munasabah al-qur’an: studi korelatif antar surat bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu...

22
John Supriyanto Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013 47 Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan Shalat-Shalat Nabi John Supriyanto Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini berusaha untuk mengangkat sebuah kajian terhadap korelasi dimensi baru Al-Qur'an atau yang lebih dikenal dengan "absurditas al-Qur'an". Jika selama ini Al-Qur'an memiliki hubungan antara huruf dan ayat-ayatnya berdasarkan tertib atau tidak tertib suratnya, maka tulisan ini menawarkan sebuah studi baru dalam bentuk korelasi antara huruf-huruf berdasarkan pada serangkaian bacaan dalam shalat Nabi. Di antara isu-isu yang dikembangkan adalah adanya tertib tauqifi-Mushaf Utsmani. Bagi mereka yang menolak, ayat al- Quran yang tidak masuk akal hanya isapan jempol belaka. Adapun pendukung teori ini, mengatakan bahwa rahasia absurditas Al-Qur'an adalah bukti kuat bahwa komposisi ayat dan surat Al-Qur'an bukanlah penciptaan ijtihad penulis mushaf semata. Substansi tulisan tidak berhubungan dengan perdebatan, karena surat-surat Al-Qur'an dalam doa Nabi. dalam sejarah tidak sesuai sama sekali dengan mushaf teori-tertib. Abstract This paper seeks to lift a new dimension correlation study the Al-Qur’an, or better known as "absurd Al-Qur’an". If during this study the Al-Qur'an absurd to dwell on the relationship between letters and the relationship between verses based on orderly or disorderly Manuscripts and down, then this paper offers a new study in the form of the correlation between letters based on a series of readings in the prayers of the Prophet. Science absurd-as part of Sciences Al Qur'an- is long enough to become a subject of discussion among scientists Al-Qur'an. Among the issues that was developed is the existence of an orderly tauqifi Mushaf 'Usmani. For those who refuse, absurd Al-Qur'an is only a mere figment. As for the supporters of this theory, the secrets absurd Al-Qur'an is strong evidence that the

Upload: others

Post on 13-Nov-2020

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

47

Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan

Shalat-Shalat Nabi

John Supriyanto

Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam

Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini berusaha untuk mengangkat sebuah kajian terhadap korelasi dimensi

baru Al-Qur'an atau yang lebih dikenal dengan "absurditas al-Qur'an". Jika

selama ini Al-Qur'an memiliki hubungan antara huruf dan ayat-ayatnya

berdasarkan tertib atau tidak tertib suratnya, maka tulisan ini menawarkan

sebuah studi baru dalam bentuk korelasi antara huruf-huruf berdasarkan pada

serangkaian bacaan dalam shalat Nabi. Di antara isu-isu yang dikembangkan

adalah adanya tertib tauqifi-Mushaf Utsmani. Bagi mereka yang menolak, ayat al-

Quran yang tidak masuk akal hanya isapan jempol belaka. Adapun pendukung

teori ini, mengatakan bahwa rahasia absurditas Al-Qur'an adalah bukti kuat

bahwa komposisi ayat dan surat Al-Qur'an bukanlah penciptaan ijtihad penulis

mushaf semata. Substansi tulisan tidak berhubungan dengan perdebatan, karena

surat-surat Al-Qur'an dalam doa Nabi. dalam sejarah tidak sesuai sama sekali

dengan mushaf teori-tertib.

Abstract

This paper seeks to lift a new dimension correlation study the Al-Qur’an, or better

known as "absurd Al-Qur’an". If during this study the Al-Qur'an absurd to dwell

on the relationship between letters and the relationship between verses based on

orderly or disorderly Manuscripts and down, then this paper offers a new study in

the form of the correlation between letters based on a series of readings in the

prayers of the Prophet. Science absurd-as part of Sciences Al Qur'an- is long

enough to become a subject of discussion among scientists Al-Qur'an. Among the

issues that was developed is the existence of an orderly tauqifi Mushaf 'Usmani.

For those who refuse, absurd Al-Qur'an is only a mere figment. As for the

supporters of this theory, the secrets absurd Al-Qur'an is strong evidence that the

Page 2: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

48

composition of verses and letters of the Al-Qur'an is not the creation of ijtihad the

authors Manuscripts. The substance of the writing is not related to the debate,

because the letters of the Al-Qur'an reading the prayers of the Prophet. In history

does not correspond at all with the theory-an orderly Manuscripts.

Keywords: Munasabah, al-Qur’an, Salat Reading

Di antara pengkajian terhadap aspek lafazh dan makna ayat-ayat Al-

Qur’an, -selain tafsir- terdapat satu disiplin ilmu yang disebut dengan “’Ilm

Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar” atau yang lebih populer “’Ilm Munâsabat al-

Qur’ân”. Disiplin ilmu yang bersifat analisa-korelatif ini termasuk kelompok ilmu

dirâyah, mengingat sumber dasar dan pola pengkajiannya berupa eksplorasi nalar

yang bersifat ijtihâdî. Hal ini tentu berbeda dengan ‘Ilm Asbâb an-Nuzûl atau ‘Ilm

al-Makkî wa al-Madanî yang sumber dan pola pengkajiannya didasarkan atas nash

riwayat. Untuk dua jenis disiplin ilmu Al Qur’an ini, tidak ada interpensi akal

dalam menentukan dasar pola pengkajiannya.

Keunikan susunan ayat-ayat dan surat-surat Al Qur’an mengundang

perhatian mendalam para ulama’ untuk mengkaji sejauhmana korelasi dan

relevansi antar ayat dan surat tersebut. Al-Biqâ’î mengatakan : “Saya terkadang

duduk termenung, duduk berbulan-bulan, hanya untuk mengetahui hubungan

antara satu ayat dengan ayat yang lain.”1 Pemikiran dan perenungan beliau

terhadap ayat-ayat Al Qur’an ini kemudian melahirkan karya besar berjudul

“Nazhm ad-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa as-Suwar”. Tokoh lain yang berhasil

menyusun kitab Munâsabah adalah Abu Hayyan dengan nama “Al-Burhân fî

Munâsabât Tartîb Suwar al-Qur’ân”, juga Al-Imâm as-Suyûthî dengan kitab

“Tanâsuq ad- Durar fî Tanâsub as-Suwar”. Namun demikian, dalam beberapa

literatur sejarah ‘Ulum al-Qur’an, diketahui bahwa tokoh yang pertama kali

memperkenalkan ’Ilm Munâsabât al-Qur’ân ini adalah Al-Imâm Abu Bakr an-

Naisabûrî pada awal abad keempat Hijiriah.2

Shalat merupakan ritual terpokok manusia dalam hal hubungan dirinya -

sebagai hamba- dengan Tuhan. Bahkan, ritual shalat telah menjadi bagian dari

ritual yang diperintahkan Tuhan kepada umat-umat agama tauhid sebelum Islam.

Dalam literatur sejarah peribadatan umat Islam, shalat mulai diperintahkan

pelaksanaanya di kota Makkah pada tahun 621 M., 10 tahun setelah kenabian,

yakni sekembalinya Nabi Saw. dari perjalanan isrâ’ dan mi’râj.3 Ini dapat

dipahami, bahwa Al Qur’an mulai dibaca dalam shalat setelah masa proses

Page 3: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

49

penurunannya telah berjalan 10 tahun. Oleh karena itu, mudah dimengerti, jika

rekaman riwayat tentang perbedaan bacaan Al Qur’an para shahabat pada periode

Makkah lebih banyak terjadi kasusnya di luar shalat.4

Kecintaan dan perhatian para shahabat terhadap Al Qur’an antara lain

diwujudkan dengan menuliskannya -bagi yang pandai menulis- pada media-media

yang ada; menghapalnya sesuai dengan qirâ’ât yang diajarkan oleh Nabi Saw.

