musik kontemporer di daerah sunda sebagai upaya pengembangan musik lokal yang berwawasan

8
Musik Kontemporer di dareh Sunda sebagai Upaya Pengembangan Musik Lokal yang Berwawasan Global Paradigma tentang musik kontemporer akan sulit dipahami apabila kita hanya menggunakan parameter yang sempit serta hanya berdasar pada pemahaman budaya lokal saja. Berdasar pada berbagai referensi bahwa asal usul istilah itu datang ke negeri kita dapat dipastikan berasal dari budaya Barat (Eropa-Amerika). Oleh karena itu pemahaman masyarakat kita terhadap musik kontemporer seringkali agak keliru. Tentang hal itu, seorang tokoh musik di Indonesia yaitu Suka Hardjana pernah mengemukakan,Secara spesifik, musik kontemporer hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan perkembangan sejarah musik barat di Eropa dan Amerika. Namun, walaupun dapat mengacu pada sebuah pemahaman yang spesifik, sesungguhnya label kontemporer yang dibubuhkan pada kata seni maupun musik sama sekali tidak menunjuk pada sebuah pengertian yang per definisi bersifat normatif. Itulah sebabnya, terutama bagi mereka yang awam, seni atau musik kontemporer banyak menimbulkan kesalahpahaman yang berlarut-larut. Istilah musik kontemporer yang seringkali diterjemahkan menjadi “musik baru” atau “musik masa kini” menyebabkan persepsi bahwa jenis musik apapun yang dibuat pada saat sekarang dapat disebut sebagai musik kontemporer. Padahal istilah kontemporer yang melekat pada kata “musik” itu bukanlah menjelaskan tentang jenis (genre), aliran atau gaya musik, akan tetapi lebih spesifik pada sikap atau cara pandang senimannya yang tentunya tersirat dalam konsep serta gramatik musiknya yang memiliki nilai-nilai “kekinian”. Persoalannya adalah, untuk mengetahui apa yang “terkini” tentu saja kita mesti memiliki referensi secara historis. Melalui kesadaran historislah seseorang akan memiliki wahana yang dapat digunakan untuk menilai serta memahami aspek “kebaruan” dalam karya musik (baca:musik kontemporer). Bagi pemahaman sebagian orang, musik kontemporer selalu dikaitkan dengan konsep penggunaan alat musiknya. Yang paling trend adalah ketika suatu karya musik menggunakan campuran alat “modern” dan “tradisional” dapat memberi penegasan bahwa itulah musik kontemporer. Walaupun pada kenyataannya banyak karya musik kontemporer menggunakan campuran alat musik seperti yang disebutkan di atas, akan tetapi konsep atau ide dengan campuran alat musik tersebut sebenarnya belum dapat menjamin bahwa karya musik tersebut adalah musik kontemporer. Bagi saya, penerapan istilah “modern-tradisional” atau “konvensional-non konvensional” yang ditujukan pada sebuah alat/instrumen musik sebenarnya agak membingungkan. Sistem pengelompokan musik berdasar penggunaan instrumen yang dangkal tersebut justru diruntuhkan oleh ideologi para komponis kontemporer. Bagi para komponis kontemporer, semua instrumen musik yang digunakan dalam karyanya dikembalikan harfiahnya sebagai alat permainan. Dengan demikian sekat-sekat cara penggunaan atau teknik bermain alat musik yang bersifat konservatif dan secara geokultural terasa sempit itu dibuka seluas-luasnya. Bahkan penemuan-penemuan dalam bidang organologi atau pemanfaatan teknologi canggih menjadi orientasi penting dalam perkembangan musik kontemporer. Musik Kontemporer Di Daerah Sunda

Upload: aldora-oktaviana

Post on 01-Jan-2016

316 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

fs fd

TRANSCRIPT

Page 1: Musik Kontemporer Di Daerah Sunda Sebagai Upaya Pengembangan Musik Lokal Yang Berwawasan

