nalar lincah

51
NALAR LINCAH DAN SUPEL Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar Bagus Takwin "Apa yang kita sebut alam… adalah puisi tersembunyi di balik tulisan rahasia yang menakjubkan; jika kita dapat memahami rahasia itu, semestinya kita mengenali di dalamnya pengembaraan batin manusia yang dalam keterpanaan menanggalkan waham dirinya saat mencari diri." - Ernst Cassirer - ALAM yang memuat puisi tersembunyi itu makin sulit dipahami sebab tulisan rahasianya pun makin tak terbaca. Dunia bergerak cepat dan makin tak terpahamkan aturannya. Realitas di dalamnya seolah menghindar dari teori-teori. Selalu ada yang luput dari konstruksi filsafat dan ilmu. Setiap satu hal pelik terjelaskan, muncul masalah baru yang menuntut konstruksi pengetahuan baru untuk memahaminya. Ibarat puzzle dengan kepingan-kepingan tak terhingga, kompleksitas realitas dunia makin berbelit memaparkan belantara acak yang seolah tak berpeta, tak berpola, tanpa kategori. Apakah manusia harus berhenti membaca dan memahami realitas? Apakah itu tanda berakhirnya kemampuan manusia memahami realitas? Menurut saya: tidak. Dunia yang makin kompleks justru tanda bahwa usaha manusia memahami dunia punya efek. Satu persatu tirai semesta tersingkap, makin ke dalam kompleksitas alam makin tampak. Kompleksitas menantang manusia melanjutkan ekspedisi di alam semesta. Pengembaraan batin yang mengingatkan manusia untuk menanggalkan satu lagi waham: telah mengetahui dan menguasai segalanya. Manusia pun diingatkan untuk mencari cara baru menafsir realitas, nalar yang memahami kompleksitas dunia. Dari sejarah kita tahu, ada banyak suara manusia yang begitu percaya diri mampu menjelaskan realitas. Salah satunya dari Wilhelm von Humboldt yang dikutip Husain Heryanto dalam "Imajinasi Tak Berjejak Ancam Padamkan Nalar" (suplemen "Bentara", Kompas, 6-6-2003), "Berkat logos, nalar dan kata kita memanusiakan realitas dan jadilah kita manusia sepenuhnya." Begitu Humboldt meringkas fungsi hidup manusia di alam semesta. Manusia menjadi variabel yang derajat kemanusiaannya ditentukan oleh logos, nalar dan kata. Humboldt, dengan asumsi bahwa bahasa mewakili ‘weltansichten’

Upload: abdulholik

Post on 06-Jun-2015

1.188 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Nalar Lincah

NALAR LINCAH DAN SUPEL

Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar

Bagus Takwin

"Apa yang kita sebut alam… adalah puisi tersembunyi di balik tulisan rahasia yang menakjubkan; jika kita dapat memahami rahasia itu, semestinya kita mengenali di dalamnya pengembaraan batin manusia yang dalam keterpanaan menanggalkan waham dirinya saat mencari diri."  - Ernst Cassirer -

ALAM yang memuat puisi tersembunyi itu makin sulit dipahami sebab tulisan rahasianya pun makin tak terbaca. Dunia bergerak cepat dan makin tak terpahamkan aturannya. Realitas di dalamnya seolah menghindar dari teori-teori. Selalu ada yang luput dari konstruksi filsafat dan ilmu. Setiap satu hal pelik terjelaskan, muncul masalah baru yang menuntut konstruksi pengetahuan baru untuk memahaminya. Ibarat puzzle dengan kepingan-kepingan tak terhingga, kompleksitas realitas dunia makin berbelit memaparkan belantara acak yang seolah tak berpeta, tak berpola, tanpa kategori. Apakah manusia harus berhenti membaca dan memahami realitas? Apakah itu tanda berakhirnya kemampuan manusia memahami realitas? Menurut saya: tidak. Dunia yang makin kompleks justru tanda bahwa usaha manusia memahami dunia punya efek. Satu persatu tirai semesta tersingkap, makin ke dalam kompleksitas alam makin tampak. Kompleksitas menantang manusia melanjutkan ekspedisi di alam semesta. Pengembaraan batin yang mengingatkan manusia untuk menanggalkan satu lagi waham: telah mengetahui dan menguasai segalanya. Manusia pun diingatkan untuk mencari cara baru menafsir realitas, nalar yang memahami kompleksitas dunia.

Dari sejarah kita tahu, ada banyak suara manusia yang begitu percaya diri mampu menjelaskan realitas. Salah satunya dari Wilhelm von Humboldt yang dikutip Husain Heryanto dalam "Imajinasi Tak Berjejak Ancam Padamkan Nalar" (suplemen "Bentara", Kompas, 6-6-2003), "Berkat logos, nalar dan kata kita memanusiakan realitas dan jadilah kita manusia sepenuhnya." Begitu Humboldt meringkas fungsi hidup manusia di alam semesta. Manusia menjadi variabel yang derajat kemanusiaannya ditentukan oleh logos, nalar dan kata. Humboldt, dengan asumsi bahwa bahasa mewakili ‘weltansichten’ (pandangan dunia), menegaskan bahwa hanya dengan bahasa manusia dapat menjalankan aktivitas yang bermakna di dunia. Pengertian bahasa mencakup isi keteraturan dan struktur. Bahasa sebagai asas pengaturan untuk menata chaos (ketiadaan aturan atau the absent of order) menjadi logos (keteraturan atau the present of order). Keteraturan itu harus didukung oleh kepastian sebagai dasar dan patokan yang menduduki tempat tertinggi dalam struktur bahasa. Nalarlah yang menjadi puncaknya. Lalu, kata-kata menjadi elemen-elemen yang membangun struktur bahasa. Maka, hiduplah manusia dengan frame of reference (kerangka rujukan) dalam realitas

Page 2: Nalar Lincah

yang ditertibkan logos, nalar dan kata. Dan dalam pengertian Humboldt, itulah kehidupan manusia yang manusiawi.

Namun, siapa yang menentukan logos, nalar dan kata? Darimana asalnya bahasa? Bagaimana nalar diperoleh? Jawabannya belum jelas hingga kini. Banyak cerita tentang asal-usul nalar, logos dan bahasa. Dalam berbagai cerita mitis, kita temukan bahwa bahasa dan pengetahuan diperoleh manusia langsung dari ’Tuhan’ atau ’guru ilahi’. Pendapat ini bisa dimaklumi dengan memahami premis pertama dari mitos. Dalam mitos, segala sesuatu harus dikembalikan kepada kondisi asali, ke masa lalu yang jauh dan mandiri, terisolasi dari yang kini dan oleh karenanya bersifat murni. Masa kini hanya derivasi dari kondisi asali, tak punya penjelasan sendiri. Berpikir mitis adalah berpikir yang menetapkan adanya kepastian-kepastian tak terbantahkan, suci dan murni. Kebenaran dalam mitos diklaim bersifat genetik, inherent dalam proposisi-proposisi yang dikandungnya. Kebenaran yang selesai dan tuntas. Ternyata, cara berpikir mitis masih ditemukan dalam pemikiran filosofis. Sejarah filsafat menunjukkan dalam ratusan tahun bahwa masalah-masalah sistematik filsafat dibayangi oleh proposisi genetik yang merupakan jawaban dari masalah-masalah genetik. Sekali masalah genetik terjawab menghasilkan proposisi yang dianggap sebagai kepastian tak terbantah maka masalah-masalah sistematik akan terselesaikan satu demi satu di bawah naungan kebenaran proposisi genetik.

Cara Berpikir Mitis dalam Konstruksi Nalar Murni

Kita temukan cara berpikir mitis dalam esei Husain Heriyanto tersebut di atas. Husain menjunjung tinggi nalar yang tak dipengaruhi kepentingan, emosi, kehendak, imajinasi, dan dorongan naluriah. Ia juga curiga bahwa pemikiran filosofis seperti positivisme yang dipelopori Comte, idealisme Hegel, neopositivisme, filsafat eksistensi Nietzsche, fenomenologi Heidegger, dan dekonstruksi Derrida adalah hasil intervensi dominan fakultas mental non-nalar. Begitu pula klaim kemutlakan sains dan agama. Husain tampaknya tergabung dalam clique of pure reason bersama Parmenides, Zeno, Pythagoras, dan Plato. Mereka memuja nalar murni, sebuah konsep hipotetis yang tak bisa ditunjuk wujud atau jejaknya. Nalar itu diperoleh dari intuisi rasional. Sebuah misteri yang konon hanya diketahui oleh orang-orang tertentu. (Untuk selanjutnya nalar menurut Husain Heryanto saya sebut ’nalar murni’).

Manakah hasil nalar yang murni itu? Dapatkah manusia benar-benar menggunakannya tanpa keterlibatan fakultas mental yang lain? Konsep nalar yang murni ini lebih bersifat mistik ketimbang filosofis. Ia bersifat mistik karena cerita asal-usulnya dikembalikan pada sebuah wilayah misterius yang tak terjelaskan, sebuah wilayah yang membutuhkan lompatan keyakinan untuk dapat memahaminya. Bagaimana mencapai nalar itu, tetap jadi misteri. Secara ideologis-psikologis-sosiologis-politis nalar murni ini perlu dipertanyakan sebab ia adalah sebuah belief, kepercayaan yang tak terlacak asal-usulnya. Andai ada orang yang mengklaim sudah sepenuhnya menggunakan nalar murni, bagaimanakah

Page 3: Nalar Lincah

membuktikannya? Apa kita percaya begitu saja? Kita biarkan ia menentukan kebenaran bagi yang belum mencapainya? Orang seperti ini justru menakutkan karena kuasanya akan kebenaran amat besar, mengingatkan kita pada ungkapan "kekuasaan cenderung korup."

Di akhir paparannya, Husain menggunakan Tuhan sebagai penjamin nalar. Puisi penutupnya menegaskan itu: "…Bersama nalar yang berdisiplin dan bertanggung jawab/…Tuhan akan menjulurkan rahasia jubahNya…" Dalam puisinya, cara berpikir mitik kita temukan. Nalar yang bertualang akan sampai kepada asal, pada proposisi-proposisi genetik dengan kebenaran inherent pada dirinya. Suatu akhir ironis dan paradoksal. Ironis karena jatuh-bangunnya nalar berjuang memerdekakan manusia berakhir pada kepastian yang dapat diperoleh lewat keyakinan; mengingatkan kita pada semboyan Abad Pertengahan, faith over reason. Setelah sekian jauh berjalan, akhirnya nalar manusia kembali ke pangkuan iman. Masihkah kita bisa agungkan nalar? Paradoksal, karena nalar yang konon membebaskan dunia, memanusiakan manusia, adalah ’sang pengemis’ yang menanti juluran ’rahasia jubahNya’. Optimisme dari nalar semacam itu adalah hasil kepercayaan akan adanya kuasa ’tangan gaib’ yang membimbing dan menopang, bukan dari kekuatan nalar yang membebaskan. Nalar itu percaya pada kemampuan ’tangan gaib’ menyatukan pluralitas setelah jubah-jubah keragaman tersingkap menampakkan singgasana kebenaran yang hanya satu. Menyerahkan nalar kepada ’tangan gaib’ berarti mengembalikannya kepada kondisi asali, ke masa lalu yang jauh dan mandiri, terisolasi dari yang kini. Pada hemat saya, nalar dalam pengertian Husain Heryanto adalah nalar yang menetapkan kepastian-kepastian tak terbantahkan, suci dan murni seperti kebenaran dalam mitos yang diklaim genetik, inherent dalam proposisi-proposisinya; mengingatkan kita pada rasio Hegel, benar dalam pikiran, sempurna sebagai ide namun tak mewujud dalam kenyataan, tak suka bersinggungan dengan kenyataan.

Husain menulis bahwa nalar murni berkemampuan untuk berdialog karena mengenal kategori subyek dan obyek, aku dan dia, memahami perbedaan realitas dan ilusi, kenyataan dan keinginan. Pernyataan ini tak punya alasan yang koheren. Dialog berarti percakapan antara dua pihak yang sejajar, antara dua subyek. Dari asal katanya dialectic yang mengandung pengertian penggalian berbagai kemungkinan kebenaran berdasarkan proposisi yang belum pasti kebenarannya, dialog juga memungkinkan kedua pihak yang terlibat menyampaikan kebenarannya masing-masing, saling menguji, mencapai kesepakatan atau sepakat untuk tidak sepakat. Dialog tidak terjadi antara subyek dan obyek sebab kedudukan keduanya tidak setara. Subyek bersifat aktif-menentukan sedangkan obyek, pasif-ditentukan. Obyek ada dalam pengamatan dan pantauan subyek. Hubungan subyek dan obyek tak pernah menjadi hubungan dialogis. Hubungan ’aku dan dia’ pun bukan hubungan dialogis. ’Dia’ adalah kata ganti orang ketiga dalam percakapan antara ’aku dan kau’. Sang aku berkata tentang ’dia’ kepada engkau, bukan berdialog dengan ’dia’ sebagai subyek dalam dialog. Begitu pula halnya dalam aktivitas membedakan realitas dan ilusi, kenyataan dan keinginan. Nalar murni

Page 4: Nalar Lincah

yang seperti Matahari menyinari dan bahkan menghidupkan Bumi jadi sebuah ketegasan memahami dunia, menegaskan kebenaran yang sudah jadi, bukan kebenaran hasil dialog.

Pernyataan bahwa nalar murni tidak akan pernah merengkuh absolutisme dengan alasan cara kerja nalar pada hakikatnya adalah pengambilan jarak dari realitas, tidak logis sebab pernyataan itu mencampuradukkan esensi dengan properti. Kemampuan nalar memahami, mencermati, dan menentukan kebenaran-yang pada ujungnya bisa saja jadi kebenaran yang diklaim mutlak-adalah esensi nalar. Absolutisme kebenaran adalah persoalan esensi nalar. Sementara itu, kemampuan mengambil jarak adalah properti dari nalar sebagai konsekuensi logis dari kemampuan nalar memahami dan mengatur realitas. Mengambil jarak dapat saja dilakukan baik oleh mereka yang berkuasa absolut maupun oleh mereka yang tidak berkekuasaan sama sekali. Seorang tiran dapat saja berperilaku mengambil jarak tanpa mengurangi sama sekali tiraninya. ’Kemampuan mengambil jarak’ tidak berhubungan kontradiktif dengan ’absolutisme’. Dua hal itu dapat berjalan bersama, hubungan keduanya bisa juxtapose (selaras).

Lebih jauh lagi, dilihat dari esensi nalar, pernyataan itu mengandung paradoks dan di dalamnya terkandung term-term yang bertentangan. Meski cara kerjanya adalah pengambilan jarak dari kenyataan, nalar murni itu dianggap fakultas mental penentu benar-salah dan baik-buruk. Pada akhirnya, nalar murni itu yang dijunjung sebagai penentu kebenaran. Dalam pandangan Husain Heryanto, seolah nalar murni ibarat orang yang sangat piawai berdialog, negosiasi, dan kompromi. Namun, bagaimana sesuatu yang dianggap berkedudukan dan berwenang kebenaran paling tinggi dapat tunduk atau mengikuti kemauan pihak-pihak yang di bawahnya? Kemampuan nalar murni menyadari kelemahan dan keterbatasan-keterbatasannya tak otomatis menjadikan nalar murni bebas dari klaim paling mampu memahami realitas. Oleh karena nalar murni dianggap sebagai fakultas mental manusia terunggul, pada akhirnya penentuan kebenaran diserahkan padanya. Dalam tataran praktis, konsep nalar murni tak dapat dipakai menyelesaikan persoalan pluralitas. Dunia yang terus-menerus menampilkan seabreg ide dan bentuk yang berbeda satu sama lain adalah sebuah kompleksitas yang berbelit menuntut pemahaman akan keragaman. Beragam pemikiran muncul, dilengkapi dengan alasan masing-masing, berdebat satu dengan lainnya, tak putus-putus, tak habis-habis; pengusung konsensus vs disensus, monisme vs pluralisme, rasionalisme vs empirisme, idealisme vs materialisme, realisme vs antirealisme, subyektivisme vs obyektivisme, hermeneutik vs dekonstruksi, teori sistem vs strukturalisme, konstruktivisme vs pragmatisme, dan sebagainya. Bagaimana sejauh ini nalar murni mengatasi rangkaian perdebatan itu? Setelah ribuan tahun diklaim sebagai fakultas mental terunggul, nalar murni belum menunjukkan kemujarabannya. Masalah-masalah dunia tak juga selesai oleh konsep nalar murni karena memang identitasnya tak pernah jelas di wilayah praktis. Seperti mitos, nalar murni adalah konstruksi manusia yang

Page 5: Nalar Lincah

mungkin punya pengaruh psikologis namun jauh dari realitas, sebuah kemurnian sakral yang sejak sediakala tak ingin dibantah.

