan berhubungan dengan jumlah kelahiran menurut jenis kelamin di Banyumas pada tahun 2012 didominasi oleh perempuan Dinkes Jateng, (2012). Selain itu berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas I Wangon (2013),

menyebutkan presentase balita perempuan sebesar 54,7 %, lebih besar dari presentase balita laki-laki sebesar 43,4%. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian Nasution (2009), menyebutkan sebagian besar responden balita pada penelitianna tentang ISPA merupakan perempuan sebesar 54,7%.

2. Gambaran Variabel Penelitian Hasil penelitian menunjukkan tingginya

jumlah responden berpendidikan tingkat dasar kemungkinan disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang memprioritaskan program pendidikan dasar. Prioritas program pendidikan yang ditunjukkan Pemerintah secara bertahap mampu menurunkan angka putus sekolah dan peningkatan jumlah lulusan pendidikan dasar tingkat SMA (Muadz et al, 2013). Sebagian kecil responden penelitian berpendidikan tinggi (perguruan tinggi), hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat ekonomi responden menengah ke bawah.

Berdasarkan Noerdin (2002), sejak era reformasi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia terdiri dari pembangunan fisik, sikap, dan kognitif masyarakat. Keseriusan pemerintah dalam peningkatan kualitas SDM ditunjukkan dengan upaya pemerintah dalam bidang pendidikan seperti melaksanakan program pemberantasan buta huruf, program kesetaraan paket C, wajib belajar 12 tahun dan pembebasan biaya pendidikan secara bertahap melalui peningkatan Anggaran Program Belanja Negara (APBN) pendidikan.

Hasil penelitian sesuai dengan Sunarti (2012), bahwa tingkat kesejahteraan keluarga sangat mempengaruhi tingkat pendidikan yang ditempuh. Selain itu Ernawati (2006) menyebutkan dalam hasil penelitiannya sebagian besar pendidikan orang tua merupakan SD-SMP. Selain itu, Ernawati melanjutkan status ekonomi keluarga terbukti berbanding lurus dengan tingkat pendidikan individu yang pernah ditempuh, yang berarti semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga maka status pendidikan akan semakin tinggi.

Berdasarkan hasil kategorisasi berat badan lahir (BBL) Balita menunjukkan sebagian besar Balita memiliki riwayat BBL ≥ 2500 gram, dan hanya sebagian kecil balita yang memiliki riwayat BBL < 2500 gram. Sesuai dengan Kementerian kesehatan (2010), bahwa bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai resiko menderita ISPA lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal.

9

Page 10: Naskah Publikasi AYA

Riwayat berat badan lahir rendah menyebabkan system kekebalan tubuh belum sempurna, sehingga daya tahan tubuhnya rendah, menyebabkan anak rentan dan mudah terserang penyakit infeksi.

Dominannya jumlah balita yang memiliki riwayat BBL ≥2500 gram, kemungkinan disebabkan karena adanya faktor pelayanan kesehatan ibu di setiap desa meliputi pelayanan kesehatan antenatal, pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan.

Cakupan pelayanan antenatal dapat dipantau melalui pelayanan kunjungan baru ibu hamil untuk melihat akses dan pelayanan kesehatan ibu hamil sesuai standar paling sedikit empat kali dengan distribusi pemberian pelayanan yang dianjurkan adalah minimal satu kali pada triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga umur kehamilan.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar Balita memiliki status gizi baik, dan sebagian kecilnya memiliki status gizi kurang. Status gizi menggambarkan konsumsi zat gizi yang kurang sehingga mengakibatkan keadaan tidak sehat karena tidak cukup makan dalam jangka waktu tertentu.

Dominannya jumlah Balita berstatus gizi baik pada penelitian kemungkinan disebabkan oleh tingkat pengetahuan ibu yang baik tentang gizi, keaktifan ibu dalam memantau gizi Balita melalui Posyandu, dan riwayat BBL Balita sebagian besar ≥2500 gram.

Sesuai pernyataan Notoadmodjo (2003) mengatakan pengetahuan merupakan dasar bagi individu dalam menerapkan perilaku. Oleh karena itu, ibu dengan pengetahuan yang baik akan lebih banyak berpikir untuk mempertimbangkan untung dan rugi dari suatu perilaku yang diterapkan bagi anak. Penelitian Yanuar (2011) juga sejalan dengan pendapat penelitian, jika keaktifan ibu dalam Posyandu merupakan faktor lainnya yang berhubungan dengan status gizi Balita yang baik.