Musik Kontemporer di dareh Sunda sebagai Upaya Pengembangan Musik Lokal yang Berwawasan Global

Paradigma tentang musik kontemporer akan sulit dipahami apabila kita hanya menggunakan parameter yang  sempit serta hanya berdasar pada pemahaman budaya lokal saja. Berdasar pada berbagai referensi bahwa asal usul istilah itu datang ke negeri kita dapat dipastikan berasal dari budaya Barat (Eropa-Amerika). Oleh karena itu pemahaman masyarakat kita terhadap musik kontemporer seringkali agak keliru. Tentang hal itu, seorang tokoh musik di Indonesia yaitu Suka

Hardjana pernah mengemukakan,Secara spesifik, musik kontemporer hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan perkembangan sejarah musik barat di Eropa dan Amerika. Namun, walaupun dapat mengacu pada sebuah pemahaman yang spesifik, sesungguhnya label kontemporer yang dibubuhkan pada kata seni maupun musik sama sekali tidak menunjuk pada sebuah pengertian yang per definisi bersifat normatif. Itulah sebabnya, terutama bagi mereka yang awam, seni atau musik kontemporer banyak menimbulkan kesalahpahaman yang berlarut-larut.

Istilah musik kontemporer yang seringkali diterjemahkan menjadi “musik baru” atau “musik masa kini” menyebabkan persepsi bahwa jenis musik apapun yang dibuat pada saat sekarang dapat disebut sebagai musik kontemporer. Padahal istilah kontemporer yang melekat pada kata “musik” itu bukanlah menjelaskan tentang jenis (genre), aliran atau gaya musik, akan tetapi lebih spesifik pada sikap atau cara pandang senimannya yang tentunya tersirat dalam konsep serta gramatik  musiknya yang memiliki nilai-nilai “kekinian”. Persoalannya adalah, untuk mengetahui apa yang “terkini” tentu saja kita mesti memiliki referensi secara historis. Melalui kesadaran historislah seseorang akan memiliki wahana yang dapat digunakan untuk menilai serta memahami aspek “kebaruan” dalam karya musik (baca:musik kontemporer).

Bagi pemahaman sebagian orang, musik kontemporer selalu dikaitkan dengan konsep penggunaan alat musiknya. Yang paling trend adalah ketika suatu karya musik menggunakan campuran alat “modern” dan “tradisional” dapat memberi penegasan bahwa itulah musik kontemporer. Walaupun pada kenyataannya banyak karya musik kontemporer menggunakan campuran alat musik seperti yang disebutkan di atas, akan tetapi konsep atau ide dengan campuran alat musik tersebut sebenarnya belum dapat menjamin bahwa karya musik tersebut adalah musik kontemporer. Bagi saya, penerapan istilah “modern-tradisional” atau “konvensional-non konvensional” yang ditujukan pada sebuah alat/instrumen musik sebenarnya agak membingungkan. Sistem pengelompokan musik berdasar penggunaan instrumen yang dangkal tersebut justru diruntuhkan oleh ideologi para komponis kontemporer. Bagi para komponis kontemporer, semua instrumen musik yang digunakan dalam karyanya dikembalikan harfiahnya sebagai alat permainan. Dengan demikian sekat-sekat cara penggunaan atau teknik bermain alat musik yang bersifat konservatif dan secara geokultural terasa sempit itu dibuka seluas-luasnya. Bahkan penemuan-penemuan dalam bidang organologi atau pemanfaatan teknologi canggih menjadi orientasi penting dalam perkembangan musik kontemporer.