kepada mereka; serta memperbanyak membacanya pada siang dan malam, baik di

dalam maupun di luar shalat. Melihat keterangan yang diriwayatkan dalam banyak

hadits, para shahabat berlomba-lomba memperbanyak bacaan Al Qur’an di dalam

shalat mereka. ‘Umar ibn al-Khaththâb ra. misalnya, pada shalat shubuh, beliau

membaca 120 ayat dari surat al-baqarah pada raka’at pertama dan surat-surat

pendek pada raka’at kedua. Al-Ahnaf membaca surat al-kahf pada raka’at pertama

dan surat Yûsuf atau surat Yûnus pada rakaat kedua.5

Nabi Saw. juga terkadang menggandengkan bacaan surat-surat nazhâ’ir

al-mufashsha.6 dalam satu raka’at shalat. Dalam hal ini, paling tidak terdapat 10

pasang surat-surat Al Qur’an yang beliau gandengkan dalam satu raka’at shalat,

yakni Qs. Ar-Rahmân dan an-najm; al-qamar dan al-hâqqah; ath-thûr dan adz-

dzâriyât; al-wâqi’ah dan nûn; al-ma’ârij dan an-nâzi’ât; al-muthaffifîn dan ‘abasa;

al-muddatstsir dan al-muzzammil; ad-dahr dan al-qiyâmah; an-naba’ dan al-

mursalât; dan ad-dukhân dan at-takwîr. Bahkan, beliau pernah menggabung surat-

surat athwal at-thiwâl (tujuh surat-surat terpanjang) dalam satu raka’at shalat

malam, misalnya beliau pernah membaca surat al-baqarah, an-nisâ’ dan Ali Imrân

sekaligus.7 Selain membaca surat-surat tertentu dalam shalatnya, pada shalat

sunnah fajar Nabi Saw. juga pernah membaca ayat-ayat pendek dari surat-surat Al

Qur’an, misalnya beliau membaca surat al-baqarah ayat 136 pada rakaat pertama

dan surat Âli Imrân ayat 64 pada raka’at kedua. Terkadang pula beliau membaca

surat al-mu’minûn ayat 52 dalam salah satu raka’at shalatnya.8

Terdapatnya nash-nash hadits yang membawa pesan tentang adanya surat-

surat tertentu berikut penggandengannya yang sering dibaca Nabi Saw. dalam

shalat-shalat beliau mengindikasikan adanya kekhususan tertentu pada surat-surat

tersebut. Patut diduga, adanya rahasia-rahasia khusus dalam pemilihan dan

penggandengan surat-surat atau ayat-ayat Al Qur’an dalam shalat beliau, baik

penggandengan itu dalam satu raka’at sekaligus, maupun dalam dua raka’at.

Nampaknya, tertib nuzul dan tertib mushhaf tidak menjadi acuan dalam hal ini.

Al Qur’an -seperti dimaklumi- terdiri dari 30 juz dan 6236 ayat dalam 114

surat dalam versi mushhaf standar. Meskipun semua ayat-ayat dan surat-surat Al

Page 4: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

50

Qur’an itu pada dasarnya pernah dibaca Nabi Saw. dan para shahabat di dalam

shalat mereka, namun patut dilihat lebih jauh pertimbangan apa yang mendasari

kebiasaan Nabi Saw. dalam memilih dan menggandengkan surat-surat tertentu itu,

sebagai bacaan dalam dua raka’at shalat beliau. atau surat dengan ayat atau surat

yang lain dan lain sebagainya. Dalam kajian tentang munâsabât al-Qur’ân, -

sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain

para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah dan rahasia-rahasia hubungan antar

surat atau ayat, selain yang didasarkan atas tertib mushhaf. Sehingga, dapat

dikatakan bahwa ilmu munâsabah ini -sepanjang sejarahnya- tidak banyak

mengalami perkembangan dalam aspek pengkajiannya, sejak pertama kali ia

dimunculkan. Pengkajian ilmu ini masih hanya terbatas pada penggalian hikmah

dan rahasia korelasi antar surat atau antar ayat Al-Qur’an yang didasarkan pada

tertib mushhaf itu.9 Kekayaan dimensi kesejarahan Al Qur’an ternyata belum

cukup menjadi alasan terbukanya kearifan para ulama’ untuk mengembangkan

pola pengkajian ilmu munâsabah. Jika belakangan muncul metodologi tafsir

terbaru yang didasarkan atas kronologi turun ayat, maka idealnya juga muncul

upaya-upaya penggalian kajian munâsabât al-Qur’ân yang tidak hanya didasarkan

atas tertib mushhaf. Dalam hal ini, penggandengan surat-surat dan ayat-ayat Al

Qur’an bacaan dalam shalat-shalat Rasul Saw. sangat menarik dan relevan untuk

dijadikan pola dasar penggaliannya. Di antara alasan yang dapat dikemukakan

adalah eksistensi Nabi Saw. sebagai sumber dan penetap hukum, serta laku dan

ucapannya merupakan penjelmaan wahyu. Dengan kata lain, eksistensi Nabi Saw.

adalah perpanjangan “tangan” Tuhan dalam rangka proses pembumian pesan-

pesanNya.

Teori Dasar Munasabah Al Qur’an

Secara bahasa, munâsabah berasal dari bahasa Arab yang mengandung

pengertian “kesesuaian”, “kedekatan”, hubungan atau “korelasi”. Jika dikatakan

“Ahmad yunâsibu dengan Zaid” maka maksudnya adalah bahwa “Ahmad

menyerupai Zaid dalam bentuk fisik dan sifat”. Jika keduanya munâsabah dalam

pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam az-Zarkasyi

sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian

permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau

hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan

ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.10 Lebih lanjut dia mengatakan,

bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait

Page 5: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

51

sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-

bagiannya tersusun harmonis.11

Manna’al-Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah

menurut bahasa di samping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan).

Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai

hubungan di dalam Al Qur’an, yang meliputi pertama, hubungan satu surat dengan

surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat;

ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan

antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu

ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang

lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan

kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat.

Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam Al Qur’an didasarkan pada

teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling

terkait. Sehingga ‘ilm munâsabah dioperasionalisasikan untuk menemukan

hubungan-hubungan tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang

lain di satu pihak, dan antara satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak yang lain.

Oleh karena itu, pengungkapan hubungan–hubungan itu harus mempunyai

landasan pijak teoritik dan insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks.

Dengan demikian, secara bahasa munâsabah dapat dipahami sebagai

sebuah kesesuaian antara satu hal dengan hal yang lain. Dengan kata lain,

munasabah ada di antara dua hal, baik berupa benda yang berwujud maupun hal

yang abstrak seperti sifat, karakteristik, pesan, maksud dan lain-lain.

Adapun munâsabah dalam teori Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an dipahami

sebagai segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain dalam

satu ayat; antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam banyak ayat; atau antara

satu surat dengan surat yang lain. Pemahaman tentang munâsabah ini

dimaksudkan untuk memahami keserasian antar makna, mukjizat Al Qur’an secara

retorik, kejelasan keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan

gaya bahasanya.

Teori korelasi (munâsabât) Al Qur’an pertama kali diperkenalkan oleh

Al-Imâm Abû Bakr an-Naisabûrî (w. 309 H.) pada awal abad keempat Hijriyyah

yang berangkat dari keyakinan bahwa tartîb mushhaf ‘Utsmani bersifat tauqîfî dan

tanpa ada unsur ijtihâd di dalamnya. Hingga saat ini keyakinan tersebut masih

tetap dianuti oleh sebagian besar ulama’ tradisionalis Islam yang secara teoritis

dipaparkan dalam berbagai kitab Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Sebagian ulama’ tafsir juga

Page 6: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

52

menggunakan pendekatan korelasi ini dalam upaya memahami pesan-pesan yang

terkadung di dalam setiap surat dan ayat Al Qur’an.

Kajian tanâsub Al Qur’an mengemukakan beberapa jenis korelasi, yakni

antara awal surat dengan akhir surat; akhir surat dengan awal surat berikutnya;

pembuka surat (fawâtih al-suwar) dengan kandungan surat; kandungan satu surat

dengan surat sebelum dan atau sesudahnya; satu kalimat dengan kalimat sebelum

dan atau sesudahnya dalam satu ayat; satu ayat dengan ayat sebelum dan atau

sesudahnya; dan sekelompok ayat dengan kelompok ayat sebelum dan atau

sesudahnya.12 Pada pokoknya, ilmu ini mengkaji dua korelasi saja, yakni korelasi

antar ayat dan korelasi antar surat. Namun demikian, berikut ini dikemukakan

beberapa bentuk korelasi dalam kajian Ilmu Munâsabah Al Qur’an yang telah

ditemukan oleh para ulama’.

