moksartham jagadhita ya ca iti dharma · pdf file... kemahakuasaan dari tuhan yang ... agar...

73
MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMA Mencapai kebebasan dan keseimbangan jiwa melalui pengamalam ajaran Dharma oleh GELSANA Pesantian Tribuana Agung Depok 2006

Upload: truongthien

Post on 02-Feb-2018

571 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMA

Mencapai kebebasan dan keseimbangan jiwa melalui pengamalam ajaran Dharma

oleh

GELSANA

Pesantian Tribuana Agung Depok 2006

i

MOKSARTHAM JAGADHITA

YA CA ITI DHARMA

Mencapai kebebasan dan keseimbangan jiwa di dunia

melalui ajaran dharma

KATA PENGANTAR

Kitab suci Weda adalah merupakan ajaran/petunjuk bagi umat manusia dalam berjalan menuju

dan mencari siapa yang menciptakan dirinya yaitu Gusti Kang Murbeng Dumadi. Berbagai ayat

weda menjelaskan kepada kita tentang keberadaan, keagungan, kemahakuasaan dari Tuhan Yang

Maha Absolut, Maha Rahasia. Manusia sebagai salah satu mahluk ciptaan-Nya sebagai yang

mencari dan Tuhan sebagai penciptanya yang menjadi tujuan atau yang dicari. Om Narayanad

evedam sarwam yad bhutam yascca bhawyam, semuanya berasal dari Dia dan akan kembali kepada

Dia yaitu Narayana, Tuhan Yang Maha Pencipta. Namun dalam kenyataannya, yang dicari sangat-

sangat sulit untuk dijumpai sebagai akibat dari kurangnya pengetahuan (Rta) yang hakiki yang

dimiliki oleh manusia. Kurang pengetahuan disebabkan oleh antara lain :

1. Manusia tidak mau mencari tahu

2. Tidak ada yang memberitahu tentang hakekat ajaran weda

3. Karena belum dikehendaki atau mendapat restu dari Dia.

Banyak orang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna

diantara mahluk ciptaann-Na yang lain disatu sisi, di sisi lain banyak orang mengatakan bahwa tidak

ada manusia yang sempurna di dunia ini. Perbedaan pendapat seperti ini timbul karena kurangnya

ii

pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri, sebab pikirannya selalu diselimuti oleh sifat maya dari

dunia nyata ini. Padahal dalam Upanisad dikatakan :

Purnam adam purnam idam,

purnat purnam udacyate,

purnasya purnam adaya,

purnam eva awacisyate.

Tuhan adalah sempurna, alam semesta inipun sempurna. Dari yang sempurna lahirlah yang

sempurna, walaupun dari yang sempurna (Tuhan) diambil oleh yang sempurna (alam semesta) tetapi

sisa (Tuhan) tetap sempurna adanya.

Alam semesta (makro kosmos) diciptakan sempurna, wujud manusia (mikro kosmos) juga

diciptakan sempurna. Apa yang ada pada makro kosmos ada juga pada mikro kosmos. Bumi dan

langit beserta isinya dan antara bumi dan langit diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.

Manusia diberikan keleluasaan untuk mempergunakan serta menjaganya. Semuanya diserahkan

kepada manusia sebagai mahluk ciptaan-Nya yang paling sempurna karena dibekali sabda, bayu dan

idep. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya, secara hakekat segala pikiran dan tindakan manusia

diatur oleh-Nya, seperti dikatakan dalam Bhagavadgita bab X (30):

yach cha ‘pi sarvabhutanam

bijam tad aham arjuna,

na tad asti vina syam

maya bhutam characharam.

Artinya : dan selanjutnya apapun oh Arjuna, benih segala mahluk ini adalah Aku, tidak ada

sesuatupun bisa ada, bergerak atau tidak bergerak tanpa Aku.

iii

Manusia sebetulnya seperti wayang, yang gerak dan ucapannya ditentukan oleh sang Dalang sesuai

dengan alur cerita/fragmen yang sedang dimainkan. Sebagai wayang harus tunduk kepada kehendak

sang Dalang. Titah jalmo manuso sadermo ngelakoni, ora kuoso jaluk, kodrat manusia hanyalah

sebatas kerja/melaksanakan, tidak boleh meminta (pahala).

Dalam Bhagavadgita Bab II soka (47) dikatakan :

karmany eva dhikaras te

ma phalesu kadachana,

ma karma phala hetur bhur

ma te sango ,stv akarmani.

Artinya : Kewajibanmu kini hanya bertindak, bekerja tanpa mengharapkan hasil, jangan sekali

pahala jadi motifmu, jangan pula berdiam diri jadi tujuanmu.

Bhagavadgita Bab II sloka (49) mengatakan:

durena hy avaram karma

buddhi yogad dhananjaya,

buddhau saranam anvichchha

kripanah phala hetevah.

Artinya : rendahlah derajat kalau hanya kerja tanpa disiplin budi, oh Dananjaya, serahkanlah

dirimu pada Yang Maha Tahu, kasihan yang mengharap pahala dari kerja.

Sloka di atas menyuruh agar manusia menyerahkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Tahu dan

tidak mengharap pahala dari kerja. Secara teori sangatlah mudah dimengerti, akan tetapi dalam

pelaksanaannya agar seseorang bisa mencapai tingkat keseimbangan jiwa atau tingkat kesadaran

tertinggi seperti yang dimaksudkan oleh sloka di atas sangatlah sukar tanpa tekad yang kuat dalam

iv

melaksanakan tapa, brata, yoga, semadhi, sampai dia sanggup mati didalam hidup, hidup didalam

kematian dengan kata lain sudah tidak ada lagi keterikatan pikiran dengan ilusi duniawi. Orang yang

kaya harta tetapi dia tidak merasa kaya/memiliki, orang miskin tetapi dia tidak merasa miskin, tidak

terpengaruh oleh dualisme baik dan buruk, panas dan dingin, kaya dan miskin, memegang segumpal

tanah merasa sama dengan memegang segumpal emas, tidak saling menyakiti antara sesama mahluk

ciptaan-Nya, sanggup melihat Tuhan ada pada setiap ciptaan-Nya. Keadaan seperti inilah yang

disebut seseorang telah mencapai moksartham jagadhita.

Moksartham dan Jagadhita bukanlah merupakan sesuatu yang mudah untuk dicapai, akan tetapi

sebaliknya sangatlah sulit, karena memerlukan tekad, usaha yang kuat, serta waktu yang lama bagi

seseorang. Dalam carita Mahabarata, Pandawa setelah bertapa selama duabelas tahun barulah bisa

mencapai tingkat spiritual mematikan diri. Manusia harus bisa memahami keberadaan dirinya,

bahwa disamping dirinya ada lagi dirinya yang sejati yang harus dia temukan, seperti yang

dikisahkan oleh Bima dalam cerita mencarai tirta amerta ke tengah laut. Catur Marga adalah empat

jalan yang harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam penguasaan Rta (hukum agama), pelaksanaan

Diksa (mensucikan diri), Tapa, Brata, Yoga, Semadhi, dalam usaha manusia untuk mencari dan

bertemu dengan pencipta-Nya.

Marilah kita kembali kepada ajaran Weda yang sejati yaitu Iswara Prani Dhana.

DAFTAR ISI

v

Halaman KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI iii BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Ruang Lingkup 3 C. Tujuan Penulisan 3

BAB II. TINJAUAN UMUM

A. Pemahaman Tentang Tuhan Yang Maha Esa 5 B. Pengertian Moksa dan Jagadhita 19

BAB III. JALAN PENCAPAIAN MOKSA DAN JAGADHITA

A. Pemahaman tentang hakekat dari manusia 28 1. Hakekat dari mantra Uttpati, Sthiti, Pralina 28 2. Hakekat dari falsafah Panca Pandawa 34

2.1. Panca Pandawa adalah symbol dari lima sifat 35 manusia 2.2. Panca Pandawa sebagai symbol manusia titisan 38 Dewa 2.3. Panca Pandawa sebagai symbol pelajaran 42 spiritual 2.4. Panca Pandawa sebagai perjalanan akhir 52 manusia ke alam Baka

3. Hakekat dari ajaran Aji Saka 59 3.1. Hakekat dari upacara potong gigi 63 3.2. Hakekat dari upacara mediksa 64 3.3. Hakekat dari pelaksanaan caru 66

B. Kedudukan Dewa, Bethara, Manusia dan Setan. 69

vi

C. Tapa, Brata, Yoga, Semadhi, laku untuk mencapai 72 moksa dan jagadhita

1. Pengertian Tapa 78 2. Pengertian Brata 80 3. Pengertian Yoga 83 4. Pengertian Samadhi 87 BAB IV. PEMAHAMAN SEMBAH, DOA, JAPA, SERTA 98

PELAKSANAANNYA

A. Pengertian Sembahyang 98 B. Pengertian Doa 100 C. Pengertian Japa 101 D. Pelaksanaan Sembahyang

BAB V. KESIMPULAN DAN PENUTUP A. Kesimpulan 111 B. Penutup 113

DAFTAR PUSTAKA 105

vii

Ya Tuhan, Semua doa tertuju pada Mu

Semua permintaan tertuju pada Mu

Semua pujian tertuju pada Mu

Apakah Engkau tidak jenuh?

Seandainya Engkau tidak menciptakan manusia

Dengan siapa Engkau bercanda?

Siapa yang akan mencintai Mu?

Siapa yang akan merindukan Mu?

Siapa yang akan membenci Mu?

Engkau tidak pernah tidur

Apakah engkau tidak mengantuk?

Engkau tidak pernah makan

Apakah Engkau tidak lapar?

Engkau ada dimana-mana

Kenapa aku sulit bertemu Engkau?

Engkau sungguh maha misteri

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Adalah merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk mengenal secara hakiki siapa sebetulnya

dirinya dan siapa dan bagaimana serta dimana Dia dapat menemukan yang menciptakan dia. Bagi

umat Hindu yang dasar keyakinannya yaitu Panca Sradha sangat perlu untuk mengetahui lebih

mendalam tentang hakekat dari pada kelima keyakinannya tersebut, tidak hanya cukup mengenal

filsafatnya saja, akan tetapi harus diuji dan dibuktikan sehingga kita tidak hidup di dalam

khayalan kosong dan berkutat setiap hari dengan laku/syariat yang diterima turun temurun dari

nenek moyang tanpa pernah mengkaji apakah demikian perjalanan hidup kita dalam mencari

Yang Maha Pencipta. Sebab dengan hanya mengetahui, membaca dan menghafal seluruh kitab

suci Weda, tanpa pengamalan dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mungkin seseorang dapat

mengenal dirinya yang sejati, dan sebaliknya bila seseorang sudah dapat mengetahui dirinya yang

sejati, berarti dia sudah mengetahui dan menjalankan inti sari dari ajaran Weda. Ajaran Weda

memang sangat sulit dimengerti bagi mereka yang belum mendapat restu dari yang memiliki

Weda itu sendiri walaupun sudah berusaha dengan keras. Selama ini, kita selalu bergelut dengan

berbagai macam upacara yadnya (jalan material) untuk menghormati para dewa, leluhur dan

bhuta kala, dengan sorga dan meningkatkan kehidupan dimasa yang akan datang (inkarnasi)

menjadi tujuan.

Dalam Bhagavadgita Bab II sloka (42), (43) dikatakan :

yam imam pusphpitam vacham

pravadanty avipaschitah

vedavadaratah partha

na ’nyad asti ’ti vadinah

Artinya : kata-kata muluk dan menarik diucapkan oleh orang-orang yang munafik, menikmati apa

yang tersurat dalam Weda dan berkata “tiada lain hanya ini” oh Parta.

kamatmanah svargapara

janma karma phala pradam

kriya visesha bahulam

bhogaisvaryagatim prati

2

Artinya : nafsu pribadi dan sorga jadi tujuan, memberikan inkarnasi sebagai pahala dan mereka

mengajarkan anekawarna upacara untuk memperoleh kenikmatan dan kekuasaan.

Sloka di atas menegaskan kepada kita tentang orang-orang yang munafik dalam menyampaikan

ajaran Weda. Karena ketidak tahuan (awidya), sehingga selalu timbul perasaan takut kepada

dewa, bethare, leluhur, juga kepada bhuta kala, sehingga lebih senang memilih jalan material

dengan melaksanakan berbagai macam upacara yadnya secara berlebihan. Padahal, apabila kita

sudah mengenal diri kita yang sejati, selalu bersama rahmat Yang Maha Agung, semuanya itu

akan lenyap dan sebaliknya mereka akan menghormati kita sebagai manusia sejati ya sejatinya

manusia. Maka dari itu, jadilah pelayan Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

(Iswara Prani Dhana).

B. RUANG LINGKUP

Dalam buku ini, saya mencoba menulis hakekat dari moksa atau penyatuan diri dengan Sang

Maha Pencipta (Aham Brahman Asmi) dan jagadhita berdasarkan ajaran kitab suci Weda dan

berdasarkan wejangan langsung dari maha guru yang selama ini membimbing saya dalam mencari

guru sejati yang ada bersembunyi di dalam diri saya sendiri.

C. TUJUAN PENULISAN

Bertitik tolak dari latar belakang dan ruang lingkup di atas, maka tujuan yang ingin dicapai

melalui tulisan ini adalah :

1. Mengajak kepada seluruh umat Hindu agar berpikir kritis, mau mengkaji jalan keyakinan yang

mereka anut, sehingga tidak mudah untuk menerima ajaran yang menyimpang dari hakekat

ajaran Weda.

2. Menganjurkan agar umat Hindu agar lebih memilih jalan spiritual dalam mengarungi lautan

kehidupan yang penuh gelombang dan badai, sehingga beban material dapat dikurangi dengan

tanpa mengingkari ajaran Trihita Karana.

3. Melalui tulisan ini, semoga kita sadar, bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang

paling sempurna setelah Yang Maha Pencipta dibandingkan dengan mahluk ciptaan Tuhan

yang lainnya.

3

4. Agar umat Hindu menyembah dan sujud hanya kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca, Tuhan

Yang Maha Pencipta dengan Gayatri mantram tanpa melalui perantara para dewa, bethara

dan leluhur.

4

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. PEMAHAMAN TENTANG TUHAN YANG MAHA ESA

Dilahirkan sebagai manusia di lingkungan umat yang beragama hindu, saya sangat yakin dengan

adanya Tuhan yang memiliki kemampuan yang tak tertandingi dalam segala hal. Dia adalah

awal, pertengahan dan akhir dari perjalanan jaman dan Dia sudah tulis suatu skenario cerita maha

besar dalam kitab-Nya tentang apa saja yang menjadi kehendak-Nya dari sejak awal dunia dan

segala isinya diciptakan sampai dengan saat akhir dari waktu dimana dunia akan mengalami

kiamat. Dia tidak berjenis kelamin, tidak laki dan tidak perempuan dan juga tidak banci. Dia

adalah disebut Ardenareswari. Dia adalah Roh Yang Maha Agung dari dunia ini, maha dari

segala maha, berada dimana-mana tetapi sangat sulit untuk ditemukan. Dia bersembunyi dibalik

maya-Nya, sehingga menjadi sangat misteri bagi manusia, kecuali bagi mereka yang dikehendaki-

Nya untuk bisa mengetahui keberadaan Dia.

OM Tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman, Tuhan hanyalah satu sama sekali tidak ada

duanya. Ini adalah ajaran yang dijadikan pondasi pemehaman tentang ketuhanan oleh umat

hindu. Antar Tuhan (pencipta) dan manusia (ciptaan-Nya) sangat memiliki hubungan bathin yang

kuat. Tuhan sebagai penulis skenario sandiwara agung dan manusia sebagai pelaku utama dari

skenario tersebut. Sungguh luar biasa, maka dari itu pusatkanlah hati dan pikiran kita hanya

kepada Dia. Dia sumber dari segalanya, asal muasal kita, kawitan kita dan kepada Dia juga kita

semua akan kembali.

Mengenai keberadaan Tuhan, kitab suci Weda sangat sangat jelas mengungkapkan, antara lain :

Atharvaveda IV.1.1. mengatakan :

Brahma jajnanam prathamam purastat.

Hyang Widhi Wasa adalah yang pertama-tama, yang ada di alam semesta.

Atharvaveda X.2.25. mengatakan :

Brahmana bhumir vihíta, brahma dyaur uttara hita

Brahma idam urdhvam tiryak ca antariksam vyaco hitam.

Brahman menciptakan bumi ini. Brahman menempatkan langit ini di atasnya.

Brahman menempatkan wilayah tengah yang luas ini di atas dan di jarak lintas.

5

Atharvaveda XX.121.1. mengatakan :

Isanam asya jagatah svardrsam, isanam Indra tasthusah.

Sang Hyang Widhi Wasa adalah kebahagiaan. Dia adalah raja dari yang bernyawa dan yang tidak

bernyawa.

Dari beberapa baít Weda di atas saya menyimpulkan, bahwa Tuhan adalah Sang Maha Pencipta.

Dialah yang menciptakan baik yang bernyawa dan yang tidak bernyawa. Karena Dia yang

menciptakan ini berarti bahwa Dia lah Yang Maha Kaya yang memiliki segalanya. Manusia tidak

lain hanyalah diberikan hak guna pakai sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan hidup di

dunia dan di akhirat.

Selanjutnya, timbul pertanyaan, dimanakah saya mencari Dia Yang Maha Rahasia?

Dengan pemahaman bahwa Tuhan itu ada dimana-mana (wyapi wyapaka), secara logika manusia

seharusnya menemukan Dia tidaklah sulit. Akan tetapi kenyataannya sangat kontradiksi

(berlawanan). Sebagai langkah untuk menuju kepada Dia, saya mencoba menyimak isi dari baít

weda yang menjelaskan dimana Tuhan bersembunyi.

Rgveda I.164.31. mengatakan :

A varivarti bhuvanesu antah

Tuhan Yang Maha Esa meliputi alam semesta.

Atharvaveda XI.8.30. mengatakan :

Sariram Brahma pravis at sarire-adhi prajapatih.

Sang Hyang Widhi Waca memasuki tubuh manusia dan Dia menjadi raja tubuh

itu.

Rgveda X.82.7. mengatakan :

Anyad yusmakam antaram babhuva.

Tuhan Yang Maha Esa ada di dalam hatimu.

6

Dari bait-bait Weda di atas saya dapat menyimak bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada di luar

(meliputi alam semesta) dan di dalam diri manusia dan malah dikatakan Dia menjadi raja.

Apabila saya ajukan pertanyaan yang konyol mengingat di dunia ini ada berjuta-juta manusia,

apakah Tuhan juga ada sebanyak itu? Padahal yang saya yakini Tuhan itu adalah Esa (Om tat sat

ekam eva adwityam Brahman).

Rgveda VIII.71.11. menjelaskan :

Dvita yo-abhud amrto mrtyesva, hota mandratamo visi.

Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa) memanggil khusuk para Dewata. Dia adalah sumber

kebahagiaan yang menghuni hati semua manusia. Dia adalah abadi. Dia berdiam di dalam diri

manusia dengan dua bentuk, satu sebagai Tuhan dan dua sebagai jiwa Perseorangan (Atma).

Dalam Bhagavadgita Bab VIII Sloka (20) dikatakan :

aham atma gudakesa,

sarva bhutasaya sthitah,

aham adis cha madhyam cha,

bhutanam anta eva cha.”

Artinya : Aku adalah Djiwa yang berdiam dalam hati segala insani, wahai Gudakesa, Aku adalah

permulaan, pertengahan dan penghabisan dari makhluk semua.

Rgveda VIII.58.2. mengatakan :

Ekam va idam vi babhuva sarvam.

Tuhan Yang Maha Esa adalah satu. Dia mengambil setiap bentuk di alam semesta

Bhagavadgita Bab XIII Sloka (15) mengatakan :

bahir antas cha bhutanam,

acharam charam eva cha,

sukshmatvat tad avijneyam

durastham cha ‘ntike cha tat

Artinya : ada di luar dan di dalam semua insani, tiada bergerak tetapi bergerak senantiasa, terlalu

amat halus untuk diketahui, jauh nian namun juga dekat sekali.

7

Selanjutnya dalam Bab XIII Sloka (16) dikatakan :

avibhaktam cha bhuteshu,

vibhaktam iva cha sthitam,

bhutabhartri cha taj jneyam,

garsishnu prabhavishnu cha.

Artinya : tidak dapat dibagi-bagi namun terbagi diantara insani, diketahui sebagi pemelihara

mahluk semua, memusnahkan dan menciptakan mereka.

Dalam Bab XVI Sloka (180) dikatakan :

ahamkaram balam darpam

kamam krodham cha samsritah,

mam atma paradeheshu

pradvishanto ‘bhyasuyakah.

Artinya : membiarkan diri dikuasai egoisme, kekuasaan, keangkuhan dan juga nafsu serta

kemaraham, mereka yang durhaka ini membenci Aku yang ada dalam jasmani mereka sendiri

dan yang lainnya.