Selain tingkat pengetahuan yang baik, dan keaktifan ibu dalam Posyandu, riwayat BBL Balita ≥ 2500 gram berhubungan dengan status gizi Balita yang baik. Pernyataan ini diperkuat oleh penelitian Ernawati (2006), bahwa berat badan lahir cenderung berhubungan dengan status gizi anak. Balita dengan riwayat BBLR berpeluang mengalami gangguan status gizi lebih tinggi dibandingkan

Balita tanpa riwayat BBLR, hal ini akan diperburuk jika tingkat kesejahteraan keluarga rendah.

Sebagian besar Balita pada dua kelompok penelitian memiliki status imunisasi lengkap. Hal ini berarti sebagian besar Balita telah mendapatkan lima imunisasi dasar yang lengkap, meliputi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT, dan campak yang diberikan sesuai dengan usia Balita.

Upaya untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi serta anak balita dilaksanakan program imunisasi baik program rutin maupun program tambahan/suplemen untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti TBC, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio, Hepatitis B, dan Campak. Bayi seharusnya mendapat imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari BCG 1 kali, DPT-HB 3 kali, Polio 4 kali, HB Uniject 1 kali dan campak 1 kali. Sebagai indikator kelengkapan status imunisasi dasar lengkap bagi bayi dapat dilihat dari hasil cakupan imunisasi campak, karena imunisasi campak merupakan imunisasi yang terakhir yang diberikan pada bayi umur 9 (sembilan) bulan dengan harapan imunisasi sebelumnya sudah diberikan dengan lengkap (BCG, DPT-HB, Polio, dan HB) (Dinkes Jateng, 2012).

Dominannya jumlah cakupan imunisasi di wilayah kerja Puskesmas I Wangon menegasakan laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) (2010), bahwa cakupan imunisasi dasar di Jawa Tengah adalah 70%, dan menjadi salah satu propinsi dengan cakupan imunisasi dasar yang tinggi. Faktor pendidikan orang tua dan jumlah petugas yang sudah terpenuhi kemungkinan menjadi penyebab tingginya cakupan imunisasi dasar di wilayah kerja Puskesmas I Wangon.

Sebagian kecil Balita tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap kemungkinan disebabkan oleh adanya sebagian kecil masyarakat menolak anaknya untuk diimunisasi dikarenakan keyakinan/kepercayaan agama, kesibukan orang tua dan kurangnya pemahaman tentang imunisasi. Dinkes Jateng (2011), menyebutkan masih adanya balita yang belum mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap dan tepat waktu dipengaruhi dari faktor orang tua, seperti persepsi negative orang tua terhadap imunisasi dan adanya

10

Page 11: Naskah Publikasi AYA

keyakinan beberapa responden yang menolak adanya imunisasi. Selain itu, penelitian Adhi (2014), sejalan dengan pendapat peneliti, bahwa faktor kesibukan juga menjadi faktor tidak tepat waktunya balita mendapatkan imunisasi.

Hasil penelitian memperlihatkan sebagian besar rumah tangga pada kedua kelompok diketahui masih menggunakan bahan bakar/peralatan masak yang masih menimbulkan asap dapur. Tingginya penggunaan alat masak yang menimbulkan asap dapur di wilayah kerja Puskesmas I Wangon menunjukkan sebagian besar kualitas udara dalam rumah menjadi berkurang dan tercemar karena banyak mengandung zat yang merugikan bagi kesehatan Balita (Widyaningtias, 2004).

Naria et al (2008), menyebutkan pencemaran dalam ruang merupakan perubahan kondisi ruangan yang disebabkan masuknya atau dimasukinya oleh suatu zat/bahan ke dalam ruangan akibat aktivitas manusia. Pencemaran dalam ruangan bisa berasal dari penggunaan bahan bakar untuk memasak, keberadaan perokok dalam rumah dan penggunaan bahan pengendali serangga. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru, sehingga mempermudah timbulnya gangguan pada saluran pernapasan.