Berangkat dari Kenyataan Plural, Menghindari Reduksi Nalar

Keberatan terhadap nalar murni terletak pada sifat mitis dan kecenderungannya menyingkirkan keberagaman cara pikir dan mengklaim diri sendiri sebagai ’murni’. ’Waham kemurnian’ yang menjauhkannya dari realitas tidak dapat menyelesaikan persoalan pluralitas. Justru, masalah muncul dari waham ini. Saat ada banyak pihak dengan pemikiran berbeda mengklaim telah menggunakan nalar murni, siapa yang harus dimenangkan? Siapa juri yang menentukan ’nalar murni’ yang paling sahih? Dalam pengertian yang berbeda dengan nalar murni, tak pelak lagi nalar dibutuhkan. Nalar adalah fakultas mental yang memungkinkan manusia hidup dalam pluralitas, yang sudah menggerakkan manusia mencapai bentangan peradaban di hadapan kita kini. Untuk mengkonstruksinya, kita perlu berangkat dari realitas sehari-hari.

Membaca berbagai persepsi atas fakta, dapat dipahami bahwa dunia yang kita hidupi mengandung pluralitas. Dalam keseharian, kita dihadapkan dengan pluralitas opsi yang diturunkan dari beragam budaya, pandangan dunia dan rentetan sugesti indrawi yang gencar menggempur. Pada kenyataannya pluralitas itu tak bisa dihindari dan secara psikologis kita tak mungkin luput dari pengaruhnya-positif atau negatif. Kita tetap berkomunikasi dengan orang yang beragam betapapun minimalnya keterlibatan kita dengan mereka. Kita pun tak dapat memilih satu saja budaya, pandangan dunia atau sugesti indrawi sebagai stimulus yang hendak ditanggapi sebab dari waktu ke waktu secara internal kita makin terpengaruh dan diberi watak oleh pluralitas yang mengepung. Dalam kesehariannya, manusia selalu bergerak dari satu kondisi ke kondisi lain yang berbeda masing-masing. Peradaban manusia menunjukkan bahwa dari masa ke masa manusia makin mengarah ke cultural hybrids (budaya hibrida), hidup dalam keragaman sebagai hasil percampuran budaya. Masyarakat manakah yang masih murni sejak awal terbentuknya?

Dari psikologi kita dapatkan data tentang pluralitas pikiran yang menghasilkan pernik-pernik beragam bagi dunia. Kajian-kajian terhadap perkembangan kognitif bayi menunjukkan bahwa sejak masa infansi manusia mengembangkan cara berpikir sendiri untuk memahami realitas. T.G.R. Bower (1989) dalam The Rational Infant; Learning in Infancy menjelaskan bahwa anak yang dalam perkembangannya diberi kesempatan mempertahankan cara berpikirnya yang unik menunjukkan kemampuan memahami realitas dan menyelesaikan masalah dengan baik. Logika yang dikembangkan anak itu sering bertentangan dengan oposisi biner atau prinsip identitas, hukum kontradiksi dan excluded middle, mengandung paradoks, sebagian metaforikal dan tak jarang melompat-lompat. Namun, kemampuan pemecahan masalahnya setara bahkan beberapa lebih baik dari orang-orang yang menguasai logika formal. Logika yang digunakan adalah relevan logic, logika yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Dari sini dapat ditarik satu pemahaman tentang

Page 6: Nalar Lincah

pikiran manusia: ada lebih dari satu cara berpikir yang dapat digunakan manusia untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya.

Pemahaman terhadap keragaman realitas dan cara berpikir menunjukkan watak nalar manusia. Nalar yang sejauh ini membantu manusia hidup dalam pluralitas mestilah punya atribut mampu melintas batas, bergerak dari satu garis ke garis lain, dari satu jalur ke jalur lain, dari satu kutub ke kutub lain. Keutamaan dari sifat nalar adalah kelenturannya, fleksibilitas untuk bergerak dari satu hal ke hal lain, selain tentu saja memiliki kemampuan memahami, menambah pengetahuan-pengetahuan baru sembari terus menjelajahi kemungkinan baru. Secara metaforikal, untuk menegaskan sifat kelenturannya saya menggunakan istilah ’nalar lincah dan supel’ untuk nalar yang berbeda dari nalar murni. Dalam hemat saya, yang dinamakan nalar mestilah mampu menari-nari sambil membawa manusia maju terus. Geraknya memberi dinamika pada hidup, memberi optimisme, peduli pada dunia dan isinya, menyentuh bumi, mencermati langit. Dengan nalar, manusia adalah makhluk paling antusias mengarungi hidup, paling mampu memahami pluralitas, mengurai kompleksitas dan peduli pada dunia. Nalar lincah dan supel mencakup fungsi kapasitas reflektif manusia memayungi beragam jenis konstruksi rasionalitas dewasa ini. Ia adalah fakultas mental yang secara setara bersikap netral terhadap beragam jenis rasionalitas dan memungkinkan kita menjelaskan keragaman rasionalitas. Nalar bukan hanya kapasitas untuk memahami berdasarkan kategori atau prinsip identitas. Kemampuannya bukan hanya memilih dan memutuskan, tetapi juga menengahi, mengkoordinasi, berimajinasi, bekerja sama dengan emosi dan kehendak. Ia membawa manusia pada pengetahuan yang lebih baik dari sebelumnya dan kepada kemungkinan-kemungkinan pengetahuan yang lebih baik di masa datang. Nalar mencakup keseluruhan kemampuan mental menghasilkan puisi, filsafat, sains, dan teknologi. Nalar membawa peradaban manusia menjadi lebih baik dengan semua pengetahuan itu. Oleh karenanya, penempatan satu pengetahuan di atas pengetahuan lain dengan nalarnya masing-masing merupakan reduksi terhadap nalar.

Satu bentuk reduksi nalar tampil dalam esei Donny Gahral Adian, Tanah Tak Berjejak Para Penyair (Suplemen "Bentara", Kompas, 2 Mei 2003). Jika Husain Heryanto menyuntikkan waham kemurnian pada konsep nalar, Donny mereduksi nalar sebatas nalar puitis dalam argumentasi yang kental oleh pikiran Heidegger. Donny memandang pesimistis usaha manusia memahami realitas. Membayangkan keterasingan manusia terkatung-katung di antara ribuan pulau, ia mengikuti para penyair yang dalam usaha membebaskan diri, mati iseng sendiri, menyerah pada pluralitas. Hidup seolah hanya berisi kabar muram dan keasingan di belantara ’dunia tanpa tanda’; mengingatkan pada orang depresi atau neurosis yang menjauhi dunia, tak bersinggungan dengan manusia lain. Dalam gambaran Donny seolah puisi hanya berasal dari dan berakhir pada keterasingan. Padahal, puisi juga bisa berasal dari cinta, kegembiraan menghirup hidup. Saya setuju bahwa bahasa puisi bukan representasi dari gagasan tentang kebenaran atau kebaikan. Puisi adalah sebuah kisah yang terlepas dari realitas konkret, sebuah ’dunia sendiri’ yang tak terkait

Page 7: Nalar Lincah

dengan ’bumi’ dalam istilah Heidegger. Puisi menari di wilayah imajiner, digerakkan oleh imajinasi hasil dari kelincahan nalar bekerja sama dengan kehendak bebas mencari ruang-ruang baru yang kelak menjelma realitas. Kajian psikologi menunjukkan bahwa kekayaan imajinasi dipengaruhi oleh kekayaan pengetahuan. Prerequisite knowledge (pengetahuan awal) harus dimiliki seseorang agar dapat berimajinasi. Semakin kaya pengetahuan awal, semakin kaya pula imajinasi. Dari mana asal pengetahuan itu? Dari penalaran kategorikal yang menghasilkan kesimpulan, bukan lamunan mengambang. Kesimpulan itu diolah dengan nalar puitis agar lentur dan membuka kemungkinan penafsiran baru, untuk kemudian dinalar secara kategorikal agar menghasilkan putusan baru. Jadi, penalaran puitis dan penalaran kategorikal adalah bagian dari perwujudan nalar dalam mengarungi kehidupan.

Dengan menempatkan ’nalar yang memuisi’ dari para penyair, Donny mereduksi nalar dari keseluruhannya. ’Nalar lain’ ditempatkan di bawah nalar yang memuisi, ilmuwan. teknokrat dan filsuf ditempatkan di bawah penyair; lalu ’nalar yang memuisi’ dinobatkan jadi juru selamat yang menerangi dunia. Sang juru selamat membongkar rimba mesin, menghancurkan peradaban yang menggelapkan dunia, sampai pada tanah lapang tak berjejak, semesta yang mandi cahaya keasingan, banjir pesona kemungkinan. Lalu, akan diapakan kemungkinan itu? Jawabannya: untuk dijajaki lagi, dibangun lagi, dikembangkan lagi, dijadikan realitas lagi. Dengan apa? Dengan fungsi mental manusia untuk memutuskan, menentukan dan membedakan yang satu dari yang lain. Seperti juga penalaran puitis, fungsi mental menentukan dan membedakan itu ada pada nalar. Keduanya, bersama dengan fungsi mental yang lain, memadu pada nalar. Bukan hanya ’nalar yang memuisi’, bukan hanya nalar yang menegaskan kategori, tetapi nalar sebagai keseluruhan. Begitulah nalar mengalirkan hidup dan menggerakkan peradaban manusia; tak putus-putus sebab nalar adalah kelincahan gerak mental dan refleksi manusia yang tak beku-beku mengaliri kompleksitas dialektika beragam kemungkinan. Gerak yang tak lelah-lelah mencari pulau baru bagi kehidupan manusia yang serba mungkin, terus mengembara, berlayar, berlabuh dan berlayar lagi; terus menggali puisi tersembunyi di balik tulisan rahasia yang menakjubkan.

Bagus Takwin, psikolog, magister filsafat, dan pengajar filsafat di Fakultas Psikologi UI

PEMBELAAN ATAS PUISI

Bambang Agung

PADA tahun 1840, delapan belas tahun setelah penyair Inggris Percy Bysse Shelley tewas tenggelam di Teluk Spezia, Italia, esainya, The Defence of Poetry, diterbitkan. Sebuah esai berisi pernyataan klasik tentang fungsi puisi untuk menjawab Thomas Love Peacock yang

Page 8: Nalar Lincah

menuduh puisi tak berguna lagi di tengah kemajuan sains. Shelley menarik garis batas nalar dan imajinasi. Ia berkata bahwa puisi bersumber dari imajinasi, fakultas kreatif manusia yang berada di atas nalar-fakultas analitis benda-benda semata. Puisi terutama memberi kesenangan, juga keteraturan pada dunia. Penyair berlaku sebagai legislator, penemu seni kehidupan sekaligus bersifat kenabian karena puisi yang baik mampu mengatasi ruang dan waktu. Ketika pengetahuan empiris dari pendekatan matematis-mekanis ilmu alam diutamakan, buat Shelley kehadiran puisi lebih mendesak. Tanpa nilai-nilai yang terwujud dalam puisi, pengetahuan semacam itu akan melahirkan eksploitasi terhadap sesama manusia maupun terhadap alam. Sensibilitas berlebih para penyair mengubah segala hal menjadi keindahan, meluruhkan cara berpikir fungsional. Shelley adalah salah satu figur kunci kaum Romantik Inggris yang berada di garis depan pengkritik semangat Pencerahan (Aufklärung). Meski manifestasi dan pendukung gerakan Romantik sangat beragam, sekurangnya ada dua ciri mencolok: kesadaran dishamorni alam dan manusia akibat pengunggulan penggunaan nalar dan pilihan alternatifnya, yakni seni.

Pembuka jalan nalar modern, tentu saja, Descartes. Ia memutus kaitan antara pikiran dan alam/tubuh, dan menaruh pikiran sebagai satu-satunya instansi yang terandalkan. Alam menjadi obyek yang siap untuk dieksplorasi dan dieksploitasi. "Pengetahuan adalah kekuasaan," kata Francis Bacon. Setelah mengambil model ilmu alam dan matematika secara berdisiplin dan sistematis, nalar manusia menyibak rahasia alam. Sayangnya, jalan sains adalah jalan "membunuh untuk membedah" (William Wordsworth) sehingga menyebabkan, dalam istilah environmentalis feminis Carolyn Merchant, kematian alam. Alam dalam diri manusia mengalami nasib yang tak kalah buruk. Tubuh, emosi, kehendak, imajinasi atau nafsu kalau tidak sama sekali diabaikan, hadir di bawah pengawasan dan kendali nalar. Akibatnya manusia kehilangan keserasian dan kesatuan organisnya dengan alam, dengan sesama manusia, dan dengan dirinya sendiri. Inilah awal alienasi dan kontradiksi manusia modern: makin besar peran yang dia berikan pada nalar, makin canggih peradaban yang dia bangun, makin jauh dia terbuang dari firdaus psikologisnya.

Di Jerman pada akhir abad ke-18, kaum Romantik mulai merumuskan krisis modernitas ini dan mengajukan seni sebagai jalan keluar, bukan filsafat, sains, atau agama. Seni adalah pintu keluar perpecahan kreatif dan intelektual manusia modern. Model seni tertinggi dalam pandangan mereka adalah puisi yang lantas diterima sebagai sumber utama kebenaran mulia. Schiller, Schlegel, termasuk tiga sekawan Schelling, penyair Hölderlin dan Hegel, adalah beberapa orang yang mengambil laku estetis ini. Kelak Hegel mengambil jalannya sendiri, berpisah dengan teman-teman kuliahnya di Tübingen dan mendudukkan filsafat, sebagai kegiatan analitis dan konseptual, di atas seni, agama, cinta, dan segala hasil dari intuisi dan pengalaman langsung. Schelling menggeser filsafat dan menomorsatukan seni. Menurut dia, alam dan karya seni sama-sama bersumber pada kegiatan kreatif yang pada hakikatnya estetis. Bedanya,

Page 9: Nalar Lincah

pada alam kegiatan kreatif bersifat tidak sadar, sementara pada seni sadar. Schelling malah tegas berkata: pada saat puncak kesempurnaannya, "filsafat dan ilmu pengetahuan, seperti begitu banyak sungai, akan mengalir pulang ke dalam lautan puisi."

Martin Heidegger juga demikian. Meski filsafatnya lebih muram dan ambisinya lebih besar untuk membongkar seluruh tradisi filsafat. Hal ini teraba jelas pada pandangannya tentang teknologi. Bila sains memperlakukan alam sebagai obyek, teknologi lebih lanjut memperlakukan alam sebagai sumber daya semata, pemuas kebutuhan manusia. Lebih parah lagi, dunia serba mesin mengubah manusia menjadi persediaan bagi manusia lain. Hubungan manusia dengan alam dan hubungan sesama manusia menjadi perkara teknis, digerakkan semangat manipulatif. Teknologi menandai puncak krisis spiritual manusia modern: keterasingan. Heidegger menuding cara berpikir kalkulatif yang mewarnai sekujur pemikiran filsafat sejak Plato sebagai sumber permasalahan. Cirinya adalah pemisahan subyek dan obyek, intelek dan realitas, pikiran dan tubuh. Dengan begitu, kebenaran yang diidamkan filsafat adalah kesatuan antara subyek dan obyek, korespondensi antara nalar dan kenyataan. Heidegger menolak kebenaran demikian dan menawarkan kebenaran (aletheia) dalam artian ketersingkapan sang Ada yang bisa didengar manusia (Dasein) sebagai gembala Ada. Dan kebenaran semacam itu hanya terlantun dalam puisi, bahasa primordial para penyair sebelum nalar Platonis jadi dogma.

Gagasan ini ditawarkan Donny Gahral Adian (Tanah Tak Berjejak Para Penyair, lembar "Bentara", Kompas, Jumat, 2 Mei 2003). Pada ruang sama edisi berikutnya, Husain Heriyanto menanggapi dengan Imajinasi Tak Berjejak Ancam Padam(a)kan Nalar, kemudian dilanjutkan Bagus Takwin berjudul Nalar Lincah dan Supel: Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar, edisi 4 Juli 2003 dan Adi Armin, Membangun Nalar yang Tak Retak, pada 5 September 2003. Tulisan ini merupakan tanggapan selanjutnya, tetapi dari perspektif berbeda, yakni perspektif sejarah. Kata sejarah di sini digarisbawahi karena asumsinya, semua hasil pikiran manusia terjadi dan terpengaruhi oleh segala aspek yang bersifat historis. Tilikan sadar-sejarah membantu menepis sikap pemutlakan dari "jalan puisi" Donny dan "jalan nalar" Husain, Adi, dan Bagus.

Kesadaran yang tidak bahagia

Meski berbeda militansinya, posisi Husain dan Adi maupun Bagus adalah narasi dari sudut pandang nalar. Ketiganya adalah argumentasi berbasis nalar, pembelaan atas pemikiran Barat dalam bentuk filsafat, teologi, dan sains. Sepanjang sejarahnya, sejak zaman pencerahan sampai kini, nalar diagungkan sebagai satu-satunya instrumen sah untuk menilai segala aspek kehidupan manusia. Berbagai gelombang kritik muncul terhadap nalar.