Munâsabah antarsurat

Munâsabah antarsurat tidak lepas dari pandangan holistik Al Qur’an yang

menyatakan Al Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya

terkait secara integral”. Pembahasan tentang munâsabah antarsurat dimulai dengan

memposisikan surat al-Fâtihah sebagai Ummu al-Kitâb (induk Al Qur’an),

sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (al-Fâtihah) adalah

sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi Al Qur’an. Penerapan

munâsabah antarsurat bagi surat al-Fâtihah dengan surat sesudahnya atau bahkan

keseluruhan surat dalam Al Qur’an menjadi kajian paling awal dalam pembahasan

tentang masalah ini.

Surat al-Fâtihah menjadi ummu al-Kitab, sebab di dalamnya terkandung

masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum, yang dari masalah pokok itu

berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat

dalam surat-surat setelah surat al-Fâtihah. Ayat 1-3 surat al-Fâtihah mengandung

isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam

semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar

di berbagai surat Al Qur’an. Salah satunya adalah surat al-Ikhlas yang konon

dikatakan sepadan dengan sepertiga Al Qur’an. Ayat 5 surat al-Fâtihah (Ihdina

ash-shirâtha al-mustaqîm) mendapatkan menjelasan lebih rinci tentang apa itu

“jalan yang lurus” di permulaan surat al-Baqarah (Alim, Lam, Mim. Dzalika al-

kitabu la raiba fih, hudan li al-muttaqin). Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa

teks dalam surat al-Fâtihah dan teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian

(munâsabah).13 Contoh lain dari munâsabah antarsurat adalah tampak dari

Page 7: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

53

munâsabah antara surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran. Keduanya

menggambarkan hubungan antara “dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”.

Maksudnya, surat al-Baqarah “merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai

hukum”, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat ali Imran

“sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh Islam”.

Lantas bagaimana hubungan antara surat Ali Imran dengan surat

sesudahnya. Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menampilkan fakta bahwa

setelah keragu-raguan dijawab oleh surat Ali Imran, maka surat berikutnya

(al-Nisa’) banyak memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial,

kemudian hukum-hukum ini diperluas pembahasannya dalam surat al-Maidah

yang memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi.

Jika legislasi, baik dalam hubungan sosial ataupun ekonomi, hanya merupakan

instrumen bagi tercapainya tujuan dan sasaran lain, yaitu perlindungan terhadap

keamanan masyarakat, maka tujuan dan sasaran tersebut terkandung dalam surat

al-An’am dan surat al-A’raf.

Munasabah antarayat

Kajian tentang munâsabah antarayat, sama seperti kajian tentang

munâsabah antarsurat, berusaha menjadikan teks Al Qur’an sebagai kesatuan

umum yang mengacu kepada berbagai hubungan yang mempunyai corak – dalam

istilah yang dipakai Abu Zaid – “interptretatif”. Abu Zaid dalam mengkaji

munâsabah antarayat tidak memasukkan unsur eksternal, dan tidak pula

berdasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Akan tetapi teks dalam ilmu ini

merupakan bukti itu sendiri.14 Dalam memberi contoh munâsabah antarayat,

dikemukakan bagaimana Muhammad Syahrur menafsirkan dan mengaitkan satu

ayat dengan ayat lain untuk menampilkan makna otentik, yang dalam hal ini

penulis pilihkan tentang masalah poligami. Al Qur’an surat an-Nisa’(4) ayat 3

adalah ayat yang menjadi rujukan fundamental (dan satu-satunya) dalam urusan

poligami dalam ajaran Islam :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (an lâ tuqsithǔ)

terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka

kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.

Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (an lâ ta’dilǔ), kama

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S.

an-Nisa’/4:3)

Page 8: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

54

Syahrur (1992) dalam magnum opus-nya al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah

mu’âsyirah, menjelaskan kata tuqsithǔ berasal dari kata qasatha dan ta’dilǔ

berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam lisân al-Arâb mempunyai dua

pengertian yang kontradiktif; makna yang pertama adalah al-‘adlu (Q.S. al-

Mâidah/5:42, al-Hujarât/49:9, al-Mumtahanah/60:8). Sedangkan makna yang

kedua adalah al-Dzulm wa al-jŭr (Q.S. al-Jinn/72:14). Begitu pula kata al-adl,

mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (baca sama, lurus) dan

juga bisa berarti al-a’waj (bengkok). Di sisi lain ada berbedaan dua kalimat

tersebut, al-qasth bisa dari satu sisi saja, sedang al-’adl harus dari dua sisi.15 Dari

makna mufradat kata-kata kunci (key word) Q.S an-Nisa’/4:3 menurut buku al-

Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah karya Syahrur, maka diterjemahkan

dalam versi baru (baca : Syahrur) ayat itu sebagai berikut : “Kalau seandainya

kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil antara anak-anakmu dengan anak-

anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (namun

jika kamu bisa berbuat adil, dengan memelihara anak-anak mereka yang yatim),

maka kawinilah para janda tersebut dua, tiga atau empat. Dan jika kamu khawatir

tidak kuasa memelihara anak-anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu

istri atau budak-budak yang kamu mikili. Yang demikian itu akan lebih menjaga

dari perbuatan zalim (karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim)” (Syahrur :

1992 : 598).

Ayat di atas adalah kalimat ma’thufah (berantai) dari ayat sebelumbya

“wa in …” yang merupakan kalimat bersyarat dalam kontek haqq al-yatâmâ,

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (wa âthǔ al-yatâmâ) harta mereka.

Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan

harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakana (menukar dan

memakan) itu adalah dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa’/4:2) Dan jika teori batas

(nadhariyah hududiyah) Syahrur diterapkan dalam menganalisis ayat itu, maka

kan memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas)

dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).

Pertama, hadd fi al-kamm. Ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau

jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, karena tidak mungkin

seorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau jumlah maksimum yang

diperbolehkan adalah empat. Manakala seseorang beristri satu, dua, tiga atau

empat orang, maka dia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh

Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat, maka dia telah melanggar

hudŭd Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang

Page 9: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

55

silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut

memberikan batasan (hadd fi al-kayf).

Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut

masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur

mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub memakai

shighah syarth, jadi seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ

mâ thaba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat

kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain untuk istri

pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan

atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari

armalah/ (janda yang mempunyi anak yatim). Maka seorang suami yang

menghendaki istri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya

yang yatim. Hal ini, menurut Syahrur, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang

harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama

dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.16

Interpretasi seperti itu dikuatkan dengan kalimat penutup ayat :”dzâlika

adnâ an lâ ta’ūlū”. Karena ya’ūlū berasal dari kata aul artinya katsratu al-iyâl

(banyak anak yang ditanggung), maka yang menyebabkan terjadinya tindak

kedzaliman atau ketidakadilan terhadap mereka. Maka ditegaskan kembali oleh

Syahrur, bahwa ajaran Islam tentang poligami, bukan sekedar hak atau keleluasaan

seorang suami untuk beristri lebih dari satu, akan tetapi yang lebih esensial dari itu

adalah pemeliharaan anak-anak yatim. Maka dalam konteks poligami di sini tidak

dituntut adâlah (keadilan) antar istri-istrinya (lihat firman Allah Q.S. al-

Nisa’/4:129).

Bentuk lain munâsabah antar ayat adalah tampak dalam hubungan antara

ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini

misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat pertama yang berbunyi “qad aflaha

al-mu’minun” lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yuflihu al-

kafirun”. Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang

mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.

Munâsabah antar surat ini juga dijumpai dalam contoh misalnya kata muttaqin

dalam surat al-Baqarah : 2 dijelaskan oleh ayat berikutnya yang memberi

informasi tentang ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa (muttaqun).