Musik Kontemporer Di Daerah Sunda

Mengamati perkembangan musik kontemporer di daerah sendiri tampaknya agak menyedihkan. Selain apresiasi masyarakat Sunda belum begitu memadai, para komponisnya yang relatif sangat sedikit, juga dukungan pemerintah setempat atau sponsor-sponsor lain untuk  penyelenggaraan konser-konser musik kontemporer sangat kurang. Di Yogyakarta misalnya, secara konsisten selama belasan tahun mereka berhasil menyelenggarakan acara Yogyakarta Gamelan Festival tingkat Internasional  yang didalamnya banyak sekali karya-karya musik kontemporer dipentaskan. Kota Solo pada tahun 2007 dan 2008 telah menyelenggarakan acara SIEM (Solo International Ethnic Music). Banyak karya-karya musik kontemporer dipentaskan dalam acara itu dengan jumlah penonton kurang lebih 50.000 orang. Festival “World Music” dengan nama acara “Hitam Putih” di Riau, Festival Gong Kebyar di Bali dan lain sebagainya. Acara-acara tersebut secara rutin dilakukan bukan sekedar “ritual” atau memiliki tujuan memecahkan rekor Muri apalagi mencari keuntungan, karena pementasan musik kontemporer seperti yang pernah dikatakan Harry Roesli merupakan “seni yang merugi akan tetapi melaba dalam tata nilai”.

Sebenarnya banyak  komponis kontemporer di daerah Sunda yang cukup potensial, akan tetapi sangat sedikit yang konsisten. Salah satu komponis pertama yang perlu disebut adalah Nano S. Meskipun aktifitasnya lebih cenderung sebagai pencipta lagu, akan tetapi beberapa karyanya seperti karya “Sangkuriang” atau “Warna” memberi nafas baru dalam pengembangan musik Sunda. Komponis lain seperti Suhendi Afrianto, Ismet Ruhimat sangat nyata upayanya dalam pengembangan instrumentasi pada gamelan Sunda. Dodong Kodir yang cukup konsisten dalam upaya mengembangkan aspek organologi dalam komposisinya, Ade Rudiana yang sukses dalam

Page 2: Musik Kontemporer Di Daerah Sunda Sebagai Upaya Pengembangan Musik Lokal Yang Berwawasan

pengembangan dibidang komposisi musik perkusi, Lili Suparli yang memegang prinsip kuat dalam pengolahan idiom-idiom musik tradisi  Sunda, serta tak kalah penting komponis-komponis seperti Dedy Satya Hadianda, Dody Satya Eka Gustdiman, Oya Yukarya, Dedy Hernawan, Ayo Sutarma yang karya-karyanya cukup variatif dan memiliki orsinalitas dilihat dari aspek kompositorisnya. (posisi penulis sebagai komponis juga memiliki ideologi yang kurang lebih sama dengan para komponis yang terakhir disebutkan).

Dari beberapa komponis Sunda seperti yang telah disebutkan di atas, secara kompositoris karakteristik karyanya dapat dipetakan menjadi tiga kategori. Pertama adalah karya musik yang bersifat “musik iringan”. Konsep komposisi dalam karya seperti ini berdasar pada penciptaan suatu melodi (bentuk lagu/intrumental), kemudian elemen-elemen lainnya berfungsi mengiringi melodi tersebut. Kedua adalah karya musik yang bersifat “illustratif”. Konsep komposisinya berusaha menggambarkan sesuatu dari naskah cerita, puisi dan lain-lain. Dengan demikian orientasi musiknya lebih tertuju pada penciptaan suasana-suasana yang berdasar pada interpretasi komponisnya. Ketiga adalah karya musik yang bersifat otonom. Karya musik seperti ini biasanya sangat sulit dipahami oleh orang awam. Selain bentuknya yang tidak baku, aspek gramatika musiknya pun sangat berbeda jika dibandingkan dengan karya-karya tradisi. Kadang-kadang karya-karya musik seperti ini sering menimbulkan hal yang kontroversial. Seperti yang “anti tradisi”, padahal secara sadar atau tidak, semua tatanan konsepnya bersumber dari tradisi. Kategori yang seperti ini lebih dekat atau lebih cocok dengan fenomena musik kontemporer Barat (Eropa-Amerika).

