makna muhammadiyah dalam gerakan sosiali

25
Makna Muhammadiyah dalam Gerakan Sosial BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang "Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.Itulah orang yang menghardik anak yatim.dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.orang-orang yang berbuat riya.dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS. Al-Ma’un: 1-7) Ayat di atas merupakanbasis ideologi perjuanganMuhammadiyah yang memberikan landasan keberpihakan kepada kaum lemah (dhu’afa’) dan kaum teraniaya (mustadh’afin). Semangat Al-Ma’un merupakan dasar pijakan dalam pengembangan awal gerakan “PRO-Penolong Kesengsaraan Oemoem” dengan tokoh Kyai Sudjak di awal pendirian Muhammadiyah tahun 1912. Penerjemahan tersebut disesuaikan dengan munculnya gagasan baru tentang pembentukan masyarakat sipil atau masyarakat madani atau masyarakat yang beradab. Masyarakat madani yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang terbuka dan

Upload: mho-mho-gie

Post on 28-Sep-2015

28 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

Makna Muhammadiyah dalam Gerakan Sosial

Makna Muhammadiyah dalam Gerakan Sosial

BAB IPENDAHULUANLatar Belakang"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?.Itulah orang yang menghardik anak yatim.dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.orang-orang yang berbuat riya.dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS. Al-Maun: 1-7)Ayat di atas merupakanbasis ideologi perjuanganMuhammadiyah yang memberikan landasan keberpihakan kepada kaum lemah (dhuafa) dan kaum teraniaya (mustadhafin). Semangat Al-Maun merupakan dasar pijakan dalam pengembangan awal gerakan PRO-Penolong Kesengsaraan Oemoem dengan tokoh Kyai Sudjak di awal pendirian Muhammadiyah tahun 1912. Penerjemahan tersebut disesuaikan dengan munculnya gagasan baru tentang pembentukan masyarakat sipil atau masyarakat madani atau masyarakat yang beradab. Masyarakat madani yang dimaksud dalam hal ini adalah masyarakat yang terbuka dan bermartabat. Sayyid Quthb (dalam Tafsir fi Zhilalil Quran Vol. 24) menjelaskan bahwa surat pendek ini mampu memecahkan hakikat besar yang mendominasi pengertian iman dan kufur secara total. Boleh jadi definisi iman dan kufur di sini sangat berbeda bila dibandingkan definisi tradisional. Karena kufur (mendustakan agama) di sini diartikan sebagai menghardik anak yatim dan atau menyakitinya (Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, ayat 2-3). Logika kufur muncul karena seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati niscaya anak-anak yatim dan orang miskin tentu tidak akan diterlantarkan. Rumusan MasalahRumusan masalah yang dapat di tarik dari penjelasan latar belakang adalah bagaimana sebenarnya makna Muhammadiah dalam gerakan sosial?Tujuan Pembahasan Tujuan dari pembahasan ini adalah melakukan diskusi yang di harapkan dapat menjelaskan dan memahami bagaimana makna Muhammadiya dalam bidang sosial. BAB IITINJAUAN PUSTAKABerdirinya organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah tidak terlepas dari sumbangsih empat kuartet bersaudara. Mereka amat dihormati oleh warga Muhammadiyah, dari sejak dulu hingga kini. Empat bersaudara tersebut antara lain H Muhammad Sudjak, KH Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusuma, dan KH Zaini.Mereka merupakan generasi pertama gerakan Muhammadiyah yang langsung di bawah bimbingan KH Ahmad Dahlan, Bapak Muhammadiyah. Dan dari empat orang bersaudara itu, yang paling tua adalah H Muh Sudjak. H Muhammad Sudjak terlahir di Kampung Kauman, Yogyakarta pada tahun 1885/1303 H. Dia berasal dari keluarga abdi dalem santri keraton Yogyakarta. Ayahnya adalah H. Hasyim yang menjabat sebagai seorang abdi dalem keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII.Dari sekian banyak kader muda KH. Ahmad Dahlan yang mempunyai pola pikir dan perjuangan pragmatis dan bergerak di bidang sosial adalah Sudjak. Sikap seperti itu merupakan hasil pendidikan yang diberikan KH Ahmad Dahlan di mana dia senantiasa menekankan pentingnya aksi (praktek amaliah) dari pada hanya sekedar beretorika. Dan Sudjak dipandang sebagai tokoh yang pantas memimpin Bagian PKU Muhammadiyah.Sebagai pemimpin Bagian PKU Muhammadiyah, Sudjak yakin lembaga tersebut akan mampu membuktikan bahwa bangsa Indonesia, khususnya Muhammadiyah dapat mendirikan rumah sakit, rumah miskin, rumah anak yatim dan sebagai aksi sosialnya. Rencananya untuk mendirikan beberapa amal sosial itu kemudian dipresentasikan saat dilantik menjadi ketua Bagian PKU Muhammadiyah. Rencana Sudjak terdengar sangat berlebihan untuk ukuran saat itu sehingga di depan khalayak dia malah ditertawakan. Meski demikian dia tetap yakin akan tekadnya.Dia berpegang pada realitas bahwa telah banyak orang non-Muslim (Kolonial Belanda) yang dapat mendirikan rumah sakit, rumah miskin dan rumah yatim hanya karena dorongan rasa kemanusiaan tanpa