Dominannya penggunaan bahan bakar yang menghasilkan asap dapur pada responden penelitian kemungkinan dipengaruhi beberapa faktor antara lain sebagian besar responden kemungkinan memiliki status kesejahteraan menengah ke bawah, budaya masyarakat di Wilayah kerja Puskesmas I Wangon yang sudah menggunakan alat memasak “pawon” secara turun temurun karena tersedianya bahan bakar kayu, dan beberapa keluarga juga menggunakan alat masak/bahan bakar yang menimbulkan asap dapur dan yang tidak menimbulkan asap dapur secara bergantian untuk menekan pengeluaran keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian, jumlah keberadaan perokok pada dua kelompok saling bertolak belakang. pada kelompok kasus, > 80% lingkungan rumah responden kasus terdapat anggota keluarga yang merupakan perokok aktif, sedangkan pada kelompok kontrol, keberadaan perokok di lingkungan rumah responden tidak dominan.

Perbedaan jumlah keberadaan perokok pada penelitian kemungkinan disebabkan

karena pada kelompok kontrol jumlah ibu yang berpendidikan tinggi lebih besar dibandingkan dengan jumlah ibu yang berpendidikan tinggi pada kelompok kasus, sehingga memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengatur lingkungan rumah. Selain faktor pendidikan, tempat tinggal beberapa responden kelompok kontrol adalah di lingkungan dekat pusat kecamatan/perkotaan yang sebagian besar memiliki jumlah anggota keluarga yang kecil, dan merupakan keluarga inti. Hal ini bertolak belakang dengan jenis keluarga sebagian besar kelompok kasus yang merupakan keluarga besar (Muadz et al, 2013).

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon

Hasil analisis bivariat melalui pearson chi square memperlihatkan terdapat 4 variabel yang merupakan faktro yang berhubungan dengan kejadia ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon. Ke-4 variabel tersebut adalah meliputi berat badan lahir (p-value=0,048; OR = 2,8; 95% CI= 0,985-7,956), status gizi balita (p-value= 0,005; OR= 3,659; 95% CI= 1,445-9,265), status imunisasi (p-value= 0,025; OR= 5,2; 95% CI= 1,068-25,329), keberadaan asap rokok (p-value= 0,000; OR=5,930; 95% CI= 2,477-14,2). Terdapat 2 faktor yang tidak berhubungan dengan kejadia ISPA pada Balita, meliputi Pendidikan orang tua (p-value= 0,177), dan keberadaan asap dapur (p-value= 0,117).

Berdasarkan Notoadmodjo (2003), tingkat pendidikan akan berjalan seiring dengan pengetahuan. Hal ini disebabkan individu dengan pendidikan tinggi akan lebih banyak berpikir untuk mempertimbangkan untung dan rugi dari suatu perilaku yang diterapkan. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka akan semakin tinggi pengetahuannya. Pengetahuan merupakan dasar bagi individu dalam menerapkan perilaku.

Pada penelitian ini, pendidikan individu terbagi menjadi pendidikan dasar (SD, SMP, SMA) dan pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi), sehingga distribusi tingkat pendidikan responden pada dua kelompok penelitian tidak berbeda secara signifikan. Berdasarkan hasil penelitian pendidikan dasar merupakan kelompok dominan pada dua kelompok penelitian. Pendidikan ibu pada penelitian ini diketahui tidak memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja

11

Page 12: Naskah Publikasi AYA

Puskesmas I Wangon Kemungkinan hal ini disebabkan oleh pendidikan responden tidak dikategorikan secara spesifik, sehingga tingkat pengetahuan responden cenderung tidak berbeda secara signifikan.

Penelitian Marhamah (2013) menemukan bahwa pengetahuan ibu yang termasuk kategori cukup terdapat sebanyak 34 (46.6%) yang menderita ISPA sedangkan dari 54 responden yang termasuk kategori kurang terdapat 23 (42.6%) yang menderita ISPA. Hasil analisis uji chi square diperoleh nilai p = 0.790, karena nilai p ≥ 0.05 dengan demikian maka disimpulkan bahwa tidak ada hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada anak Balita di Desa Bontongan. Pada penelitian Marhamah pengetahuan responden tentang ISPA tidak didapatkan dari sumber yang tepat sehingga mempengaruhi pemahaman orang tua tentang ISPA.

Berat badan lahir rendah merupakan kondisi yang memerlukan penanganan serius, karena jika tidak dilakukan tatlaksana dengan baik akan mengakibatkan gangguan perkembangan organ penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh neonates (Dinkes Jateng, 2011). Kejadian BBL secara umum disebabkan oleh kejadian anemia saat hamil, kurang suplai zat gizi, dan lahir kurang bulan. Berdasarkan Sugihartono dan Nurjazuli (2012) menyebutkan bayi dengan riwayat BBL < 2500 gram, memiliki perkembangan daya tahan tubuh yang lebih lambat dibandingkan anak tanpa riwayat BBL < 2500 gram.