Gelombang pertama menghantam sifat eksklusif nalar yang abstrak, selektif, dan memilah-milah, meniscayakan penyingkiran yang lain seperti

Page 10: Nalar Lincah

tubuh, alam, rasa, dan naluri. Tragisnya, perempuan, karena tugas reproduksinya, dianggap belum lepas dari siklus alam sehingga disingkirkan dari wilayah diskursif. Sejarah nalar adalah sejarah penegasian segi non-nalar, termasuk perempuan. Perempuan tidak boleh belajar filsafat, diingkari hak politiknya, dan diremehkan kemampuannya di bidang sains. Perempuan baru diterima sebagai anggota perkumpulan ilmiah Royal Society di London (didirikan tahun 1660-an) pada tahun 1945 dan Academie des Sciences di Paris (didirikan tahun 1666) pada tahun 1979. Gelombang kritik lain mengarah pada sifat dominatif nalar, baik terhadap benda-benda maupun terhadap manusia lain. Nalar digunakan untuk pengetahuan teoretis, lalu berubah untuk pengetahuan praktis dan, akhirnya, penguasaan. Kaum Romantik dan Heidegger termasuk dalam gelombang ini. Seperti juga mazhab Frankfurt dengan kritik mereka atas rasio instrumental. Gelombang kritik lain muncul menggugat klaim universalitas nalar yang menundukkan segala macam pengetahuan dan keyakinan pada ukuran tunggal: nalar. Para pengkritik, sebaliknya, berusaha merayakan perbedaan di atas kesamaan, yang lokal di atas yang "universal", yang subyektif di atas yang "obyektif". Bersenjata pertanyaan semacam "Kebenaran siapa?, Rasionalitas siapa?, Pengetahuan siapa?, Moralitas siapa?," mereka melucuti klaim ideologis nalar dalam terapan di filsafat, sains, ataupun politik. Terpaan paling keras muncul di paruh pertama abad ke-20 berupa refleksi terhadap bahasa. Mungkin ada kencan buta kosmis yang lolos dari amatan para ahli sejarah intelektual hingga Ferdinand de Saussure di Perancis, Friedrich Nietzsche di Jerman, dan Ludwig Wittgenstein di Inggris melansir pandangan yang meruntuhkan dasar anggapan tentang bahasa yang dianut sejauh ini. Mereka bersepakat bahwa bahasa adalah problem, bukannya solusi epistemologi. Bahasa bukanlah sarana netral untuk menampilkan kembali realitas, tetapi batas akhir kesanggupan manusia untuk mengerti realitas.

Dampaknya luar biasa. Segala pengetahuan yang mematok pengertian kebenaran sebagai kesesuaian antara pikiran dan kenyataan dengan mengandalkan bahasa sebagai mediasi kehilangan dasar pijakan. Bahasa bukan jalan tol bagi nalar untuk sampai ke makna realitas, tetapi jalan berbelit-berliku yang di mana, kapan berakhir, dan apa yang ada di ujungnya, tak seorang tahu. Narasi filosofis penuh berisi upaya berbagai pemikir untuk menjawab gelombang-gelombang kritik ini. Ada yang berhasil di satu segi, tapi gagal di segi lain, ada yang rapi merumuskan jawaban di satu lini dan kedodoran di lini lainnya. The Ideology of the Aesthetic-nya Terry Eagleton (1990) menuturkan rangkaian kisah pergulatan ini. Menurut dia, estetika muncul di pertengahan abad ke-18 sebagai upaya refleksi konseptual-filosofis terhadap hal-hal yang berbau persepsi, indrawi, badaniah. Para pemikir, sejak Kant, memanfaatkan nalar untuk menjelajahi terra incognita ini untuk memberi ruang dan pijakan bumi bagi absolutisme politik liberalisme yang mulai marak. Pendeknya, bukan tanpa pamrih nalar menggauli ranah rasa dan imajinasi karena estetika dari sono-nya memang bermuatan ideologi.

Lalu, apa yang masih tersisa di filsafat dan apa yang layak dikerjakan para filsuf zaman sekarang?

Page 11: Nalar Lincah

Saran Richard Rorty adalah kubur saja impian lama filsafat sejak Plato, Descartes, sampai Kant, karena filsafat berbasis epistemologi terbukti gagal dan sudah tamat riwayatnya. Para filsuf sebaiknya beralih profesi menjadi kritikus sastra. Dengan dekonstruksi, Derrida mengajak bermain-main dengan setiap teks tanpa ambisi untuk mencari kebenaran asali atau pendasaran universal. Sementara Habermas mungkin pemikir kontemporer yang paling tekun dan setia untuk meneruskan "proyek modernitas" dengan merintis teori aksi komunikatifnya. Suatu jalan keluar yang bukan tanpa masalah. Alhasil, iman teguh pada keunggulan nalar ala era pencerahan sudah terempas. Secara bertahap pemakaian maupun wilayah jangkauan filsafat semakin sempit sebab diambil-alih bidang-bidang lain maupun karena terbitnya kerendahan hati di lingkungan filsafat sendiri agar, seturut saran Wittgenstein, membiarkan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan menyelinap dalam keheningan. Dengan tinjauan sejarah demikian, baik posisi Husain dan Adi menjadi mengherankan karena mereka alpa mempertimbangkan kritik-kritik di atas. Malah dengan gagah berani, keduanya mengajukan konsep nalar yang tak bertubuh, tak bersejarah (Bagus Takwin menyebutnya "nalar murni", Adi "nalar asli" dengan model cogito Cartesian). Dengan demikian, mereka "mundur" ke zaman saat nalar masih dipercaya sebagai instansi yang unggul untuk menyelesaikan segala soal. Dan bolong terbesar dari posisi ini adalah memperlakukan nalar sebagai sesuatu yang bebas nilai. Berkecimpung di bidang ilmu yang terkenal paling bangga dengan semangat kritisnya, baik Husain maupun Adi melalaikan inti dari semangat disiplin ilmunya, yakni semangat kritik-diri.

Pernyataan Husain bahwa kelebihan nalar terletak pada kemampuan membedakan subyek dan obyek jelas kesalahpahaman fatal. Pembedaan subyek-obyek adalah salah satu problem besar, bukan kelebihan, filsafat, khususnya epistemologi. Sejarah filsafat dipenuhi upaya para pemikir besar untuk menjembatani nalar dan kenyataan, menyatukan subyek dan obyek. Klaim "revolusi kopernikan" Kant yang menggabungkan rasionalisme dan empirisme, pendapat Hegel bahwa "yang benar adalah yang menyeluruh", untuk memberi sedikit contoh, adalah kerja keras para pemikir besar yang berambisi membereskan "cacat bawaan" pemikiran diskursif. Pendapat Bochenski bahwa di luar nalar hanya ada kegilaan, fantasi, dan omong kosong malah menambah citra ironis sekaligus kesan bahwa Husain memang tidak menangkap duduk perkara sebenarnya. Justru dalam sejarah hubungan nalar dan kegilaan, kesewenangan nalar berbau keras. Konsep kegilaan, demikian Foucault, berubah sepanjang zaman. Pada abad ertengahan, orang gila dianggap kerasukan roh jahat. Di zaman Renaissance, kegilaan dilihat berbeda dari, namun seimbang dengan, nalar. Baru sejak zaman nalar, lebih dikenal sebagai zaman Pencerahan, orang gila disingkirkan dari tatapan masyarakat dan dikurung dalam "rumah sakit". Kegilaan kehilangan suara. Kegilaan terus dibicarakan tanpa mampu bicara sendiri. Setelah Revolusi Perancis, kegilaan mendapat predikat baru: penyakit jiwa. Orang gila dipaksa menjalani "koreksi" sesuai standar perilaku masyarakat. Kegilaan menjadi bagian proyek moral masyarakat borjuis yang mulai pasang.

Page 12: Nalar Lincah

Jadi, kegilaan adalah cermin atau fungsi dari rasionalitas masyarakat yang terus berubah. Pengertian kegilaan dan perlakuan terhadapnya pun diselaraskan dengan pesanan "rasionalitas" masyarakat yang sedang berlaku: kadang religius, politis, atau ekonomis-instrumental. Kegilaan adalah cermin tragis nasib manusia yang mati-matian diingkari, disingkirkan dari kesadaran manusia modern. Perintis psikologi eksistensial Rollo May (Psychology and the Human Dilemma, 1967) mencatat hal yang sama: keterasingan, keterpecahan kejiwaan manusia modern. Pandangan umum di abad ke-19 bahwa manusia terdiri dari "fakultas-fakultas" yang berbeda dan terpisah, yakni nalar, emosi, dan kehendak, merupakan contoh gamblangnya. Dualisme Cartesian abad ke-17 kini berganti bentuk pemisahan ketat nalar dan emosi, sedangkan kehendak berlaku sebagai pengambil keputusan. Mudah ditebak, ujungnya adalah pengingkaran emosi. Kendali rasio atas emosi berubah menjadi kebiasaan merepresi emosi.

Oleh karena inilah Sigmund Freud menjadi figur penting bagi Foucault dan May. Freud, tulis Foucault, mengembalikan bahasa ketidaknalaran hingga mereka bisa bicara untuk dirinya sendiri. Berkat Freud, demikian May, dalam upaya memahami perilaku manusia dimensi irasional, tidak sadar, dan dinamis yang direpresi kembali serius dipertimbangkan dan diperlakukan dengan hormat dan disejajarkan dengan dimensi rasional. Mengutamakan sisi rasional sambil menafikan sisi lain hanya menimbulkan kesadaran yang tidak bahagia.

Bagus Takwin mengajukan alternatif, yakni nalar yang lincah dan supel. Nalar ini berwatak fleksibel, lentur dan menerima kemajemukan sehingga lebih siap berdialog. Kendati rumusannya lebih lunak, posisi Bagus belum beranjak dari perspektif Husain maupun Adi. Perbedaannya hanya pada tingkat atau kadar, tetapi bukan pada esensi. Jadi, bila Husain mengunggulkan nalar sambil mencemooh segi lainnya, Bagus mempertahankan nalar dengan memperlonggar definisi sehingga lebih banyak hal tertampung di dalamnya. Jadi, pertanyaan yang diajukan Bagus kepada Husain sah juga disodorkan balik kepada Bagus. Konsep pluralitas nalarnya mengandaikan keserasian, tidak adanya konflik di antara macam-macam nalar. Namun, bagaimana bila muncul konflik? Nalar yang mana atau nalar siapa yang ditunjuk sebagai pemegang kuasa memutuskan kata akhir? Selain itu, pengutamaan nalar untuk dialog merupakan sisa ambisi lama filsafat untuk mencari pendasaran universal. Dari pengalaman sehari-hari kita tahu bahwa nalar bukan sarana satu-satunya, mungkin bukan yang utama pula. Bahasa tubuh, musik atau malah masakan, untuk mengambil beberapa contoh, sering menjadi sarana dialog yang lebih efektif ketimbang wacana "rasional".

Estetik minus etik

Marx dan Heidegger sama-sama berpendapat bahwa manusia modern mengalami krisis luar biasa, alienasi. Sumbernya berasal dari kapitalisme (Marx) atau cara berpikir kalkulatif manusia yang mengambil wujud sempurnanya dalam teknologi (Heidegger). Namun, mereka juga berbeda:

Page 13: Nalar Lincah

Marx tidak merumuskan secara sistematis pandangannya tentang estetik, yang menempati kedudukan penting dalam pemikiran Heidegger, sedangkan etika tidak muncul dalam karya Heidegger meski menyita hampir seluruh perhatian Marx. Implikasi perbedaan ini terpantul jelas dalam jalan keluar yang mereka pilih.

Tiadanya pembahasan etika memang fenomena yang mencolok mata dan melahirkan bermacam tafsir, termasuk keterlibatan Heidegger dengan penguasa Nazi Jerman. Pokok ini pula yang diajukan Husain mengkritik pemikiran Heidegger. Fakta historis kaitan Heidegger dengan Nazi pasti mudah ditunjukkan, termasuk sikap bungkam yang dia pertahankan di seluruh sisa hidupnya tentang soal ini. Meski demikian, menafikan pemikiran yang sangat kaya dengan mengacu kehidupan pribadi, bukan tanpa risiko. Jika integritas pribadi dijadikan alasan penolakan suatu pemikiran filosofis, susah diperkirakan berapa banyak pemikiran filosofis yang harus dicampakkan ke kotak sampah.

Ketimbang mencari titik-lemah pemikiran seseorang pada kehidupan pribadinya, selain counter-productive sekaligus berbau argumentum ad hominem, lebih baik kita langsung ke isi pemikiran Heidegger yang dijadikan tiang utama posisi Donny. Kebenaran sebagai ketersingkapan (aletheia) sang Ada, kata Heidegger, adalah kebenaran primordial sebelum digantikan kebenaran versi para filsuf setelah Plato. Kebenaran macam ini menggema dari tanah tak berjejak dan hanya bisa didengar para penyair.

Akan tetapi, sebenarnya bagaimana cerita tentang "kebenaran para penyair" atau "tanah tak berjejak ini" dalam kaitan "hilangnya" etika dalam pemikiran Heidegger? Pertama-tama soal kebenaran para penyair. Sebelum dipakai para filsuf, istilah aletheia dipakai penyair besar Homerus dalam syair-syair epiknya, Iliad dan Odyssey. Aletheia berarti pernyataan yang utuh dan bulat yang diutarakan seseorang kepada orang lain. Dengan demikian, aletheia menyangkut perkara kepercayaan hubungan antarpribadi, jadi berada dalam wilayah etika. Dengan mengerti aletheia sebagai ketersingkapan sang Ada (Being of beings), Heidegger memindahkan kata ini ke wilayah metafisika dan mengikuti jejak para filsuf seperti Parminides, Plato, dan seterusnya yang justru mau dikritiknya. Lalu, berdasarkah penafsiran "tanah tak berjejak"? Sayangnya, tidak. Karena seperti dicatat Walter Benjamin, "rumah" Hölderlin terletak di zaman Yunani klasik pra-Sokrates, lengkap dengan mitos dewa-dewinya. Seperti penyair pujaannya itu dan umumnya pemikir Romantik, Heidegger memendam nostalgia pada zaman yang sama, zaman dengan harmoni kosmos yang belum retak. Tanah impian ini masih dipenuhi jejak para dewa-dewi. Cuma soalnya, asyik dengan ideal masa lalu, cara berpikir nostalgis selalu memiliki ciri khas: cenderung kurang peka pada kenyataan di sini dan kini .

Jalan estetis, menurut Richard Rorty, adalah model individual yang bagus, tetapi model sosial yang buruk. Inilah tumit Achilles kaum Romantik maupun para pemikir modern yang mengambil jalan estetis semisal

Page 14: Nalar Lincah

Friedrich Nietzsche, Michel Foucault. Posisi Heidegger lebih problematis. Heidegger berpretensi langsung mengarah kepada sang Ada dengan meneliti bahasa, sarana Ada mewahyukan diri dan meninggalkan perhatiannya kepada manusia (Dasein). Tangis bayi kelaparan, genosida atau persoalan-persoalan keduniawian manusia lainnya tidak relevan dalam bangunan pemikirannya. Mudah dimengerti, menghadapi problem krisis kemanusiaan modern, bila Marx mengambil jalan praksis, Heidegger menempuh jalan mistik: meminjam kepekaan sang penyair dengan khusyuk menunggu juru selamat, sang Ada sendiri, menampakkan diri dan mengulurkan tangan menyelamatkan manusia.

Selain itu, puisi dalam masyarakat Yunani awal adalah puisi lisan yang diciptakan dengan ditembangkan. Penyair mengemban tugas menjaga kelangsungan tradisi, meneruskan kebenaran, ajaran, maupun aturan masyarakat. Dalam fungsi primordial ini, puisi (mitologi termasuk di dalamnya) menjadi sumber kebenaran terpenting. Giambattista Vico, misalnya, mengatakan bahwa syair-syair Homerus adalah "sejarah resmi adat Yunani kuno". Para filsuf pra-Sokrates seperti Parminides tidak membedakan arti mythos dan logos. Selain itu, puisi belum lepas dari musik, sumber utama kesenangan bermain-main dengan keindahan bunyi. Tanpa menyertakan konteks ini, Heidegger versi Donny mengandaikan fungsi puisi kalis dari perubahan sosial dan tetap sama sepanjang masa. Seperti kaum Romantik yang bermimpi menghadirkan kembali masyarakat Yunani klasik untuk masyarakat Eropa abad ke-18 meski kosmologi mereka berbeda, Heidegger pun memimpikan peran primordial puisi untuk realitas konkret abad ke-20 yang jauh berubah.

TS Eliot maupun pemikir marxis melangkah lebih maju. Mereka berpendapat peran puisi (seni) dipengaruhi dan berdialektika dalam perubahan sosial. Dalam tradisi marxis, seni jadi bahan pergumulan yang lebih menukik dan mendalam, seperti perdebatan realisme dan modernisme dalam dunia kapitalisme, komoditifikasi budaya dan demokratisasi seni via teknologi, mekanisme produksi seni. Sementara Donny, mengikuti Heidegger, hanya berhenti pada sikap nostalgisnya yang naif dan tidak realistis.