Demikian, ungkapan beberapa contoh jenis korelasi Al Qur’an yang

dapat dikemukakan dalam tulisan ini. Korelasi antar ayat dan atau antar surat

Page 10: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

56

merupakan contoh kecil dari korelasi-korelasi Al Qur’an yang ada dan tentu

memberlukan waktu yang lama untuk mengkajinya.

Urgensi Ilmu Munâsabah al-Qur’an dalam Penafsiran

Semua cabang dari Ilmu-Ilmu Al Qur’an pada prinsifnya bermuara pada

satu tujuan, yakni sebagai media untuk memudahkan proses pemahaman akan

ayat-ayat Al Qur’an sebagai langkah awal untuk mengamalkan pesan dan

ajarannya. Meskipun demikian, masing-masing ilmu tersebut berbeda-beda

hikmah dan urgensitasnya. Ketika Ilmu Asbab an-Nuzul berfungsi untuk

mengetahui latar belakang mengapa dan kepada siapa ayat-ayat tersebut

diturunkan, maka Ilmu Aqsam Al Qur’an berperan mendalami maksud dan

hikmah yang terkandung dalam sumpah-sumpah Allah Swt. yang tertuang dalam

ayat-ayat sumpah-Nya. Demikian pula halnya dengan Ilmu Munâsabah Al

Qur’an, ia memiliki urgensitas sangat signifikan dalam proses pemahaman dan

pendalaman maksud dan pesan dalam setiap ayat dan surat yang Allah Swt.

turunkan kepada umat manusia melalui nabi-Nya yang mulia.

Badruddin Muhammad az-Zarkasyi dalam “Al-Burhan” menuliskan

bahwa manfaat Ilmu Munâsabah Al Qur’an antara lain adalah menjadikan

sebagian pembicaraan berkaitan dengan sebagian yang lain, sehingga

hubungannya menjadi kuat, susunannya kokoh dan berkesesuaian bagian-

bagiannya, laksana sebuah bangunan yang sangat kokoh.17 Dengan demikian, ilmu

ini mengandung fungsi penyatuan (al-wihdah) Al Qur’an yang meskipun terurai

dalam banyak surat dan ayat-ayat, namun masing-masing ayat dan surat memiliki

nilai-nilai kesesuaian dan kesatuan. Tak ubahnya bagaikan susunan mata rantai

yang menyatu dalam sebuah ikatan yang kokoh dan tidak terpisahkan. Ibn ‘Arabi

mengungkapkan bahwa Ilmu Munasabah bertujuan untuk mengetahui sejauhmana

hubungan antar ayat-ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi

seperti satu kata yang maknanya serasi dan susunannya teratur dan ini adalah ilmu

yang sangat besar manfaatnya.18 Pandangan Ibn ‘Arabi ini menunjukkan

urgensitas munasabah baik dari sisi penampakan kemukjizatan Al Qur’an, maupun

fungsinya sebagai alat dalam penggalian pesan-pesan Al Qur’an itu sendiri.

Munasabah Al Qur’an yang proses penelitiannya telah dilakukan oleh para

ulama’ pada hakikatnya bukanlah bersifat tauqify dan mutlak kebenarannya,

namun sama seperti halnya hasil sebuah penafsiran, ia tetap bersifat ijtihadi dan

zhanni. Semua bentuk temuan para ulama’ tentang adanya korelasi antar ayat atau

Page 11: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

57

antar surat merupakan hasil pemikiran manusia yang temporal dan suatu saat yang

lain akan muncul temuan-temuan baru, meskipun dalam objek bahasan yang sama.

Proses operasionalisasi Ilmu Munasabah Al Qur’an tidak mengharuskan

seorang mufassir dipastikan mencari dan menemukan hubungan kesesuaian bagi

tiap-tiap ayat dan surat. Hal tersebut dimaklumi mengingat Al Qur’an al-Karim

tidak turun sekaligus dan sudah tersusun seperti apa adanya, namun ia diturunkan

secara bertahap sesuai dengan pristiwa-pristiwa yang terjadi. Seorang mufassir

terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat dan kerkadang pula tidak

menemukan sama-sekali. Oleh karena itu, ia tidak harus memaksakan diri untuk

menemukan kesesuaian atau hubungan tersebut, sebab jika ia memaksakan diri,

maka apa yang ia kemukakan itu hanyalah dibuat-buat dan tentunya hal tersebut

tidak seharusnya terjadi. Syaikh ‘Abd al-‘Izz ibn Salam (w. 660 H.)

mengemukakan bahwa munasabah adalah ilmu yang baik, namun dalam

menetapkan keterkaitan antar kata-kata secara baik itu itu diisyaratkan hanya

dalam hal awal dengan akhirnya yang memang terdapat kesatuan dan keterkaitan.

Sedangkan dalam hal yang mempunyai beberapa sebab berlainan tidak

diisyaratkan adanya hubungan antara yang satu dengan yang lain. Selanjutnya Al-

‘Izz menyatakan bahwa orang yang menghubung-hubungkan hal demikian berarti

ia telah memaksakan diri dalam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubung-

hubungkan kecuali dengan cara yang sangat lemah yang tidak dapat diterapkan

pada kata-kata yang baik, apalagi yang lebih baik. Hal tersebut mengingat Al

Qur’an diturunkan dalam waktu lebih dari duapuluh tahun, berhubungan dengan

dengan berbagai hukum dan sebab-sebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

tidaklah mudah menghubungkan sebagiannya dengan sebagian yang lain.

Sebagian mufassir telah menaruh perhatian yang besar untuk menjelaskan

korelasi antara kalimat dengan kalimat, ayat dengan ayat atau surat dengan surat

dan mereka telah menyimpulkan segi-segi kesesuaian yang cermat. Hal itu

disebabkan karena sebuah kalimat terkadang merupakan penguat terhadap kalimat

sebelumnya sebagai penjelasan, tafsiran atau sebagai komentar akhir dari sebuah

pembahasan tema ayat.

Selain itu, munasabah juga terdapat dalam satu surat dengan surat yang

lain yang dalam konteks ini misalnya awal surat al-An’am dengan akhir surat

sebelumnya, surat al-Ma’idah. Qs. al-An’am dimulai dengan kalimat hamdalah

“segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan

gelap dan terang”. Materi ayat ini nampaknya sangat berkesesuaian dengan ayat

yang sebelumnya, akhir dari surat al-Ma’idah yang menerangkan tentang

Page 12: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

58

keputusan di antara para hamba berikut alasan-alasannya : “jika Engkau menyiksa

mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu; dan jika Engkau

mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa dan Maha

Bijaksana”. Hal ini seperti difirmankan Allah Swt. dalam Qs. az-Zumar : 75

sebagai berikut : “Dan diberi keputusan di antara hamba-hamba-Nya dengan adil

dan lalu diucapkan “segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (Qs. az-Zumar :

75). Kasus lain dalam konteks ini terjadi pula dalam pembukaan Qs. al-Hadid

yang dibuka dengan kalimat tasbih “Semua yang berada berada di langit dan di

bumi bertasbih kepada Allah. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Perkasa dan Maha

Bijaksana”. Pembukaan surat ini berkesesuaian dengan akhir surat sebelumnya, al-

Waqi’ah “Maka bertasbihlah dengan menyebut nama Tuhan-mu Yang Maha

Agung”.

Demikian pula hubungan antara Qs. al-Quraisy dengan Qs. al-Fil dimana

kebinasaan “tentara gajah” mengakibatkan orang-orang Quraisy dapat

mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas. Dalam hal ini,

al-Akhfasyi menyatakan bahwa hubungan antara kedua surat ini termasuk

hubungan sebab akibat seperti yang terisyarat dalam firman Allah Qs. al-Qashash :

8 sebagai berikut : “Maka dipungutlah Musa oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya

ia menjadi musuh dan sumber kesedihan bagi mereka. sesungguhnya Fir’aun,

Hamman dan balatentaranya adalah orang-orang yang salah (Qs. al-Qashash : 8).