Bait-bait Weda serta sloka-sloka Bhagavadgita di atas memperjelas tentang keberadaan Tuhan

Yang Maha Esa. Dia adalah absolut, tunggal dan hanya satu. Disisi lain dengan segala

kemahakuasaan-Nya, Dia sanggup berada dimana-mana dan mengambil setiap bentuk di alam

semesta. Dia tidak dapat dibagi-bagi namun terbagi diantara insani, ada di luar dan di dalam diri

manusia. Keberadaan Tuhan di dalam diri manusia dikatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa

berdiam di dalam diri manusia dengan dua bentuk, satu sebagai Tuhan dan dua sebagai jiwa

perseorangan (Atma). Sebagai Tuhan dimaksudkan adalah bahwa Tuhan Yang Maha Sempurna

meniupkan sebagian diri-Nya (Roh Yang Agung) ke dalam diri manusia. Tuhan Yang Maha Esa

sendiri yang mempunyai sifat wyapi wyapaka nirwikara (ada dimana-mana pada setiap ciptaan-

Nya dan tidak terpengaruhi). Dia hanya sebagai saksi. Dia adalah Nur Illahi (Sinar Suci atau Roh

Kudus), Dia adalah Jiwa (Gusti) yang bersembunyi secara sangat rahasia. Nur Illahi ini sering kita

sebut sebagai hati sanubari yang paling dalam. Sebagai Atma (Kawula) dimaksudkan, adalah

pikiran, intelek yang memberikan kekuatan kepada badan kasar kita untuk bergerak sesuai dengan

fungsinya.

8

Bila diibaratkan dengan sebuah kereta, maka badan kasar ini adalah keretanya, Atma adalah

pikiran yang sangat dipengaruhi oleh lima kuda (panca indria) sebagai penggerak, sedangkan Roh

Kudus sebagai Saisnya yang mengarahkan jalannya kereta untuk mencapai tujuan. Dari ketiga

unsur tersebut, pikiran yang paling dominan dalam mengatur irama perjalanan dalam mencapai

tujuan, karena yang satu ini sangatlah liar dan susah diatur. Dikatakan susah karena pikiran

sangat mudah dipengaruhi dan diselimuti oleh gemerlapnya duniawi. Badan yang diibaratkan

sebagai kereta, harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, agar semua komponen dengan fungsinya

masing-masing dapat bergerak tanpa kendala, sehingga kita berhasil dalam mencapai tujuan.

Sedangkan Saksi Yang Agung sangat tergantung dari tingkatan spiritual dari manusia itu sendiri,

sejauh mana dia sanggup memahami keberadan dari dirinya sendiri.

Mempelajari hakekat Tuhan sangatlah sulit bagi orang-orang yang hati dan pikirannya masih

diselimuti oleh awidya (kegelapan), akan tetapi sebaliknya bagi orang-orang yang sudah

dibukakan jalan oleh Yang Maha Gaib akan selalu mendapat petunjuk serta tuntunan-Nya. Sejak

kecil saya sering mendengar, bahwa Tuhan itu selalu dihubungkan dengan hal-hal yang baik saja,

seperti Maha Pengasih, Maha Pelindung, Maha Penyayang, Maha Pemurah dan sebagainya. Hal

ini wajar dan dapat diterima agar kita umat manusia dapat meniru sifat-sifat baik tersebut.

Padahal tidaklah demikian keberadaannya. Saya ingat istilah rwa bhineda (dua hal yang

berbeda/berlawanan) seperti; siang dan malam, pria dan wanita, baik dan buruk, langit dan bumi.

Kalau kita tanyakan, siapakah yang menciptakan? Sudah tentu jawabannya adalah Tuhan. Di

dalam diri manusia ada dua sifat yang berbeda yaitu baik dan buruk. Kalau kita tanyakan lagi,

siapakah yang menciptakan, jawabannya pasti Tuhan Yang Maha Pencipta. Manusia adalah

mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Dikatakan sempurna justru karena adanya dua

sifat yang berbeda tersebut dan Tuhan memberikan akal dan budi untuk dapat memposisikan diri,

sifat yang mana yang akan diwujudkan dalam menjalani kehidupannya.

Kalau kita renungkan sifat dari pada Tuhan adalah Maha dari segala Maha, ini berarti sifat

apapun yang ada di dunia ini, adalah Dia (Tuhan) Maha-nya, tidak ada yang mengalahkan Dia.

Hal ini perlu direnungkan secara mendalam. Kalau kita bertanya lagi lebih jauh, di antara orang-

orang terkejam di dunia ini, siapakah yang paling (maha) kejam?, di antara orang-orang terpelit,

siapakah yang paling (maha) pelit?, di antara orang-orang tersombong, siapakah yang paling

(maha) sombong?, di antara para penipu ulung, siapakah yang paling (maha) penipu?. Diantara

yang terkotor, siapakah mahanya?. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangatlah berat untuk

dijawab bagi mereka yang belum memahami hakekat dari Tuhan Yang Maha Kontradiksi.

9

Pertanyaan selanjutnya adalah: jalan manakah yang sebaiknya ditempuh manusia untuk dapat

menyatu dengan Sang Maha Pencipta?

Awatara Kresna sangatlah jelas dan gamblang menunjukkan kepada Arjuna dalam Bhagawad

Gita, bagaimana caranya dan dengan apa manusia menuju kepada tujuan hidup tertinggi yaitu

Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam Bab VII Sloka (24) dikatakan :

avyaktam vyaktim apannam

manyante mam abuddhayah

param bhavam ajananto

mama vyayam anuttamam.

Artinya : Orang yang picik pengertian beranggapan Aku yang tak berbentuk seperti

termanifestsikan, tidak mengetahui sifat-Ku yang kekal abadi, tak berubah-ubah, Yang Maha

Tinggi.

Dari bait sloka di atas, marilah kita lihat diri kita sendiri apakah kita tergolong orang yang picik

atau tidak? Pengertian picik disini adalah memiliki pengetahuan yang sempit tentang Tuhan Yang

Maha Esa, seperti pemikiran yang menganggap bahwa Dewa itu adalah Tuhan, sehingga

dibuatlah berbagai macam patung dewa untuk melaksanakan persembahan.

Dalam Bab IX Sloka (25) dikatan :

yanti devavrata devan,

pitrin yanti pitrivratah,

bhutani yanti bhutejya,

yanti madyajino “pi mam.

Artinya : yang memuja dewata pergi kepada dewata, kepada leluhur perginya yang memuja

leluhur mereka, dan kepada roch alam perginya yang memuja roch alam, tetapi mereka yang

memuja Aku datang kepada Ku.

Sloka ini menjelaskan kepada kita, bahwa karena keterbatasan pengetahuan daripada manusia

tentang Widhi Tattwa, maka mereka melaksanakan bhakti dan karma marga sesuai dan sebatas

dengan pengetahuan yang mereka miliki dan yakini. Ada yang menyembah dewa, ada yang

menyembah leluhur dan ada pula yang menyembah roch alam (bhuta). Sebagai makhluk ciptaan

10

Tuhan yang paling sempurna seyogyanya mengerti betul kepada siapa kita harus menyembah dan

kepada siapa kita harus menghormat dan mengasihi. Bila Tuhan (Gusti Kang Murbeng Dumadi)

yang menjadi tujuan kita, maka hanya Dia lah yang patut kita sembah, sekali lagi hanya Dia lah

tidak ada yang lain, dan Dia berada di dalam diri kita sendiri. Sembah yang paling utama adalah

penyerahan diri secara total kepada Nya (Isvara prani dhana). Terhadap yang lainnya kita

patut menghormati saja. Renungkanlah secara mendalam.

Catur Marga adalah empat jalan mencari kesatuan dengan Sang Hyang Widhi (menurut Upadeca)

yaitu : Jnana marga (jalan mengabdikan ilmu pengetahuan), Bhakti marga (tekun memuja,

berbhakti), Karma marga (tekun melakukan pekerjaan yang baik), dan Raja marga (tekun

melaksanakan semadhi). Dalam Upadeca dijelaskan, bahwa jalan mana yang ditempuh oleh

manusia disesuaikan dengan kemampuan, watak dan kepribadiannya. Ini artinya orang boleh

memilih salah satu diantara empat jalan tersebut di atas, asalkan dilakukan dengan tulus dan

ihklas. Terhadap penjelasan ini saya masih bertanya kepada diri sendiri, apakah betul demikian?

Sebagai contoh, bila seseorang berniat memakai jalan Jnana, apakah dia tidak melaksanakan

Bhakti (sembahyang), Karma (bekerja) dan Raja (semadhi)? Begitu juga, bila seseorang ingin

menempuh jalan Bhakti apakah dia tidak perlu melaksanakan Karma, Semadhi dan memiliki

Jnana?. Perlu dihayati, tanpa pengetahuan yang tinggi tentang hakekat Tuhan kemungkinan

Bhakti yang dilakukan tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh Tuhan.

Selanjutnya juga dijelaskan, bahwa walaupun ada empat jalan/cara, tetapi tidak ada yang lebih

tinggi atau pun lebih rendah, dan jalan yang satu berhubungan erat dengan yang lainnya.

Dari penjelasan ini, pertanyaan-pertanyaan di atas dapatlah dijawab yaitu: bahwa seseorang yang

ingin menyatukan diri dengan Sang Pencipta harus menempuh keempat jalan ini. Dan Jnana

(pengetahuan) merupakan dasar utama untuk mengarahkan Bhakti, Karma dan Semadhi supaya

sesuai dengan yang dikehendaki oleh Sang Arsitek Yang Maha Agung.

Dalam Atharvaveda XX.92.18. dikatakan:

Nakis tam karmana nasat.

Tak seorangpun bisa mencapai Tuhan Yang Maha Esa Yang Maha Agung melalui

tindakan/perbuatan.

Di maksudkan dengan tindakan/perbuatan adalah yang bersifat lahiriah (materialisme) seperti

melaksanakan upacara yadnya dengan berbagai macam sesaji.

11

Atharvaveda VII.8.1. mengatakan :

Bhadrad adhi sreyah prehi.

Semoga engkau lebih menyukai jalan kerohanian daripada jalan keduniawian (materialisme).

Kerohanian disini mempunyai arti yang luas seperti; pengetahuan tentang roh yang kekal abadi,

pengetahuan tentang hakekat bhakti, karma, semadhi dan lain-lain yang selalu harus dilihat dari

sudut hakekat.

Yayurveda XL.11. mengatakan:

Sambhutim ca vinasam ca yas tad uedobhayam saha.

Vinasena mrtyum tirtva sambhutya-amrtam asnute.

Dia yang mengetahui kedua-dua jalan spiritual (kerohanian) dan materialisme (kebendaan),

mencapai keselamatan melalui spiritualisme (kerohanian).

Disini jelaslah, bahwa jalan spiritual (kerohanian) sebaiknya menjadi pilihan manusia dalam

mecapai kesempurnaan hidup. Dengan kemampuan spiritual yang tinggi, kesucian hati dan

pikiran, manusia akan mampu menembus/melihat apa saja yang bersembunyi di balik tirai misteri

dunia gaib, dunia yang tidak dilihat dengan mata biasa, apalagi oleh manusia yang hati dan

pikirannya masih gelap (awidya).

Baghavadgita Bab XV Sloka (15) mengatakan :

sarvasya cha ’ham hridi samnisvishto

mattah smritir jnanam apohanam cha

vedais cha sarvair aham eva vedyo

vedantakrid vedavid eva cha ’ham

Artinya : Aku berdiam dalam hati semua, ingatan dan ilmu pengetahuan datangnya dari Aku jua,

Aku-lah sebenarnya harus diketahui oleh semua kitab Weda yang suci, demikian pula Aku-lah

sesungguhnya pencipta kitab ajaran Vedanta, pula pengenal kitab-kitab suci Weda.

Makna dari sloka di atas menjelaskan tentang keberadaan Tuhan, inti dari ajaran kitab suci Weda

yaitu Tuhan itu sendiri, baik Tuhan Yang Maha Absolut maupun bagian Tuhan yang berdiam

dalam hati setiap manusia. Sesungguhnya wujud dari Weda adalah alam semesta (bhuana agung)

12

dan manusia (bhuana alit). Apa saja yang terdapat dalam bhuana agung ada juga pada bhuana

alit. Tuhan dan manusia adalah dua figur yang satu sama lainnya sangat berhubungan erat. Yang

satu sebagai pencipta dan yang lainnya sebagai hasil ciptaan-Nya. Sebagai hasil ciptaan adalah

merupakan kesayangan dari penciptanya. Tuhan tidak ingin sendirian, dia juga ingin teman

bermain, bercerita, bersendagurau, maka Dia ciptakan sandiwara agung yang terdiri dari episode

yang tak terbatas jumlahnya dan Dia ciptakan juga wujud manusia yang di dalamnya ada Dia

sebagai saisnya, untuk melakonkan serita tersebut dari jaman ke jaman sampai akhirnya kiamat.

Pada saat kiamat, semua mahkluk yang diciptakan Tuhan akan musnah/lenyap, akan tetapi

manusia tidak, karena bagian dari Tuhan (Roh Suci) yang ada pada manusia tidak bisa musnah

(abadi) dan harus kembali kepada Tuhan Yang Maha Sempurna.

B. PENGERTIAN MOKSA DAN JAGADHITA

Tujuan tertinggi dari kehidupan manusia menurut ajaran Weda adalah menyatu dengan Sang

Maha Pencipta (Aham Brahman Asmi). Dalam masyarakat hindu lebih dikenal dengan istilah

moksa. Moksartham Jagadhitaya ca iti dharma artinya dengan menghayati dan mengamalkan

dharma atau agama untuk mencapai moksa (kebebasan) dan kesejahteraan di dunia. Sangat perlu

untuk menjadi perhatian kita adalah mengenai kesejahteraan di dunia, apakah yang sesungguhnya

dimaksud ? Dalam sudut pandang manusia normal, bahwa harta benda, istri dan anak serta

pangkat ataupun kedudukan merupakan sesuatu yang sangat didambakan dan bahkan

diagungkan, karena dengan itu semua mereka merasakan sejahtera dan bahagia. Tidak sedikit

orang yang beranggapan bahwa apa yang dia miliki adalah miliknya, sehingga dia sangat terikat

oleh miliknya tersebut. Ada yang sampai tidak pernah merasa puas dan selalu merasa kekurangan

(loba) atau juga ada yang dengki dan iri hati terhadap harta orang lain, sehingga diapun berusaha

untuk mengejar meskipun harus menempuh jalan yang keliru. Bagaimanakah pandangan manusia

yang tidak normal terhadap fenomena duniawi ? Orang-orang seperti ini akan menganggap

bahwa semua itu hanyalah tipuan belaka dari Sang Maha Penipu. Mereka beranggapan bahwa

kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia bukanlah semata-mata karena harta kekayaan, istri

dan anak serta kedudukan seseorang. Akan tetapi yang lebih penting adalah dimana manusia

mengerti akan hakekat dari semuanya itu, bahwa tak satupun dari semua itu merupakan hak atau

miliknya. Karena pemilik yang sejati adalah Yang Maha Pencipta dan Maha Kaya. Manusia tidak

pernah menciptakan, dia hanya mengubah bentuk dari yang asli menjadi bermacam-macam

13

bentuk baru. Tuhan Yang Maha Esa menciptakan bumi, antara bumi dan langit, serta langit

berikut segala isinya untuk kepentingan umat manusia yang juga ciptaan Nya. Bagaimana

menjadi seorang yang kaya raya tetapi ia merasa tidak kaya raya, sebaliknya seorang yang miskin

tetapi ia tidak merasa miskin, ia seimbang dalam panas dan dingin, dalam suka dan duka, dalam

puji dan caci, bebas dari nafsu (ego). Bila seseorang sudah sanggup seperti itu, maka dia sudah

dapat merasakan kebahagiaan yang sejati. Jadi pengertian jagadhita sesungguhnya, adalah

terbebasnya seseorang dari keterikatan ilusi duniawi walaupun dia berada di dalamnya. Sebab

orang yang berlimpah ruah harta kekayaan, jabatan, anak, istri, belumlah tentu mereka bahagia

dan bahkan mungkin sebaliknya, karena keterikatannya akan menyebabkan penderitaan apabila

semuanya itu diambil oleh Yang Maha Kuasa. Jagadhita yang sejati tidaklah dapat diukur oleh

banyaknya harta kekayaan, besarnya kekuasaan, atau sebaliknya. Ukuran Jagadhita adalah

apakah seseorang sudah bisa mencapai tingkatan yogi yang hakikinya sudah sanggup membunuh

dan selanjutnya mengendalikan nafsu (musuh) yang berada dalam dirinya.

Bhagavad Gita Bab VI sloka (5), (6),(7) dan (8) mengatakan:

uddhared atmana ’tmanam

na ’tmanam avasadayet

atmai ’va hy atmano bandhur

atmai ’va ripur atmanah

Artinya: biarlah dia mengangkat jiwanya dengan Jiwa, janganlah jiwanya menjerumuskan

dirinya, sebab hanya Jiwa adalah teman jiwanya, dan hanya jiwa adalah musuh jiwanya.

bandhur atma ’tmanas tasya

yena ’tmai ’va ’tmana jitah

anatmanas tu satrutve

varteta ’tmai ’va satrutve

Artinya: Jiwa menjadi teman jiwa orang yang bisa menguasai jiwanya dengan Jiwa, tetapi bagi

yang jiwanya tidak ditaklukkan Jiwa, seperti musuh, menjadi lawan, (simak ajaran Aji Saka).

jitatmanah prasantasya

paramatma samahitah

sitoshna sukha duhkheshu

14

tatha manapamanayoh

Artinya: yang dapat menguasai jiwanya dengan Jiwa Tertinggi dan mencapai ketentraman

sempurna, ia seimbang tenang dalam panas dan dingin, dalam suka dan duka, dalam puji dan

caci.

jnana vijnana triptatma

kustastho vijitendriyah

yukta ity uchyate yogi

sama loshta ’sma kanchanah

Artinya:, yang jiwanya penuh ilmu dan budi pekerti, teguh iman, panca indrianya dikuasai,

memandang segumpal tanah, batu dan emas sama, maka ia-lah disebut seorang yogi.”

Makna yang tersirat dalam beberapa sloka di atas adalah sangat dalam kaitannya dengan konsep

manunggaling kaula dengan Gusti. Jiwa ditulis dengan huruf ”j ” kecil (jiwa), adalah bermakna

kaula (jiwa pribadi) yang sangat terikat oleh pancaindria dan senang dengan hal-hal duniawi yang

semu dan menjebak manusia. Jiwa ditulis dengan huruf ”J” kapital (Jiwa), adalah bermakna

sebagai Gusti dalam diri manusia yang merupakan bagian dari Gusti Yang Agung, Gusti Kang

Akaryo Jagad. Apabila jiwa (kaula) sudah tunduk kepada Jiwa (Gusti) dan berteman, ini artinya

sang kaula sudah menyatu dengan Gustinya. Karena kaula sudah lebur dan menyatu dengan sang

Gusti, maka disaat kondisi seperti ini, dalam badan manusia hanya ada sang Gusti yang berkuasa

dan mengendalikan pikiran, perkataan dan tingkaah laku manusia. Kontradiksi dan pertentangan

dua sifat (dualisme) sudah tidak ada (data sewala sudah tidak ada), maka berdasarkan tuntunan

dari Gusti barulah kaula (ceraka) bisa ketemu dengan aksara A (Ho, Tuhan Sang Maha Pencipta).

Bhagavadgita Bab VIII sloka (28) mengatakan:

vedeshu yajneshu tapahsu chai ’va

daneshu yat punyaphalam pradishtam

atyeti tat sarwam idam viditva

yogi param sthanam upaiti cha ’dyam

15

Artinya: pahala kebajikan tersirat dalam kitab-kitab suci Weda, bakti persembahan, tapa brata dan

sedekah-sumbangan, semuanya itu dilampaui oleh yogi yang mengetahui sesuatu ini dan

mencapai tempat utama tertinggi.

Moksa dan jagadhita adalah dua kata yang sangat dekat maknanya. Keduanya mengandung

makna bebas dari keterikatan duniawi. Seseorang yang sudah mencapai tingkatan jagadhita yang

sejati dalam hidupnya (Jiwan Mukti), maka ia bisa mencapai moksa (Brahman Atman Aikyam).

Apabila pikiran masih terikat dengan duniawi walaupun sedikit, dia tidak bisa mencapai

kebebasan (kelepasan) yang sejati dan masuk ke Swah Loka, karena ia masih terkena hukum

reinkarnasi.

Bhagavadgita Bab VI sloka (46) mengatakan :

tapasvibhyo ’dhiko yogi

jnanibhyo ’pi mato ’dhikah

karmibhyas cha ’dhiko yogi

tasmad yogi bhava ’rjuna

Artinya: seorang yogi lebih besar dari pertapa, ia lebih mulia daripada sarjana, lebih utama dari

yang melakukan upacara, karenanya, menjadilah yogi, oh Arjuna.

Bab VI sloka (47) mengatakan :

yogiman api sarvesham

madgatena ’ntaratmana

sraddhavan bhajate yo mam

sa me yuktatamo matah

Artinya: dan juga diantara semua yogi, dengan penuh kepercayaan menyembah Aku dengan inti-

jiwa bersatu pada-Ku, ia adalah yogi terbaik bagi-Ku.

Jadi lebih jelas lagi, bahwa hanya yogi yang sudah sanggup menyatukan inti-jiwanya dengan Jiwa

Yang Agung lah yang bisa masuk ke alam kelanggengan (singgasananya Tuhan). Moksa tidak

dapat dicapai dengan ilmu apapun yang dimiliki manusia. Moksa dapat dicapai hanya dengan

penyerahan diri secara ikhlas total (Isvara prani dhana) kepada Sang Maha Pencipta (Gusti Kang

16

Murbeng Dumadi). Karena Yang Maha Sakti tidak dapat didekati dengan kesaktian manusia.