Pembelaan atas puisi

Baik "jalan puisi" Donny maupun "jalan nalar" Husain , selain berbeda juga sama. Keduanya mengambil sikap pemutlakan: nalar atau puisi. Sikap yang mensyaratkan biaya dan soal intern masing-masing. Selain itu, keduanya masih memandang fakultas-fakultas manusia sebagai hal yang berbeda dan terpisah. Karena itu, keduanya tidak berusaha menampilkan manusia sebagai kesatuan padu dengan beragam kemampuan. Pembelaan atas puisi, dengan demikian, adalah penolakan kedua sikap pemutlakan di atas. Puisi diberi kesempatan dan ruang bermain sesuai hakikat dan konteksnya di sini dan kini. Dan penyair tidak perlu berpretensi menjadi sumber utama kebenaran, menjadi mesias yang bertitah sakral seperti saran Donny.

Page 15: Nalar Lincah

Puisi maupun karya seni lain adalah kesatuan sintesis keteraturan intelektual dan perseptual. Antara keseriusan ide dan kesenangan bermain-main dengan keindahan. Memaksa puisi menggotong pesan "kebenaran" semata akan menyeret puisi ke bahaya intelektualisme dan menafikan aspek penting yang lain, kesenangan. Di dalam lingkungan seni, pretensi ini juga berpotensi membuka kotak Pandora. Tentu kita belum lupa ujaran Leonardo da Vinci bahwa lukisan lebih filosofis, lebih dekat dengan kebenaran ketimbang puisi, atau ujaran Beethoven bahwa musik adalah wahyu ilahi yang lebih tinggi daripada filsafat maupun pengetahuan lain.

Terakhir, di zaman antikebenaran tunggal ini, klaim puisi sebagai salah satu kebenaran di antara kebenaran lain masih bolehlah ditenggang, tetapi sebagai satu-satunya kebenaran yang melampaui kebenaran lain, hanya menunjukkan bahwa kita tidak bisa belajar dari masa lalu. Dan siapa yang tidak bisa belajar dari sejarah, harus mengulanginya.

Bambang Agung Anggota Tim Peneliti Sastra Eksil Indonesia

Page 16: Nalar Lincah

IMAJINASI TAK BERJEJAK ANCAM PADAMKAN NALAR

Husain Heriyanto

Menjadi manusia berarti berani mengutamakan nalar. Selainnya adalah kegilaan, fantasi dan omong kosong. (Bochensky) 

Pembebasankah suatu pemberontakan terhadap nalar? Ataukah ia hanya sebuah pelarian tak berarah dari sisi lemah watak manusia yang jenuh dengan pola dan irama nalar yang menuntut kesetiaan dan tanggung jawab? Pada penghujung abad ke-19, di sebuah titik bumi tempat bersemainya pencerahan (aufklarung) dan rasionalitas, tampil anak seorang rahib, Nietzsche namanya. Ia keluar dari sinagognya membawa api pemberontakan terhadap nalar yang kala itu menjadi dewa harapan dan tumpuan umat manusia untuk menggapai segenap impian. Nietzsche bersyair amat memikat.

Ia dengan lantang berseru, "O kawan! Dengarkan dendang laguku! Lagu lama dari nalar yang kalian nyanyikan itu tak lama lagi bakal padam. Lihatlah agama, sahabat klasik nalar itu, telah ditelan oleh bumi. Tuhan yang dulu kalian puja kini telah mati. Metafisika telah dibungkam oleh Kant yang soleh itu. Epistemologi, pengetahuan dan etika, yang serba analisis, prinsip dan berirama yang membosankan itu... telah kucium juga akan mati. Inilah, telah datang sebuah zaman untuk menyambut laguku yang mendendangkan kebebasan paripurna, kebebasan yang membakar tetek bengek prinsip-prinsip, aturan-aturan, kategori-kategori ciptaan nalar. Nalar telah membelenggu kalian selama ini, dan kini aku membawakan api kebebasan untukmu. Mari kita puja Dionysian, dewa api yang membakar segala keteraturan dan batasan pengertian. Inilah zamanku, zaman penuh gairah dan hasrat menggebu yang mengoyak-ngoyak tatanan nilai dan tradisi."

Nietzcshe tidak sendirian. Sepuluh abad sebelumnya, abad ke-9, di sebuah titik bumi yang kala itu menjadi pusat peradaban kosmopolitan, tampil seorang murid dari mazhab Mu’tazilah, namanya Asy’ari. Ia bergegas keluar dari masjid dan mengumpulkan banyak orang jalanan untuk bertindak sebagai saksi pemberontakannya terhadap aliran pemikiran keagamaan yang rasional itu. Retorika religiusitas Asy’ari sangat memikat orang-orang jalanan yang lugu.

Ia penuh semangat berkhotbah, "Wahai hamba-hamba Tuhan yang percaya kepadaNya! Mulai hari ini, detik ini, saksikanlah, aku keluar dari mazhab Mu’tazilah yang melulu pakai nalar itu. Ketahuilah, mereka telah sesat dari jalan Tuhan. Mereka telah menuhankan nalar, bukan Tuhan kita Yang Maha Kuasa. Bukankah Nabi kita pernah bersabda, ’Orang yang percaya kepada nalar adalah kawannya iblis’? Dengan bersandar kepada nalar, berarti kita tidak lagi percaya kepada Tuhan yang Maha Bebas dari segenap prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria rasional. Bukankah Tuhan

Page 17: Nalar Lincah

Maha Berkehendak Mutlak sama sekali tidak bakal terjangkau oleh nalar kita yang dungu? Setiap penggunaan nalar dalam memahami Tuhan, berarti membatasi Tuhan karena setiap penalaran membutuhkan batasan-batasan pengertian dalam medan semantik, dan itu artinya telah membunuh Tuhan. Jadi, alasan mengapa aku keluar dari mazhab yang sesat zindiq itu adalah aku ingin menyembah Tuhan tidak dengan nalarku, tapi dengan menuruti api gairah perasaanku dan hasratku yang menggebu melihat Tuhan dengan mata kepalaku, persis seperti aku melihat kalian sekarang."

Sejarah pemberontakan manusia terhadap nalar selalu berulang. Pada setiap zaman dan peradaban yang memiliki kekhasan masing-masing, lahir tokoh-tokoh yang besar karena penentangannya yang amat sengit terhadap kokohnya posisi nalar sebagai hakim dalam sejarah peradaban manusia. Tentu saja modus perlawanan terhadap singgasana nalar berbeda-beda sesuai dengan konteks sosio-kultur-historis yang melatarbelakanginya. Seorang Asy’ari lahir dari peradaban Islam yang mencapai puncaknya kala Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Daulah Abbasiyah, sedangkan Nietzsche terlempar ke dunia Eropa yang tengah mengukuhkan peradaban modernitasnya melalui rintisan rasionalisme-antroposentris Descartes, kosmologi mekanistik Newton dan pencerahan Kant. Jika rasionalitas model Mu’tazilah melahirkan pemberontakan "membela Tuhan" Asy’ariah, maka rasionalitas modernisme Eropa mendatangkan penentangan "membela liarnya irasionalitas" Nietzschean.

Meskipun modus pemberontakan kedua tokoh antinalar ini berbeda, mereka bersekongkol dalam mendongkel singgasana nalar. Keduanya juga sama-sama menerapkan oposisi biner (binary opposition) bahwa pengafirmasian yang satu melalui penegasian yang lain, yaitu jika Asy’ari mengafirmasi Tuhan melalui penegasian kehendak bebas manusia, Nietzsche mengafirmasi kehendak berkuasa manusia melalui penegasian Tuhan. Sekarang adalah zaman di mana kaum penentang nalar merasa memperoleh amunisi besar dari situasi dunia modern yang makin tak jelas saja ke arah mana peradaban manusia hendak dibawa. Pelbagai krisis global yang multidimensional semacam krisis lingkungan, konflik, dan teror, serta kontrateror kekerasan yang kian menajam, praktik-praktik dehumanisasi, reifikasi, alienasi, dan modus-modus krisis eksistensial manusia modern; itu semua merupakan lahan amat subur untuk tumbuhnya kesinisan dan kemuakan terhadap entitas-entitas yang dianggap sebagai produk (asli dan sampingan) rasionalitas modern: sains, teknologi, demokrasi, humanisme universal, liberalisme, kapitalisme, positivisme.

Penentangan itu terpolarisasi ke dalam dua kutub, pengukuhan identitas dan penafian identitas. Kutub yang pertama mencari penguatan diri melalui penonjolan identitas yang banyak mengambil bentuk eksklusivitas-literal. Kutub yang kedua, sebaliknya, merobek dan membakar narasi-narasi peradaban yang tak kunjung usai. Yang pertama bekerja melalui retorika simbol-simbol yang dipaksakan kepada realitas. Sementara yang kedua menarik diri dari realitas seraya meratap dengan

Page 18: Nalar Lincah

kepiluan emosi kegagalan. Jika kutub yang pertama giat menggaduhkan realitas dunia yang telah amat bising dan pengap, kutub yang kedua aktif memproduksi simulasi-simulasi realitas untuk melabuhkan imajinasi dan naluri tak berarah.

Kita bisa menyebut, dengan risiko sedikit simplifikasi, bahwa fundamentalisme-skripturalistik dan poststrukturalisme-dekonstruksionis masing-masing adalah model bagi kedua kutub itu. Keduanya tentu saja banyak mengandung perbedaan, tapi diikat oleh lautan emosi historis yang sama: menentang kedigdayaan nalar.

Michel Foucault, seorang kritikus-sinis terhadap proyek pencerahan dan rasionalitas, telah tiba pada pendeklarasian "kematian manusia". Menurut Foucault, manusia telah kehilangan dirinya sebagai subyek yang berkesadaran karena didera dan dikepung oleh praktik-praktik obyektivikasi. Melalui studi genealogis ala Nietzsche, Foucault merangkum bahwa sains melahirkan teknologi-teknologi kuasa yang mengontrol hidup manusia itu sendiri. "Pengetahuan dan kebenaran adalah produksi kuasa, bukan representasi realitas. Dan nalar adalah kaki tangan kuasa yang imanen," sahut Foucault. Jika bagi Nietzsche pengetahuan dan kebenaran merupakan instrumen kuasa, bagi Foucault kedua, entitas mental itu merupakan subordinasi kuasa.

Sementara itu, di kutub yang berseberangan, kelompok-kelompok fundamentalis yang obskurantis, semisal aliran kreasionisme, dari sementara penganut Kristen dan Islam serta saintis Vedik Hindu memaklumatkan penentangan pula terhadap klaim universalitas sains modern. Mereka bersekutu untuk melakukan overjudgement terhadap sejumlah teori sains dan pemikiran modern yang dianggap dapat meruntuhkan keimanan, semisal teori evolusi, yang dengan gegabah mereka identikkan dengan Darwinisme. Uniknya, overjudgement ini mereka persepsi sebagai tugas suci yang hendak mendemonstrasikan keunggulan Tuhan di atas nalar manusia yang "berani-beraninya" membuat narasi teramat besar tentang perjalanan alam semesta.

Angin pembangkangan terhadap nalar telah cukup lama berembus kencang. Mereka yang mengklaim diri sebagai generasi New Age sejak medio dasawarsa tahun 1960-an telah mencanangkan perlawanan terhadap hegemoni budaya ilmiah dan teknosains. Mereka menuding sains dan teknologi modern telah melakukan dosa-dosa besar berupa proses massal dehumanisasi dan perusakan ekosistem alam raya. Akankah nalar tetap bertengger di singgasana puncak peradaban manusia? Apakah serbuan dan penyerangan bertubi-tubi terhadap nalar yang sedemikian gencar dilakukan oleh pelbagai kalangan, baik terang-terangan secara langsung maupun secara diam-diam, akan menutup cahaya nalar di ufuk peradaban manusia? Seusai mempelajari sejarah agama-agama, Will Durant tiba pada kesimpulan, "“Setiap kali agama dibunuh, maka ia akan tumbuh dan berkembang lagi dalam sejarah." Agaknya, nasib nalar mirip dengan agama. Setiap kali nalar dibunuh di sebuah tahapan sejarah dan

Page 19: Nalar Lincah

peradaban, maka ia pun bakal tumbuh dan berkembang kembali pada tahapan sejarah berikutnya di lain peradaban.

Ketika Kekaisaran Romawi membungkam sarjana-sarjana Yunani dan menutup sekolah-sekolah mereka di Athena pada abad ke-4 sampai abad ke-6 M, cukup satu abad kemudian nalar itu bersinar terang benderang, bahkan lebih cemerlang, di Baghdad, Khurasan, dan Samarkand dalam masa keemasan peradaban Islam. Dan, ketika teologi ortodoks Islam mencampakkan nalar dari wilayah keagamaan, maka dua abad kemudian di Eropa nalar kembali bersinar melalui gerakan Renaisans, Humanisme, dan Pencerahan meski di bawah sinaran paradigma yang berbeda. Nalar adalah matahari. Seperti matahari yang memberi kehidupan di muka bumi ini, demikian pula adalah nalar yang memanusiakan kita. Melalui nalar kita mengenal dunia, memberinya makna dan nama, dan mengolahnya agar sesuai dengan cita rasa kemanusiaan kita. "Berkat logos, nalar dan kata," tandas Wilhelm von Humboldt, “"kita memanusiakan realitas, dan jadilah kita manusia sepenuhnya." Melalui aktivitas logos, menurut Humboldt, kita menjalin dialog kosmik dengan alam dunia.

Bak matahari yang melaluinya kita mengenal siang dan malam, begitu pula nalar menganugerahi kita kemampuan membedakan ’ada’ dan ’tiada’, ’terang’ dan ‘gelap’, ’langit’ dan ’bumi’, ’emas’ dan ’loyang’, ’sejati’ dan ’palsu’, ’moral’ dan ’amoral’, ’estetis’ dan ’erotis’, ’cosmos’ dan ’chaos’, dan seterusnya; agar kita dapat menjalani kehidupan ini secara bertanggung jawab. Karena, tanpa kemampuan pengkategorian itu, kita takkan dapat memberikan pemaknaan realitas. Dan, kalau hal ini tidak kita kerjakan, kita telah mengkhianati tugas dan tanggung jawab terpenting dari natural state of human being kita sendiri. Membiarkan dunia tanpa kita ajak sapa dan dialog merupakan pengkhianatan kosmik, yang tidak saja membunuh makna realitas, tapi juga karakter kemanusiaan kita sendiri.

Dengan alasan itulah, mengapa kita sarankan bahwa nalar adalah tanggung jawab kemanusiaan; bahwa berpikir adalah bertanggung jawab. Mengutamakan pendayagunaan nalar di atas fakultas-fakultas dan pengalaman kemanusiaan lainnya merupakan pilihan yang menantang kemanusiaan kita. Berani menjadi manusia, kata Bochenski, artinya memilih hidup dengan nalar.

Kalau tidak demikian, seyogianya kita memilih saran yang disodorkan oleh Albert Camus: "O... teman, sudahlah! Hentikan perjalanan yang hanya melahirkan kegetiran demi kegetiran, penderitaan demi penderitaan, kejatuhan demi kejatuhan. Mari kita sudahi kehidupan yang tak berujung ini dengan meniadakan diri kita masing-masing. Bukankah dengan peniadaan dan pengasingan diri ini kita menjadi terbebaskan dari neraka dunia ini?"

Memang, nalar bukanlah segalanya. Ia tentu saja kalah pesona dari rasa dan emosi. Dengan rasa, kita bisa mabuk kepayang melupakan kepahitan-kepahitan hidup meski juga kerap kali tidak menyelesaikannya. Nalar juga

Page 20: Nalar Lincah

kalah jauh daya pikatnya dari kehendak (will), apalagi kehendak berkuasa (will to power). Karena, kehendak menjanjikan apa-apa yang tidak dapat kita raih dalam kenyataan, sementara nalar mendorong kita untuk menoleh pada kenyataan. Bahkan, nalar kerap kali juga kalah bersaing dari naluri, hasrat, dan libido yang amat kaya dengan imajinasi. Nalar menuntut kita untuk berdisiplin dan bertanggung jawab, sedangkan hasrat yang menggebu justru menawarkan dunia impian surgawi tak kenal batas dan tanpa tanggung jawab. Oleh karena itu, nalar memang tidak menarik bagi orang-orang yang hendak lari dari realitas. Karena, realitas menuntut kedisiplinan, metode, jalan, ketekunan, komitmen, konsistensi, dan tanggung jawab; hal-hal yang justru amat menakutkan orang-orang eskapistik. Menarik pernyataan Bertrand Russel tentang keindahan matematika sebagai salah satu manifestasi kedisiplinan nalar, "Matematika adalah suatu keindahan yang dingin dan sederhana tanpa memancing reaksi dari watak manusia yang lemah, tanpa jeratan yang memukau seperti lukisan, syair atau musik; namun ia demikian murni."

