muhammadiyah sebagai gerakan dakwah islam
DESCRIPTION
MakalahTRANSCRIPT
MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN DAKWAH ISLAM
Disusun Oleh :
KELOMPOK III
FITRIYAN YULIYARFA
HARLIYAH
INAYAH
JOLEKA
KARISMA
KITRI YANI
SMK MUHAMMADIYAH KANDANGHAUR
MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN DAKWAH ISLAM
Landasan Hitoris Lahirnya Muhammadiyah
Kemegahan peradaban Islam berakhir dengan serbuan tentara Mongol pada pertengahan abad
ke-13 yang meluluhlantakkan kota Bagdad, seiring dengan tumbuhnya benih-benih
kebangkitan kembali Eropa dengan ‘renaisance’nya. Sementara Islam memasuki masa-masa
zaman kegelapan sampai pada awal abad ke-19, karena sebagian besar daerah kekuasaan
Islam telah menjadi daerah kekuasaan imperialisme Eropa sebagai wujud dari ‘kebangkitan’
Eropa.
Masa kegelapan Islam baru berakhir dan memperlihatkan tanda-tanda kebangkitan pada awal
abad ke-19. seiring dengan lahirnya tokoh-tokoh pembaharu islam dan berbagai gerakan
islam di dunia Arab. Pertama, gerakan muncul di Mesir dengan tiga tokoh, yaitu : Jamaluddin
Al Afghani ynag berkebangsaan Afghanistan dijuluki sebagai ‘tokoh Renaisance Islam’,
Muhammad Abduh yang berkebangsan Mesir bercita-cita terwujudnya kejayaan dan
kemuliaan ummat Islam di negeri mana pun, serta Rasyid Ridho dan Muhammad Iqbal.
Walaupun sebelum mereka sudah terlebih tumbuh benih-benih kebangkitan melalui tokoh-
tokoh seperti Ibnu Taimiyah dan Abdul Wahab dengan gerakan wahabi-nya (Islam murni).
Mata rantai pembaharuan Islam di dunia Arab akhirnya pun melanda nusantara melalui
pemikiran para ulama yang belajar di Arab. Gerakan pebaharuan Islam yang berkembang di
Arab mengusung cita-cita mengembalikan Islam pada jalan sesungguhnya dengan kembali
pada Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai solusi keterbelakangan terhadap umat Islam. Dengan
kembali kepada sumber ajaran Islam yang sesungguhnya, yaitu Al-Qur’an dan sunnah maka
umat Islam di seluruh dunia bisa keluar dari perbedaan interpretasi ajaran yang terpolar
dengan beberapa aliran teologi yang menjadi sumber perpecahan ummat Islam.
Selain pengaruh gerakan di atas, ada beberapa sebab lahirnya muhammadiyah, antara lain:
a. Keinginan dari KH. Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang dapat dijadikan
sebagai alat perjuangan dan da’wah untuk menegakkan ammar ma’ruf nahi munkar
yang bersumber pada Al-Qur’an, Surat Ali Imron : 104 dan surat Al-Ma’un sebagai
sumber bagi gerakan sosial-praktis untuk mewujudkan gerakan tauhid.
b. Ketidakmurnian ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia,
sebagai bentuk ‘adaptasi tidak tuntas’ antara tradisi islam dan tradisi lokal nusantara
awal yang bermuatan paham animisme dan dinamisme. Sehingga dalam prakteknya
umat Islam di Indoneia memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan prinsip aqidah Islam yang
menolak segala bentuk kemusryikan, taqlid, bid’ah dan khurafat. Sehingga purifikasi
(pemurnian) ajaran menjadi pilihan mutlak bagi umat Islam Indonesia.
c. Keterbelakangan umat Islam Indonesia dalam segala segi kehidupan menjadi sumber
keprihatinan untuk mencarikan solusi agar dapat keluar dari keterbelakangan.