Kalaupun ada orang yang sanggup menghilang dangan raganya masuk ke dimensi lain itu

bukanlah moksa yang dimaksudkan dalam ajaran Weda. Karena menghilang dari kasat mata

manusia belumlah tentu dapat mencapai alam kerajaan Yang Maha Agung di langit yang

tertinggi. Karena ilmu orang dapat menghilang, akan tetapi belum tentu arahnya benar, karena

bisa saja ia masuk ke alam siluman, atau baru bisa sampai ke alam sorga. Sedangkan bila kita

hayati lebih dalam, hal tersebut dapat disebut menentang kodrat alam. Karena wadah (badan

manusia) yang asalnya dari tidak ada dijadikan ada (dengan unsur-unsur Panca Mahabhuta) oleh

Yang Maha Pencipta, pada waktu manusia kembali kepada penciptanya, yang kembali adalah

atma (jiwa perorangan) yang sudah bersatu bersama roh kudus (Nur Tuhan), sedangkan badan

kasarnya dilebur kembali menjadi panca mahabhuta.

Mari kita simak secara mendalam Bab XI Sloka (52), (53) dan (54), dari Bhagavadgita yang

berbunyi :

sudurdarsam idam rupam

drishtavan asi yan mama

deva apy asya rupasya

niyam darsanakankshinah

Artinya: sungguh sukar dilihat rupa-Ku ini, yang engkau telah dapat saksikan, sedang para

dewatapun selalu mengharapkan untuk dapat menyaksikan wujud rupa ini.

na ‘ham vedair na tapasa

na danena na che ‘jyaya,

sakya evamvidho drashtum

drishtavan asi mam yatha.

Artinya: Aku tidak bisa dilihat dalam rupa seperti yang engkau telah saksikan biarpun dengan

kitab suci Weda, tapabrata, maupun dengan sedekah atau upacara-upacara.

Bhaktya tv ananyaya sakya

aham evamvidho ‘rjuna

jnatum drashtum cha tattvena

praveshtum cha paramtapa.

17

Artinya: tetapi dengan pengabdian jua yang hanya terpusatkan oh Arjuna, Aku dapat diketahui

juga sesungguhnya dapat dilihat, Parantapa.

“...Ring angambeki yogi kiteng sakala,” hanya kepada orang yang sudah mencapai tingkatan yogi

yang sempurnalah Tuhan akan menampakkan wujud-Nya. Maka sekali lagi saya tegaskan, bahwa

pengertian moksa (kelepasan/kebebasan) menurut ajaran Weda adalah bila manusia dapat

mencapai alam kelanggengan (alam Brahman), bertemu Tuhan dan tidak terkena hukum

kelahiran kembali. Untuk mencapai moksa, manusia harus mencapai moksartham (lepas dari

keterikatan dengan duniawi/harta benda), lepas dari pengaruh dualisme (bersikap netral/nol).

Tanpa ketergantungan, bebas dari ikatan anak istri, rumah tangga dan sebagainya, selalu netral menghadapi

peristiwa yang diinginkan atau tidak diinginkan, puja Aku dengan keteguhan hati tanpa tujuan lain melalui

yoga, pergi ketempat-tempat sunyi hindari hiruk pikuk keramaian manusia, terus-menerus dalam ilmu

pengetahuan Jiwa dan memahami sampai akhir falsafah kebenaran, inilah disebut ilmu pengetahuan yang

sebenarnya dan semua yang berbeda lainnya adalah ketidaktahuan (BG. Bab XIII sloka (9), (10), (11)).

Apabila seseorang walaupun dia masih berada dan hidup di dunia nyata ini sudah bisa mencapai

tingkat kesadaran tertinggi (jiwan mukti) seperti apa yang telah dialami oleh Kresna, maka itulah

yang disebut dengan Jagadhita (kedamaian di dunia) yang sejati. Orang yang sudah mencapai

Jagadhita yang sejati secara alamiah akan mencapai tingkat kesempurnaan hidup yang sejati ya

sejatinya sempurna dan mencapai kelepasan (kebebasan) menuju alam Brahman.

18

BAB III

JALAN PENCAPAIAN MOKSA DAN JAGADHITA

A. PEMAHAMAN TENTANG HAKEKAT DIRI MANUSIA

1. Hakekat dari mantra Uttpati, Sthiti, Pralina

Mantra Uttpati : OM, I Ba Sa Ta A Ya Na Ma Ci Wa, Om Mang Ung Ang

Bila kita cermati kandungan makna yang terdapat dalam mantra Uttpati dapat kita jumpai

aksara (simbol) yang jumlahnya 10 (sepuluh) yaitu I Ba Sa Ta A Ya Na Ma Ci Wa dan sering

disebut dengan Dasaksara. Aksara Ya adalah sebagai penegas makna disatukan dengan aksara

I, sehingga jumlah aksara menjadi 9 (sembilan). Angka 9 adalah sebagai simbol dari

kesempurnaan.

Berawal dari I (Tuhan), ditiupkan Ba (Atma) ke dalam Sa (Prakrti) dibangkitkan dengan energi

Matahari (Ta), maka terciptalah A (Brahma) yang berwujud manusia, Ya Na Ma Ci Wa,

maksudnya, ya namamu Ciwa. Disini yang dimaksud adalah baru hanya nama, tetapi belum

Ciwa. Tri aksaranya berurutan Mang Ung Ang.

Dalam proses penciptaan aksara I (Tuhan Yang Maha Pencipta) memegang peran dalam

menciptakan A (Brahma) yaitu salah satu wujudnya manusia. Manusia adalah mahluk ciptaan

Tuhan yang paling sempurna setingkat di bawah Dia.

Dikatakan sempurna karena manusia diciptakan dalam satu wujud nyata yang terdiri dari

sembilan wujud maya. Dikatakan maya karena sukar dilihat dengan mata biasa dan dikenal

orang sebagai Dewata Nawa Sanga (sembilan sinarnya Tuhan). Posisi dari Dewata Nawa Sanga

tersebut adalah 4 (empat) berada di luar diri manusia dan 5 (lima) lainnya matrap/bersatu

didalam badan manusia atau disebut lima pancer. Empat diluar sifatnya menjaga dan menggoda

yang wujud fisiknya berupa : air kawah, lamas, darah merah dan ari-ari. Ke-empat unsur ini

dalam ajaran kanda pat dikenal dengan nama Anggapati, Mrajapati, Banaspati dan Banaspati

Raja. Pemahaman tertinggi di Bali yang sampai sekarang masih dipelajari hanyalah tentang

empat unsur manusia yang berada di luar dirinya (kanda pat) yaitu Sa, Ba, Ta. A, sedangkan

lima lainnya belum diketemukan ataupun dipelajari/dikaji. Lima unsur yang berada di dalam

diri manusia yang disembunyikan sejak manusia diciptakan oleh Tuhan adalah I, Na, Ma, Ci,

Wa. Perwujudannya yang muncul adalah berupa sifat yaitu : Satwam (baik), Kroda (marah),

Kama (nafsu birahi), Lobha (serakah), Matsarya (iri hati). Kroda, Kama, Lobha dan Matsarya,

adalah merupakan empat musuh utama (Catur Ripu) dari manusia. Ke-lima unsur ini, bersatu

19

dalam satu wujud yaitu PIKIRAN dan berkedudukan di kepala. Bagi umat Hindu di Bali lebih

dikenal dengan simbol Omkara sungsang (terbalik). Kenapa disimbolkan terbalik? Karena

pikiran yang masih dipengaruhi oleh Panca Indria lebih cenderung untuk bersifat negatip dan

merusak sesuai dengan sifat dari Ciwa. Siapakah pikiran itu?

Bhagavadgita Bab X Sloka (22) mengatakan:

”..indriyanam manas cha ‘smi..”

dari semua indria Aku adalah pikiran.

Jadi pikiran itu adalah unsurnya Tuhan. Simbol dari lima pancer dalam upacara caru adalah

ayam berumbun, sedangkan empat unsur yang di luar disimbolkan dengan ayam berwarna

putih, kuning, merah dan hitam. Dalam cerita Mahabrata lima unsur yang berada didalam

manusia disimbolkan oleh 5 orang Panca Pandawa dan empat unsur yang diluar diri manusia

disimbolkan oleh empat punakawannya. Maka, manusia janganlah berhenti pada tingkat

pengetahuan kanda pat karena belumlah sempurna, berusahalah mencapai tingkat yang lebih

tinggi adalah KANDA SEMBILAN yaitu penyatuan sembilan sinar Tuhan di dalam pure yang

sejati yaitu diri manusia sendiri.

Mantra Sthiti : OM, Sa Ba Ta A I Na Ma Ci Wa Ya, OM Ang Ung Mang.

Makna yang terkandung dalam mantra sthiti adalah : semoga dalam perjalanan hidupmu kamu

dapat mengalahkan dan mengendalikan musuh-musuh yang ada dalam dirimu (nafsu), sehingga

kamu bisa menjadi Ciwa, tidak hanya sekedar nama. Disini aksara Sa (prakrti) diletakkan di

depan dan paling berperan dalam membawa A(Brahma/manusia) menuju kepada I (Iswara).

Prakrti (Sa) dituntun oleh Roh/Gusti (Ba) dan digerakkan oleh pikiran/kaula (Ta) agar manusia

(A) dapat mencapai Iswara (I).Triaksara juga berganti posisi yaitu Ang didepan menggantikan

posisi Mang. Sedangkan Ung tetap ditengah sebagai jembatan/antara keduanya dan harus

ditemukan lebih dulu oleh Ang (Brahma) barulah dia (manusia) bisa ketemu dengan Mang

(Iswara).

Mantra Pralina : OM, A Ta Sa Ba I Ci Wa Na Ma Ya, OM Ung Ang Mang.

Makna yang terkandung dalam mantra ini adalah : kamu (manusia) betul-betul sudah dapat

mengalahkan dan mengendalikan dirimu sendiri (nafsu/ego) dan kamu betul-betul sebagai Ciwa

kembali kepada Iswara. dalam kembali kepada Iswara. Triaksara juga berganti posisi Ung

berada di depan, Ang di tengah dan Mang dibelakang sebagai tujuan akhir. Ketika usia manusia

dikatakan tua, kekuatan energinya sudah tinggal sedikit, phisik sudh rapuh, manusia (A) mulai

20

ditinggalkan oleh pikirannya/kesadarannya (Ta), sehingga prakrtinya (Sa) tidak berfungsi lagi

dan akhirnya Roh (Ba) ikut dengan pikiran (Ta) menuju Iswara (I). Disini tergantung dari :

apabila Ang bisa menemukan Ung, maka A (Brahma/manusia) bisa mencapai I (Iswara), dan

manusianya betul-betul disebut Ciwa. Sebaliknya bila Ang tidak bisa menemukan Ung, maka A

(Brahma/manusia) tidak bisa mencapai I (Iswara), dan manusianya tidak dapat disebut Ciwa.

Maka dari itu, kendalikanlah pikiran karena dia sangat liar bagaikan angin bergerak kesana

kesini dan karena pikiran juga menusia mengalami dualisme.

Selanjutnya kita kaji Triaksara yang merupakan simbol dari Trimurti yaitu perwujudan dari

Tuhan dalam fungsinya mencipta, memelihara dan memralina. Untuk itu marilah kita hayati

bait mantra Pranayama Adhi yang terdapat dalam kitab Weda Parikrama Bab IV halaman 123

hasil tulisan G. Pudja,MA. berbunyi sebagai berikut :

Om Am Atmaya Brahma Murtyai namah (1)

Om Um Antar Atmaya Wisnu Murtyai namah (2)

Om Mam Parama Atmaya Icwara Murtyai namah (3)

Om Um Rah Phat astraya namah sarwa winacaya swaha. (4)

Baris pertama dari matra tersebut menyebut Brahma dan tempatnya di pusar, baris kedua

menyebut Wisnu tempatnya di dada, bait ketiga menyebut Icwara tempatnya di kepala, ini

disebut Triloka dalam bhuana alit (diri manusia) dan bait keempat menyebut Um Rah Phat

sebagai pembersih kotoran/mala yang melekat pada badan.

Betulkah Brahma ada pada pusar? Marilah kita kaji apa yang disebutkan dalam Bhagavadgita

Bab XIV sloka (3) :

mama yonir mahad brahma

tasmin garbham dadhamy aham,

sambhavah sarvabhutanam

tato bhavati bharata.

Artinya : kandungan-Ku adalah Brahma Yang Esa, di dalamnya Aku letakkan benih, dan dari

sanalah terlahir semua mahluk, wahai Barata.

Kita ketahui, bahwa dalam badan manusia (laki-aki dan perempuan) adalah benih yang disebut

sperma dan sel telor. Bersatunya sperma (kama putih) dengan sel telor (kama bang) terciptalah

janin dalam kandungan seorang ibu dan selanjutnya lahir sebagai manusia. Yang menjadi

pertanyaan disini adalah, apakah wujud Brahma dalam melakukan hubungan penyatuan antara

kama putih dan kama bang? Jawabannya adalah manusia. Selanjutnya, dalam proses

21

memelihara bayi tersebut dari memandikan, menyusui, menimang dan sebagainya dalam arti

menjalankan fungsinya Wisnu, wujudnya juga manusia. Demikian juga, ketika manusia

melakukan perbuatan seperti : membunuh, merusak, menghancurkan, itulah Ciwa yang

wujudnya juga manusia. Ini berarti, bahwa yang mengimplementasikan fungsi Tri Murti adalah

manusia. Maka dari itu, sebagai manusia kita harus sadar sesadar-sadarnya, bahwa manusia

adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di bawah Dia. Manusia lahir dikawal oleh

dewata nawa sanga, ini berarti bahwa manusia keberadaanya di atas dewata nawa sanga. Akan

tetapi bagi manusia yang tidak menyadari dan tidak mencari diri-Nya di dalam dirinya, maka

mereka akan memposisikan diri dibawah dewa, bethara, leluhur dan bahkan bersekutu dengan

setan. Itulah manusia yang sangat ditentukan oleh pikirannya (ego).

2. HAKEKAT DARI PANCA PANDAWA

Mahabarata adalah merupakan satu cerita besar hasil karya Rsi Vyasa yang merupakan

implementasi (perwujudan) dan penjabaran dari isinya weda. Mahabarata adalah sebuah cerita

terbesar yang terdiri dari 18 episode (parwa) dan boleh dikatakan merupakan kaca benggala dari

kisah perjalanan seorang manusia daari sejak lahir sampai kembali lagi kepada Sang Maha

Pencipta. Dalam perjalanan cerita, banyak sekali para ksatria yang dalam menjalani

kehidupannya terikat oleh sumpah. Seperti Bisma, bersumpah tidak akan menikah selama

hidupnya, Bima bersumpah akan membelah pahanya Duryodana, Pancali(Drupadi) bersumpah

rambutnya tidak akan diikat sebelum dibasuh oleh darahnya Dursasana. Dewi Amba

bersumpah akan membunuh Bisma yang dikenal sakti. Apa yang dapat kita kaji dari contoh di

atas untuk menjadikan pelajaran bagi kita semua dalam menempuh bahtera kehidupan di dunia

fana ini, bahwa manusia janganlah gampang mengucapkan sumpah. Karena sumpah yang

dinyatakan dengan hati yang tulus akan membawa dampak kejiwaan bagi yang mengucapkan

sumpah. Bila sumpah tersebut tidak terlaksana, maka akan terbawa sampai mati dan ke

kehidupan yang akan datang. Dilihat dari sudut sifatnya, sumpah bisa dibagi dua yaitu sumpah

untuk melaksanakan kebaikan dan sumpah untuk melaksanakan kejahatan atau dendam.

Contoh sumpah yang tujuannya baik adalah sumpah jabatan bagi orang-orang yang akan

diangkat untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, kaul (sesangi) yang tujuannya

mendoakan agar diberikan sehat, lulus ujian, dagangannya laku dan sebagainya. Contoh

sumpah yang tujuannya tidak baik adalah bersumpah untuk membunuh, menyakiti orang lain,

sumpah yang mengutuk orang lain.

22

Kenapa orang sampai mengeluarkan kata-kata sumpah untuk mencelakai atau membunuh orang

lain? Adalah karena orang tersebut tidak bisa mengandalikan musuh besarnya yaitu sifat marah

yang ada pada dirinya.

2.1. PANCA PENDAWA ADALAH SIMBOL DARI LIMA SIFAT MANUSIA

Panca Pendawa atau disebut juga Pendawa Lima adalah merupakan simbol dari seorang

manusia yang di dalam dirinya penuh dengan sifat satwam, kesatria berbudi luhur. Sifat

dasar rajasnya hanya dua yaitu : sifat marah dan nafsu birahi, sedangkan sifat dasar

tamasnya juga hanya dua yaitu: sifat loba dan sifat sirik/iri hati. Ditambah dengan sifat

satwam, maka dalam setiap diri manusia terdapat lima sifat yang sejak bayi sudah ditaruh

dan disatukan dengan pancernya (manusia). Empat sifat tersebut di atas yang cendrung

negatip kita sebut Catur Ripu (empat musuh) dan keempat sifat inilah yang menyebabkan

manusia mengalami dualisme (kontradiktif) didalam hidupnya. Catur Ripu ini haruslah

dimatikan dan selanjutnya dikendalikan supaya tidak menguasi diri kita.

Bhagavadgita Bab VII Sloka (27) mengatakan:

ichchhadvesha samuthena

dvandvamohena bharata

sarvabhutani sammohan

sarge yanti paramtapa

Artinya: semua mahkluk sejak lahir, oh Barata telah disesatkan oleh dualisme pertentangan

yang lahir dari hawanafsu, ketamakan,amarah dan dengki, wahai Parantapa.

Dalam sloka ini seharusnya dilengkapi dengan sifat satwam (baik) sehingga jumlahnya

menjadi lima. Alasannya, karena nafsu berbuat baik yang karena mengharapkan pahala,

adalah menjadi tidak baik di mata Tuhan. Untuk merealisasikan isi dari sloka di atas,

dalam cerita mahabarata kelima sifat tersebut disimbolkan dengan lima orang ksatria yang

disebut Panca Pandawa. Darmawangsa/Yudistira (ibu jari) sebagai simbol sifat satwam,

Bima (jari telunjuk) adalah simbol daari sifat marah (krodha), Arjuna (jari tengah) adalah

simbol dari sifat birahi (kama), Nakula (jaari manis) merupakan simbol daari sifat tamak

(loba), Sadewa (jari kelingking) merupakan simbol daari sifat irihati (matsarya). Panca

Pandawa walaupun terdiri dari lima orang secara hakekat mengandung makna satu yaitu

seorang manusia yang di dalam dirinya terdapat kelima sifat tersebut. Apapun warna

23

kulitnya, apapun agamanya, apapun suku dan bangsanya, kelima sifat dasar tersebut pasti

ada pada dirinya. Dalam cerita mahabarata makna ini disimbolkan oleh Drupadi, seorang

putri raja yang diperoleh Arjuna melalui sayembara adu ketangkasan memanah. Karena

sabda dari ibu Kunti yang meminta agar oleh-oleh yang dibawa Arjuna supaya dibagi-bagi

dengan saudara-saudaranya, maka jadilah Drupadi sebagai istri dari Panca Pendawa.

Dalam cerita, Drupadi dikisahkan sebagai seorang wanita yang menginginkan jodohnya

seorang laki-laki yang bijaksana, kuat, romantis, ganteng dan pintar. Semuanya ini ada

pada seorang Arjuna. Dia baik dan bijaksana, kuat tidak pernah kalah berperang, romantis

sehingga banyak wanita yang jatuh cinta, dia juga ganteng dan berotak cerdas. Kaitannya

Arjuna dengan kelima sifat (nafsu) di atas, adalah bahwa dalam diri Arjunalah kelima sifat

tersebut bisa terlihat dalam kehidupannya. Arjuna adalah seorang yang mempunyai sifat

baik suka menolong, suka membela kebenaran, setia pada ucapan. Dia juga bisa marah

pada saat harus marah, dia memiliki nafsu birahi yang tinggi sehingga senang dengan

gadis-gadis cantik, dia loba sehingga istrinya lebih dari satu, dan dia juga sirik, tidak boleh

ada orang lain yang menjadi jago dalam memanah, sehingga Bambang Ekalaya yang

mempunyai kemampuan seperti dia jadi korbannya. Atas perintah Drona yang menjadi

guru idola Bambang Ekalaya, dia bersedia memotong ibu jari tangannya, sehingga

kemampuannya memanah menjadi dibawah kemampuan Arjuna. Sosok Drupadi pada

hakekatnya memiliki dua makna (simbol) yaitu: pertama sebagai simbol yang menyatakan

bahwa Panca Pendawa meskipun lima orang pada hakekatnya adalah satu orang yang

memiliki lima sifat dasar. Kedua, sebagai simbol bahwa seorang wanita yang bersuami

banyak disebut sebagai pelacur, seperti yang dikatakan oleh Adipati Karna. Selain itu, juga

merupakan gambaran bahwa di dunia ini ada seorang ibu yang memerintahkan agar

seorang wanita untuk menjadi pelacur.