Penelitian Sugihartono dan Nurjazuli (2012) menyebutkan salah satu faktor yang menyebabkan kejadian ISPA adalah riwayat BBL < 2500 gram, walaupun tingkat signifikan yang rendah. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan pemberian nutrisi yang lebih optimal pada masa pertumbuhan anak.

Status gizi Balita menggambarkan baik buruknya konsumsi zat gizi Balita. Zat gizi sangat dibutuhkan untuk pembentukan zat-zat kekebalan tubuh seperti antibodi. Semakin baik zat gizi yang dikonsumsi berarti semakin baik status gizinya sehingga semakin baik juga kekebalan tubuhnya. Infeksi saluran pernafasan akut merupakan penyakit yang sebagian besar disebabkan oleh virus. Penyakit yang disebabkan virus sangat dipengaruhi oleh sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang baik menyebabkan tubuh kebal terhadap penyakit ini. Selain itu kesembuhan penyakit juga akan

menjadi lebih cepat dan lebih sempurna (Steinkamp, 2008).

Status gizi Balita yang kurang menggambarkan daya tahan tubuh yang tidak optimal terhadap serangan infeksi. Oleh karena itu status gizi kurang merupakan penyebab utama morbiditas dan morbilitas pada Balita (Dinkes Jateng, 2011). Pada penelitian ini terbukti status gizi Balita merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kejadian ISPA pada Balita.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ernawati (2006), yang menyimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara status gizi Balita dengan frekuensi terjadinya ISPA. Ernawati menyebutkan semakin rendah status gizi Balita semakin sering Balita mengalami ISPA.

Upaya untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian bayi serta anak Balita dilaksanakan program imunisasi baik program rutin maupun program tambahan untuk penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Dinkes Jateng, 2011). Hasil penelitian menunjukkan status imunisasi berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita. Balita dengan imunisasi tidak lengkap lebih beresiko untuk mengalami kejadian ISPA. Adapun anak Balita yang imunisasinya tidak lengkap dikarenakan belum memperoleh imunisasi campak dan HB0. Adapula anak Balita telah memperoleh lima imunisasi dasar namun tidak sesuai umur pemberian vaksin. Sebagian besar imunisasi dasar yang diperoleh Balita tidak tepat waktu adalah imunisasi campak dan polio. Ada beberapa anak Balita yang memperoleh imunisasi campak ketika berumur >9 bulan.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Dalam penurunan angka kejadian ISPA dengan memberikan imunisasi lengkap pada anak. Imunisasi terbagi atas imunisasi dasar yang wajib dan imunisasi yang penting. Sebelum anak berusia di atas dua tahun kelengkapan imunisasi dasar harus dipenuhi. Status munisasi yang diteliti pada anak Balita di Desa Bontongan dengan cara melihat KMS dan melakukan wawancara langsung dengan responden menggunakan kuesioner. Anak Balita dikatakan status imunisasinya lengkap apabila telah mendapat imunisasi secara lengkap menurut umur dan waktu pemberian.

12

Page 13: Naskah Publikasi AYA

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Marhamah (2013), yang menyimpulkan adanya hubungan imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita dengan p value = 0,045.

Yuwono (2008) berpendapat Risiko Balita terkena pneumonia akan meningkat jika tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar kayu. Jenis bahan bakar yang digunakan sebagian besar adalah kayu, karena kemampuan ekonomi keluarga yang rendah. Keluarga kurang mampu membeli bahan bakar dari gas yang harganya relatif tinggi. Keluarga lebih banyak memanfaatkan kayu yang lebih murah harganya. Penggunaan jenis bahan bakar dari kayu akan mengeluarkan asap. Asap ini dapat menjadi media bagi bakteri dan virus jika terhirup penghuni rumah.

Jenis bahan bakar yang digunakan untuk kegiatan memasak sehari-hari saling berkaitan erat dengan kualitas udara di dalam rumah. Asap yang dihasilkan dari hasil pembakaran kayu akan lebih banyak apabila dibandingkan dengan asap hasil pembakaran gas. Banyaknya asap yang dihasilkan dari pembakaran di ruang dapur akan mengganggu sistem pernapasan seseorang terutama Balita yang berada di ruangan dapur tersebut. Dengan demikian seseorang terutama Balita akan menderita sesak napas. Sehingga jenis bahan bakar tertentu sangat berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak Balita.

Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara keberadaan asap dapur dengan kejadian ISPA pada Balita. Hal ini kemungkinan disebabkan distribusi frekuensi sebagian besar keberadaan asap dapur pada dua kelompok responden tersebar secara merata.

Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan perokok merupakan faktor utama yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon. Menghirup udara yang mengandung asap rokok yang dihasilkan bila orang lain merokok dapat disebut perokok pasif. Dalam prakteknya, semua bahan yang dihirup perokok terdapat dalam asap yang dikeluarkan dari ujung rokok yang terbakar atau dihembuskan perokok. Walaupun kadar toksinya lebih rendah karena pengeceran (dilusi) di udara sekitarnya, pengaruhnya terhadap kesehatan sudah diketahui. Kanker paru dikalangan orang-orang sehat yang tidak merokok merupakan akibat yang paling serius

dan telah ditunjukan dalam keluarga-keluarga perokok. Peningkatan infeksi saluran pernafasan dan gejala-gejala dikalangan anak-anak dari perokok, peningkatan gejala alergi, kondisi paru kronis dan sakit dada kesemuanya telah dilaporkan termasuk pula sakit kepala, mual, radang mata dan hidung (Zuraidah, 2002).

Asap rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan, racun utama pada rokok adalah tar, nikotin dan karbonmonoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru, Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paruparu yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen. Efek bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker paru-paru, mulut, tenggorokan, kanker esophagus, kandung kemih dan serangan jantung (Dinkes Jateng, 2011).

Rokok juga meningkatkan kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal ginjal serta tekanan darah tinggi. Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang disekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena anggota keluarga mereka merokok di dalam rumah. Padahal perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kanker paru-paru dan penyakit jantung. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asma (Sugihartono dan Nurjazuli, 2013).

KESIMPULAN1. Sebagian besar Responden kasus berusia 14-

19 tahun, berjumlah 6 ibu. Sedangkan pada kontrol, sebagian besar ibu berusia 20-35 tahun, berjumlah 37 ibu. Sebagian besar Balita pada kasus berusia 1-3 tahun, berjumlah 35 Balita. Pada kontrol, sebagian besar Balita berusia >3-5 tahun berjumlah 29 Balita. Sebagian besar Balita pada kasus dan kontrol berjenis kelamin perempuan, masing-

13

Page 14: Naskah Publikasi AYA

masing berjumlah 28 Balita, dan 31 Balita. Sebagian besar ibu pada kasus dan kontrol berpendidikan dasar, masing-masing berjumlah 44 ibu dan 38 ibu. Sebagian besar status gizi Balita pada kasus dan kontrol berstatus gizi baik masing-masing berjumlah 33 Balita, dan 48 Balita. Berat badan lahir (BBL) Balita pada kasus dan kontrol sebagian besar memiliki berat badan lahir ≥ 2500 gram, masing-masing berjumlah 40 Balita dan 46 Balita. Sebagian besar status imunisasi Balita pada dua kelompok penelitian berstatus imunisasi lengkap, masing-masing berjumlah 45 Balita dan 52 Balita. Sebagian besar pada dua kelompok terdapat asap dapur, masing-masing berjumlah 36 rumah tangga dan 28 rumah tangga. Sebagian besar lingkungan rumah responden pada kasus ada perokok, berjumlah 44 perokok, sedangkan pada kontrol keberadaan perokok di lingkungan rumah merupakan kelompok terkecil dengan jumlah 23 perokok.

2. Tidak terdapat hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon dengan p-value 0,177.

3. Terdapat hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon dengan p-value 0,048 dengan odds Ratio (OR) (95% CI) = 2,8 (0,985-7,956).

4. Terdapat hubungan antara status gizi Balita dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon dengan p-value 0,005 dengan OR (95% CI) = 3,659 (1,445-9,265).

5. Terdapat hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon dengan p-value 0,025 dan OR (95% CI) = 5,2 (1,068-25,329).

6. Tidak terdapat hubungan antara keberadaan asap dapur dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon dengan p-value 0,117.

7. Terdapat hubungan antara keberadaan perokok dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon dengan p-value 0,000 dengan OR (95% CI) = 5,930 (2,477-14,2).

8. Keberadaan perokok merupakan faktor paling berhubungan terhadap kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas I Wangon dan OR (95% CI) = 5,198 (2,130-12,684).