Pernyataan Russel ini mungkin berlebihan, seakan merendahkan seni puisi dan musik sebagai ekspresi dan jeritan kelemahan watak manusia. Saya tidak tahu apakah Russel memaksudkannya untuk seluruh musik atau puisi, namun bagi saya yang dimaksud adalah terbatas pada puisi dan musik yang eskapistik, melankolis, dan tak berarah. Di luar itu, saya berkeyakinan bahwa puisi dan musik pun merupakan produk kreativitas nalar kemanusiaan kita. "Bukankah tiada kata tanpa nalar?" tandas Socrates. "Bukankah musik merupakan irama kosmos yang beriringan dengan matematika?" seru Al Farabi. Nalar, tentunya juga tak mungkin bersahabat dengan orang-orang yang kalah dalam pergulatan dunia nyata. Pun, nalar akan dikhianati oleh orang-orang yang mabuk kemenangan. Sementara nalar mengingatkan mereka untuk tetap menjalin dialog dan rendah hati, namun emosi dan imajinasi menghasut mereka untuk menunjukkan taring-taring kepongahan dan keserakahan.

Bahkan, nalar juga sulit akrab dengan orang-orang yang telah sedemikian lama tidak menjejakkan kakinya di bumi yang kotor dan tenggelam dalam dunia ilusi-imajinatif. Orang-orang semacam ini sejak terdampar di muka bumi tak pernah mengenal bagaimana kasarnya tanah, pahitnya air hujan, pedihnya terik matahari, atau payahnya mengeluarkan keringat karena mereka selalu hidup dalam keserba-hadiran hal-hal yang dibutuhkan. Dikarenakan tidak mengenal realitas, mereka akan sulit menerima prinsip-prinsip yang diperkenalkan nalar, misalnya: "Jika Anda hendak mencapai sesuatu, pikirkan langkah dan metode yang mesti diterapkan." Nalar, dengan segala kekurangan daya pesona dan pikatnya, bagaimanapun adalah satu-satunya fakultas kemanusiaan kita yang dapat diajak berdialog. Rasa dan emosi tak mungkin bisa diajak berdialog karena ia menuntut peleburan obyek dalam kesatuan pengalaman subyektivitasnya. Naluri berkuasa, apalagi, pun sulit dituntut penjelasan mengapa ia hendak berkuasa dan bertindak sesuatu. Kuasa sama sekali tidak mampu memahami yang lain dan, sebaliknya, selalu menuntut untuk dipahami. Demikian pula hasrat dan libido teramat mustahil dapat berdialog karena

Page 21: Nalar Lincah

wataknya yang selalu menuntut pemuasan imajiner yang tak habis-habisnya.

Mengapa nalar berkemampuan untuk berdialog? Karena, nalar mengenal kategori subyek dan obyek, aku dan dia; ia memahami perbedaan realitas dan ilusi, kenyataan dan keinginan. Tidak seperti rasa yang melumatkan identitas obyek dalam kesatuan pengalaman subyektivitasnya, nalar menghargai eksistensi obyek di hadapannya, karena ia sadar bahwa ada subyek dan ada obyek; bahwa ada aku dan ada dunia. Tidak seperti imajinasi yang tidak mampu membedakan realitas dan fatamorgana, nalar menyadari benar mana yang real dan mana yang ilutif. Nalar, karena itu, adalah juga satu-satunya fakultas kemanusiaan kita yang menyadari kelemahan dan keterbatasan-keterbatasannya. Ia tidak menuntut kemutlakan sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang. Wataknya sendiri yang tidak memungkinkan ia menuntut absolutisme karena selalu ada refleksi yang membedakan dirinya dengan apa yang ia refleksikan; dan itu berarti selalu terdapat horizon yang tak penuh dan juga berjarak antara dirinya dengan realitas.

Merupakan watak nalar untuk selalu waspada bahwa ia tidak akan pernah merengkuh absolutisme. Karena, cara kerja nalar hakikatnya adalah pengambilan jarak dari realitas. Itulah sebabnya Pythagoras atau Plato menyebut penyelidikannya sebagai philosophos, yang berarti cinta kepada kebijaksanaan. Mereka tidak pernah mengklaim pemilik kebenaran, melainkan berendah hati untuk menyebut diri mereka sebagai pencinta kearifan.

Demikian, aktivitas nalar dalam kajian filosofis, sains, dan agama, selama konsisten dengan karakteristiknya, tidak akan mungkin melampaui wewenangnya, misalnya, mengajukan klaim kebenaran mutlak. Manakala suatu pemikiran filosofis, sains, atau pemahaman keagamaan tertentu membuat klaim absolutisme, hal itu menandakan telah terjadi intervensi terhadap karakteristik cara kerja nalar itu sendiri. Intervensi itu bisa berasal dari rasa dan pengalaman indrawi, intuisi, kehendak, imajinasi, hasrat atau libido. Alih-alih mengutuk nalar, sebaiknya kita menisbahkan tindakan intervensi ini kepada fakultas-fakultas yang memang berpotensi untuk menyodorkan klaim kemutlakan itu, seperti rasa-emosi, kehendak, imajinasi, hasrat atau libido.

Jadi, pandangan positivisme (salah satu modus kemutlakan) dalam dunia sains, misalnya, jelas bukanlah produk nalar, melainkan hasil intervensi dari cara kerja empiris-materialistik yang tidak mau menerima sumber kebenaran lainnya. Di sini telah terjadi pemutlakan pengalaman empiris sebagai satu-satunya sumber pengetahuan; dan hal itu terjadi ketika watak nalar dikhianati oleh pengalaman subyek, kepentingan, imaji, ilusi, dan hasrat. "Padahal, nalar itu sendiri," kata Karl Popper, "menyadari bahwa adalah tidak masuk akal untuk melakukan induksi kalau semata-mata berdasarkan pengalaman betapapun banyaknya pengalaman itu."

Page 22: Nalar Lincah

Hal yang sama dapat terjadi dalam narasi filosofis. Klaim kemutlakan yang dicetuskan sejumlah tokoh filsafat yang ambisius memetakan seluruh lingkup dan perjalanan pemikiran manusia, semisal Comte, Hegel, dan tokoh-tokoh neopositivisme, tidaklah lahir dari refleksi filosofis semata. Dapat ditunjukkan bahwa telah terjadi intervensi terhadap cara kerja nalar sedemikian rupa sehingga mereka sampai kepada klaim absolutisme. Kita juga dapat cermati bahwa pemikir-pemikir dekonstruksionis semacam Nietzcshe, Derrida, bahkan Heidegger, yang biasanya dianggap mewakili pihak oposisi terhadap matriks rasionalitas dan universalitas, pun memiliki potensi yang lebih liar dan tak terkendali untuk mengusung klaim kemutlakan. Hal itu bisa kita cermati dalam kehidupan praksis, misalnya, bagaimana Heidegger secara diam-diam mendukung absolutisme politik Nazisme Hitler. Sikap antinalar merupakan pintu utama menuju kesewenang-wenangan, dan kesewenang-wenangan ini merupakan saudara kandung absolutisme.

Oleh karena itu, adalah salah alamat bila sementara orang mendakwa nalar sebagai biang keladi terjadinya klaim-klaim kemutlakan, entah itu di dunia sains, filsafat, atau agama. Mestinya mereka melakukan kritik ideologis-psikologis-sosiologis untuk mengungkap prastruktur pemahaman dan kepentingan-kepentingan tersembunyi di balik klaim-klaim itu. Semestinya yang kita dakwa atau sidang, alih-alih nalar justru adalah rasa, naluri berkuasa, hasrat, libido, atau imajinasi liar yang telah meracuni karakteristik cara kerja nalar. >small 2small 0< membaca narasi Tanah Tak Berjejak Para Penyair yang ditulis oleh Donny Gahral Adian pada kolom bulan lalu, saya tergoda mengomentari beberapa poin pokok yang didedahkan dalam narasi itu. Menanggapi sebuah judgement bahwa "mengunyah buah pengetahuan menjebak manusia ke dalam semesta yang penuh tanda tanya sehingga membuat manusia gamang" perlu saya ajukan sejumlah pertanyaan. Apakah pengetahuan itu selalu merupakan apa yang disebut sebagai penyesakan realitas? Apakah suatu kesalahan jika manusia tercekam oleh rasa ingin tahu untuk menyingkap rahasia alam raya? Benarkah keingintahuan manusia untuk mengungkap makna realitas selalu membuatnya gamang?

Jawaban tiga pertanyaan di muka: Tidak. Tidak semua modus pengetahuan manusia merupakan intervensi terhadap realitas. Sebuah contoh yang sederhana dapat diberikan. Pengenalan terhadap diri kita sendiri, misalnya, nyata-nyata tidak termasuk kategori pengetahuan yang disebutkan oleh Nietzsche atau Foucault sebagai agen yang memproduksi realitas, karena ketika kita mengenal diri sendiri kita tidak menambah kategori apa pun, kecuali hanya menyingkap realitas diri. Kebersalahan rasa ingin tahu berasal dari sebuah mitos tentang pengetahuan sebagai buah yang terlarang bagi Nabi Adam di surga. Mitos pengetahuan sebagai pembawa malapetaka bagi manusia lebih merupakan sebuah parodi yang hendak mengelak tanggung jawab manusia terhadap nilai pengetahuan. Sekalipun anggapan kebersalahan itu muncul dari pertimbangan bahwa pengetahuan akan menjerat kita dalam rangkaian pertanyaan yang tak kunjung usai, tetap saja lebih baik kita berkubang dengan segenap keraguan dan pertanyaan daripada kehampaan nalar sama sekali.

Page 23: Nalar Lincah

Mengapa cemas terhadap rangkaian pertanyaan yang tak tuntas dan lebih memilih kehampaan?

Sementara itu, judgement bahwa rangkaian pertanyaan yang tak kunjung usai itu membuat kita gamang mengisyaratkan dengan amat telanjang betapa nalar kita telah dikuasai oleh rasa takut yang berlebihan. Kecemasan eksistensial rupanya telah membungkam nalar "para penyair yang tak berjejak" itu, sedemikian hingga mereka lebih memilih kehampaan daripada memiliki pengetahuan yang bakal menuntut mereka komitmen dan tanggung jawab. Mari merenung sejenak, apakah sikap ini sebuah pembebasan ataukah pelarian diri dari realitas? Apakah kehendak untuk merengkuh kehampaan dan keasingan itu sebuah keberanian ataukah kelemahan watak untuk mengemban tanggung jawab?

Mereka yang memilih mengasingkan diri tidak tabah dan sabar menekuni mozaik realitas yang pelik, taksa, dan paradoks. Alih-alih berani menghadapi lautan realitas yang luas, mereka malah lari tunggang-langgang berbalik arah menuju pulau asing sebagai tempat persembunyian. Tentu saja kita tidak bermaksud menampik pelbagai problem yang ditimbulkan oleh narasi-narasi sains, filsafat, dan agama. Ketiga narasi besar peradaban manusia ini mesti kita akui telah menciptakan badai-badai besar dalam lautan kehidupan kita yang setiap saat bisa menenggelamkan kapal peradaban manusia. Sejak paruh kedua abad ke-20 M, bermunculan kritik tajam bahwa sains modern telah menggantikan posisi kepengapan pandangan dunia dan kuasa alam yang dulu ia tentang. Demikian pula halnya dengan narasi filsafat dan agama, yang kerap kali menambah kepengapan dan kelelahan hidup tiada akhir.

Meskipun demikian, berkat cahaya nalar pada kedalaman eksistensi kemanusiaan kita, badai-badai peradaban itu akan kita hadapi dengan ketabahan. Tidak layak menghentikan perjalanan di persimpangan yang menentukan masa depan peradaban kita. Kebisingan dan kepengapan dunia tidak untuk diratapi, melainkan untuk kita hadapi dengan nalar yang sabar dan berkomitmen. Sebuah puisi yang bernalar patut kita lantunkan:

Arungi lautan kehidupan yang tak berujung ini

Bersama nalar yang berdisiplin dan bertanggung jawab

Hadapi hantaman badai demi badai

Tuhan akan menjulurkan rahasia jubahNya

Kepada kita, wakilNya

Husain Heriyanto Dosen Filsafat di Universitas Paramadina; Direktur Pusat Kajian Filsafat Madina Ilmu; editor seri filsafat

Page 24: Nalar Lincah

Mizan; penulis buku "Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan" (Teraju-Mizan, Jakarta, 2003)

NALAR PUITIS SEBAGAI METAFILSAFAT

Donny Gahral Adian

Pertengkaran keluarga dalam kubu humanisme terus berdengung sampai sekarang. Pertengkaran antara kubu pembela nalar di satu sisi dan kubu pembela naluri di sisi lain. Antara yang Cartesian dan yang Nietzschean. Para Cartesian menuduh pembela naluri merendahkan manusia. "Cogito ergo sum!" jerit mereka. Kodrat manusia terpusat pada nalar, bukan nalurinya. Naluri dilempar dari kemanusiaan karena mempersandingkan manusia dengan hewan. Bersembunyi di balik Cogito, manusia berada di puncak hierarki gradasi wujud. Nalar mengandaikan semesta yang hadir dan bisa dimengerti. Bersembunyi di baliknya adalah iman akan ketersambungan antara pikiran dan kenyataan. Naluri, di lain pihak, memiliki modus berpikirnya sendiri. Dengannya, manusia melampaui yang hewani dan manusiawi sekaligus. Naluri untuk penguasaan Nietzsche, misalnya, mengenyahkan logos yang membentang di luar, namun diam-diam menariknya ke dalam. Dua tradisi yang berseteru seolah-olah berdiri berseberangan. Namun, sesungguhnya mereka berbagi iman yang sama secara epistemo-ontologis. Semesta ini asing. Dan, transenden ini hanya bisa disingkap apabila ontologi manusia ditelanjangi bulat-bulat. Descartes mengerti manusia sebagai substansi yang berpikir, sedangkan Nietzsche memahami manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Bertolak dari itulah semesta ditarik dari persembunyiannya. Kodrat manusia adalah kunci utama pembuka pintu rahasia semesta raya. Apabila yang transenden menjadi titik tolak tradisi teori pengetahuan dalam filsafat, tidak demikian halnya dengan puisi. Bagi puisi, kenyataan selalu sudah menampilkan dirinya dalam bahasa. Kenyataan adalah semata-mata soal modus pengucapan. Maka, tinimbang mencari ketelanjangan sebuah rahasia, puisi mengerahkan tenaganya untuk menelusuri modus pengucapan baru. Alternatif yang dikejar adalah modus pengucapan representasional bahasa sains dan filsafat, sebuah modus pengucapan yang mengandaikan keterwakilan semiotis realitas dalam bahasa. Puisi tidak melentingkan kita

Page 25: Nalar Lincah

ke tanah tak berjejak. Ia tak berpeluh-peluh mengejar kebenaran sejati. Ia tidak melakukan penyingkapan apa pun. Yang ia kejar semata-mata kosa-kata baru realitas. Muara perbincangan ini adalah filsafat yang membujur kaku. Refleksi atas puisi adalah akhir hayat filsafat. Para filsuf terkaget-kaget saat mendapati bangkai epistemologis yang disisakan puisi, seperti saat Nietzsche menemukan "yang tak berasal" setelah merefleksikan puisi-puisi klasik Yunani. Atau Heidegger yang menghentikan proyek ontologi fundamentalnya setelah membaca puisi-puisi Holderlin. Pembelokan sastra, literary turn, sedang menggayuti jagat pemikiran kontemporer. Nalar yang notabene merupakan peranti rohani utama filsafat dalam membuka segel epistemologis sedang mencapai titik nadirnya. Saya membaca gejala ini sebagai gejala metamorfosis nalar menuju bentuknya yang puitis.