didasari rasa tanggungjawab kepada Allah SWT. Jika umat non-Muslim saja mampu melakukan aksi-aksi sosial, mengapa umat Islam yang mempunyai landasan agama seperti yang tertera dalam QS Al Maun, tidak dapat melakukannya.Lebih jauh dia berprinsip bahwa jika Allah telah menetapkan ketentuannya di dalam Alquran, pasti ketentuan itu dapat dilakukan umat-Nya, karena mustahil Allah membuat ketentuan yang tidak dapat dilakukan kaum-Nya. Pada perkembangannya kemudian, ternyata apa yang digagas Sudjak menjadi kenyataan. Perlahan tapi pasti Muhammadiyah mampu mendirikan rumah sakit di Yogyakarta serta mendirikan rumah miskin dan panti anak yatim di mana-mana sebagai amal usaha-amal usaha andalan di bidang sosial.Itulah sumbangan terbesar yang diberikan Sudjak dalam merintis dan mengembangkan gerakan Muhammadiyah, khususnya di bagian PKU. Sudjak pun dipandang sebagai inspirator dan perintis utama aksi sosial dalam gerakan Muhammadiyah setelah KH Ahmad Dahlan sendiri. Di lingkungan Muhammadiyah, meski belum pernah menjabat sebagai ketua Muhammadiyah dan jabatan tertingginya hanya sampai pada jabatan wakil ketua, tapi nama Sudjak cukup populer. Hal ini karena dia dipandang sebagai salah seorang murid dan kader langsung dari KH. Ahmad Dahlan.Bahkan pada sekitar tahun 1937 ketika terjadi gejolak di kalangan muda Muhammadiyah yang menghendaki adanya regenerasi dia adalah salah satu di antara trio angkatan tua bersama-sama dengan M. Mukhtar dan H. Hisyam yang sangat populer. Dalam kongres Muhammadiyah yang ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, Sudjak tetap diberi kepercayaan untuk memimpin Bagian (Majlis )PKU yang memang bidangnya. Setelah itu, Sudjak tidak lagi duduk di dalam kepengurusan besar Muhammadiyah secara fungsional. Namun, hingga masa akhir hayatnya pada tahun 1962, dia dipercaya menjadi anggota penasehat PP Muhammadiyah.BABIIIPEMBAHASANKetika pertama kali lahir tahun 1912, Muhammadiyah adalah sebuah gerakan sosial keagamaan yang tidak hanya terilhami oleh kenyataan tidak murninya praktik ajaran Islam di tanah air. Di luar persoalan ini, sebenarnya Muhammadiyah juga lahir karena terdapat kondisi sosial yang sangat timpang. Sekadar menyebut contoh, praktik dualisme pendidikan, yakni pendidikan Belanda yang sekular untuk kaum priyayi dan anak-anak Belanda, di satu sisi, dan pendidikan pesantren yang sangat tradisional untuk penduduk pribumi dan rakyat jelata, di sisi lain, merupakan contoh ketimpangan sosial yang terjadi itu.Tafsir sosial yang dilakukan oleh Kiai Dahlan atas semua persoalan pada masanya sangat lugas. Penerjemahan teks-teks Qurani ke dalam praksis sosial dilakukan oleh Kiai Dahlan dengan sangat tangkas. Barangkali karena Kiai Dahlan tidak banyak berteori, sehingga sementara pengamat menggolongkannya sebagai man of action dan bukan man of thought. Sampai batas-batas tertentu, ungkapan ini tentu benar. Tetapi secara lebih mendasar apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan bukan berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam terhadap kondisi yang dihadapi. Refleksi kritis terhadap realitas sosial yang terjadi dan kemudian mencarikan solusi yang tepat untuk mengentaskannya inilah yang belakangan menjadi sebuah semangat baru dalam ilmu sosial. Sehingga teori sosial kritis yang belakangan ini banyak diintrodusir, dianggap perlu dipertimbangkan sebagai sebuah pendekatan baru dalam metode tafsir sosial Muhammadiyah.Muhammadiyah memihak pada domain sosial yang sangat luas. Penerjemahan teks-teks Quran menjadi praksis sosial yang memihak merupakan sebuah ciri penting Muhammadiyah masa awal. tidak seorangpun yang bisa membantah kenyataan bahwa Muhammadiyah lahir dengan pemihakan yang luar biasa terhadap realitas sosial yang terwujud dalam kemiskinan, ketertindasan, kurang atau rendahnya pendidikan. Selama bertahun-tahun lamanya semangat ini menjadi spirit utama gerakan Muhammadiyah, sehingga kehadiran Muhammadiyah sebagai sebuah mesin yang mampu melakukan transformasi sosial mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari berbagai kalangan. Contoh transformasi itu, misalnya, terwujud dalam partisipasi Muhammadiyah menciptakan kelas-kelas sosial baru yang mungkin tidak akan pernah terwujud jika Muhammadiyah tidak hadir dengan nilai-nilai barunya. Kuntowijoyo bahkan meyakini bahwa sulit dibayangkan akan lahir kelas-kelas sosial baru dalam masyarakat Indonesia, jika Muhammadiyah tidak hadir dengan menawarkan modernisasi sistem pendidikan di Indonesia yang dualistik di atas. Karena sistem pendidikan sebagaimana yang disebut di atas, justru melanggengkan ketimpangan sosial.Kritik dan Kelemahan-kelemahan terhadap Gerakan Sosial MuhammadiyahMuhammadiyah sering menuai kritik sebagai gerakan sosial yang mulai terjangkit penyakit elitisme. Perkembangan Muhammadiyah yang kian pesat dari hari ke hari dalam banyak hal menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi, termasuk