Page 3: Musik Kontemporer Di Daerah Sunda Sebagai Upaya Pengembangan Musik Lokal Yang Berwawasan

Sekitar Kontemporer Dalam Musik Kebudayaan Minang

Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri dan perlu diakui ialah, bahwa kemunculan istilah (terminology) “kontemporer”  di Indo-nesia tidak terlepas dari “ulah” kaum akademis anak negeri

ini. Istilah yang bukan merupakan produk budaya masyarakat di Indonesia itu mereka adopsi berdasarkan pemahaman yang beragam.

Ternyata istilah “kontemporer”  adalah istilah yang mem-punyai arti terlalu luas. Dalam diskusi sekitar masalah-masalah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki sebagai acara Pesta Seni Jakarta pada [tanggal] 13 Desember 1970 yang lalu, oleh para peserta secara diam-diam rupanya telah disetujui pilihan yang

diajukan oleh Dr. Fuad Hasan, yaitu bahwa seni kontemporer adalah seni yang menggambarkan “Zeitgeist” atau jiwa waktu masa kini (…). [Sedyawati sendiri berpandangan, bahwa] yang lebih mendekati maksud yang dituju, yaitu: seni kontemporer adalah seni yang menunjukkan daya cipta yang hidup, atau menurut istilah Dr. Umar Kayam: yang menunjukkan kondisi kreatif dari masa terakhir (Sedyawati, 1981:122).

Polemik dengan penilaian yang lebih menukik lagi tentang istilah kontemporer dan penerapannya dalam dunia musik “Indo-nesia” pada akhir-akhir ini (1994), tergambar dari pemikiran (konsepsi) yang dilancarkan atas pandangan Franki Raden dalam artikelnya berjudul “Dinamika Pertemuan Dua Tradisi: Musik Kontemporer Indonesia, di Abad XX”. Tulisan ini disigi Slamet Abdul Sjukur melalui esainya, “Mak Comblang dan Pionir Asongan: Musik Kontemporer itu Apa?.  Selanjutnya, Dieter Mack meng-”klarifikasi”-lagi tulisan tersebut melalui artikel berjudul, “Sejarah, Tradisi, dan Penilaian Musik: Mempertimbangkan “Musik Kontemporer” dari Kacamata Budaya Barat”. Kemudian, Yapi Tambayong menyorot pula artikel Franki itu melalui dialog antara “Pradangga” dan “Waditra” melalui tulisan berjudul, “Niat Kembali Sonder Pergi: Pelbagai Pergulatan Musik (di) Indonesia”. Bentuk dialog ini mirip dengan dialog Socrates bersama Glaucon, Adeimantus, Polemarchus, Cephalus,  Thrasymachus, dan Cleitophon di Piraeus dalam The Republic (Buchanan, 1977:5) membicarakan beberapa hal secara mendasar dan kritis. Namun yang jelas, bahwa pemahaman istilah contemporary (1631) sebagaimana dalam Webster’s Ninth  New Collegiate Dictionary yang berarti kejadian, keberadaan, kehidupan, yang ditandai oleh karakteristik periode sekarang (Mish, 1985:283) tersebut, tidak serta merta saja bisa diterapkan dalam membingkai suatu pembicaraan (disiplin).

Dalam kaitan itu pula tampaknya Mack dalam pengantar bukunya Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural mendasari pembicaraan antara lain dengan berpandangan, bahwa sejak tahun 1991 terasa diskusi berputar-putar terus tanpa ada penyelesaian yang memadai, sebab diterapkannya salah satu istilah dari lain budaya, tetapi arti pada budaya asal tersebut tidak disinggung, tidak diterapkan, bahkan barangkali kurang diketahui. (Mach, 2001:1). Namun dalam kaitan itu Mack mengakui pula, bahwa di Barat sendiri pun sering terjadi perbedaan persepsi antara jenis-jenis seni kontemporer (Ibid., p. 7).