Pengkajian mendalam tentang munasabah Al Qur’an mengantarkan para

mufassir kepada penemuan adanya hubungan kesesuaian antara awal surat dengan

akhir surat dalam surat yang sama. Contoh yang dapat dikemukakan dalam hal ini

adalah Qs. al-Qashash yang dimulai dengan cerita tentang Musa As., menjelaskan

langkah awal dan pertolongan yang didapatnya, kemudian menceritakan

perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang berkelahi, lalu

berdo’a : “Wahai Tuhan-ku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepada-

ku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa”.

Surat ini kemudian diakhiri dengan menghibur Rasulullah Saw. bahwa ia akan

keluar dari Makkah dan dijanjikan akan kembali lagi kepadanya serta melarangnya

menjadi penolong bagi orang-orang kafir.

Demikian antra lain berbagai kesesuaian dan keserasian atau munasabah

yang ditemukan dalam kajian munasabah Al Qur’an. Setiap mufassir barangkali

dalam akan berbeda-beda menemukan dimensi korelasi Al Qur’an.

M. Quraish Shihab mengupas lebih jauh tentang kesesuaian-kesesuaian

dengan mengutip pandangan Abd al-Razzaq Nawfal dalam karya beliau “al-I’jaz

Page 13: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

59

al-Adaby li al-Qur’an al-Karim”19 yang mengemukakan berbagai keseimbangan

Al Qur’an pada berbagai aspeknya. Penemuan tersebut merupakan perkembangan

dari kajian ilmu munasabah Al Qur’an. Keseimbangan yang dimaksudkan oleh

Abd al-Razzaq Nawfal adalah keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan

antonimnya, seperti kata “al-hayah” dan “al-maut” sama-sama berjumlah 145 kali

dalam Al Qur’an; kata “al-naf’u” dan “al-mudharrah” masing-masing berjumlah

50 kali; kata “al-harr” dan “al-bard” masing-masing berjumlah 4 kali, demikian

seterusnya pada kata-kata yang lain. Keseimbangan yang lain juga terjadi pada

bilangan kata dengan sinonimnya, seperti kata “al-harts” dan “al-zira’ah” yang

masing-masing berjumlah 4 kali; kata “al-‘aql” dan “an-nur” masing-masing

berjumlah 49 kali, demikian seterusnya. Kemudian, keseimbangan juga terdapat

pada jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya,

seperti kata “al-infaq” dan “al-ridha” bejumlah masing-masing 73 kali, kata

“al-bukhl” dan “al-hasarah”, masing-masing berjumlah 12 kali, begitu seterusnya.

Kemudian keseimbangan pada jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya,

seperti kata “al-ishraf” dengan “al-sur’ah” yang masing-masing berjumlah 23

kali; kata “al-salam” dengan “al-thayyibah” masing-masing berjumlah 60 kali.

Selain keseimbangan di atas, ‘Abd al-Razzaq Nawfal juga menyebutkan adanya

keseimbangan-keseimbangan khusus dalam Al Qur’an, seperti kata “al-yaum”

berjumlah 365 kali, sama dengan jumlah hari dalam satu tahun, sedangkan kata

“al-yaum” dalam bentuk jama’ (al-ayyam) dan mutsanna (yaumain) berjumlah

keseluruhan sebanyak 30 kali, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Di sisi

lain, kata yang berarti “bulan” (syahr) hanya terdapat 12 kali, sama dengan jumlah

bulan dalam setahun. Penjelasan tentang langit yang berjumlah tujuh lapis juga

berulang sebanyak 7 kali dalam Al Qur’an, demikian pula penjelasan tentang

penciptaan langit dan bumi dalam enam masa juga disebutkan sebanyak 6 kali

pula.20

Demikian sebagian dari hasil penelitian yang terkait dengan

keseimbangan-keseimbangan kata dalam Al Qur’an. Hal tersebut merupakan

perkembangan penelitian yang berangkat dari teori-teori munasabah Al Qur’an

yang ternyata tidak hanya berkutat pada hubungan antar ayat atau antar surat,

namun juga terjadi pada jumlah bilangan kata-katanya. Fakta ini tentunya menjadi

bukti yang semakin menguatkan bahwa Al Qur’an adalah kitab suci yang luar

biasa dan merupakan mukjizat abadi kerasulan Muhammad Saw.

Page 14: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

60

Konstruksi Bacaan Shalat Nabi Saw.

Ayat-ayat atau surat-surat Al Qur’an yang biasa dibaca Nabi Saw. dalam

shalat-shalat beliau –sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya- dapat

dijelaskan berdasarkan rekaman jejak kerasulan beliau sepanjang sejarahnya.

Namun demikian, tidak semua bacaan shalat beliau dapat direkam dalam konteks

ini, sebagaimana hadits-hadits beliau juga sesungguhnya tidak semuanya dapat

terselamatkan hingga sampai kepada umat Islam hingga saat ini. Pernyataan ini

dapat dimaklumi adanya, mengingat yang dijamin Tuhan akan keterpeliharaan dan

kelestariannya hanyalah Al Qur’an (Qs. al-Hijr : 11). Jaminan tersebut tidak

meliputi hadits-hadits Rasulullah Saw., termasuk pula data-data tentang ayat-ayat

atau surat-surat Al Qur’an yang biasa beliau baca dalam shalat-shalatnya.

Selain itu, secara umum, shalat-shalat yang dapat direkam tentang bacaan

Nabi Saw. adalah shalat-shalat jahr, mengingat shalat-shalat sirr terkadang tidak

dapat terdengar oleh para shahabat, kecuali terdapat hadits secara khusus yang

disampaikan oleh beliau, sehubungan denga fadhilah-fadhilahnya, seperti shalat

sunnah qabliyah subuh dan lain sebagainya. Di antara ayat-ayat atau surat-surat Al

Qur’an yang selalu dan sering dibaca oleh Rasulullah Saw. dalam shalat-shalat

beliau yang terekam dalam kitab riwayat antara lain adalah shalat subuh pada hari

jum’at dan shalat jum’at itu sendiri. Pada shalat shubuh hari jum’at misalnya, Nabi

Saw. selalu atau -paling tidak- sering membaca surat alîf-lâm-mîm tanzîl (as-

sajdah) pada raka’at pertama dan surat al-insan (ad-dahr) pada rakaat kedua; pada

shalat jum’at beliau membaca surat al-jumu’ah dan surat al-munâfiqûn, lain

waktu beliau membaca surat al-a’lâ dan al-ghâsyiah.

Pada shalat ‘îd (fithr dan adhhâ) membaca surat al-a’lâ dan al-ghâsyiah,

lain saat beliau membaca surat qâf dan al-qamar; pada shalat witir beliau

seringkali membaca surat al-a’lâ, al-kâfirûn dan al-ikhlâsh berikut mu’awwizatain

(al-falaq dan an-nâs); pada shalat qabliyah shubuh dan ba’diyah maghrib beliau

sering membaca surat al-kâfirûn dan al-ikhlâsh (Ibn Katsir : 1997 : 248-622).