2.2. PANCA PANDAWA SEBAGAI SIMBOL MANUSIA TITISAN DEWA

Terkisahkan dalam cerita tatkala Raden Pandu Dewanata berburu di tengah hutan

belantara. Ketika dia melihat sepasang kijang yang sedang bercumbu kasih, langsung dia

memanah kijang tersebut dan tepat mengenai sasaran. Seketika itu juga kedua ekor kijang

tersebut berubah menjadi sepasang manusia yang begelar Rsi. Akan tetapi, sebelum Rsi

tersebut meninggal dia mengutuk Raden Pandu, apabila dia berhasraat melakukan

24

senggama maka dia akan mati. Pelajaran apa yang ingin disampaikan oleh sang sutradara

dan dapat kita petik dari kejadian tersebut?

Pertama, kisah yang sangat menyedihkan bagi seorang Rsi yang masih belum sanggup

mematikan sifat nafsu kamanya, apalagi melakukan hubungan sek dengan cara berubah

wujud dari wujud manusia menjadi binatang. Ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalam

diri Rsi tersebut masih dikuasai oleh sifat binatang (rajas). Hal lain ditunjukkan kepada

kita, bahwa untuk menjadi seorang Rsi bukanlah perkara mudah dan sepele, karena

seorang Rsi adalah merupakan simbol dari orang yang sudah suci dan terbebas dari ikatan

nafsu duniawi. Menjadi Rsi bukanlah bertujuan agar dimana tempat selalu dipuja, dielukan

suci oleh orang banyak, pikiran ini adalah suatu ketololan. Manusia yang sudah sanggup

melaksanakan Iswara Prani Dana (berserah diri kepada Iswara) dan terbebas dari

keterikatan dengan duniawi, barulah pantas memakai gelar Rsi. Renungkanlah!

Kedua, oleh karena Raden Pandu tidak bisa melakukan hubungan badan dengan istri-

istrinya, maka tidak ada lagi harapan Raden Pandu untuk mempunyai keturunan. Untuk

memenuhi harapan tersebut ibu Kunti istri pertama Pandu yang telah menguasai mantra

sakti pemberian dari gurunya bhagawan Parasara dapat mewujudkannya. Mantra tersebut

hanya bisa diucapkan sebanyak lima kali. Tetapi, ketika ibu Kunti masih gadis ( sebelum

menikah), dia ingin menguji dan membuktikan apakah benar mantra sakti ini kalau

diucapkan dengan serius bisa menyebabkan wanita menjadi hamil. Setelah dicoba dengan

khusuk dan yang dicipta (dipikirkan) pada saat itu adalah Dewa Surya, maka masuklah

ciptanya Dewa Surya ke dalam rahim ibu Kunti sehingga dia hamil. Lantaran malu hamil

sebelum menikah dan untuk menjaga agar tetap perawan, maka anak yang dalam

kandungannya dilahirkan melalui telina (karna). Setelah lahir anak ini dihanyutkan di kali,

lalu dipungut oleh seorang kusir kereta, dan anak ini selanjutnya disebut Karna.

Selanjutnya ibu Kunti masih mempunyai empat kali kesempatan untuk mengucapkan

mantra tesebut. Setelah ibu Kunti tiga kali mengucapkan mantra dengan khusuk sampai

dia melahirkan tiga orang putra: pertama Darmawangsa cipta dari Sang Hyang Dharma,

kedua Bima cipta dari Dewa Bayu, ketiga Arjuna cipta dari Dewa Indra, Dewi Madrim

istri kedua Pandu memohon kepada ibu Kunti agar dia diberi kesempatan juga untuk

melahirkan anak dan minta diajarkan mantra yang sakti tersebut. Atas ijin dan arahan dari

ibu Kunti, dewi Madrim berhasil dan melahirkan putra kembar Nakula dan Sadewa cipta

dari dewa Aswin (kembar). Pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa cerita tadi adalah,

bahwa manusia (wanita) bisa hamil tanpa melakukan hubungan suami istri secara langsung

25

apabila Yang Maha Pencipta menghendaki (hal seperti ini terjadi pada Bunda Maria

ibunya Yesus). Kelima putra yang lahir dari rahim ibu Kunti dan dewi Madrim adalah

manusia titisan para Dewa sehingga memiliki sifat-sifat kedewataan. Makna dari saudara

Pandawa yang paling tua yaitu Karna yang dibuang dan tidak diurus sehingga dialah

musuh terbesar dan terkuat dari Pandawa adalah: manusia yang tidak ingat dan tidak kenal

dengansaudara gaibnya yang lain, maka saudaranya itulah yang akan menjadi musuhnya

yang terberat. Sedangkan ajaran karma yang dapat kita petik adalah bahwa Raden Pandu

akhirnya meninggal karena dia melanggar kutukan dari Rsi yang dibunuhnya ketika dia

berburu. Apa yang kita tanam itulah yang kita petik.

2.3. PANCA PANDAWA SEBAGAI SIMBOL PELAJARAN SPIRITUAL

Cerita mahabarata adalah sebuah cerita yang mengandung makna yang luar biasa bila

dilihat dari sudut pandang spiritual. Dengan memahami makna dari perjalanan Pandawa

sampai akhir cerita, berarti kita akan paham tentang konsep manunggaling kaula dengan

Gusti. Bila manusia sudah bisa mematikan lalu mengendalikan nafsu yang ada dalam

dirinya maka ia akan menjadi seperti Darmawangsa, yang merupakan simbol dari sosok

manusia yang sudah bisa mencapai tingkat kesucian menurut kaca mata Tuhan, sehingga

ia dianugrahi kemuliaan oleh Tuhan.

Hal ini disebutkan dalam Yayurweda XIX.30.

Pratena diksam apnoti,

Diksaya apnoti daksinam,

Daksina sraddham apnoti,

Sraddhaya satya apyate.

Artinya : Melalui pengabdian kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat

kemuliaan, dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita

peroleh kebenaran.

Bagaimana bhagawan Vyasa mengajarkan kepada kita agar dapat mematikan semua nafsu

yang menjadi musuh utama manusia sehingga menjadi orang suci menurut kaca mata

Tuhan, bukan menurut kaca mata manusia melalui karya sastra Mahabarata?

Berawal dari pikiran jahatnya seorang yang bernama Sengkuni, ia mengusulkan agar

Duryodana menantang Yudistira untuk bermain dadu dengan taruhan bagi yang menang

26

akan mendapatkan Drupadi dan kerajaan Astina, dan bagi yang kalah harus menjalani

hukuman dibuang ke hutan selama duabelas tahun dan pada tahun ketigabelas harus

menyamar tidak boleh sampai ketahuan. Dalam pertandingan dadu tersebut ternyata

Yudistira mengalami kekalahan sehingga Panca Pandawa harus dibuang ke hutan selama

duabelas tahun dan Drupadi harus diserahkan kepada Duryodana. Pandawa sangaat sedih

dan malu menyaksikan Drupadi ditunjuk dan dikatakan pelacur oleh adipati Karna.

Selanjutnya Duryodana memerintahkan agar kain sari Drupadi ditanggalkan (ditelanjangi).

Dalam situasi ini, sang Awatara Kresna datang membantu sehingga Drupadi selamat dari

niat jahat Duryodana. Pelajaran yang sangat bermakna dapat kita petik dari alur ceritta di

atas antara lain :

- Judi sangat dilarang oleh ajaran Weda, karena dapat menghancurkan diri sendiri dan

menyengsarakan keluarga, seperti yang disebutkan dalam Rgveda X.34.10. adalah :

Jaya tapyate kitvasya hina

mata putrasya caratah kva svit

mava bibhyal dhanam icchamanah

anyesam astam upa naktam eti

Artinya: Istri seorang penjudi yang mengembara mengalami penderitaan yang

mendalam di dalam kemelaratan dan ibu seorang putra yang berjudi semacam itu tetap

dirundung derita. Dia yang dalam lilitan utang dan dalam kekurangan uang, memasuki

rumah orang-orang lainnya dengan diam-diam di malam hari.

- Orang yang licik seperti Sangkuni selalu pintar memanfaatkan kelemahan orang lain

seperti Yudistira. Yudistira adalah seorang yang jujur, sedangkan bermain judi penuh

dengan cara-cara licik, sehingga Yudistira tidak akan mungkin bisa menang.

- Seorang Yudistira (dalam episode ini) masih belum bisa mematikan nafsunya sehingga

dia bisa tertipu oleh akal licik Sangkuni, walaupun sudah dilarang oleh saudaranya.

- Drupadi memetik pahala atas kebaikan yang dia pernah berikan kepada Kresna. Ketika

Kresna membunuh Susupala dengan senjata cakra, jari telunjuknya mengeluarkan

darah, dan saat itu secara spontan Drupadi merobek kain sarinya untuk membalut jari

telunjuk Kresna yang luka agar darahnya tidak sampai jatuh mengenai bumi. Siapa saja

yang berbuat kebaikan, maka akan memetik pahala yang baik dan sebaliknya siapa saja

yang berbuat kejahatan, maka akan memetik pahala yang tidak baik.

- Makna dari duabelas tahun dibuang ke hutan adalah, bahwa manusia baru dapat

mematikan hawanafsunya yang berupa empat sifat buruk yaitu: sifat marah, birahi,

27

loba dan sirik, setelah melaksanakan tapa, brata, yoga, semadhi, selama kurun waktu

duabelas tahun. Hal ini disimbolkan dalam cerita ketika Bima, Arjuna, Nakuladan

Sadewa, semuanya meninggal ketika minum air di sebuah kolam. Kejadian ini sebagai

pelajaran kepada kita, bahwa Yudistira (manusia) setelah duabelas tahun lamanya

mencari jati dirinya, barulah dia bisa mematikan sifat marah (Bima), birahi (Arjuna),

loba (Nakula), iri haati (Sadewa). Pada situasi begini, Yudistira pada episode ini adalah

sebagai simbol orang yang sudah mati. Selanjutnya, dari tengah kolam terdengarlah

suara gaib: wahai Yudistira, siapakah satu orang dari empat saudaramu tersebut ingin

kamu hidupkan? Jawaban Yudistira: oleh karena aku putra dari ibu Kunti, maka aku

minta Nakula putra dari ibu Madrim supaya dihidupkan kembali demi keadilan.

Pertanyaannya sekarang, kenapa Yudistira meminta Nakula dan bukan Sadewa yang

juga putra dari ibu Madrim? Jawabannya adalah, karena Nakula adalah merupakan

simbol pikiran/intelek (Na-kaula) dan Sa-dewa sebagai simbol Roh (Gusti) yang

tugasnya membimbing, menuntun sang kaula supaya selalu berjalan di jalan Tuhan.

Kalau Sadewa yang dihidupkan maka jantung manusia berdenyut akan tetapi

pikirannya tidak sadar (dalam keadaan koma), karena kaulanya bandel tidk mau ikut.

Teapi apabila kaulanya (Nakula) yang dihidupkan, maka Roh (sadewa) juga secara

otomatis (kodrat) akan ikut hidup dan kesadaran manusia kembali normal. Yudistira

setelah mengalami proses mematikan diri, memiliki tingkat spiritual yang sempurna.

Dia sudah bisa menguasai nafsunya sendiri dan sudah memiliki sifat yang samar yaitu

wujudnya manusia tetapi sifat dan keinginannya sudah tidak seperti manusia normal.

Hal ini dikisahkan pada tahun ketigabelas Yudistira dan saudara-saudaranya harus

melakukan penyamaran selama satu tahun dan tidak boleh diketahui oleh orang lain.

Yudistira disini sebagai simbol dari seorang manusia yang sudah bisa menjadi raja atas

dirinya sendiri, mempunyai penglihatan (waskita) yang berbeda dibandingkan dengan

manusia normal lainnya, dan sudah mencapai tingkat kesucian menurut kaca mata

Tuhan sehingga dia dimuliakan oleh Yang Maha Mulia.

Bila seseorang sudah dimuliakan oleh Tuhan, maka barulah ia bisa melihat dirinya

yang sejati. Penemuan diri sejati dalam cerita Mahabarata disimbolkan oleh Bima. Dia

adalah simbol dari seorang manusia yang sudah ikhlas menyerahkan dirinya

sepenuhnya kepada Iswara. Hal ini dikisahkan ketika Bima ikhlas dijadikan caru oleh

ibu Kunti dan kisah lainnya adalah ketika dia diperintahkan oleh guru Drona untuk

mencari tirta amerta ke tengah samudera. Bima merupakan simbol manusia yang

28

satya guru, sehingga dengan tekad yang bulat perintah Drona dia laksanakan dengan

ikhlas. Di tengah samudera dia bertemu dengan seekor naga yang bernama Dewa Ruci

dan terjadilah perkelahian. Setelah Bima berhasil mengalahkan naga Dewa Ruci,

muncullah Bima kecil yang tidak lain adalah dirinya yang sejati. Setelah ketemu

dengan diri sejati, antara yang mencari dan yang dicari bersatu (manunggal), barulah

seseorang dikatakan mencapai tingkat kesempurnaan, seorang manusia yang sudah

diperlihatkan jalan yang lurus untuk dapat kembali kepada Gusti Kang Murbeng

Dumadi. Simbol dari tingkatan manusia seperti ini adalah Arjuna. Kenapa Arjuna kok

tidak Darmawangsa? Karena Arjunalah yang secara sempurna

menerapkan/menjalankan kedua (rwa bhineda) sifat Tuhan. Sifat baik dia jalankan

sesuai dengan ajaran, sifat jelek juga dia laksanakan sesuai dengan perintah Gustinya,

aartinya apapun yang kerjakan bukanlah karena kemauannya pribadi akan tetapi

semata-mata karena kehendak Tuhan.

Dalam Bhagavadgita Bab X Sloka (17) dikatakan:

vrishninam vasudevo ’smi

pandavanam dhanamjayah

muninam apy aham vyasah

kavinam usana kavih

Artinya: dari keturunan Wrisni Aku ini Wasudewa, dari Panca Pandawa Aku ini

Dananjaya, dari muni sempurna Aku ini Vyasa, dari biduan penyair Aku ini Usana.

Makna dari ”Aku ini Dananjaya” adalah, bahwa sifat-sifat Tuhan yang kontradiktsi

(rwa bhineda) ada pada diri Arjuna dan dialah yang sudah sanggup memahami dan

mengaktualisasikan dalam laku lampah sehari-hari. Pada saat Arjuna disuruh oleh

Kresna untuk membawa lari Subadra kekasihnya yang dia cintai, maka dia sempat

menolah karna sebagai seorang ksatria dia tidak sanggup untuk melakukan perbuatan

itu, karena sama saja dengan mencuri. Akan tetapi, karena merupakan perintah dari

seorang Kresna (sebagai awatara Tuhan), maka diapun akhirnya mentaati dan

melaksanakannya. Dalam pelarian Subadralah yang disuruh menjadi kusir kereta,

dengan tujuan apabila Baladewa (kakaknya Kresna) menuduh Arjuna melarikan

Subadra bisa dibantah oleh Kresna bahwa Subadralah yang melarikan Arjuna bukan

Arjuna yang membawa lari Subadra. Pada saat Arjuna harus melaksanakan yoga

semadhi dia lakukan dengan sempurna walaupun berbagai macam godaan yang dia

29

harus terima. Ketika dalam keadaan menyamar menjadi seorang perempuan dan

sebagai guru tari, dia lakukandengan sempurna sehingga tidak ada yan gmengenalinya.

Disaat dia harus berperang, dia menjadi pahlawan yang sejati dan sanggup membunuh

semua musuh-musuhnya sekalipun musuhnya itu adalah kakeknya, saudaranya dan

gurunya sendiri. Semuanya dia lakukan dengan tanpa mengharapkan pahala, rame ing

gawe sepi ing pamerih. Di sisi lain, seorang Darmawangsa yang disimbolkan sebagai

orang dharma dan sudah mencapai kesucian, apabila diperintahkan untuk berbohong

atau berbuat yang tidak baik pasti dia akan menolak seperti ketika dia diperintahkan

oleh Kresna untuk berbohong untuk mengatakan bahwa Aswatama putra dari guru

Drona benar meninggal walaupun faktanya yang mati adalah gajah Aswatama. Dengan

berat hati akhirnya perintah tersebut dia laksanakan tetapi, kata gajah masih dia

ucapkan dengan pelan sekali sehingga tidak terdengar oleh Drona. Hal ini

menggambarkan bahwa seorang Darmawangsa benar-benar tidak mau disuruh

berbohong. Apabila antara Darmawangsa dan Arjuna diuji dengan sepuluh soal, lima

soal tentang perbuatan tidak baik dan lima soal lainnya tentang perbuatan yang baik,

maka Darmawangsa hanya akan sanggup menjawab hanya 5 pertanyaan yang

menyangkut perbuatan baik. Sedangkan Arjuna bisa menjawab 10 pertanyaan tersebut,

karena dia pernah melaksanakan kedua-duanya. Pelajaran yang dipetik dari kasus ini

adalah, bahwa seorang yang sudah dikatakan suci belum tentu dia sudah sempurna,

tetapi orang yang sudah sempurna sudah pasti suci. Jika seorang sudah mencapai

kesempurnaan, maka Na-kula (kaula) dan Sa-dewa (Dewa/Gusti) menyatu

(manunggal). Nakula dan Sadewa merupakan titisan dari Dewa Aswin (kembar) adalah

simbol dari perwujudan dari keberadaan Tuhan di dalam diri manusia seperti dikatakan

dalam Regveda I.164.20. yaitu:

Dva suparna sayuja sakhaya

samanam vrksam pari sasvajate

tayor anyah pippalam svadvatya

masnannanyo abhi caksiti

Artinya: Dua burung yang indah, hidup bersama (karena cinta kasih) sahabat, tinggal

di sebuah pohon. Burung yang satu makan buah pippala yang manis, yang lain tidak

makan, menjaga dan mengawasi.

30

Dua burung yang indah dalam ayat weda di atasditerjemahkan dengan simbol anak

kembar yaitu Nakula dan Sadewa oleh Bagawan Vyasa, yang mengandung makna Na-

kula (kaula) da Sa-dewa (Gusti) yang berdiam di dalam setiap diri manusia. Sebagai

Gusti dimaksudkan disini adalah bagian-Nya yang berupa Roh Kudus, Jiwa Yang

Agung, Wisnu, atau lebih dikenal sebagai Gusti yang di dalam diri manusia hanya

sebagai Saksi Yang Agung dan tida terpangaruh oleh karma pebuatan. Sebagai kaula

(jiwa perorangan) dimaksudkan adalah sebagai jiwa pribadi (pikiran/intelek) yang

sangat dipengaruhi oleh panca indria. Keduanya berasal dari satu sumber yaitu Tuhan

Yang Maha Esa dan mempunyai sifat kontradiksi (saling berlawanan dan sama

saktinya). Karena Arjuna sebagai simbol manusia yang sempurna, artinya dia sudah

sanggup mematikan ego (rasa ke-aku-an) dalam dirinya, maka dialah yang disebut yogi

yang sempurna, dialah sosok manusia yang sudah memahami dan menjalankan Iswara

prani dhana, penyerahan diri secara ikhlas total atas hidupnya hanya semata-mata

menjalankan apa yang menjadi kehendak-Nya, bukan karena aku-nya atau karena

pahalanya. Berhubung kaulanya sudah dia matikan dan menyerah kepada Gustinya,

maka dia hanya bekerja atas apa yang diperintahkan oleh Gustinya (Guru Sejatinya).

Arjuna dikatakan sebagai simbol seorang yogi yang sempurna karena dialah satu-

satunya manusia (versi Bhagavadgita) yang ditunjukkan wujud dari Tuhan (ring

angambeki yogi kiteng sakala). Inilah perjalanan terakhir dari kehidupan manusia yang

disebut Aham Brahman Asmi.

2.4. PANCA PANDAWA SEBAGAI SIMBOL PERJALANAN AKHIR MANUSIA KE

ALAM BAKA

Apabila kita kaji makna dari cerita perjalanan keluarga Pndawa dalam menuju puncak

Mahameru (Mahaprasthanika Parwa), maka hakekat yang kita dapatkan adalah:

1. Gunung Mahameru adalah simbol dari alam bwah (alam sorga yang bertingkat) dan

puncaknya simbol dari sorga yang paling tinggi mendekati alam swah (kerejaan dari

Yang Maha Agung).

2. Darmawangsa adalah sebagai simbol dari orang yang sudah mencapai tingkat kesucian

dalam arti sudah sanggup mengendalikan nafsu pribadinya, sehingga dia berhasil

mencapai puncaknya Mahameru.

31

3. Anjing yang sangat setia adalah sebagai simbol dari kesetiaan seorang istri yang setia

mendampingi suminya, baik dalam keadaan suka maupun duka mengarungi bahtera

kehidupan. Apabila suaminya masuk sorga maka istrinya akan ikut terbawa, sebaliknya

jika seorang istri tidak akan bisa membawa suaminya masuk sorga meskipun dia sendiri

bisa masuk sorga (swarga nunut neraka kitut).

4. Bima tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari

manusia yang belum berhasil mengalahkan sifat marah (amarah) dalam dirinya.

5. Arjuna tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari

manusia yang belum berhasil mengendalikan sifat birahi (kama) dalam dirinya.