Meskipun demikian Mack mengemukakan, bahwa yang dimaksud dengan musik kontemporer di Barat adalah per-kembangan karya seni otonom, yang dalam hal ini adalah musik seni (art music) Barat sejak awal abad XX, khususnya di Eropa dan Amerika, sebagai suatu sikap menggarap di ujung perkembang-an seni yang digeluti, yang merupakan reaksi atas dipandangnya musik seni sebelumnya tidak lagi sesuai dengan tuntutan zaman.(Ibid., p. 2, 35,36).

Apabila padangan tersebut merupakan pembenaran atas pengertian “musik kontemporer” dalam kebudayaan Barat, maka harus pulalah diterima kenyataan bahwa pada ujung perkembangan atau awal pertumbuhan fase-fase (zaman) yang disebut dengan Barok, Klasik, dan Romantik, sebagai model-model musik kontem-porer yang mewakili zamannya. Terjadinya zaman-zaman seni secara linear dalam rentang kurun waktu masing-masing, merupakan reaksi atas seni yang ada sebelumnya, sehingga ia merupakan gaya musik yang baru dari pada gaya seni yang ada sebelumnya. Dari persepsi ini patut dihormati pandangan Sjukur  yang mengatakan, bahwa memang tiap musik itu “kontemporer” pada zamannya, maka tidak mengherankan kalau Bach ditinggalkan jemaah gereja St. Thomas, karena musiknya dikecam sebagai terlalu norak buat waktu itu (Sjukur, 1994:15).

Penulis sependapat dengan cara berpikir seperti demikian dan oleh karenanya kajian dalam dimensi diakronis atau sejarah (history) seperti yang dimaksud Gilbert J. Carraghan, sj., yaitu kaji-an mengenai peristiwa-peristiwa manusia masa lampau atau kenyataan-kenyataan karya manusia masa lalu (Garraghan dan Delanglez, 1957:3) akan dapat memberikan periodisasi tentang perjalanan peradaban manusia. Sebutan Barok, Klasik, atau Roman-tik dalam perjalanan kebudayaan Eropa atau zaman Batu Tua, Batu Muda, Perunggu, Besi, dan seterusnya, dalam sejarah kebudayan Indonesia, tidaklah bernama pada saat pertama kali kejadian itu berlangsung. Ia diberi nama oleh “sejarawan” setelah kejadian dengan segala kemapanan yang menciri padanya berlangsung dalam kurun waktu tertentu.

Page 4: Musik Kontemporer Di Daerah Sunda Sebagai Upaya Pengembangan Musik Lokal Yang Berwawasan

Oleh karena itu, amat tepatlah pemakaian istilah kontemporer hanya melekat pada pengertian, yaitu terjadinya suatu tindakan yang dipandang tidak seperti sebelumnya. Pada tindakan ini ada sesuatu yang berubah sebagai manifestasi dari adanya tuntutan akan per-ubahan dari yang dipadang mapan sebelumnya. Pada waktu per-ubahan itu terjadi, maka peristiwa tersebut merupakan sesuatu yang kontemporer (“mengkini”). Dalam hal ini, padangan tidak diberi arah pada apa atau ontologi dari aspek yang berubah; ontologi dari objek yang berubah tidak serta merta melekat padanya sebutan istilah kontemporer. Memang ontologi (apa) dari yang berubah merupakan produk dari suatu tindakan mengubah, tetapi setelah produk terbentuk sebagai suatu entitas, maka padanya tidak melekat lagi perubahan. Ia telah menetap sebagai sesuatu, bisa produk itu berupa karya seni, dan sebagainya.  Sebagai contoh, sebuah karya musik yang diciptakan dengan segala kebaruan dalam kaitannya dengan fenomena kontemporer, tidak akan berubah lagi se-bagaimana misalnya terlihat pada rekaman audio visualnya tatkala pertama kali karya tersebut dipertunjukkan. Sementara itu, perubahan sebagai suatu fenomena, bisa terjadi kapan saja setelah karya tersebut menjadi, seiring dengan perjalanan waktu secara linear; karya tinggal, waktu berjalan.