Nabi Saw. juga terkadang menggandengkan bacaan surat-surat nazhâ’ir

al-mufashshal dalam satu raka’at shalat. Dalam hal ini, paling tidak terdapat 10

pasang surat-surat Al Qur’an yang beliau gandengkan dalam satu raka’at shalat,

yakni Qs. Ar-Rahmân dan an-najm; al-qamar dan al-hâqqah; ath-thûr dan adz-

dzâriyât; al-wâqi’ah dan nûn; al-ma’ârij dan an-nâzi’ât; al-muthaffifîn dan ‘abasa;

al-muddatstsir dan al-muzzammil; ad-dahr dan al-qiyâmah; an-naba’ dan al-

mursalât; dan ad-dukhân dan at-takwîr. Bahkan, beliau pernah menggabung surat-

surat athwal at-thiwâl (tujuh surat-surat terpanjang) dalam satu raka’at shalat

Page 15: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

61

malam, misalnya beliau pernah membaca surat al-baqarah, an-nisâ’ dan Ali Imrân

sekaligus.21

Selain membaca surat-surat tertentu dalam shalatnya, pada shalat sunnah

fajar Nabi Saw. juga pernah membaca ayat-ayat pendek dari surat-surat Al Qur’an,

misalnya beliau membaca surat al-baqarah ayat 136 pada rakaat pertama dan surat

Âli Imrân ayat 64 pada raka’at kedua. Terkadang pula beliau membaca surat al-

mu’minûn ayat 52 dalam salah satu raka’at shalatnya.22 Pada prinsipnya semua

surat-surat Al Qur’an pernah beliau baca dalam shalatnya, baik dalam shalat-shalat

wajib maupun shalat-shalat sunnah, baik ketika beliau menjadi imam maupun

shalat sendiri. Namun dalam shalat malam beliau seringkali membaca surat-surat

Al Qur’an yang sangat panjang. Dalam hal ini beliau pernah membaca surat al-

Baqarah, al-Nisa’ dan Ali Imran dalam satu raka’at shalat.23 Namun tidak jarang

juga beliau membaca surat-surat pendek dalam berbagai shalatnya, khususnya

ketika beliau menjadi imam, seperti shalat al-A’la dan al-Thin. Pada dasarnya

tidak ada surat-surat ayat-ayat Al Qur’an khusus yang dibaca dalam shalat-shalat

tertentu, baik shalat wajib maupun shalat-shalat sunnah. Semua ayat-ayat dan

surat-surat Al Qur’an dapat dibaca di dalam semua jenis shalat.

Konstruksi bacaan shalat Nabi Saw. dalam konteks ini dan akan dibahas

lebih lanjut adalah surat-surat Al Qur’an yang paling rutin Nabi Saw. baca di

dalam shalat-shalatnya berdasarkan rekaman riwayat. Surat-surat dimaksud antara

lain adalah pada shalat shubuh hari Jum’at surat al-Sajdah dan surat al-Dahr;

shalat sunnah fajar surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlash; shalat witir surat al-A’la,

surat al-Kafirun dan al-Ikhlash; shalat Jum’at surat al-Jumu’ah dan surat al-

Munafiqun atau surat al-A’la dan surat al-Ghasyiah; dan shalat ‘Id al-Fithri dan

‘Id al-Adha surat al-A’la dan al-Ghasyiah, dan lain-lain.

Korelasi Antar Surat Bacaan Shalat Nabi Saw.

Berikut ini dikemukakan contoh aplikasi pencarian dimensi munasabah

pada surat-surat Al Qur’an bacaan dalam shalat-shalat Nabi Saw. yang meliputi

surat al-Sajdah dan surat al-Dahr; dan surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlash.

Surat Al-Sajdah dan Ad-Dahr (al-Insan)

Surat al-Sajdah dan surat al-Dahr ini seringkali dibaca Nabi Saw. pada

setiap shalat subuh pada hari Jum’at. Di antara hadits yang mengungkapkan hal ini

adalah diriwayatkan oleh oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, An-Nasa”i, Imam

Ahmad dan lain-lain sebagaimana diungkap oleh Al-Albani.24 Surat as-Sajdah

terdiri dari 30 ayat dan termasuk surat-surat Makkiyyah yang diturunkan setelah

Page 16: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

62

surat al-Mu’minun. Surat ini dinamakan surat al-Sajdah karena pada surat ini

terdapat ayat sajdah yang ada pada ayat 15.

Pokok-pokok kandungan yang terdapat dalam surat al-Sajdah antara lain

adalah aspek keimanan, hukum dan lain-lain. Dalam aspek keimanan ayat ini

menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. itu benar-benar seorang rasul dan

menjelaskan bahwa kepada musyrikin Makkah belum pernah diutus seorang

rasulpun sebelumnya. Selain itu juga dijelaskan bahwa Allah Swt. adalah Zat yang

menguasai alam semesta dan Dia-lah yang mengaturnyan dengan aturan yang

paling sempurna. Surat ini juga menegaskan bahwa hari kebangkitan akan benar-

benar terjadi tanpa ada keraguan. Pada aspek hukum, surat al-Sajdah mengajarkan

anjuran kepada umat untuk melakukan shalat malam. Selain dua aspek tersebut,

surat al-Sajdah juga menerangkan tentang kejadian manusia di dalam rahim dan

fase-fase yang dilaluinya sampai ia menjadi manusia sempurna. Kemudian

dijelaskan pula bagaimana seseorang mu’min di dunia dan nikmat serta pahala

yang disediakan Allah Swt. bagi mereka di akhirat kelak. Demikian pula,

bagaimana kehinaan yang akan menimpa orang-orang kafir di akhirat dan mereka

pada waktu itu meminta supaya dikembalikan saja ke dunia untuk bertaubat dan

berbuat kebaikan, namun angan-angan mereka tersebut ditolak. Lalu dijelaskan

pula tentang keingkaran kaum musyrikin terhadap hari kebangkitan dan mereka

menganggap bahwa hal tersebut adalah suatu hal yang mustahil.

Adapun surat al-Dahr atau surat al-Insan adalah surat ke 76 yang terdiri

dari 31 ayat, termasuk kelompok surat-surat Madaniyyah yang diturunkan setelah

surat al-Rahman. Dinamakan dengan surat al-Insan diambil dari kalimat “al-insan”

yang terdapat dalam ayat pertama surat ini.25 Surat al-Dahr mengandung beberapa

hal yang pokok, yakni tentang penciptaan manusia, petunjuk-petunjuk untuk

mencapai kehidupan yang sempurna dengan menempuh jalan yang lurus,

memenuhi nazar, memberi makan orang miskin dan anak yatim serta orang-orang

yang ditawan karena Allah Swt. Juga diungkapkan tentang ketakutan terhadap hari

kiamat, mengerjakan shalat dan shalat tahajjud dan bersabar dalam menjalankan

hukum Allah, ganjaran tehadap orang yang mengikuti petunjuk dan ancaman

terhadap orang yang mengingkarinya.26

Pada bagian pertama surat al-Sajdah diungkapkan proses penciptaan alam

semesta yang dilanjutkan dengan keterangan tentang proses dasar penciptaan

manusia. Penciptaan awal manusia dan segala sesuatu dilakukan Allah Swt.

dengan hasil yang sangat indah dan proses reproduksi keturunan dari mansuia

pertama hingga sekarang. Proses tersebut melalui beberapa tahapan yang dimulai

Page 17: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

63

dari proses fisik, hingga non fisik berupa pendengaran, penglihatan dan perasaan

yang bersumber pada hati. Demikian pula dalam surat bagian pertama surat al-

dahr kembali diungkapkan proses dan asal kejadian manusia tersebut dan

ditegaskan bahwa anugerah penglihatan dan pendengaran tersebut merupakan

ujian bagi manusia itu sendiri, apakah ia akan menjadi seorang yang bersyukur

atau sebaliknya ingkar. Dengan demikian, bagian pertama dua surat ini merupakan

peringatan bagi manusia untuk melalukan introspeksi diri (muhasabat al-nafs),

siapa dirinya, dari mana asalnya dan sejauhmana ia mensyukuri eksistensinya di

hadapan Allah Swt. dan manusia lainnya.

Selanjutnya pada bagian kedua surat al-Sajdah diterangkan tentang

perbandingan kondisi di akhirat antara orang-orang kafir dan orang-orang

mukmin. Orang-orang kafir dan durhaka akan tertuduk lesu menyesali segala

perbuatannya yang pernah mereka lakukan dan berangan-angan untuk

dikembalikan ke dunia, agar mereka akan beriman dan berbuat kebaikan. Namun

telah ditetapkan bahwa tempat kembali mereka adalah neraka Jahannam. Adapun

orang-orang yang beriman akan mendapatkan kemuliaan berupa surga-surga yang

indah sebagai balasan atas iman dan keshalihan mereka. Demikian pula dalam

bagian kedua surat al-dahr diuraikan secara rinci kemuliaan seperti apa yang akan

mereka dapatkan di dalam surga-surga tersebut. Di antara kemuliaan penduduk

surga yang diungkapkan dalam surat ini adalah Allah Swt. menghilangkan rasa

takut dan khawatir serta diberikan wajah yang berseri-seri pada hari mahsyar.