Keterbelakangan umat Islam dalam dunia pendidikan menjadi sumber utama
keterbelakangan dalam peradaban. Pesantren tidak bisa selamanya dianggap menjadi
sumber lahirrnya generasi baru muda Islam yang berpikiran modern. Kesejahteraan
umat Islam akan tetap berada di bawah garis kemiskinan jika ‘kebodohan’ masih
melingkupi umat Islam Indonesia.
d. Maraknya kristenisasi di Indonesia sebagai efek domino dari imperialisme Eropa ke
dunia timur yang mayoritas beragama Islam. Proyek kristenisasi satu paket dengan
proyek imperialisme dan modernisasi bangsa Eropa, selain keinginan untuk
memeperluas daerah koloni untuk memasarkan produk-produk hasil revolusi industri
yang melanda Eropa.
e. Imeprialisme Eropa tidak hanya membonceng gerilya gerejawan dan para penginjil
untuk menyampaikan ‘ajaran jesus’ untuk menyapa ummat manusia di seluruh dunia
untuk ‘mengikuti’ ajarran jesus. Tetapi juga membwa angin modernisasi yang sedang
melanda Eropa. Modernisasi yang berhembus melalui model pendidikan barat
(belanda) di Indonesia mengusung paham-paham yang melahirkan modernisasi
Eropa, seperti sekulerisme, individuisme, libelarisme dan rasionalisme. Jika penetrasi
ini tidak dihentikan maka akan lahir generasi baru islam yang rasional tetapi liberal
dan sekuler.
Arti Muhammadiyah
Dengan berbagai latar belakang diatas maka K.H. Ahmad Dahlan mengambil inisiatif untuk
mendirikan muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 M (8 Dzulhijjah 1330 H) di
Yogyakarta. Secara etimologis Muhmmadiyah dapat diartikan sebagai “pengikut Muhammad
SAW”, yang terdiri dari kata ‘Muhammad’ dan ‘ya nisbiyah’. Sehingga setiap orang yang
meyakini dan menjadi pengikut Muhammad SAW adalah orang muhammadiyah tanpa
dibatasi oleh ideologi golongan, bangsa, dan organisasi. Sementara secara terminology,
muhammadiyah adalah gerakan dawah amar ma’ruf nahi munkar berasas Islam dan
bersumber Al Qur’an dan sunnah demi terwujudnya baldhatun thaibatun warobbul ghofur,
yang bersumber pada QS. Ali Imron: 104.
Maksud dan Tujuan Muhammadiyah
Maksud dan tujuan muhammdiyah secara lengkap rumusannya seperti terdapat dalam
anggaran dasar muhammadiyah, sbb:
“mengakkan dan menjunjung tinggi agama islam sehingga terwujudnya masyarakat utama,
adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT”
maksud dan tujuan muhammdiyah tersebut diwujudkan secara praksis dalam realitas
kehidupan keagamaan dan sosial umat, al:
Bidang keagamaan
Tantangan modernitas dan tradisi (bermuatan takliq, bid’ah dan kurafat) menjadi dua
persoalan keagamaan yang dihadapi oleh muhammadiyah. Purifikasi atau pemurnian dan
gerakan tajdid adalah 2 hal yang menjadi ciri gerakan da’wah keagamaan muhammdiyah.
Sehingga muhammadiyah juga merumuskan pedoman ubudiyah, muamalah, hisab, dan
sebagainya melalui keputusan tarjih Muhammadiyah yang berisikan para ulama.
Bidang pendidikan
Kepedulian muhammadiyah dibuktikan dengan mendirikan lembaga pendidikan formal dari
taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi dengan menggabungkan antara pendidikan
agama dan pendidikan umum sebagai jembatan untuk menuntaskan kebodohan yang sedang
diidap oleh umat Islam Indonesia, sehingga seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat
Bidang sosial kemasyarakatan
Untuk memenuhi kebutuhan umat dan untuk keperluan da’wah, maka didirikan rumah sakit,
panti asuhan, balai pengobatan, klinik, apotik, percetakan, lembaga peyuluhan dan lain-lain.
Bidang politik kenegaraan
Muhammdiyah berperan besar dalam pergerakan menjelang kemerdekaan, paska
kemerdekaan, perlawanan atas pemberontakan PKI 1948 dan 1965, maupun dalam menjaga
kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam negara kesatuan republik Indonesia.
Namun muhammadiyah secara organisasi tidak terlibat dalam agenda politik praktis.
Ciri Perjuangan Muhammdiyah
Ada 3 ciri dari perjuangan muhammadiyah
1) Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Gerakan Islam dijadikan sebagai ciri perjuangan Muhammdiyah sebagai telaah
terhadap QS Ali Imron: 104 serta 17 ayat Al-Qur’an lainnya yang didalamnya
tergambar dengan jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat muhammadiyah dalam
pengabdiannya kepada Allah SWT. Segala hal yang dilakukan oleh muhammadiyah
di segala bidang di atas adalah semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip
ajaran Islam menuju masyarakat utama yang rahmatan lil ‘alamin.
2) Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar.