orientasi gerakan sosialnya. Jika pada mulanya, amal usaha Muhammadiyah, khususnya dalam bidang sosial lebih banyak berbicara pada bidang-bidang sosial yang berorientasi voulentaire, kini hampir bisa dipastikan bahwa seluruh amal usaha Muhammadiyah berorientasi pada persoalan ekonomi dan sampai batas-batas tertentu cenderung profit oriented. Hal itu tidak sepenuhnya salah, karena sebagai sebuah organisasi, Muhammadiyah harus profesional, dan profesionalitas itu antara lain harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk seperti itu, sedangkan pola-pola volunteerism tentu memiliki potensi yang kontra produktif dengan kenyataan tersebut. Tetapi hal itu sekaligus menimbulkan dilema: pada satu sisi Muhammadiyah memang harus terus mengembangkan profesionalitasnya, tetapi yang juga harus diingat adalah, jangan sampai profesionalitas yang hendak dicapai itu melupakan fungsi-fungsi sosial Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan.Secara teologis konsep amar maruf nahi munkar yang menjadi ciri utama Muhammadiyah, menurut Kuntowijoyo ternyata memiliki dinamika internal untuk menimbulkan desakan terhadap adanya transformasi sosial secara berkesinambungan. Amar maruf berarti humanisasi dan emansipasi, sementara nahiy munkar berarti upaya untuk melakukan liberalisasi. Dan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial semestinya memiliki sifat seperti di atas. Tetapi sayang, dari perspektif transformasi sosial, Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas.Jika dikaitkan dengan teori gerakan, maka Muhammadiyah cenderung berada pada posisi peripheral,tidak Kiri tidak juga Kanan. Maka tidak ada salahnya jika Muhammadiyah mengambil peran gerakan Kiri, bukan dalam bentuk, tetapi dalam fungsi, untuk melakukan keberpihakan ulang terhadap kaum proletar seperti pada masa-masa awal berdirinya organisasi ini. Secara umum, Kiri diartikan sebagai kelompok yang cenderung radikal, sosialis, anarkis, reformis, progresif atau liberal. Dengan kata lain, Kiri selalu menginginkan kemajuan (progress) yang memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia atas takdir sosial yang dialaminya. Kelemahan Muhammadiyah dalam bidang gerakan sosial lainnya adalah pendasaran pembinaan sosial pada jenis kelamin dan usia yang pada gilirannya menjadikan Muhammadiyah seolah-olah tidak peduli dengan interest group, seperti petani, buruh, nelayan kalangan proletar lainnya. Akibatnya, Muhammadiyah seolah-olah membiarkan warganya yang menjadi buruh berbondong-bondong ke organisasi lain yang dirasa lebih aspiratif dengan kepentingannya, seperti APSI, atau petani yang ke HKTI dan sebagainya. Maka proletarisasi Muhammadiyah, nampaknya merupakan suatu persoalan yang sangat urgen untuk dilakukan dalam diri Muhammadiyah. Mau tidak mau harus diakui, bahwa apapun yang dilakukan oleh Muhammadiyah kurang menyentuh massa di kalangan grass root. Jika hal ini terus berlanjut, maka sedikit demi sedikit Muhammadiyah akan mulai kehilangan basis massa pendukungnya, khususnya dari kalangan kelas menengah ke bawah. Kecuali jika Muhammadiyah memang sudah puas dengan basis massa kalangan menengah ke atas yang saat ini dimilikinya.Patut dicatat di sini, bahwa proletarisasi Muhammadiyah dan adopsi peran gerakan Kiri yang dimaksudkan bukan untuk membenturkan kelas menengah ke atas (kaum borjuis) dengan kelas menengah ke bawah (kaum proletar), seperti halnya gerakan Kiri ala Marxis, tetapi lebih sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi paradigma gerakan sosial Muhammadiyah yang oleh Kuntowijoyo disebut belum jelas. Dan lebih dari itu, proletarisasi Muhammadiyah dan adopsi peran gerakan Kiri dimaksudkan untuk seperti kata Kazuo Shimogaki melawan takdir sosial yang dialami oleh sebagian besar umat Islam.Teori Sosial Kritis sebagai Metode Alternatifthe new social movement. Proses berteologi yang selama ini lebih menganggap teologi sebagai disiplin ilmu mestinya mulai dirubah menjadi teologi sebagai sebuah gerakan, sehingga teologi merupakan kerja pedagogis kemanusiaan yang bisa berwatak pembebasan. Bahwa perubahan bukan hanya harus dilakukan oleh satu komunitas tertentu saja, melainkan juga oleh lapisan sosial lainnya, sehingga perubahan itu terjadi secara kolektif.Globalisasi, dalam konteks ini penting dibicarakan supaya kita mengenal the New Social Movement lebih baik lagi. Ada empat hal dalam globalisasi yang memaksa kita mengkaji ulang semua, terutama berkaitan dengan apakah kesadaran teologis kita hubungannya dengan bentuk praktis the New Social Movement. Empat hal itu dapat dapat merubah tingkat kesadaran intelektual orang yang menjadi arus luar biasa sekarang ini, yaitu: capital on the move, media on the move; people on the move, dan gagasan-gagasan revolusioner.Ketika globalisasi menjadi dominan, mungkin tidak ada kekuatan lokal yang survive. Globalisasi selalu mengandaikan adanya