6. Nakula tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari

manusia yang belum berhasil mengendalikan sifat tamak (loba) dalam dirinya.

7. Sadewa tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari

manusia yang belum berhasil mengendalikan sifat iri hati (matsarya) dlam dirinya.

8. Drupadi tidak bisa mencapai puncaknya Mahameru karena dia sebagai simbol dari

wanita yang dalam menjalani kehidupannya sebagai wanita pelacur.

Dari kelima sosok Pandawa dapatlah dimaknai bahwa perjalanan manusia ke tempat mana

yang akan dituju ketika dia meninggal adalah tergantung dari beban karma yang masih

melekat dan dibawa ke alam baka seperti yang dikatakan dalam Bhagavadgita Bab VIII

Sloka (6) yaitu:

yam-yam va ’pi smaram bhawam

tyajate ante kalivaran

tam-tam evai ’ti kaunteya

sada tadbhavabhavitah

Artinya: apa saja yang terpikirkan pada saat ajalnya meninggalkan badan jasmani ini, oh

Kuntiputra, ia akan sampai pada keadaan yang terpikirkan itu, sebab ia trus menerus

terbenam dalam pikiran itu.

Drupadi yang dijadikan simbol sebagai wanita pelacur paling pertama meninggal dan alam

yang dicapai paling rendah. Selanjutnya yang meninggal berturut-turut adalah Sadewa,

Nakula, Arjuna, Bima dan yang teakhir Darmawangsa diiringi oleh seekor anjingnya

berhasil sampai kepuncak Mahameru. Sangat perlu untuk dihayati bahwa karma seseorang

yang dilakukannya pada saat menjalani kehidupan di dunia nyata ini akan sangat

32

menentukan situasi dan kondisi kehidupannya di alam kelanggengan, apakah akan

merasakan enak atau tidak enak (sengsara). Bab IX sloka (25) dari Bhagavadgita

mengajarkan kepada kita masalah hakekat dari bhakti dan sembah. Kepada siapa kita

harus menyembah supaya kita bisa kembali kepada asal muasal sesuai dengan tujuan

ajaran agama hindu yaitu Tuhan. Dijelaskan, mereka yang menyembah dewa kalau

meninggal paling tinggi hanya sampai di alam dewa, yang menyembah leluhur akalu

meninggal paling tinggi akan sampai di alam leluhur dan yang menyembah setan atau roh

jahat, kalau meninggal mereka akan menjadi budak pengikutnya setan. Akan tetapi bagi

orang yang senantiasa menyembah hanya kepada Tuhan, merekalah yang akan kembali

menuju kepada Tuhan (sangkan paraning dumadi). Maka dari itu, marilah kita bersihkan

hati dan pikiran, bunuhlah sifat ke-aku-an (egoisme) dalam diri, bebaskan pikiran dari

keterikatan dari duniawi yang menjerumuskan kita, pahamilah dan laksanakanlah ajaran

Isvara prani dhana (berserah diri kepada Tuhan)

Bila kita kaji dan hubungan dengan mantra Utphati: I Ba Sa Ta A Ya Na Ma Ci Wa. Ya

menjadi satu dengan I, maka ada sembilan aksara yang merupakan simbol dari keberadaan

manusia (bersaudara sembilan) dari sejak diciptakan. Dalam cerita Mahabarata yang

muncul baru lima yaitu I, Na, Ma, Ci, Wa, (dalam caru diwujudkan oleh ayam brumbun

tempatnya ditengah) dan kita kenal dengan nama Panca Pandawa, sedangkan empat

lainnya Ba, Sa, Ta, A, belum diceritakan. Kekurangan tersebut dilengkapi oleh utusan

Tuhan yang bernama Sidharta Gautama dengan ajarannya yang tekenal adalah agama

Budha. Kita kaji lagi mengenai kisah seorang pendeta budha Tom Sam Chong dalam

mencari kitab suci ke barat. Dalam perjalanan dia dikawal oleh empat muridnya yaitu:

Kera Sakti, Pat Kai, Wu Cing dan Kuda Putih, dan keempat muridnya ini adalah berasal

dari dewa yang menjalani hukuman. Keempat murid dari pendeta budha tersebut adalah

merupakan simbol dari saudara kita (Ba, Sa, Ta, A) yang berada di luar dan bertugas

untukmengawal danmenggoda kita. Ini mempunyai makna, bahwa ajaran yang dibawa

oleh Sidharta Gautama dengan konsep vegetariannya adalah melengkapi ajaran weda.

Dengan melaksanakan vegetarian diharapkan manusia akan dapat mengendalikan

nafsunya, berprilaku bijak, bebicara sopan dan santun dalam bergaul antar sesama

manusia, sampai akhirnya sanggup mematikan diri (mati sakjroning urip). Ajaran Kanda

Pat yang sampai sekarang populer di Bali lebih sendrung berasal dari ajaran Budha yang

dulu sempat berkembang di Jawa pada jaman Sriwijaya. Makna dari istilah Ciwa Budha

33

sinunggal adalah: bahwa ajaran Weda dan ajaran Budha keduanya harus disatukan untuk

dipelajari bagi mereka yang ingin mencapai tingkat kesempurnaan dalam spiritual, karena

masing-masing saling melengkapi. Ciwa Budha sinunggal bukan berarti pendeta Ciwa dan

pendeta Budha harus bersama-sama menjadi pengantar suatu upacara supaya upacara

dikatakan sempurna. Makna spiritual yang lebih dalam lagi adalah, bahwa Ciwa dikepala

(Omkara sungsang) dan Budha/budhi yangada di jantung (Omkara ngadeg) harus

disatukan kalau manusia ingin mengetahui jalan untuk menuju singgasananya Tuhan.

Jalan agar keduanya bisa bersatu putar Omkara sungsang supaya ngadeg dengan

membebaskan pikiran dari keterikatan dengan hal-hal duniawi (pancaindria).

Selanjutnya marilah kita lihat wajah Panca Pandawa setelah sampai di tanah Jawa. Oleh

Sunan Kalijogo putra dari Adipati Tuban yang sebelum menganut ajaran Islam beliau

adalah menganut ajaran Hindu dengan pengalaman spiritualnya beliau menambahkan

panca Pandawa dengan empat punakawan (pelayan) yaitu: Semar, Gareng, Petruk,

Dawala, sebagai simbol dari empaat saudara kita yang berada di luar yang menjadi

pengawal/pembantu dan penggoda kita, sehingga Panca Pandawa (5) dan empat

punakawan (4) kalau dijumlahkan menjadi 9 (simbol dari kesempurnaan).

Sampai sekarang terdapat perbedaan yang hakiki antaraa pagelaran wayang di Jawa

dengan di Bali. Di Jawa semua punakawan adanya di Panca Pandawa sedangkan di Bali

dipecah, dua (Tuwalen dan Werdah) di pihak Pandawa, dua lagi (Delem, Sangut) di pihak

Kurawa sehingga maknanya menjadi lain. Hal ini pernah saya tanyakan kepada seorang

dalang dan saya memperoleh penjelasan yang logis yaitu, kalau wayang di Jawa dalangnya

berbahasa jawa penontonnya adalah orang Jawa sehingga tidak perlu penterjemah, kalau

wayang di Bali penontonnya adalah masyarakat yang berbahasa Bali apabila dalang

berbahasa Jawa kuno perlu penterjemah supaya penontonnya bisa mengerti dengan alur

percakapan yang berlangsung. Itulah sebabnya empat punakawan tersebut dipecah menjadi

dua dipihak Pandawa dan dua lagi dipihak Kurawa. Pertanyaannya adalah kenapa tidak

diciptakan saja figur lain yang lucu sebagai penterjemah untuk Kurawa sehingga tanpa

harus memecah empat punakawan yang mengakibatkan hilangnya makna hakiki yang

dikandungnya yaitu kesempurnaan?

34

3. HAKEKAT DARI AJARAN AJI SAKA

Aji Saka adalah salah satu dari manusia utama yang menurunkan ajaran di dunia untuk

kepentingan umat manusia. Salah satu diantaranya yang sangaat berkaitan erat dengan hakekat

dari perjalanan hidup manusia dalam usahanya mencari kesempurnaan yang sejati ya sejatinya

sempurna adalah makna dari dua puluh aksara Jawa yaitu : A(Ha)Na, CaRaKa, DaTa SaWaLa,

PaDaJaYaNya, MaGa BaTaNga. Bila kita perhatikan daari dua puluh aksara tersebut tampaklah

beberapaaaa kata yang masing-masing mempunyai arti tersendiri. Hana berarti ”ada”, Caraka

berarti ”utusan” (manusia), Data berarti ”macam” (sifatnya), Sawala berarti

”berlawanan/kontradiksi”, Padajayanya berarti ”sama-sama saktinya”, Maga berarti ”semoga”,

Batanga berarti ”watang/mati”.

Bila kata-kata tersebut kita sambungkan maka akan menghasilkan sebuah kalimat yang

mempunyai makna yaitu : Ada utusan (manusia) ciptaan Yang Maha Kuasa, mempunyai sifat

yang selalu berlawanan (kontradiksi), mempunyai kesaktian yang sama, semoga kamu mati.

Utusan yang dimaksud adalah manusiaa yang dalam dirinya bersemayam Roh Kudus

(Wisnu/Saksi yang Agung/Gusti) yang berdiam di jantung dan Jiwa perorangan

(intelek/pikiran/kaula) yang ada di kepala. Dikatakan mempunyai sifat yang saling berlawanan,

karena Roh/Gusti tidak terikat/terpengaruh oleh karma perbuata manusia, sedangkan jiwa

pribadi (kaula) sangat dipengaruhi oleh perbuatan (Panca Indria) manusia dan di Bali dikenal

sebagai Omkara ngadeg da Omkara sungsang. Dikatakan mempunyai kesaktian yang sama karena

kedua-duanya berasal dari satu sumber yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Untuk menghilangkan

dualisme tersebut dan menyatukan kaula dengan Gustinya, manusia harus bisa menjadi orang

yang mati (batang/watang), maksudnya manusia harus dapat mematikan nafsu (ego) sehingga

terbebas dari keterikatan duniawi, terbebas dari sifat dualisme baik dna buruk, panas dan dingin,

dan sebagainya. Apabila nafsu pribadi sudah berhasil dimatikan, maka sang kaula menyerah sama

Gustinya dan Gustilah sekarang yang berkuasa. Setiap gerak langkah manusia akan ditentukan

oleh Gustinya dan sang kaula hanya berserah diri mengikuti apa yang dikehendaki sang Gusti,

kaula sudah melebur dirinya menyatu dengan Gustinya, inilah yang disebut manunggaling kula

dengan Gusti.Mati dalam istilah lainnya adalah Iswara prani dhana yaitu totalitas penyerahan diri

semata-mata hanya kepada Tuhan Yang Maha Pencipta. Berbuatlah karena kita harus bebuat atas

kehendak-Nya, bukan karena pahala.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa, dua puluh aksara yang diturunkan oleh Aji Saka merupakan

ajaran tertinggi yaitu konsep dari perjalanan manusia dalam mencapai kesempurnaan yang sejati

35

haruslah dimulai dari menjadi batang (mati dalam hidup, hidup tetap mati) untuk menghilangkan

sifat sama-sama sakti dan berlawanan (padajayanya dan data sewala) sampai pada keadaan

dimana kaula menyerah dan tunduk kepada Gustinya. Setelah itu barulah utusan

(ceraka/manusia) dengan diantar oleh Gustinya (Roh) bisa kembali kepada A (Ha) yaitu Gusti

Kang Murbeng Dumadi, Tuhan Yang Maha Pencipta.

Dalam Bhagavadgita Bab VI sloka (5) dikatakan :

uddhared tamana ’tmanam

na ’tmanam avasadayet

atmani ’va hy tamano bandhur

atmani ’va ripur atmanah

Artinya: biarlah dia mengangkat kiwanya denga Jiwa, Janganlah jiwanya menjerumuskan dirinya,

sebab hanya Jiwa adalah teman jiwanya dan hanya jiwa adalah musuh jiwanya.

bandhur atma ’tmanas tasya

yena ’tmai ’va ’tmana jitah

anatmanas tu satrutve

varteta ’tmai ’va satrutve

Artinya: Jiwa menjadi teman jiwa orang yang bisa menguasai jiwanya dengan Jiwa, tetapi bagi

yang jiwanya tidak ditaklukkan Jiwa, seperti musuh, menjadi lawan.

Bila kita hayati, jelaslah, bahwa sebagai manusia jiwa perorangan (kaula) haruslah ditundukkan.

Jiwa perorangan bisa tunduk apabila ia sudah terbebas dari pengaruh panca indria yaitu nafsu

berbuat baik, nafsu marah, nafsu birahi, nasfu loba dan nafsu sirik. Setelah kelima nafsu tersebut

bisa dimatikan, barulah sang jiwa pribadi bisa terbebas, merdeka, melihat Gustinya (Saksi Agung)

tersenyum ramah menyambut dan mempersilahkan masuk menjadi satu (manunggal). Setelah

kaula dan Gusti manunggal, maka dalam perjalanan hidup manusia selanjutnya Gustilah yang

memegang kendali sebagai penunjuk jalan agar manusia bisa sampai ke tempat tertinggi yaitu

tempatnya Brahman.

Hal ini dipertegas lagi oleh Bab XIII sloka (28) yang berbunyi :

samam pasyan hi sarvatra s

amavasthitam isvaram,

a hinasty tamaña ‘tmanam

tato yati param gatim.

36

Artinya : dikala ia melihat Yang Maha Kuasa bersamayam merata dimana-mana, ia tidak

menyakiti Jiwa dengan jiwa dan iapun mencapai tujuan utama.

Supaya lebih mendalam, bacalah kitab Bhagavadgita, secara berulang-ulang dengan hening.

Semoga dengan pertolongan 700 sloka (700 dijumlahkan = 7 = pitu = pitulungan) engkau bisa

mencapai angka 18 = 9 = kesempurnaan hidup, hidup yang sempurna. Inilah makna dari kitab

Bhagavadgita kenapa terdiri dari 700 sloka dan 18 bab.

Ada beberapa bentuk ritual di Bali yang sangat tinggi maknanya dan mempunyai korelasi dengan

ajaran Aji Saka yaitu:

3.1. Hakekat dari upacara potong gigi

Makna dari pelaksanaan upacara potong gigi adalah agar gigi taring dan delapan buah gigi

suri yang ada pada manusia menjadi rata sehingga menyerupai bentuk gigi yang ada pada

sapi, tidak lagi seperti bentuk gigi binatang buas. Bahasa hakiki yang ingin disampaikan

melalui upacara ini adalah :

- agar manusia mengurangi dan bahkan kalau bisa tidak memakan daging, karena sangat

mempengaruhi tabiat dan mengotori darah manusia. Orang yang suka memakan daging

biasanya cendrung lebih cepat emosi/marah.

- agar manusia melaksanakan pola makan seperti sapi, lebih banyak memakan sayur

(vegetarian). Dengan pola makan vegetarian, manusia sifatnya cendrung sabar, emosinya

terkendali dan ditambah dengan tekun melaksanakan tapa, brata, yoga, semadi, akhirnya

hingga pada waktunya dia dapat mematikan Catur Ripu yang ada dalam dirinya.

Keadaan mati disimbolkan adanya prosesi seperti orang mati dalam pelaksanaan upacara

potong gigi.

Pemahaman yang terdapat dalam ajaran Kalapati Tatwa tentang upacara potong gigi

adalah, bahwa manusia sejak dilahirkan dari rahim seorang ibu dikotori oleh unsur-unsur

bhuta kala (Panca Maha Bhuta), sehingga setelah dewasa taringnya harus dipotong, sehingga

pada waktu meninggalnya nanti tidak menjadi bhuta kala. Satu sisi memang betul, akan

tetapi janganlah kita lupa, bahwa manusia itu bhuta ya, manusia ya, dewa ya. Apabila

seseorang mangajukan pertanyaan : apakah orang yang tidak melaksanakan upacara potong

gigi akan tetapi dia dengan tekun mempelajari dan mengamalkan ajaran agama, malakukan

37

tapa, brata, yoga, semadhi, jika dia meninggal nantinya menjadi bhuta kala? Sudah tentu

akan saya jawab tidak, karena anda sudah menjalankan hakekatnya dari pelaksanaan

upacara potong gigi. Gigi merupakan bagian dari badan kasar manusia adalah benda mati.

Badan kasar bisa bergerak karena adanya Jiwa dan Pikiran (yang dapat dipengaruhi oleh

catur ripu) sebagai penggeraknya. Maka sebenarnya mematikan catur ripulah yang menjadi

tujuan dari upacara potong gigi, sedangkan taring hanyalah sebagai simbol dari catur ripu.

3.2. Hakekat dari upacara mediksa

Mediksa secara umum dapat diartikan sebagai pelaksanaan upacara/ritual keagamaan yang

bertujuan untuk mensucikan seseorang yang oleh seorang guru/brahmana sudah dianggap

patut untuk itu. Di Bali dikenal dengan istilah sulinggih (seseorang yang didudukkan sebagai

orang yang telah suci).

Dalam kitab Dharma Sastra 87, dikatakan :

Kamanmata pita caiman,

yadutpadayato mithah,s

ambhutim tasya tam,

vidyadyonavabhijayate.

Artinya: Ibu dan bapak melahirkan seseorang bersama karena nafsu, maka ia lahir dari

rahim. Ketahuilah (kelahiran) ini, adalah kelahiran jasmani. Selanjutnya Dharma Sastra 88,

mengatakan :

Acaryastvasya yam jatim wadhivad vedaparagah,

utpadayati savatrya sa satya sa’jaramara.

Artinya: Namun kalahiran yang berdasarkan pentasbihan (dwijati) dengan (mantra) Sawitri

dari guru suci yang di dalam Weda, itulah kelahiran yang sejati, yang utuh dan abadi

(ajaramara).

Dwijati maksudnya, kelahiran kedua yang sejati.

Sangat penting untuk dihayati, bahwa dalam pelaksanaan mediksa tersebut calon sulinggih

dikurung selama beberapa hari di dalam kamar untuk mengheningkan pikiran dan

mematikan egonya, serta adanya prosesi seperti orang meninggal adalah merupakan bahasa

symbol agar yang bersangkutan harus mematikan musuh yang ada dalam dirinya yaitu catur

ripu. Nama panggilan sehari-hari diganti dengan nama baru yang diberikan oleh sang guru.

38

Tujuan dari pelaksanaan upacara pensucian (pawintenan,mediksa) adalah sebagai langkah

awal agar manusia bertekad untuk selalu mensucikan dirinya melalui pelaksanaan trikaya

parisudha dengan baik, agar selanjutnya dia dapat mematikan musuh-musuh yang ada

dalam dirinya. Trikaya Parisudha adalah merupakan sarana permbersih yang paling hakiki

bagi umat manusia. Kasihan lmereka yang melakukan diksa dengan tujuan hanya untuk

menjadi manggala upacara, tetapi tidak bisa menjalankan trikaya parisudha sehari-hari

dengan baik. Apalagi yang memikirkan dan mengharapkan akan memperoleh daksina, hal

ini akan mengakibatkan terjadinya perebutan wilayah (sisye), sirik, iri hati dan lebih parah

lagi sampai seorang sulinggih sanggup mencelakakan sulinggih yang tidak disenanginya

dengan perantaran ilmu gaib. Sangat disayangkan sekali. Maka dari itu, untuk memciptakan

seorang Sulinggih yang berkwalitas spiritualnya, sebaiknya calon Sulinggih harus dikurung

menyepi di dalam kamar selama 40 hari dengan puasa mutih.

3.3. Hakekat Pelaksanaan Upacara Caru

Pelaksanaan caru ayam manca warna mengandung makna yang sangat dalam bagi umat

Hindu dalam kaitannya dengan pencapaian moksa dan jagadhita. Secara turun temurun

prosesi upacara ini diterima hanya sebatas melaksanakan saja, ada rasa ketakutan kalau tidak

melaksanakannya, takut kalau-kalau bhuta kala nantinya ngamuk dan merusak tatanan

hidup manusia. Apakah benar demikian ? Jawabannya, itu tergantung dari

pikiran/kepercayaan manusia itu sendiri. Sebab apa yang mereka yakini bisa itulah yang

terjadi. Lalu bagaimana dengan umat manusia ditempat lain yang tidak melaksanakan

upacara caru dan mereka tidak terlalu memikirkan apa itu bhuta kala? Apakah hidup mereka

diacak-acak oleh bhuta kala? Di sisi lain, mereka hanya mengenal Tuhan Yang Maha

Pelindung, satu-satunya yang sanggup melingdungi manusia dari godaan syetan dan iblis.