Metafilsafat

Collin McGinn, salah satu filsuf Amerika kontemporer, melontarkan gagasan tentang apa yang disebutnya sebagai metafilsafat. Sebuah penyelidikan filosofis tentang apa sesungguhnya kodrat dari persoalan filsafat, kemungkinan pengetahuan filosofis dan metode yang diadopsi demi kemajuan filsafat. Sebuah filsafat tentang filsafat. Menurut McGinn, ada dua tradisi besar metafilsafat yang saling bertolak belakang. Pertama adalah tradisi Platonian. Tradisi ini berkeras bahwa persoalan filsafat adalah persoalan esoteris. Filsafat adalah disiplin yang memacu nalar manusia menggapai "yang esoteris". Tradisi kedua adalah Wittgensteinian. Bertolak belakang dengan Plato, Wittgenstein menolak apa yang disebut sebagai persoalan esoteris filsafat. Persoalan filsafat sesungguhnya adalah persoalan bahasa. Pertanyaan filosofis menjadi semu dan tak bermakna akibat penyalahgunaan bahasa. Dengan kata lain, persoalan filsafat sesungguhnya adalah soal penyembuhan bahasa. Tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair ("Bentara", Kompas, 2 Mei 2003), berusaha mendamaikan dua tradisi metafilsafat tersebut dengan mengajukan hipotesis nalar puitis. Nalar puitis tidak berkonsentrasi pada persoalan yang absolut-esoteris, namun tidak juga mengalah pada jerat kebahasaan belaka. Nalar puitis adalah nalar yang selalu peka terhadap yang transenden berdasarkan postulatnya akan kodrat semiotis kenyataan. Selalu ada yang bergentayangan di luar modus pengucapan yang dominan. Itulah yang dikejar oleh nalar puitis. Oleh karena itu, modus bernalar biasa harus ditinggalkan. Modus bernalar yang mencari kodrat harus digeser oleh modus bernalar yang mencari modus pengucapan baru. Konsentrasinya bukan pada jawaban positif, tetapi pada pertanyaan-pertanyaan asali guna menemukan modus pengucapan baru. Heidegger meletakkan fondasi awal bagi metafilsafat nalar puitis. Bernalar bagi Heidegger adalah keunggulan filsafat. Karenanya, filsafat harus memiliki modus bernalar yang melebihi ilmu-ilmu positif, yakni modus yang tidak berkonsentrasi pada jawaban positif melainkan, seperti diisyaratkan Russel, melulu prihatin pada pelebaran ruang imajinasi nalar kita sendiri. Pelebaran yang sesekali harus melontarkan pertanyaan pada pertanyaan filosofis itu sendiri. Ini yang dilakukan Heidegger saat mengajukan pertanyaan terhadap seluruh pertanyaan filsafat, mulai dari

Page 26: Nalar Lincah

Yunani klasik sampai modern. Bagi Heidegger, semua pertanyaan itu harus dipertanyakan ulang karena tidak bertanya tentang Ada yang sesungguhnya, yaitu Ada yang menopang segala adaan. Para filsuf terlalu asyik bertanya sehingga melupakan perbedaan kentara antara Ada dan ada.

Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang berlontaran dalam sejarah tak mampu menampung transendensi sang Ada. Kelumpuhan ini, menurut Heidegger, disebabkan oleh filsafat yang masih berkutat dengan nalar epistemologis, nalar yang mengejar keakuratan representasi antara benak dan kenyataan, nalar yang mewakili bukan menyingkap. Sejarah filsafat adalah sejarah nalar epistemologis. Mulai dari filsuf Milesian yang coba menalar kodrat semesta sesungguhnya, sampai Descartes yang menelanjangi kodrat kognitif manusia sebagai dasar pengetahuannya tentang dunia. Bahkan, Nietzsche yang dituduh pelbagai pihak antinalar sesungguhnya masih terjebak dalam sejarah nalar epistemologis saat menelanjangi kodrat manusia sebagai naluri untuk penguasaan. Saat nalar kehilangan kepekaannya pada yang transenden, kidung bait-bait puisi dalam tubuhnya pun lamat-lamat menghilang. Kondisi ini diperparah lewat lahirnya sains pada abad ke-17 sebagai wujud sempurna filsafat alam. Sains membekukan geliat nalar pada pandangan dunia mekanisme yang telah menghilangkan dunia dari kemisteriusan. Pengeringan dunia dari yang asing ini membuat nalar kehilangan kemampuannya membawa kita ke tanah tak berjejak. Nalar pun sekadar kalkulasi, bukan eksplorasi. Ini yang dimaksud Heidegger saat mengejek fisika sebagai semata-mata kalkulasi, bukan pemikiran.

Kematian nalar puitis adalah saat nalar terjebak pada fungsi metodologisnya. Nalar yang melulu bersibuk dengan langkah-langkah menemukan kebenaran, bukan menciptakan. Metode dalam menentukan yang benar maupun yang baik. Padahal, seperti dikemukakan Whitehead, spekulasi nalar tidak terjerat oleh metode. Ia mentransendenkan semua metode. Nalar adalah naluri dasar manusia yang senantiasa merindu pada yang tak terbatas. Ini yang membuat sebuah kemajuan dimungkinkan. Naluri kerinduan nalar pada yang transenden redup saat nalar difungsikan semata-mata secara komunitarian. Saat nalar terkurung oleh kategori-kategori kultural, jelajah nalar puitis pun mandek secara historis. Ia menjadi ansilla historica, hamba sejarah. Sebuah kesia-siaan yang tak perlu. Kesia-siaan yang dituduhkan para pembela nalar kepada para neosofis yang antikebenaran tunggal. Nalar identik dengan universalisme, kata mereka. Pertanyaannya kemudian adalah apakah pilihan antara relativisme dan universalisme adalah sebuah pilihan dikotomis. Saya menyodorkan hipotesis nalar puitis sebagai muara metamorfosis nalar manusia setelah pengejaran terhadap yang transenden dihentikan. Hipotesis yang ternyata banyak mendapat reaksi keras pelbagai pihak. Sebagian menafsirkannya sebagai maklumat hukuman mati bagi nalar. Tuduhan yang berpijak pada sangkaan pengulangan gagasan aleitheia Heidegger dalam hipotesis saya. Tuduhan-tuduhan itu cukup berdasar. Hanya serangan terakhir yang terdengar menggelikan. Saya dituduh memutlakkan jalan puisi. Sungguhkah demikian?

Page 27: Nalar Lincah

Jelas tergurat bahwa nalar puitis bukan puisi. Puisi bagi saya sekadar metafora bagi kemampuan nalar membuka modus-modus pengucapan baru tentang jagat raya. Kemampuan yang lenyap saat ilmu pengetahuan, filsafat, dan teologi mengejar kebenaran bukan kelainan. Pengejaran yang sadar atau tidak disadari menggendong sebuah pandangan dunia tertentu. Fisika, misalnya, dicela Heidegger sebagai semata-mata kalkulasi bukan pemikiran. Mengapa? Karena fisika tak bisa melepaskan diri dari pandangan dunia mekanistik. Ia hanya berfokus menghitung-hitung gerak-gerik semesta tanpa menghasilkan sebuah modus pengucapan alternatif. Nalar puitis juga bukan sekadar keisengan yang antinalar. Nalar puitis adalah nalar yang selalu terjaga pada "kelainan". "Kelainan" berbeda dengan yang transenden. Transendensi adalah modus epistemologis, sementara "kelainan" adalah modus puitis. Di mana letak perbedaannya? Modus epistemologis bekerja dengan kategori benar-salah. Tanah berjejak yang ditinggalkan adalah sesuatu yang kadar epistemologisnya lebih rendah ketimbang dataran kognitif baru yang dituju. Sementara "kelainan", sebaliknya, tidak berurusan dengan kategori benar-salah. Ia semata-mata sebuah kemungkinan baru dalam berbincang-bincang tentang semesta. Semesta selalu sudah menampilkan dirinya secara kebahasaan. Yang dikejar oleh nalar puitis, bukan kebenaran baru, melainkan sebuah kosakata baru tanpa klaim epistemologis apa pun. Selanjutnya, apakah nalar puitis sekadar pengulangan hipotesa "aleitheia" Martin Heidegger? Saat Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang bahasa sebagai rumah Ada, ia sesungguhnya sudah bersentuhan dengan apa yang saya maksud. Namun, ketika itu semua diletakkan dalam proyek pencarian Ada, maka ia terjebak dalam epistemologi. Berpikir seharusnya bukan mencari Ada, melainkan membangun rumah-rumah Ada yang baru. Aroma epistemologis semakin jelas tercium saat Heidegger berbicara tentang Dasein otentik yang mengambil jarak dari "ke-mereka-an" (Dasman). Pengambilan jarak Dasein, yakni being in the world, adalah sebuah momen kebenaran setelah ia tenggelam dalam kepalsuan publik. Ini semua menjadi kesulitan pokok Heidegger dari kacamata nalar puitis.

Matinya epistemologi

Kapan manusia berhenti bertanya? Nalar puitis berhenti bersuara saat pertanyaan menjelma pengalaman yang pada gilirannya menukik pada pengetahuan. Sejarah adalah hasil sedimentasi pengetahuan yang bercikal bakal pada lontaran pertanyaan nalar puitis. Sedimentasi yang menebal itulah yang membuat kita tidak lagi bertanya. Kalaupun bertanya, maka pertanyaan itu sekadar pertanyaan komunitaris. Pertanyaan yang sudah diarahkan jawabannya oleh kesepakatan epistemik satu komunitas. Ia tak bisa menembus belenggu epistemologi yang dirajutnya sendiri. Kita sedang hidup di masa yang melupakan apakah. Benarkah demikian? Nietzsche dalam bukunya, Beyond Good and Evil, mempersoalkan klaim universalitas yang baik dan yang jahat. Yang baik dan yang jahat, menurut Nietzsche, adalah bentukan sejarah orang-orang yang kalah secara moral. Ia adalah sebentuk fiksi etis-komunitarian yang diuniversalkan. Persoalan ini sepintas persoalan aksiologis (nilai). Namun, sesungguhnya ia adalah persoalan epistemologis (pengetahuan).

Page 28: Nalar Lincah

Bahwa pengetahuan kita tentang yang baik dan yang buruk adalah buatan tangan sejarah. Konsekuensinya adalah itu bukan pilihan satu-satunya. Kita bisa merajut fiksi baru untuk mendongkelnya. Berakar dari proyek-proyek genealoginya, Nietzsche pun dituduh sebagai pendaur ulang klaim-klaim relativisme kaum sofis, gagasan yang mendapatkan pembenaran dari hampir semua komentatornya. Saya sendiri akan bertanya, apakah Nietzsche sedang mempraktikkan nalar komunitaris yang tak berpuisi? Atau, sungguhkah Nietzsche bisa dijebloskan masuk pada barisan antitransenden? Padahal, kalau membuka halaman demi halaman buku-bukunya, kita menemukan jarum-jarum aforisme yang tajam menghunjam indra. Buku-bukunya adalah puisi panjang tentang kealpaan yang disahkan sejarah. Nietzsche, sebaliknya, justru menjalankan nalar puitis guna mencari gramatika epistemologi moral baru. Nietzsche membebaskan moral dari ikatan nalar konvensional. Ikatan yang membuat moral seolah-olah bersimpuh pada satu metode. Pengetahuan moral yang sudah tersedimentasi sejak lama itulah yang kemudian diruntuhkan Nietzsche. Ketika orang sudah tak lagi bertanya tentang legitimasi sebuah pengetahuan moral, Nietzsche dengan lincah memainkan nalar puitis menembus yang benar dan salah. Menjejakkan kaki kognitif di tanah tak berjejak. Melampaui relativisme. Itulah pagelaran nalar puitis yang dipertontonkan Nietzsche. Nalar puitis Nietzsche jauh melompati sedimentasi sejarah. Bergerak liar mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dan, semuanya itu hanya mungkin karena dorongan naluri akan yang lain.

Naluri akan yang lain.

Suara purba itu sirna oleh tumpukan pengalaman yang menyejarah. Tumpukan yang berakar dari kecemasan akan ribuan tanda tanya yang menyelimuti semesta. Ribuan tanda tanya yang harus dipastikan supaya manusia hidup tanpa kejutan dan entakkan. Semua tanda tanya harus dipastikan. Kalau tidak, manusia hidup dalam api kekalutan yang tak kunjung padam. Kondisi yang tentu saja tak mengenakkan. Manusia lebih suka hidup dalam-menyitir Giddens-kesadaran praktis. Kesadaran bertindak dalam mana manusia tak harus berpikir keras untuknya. Sebuah kesadaran dalam lingkup komunitarian yang pekat. Semua tanda tanya harus dipastikan. Satu saja lolos, tertib kosmis akan mengalami gangguan. Alam yang ternalar sempurna tidak boleh menyisakan ganjalan epistemologis yang mengganggu. Manusia butuh kepastian. Seperti jejaka yang menunggu jawaban pinangannya dari sang dara. Keliaran nalar pun harus dihentikan. Nalar harus bekerja tertib karena alam pun sesuatu yang tertib. Tertib alam harus terpantul sempurna dalam kinerja nalar. Yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata, menurut Hegel. Alam bekerja berdasarkan satu gramatika. Dan, gramatika itu hanya bisa disibak oleh nalar yang patuh. Jatuhnya nalar pada kesatuan gramatika membuat naluri akan yang lain lumpuh. Keberanian nalar dalam menjelajah pelbagai kemungkinan pengucapan pun dilibas oleh kecemasan epistemologis yang berlebihan. Padahal, justru relativisme lahir dari rahim kecemasan sedemikian. Kecemasan untuk mengarungi

Page 29: Nalar Lincah

ruang hampa di luar lingkungan komunitarisnya, yaitu lingkungan yang memberlakukan satu aturan bagi kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Karl Raimund Popper, filsuf sains termasyhur, menolak bentuk komunitarianisme macam itu. Ia menyerang relativisme paradigma yang digagas rekannya, Thomas Kuhn. Bagi Popper, Kuhn menjebak nalar pada kubah-kubah komunitas ilmiah yang memacetkan daya transendensinya. Daya transendensi nalar, menurut Popper, adalah saat nalar induksi digantikan oleh nalar falsifikasi. Ia mencibir metode induksi yang dibakukan positivisme sebagai pembeda sains dan nirsains. Pengumpulan fakta-fakta guna membenarkan sebuah teori cacat dari kacamata logika. Sebuah teori secara logika dapat diruntuhkan hanya dengan satu fakta yang bertolak belakang. Lahirlah nalar falsifikasi menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Ia hanya bisa dihampiri lewat uji falsifikasi terus-menerus. Teori yang paling tahan uji adalah teori yang paling dekat menghampiri kebenaran. Puitiskah nalar falsifikasi Popper? Sungguh tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Namun, kemajuan yang dihasilkan bersifat linier dan monistik. Kelincahan nalar seperti yang dipertontonkan Nietzsche tidak tampak. Kesatuan gramatika pengujian kebenaran masih menggayuti nalar falsifikasi Popper. Pandangan dunia sains pun masih mengeram pada lantai paling bawah pemikirannya. Paul Feyerabend, seorang anti-Popperian, menggugat linieritas nalar falsifikasi Popper. Baginya, mengapa tak kita biarkan nalar bekerja dalam gramatikanya sendiri-sendiri. Kesatuan metode harus memberi jalan pada pluralisme. Ia mengajak kita untuk sadar bahwa nalar adalah majemuk. Ia tidak tunggal, namun seperti digagas Wittgenstein, harus dikembalikan pada permainan bahasa masing-masing komunitas. Kelompok penolak universalisme nalar berpegangan pada premis bahwa pengetahuan adalah konstruksi budaya. Budaya adalah sesuatu yang berdiri diametral dengan pengetahuan. Pengetahuan berpegang pada obyektivitas, universalitas, dan ketetapan. Budaya, sebaliknya, sesuatu yang bergerak dan bercabang ke sana-sini seiring alun sejarah. Mengatakan pengetahuan sebagai produk budaya sama artinya dengan mengatakan bahwa pengetahuan tidak seabsolut yang dikira orang. Ia berubah dan bercabang bersama sejarah.

Pergeseran dari obyektivitas menjadi komunalitas memperoleh tantangan politis. Bagaimana kemajemukan nalar bisa dipertanggungjawabkan dari kacamata politik? Atau dengan kata lain, bagaimana sebuah hidup bersama yang baik itu mungkin? Richard Rorty, Jurgen Habermas, dan John Rawls adalah sebagian dari mereka yang menggulati masalah ini. Mereka tidak peduli dengan gramatika nalar masing-masing komunitas. Mereka memikirkan bagaimana sebuah gramatika nalar percakapan yang bisa membuat pelbagai kelompok memiliki kesatuan konsepsi tentang hidup bersama. Nalar percakapan sendiri adalah nalar yang tidak berpihak. Ia adalah prosedur bagi masing-masing nalar komunitarian dalam memutuskan sebuah konsensus. Ia tidak berurusan dengan isi

Page 30: Nalar Lincah

gramatika kultural itu sendiri, melainkan prosedur yang sehat percakapan antargramatika. Apakah ini potret nalar puitis? Dari sisi ketidakterjebakannya pada gramatika, kelompok nalar percakapan memang terdengar puitis. Namun, ketidakpeduliannya pada isi gramatika kultural itu sendiri menyimpan masalah. Nalar percakapan hanya mengamini kemajemukan gramatika tanpa memeriksa sedimentasi pengalaman yang menua dalam masing-masing gramatika. Seolah-olah masing-masing gramatika diterima apa adanya. Ini membuat agresivitas nalar puitis pun mandek. Nalar hanya diaksentuasikan dalam merumuskan prinsip-prinsip yang bisa diterima sebanyak mungkin kelompok. Namun, tidak ditatapkan pada gramatika kelompok itu sendiri. Tidak digerakkan secara lincah mencari gramatika-gramatika pengucapan baru untuk membuka lapisan-lapisan yang tersembunyi dalam sedimentasi pengalaman tersebut. Tuduhan monisme pun akhirnya bisa dijatuhkan kepada para pembela nalar percakapan. Sesuatu yang sebenarnya ingin dijauhkan mereka dari sistem-sistem pemikiran kontemporer. Kemandekan upaya eksplorasi puitis nalar membuat sejarah menang telak atas pertanyaan. Apa mendominasi apakah. Sebuah potret semesta yang digambarkan Heidegger sebagai perlahan-lahan dilanda kegelapan. Ribuan tanda tanya pun terselimuti jawaban. Yang asing hanya dihadirkan sebagai obat kecemasan. Saat manusia berhadapan dengan teka-teki yang tak terpecahkan, yang transenden didatangkan sebagai juru selamat. Tuhan bekerja secara misterius, habis perkara. Yang transenden lalu dituduh sebagai ruang hampa kognisi. Setelah nalar berhenti, intuisi bekerja meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing. Yang transenden hanya bisa dikenali lewat absennya nalar dan menguatnya hati. Nalar manusia terbatas. Begitu cibir para mistikus. Namun, nalar puitis tak mengenal horizon seperti itu. Naluri kerinduan pada yang tak terbatas membuatnya senantiasa lincah bekerja mencari gramatika-gramatika baru. Pencarian yang menyeret yang transenden ke dalam terang pengetahuan. Melampaui yang benar dan yang salah menurut sejarah. Menggeser relativisme, sekaligus senantiasa penuh selidik terhadap universalisme-absolutisme.