main village, padahal main village sudah tidak ada, bahkan ethnicity mulai pudar.Nasionalisme kalah dengan kapitalisme, kapital tidak mengenal nasionalisme dan bahkan tidak mengenal agama, begitu pula dengan media. Meskipun pemilik media adalah orang Islam, mialnya, bukan berarti akan terjadi Islamisasi media, walaupun persoalannya orang Islam harus punya media. Apa arti Muhammadiyah di tengah problematika yang semakin pelik ini, ketika Nasionalisme-nasionalisme sudah mulai luntur? Maka jawabannya ialah bagaimana menjadi subjek yang kritis dan kreatif serta komitmen intelektual kita menjadi imajinatif dan lebih kreatif. Tanpa imajinasi itu, tidak ada peran yang bisa kita mainkan.BAB VIKESIMPULANBerjalan dari QS Al-Maun tersebut Muhammadiyah sebagai organisasi islam menekankan untuk bergerak di bidang sosial yang mana gerakan sosial Muhammadiyah ini di cetuskan pertama kali oleh KH M Sudjak,dia adalah seorang murid langsung dari KH Ahmad Dahlan. Pola pikir KH M Sudjak yang bergerak di bidang sosial ini adalah hasil pendidikan yang diberikan KH Ahmad Dahlan di mana dia senantiasa menekankan pentingnya aksi (praktek amaliah) dari pada hanya sekedar berteorika.Tafsir sosial yang dilakukan oleh Kiai Dahlan atas semua persoalan pada masanya sangat lugas. Penerjemahan teks-teks Qurani ke dalam praksis sosial dilakukan oleh Kiai Dahlan dengan sangat tangkas. Barangkali karena Kiai Dahlan tidak banyak berteori, sehingga sementara pengamat menggolongkannya sebagai man of action dan bukan man of thought. Sampai batas-batas tertentu, ungkapan ini tentu benar. Tetapi secara lebih mendasar apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan bukan berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam terhadap kondisi yang dihadapi. Refleksi kritis terhadap realitas sosial yang terjadi dan kemudian mencarikan solusi yang tepat untuk mengentaskannya inilah yang belakangan menjadi sebuah semangat baru dalam ilmu sosial. Sehingga teori sosial kritis yang belakangan ini banyak diintrodusir, dianggap perlu dipertimbangkan sebagai sebuah pendekatan baru dalam metode tafsir sosial Muhammadiyah.Akan tetapi gerakan sosial Muhammadiyah ini masih benyak memiliki kekurangan-kekurangan yang harus di benahi dan di kritisi agar gerakan sosial Muhammadiyah ini berjalan dengan lebih baik sehingga organisasi Muhammadiyah menjadi lebih besar dan lebih sempurna dalam mengamalkan ajaran-ajaran yang telah di sampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Allah SWT didalam Al-Quran-Nya.DAFTAR PUSTAKA Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991, h. 338. Kazuo Shimugaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 1993, h. 6. Kuntowijoyo, op. cit., h. 266. http://lembagabencana.blogspot.com/2011/04/workshop.html http://zulfiifani.wordpress.com/2010/02/12/seabad-muhammadiyah-dan-implementasi-al-ma%E2%80%99un/ http://sakha140887.multiply.com/journal/item/6

Pembahasan dan pembicaraan tentang gerakan Muhammadiyah dapat dibaca, didengar dan dilihat dari berbagai literature atau melalui pandangan para aktivis Muhammadiyah baik pada tingkat lokal maupun nasional. Muhammadiyah dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 08 Dzulhijjah 1330 H bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 M dengan tokoh utamanya KH. Ahmad Dalah.

[1] Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan telah merumuskan visi dan misi[2] yang sudah jelas, sehingga dapat melahirkan gerakkan yang terarah dan mencapai tujuan serta sasaran yang diinginkan secara bersama. Sebagai sebuah gerakan, dalam perjalanannya Muhammadiyah melaksanakan usaha dan kegiatannya dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat di Indonesia. [1] Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan telah merumuskan visi dan misi[2] yang sudah jelas, sehingga dapat melahirkan gerakkan yang terarah dan mencapai tujuan serta sasaran yang diinginkan secara bersama. Sebagai sebuah gerakan, dalam perjalanannya Muhammadiyah melaksanakan usaha dan kegiatannya dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat di Indonesia. Usaha dan kegiatan Muhammadiyah dapat dikelompokkan ke dalam empat bidang, yakni: pertama,bidang Keagamaan, yang meliputi memberikan tuntunan dan pedoman dalam bidang aqidah, ibadah, akhlak dan muamalah berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, mendirikan masjid dan mushalla sebagai tempat sarana ibadah, mencetak kader ulama (fuqaha), menelaah berbagai kajian keislaman dan perkembangan umat Islam, memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang Keagamaan dan melakukan dakwah. Kedua,bidang pendidikan, yang meliputi pendidikan yang beroerientasi kepada perpaduan antara sistem pendidikan umum dan sistem pesantren. Ketiga,bidang social kemasyarakatan, yang meliputi kegiatan dalam bentuk amal usaha rumah sakit, rumah bersalin, poliklinik, balai pengobatan, apotik, panti asuhan anak yatim, Keempat,bidang partisipasi politik, di mana Muhammadiyah bukan partai dan underbouw partai politik, akan tetapi sebagai partisipasi politik Muhammadiyah dalam bentuk beramar maruf nahi mungkar dan memberikan panduan etika, moral dan akhlakul karimah terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dan masyarakat.