Ketakutan yang dirasakan dan dipikirkan oleh manusia terhadap bhuta kala, karena mereka

belum menemukan keyakinan bahwa bhuta kala tidak akan sanggup menggoda manusia

yang selalu bersujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ini sudah menjadi sumpahnya

syetan dan iblis, sehingga tidak perlu ditakuti. Laksanakanlah mecaru dengan ihklas dan

kasih tanpa ada rasa takut, sebagai pengamalan dari ajaran trihita karana. Justru yang paling

ditakuti adalah syetan/bhuta kala yang ada di dalam diri manusia sendiri, yang sifatnya

selalu menggoda dan munculnya sangat sulit untuk diduga, karena dia berwujud sama tetapi

karakternya berbeda. Dia berwujud manusia sedang marah, manusia sedang dikuasai nafsu

39

birahi, manusia sedang diselimuti sifat loba akan duniawi, dan manusia yang sedang dirasuk

oleh sifat iri hati/dengki. Catur Ripu inilah merupakan wujud syetan yang paling berbahaya,

karena bisa menjadikan manusia melebihi syetan yang sebenarnya. Manusia mampu

mencincang manusia lainnya bila sifat syetannya sudah menguasai dirinya. Melalui

pelaksanaan caru ayam panca warna inilah para pendahulu kita ingin menyampaikan

ajarannya yang maknanya kira-kira sebagai berikut : siapa saja yang ingin mencapai

kesempurnaan hidup (manunggal kaula dengan Gusti) dan hidup yang sempurna

(jagadhita/keseimbangan jiwa), maka dia harus ihklas total mati seperti yang disimbolkan

oleh ayam panca warna tersebut. Ayam brumbun sebagai simbol agar manusia bisa

mematikan nafsu yang ada dalam dirinya yaitu: nafsu untuk beruat baik, nafsu marah, nafsu

birahi, nafsu loba dan nafsu dengki/sirik, sehingga pikiran terbebas dari keterikatan duniawi

(jagadhita). Karena semua nafsu yang di dalam diri manusia sudah bisa digoda lagi, maka

saudara empat lainnya yang keberadaannya di luar diri kita dan mempunyai tugas menjaga

dan menggoda juga ikut mati (dalam arti mereka tidak bisa lagi menggoda), akhirnya mereka

menjadi satu dan masuk ke dalam diri menyatu dengan yang di dalam. Rumusannya adalah

5 di dalam menjadi 1, dan 4 di luar menjadi 1, selanjutnya 1 + 1 = 1 (manunggal). Dalam

upacara caru saudara empat yang di luar diri kita disimbolkan oleh ayam putih, kuning,

merah dan hitam. Sebelum kelima saudara kita yang bersifat negatip yang berada di dalam

diri dimatikan, maka empat saudara kita yang di luar tidak akan mau masuk dan bersatu.

Dari mantra caru dapatlah dikaji siapa saja penikmat caru tersebut.

B. KEDUDUKAN DEWA, BETHARA, MANUSIA DAN BHUTA

Sebelum jagat raya ini beserta isinya diciptakan, Tuhan Yang Maha Absolut adalah yang paling

pertama/permulaan ada. Setelah itu, barulah Dia menciptakan dunia dengan segala isinya melalui

kemahakuasaannya. Dia adalah Maha Pencipta, Maha Menghendaki. Tiada kehendak-Nya yang

tidak terjadi. Setelah diciptakan dunia dan seisinya, lalu dia ciptakan mahkluk yang disebut

dewa/malaikat dan iblis/syetan dari sinar/api. Itulah sebabnya mahkluk ciptaan-Nya tersebut

memakai badan halus dan dapat menembus benda kasar dengan laluasa. Para dewa diciptakan

untuk menjaga dunia ciptaan-Nya dan masing-masing diberi tugas sendiri-sendiri. Dewa Surya

tugasnya menjaga dan mengurus matahari terbit dari arah timur dan terbenam di barat. Dewa

Chandra tugasnya menjaga bulan, Dewa Bumi tugas mengurus bumi, Dewa Waruna tugasnya

mengurus lautan, Dewa Yama tugasnya mencabut nyawa dan sebagai hakim yang adil, demikian

40

juga dewa-dewa lainnya, mereka bekerja sesuai dengan hukum alam (Tuhan). Dewa bukanlah

Tuhan.

Didalam kitab Rig Weda X 129.6 dikatakan sebagai berikut :

”Sesungguhnya siapakah yang menganal-Nya? Siapa pula yang dapat mengatakan bila penciptaan

itu dan bila ini dijadikan? Setelah diciptakannya alam semesta ini kemudian dijadikanNya Dewa-

dewa itu. Siapakah yang mengetahui kejadian itu?”

Jadi sekali lagi Dewa bukanlah Tuhan, tetapi mahluk ciptaan Tuhan. Semua dewa diciptakan

tanpa nafsu, artinya tidak dibekali unsur-unsur negatip. Mereka tidak berani melanggar hukum

alam. Dewa Surya tidak akan berani terbit dari barat dan terbenam di timur, tanpa kehendak dari

Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebaliknya, pada diri Bhuta Kala (Iblis/Syetan), dalam dirinya

dibekali unsur-unsur yang sifatnya negatip (merusak/menggoda). Selanjutnya, untuk melengkapi

para pelaku yang akan memainkan sandiwara agung-Nya sampai waktu kiamat nanti, maka

Tuhan menciptakan manusia dari sarinya tanah dan Tuhan meniupkan sebagian roh-Nya

kedalam diri manusia, sehingga didalam diri manusia terdapatlah sifat-sifat dari penciptanya yaitu

rwa bhineda (baik dan buruk). Karena ada tujuh lapisan bumi (Sapta Petala), maka ada tujuh

warna dari tanah. Itulah sebabnya, warna kulit manusia terlihat ada berbagai warna. Manusia bisa

menjadi iblis/syetan dan bahkan melebihi, manusia juga bisa menjadi dewa dan bahkan melebihi

dewa, tergantung dari kemampuannya untuk mengolah hati dan pikirannya dalam mengikuti

tulisan skenario dari yang menciptakannya. Itulah sebabnya manusia bisa dikatakan paling

sempurna diantara mahluk ciptaan-Nya, ini artinya antara dewa, manusia dan iblis/syetan, serta

ciptaan-Nya yang lain, manusialah yang paling sempurna. Manusia diberikan kebebasan untuk

mempergunakan akal dan kekuatannya untuk mengelola dunia nyata ini dengan memperhatikan

hukum sebab dan akibat. Pengertian ini sangat penting sekali untuk dipahami bagi manusia,

karena akan berkaitan dengan tata cara dalam melaksanakan sembah. Dalam ajaran agama Hindu

sebenarnya hanya ada eka sembah (satu sembah) yaitu sembah manusia kepada Sang Maha

Pencipta, sembah dari kawula kepada Gustinya, lain itu tidak ada. Kepada para dewa, bethara,

leluhur dan syetan, manusia hanya menerapkan ajaran Tat Twam Asi, saling menghormati,

mengasihi, dan saling mendoakan sesama ciptaan Tuhan.

Khusus Bethara, yang diartikan sebagai pelindung, ada yang berasal dari manusia artinya,

dulunya bethara tersebut pernah lahir sebagai manusia seperti kita, hanya saja mereka sudah

mencapai tingkat kesucian tertentu seperti para bhagawan, rsi, mpu, seorang raja yang sudah

menjadi bhiksuka, atau manusia yang memiliki kesaktian ilmu hitam tingkat tinggi. Kita ambil

contoh yang paling gampang yaitu Mpu Genijaya, Mpu Kuturan, Dang Hyang Dwijendra, Dang

41

Hyang Astapaka, Ratu Pasek dan orang-orang suci lainnya, mereka tersebut sebelumnya adalah

lahir sebagai manusia seperti kita, makan nasi, buah, daging, sayuran, kue, sirih, minum air putih,

kopi, teh, dia juga pernah sakit, senang, dan lain sebagainya. Ada lagi seperti Dalem Bungkut

yang ilmu kesaktiannya belum sempurna dan lebih condong kekiri, duduklah dia sebagai bethara

di Pura Dalem Peed, Nusa Penida. Begitu juga orang-orang yang menjadi pengikut ilmunya Dewi

Durga dan sudah mencapai tingkat puncak, dia bisa duduk sebagai pelindung di pure-pure dalem.

Dengan mengetahui dan memahami, bahwa posisi manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang

paling sempurna di bawah Tuhan, maka hanya Tuhan Maha Pencipta sajalah satu-satunya yang

patut disembah oleh manusia, kalau kita berniat untuk kembali menyatu dengan Nya (Aham

Brahman Asmi).

C. TAPA, BRATA, YOGA, SEMADHI, LAKU UNTUK MENCAPAI MOKSA DAN

JAGATDHITA.

Untuk mencapai tingkatan tertinggi dari tujuan hidup manusia menurut weda yaitu Aham

Brahman Asmi haruslah melalui tahapan-tahapan, seperti kita akan membangun sebuah candi,

maka haruslah memulai dari dasar/pondasi yang kokoh sehingga dapat menopang bangunan

yang ada di atasnya. Konsep yang paling mendasar yang harus dikuasai seseorang adalah

Rta/Jnana (pengetahuan tentang kitab suci). Kita mengenal adanya Widhi Tattwa, Susila Tattwa,

Yadnya Tattwa. Ketiga pengetahuan ini haruslah benar-benar dikuasai hakekatnya, bukan hanya

proses ritualnya/ceremonialnya saja. Sekarang ini, umumnya kita sudah merasa púas dan bangga

dapat melaksanakan upacara yadnya/persembahan berupa beraneka macam sesaji (banten). Akan

tetapi tidak pernah bertanya yadnya manakah yang paling utama yang harus dilakukan manusia

untuk bisa mencapai tujuan hidup yang hakiki. Hal ini bisa kita pahami oleh karena kurangnya

pengetahuan tentang ketiga tattwa tadi. Maka dari itu, sudah saatnyalah kita sadar dan berbenah

diri untuk mencari mana yang baik, mana yang lebih baik dan mana yang paling baik.

Kebanyakan dari kita umat Hindu sangat takut untuk tidak melakukan sesuatu kebiasaan yang

telah diwariskan oleh para leluhur dan menganggap hal tersebut yang terbaik. Alasan dari

ketakutan tersebut karena takut disalahkan oleh leluhur. Mereka yang telah ahli dalam membaca,

memahami ajaran Weda seyogyanya melakukan kajian ulang secara mendalam tentang semua

pelaksanaan yadnya yang ada sekarang dan menyesuaikannya dengan ajaran hakiki dari Weda

tanpa mengecilkan jasa dari para leluhur kita. Karena fakta yang ada sampai sekarang,

42

pengetahuan tertinggi di Bali yang diwariskan oleh para leluhur kita hanya sampai Kanda Pat.

Kalau diibaratkan dengan sekolah, baru sampai kelas empat. Seharusnya yang dituju adalah kelas

sembilan (kesempurnaan), barulah dekat untuk mencapai nol (kosong).

Dalam Kitab Dharma Sastra 13 mengajarkan tentang tingkatan dari yadnya yang mengatakan

sebagai berikut :

Kupasatad vai paramam saro’pi sarah,

satad vai paramo’pi yajnah,

yajna satad vai paramo’pi putrah,

putra satad vai paramam hi satyam.

(Bagi seorang dermawan) membuat sebuah waduk (pengairan dsb.) lebih mulia amalnya dari

menggali seratus sumur (untuk umum), melaksanakan suatu Yajna (mempersembahkan sebagian

dari harta kekayaan untuk amal, mendirikan tempat ibadah, sedekah kepada fakir miskin, kepada

para biarawan dsb.) lebih utama dari pada membuat seratus waduk. Memperoleh putra (berbudi

luhur) lebih mulia dari melaksanakan seratus Yajna, dan kebenaran (kesucian) lebih utama

daripada seratus putra (berbudi luhur).

Kalau kita hayati, tampaknya kebenaran(kesucian) menempati urutan paling utama, setelah itu

anak yang berbudi luhur, dibawahnya adalah Yadnya dan seterusnya. Lalu apakah alasannya

memperoleh anak yang berbudhi luhur lebih mulia dibandingkan dengan seratus Yadnya?

Karena doa yang dikirimkan oleh seorang anak yang suputra (berbudi luhur) untuk orang tuanya

yang sudah meninggal akan sangat didengarkan oleh Tuhan dan dapat membebaskan orang

tuanya dari siksa neraka. Sebagai contoh adalah putra Pandawa dapat membebaskan ayahnya

Raden Pandu dari siksa neraka dan dinaikan ke sorga oleh Yang Maha Kuasa. Akan tetapi seratus

yadnya belum tentu bisa menempatkan seseorang di dalam sorga, karena dosa tidak bisa ditebus

dengan pengorbanan materi, seperti melakukan upacara Ngeben yang sampai menghabiskan

biaya besar, dosa hanya bisa dihapus dengan ilmu pengetahuan suci tentang Atman hal ini sangat

tergantung dari berapa banyak dosa yang sudah dilakukan selama menjalani hidup di dunia. Ini

lain artinya bila seseorang telah berhasil mencapai tingkat kesucian, maka ia sudah berhasil

memperoleh landasan untuk dimuliakan oleh Tuhan dan diberikan tempat di Sorga tanpa harus

menunggu doa dari anak-anaknya.

Dalam Yaurweda XIX.30. dikatakan :

Pratena diksam apnoti,

diksaya apnoti daksinam,

43

daksina sraddham apnoti,

sraddhaya satya apyate.

Artinya : melalui pengabdian kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat

kemuliaan, dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita peroleh

kebenaran.

Bhagavadgita sangat jelas mengatakan bahwa yadnya yang paling utama diantara semua yadnya

adalah ilmu pengetahuan tentang falsafah Atman. Hal ini tercantum dalam Bab IV sloka (33) yang

berbunyi :

srayan dravyamayad yajnaj

jnanayajnah paramtapa,

sarvam karma ‘khilam partha,

jnane perisamapyate.

Artinya : persembahan berupa ilmu pengetahuan, Parantapa, lebih bermutu daripada

persembahan materi; dalam keseluruhannya semua kerja ini berpusat pada ilmu pengetahuan oh

Partha.

Ilmu pengetahuan apa yang dimaksud oleh sloka di atas, adalah ilmu pengetahuan tentang

falsafah Atman, seperti disebutkan dalam Bhagavadgita Bab X sloka (32) yang petikannya

berbunyi sebagai berikut :”.........adhyatmavidya vidyanam, ........”

Artinya : diantara ilmu pengetahuan Aku falsafah Atman.

Selanjutnya Bab IV sloka (36) dan (37) mengatakan :

api ched asi papebyah

sarvebhyah pakritamah

sarvam jnanaplavenai

vrijinam samtarishyasi

Artinya: Walau seandainya engkau paling berdosa diantara manusia yang memikul dosa, dengan

ilmu pengetahuan ini lautan dosa engkau akan sebrangi.

yathai ’dhamsi samiddho ’gnir

bhasmasat kurute ’rjuna

jnanagnih sarvakarmani

bhasmasat kurute tatha

44

Artinya: Bagaikan api menyala, oh Arjuna, membakar kayu api menjadi abu, api ilmu

pengetahuan demikian pula membakar segala karma jadi abu.

Dengan penjelasan dari sloka-sloka di atas, jelaslah betapa sangat pentingnya ilmu pengetahuan

tentang Roh, karena dapat membebaskan manusia dari lautan dosa, bagaikan api membakar kayu

sampai menjadi abu. Demikian juga hebatnya ilmu pengetahuan tentang Roh, apabila manusia

sudah bisa menemukan sang Roh(Gusti) maka Dia akan menghapus segala dosa yang telah

diperbuat. Lagikanya, orang yang bisa menemukan sang Roh adalah orang yang sudah mencapai

tingkat kesucian menurut Tuhan. Seseorang bisa mencapai tingkat kesucian menurut Tuhan dia

harus menggembleng dirinya lahir dan bathin dengan melaksanakan diksa, tapa, brata, yoga

semadhi dengan tekun dan teguh (satya). Untuk mengarahkan supaya laku lampah seseorang

dalam melaksanakan diksa, tapa, brata, yoga, semadhi, maka dia harus menguasai ilmu

pengetahuan (jnana) tentang Roh. Maka dari itu, kenapa manusia tidak berlomba untuk mencari

kesucian dengan harta kekayaan sebagai sarana dan mengekang kama melalui pelaksanaan diksa,

tapa, brata, yoga, semadhi.

1. Pengertian TAPA

Ketika saya masih kanak-kanak, sering saya mendengar cerita tentang kehebatan dari Arjuna

dalam melakukan tapa, duduk hening berhari-hari di puncak gunung untuk memperoleh

kemenangan atas dirinya sendiri. Tindakan ini menurut saya adalah melaksanakan tapa pada

tingkat yoga dan semadhi.

Hal ini dijelaskan dalam Yayurveda XXVI.15.

Upahvare girinam, samgame ca nadiman, dhiya vipro ajayata.

Orang yang bermeditasi/bersemadhi pada lereng-lereng pegunungan atau di pertemuan sungai-

sungai menjadi tercerahkan.

Kalau demikian, apakah hakekat dari pada tapa?

Segala tindakan seseorang yang bertujuan untuk berbuat sesuatu yang dapat mensucikan dirinya dengan

jalan melakukan pengekangan secara ikhlas terhadap rasa “aku” (ego) yang dimilikinya. Ini kita sebut saja

tapa tahap pertama

Bermacam-macam yadnya yang kita laksanakan adalah merupakan pengejawantahan dari pada

tapa. Belajar ilmu pengetahuan, memberi makan, sedekah kepada fakir miskin, juga merupakan

tapa. Memberi obat kepada orang yang sakit adalah tapa. Memelihara seluruh ciptaan Tuhan

45

adalah tapa, yang penting, asalkan semuanya harus dilakukan dengan ikhlas total tanpa

menharapkan pamrih apapun.

Hakekat dari melakukan tapa (pengekangan) tidaklah harus pergi menyepi ke hutan ( ke gunung),

akan tetapi justru sebaliknya. Kita akan lebih bermanfaat bila melakukan tapa di dalam

lingkungan segala lapisan kelompok masarakat. Dengan melakukan interaksi (hubungan) antar

sesama manusia yang memiliki beraneka macam prilaku, disitu kita diuji keteguhan dari tapa kita

apakah kita sanggup menerapkan ajaran Tat Twan Asi dengan baik dan benar, mengalahkan sifat

ke-aku-an kita yang muncul akibat dari pengaruh kelima nafsu yang ada dalam diri, sehingga kita

sanggup menerima dengan ikhlas kekurangan dan kelebihan dari orang lain. Malaksanakan tapa

berarti kita belajar untuk bisa menjadi orang yang ikhlas menerima segala sesuatu yang menimpa

diri kita. Selama kita menjalankan tapa selama itu pula Tuhan akan menguji keteguhan iman dan

taqwa (sraddha dan bhakti) kita.

Dalam Rgveda IX.83.1. dikatakan :

Atapta-tanur na tad amo asnute.

Orang yang tanpa menjalankan tapa (pengekangan diri) yang keras tidak dapat menyadari Tuhan

Yang Maha Esa.

Dalam Atharvaveda XI.8.2. dikatakan:

Tapas Caiva-astam karma ca-antar mahati arna ve.

Tapa dan keteguhan hati adalah satu-satunya juru selamat di dunia yang mengerikan.

Tujuan hakiki melaksanakan tapa adalah untuk membangun pondasi sebagai tempat kita berpijak

dan meningkatkan spiritual secara bertahap, mempercepat proses pensucian diri, sehingga

memudahkan proses penyatuan diri dengan Sang Pencipta Alam.

Dengan mengamalkan ajaran dharma melalui pelaksanaan Tat Twam Asi dan Trikaya

Parisuddha dengan baik dan benar, ikhlas berkorban untuk kepentingan orang lain dan sesama

ciptaan Tuhan, tidak bermusuhan antara sesama makhluk ciptaan Tuhan, mematikan sifat-sifat

setan yang ada di dalam diri, maka seseorang akan berhasil dalam melaksanakan tapa.

46

2. Pengertian BRATA

Brata (upawasa) adalah merupakan tapa (pengekangan diri) tahap kedua dan sifatnya sebagai

penyempurna pelaksanaan tapa tahap pertama. Macam-macam dari brata (upawasa) dijelaskan

dalam Yayurveda IX.21 sebagai berikut :

Ayur yajnena kalpatam,

prano yajnena kalpatam,

caksur yajnena kalpatam,

srotam yajnena kalpatam,

prstham yajnena kalpatam

yajno yajnena kalpatam,

prajapateh praja abhuma

svardeva aganmamrta abhuma.

Artinya : Pengorbanan hidup (mengikuti hukum-Nya) adalah patut (dilakukan), pengorbanan

jiwa adalah patut (dilakukan), pengorbanan mata adalah patut (dilakukan), pengorbanan telinga

adalah patut (dilakukan), pengorbanan mulut adalah patut (dilakukan), dengan pengorbanan yang

dikorbankan itu, seseorang akan menjadi putra-putri Tuhan Maha Penjipta (Prajapati),

mendapatkan kebahagiaan yang sempurna, semangat tinggi dan memperoleh kehidupan yang

abadi.