Hening

Tak satu pun lentera menyala saat aku membaca/ selintas suara bergumam, "segala sesuatu jatuh ke dalam kebekuan yang mencekam"/ bahkan melon atau pir dari taman tak berdaun. Sebait puisi karya penyair Wallace Stevens itu mengingatkan kita untuk selalu eling lan waspodo, ingat dan sadar, pada segurat keheningan yang senantiasa membayangi cakrawala pengetahuan. Segurat keheningan yang senantiasa membujuk kita memainkan nalar secara puitis. Pada masa yang mulai melupakan apakah ini, ingat dan sadar akan "yang hening" dan "yang lain" sungguh menjanjikan sejumput cahaya. Cahaya yang telah lama redup dalam sepak terjang sains, teologi, dan filsafat. Nalar yang digunakan tak lagi mencukupi untuk membuat puisi baru. Yang berlaku semata-mata daur ulang gramatika ilmiah, teologis, atau filosofis yang mulai menua dan membosankan. Saatnya bagi sains, teologi, dan filsafat untuk berhening sejenak. Melepaskan diri dari keramaian jawaban dan mulai belajar

Page 31: Nalar Lincah

mengajukan pertanyaan. Singkat kata, belajar merangkul kembali "kelainan" yang hilang. Keheningan dan kelainan berbeda dengan kesepian. Kita hidup dalam semesta yang menyimpan seribu gramatika pembuka rahasia. Nalar yang sadar akan multiplisitas ini tak akan berhenti pada satu sedimentasi sejarah. Melainkan, senantiasa bergulat mencari kunci-kunci pembuka tanah tak berjejak yang tertimbun sejarah. Para sahabat yang melontarkan kritik pada tulisan saya, Tanah Tak Berjejak Para Penyair, sungguh tahu bagaimana memainkan nalar secara puitis. Mereka membuka dimensi-dimensi yang saya sendiri tak menyadarinya sebelum ini. Mereka membaca sebuah gramatika baru dalam embrio pemikiran. Pembacaan yang membuat saya kembali berkhidmat pada "yang lain" dan "yang hening".

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI, Puisi-puisinya dibukukan dalam Menulis Sajak Itu Indah (1998)

MEMBANGUN NALAR YANG TAK RETAK

Adi Armin

Di manakah kenistaan peruntungan/ Jiwa yang damba jadi pemenang/ Ketulusan hati adalah keabadian/ Kejujuran insan yang tidak lazim/ Awalnya adalah keyakinan/ Inspirasi gairah/ Dewi jualah yang menjulurkan lambaian.

Kutipan puisi du Bellay ini sarat dengan renungan kuat pemikiran platonisme. Muatan itu bukan saja karena du Bellay mengusung panji-panji kaum neoplatonian dalam kelompok tujuh bintang (La Pleiade), kelompok yang merangkum tujuh sastrawan besar di zaman Raja Henri II (1519-1559), dan yang lainnya adalah Ronsard, Remy Belleau, Jodelle, Baif, Pontus, Peletier du Mans, namun lebih-lebih sedimen poetik du Bellay sendiri bersumber dari pengalaman batin dan nalar asli yang berorientasi sublim dan suci. Proses kreatifnya bersentuhan dengan metafisika yang justru disangsikan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, khususnya pada zaman surplusisme dewasa ini. La Pleiade, pengujung Abad Pertengahan, sengaja mengaktualkan kembali konstelasi sastra Yunani klasik yang berfokus pada tujuh sastrawan terkemuka masa Ptoleme Philadelphe, di antaranya Lycophrone, Homere dan Dionysiades sebagai bukti penegasan semangat renaissance yang mereka miliki, yaitu kembalinya kejayaan pemikiran Yunani dan keunggulan teknik konstruksi bangsa Romawi. Sebagaimana diketahui, Plato telah mengembangkan pemikiran umum yang membedakan pengetahuan opini yang mengandalkan penampilan realitas (doxa) dengan pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman dan keabadian (epistème). Pada perkembangannya, pemisahan kedua pengetahuan tersebut memberikan indikasi kuat bahwa penelitian rasional yang merupakan kelanjutan penelitian penampilan realitas (doxa) telah memihak pada "perangkat keras" atau kekakuan obyek formal pengetahuan yang kemudian memiliki akses bergelombang pada politik dan kekuasaan, sementara pengetahuan yang mengandalkan kebajikan moral, kedalaman

Page 32: Nalar Lincah

dan keabadian tidak demikian. Syair bening Las! Ou est maintenant yang mengabadikan ruang-ruang kedalaman dan keabadian sejajar dengan tawaran mistisisme puisi Corespondeences dari Charles Baudelaire, yang walaupun berada jauh di luar pengaruh Yunani klasik, berhasil mengoleksi metafora dan simbol-simbol memukau lewat kesatupaduan indera sebagai modalitas penalaran. Kita simak: Alam laksana kuil dengan tiang-tiang hidup/ Melepaskan suara galau/ Manusia lewat di sana melalui hutan simbol/ Menyapa dengan pandangan hangat/ Laksana gema di kejauhan yang bersahutan/ Luas bagai kelam dan cahaya/ Wewangian laksana harum bayi/

Pengaktifan total modalitas pengamatan secara simultan yang disajikan Baudelaire dapat dimaknai suatu kemungkinan pengaktifan seluruh fakultas penalaran manusia dalam menyapa realitas fenomenal yang memiliki harmoni satu sama lain. Manusia sebagai makhluk hidup yang secara "tragis" terlempar ke bumi dibekali perangkat sidik untuk memudahkan dirinya beradaptasi dengan beragam rupa tantangan natural. Bahkan, bukan hanya mampu beradaptasi, dengan kemampuan indera rohani dan jasmani, manusia sering kali memenangkan pertarungan itu berkat sukses kultural yang semakin sophisticated, yang dimilikinya, jauh melibas hadangan alam. Mercusuar pencakar langit tahan gempa didirikan, samudera ditembus, angkasa luar diacak, jarak dibonsai, waktu dikonstruksi. Namun, penalaran jasmani tidak selalu menang dalam observasi realitas. Semakin maksimal penalaran jasmani bekerja, disadari semakin ada bagian realitas yang mengelak, dan menyingkir dari observasi. Selalu ada bagian realitas yang tidak habis diverifikasi. Semakin horizon didekati, semakin mundur menyingkir horizon tersebut. Alih-alih realitas, bahkan Aku-nya manusia yang menalar pun ikut-ikutan mengelak dan tergelincir keluar dari penalaran, seru JWM Verhaar. Lihat bagaimana sibuknya fenomenologi Husserl mencari syarat-syarat transendental bagi ego dalam kerangka transendental intersubyektif. Atau, usaha Merleau-Ponty untuk menyenangkan dirinya sendiri bahwa tubuh cukup utuh pada dirinya untuk mengarah pada Dunia Hidup (lebenswelt), sehingga transendensi tidak perlu dilakukan, padahal saat mendefinisikan manusia, Ponty terjebak dalam istilahnya sendiri, yaitu manusia adalah le corps dan le sujet di mana salah satunya pasti mengelak. Bahkan, Aku-nya Wittgenstein, satu-satunya struktur yang tidak masuk dalam struktur logis. Aku-nya manusia menjadi batas dunia, suatu tindakan mengelak yang gamblang. Puncak pernyataan penalaran yang mengelak dapat ditemukan dalam rumusan pertanyaan gaya Ryle, yang bertanya: bagaimana aku mengetahui bahwa aku mengetahui sesuatu, bagaimana aku menyadari bahwa aku menyadari sesuatu. Sebuah tindakan penalaran yang mengelak yang tidak habis-habisnya.

Dari dadaran realitas dan penalaran yang memiliki kelaziman mengelak ini, masih sanggupkah dinyatakan bahwa realitas dan penalaran sepenuhnya hak manusia dan tidak ada pihak lain lebih berhak. Tidakkah ingin dikatakan bahwa realitas dan Aku menalar yang selalu mengelak tersebut terjadi karena keduanya semu belaka, sehingga harus terus-menerus dipelajari dan dikupas kemasan yang melingkupinya, sementara

Page 33: Nalar Lincah

yang sungguh-sungguh nyata dan tidak akan pernah mengelak ada di alam nomena yang gaib. Penalaran ruang luar berwujud dalam pikiran yang beroperasi secara lahir, sedangkan penalaran ruang dalam berwujud akal budi yang bersifat batin. Keduanya sebagai "sarana" hidup manusia mustahil bertentangan, apalagi saling menegasi. Ini sesuai dengan pengertian nalar, yaitu berupa pertimbangan baik-buruk secara akal budi atau aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir, suatu jangkauan pikir atau kekuatan pikir. Dari pengertian tersebut, kita tentu menyangkal pernyataan bahwa makna nalar atau penalaran hanya terbatas pada proses berpikir yang bertitik tolak dari pengamatan indera yang mengandalkan observasi pengalaman. Tentu akan dibantah pihak-pihak yang mempropagandakan hasil penalaran hanya berkisar proses penyimpulan yang dibangun dari proposisi anteseden dan premis sesuai teks-teks logika. Sama halnya keberatan akan diajukan pada anggapan penalaran hanya terdiri dari induksi, deduksi, abduksi, sebagai hal niscaya secara kategoris. Nalar lincah dan supel dalam Menolak Nalar Murni, Mencegah Hidup Tanpa Nalar oleh Bagus Takwin ("Bentara", Kompas, 4/7/2003) ataupun nalar yang memuisi dalam Tanah Tak Berjejak Para Penyair, Donny Gahral Adian ("Bentara", Kompas, 2/5/2003), saya kira hanya persoalan operasional teknis penalaran dan bukan hakikat penalaran, sama halnya penekanan dan pertentangan yang timbul dalam berbagai isme. Penalaran yang memuisi adalah manifestasi penyiasatan terhadap realitas yang mengelak tadi. Tidakkah Nietzsche menyatakan bahwa realitas yang tersisa pastilah "puisi". Penalaran utuh tidak menghasilkan benturan, sebab proses penalaran adalah proses menyeluruh kesadaran manusia yang melibatkan pikir dan akal budi. Polarisasi pemikiran dalam tataran praksis terjadi karena realitas dilihat secara fragmentatif, dari sisi subyek, obyek atau dari sisi keduanya secara berbalasan. Kekhawatiran Bagus Takwin bahwa nalar asli tidak sanggup mengatasi pluralisme dan heterogenitas persoalan adalah kekhawatiran berlebihan. Dalam operasionalisi, nalar asli dapat saja menumpang pada berbagai isme yang ada, tetapi tidak menumpang untuk selamanya, dalam arti, sadar diri dan kritis pada dasar mana ia berpijak, dan saat mana ia harus berpindah demi keselarasan dan keseimbangan. Nalar lincah dan supel yang dibarengi ketundukan dan kepatuhan. Ungkapan penolakan terhadap nalar asli justru mengingkari sifat-sifat lincah, supel, patuh dan tunduk dari nalar sendiri, sebab ia terjerumus dalam lubang yang digalinya sendiri, tidak toleran, sok kuasa yang justru dibenci mazhab-mazhab pemikiran operasional sekarang, semacam neopragmatisme hermeunetik, dan dekonstruksi. Pemujaan Husain terhadap nalar asli seperti Parmenides, Zeno, Pythagoras, Plato seperti dituduhkan bukan hal yang disesalkan, sebab Husain tentu saja memiliki pengalaman tersendiri sebelum menjatuhkan pilihan. Sesuatu yang dialami (kata dialami, harus digarisbawahi) akan memberikan kesadaran sekaligus pengetahuan untuk kemudian memilih mana yang sesuai. Toh, pemikiran-pemikiran itu sebetulnya terletak di masa depan. Secara ontologis masa depan adalah masa-masa yang telah manusia lalui, yaitu saat usia alam semesta baru terbentuk, sehingga manusia yang hidup sezaman dengan kebaruan alam semesta itulah yang baru. Manusia yang hidup di milenium ketiga berada pada alam semesta yang sudah uzur dan

Page 34: Nalar Lincah

habis tereksploitasi, karenanya tidak dapat disebutkan dunia masa depan. Masa depan telah direngkuh habis kaum yang hidup sebelum kita, sedangkan masa belakang adalah masa anak cucu kita hidup kelak. Dalam penjelasan inilah, konsepsi ikut, pengikut dan penerus terhadap orang-orang suci, misalnya kepada Sidharta Gautama, Gandi, Confusius dapat diterima. Kebaruan yang ditemukan dan akan ditemukan tidak lain adalah kebaruan semu semata yang akan dikalahkan oleh penemuan setelahnya. Pandangan dimensi waktu demikian dianut ilmuwan dan filsuf besar, semacam JJ Roussseau. Kita tidak perlu kecil hati dengan cap mitis yang dikenakan Bagus Takwin pada pemikiran demikian, karena pemikiran mitis di mana manusia dalam keadaan terlingkup dan tidak sanggup keluar mengambil jarak pengamatan berlangsung sepanjang masa. Bayangkan seberapa kuat manusia sanggup mengambil jarak terhadap informasi di era mediamorfosis (Kompas, 28/5/2003) Di tengah banjir deras informasi, kita kelabakan menyeleksi yang baik dan yang tidak baik, sebab keterbatasan waktu dan ketidaksabaran melolahnya, sehingga, situasi mitis secara sadar atau tidak ternyata bagian dari kita.

Keutuhan nalar, mungkinkah?

Operasi nalar yang tidak terpecah, di samping pemikiran para "Nabi" di atas, sebetulnya dapat ditemukan dalam alur pemikiran Descartes, bapak Rasionalisme, khususnya yang termuat dalam karya berjudul Meditations. Karya ini dapat disebut masterpiece dan menduduki tempat terhormat dibanding karya-karyanya yang lain. Meditations pertama kali ditulis dalam bahasa Latin, tahun 1641, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Le duc de Luynes beberapa waktu kemudian. Menurut Descartes, tujuan pembuatan karya ini adalah ikhtiar pencarian kebenaran abadi sama seperti pustaka-pustaka lain dari Descartes, semisal Les Principes. Namun, pengembaraan penelusuran misteri kebenaran dalam Meditations diteruskan pada level lebih tinggi, yaitu tataran metafisika yang menyuguhkan kedalaman. Dalam upaya penyusunan kerangka dan isi Meditations, Descartes bertutur: "Dalam filsafat, seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang lebih berguna lagi, kecuali mencari satu kali, dengan tekun, terus-menerus, hal yang terbaik, tersolid, yang akan mengantarnya pada Aturan Jelas dan Tepat, yang akan melingkupi segenap manusia dalam hubungannnya dengan alam semesta." Semangat Descartes terbukti dalam kaitan dengan proses kreatif Meditations. Pada sebuah diskusi seru, tepatnya November 1627, Descartes pernah berjanji kepada Cardinal Berulle, yang menantangnya melakukan reformasi filsafat. Baru empat belas tahun kemudian tantangan itu terjawab dengan munculnya Meditations. Kita telusuri sejenak sketsa penalaran Descartes dalam Meditations untuk sampai pada skema fisik dan metafisik penalaran Cartesien yang seutuhnya. Dari ragu menuju keraguan. Seharusnya ditegaskan bahwa keraguan Descartes bukan keraguan yang dapat diasimilasi dengan keraguan skeptis dan pesimis, melainkan usaha metodis pencarian kepastian, termasuk hal tetap dan ajeg dalam ilmu pengetahuan. Jenis ragu pertama adalah keraguan terhadap gagasan-gagasan, keyakinan yang diterima dogmatis, serta prasangka-prasangka penuh kontradiksi dan paradoks. Terhadap ini, Descartes

Page 35: Nalar Lincah

memperlawankannya dengan keraguan metodis. Oposisi yang sama berlaku juga terhadap pernyataan yang didukung argumen kabur, ilusif dan penuh khayalan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan keragu-raguan. Lebih dari itu, setumpuk argumen yang bersumber dari bakat genetik dan inteligensia cerdas yang dapat menyungkup kebenaran-kebenaran matematik dianggap dapat memancing keraguan, yang di dalam Meditation diistilahkan sebagai keraguan hiperbolik.