[3]Dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah telah melakukan aktifitasnya dalam bentuk mendirikan madrasah-madrasah dan pesantren dengan memasukkan kurikulum pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan umum dan modern, mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan kurikulum keislaman dan kemuhammadiyahan. Lembaga pendidikan yang didirikan di atas dikelola dalam bentuk amal usaha dengan penyelenggaranya dibentuk sebuah majelis dengan nama Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah, secara vertikal mulai dari Pimpinan Pusat sampai ke tingkat Pimpinan Cabang.[4]Pendirian pendidikan Muhammadiyah, Abdul Muti mengungkapkan dengan pemikirannya bahwa pendidikan Muhammadiyah didirikan dan dilandasi atas motivasi teologis bahwa manusia akan mampu mencapai derajat keiamanan dan ketaqwaan yang sempurna apabila mereka memiliki kedalaman ilmu pengetahuan. Motivasi teologis inilah menurut Muti, yang mendorong KH. Ahmad Dahlan menyelenggarakan pendidikan di emperan rumahnya dan memberikan pelajaran agama ekstra kurikuler di OSVIA dan kweekschoool.[5] Pada aspek yang berbeda, Muhammad Azhar melihat pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah pada aspek burhani yakni sebuah lembaga pendidikan lebih banyak melahirkan output ketimbang outcome, aspek irfani yakni pendidikan Muhammadiyah yang bercirikan rasionalitas dan materialitas-birokratik, aspek bayani, yakni pendidikan Muhammadiyah yang model pengajarannya menjadi terasa kering, mengingat paradigma pergerakan Muhammadiyah yang modernistik.[6]Majelis Dikdasmen yang diserahi tugas sebagai penyelenggaran amal usaha di bidang pendidikan, dalam melaksanakan program mengacu kepada Tanfidz Keputusan Muktamar, Tanfidz Keputusan Musywil dan Tanfidz Keputusan Musda. Agar penyelenggaraan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah mempunyai acuan dan aturan yang jelas, Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mentanfidzkan Keputusan Rapat Kerja Nasional Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah seluruh Indonesia.Sebagai bagian dari persyarikatan Muhammadiyah, Majelis Dikdasmen mempunyai tugas pokok adalah menyelenggarakan, membina, mengawasi dan mengembangkan penyelenggaraan amal usaha di bidang pendidikan dasar dan menengah. Dalam melaksanakan tugas pokok di atas, majelis pendidikan dasar dan menengah Muhammadiyah harus mengacu kepada visi, misi, asas dan tujuan pendidikan Muhammadiyah.[7] Amal usaha pendidikan yang dikelola dan diselenggarakan oleh Majelis Dikdasmen tersebut adalah SD, MI, SMP, MTs, SMA, SMK, MA dan Pondok Pesantren.Hubungan Muhammadiyah dan Parpol

Untuk memahami bagaimana sebenarnya hubungan Muhammadiyah dan Partai Politik, kita tidak bisa hanya sekedar mengatakan bahwa Muhammmadiyah adalah sebuah ormas sosial keagamaan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan parpol. Hal tersebut merupakan statemen yang amat sederhana dan terlalu lugu. Untuk memahami bagaimana sebenarnya sikap Muhammadiyah mengenai hubungan dirinya dengan partai politik dan politik, kita perlu melakukan telaah historis-empiris sepanjang perjalanan organisasi ini sejak berdirinya tahun 1912 hingga sekarang. Dalam kurun waktu tersebut, setidak-tidaknya terdapat empat masa dengan situasi politik yang berbeda, yakni masa Demokrasi Liberal, masa Demokrasi Terpimpin, Masa Orde Baru, dan Masa Reformasi. Pada masa Demokrasi Liberal yang berlangsung antara tahun 1945 hingga 1959, hubungan Muhammadiyah dengan Partai Politik serasa amat dekat. Ketika pemerintah mengumumkan berdirinya partai-partai politik pada 3 Nopember 1945, Muhammadiyah ikut mendirikan Masyumi melalui Muktamar Islam Indonesia, 7-8 Nopember 1945, di mana Muhammadiyah menjadi anggota istimewa partai politik ummat Islam pertama tersebut. Selama waktu tahun 1945 hingga 1959, kita melihat 50 % keanggotaan Masyumi adalah kader-kader Muhammadiyah. Dan selama waktu itu pula, kader-kader Muhammadiyah banyak ditempatkan di kabinet Hatta, Sahrir, Wilopo, Sukiman, Amir Syarifuddin, Burhanuddin Harahap, Ali I, Juanda, hingga Ali II. Tarik ulur kepentingan Muhammadiyah dalam Masyumi memang sedikit mengalami dinamika, misalnya dengan persoalan posisi status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal ini sempat dibicarakan pada sidang Tanwir Muhammadiyah 1956 di Yogyakarta yang merekomendasikan peninjauan ulang status keanggotaan Muhammadiyah di Masyumi. Hal serupa terulang pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 1957, dengan rekomendasi yang lebih jelas, agar Muhammadiyah keluar dari