Mereka duduk bertelekan di atas tempat-tempat tidur yang indah, tidak merasakan

terik panas dan tidak pula kedinginan, dinaungi dengan pohon-pohon yang rindang

yang buahnya sangat mudah dipetik, diedarkan kepada mereka bejana-bejana yang

bening laksana kaca oleh para pelayan surga, diberi minum dari mata air yang

sangat bening “salsabil”. Pakaian ahli surga terbuat dari sutera yang sangat halus

dan tebal. Demikian itu antara lain kemuliaan yang akan dianugerahkan kepada

mereka.

Dengan demikian, jika dalam surat al-Sajdah diungkapkan secara singkat

tentang kondisi orang-orang kafir dan orang-orang mukmin di akhirat, maka dalam

surat al-Dahr dijelaskan secara rinci balasan kemuliaan penduduk surga, karena

keimanan dan keshalihan mereka di dunia.

Selanjutnya, di dalam surat al-Sajdah diterangkan salah-satu karakteristik

orang yang beriman adalah apabila disebutkan tentang ayat-ayat Allah Swt.,

mereka segera bersujud tersungkur seraya memuji Allah Swt. dan tidak

menyombongkan diri. Maka di dalam surat al-Dahr ditegaskan perintah kepada

Page 18: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

64

orang-orang yang beriman agar melakukan sujud di sebagian malam (shalat

tahajjud), bertasbih dan memuji Allah Swt.

Surat al-Sajdah ditutup dengan pernyataan bahwa pada hari akhir nanti

tidak akan berguna keimanan orang kafir dan mereka tidak akan diberi waktu

untuk bertaubat, maka orang yang beriman diperintahkan menunggu nasib buruk

mereka di akhirat nanti, setelah ajakan dan dakwah telah disampaikan kepada

mereka. Sedangkan surat al-Dahr diakhiri dengan pernyataan Allah Swt. bahwa

semua ayat-ayat Allah Swt. merupakan peringatan kepada manusia yang jika

mereka memahami maka pasti mereka memilih jalan Tuhan-nya dan Allah Swt.

akan memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dalam rahmat-Nya,

sedangkan orang-orang yang zhalim disediakan bagi mereka azab yang pedih.

Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang

sangat erat antara dua surat di atas. Kedua surat tersebut menyampaikan pesan-

pesan yang sangat mendalam terkait eksistensi manusia, baik di dunia maupun di

akhirat. Dapat dimaklumi jika kedua surat ini sangat sering dibaca Rasulullah Saw.

dalam shalat shubuh di hari Jum’at.27 Waktu shubuh adalah awal hari manusia

untuk menjalankan aktifitas kehidupan-nya setelah ia bangun tidurnya. Oleh

karena itu, waktu shubuh merupakan waktu yang sangat tepat untuk melakukan

evaluasi diri, apa yang telah dilalui dan apa yang akan dilakukan. Sedangkan hari

Jum’at merupakan penghulu segala hari (sayyid al-ayyâm), suatu momentum yang

juga sangat tepat untuk melakukan perbaikan diri untuk menggapai kemuliaan di

sisi Allah Swt.

Surat al-Kâfirûn dan Surat al-Ikhlâsh

Surat al-Kafirun terdiri dari 6 ayat, termasuk golongan surat-surat

Makkiyyah, diturunkan sesudah surat al-Mâ’ûn. Disebut surat al-Kafirûn diambil

dari kata “al-kâfirûn” yang terdapat dalam ayat pertama surat ini.28 Pokok-pokok

isi surat ini adalah pernyataan bahwa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad

Saw. dan pengikut-pengikutnya bukanlah apa yang disembah oleh orang-orang

kafir, dan Nabi Muhammad Saw. tidak akan menyembah apa yang disembah oleh

orang-orang kafir.

Imam al-Tirmizi, Ibn Majah dan Imam al-Nasa’i meriwayatkan bahwa

Surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlash ini biasa dibaca Nabi Saw. pada shalat

sunnah fajar. Dalam satu riwayat diungkapkan bahwa sebab turun surat ini adalah

berkenaan dengan kaum kafir Quraisy yang berusaha mempengaruhi Nabi Saw.

Mereka menawarkan harta kekayaan dan wanita kepada beliau. Mereka berkata :

Page 19: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

65

“Inilah yang kami sediakan bagimu wahai Muhammad, dengan syarat agar engkau

tidak memaki-maki tuhan kami dan mengejeknya, atau sembahlah tuhan-tuhan

kami selama setahun, niscaya kami juga akan menyembah tuhan-mu selama

setahun berikutnya”. Nabi Saw. menjawab : “Aku akan menunggu wahyu dari

Tuhan-Ku”. Maka turunlah surat ini sebagai perintah untuk menolak tawaran

mereka.

Dalam versi yang sedikit berbeda, surat al-Kafirun diturunkan sebagai

sanggahan atas tawaran kaum musyrikin Makkah seperti al-Walid bin al-

Mughirah, Aswad ibn ‘Abd al-Muththalib dan Umayyah ibn Khalaf. Mereka

datang kepada Rasulullah Saw. menawarkan kompromi menyangkut pelaksanaan

tuntunan agama. Usul mereka agar Nabi Saw. bersama umatnya mengikuti

kepercayaan mereka dan merekapun akan mengikuti ajaran Islam. “Kami

menyembah Tuhan-Mu hai Muhammad setahun dan kamu menyembah tuhan

kami setahun. Kalau agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena kami

juga menyembah Tuhanmu, namun jika agama kami benar, kamu juga tentu

memperoleh keuntungan”. Mendengar usul tersebut, Nabi Saw. menjawab tegas :

“Aku berlindung kepada Allah Swt. dari golongan orang-orang yang

mempersekutukan Allah Swt.”29

Adapun surat al-Ikhlash terdiri dari 4 ayat, termasuk surat-surat

Makkiyyah yang diturunkan setelah surat an-Nâs. Surat ini dinamakan dengan

surat al-Ikhlash, karena surat ini sepenuhnya menegaskan kemurnian (keikhlasan)

keesaan Allah Swt. Selain al-Ikhlash, surat ini juga disebut dengan beberapa nama.

Fakhruddin al-Razi –seperti dikutip oleh M. Quraish Shihab- menyebut sekitar 20

nama, antara lain adalah al-tafrid, al-tajrid, al-najat, al-wilayah, al-ma’rifah, al-

jamal, al-qasyqasy, al-muzakkirah, al-shamad, al-aman dan lain-lain.30

Substansi pokok surat ini adalah penegasan tentang kemurnian keesaan

Allah Swt. dan menolak segala bentuk kemusyrikan dan menerangkan bahwa tidak

ada sesuatu apapun yang menyamainya dalam segala aspeknya. Diriwayatkan oleh

Imam al-Tirmizi, Al-Hakim dan Ibn Huzaimah bahwa sebab turun surat al-Ikhlash

adalah berkenaan dengan kaum musyrikin yang meminta penjelasan Nabi Saw.

tentang sifat-sifat Tuhan, lalu turunlah surat ini. Versi lain diungkapkan bahwa

kaum Yahudi menghadap Nabi Saw., antara lain Ka’ab ibn al-Asyraf dan Hay bin

Akhthab. Mereka berkata : “Wahai Muhammad ! Lukiskan sifat-sifat Tuhan Yang

mengutusmu. Surat al-Kafirun memerintahkan ketegasan teologis orang-orang

yang beriman bahwa akidah merupakan hal yang sangat vital dalam keberimanan

seseorang. Oleh karena itu tidak boleh ada intervesni dan distorsi keimaman dan

Page 20: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

66

ibadah. Seorang mukmin harus dapat memisahkan antara ibadah-ibadah yang

dapat merusak imannya dan ibadah-ibadah yang benar-benar sejalan dengan

perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dalam surat al-Kafirun diungkapkan bahwa

dalam kondisi apapun, Allah Swt. merupakan satu-satunya Tuhan yang berhak

untuk disembah dan tidak ada tuhan tuhan-tuhan yang lain. Sedangkan di dalam

surat al-Ikhlash dijelaskan sifat-sifat Allah Swt. sebagai Zat yang patut disembah

tersebut, bahwa Dia adalah Tuhan yang Maha, kepada-Nya bergantung seluruh

makhluk, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada satupun

makhluk yang dapat menyamainya.