Cara pandang begini didasari oleh pemikiran konsistensi pemakaian arti berubah dengan dampak kebaruan dari yang sebelum berubah, yang niscaya padanya mencerminkan jiwa atau pemikiran masa itu. Oleh karenanya, kalau pengertian kontemporer dilekatkan pada materi atau ontologi yang berubah, maka logikanya akan tumbuh secara linear periodisasi kontemporer-kontemporer, bisa I, II, III, dst. Demikian pula apabila objeknya adalah “musik”, akan ada seharusnya musik kontemporer I, II, III, dan seterusnya.

Dalam tulisan ini, kontemporer diartikan seperti demikian, yaitu terjadinya peristiwa perubahan yang mencerminkan jiwa waktu masa kini atas bentuk-bentuk yang dipadang mapan sebelumnya. Dalam konteks ini, ontologi dari sesuatu yang berubah dimaksud adalah apa yang disebut musik oleh orang Indonesia pada umumnya dan secara khusus adalah musik kebudayaan Minang-kabau.

Page 5: Musik Kontemporer Di Daerah Sunda Sebagai Upaya Pengembangan Musik Lokal Yang Berwawasan

Keramik Tanah Agung Dinoyo Capai Prestasi

Keramik Dinoyo Malang, telah dikenal sejak 50 tahun lalu. Hingga sekarang keramik berupa barang-barang gerabah dan peralatan dapur, dijadikan lahan usaha yang dikelola secara home industries oleh perajin asli Dinoyo Penanggungan dan masyarakat sekitarnya. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi, pada 1953 Departemen Perindustrian membentuk Lembaga Penyelenggara Perusahaan-Perusahaan Industri (LEPPIN).

        Hasilnya, pada 1962 berdiri Industri Keramik Unit Dinoyo II dengan produksi inti berupa barang-barang keramik yang dibakar dengan bahan bakar kayu pada suhu 800ºC – 900ºC. Bahan baku yang digunakan adalah koalin, kwarsa, veldspar dan ballclay. Hasil produksinya berupa moci, mangkok dan baki yang hanya merupakan produk setengah jadi. Produk tersebut dijual ke Induk Perusahaan Keramik untuk diglasir dan ibakar dengan suhu pembakaran 1.265ºC – 1.300ºC sehingga tercipta keramik porselin.

 

Masuk pasar global

         Tujuh tahun kemudian (1969) Industri Keramik Unit Dinoyo II yang lebih dikenal dengan keramik “TANAH AGUNG” mulai meningkatkan Keramik Tanah Agung Dinoyo Capai Prestasi Keramik Dinoyo Malang, mampu cetak prestasi. Meski dikerjakan dalam skala home industries, namun pengelolaannya mengacu pada standar mutu tinggi. Proses pembuatan keramik: Dibakar pada suhu 800ºC – 900ºC  usahanya dengan cara membuat tungku pemanas dengan bahan bakar solar. Sehingga mampu memproduksi keramik seperti cangkir, moci, baki atau mangkok, asbak, alat listrik (isolator) dan batu atau semen tahan api, dipasarkan sendiri di Jawa dan Bali.

        Pada 1979, setelah mendapat bimbingan dan penyuluhan dari Depar temen Perindustrian, terutama dibidang design, Keramik Tanah Agung mampu mengembangkan usaha dengan meningkatkan produksinya berupa eni atau keramik hias seperti tempat duduk, tempat payung, guci, pot, vas, piring hias, keramik kontemporer, dan patung. Secara keseluruhan sentra keramik Dinoyo dapat menyerap tenaga kerja sekitar 330 orang dengan total produksi sebanyak 2.034 ton/tahun. Khusus untuk gerabah menyerap 80 tenaga kerja dengan kapasitas produksi 7.650.000 biji/tahun. Dalam perkembangannya, perajin keramik Dinoyo dan pedagang keramik telah membentuk Paguyuban untuk mengembangkan usaha dan menciptakan lingkungan perajin dan pedagang sebagai “Wisata Kerajinan Keramik Dinoyo”. Untuk kebutuhan pasar global, sentra keramik Dinoyo sedikitnya telah mendirikan 30 show-room yang terletak di sepanjang jalan raya MT. Haryono, Dinoyo, Malang.