anggota istimewa Masyumi. Namun melaksanakan keputusan ini tidaklah mudah di lapangan. Pada sidang Tanwir tahun 1958, persoalan ini mengambang kembali, dan justru Sidang menyerahkan kepada PP Muhammadiyah. Sekali lagi, Pada Sidang Tanwir tahun 1959 di Jakarta, persoalan ini muncul lagi dan sempat diadakan voting. Hasilnya 13 orang menyatakan Muhammadiyah harus keluar dari keanggotaan Masyumi, 18 menolak, dan 3 orang abstain. Persoalan ini baru tuntas ketika PP Muhammadiyah menyelenggarakan Pleno tahun 1959, yang memutuskan Muhammadiyah keluar dari keanggotaan Masyumi. Pada masa Demokrasi Terpimpin 1959 hingga 1966, tidak banyak peristiwa yang bisa kita telaah. Hal ini terjadi karena iklim demokrasi yang kurang kondusif. Kepemimpinan nasional terpusat pada presiden. Jika ada MPRS, DPRS, dan DPAS, hanya merupakan boneka yang dibuat sedemikian rupa hingga amat tergantung dari presiden. Dari sisi politik, Muhammadiyah, sebagaimana para politisi muslim idealis tidak banyak diuntungkan dalam kondisi seperti ini. Pada paruh pertama masa Demokrasi terpimpin ini, arus besar pandangan masyarakat (dimobilisasi untuk) mendukung kepemimpinan nasional, dengan munculnya berbagai gelar untuk Soekarno, seperti Pemimpin Besar Revolusi, yang diikuti oleh faham Soekarnoisme. Hingga kini, sisa-sisa kultur politik ini masih nampak dalam berbagai atribut partai Politik beserta jargon-jargonnya. Namun alhamdulillah, Muhammadiyah tidak sampai turut dalam aksi dukung-mendukung terhadap kepemimpinan nasional waktu itu, yang ternyata banyak melakukan penyimpangan dan terkoreksi pada masa sesudahnya. Pada paruh kedua masa Demokrasi Terpimpin, arus balik terjadi, di mana hujatan pada sistem dan kepemimpinan nasional semakin seru, yang berujung pada lengsernya Bung Karno tahun 1965 setelah peristiwa G.30/S/PKI. Pada masa Orde Baru, terjadi perubahan mengerucut. Paradigma Pembangunan yang mengedepankan pembangunan ekonomi daripada politik, berdampak pada penyederhanaan organisasi sosial politik (lebih tegasnya Partai Politik). Sayangnya, langkah ini banyak berimplikasi pada peminggiran peran partai politik dalam proses pembangunan. Sementara di sisi lain, menguatnya institusi pemerintah yang diperkuat dengan (Partai) Golkar. Secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak memiliki hubungan apapun dengan partai politik pada masa ini. Namun dampak dari situasi politik ini bagi Muhammadiyah (dan juga terhadap ummat Islam umumnya) adalah tiadanya ikatan emosional yang kuat dengan partai politik manapun. Dan inilah yang melahirkan pemikiran high politik, dalam mana Muhammadiyah lebih menekankan partisipasinya pada konsep-konsep pembangunan dan wacana intelektual, misalnya tentang konsep kenegaraan, konsep pembangunan politik, pembangunan ekonomi dan seterusnya melalui berbagai aktivitas akademik maupun penelitian dan penulisan baik yang diselenggarakan oleh PTM maupun Persyarikatan. Sementara itu beberapa kader Muhammadiyah yang memiliki bakat dan kesempatan untuk berpolitik praktis, dipersilahkan untuk bergabung ke PPP, Golkar, maupun PDI. Situasi inilah yang kemudian melahirkan komitemen Muhammadiyah sebagai tenda besar kultural yang diharapkan tetap menjaga jarak dengan semua partai politik sekaligus melindungi para politisinya yang ada di mana-mana. Memang situasi keterkungkungan politik ini ada juga dampaknya secara organisatoris terhadap Muhammadiyah (dan juga terhadap ormas lainnya), ketika diterapkan UU Keormasan nomor 8 tahun 1985, terutama masalah asas tunggal Pancasila. Pada Anggaran Dasar (kesebelas) tahun 1985 melalui Muktamar ke 41 di Surakarta. Pada Bab I Pasal 1 tentang Nama, Identitas dan Kedudukan, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini (Muhammadiyah) beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah. Sementara itu pada Bab II Pasal 2 tentang Asas, dinyatakan bahwa Persyarikatan ini berasas Pancasila. Kultur politik Orba Baru ini rupanya sebagian masih tersisa sekarang. Arus besar Reformasi yang terjadi sejak 1997, sebenarnya tidak lepas dari peran Muhammadiyah. Pada era Reformasi, Peran politik penting Muhammadiyah menunjukkan keberanian yang signifikan seiring dengan arus besar keinginan masyarakat untuk mengembalikan potensi politik bangsa Indonesia. Di sinilah terjadi pematangan dan implementasi gerakan amar makruf nahi munkar dalam aspek politik yang sudah digodok cukup lama pada masa Orde Baru. Pada Sidang Tanwir 1998 di Semarang (setahun setelah jatuhnya rezim Orde Baru), peluang Muhammadiyah untuk menjadi Parpol amat besar. Namun rupanya keputusan Sidang Tanwir tersebut amat dewasa, dengan menyatakan bahwa Muhammadiyah tidak akan menjadi partai politik. Warga Muhammadiyah dipersilahkan mendirikan partai politik atau bergabung dengan partai yang ada, dan secara institusional tidak ada hubungan antara parpol manapun dengan Muhammadiyah. Dalam konteks ini, yang kita lihat