SARAN1. Bagi Puskesmas

Puskesmas I wangon disarankan lebih intensif memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan tentang pentingnya ISPA, gizi, dan imunisasi, sehingga prevalensi angka kejadian ISPA menurun.

2. Bagi MasyarakatOrang tua balita untuk lebih

memperhatikan kebutuhan dasar seperti imunisasi, kebutuhan ASI, dan gizi, sebab dengan memenuhi kebutuhan dasar pada balita, balita akan lebih kebal terhadap suatu penyakit, salah satunya ISPA.Bagi Peneliti Selanjutnya

3. Peneliti selanjutnya Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan focus pada status gizi balita dan keberadaan perokok. Selain itu dapat digunakan desain penelitian lainnya agar kategorisasi penelitian lebih spesifik.

DAFTAR PUSTAKAAdhi, H, P. (2014). Pengaruh pemberian vitamin

A, lama pemberian ASI, status gizi, dan status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada anak Balita di wilayah kerja Puskesmas Patikraja. Skripsi Sarjana Keperawatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

Dharmage. (2009). Risk factor of acute lower respiratory tract infection in children under five years of age. Southeast Asian Journal Trop Medical Public Health, 27(1):107-10.

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. (2011). Profil kesehatan provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas Kesehatan Jawa Tengah.

Dinas Kesehatan Jawa Tengah. (2012). Profil kesehatan provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas Kesehatan Jawa Tengah.

Ernawati dan Farich, A. (2012). Hubungan faktor lingkungan rumah dan faktor anak dengan kejadian ispa pada anak balita di desa Way Huwi Puskesmas Karang Anyar Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan. Publikasi Skripsi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Universitas Malahyati Lampung.

Ernawati. (2006). Hubungan faktor social ekonomi, hygiene, sanitasi lingkungan, tingkat konsumsi dan infeksi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun di Kabupaten Semarang tahun 2003. Publiksi Tesis Magister Gizi Masyarakat, Universitas Diponegoro.

Kemenkes RI. (2010). Profil kesehatan indonesia 2009. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

14

Page 15: Naskah Publikasi AYA

Marhamah, Arsin, A. A., Wahiduddin. (2013). Faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada anak balita di Desa Bontongan Kabupaten Enrekang. Publikasi Skripsi Sarjana Kesehatan Masyarakat, Universitas Hassanudin Makasar.

Mishra, V., Smith, K. R., dan Retherford, R. D. (2005). Effects of cooking smoke and environmental tobacco smoke on acute respiratory infections in young indian children. Population and Environment, 26.(5). 375-396.

Muadz Masri, dkk. (2013). Program Genre dalam penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja. Semarang: Perwakilan BKKBN Jawa Tengah.

Naria, Chahaya, dan Asmawati. (2008). Hubungan kondisi rumah dengan keluhan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tuntungan Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008. Jurnal Ilmu kesehatan Masyarakat USU, 12 (11), 1-7.

Nasution, Kholisah, dkk. (2009). Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Jurnal Sari Pediatri, 11, 4. Diunduh pada tanggal 25 Desember 2014 dari: http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/11-4-1.pdf

Noerdin, M. (2002). Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program keluarga berencana nasional. Artikel Badan Koordinasi Keluarga Berencana.

Notoatmodjo. (2007). Kesehatan masyarakat ilmu dan seni. Jakarta: Rineka Cipta.

Puskesmas I Wangon. (2013). Profil Kesehatan Puskesmas I Wangon tahun 2013. Banyumas: Puskesmas I Wangon.

Setyawan. (2012). Konsep dasar keluarga. Surakarta : Poltekkes Surakarta.

Steinkamp, B. W. (2008). Relationship between nutritional status and lung function in cystic fibrosis: cross sectional and longitundinal analysis from the German CF quality assurance (CFQA) project. Europe Respiratory Journal, 31:29-35

Sugihartono dan Nurjazuli. (2012). Analisis faktor resiko kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11. (1). 82-86.

Widianingtias, R., dkk. 2004. Survei cepat gambaran kondisi fisik rumah kaitanya dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Kebumen 2 Kabupaten Kebumen. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3 (2): 33-37.

Yuwono, T. A. (2008). Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Publikasi Tesis Magister Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponegoro.

Zuraidah Siti. (2002). Risiko kejadian pneumonia pada balita kaitannya dengan tipe rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Lor dan Cebongan Kota Salatiga. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 1, (2).

15