QS. Ali Imron: 104 menjadi khittah dan sumber strategi perjuangan muhammadiyah,
yakni dakwah (menyuruh amar ma’ruf nahi munkar, dengan masyarakat sebagai
objek perjuangannya). Dan semua amal usaha muhammadiyah merupakan media bagi
gerakan dakwah Islamiyah
3) Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (purifikasi dan reformasi)
Sifat tajdid yang dikenakan pada gerakan muhammadiyah sebenarnya tidaklah hanya
pada sebatas pengertian upaya memurnikan ajaran Islam dari berbagai penyimpangan
ajaran Islam, tetapi juga upaya Muhammadiyah untuk melakukan berbagai
pembaharuan tata cara pelaksanaan ajaran Islam, dalam realitas sosial
kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Dalam hubungannya dengan salah satu ciri muhammadiyah sebagai gerakan tajdid,
maka muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai gerakan purifikasi dan gerakan
reformasi.
Struktur organisasi dan ortom muhammadiyah
Secara organisasional muhammadiyah memiliki struktur organisasi kepemimpinan berurutan
dari tingkat ranting (tingkat desa), cabang (kecamatan), daerah (kota/kabupaten), wilayah
(propinsi) dan pusat (nasional). Sementara kepengurusan dalam muhammadiyah terdiri dari
beberapa bidang (majelis), antara lain:
Majelis tarjih
Majelis hikmah
Majelis tablig
Majelis pendidikan dasar dan menengah
Majelis kebudayaan
Majelis pembina kesejahteraan social
Majelis pembina kesehatan
Majelis pembina ekonomi
Majelis wakaf dan kehartabendaan
Majelis pustaka
Majelis pendidikan tinggi dan litbang
Dan beberapa lembaga
Disamping majelis dan lembaga, terdapat organisasi otonom (ortom) yang bernaung di bawah
payung Muhammadiyah, dengan diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya
sendiri. Ortom-ortom tersebut adalah :
1) Aisyiyah
2) Nasyiatul Aisyiyah (NA)
3) Pemuda Muhammadiyah (PM)
4) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
5) Iaktan Remaja Muhamadiyah (IRM)
6) Tapak Suci Putra Muhammadiyah
Empat organisasi ortom, yaitu pemuda Muahammadiyah, Nasyiatul Asyiyah, Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah dan Ikatan Remaja Muhammadiyah tergabung dalam Angkatan
Muda Muhammadiyah (AMM). Sementara itu Ortom yang harus dibina di Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (OTM) adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Tapak Suci
Putra Muahammadiyah.
Peran Muhammadiyah dalam Perjalanan Sejarah Bangsa
Semenjak didirikan (1912), 4 tahun setelah Budi Utomo berdiri (1908) sebagai simbol
perjuangan kemerdekaan Indonesia modern awal, Muhammadiyah sudah mengambil peran
bersama-sama organisasi perjuangan kemerdekaan lainnya untuk konsisten mencarikan jalan
menuju kemerdekaan Indonesia. KH Ahmad Dahlan misalnya, ikut duduk sebagai pengurus
Budi Utomo dan menjadi penasehat sarikat Islam. Penggantinya KH. Mas Mansur,
merupakan tokoh Muhammadiyah yang terlibat banyak dalam pendirian Partai Islam
Indonesia (1938) dan berbagai aktifitas perjuangan kemerdekaan lainnya. Begitu juga dengan
Ki Bagus Hadi Kusuma yang banyak terlibat dalam perjuangan menjelang kemerdekaan 1945
dan beberapa tokoh lainnya bahkan terlibat dalam penyiapan konsep kemerdekaan Indonesia.
Pasca kemerdekaan, Muhammadiyah tetap tampil secara konsisten dalam berbagai peranan
dakwah dan peran sosialnya. Muhammadiyah hadir sebagai penjaga moral bangsa. Ketika
pemilu 1955, NU terlibat dalam politik praktis dan menjadi partai politik, Muhammadiyah
tetap pada khittahnya. Walupun secara kultural Muhammadiyah sangat dekat dengan partai
Masyumi, karena sebagaian besar tokoh-tokoh Masyumi adalah tokoh-tokoh Muhammadiyah
juga.
Ketika PKI menjadi kekuatan politik dan idiologi yang kuat pada pertengahan 60an,
Muhammadiyah menjadi penghalang utama dan paling ditakuti untuk memasuknya paham-
paham marxis dan komunis di Indonesia. Sampai 32 tahun suharto berkuasa, Muhammadiyah
tetap melihat sebagai Ormas islam yang tetap focus pada agenda social praktis yang
menyentuh realitas masyarakat tanpa ikut tergoda untuk ‘bermain’ dalam politik praktis.