adalah formulasi peran politik Muhammadiyah melalui kader-kadernya dalam apa yang disebut-sebut sebagai high politik tadi. Beberapa isyu politik penting berhasil diangkat, seperti demokratisasi, pemberantasan KKN, dan Keadilan. Seluruh isyu tersebut memang merupakan mainstream Reformasi dan sekaligus sejalan dengan watak Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Implikasi praktis dari arus besar ini antara lain dapat kita lihat betapa perwujudan kepemimpinan nasional dengan lahirnya poros tengah dan mengusung Gus Dur ke Istana (melalui Pemilu 1999), meskipun pada akhirnya langkah ini harus segera dikoreksi pada pertengahan tahun 2002. Pada perjalanan pemerintahan Megawati, akumulasi ketidakpuasan terhadap perjalanan reformasi ini semakin menguat. Krena itu wajar bila pada momentum Pemilu 2004, Muhammadiyah (dan seluruh komponen reformasi) berharap terjadi perubahan yang signifikan.Kontekstualisasi amar makruf nahi munkarBanyak orang berbicara bahwa dakwah amar makruf nahi mungkar yang telah menjadi khittah Muhammadiyah sejak awal, dimaksudkan untuk membatasi gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah dan sosial semata. Padahal, apabila kita mau merenungkan, Rasulullah pernah menyatakan bahwa apabila engkau melihat suatu kemungkaran, maka hadapilah dengan tanganmu, dan apabila engkau tidak bisa, maka hadapilah dengan lidahmu, dan apabila tidak bisa, maka hadapilah dengan nuranimu, akan tetapi menghadapi kemungkaran dengan nurani adalah selemah-lemahnya Iman. Sepanjang masa orde baru, jargon amar makruf nahi munkar tersebut oleh para petinggi Muhammadiyah sering hanya dibatasi pada level dakwah dan pendidikan. Untuk ini terdapat beberapa alasan. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Dakwah dan Pendidikan masih pada tahapan ekspansi secara kuantitas, sehingga belum menyentuh aspek politik. Kedua, Iklim politik masa orba yang kurang kondusif untuk mengemukakan gagasan-gagasan langsung yang berkaitan dengan keputusan-keputusan politik apalagi misalnya tentang isu suksesi. Ketiga, terkait dengan yang kedua, partai politik tidak sepenuhnya dapat merepresentasikan gagasan rakyat. Pada masa pascareformasi sekarang ini, tidak ada salahnya, bahkan harus, bagi muhammadiyah untuk melakukan ijtihad politik, dengan mempertegas komitmen amar makruf nahi munkar pada level yang lebih tinggi, yakni kepemimpinan nasional. Mengapa ? Terdapat beberapa argumen yang patut kita perhatikan. Pertama, menyimak hadits Nabi di atas, jelas menunjukkan suatu keharusan untuk menempatkan amar makruf dengan tangan (kekuasaan) menjadi prioritas utama. Sekarang ini reformasi telah digulirkan, di antara jargonnya adalah pemberantasan KKN. Dalam model kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik, hanya tauladan pucuk pimpinan nasional yang bisa berpengaruh. Ibaratnya, bila sapu yang digunakan untuk membersihkan KKN itu bersih, baru KKN bisa dihilangkan, akan tetapi jika sapunya kotor, mana mungkin bisa membersihkan. Bagi Muhammadiyah, maka tidak ada jalan lain kecuali merebut kepemimpinan nasional, bila ingin menyelamatkan reformasi. Kedua, Melihat perkembangan hasil reformasi selama lima tahun terakhir, menunjukkan hal yang belum menggembirakan. Dalam aspek ekonomi, tidak suatu perbaikan yang signifikan. Hal ini tentunya erta terkait dengan visi dan komitmen presiden sebagai panutan rakyat. Dengan demikian misi amak makruf nahi munkar tidaklah menjadi hilang, malah diberi pemaknaan sesuai konteksnya.Dakwah Kultural Vs Politik Praktis ?Beberapa kalangan, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) dan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) beberapa waktu ini sibuk melakukan kritik terrhadap keputusan PP Muhammadiyah yang mendukung pencapresan Amien Rais. Di antaranya adalah, mempertanyakan misi dakwah kultural yang sudah diputuskan dalam sidang Tanwir di Bali beberapa tahun lalu, mengapa harus diganti dengan orientasi politik praktis sesaat ? Juga ada yang mempermasalahkan hubungan Muhammadiyah-PAN, dengan menyatakan bahwa yang memiliki kewenangan mengajukan capres dan cawapres adalah partai politik, bukan ormas seperti Muhammadiyah. Mengenai pertentangan atau dikotomi dakwah kultural Vs Politik praktis, dapat dijelaskan sebagai berikut. Ide dakwah kultural sesungguhnya adalah suatu model dkwah yang dikembangkan Muhammadiyah melalui aspek budaya, seperti budaya bersih, budaya disiplin, budaya keadilan, budaya hemat, budaya jujur, budaya rasional, budaya profesional, dan seterusnya. Dalam konteks pembenahan Indonesia era reformasi ini, maka tentu saja pemberantasan budaya KKN menjadi agenda penting bagi bangsa Indonesia, juga Muhammadiyah. Inilah dakwah kultural, yang dalam aspek politiknya mengandung implikasi ketauladanan, pergerakan, dan mobililasi yang berujung pada kepemimpinan bangsa. Dalam konteks ini, maka sesungguhnya tidak ada dikotomi dakwah kultural Vs