Dengan pengorbanan hidup maksudnya adalah penyerahan diri (Iswara Prani Dhana),

pengorbanan jiwa maksudnya adalah melakukan perenungan (meditasi), pengorbanan mata dan

telinga maksudnya latihan mempergunakan insting/rasa dengan cara menutup mata dan telinga,

serta tidak tidur (jagra), pengorbanan mulut maksudnya melakukan puasa tidak makan dan tidak

berbicara (mona brata). Ada lagi puasa birahi yaitu tidak melakukan hubungan suami istri dalam

jangka waktu tertentu. Tujuan malaksanakan puasa adalah: pertama, dilihat dari sudut lahiriah

dapat menghilangkan zat-zat yang tidak berguna dalam tubuh karena dibakar oleh panasnya suhu

badan disamping mengistirahatkan sementara organ pencernaan. Karena makanan orang

bertumbuh dan karena makanan juga orang mendapat penyakit. Dengan melakukan upawasa

dapat mencegah dan menetralisir sesuatu yang berlebihan di dalam tubuh. Kedua, secara spiritual

pelaksanaan upawasa dapat menekan dan mengurangi kekuatan dari unsur-unsur negatip (catur

ripu), karena secara fisik seseorang yang dalam melaksanakan upawasa akan lemah dan lebih

cendrung untuk berdiam diri dan merenung. Bila hal seperti ini dilakukan secara rutin dan jangka

47

waktu puasanya makin bertambah, maka tubuh (pure) akan menjadi bersih dan kekuatan (aura)

sinar Tuhan akan memancar dari dalam pure tersebut, dan orang yang demikian disebut orang

yang sudah memiliki sedikit kekuatan Tuhan. Dia akan berubah menjadi orang lembut, tidak

gampang marah, dapat mengekang emosi, birahi, dapat mengekang sifat loba dan dengki. Di sisi

lain ada suatu kekuatan spiritual yang masuk ke dalam dirinya yang tanpa dia sadari

keberadaanya.

Pengekangan terhadap mulut dapat berupa : tidak makan dan minum, puasa mutih (tiga kepal

nasi putih dan air putih), ngrowot (hanya makan umbi-umbian yang direbus atau hanya makan

buah) dan vegetarian.

Pelaksanaan puasa dilakukan pada hari-hari baik seperti : purnama, tilem (bulan mati), dan pada

hari kelahiran (weton). Khusus untuk puasa weton ini, sebaiknya dilaksanakan satu hari sebelum

sampai dengan satu hari sesudah hari kelahiran kita (tiga hari). Diantara semua waktu

pelaksanaan puasa, pelaksanaan puasa weton (hari lahir) adalah yang paling utama, karena pada

hari itulah kita melakukan upacara piodalan untuk pure yang sejati kita dan mengajak semua

saudara kita yang lahir pada hari itu untuk berkumpul menjadi satu.

3. Pengertian YOGA

Yoga adalah pelaksaaan tapa tahap ketiga. Bila kita membicarakan masalah yoga, maka tidak bisa

lepas dari pada “nafas” karena keduanya sangat berkaitan. Disini tidak akan dibicarakan secara

mendalam mengenai pelaksanaan yoga itu sendiri, akan tetapi membicarakan hakekat daripada

latihan pernafasan yang mempunyai tujuan untuk menguatkan simpul syaraf dalam tubuh kita.

Dalam urutan pelaksanaan trisandya, kita mengenal adanya “pranayama”. Pranayama ini

dilaksanakan sebelum mengumandangkan Gayatri Mantram. Tujuannya, supaya syaraf-syaraf

dalam tubuh kita terutama tujuh simpul syaraf (cakra) terbuka dan dapat menyerap dan

menghimpun tenaga prana, sehingga mempercepat proses konsentrasi pikiran kita pada waktu

sembahyang. Pranayama ini sebaiknya dilatih secara khusus dan rutin sehingga tenaga prana

(hawa murni) masuk dan tersimpan di dalam tubuh manusia semakin besar.

Dalam Atharvaveda X.2.26. dikatakan :

Murdhanam asya samsivya atharva hrdayam ca yat,

Mastiskad urdhvah prairayat pavamano adhi sirsatah.

48

Seorang suci membuat keserasiannya kepala dan hati. Kemudian dia menaikan udara vital ke arah

atas dan memeras udara-udara itu di dalam kepala untuk mencapai tujuannya.

Pengertian dari memeras udara-udara itu di kepala untuk mencapai tujuannya adalah menahan

udara-udara itu lebih lama dikepala dengan tujuan agar syaraf-syaraf otak menjadi kuat, cakra

dahi dan cakra ubun-ubun terbuka terang, karena kelenjar pineal bekerja labih aktif.

Dalam kitab Weda Parikrama yang diterjemahkan dan ditulis oleh G. Pudja, MA. kita jumpai

adanya mantra pranayama adhi yang berbunyi sebagai berikut :

1. Om Ang Atmaya Brahma murtyayai namah (nafas ditarik kepusar )

2. Om Ung Antaratmaya Wisnu murtyayai namah (nafas dinaikan ke dada)

3. Om Mang Paramaatmaya Iswara murtyayai namah (nafas dinaikan ke kepala/ditahan)

4. Om Ung Rah Phat astraya namah, sarwa winasaya swaha (nafas dikeluarkan).

Nafas ditarik dalam-dalam langsung diturunkan ke pusar lalu ditahan sambil mengucapkan

mantra (1) dalam hati, setelah itu langsung dinaikan ke dada dan ditahan sambil mengucapkan

mantra (2) dalam hati, selanjutnya dinaikan ke kapala dan ditahan sambil mengucapkan mantra

(3) dan terakhir nafas dikeluarkan sambil mengucapkan mantra (4).

Laksanakanlah pranayama ini dengan sabar dan diulang-ulang sesuai dengan kemampuan,

janganlah terlalu memaksakan. Kesabaran adalah kunci dari keberhasilan. Sangat dianjurkan

supaya sering melakukan japa Gayatri mantram, supaya ada tenaga karomah yang juga masuk ke

dalam diri kita dan dapat lebih menguatkan tenaga prana yang sudah ada.

Perlu dipahami, bahwa latihan tenaga prana hanya sebatas ilmu yang akan menjadi sarana penopang

dalam mencapai kesucian. Maka dari itu, perlu dibarengi dengan melakukan brata (puasa,

pengekangan diri). Apabila seluruh pusat syaraf (cakra) sudah kuat, dan dalam tubuh kita terkumpul

hawa murni (positip), maka mantra apapun yang dipelajari tidak akan menimbulkan efek negatip

terhadap diri sendiri. Hanya nantinya, semua mantra yang dipelajari penggunaannya tergantung dari

niat manusianya sendiri. Disini janganlah sampai terjabak oleh tipuan Sang Maha Pintar. Yoga juga

bertujuan untuk meningkatkan kekuatan pisik, supaya dalam melaksanakan meditasi tidak cepat

lelah. Sekali lagi perlu diingat, bahwa berlatih pernafasan adalah hanya sebatas membantu

mempercepat proses pencapaian tujuan daripada tapa yaitu mencari diri yang sejati, mencapai urip

yang sejati ya sejatining urip, weruh ing sangkan paraning dumadi. Ini dapat dicapai hanya dengan

berusaha menjadi yogi yang sempurna. Dalam melaksanakan yoga perlu kita perhatikan petunjuk

dari sloka (16), 17), dan (18) BabVI Bhagavadgita :

49

na ’tyasnatas tu yugo ’sti

na chai ’kantam anasnatah

na cha ’tisvapnasailasya

jagrato nai ’iva cha ’rjuna

Artinya: sesungguhnya yoga bukanlah bagi orang yang makan terlalu banyak atau puasa terlalu

banyak, bukanlah untuk orang yang tidur terlalu banyak atau melek terlalu banyak

yuktahara viharasya

yukta cheshtasya karmasu

yukta svapnavabodhasya

yogo bhavati duhkhaha

Artinya: bagi yang berdisiplin dalam makanan, hiburan dan langkah usaha kerjanya, berdisiplin

dalam tidur dan jaga, yoga ini menjadi penghapus dukanya.

yada viniyatam chittam

atmany eva ’vatishthate

nhisprihah sarva kamebhyo

yukta ity uchyate tada

Artinya: bila pikirannya yang telah terkendalikan terpaku hanya kepada Atman, bebas dari nafsu

dan segala keinginan, maka ia dikatakan berhasil dalam yoga.

Pelajaran yang dapat kita jadikan teladan dari sloka-sloka di atas ada, bahwa kondisi yang baik

bagi seseorang yang hendak melaksanakan yoga adalah jangan pada saat perut terlalu kenyang

atau terlalu lapar, hal ini akan berakibat tidak baik bagi tubuh kita. Juga jangan melakukan latihan

yoga pada saat kondisi kurang tidur (karena hal yang terpaksa) karena hasilnya tidak akan baik.

Latihan yoga sangat baik dilaksanakan bagi orang disiplin dalam menjalani hidupnya, sehingga

dapat mencapai tujuan daripada yoga yaitu membebaskan diri dari nafsu dan keinginan

duniawi.

Ketiga sloka di atas maknanya sudah lebih cendrung kepada yoga dalam arti orang yang akan

berniat untuk melaksanakan semadhi (meditasi/tafakur)

50

4. Pengertian SAMADHI

Dengan pranayama terbuanglah kekotoran badan, kekotoran pikiran; dengan pratyahara

terbuanglah kekotoran ikatan-ikatan; dengan dhyana dihilangkan segala apa yang berada di antara

manusia dan Tuhan (aniswara). Kalimat ini dikutip dari buku Raja Yoga Patanjali oleh Swami

Satya Prakas Saraswati.

Tahapan keempat dari pelaksanaan tapa adalah Samadhi. Dhyana (perenungan yang terus

menerus kepada suatu obyek) akan menghilangkan segala apa yang berada antara manusia

dengan Tuhan. Tirai-tirai penyekat akan terbuka satu persatu. Dan pada saat pikiran mencapai

nol, dimana seluruh panca indera sudah dapat ditarik/dimatikan sehingga wadah kasar seseorang

tidak merasakan apa-apa, keadaan seperti ini disebut wening kang sejati yo sejatining wening,

wening ingsun yo wening Gusti, wening Gusti yo wening ingsun (samadhi) dan pada saat itulah

tercapainya kabahagiaan bathin yang luar biasa. Dalam melaksanakan semadhi, kondisi fisik dan

kejiwaan serta tempat, sangat berpengaruh dalam mencapai tujuan. Maka dari itu, buatlah situasi

atau tempat yang khusus (kamar suci).

Dalam Yayurveda XXVI.15. dikatakan:

Upahware girinam samgame ca nadiman, dhiya vipro ajayate.

Orang yang bermeditasi/bersemadhi pada lereng-lereng pegunungan atau di pertemuan sungai-

sungai menjadi tercerahkan.

Tempat dan situasi alam juga sangat berperan dalam perjalanan seseorang mencapai tingkat

samadhi.

Dalam Bhagavadgita Bab VI Sloka (11), (12), dikatakan:

suchau dese pratishthapya

sthiram asanam atmanah

na ’tyuchchhritam na ’tinicham

chaila jina kusottaram

tatrai kagram manah krita

yata chittendriya kriyah

upvisya sane yunjyad

yogam atma visuddhaye

51

Artinya: dengan teguh duduk di tempat yang bersih, tidak tinggi dan juga tidak rendah, ditumbuhi

oleh rumput kusa, di atasnya kulit rusa dan kain silih bertindih,

Disana dengan menyatupadukan hatinya, mengendalikan pikiran dan gerak pancaindria, ia bersila

di atas tempat duduknya, melaksanakan yoga, mensucikan diri.

Sloka (13) dan (14) mengatakan:

samam kayasirogrivam

dharayann achalam sthirah

samprekshya nasikagram

disas cha ’navalokayan

prasantatma vigatabhir

brahmacharivrate sthitah

manah samyamya machchitto

yukta asita matparah

Artinya: dengan badan, kepala dan leher tegak, duduk diam tiada bergerak-gerak, tetap

memandang ke ujung hidungnya, dan tanpa menoleh-noleh sekitarnya,

Dengan tentram damai tiada gentar, teguh sebagai cantrik, menaklukkan hatinya, dengan

harmonis memikirkan Aku belaka, biarlah ia duduk, Aku jadi tujuannya.

Selanjutnya dalam Bab VII Sloka 8. dikatakan:

abhyasa yoga yuktena,

chetasa na nyagamina,

paramam purusham divyam,

yati partha nuchintayan.

Artinya: Dengan pikiran tak mengembara kemana-mana, terpusat berkat latihan tak henti-

hentinya, dia yang melaksanakan meditasi pada Yang Mahautama, pergi oh Parta menuju

Brahman Yang Mahasuci.

Dari sloka di atas dijelaskan bagaimana seseorang dapat menuju kepada Yang Mahasuci melalui

meditasi. Dengan pikiran tak mengembara kemana-mana maksudnya, pada saat kita

melaksanakan meditasi pikiran harus dikontrol, dikendalikan supaya terkonsentrasi hanya kepada

52

satu tujuan yaitu Tuhan Yang Maha Rahasia yang bagian diri-Nya atau sinarnya ada di dalam diri

kita sendiri (kalbu) dengan berkata dalam hati, bahwa aku menyerahkan diri kepada-Mu, aku

tidak punya apa-apa, tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Berkat latihan yang tak henti-

hentinya akhirnya pikiran dapat terpusatkan artinya dapat mencapai titik nol (kosong) yaitu suatu

keadaan dimana seseorang merasakan kebahagiaan yang tiada dapat dilukiskan dengan kata-kata,

tidak dapat dihargai dengan materi, merupakan suatu kenikmatan yang luar biasa karena yang

dicari (Gusti/ Jiwa yang Agung) dan yang mencari (jiwa perorangan/kaula) sudah bertemu lalu

bercakap-cakap dengan bahasa rahasia, sang kaula bertanya dan sang Gusti menjawab dengan

sabar. Keadaan seperti inilah yang disebut puncaknya samadhi, karena yang kita cari sudah

muncul berwujud (ring angambeki yogi kiteng sakale), dialah diri kita yang sejati, dialah guru kita

yang sejati yang akan mengantarkan kita kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi.

Bab VI Sloka (19), (20, (21), (22) Bhagavadgita mengatakan:

yatha dipo nivatastho

ne ’ngate so ’oama smrita

yogino yatachittasya

yunyato yogam atmanah

Artinya: bagaikan nyala pelita tak tergoyangkan di tempat tak berangin, demikian yogi dengan

pikirannya yang terkendalikan melaksanakan konsentrasi jiwa pada Atman

yatro ’paramate chittam

niruddham yogasevaya

yatra chai ’va ’tmanam

pasyann atmani tushyati

Artinya: disana dimana pikiran telah tenteram terkendalikan oleh konsentrasi yoga, menyaksikan

Jiwa dengan jiwa dan jiwa merasa dalam bahagia.

sukham atyantikam yat tad

buddhigrahyam atindriyam

vetti yatra na chai ’va ’yam

sthitas chalati tattvatah

Artinya: dimana dijumpai kebahagiaan tertinggi dengan intelek di luar kemampuan pancaindria,

di sana ia mencapai tujuan dan tiada lagi jatuh dari kebenaran.

53

yam labdhva cha ’param labham

manyate na ’dhikam tatah

yasmin sthito na dukkhena

guruna ’pi vichalyate

Artinya: dimana tercapai apa yang dipikirkan dan tiada lagi lebih mulia di luar itu yang dapat

dicapai, di sana ia tertuju tiada tergoyahkan oleh duka terberat sekalipun.

Selanjutnya dalam sloka (27), (28), (29),32) mengatakan:

prasanta manasam hy enam

yoginam sukham uttaman

upaiti santarajasam

brahmabhutam akalmasham

Artinya: sebab kebahagiaan tertinggi tiba pada yogi yang pikirannya tenteram damai, yang hawa

nafsunya tiada lagi, yang tiada noda, bersatu dengan Brahman.

yunjann evam sada ’tmanam

yogi vigatakalmasah

sukhena brahmasamparsam

atyantam sukham asnute

Artinya: dengan mengendalikan jiwa selalu seimbang, maka yogi yang telah menghapus dosa

dengan mudah menikmati restu abadi yang berhubungan dengan Yang Maha Abadi.

sarvabhutastham atmanam

sarvabhutani cha ’tmani

ikshate yogayuktatma

sarvatra samadarsanah

Artinya: dia yang jiwanya terkonsentrasikan oleh yoga melihat Atman ada pada semua insan dan

semua insan ada pada Atman, dimana-mana ia melihat yang sama.

yo mam pasyati sarvatra

sarvam cha mayi pasyati

tasya ’ham na pranasyami

sa cha me na pranasyati

54

Artinya: dia yang melihat segala sesuatu sama dalam persamaan jiwanya, oh Arjuna, baik dalam

suka maupun dalam duka, dia dinamakan yogi yang sempurna.

Bab XVIII yang merupakan bab penutup dari Bhagavadgita, sloka (51), (52), (53), (54), (55),

mengajarkan kepada kita bagaimana laku dan lampah yang harus dijalankan supaya berhasil

sampai kepada tujuan hakiki manusia yaitu Brahman Yang Agung yaitu:

buddhya visuddhaya yukto

dhritya ’tmanam niyamya cha

sabdadin vishayams tyaktva

ragadveshau vyudasya cha

Artinya: diperlengkapi dengan pengertian suci, teguh mengendalikan jiwa, menghindari suara dan

obyek pancaindria lain-lainnya serta menjauhi segala yang dicintai dan dibenci,

viviktasevi laghvasi

yata vak kaya manasah

dhyanayogaparo nityam

vairagyam samupasritah

Artinya: berdiam di tempat suci, makan hanya sekedarnya, perkataan, badan jasmani dan pikiran

terawasi, selalu bermeditasi dan berkonsentrasi serta bernaung di bawah kedamaian hati,

ahamkaram balam darpam

kamam krodham parigraham

vimuchya nirmamah santo

brahmabhuyaya kalpate

Artinya: membuang jauh-jauh egoisme, kekerasan, keangkuhan, nafsu, amarah dan

hartakekayaan, suka bersosial dan memiliki ketenangan pikiran, ialah yang patut menjadi satu

dengan Brahman.

brahmabhutah prasannatma

na sochati na kankshati

samah saveshu bhuteshu

madbhaktim labhate param

55

Artinya: Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tenteram, tiada duka tiada nafsu birahi,

memandang semua mahkluk insani sama, ia mencapai pengabdian kepada-Ku yang tertinggi.

bhaktya mam abhijanati

yavan yas cha ’smi tattvatah

tato mam tattvato jnatva

visate tadanantram

Artinya: dengan jalan mengabdi ia mengetahui Aku, betapa agung dan siapa Aku sebenarnya dan

setelah mengetahui Aku yang sesungguhnya, ia kemudian masuk ke dalam-Ku.

Dalam Bhagavadgita Bab X Sloka (25) dikatakan:

”..... yajnanam japayajno ’smi.......”

Artinya: Aku ini meditasi sunyi (sambil berjapa) diantara cara sembahyang.

Samadhi (meditasi) adalah laku puncak dalam usaha menguak tabir-tabir rahasia dari Yang Maha

Rahasia, sehingga tujuan manusia untuk menyatu dengan Dia bisa dicapai atas kehendak-Nya.

Pelaksanaan samadhi tidaklah berarti berdiri sendiri, karena berhasilnya seseorang melakukan

samadhi sangat tergantung dari keberhasilan penguasaan atas ilmu pengetahuan (jnana) tentang

falsafah Roh dan keberhasilan dari pelaksanaan tapa, brata, dan yoga sebelumnya. Tapa, brata,

yoga dan samadhi, adalah merupakan tahapan-tahapan laku manusia untuk mencari kesucian hati

dan pikiran, sampai pada akhirnya mencapai Moksartham Jagadhita yang sejati yaitu yang

dikehendaki oleh Yang Maha Menghendaki. Pada saat seseorang dalam periode waktu

menjalankan tingkatan Brahmacari (sekolah) dan Grehasta (berkeluarga), laku tapa dengan jalan

kerja dan bhakti yang lebih besar porsinya, dibandingkan dengan laku tapa brata, tapa yoga dan

tapa semadhi. Waktu antara grehasta dan wanaprasta barulah sebaiknya ditambah dengan tapa

melalui yoga dan mulai belajar berpuasa (brata). Bagi yang sudah melaksanakan wanaprasta dan

biksukha dimana keadaan kekuatan pisik (secara lahirian) sudah mulai menurun maka, jalan

jnana (dyana) dan semadhi yang lebih besar porsinya, puasa (brata), dan semadhi (meditasi) lebir

besar porsinya ditambah dengan melakukan japa yang sebanyak-banyaknya. Konsep rta

(pengatahuan tentang hukum agama), diksa (pensucian diri), tapa, brata, yoga, semadhi, adalah

merupakan laku yang harus dijalankan manusia (apapun agama dan kepercayaannya) untuk

mencapai tujuan yang hakiki yaitu kembali ke Sangkan Paraning Dumadi.

56

BAB IV

PEMAHAMAN TENTANG SEMBAHYANG, DOA, JAPA,

DAN PELAKSANAANNYA

A. PENGERTIAN SEMBAHYANG

Sembahyang adalah tata cara yang dilakukan oleh seseorang melalui pikiran dalam tujuannya

menuju Tuhan Yang Maha Pencipta dengan diiringi pengucapan syair suci ataupun mantra. Oleh

karena itu, landasan yang paling mendasar dalam pelaksanaan sembahyang adalah bersih hati dan

bersih pikiran supaya sembahyang kita boleh dikatakan baik dan benar dari sudut kacamata

Tuhan. Sebenarnya ada satu prosesi upacara yang sangat patut kita kaji dalam kaitannya dengan

pelaksanaan sembahyang yaitu upacara ngenteg linggih. Setiap membangun pura, maka

dilaksanakanlah upacara pembersihan (melaspas), setelah itu barulah upacara ngenteg linggih.