Tetapi mengusung agenda ‘high politik’, bukan ‘low politik’. Walau sesungguhnya banyak
kader Muhammadiyah ikut ‘bermain’ dalam politik praktis (bergabung diberbagai partai
politik) dan menjadi bagian dari birokrasi negara, Muhammadiyah tidak tergiur untuk
meninggalkan khittahnya sebagai gerakan sivil society.
Peran Muhammadiyah bagi Indonesia Masa Depan.
Sebelum diurai lebih jauh tentang arah dan peran Muhammadiyah ke depan, maka perlu kita
urai bebrapa hal yang menjadi ganjalan di Muhammadiyah untuk melangkah lebih confiden
ke depan, antara lain :
Menurunnya progresifitas gerakan dakwah akibat lemahnya penafsiran terhadap
purifikasi (pemurnian) yang menjadi doktrin inti Muhammadiyah.
Muhammadiyah selalu terlambat dalam membangun mitos baru terhadap realitas
untuk menuntun warganya, sehingga terlalu lama berkutat dengan mitos sinkretis,
animis dan TBC. Sementara perlawanan terhadap KKN tidak perlu menjadi mitos di
Muhammadiyah.
Menurunnya gerakan pemikiran (Intelektualisme) di Muhammadiyah yang berakibat
serius pada perkembangan amal usahanya. Sehingga akan melemahkan daya antisifasi
terhadap perubahan. Dalam hal ini Muhammadiyah tertinggal dalam diskursus
teologis, sosiologis, antropologis, maupun perkembangan organisasi.
Muhammadiyah selalu terlambat merespon wacana pemikiran yang sedang
berkembang, misalnya wacana Islam liberal, pluralisme, sosialisme relegius,
demokrasi, post modernisme, post tradisionalisme, gender dan lain sebagainya.
Eforia politik paska revormasi (1998) membawa Muhammadiyah semakin dekat
kegaris demarkasi politik praktis. Hampir sebagain warga Muhammadiyah terhanyut
dalam eforia politik. Sehingga eksodus pimpinan Muhammadiyah dan Ortom ke
parpol menjadi fenomena tersendiri.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting bagi eksistensi Muhammadiyah kedepan:
Memacu kembali progresifitas dan mempertajam arah gerakan dengan lebih respon
terhadap perubahan dan realitas empirik ummat. Muhammadiyah harus lebih
memiliki keperdulian terhadap persoalan kemiskinan, petani, buruh, persoalan social
lainnya.
Perlu dilakukan tafsir ulang terhadap konsep purifikasi (TBC) yang selama ini
menjadi doktrin Muhammadiyah. Hal ini dilakukan agar lebih jernih melihat realitas
keberagamaan ummat yang histories dan realitas. Sehingga Muhammadiyah tidak
tercabut dari akar budaya bangsa masyarakat dan memiliki titik sentuh dengan
berbagai lapisan keberagamaan ummat. Dakwah kultural bukan diartikan dengan
menghalalkan tradisi sinkretis, animis dan TBC, tetapi tradisi lokal diakomodasi
untuk dituntun pada akidah yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah.
Membangkitkan kembali etos intelektualisme di Muhammadiyah agar lebih tangap
terhadap perubahan dan wacana pemikiran yang berkembang. Sehingga agenda
aktivisme di Muhammadiyah bersumber dan sejalan dengan etos intelektualisme.
Tuntutan umat dan warga terhadap persoalan eologis, sosiologis, politik dan budaya
menjadi terpenuhi. Termasuk tafsir pemikiran Muhammadiyah terhadap wacana
pemikiran yang berkembang, seperti tafsir terhadap gender, pluralisme, demokrasi,
dan HAM. Sehingga nantinya Muhammaiyah memiliki metodologi dalam memahami
idealitas maupun realitas empirik umat dengan nalar Muhammadiyah. Tanpa
bermaksud latah seperti arkoun dan al-jabiri dengan nalar ‘islam’ dan nalar
‘Arab’nya.
Muhammadiyah harus tetap konsisten dengan khittah perjuangan untuk tidak terlibat
dalam aktivitas politik praktis, sehingga agenda umat tidak terbengkalai, karena
disibukkan dengan agenda-agenda politik jangka pendek.
Muhammadiyah harus selalu memiliki ide-ide kreatif dalam menyikapi berbagai
persoalan dan agenda bangsa. Mulai dari persoalan pendidikan, ekonomi, politik,
hukum, sosial dan budaya.