politik praktis, namun yang ada adalah strategi dakwah kultural dengan pilihan pada sosok kepemimpinan yang bakal memberikan tauladan.Beberapa Persoalan PentingUntuk lebih menghayati bagaimana variabel-variabel penting yang perlu mendapatkan perhatian dan sekaligus pemikiran kita, setidaknya ada tiga persoalan yang menjadi bidang garap kita dalam waktu dekat ini.1. Membangun Visi Indonesia BaruKepentingan politik Muhammadiyah dalam konteks membangun masa depan Indonesia tidak lain adalah dengan memulai tahapan yang telah menjadi cirikhasnya, yakni meneruskan reformasi yang masih belum tuntas. Apa saja itu, dan apa relevansinya dengan gerakan Muhammadiyah ? Membuka wacana hubungan gerakan Muhammadiyah dan Reformasi tidaklah mudah, terutama bagi orang yang tidak mengetahui asal usul gerakan ini. Terdapat beberapa karakteristik yang menunjukkan persamaan antara gerakan Muhammadiyah dengan reformasi. Pertama adalah sifat pemberontakannya terhadap tradisi dan kemapanan. Muhammadiyah lahir tahun 1912 dengan maksud memberikan pengajaran Igama (baca: agama) terutama bagi para pelajar dan di lembaga persekolahan yang waktu itu merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal yang dimiliki oleh ummat Islam. Penyelenggarakan pengajian dan pendidikan agama semacam itu adalah di luar kebiasaan. Demikian juga reformasi 98, menunjukkan pemberontakannya terhadap kemapanan orde baru yang telah berlangsung 32 tahun. Isyu sentral yang terkristalisasi dalam gerakan reformasi 98 ini antara lain soal demokratisasi dan pemberantasan KKN. Isyu demokratisasi antara lain soal suksesi kepemimpinan, pemilihan presiden secara langsung dan disentralisasi. Dalam konteks ini maka sebetulnya kepentingan Muhammadiyah dalam melanjutkan reformasi tidaklah perlu dicurigai, karena memang ada kesamaan karakter.Apa yang sebenarnya diinginkan Muhammadiyah dalam melanjutkan proses reformasi di tanah air ? Apakah benar bahwa Muhammadiyah telah bergeser dari orientasi dakwah dan pendidikan yang substantif ke arah pragmatis ? Kita berikan beberapa bukti di antaranya : Pertama, Setelah Muhammadiyah menggulirkan isyu Negara Federasi yang kemudian menjadi otonomi daerah, justru yang menikmati adalah penguasa-penguasa daerah, sementara muhammadiyah tidak mendapatkan keuntungan apapun. Pada saat mengegolkan UU Sisdiknas, Muhammadiyah menjadi pelopor, namun setelah UU itu jadi, banyak kalangan yang memanfaatkannya dengan pendepatan kepada pemerintah tentang dana 20 % untuk pendidikan. Demikian juga sekarang dengan pemilihan presiden secara langsung, maka yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki anggota yang secara kuantitas memenuhi, sementara Muhammadiyah justru pada kualitasnya. Dengan demikian tidak benar bahwa gerakan politik Muhammadiyah akhir-akhir ini hanya untuk kepentingan sesaat, tetapi justru untuk kepentingan bangsa jangka panjang.2. Visi Pemimpin bangsa menurut Muhamma- diyah Bila kita lihat hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah seperti yang nampak dalam hasil Sidang Pleno diperluas PP Muhammadiyah tanggal 10-12 Pebruari 2004, pemimpin bangsa yang diharapkan adalah seorang dengan ciri-ciri :

a. Reformisb. Bebas dari KKNc. Mampu menyelenggarakan tata pemerintahan dengan baikd. Memiliki visi kebangsaan yang luase. Tegas dan berwibawa dalam membawa bangsa ke tengah pergaulan internasionalf. Mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatg. Menunjukkan kehidupan bangsa menuju ke masa depan yang baikBila pada Pilihan Presiden tanggal 5 Juli 2004 Muhammadiyah menentukan sikap untuk memunculkan kader terbaiknya Prof. Dr. H. Amien Rais sebagai calon Presiden, maka ada beberapa catatan yang perlu kita simak, yakni :a. Bahwa langkah tersebut diambil tentunya dalam rangka kerja besar Muhammadiyah berupa amar makruf nahi munkar. Dengan demikian alasan paling tepat untuk memunculkannya adalah untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda bangsa ini. Seorang Amien Rais yang telah berhasil mempelopori gerakan reformasi sejak 1997, sudah sepantasnya diberi kesempatan untuk melanjutkan langkah-langkah reformasi yang sudah mengalami kemandegan selama empat tahun terakhir.b. Bilamana dalam pemilihan presiden nanti Amien Rais berhasil menduduki sebagai orang nomor satu dalam republik ini, Muhammadiyah tidak perlu terlalu berbangga, namun justru tetap mendukung langkah-langkah yang positif, dan menjadi yang pertama untuk mengingatkan bila terjadi penyimpangan dalam pemerintahan. Jangan sampai terulang pengalaman seperti pendukung Gus Dur yang membabi buta.c. Bila tidak berhasil untuk menduduki jabatan Presiden, Muhammadiyah tidak perlu berkecil hati. Apa yang sudah diupayakan hanyalah sebuah usaha dengan niat yang baik. Muhammadiyah harus tetap konsisten sebagai gerakan amar makruf nahi munkar, meski tidak bisa dengan tangan (kekuasaan), masih ada jalan yang lain (dengan lisan atau wacana).