Makna yang dikandung dari pelaksanaan upacara tersebut adalah, setelah kita

membersihkan/mensucikan pure dari unsur-unsur negatip, maka kita memohon kepada Tuhan

Yang Maha Kuasa agar berkenan mengutus Bethara (pelindung) agar duduk/bersthana di pure

yang bersangkutan. Kita bandingkan antara diri manusia dengan pure yang bahannya dari paras

dan batu bata dan dibuat oleh manusia. Badan manusia adalah merupakan pure yang sejati yang

diciptakan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta. Kenapa kita tidak mensucikan diri dengan

trikaya parisudha, tapa, brata, yoga, semadhi, dan selanjutnya kita dudukkan (sthanakan) Tuhan

didalam diri kita? Bagi yang berniat mencari Tuhan, cara mensthanakan inilah yang lebih baik

dibandingkan dengan menyembah, sebab antara yang menyembah dan yang disembah akan selalu

ada jarak, sehingga tidak akan bisa bersatu. Tetapi dengan melakukan pensucian diri (diksa)

secara terus menerus dan memohon agar Dia berkenan duduk di dalam diri kita, maka Dia akan

selalu bersama dan menunjukkan jalan yang terang dan lurus kepada kita untuk menuju kepada

penyatuan antara kawula dengan Gustinya (dhiyo yo nah pracodayat). Adapun bahasa yang

dipergunakan adalah Gayatri mantram, karena Baghavadgita Bab X sloka (35) :

”.....gayatri chandasam aham....”

Artinya: diantara syair suci Aku adalah Gayatri.

Tingkatan dalam sembahyang ada 4 (empat) :

- Sembahyang Raga, tingkatan seseorang dalam melaksanakan sembahyang hanya raganya saja

yang sembahyang, sedangkan pikirannya masih berkelana kemana-mana (belum terpusatkan).

57

- Sembahyang Rasa, tingkatan seseorang dalam melaksanakan sembahyang disamping

raganya, pikirannya sudah mulai khusuk, rasa juga ikut sembahyang, sehingga dapat

merasakan getaran-getaran suci dalam jiwanya.

- Sembahyang Cipta, tingkatan seseorang dalam melaksanakan sembahyang sudah bisa

mengkonsentrasikan pikirannya, setingkat di atas sembahyang rasa, cakra dahi da ubun-

ubunnya sudah mulai terbuka dan sudah bisa menerima sinyal dari alam gaib.

- Sembahyang Sukma, tingkatan sembahyang dimana sukma seseorang sudah bisa keluar dari

badannya dan melakukan perjalanan astral ke alam gaib sampai bisa menghadap kepada- Nya.

Inilah puncaknya sembahyang, karena sang kawula langsung mengahadap kepada Gustinya.

Ini juga disebut tingkatan Pratyaksa Pramana (melihat langsung).

Bagi orang yang sudah sanggup melakukan sembahyang sukma, ukuran waktu sembahyang

adalah nafasnya. Setiap menarik nafas dia ingat kepada Tuhan (OM).

B. PENGERTIAN DOA

Doa adalah kalimat yang diucapkan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan

memohon sesuatu kepada Tuhan Yang Maha Mengabulkan. Bahasa yang dipergunakan dalam

berdoa bisa bahasa sehari-hari, bisa dengan mantra. Sedangkan pengucapannya bisa keluar

melalui mulut (dapat didengar orang lain) atau dengan bahasa kalbu (bathin). Berdoa dapat

merupakan rangkaian dari pelaksanaan sembahyang atau dilakukan khusus sendiri. Berdoa dapat

dilakukan dimana saja, kapan saja. Dalam Gayatri mantram, kalimat pertama, kedua dan ketiga,

adalah merupakan peng-Agung-an kepada Tuhan, dan kalimat keempat ( dhiyo yo nah

pracodayat, semoga Engkau menunjukkan sinar yang terang kepada hamba dalam menuju

kepada-Mu) adalah merupakan permohonan (doa). Dalam pelaksanaan panca sembah, sembah

yang keempat adalah merupakan permohonan (doa).

C. PENGERTIAN JAPA

Berjapa adalah mengucapkan dengan berulang-ulang bait mantra ataupun salah satu nama

kebesaran Tuhan dengan tujuan untuk mengagungkan-Nya. Berjapa merupakan rangkaian dari

pelaksanaan sembahyang. Dalam Bhagavadgita Bab X sloka (25) dikatakan:

”.....yajnanam japayajno ‘smi.......”

Aku ini meditasi sunyi (sambil berjapa) diantara cara sembahyang.

58

Maka dari itu, sehabis melaksanakan tri sandhya, sebaiknya melakukan meditasi sambil berjapa

didalam hati. Berjapa (untuk mengingat Tuhan) dapat juga dilakukan tersendiri ketika kita berada

di dalam bis, dalam kereta atau dikantor sesuai dengan situasi yang memungkinkan untuk itu.

Kalimat atau mantra yang bisa dipakai untuk berjapa antara lain :

- Om Tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman

Sebagai pengakuan atas ke-Esa-an dari Tuhan Yang Maha Pencipta.

- Gayatri mantram, yaitu bait pertama dari puja tri sandhya.

Khusus Gayatri mantram ini, penggunaannya multi fungsi.

- Mahammrtyunjaya mantra :

Om Tryambakam yajamahe

sugandhim pusthivardhanam,

urvarukam iva vandhanat

mrtyor muksiya mamrtat.

Mantra ini khusus untuk memohon kesembuhan.

- Astra mantra :

- OM Ung Rah Phat astraya namah,

- OM atmatatwatma sudhamam swaha,

- OM Om ksamasampurnaya namah,

- OM Cri Pacupataye Hum Phat.

Mantra ini sangat rahasia, karena oleh para pendeta diikuti oleh gerak tangan (petanganan). Bila

mantra ini sering dijapa dengan hening, maka dampak kedalam diri adalah penyatuan tiga unsur

Ung Rah Phat, pembersihan atma, mohon kesempurnaan.

- Kuta Mantra :

- Om hram hrim sah parama Ciwaraditya ya namah swaha.

Sebagai penghormatan dan minta kekuatan dari surya. Sebaiknya dilakukan waktu pagi hari

disaat matahari baru muncul atau sore hari saat matahari mau terbenam. Tatap matahari sambil

berjapa, agar kekuatannya berdiam di mata.

- Nama-nama kebesaran Tuhan seperti :

Ya Brahman, Ya Narayana, Ya Hari, YaParama Icwara, Ya Parama Ciwa

59

D. PELAKSAAN SEMBAHYANG

Menurut ajaran agama Hindu, umat Hindu diwajibkan untuk melaksanakan sembahyang tiga

kali dalam saharí (Tri Sandhya) yaitu pada jam 6 pagi, jam 12 siang dan jam 6 sore dengan

mengucapkan puja Tri Sandhya. Kewajiban sembahyang hanya 3 kali saharí ini, masih sangat

banyak yang tidak menjalankan dengan rutin karena berbagai macam alasan. Umumnya,

kebanyakan mangaku sibuk karena kegiatan rutinitas saharí-hari. Padahal sebenarnya karena

belum menjadi kebiasaan, sebab kalau sudah menjadi kebiasaan, apabila tidak melaksanakannya

sepertinya ada yang kurang atau hilang dalam hidup ini. Sembahyang dalam arti

mengkonsentrasikan pikiran untuk mengingat Tuhan bagi mereka yang sedang berada di kantor

dapat dilakukan di kantor, bagi mereka yang berkendaraan dapat memberhentikan kendaraannya

di tempat yang teduh dan dilakukan di dalam mobil, bagi mereka menumpang bus dapat

dilakukan di dalam bus, bagi yang sedang berdagang dapat dilakukan ditempat berjualan, bagi

yang sedang di sawah dapat dilakukan di sawah, bagi yang sedang di pantai dapat dilakukan di

pantai, carilah tempat yang menurut kita merasa nyaman. Soal pakaian, kalau bisa yang rapi,

kalau tidak bisa ya yang ada pada saat itu, karena bukan pakaian yang jelek menjadi sebab

sembahyang kita tidak diterima Tuhan, akan tetapi pikiran dan hati yang kotor itulah yang

menjadi penyebab sembahyang seseorang tidak sah di mata Tuhan.

Mengenai tata cara dalam melaksanakan sembahyang (Tri Sandhya) ádalah sebagai berikut:

a. Ucapkan Om awighnam astu nama siddham

b. Ambil sikap bersila (sesuaikan dengan keadaan) lalu bersihkan tangan (kare suddha mam)

dengan mantra :

Om kare suddhamam swaha, Om kare ati suddhamam swaha.

c. Ambil sikap asana dengan jari tangan membentuk dewa pratistha (kedua ibu jari dan

telunjutk disatukan). Makna yang dikandung, ádalah untuk menyatukan Brahma, Wisnu dan

Ciwa yang duduk di dalam tri loka pada badan kita (mikro kosmos) yaitu pusar, jantung dan

kepala. Ucapkan mantra:

Om presadha sthiti carire Ciwa suci nirmala ya namah swaha.

Ya Tuhan, semoga badan hamba ini terpelihara sehingga bisa menjadi suci seperti Ciwa.

+ Ucapkan Sthiti mantra :

Om Sa Ba Ta A I Na Ma Ci Wa Ya, Om Ang Ung Mang, mengundang penguasa sembilan penjuru

mata angin untuk menjaga supaya tidak mendapat gangguan dari unsur negatip.

e. Lakukan pranayama dengan mengucapkan mantra pranayama adi (dalam hati):

60

Om Ang Atmaya Brahma murtyayai namah (nafas ditahan di puser sebentar lalu dinaikan ke

dada).

Om Ung Antar-Atmaya Wisnu murtyayai namah (nafas ditahan di dada sebentar lalu dinaikan ke

kepala).

Om Mang Parama Atmaya Icwara murtyayai namah (nafas di tahan di kepala sesuaikan dengan

kemampuan).

Om Ung Rah Phat astraya namah, sarwe winacaya swaha (nafas dikeluarkan secara perlahan).

f. Selanjutnya lakukan Dagdi Karana (pembersihan badan astral) dengan mantra :

Om cariram kundam ityuktan,

Tryantah karanam indhanam,

Saptongkara mayo bahnir,

Bojananta udinditah.

Om Ang astra Kala Agni Rudraya namah.

Badan ini disebut tungku api makanannya (adalah) ketiga bagian bentuk organ dalam, terdiri

dari Sapta Ongkara (yang) telah terbakar sebagai makanan (minyak). Ya Tuhan, hamba

hormat kepada Ang senjata dari Kala Agni Rudra.

Setelah mambaca mantra, tarik nafas lalu tahan di pusar, bayangkan di daerah dubur (cakra

bumi/muladara cakra) dan ibu jari kaki kanan seperti ada api yang membara naik perlahan

melalui sumsum tulang belakang seolah-olah membakar badan kita.

Selanjutnya membunuh api rahasia tadi dengan Amrta mantra:

Om hram hrim sah parama Ciwaraditya ya namah, Om Um Rah Phat astraya namah.

Setelah mengucapkan mantra, tarik nafas tahan di dada sambil membayangkan seolah-olah

ada tirtha amerta yang menyiram dari ubun-ubun mengalir melalui tulang belakang dan

meresap keseluruh badan dan membersihkan abu rahasia yang dihasilkan oleh pelaksanaan

dagdi karana sebelumnya.

g. Sebelum melaksanakan tri sandhya, bagi mereka yang merasa ketujuh cakranya sudah terbuka,

mengucapkan Sapta Ongkara mantra yang tujuannya untuk menaikkan kundalini. Bagi

mereka yang pemula, sebaiknya mantra ini jangan dipergunakan dulu dan dapat langsung

melaksanakan tri sandhya.

Om Am Ciwa Atmakaya namah (penghormatan)

Om ham Hrdayaya namah (membangunkan Atma)

61

Om Am Brahma Atmane namah

Om Um Wisnu Antar Atmane namah

Om Mam Icwara parama Atmane namah

Om Om Mahadewa nir-Atmane namah

Om Om Sada Rudra ati Atmane namah

Om Om Sada Ciwa niskala Atmane namah

Om Om Parama Ciwa Sunya Atmane namah

Om Am atmane namah.

h. Laksanakan puja tri sandhya dengan suara yang lembut, pelan, ikuti dengan rasa.

Sebelumnya, saudara kita yang lahir bersama-sama diajak : Sadulurku papat kelima pancer,

kakang kawah adi ari-ari, kang lahir tunggal dina, tunggal jalan, kadangku tuwo lan sinom

podo, mari kita sama-sama manembah kepada Ida Sang Hyang Widhi Waca.

i. Setelah selesai melaksanakan tri sandhya, selanjutnya mengucapkan mantr Mrtyunjaya (pujian

kepada Penakluk Kematian Tuhan Yang Maha Kuasa):

Om Dirghayur bala wrddha cakti karanamam mrtyunjaya caswatan,

Rogadi-ksaya-kusta-dusta-kalusam candra prabhabhawaram,

Hrim mantram cacatur bhujam trinayana wyalopawitam Ciwam,

Cwetam camrta madhyagam sukha karan jiwa ksaya wyansakam,

Cwetamboruha karnikopari gatam dewa suraih pujitam,

Mrtyu krodhabalam maha krti mayam karpura renu prabham,

Twam wande aradaya bhakti caranam prapyam maha pratumaih,

Cantam sarwa gatam nirantam abhawam bhutatmakam nirganam,

Craddha bhakti krtam wimukti karanam wyaptam jagat dharanam,

Mauli bandha krita dharan caitanya dusta ksayam,

Wande mrtyu jitam sayap marahomatra di-dewa Harih,

Mukta twam jagat twam samadhi satatan caitanya dusta ksayam.

Dalam menghafalkan mantra, sebaiknya jangan terlalu emosi ingin cepat hafal. Pikiran harus

tenang, rilek, dan setiap hari dihafalkan satu baris dan seterusnya, sehingga dalam dua belas

hari semuanya bisa dihafal. Semakin bersih pikiran seseorang, semakin cepat mantra menyatu

dalam pikiran. Sesudah hafal seluruhnya, barulah mantra dipergunakan.

62

j. Selanjutnya, melaksanakan japa (berzikir dengan khusuk).

Oleh karena berjapa memerlukan waktu yang cukup lama, maka sebaiknya panjang dan

pendeknya mantra yang dijapa disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu.

k. Tindakan selanjutnya adalah melakukan meditasi kurang lebih selama 15 menit.

Apabila sembahyang pada malam hari (tengah malam), maka meditasinya bisa disuaikan

dengan kata hati (nurani) sendiri.

Setelah itu tutuplah dengan puja parama santih.

Pada waktu kita datang ke suatu Pure dengan niat untuk sembahyang, maka ada dua hal yang

sepatutnya dilakukan yaitu:

1. Sembahyang untuk diri kita sendiri dengan urutan seperti tersebut di atas.

2. Melakukan penghormatan dengan cara mendoakan Bethara atau gaib, serta para leluhur kita

yang ada di Pure tersebut kepada Tuhan Yang Maha Sempurna.

Ya Tuhan Yang Maha Sempurna, niat hamba menghadiahkan Gayatri Mantram untuk

Bethara yang bersthana di Pure ....(sebutkan namanya), semoga Engkau menganugrahkan

kasampurnan yang sejati kepada beliau. Om Tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman. Ucapkan

Gayatri mantram dengan khusuk sebanyak 108 atau seihklasnya.

Kepada para leluhur, kita juga lakukan penghormatan dengan memohonkan pengampunan

atas dosa-dosa mereka kepada Tuhan Yang Maha Pengamppun dengan sarana Gayatri

mantram. Ya Tuhan Yang Maha Pengampun, niat hamba menghadiah Gayatri mantram

untuk para leluhur atau almarhum orang tua hamba yang namanya ...(sebutkan namanya),

semoga engka mengampuni dosa-dosa beliau dan memberikan tempat yang sesuai denagn

kehendak-Mu. Om Tat Sat Ekam Eva Adwityam Brahman. Ucapkan Gayatri mantram

sebanyak 108 atau seihklasnya. Laksana seperti ini, juga disebut pengabenan secara spiritual

(penyupatan anak yang bhakti /suputra kepada orang tuanya).

Semakin sering kita mendoakan/menghadiahkan Gayatri mantram kepada para bethara

ataupun kepada leluhur, maka akan semakin dekat hubungan kita dengan mereka. Kadang-

kadang beliau hadir dalam semadhi atau hadir melalui mimpi. Dampaknya ke dalam diri, hati

dan pikiran kita akan semakin bersih, dan merasakan ada kedamaian yang sangat indah,

karena dalam mejalani kehidupan kita selalu dibimbing/dituntun oleh Gusti Kang Moho

Agung.

63

BAB V

KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka dapat lah ditarik beberapa kesimpulan antara lain :

1. Karena tujuan tertinggi dari manusia adalah menyatu dengan Sang Maha Pencipta, maka dia

harus menyembah dan sujud hanya kepada Tuhan Yang Maha Agung yang menciptakan

mereka. Kepada sesama mahkluk ciptaan-Nya, baik itu dewa, bethara, manusia, iblis ataupun

syetan berlakulah hubungan saling menghormati dan kasih (Tat Twam Asi).

2. Walaupun diberikan dua jalan yaitu jalan material (upacara) dan spiritual (kerohanian), akan

tetapi Weda sangat menganjurkan agar kita lebih memelilih jalah spiritual (kerohanian),

karena dengan jalan spirituallah yang dapat menyelamatkan kita baik di dunia ini maupun di

dunia sana.

3. Manusia dalam tujuannya mencapai mokshartam jagaditha ya ca iti dharma, haruslah terlebih

dahulu menguasai Rta yaitu ilmu pengetahuan tentang falsafah Atman, karena inilah yadnya

yang paling tinggi nilainya, tiada lagi yang lain.

Manusia harus memahami betul tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Rahasia.

4. Manusia dapat mencapai kesadaran tertinggi, alamnya Brahman Yang Agung, maka dia

harus melepaskan diri dari ikatan duniawi, dia harus sanggup mati di dalam hidup dan hidup

tetapi mati, sesuai dengan ajaran Aji Saka.

5. Manusia dalam perjalanan hidupnya harus dapat menyatukan semua saudaranya, empat yang

di luar dan lima yang di dalam diri, sehingga 4 di luar menjadi 1 dan lima di dalam menjadi 1,

1 di luar ditambah 1 di dalam menjadi 1 (kawula). Selanjutnya 1 (kawula) + 1 (Gusti) = 1

(Brahman Atman Aikyam). Agar saudara empat yang di luar mau bersatu dengan yang empat

di dalam, maka manusia harus mematikan terlebih dahulu saudara empatnya yang negatip

(Catur Ripu) di dalam dirinya.

64

6. Manusia dalam mencapai tujuannya bersatu dengan Sang Maha Pencipta, maka dia harus

melaksanakan Diksa, Tapa, Brata, Yoga dan Semadhi dengan teguh dan disiplin. Selalu

mengingat Tuhan setiap menarik nafas kehidupan. Rajin melakukan puasa, rajin berjapa dan

paling penting selalu kasih terhadap sesama ciptaan Tuhan (Tat Twam Asi).

7. Akhirnya diketahuilah, bahwa inti sari dari kehidupan menurut ajaran kitab suci Weda adalah

ISWARA PRANI DHANA yaitu menyerahkan hidup kita semata-mata kepada Tuhan Yang

Maha Pencipta. Biarlah Dia Yang Maha Mengetahui menuntun perjalanan hidup kita dalam

menuju ke kerajaan-Nya.

B. PENUTUP

Demikianlah tulisan yang sangat sederhana ini saya persembahkan kepada umat Tuhan

yangmemerlukan. Tulisan ini masih sangat jauh dari apa yang disebut sempurna, maka dari itu

tugas para pembacalah untuk melengkapi sehingga menjadi sempurna melalui masing-masing

proses pencarian jati diri yang sejati. Agama hanyalah sekedar tuntunan, petunjuk dari Yang

Maha Rahasia bukanlah hanya untuk dijadikan bahan diskusi atau diwacanakan di atas mimbar,

akan tetapi mutlak harus diwujudkan dan dibuktikan dalam tingkah laku keseharian sehingga

mencapai tingkat pratyaksa pramana. Tulisan ini hanyalah sekedar pembasuh dahaga dikala

seseorang kahausan dalam mencari Yang Sejati. Sebagai akhir kata saya haturkan Om

ksamaswamam, dhiyo yo nah pracodayat, Om santih santih santih Om.

65

DAFTAR PUSTAKA

Pendit, S, Nyoman, Bhagavadgita, LPP Kitab Suci dan Dammapada Dep.RI.1967.

Titib, I Made, Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Paramita, Surabaya 1996.

Kajeng, I Nyoman, Dkk. Sarassamuccaya, Hanuman Sakti, 1997.

Pudja, G.MA, Wedaparikrama, Hanuman Sakti 1991.

Pudja, G. MA, SH. Theologi Hindu (Brahma Widya), Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta 1992.

Parisada Hindu Dharma, Upadeca, 1978.

Puniatmadja, I.B. Oka, Drs. Dharma Sastra, Hanuman Sakti, Jakarta 1994.

Jendra, I Wayan, Samadhi Hening Tanpa Kata, PT Pustaka Manik Geni 1994.