Dengan demikian, dua surat ini memiliki hubungan yang sangat erat dan

keterkaitan satu sama lain. Surat al-Kafirun menegaskan kepada orang-orang kafir

sebagai satu-satunya Tuhan Yang Haq, sedangkan sifat-sifat Tuhan Yang Haq itu

diuraikan di dalam surat al-Ikhlash, sebagai satu surat yang melambangkan

kemurnian dalam beriman.

Kesimpulan

Konstruksi bacaan shalat Nabi Saw. adalah surat-surat Al Qur’an yang

rutin Nabi Saw. baca di dalam shalat-shalatnya berdasarkan rekaman riwayat

antara lain adalah shalat shubuh hari Jum’at surat al-Sajdah dan surat al-Dahr;

shalat sunnah fajar surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlash; shalat witir surat al-A’la,

surat al-Kafirun dan al-Ikhlash; shalat Jum’at surat al-Jumu’ah dan surat

al-Munafiqun atau surat al-A’la dan surat al-Ghasyiah; dan shalat ‘Id al-Fithri

dan ‘Id al-Adha surat al-A’la dan al-Ghasyiah, dan lain-lain.

Terdapat hubungan yang sangat erat antara surat-surat Al Qur’an yang

menjadi bacaan rutin shalat-shalat Nabi Saw. Keadaan tersebut sama halnya

dengan hubungan antar surat-surat Al Qur’an berdasarkan tertib mushhaf yang

menjadi salah-satu aspek korelasi dalam studi munasabah Al Qur’an. Pengetahuan

dan pemahaman tentang aspek munasabah antara surat-surat bacaan shalat-shalat

Nabi Saw. tentu membawa hikmah dan urgensitas yang sangat signifikan, yakni

selain memberikan pengetahuan tentang rahasia-rahasia syari’at penggandengan

surat-surat tersebut oleh Nabi Saw., juga akan lebih mendatangkan kekhusyu’an

dan penghayatan terhadap firman-firman Allah Swt. di dalam shalat.

Page 21: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

John Supriyanto

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

67

Endnote

1 M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Mizan, Bandung :1995), hal. 16. 2 Al-Suyuthi, Jalâl ad-Dîn, Al-‘Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Dâr al-Fikr, t.th., Bairût :

1977) 3 Al-Imâm Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah ibn

Bardazbah Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhârî, (Dâr al-Fikr, Bairut: 1977), hal. 133. 4 Muhammad Sâlim Muhaisin, “Fî Rihâb al-Qur’ân al-Karîm”, (Kairo : Al-

Kulliyyah al-Azhâriyyah, t.th.), hal. 233. 5 Al-Bukhari, Al-Imâm Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn al-

Mughîrah ibn Bardazbah, Shahîh al-Bukhârî,…Ibid., hal. 366. 6 Manna’ A Al-Qaththan, “Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân”, (Mansyûrât al-‘Ashr

al-Hadîts, Riyâdh: 1973), hal. 145. 7Muhammad Nashir ad-Dîn Al-Albani, Shifat Shalât an-Nabiy Saw. min at-Takbîr ilâ

at-Taslîm ka Annaka Tarâhâ, (Maktabah Al-Ma’ârif, Riyâdh :1996), hal. 129-130. 8 Ibid., hal. 137. 9 Manna’ A Al-Qaththan, “Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân”…Ibid., hal. 98. 10Al-Imam Badr ad-Dîn Muhammad ibn ‘Abdillâh Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm

al-Qur’ân Jilid I (Dâr al-Fikr, Bairût :1988), hal. 35 11 Ibid., hal. 35. 12 Manna’ A Al-Qaththan, “Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân”…Ibid., hal. 98. 13 Ibid., hal. 79. 14 Abu Zaid dan Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul

Qur’an, (LkiS, Yogyakarta : 2001), hal. 215. 15 Muhammad Syahrur, “Al-Kitâb wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah”, (Sina

Publisher, Kairo: 1992), hal. 598. 16 Ibid., hal. 598. 17 Al-Imam Badr ad-Dîn Muhammad ibn ‘Abdillâh Al-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm

al-Qur’ân…Ibid., hal. 132. 18 Manna’ A Al-Qaththan, “Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân”…Ibid., hal. 139. 19 Shihab, M. Quraish, Membumikan Al Qur’an…Ibid., hal. 29. 20 Ibid., hal. 31. 21Muhammad Nashir ad-Dîn Al-Albani Shifat Shalât an-Nabiy Saw. min at-Takbîr ilâ

at-Taslîm ka Annaka Tarâhâ…Ibid., hal. 130. 22 Ibid., hal. 137. 23 Ibid., hal. 141. 24 Ibid., hal. 135. 25Muhammad ‘Ali Al-Shabuni, “Shafwat al-Tafâsîr”, (Dar al-Kutub al-Islamiyyah,

Kairo :1999), hal. 489. 26 Ibid. 27 Muhammad Nashir ad-Dîn Al-Albani Shifat Shalât an-Nabiy Saw. min at-Takbîr

ilâ at-Taslîm ka Annaka Tarâhâ…Ibid., hal. 129. 28 Muhammad ‘Ali Al-Shabuni, “Shafwat al-Tafâsîr”, (Dar al-Kutub al-Islamiyyah,

Kairo :1999), hal. 1112. 29 Shihab, M. Quraish, Membumikan Al Qur’an…Ibid., hal. 573.

Page 22: Munasabah al-Qur’an: Studi Korelatif Antar Surat Bacaan ...sebagai salah satu disiplin ilmu-ilmu Al-Qur’an- tidak ditemukan upaya-upaya lain para ulama’ untuk menggali hikmah-hikmah

Munasabah al-Qur’an …

Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013

68

30 Ibid., hal. 606.

Daftar Pustaka

Abu Zaid, Nasr Hamid. (2001). Tekstualitas al-Qur’an: Ktitik Terhadap Ulumul

Qur’an. Yogyakarta: LkiS.

Al-Albani, Muhammad Nashir ad-Dîn. (1996). Shifat Shalât an-Nabiy Saw. min

at-Takbîr ilâ at-Taslîm ka Annaka Tarâhâ. Riyâdh : Maktabah Al-Ma’ârif.

Al-Bukhari, Al-Imâm Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn

al-Mughîrah ibn Bardazbah, (1994). Shahîh al-Bukhârî. Bairut : Dâr al-Fikr.

Al-Dimasyqi, Al-Imâm Abu al-Fidâ’ al-Hâfizh ibn Katsîr, (1997). Tafsîr al-

Qur’ân al-‘Azhîm. Bairût : Dâr al-Fikr.

Al-Qaththan, Manna’, (1973). Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Riyâdh, Mansyûrât

al-‘Ashr al-Hadîts.

Al-Qattan, Manna’ Khalil. (1994). Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Jakarta: Litera

Antar Nusa.

Al-Shabuni, Muhammad ‘Ali. (1999). Shafwat al-Tafâsîr. Kairo: Dar al-Kutub al-

Islamiyyah. Jilid III.

Al-Suyuthi, Jalâl ad-Dîn. Al-‘Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Bairût : Dâr al-Fikr, t.th.

Al-Zarkasyi, Al-Imam Badr ad-Dîn Muhammad ibn ‘Abdillâh. (1988). Al-Burhân

fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Bairût : Dâr al-Fikr. Jilid I.

Amal, Taufik Adnan. (2005). Rekonstruksi Sejarah Al Qur’an. Jakarta : Pustaka

Alvabet.

M. Quraish Shihab (2007). Tafsir al-Mishbah, Jakarta : Lentera Hati. Vol. 15

Muhaisin, Muhammad Sâlim. Fî Rihâb al-Qur’ân al-Karîm. Kairo : Al-Kulliyyah

al-Azhâriyyah, t.th.

Shihab, M. Quraish. (1995). Membumikan Al Qur’an. Bandung : Mizan.

Syahrur, Muhammad, (1992). Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah. Kairo:

Sina Publisher.