Keraguan adalah tindakan penalaran (cogito). Descartes berkeyakinan bahwa pikiran lebih mudah diketahui ketimbang kompleksitas kerja aspek fisiologis tubuh manusia. Pikiran lebih mudah dikenal ketimbang benda material serta jiwa psikis. Sementara pikiran dan penalaran hanya dapat berfungsi secara maksimal dengan hadirnya keraguan. Keraguan adalah suatu kepastian penalaran. Tindakan menalar secara utuh adalah keadaan yang menunjukkan kehadiran pikiran dan nonpikiran, seperti halnya tindakan yang memakai sarana-sarana fisik. Menalar adalah situasi yang berkaitan dengan momen waktu. Keberadaan Tuhan merupakan bukti ontologis format Cartesian. Bagian ini sangat menarik dan mengandung perdebatan karena menyangkut studi logis yang dapat diterima rasio soal pandangan yang dapat dipercaya untuk menjawab pertanyaan: dalam hal dan sumber apa ide berhubungan dengan realitas? Sejak Abad Pertengahan sampai sekarang persoalan ini merupakan lahan sangat subur yang menuai kritik dalam perjalanan sejarah filsafat, karena setelahnya menandakan patahan lebar terhadap periodisasi pemikiran, misalnya Kant dengan model empat kategori imperatifnya memaklumatkan metafisika tidak secuil pun memberi ide dalam pengetahuan realitas. Untuk menyiasati masalah, Descartes menukar substansi realitas material dengan keberadaan "suatu keluasan" yang bertumpu pada sumbu gerak kesempurnaan yang bertingkat secara hierarkis. Maka, saat pertimbangan mengenai realitas dilakukan harus diartikan sebagai pertimbangan langsung terhadap nilai yang bersifat mobil secara gradual. Pernyataan "saya berpikir" tidak dapat diartikan sebagai berpikir obyek lazim, tetapi pertama-tama harus ditujukan untuk memastikan isi (content). Isi yang tidak terperangkap pada keraguan dan hanya berhubungan dengan dirinya sendiri yang berakhir pada puncak yang disebut "idée innée", (ide bawaan yang tidak didahului pengalaman), yaitu, kecuali berupa ide sempurna yang dapat ada. Dari sini Descartes memastikan kehadiran kesempurnaan yang lain, yaitu bukti ontologis kehadiran Tuhan sebagai esensi dalam eksistensinya, di mana dengan hasil perenungan, nalar asli atau ide bawaan seirama dengan denyut alam semesta.

Cogito, Ergo Sum adalah proses penalaran tanpa obyek normal (intransitif). Pola berpikir demikian berbeda dengan pola berpikir sementara kalangan dalam model-model ilmu pengetahuan. Model berpikir ilmu pengetahuan selalu memiliki obyek, bersifat transitif, dan tidak mencakup realitas yang mengelak. Nalar Descartes adalah nalar di mana subyek sekaligus menjadi obyek. Prinsip-prinsip induksi dan deduksi bekerja secara simultan, emanasi dan remanasi yang berbalasan. Para pengkritik Descartes telah menuduhnya melakukan pemisahan yang tidak

Page 36: Nalar Lincah

dapat diatasi atas dua substansi, yaitu: jiwa dan materi yang kemudian dijembatani oleh fenomenologi Husserl, namun hakikatnya tuduhan tersebut tidak seluruhnya benar. Pada tatanan metafisik, Descartes mengakhiri usahanya di ujung idealisme yang sangat jelas. Definisi "Cogito, ergo sum" bukan hanya berkenaan dengan dunia luar, melainkan juga berkaitan dengan kehadiran Tuhan yang menyatakan sebab pertama dari dua substansi, yaitu: benda dan jiwa, nalar. Ia setuju dengan tradisi mistik Plato dan mentransformasi kenangannya pada teori ide asal. Pernyataannya tentang kehadiran Tuhan didirikan di atas argumen ontologis yang menggunakan kategori Abad Pertengahan mengenai konsep kesempurnaan dan keutamaan yang belakangan diungkap oleh Kant. Namun, jika Kant antimetafisika, sebaliknya bagi Descartes. Metafisika baginya adalah tempat di mana ilmu pengetahuan bersandar. Secara bersamaan, ia memberikan tempat bagi akar ke-Ilahian dan pengetahuan, yang pada gilirannya, menjadikan unsur fisik sebagai perluasannya. Dengan demikian, tidak ada pelompatan nalar dalam pemikiran Descartes, sebab pemisahan substansial antara jiwa dan tubuh justru menghasilkan tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan pikiran, pengetahuan benda, dan pengetahuan tentang penyatuan keduanya. Akhirnya, pada tataran metafisika, jejaknya berhenti pada tiga postulat dasar, yaitu prioritas jiwa di atas materi. ketiadaan dunia luar yang tidak dapat dipersepsi, agnostisisme dan relativisme, yaitu keserbamungkinan teori dan metode dalam pendekatan terhadap realitas yang merupakan bukti eksistensi sesuatu yang diragukan. Bukti lain ontologi Tuhan melalui kehadiran waktu. Cogito hanya berlangsung sesaat dalam dimensi waktu, berapa detik, menit, semestinya ada penyebab yang bukan hanya mencipta, tetapi juga menjaga ciptaannya di luar tebasan waktu. Descartes menunjuk harmoni hukum-hukum universal alam semesta sebagai bukti. Berkat bukti-bukti kosmologis itu, keteraturan alam mengantar penalaran pikiran pada Pencipta keteraturan itu sendiri. Pengetahuan keberadaan Tuhan memungkinkan pengetahuan tentang jiwa. Teori benda telah cukup memadai, sementara penghayatan dan keinginan untuk bebas menyadarkan kita tentang tingkat pengetahuan. Kebebasan yang benar yang lepas dari sewenang-wenang akan mendukung kejelasan yang sempurna dalam benda, sebagai manifestasi determinasi sempurna keinginan. Penjelasan mengenai ide sesuatu dan bukan sesuatu an sich mulai dari prinsip-prinsip sederhana dari mana ilmu pengetahuan tercipta. Sementara itu, ide sesuatu tidak dinilai berada dalam sesuatu itu, tidak ditunjukkan dalam eksistensinya, melainkan dalam jiwa yang terdiri dari ide-ide yang jelas dan sederhana, misalnya, gerakan, figura, dan prinsip-prinsip geometri.

Nalar manusia yang menyejarah

Corak pemikiran di belahan dunia berkembang disebut secara sinis sebagai "katak di bawah tempurung", (François Dortier, 2000), sebab pemikirannya tidak mandiri, malu-malu, kerdil, tidak percaya diri, condong mengadopsi pemikiran luar tanpa kritik. Pemikiran ahistoris yang lepas dari warna dan corak kehidupan sosial masyarakat, sementara pemikiran yang diadopsi meloncat loncat tergantung ketersediaan informasi. Dalam

Page 37: Nalar Lincah

kepustakaan epistemologi dicitrakan betapa besar peran pengalaman, memori, kesaksian, curiosity dalam menyumbang penalaran untuk pembentukan pengetahuan. Pada setiap pertemuan, Donny dan Bagus Takwin, mungkin mengisyaratkan mewakili sayap kaum Nietzschien yang menebar pesimisme terhadap keyakinan tradisional dan gelisah laksana filsuf sinis Yunani, Diogène, yang membawa obor menyala di bawah terik matahari kota, di tengah kerumunan orang, sambil menyeru: "Saya mencari Manusia", padahal, kenyataannya di sekitar kita tidak sedramatis itu. Nihilisme Nietzschien, misalnya, tanpa jauh-jauh dapat ditemukan tingkat personifikasinya pada medan laga Kurusetra dalam kisah Mahabaratha. Kisah yang melumpuhkan segala jenis nilai normatif yang diakui dan disanjung tata kehidupan manusia sehari-hari. Dalam kisah agung tersebut dimuat paradoksi, ironi yang diramu secara destruksi masif, sehingga dibutuhkan pembangunan bumi baru, tatanan dan keteraturan baru ala Nietzsche. Tubuh Bhisma terbaring di atas kasur panah murid kesayangannya, Arjuna, demi membela Hastinapura yang justru diperintah keluarganya yang despotik dan nepotis. Sang cendekia sejati Yama Widura mengingkari sumpah sejatinya atas nama pengabdian kepada Destarasta. Panglima Karna protes pada penetapan Dewa, menyangkal keimanannya pada Langit, karena nasibnya, terlahir akibat keisengan Dewa Surya, dihanyutkan demi kehormatan ibundanya yang dikenalinya justru saat pagelaran perang dahsyat mulai. Ia harus memerangi adik-adiknya, Pandawa, demi kesetiakawanan kepada tokoh jahat Duryudana. Karna membangkang pada Langit yang dianggapnya tidak adil. Bukankah itu pemutarbalikan norma yang dirontokkan Nietzsche, menantang Hari Pembalasan, dosa dan kiamat, sehingga ia berujar urgensi pencarian iman dan keyakinan baru. Siapa Kresna yang memanjangkan tak henti-henti selendang Drupadi agar tidak terbuka auratnya? Yang menjadi duta perdamaian ke Hastinapura? Yang menjadi kusir kereta perang Arjuna, sehingga ia menang terhadap Karna? Yang merancang pembunuhan Bhisma? Yang membantu Bima mematahkan paha Duryudana dalam duel maut? Bukankah ia tokoh "Manusia Super" dalam filsafat Nietzsche. Saat kita tidak mampu mengambil jarak dari kungkungan arus pemikiran luar, sekali lagi saat itu mistisisme kembali mengungkung kita. Model penalaran (paradigma, metodologi) negeri kita akan semakin layu, jika tidak berpijak pada realitasnya, yaitu bangsa plural yang berkeyakinan sejak masa nenek moyangnya. Kematian pemikiran akan terjadi jika ahli pikirnya lupa memijak tanahnya, alpa menjunjung langitnya demi menuju misi universalnya, dan ilmuwan sosial tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya. Konsepsi pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya yang pernah menjadi jargon pembangunan di masa Orba urgen dikaji lagi, diperdalam dan diperluas, sebab motif kemanusiaan universal dapat menjadi modal utama untuk mengatasi pluralisme di antara kita. Kita adalah saudara, manusia sama yang terlempar tanpa diberi hak memilih ke muka bumi, terlepas dari berbagai keberagaman kita. Jika sumber-sumber kebaikan dan kebijaksanaan formal, seperti agama dan kepercayaan, termasuk ideologi belum lagi ampuh melaksanakan terapi bagi multi krisis umat manusia, maka yang harus didiagnosa menurut hemat saya adalah mengoreksi kembali

Page 38: Nalar Lincah

asumsi-asumsi dasar dalam beragama dan berkeyakinan serta berideologi.

Di luar itu, untuk menjadikan esok yang penuh semangat, hasrat dalam kedamaian, mari menalar hal-hal yang "enteng-enteng" saja dan merefleksi syair-syair cinta, kasih sayang, niscaya kebahagiaan yang didasari keutuhan manusia akan membangkitkan gairah hidup yang kuat seribu tahun lagi. Kita simak sepenggal puisi cinta dari Donny: Ada bulan yang ramah/ Dan bintang yang manis/ Saat cinta melintas diri/ Semua begitu Indah/ Pintu-pintu hati menjadi terbuka/ Seperti hendak membuka tabir kasih/ Menuju kebahagiaan yang abadi/ Yang sebelumnya tak pernah terungkap. Juga puisi jernih dan syahdu dari Bagus Takwin: Sempat kuintip maghrib/ lewat jendela yang belum sempat/ kututup/ Pepohonan diam/ dan sepi bertebaran di selanya/ Hujan lamat-lamat turun/ mengusap bumi yang sudah/ pulang…/ …Ya, aku lihat bumi sebagai anak/ alam yang patuh/ Gelap lembut menyelimutinya/ Alam bernyanyi dalam koor/ ribuan serangga…/ …Perlahan bumi memejam mata/ dingin merambat, merata/ semua gemuruh lenyap/ semua getar senyap/ Lalu yang tinggal hanya kelam dan aku/ dalam takjub kami termangu.

Adi Armin Magister Filsafat, Dosen Filsafat pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar

TANAH TAK BERJEJAK PARA PENYAIR

Oleh: Donny Gahral Adian

Pemaknaan semesta bukan hanya buah usaha manusia. Langit sendiri menyingkap segenap rahasia dan melahirkan agama. Akibatnya, semesta pun dipadati oleh kategori-kategori teologis yang membelah kenyataan menjadi profan dan sakral. Kategorisasi yang menjelmakan spiritualitas dalam kemaujudan total sehingga tak lagi sensitif akan keasingan. Teologi adalah antropologi terselubung, begitu cibir filosof Jerman, Feurbach. Yang Ilahi telah dimutlakkan oleh sejarah agama-agama.

Mengencangnya semangat pencarian yang sempat membeku oleh absolutisme teologis melahirkan sebuah guncangan keras pada peradaban. Guncangan yang diprovokasi oleh filsafat dan sains. Keduanya melahirkan sebuah kala kebaruan yang sudah demikian mendesak untuk menapakkan kakinya dalam sejarah. Kala yang memuja pencarian nalar dan indrawi: potensi-potensi kemanusiaan yang sempat lumpuh di tangan teologi yang mau menang sendiri. Lalu, siapakah sang juru selamat keasingan itu. Di tengah kejenuhan yang melanda filsafat, sains dan agama, sebagian berpaling ke puisi, sang mesias.

Ketika sains-agama-filsafat mengafirmasi kenyataan secara absolut, puisi–menurut John Keats, penyair metafisik Inggris–adalah satu-satunya yang mampu merangkul keasingan. Penyair dikaruniai ketabahan ekstra untuk bersemayam dalam jagat keremang-remangan tanpa sedetik pun tergoda berpaling pada kemutlakan. Dengan kata lain, ia-lah sang pelayar dalam

Page 39: Nalar Lincah

samudera yang diciptakan Nietzsche. Sebuah pelayaran eksistensial yang menorehkan guratan-guratan baru dalam ranah pengalaman manusia. Di tengah hiruk-pikuk dunia, penyair berkontemplasi di ruang antara keakraban dan keasingan. Ia adalah penghuni tanah antara. Hölderlin, penyair Jerman abad ke-19, menyebutnya Demigod (makhluk setengah dewa).

Kuasa bertutur benar sebagai kemampuan spesial para penyair kemudian ditanggapi secara beragam oleh para empu filsafat. Gugatan keras datang dari Plato yang menolak kewenangan epistemologis para penyair tersebut. Para penyair baginya tak lebih sebagai penutur kesesatan. Apa yang mereka tuturkan sekadar jiplakan tak sempurna dari dunia kasatmata: dunia yang juga jiplakan tak sempurna dari bentuk-bentuk ideal surgawi. Puisi, karenanya, harus diletakkan di lantai paling bawah piramida kebenaran.

Bahasa puitis pun dicibir logosentrisme sebagai retorika terselubung, semata-mata mengejar keterpengaruhan emotif bukan kognitif. Sebuah stigma yang bisa menjelaskan mengapa studi puisi semasa Yunani Kuno dimasukkan dalam kurikulum pendidikan para politisi, kalangan yang dituntut terampil mengambil hati, bukan nalar lawan politiknya. Logosentrisme sangat yakin pada sebuah semesta yang sudah jadi (ready made universe) dan menugaskan filsafat mencari kosakata paling sah untuk mewakilinya.

Penugasan ini menghasilkan sebuah diskriminasi semantik. Bahasa puitis dilihat tak lebih dari bahasa bayang-bayang. Ia tidak melekat pada dunia yang diamini filsafat. Mengapa peradaban manusia selalu saja dikepung oleh kategori-kategori kehadiran-kesejatian. Ke mana pun melangkah, kita selalu dihadang oleh tembok-tembok yang membatasi kita dari keasingan. Alasannya sangat psikologis. Manusia tak tahan bergulat dengan keasingan atau kekosongan. Manusia selalu berpikir tentang kesejatian: sesuatu yang tidak pernah ditemukannya dalam keasingan.

Peradaban mesin telah menyingkirkan yang asing dari dunia. Yang asing sudah beristirahat selamanya dari pergulatan manusia dengan kenyataan. Hölderlin menyebut momen kehilangan ini sebagai masa-masa serba kekurangan, miskin dan suram (destitute time). Masa ketika teknosains modern mematikan cahaya kebisajadian di sekujur tubuh alam raya. Dunia kehilangan saat-saat romantis ketika cahaya keasingan masih menyelimutinya. Dunia, menurut Hölderlin, sudah menjejakkan kakinya di tepian senja sejak minggatnya dewa-dewa.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI, puisi-puisinya pernah dibukukan dalam “Menulis Sajak Itu Indah" (1998)