         Sedang Keramik Tanah Agung, pemasarannya selain di dalam juga keluar negeri. Tenaga yang terserap sebanyak 40 orang, terdiri dari 20 orang seniman lukis dan 20 orang tenaga terampil di bidang produksi. Sejak 1991, Keramik Tanah Agung mulai menggunakan tungku dengan bahan bakar Gas Elpiji. Berkat pretasinya dibidang managemen kualitas dan kuantitas produksi dengan pendayagunaan sumber daya manusia serta kepedulian akan lingkungan hidup, pada 1993, Keramik Tanah Agung mendapat Anugerah UPAKARTI dari Pemerintah. Beberapa prestasi lain yang telah diraih, pada 1995 sebagai Juara I - STEAM A Konvensi Gugus Kendali Mutu (GKM) tingkat Nasional ke VIII dari Depar temen Perindustrian, Badan Pengembangan Industri Kecil yang dilaksanakan di Medan.

Page 6: Musik Kontemporer Di Daerah Sunda Sebagai Upaya Pengembangan Musik Lokal Yang Berwawasan

Pundong - Sentra Kerajinan Gerabah

Industri gerabah ternyata tidak hanya dijumpai di Kasongan Bantul. Di desa Panjangrejo kecamatan Pundong kabupaten Bantul Yogyakarta, wisatawan bisa mengenal dan melihat berbagai produk dari tanah liat. Dari yang tradisional seperti maron(tempat air), padasan(tempat wudlu), tungku dan produk yang telah dikembangkan seperti wine cooler(tempat botol), tempat lilin, kap lampu, nampan, topeng, patung, dan berbagai souvenir. Banyak peningkatan dari segi desain dan mutu produk sehingga tidak hanya bersifat fungsional, akan tetapi juga berkesan artistik.

Sentra industri gerabah yang dimulai sejak tahun 1978, sampai sekarang dirasakan sangat bermanfaat terutama bagi penyediaan lapangan pekerjaan. Ada sekitar 178 tenaga kerja yang terserap ke industri gerabah ini. Masing-masing ada yang ke Siti Aji Tri Tunggal, Siti Kencono, dan Sri Puspito yang semuanya terdapat di desa Panjangrejo.

Proses pembuatan produk yang tidak memakan waktu lama dan terkesan sederhana membuat banyak warga Panjangrejo yang sebagian besar warga Jetis, Watu, dan Nglorong terjun menekuni kerajinan gerabah, tanpa meninggalkan mata pencahariannya terdahulu seperti pertanian dan peternakan.

Wisatawan yang tertarik dapat datang dan melihat secara langsung proses pembuatan produk dari tanah liat, dan berbincang-bincang dengan para perajin. Hasil olahan tanah liat ini akan dibedakan dalam dua jenis produk yaitu produk natural/alami(tanpa bahan kimia) seperti tamarine & black terracota dan produk hasil pengecatan.

Bagi para wisatawan, perjalanan wisata dapat dirangkai menuju Imogiri yaitu kawasan pegunungan nan indah tempat Makam Raja-Raja Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta, Makam Seniman, Sentra Industri Keris di Banyusumurup, Pengobatan Gurah ( membantu menjernih-kan suara dan membantu menghilangkan noda dalam paru-paru), dan industri ukir kulit di Pocung. Desa Panjangrejo berjarak sekitar 15 km arah tenggara kota Yogyakarta, tepatnya di kecamatan Pundong kabu-paten Bantul.